1
ANALISIS POTENSI PAJAK DAERAH
DI KABUPATEN SLEMAN
TESIS
Disusun oleh :
D A K I R I
NIM. 243110024
MAGISTER ILMU EKONOMI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
YOGYAKARTA
TAHUN 2013
2
ANALISIS POTENSI PAJAK DAERAH
DI KABUPATEN SLEMAN
TESIS
Disusun oleh :
D A K I R I
NIM. 243110024
Yogyakarta, 2013
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Sri Suharsih, M.Si Akhmad Syari’udin, SE. M.Si
3
KATA PENGANTAR
Selaksa Puji dan Syukur hanya pantas dihaturkan kepada Allah SWT, Tuhan
yang Maha segala Maha. Dengan karunia-Nya, Alhamdulillah penyusunan tesis ini
dapat diselesaiakan dengan lancar. Tesis ini mengulas tentang analisis potensi pajak
daerah dalam era otonomi sebagai suatu studi kasus yang terjadi di Kabupaten
Sleman.
Selain sebagai syarat lulus Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Program
Pascasarjana UPN Yogyakarta, tesis ini ditulis karena kesadaran penyusun tentang
pentingnya dasar yuridis dalam memungut pajak. Serta penerapan otonomi daerah
yang membawa dampak perubahan bagi pengaturan sektor perpajakan daerah.
Tentunya dalam melakukan semua itu penyusun tidak sendirian. Untuk itu pada
kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta yang telah memberikan
dukungan kemauan dan kemampuan sehingga penyusunan tesis ini bisa
diselesaiakan sesuai dengan harapan;
2. Ketua Program Pasca Sarjana UPN Yogyakarta dan staf Administrasi yang banyak
menunjang dan membantu kelancaran dalam menempuh program ini.
3. Para Guru besar dan staf pengajar Program Magistar MIE UPN Yogyakarta yang
telah memberikan perkuliahan secara professional, arif dan bijaksana dalam
memberikan ilmu selama penulis mengikuti perkuliahan.
4. Ibu, istri , anak dan keluarga yang telah memberikan dukungan material maupun
sepiritual sekaligus memberikan semangat sehingga tugas akhir ini bias
terselesaikan;
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam melakukan penelitian sejak awal sampai penulisan tesis
ini selesai.
Penyusun berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat baik bagi
penyusun sendiri maupun pembaca yang berkenan mempelajarinya. Penyusun
menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari harapan, dan tentunya masih banyak
terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
Sleman, Desember 2012
Penyusun
Dakiri
4
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah
menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat dan
daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi
daerah.
Dalam era otonomi, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk
lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan
masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakan
persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi.
Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih
mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin
banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai
pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam
jumlah besar.
Sementara dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat
kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, jumlahnya
relatif yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri
dalam APBN, namun daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PADnya untuk
meningkatkan akuntabilitas dalam pembelanjaan APBD-nya.(Wahyuni, 2010)
Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal,
namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2
termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah
ada sejak lama.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk dapat
melaksanakan otonomi, Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan
daerah, diantaranya dengan menetapkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan
retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong Pemerintah Daerah terus
berupaya untuk mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan
retribusi daerah.
Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah serta dengan berbagai perubahan, berbagai macam respon timbul dari daerah-
daerah. Diantaranya ialah bahwa pemberian keleluasaan yang diberikan kepada
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah dan retribusi
daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan yaitu
sejumlah daerah berhasil mencapai peningkatan PAD-nya.
Kreativitas Pemerintah Daerah yang berlebihan dan tak terkontrol dalam
memungut pajak daerah dan retribusi daerah, akan menimbulkan dampak yang
merugikan bagi masyarakat dan dunia usaha, yang pada gilirannya menyebabkan
ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Dengan pengaturan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 diharapakan bisa mensinergisikan
antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan pajak.
Kebijakan pemungutan pajak berdasarkan peraturan daerah diupayakan tidak
berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai), hal tersebut akan
menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan
perekonomian. Diantisipasinya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi
3
daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta
masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
Efektifitas sumber pendapatan daerah, akan meningkatkan produktivitas PAD
tanpa harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang
memerlukan study ataupun penelitian yang memerlukan waktu yang panjang
disamping membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
Tabel 1.1
Prosentase Perbandingan PAD dan Total Pendapatan Daerah
Kabupaten Sleman Tahun 2007 - 2011
Tahun PAD Total Pendapatan
Daerah
% PAD Terhadap
Pendapatan Daerah
2007 94,896,446,720 816.494.692.325,50 15%
2008 106,758,631,343 805.345.499.944,00 18%
2009 128,918,153,264 838.951.446.878,00 19%
2010 163,530,209,690 1.096.171.526.063,21 15%
2011 203,457,903,768 1.311.785.453.371,45 17%
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
Tingginya transfer keuangan pusat dan daerah melalui mekanisme Dana
Alokasi Umum (DAU), studi yang dilakukan oleh Usui (2004) sebagaimana dikutip
oleh Yamin (2010) menunjukkan transfer pusat ke daerah lebih 80% sedangkan PAD
hanya berkisar 10% dari total penerimaan daerah. Untuk membiayai pembangunan di
Kabupaten Sleman, selain mengandalkan dana perimbangan (Dana Bagi Hasil, DAU
dan DAK) dan lain-lain pendapatan, juga dibiayai dari penerimaan daerah yang
bersumber dari PAD. Dalam rangka terwujudnya ekonomi daerah yang nyata dan
bertangung jawab, maka Pemerintah Daerah harus sekuat tenaga berusaha
meningkatkan PAD.
Tabel 1.2
Persentase Perbandingan PAD dan DAU Daerah Kabupaten Sleman
Tahun 2007 - 2011
Tahun PAD DAU % PAD Terhadap DAU
2007 116.318.458.068 543.085.000.000 22%
2008 139.202.343.051 592.594.528.000 25%
2009 159.533.111.231 587.857.778.000 27%
2010 163.599.097.641 563.320.892.000 29%
2011 218.957.333.977 631.920.733.000 35%
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
4
Pengelolaan pajak dan retribusi daerah harus dilakukan secara cermat, tepat dan
hati-hati. Pemerintah daerah perlu memiliki sistim pengendalian yang memadai untuk
menjamin ditaatinya sistim dan prosedur kebijakan manajemen yang telah
ditetapkan. Selain itu perlu dilakukan penyederhanaan prosedur administrasi yang
bertujuan untuk memberi kemudahan bagi masyarakat membayar pajak sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan membayar pajak, dengan harapan dimasa
yang akan datang bisa memperbesar persentase penerimaan daerah .
Perbandingan persentase penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap
total pendapatan daerah masih bisa dikatakan cukup berdasarkan tabel 1.3. Namun
perlunya optimalisasi pajak daerah adalah untuk mengimbangi penerimaan dana
alokasi umum, sehingga semua kegiatan pembangunan dan pemerintahan dapat
berjalan sesuai harapan.
Tabel 1.3
Persentase Perbandingan DAU dan Total Pendapatan Daerah
Kabupaten Sleman Tahun 2007 - 2011
Tahun DAU Total Pendapatan
Daerah
% Total Pendapatan Daerah
Terhadap DAU
2007 543.085.000.000 816.494.692.325,50 67%
2008 592.594.528.000 805.345.499.944,00 74%
2009 587.857.778.000 838.951.446.878,00 70%
2010 563.320.892.000 1.096.171.526.063,21 52%
2011 631.920.733.000 1.311.785.453.371,45 49%
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
Dari sekian banyak uraian tersebut diatas berikut kami sajikan data realisasi
pajak daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Sleman dari
kurun waktu Tahun 2007 sampai dengan 2011 sebagai berikut :
Tabel 1.4
Realisasi Pajak Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2007 - 2011
Tahun Pajak Daerah
(Rp)
Realisasi Jumlah Pajak Daerah
(Rp)
2004 28.327.600.000,00 30.715.060.955,07
2005 41.141.393.271,38 33.067.768.825,00
2006 37.979.313.74, 32 32.750.000.000,00
2007 50.287.665.731,91 42.000.000.000,00
2008 61.020.899.130,70 49.171.622.433,00
2009 71.044.731.106, 66 56.350.000.000,00
2010 80.611.542.955,52 75.969.096.600,00
2011 142.698.407.280,12 122.700.165.400,00
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
5
Adanya signifikasi kenaikan perolehan pajak, ini menunjukkan pajak di
Kabupaten Sleman sangat berpotensi untuk lebih diintensifkan. Sehingga perlu
memiliki sistim pengendalian yang memadai untuk menjamin ditaatinya prosedur dan
kebijakan manajemen yang telah ditetapkan. Selain itu perlu dilakukan
penyederhanaan prosedur administrasi yang bertujuan untuk memberikan kemudahan
bagi masyarakat pembayar pajak parkir sehingga diharapkan dapat meningkatkan
kepatuhan membayar pajak.(Halim, 2007)
Besar kecilnya penerimaan pajak tentunya tidaklah sama mengingat obyek
pajak dengan jangkauan yang berbeda. Sehingga besar kemungkinan hasil
penerimaan dari obyek pajak tentunya akan berbeda pula, dengan kondisi tersebut
tentunya akan berdampak langsung kegiatan pembiayaan pembangunan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor : 91 Tahun 2010 tentang jenis
pajak daerah yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar
sendiri oleh wajib pajak.
Dalam rangka mengoptimalkan pendapatan atau penerimaan pajak daerah di
Kabupaten Sleman terlebih dahulu harus mengetahui seberapa penerimaan pajak
daerah yang penekanannya pada potensi riil mutlak dilakukan untuk menetapkan
target rasionalnya. Dengan potensi yang ada setelah dibandingkan dengan perkiraan
penerimaan untuk masa yang akan datang maka akan dapat diperkirakan rencana,
tindakan apa yang harus dilaksanakan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan
penerimaan pajak.
Kecenderungan yang selama ini dilakukan di Kabupaten Sleman terjadi
terhadap penetapan anggaran pada pos pendapatan daerah, yaitu bahwa penetapan
target-target dari setiap jenis pendapatan daerah hanya didasarkan atas proses
incremental (peningkatan) sebesar sekian persen dibanding tahun-tahun sebelumnya,
tanpa didasarkan pada potensi yang dimiliki. Apabila kesenjangan antara potensi dan
realisasi dikatakan sebagai kesenjangan obyektif, maka upaya pengkajian terhadap
potensi pendapatan daerah perlu dievaluasi dan perlu di kaji. Untuk meminimalisir
kesenjangan obyektif tersebut tentunya tentunya harus dikaji ulang dengan
6
menghitung potensi riil dengan memperhatikan aspek proporsi dan pertumbuhan.
Dengan pertimbangan bahwa potensi pertumbuhan ekonomi semakin tahun
menunjukkan kenaikan yang signifikan, seiiring dengan pertumbuhan sektor
pariwisata.
Bentuk pemikiran mendalam tersebut tercakup dalam potensi pajak dan
retribusi daerah di Kabupaten Sleman. Dan dengan menggunakan obyek penelitian 11
pajak daerah yang berlaku sejak diberlakukan Undang-undang nomor 28 tahun 2009,
yang dianalisis menggunakan lima tolok ukur pajak daerah yang telah diintrodusir
oleh Nick Devas : yield, ability to implement, equity, economic efficiency, dan
suitability as a local source maka diperoleh pokok-pokok pemikiran potensi pajak
dan retribusi daerah, dilihat dari segi yield (hasil) semua pajak dan retribusi daerah di
Kabupaten Sleman masih bisa ditingkatkan. Dan peningkatan tersebut tergantung
dari ability to implement (kemampuan untuk melaksanakan), yang terlihat dalam
usaha pencapaian target penerimaan pajak dan retribusi daerah, dengan ability to
implement meningkat, maka yield juga akan meningkat.
Karena pajak merupakan sumber penerimaan daerah, perlu mendapat perhatian,
mengingat pengelolaan pajak yang berada di wilayah Kabupaten Sleman belum
seluruhnya digali secara optimal dan perlu ditingkatkan, sehingga perlu intensifkan
dalam rangka untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Artinya hasil penerimaan
pajak di Kabupaten Sleman mendekati potensi yang seharusnya seiring dengan
kemajuan tingkat perekonomian. Alasan ini yang mendorong penulis untuk
melakukan penelitian tentang “ANALISIS POTENSI PAJAK DAERAH DI
KABUPATEN SLEMAN “
1.2. Rumusan Masalah
Salah satu penopang Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pajak daerah,
penerimaan pajak daerah mempunyai kemampuan untuk lebih dintensifkan oleh
karena itu permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah pendapatan asli
daerah, dengan membatasi pada pajak daerah. Permasalahan tersebut dapat dilihat
7
dengan rumusan masalah sebagai berikut : “ Bagaimana potensi pajak daerah
terhadap peningkatan pendapatan daerah di Kabupaten Sleman”
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi pajak daerah di Kabupaten
Sleman Tahun 2007 - 2011
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk kepentingan yang bersifat teoritis
terutaa bagi kalangan akademisi dan berguna untuk kepentingan yang bersifat praktis
terutama bagi para pengambil kebijakan pemerintah.
a. Secara akademis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan sumbangan pemikiran dalam
menganalisis pengembangan ilmu pengetahuan dalam ilmu ekonomi
pembangunan.
b. Secara praktis
- Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat dan
pemerintah daerah tentang potensi pajak daerah terhadap peningkatan
pendapatan asli daerah;
- Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pemerintah daerah
dan legislatif dalam merumuskan kebijakan yang menyangkut pajak daerah.
1.5. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian ditunjukan dengan tabel terebut dibawah.
Tabel 1.5
Keaslian Penelitian
No Peneliti Sampel Alat Hasil
1. Astuti
(2008)
Gianyar Regresi 1. Retribusi pelayanan kesehatan,
pajak hotel dan restoran serta
retribusi tempat rekreasi dan
olah raga secara serempak
berpengaruh signifikan terhadap
8
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Gianyar
2. Retribusi pelayanan kesehatan
secara parsial berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
PAD, pajak hotel dan restoran
secara parsial berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
PAD, retribusi tempat rekreasi
dan olah raga secara parsial
tidak berpengaruh signifikan
terhadap PAD
2. Kurniawan
(2010)
Ponorogo Regresi Hasil dari retribusi daerah
berpengaruh terhadap peningkatan
pendapatan
asli daerah. Retribusi daerah
mempunyai jumlah sumbangan
paling besar terhadap pendapatan
asli daerah, hal ini akan
menyebabkan peningkatan
pendapatan asli daerah cukup
besar. Walaupun pengaruhnya
terhadap peningkatan pendapatan
asli daerah lebih kecil tetapi peran
retribusi daerah terhadap jumlah
pendapatan asli daerah sanagat
penting.
3. Ruswandi
(2009)
Bogor Estimasi
Model dan
Koefisien
1 Selama periode tahun 1994
hingga tahun 1999, potensi
pajak daerah di Kabupaten
Sumedang terus mengalami
peningkatan. Sementara itu, pada
tahun 2000 terjadi penurunan
dan terjadi peningkatan kembali
pada periode tahun 2001 hingga
tahun 2006
2 Masih banyak masalah yang
dihadapi pemerintah daerah
termasuk Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumedang, dalam hal
ini Satuan Kerja Perangkat
daerah (SKPD) Dinas
Pendapatan Daerah (Dispenda)
terkait dengan upaya pencapaian
realisasi pajak daerah sehingga
pengaruh pajak daerah terhadap
PAD Kabupaten Sumedang
9
masih relatif kecil bila
dibandingkan dengan komponen
lainnya yang berpengaruh
terhadap PAD
Dari ketiga penelitian sebelumnya tersebut diatas ketiganya melakukan
penelitian dengan menggunakan alat analisis yang berbeda. Sehingga hasil penelitian
diperoleh hasil pajak daerah berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan daerah.
Pengaruh tersebut persentasenya ada kuat dan ada yang lemah (besar dan kecil),
secara keseluruhan persentase belum optimal, tetapi ada signifikasi kontribusi
terhadap peningkatan pendapatan asli daerah.
Perbedaan dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini menggunakan alat
analisis yang komperhensif yaitu pertumbuhan pajak, analisis variabel keadilan
(Equity), kemampuan melaksanakan (Ability to implement) dan variabel kesesuaian
sebagai penerimaan daerah (Suitability as a Local Source).
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam rangka melaksanakan otonomi, daerah mempunyai hak dan kewajiaban
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sehingga tercipta suasana
efektif dan efisiensi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat seiring dengan
laju pertumbuhan ekonomi. Untuk maksud tersebut dalam rangka mewujudkan
kemandirian daerah perlu dilakukan upaya yang nyata dan bertanggungjawab melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi sumber pendapatan daerah untuk membiayai biaya
pembangunan.
Belum semua potensi pajak tergali secara maksimal, dengan keterbatasan
sumber daya yang tersedia serta kesadaran wajib pajak terhadap pelaksanaan regulasi
peraturan yang berlaku masih rendah, maka berupaya untuk melakukan reformasi
baik secara administrasi maupun penyederhanaan prosedur pelayanan, sehingga
diharapkan bisa menyadarkan arti pentingnya pajak terhadap kegiatan pembangunan.
Ditemuianya wajib pajak belum melaksanakan kewajibannya (yang sudah jatuh
tempo) maka perlu diintensifkan pelaksanaannya. Beberapan upaya dan terobosan
untuk menyadarkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk bisa memahami arti dan
pentingnya pajak telah dilakukan baik melalui sosialisasi, pendekatan secara
berjenjang kepada pengelola maupun yang lainnya telah dilaksanakan oleh Dinas
Pendapatan Kabupaten Sleman sehingga target penerimaan dari pajak dapat lebih
optimal. Salah satu upaya adalah melaksanakan penagihan terhadap wajib pajak yang
telah jatuh tempo dengan memberikan penyuluhan atau dengan menyadarkan pihak-
pihak yang berkentingan untuk selalu patuh dan taat untuk membayar pajak untuk
memperkuat kemampuan keuangan negara.
2.1. Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah
11
tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Kemudian pengertian pajak menurut Rachmad Soemitro adalah iuran rakyat
kepada negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung.
Kemudian pendapat lain, Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat
dipaksakan yang terutang olah yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
(Brotodiharjo, 2003)
Secara makro (regional) pengenakaan pajak langsung yang pajaknya tidak dapat
digeserkan akan mengurangi tingkat disposable income yang pada akhirnya akan
mengurangi tingkat konsumsi dan tabungan masyarakat, jika tingkat konsumsi
masyarakat turun maka akan mempengaruhi tingkat pendapatan regional dalam
perekonomian daerah. (Halim, 2010)
Dari berbagi pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan :
1. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya;
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi
individual oleh pemerintah;
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah;
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukananya masih terdapat surplus dipergunakan untuk membiayai public
invesment.
5. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak bugeter yaitu mengatur;
Kemudian menurut Abdul Halim, ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak
yaitu :
12
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang
sifatnya dapat dipaksakan;
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi
individual oleh pemerintah;
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat dan daerah;
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila dari
pemasukan masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public
invesment;
Pemungutan pajak menurut Abdul Halim, hendaknya dilakukan secara
proporsional, agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dalam
pemungutannya. Pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Syarat keadilan
Pemungutan pajak harus sesuai dengan tujuan mencapai keadilan undang-undang
dan pelaksanaannya harus adil
2. Syarat Yuridis
Pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Hal ini memberikan
jaminan hukum menyatakan keadilan baik bagi negara maupun bagi warganya.
3. Syarat Ekonomi
Pemungutan pajak tidak sampai mengganggu perekonomian khususnya pada
kegiatan perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
4. Syarat Finansial
Pemungutan pajak harus efisiensi dan didasarkan pada fungsi budgeter dalam artia
biaya pemungutan pajak harus ditekankan sehingga lebih rendah dari hasil
pemungutan;
5. Syarat pemungutan harus sederhana
Sistim yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam
mendorong masyarakat memenuhi kewajibannya.
Adapun sistem pemungutan pajak ada 3 (tiga) macam antara lain :
13
- Offical Assessment Syistem
Yaitu suatu sitem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
- Self Assesment
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib
pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terhutang.
- With Holding Syistem
Yaitu pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan
pemerintah dan bukan wajib pajak) untuk menentukan besarnya wajib pajak yang
terhutang oleh wajib pajak.
Kemudian berdasarkan Undang-Undang 28 Tahun 2009 Pemungutan pajak
pada Bab IV Bagian Kesatu menyebutkan : Pemungutan pajak dilarang diborongkan,
setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan
berdasarkan penetapan kepala daerah dibayar dengan menggungakan SKPD.
Dari beberapa pengertian tentang pemungutan pajak dapat disimpulkan bahwa
pemungutan pajak masih didasarkan pada aspek keadilan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dan aspek ekonomi dengan
memperhatikan kondisi perekonomian yang sedang terjadi, sedangkan wajib pajak
yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan kepala daerah dibayar
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sistem perpajakan yang dianut oleh banyak negara di dunia, maka prinsip-
prinsip umum perpajakan daerah yang baik pada umumnya tetap sama menurut KJ.
Davey yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai
berikut:
1. prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik
turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
2. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok
masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
14
3. administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan
memuaskan bagi si wajib pajak.
4. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
5. Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang hanya
menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap
pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun
produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan
(extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara
menyeluruh (dead-weight loss).
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus
memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di
banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:
1. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.
3. Tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan
kemampuan untuk membayar (ability to pay).
Pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain
mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum,
seyogyanya, dipertimbangkan optimalisasi ketepatan dalam membayar pajak. Untuk
itu pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap “menempatkan”
sesuai dengan fungsinya. Fungsi dimaksud menurut Rochmat Soemitro dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulator.
1. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang
digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
2. Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur
untuk mencapai tujuan, misalnya : pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat
menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor
15
dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam
rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.
3. Untuk menanggulangi inflasi dimana dapat dilakukan apabila tepat
penggunaannya sehingga merupakan alat yang ampuh untuk mengatur
perekonomian negara.
Dari sekian sumber-sumber pendapatan daerah yang dimiliki akan sangat
berpengaruh terhadap tingkat kemampuan keuangan daerah. Sehingga setiap daerah
tentunya memiliki sumber potensi pendapatan yang berbeda-beda, semakin tinggi
tingkat kemampuan keuangan yang dimiliki oleh masing-masing daerah tentuanya
akan berpengaruh terhadap kegiatan pembangunanan, secara otomatis akan menaikan
tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifiksi
subyek dan obyek pendapatan, untuk mengklasifikasikan semua potensi pajak daerah,
apa tergolong berkembang, potensial maupun terbelakang sehingga dalam jangka
pendek kegiatan yang paling mudah melalui pemanfaatan teknologi informasi.
Dengan teknologi yang sekarang dikembangkan di Kabupaten Sleman diharpakan
bisa memberikan kemudahan dan pengawasan sehingga masyarakat bisa mengakses
informasi tersebut secara transparan dan akan meningkatkan kepercayaan tentang
pengelolaan pajak yang sebenarnya.
2.2. Pajak Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan
retibusi daerah bahwa pajak daerah yang selanjutnya di sebut pajak adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah
daerah dan pembangunan daerah.
Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 tahun 2001 (pasal 1 ayat 1)
tentang Pajak Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah, yang selanjutnya di
sebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
16
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Pengertian pajak menurut Rachmat Sumitro (Mardiasmo, 2000;1) adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Kemudian pajak daerah menurut Undang-Undang 28 Tahun 2009 Pajak Daerah
adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak dapat mendapat imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Dari berbagai pendapat tentang pengertian pajak daerah dapat disimpulkan
Pajak daerah adalah iuran wajib yang diaksanakan pribadi atau badan dengan tidak
mendapat imbalan dan dipergunakan untuk keperluan daerah khususnya untuk
kesejahteraan dan pembangunan.
Pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan antara pajak negara dan pajak daerah
mengenai prinsip hukumnya, misalnya mengenai subyek, obyek dan lain sebagainya.
Perbedaan yang ada hanyalah mengenai aparat pemungut dan pengenaan pajak.
Adapun jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah propinsi sebanyak 4 jenis
yang terdiri dari :
1. Pajak Kendaraan Bermotor
2. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
5. Pajak merokok
Sedangkan untuk daerah tingkat kabupaten/kota terdiri atas 11 jenis pajak
yaitu:
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
17
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan c
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Sementara yang menjadi subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang
dapat dikenakan pajak daerah dan yang dimaksud dengan wajib pajak adalah orang
pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah
diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut
atau pemotong pajak tertentu (Undang-Undang 28 Tahun 2009).
Apabila memperhatikan prinsip umum perpajakan yang baik dengan bertitik
tolak pendapat Adam Smit dan ekonom-ekonom yang lain, maka menurut Musgrave
haruslah memenuhui kriteria sebagai berikut :
1. Penerimaan/pendapatan harus ditentukan dengan tepat;
2. Distribusi beban pajak harus adil;
3. Yang menjadi masalah penting adalah bukan hanya pada titik mana pajak tersebut
harus dibebankan, tetapi oleh siapa pajak tersebut akhirnya harus ditanggung.
4. Pajak harus dipilih sedemikian rupa untuk meminimum penyelewenagan
5. Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebijakan fiskal untuk mencapai
stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi
6. Sistim pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan tegas
7. Biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya harus serendah mungkin jika
dibandingkan dengan tujuan-tujuan lain.
Melihat definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hakekat pajak daerah
merupakan pajak dalam konteks daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah
dan diatur berdasarkan peraturan daerah dan hasilnya untuk membiayai pembangunan
daerah.
18
2.3. Produk Domestik Bruto Regionanl (PDRB)
PDRB adalah salah satu ukuran kemakmuran suatu wilayah dipandang dari
sudut ekonomi, sedangkan angka PDRB dibagi jumlah penduduk yang dikenal
dikenal dengan PDRB perkapita merupakan indicator ekonomi makro yang sering
digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menilai tingkat kemakmuran
masyarakat. Namun demikian angka ini belum mencerminkan nilai yang betul-betul
diperoleh oleh masyarakat (pendapatan perkapita).
Untuk mendapatkan nilai pendapatan perkapita tidaklah mudah, nilai
pendapatan perkapita diperoleh dari total PDRB dikurangi pajak tak lansung neto
yang mengali dari/ke luar daerah dikurangi pajak pendapatan perusahaan dikurangi
keuntungan yang tidak dibagikan dikurangi iuran kesejahteraan social ditambah
transfer yang diterima oleh rumah tangga ditambah bunga neto atas bunga pemerintah
dibagi dengan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang dipakai pada publikasi ini
adalah hasil sensus penduduk tahun 2010 dan dilakukan estimasi kebelakang. (PDRB
LU, 2009-2011)
Perkembangan PDRB per Kapita Kabupaten Sleman atas dasar harga berlaku
dan atas dasar harga konstan selama lima tahun terakhir ini selalu menunjukkan
terjadinyanpeningkatan. Seperti terlihat pada tabel 1.6, pada tahun 2007 PDRB per
kapita atas harga berlaku Kabupaten Sleman sebesar Rp. 9,42 juta dan meningkat
menjadi Rp. 13,63 juta di tahun 2011. Di tahun 2011 PDRB per kapita Kabupaten
Sleman mengalami peningkatan sebesar 9,49 persen bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
Tabel 2.1
PDRB Per kapita Harga Berlaku dan Konstan serta Pertumbuhannya
di Kabupaten Sleman Tahun 2007 - 2011
Thn PDRB per kapita Berlaku PDRB per Kapita Konstan
Nilai (Juta Rp.) Pertumbuhan (%) Nilai (Juta Rp.) Pertumbuhan (%)
1 2 3 4 5
2007 9,42 10.96 5.25 3.57
2008 10,71 13.66 5.46 4.10
2009 11,59 8.19 5.65 3.47
2010 12,45 7.48 5.83 3.16
2011 13,63 9.49 6.05 3.84
Jumlah 49.78 28.24 18.14
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman
19
2.4. Penelitian sebelumnya.
Penelitian sejenis tentang pajak daerah telah banyak dilakukan, namum dalam
kenyataannya setiap hasil penelitian tidaklah selalu sama karena obyek yang
dilakukan mempuyai kemajemukan dan karakter daerah yang berbeda-beda, sehingga
output yang dihasilkan juga berbeda.
1 Dhinaryati (2002), dengan judul “Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan
Asli Daerah di Era Otonomi Daerah di Kota Surakarta”. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan kesimpulan, yaitu berdasarkan analisis efisiensi dan efektifitas
pendapatan asli daerah di Kota Surakarta menunjukkan bahwa Pendapatan Asli
Daerah di Kota Surakarta telah efektif dan efisien hal ini di tunjukkan dengan nilai
yang diperoleh. Terwujudnya efektifitas dan efisiensi PAD Kota Surakarta karena
sudah tepatnya sistem pemungutan yang dilaksanakan. (Dhinaryati, 2002: 64-72).
2 Rosdiana (2000), dengan judul: “Analisis mengenai derajat fiskal dan potensi
penerimaan daerah di Kabupaten Bantul” Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rasio PAD terhadap total penerimaan daerah di Kabupaten Bantul masih rendah.
Hal ini dapat dilihat dari rata-rata derajat fiskal selama 9 tahun terakhir
menunjukkan angka 21,18 persen. Selain itu terlihat bahwa Kabupaten Bantul
mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap subsidi dan bantuan dari
pemerintah pusat yakni sebesar 66,42%. Rasio PAD terhadap total penerimaan
daerah yang masih rendah mencerminkan masih tingginya ketergantungan
keuangan daerah terhadap transfer ataupun bantuan dari pusat. Hasil perhitungan
masih-masing komponen PAD terhadap total pendapatan daerah memperlihatkan
bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan komponen yang paling dominan
sebagai penyambung PAD selama beberapa tahun terakhir.
3 Astuti (2008), dengan judul “Dampak Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Gianyar, hasil penelitian
menunjukkan bahwa : Retribusi pelayanan kesehatan, pajak hotel dan restoran
serta retribusi tempat rekreasi dan olah raga secara serempak berpengaruh
signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Gianyar sedangkan
retribusi pelayanan kesehatan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan
20
terhadap PAD, pajak hotel dan restoran secara parsial berpengaruh positif dan
signifikan terhadap PAD, retribusi tempat rekreasi dan olah raga secara parsial
tidak berpengaruah signifikan terhadap PAD.
4 Ika Erlina (2006), dengan judul Tesis “ Analisis Optimalisasi Pajak Reklame Di
Kabupaten Temanggung” hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pajak
reklame di Kabupaten Temanggung dari Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2006
menunjukkan bahwa nilai efisiensi yaitu dibawah 20%. Hal ini menunjukkan
bahwa pengelolaan pajak reklame yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah
sangat efisien sedangkan tingkat efektifitas pajak reklame di Kabupaten
Temanggung tidak efektif yaitu sebesar 21,38%, nilai efektivitas yang kurang dari
60%. Yang berarti bahwa nilai penerimaan pajak reklame dari Tahun 2002 sampai
dengan Tahun 2006 lebih kecil dari nilai potensinya, untuk hasil elastisitas
penerimaan pajak reklame menunjukkan bahwa pada Tahun 2003 dan Tahun 2004
elastisitasnya negatif yaitu sebesar -0,0094 dan -0,0007, elastisnya bersifat
inelastis atau nilai e < 1, sehingga pada tahun tersebut potensi pajak reklame
adalah lemah dan mengalami kesulitan dalam hal pemungutan pajak reklame.
2.5. Kerangka Pemikiran Konseptual
Pajak Daerah mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber pendapatan daerah
(bugetary) dan sebagai alat pengatur (regulator), sebagai sumber pendapatan setiap
pajak harus memenuhi unsur keadilan, kepastian, kelayakan, efisiensi dan unsur
ketepatan. (Halim, 2004)
Pada umumnya setiap kegiatan pemungutan pajak dapat dikaji atau dinilai
menurut dampaknya terhadap aspek efisiensi (tingkat output yang dihasilkan dan
aspek distribusi (pemerataan beban dan manfaat). Aspek efisiensi dapat dilihat dari
jumlah pajak yang diterima oleh pemerintah apakah mempunyai dampak terhadap
jumlah produksi atau penghasilan masyarakat.
Penarikan atau pungutan pajak daerah harus bersifat ekonomis, efisien dan adil
(economic, efficiency and equity) namun juga harus sederhana dalam sistem
administrasinya. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
21
memperbaiki sistem pengumpulan pajak daerah agar bisa meningkatkan PAD antara
lain:
1. Dimilikinya sistem akuntansi yang memadai sehingga dapat dipastikan bahwa
uang yang dikumpulkan telah diposting ke rekening pemerintah daerah secara
benar, dan ada keamanan yang cukup dari bahaya pencurian, hilang atau salah
hitung.
2. Checking sistem, pada setiap tahap sangat perlu bahwa catatan-catatan tersebut di
Cross-Checked, dan pengecekan mendadak (Spot Check) dilakukan oleh staff
senior secara acak.
3. Pelaporan hasil pengumpulan PAD perlu dimonitor secara teratur dibandingkan
dengan target dan potensi, dan hasilnya dilaporkan kepada staf senior yang
memiliki kewenangan mengambil keputusan bila terjadi masalah.
4. Metode menghitung potensi PAD yang efektif. (Mardiasmo, 2001)
Pap
Gambar 2.1
Penarikan/pungutan pajak daerah
Sementara untuk melihat kinerja pendapatan/penerimaan daerah, berdasarkan
model penyusunan program dan strategi anggaran, dalam Wisnu Untoro Dkk. (2000)
dapat ditentukan oleh beberapa indikator / kriteria 1) Pertumbuhan, Pertumbuhan
penerimaan daerah merupakan indikator untuk melihat sejauh mana perkembangan
suatu ayat penerimaan dari tahun ketahun. Pertumbuhan dapat meningkat atau
menurun dan biasanya dinyatakan dalam prosentase. (2) Kontribusi / Proporsi dari
ayat pajak daerah merupakan peranan atau sumbangan yang diukur dalam bentuk
Pajak
1. Yield
2. Equity
3. Eeconomic
efficiency
4. Ability to
implement
5. Suitability as
a local source
Berpotensi
Tidak
Berpotensi
Dipertahan
kan
Intensifik
asi dan
ekstensifi
kasi
22
prosentase suatu ayat penerimaan terhadap total ayat penerimaan (pajak) terhadap
total penerimaan asli daerah (PAD). Semakin besar angka kontribusinya ini berarti
semakin bermakna sumbangan ayat penerimaan daerah tersebut dalam membentuk
total penerimaan (pajak) atau total PAD.
Selanjutnya untuk menilai Kinerja Ayat penerimaan Daerah, yang selanjutnya
digunakan untuk menentukan potensi (mengklasifikasi) ayat penerimaan menjadi 4
klasifikasi yaitu: (1) Penerimaan Prima, jika ratio tambahan (pertumbuhan) jenis
pajak daerah keduanya lebih besar atau sama dengan satu, (2) Penerimaan Potensial,
jika ratio tambahan pertumbuhan jenis pajak daerah lebih kecil atau sama dengan satu
dan ratio proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak
daerah lebih besar atau sama dengan satu. (3) Berkembang, jika ratio pertambahan
pertumbuhan jenis pajak daerah lebih besar atau sama dengan satu dan ratio proporsi
atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak daerah lebih besar atau
sama dengan satu. (4) Terbelakang jika ratio pertambahan pertumbuhan jenis pajak
daerah dan ratio proporsinya atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan
pajak daerah keduanya lebih kecil atau sama dengan satu (Masykur Wiratmo,
makalah, 2001).
Jika diperhatikan untuk menentukan klasifikasi jenis pajak diperlukan dua
indikator pokok, yaitu: (1) Ratio Proporsi, ini merupakan perbandingan antara
realisasi suatu ayat pajak dengan rerata pajak daerah. Rerata pajak dapat dihitung dari
jumlah seluruh pajak atau retribusi dibagi dengan jumlah ayat pajak (2) Ratio
tambahan Pertumbuhan, ratio ini membandingkan pertumbuhan ayat pajak dengan
pertumbuhan total pajak.
Peningkatan penerimaan pajak akan mempengaruhi besarnya Pendapatan Asli
Daerah (PAD), sehingga akan sangat berpengaruh terhadap sumber keuangan daerah
yang dipergunakan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan di daerah pada
khususnya dan umumnya pembangunan nasional. Besarnya penerimaan Pendapatan
Asli Daerah sangat dipengaruhi oleh seberapa efisien dan seberapa efektifnya
penerimaan pajak yang dapat disumbangkan pada pendapatan asli daerah di
Kabupaten Sleman.
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian diskriptif, dilaksanakan di Kabupaten
Sleman, dengan rentan waktu penelitian dari Tahun 2007-2011 dengan obyek
penelitian analisis pajak daerah di Kabupaten Sleman, dengan
3.2. Medode Pengumpulan Data
Pengumpulan data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian secara
tidak langsung melalui media perantara (Indriantoro dan Supomo, 1999). Beberapa
data sekunder yang diharapkan dapat memberikan masukan dalam penelitian ini
adalah dengan studi dokumentasi yaitu mempelajari beberapa dokumen yang
diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman dan Badan Pusat Statistik
Kabupaten Sleman.
3.3. Alat Analisis
Untuk menganalisis optimalisasi penerimaan pajak daerah tentunya banyak cara
yang digunakan, tergantung obyek atau permasalahan apa yang akan diteliti. Karena
pajak parkir merupakan bagian dari pajak daerah yang ada di tingkat kabupaten, maka
pelaksanaannya dan pengelolaannya harus dioptimalkan sehingga input dan output bisa
dirasakan secara nyata.
1. Analisis Matriks Kontribusi dan Pertumbuhan
Analisis Matriks Kontribusi dan pertumbuhan adalah alat analisis yang digunakan
untuk menghitung besarnya sumbangan dari sektor tertentu terhadap sektor lainnya
yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besarnya sumbangan yang dapat
diberikan dari sektor tersebut dan sebagai alat untuk menentukan dalam kategori
apa sektor tersebut berada dalam peranannya dalam memberikan sumbangan
terhadap sektor yang lain apakah prima, potensial, berkembang, atau terbelakang.
Perhitungan matriks kontribusi pada variabel penerimaan pajak daerah terhadap
24
PAD dapat dilakukan melalui perbandingan antara Penerimaan pajak daerah
dengan Pertumbuhan PAD, sehingga dari analisis tersebut dapat disimpulkan
apakah peranan penerimaan pajak daerah Terhadap PAD bersifat Prima, Potensial,
berkembang atau Terbelakang.
Analis data dengan menggunakan : ratio pertumbuhan, ratio tambahan, proporsi,
sedangkan untuk menentukan klasifikasi jenis pajak atau retribusi digunakan
hubungan ratio-ratio dalam tabel :
Tabel 3.1
Rumus untuk Klasifikasi Jenis Pajak atau Retribusi Daerah
Ratio Proporsi
Ratio Tambahan
X/rerata >1 X / rerata <1
X1 / X2 >1 Prima Berkembang
X1 / X2 <1 Potensial Terbelakang
Keterangan:
1. Ratio Proporsi merupakan perbandingan antara realisasi suatu ayat pajak atau
retribusi dengan Rerata pajak atau retribusi.
Rumus:
retribusiPajakrata
pajakayatNilaioporsiRatio
/RePr
2. Ratio Tambahan (Pertambahan pertumbuhan) adalah perbandingan antara
pertumbuhan ayat pajak / retribusi dengan pertumbuhan total pajak / retribusi,
)2/
)1(/
XPajakTotalnPertumbuha
XretribusipajakayatnPertumbuhaTambahanRatio
Dimana:
)11(
)11(
Re/
1)1(
XtPajak
XPajakXPajakXayatnPertumbuha
Dimana: Pajak / ret. Xi = Pajak/Ret. Tahun ini (2003)
Pajak / Ret. X(i-i)= Pajak / Ret. Tahuhn llau (2002)
25
3. Analisis elastisitas untuk mencari elastisitas masing-masing pajak daerah
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRB dengan menggunakan
rumus :
∆PD PAD
PAD = x
∆PAD PD
∆PD PDRB
PAD = x
∆PDRB PD
2. Variabel Keadilan (Equity), efisiensi (economic efficiency), kemampuan
melaksanakan (Ability to implement) dan variabel kesesuaian sebagai penerimaan
daerah (Suitability as a Local Source).
26
BAB IV
ANALISA DATA
Pada bab ini akan dibahas analisis terhadap data sekunder hasil penelitian dan
pengamatan yang telah dilakukan di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman,
dengan obyek penelitian adalah penerimaan pajak daerah tahun 2007 sampai dengan
tahun 2011.
4.1 Deskripsi Pajak Daerah
Upaya untuk meningkatkan kemampuan penerimaan daerah khusunya
penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus diarahkan pada usaha-usaha
yang mengacu pada upaya peningkatan pendapatan daerah, sehingga pada akhirnya
diharapkan dapat memperkecil ketergantungan terhadap sumber dari pemerintah
pusat, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan dapat menjadi bagian
terbesar dalam membiayai penyelenggaraan pembangunan di daerah
Berkaitan dengan hal tersebut Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
yang merupakan instansi pelaksana dibidang pengelolaan pendapatan daerah dituntut
untuk menggali dan meningkatkan potensi dan sumber-sumber pendapatan daerah
terutama pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah yang
diantaranya adalah pajak daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 pada Bab II Bagian Kesatu
Pasal 2 menyebutkan jenis pajak yang dapat dikelola oleh kabupaten/kota meliputi 11
(sebelas komponen) yaitu pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame,
pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak
air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Untuk mengetahui pajak Daerah Kabupaten Sleman beserta realisasinya dapat
dilihat pada Tabel. 4.1
27
Tabel 4.1
Target Pajak Daerah Kabupaten Sleman
Tahun 2007 – 2011
No. Jenis Pajak Daerah Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011
1 Pajak Hotel 10,000,000,000 11,000,000,000 12,500,000,000 21,326,096,600 22,000,000,000
2 Pajak restoran 4,500,000,000 5,100,000,000 6,000,000,000 8,668,000,000 13,000,000,000
3 Pajak Hiburan 1,500,000,000 2,300,000,000 2,600,000,000 3,500,000,000 3,200,000,000
4 Pajak Reklame 4,500,000,000 5,621,622,443 6,800,000,000 8,600,000,000 8,750,000,000
5 Pajak Pen. Jalan 20,500,000,000 24,000,000,000 27,200,000,000 32,500,000,000 38,400,000,000
6 Pajak PPBGGC 600,000,000 650,000,000 650,000,000 650,000,000 3,000,000,000
7 Pajak Parkir 400,000,000 500,000,000 600,000,000 725,000,000 850,165,400
8 Pajak Air Tanah 1,000,000,000
9 BPHTP 32,500,000,000
Jumlah 42,000,000,000 49,171,622,443 56,350,000,000 75,969,096,600 122.700.165.400
Rata-Rata 6,000,000,000 7,024,517,492 8,050,000,000 10,852,728,086 11,275,020,675
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman.
Dari tabel tersebut ditas dapat diketahui bahwa penerimaan pendapatan asli
daerah mengalami kenaikan yang sangat signifikan dan memberikan kontribusi yang
bervariasi terhadap pendapatan asli daerah. Maka penerimaan pajak harus dikelola
secara efektif dan efisien agar penerimaan pajak daerah terus meningkat. Dengan
realisasi penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) yang terus meningkat diharapkan
Pemerintah Kabupaten Sleman mampu dan mandiri untuk melakukan kegiatan
pembangunan dan pemerintahan dan sekaligus mengurangi ketergantungan dari
pemerintah pusat.
Kenaikan pajak daerah tersebut secara komulatif cenderung mengalami
peningkatan dari setiap tahunnya. Pada awal tahun penelitian yaitu pada tahun 2007
pajak daerah di Kabupaten Sleman mampu menyumbang pendapatan asli daerah
sebesar Rp 42,000,000,000,- dan berkembang menjadi Rp 122.700.165.400 pada
tahun 2011 terjadi kenaikan 100% lebih. Perkembangan tersebut tentunya mengikuti
perkembangan pertumbuhan ekonomi seiring dengan pesatnya pertumbuhan di sektor
pariwisata di Kabupaten Sleman yang akan menaikan pajak daerah pada sektor-sektor
tertentu seperti pajak hotel dan restoran.
Berdasarkan tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa sektor yang menyumbang
pajak paling tinggi adalah pajak penerangan jalan dan pajak hotel yang melebihi
penerimaan lainnya di Kabupaten Sleman.
28
4.2 Persentase Kenaikan Perkembangan Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan salah satu komponen dari pendapatan asli daerah yang
memiliki prospek yang sangat baik untuk dikelola dan dikembangkan. Oleh sebab itu
pajak daerah harus harus dikelola secara professional dalam rangka optimalisasi
penerimaan pajak daerah dan usaha untuk meningkatkan kontribusi terhadap
pendapatan asli daerah.
Secara komulatif persentase komulatif perkembangan pajak daerah dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Tabel 4.2
Persentase Kenaikan Pajak Daerah
Kabupaten Sleman Tahun 2007 - 2011
No. Jenis Pajak
Daerah Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011
1 Pajak Hotel 1,000,000,000 1,500,000,000 8,826,096,600 673,903,400
2 Pajak restoran 600,000,000 900,000,000 2,668,000,000 4,332,000,000
3 Pajak Hiburan 800,000,000 300,000,000 900,000,000 (300,000,000)
4 Pajak reklame 1,121,622,443 1,178,377,557 1,800,000,000 150,000,000
5 Pajak Pen.Jalan 3,500,000,000 3,200,000,000 5,300,000,000 5,900,000,000
6 Pajak PPBGGC 50,000,000 - - 2,350,000,000
7 Pajak Parkir 100,000,000 100,000,000 125,000,000 125,165,400
8 Pajak Air Tanah 1,000,000,000
9 BPHTP 32,500,000,000
Jumlah 7,171,622,443 7,178,377,557 19,619,096,600 13,231,068,800
Rata-Rata 1,024,517,492 1,025,482,508 2,802,728,086 1,778,883,600
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman.
Dari tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa kontribusi pajak daerah di
Kabupaten Sleman sangat variatif dan tergantung kondisi dan tingkat keramaian. Dari
tabel tersebut diatas persentase kenaikan kontribusi terbesar dalam kurun waktu lima
tahun adalah pajak penerangan jalan, namun dengan adanya pajak BPHTP pada
tahun 2011 pajak penerangan jalan masih dibawah dari pada pajak BPHTP.
Dengan realisasi tersebut diatas yang terpenting adalah bagaimana bisa
mempertahankan potensi kenaikan dari masing-masing sektor yang diikuti adanya
pengendalian dan pengawasan yang secara terus menerus dan berusaha
meminimalisir terjadi kebocoran-kebocoran. Sehingga harapan kedepan biaya
kegiatan pembangunan dan pemerintahan tidak sepenuhnya tergantung pemerintah
29
pusat namun bisa memanfaatkan potensi dari sektor pajak daerah dan sektor-sektor
lainnya seperti pajak retribusi yang menduduki peringkat lebih tinggi dibandingkan
dengan pajak daerah.
4.3 Analisis Perhitungan Pertambahan, Ratio Pertumbuhan dan Proporsi
Penerimaan Pajak Daerah Tahun 2007 – 2011
Dimensi potensi yang dimaksud di sini baru mengacu pada tataran mencari
kecenderungan-kecenderungan dari berbagai macam/jenis pajak daerah yang selama
ini pernah dan sedang diberlakukan di Kabupaten Sleman, yang selama ini terjadi
terhadap penetapan anggaran pada pos pendapatan daerah, yaitu bahwa penetapan
target-target dari setiap jenis pendapatan daerah hanya didasarkan atas proses
incremental (peningkatan) sebesar sekian persen (rata-rata 10%) dibanding tahun-
tahun sebelumnya, tanpa didasarkan pada potensi yang dimiliki. Apabila kesenjangan
antara potensi dan realisasi dikatakan sebagai kesenjangan obyektif, maka upaya
pengkajian terhadap potensi pendapatan daerah perlu dievaluasi dan perlu di kaji.
Sebagai sumber penerimaan yang ideal, maka pajak daerah dan retribusi daerah,
merupakan assesment potensi keuangan daerah, yang dimaksud adalah merupakan
kekuatan yang ada pada suatu daerah, untuk menghasilkan sejumlah penerimaan
tertentu. Sejauh mana pajak daerah tersebut dapat menjadi kekuatan atau sumber
penerimaan, bisa dilihat sejauh mana kinerja potensinya.
Kinerja atau performence merupakan suatu proses kemajuan pekerjaan
terhadap pencapaian tujuan yang telah ditentukan, termasuk informasi efisiensi
penggunaan sumber dan perbandingannya dengan target, efektifitas tindakan dalam
mencapai tujuan. (Robertson, 2002). Kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja
(outcomes of Work) yang memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan
strategik organisasi dalam kontribusi ekonomi. (Roger, 1994).
Penarikan atau pungutan pajak daerah daerah harus bersifat ekonomis, efisien
dan adil (economic, efficiency and equity) namun juga harus sederhana dalam sistem
administrasinya. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
30
memperbaiki sistem pengumpulan pajak daerah dan retribusi daerah agar bisa
meningkatkan PAD antara lain:
1. Dimilikinya sistem Akuntansi yang memadai sehingga dapat dipastikan bahwa
uang yang dikumpulkan telah diposting ke rekening pemerintah daerah secara
benar, dan ada keamanan yang cukup dari bahaya pencurian, hilang atau salah
hitung.
2. Checking sistem, pada setiap tahap sangat perlu bahwa catatan-catatan tersebut di
Cross-Checked, dan pengecekan mendadak (Spot Check) dilakukan oleh staff
senior secara acak.
3. Pelaporan hasil pengumpulan PAD perlu dimonitor secara teratur dibandingkan
dengan target dan potensi, dan hasilnya dilaporkan kepada staf senior yang
memiliki kewenangan mengambil keputusan bila terjadi masalah.
4. Metode menghitung potensi PAD yang efektif. (Mardiasmo, 2001)
Sementara untuk melihat Kinerja Pendapatan / penerimaan daerah, berdasarkan
model Penyusunan Program dan Strategi Anggaran, dalam Wisnu Untoro Dkk.
(2000) dapat ditentukan oleh beberapa indikator / kriteria 1) Pertumbuhan,
Pertumbuhan penerimaan daerah merupakan indikator untuk melihat sejauh mana
perkembangan suatu ayat penerimaan dari tahun ketahun. Pertumbuhan dapat
meningkat atau menurun dan biasanya dinyatakan dalam prosentase. (2) Kontribusi /
Proporsi dari ayat penerimaan daerah merupakan peranan atau sumbangan yang
diukur dalam bentuk prosentase suatu ayat penerimaan terhadap total ayat
penerimaan (pajak) terhadap total penerimaan asli daerah (PAD). Semakin besar
angka kontribusinya ini berarti semakin bermakna sumbangan ayat penerimaan
daerah tersebut dalam membentuk total penerimaan (pajak) atau total PAD.
Selanjutnya untuk menilai kinerja ayat penerimaan daerah, yang selanjutnya
digunakan untuk menentukan potensi (mengklasifikasi) ayat penerimaan menjadi 4
klasifikasi yaitu: (1) Penerimaan Prima, Jika ratio tambahan (pertumbuhan) jenis
pajak daerah keduanya lebih besar atau sama dengan satu, (2) Penerimaan Potensial,
jika ratio tambahan pertumbuhan jenis pajak daerah lebih kecil atau sama dengan satu
dan ratio proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak
31
daerah lebih besar atau sama dengan satu. (3) Berkembang, jika ratio pertambahan
pertumbuhan jenis pajak daerah lebih besar atau sama dengan satu dan ratio proporsi
atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak daerah lebih besar atau
sama dengan satu. (4) Terbelakang jika ratio Pertambahan pertumbuhan jenis pajak
daerah dan ratio proporsinya atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan
pajak daerah keduanya lebih kecil atau sama dengan satu (Masykur Wiratmo,
makalah, 2001).
Jika diperhatikan untuk menentukan klasifikasi jenis pajak diperlukan dua
indikator pokok, yaitu: (1) Ratio Proporsi, ini merupakan perbandingan antara
realisasi suatu ayat pajak dengan rerata pajak daerah. Rerata pajak dapat dihitung
dari jumlah seluruh pajak dibagi dengan jumlah ayat pajak/retribusi. (2) Ratio
tambahan Pertumbuhan, ratio ini membandingkan pertumbuhan ayat pajak dengan
pertumbuhan total pajak.
Alternatif kebijakan atau upaya yang dapat diambil atau diterapkan dalam usaha
meningkatkan setiap jenis klasifikasi yang disebut diatas akan berbeda-beda. Jika
jenis pajak atau retribusi termasuk prima, maka kebijaksanaan yang telah diterapkan
pada tahun-tahun sebelumnya dapat tetap digunakan dengan mempertahankan tingkat
pertumbuhan dan kontribusinya. Jika Potensial, maka upaya yang perlu dilakukan
adalah mengintensifkan pemungutan dari sumber penerimaan yang ada sehingga
terjadi pertumbuhan penerimaan. Untuk pajak dengan klasifikasi Berkembang, upaya
peningkatan yang dilakukan adalah dengan menggali sumber-sumber baru dengan
tingkat pertumbuhan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Jika pajak atau retribusi
dalam klasifikasi terbelakang, maka upaya peningkatannya dilakukan dengan
menggali sumber-sumber penerimaan baru dan meningkatkan penerimaan dari tahun
sebelumnya dari sumber peneriman yang ada.
Pada penelitian ini menggunakan data perolehan dari pajak daerah tahun 2007
dan perkembangan perolehan tahun 2011. berikut perolehan dari masing-masing ayat
pajak dan retribusi:
32
Tabel 4.3
Rasio Pertumbuhan, Pertambahan dan Ratio Proporsi Pajak Daerah
Kabupaten Sleman Tahun 2007 – 2008
No Jenis Pajak
Daerah Tahun 2007 Tahun 2008 Pertum.
Ratio
Pertamb. Eastisitas
Ratio
Prop
1 Pajak Hotel 10,000,000,000 11,000,000,000 9.09 0.62 0.36 1.57
2 Pajak restoran 4,500,000,000 5,100,000,000 11.76 0.81 0.13 0.73
3 Pajak Hiburan 1,500,000,000 2,300,000,000 34.78 2.38 0.02 0.33
4 Pajak reklame 4,500,000,000 5,621,622,443 19.95 1.37 0.08 0.80
5 Pajak Pen. Jalan 20,500,000,000 24,000,000,000 14.58 1.00 0.49 3.42
6 Pajak PPBGGC 600,000,000 650,000,000 7.69 0.53 0.03 0.09
7 Pajak Parkir 400,000,000 500,000,000 20.00 1.37 0.01 0.07
8 Pajak Air Tanah
9 BPHTP
Jumlah 2,000,000,000 49,171,622,443 14.58 8.08 1.1 7.0
Rata-Rata 6,000,000,000 7,024,517,492 16.84 1.15 0.16 1.00 Sumber Data Pajak Daerah: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
Dengan mendasarkan pada tabel tersebut maka, khususnya menghubungkan
antara ratio tambahan dengan ratio proporsi pajak daerah, maka dapat ditentukan
klasifikasi potensi pajak daerah pada tahun 2007 sampai tahun 2008 dapat
disimpulkan sebagai berikut: (1) Pajak Hotel, dengan ratio tambahan 0,62 dan ratio
Proporsi 1,57 maka pajak hotel termasuk Pajak Potensial . (2) Pajak Restoran dengan
ratio tambahan 0,81 dan ratio proporsi 0,63 maka pajak Restoran termasuk Pajak
Terbelakang. (3) Pajak Hiburan, dengan ratio tambahan 2,38 dan ratio proporsi 0,33
maka pajak hiburan juga termasuk pajak berkembang. (4) Pajak Reklame dengan
ratio tambahan 1,37 dan ratio proporsi 0,80 maka pajak Reklame termasuk Pajak
Berkembang. (5) Untuk Pajak Penerangan Jalan, dengan ratio tambahan 1,00 dan
proporsi 3,42 maka pajak Penerangan jalan termasuk Pajak Prima, (6) Pajak Galian
C. dengan ratio tambahan 0,53 serta proporsinya hanya 0,0039, maka pajak galian C
termasuk Pajak Terbelakang dan (6) Pajak Parkir, dengan ratio tambahan 1,37 serta
proporsinya hanya 0,07 maka pajak Parkir termasuk Pajak Berkembang.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja pajak daerah dapat
dikatakan cukup baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kenaikan target.
Sedangkan untuk mengetahui potensi yang sebenarnya, dari sumber penerimaan
dengan analisis kinerja dengan menggunakan ratio tambahan pertumbuhan dengan
proporsi masing-masing ayat sehingga potensi itu dapat dikalifikasikan dengan
kategori: prima, potensial, berkembang, maupun Terbelakang.
33
Untuk penerimaan pajak, pertumbuhan yang dicapai dari tahun 2007 ke 2008
mencapai 14.58% dengan rata-rata pendapatan tahun 2008 dari masing-masing ayat
pajak sebesar Rp. 49,171,622,443 ,- Dari ke-7 jenis pajak yang dipungut di
Kabupaten Sleman maka hanya ada satu pajak daerah yang klasifikasi potensial yaitu
Pajak hotel, satu masuk dalam katagori klasifikasi Prima yaitu pajak penerangan
jalan, empat masuk dalam katagori berkembang yaitu pajak hiburan, reklame dan
pajak parkir serta dua masuk dalam klasifikasi terbelakang yaitu pajak restoran dan
pajak galian C.
Jika termasuk dalam kategori Prima, maka harus dipertahankan, jika termasuk
dalam kategori potensial, maka yang dilakukan adalah mengintensifkan yang sudah
ada biar tercapai pertumbuhan. Jika termasuk penerimaan berkembang, maka harus
dilakukan langkah ekstensifikasi, dan jika termasuk yang terbelakang, maka justru
perlu adanya evaluasi, apakah sumber penerimaan yang menguntungkan atau jenis
akan merugikan.
Tabel 4.4
Rasio Pertumbuhan, Pertambahan dan Ratio Proporsi Pajak Daerah
Kabupaten Sleman Tahun 2008 – 2009 Jenis Pajak
Daerah
Tahun 2008 Tahun 2009 Pertumb. Ratio
Pertamb
Elastisitas Ratio
prop
1 Pajak Hotel 11,000,000,000 12,500,000,000 12.00 0.94 0.31 1.78
2 Pajak restoran 5,100,000,000 6,000,000,000 15.00 1.18 0.12 0.85
3 Pajak Hiburan 2,300,000,000 2,600,000,000 11.54 0.91 0.07 0.37
4 Pajak reklame 5,621,622,443 6,800,000,000 17.33 1.36 0.12 0.97
5 Pajak Pen. Jalan 24,000,000,000 27,200,000,000 11.76 0.92 0.69 3.87
6 Pajak PPBGGC 650,000,000 650,000,000 - - 0.09
7 Pajak Parkir 500,000,000 600,000,000 16,67 1,31 0,01 0.09
8 Pajak Air Tanah
9 BPHTP
Jumlah 49,171,622,443 56,350,000,000 12.74 6.62 1.3 8.0
Rata-Rata 7,024,517,492 8,050,000,000 12.04 0.95 0.22 1.15 Sumber Data Pajak Daerah : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
Dengan mendasarkan pada tabel tersebut maka, khususnya menghubungkan
antara ratio tambahan dengan ratio proporsi pajak daerah, maka dapat ditentukan
klasifikasi potensi pajak daerah pada tahun 2008 sampai tahun 2009 dapat
disimpulkan sebagai berikut: (1) Pajak Hotel, dengan ratio tambahan 0,94 dan ratio
34
Proporsi 1,78 maka pajak hotel termasuk Pajak Potensial . (2) Pajak Restoran dengan
ratio tambahan 1,18 dan ratio proporsi 0,85 maka pajak Restoran termasuk Pajak
Berkembang. (3) Pajak Hiburan. Dengan ratio tambahan 0,91 dan ratio proporsi 0,37
maka pajak hiburan juga termasuk pajak Terbelakang. (4) Pajak Reklame dengan
ratio tambahan 1,36 dan ratio proporsi 0,97 maka pajak Reklame termasuk Pajak
Berkembang . (5) Untuk Pajak Penerangan Jalan, dengan ratio tambahan 0,92 dan
proporsi 3,87 maka pajak Penerangan jalan termasuk Pajak Potensial, (6) Pajak
Galian C. dengan ratio tambahan 0,53 serta proporsinya hanya 0,0039, maka pajak
galian C termasuk Pajak Terbelakang dan (6) Pajak Parkir. dengan ratio tambahan
1,31 serta proporsinya hanya 0,09 maka pajak Parkir termasuk Pajak Berkembang.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja pajak daerah dapat
dikatakan cukup baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kenaikan target.
Sedangkan untuk mengetahui potensi yang sebenarnya, dari sumber penerimaan
dengan analisis kinerja dengan menggunakan ratio tambahan pertumbuhan dengan
proporsi masing-masing ayat sehingga potensi itu dapat dikalifikasikan dengan
kategori: prima, potensial, berkembang, Maupun Terbelakang.
Untuk penerimaan pajak, pertumbuhan yang dicapai dari tahun 2008 ke 2009
mencapai 12,04% dengan rata-rata pendapatan tahun 2008 dari masing-masing ayat
pajak sebesar Rp. 56,350,000,000,- Dari ke-6 jenis pajak yang dipungut di
Kabupaten Sleman maka Pajak hotel dan pajak penerangan jalan masuk dalam
klasifikasi potensial, tiga masuk dalam klasifikasi berkembang yaitu pajak pajak
reklame, pajak restoran dan pajak parkir sedangkan yang masuk klasifikasi
terbelakang adalah pajak hiburan dan pajak galian C.
Jika termasuk dalam kategori Prima, maka harus dipertahankan, jika termasuk
dalam kategori Potensial. Maka yang dilakukan adalah mengintensifkan yang sudah
ada biar tercapai pertumbuhan. Jika termasuk penerimaan berkembang, maka harus
dilakukan langkah ekstensifikasi, dan jika termasuk yang terbelakang, maka justru
perlu adanya evaluasi, apakah sumber penerimaan yang menguntungkan atau akan
merugikan.
35
Tabel 4.5
Rasio Pertumbuhan, Pertambahan dan Ratio Proporsi Pajak Daerah
Kabupaten Sleman Tahun 2009 – 2010
No Jenis Pajak
Daerah Tahun 2009 Tahun 2010 Pertumb.
Ratio
Pertamb Elastisitas
Ratio
prop
1 Pajak Hotel 12,500,000,000 21,326,096,600 41.39 1.60 0.15 3.04
2 Pajak restoran 6,000,000,000 8,668,000,000 30.78 1.19 0.08 1.23
3 Pajak Hiburan 2,600,000,000 3,500,000,000 25.71 1.00 0.04 0.50
4 Pajak reklame 6,800,000,000 8,600,000,000 20.93 0.81 0.12 1.22
5 Pajak Pen. Jalan 27,200,000,000 32,500,000,000 16.31 0.63 0.59 4.63
6 Pajak PPBGGC 650,000,000 650,000,000 - - - 0.09
7 Pajak Parkir 600,000,000 725,000,000 17.24 0.67 0.01 0.10
8 Pajak Air Tanah
9 BPHTP
Jumlah 56,350,000,000 75,969,096,600 25.83 5.90 1.0 10.8
Rata-Rata 8,050,000,000 10,852,728,086 21.77 0.84 0.17 1.54
Sumber Data Pajak Daerah : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
Berdasarkan pada tabel tersebut, dengan menghubungkan antara ratio tambahan
dengan ratio proporsi pajak daerah, maka dapat ditentukan klasifikasi potensi pajak
daerah pada tahun 2009 sampai tahun 2010 dapat disimpulkan sebagai berikut: (1)
Pajak Hotel, dengan ratio tambahan 1,60 dan ratio Proporsi 3,04 maka pajak hotel
termasuk Pajak Prima. (2) Pajak Restoran dengan ratio tambahan 1,19 dan ratio
proporsi 1,23 maka pajak Restoran termasuk Pajak Berkembang. (3) Pajak Hiburan.
Dengan ratio tambahan 1,00 dan ratio proporsi 0,50 maka pajak hiburan juga
termasuk pajak berkembang. (4) Pajak Reklame dengan ratio tambahan 0,81 dan ratio
proporsi 1,22 maka pajak Reklame termasuk Pajak Potensial. (5) Untuk Pajak
Penerangan Jalan, dengan ratio tambahan 0,63 dan proporsi 4,63 maka pajak
Penerangan jalan termasuk Pajak Potensial, (6) Pajak Galian C. Tidak ada
peningkatan target maka sesuai tabel dapat dikatagorikan terbelakang karena dengan
hasil nol (6) Pajak Parkir. dengan ratio tambahan 0,67 serta proporsinya hanya 0,10
maka pajak Parkir termasuk Pajak berkembang.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja pajak daerah dapat
dikatakan cukup baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kenaikan target.
Sedangkan untuk mengetahui potensi yang sebenarnya, dari sumber penerimaan
36
dengan analisis kinerja dengan menggunakan ratio tambahan pertumbuhan dengan
proporsi masing-masing ayat sehingga potensi itu dapat dikalifikasikan dengan
kategori: Prima, Potensial, berkembang, Maupun Terbelakang.
Untuk penerimaan pajak, pertumbuhan yang dicapai dari tahun 2009 ke 2010
mencapai 16,64% dengan rata-rata pendapatan tahun 2008 dari masing-masing ayat
pajak sebesar Rp. 56,350,000,000,- Dari ke-6 jenis pajak yang dipungut di Kabupaten
Sleman maka Pajak hotel, pajak reklame, pajak penerangan jalan dan pajak parkir
yang potensial dapat masuk klasifikasi Prima, ada 1 yang berkembang dan 2 yang
terbelakang.
Jika termasuk dalam kategori Prima, maka harus dipertahankan, jika termasuk
dalam kategori Potensial. Maka yang dilakukan adalah mengintensifkan yang sudah
ada biar tercapai pertumbuhan. Jika termasuk penerimaan berkembang, maka harus
dilakukan langkah ekstensifikasi, dan jika termasuk yang terbelakang, maka justru
perlu adanya evaluasi, apakah sumber penerimaan yang menguntungkan atau jenis
akan merugikan.
Tabel 4.6
Rasio Pertumbuhan, Pertambahan dan Ratio Proporsi Pajak Daerah
Kabupaten Sleman Tahun 2010 – 2011
No Jenis Pajak
Daerah Tahun 2010 Tahun 2011
Pertumb
.
Ratio
Pertamb
Elastisit
as
Ratio
prop
1 Pajak Hotel 21,326,096,600 22,000,000,000 3.06 0.21 2.13 3.13
2 Pajak restoran 8,668,000,000 13,000,000,000 33.32 2.25 0.12 1.85
3 Pajak Hiburan 3,500,000,000 3,200,000,000 (9.38) (0.63) (0.10) 0.46
4 Pajak reklame 8,600,000,000 8,750,000,000 1.71 0.12 1.51 1.25
5 Pajak Pen. Jalan 32,500,000,000 38,400,000,000 15.36 1.04 0.74 5.47
6 Pajak PPBGGC 650,000,000 3,000,000,000 78.33 5.28 0.01 0.43
7 Pajak Parkir 725,000,000 850,165,400 14.72 0.99 0.02 0.12
8 Pajak Air Tanah 1,000,000,000 100.00
9 BPHTP 32,500,000,000 100.00
Jumlah 75,969,096,600 89,200,165,400 14.83 9.25 4.4 12.7
Rata-Rata 10,852,728,086 11,275,020,675 29.64 1.32 0.63 1.81 Sumber Data Pajak Daerah : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
Pada tabel tersebut diatas maka, untuk menghubungkan antara ratio tambahan
dengan ratio proporsi pajak daerah, maka dapat ditentukan klasifikasi potensi pajak
daerah pada tahun 2010 sampai tahun 2011 dapat disimpulkan sebagai berikut: (1)
37
pajak hotel, dengan ratio tambahan 0,21 dan ratio proporsi 3,13 maka pajak hotel
termasuk pajak potensial. (2) pajak restoran dengan ratio tambahan 2,25 dan ratio
proporsi 1,85 maka pajak Restoran termasuk pajak berkembang. (3) pajak hiburan
dengan ratio tambahan (0,63) dan ratio proporsi 0,46 maka pajak hiburan termasuk
klasifikasi terbelakang. (4) pajak reklame dengan ratio proporsi tambahan sebesar
0,12 dan ratio proporsi 1,25 maka pajak Reklame termasuk klasifikasi potensial. (5)
untuk pajak penerangan jalan, dengan ratio tambahan sebesar 1,04 dan ratio
proporsi sebesar 5,47, maka pajak penerangan jalan termasuk klasifikasi prima, (6)
pajak galian C dengan ratio tambahan sebesar 1,04 dan ratio proporsi sebesar 0,43
maka pajak galian C termasuk dalam klasifikasi berkembang (6) pajak parkir
dengan ratio tambahan sebesar 0,99 serta ratio proporsinya hanya 0,12 maka pajak
parkir termasuk dalam klasifikiasi terbelakang.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja pajak daerah dapat
dikatakan cukup baik kalau jenis pajak daerah tersebut hanya didasarkan atas
presentasi atau proses incremental (peningkatan), hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya kenaikan target setiap tahunnya. Sedangkan untuk mengetahui potensi yang
sebenarnya, dari sumber penerimaan dengan analisis kinerja dengan menggunakan
ratio tambahan pertumbuhan dengan proporsi masing-masing ayat sehingga potensi
itu dapat diklasifikasikan dengan kategori: prima, potensial, berkembang, maupun
terbelakang.
Untuk penerimaan pajak, pertumbuhan yang dicapai dari tahun 2010 ke 2011
mencapai 14,83% dari rata-rata pendapatan ayat pajak daerah tahun 2011sebesar
Rp. 89,200,165,400, dari ke-6 jenis pajak yang dipungut di Kabupaten Sleman maka
Pajak Penerangan jalan termasuk dalam klasifikasi prima, pajak hotel dan pajak
reklame dengan antara ratio pertambahan dengan ratio proporsi ada kenaikan
signifikan maka masuk klasifikasi potensial, pajak restoran, pajak galian C dan pajak
hiburan masuk dalam klasifikasi berkembang serta pajak parkir masuk dalam
klasifikasi terbelakang.
Jika termasuk dalam kategori prima, maka harus dipertahankan, jika termasuk
dalam kategori potensial, maka yang dilakukan adalah mengintensifkan yang sudah
38
ada biar tercapai pertumbuhan. Jika termasuk penerimaan berkembang, maka harus
dilakukan langkah ekstensifikasi, dan jika termasuk yang terbelakang, maka justru
perlu adanya evaluasi, apakah sumber penerimaan yang menguntungkan atau jenis
akan merugikan.
4.4 Analisis Elastisitas Pajak Daerah terhadap PDRB Tahun 2007 – 2011
Pengukuran elastisitas ini mampu menunjukkan kemampuan untuk
menghasilkan tambahan pendapatan agar dapat mengimbangi kenaikan dalam
pengeluaran pemerintah dengan dasar pengenaan pajak selalu berkembang secara
otomatis (Davey, 1988). Elastisitas ini mampu untuk melihat derajat kepekaan
terhadap jumlah PDRB di Kabupaten Sleman Tahun 2007 sampai dengan 2011.
Untuk menghitung elastisitas penerimaan (EP) dapat dilakukan dengan
membandingkan persentase perubahan penerimaan pajak daerah di Kabupaten
Sleman dengan persentase perubahan jumlah produk domestic regional bruto (PDRB)
Kabupaten Sleman dalam kurun waktu Tahunn 2007 sampai dengan 2012
Tabel 4.7
Elastisitas Pajak Daerah terhadap PDRB
Kabupaten Sleman Tahun 2010 - 2011
Tahun PAD Pertumbuhan PDRB Pertumb. Elastisitas
(Juta) (Juta)
2007 42,000,000,000 - 5,250,000 -
2008 49,171,622,443 11 5,460,000 3.8 0.000421
2009 56,350,000,000 17 5,650,000 3.4 0.000435
2010 75,969,096,600 27 5,830,000 3.1 0.000363
2011 122,700,165,400 24 6,050,000 3.6 0.000198
Sumber Data Pajak Daerah : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
Dari tabel tersebut dapat dijelaskan sebagai bahwa elastisitas realisasi
penerimaan pajak tahun 2007 hingga 2011 dibandingkan dengan PDRB Kabupaten
Sleman pada tahun yang sama. Apabila hasilnya lebih besar dari pajak lain dan pada
saat yang sama elastis terhadap PAD dan PRDB, maka pajak tersebut dikatakan
sangat berpotensi (+2). Namun bila tidak elastis terhadap pengeluaran rutin dan
PDRB, berarti berpotensi (+1). Sebaliknya bila lebih kecil dari kabupaten/kota lain
39
namun elastis, maka dikatakan tidak berpotensi (-1), dan bila pada saat yang sama,
lebih kecil dan tidak elastis, maka disebut sangat tidak berpotensi (-2)
Dari hasil perhitungan elastisitas pajak daerah Kabupaten Sleman pada periode
2007 – 2011 terhadap PDRB atas dasar adalah jumlah nilai produksi pendapatan
maupun pengeluaran yang dinilai atas dasar harga tetap (harga pada tahun dasar)
yang digunakan selama satu tahun. Dari hasil perhitungan tersebut pada tabel
memiliki hasil positif maka dapat disimpulkan bahwa sangat berpotensi.
4.5 Analisis Equity (Keadilan Pajak)
Keadilan pajak terdapat pada kenyataan bahwa setiap orang harus mendapat
bagian yang layak dalam kegiatan pemerintah yang mereka biayai sendiri. keadilan
dalam prinsip perpajakan adalah pemikiran tradisional. Sebab prinsip keadilan dalam
perpajakan daerah, bahkan prinsip-prinsip lainnya, dapat digambarkan dalam
hubungan antara pajak dengan social welfare funtion. Dengan kata lain, sebagai ganti
atas prinsip keadilan, maka telah diintrodusir social welfare function yang dikaitkan
dengan perpajakan daerah. Artinya berapapun pajak daerah ditetapkan, asal social
welfare tidak mengalami penurunan, maka suatu penetapan pajak dikatakan tidak
memiliki masalah dalam keadilan pungutan.
Variabel equity dapat diproksi dengan seberapa besar pertumbuhan dari setiap
sumber-sumber pendapatan daerah. Semakin tinggi pertumbuhan maka semakin
potensial dari sumber pendapatan tersebut. Dari hasil perhitungan secara rata-rata
selama tahun penelitian tahun 2007 – 2011 dapat dijelaskan berdasarkan dari yang
terbesar pertumbuhan sumbangan pada pajak daerah adalah pertumbuhan pajak
parkir sebesar 24,56 persen, namun bila dianalisis secara seksama secara komulatif
perolehan pajak parkir pada tataran klasifikasi rendah bila disejajarkan dengan
pajak daerah lainnya seperti perolehan dari pajak penerangan jalan dan pajak
restoran, namun secara pertumbuhan mengalami kenaikan yang sangat signifikan
pada tahun 2011 walaupun pada tahun-tahun tertentu tidak mengalami kenaikan.
Kenaikan pertumbuhan tersebut tentunya dipengaruhi oleh beberapa komponen
untuk dioptimalkan seiring dengan pertmbuhan sektor perekonomian.
40
Sedangkan pajak daerah yang mempunyai pertumbuhan terkecil adalah pajak
hiburan yaitu sebesar 2,31 hal ini disebabkan karena adanya pembatasan-pembatasan
dari pihak-pihak yang berkepentingan sehingga berpengaruh atau menekan
tumbuhnya usaha-usaha pajak hiburan. Hal ini menunjukkan bahwa sumber
pendapatan selain pajak sangat potensial untuk dilakukan dan ditingkatkan sebagai
sumber pendapatan pajak daerah di Kabupaten Sleman. Secara rinci dapat dilihat
pada table
Tabel 4.8
Realisasi Sumber Pendapatan Pajak Daerah Tahun 2007 -2011
(dalam ribuan rupiah)
No. Pajak Daerah Realisasi Pajak Daerah Tahun 2007-2011 Rata-Rata Rata2
Tahun 2007 Tahun 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010 TAHUN 2011 Realisasi Pert.
1 Pajak Hotel 11,423,620,419 14,522,397,204 18,188,624,205 22,557,704,618 22,637,880,385 17,866,045,366 15.30
2 Pajak restoran 5,320,503,572 6,675,522,009 7,628,940,658 10,145,715,812 13,257,484,784 8,605,633,367 20.27
3 Pajak Hiburan 2,035,377,677 3,553,567,031 3,637,358,441 3,786,482,377 2,709,834,885 3,144,524,082 2.31
4 Pajak reklame 4,749,917,482 8,147,539,122 9,010,087,694 9,086,804,452 9,322,567,251 8,063,383,200 13.66
5 Pajak Pen. Jalan 25,705,707,427 26,921,123,335 31,190,111,489 33,619,390,346 40,022,094,803 31,491,685,480 10.36
6 Pajak PPBGGC 633,093,975 551,072,688 664,415,502 699,977,655 3,218,385,875 1,153,389,139 21.38
7 Pajak Parkir 419,445,180 650,094,300 725,394,650 770,208,454 1,441,196,382 801,267,793 24.56
8 Pajak Air Tanah 851,830,412 170,366,082 25.00
9 BPHTP 49,327,392,683 9,865,478,537 25.00
Jumlah 50,287,665,732 61,021,315,689 71,044,932,638 80,666,283,713 142,788,667,460 81,161,773,046 21.78
Average 7,183,952,247 8,717,330,813 10,149,276,091.14 11,523,754,816.18 15,865,407,495.52 10,687,944,293 19.95
Sumber Data : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
4.6 Analisis Ability to Implement (Kemampuan Melaksanakan)
Kelayakan suatu daerah untuk melaksanakan pungutan dapat diketahui dari
beberapa kriteria, yaitu apakah daerah tersebut memang daerah yang tepat untuk
suatu pajak dibayarkan, tempat memungut pajak adalah tempat akhir beban pajak,
dan pajak tidak mudah dihindari. Apabila suatu daerah memiliki ketiga kriteria
tersebut, maka daerah tersebut layak sebagai daerah pemungut pungutan daerah.
Kelayakan tersebut akan terlihat dengan kemampuan politis daerah untuk memungut
pajak dan retribusi daerah, yaitu pemungutan pajak dan retribusi daerah didukung
oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama wajib pajak. Selanjutnya, kemampuan
secara politis akan diimplementasikan dalam kemampuan administrasi pemungutan
pajak dan retribusi daerah. Hasil dari kelayakan dan kemampuan administrasi
tersebut, seharusnya terlihat dalam hubungan antara potensi dan realisasi penerimaan
pungutan daerah. Semakin tinggi realisasi penerimaan pungutan daerah dibandingkan
41
dengan potensi penerimaannya, menunjukkan bahwa daerah memiliki kemampuan
untuk melaksanakan suatu pungutan.
Dipergunakannya alasan perbandingan antara potensi dan realisasi penerimaan
pajak daerah, dengan argumentasi hubungan antara potensi dan realisasi
menunjukkan kemampuan melaksanakan perpajakan daerah. Kemampuan untuk
mencapai potensi apalagi melebihi potensi menunjukkan bahwa pajak daerah
tersebut mudah dilaksanakan. Semakin tinggi realisasi dibandingkan potensinya,
berarti semakin terlihat adanya kemampuan pada daerah untuk melaksanakan pajak
daerah tersebut.
Pada kajian ini variabel Ability to Implement (Kemampuan Melaksanakan)
digunakan parameter perbandingan antara realisasi dengan target yang ditentukan
oleh Pemerintah Kabupaten Sleman. Hal ini mengingat ketersediaan data potensi
yang diproksi dengan target yang ditetapkan, dengan asumsi bahwa penetapan target
perolehan sudah didasarkan pada potensi dari masing-masing sumber pendapatan.
Dari olahan data rata-rata tahun 2007-2011 dapat dijelaskan bahwa : sumber
pendapatan pajak daerah mempunyai nilai tertinggi yaitu sebesar 1,70 disusul dengan
pajak reklame dengan nilai sebesar 1,25 persen dan peringkat rata-rata ketiga sebesar
1,18 persen, hal ini sebenarnya masih banyak sumber-sumber potensial dari pajak
daerah, khususnya pendapatan asli daerah yang bisa dikelola dan dikembangkan.
Khususnya pajak hotel, pajak restoran dan pajak daerah lainnya yang persentasenya
tidak terlalu jauh perlu dioptimalkan. Secara rinci dapat dijelaskan persentasenya
pada Tabel 4.9
Tabel 4.9
Target dan Realisasi Sumber Pendapatan Pajak Daerah Tahun 2007 -2011
No. Pajak Daerah Tahun 2007 R/T Tahun 2008 R/T
Target Realisasi % Target Realisasi %
1 Pajak Hotel 10,000,000,000 11,000,000,000 1 12,500,000,000 14,522,397,204 1.16
2 Pajak restoran 4,500,000,000 5,100,000,000 1 6,000,000,000 6,675,522,009 1.11
3 Pajak Hiburan 1,500,000,000 2,300,000,000 2 2,600,000,000 3,553,567,031 1.37
4 Pajak reklame 4,500,000,000 5,621,622,443 1 6,800,000,000 8,147,539,122 1.20
5 Pajak Pen. Jalan 20,500,000,000 24,000,000,000 1 27,200,000,000 26,921,123,335 0.99
6 Pajak PPBGGC 600,000,000 650,000,000 1 650,000,000 551,072,688 0.85
7 Pajak Parkir 400,000,000 500,000,000 1 600,000,000 650,094,300 1.08
8 Pajak Air Tanah
9 BPHTP Sumber Data : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
42
Lanjutan Tabel 4.10
Target dan Realisasi Sumber Pendapatan Pajak Daerah Tahun 2007 -2011
Tahun 2009 R/T Tahun 2010 R/T Tahun 2011 R/T
Target Realisasi % Target Realisasi % Target Realisasi %
12,500,000,000 18,188,624,205 1.46 21,326,096,600 22,557,704,618 1.06 22,000,000,000 22,637,880,385 1.03
6,000,000,000 7,628,940,658 1.27 8,668,000,000 10,145,715,812 1.17 13,000,000,000 13,257,484,784 1.02
2,600,000,000 3,637,358,441 1.40 3,500,000,000 3,786,482,377 1.08 3,200,000,000 2,709,834,885 0.85
6,800,000,000 9,010,087,694 1.33 8,600,000,000 9,086,804,452 1.06 8,750,000,000 9,322,567,251 1.07
27,200,000,000 31,190,111,489 1.15 32,500,000,000 33,619,390,346 1.03 38,400,000,000 40,022,094,803 1.04
650,000,000 664,415,502 1.02 650,000,000 699,977,655 1.08 3,000,000,000 3,218,385,875 1.07
600,000,000 725,394,650 1.21 725,000,000 770,208,454 1.06 850,165,400 1,441,196,382 1.70
1,000,000,000 851,830,412 0.85
32,500,000,000 49,327,392,683 1.52
Sumber Data : Dinas Pendapatan Kabupaten Sleman
4.7 Suitability as a Local Source (Kesesuaian Sebagai Penerimaan Daerah)
Kesesuaian yang dimaksudkan adalah seberapa besar daerah berhak untuk
mendapatkan suatu pajak dan retribusi daerah berdasarkan undang-undang yang
berlaku. Apabila hanya sebagian saja yang berhak dimiliki oleh daerah, sedangkan
sebagian lainnya menjadi hak pemerintahan yang lebih tinggi maka dikatakan bahwa
pajak dan retribusi daerah tersebut tidak sesuai dengan pendapatan daerah. Dan
karena seberapa besar yang menjadi hak pemerintah daerah atau seberapa hak
pemerintah yang lebih tinggi ditentukan berdasarkan undang-undang, maka untuk
mengetahui kesesuaian pajak dan retribusi daerah sebagai pendapatan daerah,
digunakan pendekatan kesesuaian dengan undang-undang pajak dan retribusi daerah.
Adapun Undang-undang dan peraturan terkait dengan Sumber Pendapatan Asli
Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah Undang-Undang Nomor 28 tahun
2009 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Undang-undang RI No. 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Undang-undang nomor
16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
43
Berdasarkan peraturan potensi pajak dan retribusi daerah di Kabupaten Sleman
harus diteliti kesesuaiannya. Sehingga untuk kesesuaian sebagai pendapatan daerah
digunakan ukuran sebagai berikut :
1. Dikatakan berpotensi sesuai sebagai pendapatan daerah bila pajak dan retribusi
daerah tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
2. Dikatakan tidak berpotensi sesuai sebagai pendapatan daerah bila pajak dan
retribusi daerah bertentangan dengan salah satu undang-undang dan peraturan
yang berlaku.
Tabel 4.10
Ability to Implement Sumber-sumber Pajak Daerah
Pemerintah Provinsi DIY, Tahun 2007 – 2011
No. Pajak Daerah Tahun 2007 R/T Tahun 2008 R/T Tahun 2009
Target Realisasi % Target Realisasi % Target
1 Pajak Hotel 10,000,000,000 11,000,000,000 1 12,500,000,000 14,522,397,204 1.16 12,500,000,000
2 Pajak restoran 4,500,000,000 5,100,000,000 1 6,000,000,000 6,675,522,009 1.11 6,000,000,000
3 Pajak Hiburan 1,500,000,000 2,300,000,000 2 2,600,000,000 3,553,567,031 1.37 2,600,000,000
4 Pajak reklame 4,500,000,000 5,621,622,443 1 6,800,000,000 8,147,539,122 1.20 6,800,000,000
5 Pajak Pen. Jln. 20,500,000,000 4,000,000,000 1 7,200,000,000 6,921,123,335 0.99 27,200,000,000
6 Pajak PPBGGC 600,000,000 650,000,000 1 650,000,000 551,072,688 0.85 650,000,000
7 Pajak Parkir 400,000,000 500,000,000 1 600,000,000 650,094,300 1.08 600,000,000
8 Pajak Air Tanah
9 BPHTP
Lanjutan Tabel. 4.10
Tahun 2009 R/T Tahun 2010
R/T Tahun 2011 R/T
Realisasi % Target Realisasi % Target Realisasi %
18,188,624,205 1.46 21,326,096,600 22,557,704,618 1.06 22,000,000,000 22,637,880,385 1.03
7,628,940,658 1.27 8,668,000,000 10,145,715,812 1.17 13,000,000,000 13,257,484,784 1.02
3,637,358,441 1.40 3,500,000,000 3,786,482,377 1.08 3,200,000,000 2,709,834,885 0.85
9,010,087,694 1.33 8,600,000,000 9,086,804,452 1.06 8,750,000,000 9,322,567,251 1.07
31,190,111,489 1.15 32,500,000,000 33,619,390,346 1.03 38,400,000,000 40,022,094,803 1.04
664,415,502 1.02 650,000,000 699,977,655 1.08 3,000,000,000 3,218,385,875 1.07
725,394,650 1.21 725,000,000 770,208,454 1.06 850,165,400 1,441,196,382 1.70
1,000,000,000 851,830,412 0.85
32,500,000,000 49,327,392,683 1.52
Sumber Data : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman
Dari tabel 4.10 tersebut diatas, karena pemungutan pajak daerah sudah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan pembagian atau pengelompokan
sudah jelas maka dapat disimpulkan bahwa pemungutan pajak tersebut berpotensi
sesuai karena tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan
Dari hasil anaisis penelitian tersebut diatas maka penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Target penerimaan pajak daerah Kabupaten Sleman dari Tahun 2007 - 2011 terjadi
kenaikan yang sangat signifikan sehingga perlu ditingkatkan penentuan target,
tidak hanya berdasarkan incremental (peningkatan) sebesar sekian persen
dibanding tahun-tahun sebelumnya tetapi perlu dikaji dan dievaluasi dengan
menyesuaikan tingkat pertumbuhan.
2. Klasifikasi potensi pajak sesuai dengan hasil analisis, jika termasuk dalam kategori
prima, maka harus dipertahankan, jika termasuk dalam kategori potensial yang
dilakukan adalah mengintensifkan yang sudah ada biar tercapai pertumbuhan,
tetapi jika termasuk penerimaan berkembang, maka harus dilakukan langkah
ekstensifikasi, dan yang tergolong terbelakang, maka justru perlu adanya evaluasi,
apakah sumber penerimaan yang menguntungkan atau jenis akan merugikan.
3. Perhitungan elastisitas pajak daerah Kabupaten Sleman pada periode 2007 – 2011
terhadap PDRB adalah jumlah nilai produksi pendapatan maupun pengeluaran
yang dinilai atas dasar harga tetap (harga pada tahun dasar) yang digunakan
selama satu tahun. Dari hasil perhitungan tersebut pada tabel memiliki hasil positif
maka dapat disimpulkan bahwa sangat berpotensi.
4. Variabel equity dapat diproksi dengan seberapa besar pertumbuhan dari setiap
sumber-sumber pendapatan daerah. Semakin tinggi pertumbuhan maka semakin
potensial, hasil perhitungan rata-rata selama tahun penelitian tahun 2007 – 2011
dapat dijelaskan berdasarkan dari yang terbesar pertumbuhan sumbangan pada
pajak daerah adalah pertumbuhan pajak parkir sebesar 24,56 persen, namun bila
dianalisis secara seksama secara komulatif perolehan pajak parkir pada tataran
klasifikasi rendah bila disejajarkan dengan pajak daerah lainnya seperti perolehan
45
dari pajak penerangan jalan dan pajak restoran, namun secara pertumbuhan
mengalami kenaikan yang sangat signifikan.
5. Pada kajian ini variabel Ability to Implement (Kemampuan Melaksanakan)
digunakan parameter perbandingan antara realisasi dengan target yang ditentukan.
Dari olahan data rata-rata tahun 2007-2011 dapat dijelaskan bahwa : sumber
pendapatan pajak daerah mempunyai nilai tertinggi yaitu sebesar 1,70 disusul
dengan pajak reklame dengan nilai sebesar 1,25 persen dan peringkat rata-rata
ketiga sebesar 1,18 persen, hal ini sebenarnya masih banyak sumber-sumber
potensial dari pajak daerah, khususnya pendapatan asli daerah yang bisa dikelola
dan dikembangkan.
6. Suitability as a Local Source (Kesesuaian Sebagai Penerimaan Daerah)
pemungutan pajak daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 dan pembagian atau pengelompokan sudah jelas maka dapat disimpulkan
bahwa pemungutan pajak tersebut berpotensi sesuai karena tidak bertentangan
dengan peraturan yang berlaku.
5. 2. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas sebagai masukan dan penulis mengajukan saran
untuk pihak-pihak yang berkepentingan khususnya Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Sleman sebagai berikut :
1. Dengan diketahuinya potensi dan tingkat pertumbuhan maka dapat menetapkan
target rasionalnya sehingga dapat merencanakan dengan tepat target yang akan
ditetapakan tidak hanya berdasarkan incremental.
2. Klasifikasi potensi pajak sesuai dengan hasil analisis, jika termasuk dalam
kategori prima, maka harus dipertahankan dan potensial yang dilakukan adalah
mengintensifkan yang sudah ada biar tercapai pertumbuhan, tetapi jika termasuk
penerimaan berkembang, dan terbelakang, maka justru perlu adanya evaluasi,
apakah sumber penerimaan yang menguntungkan atau jenis akan
46
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2004. Manajemen Keuangan Daerah. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Bachrul Elmi. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonomi di Indonesia. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik Indonesia, Himpunan
Peraturan Pemerintah; PP. No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;
PP. No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah; PP. No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan; PP. No. 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
Mardiasmo, 2000. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah Menyongsong
Pelaksanaan Otonomi Daerah, BPFE. Yogyakarta.
M. Suparmoko. 2000. Otonomi Daerah. BPFE. Yogyakarta.
Republik Indonesia. 1997. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000.
Republik Indonesia. 1999. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
_______________. UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Republik Indonesia. 2000. UU No. 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi
daerah.
Republik Indonesia. 2001. PP No. 65 – 66 tahun 2001 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah.
Republik Indonesia. 2004. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
_______________. UU No. 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Republik Indonesia. 2004. UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Wahyuni, 2010. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Yogyakarta