Download - teori habitus
PIERRE BOURDIEURiwayat Singkat
Pierre Bourdieu (1930-2002) adalah sosiolog Perancis dan penulis yang dikenal karena pandangan politiknya yang vokal dan
keterlibatannya dalam isu-isu publik. Bourdieu adalah salah satu pemain terkemuka dalam kehidupan intelektual Perancis. Ia
menjadi “referensi intelektual” bagi gerakan yang menentang neo-liberalisme dan globalisasi, yang berkembang di Perancis dan
bagian dunia lain selama 1990-an.
Pemikiran Pierre Bourdieu, boleh dikatakan membuka tradisi baru dalam wacana sosiologi. Pendekatan sosiologi sebelumnya tidak
jauh berbeda dengan pendekatan ekonomi klasik yang melihat fenomena sosial sebagai produk-produk tindakan individual. Pada
Bourdieu, kita melihat suatu upaya penyatuan kedua unsur ini, yakni antara agen dengan struktur, antara objektivisme Marxian
dengan subjektivisme dari fenomenologi, antara kebebasan dan determinisme.
Bourdieu menggunakan metode-metode yang diserap dari berbagai disiplin ilmu: dari filsafat dan teori sastra ke sosiologi dan
antropologi. Ia sangat dikenal karena bukunya, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, di mana ia berargumen
bahwa penilaian-penilaian selera itu berhubungan dengan posisi sosial.
Bordieu mengkombinasikan teori dan fakta-fakta yang bisa diverifikasi, dalam usaha mendamaikan kesulitan-kesulitan, semacam
bagaimana memahami subyek di dalam struktur obyektif. Dalam proses itu, ia mencoba mendamaikan pengaruh dari dua hal –latar
belakang sosial dan “pilihan bebas”—terhadap individu.
Bourdieu merintis kerangka investigatif dan terminologi seperti modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik, serta konsep
habitus, ranah (field) atau lokasi, dan kekerasan simbolik untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial.
Karyanya menekankan peran praktik dan perwujudan atau bentuk-bentuk (forms) dalam dinamika sosial dan konstruksi pandangan-
dunia, yang sering bertentangan dengan tradisi filsafat Barat yang diuniversalkan.
Bourdieu sendiri lahir di Desa Denguin (Distrik Pyrenees-Atlantiques), di selatan Perancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah
seorang petugas pos desa. Ia mendapat pendidikan di lycée (SMA) di Pau, sebelum pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, dan
akhirnya masuk ke Ecole Normale Supérieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis Althusser di Paris di École Normale
Supérieure.
Sesudah lulus, ia bekerja sebagai guru lycée di Moulins dari 1955 sampai 1958, ketika ia bergabung dengan ketentaraan dan
dikirim ke Aljazair. Pada 1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair. Selama Perang Aljazair 1958-1962, Bourdieu melakukan
riset etnografis tentang benturan dalam masyarakat, lewat studi tentang masyarakat Kabyle dari suku Berbers. Ini menjadi landasan
bagi reputasinya di bidang antropologi. Hasilnya adalah buku karya pertamanya, Sociologie de L'Algerie (The Algerians), yang
segera meraih sukses di Perancis dan diterbitkan di Amerika pada 1962.
Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris untuk mengajar sampai 1964. Dari 1964 dan seterusnya, Bourdieu memegang jabatan
Direktur Kajian di École Pratique des Hautes Études (yang kemudian menjadi École des Hautes Études en Sciences Sociales), di
seksi Vie. Sejak 1981, ia menjabat ketua jurusan Sosiologi di Collège de France, di seksi VIe (yang sebelumnya dijabat oleh
Raymond Aron, Maurice Halbwachs, dan Marcel Mauss). Pada 1968, Bourdieu mengambil alih Centre de Sociologie Européenne,
pusat penelitian yang didirikan oleh Aron, yang terus Bourdieu pimpin sampai saat wafatnya.
Pada 1975, bersama Luc Boltanski, Bourdieu meluncurkan jurnal interdisiplin Actes de la recherche en sciences sociales, dengan
mana ia berusaha mentransformasi kanon-kanon produksi sosiologis yang sudah diterima seraya menopang kekakuan ilmiah
sosiologi. Pada 1993 Bourdieu mendapat penghargaan "Médaille d'or du Centre National de la Recherche Scientifique" (CNRS).
Lalu pada 1996, ia menerima Penghargaan Goffman dari University of California, Berkeley, dan pada 2002, meraih Medali Huxley
dari Royal Anthropological Institute. Bourdieu menikahi Marie-Claire Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra. Ia meninggal
karena kanker pada usia 71 tahun.
Beberapa contoh hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Bourdieu selama hidupnya antara lain :
• Walaupun kebebasan untuk memilih terlihat jelas dalam budaya Perancis, namun selera seni masyarakat (misalnya:
dalam memilih musik klasik, tradisional atau Rock) sangat berkorelasi dengan posisi mereka di dalam ruang sosial (social
space) .
• Seluk-beluk bahasa seperti aksen, grammar, pengucapan, dan gaya bahasa—sebagai bagian dari cultural capital—
merupakan faktor utama dalam mobilitas sosial (misalnya: mendapatkan kenaikan gaji, kenaikan jabatan, dsb.
Bourdieu, dalam pemikirannya mengkritik pemikiran dari sejumlah Marxists yang mengatakan bahwa masyarakat dapat dianalisis
secara sederhana melalui kelas-kelas dan ideologinya. Ia menggunakan konsep field, yakni arena sosial dimana orang berstrategi
dan berjuang untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan. Field disebut juga sebagai sistem dari kedudukan sosial yang
terstruktur secara internal dalam hubungan kekuasaan. Field mempunyai otonomi, dan semakin kompleks suatu masyarakat, maka
semakin banyak field yang terdapat didalamnya.
Teori yang dikembangkan oleh Bourdieu adalah reproduksi kelas: dimana satu generasi dari suatu kelas memastikan bahwa ia
mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak istimewanya kepada generasi berikutnya. Misalnya pendidikan. Agar dapat sukses
dalam pendidikan, maka dibutuhkan keseluruhan rangkaian dari perilaku kultural (cultural behavior). Anak dari keluarga menengah
ke atas telah mempelajari perilaku ini, sementara temannya yang berasal dari kelas pekerja tidak. Oleh karena itu, anak tersebut
dapat sukses dalam sistem pendidikan dan mereproduksi kedudukan sosialnya.
Bourdieu melihat bahwa legitimasi dari cultural capital sebagai sesuatu yang krusial terkait dengan efektivitasnya sebagai sumber
kekuasaan. Hal tersebut juga dilihat sebagai kekerasan simbolik, yakni kekerasan yang halus dan tak tampak, yang bersembunyi
dibalik pemaksaan dominasi. Yang dimaksud adalah, dominasi (ide, gagasan, kekuasaan) dilakukan dengan cara yang sangat
halus sehingga ia tidak tampak sebagai sebuah pemaksaan dominasi; kemudian akhirnya dominasi tersebut diakui secara salah
dan meskipun demikian, hal itu dianggap sah atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Jadi dalam contoh kasus tadi, anak-anak yang
berasal dari kelas pekerja menganggap itu sebagai sesuatu yang logis dan tidak perlu dipertanyakan lagi, bahwa teman mereka
yang berasal dari kelas menengah keatas dapat sukses dalam sistem pendidikan, seperti halnya dengan apa yang terlihat. Unsur
kunci dari proses ini adalah transformasi dari cultural habit atau kedudukan ekonomi ke dalam symbolic capital, yang diakui serta
dikenal dan kemudian cenderung memperkuat hubungan kekuasaan yang membentuk struktur dari ruang sosial.
Kemudian Bourdieu mengenalkan konsep Habitus, yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yang bertahan dalam jangka
panjang, dan disebabkan oleh suatu kondisi objektif, namun tetap berlangsung, bahkan ketika kondisi tersebut sudah berubah.
Bourdieu melihat Habitus sebagai kunci reproduksi, karena ia membangkitkan praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial.
Habitus yang ada dalam setiap individu menggunakan berbagai macam bentuk dalam memanifestasikan dirinya ke dalam setiap
aspek dari interaksi manusia dengan dunia. Tidak hanya berupa ide atau pola dalam berbicara atau berpakaian, namun juga
menunjuk kepada raga dan tingkah laku.
Berdasarkan penjelasan diatas, Bourdieu berusaha untuk menunjukkan bahwa raga tidak hanya berada dalam dimensi sosial,
namun juga dimensi sosial berada di dalam raga (In Other Words; p190.). Dan semua ini termanifestasikan dalam bagaimana kita
berdiri, berbicara, dan tentunya berpikir serta berperasaan.
Filsuf-filsuf yang Mempengaruhi Bourdieu
Karya Bourdieu dibangun di atas teori-teori Ludwig Wittgenstein, Maurice Marleau-Ponty, Edmund Husserl, Georges Canguilhem,
Karl Marx, Gaston Bachelard, Max Weber, Emile Durkheim, dan Norbert Elias. Pengaruh yang terlihat jelas terhadap Bourdieu
adalah dari Blaise Pascal, terhadap siapa Bourdieu memberi judul bukunya Pascalian Meditations.
Karya Bourdieu dipengaruhi oleh antropologi dan sosiologi tradisional, yang ia sintesiskan ke dalam teorinya sendiri. Dari Max
Weber, ia memperoleh kesadaran tentang pentingnya dominasi dan sistem simbolik dalam kehidupan sosial, serta gagasan tatanan
sosial yang akhirnya akan ditransformasikan oleh Bourdieu ke dalam teori ranah-ranah (fields).
Dari Karl Marx, ia memperoleh antara lain pemahaman tentang “masyarakat” sebagai penjumlahan hubungan-hubungan sosial:
“yang eksis dalam dunia sosial adalah hubungan-hubungan –bukan interaksi antara agen-agen, atau ikatan intersubyektif antara
individu-individu, namun hubungan-hubungan obyektif yang eksis secara independen dari kesadaran dan kehendak individual.”
Hubungan-hubungan itu berlandaskan pada bentuk dan kondisi-kondisi produksi ekonomi, dan kebutuhan untuk secara dialektis
mengembangkan teori sosial dari praktik sosial.
Dari Emile Durkheim, akhirnya, Bourdieu mewarisi semacam pendekatan deterministik tertentu, dan melalui Marcel Mauss dan
Claude Levi-Strauss, ia mewarisi gaya strukturalis yang menekankan kecenderungan struktur-struktur sosial untuk mereproduksi
dirinya sendiri. Bagaimanapun, Bourdieu secara kritis menyimpang dari analisis Durkhemian ini, yang menekankan peran agen
sosial dalam memainkan tatanan-tatanan simbolik melalui perwujudan struktur-struktur sosial. Bourdieu lebih jauh menekankan
bahwa reproduksi struktur-struktur sosial tidak beroperasi menurut logika fungsionalis.
Tokoh lain yang mempengaruhi Bourdieu adalah Maurice Marleau-Ponty. Melalui filsuf ini, fenomenologi Edmund Husserl
memainkan peranan esensial dalam perumusan fokus Bourdieu pada tubuh, tindakan, dan disposisi praktis, yang memperoleh
manifestasi utamanya pada teori habitus Bourdieu.
Bourdieu juga mengklaim dipengaruhi oleh karya Wittgenstein tentang mengikuti-aturan (rule-following), dengan menyatakan bahwa
“Wittgenstein barangkali adalah filsuf yang paling membantu saya pada momen-momen sulit. Dia adalah sejenis penyelamat pada
saat-saat tekanan intelektual yang berat.” Karya Bourdieu dibangun di atas usaha untuk mentransendensi serangkaian oposisi-
oposisi yang mewarnai ilmu-ilmu sosial (seperti: subyektivisme-obyektivisme, mikro-makro, kebebasan-determinisme). Secara
khusus, ia melakukan hal ini melalui inovasi-inovasi konseptual. Konsep-konsep habitus, modal, dan ranah memang disusun
dengan niat untuk menghapuskan oposisi-oposisi semacam itu.
Kritik Bourdieu Terhadap Pemikiran Sebelumnya
Perdebatan para ahli ilmu sosial mengenai peran “agensi” (individu atau tindakan individu) dan “struktur” dalam masyarakat cukup
berkepanjangan. Di satu pihak hadir subyektivisme yang lebih mengedepankan agen sebagai individu yang otonom dalam
masyarakat. Struktur tidak lain merupakan deretan kegiatan yang dilakukan oleh agen otonom, dan sengaja dibuat begitu adanya
oleh agen. Yang merupakan barisan dari subyektivisme antara lain: fenomenologi, eksistensialisme, teori pilihan rasional,
etnometodologi dan segala variannya. Di lain pihak, obyektivisme yang mencakup strukturalisme, fungsionalisme, materialisme dan
varian lainnya, mengatakan bahwa struktur, situasi dan kondisi dalam masyarakat merupakan sesuatu rujukan fundamental untuk
menganalisa fenomena sosial, termasuk untuk menyimpulkan fenomena tindakan individu.
Pemikiran Pierre Fellix Bourdieu hadir untuk mensintesiskan peran agen dan struktur. Sebelum Bourdieu, hadir beberapa sosiolog
yang mengajukan teori untuk mendamaikan peran agen dan struktur, sebagai dualitas, dalam membaca dan menganalisa struktur
masyarakat, gejala sosial, perubahan sosial dan lainnya. Di antaranya; Peter L. Berger, Thomas Luckmann, Anthony Giddens,
Archer, dan Jurgen Habermas.
Bourdieu mempunyai ciri khas yang membedakan teorinya dengan ahli sosial yang tersebut di atas dalam pergulatan ini. Yakni
dengan mengajukan konsep Habitus, Capital, dan Field sebagai kata kunci dalam memahami pemikirannya dalam usahanya
menautkan peran agen dan struktur. tulisan ini akan berusaha menghadirkan pemikiran Bourdieu tersebut.
Bourdieu yang lahir di Prancis, 1 April 1930 dan menempuh kuliah di Ecole Normale superieure salah satu perguruan tinggi di Paris
dan sempat belajar kepada Sartre, Foucoult, Levinas dll, cukup memahami atmosfir intelektualitas di Prancis. Saat itu
Eksistensialisme Sartre menjadi “mode” yang digandrungi oleh kalangan akademisi. Selain eksistensialisme, aliran yang dominan di
Prancis yakni Strukturalisme.
Bourdieu tidak begitu saja ikut larut dalam wacana eksistensialisme, namun ia mengkritiknya. Di antara beberapa pemikiran yang
mengamini kedaulatan agen, yang paling berbahaya baginya adalah eksistensialisme. Kritiknya terhadap Eksistensialisme dan
aliran lainnya yang mengedepankan kedaulatan agen, bagi Bourdieu, agensi tidak berdaulat penuh ketika bertindak dan menata
kehidupan sosial. Ada nuansa eksternal yang diinternalisasi oleh agensi, yang seolah-olah independensi kesadaran agensi
tersebut. Sebagai gambaran, seorang perempuan berdasarkan kesadarannya dan pilihan bebasnya, memberikan jawaban “ya” atas
pertanyaan apakah Antonio Banderas bisa dikategorikan sebagai pria ganteng? Kategori ganteng tersebut tidak berangkat dari
kesadaran dan pilihan individu an sich, namun ada unsur eksternal yang membuat perempuan tersebut menjawab “ya”, yakni
konstruksi budaya masyarakat, konstruk media dan lainnya yang mengarahkan individu tersebut (baik langsung maupun tidak
langsung, secara sadar maupun tidak sadar) kepada konstruk mengenai kategori ketampanan. Pilihan rasional individu bukan
berangkat dari “kekosongan”, seperti yang diajukaan kaum eksistensialis, namun, selain lahir dari pergolakan pribadi, juga merujuk
pada eksternalitas yang telah diinternalisasi agen.
Sedangkan kritik ia terhadap strukturalisme tertuju pada konsepsi parole dan langue dalam strukturalisme Saussure. Dalam ilmu
sosial langue merujuk pada struktur dan parole merujuk pada individu. Langue (struktur) menjadi kunci otonom untuk mengetahui
parole (individu). Tindakan individu dalam ruang dan waktu hanyalah suatu kebetulan, yang digerakkan oleh struktur. Jadi, jika kita
ingin memahami gejala sosial, kita tidak merujuk pada kerja/tindakan individu, tapi merujuk pada struktur, karena strukturalisme
cenderung mengebawahkan pelaku dan tindakannya pada totalitas gejala.
Begitu juga dengan Fungsionalisme, pemikiran ini menjadikan agen sebagai entitas dari keseluruhan (struktur). Ibaratnya
masyarakat adalah tubuh maka individu-individu adalah tangan, kaki, kepala, telinga dsb, yang setiap individu tersebut mempunyai
peran masing-masing dan saling terikat membentuk jalinan yang yang saling bergantung. Sehingga individu hanyalah entitas yang
tak terpisahkan dan bergantung pada unsur eksternalnya. Sedangkan kritik Bourdieu terhadap pemikiran besar tersebut,
menurutnya agensi tidak semata larut dalam struktur, akan tetapi agensi mempunyai peran dalam pembentukan struktur tersebut
Bagi Bourdieu, pembacaan Strukturalis terhadap realitas sosial tidak lain adalah “ilusi sinopsis”, yang terlalu menyederhankan apa
yang sesungguhnya terjadi dan ada dalam realitas sosial. Juga, mereka cenderung generatif dalam membaca realitas sosial.
Celakanya, menurut Bourdieu, mereka pemikir strukturalis merasa superior dan merasa paling mempunyai wewenang dalam
membaca realitas sosial. Oleh karena itu Bourdieu memberikan saran untuk kembali ke “native” dalam membaca realitas sosial.
Pemikir strukturalis hanyalah orang yang mencoba menggambarkan, membaca, dan menguraikan realitas sosial, hingga ingin
memecahkannya. Hasilnya merupakan hanya pemikiran yang subyektif, merupakan suka cita pemikir belaka. Dari refleksinya itu,
Bourdieu menerbitkan istilah baru yakni sosiolgy of sociology guna membongkar kepatenan suatu teori sosial
Keberatannya terhadap pemikiran yang mengedepankan salah satu dari agen dan struktur, melahirkan usaha Bourdieu untuk
menjadikan dua hal tersebut sebagai dualitas yang bersifat resiprokal dalam membentuk struktur masyarakat. Lebih jelasnya, mari
kita tilik pembahasan di bawah.
Habitus
Sebenarnya Teori Piere Bourdieu didasari oleh keinginan untuk menanggulangi apa yang Bourdieu anggap sebagai kekeliruan
dalam mempertentangkan antara objektivisme dan subyektivisme, atau antara individu dan masyarakat. Sebelumnya, ia
menganggap pemikiran Durkheim, strukturalisme Saussure, Levi Strauss, dan structural Marxis sebagai teoritisi obyektivisme, yang
banyak menuai kritik karena mengabaikan agen dan keagenan. Berbeda dengan hal itu, Bourdieu cenderung menyukai teoritisi
strukturalis ,namun tidak mengabaikan agen . Maka dari itu, ia pun terinspirasi oleh penganut subyektivisme seperti : Sartre, Schutz,
Blumer, dan Garfinkel yang dianggap sebagai contoh subjektivisme.
Bourdieu memusatkan perhatiaan pada praktik untuk mengelakkan dilema antara obyektivisme dan subyektivisme . Disebabkan
karena menurutnya praktik merupakan hasil hubungan dialektika antara struktur dan keagenan . Dalam hal ini praktik tidak
ditentukan secara obyektif , tetapi bukan pula hasil dari kemauan bebas. Boerdieu akhirnya memberikan nama orientasi teoritisnya
sebagai strukturalisme genetis/ strukturalisme kontruktivis/ kontruksialisme stukturalis.
Walaupun Bourdieu dapat berhasil membatasi stukturalisme dan kontruktivisme, namun karyanya menunjukan kecenderungan
pada arah strukturalisme, yakni dengan banyaknya kesamaan dengan strukturalisme daripada kontruktivisme.. Berbeda dengan
kebanyakan teoritisi lain , menurutnya cara actor merasa berdasarkan posisinya dalam membangun kehidupan sosial adalah
penting, namun persepsi dan konstruksi yang ada didalamnya itu digerakkan dan dikendalikan oleh stuktur Hal itu tercermin dalam
definisinya mengenai persepktif teoritisnya bahwa analisis struktur objektif tidak dapat dipisahkan dari analisa asal usul struktur
mental actor individual yang hingga pada taraf tertentu adalah produk dari gabungan gstruktur sosial itu sendiri .
Konsep Bourdieu tentang habitus diilhami oleh pemikiran Marcel Mauss ‘teknik tubuh dan hexis. Kata itu sendiri dapat ditemukan
dalam karya Norbert Elias, Max Weber, Edmund Husserl dan Erwin Panofsky habitus adalah struktur mental atau kognitif yang
digunakan actor untuk menghadapi kehidupan sosial. Karena actor telah diberikan serangkaian skema atau pola yang
diinternalisasikan yang digunakan untuk untuk merasakan memahami, menyadari dan menilai dunia sosial . Secara sederhana
habitus merupakan sekian produk perilaku yang muncul dari berbagai pengalaman hidup manusia, yang juga merupakan akumulasi
dari hasil kebiasaan dan adaptasi manusia , yang bahkan dapat muncul tanpa disadari .
Bourdieu tidak mengartikan Habitus secara sederhana sebagai kebiasan seseorang atau tabiat yang melekat pada diri seseorang.
Bourdieu cukup rumit dalam mejelaskan makna Habitus, namun mudah kita pahami. Habitus merupakan “a dialectic of
internalization of externality and the externalization of internality”, Habitus berangkat dari kesejarahan seseorang yang sudah
mengalami proses internalisasi yang lama dan akut dalam diri sesorang, kemudian tereksternalisasi ulang dalam ruang yang
memungkinkan untuk mengimprovisasi. Bersifat dinamis. Atau “sejarah yang mendarah-daging pada individu, terinternalisasi secara
alani sehingga dilupakan sebagai sejarah”. Habitus meresap dalam diri, terdisposisi, dan menjadi bagian yang tidak bisa lepas dari
agensi.
Habitus juga merupakan proses bagaimana agensi tidak menerima mentah-mentah struktur. Agensi yang menginternalisasi struktur,
tetap mempunyai ruang-ruang refleksi atas pilihan-pilihan rasionalnya, prinsip-prinsip, strategi-strategi sebagai saringan sebelum
agensi mengimprovisasinya.
Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia social. Orang dibekali dengan
serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk memersepsi , memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia
sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi sosialdalam waktu yang panjang, sehingga habitus bervariasi pada
sifat posisi seseorang di dunia tersebut. Jadi, habitus antara orang satu dengan orang lain tidak sama.
Habitus yang termanifestasikan pada individu tertentu diperoleh dalam proses sejarah individu dan merupakan fungsi dari titik
tertentu dalam sejarah social tempat ia menempati. Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah yakni dipengaruhi oleh
arena. Namun, orang mungkin saja memiliki habitus yang tidak pas, menderita sesuatu yang disebut hysteria. Misalnya orang yang
tercerabut dari eksistensi agrarisnya di masyarakat prakapitalis kontemporer yang kemudian bekerja di Wall Street. Habitus yang
diperoleh di masyarakat prakapitalis tidak memungkinkan orang untuk dapat mengatasi kehidupan di Wall Street.
Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Di satu sisi , habitus menstrukturkan struktur artinya habitus adalah struktur
yang menstrukturkan dunia social. Di sisi lain, habitus adalah struktur yang terstrukturkan artinya bahwa habitus adalah struktur
yang distrukturkan oleh dunia social. Dengan istilah lain Bourdieu menggambarkan habitus sebagai “ dialektika internalisasi
eksternalisasi dan eksternalisasi internalisasi. Jadi habitus memungkinkan Bourdieu keluar dari keharusan memilih antar
subjektivisme dengan objektivisme, keluar dari kendali filsafat subjek tanpa mengabaikan agen maupun dari kendali filsafat struktur
namun tanpa lupa mempertimbangkan efek yang ditimbulkannya pada dan melalui agen.
Praktik inilah yang menghubungkan antara habitus dengan dunia social. Di satu sisi, melalui praktik inilah habitus diciptakan, di sisi
lain habitus adalah akibat dari praktik yang diciptakan dunia social. Bourdieu mengemukakan fungsi mediasi praktik ini ketika
mendefinisikan habitus sebagai system disposisi yang terstrukturkan dan menstrukturkan yang dibangun oleh praktik dan secara
konstan ditujukan pada fungsi- fungsi praktik.
Meskipun habitus adalah satu struktur terinternalisasi yang menghambat pikiran dan pilihan bertindak, namun habitus tidak
menentukannya. Tiadanya determinisme ini adalah salah satu hal utama yang membedakan posisi Bourdieu dengan posisi
strukturalis arus utama. Habitus sekadar menyarankan apa yang seharusnya dipikirkan orang dan apa yang seharusnya mereka
pilih untuk dilakukan. Habitus memberikan prinsip yang digunakan orang untuk memilih strategi yang akan mereka gunakan di
dunia social.
Habitus bekerja di bawah level kesadaran dan bahasa, diluar jangkauan pengawasan dan control intropeksi kehendak. Meskipun
tidak sadar akanhabitus dan cara kerjanya,habitus memujudkan diri disebagian besar aktivitas praktis kita seperti cara makan,
berjalan, berbicara. Habitus bekerja sebagai struktur, namun orang tidak sekadar merespon secara mekanis terhadapnya atau
terhadapa struktur eksternal yang beroperasi padanya.
Konsep Bourdieu tentang habitus diilhami oleh pemikiran Marcel Mauss ‘teknik tubuh dan hexis. Kata itu sendiri dapat ditemukan
dalam karya Norbert Elias, Max Weber, Edmund Husserl dan Erwin Panofsky. Bagi Bourdieu, habitus itu penting dalam
menyelesaikan sebuah antinomy terkemuka ilmu-ilmu manusia: objektivisme dan subjektivisme. Habitus dapat didefinisikan sebagai
suatu sistem disposisi (abadi, mengakuisisi skema persepsi, pemikiran dan tindakan). Agen individu mengembangkan disposisi ini
sebagai tanggapan terhadap kondisi obyektif itu menemukan. Dengan cara ini, Bourdieu berteori penanaman struktur sosial obyektif
ke dalam pengalaman, subyektif mental agen. Untuk bidang sosial tempat tujuan persyaratan peserta untuk keanggotaan, sehingga
untuk berbicara, dalam lapangan. Setelah diserap sehingga struktur sosial obyektif menjadi seperangkat disposisi pribadi kognitif
dan somatik, dan struktur subjektif tindakan agen kemudian menjadi sepadan dengan struktur tujuan dan urgensi yang masih ada
dari bidang social.
Habitus mengingatkan kita pada konsep-konsep sosiologis yang sudah ada sebelumnya seperti sosialisasi, tapi habitus juga
berbeda dari konsep-konsep yang lebih klasik dalam beberapa cara penting. Pertama, aspek sentral dari habitus adalah
perwujudan nya: tidak hanya habitus, atau bahkan terutama, fungsi pada tingkat eksplisit, kesadaran diskursif. Struktur internal
menjadi terwujud dan bekerja di lebih dalam, praktis dan seringkali cara pra-refleksif. Dalam pengertian ini, konsep tersebut memiliki
sesuatu yang sama dengan konsep Anthony Giddens ‘kesadaran praktis.
Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus
diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang tergantung
pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang
sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.
Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif, dimana seorang individu bereaksi secara efisien dalam semua aspek kehidupan.
Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah struktur yang menstruktur artinya habitus
adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus
adalah struktur yang distruktur oleh dunia sosial. Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur
dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai cara, yaitu:
• Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup)
• Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)
• Sebagai perilaku yang mendarah daging
• Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)
• Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis
• Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang karier.
Habitus membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan, keterampilan, rutinitas dan strategi untuk memproduksi
status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan yang
berbeda. Habitus menempati fungsi-fungsi sebagai [a] Matrix of Perception; Habitus merupakan batu pijakan seseorang dalam
berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dan berlabuhnya proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar
belakang agen (sejarah). [b] Appreciation; Habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau
cara pandang terhadap sesuatu. [c] Action; Habitus merupakan basis bagi individu untuk melakukan aksi.
Tiga hal tersebut merupakan cerminan dari Habitus. Contoh; bagi orang Sunda mustahil memberi apresiasi terhadap lagu Lingsir
Wengi, lagu Campur sari yang dinyanyikan Didi Kempot. Dan ketika seorang nDeso yang hampir tidak pernah mengakses informasi
mencoba mempersepsi atau memikirkan tentang harga barang bahan pokok naik untuk sekarang ini, mereka cenderung
menganggap bahwa hal tersebut akibat kebijakan pemerintah, sehingga mereka cenderung menyalahkan pemerintah. Berbeda
halnya dengan ekonom, mereka akan memikirkan kenaikan harga barang itu secara sistematis dan menyeluruh, ini akibat dari krisis
global bla.. bla.. Contoh Action; seorang udik dari pelosok kampong yang kagum dengan dunia selebritis melalui tv, ketika jalan-
jalan ke Citos Jakarata untuk pertama kalinya, di sana mereka melihat Luna Maya dan Ariel Paterpan, mungkin mereka langsung
menunjukan reaksi dengan berteriak histeris dan segera meminta tanda tangan pada mereka. Mungkin berbeda dengan seseorang
yang mempunyai latar belakang masyarakat metropolis, sudah terbiasa dengan dunia gemerlap jakarta dan terbiasa bertemu
bahkan berkawan dengan berbagai artis dalam negeri, ketika bertemu dengan Luna Maya dan Ariel cendrung biasa tanpa reaksi.
Setiap orang mempunyai kecenderungan berbeda-beda dalam mempersepsi, mengapresiasi dan melakukan aksi, tergantung latar
belakang sejarahnya dan karaternya. Hal ini berdasarkan bahwa habitus setiap orang cenderung berbeda-beda. Sehingga dengan
adanya heterogenitas habitus ini maka dimungkinkan adanya perluasan-perluasan habitus, antar habitus saling bergesekan,
mencerap dan merebutkan makna dan mengidentifikasi diri dengan habitus yang sama dan habitus yang berbeda. Jika habitus
tersebut menemukan habitus-habitus lain yang identik mereka akan membentuk habitus komplek, atau kelas.
Demikian Bourdieu melihat habitus sebagai faktor penting yang berkontribusi untuk reproduksi sosial karena merupakan pusat
untuk menghasilkan dan mengatur praktik yang membentuk kehidupan sosial. Individu belajar untuk menginginkan apa kondisi
memungkinkan bagi mereka, dan tidak untuk bercita-cita apa yang tidak tersedia bagi mereka. Kondisi di mana kehidupan individu
menghasilkan disposisi kompatibel dengan kondisi ini (termasuk selera dalam seni, sastra, makanan, dan musik), dan dalam arti
pra-disesuaikan dengan tuntutan mereka.
Doxa dan Habitus
Doxa adalah kepercayaan dan nilai-nilai tak sadar, berakar mendalam, mendasar, yang dipelajari (learned), yang dianggap sebagai
universal-universal yang terbukti dengan sendirinya (self-evident), yang menginformasikan tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran
seorang agen dalam ranah (fields) tertentu. Doxa cenderung mendukung pengaturan sosial tertentu pada ranah tersebut, dan
dengan demikian mengistimewakan pihak yang dominan dan menganggap posisi dominan tersebut sebagai terbukti dengan
sendirinya (self-evident) dan lebih disukai secara universal (universally favorable). Karena itu, kategori-kategori pemahaman dan
persepsi yang membentuk habitus, yang selaras dengan organisasi obyektif dari ranah bersangkutan, cenderung untuk
mereproduksi struktur utama dari ranah tersebut.
Maka Bourdieu melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia bersifat sentral dalam membangkitkan dan mengatur
praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial. Individu-individu belajar untuk mendambakan hal-hal yang dimungkinkan bagi
mereka, dan tidak mengaspirasi hal-hal yang tidak tersedia bagi mereka.
Kondisi-kondisi di mana individu hidup membangkitkan disposisi-disposisi (kecondongan) yang cocok dengan kondisi-kondisi
tersebut (termasuk selera pada seni, sastra, makanan, dan musik), dan dalam arti tertentu mem-pra-adaptasi terhadap tuntutan-
tuntutan dari kondisi tersebut. Praktik-praktik yang paling tidak dimungkinkan dengan demikian disisihkan, sebagai hal-hal yang tak
terbayangkan, lewat semacam ketundukan segera terhadap tatanan tertentu. Tatanan tersebut membuat agen-agen condong untuk
mengerjakan sesuatu dengan suka hati, yaitu untuk menolak apa yang secara kategoris memang tertolak, dan untuk menghendaki
hal-hal yang memang tak terhindarkan.
Capital (Modal)
Usaha Bourdieu dalam menjadikan struktur dan agensi sebagai dualitas, selain tidak bisa dilepaskan dari konsepnya tentang
habitus, juga konsepnya tentang capital yang masih berkaitan erat dengan konsep habitus. Berbeda dengan konsep capital-nya
Marxian yang cenderung bersifat materialistik dan determinasi ekonomi yang kemudian menerbitkan pertentangan kelas, Bourdieu
tidak membatasi capital pada ekonomi. Menurutnya ada empat macam capital/modal. Yakni modal ekonomi (uang, harta benda,
kepemilikan dll.), modal kultural/budaya (modal informasi, pendidikan, keterampilan dll.), modal simbolis (agama, kharisma dll.).
Modal-modal tersebut tidak bersikap tertutup, memungkinkan antara modal satu dengan modal lainnya saling bersentuhan,
menegasi, menghadirkan modal lainnya. Di antara empat modal tersebut, menurut Bourdieu, yang mempunyai posisi penting dan
paling berpengaruh yakni modal ekonomi. Dalam keterkaitannya dengan habitus, modal memiliki peran yang penting. Dalam diri
seseorang, modal selalu hadir bersamaan dengan habitus. Seperti sedikit disinggung di atas bahwa pergulatan resiprokal antar
habitus dengan struktur yang dibarengi keikutsertaan agensi yang tidak begitu saja patuh kepada struktur. Agen selalu berusaha
untuk kreatif, memetakan strategi untuk mengimprovisasi. Di situlah empat modal tersebut mempunyai posisi yang penting, menjadi
bagian dari pergulatan agensi.
Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena modallah yang memungkinkan orang untuk
mengendalikan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Ada 4 modal yang berperan dalam
masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber
ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi
kepentingan sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah modal
budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:
• Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya
• Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi
• Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)
• Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.
• Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik dan buruk.
Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diri seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep
diatas maka akan dijelaskan hubungan ketiga konsep tersebut.
Arena (Field)
Istilah Field sering dipakai Bourdieu untuk menyatakan suatu arena sosial tempat bercengkramanya habitus-habitus yang di
dalamnya terdapat berbagai perjuangan dan maneuver antar habitus dalam memperebutkan makna, sumber daya, mengungguli,
mencari pengakuan, memosisikan diri dsb. Field bisa kita lihat dalam beberapa ruang simbolik dalam level makro: Negara, Dunia
Agama, Ekonomi, Universitas, Sunda, Jawa dsb. Dalam level mikro: Formaci, KMSGD, Fakultas Ushuludin, pesantren, Partai
Politik, Warung Apresiasi Seni, Pasar bawang, perusahaan telor asin dsb. Semuanya adalah arena perjuangan antara habitus
dengan habitus lainnya,. Agensi ketika menghadapi field tertentu harus mengetahui kode-kode dan aturan yang sudah berkembang
di dalamnya.
Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya.
Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah
intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh
struktur lingkungan.
Arena menurut Pierre Bourdie adalah jaringan relasi antar posisi subyektif yang keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran
dan kehendak individu. Relasi tersebut, bukan intersubyektif antar individu yang menduduki posisi, bisa jadi harapan agen atau
institusi itu terhambat oleh struktur arena itu sendiri.
Bourdie melihat arena sebagai lahan pertempuran dimana arena juga merupakan arena perjuangan yang menopang dan
mengarahkan strategi yang digunakan oleh orang –orang yang menduduki posisi ini untuk berupaya baik individu maupun kolektif,
mengamankan atau meningkatkan posisi mereka dan menerapkan prinsip hierarkisasi yang paling cocok untuk produk mereka. Di
sini Bourdieu juga menganalisis arena menjadi 3 konsep:
• Merefleksikan keutamaan arena kekuasaan, adalah menelusuri hubungan arena spesifik tertentu dengan arena politik
• Memetakan struktur subyektif hubungan antar posisi di dalam arena tersebut
• Menentukan sifat habitus agen yang menduduki berbagai jenis agen di dalam arena tersebut
Di sisi lain arena juga merupakan hal yang sejenis dengan pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai jenis modal (ekonomi,
cultural, social, simbolik ) yang digunakan dan dimanfaatkan, namun adalah arena kekuasaan (politik) yang paling penting, hierarki
hubungan kekuasaan dalam arena politik berfungsi menstrukturkan semua arena lain. Sehingga menurut Bourdie modal adalah
segala aspek kebutuhan yang harus dimiliki dan diusahakan oloeh setiap manusiademi menjaga kelangsungan hidupnya baik fisik
maupun biologisnya.
Posisi dari berbagai agen di arena tersebut ditentukan oleh jumlah dan bobot relative modal yang mereka kuasai. Bourdie bahkan
juga menggunakan gambaran militer untuk menggambarkan arena dengan menyebutnya “penempatan dan pendudukan strategis
yang harus dipertahankan dan dikuasai di arena pertempuran”. Adalah modal yang memungkinkan orang mengendalikan nasibnya
sendiri maupun nasib orang lain. Dalam ranah ekonomi, modal ekonomni cenderung berupa insentif, modal cultural terdiri dari
berbagai pengetahuan yang legitim, modal social terdiri dari hubungan social bernialai antar orang sedangkan modal simbolis
tumbuh dari harga diri dan prestise.
Orang yang menduduki posisi dalam arena tersebut menjalankan berbagai macam strategi. Gagasan ini menunjukan actor dalam
pemikiran Boudie paling tidak memiliki sedikit kebebasan dimana habitus tidak menegaskan kemungkinan kalkulasi strategi dari
pihak agen, namun strategi tidak merujuk pada dijalankannya secara aktif alur tindakan yang berorientasi obyektif yang mematuhi
regularitas dan membentuk pola-pola kehendak yang dapat dipahami secara rasional.
Boudieu juga melihat bahwa Negara sebagai lahan perjuangan untuk meraih monopoli dari apa yang diselewengkannya sebagai
kekerasan simbolis. Ini adalah bentuk kekearsan yang halus, kekerasan yang dijalankan oleh agen social dengan kompleksitasnya
(Bourdieu dan Wacquant, 1992 : 167). Dalam gagasan inilah aspek politis karya Bourdieu terlihat jelas. Jadi Boudieu tertarik pada
emansipasi orang dari kekerasan ini dan lebih umum lagi dari dominasi kelas dan politik.
Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan
(politik). Langkah kedua, menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu, ketiga,
analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya,
dimana para pelakunya berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.
Dalam menegaskan arti penting habitus dan arena, Ia tidak mau membedakan individualisme metodologis dengan holisme
metodologis. Dia memilih pandangan yang disebut dengan relasionisme metodologis yang pada intinya bahwa ia lebih
memperhatikan hubungan antara habitus dengan arena. Ia melihatnya dengan 2 cara. Di satu sisi arena mengkondisikan habitus
sedangkan disisi lain habitus menciptakan arena sebagai sesuatu yang bermakna yang memiliki rasa dan nilai dan yang layak
untuk mendapatkan strategi energi.
Habitus, capital dan Field saling berhubungan. Seperti disinggung di atas bahwa habitus yang merupakan sebuah proses
menginternalisasi kesejarahan, dan merupakan basis generatif dalam praksis (persepsi, apresiasi dan aksi) agensi. Maka habitus
menempatkan posisi capital sebagai hal yang penting. Karena field yang juga mempunya hubungan yang sangat erat dengan
habitus, selalu memasang capital sebagai bagian dari dirinya yang penting. Maka capital, bagi habitus, menjadi bagian dari
pergulatan pertautan antar habitus, field dan strategi-strategi serta segala bentuk reproduksi.
Dalam habitus selalu menempel capital dalam proses pergulatannya, capital menubuh dalam habitus. Dengan capital, habitus dapat
melakukan kreasi-kreasi yang pada saat bersamaan berhadapan dengan field atau struktur. Seperti di singgung di atas bahwa
habitus merupakan basis generatif dari praksis (persepsi, apresiasi dan aksi), maka pertautan antara habitus, capital dan field
memberikan cerminan untuk lahirnya praksis. [(habitus) (capital)] + field = practice]. (Keterangan ini penulis dapat dari skripsinya
Slamet Tohari, UGM Yogyakarta, 2006, yang juga membahas pemikiran Bourdieu)
Di dalam field, yang terdapat berbagai rupa habitus. Di dalam field, antar habitus-habitus saling bersinggungan, saling berusaha
memosisikan diri, saling berjuang memperebutkan makna. Habitus-habitus tersebut cenderung heterogen dalam menyandang
modal. Ada yang lebih kaya, cukup kaya, miskin. Ada yang memiliki status sosial tinggi, menengah dan rendah, ada yang memiliki
intelektualitas tinggi dan banyak hal lagi. Di dalam field tersebut modal tersebut akan menyusut, berubah, bertumbuh, dan
memunculkan modal lain, juga sebagai pijakan strategi improvisasi praktis. Dan dalam field, bagi habitus yang mempunyai modal
yang lebih tinggi akan mendominasi, lebih mudah mendapatkan makna, dan lebih mudah mendapat pengakuan.
Karena field cenderung heterogen, dalam setiap field mempunyai kode-kode dan aturan tersendiri. Maka modal yang menentukan
seseorang mendapatkan makna dalam field-field tersebut akan berbeda dalam satu field dengan field lainnya. Mungkin modal
banyak mencerna bacaan (modal cultural) di Formaci (field) cukup menentukan bagi seseorang untuk mendapat pengakuan,
mendominasi orang lain, namun berbeda ketika orang tersebut terjun dalam majelis taklim, orang tersebut akan mendapat
pengakuan dan mendominasi orang lain ketika dia taat beribadah (modal simbolik).
Juga, di dalam field, antar beberapa habitus saling mengidentifikasi diri, mereka akan menemukan kesamaan modal, kepentingan,
makna, persamaan dalam bertindak, mempersepsi dan aksi dsb, dengan habitus lainnya. Maka mereka dengan secara sadar
maupun tidak sadar akan membentuk kelas.
Bourdieu memetakan masyarakat ke dalam dua dimensi. Pertama: masyarakat tersusun menurut “dimensi vertical”, antara mereka
yang kaya modal, baik mereka yang kaya modal ekonomi, kultur, sosial, maupun simbolik, dengan yang miskin atau sepi modal.
Kedua: dimensi “struktur modal”, maksudnya dalam field yang berbeda-beda, maka modal yang menentukan juga berbeda, seperti
contoh di atas.
Seperti disinggung di atas bahwa habitus-habitus dalam field akan bercengkerama, menentukan makna dan mengidentifikasi diri
dengan habitus lain berlandaskan modal yang sama besarnya, sehingga menentukan improvisasi praksis yang sama pula,
kemudian membentuk kelas. Bagi kelas yang memiliki modal, baik ekonomi, kultur, simbolik, maupun sosial tidak menutup
kemungkinan untuk berusaha mendominasi kelas yang lebih rendah. Mereka mempunyai potensi untuk mengarahkan
kebudayaan/kultur dalam field tersebut sesuai dengan ekspresi habitus kelas dominan tersebut.
Meskipun demikian, usaha mendominasi (daily repression) selalu berhadapan dengan reaksi kelas lainnya yang tidak ingin
didominasi kelas dominan (daily resistence). Usaha kelas dominan untuk mendominasi dan memaksakan nilai-nilai mereka—yang
merupakan proses internalisasi beberapa individu-indivudu dalam kelas tersebut—supaya diamini dalam sekala yang lebih luas,
merupakan fenomena yang selalu terjadi dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini kaum pendukung Neoliberalisme—yang
mengedepankan perdagangan bebas, privatisasi aset-aset publik, supremasi homo-economicus, dan minimalisasi hingga nihilisasi
peran negara dalam ekonomi—tuduh Bourdieu tidak lain merupakan rasionalitas individu atau kelas yang berkepentingan belaka
dalam kebijakan ekonomi liberal tersebut.
Analisis yang berangkat dari konsep habitus, capital dan field ini, dan hubungan habitus satu dengan habitus lainnya, dan hubungan
antar habitus komplek satu dengan habitus komplek lainnya dalam sebuah Field, dipakai Bourdieu untuk membaca ideology,
gender, pendidikan, bahasa, sastra, seni dan realitas sosial lainnya. Untuk pembahasan ini, mari kita kupas bersama-sama dalam
diskusi.
Habitus dan Arena (Field)
Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain
seperti kekuasaan simbolik, strategi dan perbuatan beserta beragan jenis modal.
Seperti telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif yang menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus
merupakan struktur subyektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur
obyektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan
masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu, dengan kata lain habitus adalah hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas
bermain, dan juga pendidikan masyarakat. Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak menyadari hal ini terjadi
pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan.
Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah
dari kesadaran individu. Field semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok
dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara spontan. Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara
spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar tersebut
terbentuklah Field.
Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu yang memiliki banyak modal dengan individu yang tidak
memiliki modal. Diatas sudah di singgung bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang
beroperasi di dalam field dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara
baik dan bertahan di dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis sosial dengan
rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.
Produksi dan Reproduksi Struktur
Bourdieu terus berusaha menghubungkan gagasan-gagasan teoretisnya dengan riset empiris, yang berdasarkan pada kehidupan
sehari-hari. Karyanya dapat dipandang sebagai antropologi budaya atau –sebagaimana ia menyebutnya— sebuah “Teori Praktik.”
Sumbangannya pada sosiologi bersifat pembuktian sekaligus teoretis (sehingga diperhitungkan melalui kedua sistem tersebut).
Istilah-istilah kuncinya adalah habitus, ranah (field), dan kekerasan simbolik. Ia meluaskan gagasan modal (capital) ke kategori-
kategori seperti modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Bagi Bourdieu, setiap individu menempati suatu posisi dalam
ruang sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan oleh keanggotaan kelas sosial, namun melalui jumlah setiap jenis modal
yang ia miliki. Modal itu mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa digunakan untuk memproduksi atau mereproduksi
ketidaksetaraan. Beberapa contoh empirisnya, misalnya, menunjukkan bahwa walaupun tampaknya ada kebebasan memilih dalam
seni, preferensi artistik setiap orang (seperti: musik klasik, rock, pop, jazz, musik tradisional) secara kuat terikat pada posisi sosial
mereka.
Bourdieu juga menunjukkan, perbedaan kebahasaan seperti aksen, tata bahasa (grammar), cara pengucapan (spelling), dan gaya
bahasa –yang semuanya adalah bagian dari modal budaya—merupakan faktor utama dalam mobilitas sosial. Misalnya, untuk
mendapat gaji lebih besar, atau mendapat pekerjaan dengan status lebih tinggi.
Karya Bourdieu menekankan bagaimana kelas-kelas sosial, khususnya kelas intelektual dan kelas penguasa, melestarikan
keistimewaan sosial mereka lintas generasi ke generasi. Ini terlihat walaupun ada mitos bahwa masyarakat pasca-industri
kontemporer menggembar-gemborkan kesamaan peluang dan mobilitas sosial yang tinggi, yang dicapai lewat pendidikan formal.
Mendamaikan Yang Obyektif (Ranah) dan Subyektif (Habitus)
Seperti disebutkan di atas, Bourdieu memanfaatkan konsep-konsep metodologis dan teoretis tentang habitus dan ranah, dengan
tujuan untuk menciptakan jeda epistemologis dari antinomi obyektif-subyektif dalam ilmu-ilmu sosial yang terkenal itu. Ia secara
efektif ingin menyatukan fenomenologi sosial dan strukturalisme.
Bourdieu ingin mendamaikan antara yang material dan simbolik, kesadaran dan ketidaksadaran, kebebasan manusia dan
keterikatan oleh struktur, serta ekonomi dan budaya. Bourdieu mencoba mempertemukan antara konsep dan praktik kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat, dan dengan demikian mengatasi kesenjangan antara teori dan praktik, antara pikiran dan tindakan,
serta antara ide dan realitas konkret. Habitus dan ranah diajukan untuk menghasilkan jeda tersebut, karena keduanya hanya bisa
eksis dalam relasi satu dengan yang lain. Walau sebuah ranah itu dibentuk oleh berbagai agen sosial yang berpartisipasi di
dalamnya (dan dengan demikian, di dalam habitus), sebuah habitus –sebagai dampaknya— merepresentasikan transposisi
struktur-struktur obyektif dari ranah tersebut ke dalam struktur subyektif tindakan dan pikiran sang agen.
Hubungan antara habitus dan ranah adalah relasi dua-arah. Ranah hanya bisa eksis sejauh agen-agen sosial memiliki
kecondongan-kecondongan dan seperangkat skema perseptual, yang dibutuhkan untuk membentuk ranah itu dan mengaruniainya
dengan makna. Seiring dengan itu, dengan berpartisipasi dalam ranah, agen-agen memasukkan pengetahuan (know-how) yang
memadai ke dalam habitus mereka, yang akan memungkinkan mereka membentuk ranah. Habitus mewujudkan struktur-struktur
ranah, sedangkan ranah memperantarai antara habitus dan praktik. Bourdieu berusaha menggunakan konsep habitus dan ranah
untuk menghapuskan pemisahan antara yang subyektif dan yang obyektif. Apakah Bourdieu berhasil atau gagal dalam usahanya
itu, masih terbuka untuk diperdebatkan.
Bourdieu menegaskan bahwa setiap riset harus terdiri dari dua rincian. Yang pertama adalah tahap obyektif riset –di mana kita
melihat relasi-relasi pada ruang sosial dan struktur-struktur ranah. Sedangkan tahap kedua harus merupakan analisis subyektif
terhadap disposisi-disposisi agen sosial untuk bertindak, serta kategori-kategori persepsi dan pemahaman yang muncul dari
kesertaan (inhabiting) di dalam ranah. Riset yang memadai, menurut Bourdieu, tidak dapat dilakukan tanpa keberadaan dua hal
tersebut bersamaan.
Modal Simbolik dan Kekerasan Simbolik
Bagi Marx, “modal (capital) bukanlah sebuah relasi sederhana, melainkan sebuah proses, di dalam mana berbagai gerakan adalah
selalu (berupa) modal.” Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan
sumber kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang
ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang
memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan
terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence). Contohnya bisa terlihat, ketika seorang gadis membawa pacarnya ke rumah
orangtua si gadis. Orangtua si gadis, yang menganggap si pemuda ini tidak pantas disandingkan dengan anak perempuan mereka,
menunjukkan wajah dan tindakan yang menandakan rasa kurang senang. Simbol-simbol ini menyampaikan pesan bahwa si gadis
tidak akan diizinkan meneruskan hubungannya dengan sang pacar. Namun, orangtua si gadis tidak secara paksa atau eksplisit
menyatakan ketidaksetujuannya.
Orang mengalami kekuasaan simbolik dan sistem pemaknaan (budaya) sebagai sesuatu yang sah (legitimate). Maka, si gadis
sering akan merasa wajib memenuhi tuntutan orangtuanya yang tak terucapkan, tanpa memperdulikan kebaikan sebenarnya dari si
pemuda pelamarnya. Gadis itu dibuat menyalahartikan atau tidak mengenali hakikat si pemuda.
Lebih jauh, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan orangtuanya sebagai sesuatu yang sah, gadis itu ikut terlibat
dalam ketundukannya (subordination) sendiri. Rasa kewajiban telah berhasil memaksanya secara lebih efektif, ketimbang yang
dapat dilakukan oleh teguran atau omelan eksplisit dari si orangtua. Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan
kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu
sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari
pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.”
Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap
bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial. Dalam tulisan-tulisan
teoretisnya, Bourdieu menggunakan beberapa terminologi ekonomi untuk menganalisis proses–proses reproduksi sosial dan
budaya, tentang bagaimana berbagai bentuk modal cenderung untuk ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bagi Bourdieu, pendidikan formal mewakili contoh kunci proses ini. Keberhasilan pendidikan, menurut Bourdieu, membawakan
keseluruhan cakupan perilaku budaya, yang meluas sampai ke fitur-fitur yang seakan-akan bersifat non-akademis, seperti: gaya
berjalan, busana, atau aksen. Anak-anak dari kalangan atas (privileged) telah mempelajari perilaku ini, sebagaimana juga guru-guru
mereka. Sedangkan anak-anak berlatar belakang kalangan bawah tidak mempelajarinya. Anak-anak kalangan atas dengan
demikian –tanpa banyak kesulitan-- cocok dengan pola-pola yang diharapkan oleh guru-guru mereka. Mereka terkesan “patuh.”
Sedangkan anak dari kalangan bawah terlihat “sulit diatur,” bahkan “suka menentang.” Bagaimanapun, kedua macam anak ini
berperilaku sebagaimana yang didiktekan oleh latar belakang asuhannya.
Bourdieu menganggap, “kemudahan” atau kemampuan “alamiah” –pembedaan (distinction)-- pada faktanya adalah produk dari
kerja sosial yang berat, yang sebagian besar dilakukan para orangtua mereka. Hal itu melengkapi anak-anak mereka dengan
kecondongan-kecondongan perilaku serta pikiran, yang memastikan mereka sanggup berhasil dalam sistem pendidikan, dan
kemudian dapat mereproduksi posisi kelas orangtuanya dalam sistem sosial yang lebih luas.
Modal budaya (seperti: kompetensi, keterampilan, kualifikasi) juga dapat menjadi sumber salah-pengenalan dan kekerasan
simbolik. Karena itu, anak-anak dari kelas pekerja dapat melihat keberhasilan pendidikan teman sebayanya --yang berasal dari
kelas menengah-- sebagai sesuatu yang selalu sah. Mereka melihat hal yang sering merupakan ketidaksetaraan berdasarkan
kelas, dilihat sebagai hasil kerja keras atau bahkan kemampuan “alamiah.” Bagian kunci dari proses ini adalah transformasi warisan
simbolik atau ekonomi seseorang (seperti: aksen atau harta milik) menjadi modal budaya (seperti: kualifikasi universitas) –suatu
proses di mana logika ranah-ranah budaya dapat menghalangi atau menghambat, tetapi tidak dapat mencegah.
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik
Habitus adalah konsep kunci dalam memahami pemikiran Bourdieu, yang diartikan sebagai struktur kognitif yang memperantarai
individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan
individu lain dalam jaringan struktur objektif yang berada dalam ruang sosial. Habitus boleh dikatakan sebagai ketidaksadaran
kultural, yakni sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah, yang terbentuk dari hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas
bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti yang luas.
Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam tatanan sosial yang hadir terpisah dari
kesadaran individual. Ranah mengisi ruang sosial, yang mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Sedangkan
praktik adalah produk dari relasi antara habitus dengan ranah, yang keduanya merupakan produk sejarah. Dalam ranah inilah ada
pertaruhan kekuatan antar-orang yang memiliki modal. Konsep modal dari Bourdieu lebih luas daripada sekadar modal material,
yakni bisa juga berupa modal ekonomi, modal intelekeual maupun modal kultural. Sehingga secara ringkas Bourdieu menyatakan
rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Rumus ini
menggantikan setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.
Kegunaan praktis dari teori Bourdieu ini, bisa dijadikan rujukan teori yang lebih sesuai manakala kita melihat realitas kehidupan
sosial. Dalam pendidikan, misalnya, mengapa para pengambil kebijakan tidak begitu peduli terhadap isu-isu pendidikan murah dan
konsep pemberdayaan masyarakat kelas bawah. Alasannya karena ruang sosial akademik itu sendiri yang tidak memberikan
tempat bagi masyarakat bawah yang sama sekali tidak memiliki modal ekonomi maupun kultural untuk bertarung di ranah ini,
sehingga habitus yang terbentuk dari mereka yang keluar dari tradisi akademik dan menjadi para pengambil kebijakan, dengan
sendirinya tidak akan mampu memahami kondisi masyarakat di tingkat bawah. Kekuatan untuk melihat individu secara kultural,
tidak hanya sebatas produksi ekonomi, dari teori Bourdieu inilah akan sangat relevan sekali untuk tinjauan sosiologis dan ekonomi,
ketimbang teori pertentangan kelas ala Marx dan derivat-derivatnya.
Bahasa, Kapital Simbolik, dan Pertarungan Kekuasaan Tinjauan Filsafat Sosial
Bourdieu memberikan pemaknaan baru pada banyak konsep-konsep filsafat sosial sebelumnya. Tidak sekedar memberi makna
baru, tetapi juga melalui pengolahan kembali, Bourdieu meletakkan konsep-konsep tersebut di atas konteks sosial yang baru pula,
Hal itu juga yang dilakukan Bourdieu ketika membahas bahasa. Berbeda dengan perdebatan-perdebatan bahasa sebelumnya,
yang lebih menekankan pada makna, hakikat, dan logika bahasa, maka Bourdieu mengembangkan lebih lanjut karakter sosial
bahasa yang telah lebih dulu diangkat ke perrnukaan oleh Wittgenstein dengan language game-nya. Bourdieu mengkritik pendapat
Ferdinand de Saussure yang lebih memusatkan perhatiannya pada analisa semiotik dengan dikotominya langue dan parole.
Bourdieu juga berbeda dari Levi-Strauss atau Roland Barthes yang meminjam terminologi linguistik dan menerapkannya pada
berbagai fenomena kebudayaan, seperti mitos atau fenomena sosial, seperti iklan, komik, atau mode.
Bagi Bourdieu, pertama, bahasa adalah kapital budaya, karena bahasa adalah kemampuan khas manusia yang didapat dari
pengalaman empirisnya berhubungan dengan manusia lain. Bahasa adalah kapital budaya yang erat kaitannya dengan kapital
simbolik, karena melalui bahasalah pemaknaan-pemaknaan simbolik dapat dilakukan oleh manusia. Penguasaan yang canggih
atas bahasa, memungkinkan seseorang memiliki posisi tawar yang tinggi di dalam pertarungan sosial.
Kedua, bahasa adalah praktik sosial. Bahasa di sini adalah wacana atau teks. Sebuah wacana tidak bisa muncul begitu saja
sebagai sesuatu yang steril, tetapi merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang obyektif dengan habitus linguistik yang
dimiliki pelaku sosial. Ketika kita memilih suatu kata, atau ketika kita menggunakan sebuah konsep, maka bukan kata atau konsep
itu saja yang kita ambil, tetapi asumsi-asumsi, nilai, bahkan lebih jauh lagi ideologi yang melekat pada kata dan konsep itu juga kita
bawa, sadar atau tidak. Maka bahasa sebagai praktik sosial erat kaitannya dengan kepentingan. Bagi Bourdieu, semua praktik
sosial memiliki "pamrih" meskipun pelaku sosial terkadang tidak menyadarinya dan meskipun praktik ini jauh dari keuntungan materi
sekalipun.
Ketiga, bahasa erat kaitannya dengan pertarungan kekuasaan. Bourdieu adalah intelektual yang selalu melihat interaksi sosial di
dalam arus dominasi dan pertarungan. Pertarungan dalam pemikiran Bourdieu bukanlah pertarungan hobbesian atau darwinis yang
lebih mengarah pada tindakan bertahan hidup atau survive, tetapi lebih dari itu. Pertarungan Bourdieu adalah pertarungan yang
membuat manusia lebih berarti yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, bukan hanya sekedar keuntungan material tetapi
juga keuntungan yang bersifat simbolik. Di dalam pertarungan inilah, ditentukan identitas individu dan sosial, juga kekuasaan
simbolik, yaitu tercapainya kapital simbolik kehormatan dan mendapatkan pengakuan atas posisinya di dalam hirarki sosial. Kapital
simbolik dan kekuasaan simbolik sangat penting, karena dengan memilikinya maka kita memiliki legitimasi untuk menentukan
wacana kita sendiri yang artinya menentukan aturan permainan kita sendiri.
Bahasa memiliki peran yang sentral dalam mekanisme kekuasaan dan dominasi, terutama untuk menyembunyikan maksud yang
sebenarnya dari sebuah tindakan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kekuasaan. Mekanisme penyembunyian atau
mecornraissance inilah yang oleh Bourdieu di sebut sebagai kekerasan simbolik yang dilakukan dengan cara eufemisasi dan
sensorisasi. Les mots ne sont jamais innocents. Selalu ada sesuatu di balik kata-kata. Kesadaran akan hal itu akan membantu kita
untuk tetap kritis, selalu mempertanyakan wacana-wacana dominan yang secara sadar atau tidak ternyata telah kita terima sebagai
sesuatu yang seakan-akan terberi, atau seakan-akan memang seharusnya demikian.
Kekuasaan Bourdieu “Konsep Kekuasaan dalam Ilmu-Ilmu Sosial”
Memanasnya suhu politik berkenaan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum pada tahun 2009, menyebabkan ’Politik dan
kekuasaan’ menjadi topik hangat dan menjadi bahan perbincangan di warung-warung hingga pada forum ilmiah. Banyak konsep
yang diangkat dan digunakan untuk menganalisis dan membedah konsep kekuasaan. Dalam pembahasan tentang konsep
kekuasaan dalam ilmu-ilmu sosial akan difokuskan pada pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan. Sekaligus juga
dibahas tentang kuasa pengetahuan dan penyingkapan kuasa simbol pemikiran Pierre Bourdieu serta konsep dominasi dan
hegemoni budaya dari Antonio Gramsci.
Dalam hegemoni budaya, terdapat pertautan yang erat antara relasi kuasa dan kekekerasan dalam kehidupan manusia.
Sebagaimana pemikiran Antonio Gramsci, seorang pemikir neo-marxis dari Italia, yang menyatakan bahwa kekuasaan dapat
dilanggengkan melalui strategi hegemoni, yang dimaksudkan adalah peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan
ide-ide dominan. Relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara, dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh
kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol. Pierre Bourdieu, adalah salah satu tokoh pemikir yang
memberikan perspektif baru mengenai pertautan kekuasaan dan kekerasan. Dari Bourdieu, kita belajar mengeja isyarat untuk
kemudian menguak modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan
kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.
Hegemoni merupakan konsep penting bagi keragaman intelektual gagasan sosial modern dan merupakan salah satu masalah
konseptual paling serius dalam Marxisme. Hegemoni berkaitan dengan ideologi yang memiliki cakupan melebih semua bidang
sosial, budaya, dan ekonomi dalam suatu masyarakat. Hegemoni adalah konsep yang digunakan untuk menjelaskan wawasan
dunia yang bertujuan membekukan dominasi suatu kelas ekonomi terhadap kelas yang lain. Dalam konteks itulah, gagasan
Gramsci tentang hegemoni budaya memiliki pengaruh yang sangat besar dewasa ini. Problematika yang diidentifikasi Gramsci
adalah dominasi mutlak kapitalisme sebagai suatu sistem sosial dalam masyarakat yang gagal mengatasi berbagai permasalahan
mendasar dalam hal ketidakseimbangan politik, ekonomi dan sosial.
Bagaimana ideology hegemonik dapat membentuk dan mempengaruhi alam pikiran masyarakat? Secara sistematis ideology
hegemoni ’mencekoki’ individu dan masyarakat dengan pikiran-pikiran tertentu, bias-bias tertentu, system-sistem preferensi
tertentu. Di mana kekuasaan cenderung melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial (Ibrahim, dkk, 1997). Secara
Individu maupun sosial seringkali pola pikir kita lebih banyak dipengaruhi atau dicekoki oleh pikiran-pikiran tertentu yang acapkali
sangat bias. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap tanah air dan pelbagai hasilnya semakin lama semakin melemah karena
adanya dorongan yang sangat kuat dari kapitalisme global. Akibatnya, kita lebih bangga menjadi konsumen barang-barang import
daripada tampil sebagai bangsa yang memproduksi atau menggunakan produk-produk dalam negeri. Dalam konteks inilah,
pendidikan nilai dan visi baru melalui pendidikan karakter bangsa dapat menjadi suatu upaya dan langkah yang amat mendasar
untuk melakukan counter hegemony.
Sistem simbol memiliki kekuatan untuk memberikan pemaknaan bagi realitas sosial. Lewat proses pencitraan, sistem simbol
memperoleh daya abstraknya guna mengubah makna, menggiring cara pandang, hingga mempengaruhi praktik seseorang maupun
kelompok. Simbol memiliki kekuatan untuk membentuk, melestarikan dan mengubah realitas. Kekuatan simbol ini mengandung
energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata simbol.
Kekuatan simbol mampu menggiring siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah persepsi hingga tingkah laku orang
dalam bersentuhan dengan realitas. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan kenyataan,
tetapi realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan logika simbol.
Dalam mengapresiasi bentuk-bentuk simbol, individu-individu dalam proses pembentukan (constituting) dan pembentukan kembali
(reconstituting) makna yang sedang berlangsung. Bourdieu menjelaskan logika dan praktik permainan sosial yang dipadati
semangat kompetisi antar pelaku sosial. Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar kuasa yang dijalankan pelaku sosial
dalam berbagai posisi yang mereka tempati.
Masih dalam pemikiran Bourdieu, para pelaku sosial yang menempati posisi dominan dalam suatu ranah adalah mereka yang
’diberkahi’ atau mereka yang secara istimewa memiliki akses terhadap berbagai jenis modal. Dalam memproduksi serta menaikkan
nilai simbolik, yang mendominasi memakai strategi perbedaan (distinction) dalam arti mereka berupaya membedakan dirinya dari
kelompok sosial yang berada dibawahnya. Semakin besar kelompok dominan mengakumulasi modal, semakin besar pula nilai
simbolik yang hadir. Misalnya, dalam ranah musik, mereka yang berpunya dan terdidik akan lebih memilih musik klasik sebagai
bentuk representasi keistimewaan status mereka.
Strategi mempertahankan dan melestarikan sebuah kekuasaan mengandaikan penggunaan kekuasaan. Pertautan keduanya -
kekuasaan dan kekerasan – seringkali terwujud dalam bentuk yang plural. Ada yang mengabsahkan pemakaian segala cara,
meskipun buruk yang penting kekuasaan tetap terjaga (pemikiran Machiavelli). Akan tetapi, praktik dominasi kekuasaan tidak
semata-mata diadakan melalui kekerasan fisik. Antonio Gramsci adalah yang pertama menyatakan bahwa kekuasaan dapat
dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang dimaksud oleh Gramsci ialah peran kepemimpinan intelektual dan moral
untuk menciptakan ide-ide dominan. Dengan begitu, relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara dalam artian kekerasan
yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol. Seperti yang dikatakan oleh
Bourdieu, sistem simbol menandai praktik dominasi baru dalam masyarakat pasca industri. Dari Bourdieu, kita belajar mengeja
isyarat untuk kemudian menguak modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga
melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan (Fauzi Fashri, 2007:1-17).
Ilmu pengetahuan dikatakan juga dapat menjadi alat kekuasaan dan berpeluang menjadi sumber kekerasan, ketika terjebak ke
dalam kebenaran tunggal. Ketidak puasan terhadap kondisi tersebut kemudian melahirkan perkembangan dalam ilmu pengetahuan,
dengan lahirnya para pemikir filsafat kontemporer. Filsafat kontemporer menolak dan meninggalkan gagasan tentang satu
kebenaran tunggal atau pandangan holistik untuk memberi tempat pada pengkajian tentang hasrat menemukan kebenaran itu
sendiri. Filsafat masa kini mengkaji pembentukan berbagai teori, berbagai hipotesis disusun kembali, pengujaran diperhitungkan;
demikian pula jangkauan dari dampak berbagai wacana. Inilah tahapan perkembangan filsafat kontemporer yang cenderung
melihat masyarakat sebagai pelaku pembentukannya sendiri, sebagai suatu sistem yang tidak direkayasa. Salah satu tokoh pemikir
filsafat kontemporer Perancis yang penting adalah Michel Foucault.
Pemikiran filsafat yang dikategorikan ke dalam sejarah filsafat kontemporer sangat beragam, dan banyak ditekankan pada
permasalahan yang dihadapi oleh manusia secara pribadi maupun kolektif. Dapat disebutkan bahwa permasalahan yang dihadapi
oleh manusia secara pribadi dan kolektif dalam konteks ruang dan waktu pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kerangka
kekuasaan. Kekuasaan adalah elemen kunci dalam membahas diskursus yang berkembang dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Gagasan Michel Foucault tentang kekuasaan sangat penting, khususnya tentang
‘kekuasaan yang tersebar’, memungkinkan kelompok-kelompok marginal, termasuk kelompok perempuan diharapkan dapat
menggunakan untuk mengeksplorasi dan membongkar permasalahan yang membelenggu kehidupan mereka.
Dalam konteks itu, Mudji Sutrisno (2007) dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Kebudayaan, mengatakan bahwa pemikiran
Foucault dapat digunakan menjadi alat picu kebangkitan kesadaran akan kolektivitas dan pluralitas peradaban. Foucault, dengan
pemikiran filosofisnya, merupakan daya dorong bagi etnis-etnis di Indonesia untuk mengeksplorasi keberadaannya, melalui usaha-
usaha menafsirkan kebenaran, membangun sistem makna, serta merumuskan tujuan dan arah hidup, baik secara personal maupun
kolektif dengan berpijak pada locam wisdom masing-masing etnis.
Mengkontekstualisasikan pemikiran Foucault tentang kekuasaan dan seksualitas di Indonesia, diharapkan dapat menyingkap
lapisan terdalam yang ada dalam nilai-nilai budaya dan menggali makna baru dari tubuh dan kondisi kesehatan perempuan.
Gagasan Foucault tentang femininitas, maskulinitas dan seksualitas sebagai akibat praktik disiplin dan diskursif, efek diskursus atau
buah relasi pengetahuan – kuasa. Bagi Foucault, seksualitas adalah produk relasi kuasa melalui hubungan kompleks dan interaksi
praktik disiplin-diskursif, yang membentang dari confession, pedagogisasi seksualitas anak, hingga medikalisasi dan psikiatrisasi
seksualitas (Sutrisno, 2007: 159-160).
Dalam buku yang berjudul Sejarah Seksualitas, Foucault menjelaskan relasi antara tubuh dan diskursus tentang seks, yang
mengandung berbagai tabu dan larangan. Wacana tentang seksualitas manusia tertera pada dua tataran pengetahuan yang sangat
berbeda: pertama, semacam biologi reproduksi, yang berkembang terus-menerus menurut norma-norma umum keilmuan, dan
kedua, semacam ilmu kedokteran seks yang dibentuk berdasarkan kaidah-kaidah yang sama sekali berbeda. Di antara biologi
reproduksi di satu pihak dan ilmu kedokteran seks di pihak lain, tak ada tanda pertukaran informasi satu pun; sama sekali tak ada
strukturisasi timbal balik; biologi reproduksi hanya memainkan peran penjamin dari jauh, dan secara fiktif, kebenaran-kebenaran
yang diungkap oleh kedokteran seks; suatu jaminan umum yang di bawah naungannya berbagai hambatan moral, pilihan ekonomi
atau politis, dan berbagai ketakutan tradisional, dapat diterakan kembali dalam suatu kosakata yang berwarna ilmiah.
Foucault juga menjelaskan bagaimana sistem paksaan besar dan tradisional untuk memperoleh pengakuan seksual dapat
dibangun dalam bentuk-bentuk yang ilmiah:
• Dengan jalan membakukan sebagai ilmu klinis prosedur “menyuruh bicara”: mengkombinasikan pengakuan dan
pemeriksaan;
• Dengan postulat suatu kausalitas umum dan ke segala arah: pada abad ke-19 hampir tidak ada penyakit atau gangguan
fisik yang tidak dikaitkan dengan (paling tidak) etiologi seksual;
• Dengan asas mengganggap seksualitas sebagai sesuatu yang secara hakiki bersifat laten: dengan mengintegrasikan
seks dalam suatu rencana wacana ilmiah, abad ke-19 telah menggeser pengakuan. Asas seksualitas yang pada
dasarnya laten memungkinkan untuk memberi landasan ilmiah bagi tekanan pengakuan yang memang sulit dilakukan;
• Dengan metode interpretasi:dengan membuat pengakuan bukan lagi sebagai bukti melainkan sebagai tanda, dan dengan
membuat seksualitas sebagai sesuatu yang harus ditafsirkan, telah dibuka kemungkinan untuk memfungsikan berbagai
prosedur pengakuan dalam bentuk yang beraturan seperti lasimnya wacana keilmuan;
• Melalui medikalisasi berbagai dampak pengakuan: perolehan pengakuan dan berbagai dampaknya dikodifikasikan
kembali dalam bentuk berbagai kegiatan penyembuhan. Di situ seksualitas ditetapkan sebagai “kodrat”: suatu bidang
yang tertembus oleh berbagai proses patologis, dan karena itu menghendaki berbagai intervensi penyembuhan atan
normalisasi; suatu wilayah pemaknaan yang harus dipilah; suatu tempat berbagai proses disembunyikan oleh berbagai
mekanisme khas; rumah bagi hubungan kausalitas tak terhingga, suatu wacana kelam yang sekaligus harus ditangkap
dan didengarkan.
Salah satu point penting dalam buku tersebut adalah bahwa seksualitas lebih merupakan produk positif kekuasaan daripada
kekuasaan yang menindas seksualitas. Foucault mengatakan bahwa kita sebenarnya baru memiliki gagasan seksualitas sejak abad
ke-18 dan seks sejak abad ke-19. Apa yang kita miliki sebelumnya adalah, tidak diragukan lagi, hanyalah daging. Karya Foucault
memperlihatkan bagaimana pada abad ke-19 proses pelatihan dan regulasi tubuh manusia terjadi di lingkup lokasi institusional
spesifik yang luas: di pabrik, penjara dan sekolah. Keseluruhan hasil praktik pendisiplinan ini adalah tubuh yang berguna dan jinak,
produktif dan patuh. Dan kemudian, pada awal abad ke-20, wacana seks mulai menjadi kajian keilmuan. Contoh utama wacana
seksualitas modern yang diajukan Foucault, pengakuan ilmiah baru, adalah psikoanalisis. Ia mengatakan dengan mengasumsikan
insting seksual Freud membuka wilayah baru dominasi ilmu atas seksualitas. Pemikiran tentang seksualitas dan kekuasaan
merupakan kontribusi utama Foucault atas ilmu-ilmu sosial, di mana terdapat deskripsi mengenai pengaturan politik tubuh dalam,
melalui, dan atas tubuh fisik. Kekuasaan berakar di dalam kekuasaan atas tubuh (biopower) dan di dalam setiap aktivitas kecil
mikrokopik tubuh (mikrofisika, istilah yang diberikan Foucault) dalam setiap institusi politik tubuh (dalam Anthony Synnott, 2007:
369-374).
Konstruksi politis dan filosofis mengenai tubuh tumbuh bersamaan dengan berbagai konstruksi ilmiah. Perkembangan mutakhir
dalam ilmu kedokteran mendorong konstruksi atas tubuh menjadi mekanistik dan materialistik. Bedah plastik dan pencangkokan
merupakan salah satu perkembangan paling cepat dalam kedokteran di Amerika Serikat, lebih dari dua juta operasi dilakukan setiap
tahunnya.dengan kata lain, tubuh bukan lagi “pemberian” (secara tradisional hadiah dari Tuhan); ia bersifat plastis, dapat dibentuk
dan dipilih berdasarkan kebutuhan atau tingkah lakunya. Meski makna tubuh diperdebatkan selama berabad-abad, tetap saja tidak
ada tanda-tanda kesepakatan universal. Setiap abad terlihat menciptakan dan merekonstruksi tubuh menurut gambaran dan
pendapatnya sendiri; karenanya sekarang terdapat banyak paradigma mengenai tubuh; yang saling bersaing, melengkapi, atau
bertentangan. Tak diragukan lagi, redefinisi kebertubuhan akan terus berlanjut dalam abad dua puluh satu (Anthony Synnott,
2007:51-57).
Dalam Sejarah Seksualitas-nya Foucault juga menjelaskan tentang “ledakan besar” wacana-wacana seksualitas, misalnya di dunia
medis, psikiatris dan teori pendidikan. Tesis dasar buku ini adalah bahwa seksualitas bukanlah realitas alamiah melainkan produk
sistem wacana dan praktik yang membentuk bagian-bagian pengawasan dan kontrol individu yang semakin intensif. Foucault
mengatakan bahwa pembebasan itu pada kenyataannya merupakan bentuk perbudakan, karena seksualitas yang tampak
“alamiah” itu sebenarnya merupakan produk dari kekuasaan. Tujuan utama Foucault adalah mengkritik cara masyarakat modern
mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia: kedokteran,
psikiatri, psikologi, kriminologi dan sosiologi. Ilmu manusia telah menetapkan norma-norma tertentu dan noram tersebut
direproduksi serta dilegitimasi secara terus-menerus melalui praktik para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan petugas
administrasi. Ilmu manusia menempatkan manusia menjadi subyek studi dan subyek negara. Terjadi ekspansi sistem administrasi
dan kontrol sosial yang dirasionalkan secara terus-menerus (Sarup, 1993: 108-110).
Pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan menjadi pemikiran penting untuk menganalisis kondisi ketimpangan serta
relasi kuasa yang tidak seimbang dalam masyarakat. Termasuk juga tentang seksualitas dan kesehatan kaum perempuan.
Sebagaimana tertulis dalam buku tentang Sejarah Seksualitas, Foucault mendiskusikan cara-cara perempuan dan kaum
homoseksual melakukan perlawanan atas penolakan yang mereka terima dari masyarakat (Agger, 2007: 351).
Melalui pemikiran Gramsci, Bourdieu dan Foucault kita dapat melihat bagaimana bekerjanya sistem simbol, kekuatan simbolik,
seksualitas dan kekuasaan yang berada dibalik berbagai diskursus yang melandasi kebijakan serta praktik-pratik layanan publik.
Termasuk bekerjanya kekuatan sistem simbol dalam layanan kesehatan reproduksi perempuan. Dikatakan bahwa makna tubuh
perempuan dan cara pandang tentang tubuh perempuan adalah semata-mata sebagai tubuh biologis patologis, dan dilihat dari
sudut pandang laki-laki. Adanya cara pandang dalam kedokteran dan layanan kesehatan yang menganggap bahwa menstruasi,
kehamilan, kelahiran, menopause sebagai permasalahan biologis patologis. Suatu pandangan yang menyebabkan tekanan
berlebihan pada aspek tubuh dan medis fisik dalam praktik layanan kesehatan reproduksi perempuan.
Pemikiran Bourdieu, Gramsci, dan Foucault dapat digunakan untuk melakukan analisis kritis trerhadap tubuh, seksualitas dan
kesehatan perempuan. Karena kaum perempuan telah mengalami proses internalisasi tentang definisi tubuh perempuan yang
mengarah kepada ”denigration of the female body”, yang membuat perempuan takut, malu atau merasa jijik terhadap bagian-bagian
tertentu dari tubuhnya dalam proses yang sebenarnya sangat alamiah seperti menstruasi, melahirkan dan menopause, dan
menempatkan sebagai bagian dari kondisi kesehatan yang membutuhkan treatment medis. Tidak mengherankan apabila sebagian
besar dari kita termasuk praktisi kesehatan mempercayai, dan bahkan mengesahkan proses medikalisasi terhadap tubuh
perempuan, bahkan sejak sebelum lahir (Northrup, 2002: 11).
Dalam pemikiran filsafat kontemporer, seks dan seksualitas manusia adalah konstruksi sosial/kultural dari masyarakat yang
bersangkutan, sebab kedua hal tersebut baru mendapat maknanya yang dibentuk oleh jaringan-jaringan sosial dalam kehidupan
manusia. Dalam hal Foucault membangun konsep pemikiran mengenai pembentukan seksualitas dalam jaringan-jaringan
kekuasaan. Foucault menolak pewacanaan seks dalam seksualitas yang merumuskan kedua hal tersebut dalam pengertian-
pengertian yang negatif maupun destruktif. Sebagai konstruksi sosial, seksualitas mempunyai pluralitas makna yang menandakan
bahwa adanya berbagai seksualitas dengan kebenarannya masing-masing. Makna-makna ini akan selalu berubah, bersifat cair,
seiring dengan perubahan yang terjadi dalam nilai-nilai masyarakat (dalam Syarifah, 2006).
Saatnya untuk membuat perubahan! Misalnya, perubahan untuk memperbaiki kualitas hidup perempuan, khususnya kondisi
kesehatan perempuan yang masih ditandai berbagai kerentanan, antara lain ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu
(AKI). AKI di Indonesia saat ini menunjukkan posisi 307 per 100.000 kelahiran. Perubahan dalam konsep dan kerangka pikir dalam
upaya menekan AKI dapat dilaksanakan dengan menerapkan pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan, atau
menerapkan pemikiran Gramsci dan Bourdieu, untuk membongkar deskripsi mengenai pengaturan politik tubuh dalam, melalui, dan
atas tubuh fisik. Di mana kekuasaan berakar di dalam kekuasaan atas tubuh (biopower) dan di dalam setiap aktivitas kecil
mikrokopik tubuh (mikrofisika, istilah yang diberikan Foucault) dalam setiap institusi politik tubuh.
Pemikiran Foucault misalnya, dapat digunakan juga untuk mendorong perubahan paradigma dalam bidang pendidikan kedokteran
serta kebijakan maupun praktik-praktik layanan kesehatan terhadap perempuan yang cenderung mengesahkan proses medikalisasi
pada tubuh perempuan. Pola pikir konvensional tentang tubuh dan seksualitas perempuan dapat diubah dengan menggunakan
pemikiran filsafat kontemporer yang diwakili antara lain pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan. Penolakan Foucault
terhadap pewacanaan seks dalam seksualitas yang merumuskan kedua hal tersebut dalam pengertian-pengertian yang negatif
maupun destruktif, serta konstruksi sosial tentang konsep seksualitas yang diyakini mempunyai pluralitas makna menjadi alterrnatif
pemikiran yang perlu dikembangkan. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pemikiran Foucault tersebut pantas untuk dijadikan
bahan diskusi penting para ahli dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial dan studi gender, ilmu kedokteran maupun dalam kebijakan
sistem kesehatan nasional.
Memasukkan pemikiran Foucault tentang seksualitas dan kekuasaan sebagai amunisi penting untuk menganalisis tubuh dan
kesehatan perempuan dalam relasi kuasa yang tidak seimbang, merupakan langkah-langkah strategis yang tak dapat dilepaskan
dari pergerakan feminisme. Feminisme berusaha untuk membongkar diskursus atau wacana-wacana yang bersifat misoginis.
Pembongkaran suatu wacana seringkali membutuhkan keajegan berpikir, koherensi dan semua ini menurut Arivia (2003:17)
memerlukan refleksi filsafat. Melalui refleksi filsafat, akan ditinjau bagaimanakah diskursus tentang tubuh mempengaruhi kesehatan
reproduksi dan kualitas hidup perempuan. Pemikiran filsafat tentang tubuh dan kesehatan perempuan belum banyak mendapat
tempat dalam filsafat meanstream yang cenderung misoginis. Atas dasar itulah, dirasakan perlu dilakukan kajian secara mendalam
tentang tubuh dan kesehatan perempuan dari perspektif filsafat feminis. Dapat dicatat pentingnya kontribusi dari pemikiran tokoh-
tokoh lain seperti Simone de Beauvoir, Lacan, Foucault dan juga Derrida.
Melalui berbagai uraian yang telah disampaikan di atas, dapat dikatakan bahwa betapa pentingnya untuk mengkontekstualisasikan
pemikiran Foucault, Gramsci dan Bourdieu tentang relasi kekuasaan dan seksualitas, serta kekerasan simbolik di Indonesia,
terutama untuk menyingkap lapisan terdalam yang ada dalam nilai-nilai budaya dan menggali makna baru dari dari kelompok
marginal. Termasuk juga bagi kelompok perempuan, untuk menggali makna baru dari tubuh dan kondisi kesehatan perempuan.
Berdasarkan uraian tentang pemikiran Bourdieu, Gramsci dan Foucault tentang kuasa simbol, hegemoni budaya , serta seksualitas
dan kekuasaan, dalam menganalisis berbagai ketimpangan relasi kuasa dalam kehidupan sehari-hari, dapat ditarik kesimpulan-
kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, pentingnya konsep Kuasa Simbolik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Pierre Bourdieu, adalah salah satu tokoh
pemikir yang memberikan perspektif baru mengenai pertautan kekuasaan dan kekerasan. Dari Bourdieu, kita belajar mengeja
isyarat untuk kemudian menguak modus operandi kekuasaan yang terselubung di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga
melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan. Kedua, Konsep dominasi dan
hegemoni yang digagas Antonio Gramsci merupakan pemikiran yang mempunyai pengaruh penting dewasa ini. Khususnya dalam
memotret kegagalan dominasi dan hegemoni kapitalisme dalam mengatasi permasalahan mendasar dalam hal ketidakseimbangan
ekonomi, sosial dan politik. Ideology hegemonik dapat membentuk dan mempengaruhi alam pikiran masyarakat, di mana secara
sistematis ideology hegemoni “mencekoki” individu dan masyarakat dengan pikiran-pikiran tertentu, bias-bias tertentu, system-
sistem preferensi tertentu. Kekuasaan cenderung melakukan hegemoni makna terhadap kenyataan sosial. Ketiga, Gagasan
Foucault tentang kekuasaan yang tersebar memungkinkan kelompok-kelompok marginal, termasuk kelompok perempuan untuk
mengeksplorasi dan membongkar permasalahan yang membelenggu kehidupan mereka. Dikatakan bahwa pemikiran Foucault
dapat digunakan menjadi alat picu kebangkitan kesadaran akan kolektivitas dan pluralitas peradaban. Foucault, dengan pemikiran
filosofisnya, merupakan daya dorong bagi etnis-etnis di Indonesia untuk mengeksplorasi keberadaannya, melalui usaha-usaha
menafsirkan kebenaran, membangun sistem makna, serta merumuskan tujuan dan arah hidup, baik secara personal maupun
kolektif dengan berpijak pada locam wisdom masing-masing etnis. Keempat, Pemikiran Bourdieu, Gramsci dan Foucault tentang
kekuasaan menjadi pemikiran penting untuk membuat membongkar dan perubahan. Pemikiran mereka dapat digunakan untuk
mendorong suatu perubahan paradigma dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara; mendorong perubahan paradigma di
dalam ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan, termasuk dalam pendidikan kedokteran; serta mendorong perubahan kebijakan dan
program dalam berbagai bidang pembangunan lainnya.
Budaya Sebagai Medan Pertarungan Kuasa
Banyak karya kajian budaya memahami komunikasi sebagai tindakan produksi makna, dan bagaimana sistem-sistem makna
dinegosiasikan oleh pemakainya dalam kebudayaan. Kebudayaan bisa pula dimengerti sebagai totalitas tindakan komunikasi dan
sistem-sistem makna. Posisi seseorang dalam kebudayaan akan ditentukan oleh 'kemelek-budaya-an' (cultural literacy), yaitu
pengetahuan akan sistem-sistem makna dan kemampuannya untuk menegosiasikan sistem-sistem itu dalam berbagai konteks
budaya.
Pandangan yang melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan budaya, yang memerlukan berbagai bentuk kemelek-hurufan
budaya, sangat dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Perancis Pierre Bourdieu. Ide-idenya sangat berguna karena ia mengatakan
bahwa 'tindakan' (practice) atau apa yang secara aktual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari (dan sekaligus respon
terhadap) aturan-aturan dan konvensi-konvensi budaya.
Salah satu cara memahami hubungan kebudayaan dengan tindakan adalah mengikuti pengandaian Bourdieu tentang perjalanan
dan peta. Kebudayaan adalah peta sebuah tempat, sekaligus perjalanan menuju tempat itu. Peta adalah aturan dan konvensi,
sedangkan perjalanan adalah tindakan aktual. Apa yang disebut dengan kemelek-hurufan budaya adalah "perasaan" untuk
menegosiasikan aturan-aturan budaya itu, yang bertujuan untuk memilih jalan kita dalam kebudayaan. Tindakan adalah
performance dari kemelek-hurufan budaya.
Kemelek-hurufan budaya misalnya dapat dilihat dalam sebuah film Jepang Tampopo, dalam adegan ketika sekolompok pebisnis
Jepang makan bersama di sebuah restoran Perancis yang mahal. Perilaku kelompok dalam budaya bisnis Jepang dikenal bersifat
sangat hirarkis. Dalam acara makan bersama macam ini, kebiasaan yang umum berlaku adalah seseorang yang dianggap superior
dalam kelompok akan terlebih dulu memesan makanan, kemudian orang lain tinggal mengikutinya saja.
Kebiasaan itu jadi berubah ketika mereka harus "tampil" di sebuah restoran Perancis, yang tentu saja menuntut kemelek-hurufan
dalam makanan dan anggur Perancis. Seseorang yang dianggap pemimpin dalam kelompok ini ternyata buta huruf dalam wilayah
ini: ia tak mengenal dan tak bisa membayangkan makanan yang terdaftar di menu. Ia juga tak tahu bagaimana menyesuaikan jenis
anggur dengan jenis makanan yang dipilih. Akhirnya ia memesan makanan dan anggur sekenanya. Semua anggota kelompok ini,
kecuali satu orang saja, sama-sama buta hurufnya dan memilih hidangan dengan mengikuti pilihan pemimpinnya.
Pesanan terakhir dari seorang pebisnis muda, sangat berbeda dengan pesanan lainnya. Pesanannya menunjukkan bahwa ia
sangat melek huruf dalam makanan dan anggur Perancis. Ia tampak tenang mengahadapi menu, membaca dan menganalisisnya,
dan menunjukkan betapa ia sangat tahu akan semua yang dilakukannya. Ia berbicara sebentar dengan pelayan, mengajukan
beberapa pertanyaan "bermutu", dan akhirnya menjatuhkan pilihan yang sangat "berselera". Semua koleganya sangat terkesan dan
ini membuka peluang yang lebih baik buat si pebisnis muda itu meningkatkan posisinya dalam dunia bisnis.
Lantas bagaimana kemelek-hurufan budaya diterjemahkan ke dalam tindakan seseorang? Untuk menjelaskannya, kita memerlukan
3 konsep lagi dari Bourdieu: 'medan budaya' (cultural field), habitus, dan 'modal budaya' (cultural capital). Bourdieu mendefinisikan
medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian
memproduksi dan memberi "wewenang" pada berbagai bentuk wacana dan aktivitas; dan konflik antarkelompok atau antarindividu
yang muncul ketika mereka bertarung untuk menentukan apa yang dianggap sebagai "modal" dan bagaimana ia harus
didistribusikan. Yang disebut modal oleh Bourdieu meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai nilai simbolis), prestise,
status, otoritas, juga selera dan pola konsumsi.
Kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah 'medan' (field), ditentukan oleh posisinya dalam medan itu, yang pada gilirannya
akan menentukan besarnya kepemilikan modal. Kekuasaan itu digunakan untuk menentukan hal-hal macam mana yang bisa
disebut modal (keaslian modal).
Modal selalu tergantung dan terikat pada medan tertentu, ia bersifat partikular. Dalam medan gaya hidup remaja Indonesia
sekarang misalnya, pengenalan akan film dan musik Amerika, kemampuan berbahasa gaul, atau berdandan dengan gaya tertentu,
bisa disebut sebagai modal. Bagaimanapun, kemampuan-kemampuan ini, bukanlah modal, misalnya saja, dalam medan pelayanan
diplomatik.
Pemahaman seseorang akan modal berlangsung secara tak sadar, karena menurut Bourdieu dengan cara begitulah ia akan
berfungsi efektif. Seperangkat pengetahuan, aturan, hukum, dan kategori makna yang ditanamkan secara tak sadar ini oleh
Bourdieu disebut habitus. Habitus bersifat abstrak dan hanya muncul berkaitan dengan putusan tindakan: ketika seseorang
dihadapkan pada masalah, pilihan atau konteks. Dengan begitu habitus bisa juga dimengerti sebagai " feel of the game ".
Distingsi
Dalam karya distingsi ini, Bourdieu ingin menunjukkan bahwa kebudayaan dapat menjadi objek sah studi ilmiah. Ia mencoba
mengintegrasikan kembali kebudayaan dalam pengertian “budaya tinggi” (misalnya lebih suka musik klasik) dengan pemahaman
antropologis atas kebudayaan, yang melihat pada segala bentuknya, tinggi maupun rendah. Lebih spesifik lagi, Bourdieu
menghubungkan selera akan makanan yang dimasak khusus dan berselera tinggi dengan makanan yang hanya terbuat dari bahan-
bahan pokok.
Karena struktur, khususnya arena dan habitus, cenderung ajek, maka preferensi kultural dari berbagai kelompok di dalam
masyarakat (khususnya kelas dan fraksi kelas) menciptakan sistem yang koheren. Bourdieu memusatkan perhatian pada variasi
“selera” estetis, disposisi yang diperoleh untuk membedakan beragam objek kultural kenikmatan estetis dan memberinya apresiasi
secara berbeda. Selera juga merupakan praktik yang diantaranya berfungsi memberi individu, maupun orang lain, pemahaman
akan tempatnya di dalam tatanan sosial. Selera menyatukan mereka yang memiliki preferensi serupa dan membedakannya dari
mereka yang mempunyai selera berbeda. Dengan demikian, melalui proses tersebut dapat megklasifikasikan dirinya sendiri. Kita
mampu mengkategorikan orang menurut selera yang mereka perlihatkan, misalnya preferensi mereka pada jenis musik atau film
yang berbeda. Praktik-praktik ini, seperti praktik lainnya yang perlu dilihat dalam konteks hubungan timbal balik, yaitu dalam
totalitas. Jadi selera-selera seni ataupun film terkait dengan preferensi makanan, olahraga, dan gaya rambut.
Dua arena terkait satu sama lain masuk ke dalam studi Bourdieu tentang selera-hubungan kelas (khususnya dengan fraksi kelas
dominan) dan hubungan kultural. Ia melihat arena-arena ini sebagai serangkaian posisi yang didalamnya berbagai “permainan”
dijalankan. Selera adalah kesempatan baik untuk mengalami dan menyatakan posisi seseorang di dalam arena tersebut. Namun
arena kelas sosial membawa banyak dampak bagi kemampuan seseorang untuk memainkan permainan ini; mereka yang
mempunyai kelas lebih tinggi mampu membuat selera mereka iterima dan menentang selera mereka yang berada pada kelas lebih
rendah. Jadi, dunia karya-karya kultural dengan dunia kelas sosial yang hierarkis dan dengan sendirinyanya karya-karya itu juga
bersifat hierarkis dan menciptakan hierarki.
Bourdieu menggabungkan habitus dengan selera, selera dibentuk oleh disposisi yang mengaka kuat dan bertahan lama daripada
opini permukaan dan verbalisasi. Bahkan preferensi seseorang atas aspek luar kebudayaan seperti pakaian, perabot, dan masakan
dibangun oleh habitus. Disposisi disposisi inilah yang “yang membentuk kesatuan tak-sadar suatu kelas” (1984). Selanjutnya
Bourdieu mengemukakan “Selera adalah pengatur pertandingan … yang di dalamnya habitus menegaskan kedekatannya dengan
habitus lain”. Secara dialektis, Struktuk kelas yang menciptakan habitus.
Bourdieu melihat kebudayaan sebgai semacam ekonomi atau pasar. Di dalam pasar ini, orang memanfaatkan modal kultural
katimbang modal ekonomi. Modal kultural ini merupakan akibat dari asal usul sosial orang dan pengalaman pendidikan mereka. Di
pasar inilah orang yang memiliki modal dan menggunakannya sehingga mampu meningkatkan posisi mereka atau malah
mengalami kerugian yang pada gilirannya menyebabkan merosotnya posisi mereka dalam ekonmi.
Orang mengupayakan distingsi di berbagai arena kultural, seperti minuman yang diminum (perrier atau cola), mobil yang dikendarai
(mercedes benz atau ford escort), koran yang dibaca (the new york times atau USA today), dan tempat wisata yang dikunjungi
(rivera perancis atau disney world). Hubungan distingsi secara obyektif tertera dalam produk-prodk ini dan diaktfkan ulang setiap
kali digunakan. Menurut Bourdieu “arena total dari arena-arena ini menawarkan kemungkinan yang hampir tiada batasnya untuk
mencapai distingsi”(1984). Penggunaan barang-barang kultural tertentu (seperti mercedes benz) melahirkan “laba”, sementara itu
penggunaan barang lain (Escort) tidak memberikan laba, atau bahkan menyebabkan “kerugian”.
Menurut Bourdieu (1998) “kekuatan yang mendorong perilaku manusia adalahpencarian distingsi”. Namun tujuan utamanya “hadir
dalam ruang sosial, menduduki suatu posisi atau menjadi individu di dalam suatu ruang sosial, berarti membedakan, menjadi
berbeda … ditempatkan di suatu ruang tertentu, seseorang … dibekali dengan kategori persepsi, dengan skema klasifikasi, dengan
selera tertentu, yang memungkinkannya menciptakan perbedaan, membedakan dan memilah-milah”. Untuk contohnya : orang yang
memilih piano berbeda dengan orang yang memilih akordion. Dapat dijelaskan bahwa yang memilih piano memiliki nilai distingsi,
sedangkan yang memilih akordion dipandang kampungan (dilihat dari sudut pandang penggemar piano). Hal ini akibat dari
dominannya sudut pandang dan kekerasan simbolis yang dipraktikkan untuk menentang mereka yang mengadopsi sudut pandang
lain.
Terjadinya dialektika antara sifat produk kultural dengan selera. Perubahan barang-barang kultural mengarah pada perubahan
selera, namun selera-pun cenderung mengakibatkan transformasi produk kultural. Struk arena tidak hanya mengondisikan hasrat
konsumen barang-barang kultural namun juga menstrukturkan apa yang diciptakan produsen untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tersebut.
Homo Akademikus
“Arena universitas, seperti halnya arena lain,adalah lokus pertarungan menentukan syarat dan kriteria hierarki yang legitim, yaitu,
menentukan bagian mana yang relevan, efektif dan dapat berfungsi sebagai modal sedemikian rupa sehingga dapat membangun
keuntungan spesifik yang dijamin oleh arena ini” (1984).
Perhatian Bourdieu diarahkan pada hubungan antara posisi objektif arena akademis berbeda, habitus terkait, dan pertarungan antar
mereka. Bourdieu ingin mengaitkan arena akademis dengan erena kekuasaan yang lebih luas. Hubungan antara dua habitus ini,
struktur perguruan tinggi “mereproduksi dengan logika akademis khas struktur arena kekuasaan yang memberinya akses”. Dan
secara dialektis, struktur arena akademis melalui seleksi dan indoktrinasi memberikan sumbangsih bagi reproduksi arena
kekuasaan.
Bourdieu menganggap bahwa akademisi Perancis terbagi-bagi kedalam bidang hukum dan kedokteran yang dominan dan bidang-
bidang sains pada batas tertentu seni. Pemisahan paralel dengan pemisahan dalam arena kekuasaan, yang di dalamnya mereka
memiliki kompetensi sosial dominan berada pada posisi dominan dan mereka yang memiliki kompetensi saintifik secra sosial
berada pada posisi subordinat. Naum fakta yang ada, akademisi adalah hierarki sosial (yang mencerminkan arena kekuasaan
sekaligus sistem stratifikasi sosial dan tempat bercokolnya kekuasaan ekonomi dan politik) dan hierarki kultural yang diatur oleh
modal kultural yang berasal dari otoritas ilmiah atau pengakuan luas secara intelektual. Di ranah kultural, hierarki disiplin akademis
justru terbalik : sains ada di puncak, dengan hukum dan kedokteran yang berda di bawahnya. Jadi lebih umum lagi, oposisi antara
arena ekonomi-politik dengn arena kultural diperebutkan di dalam sistem universitas Perancis.
Pertarungan ini tidak hanya dilakukan antar fakultas, namun juga di dalam fakultas seni, yang terjebak diantara kehidupan sosial
dengan kehidupan ilmiah. Jadi fakultas seni adalah “sudut pandang istimewa untuk mengamati pertarungan antar kedua jenis
kekuasaan universitas”. Beberapa anggota fakultas seni memiliki kekuasaan sosial (atau akademis) yang berasal dari peran
mereka dalam universitas sebagai tempat diajarkannya pengetahuan legitim. Modal mereka diperoleh dalam universitas melalui
kontrol atas pendidikan dan produksi generasi penerus akademisi. Ada pula orang-orang fakultas seni yang memiliki kekuasaan
spesifik yang berasal dariketenaran intelektual mereka di dalam bidang tertentu. Kedua jenis akademisi ini bertarung untuk meraih
kekuasaan di dalam fakultas seni di arena sistem universitas Perancis.
Di dalam hierarki arena akademis, otoritas seorang profesor untuk mengatur mahasiswa pasca sarjana dan dosen junior untuk
patuh agar mereka tidak terlalu independen. Karena dalam arena ini, struktur tertinggi adalah profesor yang telah mempunyai
pengakuan akademis dari lembaga pendidikan, sedangkan mahasiswa pascasarjana dan dosen junior berada di level berikutnya.
Inilah yang dimaksudkan Bourdieu dengan “ orang baru keranjingan ketika ia berada di tengah-tengah arena”.
Jumlah dan prestise subordinat meningkatkan prestise profesor yang telah mapan. Prestise seorang profesor akan meningkat
seiring dengan jumlah pengikut yang meningkat, dan dengan demikian pengaruh dari profesor itu akan menjai lebih besar di arena
akademis. Dan seperti yang dikemukakan Bourdieu dengan “modal mengembangbiakkan modal”. Dalm hal ini, gelar profesor
adalah modal, dan dengan merekrut mahasiswa untuk membantu dalam penelitian atau-pun kegiatan lainnya. Sang profesor ini
akan lebih meningkatkan prestisnya. Dan peningkatan prestis dari profesor inilah yang dinamakan “mengembangbiakkan modal”.
Ada kecenderungan mahasiswa yang ambisius tertarik pada profesor ambisius, akbibatnya mereka lebih dekat secara sosial
daripada secara intelektual.
Sistem Akademis Sayarat Dengan Pamrih
Profesor tua tidak siap dengan gangguan yang datang dan beberapa pendatang baru menolak untuk menunggu dengan sabar, jadi
profesor muda dan senior terjadi benturan antara habitus yang ada dengan berubahnya sifat arena tersebut. “Profesor lama terus
‘bekerja tanpa orkestrasi sadar untuk mempertahankan kekonstanan sosial lembaga keprofesoran mereka”. Selanjutnya, profesor
itu khawatir dengn pendatang baru yang mampu masuk (arena = sistem universitas) dengan “harga diskon” (tanpa melalui proses
hieraki), karena dalam kasus ini, dosen baru yang menempati posisi akademis subordinat, mereka mendekatkan diri pada mahasisa
untuk menciptakan revolusi.
Menurut Bourdieu, konflik tidak terjadi pada dosen tua dengan dosen muda, tetapi antara dua kelompok dosen muda. Kelompok
yang pertama adalah kelompok yang menginternalisasikan habitus generasi sebelumnya dan yang memiliki peluang mewarisi
hierarki akademis. Kelompok yang kedua, merupakan kelompok yang menentang yakni kelompok dengan habitus berbeda, yang
tumbuh dari fakta bahwa mereka hanya memiliki prospek karis sedikit, itupun kalau ada. (mereka yang melihat adanya hambatan
bagi peluang mobilitas vertikal cenderung manjadi orang-orang yang melakukan protes.
Relevansi Pemikiran Bourdieu di Indonesia
Lewat teori Habitusnya, Bourdieu menunjukkan bagaimana relasi kuasa terjadi dalam struktur masyarakat tertentu. Namun lewat
konsep Habitus itu, terlihat bahwa realitas sosial tidaklah begitu sederhana seperti penjelasan lewat teori pertentangan kelas, yang
terlalu mengutamakan faktor ekonomi dan mengabaikan faktor-faktor lain. Bourdieu juga telah menunjukkan bahwa pendekatan
oposisi agensi versus struktur sudah tidak lagi memadai, dalam menjelaskan realitas sosial. Jadi, Bourdieu menolak pandangan
Cartesian yang membedakan secara jelas antara subjek dengan dunia luar, antara agensi dan struktur. Memang ada relasi atau
keterkaitan antara keduanya, namun hubungan itu bersifat dinamis, kompleks, saling mempengaruhi, dan tidak linier, untuk
menghasilkan praktik sosial.
Bagi kita di Indonesia, pemikiran Bourdieu ini bermanfaat signifikan dalam upaya memahami dan menganalisis kesenjangan sosial-
budaya, ekonomi dan politik yang ada di masyarakat. Kita juga perlu melihat secara kritis terjadinya represi dan kekerasan simbolik,
yang dilakukan oleh rezim atau kelompok yang berkuasa terhadap masyarakat kelas bawah, yang terpinggirkan dalam proses
“pembangunan.”
Juga, kita perlu memikirkan secara serius, mengapa meski sudah dilakukan berbagai program pemerintah, ternyata jurang antara
masyarakat bawah dan kelompok yang diuntungkan oleh sistem masih sangat lebar. Bisa jadi kelompok yang dominan pada
hakikatnya terus mereproduksi struktur yang menguntungkan posisinya tersebut. Kita sangat berkepentingan, jangan sampai
struktur yang menindas dan represif ini berkelanjutan. Dari komitmen keberpihakan tersebut, dapat dipikirkan langkah-langkah apa
yang patut dilakukan, untuk menjembatani kesenjangan itu dan meningkatkan posisi masyarakat kelas bawah yang tertindas.
Ferdianad de Saussure (Strukturalisme Bahasa Saussure, Strukturalisme dan Implikasinya)
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan
kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan
aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan
antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari
suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala
budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam
bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis.
(Bagus, 1996: 1040). Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak pemikiran Ferdinand
de Saussure yang banyak disebut orang sebagai bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan
strukturalisme.
Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme. Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga
sebagai bapak linguistik yang ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besar-besaran di bidang lingustik. Ia yang pertama kali
merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau
simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang
mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap.
Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan pola
ilmu bahasa. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian
dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran
dan lain sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Jadi kita dapat menanamkan benih suatu ilmu
yang mempelajari tanda-tanda di tengah-tengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum, yang
nantinya dinamakan oleh de saussure sebagai semiologi. Ilmu ini akan mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda-tanda
itu, kaidah mana yang mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan bagaimana ilmu ini, tetapi ia
berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu. Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang
digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang
tertentu dalam keseluruhan fakta manusia. Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:
• Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan secara diakronis (menurut
perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur yang sezaman)
• Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat,
dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual.
• Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan
paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat
asosiatif (sistem).
• Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier)
dan petanda (signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji
bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar dalam pikiran kita
konsep rumah.
Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam
diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-
tanda (termasuk didalmnya upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa.
Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga mengenai proses kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia,
dianalisa berdasarkan strukturnya melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta diakronis
dan sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.
Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga
prinsip dasar yang penting dalammemahami kebudayaan, yaitu:
• Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifié, signified,
petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa
setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara
mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar.
• Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif.
Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda
ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena
merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-
unsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.
• Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan
masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan
dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah
perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara
kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar.
Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan
adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindakj sedemikian
rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya.
Eriving Goffman dan Pierre Bourdieu Dramaturgi "Selebritisasi Politik"
Masyarakat dituntut kritis terhadap janji-janji politisi yang dilembagakan menjadi kontrak politik agar tampilan itu tidak sekadar
menjadi topeng dari kepalsuan kontrak politik. Ulasan Pemilu mengenai ‘Caleg Artis Berkibar…’ (Surya,11/4/2009) menarik
diperdebatkan secara teoritik. Mengapa pada Pemilu kali ini, politisi selebritis lebih mudah mendulang suara, dibandingkan politisi
nonselebritis sekalipun ia elite partai politik?.
Rieke ‘Oneng’ Diah Pitaloka mengungguli perolehan suara Taufik Kiemas, yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI
Perjuangan. Fenomena ini diikuti Marisa Haque Fawzi (PPP), Teuku Firmansyah (PKB), Derry Drajat (PAN), Rachel Maryam
(Gerindra), Nurul Arifin (Golkar), Primus Yustisio (PAN), Buki Wikagoe (Gerindra) di Dapil masing-masing dan Wanda Hamidah
(PAN) untuk DPRD DKI Jakarta. Di Jawa Timur, keunggulan suara sementara politisi selebritis juga terjadi. Simak saja di Dapil I,
ada nama Ratih Sanggarwati (PPP), Dapil II ada Chandra Pratomo Samiadji Massaid atau biasa disapa Adjie Massaid, Dapil VI ada
nama Vena Mellinda (PD) dan Dapil VIII, ada artis asli Nganjuk Eko ‘Patrio’ (PAN). Fenomena kemenangan politisi selebritis ini
sesungguhnya implikasi dari sistem politik yang demokratis, dengan model sistem proporsional terbuka. Pada sistem ini siapa yang
populer dan memiliki citra baik, akan dengan mudah dipilih oleh rakyat.
Dengan Keputusan MK No 22-24 yang membatalkan Pasal 214 dari UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka terjadi ruang kompetisi yang
terbuka di antara kontestan caleg, karena penetapan anggota legislatif ditentukan dengan suara terbanyak.
Bagi politisi selebritis arena kompetisi kekuasaan semacam ini semakin mudah dan murah untuk mewujudkannya. Hampir setiap
saat popularitas dirinya terpublikasi media, yang memungkinkan masyarakat mengingatnya setiap saat dan bahkan memilihnya.
Sebaliknya, menjadi sulit dan mahal bagi kontestan yang bukan dari kalangan selebritis. Jika ingin terpilih, harus mengejar
ketertinggalan popularitasnya dengan melakukan proses selebritisasi politik (politic celebration) lewat media secara masif. Proses
selebritisasi politik itu bisa dengan pola marketing politik (political marketing), promosi politik (political promotion) dan iklan politik
(political advertishing). Pola dalam melakukan proses selebritisasi politik ini, jelas sekali menempatkan media sangatlah utama,
apakah media itu berbentuk cetak, elektronik, atau dengan media iklan politik yang lain, semisal baliho, banner, stiker dan lainnya.
Ya, media merupakan ranah kekuasaan. Pierre Bourdieu dalam karyanya Outline of a Theory of Practice (1977) dan Distinction: A
Social Critique of the Judgement of Taste (1984) mengatakan, ranah (field) merupakan jaringan hubungan antar posisi objektif di
dalamnya. Media sebagai ranah kekuasaan merupakan arena pertarungan dan perjuangan. Struktur ranah medialah yang
mempersiapkan dan membimbing strategi yang digunakan pengisi posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan
posisi untuk memaksakan penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk sendiri. Ranah media bagaikan pasar
kompetisi, yang mempertaruhkan berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, dan simbolik) digunakan dan disebarkan. Ranah
media merupakan wilayah politik (kekuasaan) yang memiliki hirarki hubungan kekuasaan dan dapat membantu menata ranah yang
lain.
Bourdieu menentukan tiga tahap proses menganalisis ranah. Pertama, menggambarkan keutamaan ranah kekuasaan (politik),
untuk menemukan hubungan setiap ranah khusus dan ranah politik. Kedua, menggambarkan struktur objektif hubungan
antarberbagai posisi di dalam ranah tertentu. Ketiga, penganalisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang
menempati berbagai tipe posisi di dalam ranah. Ranah di sini ialah media, yang menjadi medan perebutan untuk marketing politik,
komunikasi politik dalam bingkai mengenalkan program maupun politikus itu sendiri. Maka media dalam perspektif ini, benar-benar
menjadi arena kekuasaan.
Masyarakat perlu mewaspadai implikasi dari proses selebritisasi politik itu. Mengingat apapun pencitraan sebuah produk yang
ditayangkan oleh media tidaklah selalu ideal dari yang dipromosikan itu. Begitu halnya dengan produk politik, tentu tidaklah seindah
dari penampilan dan janji-janji politik yang disajikan. Karena itu, proses selebritisasi politik itu berimplikasi jatuh pada realitas
dramaturgi politik.
Erving Goffman (1974, 1959) dalam karyanya Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience, dan The Presentation
of Self in Everyday Life, menjelaskan bahwa kehidupan manusia terdiri dari panggung depan (front region) dan panggung belakang
(back stage).
Dalam teori dramaturgi Bourdieu, ada dua pertanyaan pokok : mengapa pada panggung depan individu bertindak seperti sosok
ideal? Sosok ideal yang dikemas dalam topeng kehidupan akan menjaga ‘kesatuan bertindak’, dalam situasi rutin anggota tim harus
dapat dipercaya sehingga harus dipilih hati-hati. Kedua, apa tujuan tindakan bertopeng? Tujuan secara rasional adalah untuk
menjaga ‘kesatuan bertindak’ antara kondisi ideal dan real atau tetapnya integrasi suatu integrasi sosial. Sedang secara tidak
rasional tujuan tindakan itu memang sudah dipastikan pada kehidupan yang fatalis.
Dengan analisis Bourdieu di atas, jelas sekali tergambar tampilan politisi dipanggung depan dalam proses selebritisasi politik tentu
tampilan performa yang ideal, yang tentu berbeda dengan performa di panggung belakang. Masyarakat dituntut kritis terhadap janji-
janji politisi yang dilembagakan menjadi kontrak politik agar tampilan itu tidak sekadar menjadi topeng dari kepalsuan kontrak politik.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, penerjemah: Nurhadi, Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana,
2007.
Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Jakarta: Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), 2003
Bagus, Loren. 1996.”Kamus Filsafat”. Jakarta: Pustakan Gramedia
Beilharz, Peter, 2002, Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Juxtapose, 2007.
Foucault, Michel, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, penerjemah Rahayu S. Hidayat, Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia
Bekerjasama dengan FIB Universitas Indonesia, 2008
Harker, Richard; Mahar, Cheelen; Wilkes, Chris (ed), 2005 (Habitus X Modal) + Panah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif
kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Jalasutra.
Jenkins, Richard, 2004, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Lechte, John. 2001.”50 Filusuf Kontmporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas”. Yogyakarta: Kanisius
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J, 2005, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana.
Northrup, Christiane, Women`s Bodies, Women`s Wisdom, New York USA: A Bantam Book Publishing History, 2002.
Sarup Madan, Panduan Pengantar Untuk Memahami Postrukturalisme & Posmodernisme, penerjemah: Medhy Aginta Hidayat,
Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2008.
Sutrisno Mudji & Hendar Putranto (ed), Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta: PT Kanisius, 2005.
Syarifah, Kebertubuhan Perempuan dalam Pornografi, Jakarta: Penerbit Yayasan Kota Kita, 2006.
Synnott, Anthony, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri & Masyarakat, terjemahan Pipit Maizer, Yogyakarta: PT Jalasutra, Edisi Revisi
2007