MODEL PENDIDIKAN TAUHID
(Studi Komparasi Pemikiran Al-Ghazali
dan Syed M. Naquib Al-Attas)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
ULFIYANI
11140110000036
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
ABSTRAK
Ulfiyani (11140110000036) : “Model Pendidikan Tauhid (Studi Komparasi
Pemikiran Al-Ghazali dan Syed M. Naquib Al-Attas)”.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan model pendidikan tauhid
menurut al-Ghazali dan Syed M. Naquib al-Attas. Metode penelitian yang
digunakan oleh peneliti ialah metode kualitatif dengan pendekatan penelitian
pustaka. Memfokuskan pada sumber primer pemikiran al-Ghazali tentang
pendidikan tauhid pada kitab Ihya Ulumuddin dan al-Attas pada buku Konsep
Pendidikan dalam Islam, Terj. dari The Concept of Education in Islam: A
Framework for an Islamic Philosophy of Education, terbit di Bandung: Mizan,
tahun 1996. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah Model pendidikan
tauhid yang diajarkan oleh Imam al-Ghazali lebih bersifat filosofis. Model
pendidikan tauhid yang diajarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas lebih
bersifat teologis. Terdapat perbedaan diantara keduanya yaitu masa dan bahasa,
jika model pendidikan tauhid al-Ghazali ialah riyadhoh sedangkan model
pendidikan tauhid Syed M. Naquib al-Attas adalah ta’dib.
Kata Kunci : model pendidikan tauhid, al-Ghazali, Naquib al-Attas
ABSTRACT
Ulfiyani (11140110000036) : “Tauhid Education Model (comparative study of
al-Ghazali and Syed M. Naquib al-Attas thoughts)”.
The research aims to comparison the model of tauhid education according
to al-Ghazali and Syed M. Naquib al-Attas. The research method used by
researchers is a qualitative method with a library research. This research focuses
on source primer from ihya Ulmudin by Imam al-Ghazali and The Concept of
Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education by
Syed M. Naquib al-Attas. The results found in this study are the model of tauhid
education taught by al-Ghazali more philosophical. the tauhid education model
taught Syed M. Naquib al-Attas is more theological. there are differences between
the two, time and language if the al-Ghazali tauhid education model is riyadhoh
while the tauhid education model Syed M. Naquib al-Attas is ta'dib.
Keywords: tauhid education model, al-Ghazali, Naquib al-Attas.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga dapat menyusun dengan baik Skripsi yang berjudul
“MODEL PENDIDIKAN TAUHID (Studi Komparasi Pemikiran Al-Ghazali
dan Syed M. Naquib Al-Attas)”. Dimana setiap Mahasiswa/i tingkat akhir
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta harus
mengerjakan Skripsi demi memenuhi persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1)
Pendidikan Agama Islam.
Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya
berkat adanya bantuan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang ada
hubungannya dengan pembahasan judul skripsi ini. Maka pada kesempatan kali
ini, penulis dengan setulus hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam kelancaram perkuliahan.
2. Dr. Abdul Majid Khon, MA selaku Ketua Jurusan (Kajur) Pendidikan
Agama Islam dan Ibu Marhamah Saleh, Lc. MA, selaku Sekretaris Jurusan
(Sekjur) Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan arahan dan
bimbingan kepada penulis.
3. Dr. Akhmad Sodiq, M.Ag selaku Dosen Penasehat Akademik sekaligus
Dosen Pembimbing Skripsi ini, yang telah memberikan nasehat, arahan,
bimbingan dan motivasi penulis agar penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini dan selesai tepat pada waktunya.
4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya selama
perkuliahan berlangsung. Semoga ilmu yang Bapak dan Ibu Dosen beri
kepada penulis selalu bermanfaat. Amiin Ya Rabbal „Alamin.
5. Pimpinan dan seluruh staff karyawan/i Perpustakaan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang selalu memberikan pelayanan yang baik dalam hal
peminjaman dan pengembalian buku kepada penulis.
ii
6. Ayahanda Ruhiyat dan Ibunda Masita yang selalu memberikan motivasi,
bimbingan, arahan baik berupa materi maupun non-materi hingga
terselesaikannya skripsi ini. Skripsi penulis persembahkan untuk ayahanda
dan ibunda.
7. Adik tercinta Muhammad Fathan Lihifdzi Ayatillah yang selalu
memberikan motivasi agar penulis selalu semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
8. Ka Refa yang selalu membimbing dari awal penulisan skripsi ini hingga
selesai, dear dearyku tersayang, (Ana, Alpi, Hani, Kinjul, Dian, Oca, Riri,
dan Maryamkuh) dan sahabatku (Dinda, Icha dan Mala) yang selalu ada
untuk memotivasi dan menemani penulis selama penyelesaian skripsi ini.
9. Kawan-kawan tercinta PAI angkatan tahun 2014 khususnya kelas B yang
selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini.
10. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
juga telah turut memberikan motivasi agar penulis menyelesaikan skripsi
ini tepat pada waktunya.
Harapan penulis, semoga hasil pembahasan dalam skripsi ini akan
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya serta
mendapat ridha Allah SWT.
Segala kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini mohon dimaklumi,
segala kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati,
demi kebaikan dan kebenaran. Semoga Allah SWT. berkenan mengampuni dosa
dan kesalahan kita. Amiin Ya Rabbal Alamiin..
Hormat penulis,
(Ulfiyani)
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ..................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 5
C. Pembatasan Masalah ........................................................................... 5
D. Perumusan masalah ............................................................................. 5
E. Tujuan Penelitian................................................................................. 6
F. Manfaat Penelitian............................................................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Tauhid............................................................................... 8
1. Pengertian Pendidikan Tauhid ...................................................... 8
2. Tujuan Pendidikan Tauhid........................................................... 15
3. Ruang Lingkup Pendidikan Tauhid ............................................. 17
4. Proses Pembelajaran Pendidikan Tauhid ..................................... 19
B. Model Pendidikan Tauhid ................................................................. 22
C. Kerangka Konsep .............................................................................. 25
D. Hasil Penelitian yang Relevan ........................................................... 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian............................................................ 29
B. Metode Penelitian .............................................................................. 29
C. Fokus Penelitian ................................................................................ 30
D. Prosedur Penelitian ............................................................................ 30
iv
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Biografi Tokoh .................................................................................. 33
1. Biografi al-Ghazali ...................................................................... 33
2. Biografi Syed M. Naquib al-Attas ............................................... 37
B. Pendidikan Tauhid menurut al-Ghazali ............................................. 41
C. Pendidikan Tauhid menurut Syed M. Naquib al-Attas ...................... 52
D. Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Imam al-Ghazali dengan Syed
M. Naquib al-Attas ............................................................................ 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................................ 67
B. Saran .................................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam merupakan syariat Allah Swt. yang diturunkan kepada umat
manusia di muka bumi agar mereka beribadah kepada-Nya. Penanaman
keyakinan terhadap Tuhan hanya bisa dilakukan melalui proses pendidikan
baik di rumah, sekolah maupun lingkungan. Pendidikan Agama Islam
merupakan kebutuhan manusia, dengan alasan bahwa manusia adalah
makhluk social dan dilahirkan memiliki potensi untuk dapat dididik dan
mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, serta pendukung dan
pemegang kebudayaan.1
Islam hadir membawa akidah yaitu konsep-konsep yang diimani
manusia sehingga seluruh perbuatan dan perilakunya bersumber pada
konsepsi tersebut. Akidah Islam dijabarkan melalui rukun-rukun iman dan
berbagai cabangnya seperti tauhid uluhiyah atau penjauhan diri dari
perbuatan syirik. Akidah Islam pun berkaitan pada keimanan yang gaib,
rasul, kitab-kitab, malaikat, dan hari akhir. Keimanan merupakan landasan
akidah dan dijadikan sebagai soko guru utama untuk bangunan pendidikan
Islam. 2
Akidah keesaan melepaskan manusia kepada ikatan-ikatan kepada
berhala, serta benda-benda lain yang posisinya hanyalah sebagai makhluk
Allah swt. Agama Islam disepakati oleh para ulama, sarjana, dan pemeluknya
sendiri, bahwa agama Islam dengan agama-agama lain adalah monoteisme
atau tauhid yang murni, clear, yang tidak dapat dicampuri dengan segala
macam bentu non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan agama Islam dari
agama-agama lain.3
1 Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), hal.130 2 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 84 3 Amin, Rais, Tauhid Sosial, (Bandung: Mizan, 1998), hal.35
2
Ketauhidan membawa manusia kepada kebebasan sejati terhadap apapun
yang ada, menuju kepada ketundukan terhadap Allah swt. Penanaman tauhid
ini dilakukan selama 13 tahun oleh Rasulullah saw, waktu yang cukup
panjang, namun hanya 40 orang saja yang mampu melepaskan budaya nenek
moyangnya, berani mengingkari leluhur mereka, dan menuju jalan yang
terang “tauhid Islamiyah”. Semua utusan Allah membawa pesan yang sama
yakni tauhid bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Islam mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan.
Dengan alasan bahwa menurut ajaran Islam pendidikan merupakan
kebutuhan manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan adalah sebuah
bekal pengetahuan untuk kehidupan. Islam merupakan agama ilmu dan
agama akal. Hal ini dikarenakan Islam selalu mendorong umatnya untuk
mempergunakan akal dan ilmu pengetahuan untuk dapat membedakan mana
yang benar dan mana yang salah. Tidak hanya memerintahkan untuk
menuntut ilmu tapi Islam juga menekankan kepada umatnya untuk
mengajarkan ilmu yang telah dimiliki kepada orang lain. Dengan demikian
Islam mewajibkan umatnya untuk belajar dan mengajar.4
Pendidikan memiliki sasaran utama dalam pelaksanaannya yaitu
manusia. Pendidikan memiliki maksud membantu peserta didik untuk
menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Konsep pendidikan
yang diajarkan oleh alghazali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.,
bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Begitu pula
dengan Syed M. Naquib al-Attas yang berpendapat bahwa pendidikan tidak
hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan social-ekonomi,
tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual
manusia.
Manusia merupakan makhluk yang terdiri atas dua unsur: jasad dan ruh.
Oleh karenanya, ia tidak dapat dikatakan sebagai makhluk ruh murni dan
jasad murni, tetapi penggabungan secara sinergis antara kedua ini yang
4 Zuhairini, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 98-99
3
disebut dengan jati diri manusia. Namun dalam pandangan Syed M. Naquib
al-Attas, jati diri manusia secara kuat ditentukan oleh ruhnya. Oleh
karenanya, ruh manusia itu tidak akan mati dan selalu sadar akan dirinya.
Bahkan, ia memiliki beberapa sebutan yang tergantung pada
kecenderungannya, yakni ruh (ruh), jiwa (nafs), hati (qalb), dan intelek
(„aql).5
Model pendidikan Tauhid yang akan dibahas untuk menyelesaikan
problematika dikotomi yang salah, seperti antara aspek objektif dan subjektif
ilmu pengetahuan. Dimana banyak yang mengatakan bahwa ilmu keagamaan
ialah ilmu subjektif yang tidak dapat diukur dan sangat berbeda dengan ilmu
yang objektif seperti kimia fisika yang dapat diukur. Jika kembali pada al-
Qur’an sudah jelas untuk membahas ilmu keagamaan yang tertera pada ayat-
ayatnya.
Pada kenyataannya pembelajaran yang terjadi saat ini tidak terpacu pada
tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Terdapat beberapa guru yang tidak
mengajar dengan sungguh-sungguh hanya menjadikan pengugur pada profesi
yang ia kerjakan. Beberapa sekolah yang dimasuki dan mendapat data dari
rekan-rekan peneliti yang berpraktik ngajar dibeberapa sekolah, terdapat
beberapa guru yang mencontohkan hal yang kurang baik kepada murid
dengan melanggar aturan yang ada di sekolah.
Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta
berakhlak mulia.6 Yang dimaksud dengan akhlak peserta didik bukan hanya
sekedar hal-hal yang berkaitan dengan ucapan, sikap dan perbuatan yang
harus ditampakkan oleh peserta didik dalam pergaulan di sekolan dan di luar
sekolah, melainkan berbagai ketentuan lainnya yang memungkinkan dapat
mendukung efektivitas proses belajar mengajar. Pengetahuan terhadap akhlak
5 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib Al-Attas terj. Hamid Fahmy, (Bandung: Mizan, 1998), hal.94 6Abd.Rozak, dan Fauzan, Ali Nurdin, Kompilasi Undang-undang dan Peraturan Bidang
Pendidikan, (Jakarta: FITK PRESS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah, 2010), Cet.ke-1, hal.40
4
peserta didik ini bukan hanya perlu diketahui oleh seriap peserta didik dengan
tujuan menerapkannya, melainkan juga perlu diketahui oleh setiap pendidik,
dengan tujuan agar dapat mengarahkan dan membimbing para peserta didik
untuk mengikuti akhlak tersebut.7
Dilihat dari data diatas jika aturan di sekolah yang sudah diatur dengan
sedemikian rupa dan hukumannya langsung terjadi masih ada beberapa
pelanggar yang melanggar aturan tersebut. Bagaimana dengan aturan Allah
Swt yang tidak langsung mendapat balasannya melainkan dihari akhir at kita
atau saat kita meninggal nanti. Disinilah peran guru yang terus memupuk
bahwa semua yang sudah diatur jika dilanggar aka nada balasannya. Jadi
seperti diatas tidak hanya dilihat dari nilai atau kognitif saja melainkan afektif
siswa saat disekolah maupun diluar tetap selalu dipantau dengan kerjasama
antara guru dan orang tua.
Pembelajaran yang sukses dan berhasil bisa kita lihat dari kedua sisi,
baik dari sisi guru dan dari sisi murid. Menurut kedua tokoh ini jika
seseoraang sudah benar-benar memahami agama Islam dan ketauhidan lalu
mengimplementasikan masalah-masalah ke dalam kehidupan dan profesi
pribadi mereka tidak perlu ada pertanyaan lagi.
Objek pembicaraan akidah ketauhidan yang diterangkan di dalam dalil-
dalilnya. Dimaksudkan dengan akidah ialah pendapat dan pikiran atau anutan
yang mempengaruhi jiwa manusia, lalu menjadi sebagai suatu bagian dari
manusia sendiri, dibela, dipertahankan dan diitikadkan bahwa hal itu adalah
benar.8 membahas mengenai aqidah diniyah nantinya, yaitu menanamkan
akidah itu sendiri menggunakan metode pendidikan tauhid.
Melalui penjelasan diatas bisa ditarik inti yang ingin dibahas mengenai
bagaimana pemikiran al-Ghazali dan Syed M. Naquib al-Attas mengenai
Model pendidikan Tauhid yang memang sudah jelas tertera dalam al-Qur’an
mengenai ke-Esaan Allah Swt dan mengembalikan pemikiran masyarakat
7 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Predana Media Group, 2010), hal.181-
182 8 M. Has Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999), hal.37
5
atau guru terhadap pembentukan dalam diri seseorang mengenai ketauhidan
kepada yang Maha Pencipta. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis
termotivasi untuk menyusun sebuah skripsi dengan judul “Model
Pendidikan Tauhid (Studi Komparasi Pemikiran Al-Ghazali dan Syed
M. Naquib Al-Attas)”.
B. Identifikasi Masalah
Dengan dasar pemikiran diatas maka penulis akan memberikan
penjelasan tentang identifikasi masalah yang ditemukan sebagai berikut :
1. Masih banyak pendidik dan peserta didik tidak memperhatikan nilai-
nilai dalam melakukan kegiatan pendidikan terkait penanaman tauhid
pada diri peserta didik.
2. Pendidikan tauhid yang saklek pada al-Qur’an mulai jarang dijadikan
acuan pada saat pembelajaran.
3. Setiap pemikiran tokoh berbeda-beda mengenai model pendidikan tauhid
yang mereka miliki.
C. Pembatasan Masalah
Melihat terlalu banyaknya permasalahan yang ada, dan penulispun
memiliki banyak keterbatasan, maka dari itu penulis perlu membatasi
masalah yang ada agar lebih terarah dan tidak menimbulkan kekeliruan.
Pembatasan masalah ini untuk terfokus hanya kepada pembahasan
tentang model pendidikan tauhid yang ada pada kedua tokoh diatas yaitu al-
Ghazali dengan Syed M. Naquib al-Attas dengan menitik temukan dimana
adanya persamaan antara kedua tokoh tersebut.
D. Perumusan masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah diatas maka
penulis membataskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana model pendidikan tauhid menurut pemikiran al-Ghazali?
6
2. Bagaimana model pendidikan tauhid menurut pemikiran Syed M.
Naquib al-Attas?
3. Bagaimana komparasi model pendidikan tauhid menurut pemikiran al-
Ghazali dan Syed M. Naquib al-Attas?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui:
1. Model pendidikan tauhid menurut al-Ghazali.
2. Model pendidikan tauhid menurut Syed M. Naquib al-Attas.
3. Komparasi model pendidikan tauhid menurut al-Ghazali dan Syed M.
Naquib al-Attas.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua hal, yakni secara teoritis dan
secara praktis:
1. Manfaat Teoritis.
Manfaat teoritis yang ditujukan kepada peneliti lainnya yang bisa
dijadikan sebagai bahan rujukan sebagai sebuah karya ilmiah dan bisa
bermanfaat bagi peneliti lainnya. Yang diantaranya :
a. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis,
b. Menjadi sumbangan pemikiran yang bisa memperluas khazanah
keilmuan dalam dunia pendidikan serta memperkaya khazanah
referensi bilamana ada penelitian yang sama, terutama yang
berkaitan dengan pendidikan Islam.
c. Memberikan konstribusi dalam dunia pendidikan, khususnya
dalam bidang pendidikan Islam, etika ataupun Akhlak
d. Membantu pemangku kebijakan pendidikan dalam upaya
memperbaiki dan mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia.
7
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis ialah sebuah usaha untuk mencoba memberikan
tindakan berupa pemahaman yang tepat kepada siswa, guru, dan pihak
sekolah mengenai penelitian ini. Bisa dijadikan sebagai pemecahan
masalah bagi praktisi sekolah yang ada di dalamnya. Diantaranya:
a. Bagi siswa, dapat menjadi media informasi tentang bagaimana
penanaman kepercayaan akan Tuhan dalam dunia pendidikan Islam
b. Bagi guru, menumbuhkan pemikiran progresif tentang upaya
pengembangan pendidikan nasional, dengan pemahaman dan
pengkajian yang berpijak pada tokoh pendidikan kontemporer.
Menjadi pesan positif bagi seluruh pendidik.
c. Bagi sekolah, dapat dijadikan pedoman dalam menerapkan nilai-
nilai pendidikan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Tauhid
1. Pengertian Pendidikan Tauhid
Secara Bahasa pendidikan berasal dari bahasa Yunani,
paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi
dan pulang sekolah diantar oleh seorang pelayan. Pelayan yang
mengantar dan menjemput dinamakan paedagogos. Dalam
Bahasa Romawi pendidikan diistilahkan educate yang berarti
mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam Bahasa
Inggris to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih
intelektual.1
Pendidikan memiliki arti sempit yaitu sekolah. Sebagaimana
diketahui pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah
segala pengaruh yang diupayakan oleh sekolah terhadap anak
yang bersekolah agar mempunyai kemampuan yang sempurna
dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-
tugas sosial mereka.
Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian
informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun diperluas
sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan,
kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola
hidup pribadi dan social yang memuaskan, pendidikan bukan
semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang
1 Abdul Kadir, Dasar-dasar pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2012), hal.59
9
akan datang, tetapi untuk kehidupan anak sekarang yang sedang
mengalami perkembangan menuju kedewasaannya.2
Dalam bahasa Arab kita akan menjumpai tiga istilah yang sering
digunakan untuk mengartikan pendidikan atau pendidikan Islam, yakni
Ta‟dib, Ta‟lim, dan Tarbiyah.3 Kata ta‟lim berasal dari kata „alama-
ya‟lamu yang berarti mengecap atau memberi tanda.4 Atau dari kata
„alima-ya‟lamu yang berarti mengerti atau memberi tanda. Dan juga
menjelaskan bahwa kata ta‟lim itu berasal dari akar kata „allama-
yu‟allimu-ta‟liiman yang berarti mengajar atau memberi ilmu.
Beberapa akar kata tersebut dapat disederhanakan bahwa kata ta‟lim
berarti upaya membrikan tanda berupa ilmu atau mengajarkan suatu
ilmu pada seseorang agam memiliki pengetahuan tentang sesuatu.
Seseorang mengajarkan ilmu pada orang lain agar orang tersebut
memiliki ilmu pengetahuan, ini berarti yang disentuh adalah aspek
kognitif.
Kata ta‟dib berasal dari kata aduba-ya‟budu, yang berarti melatih
atau mendisipliskan diri.5 Atau berasal dari kata adaba-ya‟dabu, yang
berarti menjamu atau memberi jamuan dengan cara sopan. Dan ada
juga yang mengatakan bahwa ta‟dib berasal dari kata addaba-
yuaddibu-ta‟diban yang berarti mendisiplinkan atau menanamkan
sopan santun. Jadi kata ta‟dib dapat disimpulkan sebagai upaya
menjamu atau melayani atau menanamkan sopan santun (adab) kepada
seseorang agar bertingkah laku yang baik dan disiplin. Seseorang
menanamkan adab kepada orang lain berarti melatih dan memberi
contoh cara berperilaku yang disiplin dan sopan. Dalam Bahasa
pendidikan hal tersebut berarti wilayah afektif dan psikomotorik,
2 Fuad Hasan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 5
3 A.Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
hal.19 4 A.W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 2002), hal. 965 5 Ibid., hal.12
10
maksudnya seseorang diajak untuk berdisiplin (terampil) dan
bertingkah laku positif.6
Sedangkan kata Tarbiyah, demikian an-Nahlawi yang dikutip oleh
A. Fatah Yasin, berasal dari kata raba-yarbuw yang berarti tumbuh,
tambah, dan berkembang. Atau bisa pula kata rabiya-yarba, yang
berarti tumbuh menjadi besar atau dewasa. Dan bisa juga berasal dari
kata rabba-yurabbiy-tarbiyyatan, yang artinya memerbaiki, mengatur,
mengurus, memelihara atau mendidik.7 Dari beberapa istilah asal di
atas dapat disimpulkan bahwa kata tarbiyah berarti upaya memelihara,
mengurus, mengatur, dan memerbaiki sesuatu atau potensi atau fitrah
manusia yang sudah aa sejak lahir agar tumbuh dan berkembang
menjadi dewasa atau sempurna.8
Tauhid dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tauhid
merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah; kuat kepercayaan
bahwa Allah hanya satu. Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab,
masdar kata wahhada yuwahhidu.9 Secara etimologis, tauhid berarti
keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah swt adalah Esa;
Tunggal; satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang
digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”;
mentauhidkan berarti “mengakui akan keesaan Allah;mengeesakan
Allah”. Jubaran Mas‟ud menulis bahwa tauhid bermakna “beriman
kepada Allah, Tuhan yang esa”, juga sering disamakan dengan laa
ilaha illallah yang arinya tiada Tuhan selain Allah”. Fuada Iframi al-
Bustani juga menulis hal yang sama. Menurutnya tauhid adalah
keyakinan bahwa Allah bersifat “Esa”. Jadi tauhid berasal dari kata
wahhada-yuwahhidu-tauhidan yang berarti mengeesakan Allah swt.10
6 A.Fatah Yasin, loc.cit., hal.20
7 A.W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 2002), hal. 465 8 A.Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
hal.21 9 Op.Cit., hal.1542
10 Syahminan Zaini, Kuliah Akidah Islam, (Surabaya: al-iKhlas, 1983), hal.54
11
Ilmu tauhid ialah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara
menetapkan akidah agama dengan mempergunakan dalil naqli, dalil
aqli, ataupun dalil wijdani (perasaan halus). Ilmu ini dinamakan
tauhid, karena pembahasannya yang paling menonjol, menyangkut
pokok ke-Esaan Allah yang merupakan asas pokok agama Islam,
sebagaimana yang berlaku terhadap agama yang benar telah dibawa
oleh para Rasul yang diutus Allah.11
Allah Swt, berfirman:
Yang artinya: “dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun
sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya:
"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".” (Q.S al-
Anbiya‟/21:25)
Ilmu tauhid ialah ilmu yang selalu dan memang pokok bahasannya
tentang aqidah atau kepercayaan seseorang terhadap Tuhan yang ia
percayai, Tuhan yang menciptakan segalanya. Melalui utusan-Nya
untuk mengajarkan tentang ke-Esaan dan kekuasan Sang pencipta.
Esensi iman kepada Allah swt adalah Tauhid yang men-esakan-
Nya, baik dalam zat, asma‟ was-shiffaat, maupun af‟al (perbuatan)-
Nya. Secara sederhana Tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau
tahapan yaitu : 1. Tauhid Rububiyah (mengimani Allah swt sebagai
satu-satunya Rabb), 2. Tauhid Mulkiyah (mengimani Allah swt sebagai
satu-satunya Malik), 3. Tauhid Ilahiyyyah (mengimani Allah swt
11
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999), hal.1
12
sebagai satu-satunya Ilah).12
Penyederhanaan ke dalam tiga tingkatan
di atas berdasarkan kepada firman Allah swt:
Yang artinya: “segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam.” (Q.S. al-Fatihah 1:2)
Yang artinya: “yang menguasai di hari Pembalasan” (Q.S.
al-Fatihah 1:4)
Pada Al-fatihah di ayat 2 dan 4 penegasan pada tauhid
rububiyah (mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Rabb)
Yang artinya: “Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan
(yang memelihara dan menguasai) manusia.” (Q.S. an-
Naas 114:1)
Yang artinya: “raja manusia.” (Q.S. an-Naas 114:2)
Yang artinya: “Sembahan manusia.” (Q.S. an-Naas 114:3)
Pada surat an-Naas ayat 1-3 penegasan pada Tauhid Mulkiyah
(mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Malik).
12
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian, 1995), hal.
18-19
13
Yang artinya: “Dia menciptakan kamu dari seorang diri
kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia
menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan
dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut
ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan[Tiga
kegelapan itu ialah kegelapan dalam perut, kegelapan dalam
rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak
dalam rahim.]. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah,
Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada
Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat
dipalingkan?” (Q.S. az-Zumar 39:6)
Dan terakhir pada surat az-Zumar ayat 6 penegasan pada 3. Tauhid
Ilahiyyyah (mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Ilah).
Ketauhidan akan membahas tentang keimanan seseorang. Jika
keimanan seseorang telah kuat, segala tindakan orang itu akan didasari
oleh pikiran yang telah dibenarkannya, dan hatinya akan merasa
tentram.mengenai ketauhidan atau meng-Esakan Allah pada dasarnya
mencakup tiga konsep atau unsur dasar, yaitu: mengetahui dan
memahami konsep ketuhanan. Konsep ini yang ditolak oleh kaum
musyrikin karena mereka tidak mau menisbahkan ketuhanan kepada
Allah yang maha Esa dan menolak menghilangkan tuhan-tuhan lain
dalam konsep kepribadiannya. Konsep yang kedua, menetapkan
konsep ketuhanan bahwa hanya Allah yang Mahamulia lagi
Mahaagung. Konsep yang ketiga, meniadakan konsep ketuhanan selain
Allah.13
Proses terbentuknya iman dalam diri seseorang didahului oleh
pengetahuan seseorang perihal sang Pencipta jagad raya ini, yakni
Allah Swt. artinya, bahwa iman itu dapat diperoleh lewat proses
berpikir, perenungan mendalam, survei atau penelitian alam semesta.
13
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), hal.87
14
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-
sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa
neraka”. (Q.S. Ali Imran. [3]: 190-191).
Dengan demikian, iman seseorang tidak tumbuh dengan
sendirinya, melainkan diasah dan dipertebal dengan cara terus-menerus
menggali rahasia kekuasaan Allah Swt. yang tersedia di alam semesta
melalui proses belajar atau pendidikan, di samping melalui perilaku
taat,takwa, dan beribadah kepada-Nya.14
Mempelajari tauhid hukumnya wajib bagi setiap muslim.
Kewajiban itu bukan saja didasarkan pada alasan rasio bahwa akidah
merupakan dasar pertama dan utama dalam Islam, tapi berdasarkan
pada dalil-dalil naqli, al-Qur‟an dan hadis. Selama hidup Rasulullah
Saw. Berjuang dengan gigih menegakkan tauhid di tengah masyarakat
yang hidup dalam kekafiran dan kemusyrikan. Beliau mengajak orang-
orang kafir untuk bertauhid dan memberikan pendidikan ketauhidan
yang intensif kepada para sahabat dan pengikutnya. Walau pada saat
itu ilmu tauhid belum berdiri menjadi ilmu keislaman yang berdiri
14
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada), hal.38
15
sendiri. tauhid baru terkenal pada abad ketiga hijriah atau pada masa
pemerintahan khalifah al-Makmun (813-833 M)15
2. Tujuan Pendidikan Tauhid
Pemikiran bahwa tauhid sebagai konsep yang berisikan nilai-nilai
fundamental yang harus dijadikan paradigma pendidikan Islam
merupakan kebutuhan teologis-filosofis. Sebab, tauhid sebagai
pandangan dunia (weltanschauung) Islam menjadi dasar atau
fundamen bangunan Islam secara keseluruhan, tidak terkecuali
pendidikan Islam. Oleh karena itu pendidikan Islam harus dibangun
diatas landasan yang benar dari pandangan dunia tauhid. Pendidikan,
dalam pandangan tauhid adalah pendidikan yang berlandaskan nilai-
nilai ilahiyah (teologis) sebagai landasan etis normatif dan nilai-nilai
insaniah (antropo-sosiologis) dan alamiah (kosmologis) sebagai basis
praksis-operasional.16
Pendidikan Islam dalam kerangka tauhid harus melahirkan dua
kemestian strategis sekaligus. Pertama, menjaga keharmonisan untuk
meraih kehidupan yang abadi dalam hubungannya dengan Allah.
Kedua, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan dalam
hubungannya dengan alam lingkungan dan sesamanya. Dengan kata
lain, pendidikan Islam dalam tinjauan teologis dan filosofis diarahkan
pada dua dimensi, yaitu dimensi vertical dan dialektika horizontal.
Pada dimensi pertama pendidikan Islam diarahkan untuk
menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan pengertian tujuan
hidup manusia untuk mencapai tujuan taqorrub ilallah. Sedangkan
dimensi kedua pendidikan Islam hendaknya mengembangkan
pemahaman tentang kehidupan kongkrit yaitu kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan sosialnya.17
15
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996), hal.3 16
Mohammad Irfan dan Mastuki, Teologi pendidikan; Tauhid sebagai Paradigm
Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), hal.109 17
Teologi Pendidikan,hal.110-111
16
Tauhid tidak cuma diketahui tapi tidak dimiliki dan dihayati, ia
hanya menghasilkan keahlian dalam seluk beluk ketuhanan; namun
tidak mempengaruhi kehidupannya. Dirinya akan berada di luar
ketauhidan yang sebenarnya bahkan di luar Islam. Dengan demikian
maksud dan tujuan tauhid bukanlah hanya sekedar mengaku bertauhid
saja, tetapi lebih jauh dari itu, sebab tauhid mengandung sifat-sifat
sebagai sumber dan motivator perbuatan kebajikan dan keutamaan,
membimbing manusia ke jalan yang benar sekaligus mendorong
dengan penuh keikhlasan, mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan,
kekacauan, dan kegoncangan hidup yang dapat menyasatkan, dan
mengantarkan manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.18
Dari gambaran diatas sesungguhnya bangunan pendidikan Islam
dilandasi dan sekaligus hendak mengarahkan manusia pada tiga pola
hubungan fungsional, yaitu hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
alam. Pada pendidikan tauhid mengacu pada tujuan yang diarahkan
kepada upaya sikap takwa. Dengan demikian pendidikan ditujukan
kepada upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensi
peserta didik secara optimal agar dapat menjadi hamba Allah yang
takwa. Diantara ciri takwa adalah beriman kepada yang ghaib,
mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Allah berikan,
mempercayai al-qur‟an dan kitab-kitab samawi sebelum al-qur‟an serta
yakin akan kehidupan akhirat.19
Dengan demikian, tauhid sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Ia tidak hanya sekedar memberikan ketentraman batin dan
menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan, tetapi juga
berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilaku
keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai akidah, tetapi
berfungsi pula sebagai falsafah hidup. Tauhid yang tertanam amat erat
18
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996), hal.6-7 19
Jalaludin, Teologi Pendidikan,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2001), hal.92
17
di dalam hati atau jiwa seseorang akan amat mempengaruhi kehidupan
orang tersebut. Ia akan menjadi suatu kekuatan batin yang tangguh.
Kekuatan itu akan melahirkan sikap positif dalam realitas
kehidupannya sehari-hari. Ia akan selalu optimis dalam menjalani
hidup, tidak takut terhadap apapun kecuali pada tuhannya, selalu
senang sebab selalu merasa dekat dengan tuhannya, rajin ibadah dan
berbuat baik dan sikap positif lainnya yang tidak hanya berguna untuk
diri sendiri melainkan berguna untuk masyarakat dan lingkungannya.
3. Ruang Lingkup Pendidikan Tauhid
Ilmu tauhid merupakan hasil kajian para ulama terhadap al-Qur‟an
dan hadis, maka jelas sumber ilmu tauhid adalah al-Qur‟an dan hadis.
Namun, dalam pengembangannya, kedua sumber ini dihidupsuburkan
oleh rasio dan dalil-dalil akli. Tauhid yang dalam kitabullah (al-
Qur‟an) diwajibkan untuk kita ketahui ada tiga macam tauhid: tauhid
rububiyyah, tauhid uluhiyyah atau ilahiyyah, dan tauhid asma was
sifat. Tauhid rububiyyah artinya mengesakan Allah dengan segala
perbuatan-Nya, kita meyakini bahwa yang memiliki kuasa untuk
melakukan segala hal dan ketetapan di ala mini hanyalah Allah semata.
Tauhid uluhiyyah atau ilahiyyah rangkaian dua kata yang artinya
peribadatan yang diiringi dengan rasa cinta dan pengagungan
sepenuhnya, tauhid ini sering disebut dengan mengesakan Allah
dengan segala perbuatan hamba. Dan terakhir tauhid asma was sifat
yang artinya seorang hamba meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang
maha esa dalam segala nama-nama dan sifat-sifat-Nya.20
Takwa yang dimiliki nantinya akan dirumuskan sebagai
kemampuan untuk memelihara diri dari siksaan Allah, yakni dengan
cara mematuhi dan melaksanakan segala perintah-Nya. Lalu
mengimbangi diri dengan berusaha semaksimal mungkin untuk
20
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, (diterjemahkan oleh M Arifin bin Badri,
dkk), Syarah Kitab Tauhid, (Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2010), hal.2
18
menjauhkan dan menghindari perbuatan yang melanggar segala bentuk
larangan-Nya. Ketakwaan dikaitkan dengan pendidikan tauhid karena
sifat ketakwaan mencerminkan ketauhidan secara menyeluruh, yaitu
mematuhi sepenuhnya perintah Allah sebagai Tuhan yang maha Esa.
Kepatuhan kepada Allah Swt. dalam pendidikan tauhid ini dinyatakan
sebagai kepatuhan yang mutlak, dengan menempatkan Allah Swt.
sebagai dzat yang tunggal.seperti yang tertera pada Al-Qur‟an Surat al-
Ikhlas
Artinya : “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada
seorang pun yang setara dengan-Nya”.
Ayat di atas tegas sekali menyatakan bahwa Allah itu Esa; Satu
Tunggal. Allah bahkan memberi penegasan khusus bahwa Allah tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan. Pernyataan ini secara tegas
menolak anggapan bahwa tuhan punya anak apalagi kalua tuhan
dilahirkan oleh yang lain. Prinsip yang tertera dijadikan acuan dalam
bertindak dan bertingkah laku, baik secara lahir maupun batin.21
Keesaan Allah tidak hanya keesaan pada zat-Nya, tapi juga esa
pada sifat dan af‟al (perbuatan)-Nya. Yang dimaksud dengan esa pada
zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa Juzu‟(bagian). Tidak sekutu
baginya dalam memerintah dan menguasai kerajaan-Nya, Esa pada
sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain dan tak
seorangpun yang mempunyai sifat sebagaimana sifat Allah. Ruang
lingkup pembahasan pendidikan tauhid yang pokok tersimpul dalam
rukun iman.
21
Jalaludin, Teologi Pendidikan,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2001), hal.92
19
4. Proses Pembelajaran Pendidikan Tauhid
Sahabat sejati yang tak pernah berpisah dengan anda, ialah Allah
Tuhan yang Maha pencipta, baik dikala di rumah maupun sedang
berpergian. Allah ialah Tuhan yang menjadi penguasa dan penolong
anda, serta pencipta alam semua ini yang tak terpisah dengan kita.
Sebagaimana Allah berfirman dalam hadits Qudsi yang artinya “Aku
adalah teman duduk orang-orang yang menyebut nama Ku”22
Begitu juga ketika anda dalam keadaan gelisah, susah kurang
mampu melaksanakan kewajibannya atas agama anda, maka Allah-lah
yang paling setia. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman yang
artinya “Aku adalah di sisi orang yang mersa hatinya susah gelisah
(yakni aku selalu beserta orang yang hatinya khusyu‟ karena Aku)”
Karena itu jika anda berma‟rifat terhadap Allah dengan sungguh-
sungguh, menurut yang semestinya cara berma‟rifat, pasti anda
memilih Allah sebagai sahabat yang sejati dan mencintai-Nya dengan
melaksanakan segala perintahnya dan meninggalkan segala
larangannya, serta senantiasa mengingatnya.23
Pada dasarnya pokok inti al-Qur‟an adalah tauhid. Nabi
Muhammad Saw. diutus oleh Allah kepada umat manusia juga untuk
mengajarkan ketauhidan. Jadi ajaran tauhid yang tertera pada al-
Qur‟an dipertegas dan diperjelas oleh Rasulullah melalui hadis-
hadisnya. Mempelajari al-Qur‟an akan membuat pengetahuan kita
akan ketauhidan akan bertambah. Ajaran ketauhidan yang telah
tercantum di dalam al-Qur‟an ditanamkan dalam-dalam oleh
Rasulullah kepada para sahabat dan pengikutnya, baik melalui ucapan
maupun sikap kepribadian beliau. Hal-hal yang membawa kepada
kepada syirik atau kekafiran sangat ditentang oleh beliau.
22
Al-Ghazali, (diterjemahkan oleh M.A. Nur Hamid dan Aunur Rohim), Pedoman
Amaliah Ibadat, (Semarang: CV Wicaksana, 1988), hal.133 23
Al-Ghazali, (diterjemahkan oleh M.A. Nur Hamid dan Aunur Rohim), Pedoman
Amaliah Ibadat, (Semarang: CV Wicaksana, 1988), hal.133
20
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai fitrah berupa
kepercayaan terhadap adanya zat yang maha kuasa, yang dalam agama
disebut dengan Tuhan. Fitrah manusia tersebut adalah fitrah beragama
tauhid yang dijadikan Allah pada saat manusia itu diciptakan. Hal ini
terdapat pada surat al-A‟raf ayat 172:
Artinya: “dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluar-kan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi
saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)”,
Pada ayat di atas jelas kita telah mengakui bahwa fitrah manusia
adalah percaya pada zat tuhan yang maha Esa yaitu Allah Swt. kalau
ada manusia yang tidak beragama tauhid berarti telah terjadi
penyimpangan dari fitrahnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
lingkungan tempat ia hidup, pemikiran yang menjauhkan dari agama
tauhid dan sebagainya. Naluri beragama tauhid merupakan fitrah
manusia maka ketauhidan dalam diri seseorang telah ada sejak ia
dilahirkan. Untuk menyalurkan dan memantapkan katauhidan dalam
diri seseorang Allah mengutus nabi atau rasul yang memberikan
bimbingan dan petunjuk ke jalan yang benar sehingga manusia
terhindar dari kesesatan.24
Tauhid itu ibarat sebatang pohon. Ia tumbuh dalam hati seorang
mukmin, kemudian tumbuh cabang-cabang yang makin hari makin
panjang dan indah. Demikian pula iman, semakin disirami dengan
24
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996), hal.23
21
ketaatan yang dapat mendekatkannya kepada Allah „Azza wa jalla,
semakin bertambah pula kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya,
semakin besar rasa takut dan harapnya serta semakin kuat tawakkalnya
kepada-Nya.25
Diantara factor yang dapat menumbuhkan tauhid di dalam jiwa
ialah sebagai berikut:
1. Berbuat taat karena mengharap pahala di sisi Allah;
2. Meninggalkan maksiat karena takut pada siksaan Allah;
3. Memikirkan (tafakkur) tentang ciptaan-ciptaan Allah di langit
dan di bumi;
4. Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan memahami
konsekwensi-konsekwensinya, pengaruh-pengaruhnya dan
kandungan maknanya yang menunjukkan kemuliaan dan
kesempurnaan;
5. Senantiasa menimba ilmu yang bermanfaat dan
mengamalkannya;
6. Mendekatkan diri (taqorrub) kepada Allah dengan mengerjakan
amalan-amalan yang sunnah disamping yang fardhu;
7. Mengutamakan apa yang dicintai Allah diatas segala yang
dicintai;
8. Memelas dan merendahkan hati di hadapan Allah. Dsb.26
Bertumbuhnya ketauhidan dalam jiwa seseorang diikuti dengan
amal ibadah, ditunjang oleh sikap, perilaku, dan perbuatan yang
mencerminkan nilai-nilai ketauhidan, maka orang tersebut dinamakan
muttaqin. Keimanan dengan penuh ketakwaan akan menjadi sumber
kebajikan dan keutamaan perbuatan manusia. Takwa adalah tujuan
hidup setiap muslim karena takwa merupakan maqam atau derajat
yang tinggi. Takwa pula yang menjadi tujuan dalam pendidikan Islam,
25
Abdul Rahman As Sa‟dy dkk, Benteng Tauhid, (Jakarta: Pustaka Imam Abu Hanifah,
2008), hal.84 26
Benteng Tauhid.,hal. 84-85
22
dalam arti setiap bentuk pendidikan dalam Islam mengarah kepada
pembentukan pribadi muslim yang bertakwa.27
B. Model Pendidikan Tauhid
Mendidik tidak hanya dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, namun
mendidik juga membutuhkan pemahaman terhadap peserta didik yang
akan kita didik. Dalam mendidik kita membutuhkan model pembelajaran.
Model pembelajaran biasanya disusun berdasarkan prinsip-prinsip
pendidikan, teori-teori psikologis, sosiologis, psikiatri, analisis system,
atau teori-teori lain. Model tersebut merupakan pola umum perilaku
pembelajaran untuk mencapai kompetensi atau tujuan pembelajaran yang
diharapkan.
Bruce Joyce dan Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah
suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk
kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-
bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang
lain.28
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu;
2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu;
3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar
di kelas;
4. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan, (1) urutan langkah-
langkah pembelajaran (syntax), (2) adanya prinsip-prinsip reaksi, (3)
system social, dan (4) system pendukung;
5. Memiliki dampak senagai akibat terapan model pembelajaran;
27
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996), hal.33 28
Deni Darmawan dan Dinn Wahyudin, Model Pembelajaran Di Sekolah, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2018), hal.1-2
23
6. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman
model pembelajaran yang dipilihnya;29
Model secara kaffah dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang
digunakan untuk mempresentasikan sesuatu hal. Sesuatu hal yang nyata
dan konversi untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif. Sebagai
contoh, model pesawat terbang yang terbuat dari kayu, plastic dan lim
adalah model nyata. Dan adapula dalam matematika model dengan istilah
model matematika yaitu sebuah model yang bagiannya terdiri dari konsep
matematika. Namun, model pesawat terbang bukanlah model matematika.
Lalu yang dimaksud dengan model pembelajaran sendiri adalah suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran lainnya.30
Jadi model pendidikan tauhid adalah sebuah model dalam
pembelajaran yang membahas tentang pendidikan tauhid atau keesaan
Tuhan. Pembahasan yang ada dalam ilmu tauhid tentang keimanan
seseorang terhadap rukun iman, yang paling utama ialah soal iman kepada
Allah swt dan ke-Esaannya dan mengkhususkan ibadah hanya untuk Allah
semata tanpa serikat.31
Pendidikan dan pengajaran tauhid kepada anak harus dilakukan sejak
anak itu masih kecil. Tanggungjawab dalam pendidikan tersebut terletak
pada kedua orang tuanya, sebab anak adalah amanah Allah kepada orang
tuanya untuk dipelihara dan dididik fitrah anak yang memiliki keimanan
kepada tuhan sejak sebelum ia lahir kedunia, harus disalurkan secara wajar
dan dibina terus sehingga perkembangan akidahnya semakin lama semakin
sempurna. Ia menjadi manusia bertauhid yang betul-betul mencintai
Allah.usaha-usaha pemupukan rasa keimanan sebagai fitrag manusia
sungguh-sungguh mendapat perhatian dari setiap orang tua. Keimanan
29
Model Pembelajaran Di Sekolah,hal.4 30
Trianto Ibnu Badar At-Taubany dan Hadi Suseno, Desain Pengembangan Kurikulum
2013 di Madrasah, (Depok: Kencana, 2017), hal. 213 31
Abdul Majid Aziz Az Zindany, (diterjemahkan oleh M. F. Nurul Huda), Ilmu Tauhid,
(sebuah pendekatan baru, jilid I), hal.13
24
bertumbuh melalui tiga proses yaitu pembiasaan, pembentukan pengertian,
dan akhirnya pembentukan budi luhur.32
Proses pembiasaan, pemupukan keimanan dilakukan kepada anak di
masa-masa awal kehidupannya, masa kanak-kanak dan usia sekolah. Pada
proses ini aktivitas yang dilakukan hanya memberikan pengenalan secara
umum dan membiasakan anak untuk ingat bahwa tuhan itu ada. Jika
diumpamakan dengan tumbuhan anak dalam proses ini bagaikan
tumbuhan yang baru tumbuh. Ia memerlukan pemeliharaan yang serius
perlu disiram dan dapat perlindungan dari segala bahaya dan panas
matahari. Pembiasaan untuk anak pada permulaan usia sekolah sebaiknya
dilakukan dengan peragaan yang dapat membawanya mengenal tuhan.
Peragaan yang mudah dilihat dan ditiru oleh anak, seperti shalat,
mengucap basmalah, mengucap hamdalah, mengucap salam, berdo‟a dan
lain sebagainya.33
Tahap pembentukan pengertian, pada masa sekolah sampai menjelang
remaja anak suka berkhayal. Karena itu kesukaan seperti ini hendaknya
dimanfaatkan oleh orang tua sebaik mungkin untuk menanamkan tauhid
seperti cerita tentang kehebatan Allah dalam menciptakan makhluk-Nya,
kehebatan para nabi dan rasul dengan berbagai mukjizatnya, malaikat, dan
sebagainya. Anak yang suka berkhayal adalah anak yang suka mengagumi
yang menurut pandangannya hebat, maka jika diarahkan dengan baik ia
akan mengagumi Allah, nabi, rasul, malaikat dan sebagainya. lalu nanti
akan bertemu masa remaja dimana masa peralihan anak. Orang tua harus
betul-betul membimbing anak secara intensif dalam ketauhidan agar tidak
terombang-ambing oleh problema yang dihadapi oleh anak. Jadi,
perkembangan akidah seorang manusia sangat tergantung dengan kondisi
lingkungannya serta pendidikan dan pengajaran ketauhidan yang diterima
32
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996), hal.42-43 33
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996), hal.44
25
olehnya. Untuk itu penanan orang tua dan keluarga sangat besar terutama
peranan ibu, karena ibulah manusia terdekat dengan anaknya.34
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep disini penulis ingin memperjelas mengenai
pembahasan yang akan kita bahas pada hasil penelitian. Masalah yang ada
disini ialah :
1. Masih banyak pendidik dan peserta didik tidak memperhatikan nilai-
nilai dalam melakukan kegiatan pendidikan terkait penanaman tauhid
pada diri peserta didik.
2. Pendidikan tauhid yang saklek pada al-Qur‟an mulai jarang dijadikan
acuan pada saat pembelajaran.
3. Setiap pemikiran tokoh berbeda-beda mengenai model pendidikan
tauhid yang mereka miliki.
Telah kita ketahui bahwa doktrin pendidikan yang amat kuat dalam
jati diri islam mengenai ketuhanan yang maha esa dan telah diketahui juga
mengenai ciptaan yang amat sempurna adalah manusia yang memiliki akal
untuk berfikir mengenai semua yang ada di alam semesta ini. Jika kita
baca dari teori atau pendapat tokoh diatas bahwa menganai pendidikan
tauhid adalah pendidikan yang amat mendasar bagi setiap manusia. Karena
dengan memiliki tuhan dan pemahaman yang begitu erat tertanam dalam
diri manusia akan menjadikan seseorang itu menjalankan kehidupannya
sesuai dengan syariat.
Seseorang yang telah tertanam ketauhidan dalam diri tidak akan lagi
ragu mengenai apa-apa yang ada di muka bumi ini. Orang yang seperti itu
34
Loc.cit., hal.45
masalah teori dampak
26
akan menemukan jawabannya ketika ia mengingat tuhannya. Dan tahu apa
yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
D. Hasil Penelitian Relevan
Berdasarkan penelusuran terhadap beberapa karya ilmiah skripsi di
perpustakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa yang membahas
tentang Analisis Metode Pendidikan Tauhid dalam Pembelajaran PAI
(Studi Komparasi Pemikiran Al-Ghazali dan Syed M. Naquib Al-Attas)
belum ditemukan secara Khusus yang benar-benar mirip. Namun ada
beberapa skiripsi yang hampir sama dalam judul tetapi berbeda dalam
pembahasaan yakni:
1. Zulfatul „Ulumiyah (2012), yang berjudul Makna dan Tujuan
Pendidikan Islam menurut Syed M. Naquib al-Attas serta
Implementasinta dalam Pendidikan Islam. Menurutnya yang penulis
ambil dari kesimpulan Zulfatul „Ulumiyah bahwa makna pendidikan
Islam menurut Syed M. Naquib al-Attas terdapat dalam term ta‟dib,
yaitu pendidikan yang menekankan kemampuan berfikir sekaligus
menekankan pembinaan kepribadian, sikap, serta moral dan etika
dalam mengamalkan hasil dari kemampuan berfikir tersebut dan ilmu
pengetahuan yang diperolehnya, sehingga menghasilkan individu
yang mempunyai kualitas akhlak dan intelektual yang baik.
2. Miftah Faridl (2013), yang berjudul Konsep Ta‟dib menurut Syed
Muhammad Naquib al-Attas. Menurutnya yang penulis ambil dari
kesimpulan Miftah Faridl menurut Syed M Naquib al-Attas
pendidikan Islam lebih tepat menggunakan istilah ta‟dib bukan
tarbiyah atau ta‟lim. Alasannya karena dalam pandangannya dengan
menggunakan konsep ta‟dib maka dapat dipahami bahwa pendidikan
Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri
manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan
pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Yang
mana menurut beliau pengajaran dan proses mempelajari
27
keterampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai
pendidikan bilamana didalamnya tidak ditanamkan „sesuatu‟ (adab).
3. Izzah Fauziah (2014), Fakultas ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan
Pendidikan Agama Islam. Dengan judul pemikiran syed Muhammad
Naquib al-Attas tentang pendidikan islam. Dilihat dari kesimpulan
yang dipaparkan oleh Izzah Fauziah bahwasannya Menurut
pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan Islam
adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri manusia. Tujuan
mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan
dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual.
Tujuan akhir pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang
baik dan bukan, seperti dalam peradaban Barat, warganegara yang
baik. “Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai
manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan di sini, yakni
meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena dalam
Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk
menjadi seorang manusia yang baik..
4. Aji Nadiah Zuliarti (2015), yang berjudul Studi Komparasi Konsep
Pendidikan Islam al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Menurutnya yang
penulis ambil dari kesimpulan Aji Nadiah Zuliarti bahwa konsep
pendidikan menurut al-Ghazali yakni anak terlahir dalam keadaan
fitrah maka orang yang mendidiknyalah yang mempengaruhi anak
tersebut. Ini berarti jika seorang anak tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan yang baik, dididik dengan cara yang baik dan dibiasakan
melakukan hal-hal yang baik, maka anak tersebut akan menjadi baik
dan sebaliknya jika anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
yang buruk dididik dengan cara yang buruk dan dibiasakan
melakukan hal-hal keburukan maka anak tersebut akan menjadi
buruk.
5. Hasan Fathurrohman (2015), yang berjudul Metode Pedidikan
Tauhid menurut Al-Ghazali dalam Ihya „Ulumuddin (analisis
28
psikologi perkembangan). Menurut penulis yang diambil dari
kesimpulan Hasan bahwa pendidikan tauhid dalam ihya „ulumuddin
ada empat metode yang dapat ditempuh dalam pendidikan tauhid.
Pertama, talqin yaitu pengarahan dan pembimbingan ketauhidan
kepada seseorang ketika masih kanak-kanak, berupa kegiatan
penghafalan dengan baik terhadap proposisi-proposisi ketauhidan
yang telah ditentukan. Kedua, riyadloh-mujahadah yaitu pengamalan
ajaran-ajaran Islam, pengkajian terhadap al-Qur‟an dan hadits nabi,
serta pergaulan dengan orang-orang dan lingkungan religious, karena
dengan kegiatan tersebut berdampak menguatkan ketauhidan
seseorang. Ketiga, kalam-jadal yaitu pembahasan mengenai
ketuhanan dengasn disiplin rasional dan argumentative. Keempat,
da‟wah bit talathtuf yaitu suatu ajakan dengan santun dan lembut
serta dengan Bahasa dari al-Qur‟an yang mudah dimengerti oleh
umumnya orang-orang, kepada paham akidah tauhid yang benar.
Bentuknya secara umum dikenal dengan mawidzoh atau nasehat,
karena secara psikologis orang-orang lebih dapat menerima ajakan
yang santun dan ajakan yang menggunakan Bahasa yang sederhana.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat yang digunakan oleh peneliti dalam penyelesaian skripsi ini di
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan fakultas
ilmu tarbiyah dan keguruan serta perpustakaan nasional republik Indonesia
untuk membahas tentang Model Pendidikan Tauhid (Studi Komparasi
Pemikiran Al-Ghazali dan Syed M. Naquib Al-Attas). Waktu penelitian
dilakukan semester VIII (delapan) tahun 2018 selama 7 bulan, terhitung dari
bulan April 2018 sampai bulan November 2018.
B. Metode Penelitian
Dalam Skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll., secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan Bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.1 Jadi penelitian kualitatif
digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan
menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat
dijelaskan, diukur atau digambarkan.
Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan library
research atau penelitian pustaka yaitu penelitian yang menggunakan data dan
informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapan dalam
kepustakaan.2 Penelitian ini lebih menitikberatkan pada pengumpulan data
dari berbagai sumber yang relevan (seperti buku, jurnal, dan internet) yang
terkait dengan judul.
1 Lexy j. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Offset Rosda
Karya, 2011), hal.6 2 Ibid.,
30
Dalam hal ini bahan-bahan pustaka itu diperlukan sebagai sumber ide
untuk menggali pemikiran atau gagasan baru, sebagai bahan dasar untuk
melakukan deduksi dari pengetahuan yang telah ada, sehingga kerangka teori
baru dapat dikembangkan, atau sebagai dasar pemecahan masalah. Jenis
penelitian ini dapat dipahami sebagai penelitian teoritik dan terkait pada
values, tetapi tetap diperlukan keterkaitannya dengan empiris.3 Guna
menjawab permasalahan Model Pendidikan Tauhid (Studi Komparasi
Pemikiran Al-Ghazali dan Syed M. Naquib Al-Attas).
C. Fokus Penelitian
Dalam Proposal Skripsi ini, penulis menfokuskan Model Pendidikan
Tauhid (Studi Komparasi Pemikiran Al-Ghazali dan Syed M. Naquib Al-
Attas). penulis memfokuskan pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan tauhid
hanya pada kitab Ihya Ulumuddin dan al-Attas pada buku Konsep Pendidikan
dalam Islam, Terj. dari The Concept of Education in Islam: A Framework for
an Islamic Philosophy of Education, terbit di Bandung: Mizan, tahun 1996.
Jadi dalam penelitian ini penulis bermaksud mencari perbedaan atau
persamaan antara pemikiran al-Ghazali dan al-Attas tentang metode
pendidikan tauhid, dengan mencari data-data dan sumber-sumber yang
membahas mengenai metode pendidikan tauhid.
D. Prosedur Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam pendekatan penelitian penulisan skripsi ini peneliti
menggunakan metode penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan
adalah penelitian yang dilakukan di perpustakaan dan mengambil setting
perpustakaan sebagai tempat penelitian di mana objek penelitiannya
adalah bahan-bahan perpustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan oleh
seseorang yang ingin mengetahui teori-teori apa yang digunakan dari
waktu ke waktu.
3 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996),
hal.55
31
Pendekatan ini digunakan oleh penulis karena pengumpulan data
dalam skripsi ini bersifat kualitatif dan juga dalam penelitian ini tidak
bermaksud untuk menguji hipotesis, dalam arti hanya menggambarkan
dan menganalisis secara kritis yang penulis kaji mengenai model
pendidikan tauhid Menurut Al Ghazali dan al-Attas.
2. Teknik pengumpulan data
Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini,
maka teknik pengumpulan data yang tepat dalam penelitian library
research adalah dengan mengumpulkan data-data tertulis kemudian
menyelidiki bahan-bahan tertulis yang terkait dengan model pendidikan
tauhid kedua tokoh tersebut. Langkah ini biasanya dikenal dengan dengan
metode dokementasi. Pemeriksaan dokumentasi (studi dokumentasi)
dilakukan dengan meneliti bahan dokumentasi yang ada dan mempunyai
relevansi dengan tujuan penelitian.4
Penulis menggunakan sumber data sebagai acuan penelitian ini. Yang
dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subyek
darimana data dapat diperoleh.5 Karena penulis menggunakan pendekatan
penelitian pustaka maka sumber data yang diambil dari berbagai sumber,
yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari data-data sumber
primer yang berarti sumber asli dari tokoh yang akan dibahas. Pada al-
Ghazali data primer berupa karya al-Ghazali sendiri yakni kitab Ihya
Ulumuddin, dan dengan Syed. M. Naquib al-Attas data primernya
berupa karya beliau sendiri yakni buku Konsep Pendidikan dalam
Islam, Terj. dari The Concept of Education in Islam: A Framework for
an Islamic Philosophy of Education, terbit di Bandung: Mizan, tahun
1996.
4 Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008), hal. 30 5 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Praktek,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal.129
32
b. Sumber data sekunder, yaitu yang diperoleh dari sumber yang bukan
asli.6 Sedangkan buku-buku maupun sumber lain yang memiliki
relevansi dengan masalah yang dibahas.
3. Teknik Analisis data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah content
analysist.7 Data yang dianalisis disini adalah data yang berhubungan
dengan pendidikan agama Islam. Analisis data pendidikan agama Islam
ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisis dokumen yang
berkaitan dengan judul penulis. Analisis di mulai dengan mengumpulkan
teori-teori yang berkaitan dan mendukung sebagai bahan penulisan.
Kemudian membandingkan konsep dari tokoh apa kekurangan dan
kelebihan dari tokoh kemudian di analisis sehingga menghasilkan model
pendidikan tauhid menurut al-Ghazali dan Syed M. Naquib al-Attas.
Analisis konten yang dilakukan dalam penelitian ini melewati
beberapa langkah. Pertama, membaca keseluruhan konten data premier,
yaitu ihya ‘ulumuddin dalam bab dasar-dasar akidah, pasal kedua dan
buku The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic
Philosophy of Education dengan tujuan mencari gagasan umum di
dalamnya. Kedua, memilah data primer kedalam unit-unit data melalui
kategori tema untuk kemudian diinterpretasi. Ketiga, melakukan analisis
terhdap unit-unit data melalui interpretasi. Keempat, membuat konstruksi
interpretasi terhadap unit-unit data kedalam sebuah struktur terpadu
melalui pendeskripsian.
6 Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995) hal.133 7 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2001), hal. 141
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Biografi Tokoh
1. Biografi al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Di dunia barat dikenal dengan
“Algazel” ia lahir di perkampungan kecil bernama Ghazalah, di daerah
Thus, Khurasan, suatu wilayah di Persi (Iran), pada tahun 450H/1058
M.1 para peneliti berbeda pendapat berkenaan dengan asal muasal
sebutan al-Ghazali. Diantara beberapa pendapat bahwa sebutan al-
Ghazali merupakan nisbah terhadap daerah tempat kelahirannya, yakni
Ghazalah. Namun ada juga yang berpendapat bahwa al-Ghazali melekat
kepadanya karena latar belakang profesi ayahnya sebagai ghazzal al
Shuff (pemintal benang wol), kata al-Ghazzali (dengan dobel z)
merupakan nisbah dari pekerjaan ayahnya sebagai pemintal tenun.
Al-Ghazali tumbuh dan berkembang dalam keluarga sederhana
yang saleh. Ayahnya bernama Muhammad, seorang buta huruf yang
kesehariannya sebagai penenun wol dengan penghasilan yang pas-
pasan. Namun keterbatasannya tidak menyurutkan semangatnya untuk
mengikuti berbagai pertemuan ilmiah dengan para ulama dan pemikir.
Ayah al-Ghazali aktif berinteraksi dengan para intelektual muslim
masanya hingga ia terobsesi memberikan pendidikan yang terbaik untuk
kedua anaknya. Namun ayahnya meninggal dunia saat beliau masih
kecil. Sebelum meninggal ayahnya mewariskan harta untuk biaya
pendidikan kedua anaknya sekaligus menitipkan kepada seorang ulama
sufi yang masih teman dekatnya.2
a. Masa Pendidikan dan Pengalaman
Al-Ghazali mengawali pendidikan agamanya di kota Thus.
Di kota ini ia mempelajari ilmu hadits, al-Qur‟an dan tasawuf
1 Asrorun Ni‟am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam,(Jakarta: Elsas Jakarta, 2006),
hal.23 2 Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2017), hal.233
34
dasar. Setelah biaya pendidikannya habis, al-Ghazali berpindah
dan berguru ilmu fikih kepada Syekh Ahmad bin Muhammad al-
Radzkani. Sedangkan ilmu tasawuf beliau peroleh dari Yusuf al-
Nassaj.3
Pada usia 15 tahun, al-Ghazali pergi ke kota Jurjan untuk
belajar kepada Syekh Abu Nasr al-Ismaili. Setelah menamatkan
pelajaran di Jurjan, al-Ghazali kembali ke Thus untuk mengajar.
Memasuki tahun 471 H. al-Ghazali menuju Naisabur dan belajar
kepada Imam al-Haramain di madrasah Nidzamiyyah. Meskipun
Imam al-Haramain bukan seorang filosof, tetapi ia mengajarkan
studi filsafat kepada al-Ghazali. Imam haramain dikenal sebagai
ulama yang berkepribadian kharismatik, muara ilmu, serta mahir
dalam pengajaran. Imam al-Ghazali menuntut ilmu secara tekun
dan disiplin sehingga menguasai berbagai cabang ilmu, seperti
mazhab dalam Islam beserta pemikirannya, retorika, dan ushul
fikih.
Kecerdasan dan kejelian dalam mengungkapkan arti dari
setiap kata dan keluasan pengetahuan yang dimiliki oleh imam al-
Ghazali mengundang kekaguman imam Haramain sehingga imam
haramain memberikan pendapat bahwa imam al-Ghazali
merupakan miniatur lautan ilmu. Beliau melebihi teman-temannya
yang berjumlah 400 orang. Beliau pun menjadi asisten bagi
gurunya sekaligus wakilnya.
Al-Ghazali menginjakkan kakinya di Baghdad pada tahun
484 H. ketika itu usianya menginjak 34 tahun namun ia sudah
memegang jabatan tinggi sehingga menjadi cendekiawan yang
disegani. Ia mengajar di lembaga pendidikan Nizamiah dengan
cara mengajar yang mengesankan, santun, berwibawa, dan jernih
analisanya sehingga banyak orang yang menyukainya.
3Asrorun Ni‟am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam,(Jakarta: Elsas Jakarta, 2006),
hal.25
35
Faktor yang mendukung kejeniusan serta kemasyhuran al-
Ghazali diantaranya, Perkembangan keilmuannya, al-Ghazali
merupakan pribadi yang haus ilmu. Ia pencari keyakinan yang
sejati. Untuk itulah ia mempelajari berbagai macam ilmu.
Sehingga, ia melanpaui teman-teman sebayanya. Ia merupakan
pribadi yang kuat hafalannya. Ia merupakan pribadi yang jenius,
jeli pengamatannya, akurat, serta dapat memecahkan berbagai
persoalan yang pelik. Ia pengajar di lembaga pendidikan
Nizamiah yang didirikan oleh kesultanan Seljuk untuk
mengajarkan ajaran ahlus-sunnah.
b. Karya-Karya al-Ghazali
Al-Ghazali ialah seorang imuwan yang begitu kaya akan
pengetahuannya. Karya yang dimiliki tidaklah sedikit pada
bidang-bidang ilmu yang beliau miliki. Menurut beberapa tokoh
al-Ghazali telah menghasilakn sekitar 300 karya. Beliau mulai
mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Ia
mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang. Dengan
demikian, setiap tahun beliau menghasilkan karya tidak kurang
dari 10 kitab besar dan kecil, yang meliputi beberapa bidang ilmu
pengetahuan.4
Berikut diantara karya-karya yang dimiliki oleh al-Ghazali
dari masing-masing bidang yang beliau kuasai:
1) Bidang fiqh dan ushul fiqh
a) Al-Basith fi al-Furu‟ „ala Nihayah al-Mathlab li Imam
al-Haramain;
b) Al-Wasith al-Muhith bi Itqar al-Basith;
c) Al-Wajiz fi al-Furu‟;
d) Asrar al-Hajj, dalam fiqh Syafi‟I;
e) Al Musthafa fi „ilm al Ushul;
f) Al-Mankhul fi „ilm al Ushul;
4 Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2017), hal. 235
36
2) Bidang tafsir
a) Jawahir al-Qur‟an;
b) Yaqut al-Ta‟wil fi Tafsir al-Tanzil;
3) Bidang aqidah
a) Al-Iqtishad fi al-I‟tiqad, terbit di Mesir;
b) Al-Ajwibah al-Ghazaliyah fi al-masail al-Ukhrawiyah;
c) Iljamu al-Awam‟an „ilm al-kalam;
d) Al-Risalah al-Qudsiyah fi Qawaid al-Aqaid;
e) „Aqidah ahl al Sunnah;
f) Fadhaih al-Bathiniyah wa fadlail al-Mustadzhariyah;
g) Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah;
h) Al-Qistash al-Mustaqim;
i) Kimiyah al-sa‟adah;
j) Al-Maqshid al-Atsna fi ma‟ani asma Allah al-Husna;
k) Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd „ala man Ghayyara al-Injil;
4) Bidang filsafat dan logika
a) Misykah al-anwar;
b) Tahafut al-falasifah;
c) Risalah al-Thair;
d) Mihak al-Nadzar fi al-Mantiq;
e) Ma‟ary al-Qudsi fi Madarij Ma‟rifah al-Nafs;
f) Mi‟yar al-Ilmi;
g) Al-Muthal fi ilm al-Jidal;
5) Bidang tasawuf
a) Adab al-Shufiyah;
b) Ihya „Ulumuddin;
c) Bidayah al-Hidayah wa Tahdzib al-Nufus bi al-Adab al-
Sariyyah;
d) Al-Adab fi al-Din;
e) Al-Imla ‟an Asykal al Ihya;
f) Ayyuhal walad;
37
g) alRisalah al-Ladunniyah;
h) Mizan al-Amal;
i) Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma‟in;
j) Minhaj al-Abidin ila al-Jannah;
k) Muhkasyafah al-Qulub al-Muqarrab ila Hadhrah Alami
al-Ghaibi;
Karya-karyanya itu menunjukkan bahwa beliau seorang
pemikir kelas dunia yang sangat berpengaruh. Dikalangan Islam
sendiri banyak yang menilai bahwa dalam hal ajaran, ia adalah
orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah. Walau
ini terdengar sangat berlebihan namun banyak faktor mendukung
kebenaran penilaian itu. Pemikiran al-Ghazali tidak hanya
berguna bagi kalangan Islam melainkan berguna bagi kalangan
yahudi dan Kristen. Yahudi tampil dalam pribadi filsuf besar yaitu
Musa bin Maimun. Yang karyanya penting dalam sejarah
perkembangan filsafat yahudi itu menunjukkan bahwa ia berada
dibawah sorotan pemikiran al-Ghazali.5
Seperti para ulama katakan bahwa al-Ghazali memang
seorang pemikir yang kuat di kelas dunia. Tokoh yang diteliti
kedua juga sedikit banyak terinspirasi dari pemikiran al-ghazali
mengenai pemikirannya pada bidang pendidikan.
2. Biografi Syed M. Naquib al-Attas
Prof. DR. Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang selanjutnya
disebut dengan al-Attas, dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 5 September
1931. Berdasarkan silsilahnya al-Attas adalah keturunan Nabi
Muhammad yang ke-37, melalui silsilah sayyid dari Ba‟lawi asal
Hadramaut hingga sampai ke Imam Husain, cucu Nabi Saw.6 Al-Attas
merupakan adik kandung dari Prof. DR. Syed Hussein al-Attas, seorang
5 Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2017), hal. 235-236
6 Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi MultidimensiAgama dan Sains, (Yogjakarta:
Ircisod, 2012), hal.7
38
ilmuwan dan pakar sosiologi pada Universitas Malaya, Kuala Lumpur,
Malaysia.7
Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah al-Attas yang berasal
dari Saudi Arabia dengan silsilah keturunan sayyid; sedangkan ibunya
bernama Syarifah Raguan al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja pada
kerajaan Sunda Sukapura, Jawa Barat. Jadi al-Attas ini adalah
keturunan kaum ningrat, berdarah biru dengan semangat religious yang
sangat kental dan mendalam sekali. Dari pihak ibu bersambung pada
nabi Muhammad melalui Muhammad al-„Aydarus guru dan
pembimbing ruhani Syed Abu Hafs Umar ba Syaiban dari Hadramaut,
yang mengantarkan Nur al-Din al-Raniri salah seorang alim ulama
terkemuka di dunia melayu ke tarekat Rafi‟iyyah. Ibunda Syed
Muhammad Naquib yaitu Syarifah Raquan al-Aydarus, yang berasal
dari Bogor, Jawa Barat dan merupakan keturunan ningrat sunda di
Sukapura.8
a. Masa pendidikan dan Pengalaman
Pendidikan keagamaan keluarga ini memberikan pengaruh
kepada kepribadian al-Attas kecil, sebelum mengenyam pendidikan
dasar. Al-Attas menempuh pendidikan dasar formalnya di sekolah
dasar Ngee Heng (1936-1941). Setelah kembali ke jawa untuk
melanjutkan pendidikan formalnya di madrasah al-Urwatul Wutsqa
Sukabumi (1941-1945), sebuah lembaga pendidikan yang
menggunakan Bahasa Arab sebagai pengantar. Setelah itu kembali
ke Johor untuk melanjutkan pendidikannya di Bukit Zahrah School
lalu di English Collede (1946-1951). Saat itu berkesempatan
membaca manuskrip-manuskrip penting melayu di perpustakaan
7 Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
hal.9 8 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib Al-Attas terj. Hamid Fahmy, (Bandung: Mizan, 1998), hal.45
39
Ungku Abdul Aziz, keponakan sultan yang kemudian merupakan
salah seorang pamannya. Karena ia memang tinggal bersamanya.9
Setelah Ungku Abdul Aziz pension al-Attas tinggal dengan
pamannya yang lain yaitu Dato‟ Onn Dato‟ Jaafar (kepala menteri
Johor modern ketujuh), sampai menyelesaikan pendidikan tingkat
menengah. al-Attas memiliki bakat dalam bidang seni ia
menggambarkan sebuah bendera yang diinginkan dengan gambar
keris hijau dengan latar belakang berwarna kuning yang
menyimbolkan Islam, kekuatan, dan kesetiaan melayu yang
semuanya diletakkan diatas latar berwarna merah dan putih yaitu
warna kesukaan Hang Tuah sekaligus warna bendera warna
Indonesia.
Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah pada
1951 ia mendaftarkan diri untuk mengikuti pendidikan militer
pertama di Eton Hall, Chester, Wales Inggris. Selama pendidikan
di Inggris ia berusaha memahami aspek-aspek yang mempengaruhi
semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris. Setelah
menyelesaikan pendidikan di Inggris. Beliau juga sering pergi ke
negara-negara Eropa lainnya dan Afrika untuk mengunjungi
tempat-tempat terkenal dengan tradisi intelektual, seni, dan gaya
bangunan keislamannya. Dan di Afrika beliau bertemu dengan
sejumlah pemimpin Maroko yang sedang berjuang merebut
kembali kemerdekaannya dari tangan Prancis dan Spanyol. Ia
berkuliah di Sandhurst, disana ia berkenalan untuk pertama kali
dengan pandangan metafisika tasawuf yang tersedia di
perpustakaan kampusnya.
Syed Muhammad Naquib al Attas adalah seorang pakar yang
menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat dan
metafisika, sejarah, dan sastra. Dia juga seorang penulis produktif
dan otoritatif, yang telah memberikan beberapa kontribusi baru
9 Ibid., hal.2-3
40
dalam disiplin keislaman dan peradaban Melayu. Dia seorang yang
telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC pada
1991, pada 1993 dia diminta menyusun tulisan klasik yang unik
untuk kursi kehormatan al-Ghazali. Al-Attas sering mendapat
penghargaan internasional baik dari para orientalis maupun dari
pakar peradaban Islam dan Melayu.
Di Malaysia posisi dan peranan al-Attas sebagai seorang
pakar yang andal tidak perlu diragukan lagi. Dari 1970-1984 dia
menjadi ketua lembaga Bahasa dan kesusastraan Melayu di
Universitas kebangsaan Malaysia, ketua lembaga Tun Abdul Razak
untuk study Asia Tenggara di Universitas Ohio, Amerika dan al-
Attas adalah pendiri sekaligus rector ISTAC (International
Institute of Islamic Thought and Civilization) sejak 1987 yang
terletak di Kuala Lumpur.
b. Karya-Karya Syed Muhammad Naquib al-Attas
Al-Attas telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam
Bahasa Inggris maupun Melayu dan banyak yang telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa lain salah satunya Indonesia.
Karya-karyanya sebagai berikut:
1) Rangkaian Ruba‟iyat
2) Some Aspects of Shufism as Understood and Practised
Among the Malays.
3) Raniri and Wujudiyyah of 17th
Century Acheh, Monograph of
the Royal Asiatic Society.
4) The Origin of The Malay Sya‟ir
5) Preliminary Statement on a General Theoryof the
Islamization of the Malay Indonesian Archipelago.
6) The Mysticism of Hamzah Fanshuri.
7) Concluding Postcript to the Origin of the Malay Sya‟ir.
8) The Correct Date of the Terengganu Inscription.
9) Islam dan Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
41
10) Risalah untuk Kaum Muslimin,
11) Comments on the Re-examination of al-Raniri‟s Hujjat al-
Shiddiq
12) Islam: the Concept of Religion and the Foundation of Ethics
and Morality.
13) Islam: Paham Agama dan asas Akhlak
14) Islam and Secularism.
15) Aims and Objectives of Islamic Education: Islamic Education
Series, Hodder and Stoughton and King Abdulaziz
University.
16) The Concept of Education in Islam
17) Islam, Secularism, and the Philosophy of the Future.
18) A Commentary on the Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-
Raniri.
19) The Oldest Known Malay Manuscript: a 16th
Century Malay
Translation of the „Aqa‟id of al-Nasafi.
20) Islam the Philosophy of Science
21) The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul.
22) The Institution of Existence
23) On Quiddity and Essence
24) The Meaning and Experience of Happiness in Islam.
25) The Degrees of Existence.
26) Prolegomena to the metaphysics of Islam.
B. Pendidikan Tauhid menurut al-Ghazali
Pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan secara umum bersifat
religious-etis. Menurut al-Ghazali aktifitas duniawi hanya sekedar factor
suplementer bagi pencapaian kebahagiaan akhirat yang abadi.10
Al-Ghazali
menganalisis semua ilmu-ilmu bukan hanya pada level permulaan,
melainkan ia menenggelamkan diri secara total terhadap seluruh ilmu untuk
10
Asrorun Ni‟am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam,(Jakarta: Elsas Jakarta, 2006),
hal.56
42
bisa membedakan antara hakikat kebenaran dan kebatilan, antara ajaran
yang asli dan palsu, antara argumentasi teologis dan filosofis, antara teori
dan praktik sufistik yang benar-benar bisa mengantarkannya menggapai
kepastian dalam mengenal sang pencipta.11
Al-Ghazali adalah seorang tokoh Islam yang mendalami sesuatu ilmu
secara terperinci. Beliau terkenal sebagai hujjatul Islam dan pembaharu,
beliau akan membuat pembaharuan atau pemahaman yang lebih jelas
mengenai sesuatu ilmu yang diterapkannya. Beliau berbeda dengan ulama-
ulama lain yang mana usaha mereka menghafal apa yang diterimanya,
mengulanginya dan menukilnya. Beliau seorang alim yang aktif, maklumat
yang diterimanya diteliti dan diuji sejauh mana kebenaran dan kebatilannya.
Oleh karena itu adakalanya beliau menolak, mengubah atau menjelaskan
dan menghuraikan lalu membuat pembaharuan.12
Al-Ghazali mengalami ketersingkapan tabir sufistik yang membuat
beliau semakin kuat keyakinannya mengenai jalan kaum sufi adalah jalan
terbaik dalam proses mendekat kepada khalik, sang pencipta. Setelah
ketersingkapan tabir sufistik pula al-Ghazali menulis karya menumentalnya
dalam bidang tasawuf yaitu Ihya „Ulumuddin, menghidupkan kembali ilmu-
ilmu agama. Dalam kitab tersebut al-Ghazali merumuskan langkah-langkah
dalam perjalanan spiritual menuju tuhan.13
Pada ihya ulumuddin terdapat
bab Qawa‟id al-Aqa‟id atau kaidah-kaidah I‟tiqad. Merupakan karya induk
di bidang teologi. Didalamnya terdapat empat pasal:
Pasal pertama, berisi uraian „aqidah (I‟tiqad) ahlus-sunah tentang
kalimah syahadat yaitu salah satu dari dasar-dasar Islam. Persaksian bahwa
tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Penjelasan mengenai sifat-sifat dzat Allah dan sifat-sifat tanzih
(kemahasucian) Allah. Penjelasan tentang status nabi Muhammad sebagai
utusan Allah, apa-apa yang dibawanya benar adanya dari Allah termasuk
11
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2016), hal.128 12
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Rajagrafindo Indonesia, 2015), hal. 162 13
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2016), hal.128
43
kepercayaan tentang status para sahabat Nabi Muhammad dan
urutankemuliaan mereka satu sama lain.
Pasal kedua, berisi petunjuk dalam memberikan bimbingan akidah dan
penjelasan tentang tingkat-tingkat I‟tiqad. Adapun mengenai petunjuk
bimbingan akidah bagi umat, mecakup petunjuk dalam penanaman materi
akidah sejak masa kanak-kanak, pemantapannya dan penghayatannya.
Pasal ketiga, berisi karyanya yang berjudul al-Risalat al-Qudsiyyah,
salah satu karya kalam al-Ghazali. Isinya tentang dalil-dalil rasional dan
tekstual bagi kebenaran materi akidah yang sudah dipaparkan dalam pasal
pertama.
Pasal keempat, berisi tiga masalah pokok, yaitu pengertian “iman” dan
“Islam” dari segi etimologi dan terminology, masalah iman yang bisa
bertambah dan berkurang, dan masalah pernyataan iman dengan suatu
pengecualian (istisna).14
Berfokus pada pasal kedua yang tertera dalam ihya‟ ulumuddin “pasal
kedua: tentang cara beransur-ansur memberi petunjuk dan susunan
tingkatan kei‟tiqadan”.15
memberikan penjelasan bagaimana petunjuk
dalam memberikan bimbingan akidah dan penjelasan tentang tingkat-tingkat
I‟tiqad. Mengenai petunjuk bimbingan akidah bagi umat, mecakup petunjuk
dalam penanaman materi akidah sejak masa kanak-kanak, pemantapannya
dan penghayatannya. Pada ihya berawal memberikan penjelasan mengenai
aqidah yang sewajarnya kepada anak-anak pada awal pertumbuhannya.
Supaya dihafalnya dengan baik. Nanti akan terbuka pengertiannya sedikit
demi sedikit sewaktu dia telah besar.
Bermula dengan menghafal, kemudian memahami, kemudian
beri‟tiqad, meyakini dan membenarkan. Dengan seperti itu akan
menunjukan keberhasilannya pada anak dengan tidak menggunakan dalil.
Pada anak-anak permulaan ajaran keimanan itu seperti penyebaran benih ke
dalam dada. Dan mulai dirawat dengan penyiraman dan pemeliharaan benih
14
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 99-100 15
Al-Ghazali, (diterjemahkan oleh Ismail Ya‟kub), Ihya‟ Ulumuddin, (Medan: 1965), hal.
336
44
itu. Sehingga tumbuh benih yang kuat dan tinggi dan menjadi sepohon kayu
yang baik, kuat, urat tunggangnya di bumi dan cabangnya di langit.
Penanaman kepercayaan anak pada usia dini dengan menghafal bahwa
tuhan hanya ada satu yaitu hanya Allah SWT. berulang kali orang tua terus
menerus menegaskan itu hingga anak hafal dan bahkan tertanam pada diri
anak tersebut. Jika ia mulai masuk usia tujuh tahun atau anak mulai masuk
usia sekolah mulai anak suka berimajinasi, saat itulah orang tua maupun
guru mulai memasukan cerita pada anak tentang keagungan Allah SWT.
ketika ia mulai terkagum akan kebesaran Allah atas apa yang Allah ciptakan
lebih mudah untuk kita terus menyirami benih-benih itu dengan baik.
Pendengaran pada anak-anak harus benar-benar terjaga. Perkataan-
perkataan kotor, hina dan yang tidak bermanfaat harus kita hindari. Jangan
sampai kita mendengarkannya. Karena sebuah riwayat mengatakan
pendengaran sama dengan mulut dalam kebaikan maupun keburukan.
“jagalah pendengaranmu dari suara buruk seperti engkau menjaga
mulutmu dari ucapan buruk, sebab disaat engkau mendengar ucapan buruk
engkau menjadi pasangan pengucapnya”. Mendengarkan sesuatu yang
buruk menimbulkan dorongan hati dan perasaan was-was. Selain itu,
mengakbatkan anggota badan sibuk, pada gilirannya melupakan beribadat.16
Pengaruh pendengaran terhadap hati sama halnya dengan pengaruh
makanan terhadap perut. Ada yang bermanfaat dan ada sebagian lagi
merupakan mudarat. Ada yang menjadi santapan ada yang menjadi racun.
Bahkan pengaruh pendengaran terhadap hati lebih dalam dan membekas
dibanding makanan terhadap perut. Sebab pengaruh makanan dapat
dihilangkan dengan tidur meskipun pengaruhnya ada yang cukup lama
namun masih tetap dapat dihilangkan dan disembuhkan dengan obat. Tetapi,
pengaruh pendengaran terhadap hati kadangkala ada yang terus menerus
membekas dan tidak dapat dilupakan seumur hidup.
16
Abul Hiyadh, terjemahan Minhajul Abidin karya imam al-Ghazali, (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 2009), hal.124
45
Mengajak anak atau peserta didik ke sebuah halaqoh atau majelis ilmu
lalu menyaksikan orang-orang shalih dan duduk bersama orang shalih
pendengaran, sikap mereka, orang-orang shalih merendahkan diri, takut dan
ketetapan hari kepada Allah Ta‟ala. Sudah dijelaskan bahwa penanaman
tauhid ini layaknya menabur benih ke dalam dada. Maka dari itu, semua
yang ada pada anak harus dijaga. Pendengaran yang harus dijaga disini
adalah penjagaan dengan sebaik-baiknya dari berbantah dan berilmu kalam.
Perdebatan yang diciptakan lebih banyak daripada ilmu pendidikan
yang terkandung dalam perdebatan itu. Namun, terkadang bisa membuat
keimanan lebih kuat dan kokoh layaknya memukul batang kayu dengan palu
besi. Karena mengharapkan bertambahnya kuat dengan bertambah banyak
bagian bagiannya.17
Jadi, jika anak mendengar perkataan yang tidak baik akan membuat
kepercayaan yang awalnya sudah kokoh akan goyah. Mendengar hal-hal
yang begitu menggoyahkan kepercayaan sangat membuat anak tersesat saat
ia mulai bisa berfikir mandiri dan bertemu dengan orang-orang baru yang
memiliki perbedaan. Terlebih jika bertemu dengan orang yang akan
menimbulkan perdebatan akan apa yang sedang percayai. Peran orang tua
dan guru disini sangat penting untuk terus mendampingi anak di usia belia.
Menjaga hati dan menjadikannya baik dengan usaha sungguh-sungguh.
Karena, hati adalah bagian tubuh manusia yang paling besar bahayanya,
pengaruhnya paling kuat, masalahnya paling pelik dan sukar.18
Paling halus
dan suah diperbaikinya jika terjadi sesuatu pada hati. Jangan sekalipun
terbesit dalam hati hal yang buruk karena Allah SWT melihat kita melalui
hati kita.
17
Al-Ghazali, (diterjemahkan oleh Ismail Ya‟kub), Ihya‟ Ulumuddin, (Medan: 1965), hal.
337 18
Abul Hiyadh, terjemahan Minhajul Abidin karya imam al-Ghazali, (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 2009), hal.130
46
Artinya : “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat
dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (al-Mu‟min:19)
Artinya : “dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam
hatimu.” (al-Ahzab:51)
Artinya : “Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala isi
hati.” (al-Anfal:43)
Hati menjadi pusat penilaian Rabbul alamin yang harus kita jaga dan
hiasi, jika orang-orang hanya memelihara wajahnya yang terlihat dengan
manusia lain padahal kita juga harus tetap merawat hati yang sebetulnya
dilihat oleh Allah SWT. jika hati diibaratkan dengan raja yang ditaati dan
pemimpin yang disegani. Dan seluruh anggota tubuh ibarat rakyatnya. Jika
hatinya baik, maka baiklah seluruh anggota tubuhnya. Jika hatinya lurus
maka lurus pula seluruh anggotanya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa iman merupakan sikap pembenaran
(tashdiq) di dalam hati, sedangkan pernyataan atau pengakuan dengan lidah
(iqrar) dan perbuatan dengan anggota tubuh („amal) hanya merupakan
bagian yang menyempurnakan iman. Al-Ghazali membandingkan status
tashdiq bagi iman bagaikan status kepala dan badan bagi tubuh manusia.
Tanpa badan atau kepala, manusia tidak bisa hidup. Jadi,tanpa tashdiq iman
tidak ada dan amal statusnya hanya sebagai status kaki dan tangan bagi
manusia. Manusia tanpa kaki dan tangan masih ada yang hidup, walau tidak
sempurna. Begitu pula iman tanpa iqrar dan amal tidak sempurna, meskipun
dengan adanya tashdiq seseorang dapat dinyatakan sudah beriman.19
Bibit keimanan tidak akan tumbuh berkembang di dalam hati yang
penuh dengan kotoran dan sifat-sifat buruk, seperti halnya bibit tidak akan
19
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.104
47
tumbuh diatas tanah yang mengandung garam, hamba menghapkan
ampunan sama dengan orang yang menaburkan bibit biji, dia mencari ladng
yang tepat lalu menaburkan diatasnya bibit bermutu, bukan pula tanah yang
dimakan bubuk atau payau. Kemudian dirawat dengan baik disiram,
dicangkul, dijaga kebersihannya. Lalu ditunggui dengan harapan mendapat
karunia dari Allah sampai bibit itu tumbuh berkembang.20
Ilmu tauhid merupakan dua macam ilmu syariat yang berkenaan
dengan pokok-pokok agama (ushul). Menurut al-Ghazali bahwa objek
material ilmu tauhid yang dikutip dalam buku al-munqiz oleh zurkani jahja
sebagai berikut:
“ilmu ini membahas tentang zat Allah, sifat-sifat-Nya yang eternal (al-
Qadimah), yang aktif kreatif (al-fi‟liyyah), yang essensial (al-dzatiyyah),
dengan nama-nama yang sudah dikenal. Juga membahas keadaan para nabi,
para pemimpin umat yang sesudahnya dan para sahabat. Begitu pula
membahas tentang keadaan mati dan hidup, keadaan dibangkitkan dari kubur
(al-ba‟ts), berkumpul di mahsyar, perhitungan amal dan melihat Tuhan”21
Jadi, menurut al-Ghazali ada tiga objek material ilmu tauhid, yaitu:
Allah dengan segala sifat-sifat-Nya, kenabian dengan segala kaitannya dan
hari kiamat dengan segala kandungannya. Dengan menganggap ketiga objek
ini sebagai objek material ilmu tauhid itulah yang menjadi pokok-pokok
keimanan. Maka dari itu dalam konsepsi al-Ghazali ilmu yang membahas
pokok-pokok keimanan dalam Islam ialah ilmu tauhid.
Ilmu tauhid disebut pula ilmu kalam yang secara harfiah berarti ilmu
tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda tuhan,
maka yang dimaksud adalah kalam tuhan yang ada di dalam al-Qur‟an. Jadi
kalam adalah kata-kata manusia maka yang dimaksud dengan ilmu kalam
adalah ilmu yang membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka
mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.22
Al-Ghazali juga memberikan banyak perkembangan pada ilmu kalam.
Namun, beliau lebih banyak mematahkan hujah-hujah daripada pihak yang
20
Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, (Jakarta: Riora
Cipta, 2000), hal. 188 21
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 80 22
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2015), hal.18
48
keterlaluan ketika membahas isu-isu yang timbul dari perbincangan ilmu
kalam. Pada ihya di bagian aqaid pasal keempat al-Ghazali ketika
membicarakan tentang ilmu kalam beliau tidak meletakkan pada bagian
ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat. Bahkan beliau menganggap jika ada
yang keterlaluan dalam membincangkan isu-isu berkaitan dengan sifat dan
perbuatan Allah akan termasuk dalam golongan yang melakukan bid‟ah
dalam Islam.23
Dalam ihya tertera
“ilmu kalam senantiasa membuka, memperkenalkan dan menjelaskan
sebagian persoalan. Tapi sedikit sekali dapat dipahami, dalam persoalan-
persoalan yang terang, sebelum lagi mendalami pelajaran ilmu kalam itu.
Bahkan manfaatnya hanya satu saja. Yaitu menjaga aqidah yang kami
terangkan dahulu terhadap orang awwam dan memeliharanya dari gangguan-
gangguan ahli bid‟ah dengan berbagai macam pertengkaran.”24
Pemahaman yang tertanam pada orang awwam atau orang yang
sekedar tahu tidak begitu mendalam hanya akan merusak keimanan orang
awam. Karena orang awam itu lemah, dapat digertakkan oleh pertengkaran
orang bid‟ah. Ilmu kalam dikatakan tidak bermanfaat karena dua hal,. Yaitu,
ilmu ini suka menyimpang jauh dari matlamatnya yang utama adalah
mengenal Allah. Lalu, perbincangan ahli ilmu kalam terlalu jauh sehingga
menyimpang daripada apa yang dibincangkan oleh para ulama salaf.
Perbincangan yang awalnya sudah disatu pemikiran oleh ulama terdahulu
atau ulama salaf suka di bolak balikan oleh ahli imu kalam. Itulah yang
menyebabkan al-Ghazali tidak begitu menyukai ilmu kalam.
Dari istilah yang berkaitan dengan ilmu tauhid itu kita dapat
memperoleh kesan yang mendalam bahwa ilmu tauhid intinya berkaitan
dengan upaya memahami dan meyakini adanya tuhan dengan segala sifat
dan perbuatan-Nya. Adapun batasan wajib dari ilmu tauhid adalah agar
mengetahui inti dari agama Islam yaitu mengenai ketuhanan, kenabian dan
akhirat. Mengenai ketuhanan maksudnya kita harus mengetahui bahwa kita
mempunyai tuhan yang wajib disembah, tuhan yang maha mengetahui maha
23
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum SIregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Rajagrafindo Indonesia, 2015), hal.162 24
Al-Ghazali, (diterjemahkan oleh Ismail Ya‟kub), Ihya‟ Ulumuddin, (Medan: 1965), hal.
350
49
kuasa maka berkehendak, maha hidup, berfirman, maha ada padanya. Allah
bersifat qidam dan baqa karena jika selain Allah pasti ada awal dan
akhirnya. Selain itu kita harus mengetahui dan yakin bahwa nabi
Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya yang selalu benar dalam
merencanakan masalah akhirat, nikmat kubur, siksa dan seterusnya.
Mengenai dalil tentang ilmu tauhid dan pokoknya sudah tercantum di
dalam al-Qur‟an. Jadi tidak perlu mencari-mencari dengan akal, meski
memang kadang-kadang harus memberikan hokum penalaran jika
berhadapan dengan orang yang belum beriman. Tashdiq terletak pada hati
manusia. Dengan tashdiq berarti iman sudah ada dan dengan amal iman bisa
bertambah sempurna dan bisa berkurang, tapi tidak sampai menghapuskan
eksistensinya.
Tashdiq terwujud didahului oleh yakin. Dalam penanaman tauhid al-
Ghazali memiliki tiga fase, yang setiap fase mempunyai objek untuk siapa,
tujuan untuk apa, metode bagaimana cara mencapai tujuan, materi apa yang
diberian atau yang dijadikan kegiatan, literature atau karya tulis yang bisa
digunakan dan hasil atau tingkatan iman yang bisa diperoleh.
Fase pertama penanaman, Penanaman tauhid menurut al-Ghazali pada
anak dengan cara yang berada pada bab aqaid . layaknya sebatang pohon
yang baik. Seperti yang tersebut dalam al-Qur‟an surat Ibrahim ayat 24
Artinya: “tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”
Fase ini berlaku bagi semua orang karena tujuannya agar setiap orang
mengimani kebenaran materi akidah yang benar (haq) tanpa ragu. Orang
yang begini keadaannya dianggap al-Ghazali sudah menjadi seorang
mu‟min, yang mana jika meninggal maka dia terlepas dari siksaan kekal
50
alam neraka. Hal ini dipaparkan oleh al-Ghazali pada pasal pertama qawa‟id
al aqa‟id. Metode yang digunakan dalam fase ini menekankan pada
pengajaran yang diberikan sejak dini kepada anak-anak. Yaitu sejak dia
sudah mulai bisa menghafal kalimat-kalimat pendek, maka dimulailah
memberikan proposisi yang mengandung pokok-pokok akidah sebagaimana
dalam materi di pasal satu yaitu kalimat syahadatatau persaksian bahwa
Allah itu Esa dan Muhammad adalah nabi yang diutus oleh Allah SWT.
iman dengan kualitas seperti ini dinamakan oleh al-Ghazali dengan iman
orang awam (iman al-awamm).25
Setelah penanaman tauhid fase selanjutnya pemantapan melalui
pencarian ilmu dan beribadatlah yang harus dilakukan pada anak atau orang
yang sedang belajar tauhid. Tujuan fase ini agar keyakinan terhadap
kebenaran akidah yang haq dalam diri seorang mu‟min bertambah kuat,
kukuh, tetap dan tidak tergoyahkan. Fase ini al-Ghazali menginginkan
kekuatan iman pada diri seorang mu‟min kuat agar tidak goyah bila adanya
gangguan dari apa yang disebut al-Ghazali ahli bid‟ah, yang berusaha
menarik orang-orang yang sudah berkeyakinan dengan akidah yang benar
agar ragu terhadap-Nya dan membelok kepada akidah yang bathil, dengan
menggunakan argument rasional.26
Fase ketiga atau penghayatan. Tujuan fase ini agar orang mu‟min dapat
menghayati hakikat kebenaran akidah yang diyakininya. Pada fase ini al-
Ghazali berusaha memperolehnya lewat metode sufisme. Menghayati
hakikat kebenaran materi akidahnya, yaitu dapat menghayati hakikat
kebenaran materi akidah yang diyakini dengan pengetahuan (ma‟rifah) yang
diterima langsung dari Allah melalui proses kasyaf (terbuka) karena
keyakinan yang diperoleh dengan ma‟rifah maka iman yang dihasilkannya
disebut iman al-arifin (iman orang-orang yang memperoleh ma‟rifah dari
Tuhan).
25
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.107 26
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.108
51
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa beribadat atau amal berupa
pernyataan dari adanya iman. Ilmu sebagai arahan atau ibarat permata dan
utama namun dalam menjalani hidup tetap harus beribadah sebagai cara kita
bersyukur dan implimentasi dari ilmu yang kita miliki.27
Karena tujuan
pendidikan menurut al-Ghazali menjadikan manusia yang bertaqwa maka
dari itu beribadat harus dijalankan sebagai wujud manusia yang bertaqwa.
Allah memberikan akal kepada manusia untuk berfikir. Tetapi manusia
sering mempergunakan akalnya untuk memikirkan yang bukan-bukan
hingga akhirnya ia kufur dan ingkar kepada Allah. Jika diibaratkan seorang
raja menghadiahkan sebuah pedang kepada prajuritnya yang dianggap
berjasa. Namun setelah menerima pedang itu si prajurit mempergunakannya
untuk membunuh sang raja. Hal itu sama dengan Allah memberikan akal
kepada kita. Jika kita menggunakan akal itu hingga mengatakan bahwa
Allah itu tidak ada.28
Setiap manusia harus mengenal tuhannya. Namun, sebelum ia
mengenal tuhannya ia harus mengenal siapa dirinya. Maksudnya ia harus
merasa bahwa dirinya adalah hamba Allah yang lemah dan membutuhkan
tempat bergantung. Lalu ia mengetahui dengan sebenar-benarnya dan yakin
bahwa Allah yang berhak disembah, tempat bergantung, yang agung dan
yang kuasa. Setelah itu ia merasa bahwa dunia ini hanyalah padang
pengembaraan menuju tempat kembali, yakni akhirat. Dan ia jauh dari nafsu
binatang.
Setelah seseorang itu mengenal diri dan tuhannya, dunia, dan akhirat
tentu akan timbul kecintaan terhadap Allah sebagai hasil pengetahuan yang
ia miliki. Dengan mengenal akhirat sebagai tempat kembali akan
menimbulkan rasa rindu terhadap akhirat. Dan setelah mengenal dunia
sebagai persinggahan sementara seseorang tidak akan tertarik lagi akan
27
Abul Hiyadh, terjemahan Minhajul Abidin karya imam al-Ghazali, (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 2009), hal. 15 28
Loc.cit., hal. 26
52
keduniawian.29
Pemahaman seperti ini jika sudah tertanam amat dalam pada
hati manusia akan menjadikan manusia itu insan kamil. Manusia yang akan
mengawali setiap pekerjaan dengan niat yang baik niat untuk menuju jalan
akhirat dengan baik nantinya.
Beri‟tiqad dan bertauhid akan menghasilkan iman yang mana iman
memiliki pengaruh signifikan dalam meluruskan kepribadian seseorang dan
membersihkan dirinya dari ecenderungan pada kebejatan atau kekejian. Ia
menjadi stimulus terkuat yang mendorong seseorang untuk menjauhi
berbagai bentuk perilaku kejahatan dan hal-hal terlarang, disamping menjadi
motivator terbesar yang menggugahnya untuk memperbanyak berbagai
bentuk kebajikan dan kebaikan. Seorang mu‟min sejati akan menjauhkan
diri dari berbagai kenistaan dan dosa. Sebaab ia meyakini dengan keyakinan
yang teguh bahwa Allah maha memperhatikan dirinya dalam segala situasi
dan kondisi.30
C. Pendidikan Tauhid menurut al-Attas
Konsep pendidikan dalam Islam menurut al-Attas, istilah tarbiyah
bukanlah istilah yang tepat dan bukan pula istilah yang benar untuk
memaksudkan pendidikan dalam pengertian Islam. Karena istilah yang
dipergunakan mesti membawa gagasan yang benar tentang pendidikan dan
segala yang terlibat dalam proses pendidikan, maka wajib bagi kita sekarang
untuk menguji istilah tarbiyah secara kritis dan jika perlu menggantikannya
dengan pilihan yang tepat.31
Menurut al-Attas sebelum membahas pendidikan yang harus dibahas
terlebih dahulu adalah objek dari pendidikan itu sendiri, yaitu manusia.
Definisi manusia telah secara umum diketahui, bahwa ia adalah binatang
rasional. Karena rasionalitas adalah penentu manusia, maka sekurang-
29
Abul Hiyadh, terjemahan Minhajul Abidin karya imam al-Ghazali, (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 2009), hal. 33 30
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 227 31
Syed M. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1992),
hal.35
53
kurangnya kita harus memiliki beberapa gagasan tentang apa arti rasional
dan kita semua sepakat bahwa hal itu mengacu pada nalar.32
Mengapa dikatakan binatang rasional karena perbedaan manusia
dengan yang lainnya adalah rasio atau akal yang dimiliki oleh manusia itu
sendiri, bagaimana seseorang dikatakan manusia jika akal yang dimilikinya
tidak digunakan sebaik mungkin sebelum ia bertindak. Pemikir-pemikir
muslim tidak menganggap apa yang dipahami sebagai rasio adalah sesuatu
yang terpisah dari apa yang dipahami sebagai intellectus. Mereka
menganggap „aql sebagai suatu kesatuan organic dari rasio maupun
intellectus. Istilah „aql sendiri pada dasarnya berarti sejenis ikatan atau
simpul, sehingga dalam hal ini. „aql berarti suatu sifat dalam yang mengikat
dan menyimpulkan objek-objek ilmu dengan menggunakan sarana kata-
kata.
„aql adalah padanan kata qalb sebagaimana juga qalb, merupakan
suatu alat pencerapan pengertian ruhaniah yang disebut hati, adalah padanan
kata „aql. Sifat sebenarnya dari „aql adalah suatu substansi ruhaniah yang
dengannya diri rasional (an-Nafsun Nathiqah) yang artinya dapat
memahami dan membedakan kebenaran dari kepalsuan. Jelas bahwa hakikat
yang mendasari pendefinisian manusia adalah substansi ruhaniah ini, yang
setiap orang diisyaratkan ketika ia berkata “aku”. Oleh karena itu jika kita
berbicara tentang pendidikan, maka hal itu mesti dihubungkan dengan
hakikat manusia ini dan tidak hanya pada jasad dan aspek kebinatangannya
saja. Tetapi mendefinisikan manusia sebagai suatu hewan rasional yang
mana kapasitas untuk memahami pembicaraan dan kekuatan yang
bertanggung jawab atas perumusan makna yang melibatkan penilaian,
pembedaan, pencirian dan penjelasan serta yang berhubungan dengan
penyampaian kata-kata atau ungkapan-ungkapan (ekspresi) dalam suatu
pola yang bermakna.
Orang-orang muslim sepakat bahwa semua ilmu datangnya dari Allah
Swt. Dan kita juga tahu bahwa cara kedatangannya serta indera yang
32
Loc.cit.,hal.36
54
menerima dan menafsirkannya tidaklah sama. Oleh karena semua
pengetahuan datang dari Allah dan ditafsirkan oleh jiwa lewat spiritual dan
fisikalnya, maka definisi yang paling cocok dengan mengacu kepada Allah
sebagai asalnya bahwa ilmu pengetahuan ialah kedatangan (hushul : حصول )
yang artinya sesuatu atau suatu obyek pengetahuan di dalam jiwa:
حصول معىن او صورة الشي ىف النفس Sedangkan, dengan mengacu kepada jiwa sebagai penafsirnya,
pengetahuan adalah sampainya (wushul: وصول ) jiwa pada makna sesuatu
atau suatu obyek pengetahuan.
وصول النفس اىل معىن الشي
Telah dikatakan bahwa alam semesta sebagaimana digambarkan di
dalam al-Qur‟an seperti sebuah buku besar yang terbuka, dan setiap rincian
di dalamnya meliputi cakrawala yang terjauh maupun diri-diri kita sendiri
adalah seperti sebuah kata di dalam buku besar yang berbicara kepada
manusia tentang Sang Pengarangnya.33
Sesuatu seperti “kata” pada
hakikatnya hanyalah tanda atau symbol yang tampak, yang tidak terpisahkan
dari sesuatu yang lain yang tidak tampak seperti itu, hubungan ini terjalin
sedemikian rupa, sehingga bila yang pertama (tanda) dicerapi dan yang
sama sulitnya dengan yang pertama akan diketahui.34
Yang kita kerangkakan diatas adalah pemaparan konsep al-Qur‟an
tentang ayat (ayah: اية ) yang mengacu pada “kata-kata” dan “sesuatu”
yakni “benda-benda”. Inilah sebabnya kenapa kita definisikan ilmu secara
epistimologis sebagai sampainya makna sesuatu pada jiwa atau sampainya
jiwa pada makna sesuatu. Makna sesuatu itu berarti maknanya yang benar
dan yang disebut sebagai makna yang benar dalam konteksini ditentukan
33
Syed M. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan,
1992),hal. 43 34
Ibid., hal.45
55
oleh pandangan Islam tentang hakikat kebenaran sebagaimana
diproyeksikan oleh system konseptual al-Qur‟an.35
Menurut al-Attas jika al-Qur‟an merupakan wewenang akhir yang
menegaskan kebenaran dalam penyelidikan rasional empiris bahwa ilmu
dalam hubungan makna berarti pengenalan tempat-tempat yang tepat dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing ke arah
pengenalan tentang Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan
keperibadian.36
Definisi kita tentang pengetahuan, yaitu tentang terdiri dari apakah
pengetahuan dan terdiri dari apakah pendidikan, kita lihat bahwa konsep
tentang tempat yang tepat berhubungan dengan dua wilayah penerapan. Di
satu pihak ia mengacu pada wilayah ontologis yang mencakup manusia dan
dunia benda-benda empiris, dan di pihak lain pada wilayah teologis yang
mencakup aspek-aspek keagamaan dan etis serta keperiadaan manusia.
Tempat yang tepat berarti tempat yang sempurna dan sejati sebagaimana
ditunjukkan oleh istilah haqq karena haqq berarti hakikat sekaligus
kebenaran dengan kedua wilayah tersebut. Haqq berarti suatu penilaian atau
hukm. Lawan kata haqq yang paling tepat adalah bathil yang berarti
kepalsuan, sesuatu yang sia-sia, gagal. Istilah haqq pada dasarnya berarti
suatu keserasian dengan persyaratan kearifan dan keadilan. Dan yang
dimaksud dengan kearifan (hikmah) adalah ilmu yang dianugerahkan oleh
Tuhan yang menjadikan penerimanya mampu melakukan penilaian-
penilaian yang benar mengenai tempat yang tepat dari segala sesuatu.37
Telah terjalin konsep bersama-sama dalam suatu pola yang bermakna
untuk membentangkan konsep pendidikan yang khas Islam, sekarang kita
definisikan sebagai: pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-
angsur ditanamkan di dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga
35
Syed M. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1992),
hal.45-46 36
Ibid., hal.46-47 37
Ibid., hal. 49
56
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat
di dalam tatanan wujud dan keperiadaan.
Masih ada satu konsep kunci yang pada hakikatnya merupakan inti
pendidikan dan proses pendidikan, karena konsep-konsep kunci lain yang
kita sebutkan diatas semuanya memusatkan makna-maknanya, dalam
konteks ini hanya konsep saja. Konsep kunci utama ini terkandung dalam
istilah adab. Adab adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang
menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam
hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektua dan
ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud
ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajatnya.
Dalam bahasa inggris disebutkan education atau educate yang menurut
al-Attas berarti menghasilkan, mengembangkan dan mengacu kepada segala
sesuatu yang bersifat fisik dan material. Al-Attas adalah orang yang
mengeritik jika ada yang menggunakan istilah tarbiyah atau ta‟lim. Karena
menurut beliau tarbiyah bukanlah istilah yang pas untuk mengartikan
pendidikan islam.38
Tertera dalam al-Qur‟an surat al-Isra‟ ayat 24
ا م ا ك م ه رمحم ا رب لم وق ة رحم ل ا ن م ل ذ ل ا اح ن ج ا م ل ضم ف خم واريا غ ص ن ا ي رب
Artinya : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil".
mendidik saat kami masih kanak-kanak hingga kami dewasa. Pada ayat ini
tertera seperti itu yang membuat al-Attas berpendapat bahwa pendidikan
islam kurang tepat jika menggunakan tarbiyah. Karena pengasuhan pada
anak dan pemberian makan semua itu tidak hanya dilakukan oleh manusia.
Al-Attas tetap pada pendiriannya mengenai konsep pendidikan islam
adalah ta‟dib yang berakar dari kata adaba yang artinya mendidik,
38
Kemas Badarudin, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 24
57
undangan perjamuan, kebaikan, kehalusan budi, kebiasaan baik dan lain
sebagainya. Beliau menegaskan bahwa sesuatu yang harus ditanamkan
dalam pendidikan tersebut adalah ilmu. Tujuan mencari ilmu terkandung
pada konsep adab jika makna pendidikan dari kata ta‟dib penekanannya
cenderung lebih banyak pada perbaikan budi pekerti atau nilai-nilai
kehidupan manusia.
Adab menunjukan pengenalan dan pengakuan akan kondisi kehidupan,
kedudukan dan tempat yang tepat lagi layak, serta disiplin diri ketika
berpartisipasi aktif dan sukarela dalam menjalankan peranan seseorang
sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, pemenuhannya dalam diri
seseorang dan masyarakat sebagai keseluruhan mencerminkan kondisi
keadilan („adl). Keadilan itu sendiri adalah pencerminan kearifan (hikmah),
yang telah kita definisikan sebagai ilmu berian Tuhan yang memungkinkan
penerima menemukan atau menghasilkan tempat yang tepat dan layak bagi
sesuatu. Kondisi berada pada tempat yang tepat itulah yang kita sebut
keadilan; dan adab adalah metode untuk mengetahui sehingga dengan itu
kita memenuhi kondisi berada pada tempat yang tepat. Jadi adab disini juga
cerminan kearifan.
Adab dikenal sebagai ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan.
Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan
dalam diri individual. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam ialah
menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti dalam peradaban barat,
warganegara yang baik.39
Pengislaman konsep adab sebagai perjamuan
bersama seluruh implikasi konseptual yang terkandung di dalamnya yang
bahkan waktu itu pun sudah mencakup pula ilmu secara bermakna dan
mendalam diterangkan dalam suatu hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu
Mas‟ud, ketika Qur‟an suci sendiri digambarkan sebagai undangan Tuhan
untuk menghadiri suatu perjamuan di atas bumi, dan kita sangat dianjurkan
39
Syed M. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1992),
hal.54
58
untuk mengambil bagian di dalamnya dengan jalan mempunyai
pengetahuan yang benar tentangnya.
Berkenaan dengan ini, adab melibatkan tindakan untuk mendisiplinkan
pikiran dan jiwa; hal ini berarti pencapaian kualitas-kualitas dan sifat-sifat
yang baik oleh pikiran; penyelenggaraan tindakan-tindakan yang betul
bukan yang menyeleweng, yang benar atau tepat dan bukan yang salah;
penyelamatan diri dari kehilangan kehormatan. Jadi adab, sebagai tindakan-
tindakan didispliner, pencapaian-pencapaian selektif, tingkah laku yang
benar dan pemeliharaan kualitatif berikut segala pengetahuan yang
terkandung di dalamnya, merupakan pemenuhan tujuan pengetahuan.
Jika berbicara mengenai tujuan pengetahuan adalah menghasilkan
seseorang yang baik maka membuat suatu masyarakat yang baik pula karena
pendidikan adalah bahan masyarakat. Penekanan pada adab yang mencakup
„amal dalam pendidikan dan proses pendidikan untuk menjamin
bahwasannya ilmu dipergunakan secara baik di dalam masyarakat. Dengan
ini para cendikia mengombinasikan „ilm dengan „amal dan adab, dan
menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan.
Islam agama yang memacu umatnya untuk terus secara
berkesinambungan untuk belajar dalam memahami pendidikan, terdapat
makna utama antara lain yaitu 40
: ta‟dib, salah satu konsep kunci utama
yang merujuk pada hakikat dari inti makna pendidikan adalah istilah ta‟dib
yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap dapat mewakili makna
utama pendidikan Islam menurut Naquib al-Attas. Selanjutnya Faisal
mengutip pendapat Naquib al-Attas dalam bukunya yang berjudul Islam and
Secularism yang mengatakan bahwa selain kata tarbiyah dan ta‟lim terdapat
pula ta‟dib yang ada hubungannya dengan adab yang berarti susunan.41
Al-attas pun menegaskan bahwa hancurnya umat Islam bukan
dikarenakan kemunduran ekonomi, politik dan sebagainya, namun lebih
fundamental dari itu yaitu kehancuran pada tingkat metafisis, dimana umat
40
Mujammil Komar, Epistimologi Pendidikan Islam dari metode rasional hingga Metode
Kritik, (Surabaya: Erlangga, 2005), hal.104 41
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1992), cet. Ke-2, hal.156
59
Islam telah mengalami yang beliau sebut sebagai korupsi ilmu pengetahuan.
Akibat dari korupsi inilah umat Islam telah kehilangan pijakannya pada
tradisi keilmuan Islam yang gilang gemilang, sehingga hilanglah adab dalm
diri umat Islam. Ketiadaan pada adab akhirnya menjebloskan umat Islam ke
dalam jurang kemerosotan yang sangat dalam.
Menguak gagasan islamisasi pengetahuan abad modern, yang
dilontarkan oleh Naquib al-Attas yang dengan gencar mengkritik gagasan-
gagasan para tokoh muslim sebelumnya yang terjebak poada konsep
sekularisasi, karena menurut al-Attas tantangan yang terbesar bukanlah
kebodohan tapi pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh
pelosok dunia oleh peradaban barat. Hal ini sejalan dengan Isma‟il al-Faruqi
(1984) bahwa system pendidikan telah dicetak dalam sebuah karikatur,
sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami
umat.42
Atas dasar diatas sayyid Naquib al-Attas bekerja keras selama
hidupnya dengan dihiasi oleh berbagai ilmu dan amal untuk dapat
mengembalikan konsepsi Islam tentang adab kepada kaum muslimin. Jika
adab yang baik terhadap ilmu telah hilang maka ilmupun akan hilang. Ilmu
bukanlah sesuatu yang turun dengan sendirinya. Ilmu adalah sesuatu yang
turun dari Allah swt akibat adab yang baik terhadapnya.
Berbicara mengenai pendidikan tauhid. Pembahasan paling utama dari
pandangan hidup Islam tercermin jelas dalam tatanan epistimologi dan
system pendidikannya yaitu sentralitas Allah Swt. doktrin yang Islam bawa
adalah Allah Swt yaitu tuhan yang telah ada sejak zaman azali. Allah tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan yang jelas tertera pada surat al-ikhlas
ayat ketiga. Allah yang tidak memiliki sekutu dan ia tidak melakukan
kerjasama dalam segala kuasa-Nya.
Naquib al-Attas ingin mengembalikan pemikiran umat Islam yang
sudah terkontaminasi oleh pemikir barat. Beliau adalah salah seorang
42
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam. Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), hal.38
60
pemikir yang dengan keras menegaskan untuk mengembalikan pemikiran
tentang islamisasi ilmu sebagai upaya pendidikan dalam membebaskan
kekuatan pendidikan yang didominasi oleh barat yang mengancam
kelangsungan hidup umat manusia.
Peradaban barat yang dimaksudkan adalah peradaban yang telah
tumbuh dari peleburan historis kebudaan, filsafat, nilai dan aspirasi yunani
dan romawi kunobeserta perpaduannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen
yang kemudian yang dikembangkan lebih jauh oleh rakyat latin, Jermania,
Kelitik dan Nordik. Dari Yunani kuno diperoleh unsur-unsur filosofis dan
epistimologis dan landasan-landasan pendidikan dan etika serta estetika dari
romawi unsur-unsur hokum dan ilmu tata negara serta pemerintahan, dari
ajaran Yahudi dan Kristen unsur-unsur kepercayaan religious dari rakyat
latin, Jermania, Kelitik dan Nordik nilai-nilai semangat dan tradisional
mereka yang bebas dan nasional.43
Seorang manusia hanya akan dapat dan mampu memasuki keteraturan
alam semesta ini jika ia telah mengenal penciptanya. Bagaimana ia akan
menyerah pada hokum tuhan, tatkala ia sendiri belum mengenal tuhannya.
Untuk itu ajaran agama Islam dibangun diatas sebuah fondasi kokoh
keesaan tuhan, sebagai bentuk pengenalan tuhan kepada manusia. Dan
karena itulah doktrin tauhid menduduki posisi yang sentral dalam ajaran
Islam.
Seorang sufi besar, al-Imam Junayd al-Baghdadi berpendapat yang
kutip oleh Ismail Fajrie Alatas bahwa terdapat empat level tauhid. Pertama
adalah level manusia pada umumnya. Bagi kelompok yang berada pada
level ini tauhid berarti menghilangnya konsep banyak tuhan, sekutu atau
hal-hal yang serupa dengan Allah Swt. jadi pada level ini manusia
berpendapat bahwa Allah adalah Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
43
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pimpin, 2011),
hal.195
61
Namun, pada level ini manusia masih ada rasa harap dan takut kepada selain
Allah Swt.44
Level kedua ialah tauhid yang dimiliki oleh orang-orang yang
mempunyai pengetahuan yang cukup dalam ilmu-ilmu keagamaan. Bedanya
dengan level pertama pada level ini kesadaran tauhidnya diiringi dengan
mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Level ketiga ialah
level esoteric yang pertama perbedaan yang berasa pada level ini ialah
hilangnya rasa harap dan takut kepada selain Allah. Jadi pada level ini
seseorang merasakan keberadaan tuhan dalam dirinya, sehingga ia tidak lagi
memerlukan selain-Nya. Di level ini seseorang merasakan begitu nikmat
berdialog langsung dengan Allah dalam batin mereka. Level terakhir ialah
level yang amat tinggi dimana seseorang sudah merasa tidak ada penghalang
antara dia dengan tuhan. Merasa langsung berhadapan dengan tuhannya dan
melepaskan individualitas dirinya dihadapan tuhannya.
D. Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Imam al-Ghazali dengan Syed
Muhammad Naquib al-Attas.
Penelitian ini sebuah komparasi antara kedua tokoh yaitu Imam al-
Ghazali dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Jika komparasi mengenai
kelebihan dan kekurangan antara kedua tokoh ini mungkin peneliti bukanlah
orang yang berhak mencari tahu itu karena kedua tokoh ini berada pada
zaman yang berbeda. Namun disini peneliti mendapatkan data bahwa
pemikiran kedua tokoh ini amat atau hampir sama hanya saja perbedaan
terletak pada zaman diantara kedua tokoh ini dan pada kontekstual.
Imam al-Ghazali yang kita ketahui adalah seorang pemuka agama
bahkan seorang imam yang amat cerdas melalui buku-buku yang beliau tulis
bisa dijadikan acuan hingga saat ini. Syed Muhammad Naquib al-Attas juga
merupakan orang pemikir mengenai metafisika tuhan beliau memulai
menulis dan menghibahkan hidupnya untuk menjadi pemikir dan
pembelajar ketika banyak terjadinya kekeliruan antara beberapa pemikir
44
Ismail Fajrie Alatas, Risalah Konsep Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Diwan, 2006), hal.85-
86
62
lainnya. Beliau ingin mengembalikan pemikiran-pemikiran yang keliru
untuk kembali pada jalurnya. Al-Attas adalah seorang yang amat setuju
dengan pemikiran al-Ghazali mengenai model atau cara pendidikan tauhid
yang tertera pada ihya.
Mengenai persamaan dan perbedaan yang akan dibahas pertama adalah
tujuan pendidikan antara kedua tokoh ini. Tujuan pendidikan tidak ada
tujuan mutlak pada instansi yang berlaku untuk semua. Melainkan kembali
kepada peranan dan tujuan hidup manusia itu sendiri di dunia ini. Namun
jika ditarik dari beberapa pemikir bahwa tujuan pendidikan adalah
menjadikan manusia itu sebagai warga negara dan pekerja yang baik.
Indonesia juga memiliki tujuan dalam pendidikan yang tertera dalam UUD
1945 dan Undang-undang no.20 tahun 2003. Menurut UUD 1945 tujuan
pendidikan nasional diatur dalam pasal 31 ayat 3 yang berbunyi “pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-
undang”. dan pasal 31 ayat 5 berbunyi “pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat”.
Menurut undang-undang no. 20 tahun 2003 tujuan pendidikan nasional
adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bisa kita tarik kesimpulan dari perundang-undangan indonesia
bahwa pendidikan indonesia memiliki tujuan sebagai pengembangan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Menurut al-Ghazali tujuan pendidikan adalah menjadikan seseorang
berakhlak yang baik atau keberhasilan sesorang dalam pendidikan atau
mendidik seorang anak dilihat dari akhlak anak didik itu sendiri. Seorang
63
guru tidak bisa mengatakan pembelajaran yang dilakukan berhasil jika anak
tersebut dalam pengaplikasian ilmu yang didapat masih kurang baik bahkan
tidak mengaplikasikan ilmu yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut al-Attas tujuan pendidikan merupakan penciptaan manusia yang
baik. Jadi tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat
yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga
negara yang sempurna melainkan untuk memunculkan manusia yang
sempurna.45
Jika ditinjau dari keberhasilan guru dalam mendidik menurut al-Attas
tidak jauh berbeda dengan al-Ghazali perbedaan hanya tertera pada kontek
kata yaitu keberhasilan dalam mendidik seorang siswa menurut al-Attas
ditinjau dari adab anak tersebut. Keseharian yang dilakukan dan kepribadian
anak tersebut ada perubahan atau tidak dari sebelum ia mengetahui hingga
ia telah mengetahui.
Proses pembelajaran kedua tokoh ini dalam mendidik ketauhidan
seorang anak melalui pendidikan dasar dari rumah yang terus diajarkan pula
hingga ia besar. Beliau menggunakan metode Riyadhoh yang artinya
pembelajaran terus menerus. Membicarakan mengenai tauhid tidak bisa
secara singkat seorang guru mengajarkan, karena pendidikan tauhid adalah
pembelajaran yang harus terus diajarkan dari masih buayan hingga kita
wafat. Telah diketahui bahwa iman yang ada dalam diri tidak terus datar
selalu tinggi maupun selalu rendah maka dari itu untuk menjaga keimanan
dalam diri pendidikan tauhid ini terus di pelajari agar tidak terperosok pada
hal yang salah.
Pendidikan tauhid memang harus terus menerus didampingi oleh
pendidik baik guru maupun orang tua untuk menanamkan pendidikan tauhid
bahwa Tuhan hanya satu yaitu Allah Swt. dan setiap apa-apa yang kita
kerjakan selalu dalam penglihatan Allah Swt.
45
Syed M. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1992),
hal. 172
64
tabel 1.1
Aspek al-Ghazali Syed M. Naquib al-Attas
Model Riyadhoh (hati nurani) Ta‟dib (ihsan)
Pendekatan Teacher center Student center
Strategi Direct instruction Direct instruction
Metode Ceramah dan praktik Ceramah dan praktik
Teknik
atau taktik Spesifik dan individual Spesifik dan individual
Berdasarkan tabel diatas dapat kita ketahui riyadhoh disini adalah
seorang muslim mendekatkan diri kepada tuhannya secara individu untuk
menuju pada ma‟rifat. Dengan mendekatkan diri secara individu seorang
mu‟min akan menjaga hati nuraninya. Karena, hati menjadi pusat penilaian
Rabbul alamin yang harus kita jaga dan hiasi, jika orang-orang hanya
memelihara wajahnya yang terlihat dengan manusia lain padahal kita juga
harus tetap merawat hati yang sebetulnya dilihat oleh Allah Swt.46
jika
diibaratkan dengan raja yang ditaati dan pemimpin yang disegani. Dan
seluruh anggota tubuh ibarat rakyatnya. Jika hatinya baik, maka baik
seluruh anggota tubuhnya. Jika hatinya lurus maka lurus pula seluruh
anggotanya.
Sedangkan ta‟dib. atau pendidikan adab yang dicetuskan oleh al-Attas
merupakan pendidikan yang diajarkan bersama-sama untuk mendekatkan
diri kepada Tuhannya dengan peradaban yang baik, tingkah lakunya yang
ihsan sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah Swt. al-Attas tetap pada
pendiriannya mengenai konsep pendidikan Islam adalah ta‟dib yang berakar
dari kata adaba yang artinya mendidik, undangan perjamuan, kebaikan,
kehalusan budi, kebiasaan baik dan lain sebagainya. Beliau menegaskan
bahwa sesuatu yang harus ditanamkan dalam pendidikan tersebut adalah
ilmu. Tujuan mencari ilmu terkandung pada konsep adab jika makna
46
Zurkani Jahja, Teologi al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.104
65
pendidikan dari kata ta‟dib penekanannya cenderung lebih banyak pada
perbaikan budi pekerti atau nilai-nilai kehidupan manusia.47
Perbedaan diantara keduanya antara riyadhoh dengan ta‟dib. seperti
yang telah dijelaskan diatas mengenai konsep riyadhoh, lalu ta‟dib adalah
sebuah pembinaan adab melalui ihsan peserta didik. Pendidik menjadi
pemeran penting dalam pendekatan al-Ghazali yang menjadikan seorang
pendidik atau guru sebagai pusat pendidikannya untuk memberikan
instruksi atau pelajaran secara langsung kepada peserta didik. Metode yang
digunakan ialah ceramah karena materi mengenai pendidikan tauhid betul-
betul memerlukan pendidik agar tidak salah dalam pemahaman peserta
didik. Lalu konsep riyadhoh dalam pemikiran al-Ghazali juga terpakai
dengan keseharian. Yang mana setiap peserta didik akan diminta
mengerjakan atau mengamalkan hal-hal yang sudah ia terima ilmunya.
Setelah itu peserta didik akan terlihat dengan cara perubahan sikap yang
terjadi pada peserta didik atau praktik yang dilakukan sehari-hari oleh
peserta didik.
Pendekatan yang digunakan oleh Naquib al-Attas adalah student center
atau berpusat pada murid. Karena, pendidikan yang dikembangkan oleh al-
Attas sudah pada zaman modern yang sudah mengenal IPTEK. Peserta didik
diminta lebih aktif pada zaman ini. Namun, pendidikan tauhid tidak bisa
terlepas dari pendidik untuk pengarah utama mengenal tuhan bersama-sama
dan menjadikan mereka paham akan adanya Tuhan. Ceramah tetap
dilakukan karena membicarakan mengenai ketuhanan pendidik akan
berbicara banyak kepada peserta didik mengenai Tuhan.
Perbedaan yang amat signifikan yang dilihat diantara kedua tokoh ini
bahwa perbedaan waktu yang mana al-Ghazali adalh seorang pemikir tempo
lama namun ilmu tetap dan terus digunakan hingga saat ini berupa karya-
karyanya. Lalu Naquib al-Attas pemikir modern yang ingin mengembalikan
pemikiran umat Islam yang sudah terkontaminasi oleh pemikir barat. Beliau
47
Syed M. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1992),
hal.54
66
adalah salah seorang pemikir yang dengan keras menegaskan untuk
mengembalikan pemikiran tentang islamisasi ilmu sebagai upaya
pendidikan dalam membebaskan kekuatan pendidikan yang didominasi oleh
barat yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia.
Naquib al-Attas mendirikan sebuah institute sebagai lahan
pengaplikasian tempat beliau mengembalikan konsep ilmu yang beliau
kembangkan menjadi islamisasi ilmu.48
Kampus ISTAC di Malaysia
tepatnya di Kuala Lumpur. Penyatuan pendidikan Islam dengan sains yang
mana teknologi sedang berkembang pesat.
48
Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi Interkoneksi, (Yogyakarta:
Suka Press, 2007), hal.46
67
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya
mengenai model pendidikan tauhid menurut kedua tokoh ini. Dapat tarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Model pendidikan tauhid yang diajarkan oleh Imam al-Ghazali
lebih bersifat filosofis karena beliau mencari sebab mengapa
pendidikan tauhid itu menjadi dasar hingga begitu dalam. Beliau
menggunakan pendekatan teacher center atau berpusat pada guru
dalam pendidikan dengan pendekatan ini beliau menegaskan bahwa
pendidikan tauhid bukanlah pendidikan yang mudah untuk
diajarkan karena jika dilihat pada kitab ihya bab qawaid pendidikan
tauhid memiliki proses pendidikan yang tidak sebentar dan mudah.
Sedikit demi sedikit penanaman tauhid pada anak ditanamkan dan
dipupuk hingga ia benar-benar paham. Tuhan hanya ada satu. Yaitu
Allah swt. Apapun yang kita lakukan Allah tahu, seorang anak yang
ditanamkan dalam hatinya mengenai itu hingga ia dewasa tidak
akan meninggalkan perintah Allah swt atau melakukan segala
larangannya.
2. Model pendidikan tauhid yang diajarkan oleh Syed Muhammad
Naquib al-Attas lebih bersifat teologis yang mana pemikirannya
lebih menggunakan nalar mengenai agama, spiritualitas dan
ketuhanan setelah terjadinya penyimpangan pada masa itu. Untuk
mengebalikan pemahaman orang-orang kala itu al-Attas
menegaskan pendidikam tauhid ialah penanaman pada anak
mengenai ketuhanan yang maha Esa. Allah itu tunggal dan tak ada
sekutu baginya. Al-Attas berpendapat bahwa dengan konsep adab
seorang anak mendapatkan pendidikan. Keberhasilan yang dicapai
68
dari pembelajaran dapat ditinjau dari adab anak itu sendiri kepada
Tuhannya. Kepada Allah Swt. tentang apa-apa yang dipelajarinya.
Perubahan pada adab anak itulah yang menjadi tolok ukur
keberhasilan pendidikan. Pendidikan tauhid al-Attas juga berpusat
pada guru, karena pendidikan mengenai ketuhanan harus memiliki
guru yang akan membimbing pada tujuan yang sebenarnya.
3. Komparasi pendidikan tauhid antara keduanya. Perbedaan antara
keduanya terletak pada jarak atau waktu, namun walau perbedaan
waktu al-Attas menjadi pemikir di dunia islam ingin
mengembalikan pendidikan islam seperti imam al-Ghazali dalam
pendidikan. Kedua tokoh ini berfokus pada akhlak dan adab anak
didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Pendidikan tauhid adalah dasar ilmu dalam pendidikan islam.
Pengetahuan yang paling utama harus dimiliki seorang anak didik
ialah pengetahuan mengenai tuhannya. Tuhan yang maha Esa,
tunggal, dan tak ada sekutu baginya. Berdasarkan bab sebelumnya
bahwa model atau cara pengajaran kedua tokoh ini cukup
signifikan. Perbedaan kedua pada masa atau waktu, yang mana al-
Attas adalah seorang pemikir pada zaman modern sudah
menggunakan perkembangan teknologi sehingga beliau memiliki
sebuah institute yang bergerak dibidang pendidikan dan teknologi.
Namun, tujuan inti pendidikan jika diambil secara singkat diantara
keduanya adalah menjadikan manusia itu manusia yang bertakwa.
Menjalani segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan diatas penulis memberikan
saran kepada beberapa pendidik, baik pendidik secara formal maupun non
formal.
1. Bagi orang tua, pendidikan sejatinya berawal dari rumah atau lebih
spesifikasinya dari seorang ibu. Mengenai ketuhanan orang tualah
yang berperan amat tinggi. Perhatian yang diberikan orang tua pada
69
anak sangat penting. Karena dari awal anak lahir ke bumi dalam
keadaan fitrah jadi bagaimana anak itu besarnya bisa dilihat dari
bagaimana orang tua mendidik. Layaknya sebuah syair mengukir
diatas batu akan lebih mudah daripada mengukir diatas air. Orang
tua harus lebih jeli pada anak dimasa yang sekarang kemajuan ilmu
teknologi sudah amat pesat. Semua akses yang anak inginkan
sangat mudah untuk di raih jadi orang tua harus lebih
memperhatikan anaknya.
2. Bagi guru, sejatinya guru dalam hidup ada 3 orang tua yang
melahirkan atau merawat kita, guru di sekolah dan orang tua
pasangan kita nanti. Guru di sekolah adalah orang tua yang
mendidik anak menjadi pribadi yang baik dan mencerdaskan anak
bangsa. Peran guru disini sangatlah penting dalam penanaman
pengetahuan pada anak. Namun, kembali lagi pada bagaimana kita
sebagai seorang guru di sekolah. Yang mana sudah menjadi
perbincangan banyak guru yang memberikan aturan namun
melanggar aturan itu sendiri. Penanaman pada anak tidak hanya
teori melainkan praktik yang murid lihat dari keseharian kita di
sekolah. Menjaga sikap dan perilaku di sekolahlah yang bisa
menjadikan contoh baik pada peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi Interkoneksi,
Yogyakarta: Suka Press, 2007
al-Attas, Syed M. Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan,
1992.
Al-Ghazali, (diterjemahkan oleh M.A. Nur Hamid dan Aunur Rohim), Pedoman
Amaliah Ibadat, Semarang: CV Wicaksana, 1988.
Al-Ghazali, (diterjemahkan oleh Ismail Ya’kub), Ihya’ Ulumuddin, Medan: 1965
Alatas, Ismail Fajrie. Risalah Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta: Diwan, 2006.
Amin, Syamsul Munir. Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2017.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani, 2004.
Arifin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta: Rineka Cipta, 2006
As Sa’dy, Abdul Rahman. dkk, Benteng Tauhid, Jakarta: Pustaka Imam Abu
Hanifah, 2008
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1999.
Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1996
Assegaf, Abd. Rachman. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
At-Taubany, Trianto Ibnu Badar. dan Hadi Suseno, Desain Pengembangan
Kurikulum 2013 di Madrasah, Depok: Kencana, 2017
Az Zindany, Abdul Majid Aziz. (diterjemahkan oleh M. F. Nurul Huda), Ilmu
Tauhid, (sebuah pendekatan baru, jilid I)
Badaruddin, Kemas. Filsafat Pendidikan Islam, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Darmawan, Deni. dan Dinn Wahyudin, Model Pembelajaran Di Sekolah,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018
Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
Muhammad Naquib Al-Attas terj. Hamid Fahmy, Bandung: Mizan, 1998.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta: Amzah, 2011.
Hasan, Fuad. Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Hiyadh, Abul. terjemahan Minhajul Abidin karya imam al-Ghazali, Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2009.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian, 1995.
Irfan, Mohammad. dan Mastuki, Teologi pendidikan; Tauhid sebagai Paradigm
Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2000
Jahja, Zurkani. Teologi al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Jalaludin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2001
Kadir, Abdul. Dasar-dasar pendidikan, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2012.
Majid, Abdul. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004.
Moleong, Lexy j. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Offset
Rosda Karya, 2011
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
1996
Munawwir, A.W. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 2002
Nasution, Ahmad Bangun. dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Jakarta:
Rajagrafindo Indonesia, 2015.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2001
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Predana Media Group, 2010.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2015.
Rais, Amin. Tauhid Sosial, Bandung: Mizan, 1998.
Rozak, Abd. dan Fauzan, Ali Nurdin, Kompilasi Undang-undang dan Peraturan
Bidang Pendidikan, Jakarta: FITK PRESS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, (diterjemahkan oleh M Arifin bin Badri, dkk),
Syarah Kitab Tauhid, Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2010.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Elsas Jakarta,
2006.
Smith, Margareth. Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Jakarta: Riora
Cipta, 2000.
Syamsuddin, Ach. Maimun. Integrasi Multidimensi Agama dan Sains,
Yogjakarta: Ircisod, 2012.
Sudijono, Anas. Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press,
2008.
Zaini, Syahminan. Kuliah Akidah Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1983
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo, 2016.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.