Download - Stase Paru Tb
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit Tuberkulosis (TB) sudah dikenal sejak dahulu kala. Penyakit ini
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini pada umumnya
menyerang paru-paru dan sebagian lagi dapat menyerang di luar paru-paru, seperti kelenjar
getah bening (kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan, selaput otak, dan sebagainya.
TB merupakan contoh lain infeksi saluran napas bawah, yang biasanya ditularkan
melalui inhalasi percikan ludah (droplet penderita TB), dari satu individu ke individu
lainnya, dan membentuk kolonisasi di bronkiolus atau alveolus. Kuman TB juga dapat
masuk ke tubuh melalui saluran cerna, melalui ingesti susu tercemar kuman TB yang tidak
dipasteurisasi, atau kadang-kadang melalui lesi kulit penderita TB (Corwin, 2009).
TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun
1992, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global
Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2009 adalah : Insidens kasus 9,4
juta (8,9-9,9 juta), prevalens kasus 14 juta (12-16 juta), kasus meninggal (HIV negatif) 1,3
juta ( 1,2-1,5 juta), kasus meninggal (HIV posistif) 0,38 juta (0,32-0,45 juta).
Jumlah kasus terbanyak adalah regio Asia Tenggara (35%), Afrika (30%) dan regio
Pasific Barat (20%). Dari data WHO tahun 2009, lima negara dengan insiden kasus
terbanyak yaitu India (1.6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,4-0,59 juta),
Nigeria (0,37-0,55 juta), dan Indonesia (0,35-0,52 juta). India menyumbangkan kira-kira
seperlima dari seluruh jumlah kasus didunia (21%) (PDPI, 2011).
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah
India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia
sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan, setiap tahun ada 429.730
kasus baru dan kematian 62.246 orang. Insidensi kasus TB basil BTA (Basil Tahan
Asam) positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.
Pada tahun 2009, prevalensi HIV pada kelompok TB di Indonesia sekitar 2.8%.
Kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR)
diantara kasus TB baru sebesar 2%, sementara MDR diantara kasus pengobatan ulang
sebesar 20% (Kemenkes RI, 2011).
Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler
dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari
golongan penyakit infeksi.
Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara Regional
prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: wilayah
Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk, wilayah Jawa dan Bali
angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk, wilayah Indonesia Timur angka
prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi Daerah
Istimewah Yogyakarta (DIY) dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000
penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan
insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2011).
Seseorang yang diperkirakan memiliki gejala TB, khususnya batuk produktif yang
lama dan hemoptisis, harus menjalani foto toraks, walaupun reaksi terhadap tes
tuberkulin intradermalnya negatif.
Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), kasus TB
diperkuat dengan kultur bakteriologi organisme Mycobacterium tuberculosis yang positif.
Sangat penting untuk menanyakan orang yang diduga terkena TB tentang riwayat
terpajan dan infeksi TB sebelumnya. Harus dipertimbangkan juga faktor-faktor
demografi ( misal, negara asal, usia, kelompok etnis dan ras) dan kondisi kesehatan
(misalnya, infeksi HIV) yang mungkin meningkatkan risiko seseorang untuk terpajan TB.
Indikasi rawat inap pada pasien TB paru apabila mempunyai keadaan/komplikasi
sebagai berikut: batuk darah masif, keadaan umum buruk, pneumotoraks, empiema, efusi
pleura masif/bilateral, sesak napas berat (bukan karena efusi pleura). TB diluar paru yang
mengancam jiwa: TB paru milier, dan meningitis TB. Pengobatan suportif/simtomatis
yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat inap penderita TB (PDPI,
2011).
Pasien TB paru diperbolehkan pulang dari rumah sakit apabila keadaan umum
sudah membaik, atau keluhan yang memperberat seperti sesak napas dan batuk darahnya
sudah berhenti dan bisa melanjutkan pengobatan berobat jalan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,
yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh yang lainnya
yang mempunyai tahanan parsial oksigen yang tinggi (Rab, 2010).
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme patogen
maupun saprofit.
2.2. Sejarah Tuberkulosis Paru
Pada hakekatnya, penyakit TB adalah penyakit yang sudah ada sedari zaman purbakala.
Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kuno. Penggalian arkeologis di Mesir menemukan
sisa-sisa tulang belakang manusia dengan tanda-tanda khas TB tulang belakang (spondylitis
tuberculosa = pott’s disease), kira-kira tahun 3700 SM. Juga pernah ditemukan mumi dari
sekitar tahun 1000 SM dengan ciri-ciri khas penyakit yang sama. Deskripsi ilmiah yang paling
kuno diperoleh dari Hippocrates (abad ke-5) dan Ganelus (tahun 131-200). Oleh Hippocrates,
penyakit ini disebut phitis, yang dalam bahasa Yunani kuno berarti mengurusnya tubuh secara
progresif (Danusantoso, 2013).
Dunia medis baru mengenal sosok kuman penyebab TB semacam bakteri berbentuk
batang setelah Robert Koch berhasil mengidentifikasinya pada abad ke-19, yaitu pada tanggal 24
Maret 1882. Dari sinilah diagnosis secara mikrobiologis dimulai dan penatalaksanaannya lebih
terarah. Apalagi pada tahun 1896 Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu menegakkan
diagnosis lebih tepat (Amin, 2009).
2.3. Etiologi Tuberkulosis Paru
Kuman penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis dan
Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5 – 4 mikron x 0,3 – 0,6 mikron
dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai
selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat).
Bakteri ini mempunyai sifat istimewah, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna
dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA). Serta tahan terhadap
zat kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat
dorman dan aerob.
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 1000C selama 5 – 10 menit atau pada
pemanasan 600C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70 – 95% selama 15 – 30 detik. Bakteri
ini tahan 1- 2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan bulan),
tetapi tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara (Widoyono, 2011).
2.4. Epidemiologi Tuberkulosis Paru
2.4.1. Distribusi Frekuensi TB Paru
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru
dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga,
kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan
dan nifas.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-
rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan
tahunan rumah tangganya sekitar 20-30% (Kemenkes RI, 2011).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
a. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang
sedang berkembang.
b. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
b.1. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan.
b.2. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,
penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin
penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang
standar, dan sebagainya).
b.3. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak
standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).
b.4. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG (Bacillus Calmette Guerin).
b.5. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat.
c. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur
umur kependudukan.
d. Dampak pandemi HIV.
Indonesia sekarang berada pada urutan kelima negara dengan beban TB tertinggi
di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan estimasi
insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.
Pada tahun 2009, tercatat sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati
(data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan
demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case
Detection Rate 73%). Rata-rata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4
tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%.
Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian
TB nasional yang utama (Kemenkes RI, 2011).
2.4.2. Determinan TB Paru
Penyakit TB pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor sosial lainnya, untuk
lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:
a. Faktor sosial ekonomi : Faktor sosial ekonomi sangat erat dengan keadaan rumah,
higine yang rendah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan
sanitasi tempat kerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan
keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil
membuat orang tidak dapat layak memenuhi syarat-syarat kesehatan termasuk
kesulitan membeli obat dan membuat keterlambatan dalam diagnosis (Djojodibroto,
2013).
b. Status gizi : Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi
dan Iain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan
terhadap penyakit, termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
c. Umur : Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan persentase
penderita TB terbesar adalah usia 25-34 tahun (23,67%), diikuti 35-44 tahun
(20,46%), 15-24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 55-64 tahun (12,32%),
lebih dari 65 tahun (6,68%) dan yang terendah adalah 0-14 tahun (1,31%)
(Widoyono, 2011). Gambaran seluruh dunia menunjukkan bahwa morbiditas dan
mortalitas meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Pada usia lanjut lebih dari
55 tahun sistem imunolosis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap
berbagai penyakit, termasuk penyakit TB paru (Manalu, 2010).
d. Jenis kelamin: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak
menderita TB paru dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan laki-laki lebih
banyak melakukan mobilisasi dan mengonsumsi alkohol dan rokok. Laporan dari
seluruh provinsi Indonesia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.230
penderita TB paru terdapat 43.294 laki-laki (56,79%) dan 32.936 perempuan
(43,21%) (Widoyono, 2011).
2.5. Cara Penularan Tuberkulosis Paru
2.5.1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2.5.2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman TB ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
2.5.3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman.
2.5.4. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
2.5.5. Daya penularan seorang pasien penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
2.5.6. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
2.6. Patogenesis Tuberkulosis Paru
Tempat masuk kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran
pencernaan (GI), dan luka terbuka kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu
melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang
yang terinfeksi TB. TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas diperantai sel.
Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe
imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh
limfosit dan limfositnya. Respons ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas selular (lambat).
Berdasarkan penularannya maka tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 bentuk, yakni :
2.6.1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda
dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus).
c. Menyebar dengan cara :
c.1. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat
ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
c.2. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
c.3. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan:
c.3.1. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang
pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau,
c.3.2. Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
2.6.2. Tuberkulosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer
mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized
tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang
terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak
di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya
berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu
jalan sebagai berikut:
a. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
b. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan
keluar.
c. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan
menjadi
c.1. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini
akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas.
c.2. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c.3. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh
dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir
sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang
(stellate shaped).
2.7. Gejala Klinis Tuberkulosis Paru
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan sistemik. Bila
organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai
organ yang terlibat).
2.7.1. Gejala Respiratorik
Gejala-gejala respiratorik yang muncul seperti batuk ≥ 2 minggu, batuk berdahak:
mukoid, mukopurulen, batuk darah, sesak napas, nyeri dada, dan wheezing (Alsagaff,
2010).
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar (PDPI, 2011).
2.7.2. Gejala Sistemik
a. Demam (subfebris)
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun,
menggigil, gangguan menstruasi (Alsagaff, 2010).
2.7.3. Gejala TB Ekstra Paru
Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI, 2011).
2.8. Diagnosis Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis sering mendapat julukan the great imitator yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit-penyakit paru lain dan juga
memberikan gejala-gejala umum, seperti kelemahan atau panas (Alsagaff, 2010).
2.8.1. Anamnesa
a. Keluhan : Dari anamnesa dapat diketahui keluhan pasien berupa batuk, batuk
berdahak, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada dan adanya wheezing atau nafas
berbunyi dalam waktu yang lama. Akan tetapi keluhan tersebut bukan hanya di
dapati dari penyakit Tuberkulosis saja, keluhan tersebut dapat pula di sebabkan oleh
semua penyakit paru menahun (Alsagaff, 2010).
b. Tipe Pasien/Penderita
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe pasien yaitu :
b.1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b.2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
b.3. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
b.4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
b.5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
b.6. Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan (Kemenkes RI, 2009).
2.8.2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi : Keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit
yang pucat karena anemia, badan kurus atau berat badan menurun. Pada TB paru yang
lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal.
b. Palpasi : Suhu tubuh demam (subfebris).
c. Perkusi : Redup bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas dan bila terdapat kavitas
yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani. Bila
tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura, paru yang sakit terlihat
agak tertinggal dalam pernapasan perkusi memberikan suara pekak.
d. Auskultasi : Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan auskultasi
suara napas bronkial dan bila terdapat kavitas yang cukup besar, auskultasi
memberikan suara amforik. Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi
pleura, paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan auskultasi
memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Adanya
ronkhi basah halus (krepitasi) sesudah batuk pada lapangan atas paru merupakan
kelainan paru yang dini (Amin, 2009).
2.8.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit TB paru.
Banyak teknik pemeriksaan yang dapat digunakan, antara lain berikut jenis-jenis
pemeriksaannya:
a. Pemeriksaan Bakteriologi
a.1. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, semua suspek TB
diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu
(SPS), cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
a.2. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(BAL), urin, feces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan
cara : mikroskopik, biakan.
a.3. Pemeriksaan mikroskopik:
a.3.1. Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
a.3.2. Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
a.4. Menurut rekomendasi WHO, interprestasi pemeriksaan mikroskopis dibaca
dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUATLD). Skala IUATLD :
a.4.1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
a.4.2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
a.4.3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
a.4.4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
a.4.5. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (3+) (PDPI,
2011).
a.5. Pemeriksaan biakan kuman:
a.5.1. Biakan : Egg base media : Lowenstein-Jeinsen, Ogawa, Kudo, Agar base
media: Middle brook, Mycobacteria growth indicator tube tes
(MGITT), BALTEC.
a.5.1. Uji molekular : PCR-Based Methods of IS6110 Genotyping,
Spoligotyping, Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP),
MIRU/VNTR Analysis, PGRS RFLD, Genomic Deletion Analysis.
a.5.2. Uji serologi : ELISA, ICT, Mycodot dan IgG/IgM TB. Saat ini uji
serologi tidak bermakna untuk diagnosis (Djojodibroto, 2013).
b. Pemeriksaan Darah
Pemerikaan darah tidak dapat dipakai pegangan untuk menyokong diagnosa
tuberkulosis paru, karena hasil pemerikaan darah tidak menunjukkan gambaran yang
khas. Gambaran darah kadang-kadang dapat membantu menentukan aktivitas
penyakit.
b.1. Laju Endap Darah (LED)
Laju endap darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah
yang normal tidak dapat mengesampingkan proses tuberkulosis aktif.
b.2. Lekosit
Jumlah lekosit dapat normal atau sedikit meningkat pada proses yang aktif.
b.3. Hemoglobin (Hb)
Pada penyakit TB berat sering disertai dengan anemia derajat sedang, bersifat
nermositik dan sering disebabkan defisiensi besi (Alsagaff, 2010).
c. Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan guna menunjukkan reaksi imunitas
seluler yang timbul setelah 4-6 minggu penderita mengalami infeksi pertama dengan
basil tuberkulosis. Banyak cara yang dipakai, tapi yang paling sering adalah cara dari
Mantoux.
Reaksi pada uji tuberkulin adalah delayed type hypersensitivity.
c.1. Bahan yang sering dipakai untuk uji tuberkulin adalah :
c.1.1. Old Tuberkulin (OT)
c.1.2. PPD-S : Pada tahun 1939 dikembangkan oleh Siebert dan kemudian
dipakai oleh WHO.
c.1.3. PPD-Rt23 dibuat di Copenhagen. Untuk mencegah absorbsi oleh dinding
gelas, maka ditambah 0,0005% Tween 80.
c.2. Cara pemberian :
c.2.1. Intradermal : diberikan dengan cara Mantoux, yaitu bahan tes disuntikkan
intrakutan pada sisi voler 1/3 atas lengan bawah kiri.
c.3. Pembacaan :
Dilakukan 48 - 72 jam setelah penyuntikkan.
c.3.1. Positif : bila diameter indurasi lebih besar dari 10 mm.
c.3.2. Negatif : bila indurasi kurang dari 5 mm dan meragukan bila diameter
indurasi antara 5 sampai 10 mm (Alsagaff, 2010).
d. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top- lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
d.1. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
d.1.1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
d.1.2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
d.1.3. Bayangan bercak milier
d.1.4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
d.1.5. Infiltrat
d.2. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
d.2.1. Fibrotik
d.2.2. Kalsifikasi
d.2.3. Schwarte atau penebalan pleura
d.3. Luluh paru (destroyed lung ) :
d.3.1. Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi
luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
d.3.2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas
proses penyakit (PDPI, 2011).
Gambar 2.1. Bagan Alur Diagnosis TB Paru Dewasa (Kemenkes RI, 2009).
2.9. Diagnosis Banding Tuberkulosis Paru
Pada proses berlangsungnya penyakit TB paru, TB paru dapat di diagnosis banding
sebagai berikut:
2.9.1. Bronkitis akut
Pada seranga pertama gejala hampir sama dengan pneumoni ringan, yakni
berpa batuk-batuk dengan dahak muko-purulen, peningkatan suhu badan yang belum
terlalu tinggi, rasa tidak enak seperti biasanya pada dada, dan dapat disertai sesak
napas ringan (Danusantoso, 2013).
2.9.2. Bronkopneumonia
Proses kaseosa pada pneumonia aktif meliputi 1 lobus, sangat menyerupai
pneumonia lobaris yang disebabkan oleh Pneumokokus. Sedangkan pneumonia yang
disebabkan oleh Streptokokus atau bakteri anaerob cepat menimbulkan abses
(Alsagaff, 2010).
2.9.3. Pneumonia infiltrat eosinofilik
Pneumonia infiltrat eosinofilik sebenarnya bukanlah suatu penyakit, akan tetapi
merupakan sekelompok penyakit yang disertai dengan peninggian eosinofil di perifer
paru. Oleh karena itu di dalam paru terdapat infiltrat eosinofil. Keluhan pada
umumnya bervariasi, terutama batuk dengan produksi sputum, demam, sesak napas,
keringat malam dan malaise. Kadang-kadang ditemukan wheezing pada seluruh
lapangan paru (Rab, 2010).
2.9.4. Kanker paru stadium dini
Pada kanker paru primer, gejala-gejalanya tidak berbeda dengan gejala TB
paru. Hanya saja, kemunduran kondisi penderita berjalan sangat cepat, misalnya
dalam 1 bulan sejak mulai awal-awal batuk, berat badan dapat turun sampai 5 kg atau
lebih juga dapat timbul nyeri dada dan sesak napas (Danusantoso, 2013).
2.9.5. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah suatu kelainan yang permanen dimana terjadi dilatasi dari
bronkus. Ada dua tanda utama yang terdapat pada bronkiektasis, yakni batuk pada
pagi hari dan sputum yang purulen, adalah merupakan tanda yang karakteristik dan
selain itu dapat pula terjadi hemoptisis, pneumonia yang berulang, dan sinusitis yang
dapat merupakan keluhan tambahan (Rab, 2010).
2.9.6. Bronkitis kronis (BK)/PPOM
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya sekseri mukus yang berlebihan
pada saluran pernapasan secara terus menerus (kronik) dengan disertai batuk
(Djojodibroto, 2013). Penderita BK/PPOM selalu akan mengeluh batuk-batuk
berdahak yang sudah berlangsung bertahun-tahun, untuk kemudian disusul dengan
bunyi napas ngiik-ngiik dan sesak (Danusantoso, 2013).
2.9.7. Emfisema
Emfisema adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang
diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya dapat bersamaan dengan
bronkitis kronis, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Trias dari emfisema adalah
terdiri dari batuk, sputum yang banyak, sesak napas yang progresif dan umumnya
tidak terdapat wheezing (mengi) (Rab, 2010).
2.9.8. Penyakit paru kerja
Penyakit paru kerja adalah berbagai jenis penyakit paru yang terjadi akibat
individu-individu yang hidup di area lingkungan tertentu menghirup udara ambien
yang telah tercemari oleh bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan (beberapa
macam gas, partikel, bahan-bahan toksik, berbagai macam debu dan sebagainya) dan
mempunyai ciri dimana penyakit tersebut mengalami eksaserbasi atau memberat saat
individu berada di tempat kerja dan berkurang atau hilang saat meninggalkan termpat
kerja disebut penyakit paru kerja (Rahmatullah, 2009).
2.10. Komplikasi Tuberkulosis Paru
Pada pasien TB dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau
dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Pada keadaan komplikasi harus dirujuk ke fasilitas yang memadai dan di
indikasikan untuk dirawat inap. Indikasi rawat inap TB paru disertai keadaan atau
komplikasi sebagai berikut:
2.10.1. Batuk darah masif
Batuk darah masif terjadi bila ada robekan dari aneurisma Rasmussen pada
dinding kavitas atau pada perdarahan yang berasal dari bronkiektasis atau ulserasi
trakeo-bronkial. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian karena penyumbatan
saluran pernapasan oleh bekuan darah. Batuk darah jarang berhenti mendadak,
karena itu penderita masih terus menerus mengeluarkan gumpalan-gumpalan darah
yang berwarna cokelat selama beberapa hari (Alsagaff, 2010).
2.10.2. Efusi pleura
Efusi pleura adalah adanya cairan patologis di dalam rongga pleura. Pada
umumnya kelainan ini didasari atas adanya suatu proses radang yang dapat akut
maupun yang kronis (Danusantoso, 2013).
Tuberkulosis paru merupakan penyebab utama terjadinya efusi pleura dan lebih
banyak dijumpai pada pria dari wanita. Penyebab terjadinya efusi pleura karena
peradangan jaringan paru yang meluas ke pleura sekitarnya dan ada kalanya gejala
klinis tidak dijumpai batuk, kadang-kadang terdapat sesak napas ringan (Asagaff
2010).
2.10.3. Pneumotoraks
Keadaan ketika ditemukannya udara di dalam rongga pleura. Udara di dalam
rongga pleura menyebabkan tekanan di dalam pleura tidak lagi negatif (dalam
keadaan normal, tekanannya adalah -5cm H2O). Paru menjadi kempis, dan disebut
sebagai kolaps atau atelektasis. Penderita akan mengeluh sesak napas karena tidak
terjadi ventilasi pada paru yang kolaps (Djojodibroto, 2013).
2.10.4. Empiema
Suatu efusi pleura yang bersifat purulen, dan dapat berupa kista empiema.
Sifanya akut dan kronik.
2.10.5. TB paru milier
Tuberkulosis miliar terjadi akibat penyebaran kuman Mycobacterium
tuberculosis secara akut dan masif melalui aliran darah sistemik. Umumnya hal ini
terjadi pada penderita-penderita yang memiliki kemampuan pertahanan tubuh yang
tidak adekuat dalam menghadapi infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.
2.10.6. Meningitis TB
Meningitis TB adalah infeksi pada meningen yang disebabkan oleh basil tahan
asam Mycobacterium tuberculosis. Meningitis TB pada umumnya sebagai
penyebaran infeksi Tuberkulosis primer ditempat lain. Biasanya fokus infeksi primer
di paru- paru (PDPI, 2011).
2.10.7. Gagal napas
Gagal napas adalah suatu kegagalan dari paru untuk melaksanakan pertukaran
gas, sehingga menyababkan kadar CO2 dalam darah meningkat.
Pengobatan yang dilakukan adalah mengatasi kegawatan (Emergency treatment)
berdasarkan atas tingkat beratnya kegagalan pernapasan yang terjadi maka
pengobatan dapat dibagi menjadi konservatif dan menggunakan respirator.
2.11. Pengobatan Tuberkulosis Paru
2.11.1. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
• Rifampisin
• INH
• Pirazinamid
• Streptomisin
• Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg
dan pirazinamid. 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X
semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali
Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu 50 mg /kg BB
2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X
seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
Streptomisin:15mg/kgBB atau
BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4
tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi
dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan
pedoman pengobatan.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
· Pasien baru TB paru BTA positif.
· Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
· Pasien TB ekstra paru
Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
· Pasien kambuh
· Pasien gagal
· Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
Catatan:
· Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
· Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
· Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari).
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.
Dosis KDT untuk Sisipan
Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Indikasi Operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1. Indikasi mutlak :
1.1. Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
1.2. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
1.3. Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2. Indikasi relatif :
2.1. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
2.2. Kerusakan satu paru-paru atau lobus dengan keluhan
2.3. Sisa kavitas yang menetap
3. Indikasi untuk TB ekstra paru : Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya
pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik (Kemenkes RI, 2011).
2.12. Pencegahan Tuberkulosis Paru
2.12.1. Pencegahan Primer
a. General Health Promotion
Dalam (Kemenkes RI, 2011) upaya pencegahan pengendalian TB di Indonesia
membuat strategi AKMS (Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial). AKMS
adalah suatu konsep sekaligus kerangka kerja terpadu untuk mempengaruhi dan
mengubah kebijakan publik, perilaku dan memberdayakan masyarakat dalam
pelaksanaan pengendalian TB.
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari seluruh pemangku kebijakan.
Komunikasi merupakan upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial
yang mendorong masyarakat umum, dan petugas kesehatan agar bersedia bersama-
sama menanggulangi penularan TB.
Mobilisasi Sosial adalah proses pemberian informasi secara terus menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran,
agar sasaran memiliki pengetahuan, sikap dan mempraktikkan perilaku yang
diharapkan.
Strategi AKMS, mobilisasi sosial sebagai ujung tombak, yang didukung oleh
komunikasi dan advokasi. Masing-masing strategi harus diintegrasikan semangat dan
dukungan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder).
Kesemuanya diarahkan agar masyarakat mampu mempraktikkan perilaku pencegahan
dan pengobatan TB.
Bentuk-bentuk mobilisasi sosial : Kampanye, penyuluhan kelompok, diskusi
kelompok, kunjungan rumah, konseling, dan mendayagunakan berbagai media massa
untuk membangun kebersamaan dalam mengatasi masalah/isu (masalah bersama). Hal
ini cukup efektif bila dilakukan dengan menggunakan televisi, filler/spot, radio spot,
billboard dan spanduk (Kemenkes RI, 2011).
Beberapa cara lain yang dapat dilakukan adalah memperbaiki standar hidup
dengan meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan cara : Makan makanan
yang mengandung 4 sehat 5 sempurna, lengkapi perumahan dengan ventilasi yang
cukup, usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur, lakukanlah olahraga di tempat-
tempat yang mempunyai udara segar (Alsagaff, 2010).
b. Specific Protection
Peningkatan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG. Vaksinasi BCG dapat
melindungi anak yang berumur <15 tahun sampai 80% dari infeksi kuman TB (Rab,
2010).
2.12.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mengobati penderita TB paru dan
mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit TB paru melalui diagnosis
dini dan peberian pengobatan, hal ini dapat dilakukan antara lain dengan Case
finding (menemukan kasus) dengan foto toraks yang dikerjakan secara masal atau uji
tuberkulin secara mantoux, isolasi penderita dan mengobati penderita dengan OAT
(Alsagaff, 2010).
2.12.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi komplikasi TB paru yang
sudah terjadi. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan memberikan pengobatan
yang adekuat atau pengobatan keadaan khusus sehingga infeksi paru tidak meluas
(PDPI, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, H., Mukty, A., 2010. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Erlangga University
Press. 85-108.
Amin Z., Bahar, A.. 2009. Tuberkulosis Paru. In : Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, K. M., Setiati, S., Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid III.
Jakarta : Internal Publishing. 2230-8.
Corwin, E.J., 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC.545.
Danusantoso, H., 2013. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Ed 2. Jakarta: EGC. 95-6.
Djojodibroto, R.D., 2013. Respirologi (Respirotory Medicine). Jakarta : EGC.163-5.
Harefa, J.N.F., 2012. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Pasien Tuberkulosis Paru Dewasa
Rawat Inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan Pada Tahun 2010. Skripsi FK UNPRI, Medan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia., 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
(TB). Available from : http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK
%20No.%20364%20ttg%20Pedoman%20Penanggulangan%20Tuberkolosis%20(TB).pdf
[Accesed : 7 January 2014], 14-15.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyelamatan Lingkungan, 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Available from : http://www.tbindonesia.or.id/2012/04/09/buku-pedoman-nasional-tb/
[Accesed : 8 January 2014], 6-31.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyelamatan Lingkungan., 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-
2014. Available from : http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/STRANAS_TB.pdf
[Accesed : 9 January 2014], 12-13.
Manalu, HS, 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya
Penanggulangannya. Available from :
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/download/1598/pdf [Accesed :
12 January 2014], 1343.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)., 2011. Pedoman dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI, 1-27.
Rab, T., 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : CV. Trans Info Media. 157, 166.
Rahmatullah, P., 2009. Pneumonitis dan Penyakit Paru Lingkungan. In : Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K. M., Setiati, S., Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta : Internal Publishing. 2279.
Simamora, A.S., 2013. Gambaran Diagnostik dan Penatalaksanaan Pasien TB Paru Rawat Inap
di RSU Imelda Pekerja Indonesia (IPI) Medan Tahun 2010. Skripsi FK UNPRI, Medan.
Siregar, Y., Zein, U., 2011. Panduan Penyusunan Proposal Penelitian dan Laporan Hasil
Penelitian Sebagai Karya Tulis Ilmiah. Medan : USU Press.
Widoyono., 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya.
Ed 2. Jakarta: Erlangga. 15-18.