Download - Sosial Profetik
1
KAJIAN ILMU SOSIAL PROFETIK
A. PENDAHULUAN
Agama Islam yang merupakan agama terakhir samawi dengan Muhammad
saw, sebagai pembawa ajarannya, memberi perhatian yang besar tentang cara
interaksi ummatnya, baik interaksi sesama manusia bahkan interaksi dengan sang
pencipta, dalam hubungan manusia dengan manusia dapat kita lihat dari ayat Al-
Quran, sebagaiman firman Allah:
�م� اك �ن��� ع�ل �ى� و�ج� �نث ر� و�أ �م م�ن ذ�ك��� اك �ق�ن��� ل ا خ� �ن��� �اس� إ "ه�ا الن ي� �ا أ ي
ف�وا �ع�ار� �ت �ل� ل �ائ ,ا و�ق�ب ع�وب �م� ش� اك �ق��� �ت �ه� أ �م� ع�ند� الل م�ك �ر� ك� �ن� أ إ
�ير5 ب �يم5 خ� �ه� ع�ل �ن� الل [٤٩:١٣]إ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S: Al-Hujarat: 13)
Dari ayat di atas sangat jelas bahwa agama Islam menyuruh ummatnya
untuk saling kenal-mengenal, yang pada akhirnya menghasilkan hubungan
interaksi sosial antar sesama baik muslim atau non muslim, yang dalam istilah
Agama Islam disebutkan dengan “Mu’amalah”.
Selanjutnya jika kita bandingkan antara Mu’amalah dan Ta’abbudiyah,
mungkin kita akan mendapatkan bahwa perhatian Islam lebih besar kepada
Mu’amalah, bahkan keimanan seorang muslim belum sempurna jika dia belum
bisa menghormati tetangganya.
Keterkaiatan agama dengan masalah kemanusiaan sebagaimana tersebut
menjadi penting jika dikaitkan dengan masalah kemanusiaan di zaman sekarang,
betapa banyak masalah-masalah sosial yang timbul di tengah-tengah masyarakat
2
yang membutuhkan kepada suatu kajian ilmu sosial yang berasaskan kepada nilai-
nilai dan mempunyai kaitan dengan agama, dan ilmu itu diistilahkan dengan Ilmu
Sosial Profetik.
Ilmu sosial profetik merupakan suatu ilmu yang tidak hanya menjelaskan
dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana
transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu sosial
profetik tidak hanya sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini, maka ilmu sosial
profetik sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan
masyarakatnya.
Islam adalah agama transformatif1 yang mengajarkan kepada umatnya
untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Rasulullah saw dalam
Sirah Nabawiahnya menggambarkan betapa agama Islam melakukan transformasi
sosial secara benar-benar pada masyarakat Mekkah yang Jahiliyyah (bodoh)
menjadi masyarakat yang beradab (berperadaban).
Umat Islam senantiasa harus melakukan perubahan dan menjadi pionir
untuk melakukan perubahan itu (agent of social). Perubahan dalam masyarakat
sering di sebut sebagai transformasi sosial. Transformasi memang jalan yang
paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab dalam
proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan pengarahan apalagi
pemaksaan. Transformasi pada dasarnya adalah gerakan kultural yang didasarkan
pada liberalisasi, humanisasi dan transendensi yang bersifat profetik, yaitu
perubahan sejarah kehidupan masyarakat yang masyarakat itu sendiri menuju ke
arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris.2
1Istilah Islam transformatif atau teologi transformatif sering di ungkapkan oleh Mouslim Abdurrahman, Kuntowijoyo dan M. Dawam Raharjo. Mereka menilai bahwa pada dasarnya Islam adalah agama humanisme yang akan mengantar manusia pada perubahan yang lebih baik. Untuk melakukan itu, umat Islam harus melakukan perubahan sosial (social change). Perubahan itu di aplikasikan dalam gerakan-gerakan sosial seperti pendidikan, pemberdayaan sosial ekonomi umat, penyadaran hak-hak politik dan sebagainya. Lihat Moeslim Abdurrahman , Islam Transformatif, Cet III, ( Jakarta:Pustaka Firdaus, 1999), hal. 40. Bandingkan dengan Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Cet VIII,( Bandung: Mizan,1999),hal.166. dan M.Syafi`I Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam di Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde baru, Cet I, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 162.
2Moeslim Abdurrahman, Islam…,
3
Pemikiran transpormatik bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam
yang utama adalah kemanusiaan. Untuk itu Islam harus menjadi kekuatan yang
dapat memotivasi secara terus menerus, dan mentransformasikan masyarakat
dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis
maupun teoritis. Pada transformasi yang bersifat praksis, perhatian utama para
pemikir transformatif bukanlah pada aspek-aspek dokrinal dari teologi Islam,
tetapi pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial-ekonomi,
pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan
sosial, dan sebagainya.
B. Tokoh Ilmu Sosial Profetik
Istilah profetik pertama kali didengungkan oleh Kuntowijoyo, beliau
adalah salah seorang intelektual dan akademisi ia menghasilkan telaah-telaah
kritis terhadap berbagai masalah sosial, budaya dan sejarah. Kuntowijoyo
dilahirkan di kota Bantul, Yogyakarta pada tanggal 18 September 1943 dan
meninggal dunia di rumah sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, hari selasa tanggal 22
Februari 2005.
Pendidikan Kuntowijoyo dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah di
kampungnya, dan jenjang Doktoral (S3) di Columbiya Universty Amerika
Serikat, pada masa kecil Kunto–panggilan akrab Kuntowijoyo-pernah belajar cara
mendongeng, ketika SMP dia juga suka membaca karya Buya Hamka, H.B Jassin,
Pramoedya Ananta Toer, Nuggroho Noto Susanto, dan juga sastra-sastra dunia.
Kegemarannya pada dunia sastra semakin mantap ketika dia berada di UGM
(Universitas Gajah Mada) dan bahkan sempat mendirikan Lembaga Kebudayaan
dan Seniman Islam (Leksi)3 bersama para budayawan lainnya.
Kualitas dan produktivitas Kuntowijoyo menulis sastra budaya, sebanding
dengan kekuatannya menulis karya ilmiah dalam bidang sejarah atau pemikiran
sosial, dalam setiap karyanya ia lebih cenderung melihat keterkaitan suatu ilmu
dengan agama, bahkan dalam sastrapun dia menginginkan adanya nilai-nilai
3 Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), hal. 4.
4
agama yang dimunculkan, sebagaimana karya Helvy Tiana Rosa dengan Forum
Lingkar Pena-nya.
Kuntowijoyo mencoba memperkenalkan Ilmu Sosial Profetik melalui
tulisannya di Harian Republika pada kisaran tahun 1997, yang mana ini
merupakan respon terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Moeslim
Abdurrahman yakni mengenai pentingnya merumuskan teologi baru yang
disebutnya sebagai Teologi Transformatif.4 Kemudian istilah ‘Teologi
Transformatif” menjadi “Ilmu Sosial Profetifk”, perkembangan tersebut
mengandung dua penggantian yang sangat menentukan bagi definisi Ilmu Sosial
Profetik itu sendiri.
C. Ilmu Sosial Profetik
Bagi August Comte,5 sang pencipta istilah “sosiologi”, sosiologi adalah
puncak perkembangan positivisme. Tak heran jika kemudian ilmu yang satu ini
berkembang dengan corak yang sangat positivistik. Di masanya, positivisme
menjadi ukuran sahih tidaknya ilmu pengetahuan. Proses-proses sosial tidak lagi
dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tapi sebagai suatu
peristiwa alam.
Dalam ilmu sosial positiv terdapat tiga pengandaian; Pertama, prosedur-
prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu-
ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-
hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat
teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral
dan bebas nilai.6
Ketiga dasar positivisme itu pun kemudian terbukti rapuh. Fenomena
sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga pemakaian metode ilmu alam
untuk mengkaji fenomena sosial adalah salah arah. Demikian pula, dalam
kenyataannya, ilmu sosial ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari
4 http://omperi.wikidot.com/ilmu-sosial-profetik:antara-teori-kritis-teologi-pembebasan, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.
5 http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.6 http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_Sosial_Profetik#cite_note-1, diakses pada tanggal 23
Desember 2011.
5
keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu, maka dari itu Kuntowijoyo menggagas
Ilmu Sosial Profetik yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.7
Munculnya gagasan tersebut selain yang sudah tersebutkan di atas juga
ada faktor lain, yaitu kemandekan para sosiolog pada saat itu dalam memecahkan
masalah-masalah masyarakat pada saat itu, sebagaimana Prof Abuddin Nata
mengatakan “Kita butuh ilmu sosial yang tidak hanya berhenti pada menjelaskan
fenomena sosial, tetapi dapat memecahkannya secara memuaskan. Menurut
Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik.”8
Maka dengan adanya ilmu sosial profetik ini, kita tidak perlu menghidap
kekhawatiran berlebihan terhadap dominasi sains barat selama ini, betapapun
dalam proses theory-building, mau tidak mau kita masih harus melirik ke
khazanah ilmu barat.9
Dengan ilmu sosial profetik ini, kita ingin melakukan reorientasi
terhadap epistimologi, serta reorientasi terhadap pemikiran barat yang mengatakan
ilmu berasal dari rasio, sedangkan dalam Islam ilmu juga berasal dari wahyu.
D. Pilar Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo menetapkan tiga pilar dalam ilmu sosial profetik, tiga pilar
ini terkandung dalam dalam ayat 110 surat Ali ‘imran sebagai berikut:
�وف �م�ع�ر� �ال ون� ب م�ر�� �أ �اس� ت �لن �خ�ر�ج�ت� ل م�ة� أ
� �ر� أ ي �م� خ� �نت ك��ه �الل �ون� ب �ؤ�م�ن �ر� و�ت �م�نك �ه�و�ن� ع�ن� ال �ن �ه�ل� و�ت �و� آم�ن� أ و�ل
�ه�م ا ل �ر, ي �ان� خ� �ك �اب� ل �ت �ك ه�م� ال �ر� �ث ك� �ون� و�أ �م�ؤ�م�ن �ه�م� ال م�ن
ق�ون� ��ف�اس [٣:١١٠]ال“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka
7Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, Cet 18, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 55.
8Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam,..., hal. 55. 9Kuntowijoya, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, cet. I, edisi baru, (Jakarta: PT
Mizan Pustaka, 2008, hal. 484
6
ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS: Ali Imran: 110)
Ketiga pilar dimaksud adalah; Humanisasi “Amar ma’ruf”, Liberasi
“Nahy Munkar” dan Transendensi “iman kepada Allah”.10 Tiga muatan nilai
inilah yang mengarakterisasikan ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-
nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi ilmu sosial profetik diarahkan untuk
rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.11 Tujuan
humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang
mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan
kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita
mengalami objektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan
mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecenderungan
reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.
Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan,
keangkuhan teknologi, dan pemerasan pelimpahan. Kita menyatu rasa dengan
mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan
mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin sama-sama
membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang kita bangun sindiri. Tujuan
transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita
sudah banyak mengalah pada arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang
dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan yaitu membersihkan diri
dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah
dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat
Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu,
ketika kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.
M. Dawam Raharjo dan Ali Sasono sebagai pemikir Islam yang
transformatif yang bersifat praksis, perhatian utama mereka bukanlah pada aspek-
aspek dokrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan masalah-masalah
empiris dalam bidang sosial-ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran
10Kuntowijoya, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi,... hal. 2811 Kuntowijoyo, Paradigma..., hal. 288-289.
7
hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial dan sebagainya. Bahkan bagi
mereka, terdapat kecenderungan kuat untuk memberikan ajaran-ajaran agar bisa
menjadi kekuatan yang membebaskan manusia dan masyarakat dari belenggu
ketidakadilan, kebodohan dan keterbelakangan. Mereka menghendaki teologi
bukan sekedar sebagai ajaran yang absurd dan lateral, tetapi sebagai suatu ajaran
yang “memihak” dan membebaskan masyarakat Islam dari berbagai kelemahan.
Demikian pula proses Islamisasi dalam pemikiran dan kaum transformatif
tidaklah diartikan dalam kerangka lateral dan formal. Tetapi direfleksikan dalam
karya-karya produktif yang berorientasi pada perubahan sosial-ekonomi dan
politik menuju tercapainya masyarakat adil dan demokratis.12
Refleksi transformatif praksis kemudian diimplementasikan ke dalam
gerakan-gerakan pengembangan masyarakat (community develoment) dengan
pendekatan praksis: kesatuan dialektika antara refleksi dan aksi teori dan praktek
serta iman dan amal. Adapun basis sosial yang dimanfaatkannya adalah lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Dawam mendirikan LP3S, LSAF (Lembaga Studi
Agama dan Filsafat), Jurnal umum al-Qur’an, sedangkan mendirikan Lembaga
penelitian sosial (CIDES).13
Sementara itu, Kuntowijoyo dalam beberapa tulisannya selalu
mendasarkan paradigma pemikirannya kepada masyarakat sebagai sebuah
perubahan (social change). Dengan menggunakan ilmu sosial profetik sebagai
kekuatan yang sangat mendesak. Perubahan sosial dalam masyarakat boleh jadi
membawa umat Islam terombang-ambing jika tidak mempunyai pegangan. Ilmu
sosial profetik merupakan rumusan teori ilmu sosial Islam agar kita mampu
mengaktualisasikan iman kita pada realitas obyektif dan mampu
memanifestasikan amal kita secara efektif pada kondisi-kondisi dan kenyataan-
kenyataan sosial yang baru.14
Menurut Syafi`i Anwar bagi mereka yang akrab dengan karya-karya
Kuntowijoyo benang merah dari pemikirannya amat jelas. Ia adalah ilmuwan
sosial Muslim yang pertama kali memperkenalkan ilmu sosial profetik
12M. Syafi`I Anwar, Pemikiran…, hal. 16213M. Syafi`I Anwar, Pemikiran…, hal. 16214Kuntowijoyo, Paradigma…, hal. 345.
8
berdasarkan pandangan dunia Islam. Ada dua ciri pokok ilmu sosial profetik yang
di konsep nilainya didasarkan pada dua hal yaitu transformasi dan perubahan dan
al-Qur’an sebagai paradigma.15
Ilmu sosial profetik ditawarkan Kuntowijoyo merupakan alternatif
terhadap kondisi status quo dan hegemoni teori-teori sosial praktis (yang kuat
pengaruhnya di kalangan intelektual dan ilmuwan Indonesia). Ilmu ini tidak hanya
menjelaskan dan mengubah temuan-temuan sosial, tetapi juga memberikan
interpretasi, mengarahkan serta membawa perubahan bagi pencapaian nilai-nilai
yang dianut oleh kaum Muslim sesuai dengan petunjuk al-Qur’an yaitu
emansipasi atau humanisme, liberasi dan transendensi.16
Bagi Kuntowijoyo Islam adalah agama yang menganjurkan humanisme.
Yaitu ajaran yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Inilah
dasar Islam. Karena itu, untuk melakukan perubahan sosial harus melakukan
transformasi. Ilmu sosial profetik sebagai alat dalam transformasi itu, lalu
Kuntowijoyo menulis:
Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi, sehingga sebuah pemikiran teologi bukanlah karakteristik Islam. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi anutan sistem kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu. Pertama-tama kita harus memperhatikan apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-nilai Islam, yaitu al-Qur’an. Al-Qur’an mengajarkan untuk beriman, kemudian beramal dan aksi...Tauhid harus diaktualisasikan. Pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasi adalah manusia. Dengan demikian Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut sebagai rahmatan lil `alamin, untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan.17
Untuk melakukan transformasi, umat Islam menurut Kuntowijoyo harus
mengedepankan dua metode, yaitu:
1. Nilai-nilai normatif itu diaktualkan langsung menjadi prilaku. Untuk jenis
aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan Al-Qur’an untuk
15M. Syafi`i Anwar, Pemikiran Politik Dengan Paradigma Alquran :Sebuah Pengantar dalam Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Cet III, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix
16M. Syafi`i Anwar, Pemikiran…, hal. xix17Kuntowijoyo, Paradigma…, hal.167.
9
menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan dalam
praktek dan prilaku. Pendekatan semacam ini telah dikembangkan melalui
ilmu fiqih, ilmu ini cenderung menunjukkan secara langsung.
2. Mentransformasikan nilai-nilai normatif menjadi teori ilmu. Sebelum
ditransformasikan ke dalam prilaku. Agaknya cara kedua ini lebih relevan
terhadap masyarakat Islam. Industri suatu restorasi yang membutuhkan
pendekatan yang lebih menyeluruh daripada sekedar pendekatan legal. Metode
untuk mentransformasikan nilai melalui teori nilai. Untuk kemudian
diaktualisasikan dalam praksis memang membutuhkan beberapa fase
formulasi: Teolog----Filsafat Sosial---Teori sosial---Perubahan sosial.
Sebagaimana yang telah penulis singgung di atas, namun dalam hal ini lebih
lanjut Kunto menulis;
Reorientasi kesadaran dari tingkat normatif ke tingkat ilmiah adalah salah satu prasyarat intelektual untuk memulai usaha perumusan teori sosial dari paradigma Islam. Kita menyadari bahwa dewasa ini kebutuhan akan adanya suatu perspektif, teoritis mengenai transformasi sosial Islam merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Hal ini karena tanpa adanya teori semacam itu kita bukan saja tidak akan dapat memahami kenyataan-kenyataan sosial yang ada dari pandangan Islam, tetapi juga akan membuat kita terombang-ambing dalam arus perubahan sosial yang besar tanpa dapat melakukan upaya apapun untuk mengarahkannya. Menjadi jelas bahwa salah satu urgensi mengapa dewasa ini kita mampu mengaktualisasikan iman kita pada realitas objektif, agar kita mampu memanifestasikan amal kita secara efektif pada kondisi-kondisi dan kenyataan-kenyataan sosial yang baru.18
Sampai sekarang kita belum melakukan usaha semacam ini, bagaimana
mungkin kita akan dapat mengatur perubahan masyarakat jika tidak punya teori
sosial?, tanya Kuntowijoyo. Dengan menyadari kekurangan ini, kita memang
sudah didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada
level yang empiris melalui di ciptanya ilmu-ilmu sosial Islam. Tanpa melakukan
ini, tanpa mentransformasikan Islam normatif menjadi Islam teoritis; agaknya kita
akan mengalami kebingungan besar–jika bukan kesulitan besar–dalam mengatasi
dampak perkembangan masyarakat industrial.19
18Kuntowijoyo, Paradigma…, hal. 345. Lihat juga M. Syafi`i Anwar, Pemikiran..., hal. 172.
19Kuntowijoyo, Paradigma…, hal. 170.
10
Pertimbangan lain yang perlu dikemukakan adalah bahwa tampaknya kita
harus mentransformasikan nilai-nilai Islam yang subjektif menjadi objektif.
Jelaslah bahwa selalu ada sisi objektif dari semua nilai Islam. Objektivikasi nilai-
nilai Islam sangat diperlukan jika kita ingin mengaktualisasikan Islam secara
empiris. Dengan mentransformasikan nilai-nilai Islam yang normatif menjadi
sistem yang teoritis, dan dengan mentransformasikan nilai-nilai Islam yang
subjektif ke dalam kategori-kategorinya yang objektif, maka Islam akan siap
menghadapi pelbagai bentuk tantangan struktural dari perkembangan masyarakat
industri.
Lebih lanjut Kuntowijoyo mempertanyakan ilmu sosial bagaimana yang
mampu dipakai untuk melakukan transformasi? Pertama-tama kita menyadari
bahwa dewasa ini ilmu sosial yang ada sedang mengalami kemandekan. Itu
sebabnya muncul gagasan tentang ilmu sosial profetik yang tidak seperti ilmu
sosial akademis maupun ilmu sosial kritis, tidak berhenti hanya untuk
menjelaskan fenomena sosial, namun juga berusaha untuk
mentransformasikannya.20 Lahirnya ilmu sosial profetis ini bertolak dari
pandangan bahwa dalam perkembangan sekarang ini, umat Islam perlu mengubah
cara berpikir dan bertindaknya, dari menggunakan pola ideologi ke pola keilmuan.
Islam, sebagai konsep normatif memang dapat dijabarkan sebagai ideologi, seperti
yang selama ini telah dilakukan. Akan tetapi Kunto menawarkan alternatif untuk
menjabarkan Islam normatif menjadi teori-teori. Di sini, Islam perlu dipahami
sebagai dan dalam kerangka ilmu. Sebab dengan kerangka ilmu itu, terutama yang
empiris, umat Islam dapat memahami realitas. Dengan cara itu, umat akan dapat
melakukan transformasi atau perubahan seperti yang ditunjukkan oleh al-Quran,
yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Melalui metode transformasi itu pula Kunto mengkaji konsep ummah
(umat) sebagai kesatuan religio-politik, sebagaimana konsep baldah thoyyibah
(negara yang makmur), atau qaryah thoyyibah (masyarakat yang sejahtera)
sebagai konsep-konsep normatif yang berada dalam struktur kesadaran subjektif.
Konsep-konsep itu merupakan proyeksi dari cita-cita masyarakat Muslim
20Kuntowijoyo, Paradigma…, hal. 288.
11
mengenai apa yang disebut sebagai “umat yang terbaik” di sebuah “negeri yang
baik, di bawah ampunan Tuhan”. QS. Saba` ayat 15.
ة5 �ه�م� آي��� �ن ك � ف�ي م�س��� �إ ب ان� ل�س��� د� ك��� �ق��� �م�ين� ل ان� ع�ن ي �ت��� ن ج�م�ال� ��ه� و�ش وا ل �ر� ك �م� و�اش� �ك ب ق� ر� ز� �وا م�ن ر� �ل ة5 ك �ب��� �د�ة5 ط�ي �ل ب
بS غ�ف�ور5 [٣٤:١٥]و�ر�“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". (QS. Saba` ayat 15)
Dengan cita-cita normatif seperti itu, umat Islam merupakan suatu
kelompok yang akan terus menerus dimotivasi oleh kesadaran subjektifnya dalam
membela keadilan sosial-ekonomi dan politik yang emansipatoris. Tetapi sikap
normatif ini hanya akan menjadi aktual jika umat dapat melakukan pemihakan
kepada mereka yang tertindas, karena proses-proses struktural merampas hak-hak
dan peluangnya. Ini berarti umat harus mendefinisikan siapa yang dirugikan itu, di
dalam struktur apa mereka dirugikan, dan dengan cara bagaimana hal-hal tersebut
bisa diatasi.
E. Kesimpulan
Ilmu sosial sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat, karena
dengan ilmu sosiallah kita bisa mengetahui masalah dan solusi yang ada dalam
masyarakat tertentu, namun sayangnya kebanyakan sosiolog pada zaman sekarang
mandek dalam memberikan solusi-solusi masalah sosial kemasyarakatan. Ilmu
sosial profetik hadir ketengah masyarakat dengan mengandeng serta nilai-nilai
keagaamaan di dalamnya, dengan tidak mengabaikan pengaruh luarnya.
Bagi Kuntowijoyo Islam sangat concern transformasi sosial, bahkan
agama ini datang untuk manusia, bukan untuk Allah swt, walau seorang Islam
harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang berasal dari Allah swt, atau tauhid.
12
Karena menurutnya, manusia selalu melakukan perubahan sosial dan al-Qur’an
harus menjadi paradigma pemikiran.
Ilmu sosial profetik merupakan suatu ilmu yang tidak hanya menjelaskan
dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana
transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu sosial
profetik tidak hanya sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini, maka ilmu sosial
profetik sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan
masyarakatnya.
Gagasan mengenai ilmu sosial profetik, kita tidak perlu mempunyai
kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi sains Barat dewasa ini.
Betapapun, dalam proses theory- building, kita memang tidak dapat menghindari
terjadinya peminjaman dari dan sintesis dengan khazanah ilmu Barat. Islamisasi
ilmu pengetahuan dengan proses peminjaman dan sintesis ini, tidaklah kita perlu
khawatirkan sebagai westernisasi Islam. Tanpa harus mengecilkan arti analisis-
analisisnya yang fundamental mengenai imperialisme epistemologi dan
subordinasi Islam pada pandangan dunia Barat. Dalam hal ini alangkah baiknya
kita tidak menganggap itu sebagai warning system. Akan sangat tidak realistis bila
kita memandang pengaruh-pengaruh Barat dalam hal Islamisasi sains ini dalam
perspektif yang dikotomis. Sekalipun pada tujuan finalnya kita memang harus
berusaha untuk mendekati cita-cita Islam yang otentik, karena kita yakin bahwa
Islam merupakan sebuah alternatif, akan tetapi dalam proses globalisasi dan
universalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang dewasa ini, kita harus
membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban.
Sebagai konsekuensi agama transformatif, maka Islam menjadikan
pemeluknya sebagai agen of sosial dalam melakukan perubahan sosial (social of
change). Untuk melakukan transformasi sosial, maka agenda selanjutnya adalah
mencari perangkat dan alat untuk mengerahkan dinamika sosial, pada saat itu
diperlukan ilmu sosial profetik yang mempunyai landasan epistemologi pada al-
Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
13
Moeslim Abdurrahman , Islam Transformatif, Cet III, Jakarta:Pustaka Firdaus, 1999.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Cet VIII, Bandung: Mizan,1999.
M. Syafi`i Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam di Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde baru, Cet I, Jakarta: Paramadina, 1995.
Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, Jakarta: PT. Grasindo, 2007.
http://omperi.wikidot.com/ilmu-sosial-profetik:antara-teori-kritis-teologi-pembebasan, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_Sosial_Profetik#cite_note-1, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.
Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, Cet 18, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
M. Syafi`i Anwar, Pemikiran Politik Dengan Paradigma Alquran :Sebuah Pengantar dalam Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Cet III, Bandung: Mizan, 1999