Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
1
STUDI PENGAMANAN PANTAI TIPE PEMECAH GELOMBANG
TENGGELAM DI PANTAI TANJUNG KAIT
Rian M Azhar1) , Andojo Wurjanto2), Nita Yuanita3)
1 Program Studi Magister Pengelolaan Sumber Daya Air - Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No.10
Bandung 40132, e-mail :[email protected] 2 Kelompok Keahlian Kelautan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha
No.10 Bandung 40132, e-mail : [email protected] 3 Kelompok Keahlian Kelautan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha
No.10 Bandung 40132, e-mail : [email protected] Magister Pengelolaan Sumber Daya Air
Email :[email protected];Hp : 08156028813
ABSTRAK Penanganan erosi di pantai Tanjung Kait dengan menggunakan tipe pemecah gelombang tenggelam
menimbulkan proses sedimentasi di depan struktur. Sedimentasi yang terjadi dapat menimbulkan majunya garis
pantai, sehingga besarnya sedimentasi yang terjadi dapat mengurangi proses kerusakan pantai. Studi ini
mengambil kajian tentang sedimentasi yang terjadi di depan struktur tipe pemecah gelombang tenggelam. Proses
sedimentasi dieperkirakan karena adanya angkutan sedimen sejajar pantai. Dengan menggunakan perangkat
lunak Mike 21 dengan modul Hydrodynamic/HD, Spectral Wave/SW, Sand Transport/ST. MIKE 21 modul
Hydrodynamic/HD, Spectral Wave/SW, Sand Transport/ST digunakan untuk memdelkan proses sedimentasi
yang terjadi setelah pemasangan struktur pengamanan pantai berupa pemecah gelombang tenggelam akibat
pengaruh arus dan gelombang yang terjadi di pantai Tanjung Kait. Kalibrasi hidrodinamika dilakukan dengan
membandingkan output dari model (arus dan elevasi muka air) dengan hasil pengamatan.
Skenario pemodelan melakukan running model selama pada saat pemasangan bulan Mei 2011, dibandingkan
dengan hasil monitoring yang dilakukan pada saat bulan Desember 2011. Sehingga hasil pemodelan menganalisa
pola sedimentasi yang terjadi akibat proses hidrodinamik dan gelombang di sekitar struktur pengamanan pantai
pemecah gelombang tenggelam.
Kata Kunci: Mike 21, model hidrodinamika,gelombang, transportasi sedimen, gelombang, pemecah gelombang
tenggelam, Tanjung Kait
ABSTRACT Erosion Handling on shore Tanjung Kait by using subemerge breakwater type generates sedimentation process in front of structure. Sedimentation that happened can generate changing coastline, until level of sedimentation that happened can lessen process of coast damage. This Study takes about sedimentation that happened in front of submerge breakwater type. Sedimentation process are predicted caused by longshore current transportation. By using software Mike 21 with module Hydrodynamic/HD, Spectral Wave/SW, Sand Transport/ST. MIKE 21 modules Hydrodynamic/HD, Spectral Wave/SW, Sand Transport/ST are used for modelling sedimentation process that happened after installation of beach protection structure have the shape of submerge breakwater type consequence of current influence and wave that happened on shore Tanjung Kait. Calibrate hydrodynamics is conducted by compare to output from model (current and water elevation) with perception result. Modeling Scenario conducted running model during when installation on Mei 2011, compared to monitoring result that conducted when on December 2011. Until result of pattern analysis modeling sedimentation that happened because of hydrodynamic process and wave around structure of billows beach protection submerge breakwater type. Keyword: Mike 21, hydrodynamics model ,wave, sediment transportation, submerge breakwater, Tanjung Kait
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
2
1. PENDAHULUAN
Pantai adalah daerah pertemuan antara daratan dan lautan yang tersusun dari bermacam material yang antara lain
pasir-kerikil, lempung-lanau, bahkan batuan serta material-material lainnya. Perubahan garis pantai umumnya
disebabkan tidak saja oleh faktor alam tetapi juga akibat kegiatan manusia. Faktor alam diantaranya adalah
gelombang, arus, aksi angin, sedimentasi, sungai, kondisi tumbuhan pantai serta aktifitas tektonik dan vulkanik.
Sedangkan perubahan karena faktor manusia antara lain adalah kegiatan pembangunan pelabuhan,
pertambangan, pengerukan, perusakan vegetasi pantai, pertambakan, perlindungan pantai, reklamasi pantai, dan
kegiatan wisata pantai.
Wilayah Pesisir pantai Kabupaten Tangerang merupakan kawasan pesisir Utara Jawa bagian utara berhadapan
langsung dengan Laut Jawa. Sebagaimana daerah pantai di kawasan Pantai Utara Jawa lainnya, pesisir pantai di
Kabupaten Tangerang ini umumnya didominasi oleh pantai berlumpur dan sebagian pantai berpasir. Pantai
berpasir ini memberi peluang bagi pengembangan wisata pantai/wisata bahari seperti Pantai Tanjung Kait di
Desa Tanjung Anom Kecamatan Mauk yang karena keindahan hamparan pasirnya, telah menjadi tempat tujuan
wisata di Kabupaten Tangerang (lihat gambar 1 dan 2).
Eksploitasi dan pemanfaatan daerah pantai secara besar-besaran terhadap sumberdaya pesisir dan laut dalam
rangka pembangunan ekonomi yang dilakukan beberapa tahun yang lalu telah menyebabkan terjadinya
kerusakan lingkungan yang parah. Dampak negatif dari eksploitasi secara berlebihan dan tidak terarah tersebut
telah dapat dirasakan langsung oleh masyarakat desa pesisir dengan tergerusnya garis pantai (erosi/abrasi) dan
bertambah dangkalnya perairan pantai (sedimentasi/pengendapan). Di beberapa lokasi pantai, masalah erosi dan
abrasi ini telah mengancam dan merusak tempat wisata, daerah permukiman, tempat ibadah, areal pertambakan,
dan prasarana umum lainnya. Untuk menghindari kerusakan yang terus berlanjut pihak pemerintah dalam hal ini
BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian membuat pengamanan pantai berupa pemecah gelombang ambang
rendah/tenggelam. Pemecah gelombang tenggelam dibuat pada bulan Mei 2011 dengan menggunakan tipe
geotube berbahan geotekstil, struktur ini dipasang sejajar garis pantai sebanyak 3 buah dengan panjang 20 m,
pada kedalaman berkisar 1,3 m (berdasarkan MSL=0) dan dibuat bercelah dengan jarak antar struktur 5 m.
Pemasangan struktur ini pada lokasi yang terjadi permasalahan erosi yakni di pantai Tanjung Kait. Struktur ini
bertujuan selain untuk melindungi pantai dari hantaman energi gelombang juga berfungsi sebagai struktur yang
dapat menangkap sedimen agar dapat menambah maju garis pantai yang sebelum penanganan merupakan daerah
yang tererosi.
Gambar 1 Peta Lokasi Pantai Tanjung Kait (sumber : google earth)
Gambar 2 Lokasi Kajian yang berada bersebelahan dengan pelabuhan Tanjung Kait (sumber : google earth)
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dimensi dan Derajat Submergensi PEGAR
2.1.1 Pemecah Gelombang Tenggelam
Adaptasi teknologi khususnya terhadap struktur pemecah gelombang lepas pantai telah menghasilkan struktur
pemecah gelombang lepas pantai tenggelam yang sekarang dikenal dengan LCB atau Low-Crested
Breakwaters.Beberapa literatur menyimak merebaknya penggunaan LCB di berbagai negara seperti USA, UK,
Jepang, dan Itali (Durgappa, 2008), bahkan di Jepang penggunaan LCB menjadi sangat popular dan lebih
banyak digunakan dari pada breakwaters konvensional (Pilarczyk, 2003). Keunggulan LCB antara lain mampu
mengurangi dampak estetika, lebih murah, sirkulasi air yang lebih baik yang memungkinkan meningkatnya
kualitas air dan produktivitas biologi, dan mengurangi efek hambatan terhadap angkutan sediment (Kularatne et
al, 2008).
Pengurangan energi gelombang yang mengenai pantai dapat dilakukan dengan pembuatan bangunan pemecah
gelombang sejajar pantai (offshore breakwaters). Pemecah gelombang ini menirukan prinsip perlindungan alami
oleh terumbu karang. Gelombang besar yang menghempas pantai ditahan dan dihancurkan sebelum garis pantai,
sehingga ketika mencapai garis pantai energi gelombang berkurang. Dengan berkurangnya energi gelombang di
daerah bayangan pemecah gelombang, maka transportasi sedimen di daerah tersebut akan berkurang dan akan
terjadi pengendapan seperti pada gambar 3.
Pemecah gelombang tenggelam dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu : dynamically stable reef
breakwater, statically stable low-crested breakwater dan statically stable submerged breakwater (van der Meer,
1991). Pemakaian pemecah gelombang tenggelam, termasuk submerged breakwater belakangan ini sudah
banyak dipakai (Pina, 1990). Submerged breakwater adalah pemecah gelombang tenggelam dengan elevasi awal
ambang terletak di bawah elevasi muka air diam (SWL). Pemecah gelombang ini mungkin tidak efektif pada saat
pasang. Untuk mendapatkan hasil yang efektif, pemecah gelombang ini sebaiknya dipasang pada lokasi dengan
pasang surut rendah. Fungsi utama dari pemecah gelombang tenggelam adalah meredam energi gelombang yang
datang ke pantai melalui mekanisme gelombang pecah, disipasi, gesekan, dan refleksi gelombang.
Gambar 3 Pemecah gelombang dan garis pantai yang terbentuk (Sumber : Durgappa (2008))
Perancangan pemecah gelombang tenggelam berarti menentukan tinggi gelombang transmisi dan refleksi yang
diharapkan masih melewati puncak pemecah gelombang (lihat gambar 4). Gelombang transmisi dapat
disebabkan oleh gelombang overtopping dan run-up yang melewati struktur. Keadaan ini dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain lebar puncak struktur, kedalaman air di kaki struktur, kemiringan sisi bangunan,
porositas dan diameter nominal dari unit lapis lindung. Apabila struktur pemecah gelombang permeabel,
transmisi gelombang juga disebabkan oleh penetrasi gelombang melalui pori-pori struktur. Proses perubahan
garis pantai secara teori dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 4 Pemecah Gelombang Tenggelam (Submerged Breakwater)
Breakwater
gelombang
erosi
tombolo
Garis pantai asal
salient salient
gap
gap
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
4
Gambar 5 Kondisi pola arus yang terjadi disekitar lokasi pemecah gelombang tenggelam (Sumber : Caseres,
dkk 2005)
Refleksi gelombang adalah proses transfer energi dari satu arah ke arah lain ketika gelombang datang
diintersepsi oleh suatu penghalang. Sebagian atau seluruh energi gelombang datang kemungkinan akan
direfleksikan kembali ke arah laut oleh penghalang tersebut. Besarnya gelombang yang direfleksikan sangat
tergantung dari kedalaman air di kaki struktur (Ahrens 1987, Van der Meer 1991), sedangkan kemiringan sisi
struktur tidak begitu besar pengaruhnya (Datattri et al., 1978).
Dari beberapa hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan elevasi muka air dan tinggi gelombang rencana
merupakan faktor penentu dalam perencanaan pemecah gelombang. Kinerja suatu pemecah gelombang pada
umumnya dihubungkan dengan stabilitas struktur terhadap gaya-gaya gelombang.
Perencanaan suatu pemecah gelombang adalah menentukan berat unit lapis lindung yang tahan terhadap
gelombang rencana. Stabilitas pemecah gelombang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kondisi lingkungan pantai
dan karakter fisik struktur. Faktor lingkungan pantai antara lain tinggi gelombang (Hs), periode gelombang (Ts),
durasi (jumlah) gelombang, arah gelombang datang, dan kelompok gelombang. Faktor fisik struktur antara lain
diameter nominal unit lapis lindung, bentuk dan kekasaran lapis lindung, kemiringan lereng, lebar puncak
struktur, tinggi struktur dan permeabilitas inti. Faktor lain yang juga mempengaruhi tingkat stabilitas struktur
tumpukan batu adalah metode penempatan lapis lindung.
2.1.2 Transmisi dan Transformasi Gelombang
Respon garis pantai terhadap keberadaan pemecah gelombang dikendalikan oleh sedikitnya 14 variabel (Hanson
and Kraus, 1991) delapan diantaranya adalah variabel yang sangat berperan yaitu (1) jarak dari pantai; (2)
panjang struktur; (3) karakteristik transmisi dari struktur; (4) kemiringan dasar pantai; (5) tinggi gelombang; (6)
periode gelombang; (7) orientasi sudut dari struktur; dan (8) arah gelombang dominan.
Analisis transformasi gelombang pada pemecah gelombang dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai
variabel non-dimensional dalam bentuk grafik. Proses transmisi gelombang didefinisikan sebagai Kt, yaitu rasio
antara tinggi gelombang transmisi (Ht) dan tinggi gelombang datang (Hi). Gelombang refleksi didefinisikan
sebagai Kr, yaitu rasio antara tinggi gelombang refleksi (Hr) dan tinggi gelombang datang (Hi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien transmisi tergantung dari tinggi relative pemecah gelombang
(hc/Hi) dan kecuraman gelombang (wave steepness, sp). Efek tinggi gelombang datang, kemiringan sisi struktur,
dan lebar puncak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap besarnya transmisi gelombang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur dengan sisi lebih curam (sudut lebih besar), melewatkan
gelombang lebih besar dibandingkan dengan sisi yang lebih landai, baik untuk kondisi puncak tenggelam
maupun tidak. Secara fisik perbedaan ini dapat dijelaskan dengan efek gesekan dasar. Energi gelombang yang
berjalan sepanjang slope akan terdisipasi melalui gesekan permukaan. Sisi yang landai mempunyai panjang yang
lebih besar dibandingkan dengan sisi tegak, sehingga energi gelombang akan terdisipasi lebih besar yang
menyebabkan trasnmisi gelombang menjadi lebih kecil.
Refleksi gelombang juga sangat dipengaruhi oleh tinggi relatif pemecah gelombang (hc/Hi) dan periode
gelombang. Parameter surf merupakan ratio antara kemiringan sisi struktur (slope) dengan tinggi dan periode
gelombang. Trend data memperlihatkan bahwa refleksi gelombang meningkat secara signifikan dengan
bertambah besarnya nilai .
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
5
Tingkat kerusakan pemecah gelombang yang dikenai oleh berbagai jenis gelombang sangat tergantung dari
tinggi gelombang datang. Kombinasi antara tekanan, drag, gaya angkat berpotensi untuk mengangkat unit lapis
lindung dari tempatnya semula dan memindahkan ke tempat lain. Parameter lain yang mempengaruhi stabilitas
struktur antara lain kedalaman air dan bentuk geometri bangunan.
2.2 Mike 21
Mike 21 adalah suatu perangkat lunak rekayasa profesional yang berisi sistem pemodelan yang komprehensif
untuk program komputer untuk 2D free-surface flows. Mike 21 dapat diaplikasikan untuk simulasi hidrolika dan
fenomena terkait di sungai, danau, estuari, teluk, pantai dan laut.Program ini dikembangkan oleh DHI Water
&Environment. Mike 21 terdiri dari beberapa modul, diantaranya adalah sebagai berikut :
2.2.1 Hydrodinamic (HD) Modul
Mike 21 hydrodynamic (HD) module adalah model matematik untuk menghitung perilaku hidrodinamika air
terhadap berbagai macam fungsi gaya, misalnya kondisi angin tertentu dan muka air yang sudah ditentukan di
open model boundaries.Hydrodynamic module mensimulasi perbedaan muka air dan arus dalam menghadapi
berbagai fungsi gaya di danau, estuari dan pantai. Efek dan fasilitasi yang termasuk di dalamnya yaitu:
bottom shear stress
wind shear stress
barometric pressure gradients
Coriolis force
momentum dispersion
sources and sinks
evaporation
flooding and drying
wave radiation stresses
Modul yang akan digunakan pada tesis ini dan persamaan pengaturnya dijelaskan berikut ini :
Model hidrodinamik dalam Mike 21 HD adalah sistem model numerik umum untuk muka air dan aliran di
estuari, teluk dan pantai.Model ini mensimulasi aliran dua dimensi tidak langgeng dalam fluida satu lapisan
(secara vertikal homogen). Persamaan berikut, konservasi massa dan momentum, menggambarkan aliran dan
perbedaan muka air: ππ
ππ‘+
ππ
ππ₯+
ππ
ππ¦=
ππ
ππ‘ (1)
ππ
ππ‘+
π
ππ₯ π2
π +
π
ππ¦ ππ
π + ππ
ππ
ππ₯+
ππ π2 + π2
πΆ2 β π2β
1
ππ€
π
ππ₯ πππ₯π₯ +
π
ππ¦ πππ₯π¦
βΞ©q β fVVx +π
ππ€
π
ππ₯ ππ = 0 (2)
ππ
ππ‘+
π
ππ¦ π2
π +
π
ππ₯ ππ
π + ππ
ππ
ππ¦+
ππ π2 + π2
πΆ2 β π2β
1
ππ€
π
ππ¦ πππ¦π¦ +
π
ππ₯ πππ₯π¦
βΞ©p β fVVy +π
ππ€
π
ππ₯π¦ ππ = 0 (3)
Dimana:
π π₯, π¦, π‘ = kedalaman air (=ΞΆ β d, m)
π π₯, π¦, π‘ = kedalaman air dalam berbagai waktu (m)
π π₯, π¦, π‘ = elevasi permukaan (m)
π, π π₯, π¦, π‘ = flux density dalam arah x dan y (m3/s/m) = (uh,vh); (u,v) = depth averaged velocity dalam
arah x dan y
πΆ π₯, π¦ = tahanan Chezy (mΒ½/s)
π = kecepatan gravitasi (m/s2)
π(π) = faktor gesekan angin
π, ππ₯ , ππ¦ π₯, π¦, π‘ = kecepatan angin dalam arah x dan y (m/s)
Ξ© π₯, π¦ = parameter Coriolis (s-1
)
ππ π₯, π¦, π‘ = tekanan atmosfer (kg/m/s2)
ππ€ = berat jenis air (kg/m3)
π₯, π¦ = koordinat ruang (m)
π‘ = waktu (s)
ππ₯π₯ , ππ₯π¦ , ππ¦π¦ = komponen effective shear stress
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
6
2.2.2 Spectral Wave (SW) Modul
MIKE 21 SW mensimulasi pembangkitan, kehilangan energi dan transmisi wind-generated waves dan swell di
pantai dan lepas pantai. MIKE 21 SW menggunakan dua persamaan yang berbeda:
Formulasi directional decoupled parametric
Formulasi fully spectral
Formulasi directional decoupled parametric didasarkan pada parameterisasi persamaan pergerakan kekekalan
gelombang. Parameterisasi dibuat dalam domain frekuensi dengan memperkenalkan momen ke-0 dan ke-1 dari
spektrum pergerakan gelombang sebagai variabelyang bergantung mengikuti Holthuijsen (1989). Pendekatan
yang sama digunakan dalam MIKE 21 NSW Nearshore Spectral Wind-Wave Module.
Formulasi fully spectral didasarkan pada persamaan pergerakan kekekalan gelombang, seperti yang dijelaskan di
Komen et al. (1994) dan Young (1999), dimana spektrum directional-frequency wave action adalah variabel
yang bergantung. MIKE 21 SW memasukkan fenomena fisik berikut:
Pembangkitan gelombang akibat angin
Interaksi non-linear wave-wave
Disipasi disebabkan oleh white-capping
Disipasi disebabkan oleh bottom friction
Disipasi disebabkan oleh depth-induced wave breaking
Refraksi dan shoalingdisebabkan oleh perbedaan kedalaman
Interaksi arus-gelombang
Efek dari waktu-kedalaman yang berbeda-beda dan flooding and drying
Diskritisasi persamaan pengatur dalam domain geographical and spectral dilakukan menggunakan metoda cell-
centered finite volume. Dalam domain geographical, digunakan teknik unstructured mesh. Integrasi waktu
dilakukan mengggunakan pendekatan fractional step dimana metoda multi-sequence explicitditerapkan untuk
propagasi aksi gelombang. MIKE 21 SW digunakan untuk perhitungan gelombang di lepas pantai dan pantai
dalam mode hindcast dan forecast.
Aplikasi utamanya adalah desain struktur lepas pantai, pantai dan pelabuhan dimana perhitungan beban
gelombang yang akurat sangat penting untuk mendapatkan desain struktur yang aman dan ekonomis.Data hasil
pengukuran dalam perioda yang cukup lama sering tidak tersedia untuk estimasi keadaan laut ekstrim yang
cukup akurat. Dalam kasus ini data hasil pengukuran dapat ditambahkan dengan data hindcast melalui simulasi
kondisi gelombang selama historical storms menggunakan MIKE 21 SW.
MIKE 21 SW dapat digunakan untuk prediksi gelombang dan analisa dalam skala regional dan skala
lokal.MIKE 21 SW juga digunakan dalam hubungannya dengan perhitungan transportasi sedimen, yang mana
sebagian besar ditentukan oleh kondisi gelombang dan wave-induced currents. Wave-induced current
disebabkan oleh gradien radiation stresses yang terjadi di surf zone. MIKE 21 SW dapat digunakan untuk
menghitung kondisi gelombang dan radiation stresses. Dalam modul ini, persamaan pengaturnya adalah
persamaan keseimbangan gaya gelombang baik dalam koordinat kartesian maupun spherical yang dirumuskan
oleh Komen et al. (1994) dan Young (1999).
Koordinat kartesian ππ
ππ‘+ β β π£ π =
π
π (4)
Dimana:
π π₯ , π, π, π‘ = rapat gaya
π‘ = waktu
π₯ π₯, π¦ = koordinat Cartesian
π£ ππ₯ , ππ¦ , ππ , ππ = kecepatan propagasi grup gelombang empat dimensi
π = source
Koordinat spherical
π = ππ 2 cos π =πΈπ 2 cos π
π (5)
Dimana:
π π₯ , π, π, π‘ = rapat gaya
π₯ π, π = koordinat spherical, dimana π = latitude dan π = longitude
πΈ = rapat energi normal
π = jari-jari bumi
Dalam koordinat polar persamaan keseimbangan gaya gelombang dapat ditulis sebagai berikut: ππ
ππ‘+
π
πππππ +
π
πππππ +
π
πππππ +
π
πππππ =
π
π (6)
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
7
Dimana:
π π₯ , π, π, π‘ = ππ 2 = total source dan sink function (7)
Energi source, S, menunjukkan superposisi source function dari berbagai macam fenomena fisik.
π = πππ + πππ + πππ + ππππ‘ + ππ π’ππ (8)
Dimana:
πππ = pembentukan energi oleh angin
πππ = transfer energi gelombang akibat non linear wave-wave interaction
πππ = disipasi energi gelombang akibat whitecapping
ππππ‘ = disipasi akibat bottom friction
ππ π’ππ = disipasi energi gelombang akibat depth-induced breaking
Untuk mengetahui koefisien transmisi gelombang yang terjadi pada saat kondisi gelombang transmisi setelah
melewati struktur menggunakan persamaan sebagai berikut :
πΎπππ. πππππ ππππππ π πΊππππππππ(πΎπ) =π»π
π»πΌβ 100% (9)
Dimana :
HT = Tinggi gelombang transmisi (setelah melewati struktur)
Hi = Tinggi Gelombang datang (sebelum struktur)
2.2.3 Sand Transport (ST) Modul
Modul Sand Transport (ST) merupakan aplikasi model dari angkutan sedimen non kehesif. MIKE 21 Flow
Model FM adalah satu sistem modeling berbasis pada satu pendekatan mesh fleksibel.Dikembangkan untuk
aplikasi di dalam oceanographic, rekayasa pantai dan alam lingkungan muara sungai.
Sand Transport Module menghitung hasil dari pergerakan material non kohesif berdasarkan kondisi aliran di
dalam modul hidrodinamik serta kondisi gelombang dari perhitungan gelombang (modul spectral wave).
Pendekatan formula yang digunakan dalam sediment transport di modul ini adalah Engelund-Hansen model,
Van-Rijn model, Engelund-FredsΓΈe model, serta Meyer-Peter-MΓΌller model. Formula yang digunakan tersebut
memadukan antara pengaruh arus dan gelombang dalam pergerakan sedimen.
Persamaan pengatur yang digunakan dalam modul ini adalah sebagai berikut :
ππ§
ππ‘=
π§ 1+πβππ§
ππ§ π§β1 +1
1
π0
ππ0
ππ‘+
30πΎ
π
πΎ2π02+π§2ππ0
2 +2πΎπ§ππ0π0πππ πΎ
ππ§ π§β1 +1 (10)
Dimana : K = Konstanta Von Karman
t = waktu
z = parameter tebal boundary layer
U0 = kecepatan orbit dasar gelombang terdekat
Uf0 = kecepatan geser arus dalam lapisan batas gelombang
= sudut antara arus dan gelombang
k = kekasaran dasar permukaan 2.5 d50 untuk lapisan plane bed
dan 2.5 d50 + kR untuk ripple covered bed
d50 = rata ukuran diammeter
kR = ripple yang berkaitan dengan kekasaran
Beberapa item output yang dihasilkan dari Modul Sand Transport (ST) ini adalah :
Total load, x-component
Total load, y-component
Rate of bed level change
Bed level change
Bed level
2.3 Akurasi Simulasi Model
Akurasi dilakukan untuk mengetahui besarnya penyimpangan yang terjadi antara data dari hasil pengukuran di
lapangan dengan data hasil simulasi model.
Setelah diketahui besarnya penyimpangan maka model dikalibrasi untuk menyesuaikan dengan data hasil
pengukuran tersebut. Metode kalibrasi yang dilakukan pada studi ini adalah root mean square error (RMSE)
dan persentase kesalahan
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
8
2.3.1 Root Mean Square Error (RMSE)
Definis RMSE :
π πππΈ = 1
π π π β ππ
2ππ=1 (11)
Dimana:
π πππΈ = Akar dari rata β rata kuadrat kesalahan
π π = Hasil pemodelan
ππ = Data lapangan
N = Jumlah data
2.3.2 Persentase Kesalahan
Definis error :
πΈππππ =1
π
π πβππ
ππ π
π=1 β 100% (12)
Dimana:
π π = Hasil pemodelan
ππ = Data lapangan
TP = Tunggang pasang, rentang besar hasil observasi yaitu selisih antara nilai terbesar dan terkecil
N = Jumlah data
Penyimpangan pada model yang baik adalah mendekati nol persen (lihat gambar 6).
Gambar 6 Ilustrasi dari formulasi akurasi pemodelan
3. METODOLOGI
3.1 Diagram Alir Pemodelan
Proses pemodelan dimulai dengan pengumpulan data-data yang diperlukan dalam pemodelan. Data-data tersebut
disiapkan untuk digunakan sebagai input pemodelan. Untuk data kondisi bathimetri digunakan data dari
DISHIDROS berupa peta laut yang sudah dilakukan digitasi terlebih dahulu dan data bathimetri hasil
pengukuran. Setelah itu dilakukan pengaturan konfigurasi model yaitu penyusunan mesh dan batimetri
pemodelan.
Tahap selanjutnya adalah persiapan input data hydrodynamic module untuk domain besar (global) dan spectral
wave module menggunakan domain sedang (medium). Data yang disiapkan untuk hydrodynamic module adalah
syarat-syarat batas yang berupa data pasang surut dari data NAOTIDE. Sedangkan untuk spectral wave module
disiapkan data-data tinggi dan perioda gelombang signifikan hasil analisa hindcasting, juga output HD domain
besar berupa elevasi muka air untuk dijadikan input di modul SW. Namun sebelum digunakan untuk modul SW
dan HD domain kecil (detail), hasil HD domain besar harus dilakukan kalibrasi terlebih dahulu dengan
menggunakan data pasang surut dan arus yang telah disiapkan untuk proses kalibrasi. Setelah melakukan proses
kalibrasi maka proses pemodelan dapat masuk ke tahap berikutnya yakni pemodelan modul SW domain sedang
dan HD domain kecil.
Setelah didapatkan hasil model HD domain kecil dan SW domain sedang maka tahap selanjutnya melakukan
verifikasi dengan data pengukuran pasut di lokasi kajian dan melakukan analisa sementara hasil dari SW domain
sedang dan HD domain kecil.
ixΜ
ix
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
9
Kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan proses pemodelan sedimen ST dengan menggunakan domain
kecil. Diagram alir pemodelan dapat dilihat pada gambar 7 berikut di bawah ini :
Gambar 7 Diagram alir pemodelan
3.2 Kompilasi Data
Data yang digunakan untuk pemodelan Mike 21 seperti peta topografi, peta bathimetri, peta laut, data pasang
surut, dan data lainnya diperoleh dari berbagai sumber. Berikut merupakan data-data yang digunakan untuk
pemodelan Mike 21, seperti pada tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1 Data-data yang diperoleh dan digunakan dalam pemodelan Mike 21
3.3 Penyusunan Mesh dan Bathimetri Pemodelan
Penyusunan mesh adalah pekerjaan yang penting dalam proses pemodelan. Penyusunan mesh pada pemodelan
ini berdasarkan flexible mesh dengan menggunakan mesh generator dari MIKE 21 (gambar 4.2). Mesh file
menggabungkan kedalaman perairan dengan posisi geografi yang berbeda dan berisi informasi-informasi sebagai
berikut, yaitu:
1. Computational grid
2. Kedalaman perairan
3. Boundary information
Tahap-tahap dalam pembentukan mesh ini adalah sebagai berikut:
- Mengimpor batas-batas model
- Mengedit batas daratan
- Spesifikasi batas-batas
- Pembentukan mesh
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
10
- Memperhalus batas-batas daratan
- Interpolasi batimetri terhadap mesh
- Memperhalus mesh
Pada gambar 8 berikut di bawah adalah mesh domain besar (global), domain sedang (medium), dan domain kecil
(detail).
Gambar 8 Mesh pemodelan domain besar (kiri), domain sedang (tengah) dan domain kecil (kanan)
3.4 Waktu Simulasi
Waktu simulasi yang digunakan untuk HD domain besar dan SW menggunakan 15 (lima belas) bulan dengan
time step interval yang digunakan 3600 detik dengan jumlah time step sebanyak 10965. Sedangkan untuk HD
domain kecil dan ST menggunakan 2 (dua) bulan dengan time step interval yang digunakan 3600 detik dengan
jumlah time step sebanyak 1465.
3.5 Syarat Batas
Untuk domain besar terdapat 5 syarat batas, sedangkan untuk domain sedang dan kecil terdapat 3 syarat batas.
Gambar pada masing-masing kondisi syarat batas dapat dilihat pada gambar 9 berikut :
Gambar 9 Syarat batas pemodelan domain besar (kiri), domain sedang (tengah) dan domain kecil (kanan)
4. SIMULASI PEMODELAN
4.1 Kalibrasi Pasang Surut
4.1.1 Domain Besar
Kalibrasi pasang surut dilakukan untuk mendapatkan model yang sesuai dengan kondisi lapangan yaitu untuk
domain desar dengan cara membandingkan data pasang surut hasil simulasi modul HD dengan data pasang surut
stasiun pengamatan yang terdekat. Dalam hal ini penulis mengambil 3 lokasi stasiun pengamatan yang
digunakan sebagai proses kalibrasi untuk domain besar, lokasi tersebut adalah :
1 Stasiun Bakauheni
2 Stasiun Suralaya
3 Stasiun Tanjung Priok
Ketiga lokasi tersebut menggunakan data pasang surut pada bulan Oktober 2010, lokasi ketiga stasiun dapat
dilihat pada gambar 10 berikut :
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
11
Gambar 10 Lokasi stasiun pengamatan untuk proses kalibrasi
Dari hasil percobaan simulasi dengan berbagai nilai chezy number lalu dilakukan proses kalibrasi untuk
mendapatkan nilai/hasil yang paling mendekati dengan data hasil pengamatan pada stasiun yang dipilih, hasil
rekapitulasi proses kalibrasi dapat dilihat pada tabel 2 berikut :
Tabel 2 Hasil rekapitulasi kalibrasi modul HD domain besar
Dari hasil tersebut dipilih nilai chezy number = 30, hal tersebut dikarenakan nilai minimal yang tertera dalam
manual mike untuk perubahan nilai chezy ini berkisar 30-50, sehingga nilai di bawah 30 tidak digunakan. Hasil
dari kalibrasi dengan 3 stasiun pengamatan di atas dapat dilihat pada gambar 11 sampai dengan 13.
Gambar 11 Grafik kalibrasi pasang surut di stasiun Bakauheni
Gambar 12 Grafik kalibrasi pasang surut di stasiun Suralaya
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
12
Gambar 13 Grafik kalibrasi pasang surut di stasiun Tanjung Priok
4.1.2 Domain Kecil
Untuk domain kecil digunakan utnuk memverifikasi data hasil pengukuran dengan hasil simulasi HD untuk
domain detail (lihat gambar 14). Dari hasil simulasi diperoleh nilai error = 6,2% dan RMSE = 0,072. Dari proses
tersebut dapat dilihat hasil sebagai berikut :
Gambar 14 Grafik kalibrasi pasang surut di lokasi kajian
4.2 Kalibrasi Arus
4.2.1 Domain Besar
Dalam proses kalibrasi domain besar dilakukan dengan membandingkan data hasil simulasi dengan data
pengukuran yang dilakukan di pantai Pasir Putih, Anyer pada bulan Oktober 2010 (lihat gambar 15 dan 16).
Perbandingan tersebut dengan menggunakan berbagai nilai chezy, diperoleh gambar sebagai berikut :
Gambar 15 Grafik kalibrasi arus di lokasi pantai Pasir Putih, Anyer
Gambar 16 Diagram kalibrasi arus di lokasi pantai Pasir Putih, Anyer
Dari hasil simulasi diperoleh nilai prosesntase error sebesar 17,062 % dan RMSE = 0,118.
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
13
4.2.2 Domain Kecil
Untuk domain kecil dilakukan dengan membandingkan data arus hasil simulasi dengan data arus hasil
pengukuran di lokasi kajian. Pada gambar 17 berikut di bawah dapat dilihat hasil diagram arus di lokasi kajian.
Gambar 17 Diagram kalibrasi arus di lokasi kajian
4.3 Analisa Pasang Surut dan Arus
4.3.1 Kondisi Domain Besar
1. Kondisi Pasang Tinggi
Pada saat kondisi pasang tinggi pergerakan air menuju ke perairan Selat Sunda dan sebagian kecil
menuju ke arah tenggara, sehingga pada perairan Selat Sunda menyebabkan kondisi kecepatan arus
yang cukup tinggi berkisar 0,3 -0,4 m/detik (lihat gambar 18).
Gambar 18 Kondisi elevasi muka air dan arus pada saat kondisi pasang tinggi
2. Kondisi Menuju Surut
Pada saat kondisi menuju surut terlihat pergerakan arus menjadi semakin cepat, dari utara jawa bagian
barat arus menjadi terbagi dua menuju arah tenggara dan barat daya (lihat gambar 19).
Gambar 19 Kondisi elevasi muka air dan arus pada saat kondisi menuju surut
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
14
3. Kondisi Surut Rendah
Pada saat kondisi surut rendah air bergerak dari perairan Selat Sunda dan Jawa bagian tengah menuju
ke utara Jawa bagian barat (lihat gambar 20).
Gambar 20 Kondisi elevasi muka air dan arus pada saat kondisi surut rendah
4. Kondisi Menuju Pasang
Pergerakan arus pada saat menuju pasang dari bagian utara dan Timur Jawa bergerak menuju perairan
Selat Sunda, kecepatan disekitar peraiaran Selat Sunda lebih kecil di bandingkan pada saat 3 kondisi
diatas (lihat gambar 21).
Gambar 21 Kondisi elevasi muka air dan arus pada saat kondisi menuju pasang
4.3.2 Kondisi Domain Kecil
Dari hasil analisa HD untuk kondisi domain kecil terlihat pada saat pasang tinggi struktur tidak nampak namun
kondisi pergerakan arus disekitar struktur pemecah gelombang tenggelam terjadi pola yang berbeda terlihat
pergerakan arus disekitar struktur (lihat gambar 22 dan gambar 23).
Gambar 22 Kondisi elevasi muka air (kiri) dan arus (kanan) pada saat kondisi pasang tinggi
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
15
Gambar 22 Kondisi elevasi muka air (kiri) dan arus (kanan) pada saat kondisi surut rendah
Pada saat kondisi surut rendah struktur mulai terlihat, jika melihat dari pergerakan hasil simulasi pada saat
kondisi pasang dan kondisi surut terlihat pergerakan arus saat pasang menuju ke sebelah barat laut sedangkan
pada saat surut menuju ke sebelah tenggara, sehingga dapat disimpulkan bahwa arus dominan yang terjadi hanya
bergerak dari arah barat laut menuju tenggara atau sebaliknya.
4.4 Analisa Gelombang
4.4.1 Transmisi Gelombang
Grafik transmisi gelombang hasil simulasi dengan kondisi sebelum dan sesudah struktur pada saat musim barat
dan timur. Dengan menggunakan persamaan :
πΎπππ. πππππ ππππππ π πΊππππππππ(πΎπ) =π»π
π»πΌβ 100%
Diperoleh hasil sebagai berikut :
Koefisen transmisi gelombang pada titik 1 dan 2 = 78 %
Koefisen transmisi gelombang pada titik 3 dan 4 = 75 %
Koefisen transmisi gelombang pada titik 5 dan 6 = 77 %
Untuk kondisi grafik pada saat musim timur dapat dilihat pada gambar 23 sampai dengan 25 berikut :
Gambar 23 Kondisi tranformasi gelombang hasil simulasi saat musim timur pada titik 1 dan 2
Gambar 24 Kondisi tranformasi gelombang hasil simulasi saat musim timur pada titik 3 dan 4
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
16
Gambar 25 Kondisi tranformasi gelombang hasil simulasi saat musim timur pada titik 5 dan 6
Pada saat musim barat diperoleh hasil sebagai berikut :
Koefisen transmisi gelombang pada titik 1 dan 2 = 65 %
Koefisen transmisi gelombang pada titik 3 dan 4 = 62 %
Koefisen transmisi gelombang pada titik 5 dan 6 = 64 %
Untuk kondisi grafik pada saat musim timur dapat dilihat pada gambar 26 sampai dengan 28, berikut :
Gambar 26 Kondisi tranformasi gelombang hasil simulasi saat musim barat pada titik 1 dan 2
Gambar 27 Kondisi tranformasi gelombang hasil simulasi saat musim barat pada titik 3 dan 4
Gambar 28 Kondisi tranformasi gelombang hasil simulasi saat musim barat pada titik 5 dan 6
4.5 Analisa Transportasi Sedimen
Dari hasil simulasi pemodelan numerik untuk modul sand transport (ST) dapat dilihat pada gambar 29 dan 30,
berikut di bawah ini :
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
17
Gambar 29 Kondisi pada saat awal simulasi (kiri) dan akhir simulasi selama 2 bulan Mei-Juni 2011 (kanan)
Sedangkan jika melihat kondisi hasil monitoring yang dilakukan pada bulan Desember 2011 (lihat gambar 30),
terlihat terdapat perbedaan pola sedimentasi yang terjadi.
Gambar 30 Kondisi pada saat monitoring yang dilakukan pada bulan Desember 2011
Selanjutnya untuk mengamati perubahan sedimentasi di lokasi kajian dilakukan dengan membuat beberapa
potongan melintang pantai. Gambar potongan melintang yang digunakan dapat dilihat pada gambar 31, berikut
di bawah ini :
Gambar 31 Potongan melintang pengamatan perubahan kedalaman
1. Potongan I-I
Laju perubahan sedimentasi dan arus pada potongan I-I dapat dilihat pada gambar 32 dan 33.
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
18
Gambar 32 Perubahan kedalaman (bed level change) di potongan I-I
Gambar 33 Kondisi perubahan arus (modul HD) yang ada di potongan I-I
Laju perubahan sedimentasi pada potongan I-I terlihat kondisi pada awal pada saat simulasi jika dibandingkan
dengan akhir simulasi terjadi perubahan kedalaman dan menunjukan pola sedimentasi terutama pada daerah di
tengah-tengah antara garis pantai dan lokasi pemecah gelombang berada dan erosi pada jarak 60 m dari garis
pantai. Sedangkan jika membandingkan kondisi laju sedimentasi hasil monitring menunjukan trend yang tidak
sama. Hal ini mungkin disebabkan karena data pembanding hasil monitoring tidak diperoleh pada bulan Juni
2011, sehingga hanya diambil rata-rata perubahan yang diambil dari asumsi.
Namun jika melihat kondisi arus yang diambil pada dua kondisi yang berbeda yakni sebelum dilakukan
pemasangan struktur dan sesudah dilakukan pemasangan struktur tidak menunjukan perubahan yang signifikan.
2. Potongan II-II
Laju perubahan sedimentasi dan arus pada potongan II-II dapat dilihat pada gambar 34 sampai dengan
36.
Gambar 34 Perubahan kedalaman (bed level change) di potongan II-II
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
19
Gambar 35 Kondisi perubahan arus (modul HD) yang ada di potongan II-II
Gambar 36 Kondisi perubahan arus (modul ST) yang ada di potongan II-II
3. Potongan III-III
Laju perubahan sedimentasi dan arus pada potongan III-III dapat dilihat pada gambar 37 dan 39.
Gambar 37 Perubahan kedalaman (bed level change) di potongan III-III
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
20
Gambar 38 Kondisi perubahan arus (modul HD) yang ada di potongan III-III
Gambar 39 Kondisi perubahan arus (modul ST) yang ada di potongan III-III
4. Potongan IV-IV
Laju perubahan sedimentasi dan arus pada potongan IV-IVdapat dilihat pada gambar 40 dan 42.
Gambar 40 Perubahan kedalaman (bed level change) di potongan IV-IV
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
21
Gambar 41 Kondisi perubahan arus (modul HD) yang ada di potongan IV-IV
Gambar 42 Kondisi perubahan arus (modul ST) yang ada di potongan IV-IV
5. Potongan V-V
Laju perubahan sedimentasi dan arus pada potongan V-V dapat dilihat pada gambar 43 dan 44.
Gambar 43 Perubahan kedalaman (bed level change) di potongan V-V
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
22
Gambar 44 Kondisi perubahan arus (modul HD) yang ada di potongan V-V
Jika melihat kondisi pada potongan II-II, III-III, dan IV-IV pada saat awal simulasi dengan akhir simulasi terlihat
terjadi pengendapan sedimentasi pada bagian tengah-tengah jarak antara garis pantai dengan struktur pemecah
gelombang namun semakin mengecil, sedangkan jika kita melihat pada potongan V-V terjadi sedimentasi di
bagian tengahnya dan erosi pada jarak 55 m dari garis pantai.
Hal ini terjadi akibat pengaruh dari struktur pemecah gelombang yang membentuk proses salien dan pada bagian
kiri dan kanan terjadi proses erosi. Proses sedimentasi ini terjadi akibat peredaman energi gelombang yang
datang oleh struktur pemecah gelombang yang membawa partikel-partikel pasir, sehingga pada saat transmisi
energi gelombang di belakang struktur semakin mengecil dan akhirnya dapat mengendapkan partikel-partikel
pasir dan membentuk salien. Sedangkan pada bagian kiri dan kanan salien terjadi erosi akibat proses difraksi
gelombang yang masuk menuju garis pantai dan membawa pasir mengendap di daerah endapan (salien).
Sedangkan jika kita melihat kondisi arus di belakang struktur pada potongan II-II, III-III dan IV-IV terlihat
perubahan kecepatan arus (modul HD) pada saat setelah pemasangan struktur (after) semula 0,033 β 0,039
m/detik, menjadi (modul ST) 0,075 β 0,077 m/detik (lihat tabel 3 ). Hal ini menandakan bahwa proses
sedimentasi yang terjadi di lokasi kajian merupakan akibat dari pengaruh gelombang (longshore current). Jika
kita melihat proses input data yang dilakukan pada modul ST digunakan input tinggi gelombang, priode dan
arah, sedangkan pada modul HD hanya input pasang surut dan wave radiation stress.
Jika kita melihat kondisi sebelum dan sesudah dilakukan pemasangan struktur pemecah gelombang tipe
tenggelam terlihat bahwa terjadi penurunan kecepatan arus baik pada modul HD maupun pada modul ST hal ini
terjadi karena adanya pengaruh struktur sehingga terjadi perubahan kecepatan (perlambatan) pada kondisi di
belakang struktur.
Tabel 3 Rekapitulasi perubahan kecepatan arus
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1) Dalam simulasi Kalibrasi HD Global diperoleh parameter bed resistance yang digunakan adalah Chezy
dengan nilai 30 (m^(1/2)/s). Kalibrasi yang hasilnya paling baik terdapat di stasiun Tanjung Priok.
2) Hasil verifikasi pasang surut untuk model HD domain kecil hasil simulasi dengan data pengukuran
diperoleh Error = 6,2% dan RMSE = 0,072.
3) Hasil koefisien transmisi hasil simulasi pada kondisi sebelum struktur dan setelah struktur pada saat
musim timur 75 β 78 %, sedangkan pada saat musim barat koefisen transmisi 62 β 65 %.
4) Pada bulan Mei-Juni melihat dari hasil analisa hindcasting, gelombang dominan bergerak dari arah
timur dan barat. Namun jika melihat posisi lokasi, pantai berada di sebelah barat tanjungan dan relatif
lebih terlindungi dari gelombang yang bergerak dari arah barat.
II-II
III-III
IV-IV
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
23
5) Hasil simulasi kondisi garis pantai di belakang struktur pemecah gelombang terdapat perubahan
kedalaman garis pantai yang menjadi lebih landai/dangkal terutama pada potongan II-II, III-III dan IV-
IV yakni ditengah-tengah antara jarak garis pantai terhadap struktur, sedangkan di sekitar potongan I-I
dan V-V terdapat bagian yang tererosi.
6) Pola arus pada potongan melintang II-II, III-III dan IV-IV terlihat perubahan kecepatan arus (modul
HD) pada saat setelah pemasangan struktur (after) semula 0,033 β 0,039 m/detik, menjadi (modul ST)
0,075 β 0,077 m/detik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa di lokasi tersebut proses sedimentasi yang
terjadi di lokasi kajian merupakan akibat dari pengaruh gelombang (longshore current).
5.2 Saran
1) Perlu dilakukan kalibrasi modul SW dan modul ST, sehingga diperoleh kondisi gelombang yang
mewakili kondisi yang ada di lokasi kajian.
2) Perlu dilakukan running model modul ST untuk jangka waktu sesuai dengan pelaksanaan monitoring
yakni pada bulan desember untuk mengetahui kondisi perubahan bathimetri yang ada di lokasi kajian.
3) Penggunaan software Mike 21 terbaru sudah dilengkapi dengan fasilitas jenis struktur : diantaranya
submerge breakwater, sehingga disarankan untuk melakukan kajian lebih lanjut dengan penggunaan
software yang lebih baru.
1) Proses running model dengan kondisi pemecah gelombang ambang rendah bercelah memerlukan
performa komputer yang cukup baik, karena dengan kondisi bercelah proses simulasi di lokasi tersebut
menjadi lebih lama.
Daftar Pustaka
Ahrens, J.P., 1987, βCharacteristics of Reef Breakwaters.β Technical Report CERC-87-17, Coastal Engineering
Research Center, U.S. Army Corps of Engineers Waterways Experiment Station, Vicksburg,
MS, 62 pp.
Balai Pantai, 2009, βPengembangan Teknologi Pemanfaatan Energi Gelombang Lautβ , PUSLITBANG SDA.
Balai Pantai, 2011 dan 2012, βMonitoring Hasil Pengembangan Teknologi Pelindung Pantaiβ, PUSLITBANG
SDA.
Bambang Triatmodjo, 1999, βTeknik Pantaiβ. Beta Offset, Yogyakarta.
Caceres, I., Sanchez-Archilla, A., Alsina, J., Gonzalez-Marco, D., 2005, βCoastal dynamics around a submerged
barrierβ, 5 th International Conference on Coastal Dynamics, pp 158-162.
Coastal Engineering Research Center, 2003, βCoastal Engineering Manualβ, Department of the Army,
Waterways Experiment Station, Corps of Engineers, Vicksburg, Mississippi.
Dattatri, J., Raman, H. and Shankar, N.J, 1978, βPerformance Characteristics of Submerged Breakwaterβ, Proc.
of the 16th
Coastal Engineering Conf., Hamburg, Germany, pp.2153-2171.
DISHIDROS, 1997 βPeta Laut Perairan Laut Jawa dan Selat Sundaβ
DHI Software, 2007, βMIKE21 Flow Model FM, Hydrodynamic Module, User Guideβ, DHI Water and
Environment.
DHI Software, 2007, βMIKE21 Flow Model FM Hydrodynamic and Sand Transport Module, Spectral Wave,
Scientific Documentationβ, DHI Water and Environment.
DHI Software, 2007, βMIKE21 Flow Model FM, Sand Transport Module, User Guideβ, DHI Water and
Environment.
DHI Software, 2007, βMIKE21 Flow Model FM, Spectoral Wave Module, User Guideβ, DHI Water and
Environment.
Durgappa H.R., 2008, βCoastal Protection Worksβ, Proceedings of COPEDEC VII, Dubai, UAE.
Google Earth, 2012, βPeta Wilayah Pantai Tanjung Kaitβ
Hanson, H. and Kraus, N.C., 1990, "Shoreline Response to a Single Transmissive Detached Breakwater," Proc.
22nd Coastal Engineering Conf. ASCE. The Hague.
Jose Felix and Stone, G. W., 2006, βForecast of Nearshore Wave Parameters Using Mike 21 Spectral Wave
Modelβ, Gulf Coast Association of Geological Societies Transactions.
Kularatne S.R., J.W. Kamphuis, and M.A. Dabees, 2008, βMorphodynamics Around Low Crested Breakwaters
β a Numerical Studyβ, Proceedings of COPEDEC VII, Dubai, UAE.
Program Magister Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Air
24
Pilarczyk, K.W. 2003, βDesign of Low Crested (Submerged) Structures- an Overviewβ, Proceedings of
COPEDEC VI, Colombo, Sri Lanka.
Pina, G.G. and J.M. Valdes F. Alarcon, 1990, βExperiments on Coastal Protection Submerged Breakwatersβ: A
Way to Look at the Results, Proc. of the 22nd
Coastal Engineering Conf., Delft, the Netherlands,
pp.1592-1605.
Prasetio, Fauzi Budi, 2010, βSimulasi Numerik Transportasi Sedimen di Pantai Cirebon Akibat Pengaruh
Gelombang dan Sedimentasi dari Sungaiβ, Tesis Magister Kelautan, ITB
PUSLITBANG SDA, 2010, β Laporan Advis Teknis Perencanaan Pengamanan Pantai Tanjung Kaitβ.
T. Liiv, U. Liiv, 2005, βSediment Transport Balance Investigation for the Saaremaa Harbour with Mike 21
Modelsβ, Envvironmental Research, Engineering and Management.
Van der Meer, J.W., 1991, βStability and Transmission at Low Crested Structuresβ, Delft Hydraulics Publication
No. 453.
Yuanita, Nita, 2007, βDevelopment of Cimanuk River Delta, Indonesiaβ, Dissertation, Water Engineering and
Management, Asian Institute of Technology.