MAKALAH Pengendali Ekosistem Hutan
ANALISA PERKEMBANGAN KONDISI BANTENG (Bos javanicus)
DI TAMAN NASIONAL BALURAN
Oleh : Nama : Mochammad Yusuf Sabarno NIP : 710031517
TAMAN NASIONAL BALURAN 2007
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 1
ANALISA PERKEMBANGAN KONDISI BANTENG (Bos javanicus)
DI TAMAN NASIONAL BALURAN
I. PENDAHULUAN
Satwa liar yang ada di Taman Nasional Baluran mempunyai nilai
yang sangat penting dan strategis. Potensi fauna tersebut harus dijaga
kelestariannya guna mendukung keseimbangan proses ekosistem yang
berlangsung. Banteng (Bos javanicus), kerbau liar (Bubalus bubalis) dan rusa
(Cervus timorensis) merupakan bagian dari satwa liar yang yang
mempunyai peranan penting bagi eksistensi Taman Nasional Baluran.
Seiring berjalanannya waktu telah terjadi perubahan‐perubahan
dan perkembangan kondisi kawasan secara umum yang mempengaruhi
kehidupan satwa liar. Berbagai faktor tersebut berpengaruh terhadap pola
perilaku dan pergerakan satwa. Diantaranya yaitu dengan terbatasnya
sumber air minum satwa di musim kemarau, perburuan liar dan aktivitas
masyarakat di dalam hutan. Beberapa faktor tersebut termasuk parameter
dalam dinamika populasi. Dengan adanya perubahan pola perilaku dan
pergerakan satwa tersebut mengakibatkan kerawanan‐kerawanan yang
semakin meningkatkan penurunan jumlah populasi satwa.
Diantara beberapa satwa mamalia besar yang terdapat di kawasan
Taman Nasional Baluran, salah satu potensi fauna yang dijadikan mascot
(icon) adalah banteng (Bos Javanicus d’Alton), sehingga menjadi perhatian
khusus dalam pengelolaannya. Status perlindungan satwa banteng
berdasar Red Data Book ‐ IUCN (1978) yang termasuk dalam katagori
vurnerabel (rawan). Oleh karena itu berbagai hal yang termasuk dalam
aspek populasi, perilaku, penyebaran dan habitat banteng perlu
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 2
pengkajian yang lebih mendalam. Akan tetapi tidak mengesampingkan
potensi kawasan lain yang juga memerlukan pengelolaan secara serius.
Kecenderungan penurunan populasi satwa mamalia besar di Taman
Nasional Baluran, sangat mempengaruhi secara keseluruhan kondisi
kelestarian ekosistem kawasan. Terdapat banyak faktor dan kondisi yang
berpengaruh nyata terhadap terjadinya perubahan kondisi ini. Dari
berbagai faktor tersebut saling berhubungan dan terjadi
berkesinambungan, sehingga dirasakan sangat rumit dan sulit dalam
pemecahan permasalahannya.
Dalam tulisan ini, penulis bermaksud menyampaikan analisa
sederhana terhadap kondisi yang terjadi dan berupaya mencari alternatife
pemecahan masalah, sehingga langkah‐langkah pengelolaan satwa liar
dapat belangsung lebih baik.
II. KONDISI POPULASI
Upaya pelestarian terhadap satwa liar dalam suatu kawasan insitu,
seperti yang dilakukan dalam system pengelolaan kawasan taman
nasional, salah satu indicator keberhasilannya yaitu semakin
meningkatnya populasi satwa tersebut sesuai dengan kapaitas daya
dukung kawasan tersebut.
Perkembangan populasi satwa mamalia besar di Taman Nasional
Baluran dapat diketahui salah satunya dengan pelaksanaan monitoring
satwa berupa sensus. Dari beberapa sensus mamalia besar (terutama
banteng dan kerbau liar) yang pernah dilaksanakan, diharapkan
merupakan representasi dari kondisi populasi satwa liar tersebut.
Upaya monitoring populasi satwa mamalia besar telah banyak dilakukan
mulai sejak dahulu, bahkan ketika status kawasan berupa suaka
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 3
margasatwa. Berikut ini disampaikan informasi kondisi populasi satwa
pada periode 1941 hingga 1997.
Tabel. Informasi hasil sensus satwa mamalia besar periode 1941 ‐ 1997
No Jenis Satwa Tahun1941/48/52/68 1980 *4 1996 1997
1. Banteng 50 – 100 *1 100 – 150 *2
113 312 – 338 282
2. Kerbau liar + 100 *3 343 248 – 441 226 3. Rusa Tidak
teridentifikasi 209 2994 4036
Keterangan : *1 : Menurut Rappard (1948), Preffer (1968) *2 : Menurut Hogerwerf (1955) *3 : Menurut Ammar (1984) *4 : Menurut Laporan tahun 1941 dalam Ammar (1984) Menurut Anonimous (1989), pada periode tahun 1985 – 1989 telah
dilaksanakan kegiatan penjarangan kerbau liar yang dilaksanakan dalam
beberapa tahapan dan metode.
Tabel. Hasil kegiatan penjarangan kerbau liar periode tahun 1985 ‐ 1989
No Periode waktu Jumlah Hasil Penjarangan Keterangan 1. Tahun 1985 182 ekor Info dari Harian
Jawa Pos (1985) Mati : 19 ekor
2. Tahun 1989 205 ekor Mati : 30 ekor
Sedangkan berdasarkan informasi kegiatan sensus mulai tahun 2000,
2002 dan 2006, diketahui pendugaan populasi sebagai berikut :
Tabel. Informasi hasil sensus periode tahun 2000 ‐ 2006
No Jenis Satwa Tahun2000 *1 2002 *2 2006 *3
1. Banteng 219 – 267 81 – 115 25 2. Kerbau liar 48 – 64 19 – 29 113. Rusa Tdk terident Tdk terident Tdk trident
Keterangan : *1 : Menurut Anonimous (2000), sensus metode Consentration Count, dengan
sumber air/kubangan tempat minum satwa. Pengamatan selama 3 hari (3 kali
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 4
ulangan), periode pengamatan pukul 16.00 – 06.00 serta melibatkan sejumlah 50 personil pengamat (rata‐rata 2 pengamat per titik). Jumlah titik pengamatan 24 buah, tersebar di Wilayah Bekol : 16 titik, Pandean : 3 titik, Karangtekok : 5 titik. Sedangkan jumlah titik pengamatan yang ditemukan satwa target (banteng dan kerbau liar) adalah; wilayah bekol : 15 titik, Pandean : 2 titik dan karangtekok : nihil.
*2 : Menurut Anonimous (2002), metode Consentration Count, dengan sumber air/kubangan tempat minum satwa. Pengamatan selama 4 hari (4 kali ulangan), periode pengamatan pukul 17.00 – 05.00. Jumlah titik pengamatan 13 buah, melibatkan sejumlah 26 personil pengamat (rata‐rata 2 pengamat per titik).
*3 : Menurut Anonimous (2006), metode Consentration Count di sumber air/kubangan tempat minum satwa (3 kali ulangan) dan penjelajahan kawasan di sepanjang sungai Bajulmati (1 kali ulangan). Periode pengamatan terkonsentrasi pukul 17.00 – 05.00. Jumlah titik pengamatan 11 buah, melibatkan sejumlah 22 personil pengamat.
Kegiatan sensus mamalia besar tersebut sebaiknya dilakukan setiap
tahun atau dalam selang periode waktu yang tetap (misal tiap 2 tahun).
Akan tetapi yang dilaksanakan oleh Taman Nasional Baluran selama
periode tahun 2003 hingga 2005 tidak dilaksanakan sensus.
Walaupun dengan metode yang sama, akan tetapi kondisi
pelaksanaan kegiatan yang berbeda (jumlah titik pengamatan), dapat
diketahui terjadi penurunan angka populasi satwa terhitung dalam
kegiatan tersebut, yang merupakan gambaran kondisi populasi satwa
banteng dan kerbau liar di kawasan Taman Nasional Baluran. Selain
informasi hasil sensus tersebut, didukung oleh informasi dari petugas di
lapangan yang menyatakan terjadi penurunan frekuensi perjumpaan
satwa.
Semakin menurunnya populasi satwa mamalia besar tersebut
merupakan suatu keprihatinan yang sangat mendalam. Sehingga
diperlukan suatu kajian yang menyeluruh terhadap kondisi ini sesegera
mungkin, sehingga diperoleh langkah‐langkah dan alternatif upaya dalam
memperbaiki serta meningkatkan populasi satwa.
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 5
III. KONDISI HABITAT
Dalam pengelolaan populasi satwa liar, terutama banteng, upaya
menjaga kelestarian habitat satwa tersebut merupakan hal yang sangat
penting, karena akan menentukan kelangsungan kehidupan dan
keberadaan populasi satwa di suatu kawasan. Habitat juga berarti suatu
ekosistem, sehingga untuk menjamin kelestarian habitat berarti
kelangsungan dari setiap hubungan di dalam sistem tersebut harus
dipertahankan. Kondisi habitat masing‐masing satwa liar berbeda antara
satu dengan jenis yang lainnya, akan tetapi mempunyai fungsi yang sama
yaitu sebagai penyedia makanan, sumber air dan tempat berlindung
(cover). Yoakum (1971) dalam Alikodra (1979) menyebutkan bahwa
komponen habitat terpenting untuk kehidupan margasatwa terdiri dari
makanan, air dan cover. Makanan dan air merupakan factor pembatas
kehidupan margasatwa, sedangkan cover, selain sebagai tempat hidup
dan berkembangbiak juga sebagai tempat bersembunyi atau berlindung
dari serangan musuh. Begitu juga halnya dengan banteng, komponen‐
komponen tersebut membentuk satu kesatuan dan dimanfaatkan oleh
satwa.
Menurut Alikodra dan Palete (1980), banteng sangat menyukai
fungsi dan komponen lingkungan hidup yang meliputi :
• Hutan alam primer dipergunakan banteng sebagai tempat
berlindung dari serangan musuh/predator, tempat istirahat, tempat
tidur dan tempat berkembang biak.
• Padang rumput/savana. Paling baik terletak pada daerah yang
berbukit sampai datar serta dibatasi oleh hutan alam primer ke
arah darat dan hutan pantai/payau ke arah laut.
• Sumber air. Padang rumput juga harus berdekatan dengan sumber
air.
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 6
• Hutan pantai atau hutan payau sebagai “buffer zone”, yaitu
sebagai pencegahan intrusi garam ke arah darat dan tempat
berlindung atau beristirahat.
• Air laut, sangat penting untuk keperluan hidup guna mencukupi
kebutuhan mineral bagi satwa banteng, sebagaimana yang
dilakukan oleh beberapa herbivora besar.
Dari komponen‐komponen tersebut diatas, semuanya dapat ditemukan di
TN Baluran. Oleh karena itu, berdasarkan kondisi kawasan merupakan
lokasi yang sangat cocok sebagai habitat banteng.
IV. FAKTOR‐FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
PENURUNAN POPULASI BANTENG (Bos javanicus)
Kecenderungan penurunan populasi satwa mamalia besar di Taman
Nasional Baluran dipengauhi oleh banyak faktor penyebab. Dari berbagai
faktor tersebut saling berhubungan dan terjadi berkesinambungan,
sehingga diperlukan pengkajian yang mendalam guna menentukan
langkah‐langkah strategis dalam upaya meningkatkan populasi satwa liar,
terutama banteng.
Faktor‐faktor yang berpengaruh terhadap penurunan populasi
banteng (Bos javanicus) antara lain yaitu :
A. Faktor Ketersediaan Air
Kawasan Taman Nasional Baluran merupakan daerah yang terkenal
dengan kondisi kering dengan curah hujan tahunan yang rendah serta
minim akan sumber air. Sebagai kawasan konservasi yang terkenal
sebagai habitat satwa liar, kebutuhan ketersediaan air sangat diperlukan
untuk menopang kelangsungan kehidupan satwaliar tersebut. Sumber –
sumber air di kawasan terbatas berada di beberapa titik yang tesebar
mulai Perengan hingga Bama – Batu hitam yang merupakan mata air yang
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 7
membentuk kubangan‐kubangan alami. Sumber air yang lain berada di
batas kawasan bagian selatan berupa aliran Sungai Bajulmati dan
Klokoran. Sungai tersebut dengan suplai air yang mengalir sepanjang
tahun menjadi sumber air minum satwa alternatif yang sangat potensial
sekaligus mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi terhadap gangguan.
Air dan juga pakan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan
banteng dan satwa liar lainnya. Oleh karena itu, apabila ketersediaan air
di Taman Nasional Baluran semakin berkurang, sangat mempengaruhui
kelangsungan kehidupan satwa liar. Disamping sumber air berupa
kubangan alami, di dalam kawasan terdapat penyediaan air di bak
minum satwa yang sangat tergantung dengan operasional generator
penyedot air dengan konsekuesi dana khusus untuk pengadaan bahan
bakar minyak (solar).
Kondisi ketersediaan air di dalam kawasan pada periode tahun 80 ‐
90‐an cukup terbantu dengan keberadaan sumber air di talpat dan kacip
yang dialirkan ke Bekol secara pipanisasi, yang mana sumber air tersebut
mengalir sepanjang tahun. Akan tetapi dengan kerusakan yang terjadi
pada pipa‐pipa dan bak penampungan serta diperparah dengan
menghilangnya sumber mata air di talpat, mengakibatkan suplai air ke
bekol berkurang dan akhirnya terhenti. Kondisi tersebut sumber air
terjadi sekitar tahun 2002‐2003.
Penurunan kualitas dan kuantitas kubangan alami, salah satunya
disebabkan oleh peran satwa kerbau liar yang hingga kini populasinya
semakin berkurang. Menurut Anonimous (1989), telah dilaksanakan
penjarangan kerbau liar beberapa tahap, pada periode Bulan Februari‐
Oktober 1985 telah ditangkap 162 ekor kerbau liar dijadikan Bantuan
Presiden. Sedangkan periode Bulan Oktober – November 1989 telah
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 8
ditangkap 205 ekor kerbau liar. Oleh karena itu, populasi kerbau liar
sebelum dijarangi mencapai + 1200 ekor ( banteng + 150 ekor ) berkurang
drastis hingga saat sekarang. Suatu dilema dalam pengelolaan kawasan,
yang mengganggap bahwa kerbau liar telah menekan kehidupan banteng,
apabila ada beberapa perilaku kedua satwa tersebut yang bertolak
belakang.
Kerbau liar Banteng
Mempunyai daya adaptasi lebih cepat.
Mempunyai daya adaptasi cukup lambat.
Mempunyai kebiasaan berkubang di lumpur/kubangan untuk mempertahankan suhu tubuh tetap stabil.
Tidak berkubang, memanfaatkan sumber air hanya untuk minum).
Lebih toleran dengan kehadiran manusia.
Bersifat ”pemalu”, lebih sensitif ketika bertemu dengan manusia.
Ketika keberadaan kerbau liar masih cukup banyak ditemukan di
kawasan, berdasarkan perilaku kerbau liar yang sering berkubang
sehingga mempunyai dampak positif bagi terpeliharanya kubangan
(sumber air) tersebut. Pertama, dengan berkubangnya kerbau liar
mengencerkan endapan lumpur yang ada, sehingga titik‐titik sumber
mata air tidak tertutup oleh endapan lumpur. Kedua, endapan lumpur
yang berada di kubangan tersebut dapat terkurangi dan menempel di
tubuh kerbau liar, sehingga volume endapan dapat terkurangi meskipun
ada sedimentasi ketikan musim hujan tiba.
B. Faktor Perubahan Habitat
Seiring dengan perkembangan kondisi kawasan, habitat satwa liar di
Taman Nasional Baluran banyak mengalami perubahan. Perubahan
kondisi habitat tersebut ada yang berdampak positif adapula yang negatif.
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 9
Sebagai kesatuan ekosistem, apabila ada perubahan kondisi suatu bagian
dari kawasan, yang merupakan juga habitat satwa liar akan membawa
pengaruh dan perubahan pada satwa liar tersebut. Beberapa perubahan
habitat tersebut dapat berupa :
1. Perubahan tipe penutupan lahan maupun tipe vegetasi.
Savana, sebagai salah satu habitat utama bagi satwa mamalia
besar terutama banteng, kerbau liar dan rusa, yang ada di Taman
Nasional Baluran pada mulanya tidak terlalu luas dan terpisah‐
pisah. Kemudian akibat kebakaran hutan di kawasan tersebut, areal
savana semakin bertambah luas. Untuk mencegah penyebaran
kebakaran dari savana Bekol ke hutan musim, maka pada tahun 1969
(masih berstatus Suaka Margasatwa) pihak pengelola kawasan
menanam Acacia nilotica sebagai tanaman sekat bakar. Akan tetapi,
menurut Schuurmans (1993) tidak diketahui kapan tepatnya spesies
Acacia nilotica tersebut sudah tersebar ke Taman Nasional Baluran.
Menurut perkiraan tanaman tersebut diintroduksikan ke dalam
kawasan pada awal tahun 1960‐an atau bahkan sebelumnya.
Meskipun Acacia nilotica ditanam sebagai sekat bakar tahun 1969,
namun dari foto yang diambil pada tahun 1980 (termasuk foto
kawasan) hanya menunjukkan adanya sedikit gangguan. Akan tetapi
suatu ekspansi yang cepat terlihat diperkirakan mulai tahun 1983
(Nazif, 1988 dalam Schuurmans, 1993).
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat
mempengaruhi percepatan penyebaran di kawasan TN Baluran.
Hasil pengamatan pada tahun 1981, tanaman Acacia nilotica di Savana
Bekol mempunyai kerapatan 75 batang/Ha (Makmur, 1981 dalam
Ridwan, 1988). Pada tahun 1986 mencapai kerapatan 3.337
batang/Ha, sedangkan pada tahun 1987 kerapatan komulatif dari
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 10
berbagai tingkat pertumbuhan sebesar 5.369 batang/Ha (Ridwan,
1988).
Mengapa tanaman Acacia nilotica di kawasan TN Baluran dapat
berkembang begitu cepat ? Beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap percepatan tumbuh dan penyebaran tanaman eksotik ini
adalah :
• Kondisi alam (tanah, iklim) di Taman Nasional Baluran yang
sesuai untuk pertumbuhan Acacia nilotica. (Singh, 1982 dalam
Schuurmans, 1993).
• Banyak terdapat areal terbuka (padang rumput/savana) yang
mendukung pertumbuhan Acacia nilotica, yang tidak tahan
naungan karena perkecambahan spesies ini sangat
membutuhkan cahaya matahari. Dalam kurun waktu 5 hingga
10 tahun, pohon akasia berduri dapat mencapai ketinggian 3 –
5,5 meter.
• Produksi biji yang sangat banyak. Diperkirakan jumlah
produksi polong bervariasi antara 14 – 1.350 polong per pohon
(rata‐rata 832 polong), dengan rata‐rata biji per polong adalah
10,8 (angka maksimum 17). Umur minimal berbunga untuk
Acacia nilotica diperkirakan 1 – 4 tahun dan produksi biji
melimpah pada umur 5 – 7 tahun (Tybrik, 1989; Doren et all,
1983; Hellinya, 1949 dalam Schuurmans, 1993). Menurut
Schuurmans (1993), jumlah produksi polong bervariasi antara
5.137 ± 4.030 polong per pohon, dengan rata‐rata biji per polong
adalah 9. Jenis tanaman ini juga dilaporkan tidak memiliki masa
istirahat dan berkecambah jika kondisi mendukung.
Seedlingnya dengan cepat membentuk akar utama yang
panjang, yaitu 1,5 m dalam 6 bulan.
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 11
• Acacia nilotica mempunyai ciri khas duri yang banyak dan tajam
pada fase awal pertumbuhannya (seedling) hingga tingkat tiang
(pole) dan sifat tanaman yang tahan api merupakan tingkat
kemampuan adaptasi jenis tersebut di daerah kering dan sering
terjadi kebakaran. Juga tingkat palatable jenis ini bagi
kebutuhan pakan satwa relatif kurang, kecuali di puncak
musim kemarau dan musim masak bauh, herbivora besar
mengkonsumsi polong akasia berduri.
• Penyebaran biji yang terbantu oleh satwa herbivora. Polong
yang jatuh ke lantai hutan dimakan banteng, kerbau liar dan
rusa dan bersama feses satwa tersebut tersebar ke lokasi lain.
Satwa menyukai polong akasia berduri karena mempunyai
kandungan karbohidrat dan protein tinggi. Setelah dimakan
oleh herbivora, biji yang tidak tercerna mengalami penggosokan
dan kondisi asam di dalam lambung kurang lebih 12 – 48 jam
dengan pH antara 5,8 – 6,8. Perlakuan lain yaitu matinya larva
kumbang (yang berpotensi merusak biji) di dalam biji.
Pengaruh lainnya yaitu kemampuan kotoran untuk
mempertahankan kelembaban memungkinkan biji untuk
berkecambah segera setelah datangnya hujan. Kotoran juga
bertindak sebagai sumber nutrisi bagi seedling. Menurut
Schuurmans (1993) ditemukan benih‐benih Acacia nilotica dalam
feses banteng, kerbau liar dan rusa berturut‐turut 77 ± 50, 54 ±
32 dan 12 ± 9 per 100 gram feses.
Dengan ciri dan sifat seperti tersebut, terutama faktor produksi
biji yang melimpah dan proses penyebaran dengan vektor satwa
mamalia besar, dapat disampaikan beberapa analisa sebagai berikut :
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 12
Tabel. Analisa dan perkembangan invasi Acacia nilotica
Periode Tahun.. Keterangan …. – 1969 Acacia nilotica ditanam di Kawasan Taman Nasional
Baluran sebagai sekat bakar. • kondisi savana sering terbakar (sebagai
kontrol habitat savana). • Ketika ada pertumbuhan vegetasi selain
rumput akan mati terbakar sebelum berkembang dewasa.
• Banteng dan satwa herbivora lainnya belum memanfaatkan polong/biji akasia sebagai pakan alternatf di musim kemarau. (belum berperan sebagai vektor penyebaran biji).
… ‐ 1980 Perkembangan Acacia nilotica dianalisa menunjukkan sedikit gangguan.
… ‐ 1983 Berdasarkan pengamatan, A. nilotica mulai menjadi spesies yang invasif di kawasan, dengan asumsi :
• Banteng dan satwa herbivora (mamalia besar) lainnya mulai mengenal dan menjadikan polong/biji Acacia nilotica sebagai pakan.
• Konsentrasi satwa mamalia besar berada di bekol dan sekitarnya.
• Sesuai dengan wilayah jelajah dan peran sebagai vektor penyebaran biji A. nilotica, terjadi invasi di savana Balanan, Bama, Drebus, Drebus, Kramat, Curah udang dan Asam sabuk.
1990 – 1993 • Penyebaran A. nilotica menjadi perhatian karena telah menggantikan penutupan lahan berupa rumput.
• Dianggap dalam kondisi kritis, dilakukan upaya pemberantasan tegakan A.nilotica dengan beberapa alternatif metode.
• Metode yang dicoba dan dilaksanakan menjadi kegiatan pemberantasan dengan sistem katrol.
1994 – 1999 • Dilakukan alternatif pemberantasan A. nilotica dengan bantuan alat berat (secara mekanik).
• Kegiatan dianggap cukup berhasil, akan tetapi ada aspek perubahan struktur dan tekstur tanah sehingga berpengaruh
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 13
kepada pertumbuhan jenis vegetasi pioner yang tumbuh di lokasi eks pemberantasan.
2000 – sekarang • Dengan banyak pertimbangan, terutama biaya, teknik pemberantasan diganti dengan metode manual (tebang dan bakar tonggak).
• Dianggap lebih efektif dengan syarat ada kegiatan lanjutan berupa pemerliharaan areal eks pemberantasan.
Berdasarkan beberapa hal diatas, terjadi beberapa perubahan
kondisi yang mengakibatkan perubahan pada satwa liar, terutama
perilaku dan pola pemanfaatan habitat yang ada.
2. Perubahan habitat karena kegiatan manusia
• Kegiatan pemberantasan Acacia nilotica mempunyai
konsekuensi adanya campur tangan manusia di dalam
kawasan. Kondisi perkembangan pertumbuhan dan
perkembangan Acacia nilotica di TN Baluran memaksa pengelola
kawasan dengan berbagai cara berusaha untuk mengendalikan
invasi tanaman eksotik tersebut.
Tabel. Kegiatan Pemberantasan Acacia nilotica di TN. Baluran
No Periode th. Metode Luas Keterangan 1 1991/93 Cabut katrol ± 40 Ha 2 1993/94 Buldozer 25 Ha Bekol3 1994/95 Buldozer 25 Ha Bekol4 1995/96 Buldozer 25 Ha Bekol 5 1996/97 Buldozer 50 Ha Bekol 6 1997/98 Buldozer 50 Ha Bekol 7 1997/98 Buldozer 64,54 Ha Bekol8 1998/99 Buldozer 50 Ha Derbus, Bama 9 1998/99 Buldozer 10 Ha Bama 10 1999/2000 Buldozer 110,06 Ha Drebus, Bama, Kramat. 11 09/99–02/00 Manual 150 Ha Cabut seedling 12 09/00–12/00 Manual 300 Ha Tebang bakar dan cabut seedling 13 08/01–12/01 Manual 150 Ha Drebus, Bama, Curah udang.
Tebang bakar 14 08/01–12/01 Manual 250 Ha Kramat, Bekol, Curah Udang.
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 14
Cabut seedling15 2003 Manual 150 Ha Bekol. Cabut/pangkas seedling–
bakar. Sumber : Laporan Tahunan dan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemberantasan A. nilotica
• Adanya fragmentasi Habitat. Beberapa kondisi yang
berkembang di kawasan, baik yang telah lama ada dan kondisi
terbaru mengakibatkan fragmentasi habitat yang berakibat
kepada penciutan dan penurunan kualitas habitat banteng dan
satwa liar lainnya. Beberapa bentuk aktivitas manusia yang
menjadikan kondisi fragmentasi habitat, adalah :
Tabel. Beberapa Bentuk Fragmentasi Habitat di TN. Baluran
No Bentuk Fragmentasi Habitat Luas Keterangan 1 Pemukiman Eks HGU Gunung
Kumitir + 360 Ha Di Labuan Merak
2 Translok TNI ‐ AD + 57 Ha Di Pandean. 3 Areal Penggembalaan Liar + 3.450 Ha Meliputi wil. Karangtekok 4 5 Pembangunan Waduk Bajulmati + 28 Ha Luasan TN Baluran
terendam. Di Wonorejo, Batas kawasan
6 Penggunaan lahan Tanah Gentong
+ 22,33 Ha Di Karangtekok
• Adanya gangguan kawasan berupa pengambilan hasil hutan
oleh masyarakat sekitar. Dengan melimpahnya hasil hutan, baik
kayu maupun non kayu yang dimanfaatakan masyarakat
sekitar, secara langsung maupun tidak langsung telah
menimbulkan tekanan kepada kawasan. Sedangkan aktivitas
masyarakat yang masuk ke dalam kawasan juga berpengaruh
terhadap populasi dan perilaku satwa liar.
Dengan adanya beberapa kondisi tersebut diatas sangat
mempengaruhi perkembangan perilaku dan kelangsungan
populasi satwa liar, terutama banteng di kawasan Taman Nasional
Baluran.
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 15
C. Faktor Perburuan Liar
Permasalahan berupa kegiatan perburuan liar di kawasan
Taman Nasional Baluran telah sejak lama berlangsung. Sebagai
sasaran utama kegiatan perburuan tersebut adalah banteng dan
satwa mamalia besar lainnya. Dengan berbagai motif dan tujuan
perburuan tersebut, secara cukup signifikan telah mempengaruhi
penurunan populasi satwa liar.
Perburuan liar dilakukan dengan berbagai metode,
diantaranya yaitu dengan senjata api, jerat seling(kawat besi) dan
jebakan racun di sumber air minum. Akan tetapi yang sering
dilakukan oleh pelaku di kawasan baluran yaitu dengan senjata api
dan jerat seling. Kelihaian para pemburu liar dalam menghindari
pengawasan/mengelabuhi petugas, sehingga pelanggaran tersebut
lewat dari pantauan.
Data yang tercatat selama beberapa thun terakhir yaitu :
Tabel. Rekapitulasi Laporan Kejadian Perburuan Liar di TN Baluran
No Jenis Satwa Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005
1 Banteng 7 ekor 2 ekor 1 ekor 1 ekor ‐ ‐
2 Kerbau Liar ‐ ‐ ‐ 1 ekor ‐ ‐
3 Rusa 3 ekor 1 ekor 1 ekor ‐ 2 ekor ‐
Sumber : Laporan Statistik Balai Taman Nasional Baluran 2005
D. Faktor Predator
Sebagai satwa karnivora di kawasan TN Baluran, ajag
mempunyai peran yang penting sebagia pemangsa (predator) yang
tentunya dalam rantai makanan mempunyai hubungan prey ‐
predator dengan satwa liar lainnya, dalam hal ini termasuk
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 16
mamalia besar. Keberadaan satwa predator akan menjadi masalah
apabila ada peningkatan populasi predator yang tidak seimbang
dengan pertumbuhan satwa prey. Hal ini diindikasikan muncul di
kawasan TN Baluran, walaupun tidak dilakukan sensus khusus
bagi ajag, akan tetapi nampak adanya peningkatan populasi
dengan peningkatan perjumpaan langsung oleh petugas ditengarai
sejak tahun 2001. Dari hasil perjumpaan satwa ajag pada periode
tahun 2004‐2005 dijumpai jumlah ajag antara 2 – 36 ekor. Begitu
juga dari laporan ditemukannya satwa korban serangan ajag yang
beberapa kali ditemui petugas. (Anonimous, 2005)
Tabel. Hasil Pengamatan Aktivitas Makan Ajag Di Savana Bekol Tahun 2004 – 2005
No Waktu Perjumpaan Lokasi Jml Aktivitas Tgl Jam
1 11‐03‐2004 06.00 Savana Bekol 36 Mengejar mangsa 2 16‐03‐2004 15.00 Pos Bekol 3 Mengejar rusa 3 03‐04‐2004 15.30 HM 117 Bekol 2 Mengintai mangsa 4 03‐04‐2004 22.30 HM 117 Bekol 20 Mengejar mangsa 5 07‐04‐2004 05.30 HM 118 Bekol 2 Mengejar mangsa 6 22‐04‐2004 05.20 Samping Pos Bekol 10 Mengejar banteng 7 22‐04‐2004 15.30 Kubangan I Bekol 20 Minum 8 03‐05‐2004 10.00 HM 105 Bekol 3 Berburu mangsa 9 02‐07‐2004 02.00 Sekitar Pos Bekol 10 Mengejar mangsa 10 10‐07‐2004 07.17 Depan Wisma Bama 3 Mengejar rusa 11 28‐07‐2004 17.30 Kubangan I Bekol 12 Minum 12 29‐07‐2004 07.30 Depan Kantor Bekol 11 Mengejar mangsa 13 01‐08‐2004 21.00 Sekitar Tower Bekol 4 Mengejar rusa 14 06‐08‐2004 20.30 Sekitar Tower Bekol 2 Mengejar musang 15 12‐08‐2004 17.00 Belakang Dapur Bama 3 Mengejar rusa 16 01‐09‐2004 08.40 Savana Bekol 23 Mengejar mangsa 17 08‐10‐2004 17.55 Sekitar Pos Bekol 6 Mengejar rusa 18 28‐06‐2005 16.20 Blok Manting 3 Makan rusa 19 10‐08‐2005 06.15 Kubangan Bama 3 Minum Sumber : Hasil Pengamatan Ajag (Cuon alpinus) di Taman Nasional Baluran
Dari pengamatan perilaku ajag sering melakukan aktivitas
antara 05.00 – 10.00 di pagi hari dan jam 15.00 – 18.00 di sore hari.
Sebaran ajag di Taman Nasional Baluran lebih terkonsentrasi di sisi
wilayah bagian timur dan utara karena dilokasi tersebut habitatnya
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 17
mendukung kehidupan satwa herbivora sebagai sumber pakannya
dan relatif lebih aman dari berbagai bentuk gangguan.
Perlu ada pengamatan dan pengendalian
ketidakseimbangan antara satwa prey dan predator sehingga
kelestarian satwa liar terutama banteng dapat lebih terjaga.
V. UPAYA PELESTARIAN BANTENG (Bos javanicus) DI TAMAN
NASIONAL BALURAN
A. Mengumpulkan Informasi Sejarah Kawasan dan Kehidupan
Satwa Liar
Untuk melestarikan dan melindungi satwa liar yang terancam,
diperlukan pemahaman tentang hubungan biologis antara spesies/satwa
liar tersebut dengan lingkungannya dan status (kondisi keberadaan)
populasinya. Informasi tersebut dapat berupa sejarah perkembangan
habitat dan populasinya. Berbekal informasi sejarah tersebut, diharapkan
upaya pengelolaan populasi satwa yang terancam dapat lebih efektif, serta
mengenal faktor‐faktor pembatas yang dapat mendorong menuju
kepunahan ( Gilpin dan Soule, 1986 dalam Primack et all, 1998).
Diperlukan penelitian dan pengkajian lebih mendalam terhadap
kondisi yang terjadi banteng dan satwa liar lainnya di TN Baluran.
Beberapa tipe informasi yang diperlukan dalam h\kajian tersebut adalah :
1. Lingkungan. Pada tipe habitat apa satwa liar tersebut ditemukan,
berapa luas areal yang sesuai habitat yang masih tersedia?
Bagaiman variasi lingkungannya berdasarkan tempat dan waktu
? Seberapa sering terjadi bencana atau perubahan kondisi habitat?
2. Distribusi / penyebaran. Dimana satwa liar tersebut berada pada
tipe habitatnya, apakah satwa liar tersebut berpindah / migrasi
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 18
dari suatu habitat / lokasi geografis ke tempat / lokasi lain?
Seberapa efesienkah satwa liar memanfaatkan habitatnya?
3. Interaksi‐interaksi biotik. Jenis pakan dan sumber apakah yang
diperlukan satwa liar tersebut? Satwa liar lain apakah yang
menjadi kompetitor? Predator manakah yang mempengaruhi
ukuran populasinya?
4. Morfologi. Bagaimana bentuk, ukuran, warna dan faktor lainnya
dari satwa liar tersebut memungkinkan untuk bertahan dalam
lingkungannya.
5. Fisiologi. Seberapa banyak harapan air, mineral maupun
kebutuhan lain yang dibutuhkan satwa liar tersebut agar dapat
bertahan, tumbuh dan berkembang/reproduksi? Bagaimana
ketahanan satwa liar tersebut dalam menghadapi iklim yang
ekstrim, seperti panas, dingin, angin dan hujan?
6. Demografi. Berapakah ukuran populasinya kini dan
bagaimanakah bila dibandingkan dengan masa lalu.
7. Perilaku. Bagaimana perilaku satwa liar tersebut mempengaruhi
keberhasilan bertahan hidup pada suatu lingkungan? Bagaimana
satwa liar tersebut berpasangan dan menghasilkan keturunan?
Bagaimana dalam berinteraksi, baik secara kompetitif maupun
kooperatif?
8. Genetika. Seberapa besarkah peran faktor genetika dalam
menentukan variasi morfologi dan fisiologi pada suatu kumpulan
satwa liar tersebut?
B. Upaya Perbaikan Kondisi Komponen Habitat Penunjang
Kehidupan Satwa Liar
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 19
Sebagai komponen habitat yang sangat penting dibutuhkan
banteng dan satw liar lainnya, sumber air minum satwa harus
mendapat perhatian dan prioritas pengelolaan. Untuk memenuhi
kebutuhan air minum satwa saat musim kemarau, diperlukan
langkah‐langkah sebagai berikut :
1. Melakukan survey secara menyeluruh terhadap potensi
sumber daya air yang dapat digunakan sebagai penyedia
utama maupun alternatif di dalam kawasan. Diantaranya
dengan pengamatan pada sumber air minum satwa berupa
kubangan (baik yang alami maupun buatan). Selanjutnya
juga mencaru sumber alternatif yang mampu mendukung
ketersediaan air saat musim kemarau, misalnya membuat
sumur artesis maupun sumur pompa yang khusus dibuat
untuk keperluan minum satwa.
2. Memperbaiki kondisi kubangan‐kubangan alami, dengan
mencari kembali titik‐titik mata air dan ”menggantikan
peran” kerbau liar, yaitu melakukan pengerukan endapan
lumpur yang menutupi sumber mata air.
C. Mengembalikan ”Ruang” Habitat yang Sesuai Bagi Banteng
Untuk menyediakan kondisi habitat yang sesuai dengan
banteng di kawasan TN Baluran, yaitu di Bekol dan sekitarnya,
diperlukan komponen habitat yang sesuai dengan perilaku dan
kesukan banteng dan satw liar yang lain. Diantaranya yaitu
mengembalikan komponen‐komponen habitat yang diperlukan
oleh banteng, yaitu sumber air, cover, sumber pakan dan kondisi
minim gangguan manusia.
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 20
Oleh karena itu, terutama untuk faktor gangguan manusia,
perlu pengawasan dan monitoring terhadap suatu luasan tertentu
yang dijaga minimal aktivitas manusia.
D. Pengendalian Predator dan Perburuan Liar
Untuk menjaga agar kegiatan perburuan liar dapat semakin
ditekan, upaya yang tetap harus dilakukan harus dilakukan
pengamanan dan patroli di dalam kawasan secara intensif.
Sedangkan untuk pengendalian predator (ajag), dari upaya
yang telah dilakukan sebelumnya perlu tindak lanjut, yaitu dengan
mencari lokasi‐lokasi yang diindikasikan sebagi ”rumah” ajag dan
dilakukan perusakan untuk membuat satwa tersebut tidak betah
secara tidak langsung menekan kehidupan mereka di kawasan TN
Baluran.
IV. PENUTUP
Untuk mewujudkan pengelolaan populasi maupun satwa liar yang
lestari diperlukan berbagai upaya yang maksimal. Beberapa faktor yang
menjadi parameter tertentu yang berpengaruh kepada penurunan
populasi mamalia besar, terutama banteng harus dikelola dengan baik
agar pelestarian satwa liar kembali tewujud di kawasan Taman Nasional
Baluran.
Kondisi keterbatasan sumber air minum satwa, adanya perubahan
habitat, faktor predator dan perburuan liar merupakan beberapa faktor
yang mengakibatkan penurunan populasi banteng dan mamalia bear
lainnya. Diperlukan skala prioritas dalam penanganan dan
mengantisipasi faktor‐faktor pembatas tersebut.
Salah satu aspek dalam analisa dan pengelolaan populasi serta
habitat satwa mamalia besar, terutama banteng yang ditengarai
AnalisaPerkembanganKondisiBanteng-Baluran-07-FIX.doc 21
mengalami penurunan populasi cukup drastis, diperlukan kajian
terhadap sejarah kehidupan satwa tersebut dan kawasannya. Banyak
aspek dianalisa mulai dari aspek lingkungan hingga genetika.
Disamping kondisi tersebut, tentunya diperlukan monitoring dan
pengamanan kawasan yang lebih ditingkatkan, sehingga faktor yang
mempengaruhi penurunan populasi banteng dari perburuan liar dapat
diminimalkan.
Banteng, sebagai maskot kawasan Taman Nasional Baluran, beserta
satwa mamalia besar lainnya, walaupun banyak mengalami tekanan
dengan berbagai upaya pelestarian yang dilakukan, pada periode
mendatang dapat meningkat lagi populasinya.