SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM TRANSAKSI PERBANKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010
(Studi Kasus Putusan Nomor 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby)
OLEH
DAMAYANTI
B111 13 118
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
i
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM TRANSAKSI PERBANKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010
(Studi Kasus Putusan Nomor 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana dalam Program Kekhususan Hukum Pidana
disusun dan diajukan oleh
DAMAYANTI
B111 13 118
kepada
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Damayanti
Nomor Induk Mahasiswa : B11113118
Jenjang Pendidikan : S1
Program Studi : Ilmu Hukum
Menayatakan bahwa skripsi yang berjudul Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Transaksi Perbankan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 (Studi Kasus Putusan Nomor 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby), adalah BENAR merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini hasil karya orang lain atau dikutip tanpa menyebut sumbernya, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 8 Juni 2018
Yang Membuat Pernyataan,
Damayanti
iv
v
Nama : DAMAYANTI
Nomor Pokok : B111 13 118
Departemen : Hukum Pidana
Judul Skripsi : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DALAM TRANSAKSI PERBANKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010
(Studi Kasus Putusan Nomor 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby)
Makassar, Mei 2018
vi
ABSTRAK DAMAYANTI (B11113118), Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Transaksi Perbankan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 (Studi Kasus Putusan Nomor 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby), Dibawah bimbingan Muhadar, selaku Pembimbing I dan Nur azisa selaku Pembimbing II.
Tinjauan penelitian ini untuk mengetahui penerapan hukum materil terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Transaksi Perbankan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 (Studi Kasus Putusan Nomor 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby) dan penerapan hukum hakimnya.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Surabaya dan Kota Makassar yaitu di Pengadilan Negeri Surabaya dan Perpustakaan Makassar dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi literatur yakni untuk memperoleh bahan-bahan dan informasi-informasi sekunder yang diperlukan dan relevan dengan penelitian, yang bersumber dari konvensi-konvensi, buku-buku, media pemberitaan, jurnal, serta sumber-sumber informasi lainnya seperti data yang terdokumentasikan melalu situs-situs internet yang relevan.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan, yaitu: 1. Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offence atau core crime. Pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat ketentuan dalam pasal (3), (4) dan (5) UU No.8 Tahun 2010Menyebutkan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010. 2.Dalam studi kasus nomor. 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sbyhal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara telah sesuai dengan tuntutan Penuntut Umum karena melihat semua fakta-fakta persidangan terbukti secara sah Terdakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp.50.000.000,00; dan jika denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1(satu) bulan.
vii
ABSTRACT
DAMAYANTI (B11113118), Juridical review of Crime of Money
Laundering in Banking Transactions According to Law No.8 of 2010
(Case Study of Decision Number 64 / Pid.Sus-TPK / 2015 / PN.Sby),
Under the guidance of Muhadar, as Supervisor I and Nur Azisa as
Supervisor II.
The review of this research is to know the implementation of material law
against Crime of Money Laundering in Banking Transaction According to
Law Number 8 Year 2010 (Case Study of Decision Number 64 / Pid.Sus-
TPK / 2015 / PN.Sby) and the application of judicial law.
This research was conducted in Surabaya and Makassar City, namely in
Surabaya District Court and Makassar Library by using data collecting
technique through literature study that is to obtain materials and
secondary information needed and relevant to the research, sourced from
conventions, books, news media, journals, and other sources of
information such as documented data through relevant internet sites.
Based on the results of the research, the conclusions are obtained,
namely: 1. Money Laundry as a crime has a characteristic that this crime is
not a single crime but a double crime. It is characterized by money
laundering as a follow-up crime or crime, whereas a crime or a crime of
origin is referred to as predicate offence or core crime. The definition of
money laundering crime can be seen in the provisions of articles (3), (4)
and (5) of Law No.8 Year 2010. To mention the crime of money
laundering, one of them must fulfill the element of unlawful act as referred
to in Article 3 of Law no. 8 Year 2010. 2. In case study number. 64 /
Pid.Sus-TPK / 2015 / PN.Sby that the judge's consideration in deciding the
case has been in accordance with the prosecution because he saw all the
facts of the trial proven legally The defendant violated Article 5 paragraph
(1) Law Number 8 Year 2010 on Prevention and Eradication of Money
Laundering Crime. The judge handed down a penalty against the
defendant AGUNG BUDI PRASETYO with imprisonment for 8 (eight)
months and a fine of Rp.50.000.000,00; and if the fine is not paid then it is
replaced with imprisonment for 1 (one) month.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang telah
diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam
Transaksi Perbankan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
(Studi Kasus Putusan Nomor (Studi Kasus Putusan Nomor 64/Pid.Sus-
TPK/2015/PN.Sby)” sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Program Strata Satu (S1) di Universitas Hasanuddin
Makassar. Tak lupa salam dan Shalawat Nabi Baginda Rasulullah S.A.W
beserta keluarga dan sahabat yang selalu menjadi teladan agar setiap
langkah dan perbuatan kita selalu berada dijalan kebenaran dan bernilai
ibadah di sisi Allah SWT. Semoga semua hal yang penulis lakukan
berkaitan dengan skripsi ini juga bernilai ibadah di sisi-Nya.
Segenap kemampuan Penulis telah dicurahan dalam penyusunan
tugas akhir ini. Namun demikian, penulis sangat menyadari bahwa
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Sebagai makhluk ciptaannya,
Penulis memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, segala bentuk
saran kritik senantiasa Penulis harapkan agar kedepannya tulisan ini
menjadi lebih baik.
Terima kasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua tercinta,
Almarhum Ayahanda H. M. Dahlan Iskandar dan Ibunda Hj.Idawati yang
tak kenal lelah untuk merawat dan mendidik saya dengan penuh
ketulusan, kesabaran dan kasih sayang, dan tak henti-hentinya
ix
memberikan semangat serta nasihat kepada penulis dalam menimba ilmu
pengetahuan. Pencapaian penulis tidak lepas dari keberadaan kedua
orang tua Penulis yang senantiasa memberikan Doa dan dukungannya.
Seluruh kegiatan penyusunan skripsi ini tentunya tidak akan
berjalan lancar tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak.
Untuk itu, maka izinkanlah Penulis untuk menghaturkan rasa terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penelitian hingga
penulisan skripsi terselesaikan :
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan Skripsi ini
menemui banyak kendala dan hambatan, untuk itu ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S selaku
Pembimbing I (satu) dan Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H. selaku
Pembimbing II (dua) yang telah banyak membimbing dan memberikan
arahan selama penulisan Skripsi.
Terima kasih penulis haturkan pula kepada:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. selaku Rektor
Universitas Hasanuddin;
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin dan segenap jajaran Wakil Dekan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
3. Seluruh dosen di Fakultas Hukum UNHAS yang telah membimbing
dan memberikan pengetahuan, nasehat serta motivasi kepada
penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin;
x
4. Terima kasih kepada Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H., M.H., M.si.,
Dr. Wiwie Heriya, S.H., M.H., dan Dr. Haeranah, S.H., M.H. selaku
Dewan penguji yang telah memberikan bimbingannya sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan;
5. Seluruh pegawai dan karyawan di Fakultas Hukum UNHAS yang
senantiasa membantu penulis selama menempu pendidikan;
6. Terima kasih untuk doa dan Supportnya saudara Muhammad
Andian Zikry, S.E yang selalu mengingatkan dan memberikan
dukungan.
7. Terimakasih juga untuk saudari saya Wahyuni Dahlan yang telah
membantu dan memberikan dukungan kepada Penulis.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan Penulis dari EEO yang memberikan
dukungan dan motivasi kepada Penulis.
9. Teman-teman seperjuangan ASAS Fakultas Hukum UNHAS yang
selalu membantu dalam berbagai hal kepada Penulis.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ................................................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................................. v
ABSTRAK .......................................................................................... vi
ABSTRACT ......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .......................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 9
A. Tindak Pidana ................................................................. 9
1. Pengertian Tindak Pidana ......................................... 9
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ...................................... 10
B. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) ..... 16
1. Sejarah dan Perkembangan Pencucian Uang
(Money Laundering) .................................................. 16
2. Pengertian Pencucian Uang (Money Laundering) ..... 17
3. Tahap-Tahap & Proses Pencucian Uang (Money
Laundering) ............................................................... 20
4. Dasar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang ......... 22
5. Metode Pencucian Uang (Money Laundering) .......... 22
6. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering) .. 24
7. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
Tindak Pidana Umum ................................................ 26
xii
8. Dampak Kejahatan Pencucian Uang ........................ 27
9. Rezim Anti-Pencucian Uang ..................................... 29
10. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) .................................................................... 34
1) Kelembagaan PPATK .......................................... 34
2) Peran pusat dan pelaporan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) ............................................. 36
C. Perbankan ................................................................... 37
1. Pengertian Hukum Perbankan .................................. 37
2. Asas-Asas Perbankan ............................................... 39
3. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer
Priciples) ................................................................... 40
4. Kewajiban Pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan ............................................................ 44
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 46
A. Jenis Penelitian .............................................................. 46
B. Lokasi Penelitian ............................................................ 46
C. Jenis dan Sumber data ................................................... 47
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................. 48
E. Analisis Data .................................................................. 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................ 49
A. Kualifikasi perbuatan tindak pidana pencucian uang
menurut perundang-undangan hukum pidana ................. 49
B. Penerapan hukum pidana materil dan pertimbangan
hukum hakim terhadap tindak pidana pencucian uang
berdasarkan putusan nomor 64/Pid.Sus-
TPK/2015/PN.Sby ............................................................ 56
1. Identitas Terdakwa ...................................................... 56
2. Posisi Kasus ................................................................ 57
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ................................. 65
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ................................. 68
xiii
5. Amar Putusan .............................................................. .70
6. Analisis Penulis ............................................................ 73
C. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Pencucian Uang dalam Perkara Putusan No.
64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby ........................................... 74
1. Pertimbangan Hukum Hakim ....................................... 74
2. Analisis Penulis ............................................................ 78
BAB V PENUTUP ........................................................................... 80
A. Kesimpulan ....................................................................... 80
B. Saran .............................................................................. 83
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum
(recthsstaat) yang menjamin tinggi supremasi hukum, yang terefleksi
dalam penegakan hukum (enforcement of law) dan keadilan (equality)
berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Upaya ke arah tersebut dilakukan dengan cara: (1) mengadakan penataan
ulang lembaga kenegaraan; (2) peningkatan kualifikasi aparat Negara;
dan (3) penataan ulang perundang-undangan yang berlaku.1
Bergulirnya reformasi yang terjadi sejak tahun 1997 memberikan
harapan bagi tejadinya perubahan di segala aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara, yaitu politik, ekonomi, dan hukum. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara, perubahan yang diharapkan
adalah menuju penyelenggaraan pemerintahan Negara yang lebih
demokratis, transparan, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya
good governance dan kebebasan berbuat.2
Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah
dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mendorong terbangunnya
penyelenggaraan dan struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis,
serta jaminan kepastian hukum. Perubahan UUD 1945 sejak reformasi
1 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Surabaya: kencana, 2011, hlm.1. 2 Ibid, hlm 1.
2
telah dilakukan sebanyak empat kali, yaitu: Pertama, perubahan pertama
disahkan pada tanggal 19 0ktober 1999. Kedua, perubahan kedua
disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Ketiga, perubahan ketiga
disahkan pada tanggal 10 November 2001. Keempat, perubahan keempat
disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kenegaraan dan
sistem pemerintahan yang lebih transparansi, demokratis dan jaminan
kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan menuju pemerintahan
yang bersih dan berwibawa bebas dari pelanggaran norma etika, seperti
korupsi, kolusi, dan nepotisme.3
Mewujudkan kesejahteraan rakyat berkaitan dengan penegakan
hukum dalam suatu Negara. Hal tersebut jelas konsepsi Negara hukum
atau ‘Rechtsstaat’ pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1995 menyatakan, “Negara
Indonesia adalah Negara hukum”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara
Hukum yang disebutnya dengan istilah ’rechtsstaat’ itu mencakup empat
elemen penting yaitu (1) Perlindungan hak asasi manusia; (2) Pembagian
kekuasaan; (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan (4)
Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya
tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebut dengan istilah
“The Rule of Law”, yaitu: 1. Supremacy of Law; 2. Equality before the Law;
3. Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan
oleh Julius Stahl tersebut diatas pada pokoknya dapat digabungkan
3 ibid. hlm 2.
3
dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey
untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang.4
Implikasi Indonesia sebagai Negara Hukum ialah dengan
menegakkan hukum itu sendiri, salah satunya ialah hukum pidana. Hukum
pidana oleh banyak ahli dikatakan sebagai hukum publik. Yang
dimaksudkan sebagai hukum publik ialah hukum yang mengatur
hubungan antara individu dengan masyarakat/pemerintah. Maka dari itu
hukum pidana memainkan perannya sebagai penyeimbang dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan berdasarkan tujuan
hukum pidana yang mengandung makna pencegahan terhadap gejala-
gejala sosial yang kurang sehat. 5
Pembagian lebih lanjutnya hukum pidana secara cakupan aturan
dibagi menjadi dua bagian, hukum pidana umum dan hukum pidana
khusus. Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang dapat
diperlakukan terhadap setiap orang pada umumnya, sedangkan pidana
khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja.6 Sejak Indonesia
merdeka, aturan-aturan hukum pidana yang berlaku tidak saja termuat
dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aturan-aturan itu juga
terdapat di dalam undang-undang lain sebagai hukum tertulis tidak
dikodifikasi dan yang dikodifikasi. Mengembangkan aturan hukum pidana
mempunyai dasar hukum yang dicantumkan dalam pasal 103 KUHP.
Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan dari
4 http://jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf di unduh
pada tanggal19-januari-2017 pukul 18:58. 5 Syamsul Bachri, Pengantar Hukum Indonesia: Cetakan kedua, Makassar: ASPublishing, 2011, hlm 65. 6 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta:Sinar Grafika, 2010, hlm 1.
4
kedelapan Bab I dalam buku I berlaku juga atas peristiwa yang padanya
ditentukan pidana menurut ketentuan perundang lainnya kecuali kalau
dalam undang-undang atau peraturan pemerintah ditentukan lain.”
Berdasarkan ketentuan ini, dimungkinkan dibuat aturan hukum pidana
diluar KUHP dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, asalkan tidak
bertentangan dengan hukum pidana yang telah dimodifikasikan dalam
KUHP.7 Dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana umum ialah hukum
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sedangkan hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang diatur diluar
dari KUHP. Sudarto berpendapat, bahwa pembentukan undang-undang
pidana khusus yang mempunyai asas-asas hukum pidana umum tidak
menghilangkan kewajiban para pelaksana hukum untuk menghormati
asas hukum ‘tidak ada pidana tanpa kesalahan’ (Geen Straft Zonder
Schuld).8
Salah satu bagian dari tindak pidana khusus yang akan dibahas
adalah tindak pidana ekonomi. Hukum pidana menurut Andi Hamzah
adalah bagian dari hukum pidana, yang merupakan corak-corak tersendiri,
yaitu corak-corak ekonomi. Beberapa bagian dari hukum pidana ekonomi
yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan masih
banyak lagi yang terkait dengan perekonomian.
Salah satu tindak pidana ekonomi yang terjadi dewasa ini yaitu
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau lebih dikenal sebagai “money
laundering”. Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal
7 Syamsul Bachri, Op.Cit., hlm 82. 8 Ibid, hlm.21
5
sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika mafia membeli
perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya.9 Investasi
terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut Laundromats
yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat. Usaha pencucian pakaian ini
berkembang maju dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti
dari cabang usaha lainnya yang ditanamkan ke perusahaan pencucian
uang pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras illegal, hasil perjudian,
dan hasil usaha pelacuran10
Secara umum, money laundering merupakan metode untuk
menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu
tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi,
korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang
merupakan aktivitas tindak pidana.11 Kegiatan pencucian uang melibatkan
kegiatan pencucian uang yang sangat kompleks. Pada dasarnya kegiatan
tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi
seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement, layering, dan
integration.12
Pencucian uang dewasa ini sudah merambah berbagai aspek dan
berkembang sejalan dengan berkembangnya teknologi. Para pelaku
pencucian uang memanfaatkan teknologi sebagai alat dan penyedia jasa
keuangan/perbankan sebagai wadah untuk melakukan tindakan
pencucian uang. Kejahatan kerah putih atau yang biasa dikenal sebagai
9 Andrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 1 10 Ibid, hlm.2A 11 Husein Yunus, Upaya Pemberatasan Pencucian Uang, hlm.2 12 Ibid, hlm.2
6
white collar crime dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi
mulai dari manual hingga extra sophisticated atau super canggih yang
memasuki dunia maya (cyberspace) sehingga kejahatan kerah putih
dalam pencucian uang disebut dengan cyber laundering merupakan
bagian dari cybercrime yang didukung oleh pengetahuan tentang bank,
bisnis, dan electronic banking yang cukup.13
Karena perkembangan terhadap pencucian uang sangat pesat
khususnya dalam transaksi perbankan hingga merugikan perekonomian
Negara, maka pemerintah bersama DPR membuat beberapa Undang-
Undang mengenai masalah pencucian uang dalam transaksi perbankan
dengan harapan dapat meminimalisir dan/atau memberantas TPPU.
Beberapa Undang-Undang tersebut sebagai berikut: (1) UU Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang; (2) UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Bank Indonesia.
Tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa aturan lain yang
dapat menunjang terhadap pemberantasan pencucian uang.
Walaupun Pemerintah bersama DPR telah membuat beberapa
regulasi mengenai TPPU tetapi Pelanggaran terhadap tindak pidana
pencucian uang masih marak terjadi terkhususnya pada transaksi
perbankan. Maka pentingnya adanya kesadaran terhadap kewajiban dan
kerjasama berbagai pihak untuk membantu dalam pemberantas
Kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang. Maka dari itu penulis sangat
tertarik untuk mengkaji masalah ini.
13 Adrian Sutedi, Op.cit, hlm.100
7
Dengan mengambil contoh kasus pada hasil putusan Mahkamah
Agung dengan nomor: 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby. penulis mencoba
untuk membedah permasalahan TPPU tersebut dengan rumusan masalah
yang akan dipaparkan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, penulis tertarik
mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kualifikasi perbuatan tindak pidana pencucian uang
menurut perundang-undangan hukum pidana?
2. Bagaimana penerapan hukum pidana materil dan pertimbangan
hukum hakim terhadap tindak pidana pencucian uang
berdasarkan putusan nomor 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby
C. Tujuan Peneliatian
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kualifikasi perbuatan tindak pidana pencucian
uang menurut perundang-undangan hukum pidana
2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materil dan
pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana pencucian
uang berdasarkan putusan nomor 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan
sebagai bahan referensi sekaligus sebagai bahan wacana bagi
semua pihak yang berkepentingan dalam rangka
8
pengembangan ilmu pengetahuan secara umum dan
pengembangan hukum kepidanaan secara khusus dalam
bidang pencucian uang.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan
wawasan khasana ilmu pengetahuan bagi para penegak hukum
dalam menangani masalah mengenai pencucian uang terlebih
dalam transaksi perbankan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam alkitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah straftbaarfeit dan dalam
kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik,
sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau
tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung
suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk
dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum
pidana. Tindak pidana memiliki pengertian yang abstrak dari peristiwa-
peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak
pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan
jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat.
Moeljatno14 berpendapat bahwa, setelah memilih “perbuatan
pdana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit”, beliau memberikan
perumusan (pembatasan) sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut
dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan masyarakat sebagai
14 Andi Sofyan, Nur Azisa, Hukum Pidana, Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hlm.99.
10
perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan terciptanya tata
pergaulan masyarakat yang dicia-citakan oleh masyarakat itu.
Tindak pidana (delict) atau yang disebut juga peristiwa pidana ialah
suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai
peristiwa pidana kalau memenuhi unsur – unsur pidananya.15
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pada umumnya para ahli menyatakan unsur – unsur dari peristiwa
pidana yang juga disebut tindak pidana atau delik terdiri atas unsur
subjektif dan objektif.
Menurut R.Abdoel Djamali16, peristiwa pidana yang juga disebut
tindak pidana atau delict ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa peristiwa hukum
dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur – unsur
pidananya. Unsur –unsur tersebut terdiri dari
a. Unsur Objektif yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang
bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang
oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan
titik utama dari pengertian objektif adalah tindakannya.
b. Unsur Subjektif yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak
dikehendaki oleh undang – undang. Sifat unsur ini
mengutamakan adanya pelaku (seorang atau beberapa orang).
15 Abdullah Marlang, Irwansyah, dan Kaisaruddin, Pengantar Hukum Indonesia, Cet.2. Makassar:
ASPublishing, 2011. Hal.67 16 R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Pers, 2010, hlm.1
11
Unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana
menyatakan “tidak ada hukuman tanpa kesalahan” (Ananct
does not make a person guility unless the min is guility or actus
non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud
disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan
(intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld).
Menurut Lamintang17, unsur delik terdiri atas dua macam, yakni
unsur subjektif dan unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektif
adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan
pada diri si pelaku dan termasuk didalamnya segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsur
objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan – keadaan,
yaitu dalam keadaan ketika tindakan – tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan.
Unsur – unsur subjektif dari suatu tindakan itu adalah sebagai
berikut :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging
c. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain.
17 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,.Jakarta:Sinar Grafika, 2005, hlm.105
12
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad, seperti
yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal
340 KUHP.
e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan
tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur – unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai
berikut:
a. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai pegawai
negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan
sebagai pengurus suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP.
Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai
penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Tindak pidana dapat dibeda – bedakan atas dasar – dasar tertentu,
yaitu sebagai berikut:
1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan
(misddrijven) yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran
(overtredingen) yang dimuat dalam Buku III.
Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah
ancaman pidana pelanggaran jauh lebih ringan daripada
kejahatan.
13
2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana
formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel
delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan
yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan
tertentu. Sebaliknya, dalam rumusan tindak pidana materiil, inti
larangan adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh
karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah
yang dipertanggungjawabkan dan di pidana.
3. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (dolus) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpa).
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya dilakukan dengan kesengajaan. Sedangkan tindak
pidana tidak dengan sengaja adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya mengandung culpa atau kelalaian.
4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara
tindak pidana aktif/positif atau disebut juga tindak pidana komisi
dan tindak pidana pasif/negative atau disebut juga tindak pidana
omisi.
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya
berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang
untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari
anggota tubuh yang berbuat.Sedangkan tindak pidana pasif
14
adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak
pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya adalah berupa
perbuatan pasif.
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika (aflopende delicten) dan
tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/
berlangsung terus (voordurende dellicten).
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana
umum dan tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat
dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana metriil (Buku II
dan Buku III). Sedangkan tindak pidana khusus adalah tindak
pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP, misalnya Tindak
Pidana Korupsi (UU No.30 Tahun 2002), Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika (UU No.35 Tahun 2009)
7. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara
tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh semua orang) dan tindak pidana proria (dapat dilakukan
hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu).
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan,
maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana
aduan.
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk
dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya, tidak
15
diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak.Sedangkan
tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang dapat dilakukan
penuntutan apabila adanya pengaduan dari yang berhak, yakni
korban atau wakilnya dalam perkara perdata atau keluarga
korban.
9. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana
yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.
10. Berdasarkan kepentingan umum yang dilindungi, maka tindak
pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan
hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa
dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan,
tindak pidana terhadap nama baik, dan lain sebagainya.
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana
berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak
pidana dan dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali
perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP
adalah berupa tindak pidana tunggal. Sedangkan tindak pidana
berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian
16
rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan
dipidananya pelaku, diisyaratkan dilakukan secara berulang.18
B. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)
1. Sejarah dan Perkembangan Pencucian Uang (Money
Laundering)
Problematika pencucian uang yang dalam bahasa Inggris dikenal
dengan sebutan money laundering sekarang mulai sekarang mulai
dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau
kriminologi.19 Ternyata problematika uang haram ini sudah meminta
perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang
melanggar batas-batas Negara.20 Sebagai suatu fenomena kejahatan
yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan organized
crime, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan
dari lalu lintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian
yang ditimbulkan.21 Erat berkaitan dengan hal terakhir ini adalah dunia
perbankan yang pada satu sisi beroperasi atas dasar kepercayaan para
konsumen, namun pada sisi lain, apakah akan membiarkan kejahatan
pencucian uang ini terus merajalela.22
Al Capone, Penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang
hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai si genius Mayer Lansky,
orang Polandia. Lansky seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al
18 Amir Ilyas, Asas – Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang education & Pukab, 2012, hlm.28. 19 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan suatu tinjauan pencucian uang, merger, likuiditas, dan
kepailitan. Jakarta, 2007 20 Ibid. 21 Ibid. 22 Ibid.
17
Capone melalui usaha binatu (Laundry).23 Demikian asal muasal muncul
nama money laundering.
Istilah pencucian uang atau money laundering dikenal sejak tahun
1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika Mafia membeli perusahaan sah dan
resmi sebagai salah satu strateginya.24 Investasi terbesar adalah
perusahaan pencucian pakaian atau disebut Laundromat yang ketika itu
terkenal di Amerika Serikat.25 Usaha pencucian pakaian ini berkembang
maju, dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang
usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti
uang hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian, dan hasil pelacuran.
Pada tahun 1980-an uang hasil kejahatan semakin berkembang,
dengan berkembangnya bisnis haram seperti perdagangan narkotika dan
obat bius yang mencapai miliaran rupiah sehingga kemudian muncul
istilah narco dollar, yang berasal dari uang haram hasil perdagangan
narkotika.26
2. Pengertian Pencucian Uang (Money Laundering)
Tidak ada pengertian yang seragam dan komprehensif mengenai
pencucian uang atau money laundering. Masing-masing negara memilki
definisi mengenai pencucian uang sesuai dengsn terminologi kejahatan
menurut hukum negara yang bersangkutan. Pihak penuntut dan lembaga
penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-
negara yang telah maju dan negara-negara yang telah maju dan negara-
23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid. 26 Ibid.
18
negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi senidiri
berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Tetapi semua negara
sepakat, bahwa pemberantasan pencucian uang sangat penting untuk
melawan tindak pidana terorisme, bisnis narkoba, penipuan ataupun
korupsi.27
Terdapat beberapa pengertian mengenai pencucian uang (money
laundering). Secara umum, pengertian atau definisi tersebut tidak jauh
berbeda satu sama lain. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian
pencucian uang sebagai term used it describe investment or of other
transfer of money flowing from rocketeeting, drug transaction, and other
illegal source into legitimate channels so that is original source can not be
traced (pencucian uang adalah istilah untuk menggambarkan investasi di
bidang-bidang yang legal melalui jalur yang sah, sehingga uang tersebut
tidak dapat diketahui lagi asal usulnya). Pencucian uang adalah proses
menghapus jejak asal usul uang hasil kegiatan ilegal atau kejahatan
melalui serangkaian kegiatan investasi atau transfer yang dilakukan
berkali-kali dengan tujuan untuk mendapatkan status legal untuk uang
yang diinvestasikan atau dimusnahkan ke dalam system keuangan.28
Beberapa pengertian pencucian uang menurut para ahli:
(1) Menurut Welling
Pencucian uang adalah proses penyembunyian keberadaan
sumber tidak sah atau aplikasi pendapat tidak sah, sehingga
pendapatan itu menjadi sah. 27 Ivan Yustiavandana (dkk), Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Bogor: Ghalia
Indonesia. 2010, hlm 10 28 Ibid.
19
(2) Menurut Fraser
Pencucian uang adalah sebuah proses yang sungguh
sederhana dimana uang kotor di proses atau dicuci melalui
sumber yang sah atau bersih sehingga orang dapat menikmati
keuntungan tidak halal itu dengan aman.
(3) Menurut Prof. Dr. M. Giovanoli
Money laundering merupakan proses dan dengan cara seperti
itu, maka aset yang di peroleh dari tindak pidana
dimananipulasikan sedemikian rupa sehingga aset tersebut
seolah berasal dari sumber yang sah.
(4) Mr. J. Koers
Money laundering merupakan proses memindahkan kekayaan
yang di peroleh dari aktivitas yang melawan hukum menjadi
modal yang sah.
Pengertian pelaku tindak pidana pencucian uang menurut UU no. 8
Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang pada pasal (3) sebagai berikut: Setiap orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, dan mengibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang asing atau surat
berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana
20
pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).29
3. Tahap-tahap dan Proses Pencucian Uang
Untuk melaksanakan tindak pidana pencucian uang, para pelaku
memiliki metode tersendiri dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Walaupun setiap pelaku sering melakukan dengan menggunakan metode
yang bervariasi tetapi secara garis besar metode pencucian uang dapat
dibagi menjadi tiga tahap yaitu Placement, Layering, dan Integration.
Walaupun ketiga metode tersebut dapat berdiri sendiri atau mandiri
terkadang dan tidak menutup kemungkinan ketiga metode tersebut
dilakukan secara bersamaan.
Berikut adalah penjelasan dari metode pencucian uang tersebut:
(1) Placement
Tahap ini merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut
mendepositkan uang haram tersebut ke dalam system
keuangan (financial system). Karena uang itu sudah masuk ke
dalam system keuangan negara yang bersangkutan. Oleh
karena uang yang telah ditempatkan pada suatu bank itu
selanjutnya dapat dipindahkan ke bank lain, baik dinegara
tersebut maupun di negara lain, uang tersebut bukan saja telah
masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan,
29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
21
melainkan juga telah masuk kedalam sistem keuangan global
atau international.30
(2) Layering
Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari
sumbernya, yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap
transaksi keuangan untuk menyembunyikan dan menyamarkan
asal usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses perpindahan
dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil
placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang
kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan
jejak sumber dana tersebut.31
(3) Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang
telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan
ke dalam berbagai bentuk kekayaan materiil atau keuangan,
dipergunakan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu
mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan besarnya
biaya yang harus dilakukan karena tujuan utamanya adalah
untuk menyamarkan dan menghilangkan asal usul uang
sehingga hasil akhir dapat dinikmati atau dipergunakan secara
aman.32
30 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, Op.cit hlm 19. 31 Ibid. 32 Ibid.
22
Ketiga kegiatan tersebut diatas dapat terjadi secara terpisah atau
stimulan, namun secara umum dilakukan secara tumpang tindih, Modus
Operandi pencucian uang dari waku ke waktu semakin kompleks dengan
menggunakan tekhnologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal
ini terjadi, baik pada tahapan placement, layering, maupun integration
sehingga penangnanannya pun menjadi semakin sulit dan membutuhkan
peningkatan kemampuan (capacity building) secara sistematis dan
berkesinambungan, pemilihan modus operandi pencucian uang
bergantung pada kebutuhan pelaku tindak pidana.
4. Dasar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang
Saat ini yang menjadi dasar hukum pencucian uang adalah
“Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” (UU 8/2010), dimana
undang-undang tersebut menggantikan undang-undang sebelumnya yang
mengatur pencucian uang yaitu, “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002”
(UU 15/2002) sebagaimana telah diubah dengan “Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003” (UU 25/2003)
5. Metode Pencucian Uang (Money Laundering)
Perlu pula diketahui bagaimana para pelaku money laundering
melakukan pencucian uang, sehingga bisa dicapai dari hasil uang ilegal
menjadi uang legal. Secara metodik dapat dikenal tiga metode dalam
money laundering yaitu:
23
(1) Metode buy and sell conversion
Metode ini dlakukan melalui transaksi barang-barang dan jasa.
Katakanlah suatu aset dapat di beli dan di jual kepada
konspirator yang bersedia membeli atau menjual secara lebih
mahal dari normal dengan mendapatkan fee atau diskon. Selisih
harga dibayar dengan uang ilegal dan kemudian dicuci dengan
cara transaksi bisnis. Barang dan jasa itu dapat diubah seolah-
olah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau
perusahaan yang ada di suatu bank.
(2) Metode offshare conversion
Dengan cara ini suatu uang kotor dikonversi ke suatu wilayah
yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi
penghindar pajak (tax heaven money laundering centres) untuk
kemudian di deposit di bank yang berada di wilayah tersebut. Di
negara-negara yang berciri tax heaven demikian memang
terdapat sistem hukum perpajakan yang tidak ketat, terdapat
sistem rahasia bank yang sangat ketat, birokrasi bisnis yang
cukup mudah untuk memungkinkan adanya rahasia bisnis yang
ketat serta pembentukan usaha trust fund. Untuk mendukung
kegiatan demikian, para pelakunya memakai jasa-jasa
pengacara, akuntan, dan konsultan keuangan dan para
pengelola yang handal untuk memanfaatkan segala celah yang
ada di negara itu.
24
(3) Metode legitimate business convertions
Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai
cara pengalihan atau pemanfaatan dari suatu hasil uang kotor,.
Hasil uang kotor ini kemudian dikonvensi dengan cara
ditransfer, cek atau cara pembayaran lain untuk disimpan di
rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank
lainnya. Biasanya para pelaku bekerja sama dengan suatu
perusahaan yang rekeningnya dapat dipergunakan untuk
menampung uang kotor tersebut.33
6. Kriminalisasi Pencucian Uang
Menurut Guy Stessen34 (2000), secara umum, ada tiga alasan
pokok mengapa praktik pencucian uang diperangi dan dinyatakan sebagai
tindak pidana.
Pertama, karena pengaruhnya pada sistem keuangan dan ekonomi
diyakini berdampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya
dana. Dengan adanya praktik pencucian uang, maka sumber daya dan
dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat
merugikan masyarakat, disamping itu dana banyak yang kurang
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi karena uang hasil tindak
pidana terutama diinvestasikan pada negara yang dirasakan aman untuk
mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah. Uang hasil tindak
pidana ini dapat saja beralih dari suatu negara yang perekonomiannya
baik ke perekonomiannya kurang baik. Karena pengaruh-pengaruh
33 Siahaan, Money Laundering dan kejahatan perbankan. Jakarta: Jala, hlm 26. 34 Amin Widjaya Tunggal, Pencegahann Pencucian Uang, Jakarta: Harvarindo, 2014.
25
negatifnya pada pasar financial dan dampaknya dapat mengurangi
kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional, praktik
pencucian uang dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada perekonomian
internasional, dan kejahatan terorganisir yang melakukan pencucian uang
dapat juga membuat ketidakstabilan ekonomi nasional. Flukturasi yang
tajam pada nilai tukar dan suku bunga mungkin juga merupakan akibat
negatif dari praktik pencucian uang. Dengan berbagai dampak negatif itu
diyakini bahwa praktik pencucian uang dapat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dunia.
Kedua, dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak
pidana akan lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk
menyita hasil tindak pidana yang kadangkala sulit disita, misalnya aset
yang susah dilacak atau sudah dipindahtangankan pada pihak ketiga.
Dengan pendekatan follow the money, kegiatan menyembunyikan atau
menyamarkan uang hasil tindak pidana dapat dicegah dan diberantas.
Dengan kata lain, orientasi pemberantasan tindak pidana sudah beralih
dari “menindak pelakunya” kearah menyita “hasil tindak pidana”. Dibanyak
negara dengan menyatakan praktik pencucian uang sebagai tindak pidana
merupakan dasar bagi penegak hukum untuk mempidanakan pihak ketiga
yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.
Ketiga, dengan dinyatakannya praktik pencucian uang sebagai
tindak pidana dan dengan adanya kewajiban pelaporan transaksi
keuangan, maka hal ini akan lebih memudahkan bagi para penegak
hukum untuk menyelidiki kasus pidana pencucian uang sampai kepada
26
tokoh yang ada dibelakangnya. Tokoh ini sulit dilacak dan ditangkap
karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada pelaksanaan suatu
tindak pidana, tetapi banyak menikmati hasil tindak pidana.35
7. Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak
Pidana Umum
Penanganan tindak pidana pencucian uang sebagaimana halnya
tindak pidana lainnya yang pada umumnya ditangani kejaksaan dimulai
dengan menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP)
berdasarkan ketentuan pasal 110 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Selanjutnya, berjalan sebagaimana
acara yang berlaku sesuai ketentuan dalam KUHAP.
Perlu diingat bahwa tindak pidana pencucian uang ini tidak berdiri
sendiri karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan
dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada
tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime). Hal ini dapat kita
ketahui dari rumusan pasal 2, yaitu harta kekayaan yang asal usulnya
atau diperoleh dari tindak pidana tersebut (pasal 2 ayat (1) a-z) adalah
hasil tindak pidana.
Timbul suatu pertanyaan, bagaimana tindakan penanganan
pencucian uang sehubungan dengan penjelasan diatas, (karena asalnya
juga dari tindak pidana)? Apakah predicate crime diperiksa dahulu dan
dibuktikan, bar tindak pidana pencucian uangnya diperiksa? Dalam tindak
pidana pencucian uang tidak demikian karena sudah dijelaskan
35 Ibid
27
jawabannya, yaitu dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 UU no 25 Tahun 2003
yang berbunyi: “terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil
tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana
pencucian uang”.
8. Dampak Kejahatan Pencucian Uang
Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-
organisasi kejahatan dan oleh para penjahat individual sangat merugikan
masyarakat. Karena itu banyak negara berupaya memerangi kejahatan
ini. Beberapa dampak kejahatan pencucian uang terhadap masyarakat,
yakni:
(1) Pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar
narkoba, para penyelundup, dan para penjahat lainnya untuk
dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan
meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya
dan biaya perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para
korban atau pecandu narkotik.
(2) Kegiatan pencucian uang mempunyai potensi untuk meronrong
keuangan masyarakat (financial community) sebagai akibat
sedemikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan
tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat
bersamaan dengan peredaran jumlah uang haram yang sangat
besar.
28
(3) Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak
dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak
yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
Beberapa dampak makro ekonomis yang ditimbulkan oleh
pencucian uang adalah distribusi pendapatan. Kegiatan kejahatan
mengalihkan pendapatan dari penyimpan dana terbesar (high saver)
kepada penyimpan dana terendah (low Saver), dari investasi yang sehat
pada investasi yang beresiko dan berkualitas rendah. Hal yang membuat
pertumbuhan ekonomi terpengaruh. Misalnya terdapat bukti bahwa dana
yang berasal dari tax evasions di Amerika Serikat cenderung disalurkan
pada investasi yang beresiko tinggi, tetapi memberikan hasil yang tinggi di
sektor bisnis kecil. Beberapa tax evasions yang terjadi di sektor ini
terutama pada kecurangan (fraud), penggelapan (embezelment), dan
perdagangan saham melalui orang dalam (insider trading) berlangsung
secara cepat dan merupakan bisnis yang menguntungkan di sektor bisnis
kecil ini.36
Beberapa kerugian akibat pencucian uang menurut Drs. Amin
Widjaja Tunggal, Ak, CPA, MBA sebagai berikut:
(1) Meronrong sektor swasta yang sah (Undermining the Legimite
Private Sector).
(2) Meronrong integritas pasar keuangan (Undermining the Integrity
of Financial Market). Lembaga keuangan (financial institution)
36 Adrian Sutedi. Loc cit.
29
yang mengandalkan dana hasil kejahatan dapat menghadapi
bahaya likuiditas.
(3) Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap
kebijakan ekonominya (Loss of control of economic policy).
(4) Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (Economic
Distorion and Instability).
(5) Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak
(Loss of Revenue).
(6) Membahayakan upaya privatisasi perusahaan negara yang
dilakukan oleh pemerintah (Risk of Privatization Efforts).
(7) Menimbulkan rusaknya reputasi negara (Reputation Risk).
(8) Menimbulkan biaya sosial (social Cost) yang tinggi.
9. Rezim anti Pencucian Uang
1) International
Setelah PBB mengeluarkan sejumlah konvensi mengenai anti
pencucian uang, negara-negara melanjutkan upaya gerakan international
anti pencucian uang ke dalam bentuk kerjasama yang lebih nyata dan
spesifik. Sejumlah negara Eropa mengadakan pertemuan dan melahirkan
sejumlah kesepakatan internasional yang meliputi pembentukan forum
koordinasi dan lembaganya yang bekerja dalam waktu yang lama dalam
upaya pemberantasandan pencegahan pencucian uang.
Berikut adalah beberapa organisasi anti pencucian uang
Internasional:
30
a. Egmont Group
Egmont adalah nama sebuah tempat di Brussel Belgia dimana para
badan-badan perwakilan pemerintah dan organisasi international
pada juni 1995 bertemu untuk mendiskusikan pencucian uang dan
cara untuk memeranginya. Hasil pertemuan ini menghasilkan
inisiatif pembentukan wadah yang dapat mempersatukan gerakan
international anti pencucian uang dan pembiayaan terorisme dalam
sebuah wadah yang dikenal sebagai Egmont Group.
b. Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF)
Egmont Group menyadari bahwa forum internasional tidaklah
memadai untuk menjaga konsistensi upaya pemberantasan dan
pencegahan pencucian uang. Egmont Group kemudian
memformalisasikan upaya pemberantasan dan pencegahan
pencucian uang pada tingkat international melalui kelembagaan
institutive koordinatif. Badan itu akan mengkoordinasikan
mengevaluasi pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan
pencucian uang. Badan itu juga dapat melakukan pelabelan status,
hingga memberikan tindakan balasan pada negara-negara yang
tidak dapat diajak bekerjasama dalam memberantas dan mencegah
pencucian uang. Untuk itu dibentuklah Financial Action Task Force
on Money Laundering (FATF) oleh kelompok 7 Negara (G-7) dalam
G-7 summit di Paris, Perancis pada bulan Juli 1989.
c. Asia Pasific Group on Money Laundering (APG)
Asia Pasific Group on Money Laundering secara resmi didirikan
pada Februari 1997 di Bangkok, pada symposium pencucian uang
31
asia-pasifik. Pembentukan APG ini merupakan titik puncak
kesadaran yang terus menguat yang dibangun oleh FATF di
seluruh dunia, termasuk dikawasan Asia Pasifik. Globalisasi dan
masifikasi gerakan anti pencucian uang sebagai jawaban atas
canggihnya modus dn teknik dan meluasnya pencucian uang.37
Dan masih banyak lagi organisasi anti pencucian international yang
berada di belahan dunia.
2) Domestik
Di Indonesia rezim anti pencucian uang pertama kali di mulai ketika
di Undang-Undangkannya mengenai pemberantasan dan pencegahan
tindak pidana pencucian uang. Peraturan mengenai anti pencucian uang
tersebut terus berkembang mengikuti kebutuhan dan perkembangan
Indonesia. Berikut peraturan mengenai anti pencucian uang di Indonesia:
a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang pemberantasan
dan pencegahan tindak pidana pencucian uang. Salah satu
faktor diberlakukannya peraturan mengenai anti pencucian uang
di Indonesia dikarenakan tuntutan International untuk segera
membuat Undang-Undang mengenai anti pencucian uang.
Indonesia sempat dimasukkan kedalam daftar hitam (black list)
sebagai negara yang tidak berkoordinasi dalam pemberantasan
tindak pidana pencucian uang. Maka dari itu Indonesia segera
membentuk aturan tersebut agar berlaku di Indonesia.
37 Ivan Yustisiavandana, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Bogor: Ghalia Indonesia,
Op. cit. hlm. 98. Periksa juga Raihan Dirham, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering) dalam Transaksi Perbankan, Skripsi Fakultas Hukum UNHAS, Makassar, 2015, hlm.25
32
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pengganti
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang pemberantasan
dan pencegahan tindak pidana pencucian uang. Setelah
Indonesia membuat Undang-Undang tentang anti pencucian
uang Indonesia belum sepenuhnya keluar dari daftar hitam (back
list) FATF dan masih dalam pengawasan. Indonesia masih
terancam masuk ke dalam datar hitam karena undang-undang
tentang anti pencucian uang yang telah di undang-undangkan
belum memenuhi kriteria yang dibentuk oleh FATF. Karena itu
Indonesia segera membuat peraturan yang baru yaitu UU Nomor
23 Tahun 2003.
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana
pencucian uang sebagaimana telah diubah dari Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002. Setelah 7 Tahun Indonesia telah menjalankan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2003. Indonesia kembali
memperbaharui Undang-Undang mengenai pemberantasan dan
pencegahan pencucian uang yang di Undang-Undangkan pada
tahun 2010. Ini menandakan bahwa Indonesia dengan serius
menanggapi masalah pencucian uang yang terus berkembang di
berbagai aspek.
Dalam UU terbaru ini Indonesia lebih menekankan pada:
1. Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang
menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
33
membayarkan, mengibahkan, menitipkan, membawa keluar
negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan.
2. Tindak pidana pencucian pasif yang dikenakan pada setiap
orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran atau penggunaan harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) hal tersebut dianggap
juga sama dengan melakukan penncucian uang. Namun,
dikecualikan bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban
pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
3. Dalam pasal 4 UU RI Nomor 8 Tahun 2010, dikenakan pula bagi
mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang
yang dikenakan kepada setiap orang yang menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan
34
pencucian uang. Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian
uang yakni mulai dari hukuman penjara maksimum 20 tahun
dengan denda paling banyak 10 miliyar rupiah.
10. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
1) Kelembagaan PPATK
Setelah hadirnya UU TPPU di Indonesia, menjadi suatu hal yang
wajib untuk dijalankan untuk membentuk FIU (Financial Intelegent Unit)
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU di suatu negara. Hal
tersebut juga tertera dalam 40 Recomendation FATF.
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 secara tegas
mengamanatkan pendirian PPATK sebagai lembaga sentral (focal point)
yang mengkoordinasikan pelaksanaan UU TPPU. PPATK diresmikan
pada tanggal 17 Oktober 2003 oleh Menteri Koordinator Politik dan
Keamanan, dan mulai saat itu telah beroperasi secara penuh.
Sebelum PPATK beroperasi secara penuh tersebut, tugas
menerima laporan dari industry perbankan dilakukan oleh Unit Khusus
Investigasi Perbankan, Bank Indonesia
Berbagai upaya dilakukan untuk menunjang operasionalisasi
PPATK, antara lain dengan dikeluarkannya Keppres No.81 Tahun 2003
tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja PPATK, Keppres No.82 Tahun
2003 tentang Pelaksanaan Kewenangan PPATK, Keppres No.3 Tahun
2004 tentang Sistem Kepegawaian PPATK
35
Rancangan Keppres Tentang Sistem Penggajian dan Renumerasi
PPATK hingga saat ini belum disahkan. Saat ini PPATK dipimpin oleh
seorang Kepala dan 4 (empat) orang Wakil Kepala yang diangkat
berdasarkan Keputusan Presiden dan diambil sumpahnya di hadapan
Ketua Mahkamah Agung. Untuk kelancaran operasionalisasi PPATK,
Pemerintah RI menyediakan anggaran melalui mekanisme APBN.
Untuk melengkapi ketentuan yang telah dikeluarkan oleh otoritas
pengawas PJK, khususnya yang terkaitdengan penerapan KYC, PPATK
jugamengeluarkan 6 (enam) pedoman yang dimaksudkan untuk
memudahkan PJK dalam melakukan kewajiban pelaporan kepada PPATK
dalam bentuk Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan
Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT).
Sejak beroperasi penuh pada tanggal 17 Oktober 2003, PPATK
telah dapat menerima LTKM secara langsung dari PJK. Penyampaian
LTKM oleh PJK dapat dilakukan baik secara manual maupun on-
line.Jumlah LTKM yang diterimaoleh PPATK menunjukkan tendensi yang
meningkat, demikian pula halnya dengan jumlah PJK yang telah
menyampaikan laporan. Dalam kurun waktu 29 bulan sebelum
beroperasinya PPATK secara penuh pada 17 Oktober 2003, terdapat 291
LTKM yang telah diterima melalui Bank Indonesia.
Sementara itu per posisi 17 Juni 2005, jumlah PJK yang
menyampaikan LTKM tercatat sebanyak 90 bank umum, 1 BPR dan 16
lembaga keuangan nonbank (perusahaanasuransi, sekuritas, pedagang
36
valuta asing, lembaga pembiayaan dan dana pensiun) dengan total 2159
LTKM.
Sementara itu untuk LTKT, PPATK hingga tanggal yang sama telah
menerima 1.252.689 LTKT dari 107 bank umum, 18 PVA, 7 BPR dan 1
perusahaan asuransi. Penyampaian LTKM dan LTKT dilakukan secara
manual maupun on-line.
Untuk kelancaran jalannya operasional PPATK dan memudahkan
PJK dalam memenuhi kewajiban pelaporannya, telah dikembangkan
system pelaporan yang disebut dengan TRACeS (Transaction Report
Acquisition Electronic System) sejak tahun 2003. TRACeS merupakan
system informasi pelaporan yang yang dapat dilakukan oleh PJK secara
on-line.Sementara itu, guna menunjang tugas analisis, saatini PPATK
telah memiliki analytical tools dan data warehouse yang akan terus
dikembangkan di kemudian hari.38
2) Peran pusat dan pelaporan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) di Indonesia memiliki peran
penting dalam penelusuran aset hasil kejahatan melalui pendekatan follow
the money. Peran penting dan strategis PPATK dalam program assets
recovery terutama dalam hal pemberian informasi intelijen di bidang
keuangan untuk keperluan penelusuranaset (assets tracing), baik
38 Raihan Dirham, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering) dalam Transaksi
Perbankan, Skripsi Fakultas Hukum UNHAS, Makassar, 2015, Op. cit. hlm.63
37
padawaktu proses analisis transaksi keuangan maupun pada saat proses
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terdakwa di sidang peradilan.
Pemegang peranan kunci dari mekanisme pemberantasan tindak
pidana pencucian uang di Indonesia ada di tangan PPATK. Karena, jika
PPATK tidak menjalankan fungsinya dengan benar, maka efektifitas dari
pelaksanaan undang-undang PPTU tidak akan tercapai. Dalam
melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai wewenang sebagai berikut:
a. Meminta dan menerima laporan dari penyedia jasa keuangan.
b. Meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau
penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah
dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum.
c. Melakukan audit terhadap jasa keuangan mengenai kepatuhan
kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
terhadap pedoman pelaporan terhadap transaksi keuangan.
d. Memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai
transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai.39
C. Perbankan
1. Pengertian Hukum Perbankan
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum perbankan adalah
hukum hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
perbankan. Tentu untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam
mengenai pengertian hukum perbankan tidaklah cukup hanya dengan
memberikan suatu rumusan yang demikian. Oleh karena itu, perlu
39 Yustia Vandana, Ivan (dkk). Op. cit.
38
dikemukakan beberapa pengertian hukum perbankan dari para ahli hukum
perbankan.
Menurut Muhammad Djumhana, hukum perbankan adalah sebagai
kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan
bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan
eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.
Sedangkan Munir Fuady merumuskan hukum perbankan adalah
seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur
masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya
sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku
petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab para
pihak yang bersangkutan dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang
berkenaan dengan dunia perbankan.
Bertitik tolak dari pengertian perbankan sebagai segala sesuatu
yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses melaksanakan kegiatan usahanya, maka pada
prinsipnya hukum perbankan adalah keseluruhan norma-norma tertulis
maupun norma-norma tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang
mengatur tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses melaksanakan kegiatan usahanya. Berkaitan dengan
pengertian ini, kiranya dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
norma-norma tertulis dalam pengertian di atas adalah seluruh peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai bank, sedangkan norma-
39
norma yang tidak tertulis adalah hal-hal atau kebiasaan-kebiasaan yang
timbul dalam praktik perbankan.40
2. Asas-asas hukum perbankan
Dalam melaksanakan kemitraan antara bank dengan nasabahnya,
untuk terciptanya sistem perbankan yang sehat, kegiatan perbankan perlu
dilandasi dengan beberapa asas hukum (khusus) yaitu :41
a. Asas Kerahasiaan
Asas kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau
mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut
kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Kerahasiaan ini adalah
untuk kepentingan bank sendiri karena bank memerlukan kepercayaan
masyarakat yang menyimpan uangnya di bank.Dalam Pasal 40 UU
perbankan menyatakan bahwa bank wajib merahasiakan informasi
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Ketentuan rahasia bank
ini dapat dikecualikan dalam hal tertentu yakni, untuk kepentingan
perpajakan, penyelesaian piutang bank, peradilan pidana, perkara perdata
antara bank dengan nasabahnya, tukar menukar informasi antara bank
atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan dana.
b. Asas Kehati-hatian (Prudential Principle)
Asas Kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa
bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib
40 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Ed. Pertama, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2015. Hlm.39-40 41 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia,(Jakarta:PT.Garamedia Pustaka
Utama,2003), hlm.14-18
40
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana
masyarakat yang dipercayakan padanya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2
Undang-undang Perbankan bahwa perbankan Indonesia dalam
melaksankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan asas kehati-hatian. Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-
hatian tidak lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat. Dengan
diberlakukannya prinsip kehati-hatian diharapkan agar kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga masyarakat
bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.
3. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Custumer Principles)
Salah satu pelaksanaan prinsip kehati-hatian pada bank (prudential
principle) adalah penerapan prinsip mengenal nasabah atau yang lebih
dikenal dengan Know Your Customer Principles pada setiap transaksi
perbankan. Hal ini dijelaskan dalam peraturan Bank Indonesia Nomor
3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah. Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles) adalah suatu prinsip yang
mewajibkan bank untuk terlebih dahulu mengenali nasabahnya sebelum
melakukan transaksi dengan nasabah yang bersangkutan. Prinsip
mengenal nasabah tidak hanya berlaku bagi lembaga perbankan saja,
tetapi juga berlaku bagi lembaga keuangan non bank. Ketentuan prinsip
mengenal nasabah untuk lembaga keuangan non bank dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang mengawasi kegiatan masing-masing
perusahaan jasa keuangan di Indonesia. Departemen Keuangan (Depkeu)
mengeluarkan keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 45/KMK06/
41
2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga
Keuangan Non Bank, seperti perusahaan asuransi dan dana pensiun.
Untuk lembaga di bawah pasar modal, yang berlaku adalah keputusan
ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Nomor 2 Tahun 2003
tentang Prinsip Mengenal Nasabah.
Sebagai salah satu entery bagi masuknya uang hasil tindak
kejahatan, bank atau perusahaan jasa keuangan lain harus mengurangi
risiko dipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan cara
mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan
memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan
yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak
yang menggunakan jasa bank atau perusahaan jasa keuangan lain.
Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih dikenal umum dengan
Know Your Costumer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan
bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian
uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk
melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai resiko
dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau perusahaan
jasa keuangan lain harus mengenali para nasabah, agar bank atau
perusahaan jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan pencucian
uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan Rekomendasi FATF, yang
merupakan prinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles for
Effective Banking Supervison dan Basel Committee. Pengenalan terhadap
42
para nasabah harus dilakukan mulai dari identitas nasabah, prosedur
penerimaan nasabah, pemantauan nasabah secara continue, dan
kemudian perlaporan terhadap para pihak yang berwenang. Bank
Indonesia selama ini telah mengharuskan kepada lembaga perbankan
untuk mengenali nasabahnya.
Disektor perbankan inisiatif untuk memerangi pencucian uang
secara aktif dan serius telah dimulai dengan penerapan prinsip mengenal
nasabah dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai
berikut.
1. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana
pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003.
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni
2001 tentang tentang penerapan Prinsip mengenal Nasabah (Know
Your Costumer Principles).
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal 13
Desember 2001 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/10/PBI/2001 tentang penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Costumer Principles).
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tanggal 17
Oktober 2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Principles).
43
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/23/PBI/2003/ tanggal 23
Oktober 2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Costumer Principles) bagi Bank Perkerditan Rakyat.
6. Surat Edaran Nomor 3/29/DPNP tanggal 13 Desember 2001 perihal
Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
7. Surat Edaran Nomor 5/32/DPNP tanggal 4 Desember 2003 perihal
perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/29/DPNP.
8. Surat Edaran Nomor 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004
perihal penilaian dan pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah dan kewajiban lain terkait dengan Undang-
Undang tentang Tindak Pidana pencucian Uang.
Penerapan ketentuan tersebut dilakukan berdasarkan antara lain
40 rekomendasi FATF dan Core Principle Nomor 15 dari Basel Committee
on Banking Supervision.
Apabila menengok kebelankang, Prinsip Mengenal nasabah di
Indonesia lahir sekitar tanggal 18 Juni 2002, saat Bank Indonesia
mengeluarkan peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang
prinsip mengenal nasabah (Know Your Costumer Principles). Latar
belakang bank Indoensia mengeluarkan Peraturan Bank Indoenesia (PBI)
tersebut adalah karena semakin berkembangnya kegiatan usaha
perbankan sehingga bank dihadapakan pada berbagai resiko, baik resiko
oprasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi maupun resiko reputasi.
Ketidakcukupan prinsip mengenal nasabah, selain dapat memperbesar
44
resiko yang dihadapi bank, juga dapat mengakibatkan kerugian keuangan
yang siknifikan bagi bank, baik dari sisi aktifa maupun pasifa.
4. Kewajiban Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan Penyedia Barang dan/atau
Jasa lain (PBJ) dan Profesi. Kewajiban pelaporan transaksi keuangan
oleh Pihak Pelapor tidak dijadikan sebagai sarana oleh para pelaku
kejahatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan
hasil tindak pidana.
Dalam Rezim Anti Pencucian Uang pihak pelapor merupakan front
liner yang memiliki peran strategis untuk mendeteksi adanya transaksi
keuangan mencurigakan ataupun melaporkan transaksi tertentu sesuai
dengan ketentuan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU).
Berdasarkan UU PPTPPU, selain kewajiban, terdapat pula perlindungan
khusus bagi pihak pelapor. Kewajiban indentifikasi transaksi keuangan
dan pelaporan oleh pelapor juga merupakan bagian dari penerapan
prinsip kehati-hatian dan bagian dari manajemen risiko, untuk mencegah
digunakannya PJK/PBJ sebagai sarana ataupun sasaran pencucian uang
oleh nasabah/pihak pengguna jasa. Dalam hal ini, menghindarkan diri
bagi PJK dan PBJ terhadap resiko reputasi, resiko operasional, resiko
hukum dan resiko konsentrasi.42
Pihak Pelapor sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat 1 UU UU
PPTPPU meliputi :
a. Penyedia Jasa Keuangan (PJK), dan
42 http://ppatk.mkitech.co.id/pelaporan/read/12/faq.html
45
1. Bank
2. Perusahaan Pembiayaan
3. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Pialang Asuransi
4. Dana Pensiun Lmebaga Keuangan
5. Perusahaan Efek
6. Manajer Investasi
7. Kustodian
8. Wali Amanat
9. Perposan sebagai Penyedia Jasa Giro
10. Pedagang Valuta Asing
11. Penyelenggara Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
12. Pemyelenggara e-money atau e-wallet
13. Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam
14. Pegadaian
15. Perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka
komoditi; atau
16. Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang
b. Penyedia Barang dan/atau Jasa lain (PBJ)
1. Perusahaan property/agen property
2. Pedagang kendaraan bermotor
3. Pedagang permata dan perhiasan/logam mulai
4. Pedagang barang seni dan antic
5. Balai lelang
Pihak Pelapor sebagaimana di atas dapat diperluas dengan
Peraturan Pemerintah.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka metode
penelitian yang akan penulis gunakan adalah metode penelitian normatif
yaitu penelitian yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada atau apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Law in book) atau hukum
yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Surabaya dan Makassar. Melihat
dari jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu metode penelitian normatif
yang kebanyakan membahas mengenai norma-norma hukum dan
kepustakaan maka penelitian akan dilakukan pada:
(1) Perpustakaan, untuk menunjang teori-teori dan doktrin-doktrin
yang akan penulis angkat maka diperlukan banyak referensi
yang terdapat pada perpustakaan.
(2) Pengadilan, penulis mengambil dan menganalisis Kasus
Putusan dari Pengadilan Negeri Surabaya.
47
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikuti
atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan
perundang-undangan, dan putusan hakim.
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang
(3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia
b. Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang
tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum
primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para
pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara
khusus yang akan memberikan petunjuk kemana peneliti akan
mengarah.
2. Sumber Data
Adapun sumber data penelitian ini, yaitu:
a. Sumber Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu
sumber data yang diperoleh dari hasil penelaahan beberapa
literature dan sumber bacaan lainnya yang dapat mendukung
penulisan skripsi ini.
b. Sumber Penelitian Lapangan (Field Reseacrh), yaitu sumber
data lapangan sebagai salah satu pertimbangan hukum dari
48
para penegak hukum yang menangani kasus ini dan
masyarakat turut serta diresahkan akibat terjadinya tindak
pidana ini.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Teknik Kepustakaan, yaitu suatu teknik penelaahan normati dari
beberapa peraturan perundang-undangan dan berkas-berkas
putusan pengadilan yang terkait dengan tindak pidana ini serta
penelaahan beberapa literatur yang relevan dengan materi yang
dibahas.
2. Teknik Wawancara (Interview), yaitu dengan cara melakukan
tanya jawab kepada pihak-pihak yang terkait ataupun yang
menangani dengan tindak pidana ini, antara lain Hakim dan
para ahli yang memahami kasus tersebut, serta pihak lain yang
turut andil dalam terjadinya tindak pidana ini.
E. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian ini disusun dan
dianalisis secara kualitatif, kemudian selanjutnya data tersebut diuraikan
secara deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami
secara jelas dan terarah untuk menjawab permasalahan yang penulis
teliti.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kualifikasi Perbuatan Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut
Perundang-Undangan Hukum Pidana
Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu
kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan
merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai
dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up
crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan atau kejahatan
asalnya disebut sebagai predicate offence atau core crime atau ada
negara yang merumuskan sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal
yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No.8 Tahun 2010
disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang tersebut. Dalam pengertian, ini unsur-unsur yang
dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta
unsur merupakan hasil tindak pidana.
Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat
ketentuan dalam pasal (3), (4) dan (5) UU No.8 Tahun 2010. Intinya
adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk
kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan
sengaja menempatkan, mentransfer mengalihkan, membelanjakan,
50
membayarkan mengibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tidak pidana dengan tujuan menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang
menerima dan menguasainya.
Para pakar telah menggolongkan proses pencucian uang (money
laundering) ke dalam tiga tahap, yakni:
Tahap Placement: tahap dimana menempatkan dana yang
dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan
uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang
ditempatkan dalam suatu bank, akan kemudian uang tersebut akan masuk
ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Jadi misalnaya
melalui penyelundupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu
negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang bersifat
ilegal itu dengan uang diperoleh secara legal. Variasi lain dengan
menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, ke dalam saham,
mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing.
Tahap Layering: yang dimaksud dengan tahap layering ialah tahap
dengan cara pelapisan. Berbagai cara dapat dilakukan melalui tahap ini
yang tujuannya menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya ataupun asal-
usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa
rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara lain dan dapat
dilakukan berkali-kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan
51
maksud mengaburkan asal usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta
asing, membeli saham, melakukan transaksi derivatif, dan lain-lain.
Seringkali kali pula terjadi bahwa si penyimpan dana itu sudah merupakan
lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan
menyimpan sebelumnya. Bisa juga cara ini dilakukan misalnya si pemilik
uang kotor meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai
untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal. Dengan melakukan
cara seperti ini, maka kelihatan bahwa kegiatan usahanya yang secara
legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari
perolehan kredit bank tadi.
Tahap Integration: merupakan tahap menyatukan kembali uang-
uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering
di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam
berbagai kegiatan-kegiatan legal. Dengan cara ini akan tampak bahwa
aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-
kegiatan ilegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor
itu telah tercuci. (sumber,http://72legalogic.wordpress.com)
Dari penjelasan di atas, dapt disimpulkan bahwa tujuan pelaku
melakukan pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau
menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk
selanjutnya dapat digunakan. Jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan
saja tapi mengubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk
tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan
kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa dalam berbagai
52
kejahatan di bidang keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan
dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar
terhindar dari tuntutan hukum.
1. Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang
Dari defenisi tindak pidana pencucian uang sebagaimana di
jelaskan diatas, maka tindak pidana pencucian uang mengandung unsur-
unsur sebagai berikut :
1. pelaku
2. perbuatan (transaksi keuangan atau financial) dengan maksud
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan dari bentuknya yang tidak sah (ilegal) seolah-olah
menjadi harta kekayaan yang sah (legal).
3. merupakan hasil tindak pidana
Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: unsur objektif
(actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif (actus reus)
dapat dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyum-
bangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau
perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur subjektif (mens rea) dilihat dari
perbuatan seseorang yang dengan sengaja, mengetahui atau patut
menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan
maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
53
Ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2010 terkait
perumusan tindak pidana pencucian uang menggunakan kata “setiap
orang” dimana dalam pasal 1 angka (9) ditegaskan bahwa Setiap orang
adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian
korporasi terdapat dalam pasal 1 angka (10). Dalam pasal ini disebutkan
bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Sementara itu, yang dimaksud dengan transaksi menurut ketentuan
dalam Undang-undang ini adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak
atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih. Adapun transaksi keuangan diartikan sebagai
transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran,
penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain yang berhubungan dengan
uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur tindak pidana pencucian
uang adalah transaksi keuangan yang mencurikan atau patut dicurigai
baik transaksi dalam bentuk tunai maupun melalui proses
pentransferan/memindahbukukan.
Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut ketentuan yang
tertuang pada pasal 1 angka (5) UU No. 8 Tahun 2010 adalah: transaksi
keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
1. transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut
diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan
54
transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini;
2. transaksi keuangan yang dilakukan maupun yang batal
dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana; atau
3. transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan
oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang
diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Menyebutkan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus
memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, dimana perbuatan
melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan
pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana.
Pengertian hasil tindak pidana diuraikan pada Pasal 2 UU UU No. 8
Tahun 2010. Pada pasal ini Harta kekayaan yang dikualifikasikan sebagai
harta kekayaan hasil tindak pidana adalah harta yang berasal dari
kejahatan seperti: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika,
penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant, bidang perbankan,
bidang pasar modal, bidang asuransi, kepabeanan, cukai, perdagangan
orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang
perpajakan, bidang lingkungan hidup, bidang kehutanan, bidang kelautan
dan perikanan serta tindak pidana lain yang diancam hukuman 4 tahun
penjara.
55
Perlu dijadikan catatan, bahwa dalam pembuktian tindak pidana
pencucian uang nantinya hasil tindakan pidana merupakan unsur delik
yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar atau tidaknya harta
kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan
membuktikan adanya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan
tersebut. Bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak
pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.
Dalam ketentuan sebagaimana yang sebutkan pada pasal 3 UU
No. 8 Tahun 2010, teridentifikasi beberapa tindakan yang dapat
dikualifikasi kedalam bentuk tindak pidana pencucian uang, yakni tindakan
atau perbuatan yang dengan sengaja:
1. Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan
baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh
melalui tindak pidana.
2. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu
penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain,
baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain.
3. Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari
tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama
pihak lain.
56
4. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari
hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas
nama pihak lain.
5. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik
atas namanaya sendiri atau atas nama pihak lain.
6. Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga
merupakan harta yang diproleh dari tindak pidana.
7. Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan
yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak
pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan
tujuan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul harta
kekayaan tersebut.43
B. Bagaimana penerapan hukum materill tehadap tindak pidana
pencucian uang dalam transaksi perbankan dalam Perkara
Putusan No. 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby
1. Identitas Terdakwa
Nama : AGUNG BUDI PRASETYO
Tempat lahir : Kediri
Umur/tanggal lahir : 46 Tahun / 27 Februari 1968
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
42 http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html
57
Tempat tinggal : Perum Ijen Nirwana No.16 A kota Malang
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
2. Posisi Kasus
Berawal pada tahun 2011 terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO
sebagai Manager PT. Ijen Nirwana mengenalkan saksi BAMBANG
SANTOSO (Penuntutan dalam berkas perkara terpisah) yang mempunyai
usaha outschoursing di bidang security yang mempekerjakan tenaga
security di PT. Ijen Nirrwana Malang dan saksi Bambang Santoso bertemu
di Pecel Kawi Malang dan saat itu saksi Bambang Santoso mengatakan
kepada terdakwa bahwa saksi sedang membutuhkan kredit untuk usaha
dan baru selesai menanyakan appraisal untuk pengajuan kreditnya, lalu
terdakwa Agung Budi Prasetyo menawarkan kalau dia mempunyai
kenalan di BTN Blitar pada tahun 2011 yang sekarang menjabat sebagai
Pimpinan BTN Blitar yaitu saksi Iman Cahyono (penuntutan dalam berkas
perkara terpisah) yang bisa memberikan kredit berupa kredit modal kerja.
Bambang Santoso juga mendapat informasi dari terdakwa Agung
Budi Prasetyo dan ARI BASUKI (BNI) kalau di BTN pada tahun 2011 ada
usaha saksi dibidang outsourcing, security tidak mungkin diajukan sebagai
untuk mengajukan kredit sebesar Rp.6 Milyar, yang nanti dari bank pasti
akan ada penawaran, namun menurut penuturan terdakwa skema
pembayaran angsuran bunga sebesar Rp.45.000.000,- / bulan, pada
bulan ke tujuh membayar dan yang menjadi jaminan adalah SHM No.1189
dan No.1121 dan usaha saksi Bambang di bidang outsourcing security,
58
cleaning service dan usaha pembuatan tenda. pada saat itu Saksi
Bambang menyampaikan kepada terdakwa kalau usaha saksi dibidang
outschoursing, security tidak mungkin diajukan sebagai jaminan usaha
untuk pengajuan kredit di BTN dan usaha outsourching security dan
cleaning service tidak akan mencukupi untuk dijadikan jaminan pengajuan
kredit modal kerja, dan saat itu terdakwa menyarankan pada saksi agar
dicoba saja untuk nebeng dengan usaha EKO (PT. Kumala Group) yang
menyewa tanah milik saksi yang berada di Rejotangan Tulungagung untuk
usaha pembuatan tenda (untuk bencana alam dan tenda militer), lalu
dibuatlah kerjasama antara PT, Arjuna Raya dengan PT Kumala Group
(saksi Bambang sebagai Sub Con), kemudian sekitar bulan September
2011 saksi Bambang meminta data perusahaan PT. Kumala Group
untuk digunakan sebagai persyaratan pengajuan kredit ke BTN, dan EKO
memberikan pada saksi Bambang Santoso foto copy SPMK (Surat
Perintah Mulai Kerja) dan beberapa Surat Perjanjian Operasional antara
PT. Karya Kumala Jaya dan PT. Arjuna Raya antara CV. Karya Mandiri
dan PT. Arjuna Raya. kemudian terdakwa Agung Budi Prasetyo meminta
saksi Bambang Santoso menyiapkan dokumen pendukung perusahaan
milik saksi yaitu PT. Arjuna Jaya dan dokumen yang disiapkan antara lain
Data Perusahaan, NPWP, KTP, dll, kemudian saksi meminta kepada staf
saksi yang bernama John Yulendi untuk membuat executive summary dan
hal-hal yang dibutuhkan oleh terdakwa, setelah dokumen selesai dibuat
diserahkan kepada terdakwa untuk dikoreksi apakah ada kesalahan atau
kekurangannya, kemudian dokumen yang sudah siap termasuk hasil
59
appraisal saksi masukkan ke dalam amplop coklat dan diserahkan
kepada terdakwa di Pecel Kawi lalu dibawa terdakwa untuk diantarkan
pada temannya yang bekerja di BTN Blitar yaitu IMAN CAHYONO (saksi)
yang rumahnya berada di Malang dan tiap hari Jum’at pulang.
Seminggu kemudian saksi Bambang dikenalkan oleh terdakwa
dengan saksi IMAN CAHYONO di Kopi Tiam Malang dan pada saat
perjalanan menuju tempat tersebut, terdakwa mengatakan pada saksi
untuk tidak berbicara apapun tentang pengajuan kredit tersebut, nanti
terdakwa yang akan menghandle semua, dan pada saat bertemu saksi
Bambang Santoso dikenalkan oleh terdakwa sebagai calon debitur dan
terdakwa saat itu juga sempat bilang ke Pak Iman untuk proses kreditnya
agar dipercepat dan nanti kalau ada sesuatu agar terdakwa dihubungi
lewat telepon.
Setelah bertemu dengan saksi IMAN CAHYONO di BTN Blitar
selang beberapa hari kemudian terdakwa meminta pada saksi Bambang
untuk bertemu dengan Pimpinan BTN Kediri yaitu AHMAD ZUCHRUDIN,
dan pada saat bertemu terdakwa menyampaikan kepada Pak AHMAD
ZUCHRUDIN kalau saksi Bambang sebagai calon debitur dan mempunyai
usaha pembuatan tenda militer dan saat itu terdakwa menyampaikan juga
kalau usaha saksi Bambang Santoso bagus dan lancar.
Pengajuan permohonan Kredit Modal Kerja (KMK) oleh saksi
BAMBANG SANTOSO selaku Direktur PT. Arjuna Raya tersebut,
dilakukan pada sekitar bulan Oktober 2011 kepada Bank BTN Cabang
Pembantu Blitar sebesar Rp. 6 milyar, yang kemudian disetujui sebesar
60
Rp. 4,2 milyar, dengan tujuan untuk membiayai kerjasama dengan CV.
Eka Karya Mandiri dan PT. Karya Kumala Jaya ( Kumala Group) berupa
pembuatan tenda militer dan tenda pengungsi. Karena kredit yang
diajukan jenis KMK, maka yang menjadi agunan utama berupa usahanya
tersebut dan agunan tambahan berupa tanah di Rejotangan
Tulungagung dengan SHM No. 1189 dan No. 1121, yang masih menjadi
agunan di Bank BNI cabang Kediri dan dikeluarkan dengan cara melawan
hukum (Putusan Pengadilan TIPIKOR Surabaya No. 84/Pid.Sus/2013 jo
Putusan Nomor. 19/Pid.sus/2014/PT.SBY tanggal 3 Juni 2014);
Seluruh persyaratan pengajuan kredit yang diajukan oleh Bambang
Santoso antara lain berupa identitas BAMBANG SANTOSO dan YENI
GRACE RAWUNG (istri Bambang Santoso), Kartu Keluarga, Profil
Perusahaan, da Surat Perintah Melaksanakan Pekerjaan (SPMK) dari
Kementerian Sosial RI adalah tidak benar dan baik. CV. Eka Karya
Mandiri maupun PT. Karya Kumala Jaya (Kumala Group) tidak benar
menjalin kerjasama dengan PT. Arjuna Raya, namun PT. Karya Kumala
Jaya pada tahun 2009 pernah mendapatkan pekerjaan di Departemen
Sosial RI untuk pembuatan tenda bencana alam dan untuk kepentingan
tersebut, Pimpinan PT. Karya Kumala Jaya / Eko Hariyanto telah
menyewa tanah/gudang milik Bambang Santoso untuk digunakan sebagai
workshop, dan usaha itulah yang oleh Bambang Santoso dimanfaatkan
seolah-olah merupakan usaha yang akan dibiayai dengan kredit KMK dari
Bank BTN tersebut, sehingga sebetulnya Bambang Santoso atau PT.
61
Arjuna Raya tidak berhak menerima kredit modal kerja dari BTN cabang
Blitar tersebut;
Bahwa Iman Cahyono selaku Kepala Cabang Pembantu sekaligus
sebagai atasan langsung analis kredit, dalam proses analisa hingga
diputuskan pemberian kredit oleh BTN, tidak melakukan pemeriksaan atas
hasil Paket Analisa Kredit (PAK) beserta dokumen pendukungnya yang
disusun oleh Analis Kredit, karena saksi Iman Cahyono selaku Kepala
Cabang Pembantu BTN Blitar mendapat referensi dari terdakwa Agung
Budi Prasetyo bahwa saksi Bambang Santoso memang benar baik dan
usahanya lancar dan dalam analisa pemberian kredit yang dilakukan lebih
menitikberatkan pada character yang rekomendasi secara lisan dari
terdakwa Agung Budi tersebut, sehingga ketentuan dalam SOP BTN tidak
dilaksanakan sejak Permohonan (dokumen hanya berupa foto copy
tanpa klarifikasi), adanya kesalahan proses administrasi dalam
penunjukan appraisal, konfirmasi/ verifikasi usaha dilakukan kepada pihak
yang tidak benar, tidak ada konfirmasi kepada penerbit SPMK ;
Bahwa karena pengajuan kredit atas nama Arjuna Raya/saksi
Bambang Santoso adalah kredit jenis KMK (Kredit modal kerja) maka
yang menjadi jaminan utama adalah usaha dari debitur sedangkan tanah
dan bangunan yang berupa SHM 1121 dan SHM 1189 Desa Rejotangan
Tulungagung, menjadi jaminan tambahan Bahwa pada saat awal
pengajuan dan saksi menyerahkan persyaratan pengajuan sebagai
Direktur PT Arjuna Raya, dimana dalam permohonan kreditnya,
Bambang Santoso telah melampirkan SPMK Nomor:
62
794/SPMK/BS.03.01/ IX/2011 tanggal 7 September 2011, dengan kop
surat bertuliskan : Departemen Sosial Republik Indonesia, yang pada
pokoknya menerangkan Direktorat BSKBA Departemen Sosial RI telah
memberikan pekerjaan kepada PT Karya Kumala Jaya untuk pengadaan
tenda pleton, tenda regu, tenda keluarga dan kredit di BTN terdakwa
mengatakan semua urusan yang terkait dengan pengajuan kredit di
BTN KCP Blitar diurus oleh terdakwa dan terdakwa meminta imbalan
sebesar 5% dari besarnya itu ditawar oleh saksi 2,5% tetapi terdakwa
tidak mau dan mengatakan bahwa Tahap 1 tanggal 28 Maret 2012
sebesar Rp. 450 juta apabila pengajuan kredit PT. Arjuna Raya cair itu
bukan karena Bambang Santoso tetapi karena pihak BTN melihat
terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO dan komisi sebesar itu bukan untuk
terdakwa saja tapi juga akan dibagi untuk Iman Cahyono dan Achmad
Zuchrudin ;
Bahwa kredit modal kerja atas nama PT. Arjuna Raya, akhirnya
dicairkan secara bertahap dengan rincian sebagai berikut :
Tahap 1 tanggal 28 Maret 2012 sebesar Rp. 450 juta
Tahap 2 tanggal 30 Maret 2012 sebesar Rp. 1 Milyar
Tahap 3 tanggal 9 April 2012 sebesar Rp. 1,178 Milyar
Tahap 4 tanggal 19 Juli 2012 sebesar Rp.1,572 Milyar
Jumlah seluruh sebesar Rp. 4.200.000.000,- (empat milyar dua
ratus juta rupiah)
Setelah pengajuan kredit Bambang Santoso dari BTN KC Kediri
cair dan diterima oleh Bambang Santoso, terdakwa Agung Budi
63
Prasetyo sering menelpon dan pernah mendatangi rumah saksi
Bambang Santoso untuk memberikan sejumlah uang sesuai yang
diminta pada saat awal pengajuan kredit. Atas permintaan tersebut, saksi
Bambang Santoso kemudian memberikan sejumlah uang kepada
terdakwa Agung Budi Prasetyo melalui transfer dari rekening PT Arjuna
Raya pada Bank Mandiri Merdeka Malang rekening Nomor:
1440012500093 dan sesuai permintaan terdakwa agar uang tersebut
ditransfer ke rekening istri terdakwa pada bank Mandiri Malang
Rekening Nomor 1440011107601, dengan rincian sebagai berikut :
No Tanggal Jumlah Keterangan
1. 2 April 2012 Rp. 50.000.000 Komitmen fee BTN
2. 19 April 2012 Rp. 25.000.000 Fee kr3edit BTN Tahap 2 PT. Arjuna Raya
3. 1 Mei 2012 Rp. 25.000.000 Ke Supartini
4. 3 Mei 2012 Rp. 15.000.000 Ke Supartini
5. 29 Mei 2012 Rp. 17.000.000 Ke Supartini
6. 3 Agustus 2012 Rp. 15.000.000 Untuk pak Iman (Lebaran)
7. 27 September 2012 Rp. 1.600.000 Ke Supartini
8. 1 Oktober 2012 Rp. 20.000.000 Ke Supartini
TOTAL= Rp.168.600.000
Bahwa selain pemberian yang dilakukan melalui transfer, saksi
Bambang Santoso pada tanggal 25 April 2012 telah mengambil secara
tunai dari rekening PT Arjuna Raya dan memberikan uang sebesar Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) itu kepada terdakwa Agung Budi
Prasetyo di kantor terdakwa di Ijen, selanjutnya pada tanggal 4 Mei 2012
saksi Bambang Santoso juga memberikan secara tunai sebesar
Rp.30.000.000,-;
64
Terdakwa juga pernah menerima uang tunai sebesar Rp.
20.000.000,-(dua puluh juta rupiah) dari saksi Bambang Santoso, yang
kata terdakwa saat itu untuk uang saku saksi Iman Cahyono ke Sumatra,
namun ketika saksi Bambang Santoso menanyakan kepada Iman
Cahyono ke Sumatera, perihal uang tersebut, saksi Iman Cahyono hanya
membenarkan kalau menerima sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).
Dokumen yang dilakukan oleh saksi Bambang Santoso yang
menjadi lampiran dalam pengajuan kredit modal kerja ke BTN KCP Blitar
berisi dokumen dan data yang tidak benar dan hal ini diketahui oleh
terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO.
Ternyata perbuatan Bambang Santoso menyebabkan adanya
pemberian dan penggunaan fasilitas kredit yang digunakan untuk
kepentingan diri sendiri atau orang lain secara tidak sah mengakibatkan
adanya kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara Cq. Bank
Tabungan Negara Kantor Cabang Kediri sebesar Rp.3.500.000.000,- atau
setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut dan atas perbuatan saksi
Bambang Santoso dan saksi Iman Cahyono oleh Pengadilan Tipikor
Surabaya telah dijatuhkan hukuman terbukti melakukan Tindak Pidana
Korupsi.
Perbuatan terdakwa Agung Budi Prasetyo yang telah menerima
harta kekayaan dari saksi Bambang Santoso sejumlah lebih kurang
Rp. 218.600.000,- (dua ratus delapan belas juta enam ratus ribu rupiah)
atau setidak tidaknya sekitar jumlah tersebut baik yang dikirim dari
rekening PT. Arjuna Raya pada Bank Mandiri Merdeka Malang Nomor
65
rekening 1440012500093 ke rekening istri terdakwa pada bank Mandiri
Cabang Ahmad Yani Malang dengan Rekening Nomor 144001110760
atas nama SUPARTINI, diketahui atau patut diduga oleh terdakwa bahwa
harta kekayaan tersebut merupakan hasil pencairan kredit modal kerja
yang diterima oleh PT. Arjuna Raya / Bambang Santoso dari BTN Cabang
Kediri yang dilakukan secara melawan hukum, yang tidak seharusnya
diterima oleh saksi Bambang Santoso.
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Adapun isi dakwaan penuntut umum terhadap kasus tersebut yang
dibacakan di hadapan persidangan majelis hakim Pengadilan Negeri
Surabaya adalah Dakwaan Tunggal, dikatakan demikian karena dalam
surat dakwaan tersebut penuntut umum hanya memberikan 1 (satu)
dakawaan saja. Adapun isi dakwaan tersebut, yaitu :
Bahwa terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO meminta imbalan
sebesar 5% dari besarnya pencairan kredit tersebut, tetapi ditawar oleh
saksi Bambang Santoso sebesar 2,5% tetapi terdakwa tidak mau dan
mengatakan bahwa Tahap 1 tanggal 28 Maret 2012 sebesar Rp. 450 juta
dan apabila pengajuan kredit PT. Arjuna Raya itu cair bukan karena
Bambang Santoso tetapi karena pihak BTN melihat terdakwa AGUNG
BUDI PRASETYO dan komisi sebesar itu bukan untuk terdakwa saja tapi
juga akan dibagi untuk Iman Cahyono dan Achmad Zuchrudin;
Bahwa kredit modal kerja atas nama PT. Arjuna Raya, akhirnya
dicairkan secara bertahap dengan rincian sebagai berikut :
Tahap 1 tanggal 28 Maret 2012 sebesar Rp. 450 juta
66
Tahap 2 tanggal 30 Maret 2012 sebesar Rp. 1 Milyar
Tahap 3 tanggal 9 April 2012 sebesar Rp. 1,178 Milyar
Tahap 4 tanggal 19 Juli 2012 sebesar Rp.1,572 Milyar
Jumlah seluruh sebesar Rp. 4.200.000.000,- (empat milyar dua
ratus juta rupiah)
Setelah pengajuan kredit Bambang Santoso dari BTN KC Kediri
cair dan diterima oleh Bambang Santoso, terdakwa Agung Budi
Prasetyo sering menelpon dan pernah mendatangi rumah saksi
Bambang Santoso untuk memberikan sejumlah uang sesuai yang
diminta pada saat awal pengajuan kredit. Atas permintaan tersebut, saksi
Bambang Santoso kemudian memberikan sejumlah uang kepada
terdakwa Agung Budi Prasetyo melalui transfer dari rekening PT. Arjuna
Raya pada Bank Mandiri Merdeka Malang rekening Nomor:
1440012500093 dan sesuai permintaan terdakwa agar uang tersebut
ditransfer ke rekening istri terdakwa pada bank Mandiri Malang
Rekening Nomor 1440011107601, dengan rincian sebagai berikut :
• Tanggal 2 April 2012 sebesar Rp. 50.000.000,-
• Tanggal 19 April 2012 sebesar Rp. 25.000.000,-
• Tanggal 1 Mei 2012 sebesar Rp. 25.000.000,-
• Tanggal 3 Mei 2012 sebesar Rp. 15.000.000,-
• Tanggal 29 Mei 2012 sebesar Rp. 17.000.000,-
• Tanggal 3 Agustus 2012 sebesar Rp. 15.000.000,-
• Tanggal 27 September 2012 sebesar Rp. 1.600.000,-
• Tanggal 01 Oktober 2012 sebesar Rp. 20.000.000,-
67
Total yang ditransfer sebesar Rp. 168.600.000,-
Bahwa selain pemberian yang dilakukan melalui transfer, saksi
Bambang Santoso pada tanggal 25 April 2012 telah mengambil secara
tunai dari rekening PT Arjuna Raya dan memberikan uang sebesar Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) itu kepada terdakwa Agung Budi
Prasetyo di kantor terdakwa di Ijen, selanjutnya pada tanggal 4 Mei 2012
saksi Bambang Santoso juga memberikan secara tunai sebesar
Rp.30.000.000,-;
Terdakwa juga pernah menerima uang tunai sebesar Rp.
20.000.000,-(dua puluh juta rupiah) dari saksi Bambang Santoso, yang
kata terdakwa saat itu untuk uang saku saksi Iman Cahyono ke Sumatra,
namun ketika saksi Bambang Santoso menanyakan kepada Iman
Cahyono ke Sumatera, perihal uang tersebut, saksi Iman Cahyono hanya
membenarkan kalau menerima sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).
Dokumen yang dilakukan oleh saksi Bambang Santoso yang
menjadi lampiran dalam pengajuan kredit modal kerja ke BTN KCP Blitar
berisi dokumen dan data yang tidak benar dan hal ini diketahui oleh
terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO.
Ternyata perbuatan Bambang Santoso menyebabkan adanya
pemberian dan penggunaan fasilitas kredit yang digunakan untuk
kepentingan diri sendiri atau orang lain secara tidak sah mengakibatkan
adanya kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara Cq. Bank
Tabungan Negara Kantor Cabang Kediri sebesar Rp.3.500.000.000,- atau
setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut dan atas perbuatan saksi
68
Bambang Santoso dan saksi Iman Cahyono oleh Pengadilan Tipikor
Surabaya telah dijatuhkan hukuman terbukti melakukan Tindak Pidana
Korupsi.
Perbuatan terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO yang telah
menerima harta kekayaan dari saksi Bambang Santoso sejumlah lebih
kurang Rp. 218.600.000,- (dua ratus delapan belas juta enam ratus ribu
rupiah) atau setidak tidaknya sekitar jumlah tersebut baik yang dikirim dari
rekening PT Arjuna Raya pada Bank Mandiri Merdeka Malang Nomor
rekening 1440012500093 ke rekening istri terdakwa pada bank Mandiri
Cabang Ahmad Yani Malang dengan Rekening Nomor. 144001110760
atas nama SUPARTINI, diketahui atau patut diduga oleh terdakwa bahwa
harta kekayaan tersebut merupakan hasil pencairan kredit modal kerja
yang diterima oleh PT. Arjuna Raya / Bambang Santoso dari BTN Cabang
Kediri yang dilakukan secara melawan hukum, yang tidak seharusnya
diterima oleh saksi Bambang Santoso.
Perbuatan terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Tuntutan pidana dari Penuntut Umum sebagaimana dalam surat
dakwaannya yang pada pokoknya menuntut sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO, tersebut diatas
“Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, atau
69
menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil Tindak Pidana Korupsi” sebagaimana dakwaan
Penuntut Umum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 8
Tahun 2010;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO
dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan;
3. Menghukum Terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO untuk
membayar denda sebesar Rp.50.000.000,00 ; dan jika denda
tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) bulan ;
4. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah
dijalani Terdakwa dikurungkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan ;
5. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan ;
6. Menyatakan barang bukti berupa :
(1) Uang tunai Rp. 93.600.000,- (sembilan puluh tiga juta enam
ratus ribu rupiah), Dirampas untuk Negara
(2) 1 (satu ) lembar bukti penerimaan uang tanggal 31 Mei 2013
ke PT Arjuna Raya via BTN No. Rek. 003881300000277
sebesar Rp. 30.000.000,-
(3) Bukti transfer via ATM Bank CIMB Niaga tanggal 31 Mei 2013
dari Agung Budi P ke Yenny Grace sebesar Rp. 10.000.000,-
(4) 1 (satu ) lembar bukti transfer dari Supartini ke Yenny Grace
via BCA tanggal 3 Juni 2013 sebesar Rp. 15.000.000,-
70
(5) 1 (satu) lembar bukti pengiriman uang tanggal 28 Juni 2013 ke
PT Arjuna raya via BTN NO Rek 003881300000277, sebesar
Rp.15.000.000,-
(6) Bukti transfer via mandiri dari Supartini ke Yeni Grace sebesar
Rp. 5.000.000,-
(7) Print out rekening Koran PT. Arjuna Raya nomor
4410012500093 ;
(8) Print out Rekening koran an Bambang Santoso No
1141440012500101
5. Amar Putusan
Adapun yang menjadi amar putusan nomor: 64/Pid.Sus-
TPK/2015/PN.Sby
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka
haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara; Memperhatikan,
Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak pidana Pencucian Uang dan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan ;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO, tersebut
diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
Tindak Pidana
“Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, atau
menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil Tindak Pidana Korupsi” sebagaimana dakwaan
71
Penuntut Umum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor
8 Tahun 2010;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AGUNG BUDI
PRASETYO dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan ;
3. Menghukum Terdakwa AGUNG BUDI PRASETYO untuk
membayar denda sebesar Rp.50.000.000,00 ; dan jika denda
tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) bulan ;
4. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah
dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan ;
5. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan ;
6. Menyatakan barang bukti berupa :
(1) Uang tunai Rp. 93.600.000,- (sembilan puluh tiga juta enam
ratus ribu rupiah),
Dirampas untuk Negara
(2) 1 (satu ) lembar bukti penerimaan uang tanggal 31 Mei 2013
ke PT Arjuna Raya via BTN No. Rek. 003881300000277
sebesar Rp. 30.000.000,-
(3) Bukti transfer via ATM Bank CIMB Niaga tanggal 31 Mei
2013 dari Agung Budi P ke Yenny Grace sebesar Rp.
10.000.000,-
(4) 1 (satu ) lembar bukti transfer dari Supartini ke Yenny Grace
via BCA tanggal 3 Juni 2013 sebesar Rp. 15.000.000,-
72
(5) 1 (satu) lembar bukti pengiriman uang tanggal 28 Juni 2013
ke PT Arjuna raya via BTN NO Rek 003881300000277,
sebesar Rp. 15.000.000,-
(6) Bukti transfer via mandiri dari Supartini ke Yeni Grace
sebesar Rp. 5.000.000,-
(7) Print out rekening koran PT Arjuna Raya nomor
4410012500093
(8) Print out Rekening koran an Bambang Santoso No.
1141440012500101
Tetap Terlampir dalam Berkas Perkara
(9) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp. 5.000,- (Lima ribu rupiah)
Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Surabaya pada hari : S E N I N, tanggal 27 JULI 2015, oleh SRI
HERAWATI, S.H.M.H, selaku Hakim
Ketua, DR. GAZALBA SALEH, S.H.M.H. dan SANGADI, S.H.
masingmasing sebagai Hakim Anggota, yang diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum pada hari : J U M ’ A T, tanggal 31 JULI 2015. oleh
Hakim Ketua dengan didampingi para Hakim Anggota tersebut, dibantu
oleh PRIHATINI IKA TJAHJANINGSASI, S.H.MH., Panitera Pengganti
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya,
serta dihadiri oleh SIANE MATULESSY, S.H., Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Malang dan Terdakwa didampingi Penasihat Hukumnya
73
6. Analisis Penulis
Dalam perkara ini, terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam bentuk dakwaan Tunggal yaitu didakwa dengan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasarkan pasal-pasal yang dipersangkakan oleh para penyidik
yang telah dituangkan dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan
diterapkan dalam putusan nomor: 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sby ini telah
sesuai dengan ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, yakni Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 dan karena dakwaan tunggal dari Jaksa Penuntut
Umum telah terbukti dihadapan persidangan. Adapun unsur-unsur tindak
pidana dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
sesuai yang didakwakan penuntut umum adalah:
1. Setiap orang
2. Yang menerima atau menguasai penempatan,pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penipuan, penukaran, atau
menggunakan harta kekayaan
3. Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1)
Bahwa pengertian “setiap orang” dalam unsur ini dapat dijumpai
dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang
74
menyatakan bahwa : setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi; Pengertian “setiap orang” ini dalam bahasa KUHP disebut
“barang siapa”. Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya
tanggal 18 Desember 1984 Nomor : 892 K/PID/1983, memberi pengertian
bahwa ”barang siapa” didalam tindak pidana korupsi bukan hanya orang
sebagai pegawai negeri, melainkan harus diartikan secara luas pula
tercakup swasta, pengusaha dan badan hukum. Putusan Mahkamah
Agung R.I. ini diikuti oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 28
Februari 2007 Nomor 103 K/Pid/2007.
Jadi menurut penulis rumusan “setiap orang” dalam pasal 1 angka
9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut telah terpenuhi. Unsur
yang menerima menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta
kekayaan tersebut ini bersifat alternatif dari perbuatan maka unsur ini
adalah unsur yang berdiri sendiri, dengan terpenuhi salah satunya, maka
unsur ini telah terpenuhi.
C. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pencucian Uang dalam Perkara Putusan No. 64/Pid.Sus-
TPK/2015/PN.Sby
1. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan Hakim pada pokoknya dengan kesimpulan sebagai
berikut:
a. Menimbang, bahwa dengan demikian, rumusan “setiap orang”
dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
75
tersebut, menurut Majelis ialah siapa saja, artinya setiap orang
yang karena kedudukan dan perbuatannya disangka atau
didakwa melakukan suatu tindak pidana pencucian uang, baik
ia pegawai negeri/ penyelenggara negara mau pun bukan
pegawai negeri/ penyelenggara Negara.
b. Menimbang, bahwa di depan persidangan perkara ini Terdakwa
membenarkan nama dan identitasnya sebagaimana tercantum
dalam Surat Dakwaan a quo. Terdakwa mampu memberi
keterangan di depan persidangan dan mampu menjawab
pertanyaan- pertanyaan yang diajukan kepadanya terkait
dengan Surat Dakwaan perkara a quo, bahkan Terdakwa
mampu membantah keterangan yang dianggapnya tidak benar.
c. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas Terdakwa
adalah orang perseorangan yang karena perbuatannya didakwa
melakukan tindak pidana dalam perkara ini, maka Majelis
berkeyakinan unsur “setiap orang” dalam perkara ini telah
terpenuhi.
Unsur yang menerima menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan harta kekayaan
a. Menimbang, bahwa unsur ini bersifat alternatif dari perbuatan
“yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan harta kekayaan”, masing-masing perbuatan yang
76
disebutkan dalam unsur ini merupakan alternatif yang berdiri
sendiri.
Dengan terpenuhinya salah satu saja dari kategori perbuatan dalam
unsur ini, maka unsur ini telah terpenuhi;
a. Menimbang, bahwa mengenai pengertian “harta kekayaan”
dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian ada dirumuskan, bahwa ‘harta kekayaan’ adalah
“semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun tidak berwujud, yang diperoleh baik secara
langsung maupun tidak langsung”, adapun frasa selebihnya,
yaitu : ‘menempatkan’, ‘mentransfer’, ‘, ‘membayarkan’,
‘menghibahkan’, menyumbang, ’menitipkan’, ‘, ‘menukarkan
atau ‘menggunakan harta kekayaan tidak ada penjelasannya
secara spesifik;
b. Menimbang, bahwa menurut KamusBahasa Indonesia yang
dimaksud dengan
Menerima adalah menyambut, mengambil (mendapat)
menadah (menampung dsb) sesuatu yang diberikan,
dikirimkan ;
Menguasai adalah berkuasa atas sesuatu, memegang
kekuasaan, memegang atau memiliki hak atas sesuatu,
dapat mengatasi keadaan, menduduki tempat, memahami
dan mampu sekali dalam bidang ilmu pengetahuan.
77
Penempatan adalah Perbuatan (hal tersebut)
menempatiiatau menempatkan ialah menaruh, meletakan,
memasang. Memberi tempat, menentukan tempat
Pentransferan adalah pemindahan atau memindahkan dari
suatu tempat menyerahkan (hak, milik, uang dsb)
kepada orang lain. Adalah perbuatan pemindahan uang
dari Penyedia Jasa Keuangan satu ke Penyedia Jasa
Keuangan lain baik di dalam maupun di luar negeri atau dari
satu rekening ke rekening lainnya di kantor bank yang sama
adalah Penyedia Jasa Keuangan lain baik di dalam maupun
di luar negeri atau dari satu rekening ke rekening lainnya di
kantor bank yang sama
Membayarkan adalah menyerahkan sejumlah uang dari
seseorang kepada pihak lain guna mendapatkan suatu
barang atau jasa
Menghibahkan adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan
kebendaan secara hibah sebagaimana yang telah dikenal
dalam pengertian hukum secara umum;Sumbangan adalah
pemberian sebagai bantuan, sokongan
Menitipkan adalah menyerahkan pengelolaan atau
penguasaan atas sesuatu benda dengan janji untuk diminta
kembali atau sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
78
Penukaran adalah perbuatan (hal dsb) menukar
(menukari, menukarkan) penggantian, penyilihan,
pemindahan dsb.
2. Analisis Penulis
Dalam perkara ini Hakim menjatuhkan Pidana penjara kepada
Terdakwa selama selama 8 (delapan) bulan. Hal yang menjadi
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sesuai dengan tuntutan
Penuntut Umum karena melihat semua fakta-fakta persidangan terbukti
secara sah Terdakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan
aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana.
Putusan hakim berguna bagi terdakwa untuk mendapatkan kepastian
hukum tentang statusnya. Dalam menjatuhkan putusan keputusan hakim
harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan
berhenti dengan pertimbangan hukum semata-mata, melainkan persoalan
keadilan itu berarti menurut hukum sering diartikan dengan sebuah
kemenangan atau kekalahan oleh pencari keadilan dan hakim harus
memiliki pengetahuan hukum yang luas, jujur, moralitas yang tinggi, dan
mempunyai ketetapan hati yang tidak mudah dipengaruhi. Hal itu
bertujuan agar tidak salah dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada
terdakwa.
79
Penulis juga berpendapat tentang pertimbangan hukum hakim
dalam menjatuhkan sanksi yang diberikan pada perkara No. 64/Pid.Sus-
TPK/2015/PN.Sby sudah tepat jika dilihat dari hal-hal yang memberatkan
dan meringankan dari Terdakwa, yang mana perbuatan terdakwa
merugikan Negara dan meresahkan masyarakat. Yang kemudian
dihubungkan dengan dakwaan Penuntut Umum, maka hakim memperoleh
fakta-fakta yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar hukum Majelis
Hakim menjatuhkan putusan. Dengan pemberian hukuman penjara oleh
hakim yang telah tepat, maka diharapkan dan dimungkinkan Terdakwa
tidak dapat mengulangi perbuatannya.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu
kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan
merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini
ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang
bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan
kejahatan atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate
offence atau core crime. Pengertian tindak pidana pencucian uang
dapat dilihat ketentuan dalam pasal (3), (4) dan (5) UU No.8 Tahun
2010. Yang intinya adalah bahwa tindak pidana pencucian uang
merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh
seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan,
mentransfer mengalihkan, membelanjakan, membayarkan
mengibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau
perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tidak pidana dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan itu,
termasuk juga yang menerima dan menguasainya. Dan proses
pencucian uang ada tiga tahap, yakni Tahap Placement atau
menempatkan, yang kedua adalah Tahap Layering atau
81
memisahkan, dan yang terakhir adalah Tahap Integration atau
penggunaan harta kekayaan yang telah tampak sah. Dan unsur-
unsur tidak pidana pencucian uang yaitu pelaku, perbuatan
(transaksi keuangan atau financial) dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari
bentuknya yang tidak sah (ilegal) seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah (legal). Dan merupakan hasil tindak pidana.
Menyebutkan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus
memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, dimana perbuatan
melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan
pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak
pidana. Pengertian hasil tindak pidana diuraikan pada Pasal 2 UU
UU No. 8 Tahun 2010. Pada pasal ini Harta kekayaan yang
dikualifikasikan sebagai harta kekayaan hasil tindak pidana adalah
harta yang berasal dari kejahatan seperti: korupsi, penyuapan,
narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja,
penyelundupan migrant, bidang perbankan, bidang pasar modal,
bidang asuransi, kepabeanan, cukai, perdagangan orang,
perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi,
bidang perpajakan, bidang lingkungan hidup, bidang kehutanan,
bidang kelautan dan perikanan serta tindak pidana lain yang
diancam hukuman 4 tahun penjara.
82
2. Pencucian Uang merupakan masalah yang sulit untuk dibuktikan,
pencucian uang sering dilakukan dengan memanfaatkan jasa atau
fasilitas yang diberikan perbankan. Di Indonesia sendiri
sebelumnya tidak ada ketentuan baku tentang data-data nasabah
sehingga uang yang dimasukkan ke dalam bank sangat mungkin
merupakan hasil dari tindak kejahatan dan kegiatan pencucian
uang. Perbuatan pencucian uang, disamping sangat merugikan
masyarakat, juga sangat merugikan negara, karena dapat
mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau
keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan.
Instrumen yang merupakan lembaga untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang adalah dengan
dibentuknya lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) oleh pemerintah, sebagai amanat
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam studi kasus nomor. 64/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Sbyhal yang
menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara telah
sesuai dengan tuntutan Penuntut Umum karena melihat semua
fakta-fakta persidangan terbukti secara sah Terdakwa melanggar
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting
dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Putusan
83
hakim berguna bagi terdakwa untuk mendapatkan kepastian
hukum tentang statusnya. Dalam menjatuhkan putusan keputusan
hakim harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan
keadilan tidak akan berhenti dengan pertimbangan hukum semata-
mata, melainkan persoalan keadilan itu berarti menurut hukum
sering diartikan dengan sebuah kemenangan atau kekalahan oleh
pencari keadilan dan hakim harus memiliki pengetahuan hukum
yang luas, jujur, moralitas yang tinggi, dan mempunyai ketetapan
hati yang tidak mudah dipengaruhi. Hal itu bertujuan agar tidak
salah dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa.
B. Saran
1. Dalam melakukan penegakan hukum materil dibidang Tindak
Pidana Pencucian Uang dalam Transaksi Perbankan perlu adanya
peran berbagai pihak. Seperti teori Lawrance M. Friedman tentang
Three Element of Legal System bahwa perlu adanya peran
Substansi, Subyek, Kultur hukum agar dapat ditegakkannya suatu
hukum.
2. Seperti yang dikatakan Dr. Yenti Garnasih,S.H, M.H dalam
UUTPPU yang terbaru masih memiliki banyak celah sehingga
banyak pelaku TPPU dapat lolos dari jeratan hukum. Maka
diperlukan pembaharuan UUTPPU yang lebih konkrit.
3. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) wajib mengawasi PJK Bank dalam
melakukan usaha dan menghindari adanya TPPU yang marak
terjadi di pihak perbankan yang dapat merusak nilai tukar rupiah.
84
Salahsatu upaya pihak BI dalam mencegah TPPU ialah dengan
mengeluarkan aturan KYC yang harus diterapkan kepada setiap
PJK Bank. Walaupun telah menerapkan aturan tersebut masih
banyak terjadi TPPU dibidang perbankan maka dari itu perlu
pengawasan yang lebih ketat dan sanksi yang memeberi efek jera
kepada para pelaku dan yang turut serta membantu pelaku TPPU.
85
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Marlang, Irwansyah, dan Kaisaruddin, Pengantar Hukum Indonesia, Cet.2. Makassar: ASPublishing, 2011
Andi Sofyan, Nur Azisa, Hukum Pidana, Makassar: Pustaka Pena Press, 2016
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuiditas, dan Kepailitan. Jakarta, 2007
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008
Amin Widjaya Tunggal, Pencegahan Pencucian Uang, Jakarta: Harvarindo, 2014.
Amir Ilyas, Asas – Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang education & Pukab, 2012
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Ed. Pertama, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2015. Hlm.39-40
Husein Yunus, Upaya Pemberatasan Pencucian Uang
Ivan Yustiavandana (dkk), Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Bogor: Ghalia Indonesia. 2010
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,.Jakarta:Sinar Grafika, 2005
R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Pers, 2010
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta:PT.Garamedia Pustaka Utama,2003)
Raihan Dirham, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) dalam Transaksi Perbankan, Skripsi Fakultas Hukum UNHAS, Makassar, 2015
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Surabaya: kencana, 2011
Siahaan, Money Laundering dan kejahatan perbankan. Jakarta: Jala
Syamsul Bachri, Pengantar Hukum Indonesia: Cetakan kedua, Makassar: ASPublishing, 2011
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta:Sinar Grafika, 2010
86
Website:
http://jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf
http://ppatk.mkitech.co.id/pelaporan/read/12/faq.html
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Bank Indonesia