Download - Tata Bahasa Jepang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Bahasa Jepang adalah bahasa yang dipakai di kepulauan Jepang. Di
samping itu, bahasa Jepang digunakan pula oleh keturunan Jepang yang berada di
Brazil dan Hawai. Bahasa Jepang banyak persamaannya dengan bahasa-bahasa
yang berada di Asia, seperti bahasa Mongol dan bahasa Korea. Persamaan
tersebut berkaitan dengan pola urutan kata dan tingkat tutur (speech level) dalam
berkomunikasi. Berkaitan dengan tingkat tutur, bahasa Jepang memiliki
persamaan dengan bahasa-bahasa di Indonesia, seperti bahasa Sunda, bahasa Jawa
dan bahasa Bali.
Ekspresi rasa hormat dan akrab dalam bahasa Jepang, dapat diungkapkan
dengan pemarkah sopan dan akrab pada akhir kalimat, sebagaimana dapat diamati
pada contoh berikut.
1) Contoh kalimat bentuk sopan
a. Kyoo wa toshokan e ikimasu ka
Adv pem T N pem l V Vbt pem tanya
hari ini perpustakaan ke pergi kah
‘Apakah hari ini (Anda) pergi ke perpustakaan?’
b. Hai, iki masu
Int V pem sopan
ya pergi
‘ya (saya) pergi’
2) Contoh kalimat bentuk akrab
a. Kyoo toshokan e iku
hari ini perpustakaan ke pergi
‘Hari ini pergi ke perpustakaan?’
b. Iie, ika nai
tidak pergi tidak
‘Tidak, tidak pergi’
D1K
Bahasa Jepang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia. Perbedaan ini
berkaitan dengan pola urutan kata dalam kalimat. Bahasa Jepang memiliki tipe
bahasa S O V (Subjek + Objek + Predikat), sedangkan bahasa Indonesia memiliki
tipe bahasa S V O (Subjek + Predikat + Objek). Dalam pola urutan bahasa Jepang
tersebut setiap kalimat diakhiri oleh verba atau kopula, urutan kata dalam kalimat
relatif bebas, topik kalimat pada umumnya terdapat pada awal kalimat.
Bandingkanlah kalimat berikut:
a) Sumisu san wa nihon de nihongo o benkyo shite iru
Topik N pem T N pos N pos V Vbt
Smith tuan Jepang di bahasa Jepang belajar sedang
‘Tuan Smith sedang belajar bahasa Jepang di Jepang’
S V O
b) Kimura san wa hon o toshokan e kaeshimashita
Topik N pem T N pos N pos V Vbt
Kimura saudara buku perpustakaan ke mengembalikan sudah
‘Saudara Kimura (sudah) mengembalikan buku ke perpustakaan’
S V O
Kaidah struktur frasa bahasa Jepang adalah (M)enerangkan –
(D)iterangkan, sebaliknya bahasa Indonesia (D)iterangkan – (M)enerangkan.
Bandingkanlah :
Bahasa Jepang Bahasa Indonesia
Akai kuruma
Merah mobil Mobil merah
Adj. N N Adj.
M D D M
‘Mobil merah’
Berdasarkan posisi penghubung yang mungkin terdapat di dalamnya,
bahasa Indonesia mengenal frasa preposisi, yaitu frasa yang penghubungnya
menduduki posisi depan, bahasa Jepang mengenal frasa pos posisi, yaitu frasa
yang penghubungnya menduduki posisi belakang. (Tarigan, 1985)
D2K
Contoh :
Bahasa Indonesia Bahasa Jepang
di ni (di)
ke Jakarta Jakarta e (ke)
dari kara (dari)
Secara tipologi morfologis, bahasa Jepang dan bahasa Indonesia termasuk
bahasa aglutinatif yang memperhatikan batas-batas morfem dalam setiap katanya.
Tiap kata dapat disegmentasi atas unsur leksikal dan afiks.
Dalam persamaan dan perbedaan tersebut, hal yang menarik untuk diamati
adalah unsur negatif. Dalam bahasa Indonesia bentuk negatif mempunyai cirri
dengan adanya kata-kata negatif seperti tidak, jangan, belum dan bukan. Hal ini
berbeda dengan bahasa Jepang. Dalam bahasa Jepang, pemarkah negatif ditandai
dengan pemarkah –nai, yang terikat secara morfologis pada verba dan adjektif,
sedangkan pada nomina merupakan morfem bebas. Perhatikan contoh berikut.
1. – nai yang melekat pada verba
a. Kalimat tunggal (berposisi di belakang klausa – kalimat)]
Kare wa gakoo e ikanai
Topik pem t N pem V pem neg
dia sekolah ke pergi tidak
‘Dia tidak pergi ke sekolah’
b. Kalimat majemuk, (berposisi di tengah kalimat)
Kare wa gakoo e ikanakute, uchi ni imasu
Topik pem t N pem V pem neg N pem V
dia sekolah ke pergi tidak rumah di ada
‘Dia tidak pergi ke sekolah, (dia) ada di rumah
D3K
2. – nai yang melekat pada adjektif
a. Kalimat tunggal (berposisi di belakang klausa – kalimat)
Anno ega wa omoshirokunai
N N pem Adj pem neg
itu film menarik tidak
‘Film itu tidak menarik’
b. Kalimat majemuk, (berposisi di tengah kalimat/pada klausa pertama)
Anno ega wa omoshirokunakut, waruidesu
N N pem t adj pem neg adj. pem
itu film menarik tidak jelek
‘Film itu tidak menarik, (film itu jelek)’
3. – nai yang bergabung dengan nomina
a. Kalimat tunggal (berposisi di belakang kalimat)
Are wa uchi dewa nai
N pem N pem neg
itu rumah bukan
‘Itu bukan rumah’
b. Kalimat majemuk (berposisi di tengah kalimat)
Are wa uchi dewa nakute, apato desu
N pem N pem neg N pem
itu rumah bukan apartemen
‘Itu bukan rumah, (itu apartemen)’
Selain itu, ditinjau dari segi semantik, berdasarkan kata sebelum dan sesudahnya,
atau tergantung kepada unsur yang hadir misalnya modalitas dan pemarkah tanya,
pemarkah -nai memiliki arti yang bermacam-macam.
Ega mi ni ikanai ? (optatif – gambo)
Topik V pem V pem neg
Film nonton untuk pergi
‘Nonton, yuk’.
D4K
Hayaku shinai ka (imperatif- meirei)
Adj V pem neg
cepat kerjakan
‘Cepat kerjakan’
Uchi e kuru no dewa nai daro ka (dugaan – suiryo)
N pem V pem neg
rumah ke datang mungkin
‘Mungkin (dia) akan datang ke rumah’
Dari contoh di atas, -nai selain dapat berposisi di belakang kalimat (dalam
kalimat tunggal), dapat juga berposisi di tengah kalimat. (dalam kalimat
majemuk). –nai selain melekat pada verba adjektiva dan nomina, dapat juga
melekat pada verba bantu, misalnya:
1. Pada verba bantu bentuk keinginan (volitional)
Anno kaban o kaitakunai
N N pem V Vb pem neg
Itu tas membeli ingin tidak
‘(Saya) Tidak ingin membeli tas itu’
2. Pada bentuk pasif yang bergabung dengan bentuk kausatif, dan bentuk
volitional)
Watashi wa nagaku mata sa re takunai
N adj V ksf pf Vlt
saya lama menunggu suruh di ingin tidak
‘Saya tidak ingin disuruh menunggu lama.’
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dilihat bahwa bila kata dilekati
pemarkah -nai pada umumnya merupakan bentuk negatif. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidaklah seperti itu. Ungkapan penyangkalan bila ditinjau dari segi
semantis mempunyai maksud yang bermacam-macam, selain itu dari segi
posisinya juga dapat dilakukan dengan cara yang berbeda. Pemarkah –nai dapat
D5K
berposisi pada klausa pertama dan pada akhir kalimat, nai dapat bergabung
dengan verba, adjektif, nomina, maupun verba bantu lain (pasif, kausatif, dugaan,
larangan dan sebagainya). Dilihat dari bentuknya -nai menunjukkan bentuk
sangkal, tetapi dilihat dari maknanya memiliki arti yang bermacam-macam.
Bentuk -nai selain berarti “tidak”, dapat menunjukkan ajakan, perintah, larangan,
dugaan, keharusan, harapan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, penelitian tentang bentuk -nai yang
lebih mendalam perlu dilakukan. Hal ini terutama bagi yang mempelajari bahasa
Jepang supaya tidak salah dalam cara pemakaiannya dan dalam menafsirkannya.
Dalam hal ini, berhubungan dengan posisi hubungannya dengan bentuk lain dan
makna. Pada penelitian sebelumnya dibahas tentang makna bentuk sangkal yang
terletak di ahkir kalimat. Dilihat dari strukturnya, bentuk tersebut dapat
dikategorikan ke dalam jodoshi (verba bantu), yaitu baru bisa memiliki makna
bila melekat pada kata lain. Akan tetapi dilihat dari segi makna, bentuk tersebut
bukan merupakan jodoshi karena dari segi makna, -nai merupakan uchikeshi no
jodoshi, atau jodoshi yang menyatakan makna sangkal. Bentuk bentuk tersebut
memiliki makna yang bermacam-macam dan merupakan bentuk yang sudah baku
di dalam bahasa Jepang. (lihat skripsi : Analisis Makna Bentuk Sangkal yang
Terletak di Akhir Kalimat, oleh : Nunung Hasanah)
1.2 Pembatasan Masalah
Pemarkah negasi -nai dapat bergabung dengan verba, adjektiva dan
nomina. Akan tetapi, mengingat ruang dan waktu, penulis akan mendeskripsikan
dan menganalisa pemarkah negatif –nai yang melekat pada verba saja.
Selanjutnya masalah penilitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana distribusi pemarkah negasi -nai dalam kalimat bahasa Jepang?
2. Unsur apa saja yang berperan dalam penegasian kalimat bahasa Jepang?
3. Proses morfofonemik bentuk -nai dalam bahasa Jepang?
4. Makna -nai dalam kalimat bahasa Jepang?
D6K
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan di atas, penelitian ini bertujuan:
1. Mendeskripsikan posisi bentuk nai
2. Mendeskripsikan dan menganalisa bentuk nai yang berposisi sebagai predikat
pada kalimat tunggal bahasa Jepang beserta bentuk gabungannya.
3. Mendeskripsikan dan menganalisa bentuk nai yang berposisi sebagai predikat
pada kalimat mejemuk beserta bentuk gabungannya.
4. Mendeskripsikan “makna” bentuk nai dalam bahasa Jepang.
1.4 Kerangka Teori
Dalam penelitian ini digunakan beberapa pandangan teori linguistik yang
relevan. Teori yang berkaitan dengan verba yang akan dirujuk dalam penelitian ini
adalah teori atau pandangan yang dikemukakan Ramlan (1987), Kridalaksana
(1966), Mees (1957) dan Djajasudarma (1989), sedangkan dengan verba bahasa
Jepang yang akan diacu adalah pandangan Masuoka (1991).
1.5 Bobot dan Relevansi
Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang struktur dan semantik
bentuk-bentuk verba dan keterpaduannya dengan bentuk/unsur lain akan dikaji
secara sistematis/tuntas, sehingga diperoleh deskripsi atau bentuk-bentuk negasi
yang memiliki berbagai makna.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu bahasa,
terutama dalam bidang struktur dan semantik dan linguistik pada umumnya.
D7K
BAB II
KAJIAN TEORI
Bahasa Jepang sebagai bahasa fleksi dan aglutinasi menyebabkan bahasa
itu kaya dengan penambahan dalam unsur pembentukannya, terutama dalam
menentukan arti secara gramatikal.
2.1 Pembentukan Kata dalam Bahasa Jepang
Kata di dalam bahasa Jepang terdidi dari:
1. Kata yang terdiri dari satu unsur tunggal atau disebut tanjungo (simple word)
atau ichijigo (primary word) seperti : atama (kepala), hashiru (berlari), karui
(ringan) dan lain-lain
2. Kata Kompleks atau disebut goseigo (nijigo).
Kata kompleks (goseigo) dalam bahasa Jepang terdiri dari tiga proses
pembentukan, yaitu
a. Pemajemukan – kata majemuk (fukugogo)
Pemajemukan merupakan proses penggabungan morfem dasar dengan
morfem dasar (baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk
sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau yang
baru.
b. Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar baik
secara keseluruhan, secara sebagian, maupun dengan perubahan bunyi.
c. Derivasi.
Derivasi yaitu proses pembentukan kata melalui proses afiksasi. Afiks
terdiri dari awalan (settogo), sisipan (setchugo) dan akhiran (setsubigo).
Ada pendapat yang menyatakan bahwa di dalam bahasa Jepang tidak ada
sisipan. Pendapat lain menyatakan adanya kata niru dan nieru, fonem /e/
dalam kata nieruadalah sisipan (T. Koizuni, 1993)
D8K
2.2 Ihwal Kelas Kata dalam Bahasa Jepang
Pembagian kata berdasarkan bentuk, arti dan fungsinya disebut kelas kata.
Di dalam tata bahasa tradisional, pembagian kelas kata di dasarkan atas apakah
kata itu dapat berdiri sendiri atau tidak berdiri sendiri, berkonyugasi atau tidak
berkonyugasi dan sebagainya. Perhatikan contoh kalimat berikut:
1. Kono natsu Hanako to Taroo ga kaigai ryoko ni it ta
N N N pem N N N N pen V Vbt
ini musim panas Hanako dengan Taroo luar negeri piknik untuk pergi
‘Pada musim panas tahun ini Hanako dan Taroo piknik ke luar negeri’
2. Ashita wa kitto hareru daroo
N pem adv V Vbt
besok pasti cerah mungkin
‘Kemungkinan besar besok cuaca akan cerah’
Kelas kata adalah pembagian kata secara gramatikal. Untuk pembagian
kata diperlukan suatu standar. Standar dapat berbeda-beda tergantung dari sudut
pandang secara gramatika maupun linguistik. Jadi hasilnya juga dapat
memunculkan bermacam-macam perbedaan. Berikut beberapa pendapat dari
pakar linguistik Jepang mengenai kelas kata bahasa Jepang.
Yamada (1908) membagi kelas kata dalam dua kelompok besar, yaitu : (1)
morfem bebas dan (2) morfem terikat. Standar klasifikasinya berdasarkan struktur
dan semantik. Klasifikasinya adalah:
1. Morfem bebas terdiri dari :
a. Nomina (meishi)
b. Pronomina (daimeishi)
c. Numeralia (sushi)
d. Adjektiva yang berakhiran -i (adjektiva -i) (keiyooshi-i)
e. Verba (dooshi)
f. Verba bantu (jodoshi)
g. Adverbia (fukushi)
h. Konjungsi (setsuzokushi)
i. Interjeksi (kandoshi)
D9K
2. Morfem terikat, yaitu:
j. Partikel (joshi)
Hasimoto (1934) memasukkan verba bantu (jodoshi) ke dalam morfem
terikat bersama-sama dengan partikel (joshi).
Tokieda (1946) membagi kelas kata ke dalam dua kelompok berdasarkan
ada atau tidaknya konyugasi.
Morfem bebas terdiri atas:
1. Nomina (meishi)
2. Pronomina (daimeishi)
3. Nominal (
4. Sufiks yang tidak berkonyugasi
5. Verba (doshi)
6. Adjektiva -i (keyooshi –i)
7. Adjektiva yang berakhiran -na (adjektiva -na) (keyooshi –na/keyoodoshi)
Morfem terikat terdiri atas
8. Partikel (joshi)
9. Verba bantu (jodoshi)
10. Interjeksi (kandoshi)
11. Pronomina (daimeishi)
Berdasarkan fungsinya, Tokieda memasukkan modifikator dan adverbia.
Masuoka (1991) membagi kelas kata sebagai berikut:
1. Nomina (meishi)
2. Verba (doshi)
3. Adjektiva (keyooshi)
4. Kopula
5. Verba bantu (jodoshi)
6. Adverbia (fukushi)
7. Partikel (joshi)
8. Modifikator
D10K
9. Konjungsi (setsuzokushi)
10. Interjeksi (kandoshi)
11. Pronomina (daimeishi)
2.3 Bentuk Negasi dalam Bahasa Jepang
Negasi atau sangkal di dalam bahasa Jepang selain dengan menggunakan
bentuk nai dipakai juga bentuk nu (ng), zu dan mai. Di dalam kelas kata bahasa
Jepang, nai, nu, nu (ng), zu dan mai ini dikelompokkan ke dalam kelas kata
jodoshi atau verba bantu. Pada umumnya jodoshi (verba bantu) terdapat pada
akhir kalimat, tidak dapat berdiri sendiri, menempel pada yoogen yang terdiri dari
verba, adjektiva dan nomina, terdapat perubahan dan menambahkan arti yaitu
pembenaran, penyangkalan, menyatakan waktu (kala kini, akan datang dan kala
lampau) dan seterusnya.
Menurut Tamamura Fumio (1992) dalam buku “Nihongogaku o manabu
hito no tame ni”, jodoshi atau verba bantu merupakan kata yang dilekatkan di
belakang kata yang berdiri sendiri, membentuk frasa terdapat perubahan,
menambahkan arti, menunjukkan keputusan atau pertimbangan dari si pembicara.
Menurut Katoo Akhihiko (1989), dalam buku Nihongo Gaisetsu jenis–jenis
jodoshi diklasifikasikan berdasarkan (1) makna, (2) konyugasi dan (3)
penyambungan.
Berdasarkan arti atau maknanya nu (ng), nai dan zu mempunyai arti
uchikeshi no jodoshi atau verba bantu yang menyatakan penyangkalan. Mai
termasuk ke dalam hitei-ishi, yaitu yang menyatakan kehendak atau keinginan
dalam bentuk menyangkal. Makna lain dari mai adalah hitei-suiryo yaitu yang
menyatakan dugaan dalam bentuk menyangkal. Perhatikan contoh kalimat berikut
ini.
1. Kyo wa sora ga harenai.
Hari ini langit tidak cerah
2. Sonna koto shiranu hazu da.
Mengenai hal itu tidak seharusnya untuk diketahui
D11K
3. Kanarazu wasurezu ni motte mairimasu.
Tentu tidak akan lupa akan saya bawakan.
4. Kare wa michi de attemo shiran kao o shiteiru.
Bertemu di jalan pun dia pura-pura tidak tahu.
Penggunaan nu (ng) pada akhir kalimat dalam bentuk biasa (futsutai)
merupakan bahasa Jepang yang dipakai di Jepang bagian barat, sedangkan di
Tokyo, digunakan nai.
Contoh:
1. Yoku wakaranai (Tokyo).
Yoku wakaran (Jepang Barat).
2. Kyo wa ame ga furanai (Tokyo)
Kyo wa ame ga furan (Jepang Barat)
Di dalam bahasa standar, dalam bahasa percakapan sehari-hari pada akhir
kalimat dipakai bentuk sopan. Untuk menyatakan penyangkalan lebih umum
dipakai bentuk nai daripada memakai bentuk nu. Nu lebih sering dipakai dalam
idiom.
Contoh : - Shirazu - shirazu
Tanpa sadar
- Furimo sezu, terimo sezu
mendung terus
- Omowamnu dekigoto
Hal-hal yang tidak disangka
- Iwanuba hana
Diam itu emas
Mai mempunyai makna uchikesino ishi, yaitu kehendak dalam bentuk
menyangkal dan uchikesino suiryo yaitu dugaan dalam bentuk menyangkal. Bila
mai melekat pada verba dilakukan oleh orang pertama menunjukkan arti
uchikesino ishi atau kehendak yang menyangkal.
D12K
Tidak tahu/kurang tahu
Hari ini tidak hujan
Contoh
1. Kare ni wa ni do to aumai.
Tidak ingin lagi bertemu dengan dia (untuk kedua kalinya)
2. Itsumade mo kanashimumai.
Sampai kapan pun tidak ingin bersedih.
Mai yang melekat pada verba dan dilakukan oleh orang ketiga atau orang
lain menunjukkan makna uchikeshi no suiryo yaitu dugaan yang menyangkal.
Contohnya.
1. Kare wa gaikoku e ikumai
Mungkin dia tidak akan pergi ke luar negeri
2. Ano chichioya wa musume no kekkon o yoroko bu mai
Bapak itu mungkin merasa tidak senang dengan perkawinan anak
perempuannya
Bentuk sangkal mai ini dipakai dalam bahasa tulisan, dan oleh orang yang
sudah lanjut usia. Sekarang lebih banyak menggunakan bentuk –nai tsumorida
untuk maksud kehendak menyangkal dan bentuk –nai daroo untuk makna bentuk
dugaan bentuk menyangkal.
Berdasarkan cara penyambungannya verba bantu nai, nu (ng) dan mai
bersambung pada mizenkei yaitu bentuk sambung untuk bentuk menyangkal nai,
nu (ng), mai juga untuk bentuk pasif reru, -rareru, bentuk kausatif –seru, -saseru.
Mai yang mempunyai makna kehendak sangkal bersambung pada shisikei,
yaitu bentuk sambung untuk bentuk mai yang mempunyai arti hitei suiryo, yaitu
dugaan menyangkal, bentuk kabarnya ísooda, bentuk dugaan rashii, daroo
(deshoo).
Berdasarkan konyugasinya, verba bantu nai termasuk ke dalam konyugasi
bentuk adjektif.
Nu (ng) termasuk ke dalam bentuk khusus
Mai termasuk ke dalam bentuk yang tidak berkonyugasi
D13K
Berikut contoh konyugasi verba bantu yang bermakna menyangkal:
Contoh verba bantu nai:
1. Kyoo wa sora ga harerai
Hari ini langit tidak cerah
2. Ashita mo harenakereba doo shiyoo
Kalau besok juga cuaca tidak cerah, bagaimana?
3. Mainichi gohan o tabenaide, gakkoo e ikunasu
Setiap hari pergi ke sekolah tanpa makan nasi
Contoh verba bantu nu (ng), zu.
1. Yamu o e nu jijo de gakkoo o yamemasu
2. Hayaku ikaneba, chikoku suru yo
Kalau tidak cepat pergi, akan terlambat lho.
3. Kare wa nihonbungaku o manaban toshite nihon e ryugakushita
4. Anohito wa okori mo sezu, waratte it.
Orang itu tertawa, tanpa ada rasa marah
Contoh verba bantu mai, yang bermakna hitei ishi.
1. Kimi ni wa moo iu mai
Saya tidak akan bicara lagi dengan anda.
2.
Contoh verba bantu mai, yang bermakna hitei suiryo
1. Kare wa gaikoku e wa ikumai
Mungkin dia tidak akan pergi ke luar negeri
2. Kimi ni wa kono mondai wa wakarumai
Masalah ini mungkin kamu tidak akan mengerti
D14K
2.4 Negasi -nai dalam Bahasa Jepang
Ekspresi negasi berarti tidak terwujudnya suatu kejadian atau suatu
keputusan (akibat dari satu dan lain hal) seperti yang terkandung dalam bentuk
positifnya. Bentuk negasi pada bentuk biasa dibuat dengan melekatkan afiks
negasi (sangkal- nai) pada predikat, sedangkan pada bentuk sopan dengan
melekatkan afiks masen pada predikat (Mashuoka, 1992). -nai mlekat pada kata
yang berkonyugasi, menunjukkan arti menyangkal perbuatan, sifat, keadaan dari
kata yang berkonyugasi tersebut (Sakata, Yukiko, Bunpo II, 1980).
-nai digunakan sebagai Renyoshushokuku, yaitu yang menerangkan dooshi
(verba) dan keiyooshi (adjektiva), -nai yang melekat pada verba dan yang melekat
pada adjektiva bentuknya tidak sama. Perhatikan kalimat berikut:
Contoh nai yang melekat pada verba
1. a. Kyoo ame ga furu Hari ini turun hujan
b. Kyoo ame ga furunai Hari ini tidak turun hujan
2. a. Asa gohan taberu Makan pagi
b. Asa gohan tabenaide, gakko e iku Tanpa makan pagi pergi ke sekolah
Contoh nai yang melekat pada adjektiva –i/-na
1. Samui desu dingin
Kotoshi no fuyu wa amari samukunai desu
Musim dingin tahun ini tidak begitu dingin
2. Ookii desu besar
Amari ookikunakute, tsukai yasui
Mudah dipakainya karena tidak terlalu besar
3. Sotchoku desu jujur/terus terang
Sonoyoona kangaekata wa sotchoku dewa nai
Itu tidak jujur.
Contoh nai yang melekat pada nomina
1. a. Anohito wa gakusei desu
Itu mahasiswa
D15K
b. Anohito wa gakusei dewa nai
Orang itu bukan mahasiswa
2. a. Are wa jidoosha desu
Itu mobil
b. Are wa jidoosha dewa nai
Itu bukan mobil
Perhatikan pula contoh kalimat berikut ini
1. Kyoo wa sora ga harenai (non pas)
Tidak cerah
2. Kinoo mo sora ga harenakatta (pas – lampau)
Kemarin juga langit tidak cerah
3. Kyoo wa ame ga furimasen (non pas)
Hari ini tidak hujan
4. Kinoo mo ame ga furimasen deshita (pas – lampau)
Kemarin juga tidak turun hujan
5. Bogor wa atsukunai (non pas)
Bogor tidak panas
6 Bogor wa atsukunakatta (pas – lampau)
Bogor tidak panas
7. Kono shiken wa muzukashiku arimasen (non pas)
Ujian ini tidak sukar
8. Kinoo no shiken wa muzukushiku arimasen deshita (pas – lampau)
Ujian kemarin tidak sukar
9. Yamada san wa sensei dewa nai (non pas)
Yamada bukan guru
10. Koko wa eki dewa arimasen (non pas)
Ini bukan stasiun
11. Yamada san wa sensei dewa nakatta (pas lampau)
Yamada bukan guru
D16K
12. Koko wa eki dewa arimasen deshita (pas lampau)
Pemarkah negatif –nai pada (1), -nakatta pada (2), -masen pad (3) dan
masen deshita pada (4) merupakan pemarkah negatif verba. Pemarkah negatif (-
ku) –nai pada (5), (-ku) nakattapada (6) (-ku) arimasen pada (7), dan (-ku)
arimasen deshita pada (8) merupakan pemarkah negatif adjektiva (i), sedangkan
pemakah negatif –dewa nai pada (9), dewa arimasen pada (10), -dewa nakatta
pada (11) dan –dewa arimasen deshita pada (12) merupakan pemarkah negatif
nomina dan adjektiva (-na).
Pemarkah negatif (-nai), -nakatta, (-ku) –nai, (-ku) –nakatta, (-dewa) nai,
dan (-dewa) nakatta, merupakan bentuk biasa, sedangkan pemarkah negatif -
masen, masen deshita, (-ku) arimasen, (-ku) arimasen deshita, -dewa arimasen,
dan dewa arimasen deshita merupakan bentuk halus.
2.5 Verba dalam Bahasa Jepang
Bahasa Jepang sebagai bahasa fleksi dan aglutinasi, menyebabkan bahasa
itu kaya dengan perubahan dalam unsur pembentukannya terutama dalam
menentukan arti secara gramatikal. Secara morfologis, verba bahasa Jepang ada
dua macam, yaitu
1. Verba Dasar/asal, yaitu verba yang tidak mengalami proses pembentukan kata,
mempunyai arti secara leksikal.
2. Verba Bentukan, sebagai hasil proses pengimbuhan, derifasi, impleksi dan
lain-lain.
Verba dilihat dari konyugasinya, terdiri dari :
1) Akar, yang memiliki fonem ultima konsonan /s/, /k/, /g/, m/, /n/, /b/, /t/, /r/,
dan /w/, berupa prakategorial dan bila dibubuhi /u/ menjadi verba pangkal
(VP). Contoh:
stem VP makna
nom + /u/ nomu ‘minum’
yob + /u/ Yobu ‘panggil’
D17K
Hanas + /u/ hanasu ‘bicara’
Verba jenis ini selanjutnya disebut verba golongan I (Vgol. I)(Shiin
Doshi)
2) Stem yang memiliki fonem ultima vokal berupa prakategorial, bila dibubuhi –
ru menjadi verba pangkal (VP), contoh :
stem VP makna
Oshie + -ru oshieru ‘mengajar’
Ki + -ru kiru ‘pakai’
Verba jenis ini selanjutnya disebut verba golongan II. (V. gol. II) (Boin
Doshi)
3) Verba operand kuru ‘datang’
4) Verba operand suru ‘melakukan’.
Verba (3) dan (4) selanjutnya disebut verba golongan III (V. gol. III).
(Henkaku Doshi)
2.5.1 Konyugasi Verba
Menurut Koizumi (1994) sebagai berikut :
(1) Bentuk negasi :
V. gol. I contoh : yomu ‘membaca’
Yom + /a/ + -nai yomanai ‘tidak membaca’
V. gol. II contoh : oshieru ‘mengajar’
Oshie + -nai oshienai ‘tidak mengajar
V. gol III contoh : kuru ‘datang’
Ko + -nai konai ‘tidak datang’
Suru ‘melakukan’
Shi + -nai shinai ‘tidak melakukan’
(2) Bentuk pasif :
D18K
V. gol. I contoh : yomu ‘membaca’
Yoma + -reru yomareru ‘dibaca’
V. gol. II contoh : oshieru ‘mengajar’
Oshie + -rareru oshierareru ‘diajar’
V. gol, III contoh : kuru ‘datang’
Ko + -rareru korareru ‘didatangi’
Suru ‘melakukan’
Sa + reru sareru ‘dilakukan’
(3) Bentuk yang menyatakan keinginan
V. gol. I, contoh : yomu ‘membaca
Yoma –tai yomitai ‘ingin membaca’
V. gol. II, contoh : oshiery ‘mengajar’
Oshie + -ta oshietai ‘ingin mengajar’
V. gol. III, contoh : kuru ‘datang’
Ki + -tai kitai ‘ingin datang’
Suru ‘melakukan’
Shi + tai shitai ‘ingin melakukan’
(4) Bentuk yang menyatakan kala lampau
V. gol. I, contoh : yomu ‘membaca’
yon + -nda yonda ‘sudah membaca’
yoma + -nai yomanai ‘tidak membaca’
yoma + -nakatta yomanakatta ‘tidak
membaca’ (kala lampau)
yomi + -masen yomimasen ‘tidak
membaca’
yomi + -masen deshita yomimasen deshita
tidak membaca’ (kala
lampau)
V. gol. II, contoh : oshieru ‘mengajar’
Oshie + -ta oshieta ‘sudah mengajar’
D19K
Oshie + -nai oshienai ‘tidak mengajar’
Oshie + -nakatta oshienakatta ‘tidak
mengajar’ (kala lampau)
Oshie + -masen oshiemasen ‘tidak
mengajar’ (kala lampau)
Oshie + -masendeshita oshiemasen deshita
‘tidak mengajar’ (kala
lampau)
V. gol. III, contoh : kuru ‘datang’
Ki + -ta kita ‘sudah datang’
Ko + nai ‘tidak datang
Ko + -nakatta konakatta ‘tidak datang’
(kala lampau)
Ki + -masen kimasen ‘tidak datang’
(kala lampau)
Ki + -masen deshita kimasen deshita ‘tidak
datang’ (kala lampau)
Suru ‘melakukan’
Shi + -ta shita ‘sudah melakukan’
Shinai ‘tidak melakukan’
Shi + -nakatta shinakatta ‘tidak
melakukan’ (kala lampau)
Shi + -masen shimasen ‘tidak
melakukan’ (kala kini)
Shi + -masen deshita shimasen deshita ‘tidak
melakukan’ (kala lampau)
(5) Bentuk verba kemampuan. (dapat)
V. gol. I, contoh : yomu ‘membaca’
Yome + -ru yomeru ‘datap membaca’
D20K
V. gol. II, contoh : oshieru ‘mengajar’
Oshie + -rareru oshierareru ‘dapat mengajar’
V. gol. III, contoh : kuru ‘datang’
Ko + -rareru korareru ‘dapat datang’
Suru ‘melakukan’
Sa + -reru sareru ‘dapat melakukan’
(6) Verba majemuk
Contoh : motsu ‘membaca’ + iku ‘pergi motte iku ‘pergi
membawa’
Kau ‘membeli’ + yaru ‘memberi’ katte yaru
‘membelikan’
(7) Aspek
Contoh : miru ‘lihat’ + -te iru mi + -te iru mite iru
‘sedang
melihat/menonton’
Akeru ‘membuka’ + -te aru ake + -te aru
akete aru ‘terbuka’
2.5.2 Penegasian Verba dalam Bahasa Jepang
Penegasian verba dalam bahasa Jepang digunakan dua jenis, yaitu :
1. Verba Pangkal (stem), yang dilekati sufiks –nai, seperti :
Hanasu ‘berbicara’ hanasanai ‘tidak berbicara’
Oshieru ‘mengajar’ oshienai ‘tidak mengajar’
Kuru ‘datang’ konai ‘tidak datang’
Suru ‘melakukan sinai ‘tidak melakukan’
2. Verba pangkal (stem) yang dilekati sufiks –masen, seperti:
Hanasu ‘berbicara’ hanashimasen ‘tidak berbicara’
Oshieru ‘mengajar’ oshiemasen ‘tidak mengajar’
Kuru ‘datang’ kimasen ‘tidak datang’
D21K
Suru ‘melakukan simasen ‘tidak melakukan’
Selain dari dua jenis di atas, terdapat pula variannya yang merupakan kala
lampau, seperti
Kala kini Kala lampau
Hanasanai tidak berbicara hanasanakatta tidak berbicara
Hanashimasen tidak berbicara hanashimasen deshita tidak berbicara
D22K
BAB III
METODE PENELITIAN DAN KAJIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini bertujuan
membuat deskripsi yang sistematis dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta
hubungan fenomena-fenomena yang diteliti (Djajasudarma, 1993: 8).
Menggunakan metoda deskriptif, yaitu penelitian dilakukan semata-mata
berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris
hidup pada penuturnya. Dengan demikian hasil yang diharapkan berupa peran
bahasa yang bersifat ponet atau paparan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1992:
62).
Dalam pengumpulan data, digunakan teknik dasarsimak dengan teknik
lanjutan teknik simak catat. Teknik ini digunakan karena sumber data utama yang
ditetapkan berupa sumber tulis yang berbentuk buku, koran dan majalah.
Sebagai data penunjang, selain hasil intuisi penelitian sendiri, dilakukan
pula wawancara dengan informan. Dengan demikian, data yang didapat akan lebih
akurat.
3.2 Metode Kajian
Dalam penelitian ini digunakan kajian distribusional. Metode distribusional
memiliki alat penentu yang berasal dari unsur Bahasa yang diteliti (Djajasudarma,
1993 : 60). Digunakannya metode ini adalah atas pertimbangan bahwa setiap
Bahasa berhubungan satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang padu
(Saussure, 1996 ; dalam Djajasudarma, 1993 : 60)
Metode kajian distribusional memiliki teknik dasar yang disebut teknik
‘Bagi Ubsur Langsung’ (BUL). Teknik ini mengawali kerja analisis dengan
membagi satuan lingual data menjadi beberapa bagian atau unsur (lihat pula
Sudaryanto, 1993 : 31).
D23K
Teknik Kajian bagi unsur langsung
1) Yomanai ‘tidak membaca’
Yomu ‘membaca’ nai ‘negasi’
Stem suffiks
Yom -u
Yom -a -nai
2) Oshienai ‘tidak mengajar’
Oshieru ‘membaca’ nai ‘negasi’
Akar suffiks
Oshie -ru
Oshie -nai
3) Konai ‘tidak datang’
Kuru ‘datang’ nai ‘negasi’
Akar suffiks
ku -ru
ko -nai
D24K
pelesapan Silabe akhir bagi verba gol. II
pelesapan silabe akhir bagi Vgol. III
4) Shinai ‘tidak melakukan’
Suru ‘melakukan’ nai ‘negasi’
Akar suffiks
su -ru
shi -nai
3.3 Sumber Data
Sumber data utama adalah bahasa tulis seperti buku-buku pelajaran, buku
ilmiah, majalah, novel, bulletin. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata yang
mengandung bentuk –nai dalam tataran kalimat. Dari pemilahan data kalimat
tersebut, peneliti akan meneliti bentuk-bentuk negasi dari verba dalam bahasa
Jepang. Data lisan diperlukan jika peneliti merasa ragu-ragu terhadap
keberterimaan data tulis yang dikaji.
Sebagai sumber data lisan, ditentukan informan dengan kriteria penutur
asli bahasa Jepang. Persyaratan untuk menjadi informan, adalah : 1) dewasa; 2)
penutur asli bahasa yang diteliti; 3) cerdas; 4) memiliki kesiapan mental untuk
menjadi informan; 5) alat artikulasinya baik.
Beberapa karya tulis yang dipakai sebagai sumber data adalah sebagai
berikut:
(1) Buku Samazamana Hyogen Vol 1, edisi 1995
(2) Buku Serufu Masuta Shirizu 6. Bun no Nobekata, edisi 1996
(3) Buku Kiso Nihogo Bunpo I, edisi 1977.
(4) Buku Minna No Nihongo I, edisi 1998
(5) Buku Minna No Nihongo II, edisi 1998
D25K
pelesapan silabe akhir bagi Vgol. III
DAFTAR PUSTAKA
1. Alisyahbana, S. Takdir
1986 Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia, Jilid II, Jakarta : Dian
Rakyat
2. Badudu, J.S
1983 Pedoman Penulisan Tatabahasa Indonesia, Jakarta,
Depdikbud
3. Djajasudarma, T. Fatimah
1993 a. Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung;
Eresco.
1993 b. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna; Bandung, Eresco.
1993 c. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan
Kajian, Bandung, Eresco
4. Kato
1989 Nihongo Gaisetsu, Tokyo; Oofu
5. Koizumi, Tamotsu
1993 Nihongo Kyoshi no Tame no, Gengogaku Nyumon, Tokyo
Daishukan Shoten
6. Kridalaksana, Harimurti
1982, Fungsi dan gaya Bahasa, Ende: Nusa Indah
1994, Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia, Jakarta : PT Gramedia
1996, Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: PT
Gramedia
7. Lyons, John
1995 Pengantar Teori Linguistik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
8. Maruyama, Keisuke
1995 Samazamana Hyogen Vol 1, Tokyo, Bonjinsha.
9. Masuoka, Takashi
1989 Kiso Nihongo Bunpo, Tokyo : Kuroshio Shuppan
D26K
10. Moriyama, Takuro
1996, Serufu Masuta Shirizu 6, Tokyo: Kuroshio Shuppan
11. Sakata, Yukiko
1980 Bunpo II, Tokyo: Bonjinsha
12. Tadjuddin, Moh.
1993 “Makna Aspektualitas Inheren Verba Bahasa Indonesia”,
dalam majalah ilmiah Universitas Padjadjaran, Bandung:
Universitas Padjadjaran.
13. Taketoki, Yoshikawa
1989 Nihongo Bunpo Nyumon, Tokyo: Aruku.
14. Tamamura, Fumio
1992 Nihongogaku o Manabu Hito no Tame ni, Tokyo,
Sekkaishisosha.
15. Tanaka, Toshiko
1993 Nihongo No Bunpo, Tokyo; Kindai Bungeisha.
16. Teramura, Hideo
1987 Nihon Bunpo, Tokyo; Oofu
17. Verhaar, J.W.M
1996 Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta, Gajah Mada
University Press.
D27K