SUDUT PANDANG DALAM NOVEL EDENSOR
KARYA ANDREA HIRATA DAN KELAYAKANNYA
SEBAGAI BAHAN AJAR DI SMA
SKRIPSI
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh :
Nama : Aulia Ahmad Ritauddinz
Nim : 2101405639
Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
ii
SARI
Ritauddinz, Aulia Ahmad. 2011. Sudut Pandang Dalam Novel Edensor Karya
Andrea Hirata. Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan
Seni Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I, Drs. Mukh
Doyin, M.Si. Pembimbing II Dra. L.M Budiyati, M.Pd.
Kata kunci: sudut pandang, novel Edensor.
Novel Edensor karya Andrea Hirata merupakan novel tetralogi Laskar
Pelangi yang ketiga setelah Sang Pemimpi. Novel ini mengusung tema anak-anak
Belitong yang mempunyai impian bertualang ke Benua Eropa.
Permasalahan yang muncul dalam kajian ini adalah bagaimana teknik yang
digunakan pengarang melalui sudut pandang tokoh “aku” dalam novel Edensor
karya Andrea Hirata, fungsi dari teknik yang digunakan pengarang melalui sudut
pandang tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata, dan kelayakan
sudut pandang tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata sebagai
bahan ajar di SMA.
Tujuan yang muncul dalam kajian ini adalah untuk mendeskripsikan
bagaimana teknik yang digunakan pengarang melalui sudut pandang tokoh “aku”
dalam novel Edensor karya Andrea Hirata, fungsi dari teknik yang digunakan
pengarang melalui sudut pandang tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea
Hirata, dan kelayakan sudut pandang tokoh “aku” dalam novel Edensor karya
Andrea Hirata sebagai bahan ajar di SMA.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
strukturalisme. Pendekatan strukturalisme merupakan susunan yang
menampakkan tata hubungan antar pembentuk karya sastra sebagai unsur yang
terpadu, dengan demikian segala sesuatu yang ada di dalam karya sastra dilihat
sebagai dunia yang berdiri sendiri, jadi dalam karya sastra harus ditopang oleh
pengetahuan yang mendalam tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala
sesuatunya yang berkaitan dengan unsur itu. Pendekatan strukturalisme digunakan
untuk menganalisis teknik yang digunakan pengarang melalui sudut pandang
tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata, menganalisis fungsi
penggunaan sudut pandang tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea
Hirata, dan kelayakan sudut pandang tokoh “aku” dalam novel Edensor karya
Andrea Hirata sebagai bahan ajar di SMA.
Hasil kajian ini adalah pemakaian sudut pandang pada novel Edensor
ternyata bisa digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan tindakan-tindakan
tokohnya, dan bisa mengungkapkan pikiran yang ada pada diri tokoh. Sudut
pandang oleh pengarang bisa dipakai untuk memandang kehidupan tokoh secara
fisik maupun secara kejiwaan. Selain itu, tuturan tokoh bisa dipakai untuk melihat
sudut pandang yang dipakai pengarang novel Edensor setelah dianalisis sudut
pandangnya yang meliputi (a) luasnya pandangan, (b) kedalaman/tingkat
ketajaman pandangan, (c) ujaran/tuturan dapat dipergunakan untuk mengungkap
unsur-unsur lain dalam cerita-cerita tersebut seperti unsur latar tempat, latar
waktu, peristiwa, konflik batin, konflik sosial, dan tingkah laku, sifat dan sikap
iii
tokoh. Unsur-unsur inilah yang menjelaskan fungsi teknik yang digunakan
pengarang melalui sudut pandang “aku” dalam novel Edensor karya Andrea
Hirata dan kelayakannya sebagai bahan ajar di SMA.
iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang
Panitia Ujian Skripsi.
Semarang, Februari 2011
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Mukh Doyin, M.Si Dra. L. M. Budiyati, M.Pd
NIP 19650612 199412 1 001 NIP 19451230 197603 2 001
v
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Semarang pada.
Hari : Jum‟at
Tanggal : 1 April 2011
Panitia Ujian Skripsi
Ketua, Sekretaris
Prof. Dr. Rustono Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum.
NIP 19580127 198303 1 003 NIP 19600803 198901 1 001
Penguji I
Sumartini, S.S., M.A
NIP 19730711 199802 2 001
Penguji II Penguji III
Drs. Mukh Doyin, M.Si. Dra. L.M. Budiyati, M.Pd
NIP 19650612 199412 1 001 NIP 19451230 197603 2 001
vi
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
sendiri, bukan jiplakan dari orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau
dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, Februari 2011
Aulia Ahmad Ritauddinz
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu (Arai)
Janganlah engkau melihat buku hanya dari sampulnya saja, tetapi lihatlah
buku itu dari isi buku tersebut (Aulia Ahmad R)
Sedikit pengetahuan yang digunakan untuk berkarya, sungguh lebih
berharga dari pada banyak pengetahuan yang disimpan saja (Kahlil
Gibran)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah
Swt. kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Bapak dan Ibu, terima kasih atas do‟a,
kasih sayang, dan dukungan yang tiada
hentinya.
2. Dosen dan almamaterku tercinta.
viii
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan semata-mata hanya
kepada Allah Yang Maha Pemurah yang telah memberikan limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis memperoleh petunjuk serta kekuatan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih
kepada Drs. Mukh Doyin, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Dra L.M
Budiyati, M.Pd. selaku dosen pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan
waktu untuk memberi masukan, arahan, dan bimbingan kepada penulis. Selain itu,
tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
2. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
membekali ilmu pengetahuan bagi penulis;
3. Orang tuaku yang memberi kasih sayang, cinta, kepercayaan, nasihat,
dukungan serta do‟a yang tiada henti;
4. Saudara-saudaraku tersayang yang selalu memberikan keceriaan;
5. Seseorang yang sangat aku sayangi yang selalu menemani dan selalu
memberikan semangat buatku;
6. Teman-teman seperjuangan 2005 yang telah membantu penulis selama
mencari ilmu di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia;
ix
7. Sahabat-sahabat seatap seperjuangan di Ajaib kos tercinta, terima kasih
canda tawa dan membagi duka lara dalam kebersamaan kalian selama ini;
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per-satu, terima kasih
atas komentarnya untuk skripsi ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Semarang, Februari 2011
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i
SARI……………………………………………………………………. ii
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………. iv
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….. v
PERNYATAAN………………………………………………………… vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………… vii
PRAKATA……………………………………………………………… viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………. x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah……………………………………… 1
1.2 Permasalahan…...………………………………………….... 6
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………. 7
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………… 7
BAB II LANDASAN TEORETIS
2.1 Strukturalisme……………………………………………….. 9
2.2 Strukturalisme Tzvetan Todorov……………………………. 13
2.2.1 Aspek Verbal………………………………………………. 14
2.2.1.1 Sudut Pandang…………………………………………... 14
2.2.1.2 Kategori Pencerita……………………………………….. 22
2.2.1.3 Ragam Bahasa………………………………………….... 23
xi
2.2.2 Hubungan In Praesentia dan Hubungan In Absentia……… 24
2.2.2.1 Hubungan In Praesentia (Hubungan Sintagmantik)……… 24
2.2.2.2 Hubungan In Absentia (Hubungan Paradigmatik)……….. 25
2.2.2.2.1 Indeks…………………………………………………… 27
2.2.2.2.2 Informan………………………………………………… 29
2.3 Bahan Ajar…………………………………………………….. 32
2.3.1 Pembelajaran Novel dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan……………………………………………………….... 33
2.3.2 Kriteria Novel yang Dapat Diajarkan Di SMA…………….... 34
2.3.3 Sastra Dalam Pengajaran…………………………………….. 35
2.3.3.1 Membantu Keterampilan Berbahasa……………………….. 35
2.3.3.2 Meningkatkan Pengetahuan Budaya………………………. 35
2.3.3.3 Mengembangkan Cipta-Rasa…………………………….... 36
2.3.3.4 Menunjang Pembentukan Watak………………………….. 37
2.3.4 Pemilihan Bahan Ajar……………………………………….. 37
2.4 Sudut Pandang Sebagai Bahan Ajar di SMA………………..... 40
BAB III PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian………………………………………… 43
3.2 Sasaran Penelitian……………………………………………. 43
3.3 Sumber Data Penelitian…………………………………….... 44
3.4 Metode Pengumpulan Data…………………………………. . 44
3.5 Metode Analisis Data………………………………………… 45
xii
BAB IV SUDUT PANDANG DALAM NOVEL EDENSOR KARYA ANDREA
HIRATA DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR DI SMA
4.1 Luasnya Pandangan………………………………………… 50
4.1.1 Pandangan Dari Luar……………………………………… 51
4.1.2 Pandangan Dari Dalam…………………………………… 54
4.2 Kadalaman/Tingkat Ketajaman Pandangan………………… 57
4.2.1 Fokus ke Luar…………………………………………….. 57
4.2.2 Fokus ke Dalam…………………………………………… 60
4.3 Ujaran/Tutur………………………………………………… 62
4.3.1 Penceritaan …………………………………………......... 62
4.3.1.1 Menggunakan Wicara Langsung……………………..... 62
4.3.1.2 Menggunakan Wicara/Ujaran yang Disesuaikan…….... 64
4.3.2 Kehadiran Pencerita……………………………………... 66
4.3.2.1 Pronomina……………………………………………... 66
4.3.2.2 Variasi Medan Leksikal………………………………..... 70
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan……………………………………………………… 72
5.2 Saran………………………………………………………..... 73
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….... 74
LAMPIRAN…………………………………………………………….. 76
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sudut pandang sebagai salah satu unsur struktur cerita rekaan itu penting
untuk pemahaman cerita rekaan karena penggunaan sudut pandang dalam karya
fiksi untuk memerankan berbagai hal. Sudut pandang dapat dalam berupa ide,
gagasan, nilai-nilai sikap, dan pandangan hidup. Keefektifan penggunaan sudut
pandang tidak lepas dari kemampuan pengarang menyiasati ceritanya, dan
membuat cerita lebih menarik sehingga mampu mengajak pembaca untuk
memberikan empatinya. Sebelum pengarang menulis cerita, mau tidak mau, harus
memutuskan memilih sudut pandang tertentu. Ia harus telah mengambil sikap
naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan tokohnya atau naratornya
yang di luar itu sendiri (Suryana 2009:1).
Sebagai karya fiksi, novel juga menggunakan sudut pandang dalam
bercerita. Novel menceritakan berbagai permasalahan yang sangat kompleks
dibandingkan dengan karya fiksi yang lain. Kompleksitivitas cerita dalam novel
menuntut seorang pengarang harus jeli memilih sudut pandang dalam bercerita.
Pengemasan novel dengan sudut pandang cerita yang menarik akan melahirkan
sebuah karya yang menarik pula. Hal ini yang dimanfaatkan oleh seorang
pengarang untuk menarik minat pembaca. Seperti yang dilakukan oleh Andrea
Hirata dalam novelnya yang berjudul Edensor. Dengan sudut pandang “aku” yang
1
2
menarik, Andrea Hirata telah melahirkan novel yang kemudian menjadi best seller
di Indonesia.
Edensor adalah novel ketiga karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh
Bentang Pustaka pada tahun 2007. Novel ini menceritakan tentang kehidupan Ikal
dari SMA sampai ikal mendapatkan beasiswa untuk kuliah di diluar negeri dan
mendapatkan pengalaman-pengalaman kehidupan yang sangat berharga dari
orang-orang yang dekat dengannya. Edensor adalah nama sebuah tempat, desa
khayalan dalam novel kenangan yang diberikan A Ling kepada Ikal. A Ling
adalah cinta pertama Ikal.
Edensor merupakan buku ketiga dari Tetralogi Laskar Pelangi. Buku yang
berikutnya adalah Maryamah Karpov. Tidak seperti Laskar Pelangi dan Sang
Pemimpi yang sudah difilmkan, film berjudul Edensor baru digarap oleh
sutradara muda Riri Riza di tahun 2011. "Ya jadi Edensor akan mulai digarap
2010," ungkap sutradara Riri Riza saat menghadiri acara Screening dan jumpa
pers Film Sang Pemimpi di FX, Jakarta, Senin (14/12/2009). Film yang diadaptasi
dari novel tetralogi Laskar Pelangi akan dibuat sesuai dengan nama novelnya,
yaitu Edensor. Film tersebut adalah nama sebuah tempat di Perancis.
"Rencananya akan ada syuting di Eropa dan Afrika," tambah pria berambut
keriting ini (www.spotainment.com).
Sebelumnya, Riri Riza dan Mira Lesmana menjadi sutradara dan produser
film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Menurut keduanya, film Laskar Pelangi
sukses menyedot 4,6 juta penonton. Dan film Sang Pemimpi akan ditargetkan
menyedot 7 juta penonton. Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan
3
Maryamah Karpov adalah novel tetralogi karya pria asal Bangka Belitung Andrea
Hirata. Tetralogi novel tersebut menjadi best seller. Karena itulah sutradara Riri
dan produser Mira Lesmana mengangkatnya kedalam layar lebar. Dan film Laskar
Pelangi sama suksesnya (www.spotainment.com).
Ikal adalah tokoh “aku” dalam novel Edensor yang juga tokoh dalam
Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Ia adalah salah satu anggota dari Laskar
Pelangi yang memiliki ciri fisik berambut ikal yang kemudian menjadi nama
panggilannya. Beranjak dari kisah nyata pengalaman hidup di masa lalunya,
Andrea Hirata menjelma menjadi tokoh Ikal dalam sudut pandang “aku”. Tokoh
Ikal dalam novel ini adalah tokoh sentral yang menceritakan situasi kehidupan
masyarakat di sekelilingnya. Berbeda dengan setting cerita Laskar Pelangi dan
Sang Pemimpi, Edensor mengambil setting di luar negeri saat tokoh-tokoh
utamanya, Ikal dan Arai mendapat beasiswa untuk sekolah di Inggris dan
Perancis. Dalam novel Edensor, Andrea semakin mapan dengan ciri khasnya,
mengelola kisah ironi menjadi parodi dan menertawakan kesedihan dengan
berbalut pandangan-pandangan yang penuh intelejensia tentang culture shock
ketika kedua tokoh utama tersebut (yang berasal dari pedalaman Melayu di Pulau
Belitong) tiba-tiba berada di Paris. Seperti novel-novel Andrea sebelumnya
Edensor memiliki kekuatan filosofis yang menebarkan semangat dan inspirasi
bagi pembacanya melalui sudut pandang “aku”. Andrea Hirata tak pernah
kehilangan tempat untuk melihat suatu fenomena dan sudut pandang yang tak
pernah dilihat orang lain.
4
Novel Edensor karya Andrea Hirata ini penting untuk diteliti karena
menurut peneliti novel ini memenuhi kreteria bahan ajar di SMA. Selain itu, yang
menarik buat peneliti untuk meneliti novel Edensor karya Andrea Hirata adalah di
setiap bagian novel cerita yang tersusun dalam beberapa bagian ceritanya selalu
mengisahkan sudut pandang “aku”. Sudut pandang ini digunakan pengarang untuk
menarik atau menghidupkan suasana dan menunjukkan hubungan antara penulis
dan masyarakat atau pembaca, dan keintiman tokoh dalam karya sastra dengan
pembaca. Penulis membahas sudut pandang “Aku” tersebut karena penting untuk
mengetahui bagaimana novel sebagai karya seni disiasati pengarang sehingga
pembaca tertarik pada novel melalui pemilihan sudut pandang yang tepat dan
efektif serta keterpaduan tiap unsur di dalamnya.
Keintiman hubungan antara pengarang dengan pembaca novel Edensor
karya Andrea Hirata diwujudkan dengan respon pembaca yang mengacu pada
komentar maupun pujian terhadap penciptaan karya itu sendiri. Beberapa elemen
masyarakat bahkan mengaku mendapat inspirasi hidup setelah membaca novel
Edensor. Kali ini Andrea mengeksploitasi cerita tentang bagaimana schock
culture ketika 'anak udik' bertemu dengan peradaban lain, Eropa. Dimana-mana
ternyata ide ini membuat sesuatu yang segar dan menarik. Dari zaman Charlie
Caplin , Dono-Kasino-Indro hingga Extra Vaganza selalu memakai resep ini (Arif
Nur dalam www.edensor.com). Edensor bercerita tentang filosofi pencarian.
Pencarian akan hal-hal yang paling kita inginkan dalam hidup ini dan pencarian
akan diri kita sendiri, ketika kita berupaya sekuat tenaga menemukan sesuatu, dan
pada titik akhir upaya itu hasilnya nihil, maka seharusnya kita telah menemukan
5
apa yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan (Anna dalam
www.edensor.com). Edensor adalah petualangan, mengasyikkan dan bikin iri.
Seperti dalam cerita forest gum, Aria dan Ikal mewujudkan satu per-satu
impiannya bahkan tanpa disangka-sangka terwujud pula kutukan akibat kenakalan
masa kecil melalui perjalanannya sebagai backpacker setelah melakukan taruhan
dengan teman-teman kuliahnya. Berbekal pakaian ikan duyung untuk pameran
jalanan mereka menyusuri kota-kota di Eropa mengharap recehan sebagai ongkos
perjalanan ke kota selanjutnya (Ndahdien Ramadhan dalam www.edensor.com).
Edensor ini juga bisa dianggap sebagai sebuah karya yang spektakuler bagi
kejenuhan masyarakat terhadap segala jenis hiburan yang dianggap membosankan
(Suryana 2009:4).
Ketika pembaca sedang menikmati sebuah cerita, ia tidak hanya
mengimajinasikan bentuk fisik tokoh maupun latar yang dipakai dalam
penceritaan. Pembaca juga merasakan konflik batin tokoh “aku” maupun konflik
antartokoh dalam cerita tersebut. Hal inilah yang menjadikan sudut pandang
menjadi menarik untuk diteliti. Menjadi persial ketika memahami strukturnya,
namun menjadi menarik bila masuk ke dalam penjiwaan tokoh hingga bisa
merasakan psikologis tokoh-tokoh di dalamnya. Aspek inilah yang nantinya
mengapresiasikan sebuah karya sastra kepada pembacanya. Karena pengarang
telah mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna
pengalaman hidup seperti yang dirasakan pengarang melalui karyanya. Oleh karna
itu, sebelum mencipta seorang pengarang hendaknya sudah membuat keputusan
tentang bagaimana nantinya dia menentukan sudut pandang dalam bercerita.
6
Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan melalui sudut pandang
dalam cerita, sehingga ketika karya fiksi sudah tercipta pengarang sudah tidak lagi
terlihat di dalamnya.
Novel Edensor bukan hanya novel sastra dan novel pendidikan, tapi juga
merupakan novel budaya, dan juga novel bahasa. Model penggunaan sudut
pandang yang memikat dan juga mudah dipahami dalam novel ini membuat
pembacanya seakan-akan bertamasya di Perancis. Dengan pemilihan sudut
pandang Andrea Hirata berusaha mengajak pembaca novel ini untuk menelusuri
lekuk-lekuk kota Perancis yang eksotis tanpa lelah. Tidak mengherankan jika
novel Edensor telah menghipnotis ribuan pembacanya di seluruh tanah air.
Untuk menentukan kelayakan novel sebagai bahan ajar di SMA pada
hakekatnya sama di SMK, dan MA. Karena tingkat kemampuan intelegensi,
emosional, relegiusitas, dan dorongan biologis siswa pada zaman sekarang dapat
dikatakan tak jauh berbeda. Jadi, novel yang dibicarakanpun syarat/kriterianya
sama. Kelayakan novel, antara lain: keberadaan novel dalam kurikulum, novel
mengungkapkan kehidupan manusia yang multidimensi dan multikarakter serta
secara keseluruhan novel mengandung nilai didik yang sangat berguna bagi
perkembangan kepribadian siswa-siswi SMA.
Peranan sudut pandang sebagai unsur penceritaan dalam novel sangat
penting. Oleh karena itu, kemampuan pengarang dalam memilih sudut pandang
dalam bercerita mempengaruhi ketertarikan minat pembaca dalam mengapresiasi
novel tersebut. Kualitas sebuah novel dapat ditentukan oleh kemampuan
7
pengarang dalam memberikan cerita dan bagaimana novel tersebut diapresiasi
oleh pembacanya.
Berdasarkan uraian di atas untuk menentukan apakah sebuah novel layak
digunakan sebagi bahan ajar atau tidak di sekolah perlu diadakan penelitian
terlebih dahulu terhadap karya tersebut. Untuk itulah penulis tertarik memberikan
gambaran teknik “aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata sebagai skripsi
dan penelitian ini diberi judul Sudut Pandang dalam Novel Edensor Karya
Andrea Hirata dan Kelayakannya Sebagai Bahan Ajar Di SMA.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut.
1. Bagaimana teknik yang digunakan pengarang melalui sudut pandang tokoh
“aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata?
2. Apa fungsi dari teknik yang digunakan pengarang melalui sudut pandang
tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata?
3. Dapatkah sudut pandang tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea
Hirata digunakan sebagai acuan bahan ajar di SMA?
1.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian tentu tidak lepas dari tujuan yang diharapkan. Adapun
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan teknik yang digunakan pengarang melalui sudut pandang
tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata.
8
2. Menganalisis fungsi dari teknik yang digunakan pengarang melalui sudut
pandang tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata.
1.4 Manfaat Penelitian
Setelah semua masalah yang dirumuskan tersebut dapat ditemukan
jawabannya, penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumbangan pemikiran yang bisa
menambah khasanah penelitian dan dan ilmu pengetahuan terhadap struktur
penceritaan novel dengan penekanan pada sudut pandang, dan diharapkan
bisa menjadikan acuan awal untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pentingnya
penggunaan sudut pandang dalam karya fiksi, karena sudut pandang untuk
memerankan berbagai hal dapat berupa ide, gagasan, nilai-nilai sikap, dan
pandangan hidup.
9
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1 Strukturalisme
Kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra, sering dipandang
sebagai teori dan atau pendekatan. Hal ini pun tidak salah, karena baik pendekatan
maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. Pendekatan
strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang akan diungkap melalui karya
sastra sedangkan teori adalah pisau analisisnya. Strukturalisme sebenarnya
merupakan paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur.
Dunia sebagai suatu hal yang tertib, sebagai sebuah relasi dan keharusan. Jaringan
relasi ini merupakan struktur yang bersifat otonom. Karena keteraturan struktur
itu, akan membentuk sebuah sistem yang baku dalam penelitian sastra.
Strukturalisme berasal dari kata struktur, yaitu cara sesuatu disusun/di
bangun, dalam hal ini sesuatu yang dimaksud itu berupa karya sastra.
Strukturalisme sebenarnya adalah tahapan pendekatan sebelum pendekatan
semiotik (Junus dalam Pradopo 2008:118) mengemukakan bahwa strukturalisme
itu tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya adalah karya sastra itu
merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem
tanda, tanda, dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra (atau karya
sastra) tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
Akan tetapi, betapapun pengertian struktur dan struktulisme penting dalam
kaitannya dengan penelitian sastra yang mempergunakan teori semiotik.
10
Pengertian struktur pada pokoknya berarti sebuah karya atau peristiwa dalam
masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara
bagian-bagiannya, dan antara bagian dengan keseluruhan. Hubungan itu tidak
hanya bersifat positif seperti kemiripan dan keselarasan, melainkan juga negatif
seperti pertentangan dan konflik. Prinsip strukturalisme ialah karya sastra itu
merupakan struktur yang unsur-unsurnya saling berhubungan dengan erat dan tiap
unsur itu hanya mempunyai makna dalam kaitannya atau hubungan dengan unsur
lain dan keseluruhannya (Hawkes dalam Pradopo 2008:75).
Suatu kesatuan struktural mencakup setiap bagian dan sebaliknya, setiap
bagian menunjukkan kepada keseluruhan. Karya sastra sebagai sesuatu pada
hakikatnya adalah sebuah struktur. Pengertian struktur berarti bahwa sebuah karya
atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan karena ada relasi
timbal balik antar bagian, dan antar-bagian dengan keseluruhan (Teeuw dalam
Suryana 2009:10).
Konsep lain tentang teori struktural yang dikemukakan oleh (Hawks dalam
Suryana 2009:10), bahwa di dalam pengertian struktur itu terkandung tiga
gagasan. Gagasan pertama adalah secara keseluruhan dan keutuhan. Hal ini berarti
bahwa di dalam bagian-bagiannya terdapat koherensi yang membentuk
seperangkat hukum intrinsik yang menentukan hakikat dan bagian-bagiannya.
Gagasan kedua adalah transformasi yang memberi makna bahwa struktur itu tidak
statis, tetapi dinamis. Unsur-unsur itu tidak hanya disusun, tetapi juga tersusun.
Gagasan itu memberi pengertian-pengertian bahwa struktur itu tidak
membutuhkan bantuan atau pertolongan unsur lain di luar dirinya sendiri.
11
Beberapa pendapat di atas memperlihatkan bahwa strukturalisme
merupakan susunan yang merupakan susunan yang menampakkan tata hubungan
antar unsur pembentuk karya sastra sebagai rangkaian unsur yang terpadu, dengan
demikian segala sesuatu yang ada di dalam karya sastra dilihat sebagai suatu
dunia yang berdiri sendiri, jadi dalam menganalisis unsur-unsur struktur yang ada
di dalam karya sastra harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang
pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan unsur itu.
Pada dunia kritik sastra, aliran strukturalisme menjadi kiblat lahirnya teori
pendekatan. Pendekatan struktural sering juga dinamakan pendekatan objektif,
pendekatan formal, pendekatan analitik, bertolak dari asumsi dasar bahwa karya
sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai
sosok yang berdiri sendiri. Artinya menyerahkan pemberian makna karya sastra
tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang
ada di luar struktur signifikansinya.
Sebagai konsekuensi terhadap pandangan gerakan otonomi, hal yang perlu
dibicarakan selanjutnya adalah bagaimana perkembangan selanjutnya
strukturalisme mempunyai pengertian yang lebih luas, dalam hal ini sesuai dengan
permasalahan yang telah disampaikan, model analisis yang digunakan pada
penelitian ini adalah model strukturalisme Tzvetan Todorov yang menekanan
sudut pandang cerita sebagai unsur intrinsik yang membangun sebuah karya fiksi.
Penelitian biasanya mengacu pada penelitian lain yang dapat dijadikan
sebagai titik tolak penelitian murni yang berangkat dari nol atau awal jarang
ditemui. Dengan demikian peninjauan terhadap penelitian lain sangat penting.
12
Sebab bisa digunakan untuk mengetahui relevansi penelitian yang telah lampau
dengan penelitian yang akan dilakukan dan seberapa besar keaslian dari penelitian
yang akan dilakukan.
Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian terdahulu yang relevan
dan dapat dijadikan sebagai kajian pustaka, sebagai berikut.
1. Yana Suryana, “Sudut pandang dalam novel „Laskar Pelangi‟ karya
Andrea Hirata.”
2. F X Hardanta, “Penokohan dalam novel „Pertemuan Dua Hati‟ karya N.H.
Dini dan kemungkinannya sebagai bahan ajar di SMA/MA.”
3. Amin Sukarniwati, “Tokoh utama dalam novel „Namaku Hiroko‟ karya
N.H. Dini dan implementasinya dalam pembelajaran sastra di SMA.”
4. Muhammad Heru Wibawa, “Watak dan perilaku tokoh utama dalam novel
„Sang Pemimpi‟ karya Andrea Hirata.”
5. Wira Soviana Devi, “Karakter tokoh Ikal dan Lintang dalam novel „Laskar
Pelangi‟ karya Andrea Hirata dan kelayakannya sebagai bahan
pembelajaran sastra di SMA.”
Beberapa kajian pustaka tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian
mengenai sudut pandang tidak banyak dilakukan, apalagi tentang sudut pandang
tokoh “aku” novel karya Andrea Hirata yang berjudul Edensor. Penelitian tentang
“Sudut Pandang Dalam Novel Edensor Karya Andrea Hirata Dan
Kemungkinannya Sebagai Bahan Ajar Di SMA”, merupakan upaya melengkapi
penelitian-penelitian yang terdahulu.
13
2.2 Strukturalisme Tzvetan Todorov
Penelitian ini menggunakan teori strukturalisme model Todorov, karena
teori ini merupakan salah satu teori strukturalisme modern dalam perkembangan
bidang sastra. Todorov (dalam Suryana 2009:11) mengatakan bahwa objek dari
ilmu-ilmu struktural adalah hal-hal yang memperlihatkan sifat-sifat suatu sistem,
yaitu semua kesatuan yang salah satu unsurnya dapat diubah tanpa mengubah
semua unsur-unsur lainnya.
Todorov membagi masalah telaah sastra ke dalam tiga hal, yaitu: a) aspek
sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logis, b) aspek
semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar,
dan c) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa,
dan sebagainya. Triadik di atas memiliki kesejajaran dengan retorika kuno yang
dibedakan atas dispositio (sintaksis), inventio (semantik), dan elotio (verbal),
demikian juga linguistik modern yang juga dibedakan atas sintaksis, semantik,
dan fonologi. Ketiga aspek tersebut direkonstruksi lagi ke dalam dua hubungan,
yaitu hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Hubungan sintagmatik
(in praesentia) adalah suatu hubungan antara unsur-unsur yang hadir bersama,
sedangkan hubungan paradigmatik (in absentia) adalah suatu hubungan antra
unsusr-unsur yang hadir dan unsur-unsur yang tidak hadir di dalam suatu karya
sastra.
Pembahasan pada teks Edensor akan difokuskan pada salah satu aspek,
yaitu aspek verbal dengan penekanan pada teknik sudut pandang yang digunakan
oleh pengarang. Penggunaan teori srukturalisme Tzvetan Todorov merupakan
14
teori yang sesuai dengan teks Edensor, sebab dalam aspek verbal teks tersebut
terdapat teknik yang digunakan oleh pengarang melalui sudut pandang tokoh.
2.2.1 Aspek Verbal
Sebagaimana yang telah diungkapkan Nyoman Kutha Ratna dalam
bukunya yang berjudul “Penelitian Sastra”, aspek verbal yakni sudut pandang,
gaya bahasa, modus, kala, pencerita itu wujud penyajiannya adalah suatu sistem
rekaan. Sub aspek tersebut masing-masing memiliki kategori, yang
pemunculannya penting untuk suatu teks sastra. Pada analisis novel Edensor ini
aspek verbal yang diteliti difokuskan pada sudut pandang yang digunakan oleh
pengarang.
2.2.1.1 Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view pada dasarnya adalah visi pengarang,
artinya adalah sudut pandangan yang diambil pengarang untuk melihat sesuatu
kejadian cerita. Dalam hal ini harus dibedakan dengan pandangan pengarang
sebagai pribadi, sebab sebuah cerpen atau novel sebenarnya adalah pandangan
pengarang terhadap kehidupan. Suara atau jiwa pengarang jelas akan masuk ke
dalam karyanya, hal ini lazim disebut gaya pengarang. Adapun sudut pandang
menyangkut teknis bercerita saja, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi
pengarang akan dapat diungkapkan sebaik-baiknya. Sudut pandang menyaran
pada sebuah cerita yang dikisahkan saja. Ia merupakan cara atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar,
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
15
pembaca (Abrams, dalam Suryana, 2009:13). Adapun Pooley menyatakan bahwa
Point of view is the opinion of author thoward his characters, event and setting as
expressed in the literary it self (1964:723).
Dengan demikian sudut pandang merupakan suatu strategi, teknik, siasat
sang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan atau ide dan
ceritanya.
Bagaimanapun sudut pandang merupakan sesuatu yang mennyaran pada
masalah teknis, saran untuk menyampaikan maksud yang lebih besar daripada
sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan
pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk
dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca, Booth (dalam Suryana 2009:13).
Dengan ide yang dipilihnya itu diharapkan pembaca dapat menerima dan pembaca
dapat menghayati ide-ide dan gagasan yang dikemukakan, dan karenanya teknik
itu dapat dikatakan efektif.
Sudut pandang itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua
macam: persona pertama, first-person, gaya “aku” atau “dia”, dan persona ketiga,
third-person, gaya “dia”. Jadi dari sudut pandang “aku” atau “dia” dengan
berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan. Kedua sudut pandang tersebut
masing-masing menyarankan dan menuntut konsekuensinya sendiri-sendiri. Oleh
karena itu daerah kebebasan dan keterbatasan perlu diperhatikan secara objektif
sesuai dengan kemungkinan yang dapat dijangkau sudut pandang yang
dipergunakan.
16
Sudut pandang dapat juga menjadi penghubung antara wacana dan fiksi,
peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam dunia khayalan tidak dapat dikemukakan
seperti aslinya tanpa adanya sudut pandang dari pembaca. Sudut Pandang (point
of view) menyarankan pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ini merupakan sebuah
cara atau pandangan yang dipergunakan pensipta karya sastra sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Mengenai sudut pandang, Todorov (dalam Suryana 2009:14-15),
menyatakan beberapa hal, antara lain:
1. Luasnya pandangan
a) Pandangan dari luar, adalah pandangan yang hanya menggambarkan
tidakan-tindakan yang dapat dilihat tanpa mengikutsertakan interpretasi
atau selingan satu pun dalam pikiran si protagonis.
b) Pandangan dari dalam, adalah mengutarakan semua pikiran atau ide-ide
tokoh.
2. Kedalaman/tingkat ketajaman pandangan
a) Fokus ke dalam (psikologis), adalah pandangan dapat masuk hingga jiwa
objek dan mengenal psikologi/kejiwaan para tokoh.
b) Fokus ke luar (fisik), pandangan yang tampak hanya aspek luar tokoh.
17
3. Ujaran/tutur
Ujaran membahas analisis penceritaan dan jejak kehadiran pencerita.
Pencerita ini memilih antara penggunaan ujaran langsung dan ujaran yang
disesuaikan (Todorov dalam Suryana 2009:15).
Ujaran dapat diuraikan menjadi:
a) Penceritaan
a.1 Menggunakan Ujaran Langsung
Pencerita menggunakan kalimat-kalimat langsung untuk mendeskripsikan
yang dilihat dan yang ingin dia ceritakan. Dari jarak dekat, visi pemandang
mencakup seluruh objek. Dekatnya jarak visi pemandang dengan segala sesuatu
yang ada dalam cerita menyebabkan pemandang merasa bahwa ia berada di
tengah-tengah cerita. Ia merasa segala sesuatunya benar-benar terjadi. Kejadian
semacam itulah yang ingin ditularkan kepada pembaca. Kemudian tugas
penceritalah yang akan menyampaikan segala sesuatu yang terjadi kepada
pembaca.
a.2 Menggunakan Ujaran yang Disesuaikan
Pencerita melihat segala sesuatunya dari jarak dekat. Tetapi, pencerita
tidak memberikan mandatnya pada tokoh untuk mengemukakan cerita, melainkan
dirinya sendiri yang berperan. Walaupun demikian, ia berusaha agar dapat
menyampaikan cerita dengan “sedekat mungkin” (seolah-olah cerita itu nyata).
Pencerita tidak menggunakan wicaranya sendiri, pencerita tidak hanya
mengemukakan peristiwa, melaikan juga pemandangan tokoh, pikiran mereka,
dan sebagainya.
18
Wicara alihan banyak digunakan pencerita dalam mengemukakan
peristiwa, dari pemandangan tokoh maupun pikiran mereka. Jadi, wicara yang
ditampilkan oleh pencerita dalam bentuk wicara yang dialihkan. Tokoh “aku”
sebagai pencerita mereproduksi ujaran tokoh dan sekaligus tentang yang ia
ceritakan. Namun, ia tidak menggunakan wicaranya sendiri melainkan
menggunakan wicara tokoh lain yang dialihkan menjadi wicaranya sendiri.
b) Kehadiran Pencerita
b.1 Pronomina
Pronomina persona memiliki status istimewa dibandingkan dengan tidak
pengujaran. Pronomina persona merupakan unsur pokok bahasa yang
memungkinkan pembicara untuk menampilkan wicaranya sendiri. Anton
Moeliono (dalam Suryana 2009:16) menyatakan bahwa, Pronomina yang dipakai
untuk mengacu keorang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri-pronomina
persona pertama. Mengacu pada orang yang diajak bicara-pronomina persona ke
dua, atau mengacu pada orang yang dibicarakan-pronomina persona ketiga.
b.2 Variasi Medan Leksikal
Unsur lain yang dapat memperlihatkan jejak penceritaa adalah variasi
medan leksikal. Medan leksikal sering kali merupakan penunjuk “sesuatu” untuk
menemukan gagasan tersembunyi yang sebenarnya inti dari karya karangan.
Sesuatu hal yang lebih tinggi memberikan imaji tentang publik pembaca yang
ingin ditujunya. Seperti halnya pengulangan-pengulangan yang berlebihan
dirasakan mengandung maksud tertentu. Pada umumnya, pengulangan digunakan
untuk menekan gagasan yang terdapat di dalam karya itu.
19
Pengulangan terjadi pada beberapa kata dalam setiap bagian ceritanya.
Pengulangan itu tidak terlalu sering, tetapi dengan mencermati masalah tema-tema
yang diangkat. Pengulangan kata itu menunjukkan sebuah kata yang ditekankan
oleh pencipta karya. Seolah-olah pengarang ingin menegaskan kata tersebut
dengan diulang-ulang dalam setiap cerita.
Berdasarkan kategori-kategori yang ada di atas, sudut pandang dapat
dikatakan sebagai cara yang khusus digunakan untuk memandang peristiwa di
dalam karya sastra. Tokoh bukan saja dipandang tetapi juga memandang. Abrams
(dalam Suryana 2009:17) menyatakan bahwa sudut pandang merupakan cara yang
khusus digunakan untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa
yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Berikut ini macam sudut pandang persona ketiga menurut Nurgiyantoro
(2002: 256-259) antara lain:
1) Sudut pandang persona ketiga (“Dia”)
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga,
gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan
tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti; ia, dia, mereka. Nama-
nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan
sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca
untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.
Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan
tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang.
20
a) “Dia” Mahatahu
Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun
pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh
“dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient).
Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja
dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh “dia” yang
satu ke “dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya “menyembunyikan” ucapan
dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan,
dan motivasi tokoh secara jelas seperti halnya ucapan dan tindakan nyata
(Abrams, 1981:143).
b) “Dia” Terbatas, “Dia” Sebagai pengamat
Dalam sudut pandang “dia” terbatas, seperti halnya dalam “dia”
mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan
dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja
(Stanton, 1965:26), atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Abrams,
1981:144). Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh
“dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya
seperti halnya tokoh pertama. Oleh karena dalam teknik ini hanya ada seorang
tokoh yang terseleksi untuk diungkap, tokoh tersebut merupakan fokus, cermin,
atau pusat kesadaran, center of consciousness (Abrams, 1981:144).
2) Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”
21
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona
pertama, firs-person point of view, “aku”, jadi : gaya “aku”, narator adalah
seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah,
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self consciousness, mengisahkan peristiwa
dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta
sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Pembaca menerima apa
yang diceritakan oleh si “aku”, maka kita hanya dapat melihat dan merasakan
secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.
a) “Aku” Tokoh Utama
Dalam sudut pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa
dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri,
maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si “aku” menjadi
fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si “aku”,
peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan
dirinya, atau dipandang penting. Jika tidak, hal itu tidak disinggung sebab si “aku”
mempunyai keterbatasan terhadap segala hal yang di luar dirinya, di samping
memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan.
Dalam cerita yang demikian, si “aku” menjadi tokoh utama, first-persen central.
b) “Aku” Tokoh Tambahan
Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama,
melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peripheral. Tokoh “aku” hadir
untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan
itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri bagaimana pengalamannya.
22
Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian yang menjadi
tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai
peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita
tokoh utama habis, si “aku” tambahan hadir kembali, dan dialah kini yang
berkisah.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan di atas, sudut
pandang pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai sebuah siasat, strategi, yang
sengaja diplih oleh seorang pengarang untuk mengemukakan ide-ide dan gagasan
sebuah ceritanya.
2.2.1.2 Kategori Pencerita
Seorang pencerita/narator itu memiliki kedudukan penting dalam suatu
peristiwa, sehingga segala sarana cerita yang dihadirkan tidak datang dengan
sendirinya melainkan ada penutur atau pencerita yang menyampaikannya.
Pencerita adalah pelaku dari semua pekerjaan membangun cerita dan
penceritalah yang mengemukakan prinsip-prinsip dasar penelitian,
menyembunyikan atau mengutarakanpikiran pada tokoh. Berdasarkan hal tersebut
pencertita memiliki konsep tentang kejiwaan: penceritalah yang memilih antara
penggunaan ujaran langsung dan ujaran yang disesuaikan, antara urutan peristiwa
secara kronologis atau pemutar balik peristiwa. Tak ada cerita tanpa pencerita
(Todorov 1985:35).
2.2.1.3 Ragam Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi kita untuk berkomunikasi dengan orang
lain, dengan bahasa pula pembaca akan dapat memahami berbagai peristiwa yang
23
disajikan di dalam karya sastra, sehingga ragam bahasa itu merupakan ciri khas
yang bertahap dan berkelanjutan. Todorov (1985:10) membagi tahapan tersebut
sebagai berikut:
1) Ragam bahasa adalah apa yang dalam pemakaian sehari-hari disebut
bersifat konkret atau abstrak.
2) Semua hubungan dua kata atau lebih yang sama-sama hadir, dapat menjadi
kiasan (karena kiasan tak lain dari ujaran yang dilihat sebagaimana
adanya).
3) Kehadiran atau ketidakhadiran acuan pada suatu wacana yang muncul
sebelumnya. Wacana ini disebut monovalen (yang hanya dianggap sebagai
batas), yang sama sekali tidak mengacu pada wacana sebelumnya yang
lebih kurang eksplisit.
4) Semua ujaran dari dalam dirinya mengandung ciri-ciri pengujarnya,
tindakan pribadi dari yang menghasilkannya, tetapi ciri-ciri ini dapat
sangat kurang pekat.
Dapat disimpulkan bahwa karya sastra mempunyai tingkatan atau tataran
berbahasa sesuai dengan tingkatan cerita, separti halnya cerita dalam Edensor
tingkatan bahasa yang digunakan pada masing-masing dimensi sangat berbeda.
2.2.2 Hubungan In Praesentia dan Hubungan In Absentia
Todorov (1985:11) membagi jenis hubungan antara unsur-unsur yang tak
terhingga jumlahnya yang terdapat dalam teks sastra kedalam dua kelompok
besar: (1) Hubungan antara unsur-unsur hadir bersama (In praesentia) dan (2)
24
Hubungan antara unsur yang hadir dan unsur yang tidak hadir (In absentia).
Hubungan-hubungan itu membedakan pula hakikat dan fungsinya. Dalam
linguistik yang dikemukakan oleh de Saussure istilah in praesentia disebut
hubungan sintagmatik, sedangkan hubungan in absentia disebut hubungan
paradigmatik. Hubungan-hubugan yang ada dalam teks tersebut adalah hubungan
antara makna dan perlambangan atau penanda dengan petanda.
2.2.2.1 Hubungan In Praesentia (Hubungan Sintagmatik)
Hubungan sintagmatik merupakan hubungan relasi antar unsur bahasa
yang hadir dalam suatu tuturan. Dalam tuturan itu, unsur-unsur yang berelasi itu
diucapkan. Hubungan in praesentia atau hubungan sintagmatik ini digunakan
untuk menelaah struktur sastra dengan menekankan urutan satuan-satuan makna
karya sastra yang dianalisis. Dalam bahasa tulis, unsur-unsur itu juga dituliskan
karena semua unsur yang berelasi itu hadir, relasi itu disebut juga dengan relasi
sintagmatik. Sintagma itu sendiri merupakan satuan yang terdapat dalam tuturan
yang berbentuk dari dua unsur secara vertikal (semua hadir dalam tuturan).
Apabila sebuah tuturan dapat disimbulkan dengan XY, tuturan itu mengandung
sintagma yang terdiri dari unsur X dan Y (Ducrot dan Todorov, 1981:106).
Hubungan bersifat linier, konfigurasi, konstruksi bentuk dan satuan. Wujud
hubungan-hubungan itu dalam teks karya sastra dapat berupa hubungan kata,
peristiwa, atau tokoh. Peristiwa yang satu diikuti oleh peristiwa yang lain yang
bersebab-akibat, dan kata-kata saling berhubungan dengan penuh (Todorov
1985:11-12).
25
Dalam wacana, kata-kata bersatu demi kesinambungan, hubungan yang
didasari oleh sifat langue yang linier, yang meniadakan kemungkinan untuk
melafalkan dua unsur sekaligus. Unsur-unsur itu mengatur diri yang satu sesudah
yang lain di rangkaian parole. Kombinasi tersbut yang ditunjang oleh keleluasaan,
dapat disebut sintagma, jadi sintagma selalu dibentuk oleh dua atau sejumlah
satuan berurutan (de Saussure terjemahan Hidayat, 1988:219).
Penuturan tersebut mengungkapkan bahwa hubungan in praesentia dapat
dimunculkan dari suatu konfigurasi aspek sintaksis, sehingga hubungan tersebut
bersifat jelas atau terlihat dalam teks. Bagaimanapun juga analisis terhadap suatu
teks harus dilakukan secara sistematis, karenateks yang terdapat dalam karya
sastra membentuk dan menformulasikan urutan peristiwa ke dalam hubungan
yang logis dan kronologis.
2.2.2.2 Hubungan In Absentia (Hubungan Paradigmatik)
Hubungan paradigmatik adalah hubungan yang berdimensi vertikal,
merupakan hubungan antar unsur dalam tuturan (unsur yang hadir, dituturkan) dan
unsur yang tidak hadir dalam tuturan. Unsur yang tidak hadir itu merupakan unsur
yang diasosiasikan. Kata-kata kekerabatan misalnya, memiliki hubungan asosiatif.
Hubungan paradigmatik mempersyaratkan adanya pengelompokan unsur-unsur
bahasa. Paradigmatik dapat muncul jika unsur-unsur yang berparadigma itu
berada dalam satu kelompok, Samsuri (1988:38) memberikan sedikit keterangan
bahwa tanda-tanda dalam suatu bahasa dapat berhubungan asosiatif melalui
kemiripan atau perbedaan. Kalau dasar itu digunakan, kata senang berparadigma
dengan kata bahagia dan kata susah berparadigma dengan kata sedih.
26
Kata dan kalimat dapat dilihat kehadirannya dalam teks, sedangkan makna
hanya dapat diasosiasikan atau dapat dilihat (Todorov 1985:11-12). Pendapat
tersebut memberikan sedikit keterangan bahwa tanda-tanda dalam suatu bahasa
dapat berelasi asosiatif melalui kemiripan atau perbedaan.
Hubungan in absentia dalam sebuah karya fiksi berupa kajian tentang
tokoh dan penokohan, peristiwa, hubungan dengan latar dan lain-lain. Dasar
kajian ini adalah konotasi, asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pemikiran
pembaca, jadi kedua kajian ini sebenarnya bersifat struktural-semiotik
(Nurgiyantoro 1995:47-48). Lebih lanjut dijelaskan bahwa hubungan in absentia
(paradigmatik) dapat dibedakan menjadi (1) Indeks, yaitu satua-satuan yang
menerangkan sifat tokoh, identitas, perasaannya, suasana dan lain-lain, (2)
Informan, yaitu satuan-satuan yang menjelaskan tentang keterangan tempat dan
waktu.
2.2.2.2.1 Indeks
Indeks yaitu satuan-satuan yang menerangkan sifat tokoh, identitas,
perasaannya, suasana dan lain-lain. Konfigurasi peristiwa yang secara logis dan
kronologis saling berkaitan dalam wacana naratif dilakukan, dialami atau
menimpa subjek ujaran yang biasanya disebut tokoh. Tokoh menempati
kedudukan pusat karena peristiwa-peristiwa hadir melalui tokoh. Tokoh
mempunyai peran penting dalam wacana sastra karena tokoh dipergunakan untuk
mengidentifikasi suatu sastra (Saputra 1998:92).
27
Aminuddin (1987:78) menyatakan bahwa tokoh adalah pelaku yang
mengemban peristiwa dalam fiksi, sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu
cerita. Lebih lanjut Abrams dalam Nurgiyantoro (2000:165) menyatakan tokoh
adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama
yang oleh pembaca ditfsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa (Sudjiman 1991:43).
Sementara itu, Sayuti (1996:43) menegaskan bahwa tokoh adalah individu rekaan
yang mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh adalah pelaku yang dihadirkan oleh pengarang dalam suatu karya
sastra naratif sebagai pengemban cerita dalam rangka membangun sebuah struktur
sastra. Tokoh-tokoh dalam suatu cerita memiliki peran dan fungsi yang berbeda.
Dalam suatu novel, peran dan fungsi tokoh menempati kedudukan yang sangat
penting, sebab segala peristiwa yang dilahirkan tidak akan kelihatan menarik
apabila tidak terdapat tokoh yang memerankannya. Penggunaan istilah tokoh
tersebut kemudian diidentifikasikan dengan istilah “penokohan” yang
mengungkapkan masalah siapakah tokoh cerita, bagaimanakah perwatakan, dan
bagaimana penempatan serta pelukisannya da;am sebuah cerita.
Suharianto (1982:31) menyatakan bahwa penokohan dan perwatakan
adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun keadaan
batinnya yang berupa pandangan hidupnya sikapnya, keyakinannya, adat
istiadatnya, dan sebagainya. Sedangkan Aminuddin (2000:19) menyatakan bahwa
28
penokohan adalah cara pengarang adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau
pelaku.
Nurgiyantoro (1995) menyatakan bahwa penokohan adalah penyajian
watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Nurgiyantoro (2002:166) menyatakan
bahwa penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwukudan dan
pengembangan tokoh dalam sebuah cerita yang terkandung dalam dua aspek: isi
dan bentuk, atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan tokoh-tokoh itu
sesuai dengan logika cerita dan persepsinya. Watak ialah kualitas nalar dan jiwa
tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain (Sudjiman, 1991:16). Jones dalam
Nurgiyantoro (2000:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Melalui dialog juga dapat dilihat peranan tokoh masing-masing. Dialog
juga memberikan gambaran peristiwa, pemikiran dan suasana sekitar. Tokoh
petani akan berbicara mengenai dunia yang digelutinya, orang perkotaan akan
berbicara mengenai dunia yang digelutinya pula. Ada juga tokoh yang hanya
hidup dalam angan-angan saja, tokoh tersebut berdialog sendiri, bercerita tentang
kerinduannya, harapan-harapannya, pergumulan batinnya. Cerita seperti ini dapat
berhasil karena pengarang mengetahui bagaimana pergolakan batin seorang tokoh,
bagaimana perkembangan jiwanya dan mengetahui situasi yang dihadapinya.
Pengarang berhasil mengenbangkan cerita menjadi kuat berkat tokohnya yang
memiliki pribadi sendiri.
Berbagai pendapt tersebut memberikan penegasan bahwa tokoh
merupakan bagian karya sastra yang tidak dapat dipisahkan, kedudukannya
29
sangatlah penting di dalam sebuah dunia khayal dan akan menjadi lebih hidup di
dalam dimensi khayalan pembaca. Tokoh akan menjadi poin utama bagi pembaca
untuk menginteprestasikan suatu makna yang terkandung di balik peristiwa yang
dialaminya sesuai dengan logika cerita dan persepsinya, oleh sebab itu hal yang
paling fundamental di dalam karya sastra adalah tokoh dan penokohan.
2.2.2.2.2 Informan
Informan merupakan satuan-satuan yang menjelaskan tentang keterangan
tempat dan waktu. Suatu cerita pada hakekatnya adalah gambaran peristiwa atau
kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada
suatu waktu di tempat, sebab tokoh ter-rekonstruksi dari ruang dan waktu, maka
latar atau setting merupakan bagian penting yang membentuk karakter tokoh.
Bertolak dari hal tersebut, latar dapat dikatakan sebagai unsur yang
mempunyai peranan penting di dalam novel, dan sangat mempengaruhi
keseluruhan unsur-unsur karya fiksi yang lainnya, sehingga mempunyai kesan
bahwa latar menjadi bagian yang integral di dalam karya sastra.
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu dan sosial menurut Nurgiyantoro (2002:2007). Ketiga unsur itu masing-
masing memberikan permasalahan yang berbeda dan pada penyataannya saling
berkaitan dan saling mempengaruhi.
a) Latar Tempat
Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin
30
berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi
tertentu tanpa nama yang jelas. Latar tempat tanpa nama yang jelas biasanya
hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya
sungai, jalan, desa, hutan, kota, dan sebagainya (Nurgiyantoro 2002:227).
Penyebutan latar tempat yang tidak ditunjukkan secara jelas namanya
mungkin disebabkan peranannya dalam karya yang bersangkutan kurang
dominan. Unsur latar sebagai bagian keseluruhan karya dapat juga
mengisyaratkan bahwa peristiwa-peristiwa yang diceritakan dapat terjadi di
tempat lain sepanjang memiliki sifat khas latar sosial (dan waktu) yang mirip.
Pada bagian ini, akhirnya dapat dikemukakan bahwa latar pada sebuah
novel meliputi suatu lokasi yang digunakan oleh tokoh dalam suatu peristiwa.
Penampilan latar itu sendiri dapat dilihat dari urutan peristiwa yang ada pada
novel.
b) Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro 2002:230).
Genette (dalam Nurgiyantoro 2002:231) memaparkan masalah waktu
dalam karya naratif dapat bermakna ganda, di satu pihak menyarankan pada
waktu penceritaan, waktu penulisan cerita dan pihak lain menunjukkan pada
waktu dan urutan waktu yang terjadi dikisahkan dalam cerita. Waktu dalam karya
naratif tersebut lebih lanjut dijelaskan oleh Nurgiyantoro (2002:231) dapat
31
menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika
dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah kedalam karya
fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi khas, tipikal, dan dapat
menjadi sangat fungsional, sehingga tidak dapat diganti dengan waktu yang lain
tanpa mempengaruhi perkembangan cerita.
Berangkat dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa segala sesuatu
yang berhubungan dengan latar waktu akan menjadi sentral pengisahan estetis
suatu peristiwa pada novel.
c) Latar Sosial
Latar waktu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh
yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro
2002:234). Latar sosial dapat juga berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang
tergolong latar spiritual seperti yang dikemukakan sebelumnya.
Sudjiman (1988:44) menyatakan bahwa latar sosial mencakup
penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya,
adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa.
Pembicaraan tersbut mengamsusikan bahwa latar sosial digunakan sebagai
pelengkap latar tempat, sehingga memiliki peranan yang cukup menonjol. Peranan
32
tersebut sekaligus menentukan deskripsi paradigma kehidupan masyarakat yang
berkembang di suatu tempat yang bersangkutan.
2.3 Bahan Ajar
Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu
guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang
dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Bahan ajar atau
teaching-material, terdiri atas dua kata yaitu teaching atau mengajar dan material
atau bahan. Bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pembelajaran
(teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari
kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dengan
bahan ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau KD
secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua
kompetensi secara utuh dan terpadu.
2.3.1 Pembelajaran Novel Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Tujuan umum pengajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum 2006 tidak jauh berbeda dengan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum 2004. Kurikulum ini
menekankan pembelajaran kebahasaan dan kesastraan. Untuk kebahasaan yg
diajarkan, yaitu: keterampilan menyimak/mendengarkan, keterampilan berbicara,
keterampilan membaca dan menulis. Khusus bidang kesastraan pun terdiri dari
empat keterampilan, yaitu: mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.
Khusus bidang kesastraan mendalami puisi, prosa, dan drama, baik lama maupun
33
baru. Dari segi prosa yang dibicarakan, yaitu: dongeng (mythe, legenda, dan
fable), hikayat, dan cerita rakyat, khusus prosa lama. Untuk prosa baru yang
dibicarakan, yaitu: cerita pendek, roman dan utamanya novel.
Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia kurikulum 2006/KTSP agar pesrta
didik memiliki kemampuan, sebagai berikut:
1) Berkomunikasi secara sfektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku,
baik secara lisan maupun tulis.
2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara.
3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan.
4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual serta kematangan emosional dan social.
5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperluas budi pekerti dan meningkatkan pengetahuan serta
pengetahuan berbahasa.
6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Dari pembelajaran bahasa Indonesia yang termuat dalam Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kurikulum 2006/KTSP, khusus pembelajaran
novel di kelas X (sepuluh) 1.2. Mempelajari unsur ekstrinsik dan intrinsik sastra
secara umum. Pembelajaran novel di kelas XI (sebelas) 7.2. Menganalisis unsur-
34
unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia /terjemahan. 15.2 Membandingkan
unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan dengan hikayat.
pembelajaran novel di kelas XII (dua belas) 5.1. Menanggapi pembacaan
penggalan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan. 5.2. Menjelaskan
unsur-unsur intrinsic dari pembacaan penggalan novel. 15.2. Menemukan
perbedaan karakteristik angkatan melalui membaca karya sastra yang dianggap
penting pada setiap periode.
2.3.2 Kriteria Novel yang Dapat Diajarkan Di SMA
Dasar untuk menentukan kelayakan novel sebagai bahan ajar di SMA pada
hakekatnya sama di SMK, dan MA. Karena tingkat kemampuan intelegensi,
emosional, relegiusitas, dan dorongan biologisnya untuk zaman sekarang dapat
dikatakan tak jauh berbeda. Jadi novel yang dibicarakanpun syarat/kriterianya
sama. Kelayakan novel, antara lain: keberadaan novel dalam kurikulum, novel
mengungkapkan kehidupan manusia yang multidimensi dan multikarakter serta
secara keseluruhan novel mengandung nilai didik yang sangat berguna bagi
perkembangan kepribadian siswa-siswi SMA.
2.3.3 Sastra Dalam Pengajaran
Menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan
yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Pendidikan sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi; (a) membantu keterampilan
berbahasa, (b) meningkatkan pengetahuan budaya, (c) mengembangkan cipta-rasa
dan menunjang pembentukan watak (Rahmanto dalam Hardanta 2008:23).
2.3.3.1 Membantu Keterampilan Berbahasa
35
Dalam pengajaran sastra siswa dapat melatih keterampilan menyimak
dengan mendengarkan suatu karya yang dibicarakan oleh guru, teman atau lewat
audio. Siswa dapat melatih keterampilan wicara dengan ikut berperan dalam suatu
drama. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan
membacakan teks karya sastra. Sastra itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya
dan kemudian menuliskan hasil diskusinya sebagai latihan keterampilan menulis
(Rahmanto dalam Hardanta 2008:23-24).
2.3.3.2 Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan
keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan „sesuatu‟ dan kerap
menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin
menambah pengetahuan orang yang menghayati (Rahmanto dalam Hartanto
2008:24).
Apabila guru dapat merangsang siswa-siswi untuk memahami fakta-fakta
dalam karya sastra lama-kelamaan siswa akan sampai pada realisasi bahwa fakta-
fakta itu sendiri tidak lebih penting dibanding dengan keterkaitannya satu sama
lain sehingga dapat saling menopang dan memperjelas apa yang mau disampaikan
lewat karya sastra itu. Fakta-fakta tentang kehidupan itu tidak hanya mencakup
jawaban atas pertanyaan “Apa dan siapa?” atau ”Siapa melakukan apa?” tetapi
juga merupakan jawaban atas pertanyaan seperti “Manusia itu apa?”, “Bagaimana
dia bergaul dengan orang lain?”.
2.3.3.3 Mengembangkan Cipta-Rasa
36
Didalam diri siswa terkandung berbagai ragam kecakapan yang kadang-
kadang menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan atau bahkan kelebihan-
kelebihan. Hendaknya kecakapan-kecakapan ini dikembangkan secara harmonis
jika individu yang bersangkutan diharapkan dapat menyadari potensinya dan
dapat mengabdikan diri bagi kepentingan generasinya (Rahmanto dalam Hardanta
2008:24-25).
Dalam pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah
kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif dan
yang bersifat sosial serta dapat ditambahkan lagi yang bersifat relegius. Karya
sastra dapat berpeluang mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut.
2.3.3.4 Menunjang Pembentukan Watak
Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan
sehubungan dengan watak ini. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu
membina perasaan yang lebih tajam dibanding pelajaran yang lainnya. Sastra
mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh
rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti: kebebasan, kesetiaan, kebanggaan
diri sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian, perceraian, dan
kematian. Kedua, sehubungan pembinaan watak, pengajaran sastra hendaknya
dapat memberikan bantuan dalam usaha mengambangkan berbagai kualitas
kepribadian siswa meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajinasian, dan
penciptaan (Rahmanto dalam Hardanta 2008:25).
2.3.4 Pemilihan Bahan Ajar
37
Berikut ini akan dibicarakan tiga aspek penting yang harus
dipertimbangkan jika kita ingin memilih bahan pengajaran sastra, yaitu: bahasa,
psikologi, dan latar belakang budaya (Rahmanto dalam Hardanta 2008:25).
Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-
masalah yang dibahas, tetapi juga faktor-faktor lain seperti: cara penulisa yang
dipakai si pengarang, cirri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu dan
kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang (Sukarniwati 2010:13).
Untuk itu guru hendaknya mengadakan pemilihan bahan berdasarkan
wawasan ilmiah, misalnya: memperhitungkan kosa kata baru,, memperhatikan
segi ketatabahasaan dan sebagainya. Dalam usaha meneliti ketepatan teks terpilih,
guru hendaknya mempertimbangkan situasi dan pengertian isi wacana termasuk
ungkapan dan referensi yang ada.
Dalam memilih bahan pengajaran sastra tahap-tahap perkembangan
psikologi hendaknya diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat besar
pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap
perkembangan psikologi sangat besar pengaruhnya terhadap: daya ingat, kemauan
mengerjakan tugas, kesiapan bekerjasama dan kemungkinan pemahaman situasi
atau pemecahan masalah yang dihadapi.
Karya sastra yang terpilih untuk diajarkan hendaknya sesuai dengan tahap
psikologis pada umumnya dalam suatu kelas. Tentu saja, tidak semua siswa dalam
suatu kelas mempunyai tahapan psikologis yang sama, tetapi guru hendaknya
menyajikan karya sastra yang setidak-tidaknya secara psikologi dapat menarik
minat sebagian besar siswa itu.
38
Dalam menyajikan suatu karya sastra guru hendaknya tidak terlalu
menuntut gambaran di luar jangkauan kemampuan pembayangan yang dimiliki
oleh para siswa. Selain diberikan karya sastra dengan latar belakang budaya yang
ia kenal, siswa hendaknya juga di perkenalkan dengan karya sastra yang berlatar
budaya asing, tentunya di bawah pengarahan guru. Dengan demikian, siswa dapat
mengenal budaya asing di samping budaya mereka sendiri. Perbedaan latar
belakang budaya hanyalah merupakan unsur “kulit luar” belaka, hamper segala
macam permasalahan manusia yang mendasar biasanya bersifat universal.
Menurut Rahmanto (1998:43), tata cara penyajian yang perlu di
pertimbangkan oleh setiap guru dalam memberikan pengajaran sastra antara lain,
sebagai berikut:
1) Pelacakan Pendahuluan
Guru mempelajari terlebih dahulu bahan yang akan disajikan di depan
kelas untuk memperoleh pemahaman awal. Pemahaman ini penting untuk
menentukan strategi yang tepat, aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian
khusus dari siswa dan meneliti aspek-aspek yang masih perlu dijelaskan.
2) Penentuan Sikap Praktis
Guru harus mengusahakan agar bahan yang disajikan tidak terlalu panjang
dan dapat dibahas sampai selesai dalam setiap pertemuan. Selain itu, guru harus
menentukan terlebih dahulu informasi apa yang harus diberikan agar siswa mudah
memahaminya.
3) Introduksi
39
Sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan, guru hendaknya member
pengantar mengenai bahan yang akan sangat tergantung pada setiap individu,
keadaan siswa dan juga karakteristik bahan yang akan diberikan.
4) Penyajian
Guru memberikan bahan pembelajaran sesuai dengan metode dan teknik
yang telah ditentukan sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Selain
memberikan bahan yang diajarkan, guru juga harus memberikan beberapa
pertanyaan pemahaman yang akan dijadikan sebagai acuan dalam pembelajaran.
5) Diskusi
Untuk memperdalam pemahaman siswa, diberikan suatu tugas yang
disesuaikan secara berkelompok.
6) Pengukuhan
Sebagai sarana atau alat untuk mengetahui pemahaman siswa, siswa
diberikan suatu ujian atau tugas khusus.
2.4 Sudut Pandang Sebagai Bahan Ajar di SMA
Pembelajaran sastra harus bisa mengembangkan cipta, rasa, dan karsa anak
didik. Kriteria pemilihan bahan ajar dari segi pendidikan mencakup banyak hal
atau mengandung penjelasan yang dapat bermanfaat untuk anak didik. Oleh
karena itu, isi novel sebagai bahan ajar harus sanggup berperan sebagai sarana
pendidikan menuju pembentukan kebulatan kepribadian anak didik. Naskah novel
sebagai bahan ajar pun harus sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu agar manusia
menjadi cerdas dan berbudi luhur. Sudut pandang salah satu hal yang ada didalam
novel yang dapat dipakai sebagai bahan ajar untuk siswa.
40
Dalam pengertiannya sudut pandang disebut juga titik kisah, pusat
pengisahan, yang masing-masing mempunyai pengertian. Titik kisah adalah posisi
pengarang dalam suatu cerita, atau cara pengarang memandang suatu cerita
(Hayati dan Adiwardojo dalam Hidayati 2010:23-24). Pusat pengisahan adalah
posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat
peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam peristiwanya itu. Dari titik pandangan
pengarang itu pulalah pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami temanya
(Baribin dalam Hidayati 2010:23).
Sebagai bahan ajar SMA sudut pandang biasanya digunakan untuk
memberikan penjelasan tentang sifat-sifat, ciri-ciri fisik, setting waktu atau pun
tempat, dan konflik yang sedang dihadapi oleh tokoh-tokoh yang ada dalam
sebuah novel. Dalam pengajaran sudut pandang dibagi menjadi empat jenis yaitu
(1) sudut pandang first person-central atau akuan-sertaan; (2) sudut pandang first-
peripheral atau akuan-taksertaan; (3) sudut pandang third-person-omniscient atau
diaan-mahatahu; dan (4) sudut pandang third-person-limited atau diaan-terbatas.
Didalam sudut pandang akuan-sertaan, tokoh sentral cerita adalah
pengarang yang secara langsung terlibat di dalam cerita, sementara dalam sudut
pandang akuan-taksertaan tokoh “aku” hanya menjadi pembantu atau pengantar
tokoh lain yang lebih penting. Pencerita pada umumnya muncul di awal atau di
akhir cerita saja.
Didalam sudut pandang diaan-mahatahu, pengarang berada di luar cerita,
biasanya pengarang hanya menjadi seorang pengamat yang mahatahu dan bahkan
mampu berdialog langsung dengan pembaca. Sedangkan dalam diaan-terbatas,
41
pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak
berceritanya. Pengarang hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang
dijadikan tumpuan cerita.
Penjelasan di atas itu sangat mendukung dalam pembelajaran sudut
pandang karena itu semua dapat membantu siswa untuk mengetahui dan
memahami sifat-sifat, ciri-ciri fisik, setting waktu atau pun tempat, dan konflik
yang sedang dihadapi oleh tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah novel atau karya
sastra yang diajarkan. Oleh karena itu, menurut peneliti sudut pandang dalam
sebuah novel atau karya sastra dapat diajarkan di SMA.
42
BAB III
METODE PENILITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Atar Semi (1993:63) berpendapat bahwa pendekatan merupakan cara
memandang dan mendekati suatu objek atau dengan kata lain dapat disebut bahwa
pendekatan adalah asumsi-asumsi dasar yang dijadikan pegangan dalam
memandang suatu objek. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Strukturalis yang dikemukakan oleh Tveztan Todorov mengenai sudut
pandang pengarang tentang teknik „aku‟-an. Strukturalis merupakan pendekatan
yang mengurai elemen-elemen yang membangun karya sastra. Melalui
pendekatan ini dapat diketahui teknik yang digunakan pengarang melalui sudut
pandangnya dalam sebuah novel. Pendekatan ini menganalisis novel Edensor
karya Andrea Hirata yang mengungkap aspek kejiwaan dan aspek sosial tokoh
utama dalam novel. Strukturalis digunakan dalam penelitian ini disebabkan oleh
karena karya sastra tidak dapat dipahami secara utuh apabila dipisahkan dari
teknik yang digunakan pengarang dalam menghasilkan karyanya.
3.2 Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah: teknik sudut pandang yang digunakan
oleh pengarang melalui tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata.
Mengurai luasnya pandangan, kedalaman pendangan, serta ujaran tokoh “aku”
dalam novel Edensor karya Andrea Hirata.
43
3.3 Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Edensor karya Andrea
Hirata. Novel ini, terbit bulan Mei tahun 2007 dan merupakan cetakan pertama
yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka dengan tebal 314 halaman.
Data penelitian ini berupa kata-kata dan kalimat-kalimat yang terdapat
dalam novel Edensor karya Andrea Hirata, prolog, sudut pandang, psikologis
tokoh, dan dialog antar tokoh yang termaktub dalam novel Edensor karya Endrea
Hirata. Kajian utamanya adalah sudut pandang tokoh yang terdapat dalam dialog
dan pandangan tokoh utama terhadap tokoh-tokoh lain yang dijadikan data dalam
penelitian ini. Latar cerita dalam novel ini adalah sebagai penunjang dalam
penelitian ini. Kata-kata dan kalimat-kalimat yang digunakan tokoh “aku” dalam
novel Edensor karya Andrea Hirata digunakan untuk mengungkapkan teknik
sudut pandang yang digunakan oleh pengarang.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, konsep-konsep, gambar, dan bukan
angka-angka, tetapi pada penelitian ini yang ada berupa kata-kata dan kalimat-
kalimat. Dengan demikian, laporan penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk
diberi gambaran penyajian laporan tersebut (Miles dan Huberman, 1992:15).
Metode kualitatif ini digunakan untuk memperoleh data-data mengenai
teknik penceritaan yang digunakan pengarang dalam menggunakan sudut pandang
tokoh “aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata.
44
3.5 Metode Analisis Data
Teknik pengolahan atau analisis data dalam penelitian ini dilakukan
dengan teknik data model interaktif, yaitu analisis data yang meliputi
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles
dan Huberman, 1992:20).
Sumber: (Miles dan Huberman, 1992:20).
1. Pengumpulan Data
Data-data yang ada dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik kepustakaan,
artinya data-data tersebut diambil dari buku-buku yang mempunyai hubungan
dengan objek penelitian dan penunjang tujuan penelitian. Pada penelitian ini data-
data yang diperoleh mengambil dari data primer, yaitu kata-kata dan kalimat
dalam novel Edensor karya Andrea Hirata.
Pengumpulan
Data
Penyajian
Data
Reduksi Data
Kesimpulan-
Kesimpulan:
Penarikan/Verifikasi
45
2. Reduksi Data
Reduksi adalah pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerdehanaan,
pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul. Reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara
sedemikian rupa, sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat diambil dan
diverifikasikan (Miles dan Huberman, 1992:16).
3. Penyajian Data
Penyajian data dirancang untuk menggabungkan informasi yang tersusun
dalam suatu bentuk yang terpadu dan mudah diraih. Dengan demikian peneliti
dapat meraih kesimpulan dengan baik. Pada penelitian ini setelah semua data
mengalami proses reduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan data.
4. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini diperoleh dari data yang telah diolah dan
dianalisis pada tahap sebelumnya yaitu teknik Indukatif, yaitu pola penarikan
kesimpulan dengan cara berfikir berdasarkan pengetahuan yang bersifat khusus
untuk menemukan kesimpulan yang bersifat umum.
Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasikan selama penelitian berlangsung,
makna-makna yang mncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan
kecocokannya atau kevaliditasannya (Miles dan Huberman, 1992:19).
46
BAB IV
SUDUT PANDANG DALAM NOVEL EDENSOR KARYA ANDREA
HIRATA DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR DI SMA
Dengan sudut pandang “aku”, Andrea Hirata melukiskan keadaan dan
kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide, dan gagasan serta
nilai-nilai yang dimanfaatkan lewat tokoh-tokoh cerita. Tokoh-tokoh dalam
Edensor memiliki karakter yang kuat sehingga mampu memberikan efek dan
pengaruh bagi pembacanya. Cerita dan tokoh yang dimunculkan dalam Edensor
memiliki dampak yang besar bagi aspek psikologi dan aspek sosial yang besar
bagi pembacanya. Edensor mengambil setting di luar negeri saat tokoh-tokoh
utamanya, Ikal dan Arai mendapat beasiswa dari Uni Eropa untuk kuliah S2 di
Perancis. Dalam Edensor, Andrea tetap dengan ciri khasnya, menulis kisah ironi
menjadi parodi dan menertawakan kesedihan dengan balutan pandangan
intelegensia tentang culture shock ketika kedua tokoh utama tersebut yang berasal
dari pedalaman Melayu di Pulau Belitong tiba-tiba berada di Paris. Mimpi-mimpi
untuk menjelajah Eropa sampai Afrika dan menemukan keterkaitan yang tak
terduga dari peristiwa-peristiwa dari masa lalu mereka berdua. Dan pencarian
akan cinta sejati menjadi motivasi yang menyemangati penjelajahan mereka dari
bekunya musim dingin di daratan Rusia di Eropa sampai panas kering di gurun
Sahara.
Novel ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa hidup itu penuh
dengan mimpi-mimpi yang bisa kita raih dan novel ini juga memberikan motivasi-
47
motivasi hidup agar kita tidak mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan.
Dalam novel Edensor juga memberikan pelajaran untuk mengambil hikmah atau
pengalaman dari orang-orang yang ada di sekitar kita, agar kita bisa mempelajari
arti hidup yang kita jalani dan kita bisa menghadapi kesulitan-kesulitan yang kita
temui dalam perjalanan hidup kita. Edensor telah memberi citra yang positif bagi
dunia kesusastraan Indonesia berkat apresiasi positif dari pembacanya. Muatan
intelektual serta spiritalitas novel Edensor, yang menjadikan Andrea Hirata
sebagai seorang penulis novel yang terkenal di Indonesia.
Analisis sudut pandang dalam novel Edensor karya Andrea Hirata,
meliputi teknik yang digunakan pengarang melalui sudut pandang “aku” dalam
novel Edensor karya Andrea Hirata dan fungsi dari teknik yang digunakan
pengarang melalui sudut pandang “aku” dalam novel Edensor karya Andrea
Hirata.
Sudut pandang “aku” adalah sudut pandang persona pertama dalam
pengisahan cerita, narator seorang yang ikut terlibat dalam cerita. Narator adalah
si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya, mengisahkan
peristiwa dan tindakan yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan,
serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Pembaca menerima yang
diceritakan oleh si “aku”. Dalam novel Edensor karya Andrea Hirata si “aku”
adalah tokoh Ikal, yaitu tokoh sentral yang menceritakan tentang situasi
kehidupan masyarakat disekelilingnya, bercerita tentang pengalaman bersama
teman-teman yang tergabung dalam Laskar Pelangi, tentang kemiskinan di pulau
Belitong, dan tentang makna hidup serta semangat-semangat yang lahir dari
48
kemiskinan. Ikal bercerita melalui empati dalam sudut pandang “aku”,
memberikan deskripsi jelas tentang gambaran fisik orang-orang, tempat maupun
suasana batin setiap tokoh yang terlibat didalamnya.
Teknik yang digunakan pengarang melalui sudut pandang “aku” dalam
novel Edensor karya Andrea Hirata merupakan pendekatan dengan teori
strukturalisme Tveztan Todorov. Todorov membagi sudut pandang dalam tiga hal
yaitu luasnya pandangan, kedalaman/tingkat ketajaman pandangan dan
ujaran/tuturan.
Fungsi dari teknik yang digunakan penganrang melalui sudut pandang
“aku” dalam novel Edensor karya Andrea Hirata merupakan pendekatan dengan
teori struktural-semiotik, yaitu hubungan In Absentia (hubungan Paradigmatik).
Hubungan In Absentia dalam sebuah karya fiksi berupa kajian tentang tokoh-
penokohan, peristiwa, hubungan dengan latar dan lain-lain. Hubungan ini
menjelaskan fungsi dari peristiwa yang dialami melalui sudut pandang “aku”
(melalui perspektif strukturalisme Tveztan Todorov) dalam novel Edensor karya
Andrea Hirata.
4.1 Luasnya Pandangan
Luasnya pandangan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan dari
luar dan pandangan dari dalam. Pandangan dari luar adalah pandangan hanya
dapat dilihat tanpa mengikut-sertakan interprestasi atau selingan satu pun dalam
pikiran si protagonis. Pandangan dari dalam adalah pandangan yang
mengutarakan semua pikiran tokoh.
49
4.1.1 Pandangan dari luar
Arai, Weh, dan Mak Birah, bagiku seperti bangunan segitiga tiga tak
mungkin, impossible triangle Oscar Reutersvard dengan sudut-sudut yang
mengandung anomaly. Mak Birah, seorang protagonis, amat menghargai
kehidupan dan menganggapnya sebagai perayaan kebesaran Allah.
Sebaliknya Weh, sang antagonis, mengutuki hidupnya sendiri. Baginya
kelahiran adalah keputusan aklamasi tanpa negosiasi dan selamatlah
manusia yang pernah lahir. Sedangkan Arai, ketika orang yang senasib
dengannya tersuruk-suruk, ia malah memperlihatkan jiwa besar, lebih dari
siapapun (hal 33)
Kutipan tersebut merupakan pandangan “aku” melihat keadaan tokoh lain
dalam cerita. “aku” memandang Mak Birah yang protagonis amat menghargai
kehidupan dan menganggapnya sebagai perayaan kebesaran Allah. “aku”
memandang Weh yang antagonis, yang mengutuki hidupnya sendiri. “aku”
memandang Arai yang memperlihatkan jiwa besar saat melihat orang yang
senasib dengannya tersuruk-suruk.
Pandangan dari luar ini merupakan pandangan yang melukiskan peristiwa
yang dialami oleh tokoh cerita yang hadir ke hadapan pembaca secara tidak
berbelit-belit (analitis), melainkan langsung disertai deskripsi kediriannya seperti
berpenyakit, dan tua.
Analisis pandangan dari luar ini berfungsi sebagai pembentuk plot, karena
mengungkap peristiwa yang dialami oleh tokoh. Peristiwa merupakan
pengembangan dari sebuah plot cerita selain konflik dan klimaks, dan peristiwa
juga sebagai salah satu penentu seksistensi plot.
Ia membuka koper, mengeluarkan semua pakaian, dibalutkannya
berlapis-lapis ditubuhku. Jemariku biru lebam, aku tersengal-sengal. Tiba-
tiba Arai mengangkat tubuhku lalu pontang-panting, terhuyung-huyung
melintasi timbunan salju setinggi lutut, menuju pokok pohon rowan.
Mengapa Arai menidurkanku ditanah? Aku makin menderita karena tanah
telah menjadi balok es. Aneh sekali kelakuan Arai. Apakah ia kalut dan
50
menjadi gila karena tahu aku akan tewas? Tindakan Arai makin ganjil. Ia
menimbuniku dengan daun-daun rowan (hal 64)
Kutipan tersebut menunjukkan pandangan “aku” berada dalam situasi
yang ganjil oleh “ia” yang menidurkanku ditanah yang membuatku makin
menderita karena tanah telah menjadi balok es. Sehingga membuat “aku” merasa
aneh dan ganjil. Ia (tokoh Arai) menidurkanku ditanah yang membuatku semakin
menderita karena tanah telah menjadi balok es.
Analisis pandangan dari luar pada kutipan di atas menjelaskan situasi
konflik yang terjadi dalam diri tokoh “aku”. Konflik yang terjadi berupa konflik
fisik antara tokoh “aku” dengan tokoh lain (Arai) dalam cerita. Konflik ini tidak
melibatkan interpretasi tokoh “aku”. Peristiwa di atas berfungsi sebagai konflik.
Senin sore, sangat istimewa, karena siangnya, di meja ku di kelas,
pasti kudapat secarik kertas kecil undangan: Tea time, my place, 04.00 pm,
yours, Katya. Itu artinya aku akan melewatkan sore dengan wanita
menawan itu, sambil duduk minum teh Prancis mélange quartier, teh
harum dengan campuran pala dan kayu manis, di balkon apartemennya.
Nun di sana mengalir Sungai Seine. Riak-riaknya bertingkah riang,
memantulkan warna jingga keperakan (hal 127)
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan pandangan “aku” terhadap
sekelilingnya ketika mengunjungi apartemen Katya. “aku” pasti mendapatkan
secarik kertas kecil undangan: Tea time, my place, 04.00 pm, yours, Katya. “aku”
akan melewatkan sore dengan wanita menawan itu sambil minum teh di balkon
apartemennya.
Pandangan dari luar berikutnya, adalah pandangan “aku” terhadap suasana
tertentu ketika dibalkon apartemen Katya. Yaitu pada saat sore jam 04.00, “aku”
melewatkan sore dengan wanita menawan itu, sambil duduk minum teh Prancis
mélange quartier, teh harum dengan campuran pala dan kayu manis, di balkon
51
apartemennya. Nun di sana mengalir Sungai Seine. Riak-riaknya bertingkah riang,
memantulkan warna jingga keperakan.
Pandangan dari luar ini merupakan pandangan yang melukiskan tokoh
cerita hadir ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit (analitik), melainkan
langsung disertai deskripsi kediriannya yang berupa sikap, tingkah laku dan cirri
fisiknya. Pandangan dari luar ini juga mendeskripsikan latar tempat, seperti di
meja kelas, apartemen, dan balkon. Selain itu juga mendeskripsikan suasana
tertentu seperti saat sore dan pada jam 04.00.
Analisis pandangan dari luar pada kutipan di atas berfungsi sebagai
pembentuk latar tempat, karena menceritakan lokasi pada cerita. Juga sebagai
latar waktu karena menceritakan kapan/saat kejadian tersebut diceritakan.
Waktu berlalu. Aku makin mengagumi Katya. Tapi apakah aku
mencintainya? Minggu lalu, Katya pulang ke Bayern untuk menemui
keluarganya. Ia mendekapku di Stasiun Gare de Lyon. Aku berdesir.
Untuk pertama kalinya aku dipeluk seorang wanita dalam nuansa asmara.
Matanya memancarkan isyarat janji yang liar jika ia kembali nanti. Aroma
keringat perempuan dewasa menusuk hidungku, merasuk. Ia berlari kecil
meninggalkanku. Belum lepas ia dari pandanganku aku telah
merindukannya. Namun, seiring menjauhnya kereta itu, sementara itu
sebagian kecil hatiku ingin agar ia tak kembali lagi ke paris (hal 128)
Kutipan tersebut merupakan pandangan “aku” melihat keadaan tokoh lain
dalam cerita. “aku” makin mengagumi Katya. “aku” menyaksikan tokoh lain pergi
pulang kampung untuk menemui keluarganya. “aku” juga melihat matanya
memancarkan isyarat janji yang liar jika ia kembali nanti.
Analisis pandangan dari luar ini berfungsi sebagai pembentuk plot, karena
mengungkap peristiwa yang dialami oleh tokoh. Peristiwa merupakan
52
pengembangan dari sebuah plot cerita selain konflik dan klimaks, dan peristiwa
juga sebagai salah satu penentu eksistensi.
4.1.2 Pandangan dari dalam
Ketika sedang browsing untuk mencari materi paper di perpustakaan, aku
terbelalak membaca e-mail dari Katya.
Hi, There…..
If you want to date me, all you have to do it….
Just…..
Ask……
Much love,
Katya
Aku merasa ada pipa dibelesakkan dalam mulutku dan helium dipompa ke
dalam rongga dadaku, lalu aku melayang seperti balon gas, menyundul-
nyundul platfon. Selama ini aku hanya menonton orang berebut Katya.
Sekonyong-konyong, tak ada ombak tak ada angin, ia mengatakan aku
hanya tinggal meminta saja (Just ask) jika ingin dekat dengannya. Durian
runtuh! Gonzales yang kuminta membacanya sampai melukis salib di
dadanya (hal 124)
Kutipan tersebut merupakan ungkapan perasaan dan pikiran “aku” ketika
sedang browsing untuk mencari materi paper di perpustakaan, “aku” terbelalak
membaca e-mail dari Katya.
Analisis pandangan dari dalam pada kutipan di atas merupakan konflik
kejiwaan yang dialami sang tokoh, karena terjadi pada hati dan pikiran tokoh.
Fungsi dari pandangan dari dalam di atas sebagai pembentuk plot karena konflik
merupakan salah satu bagian dari plot selain peristiwa dan klimaks.
Jangankan mereka, aku sendiri masih tak percaya. Aku tak ikut bertempur
tapi memenangkan perang. Aku seperti anak kecil menemukan cincin
permata dalam bungkus kuaci. Katya menyukaiku? Ah, tidak real, tidak
mungkin. Langsung kuduga seorang pesaing yang frustasi, yang juga
seorang computer freak telah menggelapkan e-mail account Katya untuk
memperolokku. Kubalas e-mail Katya, untuk konfirmasi. Konyol sekali
(hal 125).
53
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa “aku” tidak percaya. “aku” tak ikut
bertempur tapi memenangkan perang. Pertanyaan-pertanyaan mengenai kesukaan
Katya padaku membuat “aku” menerka-nerka. “aku” menduga seorang pesaing
yang frustasi, yang juga seorang computer freak telah menggelapkan e-mail
account Katya untuk memperolokku. Ku balas e-mail Katya, untuk konfirmasi.
Konyol sekali.
Analisis pandangan dari dalam pada kutipan di atas merupakan konflik
kejiwaan yang dialami sang tokoh, karena terjadi pada hati dan pikiran tokoh.
Fungsi dari pandangan dari dalam di atas sebagai pembentuk plot karena konflik
merupakan salah satu bagian dari plot selain peristiwa dan klimaks.
Dear Katya, apakah kamu tidak salah kirim
e-mail?
Ehmm, maaf ya….. ehmmmm…., duh,
Gimana ya……
Untukkukah e-mail-mu ini?
Ia langsung menjawab.
Definitely, it‟s for you.
Sekarang helium yang memenuhi rongga dadaku meledak dan aku pecah
menjadi ribuan kuntum mawar, berjatuhan dari plafon, bertaburan
memenuhi perpustakaan. Apa yang dilihat Katya pada diriku? Aku curiga,
jangan-jangan ia menderita rabun dekat (hal 125)
Kutipan tersebut menjelaskan deskripsi yang kuat dan di urai secara
analitis mengenai suasana yang dialami “aku” ketika mendengar jawaban dari
Katya. Dijelaskan bahwa “aku” merasa helium yang memenuhi rongga dadaku
meledak dan aku pecah menjadi ribuan kuntum mawar, berjatuhan dari plafon,
bertaburan memenuhi perpustakaan. Perasaan yang dialami oleh tokoh “aku” di
atas umumnya terjadi pada orang yang sedang jatuh cinta.
54
Analisis pandangan dari dalam pada kutipan di atas merupakan konflik
kejiwaan yang dialami sang tokoh, karena terjadi pada hati dan pikiran tokoh.
Fungsi dari pandangan dari dalam di atas sebagai pembentuk plot karena konflik
merupakan salah satu bagian dari plot selain peristiwa dan klimaks.
Berulang kali kubaca surat dari Ayah, tak kunjung reda gemuruh dalam
diriku. Begitu tinggi aku telah membangun ekspektasi hidupku sehingga
surat Ayah tak ubahnya dua halaman utopia bagiku. Aku baru saja
merayakan cita-cita menjadi seorang economic scientist tapi rupanya
ayahku ingin aku menjadi ahli madya pupuk, dan Arai yang terobsesi
menjadi seorang microbiologist diharapkan ayahku menjadi seorang
asisten apoteker (hal 141)
Kutipan tersebut menjelaskan ketika “aku” membaca surat dari Ayah
“aku” merasakan gemuruh yang tak kunjung reda dalam diriku. “perasaan” itu
membuat tokoh “aku” tak ubahnya dua halaman utopia saat tokoh ”ayah”
menginginkan “aku” menjadi seorang ahli madya pupuk dan menginginkan tokoh
“arai” menjadi seorang asisten apoteker.
Analisis pandangan dari dalam pada kutipan di atas merupakan konflik
kejiwaan yang dialami oleh tokoh, karena konflik ini terjadi pada hati, dan jiwa
seorang tokoh. Jadi, fungsi dari pandangan dari dalam pada kutipan di atas
sebagai pembentuk plot karena konflik merupakan salah satu bagian dari plot
selain peristiwa dan klimaks.
Bus merayap, aku makin dekat dengan desa yang dipagari tumpukan batu
bulat berwarna hitam. Aku bergetar menyaksikan nun di bawah sana,
rumah-rumah penduduk berselang-seling di antara jerejak anggur yang
terlantar dan jalan setapak yang berkelok-kelok. Aku terpana dilanda
dejavu melihat hamparan desa menawan. Aku merasa kenal dengan
gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di
pekarangan itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga
daffodil dan astuaria di pagar peternakan itu. Aku seakan menembus
lorong waktu dan terdampar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama
hidup dalam kalbuku (hal 288).
55
Kutipan tersebut menjelaskan suasana “aku” saat makin dekat dengan desa
yang dipagari tumpukan batu bulat berwarna hitam. “aku” terpana dilanda dejavu
melihat hamparan desa menawan. “aku” merasa kenal dengan gerbang desa
berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu, dengan
bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria dipagar
peternakan itu. “aku” seakan menembus lorong waktu dan terdampar kesebuah
negeri khayalan yang telah lama hidup dalam kalbuku.
Pandangan dari dalam ini merupakan pandangan yang mendeskripsikan
latar tempat, seperti desa, pekarangan, bangku-bangku dan peternakan. Analisis
pandangan dari dalam pada kutipan di atas berfungsi sebagai pembentuk latar
tempat, karena menceritakan lokasi pada cerita.
4.2 Kedalaman/Tingkat Ketajaman Pandangan
Kedalaman pandangan memegang peranan yang sama pnting dengan
luasnya pandangan. Novel Edensor memiliki dua pemfokusan, yaitu pemfokusan
luar dan pemfokusan dalam. Pemfokusan luar memandang segala sesuatu dari
luar, dalam arti fisik atau keadaan luar tokoh, tidak masuk ke dalam jiwa,
sedangkan pemfokusan dalam adalah cara memandang dengan masuk kedalam
jiwa sang tokoh.
4.2.1 Fokus ke luar
Bayi nomor lima itu berkening luas. Ayahku menamainya Aqil Barraq
Badruddin.
“Aqil, bahasa Arab, artinya akal. Barraq adalah berkilauan, bahasa tinggi
orang Yaman,” papar Ibu.
Peran serta Badruddin atau purnama agama tak lain adalah karena nama
lelaki Melayu selalu berakhiran Din. Dalam terjemahan yang paling bebas,
56
makna namaku ini kurang lebih Anak soleh berjidat mengkilap yang tidak
akan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dalam hidupnya (hal 17)
Fokus ke luar pada kutipan tersebut menunjukkan adanya pengenalan
tokoh “aku” yang lebih dalam yaitu diperkenalkan cirri-ciri fisik, seperti
berkening luas. Tokoh “aku” dipakai oleh pengarang untuk mendeskripsikan
tokoh “aku” dan “mereka”. Jadi, fungsi dari fokus ke luar pada kutipan di atas
adalah sebagai pembentuk tokoh.
Ia berkulit legam, kurus tinggi, dan berwajah jenaka tipikal orang India.
Bulu matanya lentik, lehernya panjang. Gaya berjalannya seperti orang
ingin menari. Rupanya, ia memang seorang penari, penari goyang kepala
yang piawai. Jika menari kepala, lehernya seperti engsel peluru: naik,
turun, maju, mundur, patah-patah, menjulur-julur, dan berputar meliuk-
liuk. Ditimpali dendang table, ia selalu mejadi hiburan di kelas. Kawan,
goyang kepala itu bukan perkara sederhana, tapi semacam cultural
gesture. Jika MVRC Manooj mengoyangkan kepalanya terus-menerus,
artinya ia sedang menghormati kawan bicaranya. Jika ia bergoyang tiga
kali maksudnya: Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Empat kali: Baiklah,
akan kupertimbangkan. Lima kali mematuk-matuk cepat: Aku mau buang
air! (hal 105)
Fokus ke luar pada kutipan tersebut menunjukkan adanya pengenalan
tokoh MVRC Manooj yang lebih dalam yaitu diperkenalkan cirri-ciri fisik,
tingkah laku, dan sikap yang dimilikinya. Tokoh “aku” dipakai oleh pengarang
untuk mendeskripsikan tokoh MVRC Manooj. Jadi, fungsi dari fokus ke luar pada
kutipan di atas adalah sebagai pembentuk tokoh.
Sejak dulu, aku senang mengamati kehidupan. Aku selalu tertarik menjadi
semacam life observer, sejak aku menemukan fakta bahwa sebagian besar
orang tak seperti menemukan fakta bahwa sebagian besar orang tak seperti
bagaimana mereka tampaknya, dan begitu banyak orang yang salah
dipahami. Disisi lain, manusia gampang sekali menjatuhkan penilaian,
judge minded. Aku suka mempelajari motivasi orang, mengapa
berperilaku begitu, mengapa ia seperti ia adanya, bagaimana perspektifnya
atas suatu situasi, apa saja ekspektasinya. Ternyata apa yang ada dalam
kepala manusia seukuran batok kelapa bisa lebih kompleks dari konstelasi
galaksi-galaksi dan kawan, di situlah daya tarik terbesar menjadi seorang
57
life observer. Aku bergairah menemukan kelasku di Sorbonne.
Mahasiswa-mahasiswa dari beragam bangsa di dalamnya membuat
kelasku seperti laboratorium perilaku. Kelasku bukan sekadar ruang untuk
belajar science tapi juga university of life (hal 95).
Fokus ke luar pada kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh “aku”
senang mengamati kehidupan. Tokoh “aku” mendeskripsikan situasi di sekitarnya
yang membuatnya bergairah menemukan kelas di Sorbonne. Mahasiswa-
mahasiswa dari beragam bangsa. Tokoh “aku” dipakai oleh pengarang untuk
mendesripsikan suasana itu. Jadi, fungsi dari focus ke luar pada kutipan di atas
adalah sebagai pembentuk peristiwa.
Ayah melepas kami seperti tak‟kan melihat kami lagi. Bagi beliau, Eropa
tak terbayangkan jauhnya. Ayahku yang pendiam, tak pernah sekolah,
puluhan tahun menjadi kuli tambang. Paru-parunya disesaki gas-gas
beracun, napasnya berat, tubuhnya keras seperti kayu. Ia menatap kami
seakan kami hartanya yang paling berharga, seakan Eropa akan merampas
kami darinya. Air matanya mengalir pelan. Aku memeluk ayahku, ayah
yang kucintai melebihi apapun, tangannya yang kaku merengkuhku.
Betapa aku menyayangi ayahku (hal 48)
Fokus ke luar pada kutipan di atas menunjukkan adanya konflik, yaitu
konflik batin yang mengakibatkan tokoh Ayah berpisah dengan kami. Tokoh
“aku” sebagai anak dari Ayah dipakai pengarang untuk mendeskripsikan peristiwa
perpisahan itu. Jadi, fungsi dari fokus ke luar pada kutipan di atas adalah sebagai
pembentuk alur.
Ia berkulit legam, kurus tinggi, dan berwajah jenaka tipikal orang India.
Bulu matanya lentik, lehernya panjang. Gaya berjalannya seperti orang
ingin menari. Rupanya, ia memang seorang penari, penari goyang kepala
yang piawai. Jika menari kepala, lehernya seperti engsel peluru: naik,
turun, maju, mundur, patah-patah, menjulur-julur, dan berputar meliuk-
liuk. Ditimpali dendang table, ia selalu mejadi hiburan di kelas. Kawan,
goyang kepala itu bukan perkara sederhana, tapi semacam cultural
gesture. Jika MVRC Manooj mengoyangkan kepalanya terus-menerus,
artinya ia sedang menghormati kawan bicaranya. Jika ia bergoyang tiga
kali maksudnya: Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Empat kali: Baiklah,
58
akan kupertimbangkan. Lima kali mematuk-matuk cepat: Aku mau buang
air! (hal 105).
Fokus ke luar pada kutipan di atas tersebut menunjukkan adanya
pengenalan tokoh MVRC yang lebih dalam yaitu diperkenalkan cirri-ciri fisik,
tingkah laku, dan sikap yang dimilikinya. Tokoh “aku” dipakai oleh pengarang
untuk mendeskripsikan tokoh itu. Jadi, fungsi dari fokus ke luar pada kutipan di
atas sebagai pembentuk tokoh.
Hasil pada kutipan-kutipan di atas menunjukkan dalam setiap cerita
seorang pencerita mengenal tokoh lain hanya melalui penampilan luarnya saja.
Dalam hal ini, tokoh “aku” sebagai pencerita melihat tokoh lain tidak masuk ke
dalam jiwa tokoh lain.
4.2.2 Fokus ke dalam
Selalu berkoar-koar sepeti angsa trumpeter, tak lain orang-orang
Inggris, The Brits. Meereka paling meriah dan bermulut besar. Belum
selesai dosen bicara mereka tunjuk tangan: bertanya, berteori, membantah,
mengeluh, protes, atau terang-terangan mengajak bertengkar. Namun,
meski mereka provokatif, konfrontasi mereka beradab. Ini tak lain produk
sekolah yang membiasakan mereka berbeda pendapat secara positif sejak
usia dini (hal 96)
Fokus ke dalam pada kutipan di atas tersebut menunjukkan adanya
pengenalan tokoh orang-orang Inggris yang lebih dalam yaitu diperkenalkan sifat
yang dimilikinya. Tokoh “aku” dipakai oleh pengarang untuk mendeskripsikan
tokoh orang-orang Inggris yang memiliki kepribadian suka bertanya, berteori,
membantah, mengeluh, protes, suka terang-terangan mengajak bertengkar, dan
provokatif. Jadi, fungsi dari fokus ke dalam pada kutipan di atas berfungsi sebagai
pembentuk tokoh.
59
Mulut kami ternganga melihat kaca bulat penutup arloji Swiss
Military itu berguling-guling, berputar mengintari kaki meja, makin lama
putarannya makin lemah lalu terbaring menyedihkan seiring luruhnya
semangat Arai. Mental Arai merosot tajam. Aku diam terpaku, wajah Arai
tegang. Aku menikmati detik-detik kemenangan semanis madu sambil
menahan tawa sehingga rasanya kepalaku akan pecah (hal 215)
Fokus ke dalam pada kutipan di atas tersebut menunjukkan adanya
pembentukan alur yang di tampilkan melalui sikap dan sifat yang dimiliki oleh
tokoh Arai yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku pada tokoh “aku”
temannya. Jadi, fungsi dari fokus ke dalam pada kutipan di atas sebagai
pembentuk alur.
Hatiku dingin waktu berpisah dengan Arai di Bandara Charles de Gaulle.
Ia duduk tak berdaya, wajahnya pucat. Tapi seperti biasa, dalam keadaan
yang paling menyedihkan, ia justru berusaha membesarkan hatiku.
Kutatap mata lelaki simpati keramat yang selalu membelaku itu, dialah
Lone Ranger-ku. Matanya itu, masih mata yang polos. Masih mata anak
kecil sebatang kara yang menjulangku di pundaknya ketika kami bermain
di lapangan memperebutkan bercak-barcak kapuk yang bertaburan. Masih
mata anak kecil yang tanpa kutahu menisik bajuku yang terkoyak,
menjahit kancing-kancing bajuku, dan menyelimutiku ketika aku sedang
tidur.
Kini aku harus terpisah lagi dengannya.
“Be strong, Tonto,” katanya tersenyum.
Aku memeluk pahlawanku itu kuat-kuat. Ia masih berdiri di depanku, tapi
aku telah merindukannya. Dadaku sesak menatap punggung Arai
menjauhiku. Air mata menepi di pelupukku (hal 277)
Fokus ke dalam pada kutipan di atas menunjukkan konflik batin yang
dialami oleh tokoh “aku”. Tokoh “aku” merasakan kehilangan atas kepergian
pahlawannya, Arai. Tokoh “aku” ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh
sahabatnya. Perasaan yang mendalam yang membuat tokoh “aku” merasa dadanya
sesak saat menatap punggung tokoh Arai yang menjauhinya dan air matanya jatuh
dipelupuk.
60
Jadi, fungsi dari fokus ke dalam pada kutipan tersebut sebagai pembentuk
plot, karena konflik merupakan salah satu dari bagian dari plot selain peristiwa
klimaks.
Hasil analisis pemfokusan ke dalam pada kutipan-kutipan di atas
menunjukkan dalam setiap cerita seorang pencerita (tokoh “aku”) mengenal tokoh
lain bukan hanya dari tampilan luarnya saja tetapi mengenal karakter tokoh lain.
Ketika tokoh lain merasakan kedihan, tokoh “aku” turut merasakan apa yang
dialami oleh tokoh lain.
Selain itu, tokoh “aku” juga mengenal tokoh lain dengan watak, sifat,
sikap danperilaku kediriannya. Penilaian-penilaian maupun deskripsi-deskripsi
watak, sifat, sikap dan perilaku kedirian tokoh lain bisa di dapat tentunya karena
tokoh “aku” mengenal dekat dengan mereka.
4.3 Ujaran/Tutur
4.3.1 Penceritaan
4.3.1.1 Menggunakan Wicara Langsung
Pencerita menggunakan kalimat langsung untuk mendeskripsikan yang
dilihat dan ingin dia certitakan. Dari jarak dekat, visi pemandangan mencakup
seluruh objek. Dekatnya visi antara pemandangan dengan segala sesuatu yang ada
dalam cerita menyebabkan pemandangan merasa bahwa ia berada di tengah-
tengah cerita. Ia merasa bahwa segalanya benar-benar terjadi. Hal itulah yang
ingin ditularkan kepada pembaca. Kemudian tugas penceritalah yang akan
menyampaikan segala yang terjadi kepada pembaca.
61
Berikut adalah kutipan dari Novel Edensor yang memakai wicara
langsung.
Hatiku dingin waktu berpisah dengan Arai di Bandara Charles de Gaulle.
Ia duduk tak berdaya, wajahnya pucat. Tapi seperti biasa, dalam keadaan
yang paling menyedihkan, ia justru berusaha membesarkan hatiku.
Kutatap mata lelaki simpai keramat yang selalu membelaku itu, dialah
Lone Ranger-ku. Matanya itu, masih mata yang polos. Masih mata anak
kecil sebatang kara yang menjulangku di pundaknya ketika kami bermain
di lapangan memperebutkan bercak-barcak kapuk yang bertaburan. Masih
mata anak kecil yang tanpa kutahu menisik bajuku yang terkoyak,
menjahit kancing-kancing bajuku, dan menyelimutiku ketika aku sedang
tidur (hal 277).
Wicara langsung pada kutipan di atas menunjukkan situasi konflik yang
dialami oleh tokoh Ikal. Suasana yang dihadapi tokoh Ikal dalam kutipan di atas
mendeskripsikan situasi konflik yang dialami tokoh Ikal. Konflik batin tentang
sebuah kesedihan ketika berpisah dengan tokoh Arai di Bandara Charles de
Gaulle. Selain mengungkapkan konflik batin yang dialami tokoh “aku”, kutipan di
atas juga berfungsi sebagai pengungkap peristiwa. Jadi, fungsi wicara langsung
pada kutipan di atas adalah sebagai plot karena konflik dan peristiwa merupakan
bagian dari plot.
Aku kembali ke apartemen dan semuanya terasa hampa. Ruangan tiba-tiba
menjadi terlalu besar. Kemudian hari demi hari kulalui dengan
menceburkan diri dalam risetku. Terutama untuk mengatasi kehilanganku
akan Arai.
Cobaan hidupku makin tambah berat waktu Maurent memanggilku,
mengabarkan berita buruk lagi.
“Profesor Tunrbull akan pensiun. Ia mau pulang kampung dan bekerja di
sana, di Sheffield, Inggris.”
Aku tercengung lesu.
Kalau tak ingin hilang waktu, ikut saja exchange program, pindah ke
Sheffield Hallam University, lanjutkan risetmu dengannya.
62
Wicara langsung pada kutipan di atas menunjukkan suasana latar tempat
oleh tokoh “aku” yaitu Maurent yang mengabarkan bahwa Profesor Turnbull akan
pensiun dan akan pulang kampung dan bekerja disana yaitu di Sheffield, Inggris.
Tokoh “aku” menunjukkan pada tokoh lain tentang tempat itu, yang kemudian
ditanggapi oleh tokoh lain yaitu Ikal untuk menuju tempat tersebut. Jadi, wicara
langsung kutipan di atas berfungsi sebagai latar tempat.
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan dalam setiap dalam setiap cerita
hadir seorang pencerita yang melaporkan percakapan para tokoh sebagaimana
adanya, tanpa mengubahnya dan dalam bentuk dialog yang berupa kalimat
langsung atau wicara langsung. Tokoh “aku” berada di dalam peristiwa dan
melaporkan apa yang dilihat dan disampaikan kepada pembaca sebagaimana
adanya.
Pencerita menirukan aliran pikiran atau percakapan tokoh yang ingin
disampaikan melalui kata demi kata. Percakapan tokoh diapit oleh tanda (“….”),
tanda petik dalam Tata Bahasa Indonesia merupakan penanda kalimat langsung
atau dalam hal ini dapat disebut ujaran langsung/wicara langsung.
4.3.1.2 Menggunakan Wicara Alihan/Ujaran yang Disesuaikan
Penulis/pengamat melihat segalanya dari jarak dekat. Namun, pencerita
tidak memberikan mandatnya pada tokoh untuk mengemukakan cerita, melainkan
dirinya sendiri yang berperan. Meskipun demikian, ia berusaha agar dapat
menyampaikan cerita “sedekat mungkin” (seolah-olah cerita itu nyata). Pencerita
tidak menggunakan wicaranya sendiri, pencerita tidak hanya mengemukakan
63
peristiwa, melainkan juga pemandangan tokoh, pemikiran mereka, dan
sebagainya.
Wicara alihan banyak digunakan pencerita dalam mengemukakan
peristiwa, dari pemandangan tokoh maupun pikiran mereka. Jadi, wicara yang
ditampilkan oleh pencerita dalam bentuk wicara yang dialihkan. Tokoh “aku”
sebagai pencerita mereproduksi ujaran tokoh dan sekaligus tentang yang ia
ceritakan. Namun, ia tidak menggunakan wicaranya sendiri melainkan
menggunakan wicara tokoh lain yang dialihkan menjadi wicaranya sendiri.
Mashood benar-benar mengagumi sang Imam. Sampai-sampai berkeringat
ia menceritakannya. Ia membekap dadanya, meredakan detak jantungnya,
bersusah payah mematut-matut kalimatnya.
“Selain pahlawan perang,ia juga seorang hafiz, ia hafal Al-Qur‟an!
Dapatkah kau bayangkan itu? Tahukah engkau berapa ratus lembar Qur‟an
itu? Ludes di luar kepalanya! Yeee….. hebat bukan buatan imam itu. Ia
disegani Imam Masjid mana pun, disegani siapa pun, bahkan Pemerintah
Austria takut padanya.”
Hebat nian, siapakah Imam itu?
“Gedung putih juga takut! Understand! Yeee….”
Kami manggut lagi.
“Very very good!”
Wicara alihan pada kutipan di atas menunjukkan adanya alur melalui sikap
dan tingkah laku tokoh “aku” yang menceritakan tentang hebatnya seorang Imam
yang juga seorang hafiz yang disegani oleh Imam masjid mana pun, disegani siapa
pun, bahkan Pemerintah Austria takut padanya. Jadi, wicara alihan ini berfungsi
sebagai penunjuk alur.
Ibunda guru Muslimah Hafsari, adalah guruku yang pertama. Dulu, waktu
aku masih SD, beliau pernah berpesan kepada kami, murid-muridnya, para
Laskar Pelangi, “Jika ingin menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga
hal ini: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Qur‟an, dan berkelana.” Aku
paham sekolah dan membaca Qur‟an dapat mengubah orang karena di
sanalah tersimpan kristal-kristal ilmu. Baru di sini, di Rumania, aku dapat
menggenapi arti pesan itu (hal 228)
64
Wicara alihan pada kutipan di atas menunjukkan adanya alur melalui sikap
dan tingkah laku tokoh “aku” yang menceritakan guru SD-nya yang berpesan
kepada murid-muridnya, para Laskar Pelangi, jika ingin menjadi manusia yang
berubah, jalanilah tiga hal ini: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Qur‟an, dan
berkelana. Jadi, wicara alihan ini berfungsi sebagai penunjuk alur.
4.3.2 Kehadiran Pencerita
4.3.2.1 Pronomina
Pronomina persona memiliki status istimewa dibandingkan dengan tindak
pengujaran. Pronomina persona merupakan unsur pokok bahasa yang
memungkinkan pembicara untuk menampilkan wicaranya sendiri. Moeliono
(1988:170) menyatakan bahwa, pronomina yang dipakai untuk mengacau ke
orang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri-pronomina persona pertama,
mengacu pada orang yang diajak bicara-pronomina persona kedua, ata mengacu
pada orang yang dibicarakan-pronomina persona ketiga.
Dalam novel Edensor banyak ditemukan mengacu pada pencerita
pronominal “aku” sebagai petunjuk pencerita atau yang menceritakan banyak
muncul baik sendiri atau terlibat percakapan. Tokoh aku sebagai pencerita muncul
baik sebagai idividu atau makhluk sosial berperan bersama-sama dengan tokoh
yang diceritakan dalam ceritanya.
“Aku” dan “kami” muncul sebagai orang yang sama.
Aku takjub melihat perkembangan rencana kami karena kami sendiri
belum tahu akan diapakan oleh Famke Somers. Bahkan Ninochka ikut
bertaruh, walau aku menduga, ia nekat karena tak tahan ditinggalkan
Gonzales dan MVRC Manooj selama musim panas. Hanya dua orang itu
sahabat karibnya. Ide-de sinting memang selalu memiliki dua dimensi:
dicemooh atau diikuti orang-orang frustasi.
65
Kami langsung menyusun aturan pertaruhan. Sederhana saja: yang dapat
menempuh paling banyak kota dan negara, dialah pemenang. Kehadiran di
setiap kota dibuktikan dengan meng-up load foto digital ke yahoophoto
sehingga dapat dipantau lewat internet. Hukuman bagi yang kalah, yang
menempuh paing sedikit-kota dan negara, amat mengerikan, yaitu
mengurus laundry peserta selama tiga bulan, membayar cover charge
untuk clubbing, dan yang paling mengiriskan, harus menuntun sepeda
secara mundur dari museum legendaris Le Louvre ke gerbang L‟Arc de
Triomphe melintasi kawasan paling prestisius di Paris: L‟Avenue des
Champs-Elysees. Sepeda yang dituntun akan digantungi pakaian-pakaian
rombeng. Pasti tak tertanggungkan malunya ditonton, dipotret turis, dan
jika apes ditanyai polisi, lalu diborgol, atau diciduk petugas dinas sosial,
disangka edan, dan dicekoki obat pelembut perangai xanax.
Membayangkannya saja aku tak berani (hal 172).
Pada kutipan di atas “aku” dan “kami” muncul dipergunakan sebagai
pembentuk alur cerita. “aku” dipakai untuk menceritakan peristiwa saat aku
menyusun aturan rencana pertaruhan. Lalu, kemunculan kata “kami” dipakai
untuk menceritakan hubungan pertemanan antara tokoh “aku” dengan para peserta
yang mengikuti taruhan.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ada penunjukan persona orang
pertama tunggal (aku) dan penunjukkan orang pertama jamak (kami). Dalam hal
ini, orang bercerita adalah tokoh “aku”.
“aku” muncul sebagai orang yang berbeda.
Hopkins Turnbull, professor yang amat terhormat, dan supervisor tesisku,
susah payah menahan murka waktu aku masuk ruangannya. Mungkin
hanya karena ia menganggap dirinya Saksi Jehova yang taat sehingga
serapah terkunci di tenggorokannya.
“Tidakkah kau merasa dirimu berlibur terlalu lama, young man?!”
Mengingat reputasi Turnbull, kalimat itu seyogyanya lebih dari cukup
untuk membuatku malu. Tak tahu diuntung. Siapa sih aku ini sehingga
pantas disindirnya macam begitu? Karena itu, aku bungkam seribu bahasa
saat ia menumpukiku dengan puluhan bacaan wajib dan setimbun tugas uji
statistik.
Profesor Turnbull sudah sepuh. Ia sering mengaku, “Aku sudah tak punya
energi untuk soal remeh temeh akademik yang dasar-dasar.” (hal 275)
66
Pada kutipan di atas sama-sama menyebut tokoh “aku” tetapi yang hadir
dua tokoh. Tokoh “aku” yang pertama menceritakan tentang tokoh yang sangat
penting baginya. “aku” yang kedua menceritakan tentang tokoh yang sudah tak
mempunyai energi untuk soal remeh temeh akademik yang dasar-dasar.
Oradea sampai ke Birad, itu artinya Rumania dari ujung ke ujung. Kami
bertanya, apa gerangan profesinya hingga ia masyhur.
“Akhu adhalah seorhang pembasymi kechoa.”
Pak Toha ke mana-mana membawa tabung pestisida karena ia adalah
seorang insect exterminator. Pekerjaan mengusir tikus, nyamuk, rayap,
kecoa, dan berbagai serangga pengganggu rumah. Dengan rendah hati dan
humor khas Banyumas, ia memarginalkan dirinya sebagai pembasmi
kecoa saja. Pak Toha ternyata juga seorang ahli elektronik. Dulu, sebelum
hengkang dari Indonesia, ia tukang reparasi elektronik. Kami penasaran
melihat benda kecil berbatere lima volt rakitannya sendiri, ia memencet
tombol on.
“Bhukanh syulhap, bhukanh syihir, he…he…he…!”
Mulanya tak terjadi apa-apa. Tapi lambat laun dari sela-sela rangka
perosotan, dari balik papan ayunan anak-anak, dari dalam ban-ban mobil
pengaman benturan, kulihat beberapa ekor kecoa berputar-putar
kebingungan. Lalu aneh bin ajaib! Kecoa-kecoa itu mendekati perangkat
kecil ciptaan Pak Toha. Belasan jumlahnya. Mereka mengerumuni benda
itu, lalu dengan satu gerakan tangkas yang terlatih, Pak Toha memencet
kepala slang tabungnya, dua detik kemudian kecoa-kecoa bergelimpangan,
tertungging-tungging seperti ekstremis dibedil Kumpeni. Aku terpana (hal
225-226)
Pada kutipan di atas sama-sama menyebut tokoh “aku” tetapi yang hadir
dua tokoh. Tokoh “aku” yang pertama adalah tokoh sentral sebagai pencerita,
tetapi tokoh “aku” yang kedua menceritakan tentang tokoh yang terpana kepada
tokoh tersebut.
Pronomina “dia” digunakan untuk menunjuk tokoh yang diceritakan.
Kami bergegas menuruni tangga yang curam menuju metro, kereta
underground. Seorang pria berkulit gelap meneguk kopi dari cangkir besar
dalam sebuah booth. Setiap benda yang ia perlukan berada dalam
jangkauannya. Ia menerima kami sebagai pembeli tiket pertama. Ia ramah
dan aku langsung terkena imbas pertikaian ratusan tahun Inggris dan
67
Prancis. Apa pun yang kutanyakan dalam bahasa Inggris, dijawabnya
dengan bahasa Prancis.
“Dua tiket, my friend. Tiket apa punyang menuju Menara Eiffel.”
Dia tergelak (hal 77)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ada penunjukkan persona orang
ketiga yang diceritakan oleh seseorang. Dalam hal ini, orang yang bercerita adalah
tokoh”aku”.
Maurent memandang ke luar jendela. Jika diamati dengan teliti, ia adalah
perempuan yang atraktif. Pertama, aku tertarik pada tasnya. Diam-diam,
aku mengembankan semacam keahlian menilai perempuan dari tas
mereka. Tas itu Fendi, maka jelas ia punya cita rasa, juga punya uang.
Tasnya bergaya clutch, talinya pendek dan dipakai dengan cara
disandangkan ke bahu. Body tas diapit di bawah ketiak, sehingga
pemakainnya separti mengokoang senapan. Pengamatanku menunjukkan
bukti bahwa yang senang memakai tas clutch seperti itu memiliki
gabungan kepribadian maskulin dan feminine. Mereka selalu siap, terbuka
namun menjaga jarak, berpikir untuk menilai situasi, dan penuhantisipasi.
Mengesankan.
Kedua, adalah kenakalan yang kusembunyikan jauh di dalam hati,
sehingga Maurent sendiri tak tahu bahwa aku selalu berusaha agar dia
menyebut namanya berulang-ulang (hal 83)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ada penunjukkan persona orang
ketiga yang diceritakan oleh seseorang. Dalam hal ini, orang yang bercerita adalah
tokoh”aku”.
Naomi stanfield, lebih senang dianggil nama belakangnya Standfield,
dialah dedngkot The Brits. Seperti kebanyakan orang Inggris, sikapnya
primodial. Perangai itu ia kibarkan lewat makian British kebanggaanya:
bolllock! Jika mood-nya sedang encok, ia sebutkan: bloddy moron!
Stanfield seorang perempuan yang trendy. Orang Inggris sendiri menjuluki
orang seperti dia sebagai a dedicated followers of fashion, orang yang
berkejar-kejaran dengan mode, kira-kira begitu (hal 96)
68
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ada penunjukkan persona orang
ketiga yang diceritakan oleh seseorang. Dalam hal ini, orang yang bercerita adalah
tokoh”aku”.
4.3.2.2 Variasi Medan Leksikal
Unsur lain yang dapat memperlihatkan jejak penceritaan adalah variasi
medan leksikal yang dipilihnya. Medan leksikal sering kali merupakan penunjuk
“sesuatu” untuk menemukan gagasan tersembunyi yang sebenarnya inti karya.
Jaringan leksikal itu sekadar meninggalkan jejak pencerita, tetai pada tataran yang
lebih tinggi memberikan imaji tentang publik pembaca yang ingin ditujunya.
Seperti halnya pengulangan-pengulangan yang berlebihan dirasakan sebagai
mengandung maksud tertentu. Pada umumnya, pengulangan digunakan untuk
menekankan gagasan yang terdapat di dalam karya tersebut.
Pengulangan terjadi pada beberapa kata dalam setiap bagian ceritanya.
Pengulangan itu tidak terlalu sering, tetapi dengan mencermati masalah tema-tema
yang diangkat. Pengulangan kata itu menunjukkan sebuah kata yang ditekankan
oleh pencipta karya. Seolah-olah pengarang ingin menegaskan kata tersebut
dengan diulang-ulang dalam setiap cerita.
Berikut ini adalah kata atau kalimat yang diulang-ulang dalam novel
Edensor.
Aku terkejut. Enak saja, tidak adil. Ayahku membawa kebaikan untuknya
dan ia sama sekali tak punya basa-basi. Dia bisa menakuti siapa saja,
bukan aku. Weh meradang, meradang aku bergeming.
“Keras kepala! Mirip sekali ibumu!” (hal 3)
“Keras kepala!
“Keras kepala, seperti ibumu!
“Kau bisa tewas tak berguna!”
69
Weh menatapku tajam. Aku tahu ia membacaku. Ku angkat wajahku, tak
kusembunyikan siaa diriku. (hal 7)
“Ibumu , perempuan yang keras pendiriannya……
“Kau tahu, Ikal? Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul setengah dua belas
malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu sakit perut, tapi tak sedikit pun
ia mau mengejan.”
“Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti kawat! Aku marah
besar!”
Aku tegang menyimak.
Kumarahi lagi ibumu: „Apa maumu Nyi?! Keluarkan bayimu! Sekarang!‟
(hal 14-15)
Kutipan di atas menggambarkan pengenalan sifat melalui sikap yang
ditonjolkan tokoh lain oleh tokoh “aku” sebagai pencerita. Tokoh yang diceritakan
adalah ibu dari tokoh “aku”, seorang ibu yang keras wataknya jika mempunyai
keinginan, sangat keras wataknya seperti kawat.
Tokoh yang belum dikenal oleh pembaca akan menjadi kenal dan akrab
jika pembaca dapat menemukan dan mengidentifikasi adanya kesamaan sifat,
watak, dan tingkah laku pada bagian-bagian selanjutnya. Kesamaan itu disajikan
dengan teknik yang berbeda-beda seperti teknik dialog, tidakan, ataupun dengan
teknik yang lainnya. Sifat, sikap, watak, dan tingkah laku seorang tokoh yang
diulang-ulang untuk menekankan sesuatu yang menonjol pada diri tokoh sehingga
pembaca dapat memahami dengan jelas. Jadi, prinsip pengulangan ini digunakan
untuk mengenalkan tokoh dengan pembaca supaya lebih akrab.
70
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Analisis sudut pandang novel Edensor menggunakan teknik penceritaan
akuan yang berfungsi sebagai pemandangan maupun pencerita cerita di dalamnya.
Pada analisis ini ditemukan tiga hal yaitu (1) Luasnya pandangan meliputi: a)
Pandangan dari luar, dan b) Pandangan dari dalam, (2) Kedalaman/tingkat
ketajaman pandangan yang meliputi: a) Fokus ke dalam, dan b) Fokus ke luar, dan
(3) Ujaran/tuturan yang meliputi: a) Penceritaan (menggunakan wicara langsung
dan wicara alihan/ujaran yang disesuaikan), dan b) Kehadiran pencerita
(pronominal dan variasi medan leksikal).
Pemakaian sudut pandang pada novel Edensor ternyata bisa disiasati oleh
pengarang untuk menggambarkan tindakan-tindakan tokohnya, dan bisa
mengungkapkan pikiran yang ada pada diri tokoh. Sudut pandang, oleh pengarang
bisa dipakai untuk memandang kehidupan tokoh secara fisik maupun secara
kejiwaan. Selain itu, tuturan tokoh bisa dipakai untuk melihat sudut pandang yang
dipakai oleh pengarang. Selain itu, novel Edensor setelah dianalisis sudut
pandangnya yang meliputi luasnya pandangan, kedalaman/tingkat ketajaman
pandangan, dan ujaran/tuturan dapat dipergunakan untuk mengungkap unsure-
unsur lain dalam cerita-cerita tersebut seperti unsur latar tempat, latar waktu,
peristiwa, konflik batin, konflik sosial, dan tingkah laku, sifat, dan sikap tokoh.
71
5.2 Saran
1. Karya sastra seperti cerpen, novel, puisi, maupun jenis karya sastra lainnya
yang memakai teknik penceritaan akuan sebaliknya lebih ditingkatkan lagi
karena dapat menghidupkan suasana dan kedekatan tau keintiman antara
pencipta karya dengan pembacanya.
2. Penelitian terhadap para penulis muda, seperti Andrea Hirata, hendaknya di
tingkatkan lagi, karena dari penelitian-penelitian tersebut akan ditemukan para
penerus pecinta sastra yang berbakar.
72
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995 a. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
............... 2003 c. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Devi, Wika Soviana. 2010. Karakter Tokoh Ikal Dan Lintang Dalam Novel
‟Laskar Pelangi‟ Karya Andrea Hirata Dan Kelayakannya Sebagai Bahan
Pembelajaran Sastra Di SMA. Skripsi: Universitas Negeri Semarang.
Djaja Sudarman, Fatimah. 1999. Semantik 2. Bandung: Refika Aditama.
Hardanta, FX. 2009. ‟Penokohan Dalam Novel ‟Pertemuan Dua Hati‟ Karya NH.
Dini Dan Kemungkinannya Sebagai Bahan Ajar Di SMA‟. Skripsi:
Universitas Negeri Semarang.
Hidayati, Fia Nurul. 2010. ‟Unsur Intrinsik Dalam Serial Novel Kafe Gaul 1 La
Tansa Male Cafe Karya Nurul F.Huda Serta Kemungkinannya Sebagai
Bahan Ajar Bagi Siswa Kelas VIII‟. Skripsi: Universitas Negeri Semarang.
Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang.
http:// www.sportainment.com/2009/10/. Laskar Pelangi The Movie. Diunduh 6
Juli 2009 pukul 21:00 WIB.
http:// www.edensor.com/2009/10/. Artikel Tentang Novel Edensor. Diunduh
10 Juli 2009 pukul 21.45 WIB.
Jabrohim (Ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha
Widia.
Luxemburg, Jan Van, Dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Oka dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Putra, Heddy Shi Ahimsa. 2001. Strukturalisme Levis-Strauss Mitos dan Karya
Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
73
Sukarniwati, Amin. 2010. ‟Tokoh Utama Dalam Novel ‟Namaku Hiroko‟ Karya
NH. Dini Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA‟.
Skripsi: Universitas Negeri Semarang.
Suryana, Yana. 2009. ‟Sudut Pandang Dalam Novel Laskar Pelangi Karya
Andrea Hirata‟. Skripsi: Universitas Negeri Semarang.
Suharianto, S. 2005. Dasar-Dasar Teori Sastra. Semarang: Rumah Indonesia.
Wibawa, Muhammad Heru. 2009. „Watak Dan Perilaku Tokoh Utama Dalam
Novel „Sang Pemimpi‟ Karya Andrea Hirata. Skripsi: Universitas Negeri
Semarang.
74
Lampiran
SINOPSIS
Edensor adalah novel ketiga karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh
Bentang Pustaka pada tahun 2007. Novel ini menceritakan tentang kehidupan Ikal
dan Arai dari SMA, sampai Ikal dan Arai mendapatkan beasiswa untuk kuliah di
diluar negeri dan mendapatkan pengalaman-pengalaman kehidupan yang sangat
berharga dari orang-orang yang dekat dengannya. Edensor adalah nama sebuah
tempat, desa khayalan dalam novel kenangan yang diberikan A Ling kepada Ikal.
A Ling adalah cinta pertama Ikal.
Ikal adalah tokoh “aku” dalam novel Edensor yang juga tokoh dalam
Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Ia adalah salah satu anggota dari Laskar
Pelangi yang memiliki ciri fisik berambut ikal yang kemudian menjadi nama
panggilannya. Beranjak dari kisah nyata pengalaman hidup di masa lalunya,
Andrea Hirata menjelma menjadi tokoh Ikal dalam sudut pandang “aku”. Tokoh
Ikal dalam novel ini adalah tokoh sentral yang menceritakan situasi kehidupan
masyarakat di sekelilingnya.
Aria adalah sepupu jauh Ikal yang menjadi yatim piatu diusia delapan
tahun dan diangkat anak oleh orang tuanya Ikal. Ikal memanggil Arai dengan
sebutan Lone Ranger dan Arai memanggil Ikal dengan sebutan Tonto. Mereka
menjadi partner in crime. Sejak saat itulah mereka selalu bersama, sampai mereka
mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri yaitu di Sorbonne Prancis dan sampai
mereka bisa berpetualang keliling Eropa dan Afrika dengan mengamen menjadi
manusia patung. Mereka berpisah lagi karena Arai pulang ke Indonesia karena
menderita penyakit.