TESIS
SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA
KARYA AHMAD FUADI
LITERATURE SOSIOLOGY AND EDUCATION VALUE IN NEGERI LIMA MENARA
BY AHMAD FUADI
OLEH
RAHMAT 04.06.629.2011
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2015
i
SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA
KARYA AHMAD FUADI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
RAHMAT
NIM: 04.06.629.2011
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2015
ii
TESIS
SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVELNEGERI LIMA MENARA
KARYA AHMAD FUADI
Yang disusun dan diajukan oleh
RAHMAT NIM. 04. 06. 629. 2011
Menyetujui Komisi Pembimbing,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum.
Mengetahui,
Ketua Program Studi Direktur Program Pendidikan Bahasa dan Pascasarjana Sastra Indonesia Unismuh Makassar Dr. Abd. Rahman Rahim M. Hum. Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd. NBM 951576 NBM 988463
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur khadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Sosiologi Sastra dan Nilai
Pendidikan pada Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Tesis ini berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan Sosiologi Sastra dan
Nilai Pendidikan pada Novel Negeri Lima Menara dengan menggunakan
pendekatan Sosiologi Sastra.
Tesis dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar
magister pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar. Tesis ini dapat diselesaikan
karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Abd. Rahman Rahim. M. Hum., Ketua Program Studi Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana sekaligus sebagai pembimbing I yang telah membantu
proses perkuliahan serta memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran,
ketulusan, ketelitian dan penuh harapan sehingga tesis ini dapat tersusun dengan
lancar.
2. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., sebagai pembimbing II yang telah,
bimbingan, masukan yang sangat berharga, serta memotivasi sampai ke
lubuk hati yang paling dalam sehingga penyusunan tesis ini dapat
diselesaikan dengan tepat waktu.
3. Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M. Pd, Direktur PPs Unismuh yang telah
memberikan izin penyusunan tesis ini.
iv
4. Seluruh Dosen Pascasarjana, ilmu yang diberikan oleh Bapak Ibu akan
menjadi bekal hidup penulis sebagai calon pengajar.
5. Seluruh orang – orang tercinta yang telah memberikan dukungan dan motivasi
sehingga jenjang pendidikan magister ini dapat di tempuh dan diselesaikan
dengan lancar.
6. Seluruh teman satu angkatan, staf TU Pascasarjana yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Semoga Allah Yang Maha Kaya membalas
kebaikan Bapak Ibu.
Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan tesis agar lebih baik dan bermanfaat. Semoga Allah selalu menyertai langkah kita, sekarang dan selamanya. Amin.
Makassar, Mei 2015
Penulis
v
ABSTRAK
RAHMAT. 04066292011. 2015. SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI.Komisi Pembimbing Pertama Dr.Abd. Rahman Rahim.M.Hum. Pembimbing Dua Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. Tesis: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penelitian ini menjelaskan dan mendeskripsikan: (1) pandangan pengarang terhadap Pondok Madani; (2) sosiologi sastra yang terungkap pada novel dan (3) nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Novel berlatar pendidikan di pondok ini cukup menarik untuk dikaji melalui pendekatan sosiologi sastra, yaitu tentang perjuangan enam anak laki-laki yang belajar di Pondok Madani dan berlomba-lomba melukis negeri impiannya di langit.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Data penelitian berupa dokumentasi berbentuk novel. Teknik cuplikan yang digunakan adalah purposive sampling, sampel mewakili informasinya. Teknik pengumpulan data mengkaji dokumen melalui content analisis. Uji validasi data menggunakan triangulasi data/sumber, triangulasi teori dan teori metode.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis data interaktif yang meliputi tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan simpulan.
Penelitian ini menyimpulkan (1) pandangan pengarang terhadap novel; (2) aspek sosiologi sastra pada novel meliputi: a. Sistem Religi yang berupa Sistem Kepercayaan, Sistem Nilai dan Pandangan Hidup dan Komunikasi Keagamaan; b. Sistem Kemasyarakat atau Organisasi Sosial yang meliputi Kekerabatan, Asosiasi atau Perkumpulan dan Sistem Pengetahuan; c. Bahasa yang meliputi bahasa Lisan yaitu Bahasa Minang, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Tertulis yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris; d. Kesenian meliputi kaligrafi Dan Bangunan; e. Sistem Mata Pencaharian berupa Guru dan Pegawai Pemda; f. Sistem Peralatan Hidup Atau Teknologi dan Perumahan meliputi Transportasi, Peralatan Komunikasi, Peralatan Konsumsi dalam Bentuk Wadah dan Pakaian dan Tempat Berlindung (3) nilai-nilai pendidikan yang terungkap adalah nilai vitalitas dan kehidupan, nilai spiritual atau keagamaan, nilai moral yang positif dan negatif dan nilai budaya.
vi
ABSTRACT
RAHMAT. 04066292011. 2015.. SOCIOLOGY OF LITERATURE AND VALUE OF EDUCATION IN NEGERI LIMA MENARA NOVEL FUADI AHMADWORKS.FirstAdvisors.CommissioDr.Abd.Rahman Rahim.M.Hum.Two mentors Dr.Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. Thesis: Education Indonesian Studies Program Graduate Program in University of Muhammadiyah Makassar..
This study explains and describes (1) views of the author against Madani Cottage (2) the sociology of literature which was revealed at the novel and (3) educational value contained in the Negeri Lima Menara novels. Novel set in education at the cottage is quite interesting to examine through sociological approach to literature, which is about the struggle of six boys who studied in Pondok Madani and the country vying to paint his dream in the sky.
This study is a qualitative research, using qualitative descriptive methods. The research data in the form of a novel form of documentation. The technique used was footage of purposive sampling, the samples represent the information. Data collection techniques examine documents through content analysis. Test data validation using triangulation of data / sources, triangulation theory and the theory of the method.
Analysis technique used is an interactive data analysis that includes three components, namely data reduction, data presentation, and conclusions.
This study concluded that (1) views of the author of the novel, (2) aspects of the sociology of literature in the novel include: a. Religions are systems of belief systems, value systems and views of Life and Religious Communication; b. Civic or social organization system which includes Kinship, Association or Society and Knowledge Systems; c. Oral language includes language that Minang Language, Arabic and English, Written namely Arabic and English; d. Art covers calligraphy And Building; e. Livelihood System of Teachers and Employees of Local Government; f. Life Or Equipment Systems Technology and Housing include Transportation, Communications Equipment, Appliances Consumption in the form of container and Clothing and Shelter (3) educational values expressed are the vitality and life, spiritual or religious values, moral values and positive and negative cultural values.
vii
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL......................................................................... ................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
ABSTRAK......................................................................................................... v
ABSTRCT........................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6
D Manfaat Penelitian ................................................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR ..................... 8
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 8
1. Kajian Tentang Novel ..................................................................... 8
a. Pengertian Novel .......................................................................... 8
b. Jenis-Jenis Novel ........................................................................... 13
c. Unsur-Unsur Novel ....................................................................... 17
d. Novel sebagai Dokumen Sosial ..................................................... 27
2. Kajian Tentang Sosiologi Sastra ........................................................ 29
viii
a. Pengertian Sastra ............................................................................ 29
b. Pengertian Sosiologi ...................................................................... 34
c. Pengertian Sosiologi Sastra ........................................................... 38
3. Hakikat Aspek Sosial Budaya............................................................... 53
4. Kajian Tentang Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel ........................ 83
a. Pengerian Nilai .............................................................................. 83
b. Pengertian Pendidikan ................................................................... 85
c. Pengertian Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel.................... 86
B. Penelitian yang Relevan......................................................................... 95
C. Kerangka Berfikir.................................................................................. 98
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................. 100
A. Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................. 100
B. Metode Penelitian............................................................................... 101
C. Data dan Sumber Data........................................................................ 101
D. Teknik Cuplikan (Sampling)................................................................ 102
E. Teknik Pengumpulan Data.................................................................. 103
F. Uji Validitas Data................................................................................ 104
G. Teknik Analisis Data........................................................................... 105
H. Prosedur Penelitian............................................................................. 109
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 113
A. Hasil Penelitian .................................................................................... 113
1. Pandangan Pengarang terhadap Novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi ........................................................................ 113
ix
2. Aspek Sosial Budaya yang terdapat dalam Novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi .......................................................... 116
3. Nilai-nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri
Lima Menara karya Ahmad Fuadi.................................................... 154
B. Pembahasan.......................................................................................... 163
1. Pandangan Pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel
Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi..................................... 163
2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi............................................................ 165
3. Nilai- nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel
Negeri Lima Menara katya Ahmad Fuadi..................................... 167
BAB V PENUTUP........................................................................................... 169
A. Simpulan............................................................................................... 169
B. Implikasi Hasil Penelitian..................................................................... 171
C. Saran..................................................................................................... 177
DAFTAR PUSTAKA
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian............................................. 100
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Alur Kerangka Pikir .................................................................. 99
Gambar 2. Bagan Model Interatif Miles & Huberman ............................... 106
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra merupakan sebuah karya seni. Sastra adalah hasil kegiatan kreativitas
seorang sastrawan. Sebuah karya sastra mencerminkan berbagai masalah kehidupan
manusia. Karya sastra dapat berinteraksi dengan lingkungan, sesama manusia dan
dengan Tuhannya.
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2010:307) bahwa imajinasi dalam karya
sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan, imajinasi yang juga
diimajinasikan orang lain. Karya sastra tidak hanya berupa imajinasi saja, melainkan
berupa penghayatan dan perenungan secara sadar. Karya sastra hasil sebuah imajinasi
yang didasari atas kesadaran yang menghasilkan kreativita sebagai karya seni. Karena
sebagai hasil imajinasi, karya sastra menciptakan dunia sendiri. Meskipun kita juga
menyadari tidak jarang karya sastra yang menyajikan sebuah konteks realitas sosial.
Karya sastra sebagai hasil imajinasi, tidak hanya berguna sebagai hiburan
yang menyenangkan saja. Karya sastra juga berguna untuk menambah pengalaman
bagi pembaca. Lukens (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010 : 3) mengatakan bahwa
sastra memberikan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir
kepada pembaca pertama-tama adalah memberikan hiburan, hiburan yang
menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk
memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh daya
1
2
suspens, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat
emosinya sehingga ikut larut dalam cerita, dan kesemuanya itu di kemas dalam
bahasa yang menarik.
Meskipun sebuah karya imajinatif, karya sastra menampilkan suatu gambaran
kehidupan. Kehidupan itu sendiri merupakan kejadian yang nyata dalam kehidupan
sosial dan kultural (sosial and cultural facts). Kehidupan itu diwarnai oleh sikap, latar
belakang dan keyakinan pengarang. Persoalan atau peristiwa yang terjadi di dalam
masyarakat akan terjadi sepanjang masa. Artinya terjadi pada masyarakat yang
berbeda-beda menurut zaman. Bukan hanya sekarang, melainkan terjadi pada setiap
zaman. Persoalan itu juga akan memengaruhi kreativitas pemikiran seorang pencipta
karya sastra, sehingga memungkinkan muncul konflik atau ketegangan batin tersebut
dalam bentuk karya sastra.
Luxemburg (1984: 23) memaparkan bahwa sastra yang ditulis pada suatu
kurun waktu tertentu berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu.
Selain itu, sastra juga menggambarkan suatu kebudayaan yang tumbuh dalam
lingkungan masyarakat yang diangkat untuk menjadi ciri yang ditonjolkan dalam
karya tersebut. Di samping mengekspresikan dan mengemukakan persoalan hidup
yang terjadi, pengarang juga mengajak pembaca untuk ikut memecahkan persoalan
kehidupan. Karya satra tercipta karena adanya keinginan dari pengarang dalam
mengungkapkan kreativitasnya yang dituangkan melalui pola berpikir, ide, gagasan,
pesan dan prinsip yang berasal dari imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang
serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaianya. Pencipta sastra merupakan
3
warga masyarakat yang dengan sengaja atau tidak sengaja mencurahkan masalah
kehidupan manusia dan masyarakat sebagai objek yang dituangkan sebuah karya
sastra. Karya sastra juga dipengaruhi oleh letak geografis, adat istiadat yang menjadi
objek kajian dan biasanya disesuaikan dengan zaman yang ada.
Burhan Nurgiyantoro (2010:14) mengemukakan sastra dewasa dibagi dalam
tiga besar genre yaitu puisi, fiksi dan drama dengan masing-masing memiliki sub
genre. Untuk kajian prosa atau fiksi di Indonesia dibagi menjadi tiga macam yaitu
novel, cerpen dan roman. Novel merupakan karya rekaan yang menggambarkan
kehidupan, adat-istiadat, aturan serta budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Novel
merupakan karya rekaan atau fiksi yang memberikan gambaran aspek-aspek
kehidupan yang dikemas dalam gaya bahasa yang memikat. Kehidupan dalam sebuah
novel digambarkan melalui tokoh, perwatakan, setting, alur dan unsur instrinsik
lainnya. Dalam menyampaikan keanekaragaman kebudayaan dan suatu ajaran atau
nilai didikan kepada para pembaca digambarkan dengan bahasa yang baik sehingga
pembaca bisa memahami novel tersebut.
Rene Wellek dan Austin Warren (1993:316) menjelaskan bahwa sepanjang
sejarah, orang telah tertarik dan mengganggap sastra lisan maupun cetakan bernilai
positif. Novel merupakan karya sastra yang memberikan nilai positif bagi pembaca.
Novel juga mengungkapkan kehidupan sosial untuk mempelajari manusia pada
zamannya. Novel yang memiliki kualitas baik merupakan hasil rekaan dan polesan
oleh penulisnya.
4
Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2009
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengetahui sosiologi sastra dan nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut. Novel Negeri Lima menara
memunyai masalah-masalah kehidupan sosial budaya yang berasal dari daerah
masing-masing oleh para tokoh. Novel Negeri Lima menara juga memiliki nilai
positif yaitu penjelasan nilai keteladanan dalam sebuah lembaga pendidikan sehingga
bisa dijadikan panutan bagi pembaca. Novel Negeri Lima menara karya Ahmad
Fuadi dipilih karena memiliki beberapa kelebihan baik dari segi isi atau bahasanya
dibandingkan novel yang lain.
Novel-novel lain yang memunyai masalah-masalah sosial yaitu novel Singkar
karya Siti Aminah tahun 2008 dari Yogyakarta yang menceritakan tentang masalah
politik, pergerakan mahasiswa dan masalah rumah tangga, Novel Para Priyayi karya
Umar Kayam bercerita tentang seorang anak dari keluarga buruh tani yang oleh orang
tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi “sang pemula” untuk
membangun dinasti keluarga priyayi kecil, Novel Di Kaki Bukit Cibalak karya
Ahmad Tohari yang menggambarkan keadaan social masyarakat Jawa Tengah, pada
salah satu desa kecil bernama Desa Tanggir tahun70-an dan lain-lain.
Novel Negeri Lima menara karya Ahmad Fuadi menggambarkan tentang
kisah seorang anak dari Kabupaten Agam, Bukit tinggi yang melanjutkan sekolah
Pondok Madani di Jawa Timur. Keinginan masuk ke Pondok Madani ini atas
permintaan ibunya. Yang menarik setelah masuk ke Pondok Madani, ia terkesan
dengan mantra dari kiayinya yaitu man jadda wa jada, artinya bahwa siapa yang
5
bersungguh-sungguh akan berhasil, kedisiplinan yang kuat, persabatan yang tak
pernah putus walau jarak memisahkan, dan cita-cita yang didasari dengan keyakinan
yang kuat. Kisah ini diperankan oleh enam anak yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia.
Latar pesantren yang kuat dengan kedisiplinan menjadi latar cerita yang
memikat dan memberikan nilai lebih bagi pembaca. Hal ini mengajarkan tentang
pergaulan yang kuat, mandiri, belajar keras dan sampai pada belajar menjadi seorang
pemimpi yang sejati. Kelebihan lain adalah gaya bahasa yang lugas dan mudah
dipahami serta pencitraan dalam novel Negeri Lima menara mudah diekspresikan dan
diinterprestasikan.
Adapun alasan diangkatnya sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan sebagai
kajian karena novel Negeri Lima menara memiliki kelebihan tersendiri. Apalagi
didukung masalah kehidupan sosial yang terjadi selama di dalam pesantren. Nilai
pendidikan terlihat pada segala sesuatu yang terlihat melalui proses pendidikan. Baik
bentuk pengalaman di menara, tatap muka di kelas dan hukuman yang dijatuhkan
pada setiap anak yang melanggar peraturan.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi?
2. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi?
3. Bagaimanakah pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam novel
Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial budaya yang terdapat dalam
novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam
novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan pengarang terhadap Pondok
Madani dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
7
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi sumbangan bagi penelitian sastra khususnya dalam pengkajian novel
sebagai salah satu genre sastra.
b. Menambah wawasan tentang pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai
pendidikan khususnya novel yang nantinya dapat diterapkan atau menjadi
referensi untuk meneliti dan mengkaji novel yang lain.
c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan dalam
ranah ilmu sastra serta studi tentang karya sastra.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
Hasil penelitian ini mendeskripsikan sosiologi sastra dan nilai-nilai
pendidikan dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Guru dapat
mengajarkan nilai-nilai tersebut dapat dijadikan teladan bagi siswa dalam
menghadapi serta menyikapi setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan.
b. Bagi Siswa
Menambah perbendaharaan tentang kajian terhadap novel terutama
pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai pendidikan yang merupakan salah satu
materi ajar pada Pembelajaran Sastra.
c. Bagi Pembaca
8
Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam menginterpretasikan novel
Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sehingga pemaknaan terhadap karya
sastra akan lebih terarah.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sekaligus disebut
sebagai fiksi. Istilah novel berasal dari kata novella yang berasal dari bahasa Italia.
Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 9), secara harafiah novella
berarti sebagai sebuah barang baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita
pendek dalam bentuk prosa.
Abrams (1971: 110) menjelaskan bahwa:
“Novel is term novel is now applied to great variety of writings that havein common only the attribute of being extended works of prose fiction. As anextended narrative, the novel is distinguished from the short story and from thework of midlle length called the novelette. “
Abrams menjelaskan bahwa novel adalah istilah novel sekarang diterapkan
untuk berbagai macam tulisan yang berbentuk suatu karangan yang berupa prosa
fiksi. Karangan tersebut berupa cerita pendek dan prosa. Fiksi adalah cerita rekaan
atau dibuat-buat, sedangkan yang termasuk fiksi adalah novel dan cerpen. Namun
kadang kala fiksi juga sering digunakan sinonim dari novel.
Burhan Nurgiyantoro (2002: 9-10) memaparkan bahwa dewasa ini istilah
novella atau novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia,
novellet yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu
8
10
panjang namun juga tidak terlalu pendek. Meskipun dengan panjang yang cukupan
tersebut.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Stamm dalam Journal of
College & Character Volume X, NO. 7, November 2009:
The possibilities of using this novel in courses on student development to make the understanding of identity development become more alive than through the moreusual scholarly analyses. Given the emerging understanding of today’smillennium generation of college students, are particularly appropriate. Popculture has played an educative role in the lives of the Millennial Generation. Inthinking about novels as ethnographies of the college experience, both that offaculty as well as students, the possibilities are even more extensive, asexemplified by the previous illustrations. Comparison of academic novels fromdifferent time periods, for example, might serve to amplify other studies of thehistory and foundations of higher education. (Stamm, 2009: 2)
Berdasarkan pendapat di atas diharapkan novel mampu memberikan
pencerahan dan penyadaran kepada pelajar agar mereka dapat hidup bermasyarakat
dengan baik, saling menyadari perbedaan, dan lebih toleran kepada masyarakat luas.
Novel memberikan pelajaran kehidupan bagi pelajar. Hal ini akan menjadi bekal bagi
pelajar dalam memasuki kehidupan bermasyarakat nantinya.
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 37) dalam novel terdapat 3 hal, antara
lain: (1) perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan
tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai mati.
Sejalan dengan pendapat di atas, Henry Guntur Tarigan (1993:165)
menyimpulkan berbagai definisi novel yang telah dipaparkan oleh para ahli
teorisastra, antara lain: (a) novel bergantung pada tokoh; (b) novel menyajikan lebih
11
dari satu impresi; (c) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan (d) novel menyajikan
lebih dari satu emosi.
Dengan kata lain, novel merupakan salah satu bentuk fiksi dalam bentuk prosa
yang memiliki panjang cukupan dalam arti tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu
pendek serta di dalamnya terkandung 3 hal yang berkaitan dengani sicerita novel,
antara lain: (1) perubahan nasib tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam
kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama yang diceritakan tidak sampai
mati. Secara garis besar, novel merupakan sebuah karangan yang memaparkan ide,
gagasan atau khayalan dari penulisanya.
Hal tersebut sejalan dengan definisi novel yang terdapat di dalam The
American College Dictionary (dalam Henry Guntur Tarigan,1993: 120) novel adalah
(1) cabang dari sastra yang menyusun karya-karya narasi imajinatif, terutama dalam
bentuk prosa; (2) karya-karya dari jenis ini, seperti novel/dongeng-dongeng; (3)
sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun.
Sementara itu menurut Orr dalam Journal of European Studies.Volume, 9No.
36 bahwa tujuan novel adalah penyadaran terhadap realitas.
Intended as an original contribution to the sociology of the novel. It is isconcerned with the destiny of the modern novel itself. This destiny would appearto the needful resuscitation of tragic realism after its demise with or around,Orwell. (Orr, 1977: 304-305).
Orr (1977 :304-305) pada pernyataan di atas mengatakan bahwa konstribusi
asli untuk sosiologi pada novel. Hal ini berkaitan dengan novel modern tersebut.
12
Misalnya seperti hal yang diperlukan dalam peristiwa yang tragis, kematian atau
kejadian yang terjadi di sekitar kita.
Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Brooks (dalamHenry
Guntur Tarigan, 1993: 120) mendefinisikan fiksi sebagai sebuah bentuk penyajian
atau cara seseorang memandang hidup ini.Jadi karya fiksi memang bukan nyata,
tetapi karya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi adalah suatu jenis karya sastra
yang menekankan kekuatan kesastraannya pada dayamerupakan sebuah refleksi dari
suatu hal yang dirasakan, dilihat, bahkan mungkin juga dialami oleh penulis.
Sedikit berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Goldmann (dalamFaruk,
2010: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang
terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang
problematik dalam sebuah dunia yang juga tergradasi. Nilai-nilai otentik yang
dimaksud tersebut adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah novel yang
dapat mengorganisasikan sebuah novel secara keseluruhan meskipun tidak tertuang
secara eksplisit.
Atar Semi (1993: 32) juga memaparkan pendapat yang tidak jauh berbeda
dengan pendapat-pendapat di atas, bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi
kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas. Dalam
hal ini novel lebih mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam
dan disajikan dengan lebih halus. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa sebuah
novel merupakan suatu hasil imajinasi penulis yang menggambarkan refleksi
kehidupan tokoh dan segala masalah yang menyertainya secara utuh dengan berbagai
13
nilai yang turut membangun kelengkapan sebuah cerita. Nilai-nilai yang terkandung
di dalam novel tersebut tidak dituangkan secara eksplisit oleh penulisnya dan nilai
tersebut pada akhirnya dapat diambil oleh pembaca sebagai sebuah pelajaran yang
mungkin bermanfaat untuk kehidupannya.
Novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat
artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur,yang
saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. Unsur-
unsur tersebut turut membangun sebuah novel yang kemudian membentuk sebuah
totalitas tersebut. Secara tradisional, unsur-unsur pembangun novel dapat dibedakan
menjadi dua bagian walaupun tidak sepenuhnya terpisah, unsur tersebut adalah unsur
intrinsik dan ekstrinsik (BurhanNurgiyantoro, 2002: 23).
Mengenai segi unsur dari dalam novel yang turut membangun jalinan
keutuhan sebuah novel, Burhan Nurgiyantoro (2002: 4) memaparkan bahwa novel
merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang imajiner, dunia
yang diharapakan menjadi model kehidupan yang nyata yang dibangun melalui
berbagai unsur intrinsik, seperti plot, setting, peristiwa, tokoh, tema, dan sudut
pandang.
Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah
karya sastra yang berisi tentang rangkaian cerita yang memaparkan ide, gagasan,
maupun khayalan penulisnya. Akan tetapi, novel tidak hanya khayalan semata, novel
juga memaparkan tentang refleksi dari suatu hal yang dilihat, dirasa, bahkan mungkin
juga dialami oleh penulisnya. Keterjalinan cerita dan kesempurnaan sebuah novel
14
dapat dilihat dari beberapa unsur yaitu unsur intrinsik yang terdiridari alur,
penokohan, setting, tema, dan sudut pandang serta unsur ekstrinsik yang berupa latar
belakang pengarang, amanat, dan berbagai unsur lain yang turut membangun sebuah
novel hingga novel tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh para penikmatnya.
b. Jenis-Jenis Novel
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 16), novel terdiri dari dua macam yaitu
novel serius dan novel populer. Pembedaan novel tersebut sering mengalami
kekaburan makna. Hal ini disebabkan karena pembedaan tersebut cenderung
mengarah pada subjektifitas penikmat sastra. Para penikmat sastra beranggapan
bahwa novel yang ditulis oleh beberapa penulis tertentu dan penerbit tertentu yang
sering menerbitkan karya sastra yan cenderung “berat” kadar kesastraannya. Novel
serius merupakan novel yang mengandung unsur sastra yang kental.Novel ini juga
harus sanggup memberikan hal yang serba mungkin terjadi, dan itulah makna dari
sastra yang sastra.
Pada umunya novel serius mengandung tujuan yang tersirat didalamnya untuk
memberikan pengalaman yang berharga bagi pembaca, setidaknya novel tersebut
mampu mengajak pembacanya untuk meresapi dan merenungkan masalah yang
diangkat oleh sebuah novel (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 18-19). Dengan demikian,
novel serius lebih mengarah pada suatu bentuk karya yang didalamnya terdapat
sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil oleh para penikmat sastra melalui
pemahaman yang mendalam.
15
Burhan Nurgiyantoro (2002: 18) mendefinisikan novel popular sebagai novel
yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di
kalangan remaja. Namun, novel popular hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan
zaman, dan tidak dapat memaksa pembacanya untuk membaca sekali lagi novel
tersebut. Selain itu, novel popular juga cepat ditinggalkan oleh pembacanya setelah
muncul novel yang lebih baru dan popular (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 16). Novel
ini menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman namun hanya
sampai pada tingkat permukaan saja, tidak menampilkan permasalahan kehidupan
secara lebih mendalam atau dengan katalain tidak berusaha meresapi hakikat
kehidupan. Apabila hal tersebut terjadi dalam penulisan novel popular maka novel
akan menjadi lebih berat, menjadi novel serius, dan bisa dimungkinkan akan
ditinggalkan oleh pembacanya.
Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2010: 31) membagi
novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel
pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimis
mendalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis
keduasang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh
dunia fantasi. Sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan
pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.
Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2011: 126), yang
memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural,
mengungkapkan bahwa novel karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur
16
mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya
melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga
merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan
memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis
(Nyoman Kutha Ratna, 2011: 127).
Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk
memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 59-60)
menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne
strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat oleh
bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation, yaitu struktur dalam bagian-
bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder,
yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, duniafantasi atau dunia imajinasi.
Wellek dan Warren (1993: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor
ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang,
psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis. Untuk memahami sebuah novel,
harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki Kenney (1966:6-7) berpendapat,
“To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up(this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determinethe relationships among the parts, and to discover the relation of the parts,to the whole. The end of the analysis is always the understanding of theliterary work as a unified and complex whole”.
Dari pendapat Kenney (1966:6-7) dijelaskan bahwa menganalisis sebuah
karya sastra dengan mengidentifikasi bagian-bagian karya yang membentuk, dengan
menentukan hubungan antar bagian-bagian, dan menemukan antar bagian bagian
17
secara keseluruhan. Analisis akhir suatu pemahaman karya sastra sebagai satu
kesatuan yang utuh dan kompleks.
Fiksi modern di bagi menjadi tiga golongan besar yaitu, bacaan hiburan, cerita
dengan kecenderungan konvensional, dan fiksi modern dengan kecenderungan
inkonvensional. Bacaan hiburan berfungsi sebagai sarana hiburan bagi pembacanya.
Pembagian cerita dengan kecenderungan konvensional dan inkonvensional tersebut
berkaitan dengan konvensi unsur-unsur intrinsik sastra. Konvensional merupakan
cerita yang masih berpegang pada aturan atau konvensi sastra yang ada, sedangkan
inkonvensional tidak berpegang dan bahkan menyimpang dari konvensi atau aturan
sastra yang telah ada. Pembedaan tersebut sedikit berbeda dengan kategorisasi yang
dilakukan oleh Goldmann.
Lubis (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:165-166) mengkategorikan novel
menjadi beberapa jenis, antara lain roman avontur, roman psikologis, romandetektif,
roman sosial, roman politik, roman kolektif. Terdapat sedikit perbedaan dari
pengkategorian di atas adalah pembagian yang ada dalam Ensiklopedia Indonesia
(dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 166), yaitu roman sosial, roman bersejarah,
roman tendens, roman keluarga, roman psikologis.
Berdasar pada berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara
garis besar novel terbagi menjadi dua, yaitu novel serius dan novel popular. Novel
serius merupakan sebuah karya sastra yang memiliki kadar kesastraan yang tinggi dan
membutuhkan suatu pemahaman yang lebih untuk dapat memahaminya. Novel serius
cenderung mengangkat tema-tema yang lebih “berat”, seperti tema tentang politik,
18
pendidikan, psikologi, dan lai-lain.Novel popular merupakan sebuah karya sastra
yang berfungsi sebagai sebuah sarana hiburan. Meskipun hanya sebagai sebuah
sarana hiburan, novel popular tak lantas mengabaikan konvensi-konvensi sastra yang
ada. Novel popular tetap mengindahkan konvensi sastra yang ada dan juga memiliki
nilai estetis yang dapat dinikmati oleh pembacadan nilai pedagogis yang dapat dipetik
oleh pembaca. Untuk memahaminya pun pembaca tidak membutuhkan pemikiran
yang lebih.
c. Unsur-Unsur Novel
Jakob Sumarjo (1982:11) mencantumkan unsur-unsur fiksi (novel) sebagai
berikut: (1) plot atau alur; (2) kerakter atau penokohan; (3) tema; (4) setting atau
latar; (5) suasana; (6) gaya; dan (7) sudut pandang penceritaan. Berbeda dengan
pendapat di atas, Zainuddin Fanani (2000 : 84) mendefinisikan bahwa unsur-unsur
prosa dibagi menjadi: (1) Tema; (2)Penokohan; (3) Plot; dan (4) Setting.
Lebih lanjut lagi akan dipaparkan satu persatu struktur tersebut:
1. Plot
Plot sering juga disebut alur. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka awal
hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan
(Herman J. Waluyo, 2002: 8).
William Kenney (1966: 13-14) menyatakan:
“ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also inrelationships. Plot makes us aware of events not merely as elements intemporal series, but also as anintricate pattern of cause and effect”. “Thestructure of plot to recognize this much, however.Is only a beginning. Wemust consider in more specific terms the form this
19
“arrangement” we callplot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, wemay discern certain recurring patterns”.
Berpijak dari pendapat William Kenney (1966: 13-14) dapat dijelaskan bahwa
plot mengungkapkan suatu rencana, bukan hanya dalam duniawi penulis tetapi juga
dalam hal hubungan antar jalinan cerita. Plot merupakan peristiwa yang tidak hanya
sebagai elemen dalam seri temporal, tetapi juga sebagai pola sebab akibat.
Alur/ Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang
beranggapan bahwa alur merupakan unsur terpenting dalam sebuah ceri tadi antara
berbagai unsur fiksi yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh, kejelasan alur sebuah
cerita erat kaitannya dengan jalinan antar peristiwa yang disajikan oleh penulis
sehingga dapat membantu mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang
ditampilkan. Kejelasan alur berarti kejelasan cerita, kesederhanaan alur berarti
kemudahan cerita untuk dimengerti (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 110).
Forster (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 113) mengemukakan bahwa alur
atau plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya
hubungan kausalitas. Hal tersebut sejalan dengan Stanton (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2002: 113) yang menyebutkan bahwa alur adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.
Alur ada bermacam-macam, dilihat dari aspek urutan waktu terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang besagkutan atau lebih
tepatnya urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan, alur terbagi
20
menjadi:
1) Plot lurus/ progresif, alur/ plot sebuah novel dikatakan lurus atau progresif apabila
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa –peristiwa yang
pertama diikuti oleh peristiwa atau meyebabkan terjadinya peristiwa yang
kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal, yaitu penyituasian,
pengenalan, pemunculan konflik, tengah/ konflik meningkat, klimaks, dan akhir/
penyelesaian (Burhan Nurgiyantoro, 2002:154).
2) Plot Sorot-balik/ Flash-back, Urutan kejadian yang disajikan dalam sebuah karya
fiksi dengan alur regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap
awal melainkan mungkin cerita disuguhkan mulai dari tengah atau bahkan dari
tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita disajikan. Karya sastra dengan jenis
ini, langsung menyuguhkan konflik bahkan telah sampai pada konflik yang
meruncing (Burhan Nurgiyantoro,2002:154). Dalam menyajikan sebuah alur
cerita, penulis umumnya memiliki tahapan–tahapan atau urutan penceritaan yang
berbeda-beda.
Berikut ini tahapan alur yang dijabarkan oleh Tasrif dalam Mochtar Lubis
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:149) yang membedakan tahapan plot menjadi
lima bagian, antara lain:
1) Tahap situation (penyituasian), yaitu tahap yang terutama berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap
pembukaan cerita, pemberian informasi awal. Tahap ini berfungsi sebagai
landasan tumpu cerita yang akan dikisahkan;
21
2) Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik), pada tahap ini
masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai
dimunculkan;
3) Tahap rising action (tahap peningkatan konflik), konflik-konflik yang
dimunculkan mulai berkembang atau dikembangkan kadar intensitasnya.
Peristiwa-peristiwa yang menjadi inti cerita mulai menegangkan;
4) Tahap climax (tahap klimaks), konflik dan atau pertentangan yang terjadi padapara
tokoh mulai mencapai puncaknya; dan
5) Tahap denouement (tahap penyelesaian), pada tahap ini konflik utama yang telah
mencapai klimaks mulai diberi jalan keluar begitu juga dengan konflik-konflik
tambahan yang lain juga mulai diberi jalan keluar.
Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah
rangkaian peristiwa yang disajikan secara kronologis oleh pengarang mulai dari tahap
awal atau tahap pengenalan tokoh, pemunculan konflik hingga konflik tersebut dapat
diselesaikan.
2. Perwatakan atau Penokohan
Penokohan adalah pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap
dan tingkah lakunya dalam cerita (Zulfahnur, dkk., 1996: 29). Pengertian penokohan
tersebut, menurut Panuti Sudjiman (dalam Zulfahnur, dkk., 1996: 29) merupakan
individu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam
cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam certa fiksi dapat berkembang
perwatakannya baik dari segi fisik maupun mentalnya.
22
Wellek danWarren (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:133-134),
menyatakan ada beberapa cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan rupa,
watak, dan pribadi para tokoh, yaitu: (1) Physical description, yaitu melukiskan
bentuk lahiriah tokoh yang dilakukan oleh pengarang; (2) Portroyal of
througthstreem or of conscious though, yaitu pelukisan jalan pikiran pelakon atau
tokoh atau apa yang terlintas dalam pikiran pengarangnya; (3) Reaction of events,
yaitu pengarang melukiskan bagaimana reaksi tokoh atau lakon terhadap kejadian
yang ada; (4) Direct author analisys, yaitu pengarang menganalisis watak tokoh atau
lakon secara langsung; (5) Discussion of environment, yaitu pengarang melukiskan
keadaan sekitar lakon atau tokoh. Misalnya, melukiskan keadaan kamar, sehingga
pembaca akan memeroleh kesan secara jelas terhadap tokoh yang ada; (6) Reaction of
others about character, yaitu pengarang melukiskan bagaimana pandangan-
pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama; dan (7)
Conversation of others about character, yaitu pelakon atau tokoh yang lain dalam
suatu carita memperbincangkan keadaan pelakon utama dengan demikian maka
secara tidak langsung pembaca mendapat kesan tentang segala sesuatu mengenai
pelakon utama.
Herman J. Waluyo (2002: 16) mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa
macam yaitu, pertama berdasar peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokoh-
tokoh yaitu, tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu
atau dua tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang ikut terlibat
sebagai pendukung cerita; tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita biasanya ada
23
seorang tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa figur pembantu yang ikut
menentang cerita; dan tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk tokoh
protagonist maupun tokoh antagonis.
Kedua berdasarkan peranannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat tokoh-
tokoh yaitu tokoh sentral, tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak lakon. Tokoh
sentral merupakan bidang keladi dari pertikaian. Tokoh sentral adalah tokoh
protagonis maupun antagonis; tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau tokoh
penentang tokoh sentral. Bisa juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral.
Dalam hal ini merupakan tokoh tritagonis; dan tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh
yang memegang peran pelengkap dalam mata rangkai cerita.
Ketiga hubungan antar tokoh. Penokohan dan perwatakan mempunyai
hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama
yaitu tokoh atau suatu peran. Penokohan yang baik adalah yang dapat
menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut
yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat.
Perkembangannya haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan
kausalitas. Penggambaran perwatakan dari tokoh-tokoh cerita disebut sebagai
penokohan.
Pengenalan tokoh dalam suatu cerita, menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.
M. (1994:65), ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memahami karakter
tokoh-tokoh dalam cerita, yaitu : (1) melalui apa yang diperbuatnya; (2)melalui
24
ucapan-ucapannya; (3) melalui gambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran
pikirannya;(5) melalui penerangan langsung dari pengarang.
Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional),dan
penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis,psikologis,
dan sosiologis) (Herman J. Waluyo, 2002 : 17). Yang termasuk dalam keadaan fisik
tokoh adalah: umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang
menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, suka
senyum/cemberut, dan sebagainya. Keadaan psikis meliputi watak, kegemaran,
mentalitas, standar moral, tempramen, ambisi, kompleks psikologi yang dialami,
keadaan emosinya dan sebagainya. Keadaan sosiologis meliputi jabatan, pekerjaan,
kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan sebagainya.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah
watak tokoh yang berupa perilaku, ucapan maupun kebiasaan. Hubungan antar tokoh
dapat dilihat dari perwatakan atau penokohan yang digambarkan oleh pengarang.
Dari penokohan tersebut akan tergambar tentang perilaku, cara bicara, dan sikap dari
para tokoh yang kemudian dapat digunakan untuk menganalisis.
3. Tema
Tema/ theme, menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67) adalah
makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Pendapat yang sama juga disampaikan
oleh Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67) yang juga menyatakan bahwa
tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Lebih rinci lagi,
Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantoro,2002: 67) mendefinisikan tema
25
sebagai gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung di dalam sebuah teks sastra sebagai struktur semantik dan yang
menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan perbedaan.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Zulfahnur,
dkk. (1996: 25) yang menyatakan bahwa tema adalah ide sentral yang mendasari
sebuah cerita, tema mempunyai tiga fungsi, yaitu: sebagai pedoman bagi pengarang
dalam menggarap cerita; sasaran atau tujuan penggarapan cerita:dan mengikat
peristiwa-peristiwa cerita dalam satu alur. Tema merupakan makna keseluruhan yang
didukung cerita, dengan sendirinya ia akan“tersembunyi” dibalik cerita yang
mendukungnya. Oleh karena itu, untuk menemukan tema dari sebuah cerita, haruslah
disimpulkan terlebih dahulu keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-
bagian tertentu dari sebuah cerita.
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema
dengan premis dari prosa tersebut yang berhubungan pula dengan nada dasar dari
sebuah prosa dan sudut pandang yang dikemukakan oleh pengarangnya (Herman J.
Waluyo, 2002: 24). Mengenai premis, ia juga mengemukakan bahwa premis dapat
juga disebut sebagi landasan pokok yang menentukan arah tujuan lakon yang
merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon.
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema atau theme adalah
ide pokok dari sebuah cerita yang mengandung makna dari sebuah cerita yang pada
umunya tekandung secara tersirat, maka untuk menyimpulkan tema dari sebuah karya
26
fiksi haruslah menyimpulkannya secara keseluruhan terlebih duhulu, melalui tema
pula sebuah cerita dikembangkan oleh penulisnya.
4. Setting atau Latar
Setting sering juga disebut latar cerita. Asul Wiyanto(2004: 28).berpendapat
bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan.Latar
adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita. Tercakup di dalamnya
lingkungan geografis mulai dari rumah tangga, pekerjaan, benda-benda dan alat-alat
yang berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa cerita waktu, suasana dan periode
sejarah (Zulfahnur, dkk., 1996: 37).
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diugkapkan oleh Abrams
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216) landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar atau setting yang disebut juga
sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yangdiceritakan.
Ada empat bagian penyusun setting menurut William Kenney(1966:40),yaitu:
(1) the actual geographical location, including topographyscenery, eventhe details of a room’s interior; (2) the accupationsand modes of day-to-dayexistence of the characters; (3) the time inwhich the action takes plece,e.g,historical period, season of theyear; (4) the religious, moral, intellecctual, sosial,and emotional environment of the characters.
Mengacu dari pendapat William Kenney (1966 : 40) menjelaskan bagian
penyususn setting adalah (1) lokasi geografis yang sebenarnya, termasuk rancangan
bentuk dan desain interior; (2) model karakter pemain sesuai dengan musim dan
27
tahun; (4) karakter yang mencerminkan keagamaan, moral, lingkungan, sosial dan
emosional.
Burhan Nurgiyantoro (2002: 227), menjelaskan unsur latar dapat dibedakan
ke dalam tiga unsur pokok, yaitu (1) latar tempat, yaitu mengacu pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat disebut
pula sebagai latar fisik (physical setting); (2) latar waktu, yaitu berhubungan dengan
masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3)
latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu dapat
berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan bersikap, pandangan hidup,
keyakinan, dan status sosial.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa setting atau latar
adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu peristiwa yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat pada suatu tempat dalam karya fiksi.
d. Novel Sebagai Dokumen Sosial (Teeuw)
Karya sastra sebagai dokumen sosial, hal ini sesuai dengan konsekuensinya
untuk pemakaian karya sastra, khususnya roman, untuk tujuan penelitian ilmu-ilmu
sosial. Ada kalanya roman disebut sebagai dokumen sosial, walaupun sebutan ini dari
segi tertentu ada benarnya. Namun roman tidak berarti dapat dipergunakan langsung
sebagai dokumen seperti laporan wartawan, kumpulan data statistik dan lain-lainnya.
Oleh karena itu tiap karya sastra ada keterpaduan antara mimesis dan kreasi, antara
28
kenyataan dan khayalan orangharus hati-hati dalam mengambil data faktual dari
tulisan rekaan, walaupun tulisan itu sebenarnya sangat realis. Sebagai penyedia data.
dan fakta roman tidak dapat dipercaya karena tidak bisa diketahui di mana
fakta berakhir dan rekaan dimulai. Penulis roman tidak dapat dan tidak perlu
mempertanggungjawabkan takaran kenyataan dalam isifaktual karyanya.Dalam arti
ini roman biasanya bukan dokumen sosial.Hanyatulisan rekaan yang bisa
dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada data yangdiperoleh dari sumber yang
jelas bersifat dokumen sosial.Novel merupakan karya rekaan. Karya rekaan memang
merupakandokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan ke emapat ke kebenaran:
lewat sastra pembaca sering kali jauh lebih baik dari lewat tulisan sosiologi mana pun
juga, dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala permasalahannya
(Teeuw, 1984:237).
Richard Hoggart dalam Teeuw (1984:237) menjelaskan bahwa sastra
yangbaik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya.
Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayatinya, kehidupan emosi,
kehidupan budi, individu maupun sosial, dunia yang syarat obyek. Hal ini
diciptakannya bersama-sama dan secara saling keterjalinan, seperti terjadi dalam
kehidupan yang kita hayati sendiri. Sastra baik menciptakan kembali kemendesakan
hidup.Tetapi arti karya sastra semacam itu tidak bias ditangkap dengan metode dan
teknik ilmu-ilmu sosial. Untuk itu diperlukan kepekaan kesastraan, kemahiran
membaca, memahami dan menilai karya sastra sesuaidengan ciri khasnya sebagai
rekaan, yang diciptakan oleh manusia dengan dengan daya cipta yang peka pula.
29
Hal ini diperkuat oleh Hoggart dalam Teeuw (1984:238) bahwa pemahaman
puitik, metaforik, intuitif adalah wujud pengetahuan, walaupun tidak dapat diukur
secara obyektif. Kesahihannya tergantung pada daya imajinasi pengarang (imajinasi
terkandung pula didalamnya penembusan, kekompleksan, kejujuran) dan pada
kemampuan kita sebagai pembaca untuk mengujinya dengan rasa pengalaman
sendiri.
Permasalahan dalam novel yang terjadi di dalam masyarakat, ketika oleh
pengarang melalui karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, akan memberikan
makna yang kompleks dan mengandung misi tertentu. Sehubungan dengan hal itu,
novel dianggap sebagai sebuah dokumen sosiobudaya yang mengandung makna.
Setiap makna yang terkandung pada sebuah novel tentunya dapat diperoleh dari
kajian berbagai aspek dan unsur yang membangunnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra
dapat dikatakan sebagai dokumen sosial, jika karya sastra tersebut berdasarkan cerita
rekaan yang datanya diambil dari kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Hal ini
sesuai dengan karya sastra berupa novel yang banyak mengisahkan tentang
kehidupan manusia.
2. Kajian tentang Sosiologi Sastra
a. Pengertian Sastra
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sehingga,
berbatasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Sastra dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar katasas-, dalam kata kerja
30
turunan berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra biasanya
menujukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku
petunjuk, buku intruksi atau pengajaran, seperti silpasastra (buku arsitektur),
kamasastra (buku petunjuk mengenai petunjuk seni cinta) (Teeuw, 1984 : 23).
Selanjutnya Teeuw (1984 :22) juga merumuskan nama sastra sebenarnya
merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari nama yang digunakan dalam
masyarakat bahasa asing, khususnya eropa. Dalam bahasa Inggris sastra dinamakan
literature, dalam bahasa Jerman sastra dinamakan literature, dalam bahasa Perancis
literature. Nama susastra digunakan yang kurang lebih berarti “tulisan yang indah”
juga digunakan dalam masyarakat Eropa tersebut: letterkunde dalam bahasa Belanda,
belles-letters dalam bahasa Perancis. Merujuk dari pendapat Teeuw di atas bahwa
dalam usahanya untuk merumuskan pengertian sastra memusatkan banyak
perhatian pada pengertian tulisan dengan berbagai cirinya.
Rene Wellek dan Austin Waren memberikan pengertian sastra sebagai
berikut:
“Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat social merupakan konvensi dannorma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikankehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupanmanusia.”(Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:109).
Berhubungan dengan istilah sastra, Atar Semi (1993:8) menjelaskan sastra
adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia
dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
31
Jakob Sumardjo dan Saini K. M. (1994:3) menjelaskan bahwa sastra adalah
ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide,
semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan
pesona dengan alat bahasa.
Sastra juga dapat diartikan sebagai hasil kreativitas pengarang yang
bersumber dari kehidupan manusia secara langsung atau melalui rekaannya dengan
bahasa sebagai medianya. Sastra dianggap sebagai karya yang berpusatpada moral
manusia (humanitat), yang di satu sisi terkait dengan sejarah dan padasisi lain pada
filsafat (Darma dalam Retno Winarni, 2009:7).
Dari beberapa istilah sastra di atas yang dikemukakan oleh beberapa ahli
memiliki persamaan bahwa sastra sama-sama menggunakan media atau perantara
berupa bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi bagi masayarakat. Bahasa
diciptakan oleh manusia berdasarkan tempat tinggalnya. Namun, kosa kata dalam
bahasa merupakan kesepakatan antar masyarakat. Selain bahasa, persamaan lain
adalah obyeknya adalah manusia. Ungkapan karya sastra manusia tersebut berupa
kehidupan sehari-hari atau hasil imajinasi pengarang.
Sementara itu Sastra menurut Luxemburg (1984 : 5) merupakan sebuah
ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman
menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta
alam, bahkan meyempurnakannya.
Merujuk dari pendapat di atas, sastra memang hidup dan berasal dari
masyarakat. Masyarakat mampu menciptakan karya sastra merupakan masyarakat
32
yang memiliki daya kreatifitas yang tinggi. Hasil karya tersebut akan dinikmatioleh
pembaca dan dijadikan pandahuan dalam kehidupan. Di mana karya sastra
mempunyai ide, gagasan dan nilai-nilai kehidupan yang baik dan patut diikuti oleh
masyarakat.
Secara intuitif, kita ketahui bahwa sastra termasuk dalam seni, tetapi juga
lebih dari seni. Sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih
luas daripada yang bersifat estetik (seni) saja.Sastra selalu melibatkan pikiran pada
kehidupan sosial, moral, psikologi dan etika. Dengan demikian sastra cenderung
menjadi lebih penting dan menarik perhatian pembaca dari pada bentuknya sebagai
penjelmaan pengungkapan seni. Pembicaraan sastra lebih banyak berhubungan
dengan kehidupan yang dipaparkan dalam karya sastra dari pada masalah estetikanya
(Sastrowardoyo dalam Nani Tuloli, 2000:2).
Sementara itu Nani Tutoli (2000:2) mengatakan bahwa sastra merupakan
ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran
atau imajinasi ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, wawasan
pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasimurni pengarang yang
tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan
dapat pula sebagai campuran semuanya itu.
Merujuk dari beberapa pendapat di atas, untuk memudahkan pengertian sastra,
perlu dikembangkan beberapa pandangan sebagai berikut:
a. Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, yang berlaku pada puisi dan prosa.Misalnya terdapat paralisme, kiasan, penggunaan bahasa yang
33
tidak gramatikal, peristiwaan dan sudut pandang yang bermacam-macam. Maka untuk mengerti sastra kitaharu kembali kepengetahuan tentang bahasa.
b. Ada anggapan bahwa sastra cenderung sebagai fiksi. Fiksi onalitas ini dapat dikaji dalam sastra tulis maupun sastra lisan, juga terdapat pada semua ragam (puisi dan prosa)
c. Penggunaan tanda-tanda khusus dalam sastra, memungkinkan munculnya wawasan bersifat umum tentang keberadaan menusiasosial atau budaya dan intelektual.
d. Dengan memahami sastra sebagai sebagai karya fiksi, serta hubungan antara yang khusus dan umum, kita dapat menginterpretasikan sastra sesuai dengan wawasan kita. Dalamteks sastra, secara implisit terdapat banyak “tempat terbuka” bagi penafsiran dan pemahaman.
e. Penciptaan karya sastra berada pada ketegangan antara kreatikvitas dan konvensi. Karya sastra itu di satu pihak tergantung (terkait)dengan konvensi sastra, tetapi pada sisi lain dituntun keaslian dan kraatifitas peniptaan (Nani Tuloli, 2000:2-3)
Definisi-definisi sastra yang ada dijadikan patokan tentang pengertian sastra,
umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan gambaran
pengertian sastra secara utuh. Keparsialan definisi tersebut oleh Luxemburg
(1984:4)digolongkan menjadi empat bagian yang meliputi:
a. Definisi yang mencakup aspek terlalu banyak, sering dilupakan antara definisi deskriptif mengenai sastra itu apa. Dengan devinisi evaluative yang berkaitan dengan nilai yang menentukan suatu karya bernilai tinggi atau tidak.
b.Definisi yang merupakan definisi ontologism, yaitu definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil melupakan bahwa hendaknya didefinisikan didalam situasi para pemakai atau pembaca sastra, norma dan deskripsi sering dicampur baurkan sehingga tidak disadari bahwa sementara karya untuk orang ini termasuk sastra sedang munurut orang lain bukan sastra.
c. Definisi yang terlalu dititik beratkan pada contoh sastra Barat. Khususnya sejak jaman Renaissance, tanpa memperhitungkan sastra di luar jaman tersebut. Padahal di luar kebudayaan sastra Eropa, banyak dijumpai sastra yang berbeda yang mempunyai kekhasan.
d. Definisi yang hanya berkecenderungan dengan jenis-jenis sastra tertentu sehingga tidak relevan apabila diterapkan pada semua jenis sastra.
34
Pengertian tentang sastra (Luxemburg, 1984: 3-4) juga berlaku pada zaman
romantik. Beberapa pengertian sastra pada zaman romantik;
a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah
imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses
penciptaan di alam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama
merupakan sesuatu luapan emosi yang spontan.
b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada yang lain, sastra tidak bersifat
komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri.
Dalil ini masih bergema di hampir setiap pendekatan terhadap sastra.
c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu
pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam antara
bentuk dan isi.
d. Sastra menghindarkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan.
Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya ada pertentangan antara
yang di sadari dan yang tidak di sadari, antara pria dan wanita, antara roh dan
benda, dan seterusnnya.
e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa sastra adalah hasil
kreatifittas masyarakat yang berupa ide, pengalaman, pemikiran dan perasaan melalui
media bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imajinasi ini dapat
berupa titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan
kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan dengan
35
kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai
campuran semuanya itu.
b. Pengertian Sosiologi
Nyoman Kutha Ratna (2011:1) menjelaskan bahwa sosiologi berasal dari akar
kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi
(logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami
perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi
sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat,
ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia
dalam masyarakat , sifatnya umum, rasional dan empiris.
Soerjono Soekanto (2010: 4) merumuskan “secara etimologis sosiologi sastra
berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata Yunani yang
berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan:
Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang disekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi sastra juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala ab normal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (Soerjono Soekanto, 1993: 395)
Swingewood (dalam Faruk, 2010: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai
studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dan masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.
36
Berkaitan dengan pendapat di atas, Giddens dalam Faruk
(2010:18)mengatakan bahwa :
“…The study of human sosial life, groups, dan societies.it is a dazzlingand compelling enterprise, having as its subject matter our own behavior assosial beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the analysisof passing encounters between individuals in the street up to the investigation ofglobal sosial processes.”
Bertumpu pada penjelasan di atas bahwa Giddens dalam Faruk (2010:18)
mengatakan studi tentang kehidupan manusia, kelompok dan masyarakat. Studi
tersebut merupakan permasalahan manusia dalam kehidupan sosial. Ruang lingkup
sosiologi sangat luas mulai dari individu sampai proses sosial dalam masyarakat.
Selanjutnya Pitirim Sorokin dalam Soerjono Soekanto (2010: 17) mengatakan
bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masayarakat dengan politik dan lain sebagainya);
b. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya);
c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala – gejala sosial.
Abdul Syani (2007:5) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
pengetahuan yang mempunyai obyek studi masyarakat. Sosiologi berkembang
didalam masyarakat. Masyarakatlah yang menjadi obyek ilmu. Baik itu dilihat dari
aspek sosial, aturan, adat-istiadat, kebudayaan dan sebagainya.
Sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana ditemukan dan
dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan (Faruk, 2010:17).
Sebuah usaha untuk menemukan aturan, hukum dan pola-pola yang berulang dan
37
berlangsung dalam waktu relatif lama. Hal ini disebabkan obyek pengalaman dalam
kehidupan sehari-hari berlangsung tak beraraturan. Pengalaman tersebut senantiasa
berubah, hilang sesaat atau muncul kembali.
Michael Zeratta dalam Elizabeth dan Tom Burns (1973:11) mendefinisikan
sosiologi dalam novel:
In the sociology of the novel, sociologi is dealing with an art. True,narrative fiction is contained within language and takes most of its owncharacter from it; the form and content of the novel derive more closelyfrom sosial phenomena than do those of other arts, except perhapscinema; novels often seem bound up with particular moments in thehistory of society; we are none the less concerned with a specific art.
Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu seni. Adalah
benar, fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk karakternya sendiri paling
banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil lebih dekat fenomena social
dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film; novel seringkali terlihat berhubungan
dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah manusia.
Suatu paradigma sosiologi mempelajari apa yang disebut sebagai institusi-
institusi sosial dan struktur sosial. Institusi sosial menurut Ritzer (dalam Faruk,
2010:19) adalah nilai-nilai dan norma-norma bersama yang diwujudkan dalam suatu
kebudayaan atau sub kebudayaan. Atau dalam pengertian yang lain:
“aways of actingand thingking that the individuals find preestablished,…already made,…imposed more or less in him … and that willsurvive him”
Sedangkan struktur sosial adalah:
38
“the net works of sosial relations in which processes of sosial interactionbecome organized and through which sosial positions of individuals andsubgroups become differentiated”
Berdasarkan penjelasan di atas institusi sosial menurut Ritzer (dalam Faruk,
2010:19) adalah cara berfikir seorang individu sudah ada dalam dirinya. Strutur social
merupakan hubungan interaksi sosial yang terorganisasi dalam individu dan
kelompok sosial yang berbeda.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang timbul dalam
masyarakat yang bersifat umum, rasional dan empiris.
c. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki
paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang
telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.Penelitian
penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah
ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan
resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut.
Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-
persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebutpara
kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara
pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi
dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa
39
karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh
lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams,1971:178).
Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum
Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang
ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1978:3) berkaitan dengan
kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra
yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi
sastra.
Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi
dewasa ini (das sein) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya
karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut Nyoman Kutha
Ratna (2011: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra
dengan masyarakat, antara lain:(1) Pemahaman terhadap karya sastra dengan
pertimbangn aspek kemasyarakatannya;(2) Pemahaman terhadap totalitas karya yang
disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya;(3) Pemahaman
terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang
melatarbelakangi; (4) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara
sastra dengan masyarakat; dan (5) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits
interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Endraswara (2010: 79) dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra,
memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada
40
masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia
dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi.
Lebih lanjut Nurhayati Harahap (2006 : 31-32) dalam Jurnal Ilmiah dan
Bahasa menjelaskan bahwa sebuah karya sastra didekati dari hal-hal yang berada di
luar sastra itu sendiri (ekstrinsik) dengan memfokuskan perhatiannya pada latar
belakang sosio budaya. Dalam ilmu sastra, pendekatan ini disebut sosiologi sastra,
yaitu pendekatan sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatannya.
Segi kemasyarakatan berhubungan dengan masyarakat yang berada di sekitar sastra
itu, baik penciptanya, gambaran masyarakat yang diceritakannya itu dan pembacanya.
Sementara, Faruk (2010: 1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra
sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi sosiologi
berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan,
bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Lewat
penelitian mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan keluarga
yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut struktur sosial, agama,
ekonomi, politik, dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang
disebut sebagai struktur sosial, sosiologi dikatakan memperoleh gambaran mengenai
cara-cara menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat
tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural
yang dengannya individu individu dialokasikannya pada dan menerima peranan
tertentu dalam struktur sosial itu.
41
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian
penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi.
Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan
aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian
yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 332) ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan
demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut; (1)
Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh
penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat;(2) Karya sastra hidup dalam
masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang
pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat; (3) Medium karya sastra baik lisan
maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat dengan sendirinya telah
mengandung masalah kemasyarakatan; (4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan,
agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik,
etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga
aspek tersebut; (5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat
intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai
salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar
dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah berperan sebagai
mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat
42
jelata, dan sebagainya. Perkembangan sosiologi sastra modern tidak terlepas dari
Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi sastra modern yang pertama membicarakan
latar belakang timbulnya karya sastra besar, menurutnya ada tiga faktor yang
memengaruhi, yaitu ras, saat, dan lingkungan (Abrams, 1971: 178).
Hubungan timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang
menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya
sastra. Sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti
ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multi interpretable tentu kadar
“kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang penting peneliti sosiologi karya
sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras, saat, dan lingkungan.
Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai yang menonjol dilakukan oleh
kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang
dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan suatu refleksi
lingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi
sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang
dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun
mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra,
kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini
melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan kenyataan,
selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok.
43
Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah
sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini
Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui,
yaitu (a) afirmasi ( merupakan norma yang sudah ada, (b) restorasi ( sebagai
ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan mengadakan
pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku, (d) inovasi (dengan
mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood
(1972: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan
kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena disamping sebagai makhluk sosial
budaya akan sangat sarat termuat dalam karyasastra. Hal inilah yang menjadi bahan
kajian dalam telaah sosiologi sastra.
Berkaitan dengan sosiologi sastra Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
dalam Soerjono Soekanto (2010: 18) menyatakan bahwa sosiologi sastra atau ilmu
masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial,
termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan
antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah (norma-norma sosial),
lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sertaapisan-lapisan sosial. Proses
sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagaisegi kehidupan bersama,
umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi
kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara
segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu
44
proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan
di dalam struktur sosial.
Sosiologi sastra Indonesia dengan sendirinya mempelajari hubungan yang
terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra (di) Indonesia, gejala-gejalabaru
yang timbul sebagai akibat antar hubungan tersebut (Nyoman Khuta Ratna,2011: 8).
Jadi, sosiologi sangat erat hubungannya dengan apa yang ada dalam masyarakat.
Dengan demikian, sosiologi tumbuh tidak dengan kekosongan sosial.
Sastra tidak dapat dilepaskan dari lembaga-lembaga sosial, agama, politik,
keluarga, dan pendidikan atau sosial budaya. Hal ini dapat dipahami karena
pengarang mempunyai latar belakang sosial budaya pada saat dia menciptakan karya
sastra itu. Latar belakang budayanya menjadi sumber penciptaan, yang
mempengaruhi teknik dan isi karya sastranya (Nani Tuloli, 2000: 62).
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai
disiplin yang berdiri sendiri. Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak
penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami
kemunduran. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama
dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satun acara adalah
mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat, memahaminya sebagai
bagian yang tak terpisahkan dengan system komunikasi secara keseluruhan (Nyoman
Kutha Ratna, 2011: 332).
45
Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra
dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan
dengan kenyataan (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 11).
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra
dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan
meliputi tiga macam, yaitu:
a. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu
sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi.
Pada umumnya di sebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi di
sebut refleksi
b. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antar struktur,
bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan antar struktur, bukan aspek-
aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
c. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan
oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan
penelitian karya sastra sebagai kedua (Nyoman Kutha Ratna,2011:339-340).
Dikaitkan dengan perkembangan penelitian karya sastra, penelitian yang
kedualah yang dianggap lebih relevan. Dibandingkan dengan model penelitian yang
pertama dan ketiga, dalam penelitian yang kedua karya sastra bersifat aktif dan
dinamis sebab keseluruhan aspek karya sastra benar-benar berperanan. Selanjutnya
dikaitkan dengan ciri-ciri sosiologi sastra kontemporer, justru masyarakatlah yang
mengkondisikan karya sastra bukan sebaliknya.
46
Wellek dan Werren (1993: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut:
Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yangberkaitan di
sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan
ideologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarangdi luar karya sastra,
karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai
makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat
meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam halini, informasi tentang
latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam
pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellekdan Warren,1993:112).
Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang
menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang
menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari
sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial.(Wellek dan Warren,
1993:122). Beranggapan dengan berdasarkan padapenelitian Thomas Warton
(penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan
merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton danpara pengikutnya sastra adalah gudang
adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra,
pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru
kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh
dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam
47
Damono, 1978: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut:
Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi social
sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk
juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama
harus diteliti yang berkaitan dengan: (a) bagaimana pengarang mendapat mata
pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara
langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya,
dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat
dianggap cermin keadaan masyarakat.Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur,
karena itu, banyak disalah tafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan
dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak
dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri
masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia
ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi
pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering
merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh
mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat
secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.
Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk
48
mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan
sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai
sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan(1) sudut pandang
ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya
pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan
perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu
dengan cara menghibur.
Rahmat Djoko Pradopo (2001: 159) menyatakan sasaran sosiologi dapat
diperinci ke dalam beberapa bidang pokok seperti berikut: (a) Konteks social
pengarang. Konteks sosial pengarang membicarakan hubungannya dengan status
sosial sastrawan dalam masyarakat, masyarakat pembaca, serta keterlibatan
pengarang dalam menghasilkan karya sastra; (b) Sastra sebagai cermin masyarakat.
Maksudnya, sastra dianggap sebagai gambaran keadaan masyarakatnya dan (c)
Fungsi sosial sastra. Pada bidang ini terdapat hubungan antara nilai sastra dan nilai
sosial.
Selanjutnya Swingewood mendeskripsikan berbeda mengenai masalah
sosiologi sastra tersebut. Ia mengklasifikasikannya sebagai berikut.
a. Sosiologi dan sastra yang membicarakan tentang tiga pendekatan. Pertama,
melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencerminkan waktu
zaman. Kedua, melihat segi penghasil karya sastra terutama kedudukan sosial
49
pengarang. Ketiga, melihat tanggapan atau penerimaan masyarakat terhadap
karya sastra.
b. Teori-teori sosial tentang sastra. Hal ini berhubungan dengan latar belakang
sosial yang menimbulkan atau melahirkan suatu karya sastra.
c. Sastra dan strukturalisme. Hal ini berhubungan dengan teori strukturalisme.
d. Persoalan metode yang membicarakan metode positif dan metode dialektik.
Metode positif tidak mengadakan penelitian terhadap karyasa sastra yang
digunakan sebagai data. Dalam hal ini karya sastra yang dianggap sebagai
dokumen yang mencatat unsur sosio budaya, sedangkan metode dialektik hanya
menggunakan karya yang bernilai sastra. Yang berhubungan dengan sosio
budaya bukan setiap unsurnya, tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan
(dalam Umar Yunus,1986:1-2).
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat
meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif
ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial,
budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan
masyarakat terhadap teks sastra. Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh
tempat dalam penelitian sastra karena sumber sumber yang dijadikan acuan mencari
keterkaitan antara permasalahan dalamkarya sastra dengan permasalahan dengan
masyarakat lebih mudah diperoleh. Disamping itu, permasalahan yang diangkat
50
dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat. Dalam
bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams(1971: 178) menulis bahwa dari
sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti
yaitu: (1) Penulis dengan lingkungan budaya tempat iatinggal; (2) Karya, dengan
kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya;(3). Audien atau pembaca.
Lain halnya dengan pendapat Grebsten (dalam Damono, 1978)
mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra sebagai berikut:
Pertama karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari
lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus
dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap
karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor
sosial dan kultural. Karya sastra itu sendirimerupakan objek kultural yang rumit.
Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
Kedua gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk
dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu
ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan
berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan
yang sungguh-sungguh.
Ketiga setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah
suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam
hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam
arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak tanduk tertentu,
51
melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat di dalam kehidupan dan menampilkan
tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra dalah eksprimen moral.
Keempat masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama,
sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi
yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian
bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau
menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
Kelima kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang
tampa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah
kegiatan yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak
dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya, melainkan
dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni besar.
Keenam kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun
sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih
yang sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda
kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi member penafsiran seperti yang
dibutuhkan oleh masa kini.Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan yang
berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya.
Lanjut Damono (1978: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada didunia ini
sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada didunia gagasan.
Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu
kenyataan.
52
Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984: 220) mengatakan bahwa
dunia empirek tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat
mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis,
penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataanitu. Oleh karena itu,
seni yang baik harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati.
Seniman harus menyadari bahwa lewat seni diahanya dapat mendekati yang ideal.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas
dari manusia dan masyarakat yang berpusat pada karya sastra sebagai objek yang
dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih
mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial yang melatarbelakangi
masyarakat tersebut.
Berdasarkan teori tentang pengertian sosiologi sastra dari beberapa ahli diatas,
Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sebagai kajian dalam penelitian ini
dianalisis berdasarkan sosiologi sastra Wellek dan Werren, aspek sosiologi sastranya
yaitu sosiologi pengarang dan sosiologi karya sastra. Sosiologi pembaca menurut
Wellek dan Werren dalam penelitian ini tidak dianalisis.
Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani, Novel Negeri Lima Menara
bercerita tentang kehidupan di Pondok Madani atau Pondok Gontor khusus Putra.
Pengarang novel tersebut dalam menciptakan karyanya terinspirasi dari pengalaman
pribadinya. Novel tersebut bercerita mengenai pengarang sebagai tokoh utama.Di
mana pengarang bercerita tentang pertama kali masuk ke Pondok Madani samapai
lulus, ketidaksukaan pengarang masuk Pondok, pandangan pengarang terhadap
53
kehidupan di pondok dan pemberontakan hati pengarang. Pandangan pengarang
terhadap kehidupan pondok itulah yang akan di analisis dalam penelitian ini.
Sosiologi karya sastra menurut Wellek dan Werren, seperti yang dijelaskan di
atas bahwa sosiologi karya sastra memperlajari makna yang terdapat dalam karya
sastra tersebut. Dalam hal ini karya sastra berupa novel Negeri Lima Menara. Selain
makna juga dipelajari tujuan yang terdapat dalam karya sastra.
Sosial Budaya, analisis sosiologi sastra menurut Wellek dan Werren
khususnya sosiologi karya sastra. Sosiologi tersebut membahas mengenai karya sastra
itu sendiri atau sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai
potret kenyataan sosial. Salah satunya yaitu sosial budaya.
3. Hakekat tentangAspek Sosial Budaya
a. Pengertian Aspek Sosial Budaya
Menurut Fatimah Djajasudarma (1999: 26) aspek adalah cara memandang
struktur temporalintern suatu situasi yang dapat berupa keadaan, peristiwa, dan
proses. Keadaan bersifat statis, sedangkan peristiwa bersifa tdinamis. Peristiwa
dikatakan dinamis jika dipandang sedang berlangsung (imperaktif). Sosial artinya
kebersamaan yang melekat pada individu (Soelaeman, 1998: 123).
Jadi, aspek sosial dapat diartikan sebagai penginterpretasian terhadap sudut
pandang masyarakat. Aspek sosial merupakan sesuatu yang memperhitungkan nilai
penting antara sastra dan masyarakat, sehingga untuk memahami permasalahan dalam
suatu karya sastra, akan berhubungan dengan realita sosial yang terdapat dalam
masyarakat. Aspek sosial suatu karya sastramenangkap kenyataan kehidupan melalui
54
berbagai permasalahannya. Selarasdengan itu, Nyoman Kutha Ratna (2011: 11)
menyatakan bahwa:
Analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mestimemberikan masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam pengertian yang negatif. Artinya, antar hubungan yang terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antar hubungan akan menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing.
Jadi, karya sastra hampir mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
sehingga karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat. Karya sastra yang
dihasilkan pengarang di dalamnya memuat masalah-masalah yang terdapat dalam
masyarakat. Dalam hubungan inilah, pengarang merupakan wakil dari masyarakat.
Oleh karena itu, penelitian terhadap karya sastra pada dasarnya identik dengan
meneliti seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Sebagaimana pendapat Luxemburg (1984: 23-24) yang membuat hubungan
antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan berbagai cara.
(a) Yang diteliti ialah faktor-faktor di luar teks sendiri, gejala konteks sastra: teks
sastra itu tidak ditinjau. Misalnya, dengan meneliti kedudukan pengarang di
dalam masyarakat, sidang pembaca, penerbitan, dan seterusnya.
(b)Yang diteliti ialah hubungan antara aspek-aspek teks sastra dan susunan
masyarakat. Penilaian tidak hanya berdasarkan norma-norma estetik melainkan
juga norma-norma politik dan etik.
Soelaeman (1998: 173) menyatakan bahwa aspek sosial dibedakan menjadi
beberapa bagian yang diuraikan sebagai berikut.
55
a. Budaya yaitu nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya dimiliki
bersama oleh anggota suatu masyarakat.
b. Pedesaan dan perkotaan yaitu suatu persekutuan hidup permanen pada suatu
tempat sifat yang khas.
c. Ekonomi, meliputi kemiskinan adalah kurangnya pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan beradadi garis kemiskinan apabila
pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Lebih lanjut, Soelaeman (1998: 5) mengemukakan bahwa kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial selalu dihadapkan kepada masalah sosial yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan. Masalah sosial ini timbul sebagai akibat dari
hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan akibat tingkah lakunya. Masalah
sosial ini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain
karena adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan dan kebudayaannya, sifat
kependudukannya, dan keadaan lingkungan alamnya. Masalah-masalah sosial
merupakan hambatan dalam usaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
Pemecahannya mengunakan cara-cara yang diketahauinya dan yang berlaku tetapi
aplikasinya menghadapi kenyataan, halyang biasanya berlaku telah berubah, atau
terlambat pelaksanaannya. Masalah masalah tersebut dapat terwujud sebagai masalah
sosial, masalah moral, masalah politik, masalah ekonomi, masalah agama, atau
masalah-masalah lainnya (Soelaeman, 1998: 6).
Menurut Soerjono Soekanto (2010: 54-55) yang dimaksud proses-proses
sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila para individu dan
56
kelompok-kelompok saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk hubungan
tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang
menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Atau dengan perkataan lain,
proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan
bersama. Tiga bentuk interaksi sosial yaitu Persaingan (Competition) dapat diartikan
sebagai suatu proses sosial, di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang
bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa
tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok
manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka yang
telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan (Soerjono Soekanto, 2010:
83). Adapun pertentangan (Pertikaian atau Conflict) adalah merupakan suatu proses
sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan
jalan menantang lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. (Soerjono
Soekanto, 2010: 91).
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek sosial
adalah hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan timbal-balik antar
individu, antarkelompok manusia, maupun antara orang dengan kelompok manusia
dan masalah sosial ini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain karena adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan dan kebudayaannya,
sifat kependudukannya, dan keadaan lingkungan alamnya. Aspek sosial masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lain berbeda.
57
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culuture, yang berasal dari bahasa latin Colore, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture
juga kadang diartikan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Edward Burnett Tylor (dalam Alo Liliwori, 2009: 107) menjelaskan bahwa
kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Adapun Bounded et. al (dalam Alo Liliwori,
2009: 110) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh
pengembangan dan transmisidari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol
tertentu, misalnya symbol bahasa sebagai rangkaian simbol, yang digunakan untuk
mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan
tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintahan,
institusi agama, sistem pendidikan dan bermacam-macam.
Adapun P. Hariyono (2009: 23-24) mendefinisikan bahwa kebudayaan
berdasarkan pengertian luas dan pengertian sempit sebagai berikut,
1) Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia melalui proses belajar. Istilah kebudayaan untuk menunjuk dan
menekankan hasil karya fisikmanusia, sekalipun hasil karya fisik manusia ini
58
sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola pikir (gagasan) dan pola perilaku
(tindakan manusia).
2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut istilah budaya atau sering disebut
kultur yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan.
Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai-nilai yang
digunakan oleh kelompok manusia dalam berpikir dan bertindak.
Kebudayaan (Koentjaraningrat, 2000: 9) adalah keseluruhan gagasan dan
karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari
budi dan karyanya itu. Lebih lanjut, Koentjaraningrat (2000: 5) berpendapat bahwa
kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-
nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Berdasarkan berbagai definisi kebudayaan menurut para ahli di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan adalah sesuatu yang akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan
itu bersifat abstrak. Adapun, perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai mahkluk yang berbudaya, berupa perilaku, bahasa,
59
peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain,yang semuanya ditujukan
untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Unsur-unsur kebudayaan adalah rincian suatu kebudayaan agar dapat
kebudayaan yang khusus. Ada tujuh unsur kebudayaan yang merupakan isipokok dari
setiap kebudayaan yang bersifat universal, yang artinya ada dalam setiap kebudayaan
dunia. (Hadi Rahman, 2009: 40).
Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan antara lain C. Kluckhohn dalam bukunya Universal Categories of
Culture membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang kemudian dijadikan
kerangka umum. Berdasarkan itu pulalah, Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono,2009:
38 dan Mg. Sri Wijiyati, 2007: 133) memaparkan tujuh unsur kebudayaan sebagai
berikut: (1) Sistem religi yang meliputi: sistem kepercayaan, sistem nilaidan
pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan; (2) Sistem
kemasyarakatan atau organisasi sosial: kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem
kenegaraan, sistem kesatuan hidup dan perkumpulan; (3) Sistem pengetahuan: Flora
dan fauna, waktu, ruang dan bilangan dan tubuh manusia dan perilaku antar sesama
manusia; (4) Bahasa: lisan dan tulisan; (5) Kesenian: seni patung/pahat, relief, lukis
dan gambar, rias, vocal, music,bangunan, dan kesusateraan; (6) Sistem mata
pencaharian; berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan,
perikanan dan perdagangan; dan (7) Sistem peralatan hidup atau teknologi: produksi,
distribusi, dan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk
wadah,pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata.
60
Ketujuh unsur kebudayaan di atas, masing-masing memiliki tiga wujud
kebudayaan.Sehingga tiap-tiap kebudayaan dapat dijelaskan pada 1) wujudbudaya
(gagasan, pola berpikir), 2) wujud sosial (tindakannya, pola aktivitas),dan 3) wujud
fisik. Keseluruhan sistem dalam wujud kebudayaan itu pada akhirnya menjelma
menjadi kebudayaan makro suatu masyarakat, yang memiliki peraturan-peraturan
antar unsur kebudayaan dan wujud kebudayaan (P.Hariyono, 2009: 38).
Unsur-unsur kebudayaan yang disebut cultural universal atau kebudayaan
umum atau universal dapat dijumpai dalam kebudayaan manapun kebudayaan yang
bersifat pokok.Meminjam istilah Ralph Liton kebudayaan umum dapat dibagi lagi
menjadi unsur-unsur yang lebih kecil yang disebut cultural activity atau kegiatan-
kegiatan kebudayaan. Cultural activity dapat dipecah lagi menjadi unsur-unsur yang
disebut triat complex atau rincian darikegiatan kebudayaan.Trias complek dibagi lagi
atas unsur-unsur traits. Dan traits dapat dibagi lagi atas items atau bagian terkecil
yang membentuk traits.
Keterangan:
Cultural universal :mata pencaharian dan sistem-sistem sosial
Cultural activity : pertanian, nelayan, peternakan, dsb
Triats comple :sistem irigasi, teknik menanam, system mengolah tanah
Trait : sistem mengolah tanah dengan dibajak
Items : unsur-unsur kecil dapat melepaskan diri satu sama lain
(Mg. Sri. Wiyarti, 2007: 134-135)
61
Menurut Koentjaraningrat (2000: 5), ada tiga wujud kebudayaan sebagai suatu
sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu
rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola.
Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,norma-norma peraturan dan sebagainya. Wujud iniadalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat dirabaatau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala. Atau denganperkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di manakebudayaan bersangkutan itu hidup. Kedua, wujud kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenaikelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sitem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi disekeliling kita sehari-hari bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterengan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang diraba, dilihat, dan difoto.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas dalam kehidupan masyarakat
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh
karena itu, ada tiga hal yang menjadi kata kunci dalam memahami sebuah
kebudayaan yaitu ide (mantefak), sistem sosial (sosiofak), dan wujud fisik (artefak).
Berdasarkan teori tentang pengertian sosial budaya menurut para ahli diatas,
maka dalam penelitian ini mengacu pada teori sosial budaya yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat (2000: 5) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya
manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari budi dan
karyanya itu. Ada tujuh unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat.
62
Tujuh unsur kebudayaan tersebut adalah (1) Sistem religi yang meliputi: sistem
kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan,
upacarakeagamaan; (2) Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial : kekerabatan,
asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan,sistem kesatuan hidup, perkumpulan;
(3) Sistem pengetahuan : Flora dan fauna, Waktu, ruang dan bilangan, Tubuh
manusia dan perilaku antar sesama manusia; (4) Bahasa : lisan dan tulisan; (5)
Kesenian : seni patung/pahat, relief, lukis dangambar, rias, vokal, musik, bangunan,
kesusateraan; (6) Sistem mata pencaharian: berburu dan mengumpulkan makanan,
bercocok tanam, peternakan, perikanandan perdagangan; (7) Sistem peralatan hidup
atau teknologi : produksi, distribusi,dan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan
konsumsi dalam bentuk wadah, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan
perumahan dan senjata.
Dari tujuh unsur kebudayaan yang dikemukaan oleh Koentjaraningrat tersebut
ada tiga wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari
wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang
berpola Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya; Kedua, wujud kebudayaan yang
sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpoladari manusia itu sendiri;
.Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasilkarya manusia, disebut
kebudayaan fisik.
63
b. Kebudayaan Minangkabau
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik
Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut
kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara
Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan
juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang
seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi
Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut
kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang
itu sendiri).
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu
dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari
tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan
sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk
mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau.
Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan
agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar.
Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut
adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk
hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu
menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal
dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga
64
dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan
itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan
nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk
menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan
Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagara kretagama tahun 1365 M,
juga telah ada menyebutkan nama Minangkabau sebagai salah satu dari negeri
Melayu yang ditaklukannya. Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu
sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan
berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya
yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minanga". Beberapa ahli yang merujuk
dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minanga) dan ke-5 (tamvan....)
sebenarnya tergabung, sehingga menjadi minanga tauvan dan diterjemahkan dengan
makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada
pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan
Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang
membuktikan bahwa "tamvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata
temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya
yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan
penyebutan Minang itu sendiri. Selanjutnya ada beberapa kebudayaan Minangkabau
antara lain sebagai berikut:
65
1. Agama
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika
adamasyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung
yangbersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam
istilahnyadisebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk
melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama
pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri
yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau,
dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman
Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syara'
mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang
dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak
merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap
digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa buktia
keologis pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya,
Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya
Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya
Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya,
walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari 3 raja
Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
66
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar
tahun 1803, memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam dipedalaman
Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat
yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang
Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa Adat berazaskan Al-
Qur'an.
2. Adat dan Budaya
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua
orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk
Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk
Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam
perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasanini saling isi mengisi
dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan
menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik
pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin.
Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang samatingginya.
Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan
masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
3. Matrilineal
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas
masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan
67
bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk
kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut
oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam
keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa
sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan
keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam
posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu
(kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang
disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah). Walau
kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum
lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau
memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang
walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi adat yang diberikan
kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut. Pada setiap individu
Minang misalnya, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan harta pusaka yang
seharusnya dibagi kepada setiap anak menurut hukum faraidh dalam Islam hanya
kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada
anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam
disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri
68
orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota diluar Minang
sekalipun dan mulai mengenal sistem Patrilineal.
4. Bahasa
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia.
Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan
bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai
bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan
di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa
mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa
Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur
bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung
kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari
Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamilyang
dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan
bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam
yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawa
dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
5. Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan
kesenian,seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun
perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan
69
tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan
rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring
merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang
piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan
oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas
suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang
bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan
nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran
(acting) berdasarkan skenario.
Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada
tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat
dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran,
kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata seseorang
diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan
senjata dan kontak fisik.
6. Rumah Adat
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya
dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara
turun temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi
atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan
seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk
70
kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum
berganti dengan atap seng. Di halaman depan rumah gadang, biasanya didirikan dua
sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi
milik keluarga yang menghuni rumah gadang tersebut.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi
penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri,
menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya
tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang
tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat
tinggal lelaki dewasa namun belum menikah. Selain itu dalam budaya Minangkabau,
tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang
telah berstatus nagari saja, rumah adat ini boleh ditegakkan.
7. Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa
penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti
dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki
Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak
keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses
dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek,
mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang
(meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang
71
(bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan
hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan
secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di
pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab Kabul di depan penghulu atau tuan kadi,
mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya.
Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar
panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di
kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini
tidak berlaku.
8. Masakan Khas
Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya, dengan cita rasa
yang pedas, serta dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara, bahkan sampai
keluar negeri. Walau masakan ini kadang lebih dikenal dengan nama Masakan
Padang, meskipun begitu sebenarnya dikenal sebagai masakan etnik Minang secara
umum. Rendang salah satu masakan tradisional masyarakat Minang, pada tahun 2011
dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most
Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International.
9. Sosial Kemasyarakatan
a) Persukuan
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari
organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental.
Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu perempat,
72
sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat
dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami
kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis
keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek
moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit
ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-
sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta
pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum keluarga. Harta
pusaka tidak dapat diperjual belikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta
pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga
dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa
musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau
disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapa yuang disebut
saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang secara
bersama-sama.
b) Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah
otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau.Tidak ada kekuasaan sosial dan
politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda
akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin
73
oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di
nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil
musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang
mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah
terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk
mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-
lomba meningkatkan prestise kaum keluarganya dengan mencari kekayaan
(berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah
pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak
manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba
Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai
dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi
Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi
Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang
mendomisili kawasan tersebut. Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut
dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam
mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari tersebut.
c) Penghulu
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum
keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan
74
kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-
laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki - laki yang pandai
berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini
dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum,
membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap
penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari
semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik
intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan
ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit
jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga
lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu
dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan
suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya
memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama
terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan
untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu
memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu
muncul dari keluarga kaya.
75
d) Kerajaan
Dalam laporan de Stuers kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan
bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan
pemerintahan terpusat di bawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari nagari
kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno. Namun
dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta
dari tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada
dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau
Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di
wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan
Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu kawasan
dengan komunitas masyarakat Minang yang signifikan di Semenanjung Malaya. Pada
awalnya masyarakat Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Alam
Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang
sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
c. Kebudayaan Pesantren
1. Unsur-unsur sebuah pesantren
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna
perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat.
Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama
bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe
76
di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka
pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid
(2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akad emimiliter atau biara (monestory,
convent) dalam arti bahwa mereka yang berada disana mengalami suatu kondisi
totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh
nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat,
dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu
membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di
Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan
atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok
pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) Unsur-
unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau
kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren
dengan lembaga pendidikan lainnya.
2. Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan
pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial.
Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung
pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai.
Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral
dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).
77
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa
(Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis
gelar yang berbeda, yaitu: (1) sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta
emas yang ada di Kraton Yogyakarta; (2) gelar kehormatan bagi orang-orang tua
pada umumnya; (3) gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama
Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab
Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55).
3. Masjid
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi
Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk
tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat
kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek
kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren,
masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri,
terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat,
dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.”(Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-
tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren
adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
4. Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah
pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah
78
bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu
sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bias disebut kyai dan
mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri
mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok
tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di
pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi
tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau
puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh.
Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh
merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita,
memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan
dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).
5. Pondok
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan
tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya
pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan
jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas
dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri,
asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri
dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga,
79
kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang
bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa
yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama
para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan
ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat
sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri
dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama ini
merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren
dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah
Minangkabau yang disebut surau atau system yang digunakan di Afghanistan
(Dhofier, 1985:45).
6. Kitab-Kitab Islam Klasik
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk
pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab.
Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh
karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Menurut Dhofier
(1985:50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-
satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat
ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai
suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-
kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi pada umumnya, pelajaran dimulai
80
dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang
lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis-jenis kitab
yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab
islam klasik, termasuk: 1) nahwu dan syaraf (morfologi); 2) fiqh; 3) usul fiqh; 4)
hadits; 5) tafsir; 6) tauhid; 7) tasawwuf dan etika; dan 8) cabang-cabang lain seperti
tarikh dan balaghah. Semua kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut
tingkat ajarannya, misalnya tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan
di pesantren di jawa pada umumnya sama (Dhofier, 1985:51).
7. Sejarah perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
Sejak awal masuknya islam indonesia, pendidikan islam merupakan
kepentingan tinggi bagi kaun muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita
ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia
dajajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita
pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa
kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan
baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang
mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan
Islam Pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang
membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan
berikut.
81
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan
Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren.
Tidak begitu lama setelah itu, dikelurkan ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan
bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah
setempat. Pereturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi
siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932
peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah
yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh
pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149).
Peraturan-peraturan Tersebut membuktikan kekurangan kebijaksanaan
pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan islam di Indonesia. Namun
demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa
kemerdekaan Indonesia. Setelah penyeraha kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah
Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan
membuka secara luas jabatan-jabatan dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak
kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan
Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu
tertarik kepada pendidikan pesantren dibandingkan dengan anak-anak muda yang
ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya
banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak
(dhofier 1985:41).
82
Jika kita meliahat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan
pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI,
memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan pertumbuhan
sistem pendidikan islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata
sangat terbatas. Akan tetapi apa yang dapat saksikan dalam sejarah adalah
pertumbuhan pendidkan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang
dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di
Indonesia.
4. Kajian tentang Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel
a. Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna
bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki
ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai.
Persahabatan sebagai nilai (positif/baik) tidak akan berubah esensinya manakalah ada
pengkhianatan antara dua bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada
bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung.
Nilai pada hakikatnya adalah hal-hal penting yang berhubungan dengan
manusia. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang menentukan sesuatu benda atau
perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang lain (Atar Semi, 1988:54). Lebih lanjut
Atar semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah bagaimana usaha untuk
83
menentukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta tentang apa yang dikehendaki
atau ditolak.
Rieseri Frondosi (2007:20) menjelaskan bahwa nilai bersifat objektif dan
subjektif, tergantung dari sudut pandang yang memberikan penilaian. Nilai bersifat
objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai juga
dapat bersifat subjektif jika eksistensi, makna, dan validitasnya tergantung pada
reaksi subjek yang melakukan penilaian.
Pengertian nilai menurut Ginanjar (2002:14) adalah berkaitan dengan cara
bertingkah laku yang disukai dan keadaan akhir dari suatu eksistensi. Perbedaan
tingkah laku individu tergantung pada nilai yang diprioritaskan, yaitu
memprioritaskan nilai sosial atau nilai personal.
Dendy Sugono (2003:111) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam
karya sastra adaah sebagai berikut: nilai hedinik; nilai artistik; nilai kultural nilai
etika; moral; agama; dan nilai praktis.
Nilai dapat dibedakan menjadi berikut ini: 1) nilai materi yang mencakup
kebutuha pangan, sandang, dan papan; 2) nilai sosial mecakup kebutuhan bersama
antar sesama yang meliputi kasih sayang, kepercayaan, kehangatan, kemesraan, dan
sebagainya; 3) nilai moral yang meliputi kejujuran dan tanggung jawab atas
kehidupan pribadi; 4) nilai estetika yang menyangkut keindahan dan rasa seni; 5)
nilai spritual yang menyangkut kebutuhan manusia akan kesempurnaan dan
kelengkapan dirinya.
84
Dari pendapat ahli di atas ditarik kesimpulan bahwa nilai adalah keyakinan
yang mampu memengaruhi cara berfikir, cara bersikap maupun cara bertindak dalam
mencapai tujuan hidup jika dihayati dengan baik dan bersifat objektif dan subjektif,
tergantung dari sudut pandang yang memberikan penilaian.
b. Pengertian Pendidikan
Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab I ketentuan umum pasal 1 disebutkan bahwa,
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembagkan potensi dirinyan untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (dalam Seodomo Hadi 2003:108)
Seodomo Hadi (2003:18) mengatakan bahwa pendidikan adalah bantuan
atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak didik
dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan yang
dilakukan. Pendidikan mencakup pengalaman, pengertian, dan penyesuaian diri dari
pihak terdidik terhadap rangsangan yang diberikan kepadanya menuju arah
pertumbuhan dan perkembangan.
Pendidikan pada kakikatnya juga berarti mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari pernyataan tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam pendidikan, yaitu a) cerdas,
berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaiakan persoalan nyata.
Cerdas bermakna kreatif, inovatif dan siap mengaplikasikan ilmunya; b) hidup,
memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik
untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan
85
mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepadaNya. Filosofi hidup
ini syarat akan makna idividualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang,
memanusiakan manusia, memberikan makanan kehidupan berupa semangat, nilai
moral, dan tujuan hidup; c) bangsa, berarti manusia selain sebagai individu juga
merupakan makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan orang lain. Setiap
individu berkewajiban menyumbangkan pengetahuannya untuk masyarakat
meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan yang
diajarkan agama dan pendidikan. Indikator terpenting kemauan suatu bangsa adalah
pendidikan dan pengajaran (Nyoman Khuta Ratna 2010;449).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana, bertanggung jawab mendewasakan anak bangsa melalui
pengajaran dan pelatihan yang dilakukan untuk mewujudkan proses pengubah sikap
dan tingkah laku agar peserta didik aktif mengembangkan potensi diri melalui upaya
pengajaran dan latihan.
c. Pengertian Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel
Dalam karya sastra yang baik sebagai karya imajinasi dan kretivitas
pengarang yang memberiakan pengalaman bagi pembaca. Dengan kreativitas,
seorang pengarang mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga
memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, filsafat
dan beranekaragam pengalaman tentang problematika hidup.
Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya
sastra yang baik (termasuk novel) selalu mengungkapan nilai-nilai luhur yang
86
bermanfaat bagi penikmatnya. Nilai pendidikan yang dimaksud dapat mencapai nilai
pendidikan moral, agama, sosial, maupun estesis (kehidupan). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Herman J. Waluyo (1990:27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada
dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial
(menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan,
dan nilai agama.
Selanjutnya kajian carverand Richard P. Enfield (2006:66) dalam Journal
education and culture, Vol 22 berikut:
Offening an inroduction to both john Dewey’s philosophi of education and the 4-H youth Development Program, this paper darwswclear connctoins between these two topics. Concepts explored include dewey’s principles of contimuity and interction, and contagion with respect to learning. Roles of educational leaders areinvestigated in the context of a discussion about the structuring of opportunities for students habits of meaningful and life learning. Spesific examples are described in depth to demonstrate, from a deweyan perspective, the educational proces and value of 4-H participation. Brief comments are made abouth the place of 4-H in the U.S. system of publik education.
Nilai pendidikan dalam karya sastra penting untuk membangun masyarakat
yang berkarakter kuat. Nilai pendidikan yang tergambar dalam interaksi antar tokoh
dan kebiasaan-kebiasaan tokoh dalam novel sesuai dengan konsep pendidikan
kontekstual.
Nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi
solusi atas sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat
penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerkkan pembaca pada kenyataan dan
menolongnya mengambil suatu keputusan apabila ia menghadapi masalah (M. Atar
Semi, 1993:20) Lubis (dalam H. Nani Toluli 1999:233-234) menambahkan bahwa
87
dalam sastra (khususnya novel) akan melakukan berbagai hal untuk mengubah dan
memperbaiki kehidupan masyarakat. Jadi novel dapat berperan penting dalam proses
perubahan masyarakat itu. Perubahan itu sebagai berikut: a) Menimbulkan kebiasaan
membaca yang sangat dibtuhkan pada era kemajuan IPTEKS; b) menimbulkan rasa
simpati terhadap penderitaan masyarakat dan berusaha menanggulanginya; (c)
Memantapkan budaya yang beretika dan (d) Mencintai kebenaran, keberanian,
kejujuran, ketabahan, dan ketangguhan yang sangat di butuhkan dalam pembangunan.
Dendy sugono (2003: 111) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam
karya sastra adalah sebagai berikut: nilain hedonik (hedonic value), nilai arsistik
(artistik value), nilai kultural (cultural value), nilai etika, moral agama (ethical,
moral, regious value), dan nilai praktis (pratice parue). Berikut penjelasan dari ke
lima nilai trsebut: (a) nilai hedonik (hedonik value), yaitu nilai yang dapat
memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca; (b) nila arsistik (artistik
value) yaitu nilai yang dapat imanifestasikan sebagai suatu seni atau ketemrampilan
dalam melakukan suatu pekerjaan; (c) nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang
dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu
masyarakat, peradaban, keagamaan; (d) nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral,
religius value) yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau
ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama; (e) nilai praktis (pratice
value) yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
88
Novel memiliki berbagai macam tema. Dendy sugono (2003: 111)
menyatakan dengan membaca novel, pembaca akan memperoleh sesuatu yang dapat
memperkaya wawasan atau meningkatkan harkat hidup dengan kata lain, dalam novel
ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Karena itulah, karya sastra yang baik
senantiasa mengandung niai (value).
Sastrowadoyo (dalam H. Nani Tuloli, 1999: 232) menjelaskan bahwa
sebenarnya dalam masyarakat modern kesusastraan dapat berkembang dengan subur
dan nilai-nilanya dapat dirasakan manfaatnya oleh umum. Kesusastraan sendiri
mengandung potensi-potensi ke arah keluasan kamanusiaan dan semangat hidup serta
mengandung ekspresi total pribadi manusia yang meliputi tingkat pengalaman
biologi, sosial, intelektual dan religius. Nilai-nilai seprti itu sangat dibutuhkan oleh
masyarakat modern karena merupakan hasil observasi yang teliti dari pengarang yang
dituangkan dalam karya sastra.
Butir-butir nilai seperti itu banyak terungkap dalam novel dan dapat dijadikan
sebagai bahan kajian, renungan, dan pegangan bagi para pembacanya serta
menumbuhkan sikap positif bagi para pembacanya (H. Nani Tutoli, 1999: 234). Hal
itu sangat mendasar kerena sastra juga mampu eksis dan dapat menjembatani
kehidupan di Indonesia yang plural dan multi kultural, sebagai mana yang dikatakan
Suminto A,. Sayuti (2006: 1) sebagai berikut: (a) sastra mampu menyuarakan
perbedaaan budaya agar saling memahami; (b) Karya sastra umumnya
mengedepankan pluralisme budaya; (c) sastra mempunyai kepedulian yang tinggi
pada mereka yang berbeda secara kultutal; (d) sastra menekankan pentingnya relasi
89
antar manusia yang memusatkan perhatiannya dapat timbulnya sikap positif,
tenggang rasa, berkembangnya konsep diri, dan menerima kehadiran orng lain.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra, yaitu; kedamaian, penghargaan,
cinta, toleransi, kejujuran, kerendahan hati, kerja sama, kebahagiaan, tanggung jawab,
kesederhanaan, kebebasan dan persatuan (a) Kedamaian yang ditandai dengan tidak
adanya kekerasan, adanya penerimaan, komunikasi keadilan, komunikasi, ketenangan
dan sebagainya; (b) penghargaan, yaitu mengenai kualitas individu, karena setiap
individu adalah berharga; (c) cinta yang berarti bahwa dalam pribadi yang baik selalu
ada cinta yang tulus, memberikan kebaikan, pemeliharaan dan pengertian,
melenyapkan kecemburuan dan menjaga tingkah laku; (d) Toleransi. Yakni sifat
terbuka dan reseptif pada indahnya perbedaan atau saling menghargai melalui saling
pengertian; (e) Kejujuran yang berarti mengatakan bahwah kebenaran tidak ada
kontradiksi dalam pikiran, kata atau tindakan serta tidak ada kemunafikan; (f)
kerendahan hati yang artinya mengizinkan diri untuk tumbuh dalam kemuliaan dan
integritas; (g) Kerja sama yang disebabkan karena ada prinsip saling menghargai,
keberanian, pertimbangan pemeliharaan, membagi keuntungan dan adanya
penerimaan; (h) Kebahagiaan sabagai akibat adanya kepuasan; (i) Tanggung jawab,
yaitu melakukan kewajiban dengan sepenuh hati; (j) Kesederhanaan, maksudnya
kemampuan mempertimbangkan hal-hal yang tidak perlu; (k) Kebebasan yang berarti
adanya keseimbangnan antara hak dan kewajiban dan pemilihan seimbang dengan
konsekuensinya; (l) persatuan yang merupakan keharmonisan antara individu dalam
90
suatu kelompok serta dibangun dari saling berbagi pandangan, harapan, dan tujuan
mulia demi kebaikan bersama.
Dengan demikian, novel yang merupakan sala satu genre sastra pasti
mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaan bagi pendidikan batin
pembacanya atau menikmatinya. Dengan demikian, bisa jadi novel dapat memegang
peran penting dalam mengatasi krisis moral maupun menurunnya moral bangsa,
khususnya generasi muda saat ini.
Ada beberapa nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari sebuah cerita (dalam
hal ini novel). Nilai pendidikan itu diantaranya nilai yang dikemukakan oleh Max
scheler. Dalam penelitian nilai-nilai yang diambil untuk menganalisis nilai
pendidikan adalah nilai yang dikemukakan oleh Max scheler, maka nilai-nilai pada
novel dapat di kemukakan sebagai berikut:
1. Nilai Vitalitas atau Kehidupan sosial
Nilai sosial adalah niai yang dianut oleh masyarakat, mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang
menganggap menolong memiliki nilai baik, adapun mencuri bernilai buruk. Nilai
sosial termasuk pada nilai vitalitas atau kehidupan sosial.
Ukuran untuk menentukan suatu itu di katakan baik atau buruk, pantas atau
tidak pantas harus melaluai proses menimbang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat yang satu dan
masayrakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh masyarakat yang tinggal
di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul
91
perubahan-perubahan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih cenderung
menghidari persaingan karena dalam persaingan akan menggangu keharmonisan dan
tradisi yang turun temurun.
Kimbal young mengemukskan nilai sosial adalah asuransi yang abstrak dan
sering tidak disadari tentang apa yang di anggap penting dalam masyarakat adapun
A.W Green memandang nilai sosial sebagai kesadaran yang secata relatif berlangsung
disertai emosi terhadap obyek. Menurut Wooods, nilai sosial merupakan petunjuk-
petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku
kehidupan sehari-hari, (Fikri, 2010).
Burhan Nurgiantoro (2010: 334) mengatakan bahwa banyak karya sastra yang
memperjuangkan nasip rakyat kecil yang menderita, nasip rakyat kecil yang memang
perlu dibela, rakyat kecil yang seprti dipermainkan oelh tangan-tangan kekuasaan,
kekuasaan yang kini lebih berupa kekuatan ekonomi. Memperjuangkan nasip rakyat
kecil yang dimaksud Burhan nurgiantoro adalh perwujudan nilai moral dalam karya
sastra.
2. Nilai Spritual
a) Nilai agama
Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada Nabi sebagai petunjuk
bagi manisia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur
hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, manusia dan masyarakat serta mengatur
hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, manusia dan masyarakat serta alam
sekitarnya.
92
Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada
ketentraman batin, keselarasan an keseimbangan serta sikap meneerima apa yang
terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas mempehatikan apa yang dicari adalah
kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa.
Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiantoro, 2010; 326) mengatakan bahwa,
kahadiran unsur keagamaan dan religius dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra
itu sendiri.
Nilai religus dapat dikatakan nilai dasar kemanusiaan yang berkaitan dengan
ketuhanan secara umum dan diakuih oleh seluruh pemengang agama. Adapun nilai
dasar religius, semua pemeluk agama mengakunya seperti: (1) membantu, membelah
kaum yang lemah; (2) mengakui persamaan derajat manusia (hk azasi manusia); (3)
memperjuangkan keadilan, kebenaran, kejujuran, kemerdekaan dan perdamaia; (4)
menentang adanya penindasan sesama manusia, dan lain sebagainya.
b. Ungkapan Nilai Moral secara Positf dan secara Negatif
Nilai pendidikan merupakan halpenting dan ajaran berguna bagi kemanusiaan
untuk meningkatkan harkat dan martabat serta menjadikan manusia berbudaya. Nilai
pendidikan adalah nilai yang bermoral. Moral merupakan tingkah laku perbuatan
manusia di pandang dari nilai baik-buruk, benar dan salah berdasarkan adat dan
kebiasaan dimana individu itu berada. Nilai moral itu dibagi dua yaitu segi positif dan
segi negatif. Keduahal itu perlu di sampaikan, sebab kita dapat memperolah teladan
yang bermanfaat. Segi positif harus di tonjolkan sebagai hal yang di tiru dan
diteladani. Demikian segi negatif peru juga diketahui serta disampaikan kepada
93
pembaca. Hal ini di maksudkan agar kita kita tidak tersesat, bisa membedakan mana
yang baik mana yang buruk. Seperti halnya orang belajar. Ia akan berusaha untuk
bertindak lebih baik jika tidak tahu hal-hal yang buruk dan tidak pantas dilakukan.
Nilai moral mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan
yang menyangkut harkat dan martabat manusia, mencakup semua persoalan yang
boleh dikatakan tak terbatas.
Setiap karya sastra selalu berorientasi pada hal-hal yang bersifat membangun
melalui pesan moral. Nilai-nilai moral dalam karya sastra dapat dijadikan bahan
perenungan sekaligus menjadi kaidah pendamping dalam menjalankan kegiatan
kehidupan.
Sebuah karya sastra (novel) tentu saja dapat mengandung dan menawarkan
pesan moral, tentunya banyak sekali pesan jenis moral dan wujud ajaran moral yang
dipesankan. Karya sastra disebut memiliki niali moral apabila menyajikan,
mendukung dan menghargai nilai kehidupan yang berlaku. Moral dalam karya sastra
biasanya mencerminkan pandangan hidupn pengarang yang bersangkutan,
pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan
kepada pembaca. Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat. Burhan
Nurgiantoro (2010: 324)
Berdasarkan beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulakan bahwa nilai
moral adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, pesan
tersebut merupakan makna yang terrkandung dalam suatu karya yaitu makna yang
diungkapkan lewat cinta.
94
c. Nilai Budaya
Niali budaya merupakan niai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu
masyarakat, lingkungan organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada
suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karasteristik terrtentu
yang dapat dibedakan dan lainnya sebagai acuan dan prilaku dan tanggapan atas apa
yang akan terjadi atau yang sedang terjadi.
Kluckhon dan Strodtbeck (dalam koentraningrat, 2000: 78) mengatakan
bahwa konsepsi mengenai isi dari nilai budaya yang secara universal ada dalam tiap
kebudayaan menyangkut paling sedikit lima hal, yaitu 1) masalah human nature,
atau makna hidup manusia; 2) masalah man nature, atau makna dari hubungan
manusia dengan alam sekitarnya; 3) masalah time, atau persepsi manusia mengenai
waktu; 4) masalah activity, atau soal makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan
manusia; 5) masalah relational, atau hbungan manusia denga sesama manusia.
Kelima masalah tersebut sering disebut sebagai orientasi nilai budaya (vlue
orientation).
Nilai-nila budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi
atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto atau suatu lingkungan atau
organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya yaitu:
1) Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata.
2) Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut.
3) Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi
kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
95
B. Penelitian yang Relevan
Berkaitan dengan teori di atas diketemukan hasil penelitian terdahulu.
Berikut akan dipaparkan penelitan yang rlevan dangan penelitian ini:
Penelitian yang dilakukan oleh Purwoko tahun 2009 berjudul Novel kutahu
matiku karya Nwi Palupi (tinjauan sosiologi sastra dan nilai pendidikan). Kesipulan
dalam penelitian ini yaitu: (1) latar tempat mempengaruhi sikap dan keyakinan Klara
tentang apa yang di rasakan dan dilihat tetapi yang tidak dapat dilakukan oleh orang
lain; (2) makna nilai pendidikan dengan tinjauan sosiologi, antara lain: (a) Nilai
pendidikan religius atau agama,(b) Nilai pendidikan ilmu pengetahuan, (c) Nilai
pendidikan sosial, (d) nilai pendidikan ekonomi, (e) Nilai pendidikan politik.
Persamaan penelitian ini dengan dengan penelitian Purwoko adalah
pengguanaan pendekatan yang dipakai untuk mengkaji karya sastra yakni sama-sama
menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan pneggunaan obyek penelitian berupa
novel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Purwoko penggunaan obyek
penelitian di atas menggunakan novel Kutahu Matiku karya Nwi palupi sedangkan
obyek penelitian ini adalah novel Negeri Lime Menarakarya Ahmad Fuadi.
Renee N. Easter, Joseph A. Caruso and Anne P. Vonderheide (2010,493-
502) yang dimuat di dalam jurnal OF Language Teaching. Hasil penelitian yang
dimuat di dalam jurnal ini dikemukakan bahwa mencatat perke,bangan novel terbaru
dan aplikasinya sehingga menjadi komprehensif, yaitu dengan mengeksplorasi
kemajuan intrumental yang menunjukkan peningkatan dalam kemampuaan analisis.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Renee N. Easter menggunakan penekatan
96
eksplorasi, adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sosiologi sastra
Casey Brienza (2010, 105-119) yang dimuat didalam jurnal Off Lenguage
Teaching. Hasil penelitian yang dibuat didalam jurnal ini dikemukakan bahwa
pendekatan sosiologi untuk mempelajari seni dan sastra dan menunjukan nilai sebagai
intervensi metodologi dalam biadang studi komik. Pendekatan ini berpendapat bahwa
semua karya seni termasuk komik adalah produk dari aktivitas manusia kolektif.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Casey Brienza adalah penggunaan
pendekatan yang dipakai untuk mengkaji karya sastra yakni sama-sama
menggunakan pendektan sossiologi sastra. Adapun perbedaan penelitian Caey
Brienza dengan penelitian ini adalah penggunaan objek penelitian di atas
menggunakan komik adapun objek penelitian ini adalah novel Negeri Lima Menara
Brian Conway (2010, vol 4) yang di muat didalam jurnal of Language
Teching. Hasil penelitian yang dibuat didalam jurnal ini dikemukakan bahwa
pembelajaran pemahaman dengan cakupan luas tentang ilmu sosial dan ilmu
pengetahuan dalam sosiologi, psikologi, antropologi dan geografi. Persamaan
penelitian ini dengan dengan penelitian Brian Conway adalah penggunaan
pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran pemahaman yakni sama-sama
menggunakan pendekatan sosiologi. Adapun perbedaan penilitian di atas dengan
penelitian ini adalah penggunaan objek penelitian Brian Conway adalah pembelajaran
secara umum sedangkan ibjek penelitian ini adalah novel Negeri Lima Menara.
97
C. Kerangka Fikir
Karya sastra merupakan suatu bentuk kebudayaan, sehingga tidak dapat
dipisahkan dari lingkungan yang telah membentuknya. Salah satu bentuk karya sastra
adalah novel. Novel merupakan cerminan keadaan sosial dari kurun waktu tertentu.
Novel berbicara mengenai manusia dan kemanusiaan. Di alam novel terkandung
fenomena-fenomena sosial yang di tampikan olen pengarang. Oleh karena itu
kahdiran karya sastra tidak dapat terlepas dari situasi dan kondisi sosial masyarakat.
Dalam penelitian ini peneliti mengambil judul’’ Analisis Sosiologi Sastra
dan Nilai Pendidikan Nilai dan Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad
Fuadi”Dengan menggunakan novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Faudi
sebagai objek penelitian, penulis akan mengkaji novel tersebut dengan sosiologi
sastra. Penulis berupa mendeskrisikan pandangan perang terhadap pondok madani
dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Faudi, asppek sosial budaya yang
terdapat dalam Negeri Lima Menara karya Ahmad Faudi. Setelah ke tiga rumusan
dianalisis barulah ditarik simpulan. Untuk lebih jelasnya, alur kerangka berfikir
dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut :
98
Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Faudi
Pendekatan Sosiologi Sastra
Gambar 1: Alur kerangka fikir
Pendekatan Sosiologi Sastra Nilai-nilai Pendidikan Novel Negeri Lima Menara Karya Ahma Fuadi
Pandangan Pengarang terhadap Ponok Madani Dalam Vovel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi
Aspek Sosial Budaya Yang terdapat Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi
Totalitas Makan Novel
99
BAB III
METODOLOGI PENILITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data dokumen berupa
novel yaitu novel Negeri Lima Menara karya Ahma Fuadi sebagai obyek
penelitiannya, maka penelitian ini berupa kajian novel, maka objek kajian
penelitiannya adalah novel itu sendiri. Adapun rincian penelitian ini tidak terpancang
waktu dan tempat. Waktu dan pelaksanaan dan jenis kegiatan dalam penelitian ini
dapat dijelasakan dengan tabel berit:
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
No Waktu Kegiatan Bulan
Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-4 Ke-5 Ke-6
1. Persiapan xx
2. Pembuatan Proposal xx
3. Revisi Proposal xx
4. Pengumpulan Data xx xx
5. Pengolahan dan Analisis data xx x
6. Penyusunan Laporan Hasil
penelitian xxxx xx
7. Revisi Laporan Hasil penelitian xx xx
99
100
B. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Metode Kualitatif deskriptif
menurut H.B Sutopo (2002:40) menjelaskan bahwa:
Penelitian Kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti yang lebih barmakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman yang lebih nyata dari pada sekedar sajian angka atau frekuensi. Penelitian menekankan catatan dengan deakripsi kalimat yang rinci , lengkap, dan mendalam, yang menggambarkan situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian data. Oleh karena itu, penelitian kualitatif secara umum sering disebut sebagai pendekatan kualitatif deskripsi.
Penelitian ini akan mendeskripsikan pandangan pengarang Ahmad Fuadi
terhadap karya sastranya yaitu novel Negeri Lima Menara. Aspek sosial budaya yang
terjadi dalam Negeri Lima Menara dan nilai-nilai pendidikan dalam novel Negeri
Lima Menara.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data atau informasi penting yang dikumpulakan dan dikaji dalam penelitian
ini berupa penelitian kualitatif yang bewujud ungkapan atau kalimat yang ada dalam
novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
Adapun data yang dikumpulkan harus sesuai dengan pendekatan sosiologi
sastra yang memfokuskan diri dari data;
a. Data Pandangan pengarang terhadap isi novelnya. Pengarang dibicarakan
terlebih dahulu dengan anggapan bahwa pengarang adalah kunci penentu
tentang apa dan bagaimana aspek sosial budaya dimanfaatkan;
b. Data sosial budaya yang ada dalam novel Negeri Lima Menara;
101
c. Data dan nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Negeri Lima Menara.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian dalam dikelompokkan menjadi dua bagian sebagai
berikut:
a. Dokumen berupa bahan tertulis yaitu isi novel Negeri Lima Menara karya
Ahmad Fuadi diterbitka PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2009, tebal 423
halaman.
b. Narasumber atau informan berupa manusia yang memiliki informasi terkait:
Nama : Ahmad Fuadi
Tempat/Tgl lahir : Bukit Tinggi, 1972
Alamat : Bintaro, jakarta
Keterangan :Penulis Novel Negeri Lima Menara
D. Teknik Cuplikan (Sampling)
Sutopo (2002:55) mengatakan bahwa teknik cuplikan merupan suatu bentuk
khusus atau proses bagi pemusatan sumber data dalam penelitian yang mengarah
pada seleksi dari sifatnya yang internal tersebut mengarah pada kemungkinan
generalisasi teoritis. Oleh karena itu, pada penelitian ini menggunakan teknik
cupliakan purposive sampling yaitu:
Sumber data yang digunakan disini tidak sebabai sumber data yang mewakili populasinya tetapi seperti telah disebutkan didepan, lebih cenderung mewakili informasinya, dengan akses tertentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap (sutopo, 2002,56).
102
Penelitian ini mencuplik bagian-bagian dalam novel negeri Lima Menara karya
Ahmad Fuadi yang mewakili informasi penting agar bisa digunakan untuk analisis.
Selain itu, juga mencuplik bagian buku dari internet yang bisa memberikan informasi
penunjang.
E. Teknik Pengumpulan Data
Tteknik yang dilakukan dalam pengumpulan data yang teknik interaktif
meliputi wawancara dan teknik noninteraktif meliputi mencatat dokumen atau arsip.
1. Melakukan Wawancara
Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur karena peneliti merasa tudak
tahu mengenai apa yang terjadi sebenarnya dan ingin menggali informasi secara
mendalam dan lengkap dari narasumbernya (sutopo, 2002:59). Wawancara
berlangsung melalui email dengan pengarang novel Negeri Lima Menara yaitu
Ahmad Faudi. Hasil wawancara dilampirkan di lampiran halaman 202.
2. Mengkaji Dokumen dan Arsip (content analisys)
Sumber data yang berupa arsip dan dokumen biasanya merupakan data pokok
dalam penelitian historis, terutama untuk mendukung proses interprestasi dari setiap
peristiwa yang diteliti. Dokumen yang ditemukan wajib dikaji kebenaranya, baik
secara eksternal (kritik eksternal) yang berkaitan dengan keaslian dokumen atau
pernyataan yang ada (sutopo, 2002:70).pengkajian dokumen tersebut dilakukan
dengan teknik analisis isi (content analisys). Langkah kerjanya adalah:
103
a. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu novel Negeri
Lima menara (2009) karya Ahmad Fuadi.
b. Melakukan dua tahap pembacaan sastra, heuristik. Membaca novel Negeri Lima
Menara dan sumber-sumber tertulis lainnya.
1) Teknik simak, yakni melakukan penyimakan secara cermat, terarah dan
teliti terhadap data primer yaitu novel Negeri Lima Menara, Data sekunder
berupa buku, jurnal, dan artikel dalam rangka memperoleh data tentang
pandangan pengarang, sosial budaya dan nilai-nialai pendidikan. Teknik
simak dilakukan dengan cara berulang-ulang sambil memberi tanda-tanda
khusus pada data yang diperlukan.
2) Teknik catat, hasil penyimakan terhadap data ditampung dan dicatat untuk
digunakan dalam penyusunan laporan.
F. Uji Validitas Data
Uji Vadilitas data dalam penelitian ini menggunakan validitas trianggulasi teori.
Trianggulasi teori merupakan teknik yang didasari pola pikir fenomenologi yang
bersifat multisperpektif Artinya untuk menarik kesimpulan yang mantap, diperlikan
tidak hanya satu pandang (sutopo, 2002:92). Sedangkan teknik trianggulasi yang
digunakan adalah:
1) Trianggulasi sumber atau Trianggulasi Data. Cara ini mengarahkan agar di
dalam mengumpulkan data, wajib menggunakan beragam sumber data yang
berbeda-beda. Sumber data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua
sumber data yang berbeda, Yaitu:
104
a) Sumber berupa dokumen atau arsip dari buku-buku ilmiah, jurnal
ilmiah,artikel yang berbeda,dianalisis dengan metode content analisiys;
b) Informasi atau narasumber (manusia) dijaring dengan cara wawancara
mendalam secara tertulis. Narasumber tersebut yaitu:Pengarang Ahmad
Fuadi berkedudukan dijakarta dengan email [email protected]
2) Trianggulasi Teori
Trianggulasi jenis ini dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu
teori dalam membahas permasalahan yang dikaji, (sutopo, 2002: 9;). Ada
beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) teori pengkajian
sastra; (2) teori sosiologi
3) Trianggulasi Metode. Teknik ini bisa dilakukan dengan cara mengumpulkan data
sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpilan data yang
berbeda, (sutopo, 2002:95). Yaitu:
a. Dokumen atau arsip novel Negeri Lima Menara;
b. Wawancara melalui email dengan narasumber Ahmad Faudi
G. Teknis Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian
karena dengan menganalisis data yang diteliti akan dapat diketahui makna atau
jawaban pemecahan masalahnya. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy J.
Moleong (2010: 248). Analisis data kualifitatif adalah upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, menyintetiskannya, meencari dan menemukan
105
pola,menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa
yang dapat diceritakan kepada orang lain. Adapun teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif, seperti yang
dikemukakan oleh Matthew B. Miles & A. Michael Huberman (1992:20), yang terdiri
dari tiga komponen analisis yaitu: reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan
atau verifikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk interaktif
dengan proses pengumpulan data. Langkah-langkah di dalam analisis data tersebut
dapat dilihat di dalam bagan berikut ini:
Gambar 2. Bagian Model Interaktif Miles & Huberman (1992:20).
1. Reduksi Data
Data dikumpulkan dari dokumen dan arsip,serta hasil wawancara. Data
tersebut direduksi,diidentifikasi untuk mendapatkan hal yang pokok. Identifikasi
difokuskan padahal yang terpenting terkait dengan fokus dan masalah penelitian.
Data dikoding, kemudian dimaknai, dicari terna atau polanya (melalui proses
penyuntingan dan pemberian kode). Reduksi data dilakukan terus menerus selama
proses penelitian berlangsung. Pada tahapan ini data disederhanakan, yang tidak
Penarikan kesimpulan
Reduksi Data Penyajian Data
106
diperlukan disortir untuk memberi kemudahan dalam penampilan, penyajian, serta
untuk menarik kesimpulan sementara.
Langkah pertama yang penulis lakukan adalah dengan mengumpulkan data
dari dokumen dan arsif berupa novel Negeri Lima Menara, melakukan studi pustaka
dari buku-buku yang relevan internet. Data dikumpulkan juga dari hasil wawancara
dengan narasumber yang pengarang novel.
Data yang diperoleh di aatas direduksi, dipilih hal-hal pokok saja yang terkait
dengan permasalahan. Yaitu, tentang pandangan pengarang, sosial budaya nilai-nilai
pendidikan dan kualitas novel. Data tersebut dikoding, dikelompokkan, dimaknai dan
dihubung-hubungkan supaya mendapatkan relevanssi antara data yang diperoleh
dengan permasalahan. Hasil wawancara untuk mendukung teori dan mendapatkan
simpulan yang benar terhadap data dokumen.
2. Penyajian Data
Penyajian data(display data ) dimaksudkan agar lebih mudah untuk dapat
melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian.
Data-data dikelompokkan dan disusun sesuai dengan rumusan masalah yang telah
ditentukan sebelumnya. Termasuk kesimpulan-kesimpulan sementara diperoleh pada
waktu data direduksi. Data tentang pandangan pengarang, sosial budaya, nilai-nilai
pendidikan dan kualitas novel ditayangkan.
3. Penarikan Simpulan atau Verifikasi
Verifikasi data dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian
dilakukan. Sejak pertama proses pengumpulan data, mulai menganalisis dan mencari
107
makna dari data yang dikumpulkan, yaitu mencari polatema,hubungan persamaan,
hipotesis dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk kesimpulan yang masih bersifat
tentatife.
Dalam tahapan penarikan simpulan dari kategori-kategori data yang telah
direduksi dan disajikan untuk selanjutnya menuju kesimpulan akhir mampu
menjawab permasalahan yang dihadapi. Bertambahnya data melalui verifikasi secara
terus menerus, akan diperoleh kesimpulan yang bersifat grounded. Simpulan
disesuaikan dengan permasalahn yang dibahas.
Bila simpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan data dalam
reduksi maupun sajian datanya, maka wajib kembali melakukan kegiatan
pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan yang
telah dikembangkannya dan juga sebagai usaha bagi pendalaman data,
(sutopo,2002:120).
Dalam model tersebut ketiga komponen analisis berjalan bersamaan pada
waktu kegiatan pengumpulan data. Begitu penyusunan catatan lapangan
lengkap,reduksi data segera dibuat, dan seterusnya dengan pengembangan bentuk
susunan sajian data yang bersifat sementara, (sutopo,2002 : 121)
Sebagai upaya yang berkelanjutan, berulang dan terus menerus. Masalah
reduksi data,penyajian data, penarikan simpulan dan verifikasi menjadi keberhasilan.
108
Reduksi data dan penarikan kesimpulan sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat
sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data, (Miles & Huberman, 1992 : 19-20)
Selain analisis diatas ,digunakan juga analisis data dengan metode induktif
dengan langkah menelaah terhadapa fakta-fakta yang khusus, pernyataan yang
khusus, dan peristiwa yang kongret. Kemudian digeneralisasi untuk mendapat
kesimpulan secara umum. Membaca peristiwa-peristiwa khusus tentang sosial bodaya
dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Negeri Lima Menara,kemudian
dihubungkan dengan kejadian-kejadian umum dalam kehidupan nyata secara umum.
H. Prosedur Penelitian
Berdasarkan masalah yang diteliti, prosedur penelitian yang peneliti lakukan
meliputi beberapa tahap sesuai arahan Lexy J. Moleong (2010: 247-268) sebagai
berikut:
1. Pengumpulan data, dengan langkah:
a. Menentukan objek yang akan dipakai sebagai bahan penelitian, yaitu novel
Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi (2009);
b. Mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang mendukung kegiatan penelitian,
meliputi buku-buku referensi dan artikel-artikel sastra yang menunjang
penelitian.
2. Melakukan dua tahap pembacaan sastra, yaitu pembacaan heuristik dan
hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah tahap orientasi untuk memperoleh
109
gambaran umum atau eksplorasi awal terhadap objek yang diteliti. Pembacaan
hermeneutika adalah tahap eksplorasi fokus.
3. Menganalisis objek penelitian dengan mendaftar wacana-wacana tentang sosial
budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Negeri Lima Menara:
4. Data direduksi. Reduksi data dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi.
Pernyataan-pernyataan perlu dijaga sehingga berada di dalamnya:
a. Susun dalam satu-satuan, da ddibuat penjelasan secara deskriptif pada
masing-masing data yang diperoleh berdasarkan teori yang ada;
b. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan;
c. Kategori-kategori dibuat sambil melakukan koding atau penafsiran data;
d. Mengaitkan dengan realitas atau teks yang saling berlawanan dan kontradisi
dalam novel;
e. Mensejajarkan dan membandingkan dengan wacana-wacana atau realitas di
luar teks novel sebagai upaya interteksual.
f. Mengadakan pemeriksaan keabsahan data;
g. Memakai teori sosiologi sastra Rene Wellek dalam mengkaji novel Negeri
Lima Menara.
5. Penyajian data, data disaqjikan berdasarkan hasi penelitian dan prumusan
masalah.
6. Penarikan simpulan secara deskripsi;
7. Tahap pengecekan keabsahan data. Pada tahap ini dilakukan penelitian yang
ada terutama mengadakan tringulasi,pengecekan dan auditing yang
110
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekeliruan dalam mengungkapkan
fakta atau interpretasi.
Berdasarkan model analisis interaktif, tetap bergerak diantara tiga dengan
proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. kemudian
sesudah pengumpulan data berakhir, bergerak di antara tiga komponen analisisnya
dengan menggunakan waktu yang masih tersisa. Reduksi data selalu dilakukan, bila
simpulan dirasa kurang, maka data kembali dikumpulkan kemasalah lebih fokus
untuk mencari pendukung simpulan yang telah dikembangkan dan juga sebagai usaha
pendalaman data.
111
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Aspek Sosial Budaya Yang Terdapat Dalam Novel negeri lima menara Karya
Ahmad Fuadi
Aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel negeri lima menara yang
mendasari sebuah cerita rekaan. Menurut para ahli memandang bahwa karya sastra
sebagai dokumen sosial budaya. Menurut koentjaraningrat (2000: 9) kebudayaan
adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di biasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari budi dan karyanya itu.
Sementara itu, ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai
komponen atau unsur kebudayaan antara lain C. Kluckhohn dalam bukunya universal
categories of culture membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang kemudian di
jadikan kerangka umum. Berdasarkan itu pulahla, koentjaraningrat (dalam p.
Hariyono, 2009:38 dan mg. Sri wijayati, 2007: 133). Memaparkan tujuh unsur
kebudayaan sebagai beriku: (1) sistem religi; (2) sistem kemasyarakatan atau
organisasi sosial.; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata
pencaharian hidup: dan (7) sistem peralatan hidup atau teknologi. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka sosial budaya yang terdapat dalam novel negeri lima menara
adalah sistem religi, sistem kemasyarakatan atau komunikasi sosial, sistem
112
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem peralatan
hidup dan teknologi.
a. Sistem religi
1) Sistem kepercayaan
Masyarakat minang perupakan pemeluk agama islam. Apabila ada
masyarakat yang keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang
bersangkutan juga di anggap keluar dari masyarakat minang, dalam istilahnya di
sebut ”dibuang sepanjang adat”. Kedatangan haji miskin , haji sumanik dan haji
piobang dari mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam
penegakan hukum islam di pedalaman minang kabau. Walau di saat bersamaan
muncul tantangan dari masyarakat setempat itu masih terbiasa dalam tradisi adat, dan
puncak dari komplik ini muncul perang padri sebelum akhirnya muncul kesadaran
bersama bahwa adat berazaskan Al-Qur’an.
Amak alif menganjurkan alif untuk masuk ke pondok, amak percaya
bahwa alif akan menjadi pemimpin agama yang hebat. Bagaimanapun juga garis
keturunan amak adalah garis keturuan ulama. Alif tidak mau melanjutkan sekolah ke
pondok. Alif ingin melanjutkan ke SMA dan kuliah agar bisa seperti habibie. Amak
tetap tidak mengijinkan karena bersekolah di SMA membutuhkan uang yang banyak.
Hal ini sesuai dalam kutipan novel:
Tapi aku tidak ingin.....
Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan menjadi pemimpin
Umat yang besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua
113
kakekmu.(AHMAD FUADI, 2011 : 9)
Sementara itu, alif bersedia bersekolah di pondok. Namun pondok yang di
pilih adalah pondok madani di jawa timur. Pelajaran agama di pondok dapat di
lakukan setiap saat. Hal ini terungkap dala novel sebagai berikut.
“terimah kasih atas pertanyaannya pak. Menurut kyai kami pendidikan
PM tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya satu dan semuanya
berhubungan. Agama langsung dipraktekan dalam kegiatan sehari-hari. Di madani,
agama adalah oksigen, dia ada dimana-mana,” jelas burhan lancar. (AHMAD
FUADI, 2011 : 35)
Pendidikan agama di pondok madani tidak mengenal waktu. Setiap saat
agama selalu diajarkan di pondok. Kyai di pondok membuat aturan agama harus di
ajarkan setiap saat. Di sela-sela pelajaran umum juga diberikan materi agama. Hal ini
sesuai dengan pertanyaan dari bapak alif. Bahwa di pondok banyak di ajarkan tentang
pelajaran umum, kapan agama akan di ajarkan ? dengan senang hati pemandu pondok
menjelaskan bahwa agama di pondok di ajarkan setiap waktu.
Pendidikan agama islam dalam novel ini sangat kental sekali. Setiap detik
novel diceritakan dengan sangat menarik. Ini menandakan bahwa ajaran di pondok
memang sangat ketat. Apalagi soal agama islam. Di pondok waktu sholat memang
segala aktivitas harus di hentikan. Semua harus datang ke mesjid pada waktu sholat
magrib. Namun, untuk sholat lainnya di kamar masing-masing. Hal ini sesuai dengan
kutipan dalam novel sebagai berikut.
114
Shalat magrib di mesjid jami’ di hadiri seluruh penduduk sekolah. Karena hampir semua orang hadir, kecuali yang sakit atau pura-pura sakit, waktu seperempat jam setengah shalat di manfaatkan untuk memberikan maklumat penting bagi semua warga. Kismul islam, bagian yang khusus mengurusi pengumuman tampil di depan jamaah. Di temani secarik kertas dan kepercayaan diri, mereka membacakan pengumuman. (AHMAD FUADI, 2011 : 70)
Kami termenung-menung meresapi pesan yang menggugah ini. Awan-awan sumber khayal kami sekarang berganti warna menjadi merah terang, seiring dengan merapatnya matahari ke peraduannya. Lonceng berdentang, waktunya kami ke mesjid menunaikan shalat magrib .(AHMAD FUADI, 2011: 211)
Untuk sholat isyah, subuh, dhuhur, ashar, dan sholat sunnah di lakukan di
kamar sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sistem reliji dala novel tersebut sangat
menonjol. Shalat malam biasa alif dan kawan-kawan kerjakan. Shalat dan berdoa
merupakan usaha yang dilakukan agar semua pekerjaan dan kesulitan dalam belajar
bisa teratasi. Hanya kepada tuhanlah semua memohon dan meminta bantuan. Semua
itu di lakukan dengan khusuk dan ikhlas. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel
sebagai berikut :
Aku membentang sajadah dan melakukan shalat tahajjud. Diakhir rakaat, aku benamkan kesajadah sebuah sujud yang panjang dan dalam. Aku coba memusatkan perhatian kepadanya. Dan menghilang selainnya. Pelan-pelan aku merasa badanku semakin mengecil dan mengecil dan mengkerut hanya menjadi setitik debu yang melayang-layang di semesta luas yang diciptakanNya. Betapa kecil dan tidak berartinya diriku, dan betapa luas kekuasaannya. Dengan segala kerendahan hati. Aku bisikkan doaku.
“ya Allah, hamba datang mengadu kepadamu dengan hati rusuh dan berharap. Ujian pelajaran muthala’ah tinggal besok, tetapi aku belum siap dan belum hapal pelajaran. Hambamu ini datang meminta kelapangan pikiran dan kemudahan untuk mendapat ilmu dan bisa menghapal dan lulus ujian dengan baik. Sesungguhnya engkau maha pendengar terhadap doa hamba yang kesulitan. Amiiiinn.
115
Alhamdulillah, selesai tahajjud badanku terasa lebih enteng dan segar. Aku siap sahirul lail, belajar keras dini hari sampai subuh. Dengan setumpuk buku di tangan, sarung melilit leher dan sebuah sajadah, aku bergabung dengan para pelajar malam lainnya di teras asrama. Ada belasan orang yang sudah lebih dulu membuka buku pelajaran di tengah malam buta ini. Ada yang bersila, ada yang berselonjor, ada yang menopang punggungnya dengan dinding, dengan bermacam gaya. Tapi semuanya sama: mulut komat-kamit, buku terbuka di tangan, sarung melilit leher, segelas kopi dan duduk di atas hamparan sajadah, sekilas mereka seperti sedang naik permadani terbang. ( AHMAD FUADI, 2011 : 197-198)
Dengan shalat tahajjud badan juga merasa ringan dan segar. Apalagi
menjelang ujian, banyak murid yang melakukan doa malam dan belajar malam.
Sungguh hal yang jarang dilakukan oleh orang awam.
2) Sistem nilai dan pandangan hidup
Pandangan hidup yang terungkap dalam novel negeri lima menara adalah kata
mujarab yang disampaikan oleh ustad salman. Kata mujarab yang memikat semua
orang tersebut adalah man jadda wajadda. Hal tersebut terdapat dalam kutipan novel
seperti di bawah ini:
Man jadda wajadda: sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami tiga puluh anak tanggung, menjerik balik, tidak mauh kalah kenceng.
“man jadda wajadda!”
Berkali-kali, berulang-ulang, sampai tenggorokan panas dan suara serak. Ingar bingar ini berdesibel tinngi. Telingaku panas dan berdenging-denging sementara wajah kami merah padam memfosir tenaga. Kaca jendela yang tipis sampai bergetar-getar di sebelahku. Bahkan. Meja kayuku pun berkilat-kilat basah., kuyup oleh liur yang ikut berloncatan setiap berteriak lantang.
Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang enerjik ini tidak dimuati oleh aura jahat. Dia dengan royal membagi energi positif yang sangat besar dan meletup-
116
letup. Kami tersengat menikmatinya. Seperti sumbu kecil terpercik api, mulai terbakar, membesar dan terang!.
Dengan wajah berseri-seri dan senyum senti menyilang di wajahnya, lai-laki ini hilir mudik diantara bangku-bangku murid baru. Mengulang-ulang mantra ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami menyela balik dengan kata yang sama man jadda wajadda. Mantra ajaib berbahasa arab ini bermakna tegas.:”siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil (AHMAD FUADI, 2011 : 40-41).
Kata-kata mujarab man jadda wajadda artinya bahwa siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil. Kata-kata itulah yang pertama kali diberikan
kepada murid baru. Man jadda wajadda diberikan kepada murid baru untuk
memotivasi. Bahkan kata-kata itu diucapakan berkali-kali sampai melekat di dalam
hati. Bahwa segala sesuatu itu apabila dilakukan dengan bersungguh-sungguh akan
membuahkan hasil.
Setiap kelas, setiap mulut berlomba-lomba menyuarakan man jadda
wajadda dengan lantang. Bahkan suara itu sampai membahana ke ponogoro. Hampir
satu jam perlombaan menyuarakan man jadda wajadda itu dilakukan. Namun tak
satupun murid yang protes. Justru kata itulah sampai sekarang tetap terpatri di dalam
hati dan jiwa setiap murid. Walaupun sudah keluar dari pondok man jadda wajadda
tetap membahana keliang telinga setiap orang. Hal ini terlihat dalam kutipan novel
sebagai berikut:
Selain kelas kami, puluhan kelas juga demikian. Masing-masing dikomandoi seorang kondaktur yang energik, menyalakan “man jadda wajadda” hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan bertalu_talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik ponorogo.
117
Inilah pelajaran pertama kami ini di PM. Kata mutiara sederhana tapi kuat. Yang menjadi kompas kehidupan kami kelak. (Ahmad Fuadi, 2011 : 41)
“man jadda wajadda,” teriakku pada diri sendiri. Sepotong syair arab yang diajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. (AHMAD FUADI, 2011 : 82)
Rumus man jadda wajadda terbukti mujarab. Kesungguhanku telah di balas konstan. (AHMAD FUADI, 2011 : 82)
Siapa pun yang meresapi dan melaksanakan kata man jadda wa jadda
dengan bersungguh-sungguh. Maka, usahanya itu akan segerah dibalas kebaikan oleh
tuhan. Hal itu dilakukan oleh alif sekaligus pengarang novel tersebut. Alif dengan
bersugguh-sunguh berdoa dan berusaha. Usaha tersebut tidak sia-sia. Alif
mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun. Semua itu tidak terlepas dari suratan
takdir allah SWT.
3) Komunikasi keagamaan
Komunikasi keagamaan juga terdapat dalam novel negeri lima menara.
Komunikasi keagamaan ini terjadi ketika alif, atang dan baso berlibur ke rumah atang
di bandung. Komunikasi keagamaan yang terdapat dalam kutipan novel ini adalah
komunikasi keagamaan berupa dakwah. Dakwah itu di lakukan di mesjid universitas
unpad bandung. Hal tersebut sesuai dengan pesan kyai rais. Bahwa dimanapun kalian
berada sampaikan kebaikan dan nasehat walaupun hanya satu ayat. Kyai rais adalah
pimpinan pondok madani dalam novel tersebut adalah sebagi berikut:
“silahkan gunakan liburan untuk berjalan, dalam masyarakat di sekitar kalian. Dimanapun dan kapanpun, kalian adalah murid PM. Sampaikanlah kebaikan dan nasehat walau satu ayat”. Begitu pesan singkat kyai rais di acara melepas libur minggu lalu. Kesempatan seperti yang di sampaikan atang adalah pelajari diluar PM., menjalankan amanah kyai rais dan melaksanakan ajaran nabi
118
muhammad, bilighual anniwalau aayah. Sampaikanlah sesuatu dariku walau hanya sepotong ayat. (AHMAD FUADI, 2011 : 219)
Undangan dari universitas unpad sudah diterimah atang. Undangan
tersebut berisi tentang permintaan mengisi dakwah setelah ashar di masjid universitas
unpad. Mulanya atang , alif dan baso tercengang melihat banyaknya jamaah yang ada
di mesjid tersebut. Tetapi, karena pendidikan di pondok madani yang sangat ketat dan
berkualitas tinggi. Hal itu di tepis oleh ketiga orang tersebut. Dengan semangat yang
tinngi, ketiganya membawakan dakwah dengan tiga bahasa. Bahasa indonesia, bahasa
arab dan bahasa inggris. Jamaah yang ada di mesjid itu terkagum-kagum dengan
dakwah atang, alif dan baso. Semuanya sungguh sangat bagus. Hal itu sesuai dengan
kutipan pada novel tersebut sebagai berikut:
Seperti undangan yang diterima atang, kami datang ke mesjid unpad sebelum ashar. Di luar dugaan, shalat ashar berjamaah di masjid kampus ini penuh. Aku sempat agak grogi melihat jamah yang beragam, mulai dari mahasiswa, dosen, masyarakat umum dan terutama mahasiswa yang manis-manis. Tapi begitu aku tampil di mimbar membakan pidato bahasa inggris favoritku yang berjudul “how islam solves our problems”.pelan-pelan grogiku mengucap. Semua text pidato dan potongan dalil masih aku hafal dengan baik. (AHMAD FUADI, 2011 : 220)
b. Sistem kemasyarakatan atau komunikasi sosial
1) Kekerabatan
Matrilinear merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan
identitas masyarakat minang. Garis keturunan di rujuk kepada ibu yang di kenal
dengan samande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan
nama sumando (ipar) dan di perlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
119
Kaum perempuan di minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa
sehingga dijuluki dengan bundo kanduang, memainkan peranan dalam menentukan
keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang di buat oleh kaum lelaki dalam
posisi mereka sebagi mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (
kepala suku). Matrilinear tetap dipertahankan masyarakat minangkabau sampai
sekarang walau hanya diajarkan secara turung temurung dan tidak ada sanksi adat
yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan tokoh amaak. Amaak menyarankan alif agar
bersekolah di pondok pesantren. Semua keputusan tersebut berada di tangan amaak.
Sedangkan ayah hanya diam dan menuruti keputusan amaak. Hal ini sesuai dengan
kutipan novel negeri lima menara.
“amaak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti buya hamka yang sekampung dengan kita itu. Melalukan amar ma;ruf nahi mungkar, mengajak seorang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. “ kata amak pelan-pelan.
Beliau berhenti sebentar untuk menarik napas. Aku cuma mendengarkan. Kepalaku ini terasa melayang.
Setelah menenangkan diri sejenak dan menghela napas panjang, amak meneruskan dengan suara gemetar.
“jadi amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah”(AHMAD FUADI, 2011 ; 8)
Dalam kutipan di atas, amak memegang peranan penting di dalam
keluarga. Amak yang memutuskan segala sesuatu yang ada di keluarga. Ayah alif
hanya berperan sebagai tamu dalam keluarga. Amak yang berbicara kepada alif.
120
Amak berharap alif bersedia untuk melanjutkan sekolah ke madrasah aliyah atau
sering di sebut pondok pesantren.
2) Asosiasi dan perkumpulan
Asosiasi dan perkumpulan yang terdapat dalam novel negeri lima menara
karya ahmad fuadi ini berupa asosiasi persahabatan sahibul menara, di menara masjid
yang dilakukan setiap sore menjelang magrib. Sahibul menara berasal dari bahasa
arab. Kata sahibul kerap digunakan untuk menyatakan kepunyaan. Sahibul menara itu
terdiri dari alif, baso, atang, said, raja, dan dulmajid. Kutipan dalam novel antara lain
sebagai berikut:
Setelah termenung beberapa lama said berteriak.
“aku tahu dimana kita bisa berkumpul tampa diganggu dan tempatnya dekat dengan masjid. Yuk.!” Kata dia lansung berjalan cepat dan memaksa kami ikut. Kami sepakat, kaki menara ini tempat yang sangat cocok untuk berkumpul . pertama, dekat dengan mesjid, kapan pun lonceng shalat berbunyi, kami tinggal berjalan sedikit lansung sampai di mesjid. Kedua, relatif tidak terpantau para tugas keamanan yang terlau sibuk menyatroni asrama dengan asrama. Sementara berundak ini cukup tersembunyi karena ditutupi oleh taman, sementara kami bisa memantau keadaan PM melalui sela-sela dedaunan. Ketiga, tempat ini teduh dan memungkinkan kami berlama-lama, untuk belajar, ngobrol bahkan tidur-tiduran sambil lurus menatap langit di temani ujung menara yang lancip mengkilap.
Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk bercerita tentang impian-impian kami, membahas pelajaran tadi siang, ditemani kacang sukro. Bagaikan menara cita-cita kami tinngi menjulang. Kami ingin sampai di puncak-puncak mimpi kelak. (AHMAD FUADI, 2011 : 93-94).
Dimenara tersebut merupakan tempat untuk berkumpul. Membahas
pelajaran tadi siang. Membicarakan pelajaran yang sulit, menghafal, diskusi dan
menghayal negara yang diimpikan. Masing-masing anggota sahibul menara memiliki
121
cita-cita. Cita-cita itu dilukiskan di awan dengan gambar negara sesuai keinginan
masing-masing anggota sahibul menara. Alif ingin melihat awan itu sebagai benua
Amerika, raja melihat awan seperti benua Eropa, Atang melihat awan itu sebagai
negara Timur Tengah dan Afrika. Baso lebih suka melihat awan itu sebagai benua
Asia dan Afrika, dan dulmajid serta Said lebih suka melihat awan tetap sebagai
negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan kutipan novel sebagai berikut :
Kini di bawah menara PM, imajinasiku kembali melihat awan-awan ini menjelma menjadi peta dunia. Tepatnya menjadi daratan yang didatangi Columbus sekitar 500 tahun silam: Benua Amerika. (AHMAD FUADI. 2011 : 207)
Selain perkumpulan sahibul menara di menara masjid, aula juga
merupakan tempat berkumpul bagi semua murid PM. Di aula tersebut sebagian
kegiatan dilakukan. Hal itu sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut.
Sehabis isya, murid-murid berbondong-bondong memenuhi aula. Ratusan kursi disusun sampai ke teras untuk menampung tiga ribu orang. Semua orang mengobrol seperti dengan ribuan tawon transmigrasi. Dipanggung duduk berjejer beberapa ustad senior dan kiai. Sebuah tulisan besar menggantung sebagai latar : pekan perkenalan siswa PM. (AHMAD FUADI, 2011 : 48)
Malamnya, semua murid dikumpulkan di aula untuk menyaksikan pembukaan musim ujian oleh kiai Rais, seakan-akan ujian adalah sebuah hari besar keramat ketiga setelah idul adha dan idul fitri. (AHMAD FUADI, 2011 : 189-190)
Aku layangkan pandanganku ke aula diseberang Al-Barq. Jam 2 malam, aula ini sudah ramai seperti pasar subuh! Puluhan lampu semprong berkerlap-kerlip di atas setiap meja pasukan Sahirul lail. Ketika angin malam berhembus, mata apinya serentak menari-nari seperti kunang. (AHMAD FUADI, 2011 : 198)
Pengumuman kelulusan kita sudah ada, bisa dilihat di aula, “ seru said sebagai ketua angkatan kami berteriak-teriak setelah subuh. Walau masih pegal-pegal dengan perjalanan keliling jawa timur kemarin, kami tidak sabar untuk berbondong-bondong ke aula. Walau sudah bertawakal sepenuh hati, tetap saja
122
hatiku berdebur-debur ketika melihat pengumuman yang ditempel di aula. (AHMAD FUADI, 2011 : 395)
Aula merupakan tempat untuk perkumpulan murid baru. Di aula tersebut
murid baru diberi amanat, pengumuman dan nasehat yang berkaitan dengan
pendidikan di pondok Madani. Biasanya para kiai dari pondok Madani yang
memimpin pertemuan tersebut. Semua murid baru harus mengikuti acara tersebut.
Selain perkumpulan untuk murid baru, aula juga digunakan untuk belajar para murid
ketika akan menghadapi ujian. Semua murid belajar di aula, bahkan aula diubah
sebagai perkemahan massal. Semua itu dilakukan demi ujian. Ujian bagi pondok
Madani adalah hari yang istimewa selain hari idul fitri dan idul adha. Aula juga
digunakan menyampaikan pengumunan kelulusan bagi murid kelas enam. Hal itu
semua dilakukan di aula.
c. Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan ini berhubungan dengan tubuh manusia dan
berhubungan antar sesama manusia. Sistem pengetahuan yang terkait dengan novel
negeri lima menara ini adalah sistem pengetahuan tentang pengajaran di pondok yang
bersifat modern. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel Negeri Lima Menara
sebagai berikut.
Masih segar dalam ingatanku bagaimana senior kelas enam tahun lalu membuat gempar dengan show mereka. Ditengah gelapnya aula, tahu-tahu sosok tubuh terbang! Benar-benar terbang di atas kepala penonton. Lebih hebat lagi, badannya diluputi api yang menyala-nyala. Ini adegan yang mempersinifikasikan iblis yang melayang-melayang siap membakar nafsu manusia. Rahasia efek itu adalah membaluri baju pemadam kebakaran dengan spritus untuk menyulut api, dan mencantolkan baju barisi pemberat ini kelabel berjalan. Untuk keamanan, tentu saja tidak ada orang didalam baju ini. Selama
123
berbulan-bulan, kami tidak bosan membahasnya, kelas enam tahun lalu bahkan disebut “the fire maker”. (AHMAD FUADI,2011 : 338).
Bagi siswa kelas enam di pondok Madani, diwajibkan menampilkan
sebuah pentas. Pentas itu dihadiri oleh seluruh warga pondok Madani dan masyarakat
sekitar. Hal ini berhubungan dengan sistem pengetahuan yaitu bahwa siswa kelas
enam tahun lalu behasil membuat pesta luar biasa. Pesta pertunjukan itu biasa disebut
dengan class six show. Class six show yang ditampilkan senior kelas enam tahun lalu
yaitu bercerita tentang iblis yang melayang-layang di udara. Iblis itu melayang
dengan tubuh terbakar oleh api. Dengan pertunjukan itu. Menunjukkan bahwa sistem
pengetahuan murid kelas enam sudah maju dan kreatif. Terbukti dengan
menampilkan iblis yang melayang, digunakan manusia tiruan yang memakai baju
pemadam kebakaran. Rahasianya adalah baju pemadam itu dibalut dengan spiritus
untuk menyulut api. Baju itu diletakkan pada kabel berjalan. Sehingga, pertunjukan
itu benar-benar seperti dalam kehidupan nyata.
Sistem pengetahuan lain adalah kelas Alif yang menampilkan pertunjukan
Class Six Show dengan cerita Ibnu Batutah. Class Six Show ini juga spektakuler. Hal
ini terlihat pada kutipan novel yang menceritakan perjalanan Ibnu Batutah dalam
menyebarkan agama islam. Ide itu disampaikan oleh Atang. Ketika Ibnu Batutah
berjalan topan badai, maka penonton juga merasakan angin kencang. Waktu Ibnu
Batutah terkena hujan tropis, penonton juga merasakan basah karena hujan. Ibnu
Batutah sedang berjalan menembus kabut Himalaya, maka penonton juga harus ikut
tersesat bersamanya. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut :
124
“aku punya ide,” kata Atang menggebu-gebu, seminggu sebelum hari H. “jadi, kawan-kawan, aku ingin kita membuat teater yang panggungnya tidak terbatas dipanggung depan, tapi panggungnya juga ada ditempat duduk penonton, kalau Ibnu Batutah sedang berjalan menembus topan badai, maka penonton akan ikut di terpa angin kencang, kalau dia sedang kena hujan tropis, penonton ikut basah dengan percikan air, kalau dia sedang menembus kabut Himalaya, penonton juga harus ikut tersesat bersamanya.” (AHMAD FUADI, 2011 : 340)
Namun, untuk melaksanakan ide cemerlang itu, membutuhkan
pengorbanan. Untuk membuat asap buatan, Alif, Said dan Atang harus pergi ke
Surabaya. Bahan utama untuk membuat asap itu adalah karbon dioksida kering.
Karbon dioksida bersuhu yang didapatkan, sehingga apabila terkena udara sedikit saja
akan mengeluarkan asap banyak. Istilah ilmiyahnya ada kondensasi, sehingga asap
tersebut bisa kita lihat seperti kabut.
Sementara sistem pengetahuan yang berkaitan dengan pembelajaran yang
bersifat modern adaah pengajaran mengenai penggunaan bahasa asing. Penggunaan
bahasa asing wajib bagi semua murid. Bagi murid baru diberi kesempatan untuk
belajar selama empat bulan. Siapa yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi. Hal
ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“dan yang tidak kalah penting, bagi anak baru, kalian hanya punya waktu
empat bulan untuk boleh berbicara bahasa indonesia. Setelah empat bulan, semua
wajib berbahasa inggris dan arab, 24 jam. Percaya kalian bisa kalau berusaha.
Sesungguhnya bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia.” (AHMAD
FUADI, 2011 : 51)
125
Bahasa Asing yang perlu dipelajari oleh murid adalah bahasa Arab dan
bahasa Inggris. Bagaimanapun juga bahasa asing adalah kunci untuk membuka
jendela dunia. Pondok Madani berharap lulusan pondok bisa bersaing di kancah
dunia.
d. Bahasa
Bahasa dalam kebudayaan yang di kemukakan oleh koentjaraningrat ada
dua macam, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa yang terdapat dalam novel
Negeri Lima Menara ini adalah bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Minang, bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris.
1. Lisan
1. Bahasa Minang
Alif sebagai tokoh utama berasal dari kampung bayur, minanjau. Bahasa
daerah minagkabau adalah bahasa minang. Bahasa daerah itu digunakan sebagai alat
komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat pada novel Negeri Lima
Menara. Bahasa Minang yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara adalah
sebagai berikut:
“buyuang, sejak waang masih di kandungan, amak selalu punya cita-cita,” mata
amak kembali menatapkku.(AHMAD FUADI, 2011 : 8)
Buyuang merupakan pangilan untuk anak laki-laki di kampung Minanjau.
Buyuang adalah panggilan Alif. Biasa Amaak memanggil Alif dengan sebutan
Buyuang. Waang adalah kata ganti orang kedua tunggal yaitu artinya kamu. Waang
126
diucapkan Amaak kapada Alif. Hal itu diucapkan ketika amaak membujuk Alif untuk
masuk ke Pondok.
Sementara itu kata ambo kata ganti orang pertama, yaitu saya. Kata ambo
dianggap lebih sopan dan dipakai ketika bicara dengan orang yang dihormati.
Sebutan kata ambo ini digunakan Alif ketika berbicara dengan ibunya . Alif membela
diri bahwa Alif tidak berbakat dalam agama. Alif lebih senang melanjukan sekolah ke
SMA. Namun, ibu Alif tetap kukuh agar Alif melanjutkan sekolah ke Pondok.
Bahkan ibu Alif mengatakan bahwa orang tua lain mengirim anaknya ke sekolah
madrasah bukan berarti anak tersebut cadiak. Cadiak artinya adalah pintar. Hal
tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin manjadi
insinyur dan ahli ekonomi.” Tangkisku sengi. Mukaku merah dan mata terasa
panas. (AHMAD FUADI, 2011 : 9)
“Tapi bukan salah ambo orang tua lain mengirim anak yang kuran cadiak
masuk madrasah...” (AHMAD FUADI. 2011 : 9)
Di dalam novel Negeri Lima Menara juga terdapat bahasa Minang yang
berbentuk sebuah kalimat percakapan. “Allah kanai lo baliak. Kita kean lagi!”
kalimat tersebut adalah kalimat yang dilontarkan oleh Etek Muncak dan keneknya
secara bersamaan. Kalimat “Allah kanai lo baliak. Kita kean lagi!”artinya bahwa
roda belakang bus tersebut pecah. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel
sebagai berikut:
127
BLAAR! Bus tiba-tiba bergetar dan oleng. Semua penumpang berteriak kaget.
Amukan di perutku tiba-tiba surut, pudur seperti lilin di henbus angin, Pak Etek
Muncak dan kenek bersamaan berseru, “Allah kanai lo baliak. Kita kean lagi!”.
Roda belakang pecah. (AHMAD FUADI, 2011 : 21)
Kalimat Minang lain yang ditemukan adalah “ndak ba’a do” artinya
adalah sebentar lagi perjalanan menyebrang pulau akan sampai. “ndak ba’a do”
disampaikan oleh bapak kepada Alif. Karena perjalanan laut ketika itu sangat
manakutkan. Tiba-tiba gelombang laut tinggi. Kapal tergoncang, penumpangnya
bagai dilempar kesana-kesana. Hal ini sesui dengan kutipan dalam novel sebagai
berikut:
“ndak ba’a do”, sebentar lagi kita sampai!” seru ayah mencoba menenangkan
sambil menggamit bahuku. Padahal setengah jam yang lalu pelayaran sambil
mulus, gemericik air yang di belah haluan terasa menenramkan hati. (AHMAD
FUADI, 2011 : 22).
2. Bahasa Arab
Bahasa resmi di Pondok Madani dalam novel adalah bahasa Arab dan
Bahasa Inggris. Bahasa Arab yang disampaikan secara lisan dalam novel tersebut
sangat banyak sekali. Bahasa Arab yang terdapat dalam novel adalah sebagai berikut:
Bujukan mereka aar tetap tinggal di kampung telah kukalahkan dengan
argumen berbahasa Arab yang terdengar gagah, “uthulubul ilma walau bisshin”
artinya “tuntutlah ilmu, bahkan walau ke negeri sejauh Cina”. (AHMAD FUADI,
2011 : 17).
128
Sementara itu, setelah tiba di Pondok Madani Alif dan bapaknya di
sambut dengan ramah oleh panitia pendaftaran dari Pondok Madani. Disela-sela
perkataan panitia pendaftaran dari Pondok tersebut ada beberapa kalimat dengan
bahasa Arab. Kalimat tersebut adalah “shabahal khair ya akhi Burhan.” Artinya
adalah ini rombongan tamu pertama hari ini. Semua delapan orang. Hal tersebut
diucapkan oleh Ismail kepada Burham. Burham adalah panitia pendaftaran . burham
menjawab perkataan Ismail dengan kalimat bahasa Arab yaitu “Syukron ya akhi.”
Artinya yaitu terima kasih. Hal tersebut sesuai dengan kutipan pada novel sebagai
berikut:
A meloncat turun dari bus. Kerikil yang diinjak oleh hak sepatunya
berderik-derik. Dian menyerahkan selembar daftar penumpang ke seorang anak
muda berwajah riang yang telah menunggu di luar mobil. Sebuah dasi berkelir biru
laut menggantung rapi di ketah leher baju putihnya. “ shabahal khair ya akhi
Burham. Ini rombongan tamu pertama hari ini . semua delapan orang.” Kata Ismail.
“ Syukron ya akhi. Terima kasih. Kami akan beri pelayanan terbaik. (AHMAD
FUADI, 2011 : 29-30).
Bahasa Arab selalu digunakan dalam pembelajaran. Misalnya, ustad
Salman. Ustad Salman mengajarkan Bahasa Arab. Beliau mengajar dengan
menggunakan metode yang mudah dipahami oleh murid. Metode tersebut adalah
metode dengar, ikuti, teriakkan dan ulangi lagi. Tidak ada terjemahan bahasa
Indonesia sama sekali. Namun, metode tersebut sangat ampuh untuk
menginternalisasi bahasa baru ke dalam sel otak dan membangun refleks bahasa
129
yang bertahan lama. Inilah sistem bahasa yang membuat Pondok Madani terkenal.
Dengan kemampuan muridnya berbicara aktif. Seperti kutipan dalam novel di bawah
ini, ada kalimat “Quuluu jamaaatan... maa haaza?Haaza kitaabun.” Artinya apa
yang saya pegang ini? Ini adalah buku. Hal tersebut sesuai dengan kutipan sebagai
berikut:
Lalu dengan gerakan tangan, dia mengisyaratkan untuk bersama-sama
mengulang apa yang disebutkan tadi dengan keras. “Quuluu jamaaatan... maa
haaza?Haaza kitaabun.” (AHMAD FUADI, 2011 : 110).
Murid baru membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi bahasa
asing. Hal tersebut diakui semua murid baru. Dalam waktu empat bulan murid baru
harus bisa menggunakan bahasa arab dan bahasa inggris. Kata “kaifah arabiyatuka ya
akhi. Khalas lancar.”aadi faqad. Sedikit-sedikit, astathi.” merupakan kata-kata yang
diucapkan oleh murid baru. “kaifah arabiyatuka ya akhi. Khalas lancar.” Artinya
bagaimana bahasa arab yang kamu kuasai, apakah lancar? Kalimat itu selalu di
ucapkan oleh kyai atau murid senior kepada murid baru. Kata .”aadi faqad. Sedikit-
sedikit, astathi.” Artinya sedikit-sedikit murid baru bisa berbahasa arab. Walaupun
sepenuhnya belum bisa lancar. Seperti kutipan dalam novel tersebut:
“kaifah arabiyatuka ya akhi. Khalas lancar?.
.”aadi faqad. Sedikit-sedikit, astathi.”
itulah broken arabic yang sering muncul diantara anak tahun pertama. Kami
saling bertanya bagaimana kemampuan bahasa arab. Dengan seadanya, kami jawab
130
ya sudah sedikit-sedikit. Walau belum menguasai grammar dengan cepat, kami
berusaha menggunakan kosa kata arab. (AHMAD FAUDI, 2011 :132)
itulah masalah yang selalu muncul pada murid baru. Masalah tersebut
adalah penggunaan bahasa arab. Dengan pengunaan kosa kata sedikit, digunakan
dalam komunikasi sehari-hari. Hal tersebut membantu dan mempercepat penguasaan
bahasa arab murid.
Bahasa arab juga digunakan untuk memberikan semangat dalam
pertandingan bulu tangkis. Karena tidak boleh menggunakan bahasa indonesia. Maka
semua murid yang melihat pertandingan bulu tangkis berbicara dengan bahasa arab.
Kata “idrib...idrib...idrib...qawaiyyan...hit...hit...hit hander!” kata tersebut adalah
kata penyemangat bagi tim indonesia. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam
novel sebagai berikut:
“idrib...idrib...idrib...qawaiyyan...hit...hit...hit hander!” suaraku sampai parau
meneriaki setiap pukulan indonesia. (AHMAD FUADI, 2011: 187)
Berpijak dari pernyataan di atas, bahasa arab juga digunakan kiai untuk
memberikan motivasi, nasehat dan semangat kepada murid, nasehat dan semangat
tersebut disampaikan para kiyai ketika akan menghadapi ujian. Ujian di pondok
madani berlangsung selama dua minggu. Seperti kata “uthlub ilma minal mahdi ila
lahdi” artinya tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat. Setelah memberikan
nasehat, pertemuan itu di tutup dengan doa bersama. Seperti kata “allahummaftah
131
alaina hikmatan birahmatika ya arhamarrahimin.” Artinya tuhan kami, bukanlah
kepada kami hikmah dan bantulah kami dengan rahmat-mu, wahai sang maha
pengasih. Doa tersebut adalah doa meminta perlindungan agar ilmu yang didapatkan
selama pendidikan di pondok madani bisa masuk kedalam sumsum otak. Hal tersebut
sesuai dengan kutipan pada novel berikut:
“anak-anakku, ilmu bagai nur, sinar. Dan sinar tidak bisa datang dan ada
ditempat yang gelap. Karena itu, bersihkan hati dan kepalaku, supaya sinar itu bisa
datang, menyentuh dan menerangi kalbu kalian semua”. Kiai rais memulai
wejangannya dengan lemah lembut. Beliau menegaskan keutamaan menuntut ilmu,
dia mendapat kehormatan sebagi mujahid, pejuang Allah. Bahkan kalau mati dalam
proses mencari ilmu, dia akan di ganjar dengan gelar syahid, dan berhak mendapat
dearat premium di akhirat nanti. Tidak main-main, rasulullah sendiri yang
mengatakan agar kita menuntut ilmu dari orok sampai menjelang jatah umur kita
expired uthlub ilma minal mahdi ila lahdi. Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang
lahat . (AHMAD FUADI), 2011 : 190)
Kerahkan semua kemampuan kalian belajar!” berikan yang terbaik! Baru
setelah segala usaha disempurnakan berdoalah dan bertakwalah. Tugas kita hanya
sampai usaha dan doa, serahkan kepada tuhan selebihnya, ikhlaskan keputusan
kepadanya, sehingga kita tidak akan pernah stres dalam hidup ini. Stres hanya bagi
orang yang belum berusaha dan tawakkal. Ma’annajah, good luck”. Intonasi
lembutnya belum berubah menjadi berkobar-kobar. Kiai Rais telah menyentrum 300
132
murid kesayangannya. Kami telah bertepuk tangan dengan gempita. (AHMAD
FUADI, 2011 : 190)
Acara malam ini ditutup dengan dia Kiai Rais yang kami amini dengan
sepenuh hati, meminta tuhan untuk membuka hati dan fikiran kami dalam menerima
nur ilmu tadi. Allahummaftah alaina hikmatan alaina birahmatika ya
arhamarrahimin. Tuhan kami, bukanlah kepada kami hikmah dan bantulah kami
dengan rahmatMu, wahai sang maha pengasih. Said dan Atang lebih lama
membenamkan mukanya ditelapak tangan mereka yang terbuka setelah doa berakhir.
Memang, akhir-akhir ini kedua kawanku harus berjuang keras untuk bisa mengejar
pelajaran. (AHMAD FUADI, 2011 : 190-191)
Pondok Madani memiliki sistem panjaga keamanan yang ketat. Sistem
keamanan itu khususnya dilakukan pada malam hari. Pondok Madani memiliki lahan
yang sangat luas, peternakan dan perkebunan. Setiap malam murid pondok madani
mendapat giliran unuk berjaga. Hal tersebut dinamakan bulis lai atau ronda malam.
Bagi yang bertugas ronda malam mendapat keringanan untuk tidur sore. Ketika jam
untuk ronda, maka murid yang berjaga segera dibangunkan. Seperti kata “Qum ya
akhi”. Artinya ayo bangun. Semua murid yang bertugas. Bangun untuk berjaga.
Supaya berjaga tidak mengantuk, ada tim khusus yang menyediakan kopi. Seperti
kata “Hoi, la tan’sa daiman,” artinya ini kopi datang!” Alif dan Dulmajid mendapat
tugas didekat sungai. Mata Alif dan Dulmajid tetap mengantuk. Walaupun sudah
133
minum kopi. Alif dan Dulmajid tertidur. Sergapan tyson datang secara tiba-tiba
membangunkan dengan air. Seperti kutipan “Qiyaman ya akhi!”
Sergapan tyson membuat alif dan dulmajid terjaga. Tiba-tiba dari arah
sungai terdengar suara gemercik, seperti orang berjalan. Alif dan dulmajid segera
bersiap-siap untuk menangkap maling tersebut. Dengan sigap maling itu bisa di
kalahkan oleh alif dan dulmajid. Atas keberaniannya itu alif dan dulmajid tidak jadi
di hukum. Hal tersebut sesuai kutipan dalam novel sebagi berikut.
”qum ya akhi ayo bangun. Waktunya bertugas. Cepat berkumpul di kantor keamanan pusat untuk briefing dan pembagian lokasi kalian,” katanya didepan kami yang masih menguap dan mengucek-ngucek mata.(AHMAD FUADI, 2011 : 238)
”qum ya akhi, kok sudah tidur, belum habis ceritaku,” aku goyang-goyang bahunya. .(AHMAD FUADI, 2011 : 244)
“hoi, la tan’as daiman, ini kopi datang,!, kata alif melihat kami berwajah tidur, sabrum menuangkan cairan hitam ke gelas kami dengan gayung pelastik.(AHMAD FUADI, 2011 : 244)
“qiyaman ya akhi, yang punya tangan ini mengeram, geraman yang kukenal. Geraman tyson ya tuhan tangan kirinya memegang botol air yang digunakan untuk membasahi mukaku. Melihat aku bangun, sekarang dia menjentikan air kemuka dul yang segerah mencelat dan terjengkang dari kursinya karena kaget. (AHMAD FUADI, 2011 : 245)
Sementara itu kalimat “kullukum ra’in wakullukum masulum an
raiyatihi,” artinya setiap orang adalah pemimpin yang tidak peduli siapapun, paling
tidak untuk mereka sendiri. Itu kata-kata nasehat murid pondok madani harus bisa
menjadi seorang pemimpin. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai
berikut:
134
“kullukum ra’in wakullukum masulum an raiyatihi,” ini kata-kata penting untuk leader ship di PM. Setiap orang adalah pemimpin, tidak peduli siapapun, paling tidak untuk mereke diri sendiri. (AHMAD FUADI, 2011 : 297)
Dalam bahasa arab ucapan terima kasih juga banyak terdapat dalam novel
negeri lima menara. Seperti “syukran ya akhi,” artinya terimah kasih. Hal tersebut
sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“syukran ya akhi, gitu dong, sering-sering kita dikasih bonus,”sahutku senang hati. Hanya pada hari spesial saja kami dapat jatah makan mewah dengan daging susu, dan kurma. Misalnya menjelang ujian, hari raya, atau hari kami naik kelas enam (AHMAD FUADI, 2011 ; 363).
3. Bahasa inggris
Bahasa ingris merupakan bahasa yang wajib dikuasai murid selain bahasa
arab. Hal ini diterapkan guna mengantisipasi kemajuan zaman. Bahasa ingris
merupakan bahasa resmi internasional. Sehingga harapan kedepan, lulusan pondok
madani bisa fasih menggunakan bahasa ingris.
Bahasa ingris banyak terdapat dalam novel negeri lima menara. Hal itu
terjadi karena dala novel negeri lima menara terdapat beberapa tokoh orang asing.
Bahasa ingris yang terdapat dalam novel negeri lima menara adalah sebagai berikut:
Rasanya tidak ada yang melebihi cara PM mengistimewakan waktu
ujiannya. Ujiannya maraton sepanjang 15 hari disambut bagai pesta akbar, riuh dan
semarak. You can the feel the exam in the air. Itulah the moment truth seorang pencari
ilmu untuk membuktikan bahwa jerih payah belajar selama ini mendatangkan hasil
setimpal, yaitu meresapnya ilmu tadi sampai ke sumsumnya. (AHMAD FUADI,
2011 ; 189)
135
Bahasa ingris yang terdapat dalam kutipan di atas adalah : you can feel
the exam in the air” artinya bahwa kamu buktikan usahamu belajar selama ini akan
mendapatkan hasil yang setimpal. Kata “the moment of truth” artinya suasana atau
moment yang bagus. Kalimat tersebut digunakan ketika akan diadakan ujian maraton.
Bahasa ingris juga ditemukan dalam percakapan di pesawat. Percakapan
tersebut antara alif dan pramugari pesawat terbang. Ketika itu alif melakukan
perjalanan washintong DC-london dengan menggunakan pesawat brtish airways.
Seperti kata “ whoul you like something dto drink, sir? Artinya anda mau minum apa,
pak? Kata tersebut diucapkan oleh pramugari pesawat dengan logat bahasa ingris
yang kental. Alif menjawab dengan “a cup of tea would be lovely,” artinya secangkir
teh yang manis. Pramugari tersebut menjawab “certainly, sir” artinya bailklah pak.
Pramugari tersebut segera menuangkan teh ke dalam cangkir. Bahasa ingris yang
digunakan dalam percakapan tersebut merupakan bahasa resmi internasional yang di
bawakan dengan sopan pramugari. Alif sebagai lawan bicara berusaha membalas
percakapan tersebut dengan ramah dan sopan. Sehingga percakapan tersebut dapat
berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan novel tersebut:
whoul you like something dto drink, sir? Tawar sebuah suara merdu beraksen british yang lengket. Aku tergegap dan mengucek-ngucek mata. Pelan-pelan bagai lensa auto focus,pandanganku memejam.
“a cup of tea would be lovely,” sahutku. Aku agak memaksa menggunakan gaya british yang katanya suka menggunakan kata “lovely” “certainly, sir” dia mencurahkan isi poci putihnya ke cangkirku. (AHMAD FUADI, 2011 : 286)
136
Sementara itu, pramugari yang berambut merah tersebut datang.
Pramugari menawarkan “desser” makanan pencuci mulut. Ada beberapa pilihan
makanan penutup diantaranya ada “chocolate baklava, qatayyef with cheese dan
arabian ice cream with date.” Alif memilih makanan pencuci mulut arabian ice cream
with date.” Yaitu ice crem dari arab. Hal tersebut sesuai kutipan pada novel sebagai
berikut.
Sirambut merah yang lagi memamerkan senyum customer service yang sama.
‘‘sir, kami punya beberapa pilihan dessert ala timur tengah. Apakah anda
tertarik mencoba?
‘kami punya“chocolate baklava, qatayyef with cheese dan arabian ice cream
with date.”
“sepertinya yang terakhir enak, boleh minta yang itu?
“certainly, sir’ (AHMAD FUADI,2011 :287)
Bahasa ingris tidak hanya digunakan oleh murid dan kiyai pondok
madani. Tetapi tukang masak juga menggunakan bahasa ingris dengan lancar. Hal ini
terbukti seperti kata “good morning my friend,” artinya selamat pagi teman. Tukang
masak pondok madani menyediakan kurma untuk merayakan keberhasilan kenaikan
kelas. Hal tersebut sesuai kutipan dalam novel sebagai berikut:
‘good morning my friend” untuk merayakan hari keberhasilan kita naik kelas
enam, kami menyediakan kurma ini untuk mencuci mulut ,” katanya tersenyum
lebar menyodorkan 3 buah hitam berkilat-kilat. (AHMAD FUADI, 2011 : 289).
137
Selanjutnya, bahasa ingris juga digunakan ketika alif dipilih sebagai
student speaker. Pidato tersebut menyambut dubes inggris yaitu McGregor. ketika
tiba waktunya menyampaikan pidato, pembawa acara memanggil alif dengan bahasa
ingris yaitu “your excellncy, one of our student would like to welcome you. Mr. alif
fikri...” artinya ananda mulia, salah satu murid kami akan menyampaikan sambutan,
yaitu pak alif fikri... hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagi berikut.
your excellncy, one of our student would like to welcome you Mr. alif fikri...” undang MC sambil menganggukkan dagu yang duduk mengkerut di ujung aula. Tiba-tiba kerongkonganku terasa kering dan dasiku terasa mencekik. .(AHMAD FUADI, 2011 : 318)
sementara itu diakhir acara, alif berjabat tangan dengan dubes ingris.
Dubes ingris sangat senang dengan pidato yang dibawakan oleh alif, dubes ingris
berjabat tangan sambil berkata “in deed, a very good speech. I like your idea on how
to stengthen the relationship between wes and the east.” Artinya memang bagus
pidatomu. Aku suka ide dengan idemu yang membahas tentang cara memperkuat
hubungan antara negara barat dengan timur. Alif fikri hanya bisa membalas dengan
ucapan “..thank you sir, thank you sir...” artinya adalah terima kasih pak. Hal ini
sesuai dengan kutipan novel sebagai berikut:
Diakhir acara, aku sempat bersalaman dan berfoto bersama pak dubes dan
kyai rais. Tanganku tenggelam di dalam tangan dubes yang besar dan empuk. Di
ayun-ayunkan tanganku beberapa kali sambil berkata, “ indeed, a very good speech. I
like yor idea on how to trengthen the relatoinship between west and the east.”
138
Aku senyum-senyum sambil berulang-ulang menyebut... thank you sir,
thank you sir. (AHMAD FUADI, 2011 : 320)
Bahasa ingris yang ditemukan selanjutnya adalah kalimat “its, official, we
are go to good!” artinya itu secara resmi, kita diisinkan untuk melaksanakan acara
tersebut. Hal tersebut merupakan ucapan yang disampaikan ustad salman kepada
murid. Bahwa acara kilas 70 yang telah di rencanakan disetujui oleh kyai rais. Hal
tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“its, official, we are go to good!” seru ustad salman sambil melempar
kepalanya ke udara..” kiyai rais setuju kita punya kilas 70.”(AHMAD FUADI,
2011 327).
2. Tulisan
1. Bahasa arab
Bahasa kedua menurut kontjaraningrat adalah bahasa tulisan. Bahasa
tulisan yaitu bahasa dalam wujud tulisan. Hal ini juga terdapat dalam novel negeri
lima menara. Seperti kutipan dibawah ini kata “mam thalabal ‘ul sahiral layali.” Ini
merupakan pepatah dalam bahasa arab. Artinya adalah siapa yang ingin mendapatkan
kemuliyaan, maka bekerjalah sampai jauh malam. Seperti kutipan dalam novel sebagi
berikut:
Sahirul lail maknanya kira-kira begadang sampai jauh malam untuk
belajar dan membaca buku. Sebuah pepatah arab berbunyi. Man thalabal ‘ula sahiral
layali. Siapa yang ingin mendapatkan kemuliayaan, maka bekerjalah sampai jauh
malam. Dan aku ingin mencari kemuliyaan itu. (AHMAD FUADI, 2011 : 196)
139
Tulisan Arab selanjutnya adalah kata “ma’an Najah,” artinya “ semoga
sukses dalam ujian “. Ini merupakan kata penyemangat bagi murid. Dalam kutipan
tersebut sebentar lagi akan diadakan ujian selama dua minggu. Di Pondok Madani
diberi sepanduk yang berisikan semangat dan motivasi. Salah satunya yaitu poster
yang bertuliskan “ma’an Najah”. Seperti kutipan dalam novel sebagai berikut:
Pagi itu, tepat dua minggu sebelum hari pertama ujian, aku terbengong-
bengong melihat suasana PM yang baru. ma’an Najah, “semoga sukses dalam ujian”
dalam bentuk poster selebaran kami temukan di ruang kelas, asrama, kantin di pohon-
pohon, bahkan di lapangan basket. (AHMAD FUADI, 2011 ; 189)
Sementara itu, ketika Alif berada di dalam pesawat terbang menuju ke
London, Alif mencoba makanan pencuci mulut. Makanan itu berupa setangkap es
krim yang puncaknya diberi kurma dari Jeddah. Penyajian es krim tersebut kartu yang
berisikan pesan. Pesan tersebut adalah “This Ajwa date is imported from a natural
farmoff jeddah, believed by muslims as the favorite fruit of the Prophet Muhammad.
Enjoy your dessert.” Artinya kurma yang terdapat dalam es krim tersebut, adalah
kurma dari jeddah Jenis Kurma itu adalah makanan favorit nabi Muhammad SAW.
Selamat menikmati makanan ini. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai
berikut:
Dengan rapih dia meletakkan sebuah mankok kecil, setangkup es krim
berwarna krem, ditaburi hazelnut, dan dipuncak sebutir kurma yang mengkilat-kilat.
Sebuah kartu kecil bercorak gambar kubah menemani pesananku.
140
Tulisannya: This Ajwa date is imported from a natural farmoff jeddah,
believed by muslims as the favorite fruit of the Prophet Muhammad. Enjoy your
dessert. (AHMAD FUADI, 2011 : 287-288).
2. Bahasa Ingris
Selain bahasa Arab, bahasa tulis berupa bahasa Ingris juga terdapat dalam
novel Negeri Lima Menara. Seperti tulisan “we are going back to Trafalgar Square
today.” Artinya mereka akan kembali ke Trafalgar Square besok. Hal ini merupakan
salah satu pelajaran murid di Pondok Madani. Pelajaran membaca bahasa Ingris.
Sehingga bagi murid yang belum begitu paham mengenai bahasa Inggris,
membacanya harus dieja. Selain itu, ada juga contoh membaca kalimat “waath thaimi
izzz ith nanung.” Maksudnya “what time is it now”. Artinya jam berapa sekarang?
Namun, dalam mengeja kata now tersebut harus dengan berdengung panjang. Seperti
membaca bahasa Arab. Hal tersebut sesuai dengan kutipan sebagai berikut:
“wai ari guingg tho Trafalghaar Siquarri tudayy,” bacanya tegang, sementara
butir-butir peluh mengucur deras dari jidatnya yang lebar. Tulisannya yang
dibacanya: “wee are going back to Trafalgar Square today,”
“Waath thaimi izzz ith naung”. Maksudnya “what time is it now”. Time di baca
dengan thaim dengan menggunakan huruf tha tebal yang sempurna sekali.
Now, dibaca dengan berdengung panjang, persis seperti dia membaca mad
panjang tiga harakat dengan ilmu tajwid. (AHMAD FUADI, 2011 : 118)
Peraturan di Pondok Madani menganjurkan kepada muridnya untuk
mengirim surat kepada perusahaan luar negeri. Surat tersebut berisi permintaan
141
bantuan buku yang menunjang pembelajaran di Pondok Madani. Ketika itu Alif
mengirim surat ke radio Amerika. Setelah berapa lama Alif mendapat balasan.
Balasan surat tersebut berisi buku. Surat tersebut bertuliskan “Mr. Fikri, enjoy your
free copy of this book. Thank you VOA Indonesian service.” Artinya bapak Fikri
silahkan menikmati buku gratis permintaan anda. Terima kasih. Dari bagian VOC
Indonesia. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“wah buku percakapan indonesia-american English dari radio Amerika!”
teriakku kaget. Secarik surat pendek menyertai dan berbunyi : “Mr. Fikri, enjoy
your free copy of this book. Thank you VOA Indonesian service.” (AHMAD
FUADI, 2011 : 174)
Sementara itu, tulisan bahasa Inggris terdapat dalam poster. Poster
tersebut ditempel menjelang ujian dilaksanakan. Poster yang berisi “You can feek the
exam in the air” artinya bahwa usaha belajar yang maksimal akan mendatangkan
hasil yang setimpal. Itulah the moment of truth. Itulah suasana yang dinantikan. Hal
tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagi berikut:
Rasanya tidak ada yang melebihi cara PM mengistimewakan waktu ujian.
Ujian maraton sepanjang 15 hari di sambut bagai pesta akbar, riuh dan semarak. You
can the exam in the air. Itulah the moment of truth seorang pencari ilmu untuk
membuktikan bahwa jerih payah belajar selama ini mendatangkan hasil setimpal,
yaitu meresapnya ilmu tadi sampai ke sumsumnya. (AHMAD FUADI, 2011 : 189).
142
e. Kesenian
Kesenian merupakan salah satu unsur yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat. Kesenian yang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara berupa
kesenian kaligrafi dan bangunan.
1. Kaligrafi
Kaligrafi merupakan salah satu mata pelajaran di Pondok Madani.
Kaligrafi tersebut belajar mengenai menulis arab yang indah. Ketika ujian, kaligrafi
juga diujikan. Pelajaran kaligrafi juga merupakan pelajaran yang digemari oleh Alif.
Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Ujian hari akhir adalah dua pelajaran favoritku: kaligrafi Arab dan bahasa Inggri. Walau bukan pelajaran utama, untuk kaligrafi, aku mempersiapkan diri lebih dari para sahibul Menara. Kaligrafi tidak dihapalkan, tapi dipraktekkan. Dengan tekun, aku menulis berlembar-lembar kertas dengan menggunakan beragam gaya kaligrafi yang diajarkan dan yang belum diajarkan. Aku bahkan meminjam beberapa buku referensi kaligrafi terbitan Mesir dan lokal. Qalam pena khusus kaligrafi pun aku siapkan dengan berbagai ukuran. Semua aku lakukan dengan penuh antusiasme. Dengan gembira dan percaya diri aku mengerjakan soal ujian kaligrafi dan Bahasa Inggris. Inilah hari tersuksesku dalam ujian kali ini. (AHMAD FUADI, 2011 : 203).
2. Bangunan
Selanjutnya bangunan dalam unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat
ini merupakan kesenian. Bangunan yang digambarkan dalam novel Negeri Lima
Menara adalah bangunan pondok Madani dan menara. Bangunan di Pondok Madani
memang sangat luas. Bangunan tersebut terdiri dari beberapa bagian yang memiliki
fungsi tersendiri. Bangunan pertama berupa masjid. Bangunan kedua berupa aula
serba guna. Aula tersebut berguna untuk semua kegiatan penting seperti: pagelaran
143
teater, musik, diskusi ilmiah, upacara selamat datang buat siswa baru dan
penyambutan tamu penting. Bangunan ketiga asrama, yaitu gedung yang digunakan
untuk menginap bagi murid baru. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai
berikut:
“yang kedua adalah aula serba guna. Di sini semua kegiatan penting berlangsung. Pagelaran teater, musik, diskusi ilmiah, upacara selamat datang buat siswa baru dan penyambutan tamu penting,” kata Burham sambil memimpin kami melewati aula. Gedung ini seukuran hampir setengah lapangan sepak bola dan diujungnya ada panggung serta tirai pertunjukan. Tampak mukanya minimalis dengan gaya art-deco , bergaris-garis lurus. Sederhana tapi megah. Di atas gerbangnya yang menghadap ke luar, tergantung jam antik dan tulisan dari besi berlapis krom: Pondok Madani.
Rombongan kecil kami melintasi lapangan besar yang berada di depan masjid dan balai pertemuan menuju bangunan memanjang berbentuk huruf L. Dindingnya dikapur putih bersih, atap segi tiganya dilapisi genteng berwarna bata dan ubinya berwarna semen mengkilat. Kusen, jendela dan tiangnya dilaburi cat minyak hijau muda. Bangunan sederhana yang tampak bersih dan terawat ini terdiri dari 14 kamar besar. Bangunan ini semakin teduh dengan beberapa pohon rindang dan kolam air mancur di halamannya.
“gedung ini salah satu asrama murid dan di kenal baik oleh semua alumni karena setiap anak tahun pertama akan tinggal di asrama yang bernama al-barq. Yang berarti petir. Kami ingin anak baru bisa menggelepar sekuat petir dan bersinar seterang petir,” terang pemandu kami. Mata raja yang berdiri disebelahku berbinar-binar.(ahmad fuadi, 2011 : 32).
f. Sistem mata pencarian
Mata pencarian yang terdapat dalam novel negeri lima menara adalah
guru dan pegawai pemkab. Hal ini terlihat pada mata pencarian orang tua alif dan
orang tua atang. Hal ini dapat terlihat pada kutipan novel sebagai berikut.
1. guru
walau berprofesi sebagi guru madrasah, beliau pengajar matematika, seringkali pendapatnya lain dengan amaak. Misalnya, ayah percaya untuk berjuang bagi
144
agama, orang tidak harus masuk madrasah. Dia lebih sering menyebut-nyebut keteladanan bung hatta, bung syahrir, pak natsir, atau haji agus salim, dibanding buya hamka. Padahal latar belakang religius ayahku tidak kalah kuat. Ayah dari ayahku adalah ulama yang terkenal di minangkabau. (AHMAD FUADI, 2011 ; 10).
Berdasarkan kutipan di atas bahwa pekerjaan ayah alif adalah seorang
guru matematika di madrasah. Hal tersebut tidak terlepas dari kewajiban seorang
kepala keluarga yaitu mencari nafkah. Walaupun ayah alif berprofesi sebagai guru.
Beliau lebih banyak diam yang berkaitan dengan sekolah alif.
Sementara itu yang berperan dalam urusan pendidikan alif adalah amak.
Amak bekerja sebagai seorang guru di sekolah swasta. Bahkan amak relah tidak
dibayar. Hal itu dilakukan amak, supaya mendapatkan pekerjaan . pekerjaan yang di
jadikan pegangan hidup dimasa depan. Hal itu dapat terlihat pada kutipan dalam
novel sebagai berikut:
Beberapa hari setelah eforia kelulusan mulai kisut, amak mengajakku duduk di dalam rumah amakku. Seorang perempuan berbadan kurus dan mungil. Wajahnya sekurus badannya, dengan sepasang mata yang bersih dan dinaungi alis tebal. Mukanya selalu mengibarkan senyum kesiapa saja . kalau keluar rumah selalu menggunakan baju kurung yang dipadu dengan kain atau rok panjang. Tidak pernah celana panjang, kepalanya selau ditutup songkok dan di lehernya digantung selendang. Dia menamatkan spg bertepatan dengan pemberontakan G30S, sehingga negara yang sedang kacau tidak mampu segera mengangkatnya menjadi guru. Amak terpaksa menjadi guru sukarela yang hanya dibayar beras selama 7 tahun, sebelum diangkat menjadi pegawai negeri (AHMAD FUADI, 2011 : 6).
2. pegawai pemda
Pegawai pemerintah daerah merupakan mata pencaharian yang terdapat
dalam novel negeri lima menara. Pegawai daerah ini adalah mata pencaharian pak
145
yunus. Pak yunus adalah ayah atang. Keluarga pak yunus tinggal di bandung. Hal ini
sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Pak yunus adalah pegawai pemda bandung dan aktif di muhammadiyah. Kaca depan rumahnya menempel sebuah stiker hijau denagn gambar matahari ditengahnya,. “ dari mulai orang tua saya sudah aktif di pengurus cabang muhammadiyah,” katanya pak yunus. (AHMAD FUADI, 2011 : 218).
g. Sistem peralatan hidup dan teknologi
Sistem peralatan dan teknologi merupakan tujuh unsur kebudayaan yang
dikemukakan oleh koentjaraningrat sistem peralatan dan teknologi ini berhubungan
dengan transportasi peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah,
pakaian dan tempat berlindung. Hal ini dapat terlihat pada kutipan novel sebagai
berikut;
1. Transportasi
Bersama ayah, aku menumpang bus kecil harmonis yang terkentut-kentut merayapi kolak Ampek Peluak Ampek jalan mendaki dengan 44 kelok patah. Kawasan danau meninjau menyerupai kuali raksasa dan kami sekarang memanjat pinggir kuali untuk keluar, makin lama kami makin tinggi di atas Danau Meninjau. Dalam satu jam permukaan danau yang biru tenang itu menghilang dari pandangan mata berganti dengan horison yang didominasi dua puncak gunung yang gagah, merapi yang kepundan aktifnya mengeluarkan asap dan singgalan yang puncaknya di peluk awan, tujuan kami ke kaki merapi Kota Bukit tinggi, di kota sejuk ini kami berhenti di loket bus antar pulau. P.O.ANS. Dari ayah aku tahu kalau PO itu kependekan dari perusahaan oto. (AHMAD FUADI, 2011 : 15)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa transportasi yang digunakan Alif dan
ayah adalah bus. Bus digunakan sebagai alat transportasi menuju ke pondok madani
yang ada di Jawa Timur. Hal tersebut dipilih karena tiket bus lebih murah mengigat
146
keluarga Alif berasal dari keluarga yang kurang mampu menggunakan armada
pesawat, tidak mampu membeli tiketnya.
Jawa timur terletak di sebelah selatan pulau Sumatra. Untuk sampai ke
pulau Jawa harus menyeberang pulau menggunakan transportasi laut. Alif dan ayah
menyeberang laut dengan menggunakan ferry, ketika menyeberang lautan pada waktu
malam hari, ombak sangat besar. Sehingga Alif merasa takut, cemas dan mual. Hal
ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Pegangan yang kuat” temak laki-laki bercambang lembat dengan seragam kelasi kepada penumpang ferry raksasa yang aku tumpangi. Dari laut yang gulita, deburan demi deburan terus datang menerpa badan kapal, bagai tidak setuju dengan perjalananku. Lampu ruang penumpang mengeridip setiap goyangan keras datang. Angin bersiut-siutan melontarkan tempias air laut yang terasa asin di mulut. Muka dan bajuku basah.
Aku segera mencekal erat pagar besi dengan tangan kanan. Tapi aku tetap terhuyung ke kanan, ketika kapal besar menampar lembut ferry. Mukaku terasa pias karna cemas dan mual, berkali-kali aku komat kamit memasang doa agar laut kembali tenang. Ayah memeluk tiang besi diselahnya. (AHMAD FUADI, 2011 : 22)
Sementara itu, ketika Alif sudah lulus kuliah mendapat kesempatan untuk
bertemu dengan dua kawan lama di pondok Madani. Pertemuannya itu dilakukan di
London. Untuk sampai di London Alif menggunakan armada pesawat terbang. Hal
ini dapat terlihat pada kutipan dalam novel sebagai berikut:
Penerbangan Washington DC-London dengan Britis Air Ways sungguh nyaman. Aku tertidur nyeyak hampir empat jam. Sebuah tidur penuh mimpi, mimpi yang deras dengan kenangan hidupku mas lalu bersama 5 bocah nusantara yang terdampar disebuah kampung di jawa dalam misi merebut mimpi mereka. (AHMAD FUADI,2011 : 286)
147
2. Peralatan Komunikasi
Peralatan komunikasi yang digunakan dalam novel Negeri Lima Menara
adalah surat. Surat merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berkomunikasi
dalam jarak yang sangat jauh. Alif berhubungan dengan pamannya yang ada di Mesir
dengan saling berkirim surat, hal ini dilakukuan beberapa bulan sekali. Begitu juga
Alif ketika berada di pondok Madani. Supaya dapat berkomunikai dengan keluarga di
Minangkabau dan berkomunikasi dengan temannya, Alif menggunakan alat
komunikasi surat. Hal tersebut dilakukan karena pada zaman tersebut telephone
masih sangat jarang. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Aku baca surat Pak Etek Gindo dengan penerangan sinar matahari yang menyelinap dari sela-sela dinding kayu. Dia mendoakan aku lulus dengan baik dan memberi usul. (AHMAD FUADI, 2011 : 12).
3. Peralatan komunikasi dalam bentuk wadah
Peralatan komunikasi yang digunakan di Pondok Madani adalah piring
dan gelas. Setiap anak membawa piring dan gelas sendiri-sendiri untuk makan. Dapur
tempat untuk menyediakan makanan tidak menyediakan peralatan makan, petugas
dapur hanya melayani murid yang membawa piring dan gelas sendiri serta kupon-
kupon tersebut digunakan untuk mendapatkan lauk. Hal ini terlihat pada kutipan
dalam novel sebagai berikut:
Setiap kali makan kami membawa sobekan angka yang sesuai dengan tanggal hari ini. “intadzir. Tunggu saya lupa dimana menaruh kupon makan,” balasku sambil mengaduk-aduk lemari. “cepat,kita akan kalah dengan asrama sebelah”
148
“iya,Tapi saya tidak punya kupon.” “Ma fizy. Tadak ada. Ya nasib hari ini kurang baik”.gumamku berlalu tanpa kupon penting ini. Aku pasrah, tidak ada kupon, tidak ada rendang sambil menenteng piring dan gelas masing-masing, kami berlari-lari kecil ke dapur umum. Kalau kami terlambat sedikit saja, antrian bisa mengular sampai ke halaman dapur. (AHMAD FUADI, 2011 : 120-121).
4. Pakaian
Pakaian adalah mahkota yang digunakan untuk menutupi badan. Pakaian
yang digunakan bagi murid pondok Madani di tentukan. Yaitu berupa kaos baju olah
raga dan baju pramuka, serta bawahan sarung ketika sholat. Semua seragam tersebut
sudah ditulis pada daftar belanja wajib bagi murid baru. Hal ini dapat terlihat pada
kutipan dalam novel sebagai berikut:
Perlengkapan pakaian 1. Sarung 2. Ikat pinggang 3. Kopiah 4. Baju pramuka 5. Baju olahraga (kaos dan training pack) 6. Papan nama untuk disematkan di baju. Latar belakang angu untuk anak
kelas 1. Waktu pembuatan 10 menit. (AHMAD FUADI, 2011 : 58)
5. Tempat berlindung dan perumahan
Setiap murid yang di pondok madani tidak diperbolehkan untuk pulang.
Sehingga siapapun yang masuk Pondok Madani menempati asrama yang sudah
disediakan. Asrama tersebut dibangun di atas tanah yang sangat luas. Asrama Pondok
Madani bisa menampung ratusan murid. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel
sebagai berikut:
149
“gedung ini salah satu asrama murid dan dikenal baik oleh semua alumni, karena setiap anak tahun pertama akan tinggal di asrama yang bernama AL-Barq, yang berarti petir. Kami ingin anak baru bisa menggelar sekuat petir dan bersinar seterang petir, “ terang pemandu kami. Mata Raja yang berdiri disebelahku berbinar-binar. (AHMAD FUADI, 2011:32)
2. Nilai-nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara
Ahmad Fuadi
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna
bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki
ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai.
Ada beberapa nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari sebuah cerita
(dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu di antaranya adalah nilai yang
dikemukakan oleh max scheler. Dalam penelitian yang diambil untuk menganalisis
nilai pendidikan adalah nilai yang di kemukakan oleh max scheler. Maka nilai-nilai
pada novel dapat dikemukakan sebagi berikut:
a. Nilai vitalitas atau kehidupan sosial
Nilai sosial adalah yang dianut oleh masyarakat, mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang
menganggap menolong memiliki nilai baik, adapun mencuri, bernilai buruk. Nilai
sosial termasuk pada nilai vitalitas atau kehidupan sosial.
Ukuran untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas
atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
150
kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.
Kehidupan sosial keluarga Alif berada diantara golongan menengah ke
bawah, kedua orang tua Alif adalah seorang guru Madrasah, Alif tinggal di sebuah
rumah kontrakan beratap seng dan berdinding kayu. Alif yang sejak kecil bersekolah
di Madrasah, setelah lulus Madrasah Tsanawiyah atau setara SMP ingin melanjutkan
di sekolah umum. Menurutnya iya merasa sudah cukup bekal agama yang dimilikinya
selama sekolah di Madrasah.
Kehidupan warga tempat Alif tinggal, banyak yang menyekolahkan ke
sekolah agama karena tidak punya uang, karena ongkos masuk sekolah Madrasah
lebih murah dibandingkan sekolahan negeri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini
“beberapa orang tua menyekolahkan anak ke sekolah agama karena tidak punya
cukup uang. Ongkos masuk madrasah lebih murah....:”(AHMADFUADI,2011:6)
Kehidupan keluarga Alif yang serba kekurangan juga nampak dalam
kutipan berikut:
Tidak ada waktu lagi. Menurut informasi dari surat pak Etek Gindo, waktu pendaftaran pondok Madani ditutup empat hari lagi, padahal butuh tiga hari jalan darat untuk sampai dijawa Timur. Tiket pesawat tidak terjangkau oleh kantung keluargaku. “kita naik bus saja ke Jawa besok pagi,”kata ayah yang akan mengantarku, (AHMAD FUADI,2011:14)
Kutipan di atas menerangkan bahwa keluarga Alif tidak mampu
membelikan tiket pesawat terbang untuk menuju pondok Madani yang terletak di
Jawa Timur. Ketika itu dilalui perjalanan darat dari pulau Sumatera menuju Jawa
151
Timur membutuhkan waktu sekitar 3 hari, dan pendaftaran pondok Madani hanya
tinggal 4 hari lagi.
b. Nilai spiritual atau nilai agama
Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada nabi sebagai
petunjuk bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta
mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, manusia dan masyarakat serta
alam sekitarnya.
Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada
ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima apa yang
terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan apa yang dicari adalah
kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa.
Amak Aif menganjurkan Alif untuk masuk ke pondok, Amak percaya
bahwa Aif akan menjadi pemimpin agama yang hebat. Bagaimanapun juga garis
keturunan Amak adalah garis keturunan ulama. Alif tidak mau melanjutkan sekolah
ke pondok. Alif ingin melanjutkan ke SMA dan kuliah agar bisa seperti Habibie.
Amak tetap tidak mengijinkan karena bersekolah di SMA membutuhkan uang yang
banyak. Hal ini sesuai kutipan dalam novel:
Tapi aku ingin....
Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang besar. Apalagi Waang punya darah ulama dari kedua kakekmu.(AHMAD FUADI,2011 :9)
152
Sementara itu, Alif bersedia bersekolah di Pondok. Namun pondok yang
dipilih adalah pondok Madani di jawa Timur. Pelajaran agama di pondok dapat
dilakukan setiap saat. Hal ini terungkap dalam novel sebagai berikut:
“terima kasih atas pertanyaannya pak. Menurut kiai kami, pendidikan PM tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya satu dan semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada dimana-mana,” jelas Burhan lancar. (AHMAD FUADI,2011 : 35)
Pendidikan agama di pondok Madani tidak mengenal waktu. Setiap saat
agama selalu diajarkan di pondok. Kiai dipondok harus membuat aturan agama harus
diajarkan setiap saat. Disela-sela pelajaran umum juga diberikan materi agama. Hal
ini sesuai denga pertanyaan dari bapak Alif. Bahwa dipondok banyak diajarkan
tentang pelajaran umum, kapan agama akan diajarkan? Dengan senang hati pemandu
pondok menjelaskan bahwa agama dipondok diajarkan setiap waktu.
Pendidikan agama islam dalam novel ini sangat kental sekali. Setiap
detail diceritakan dengan sangat menarik. Ini menandakan bahwa ajaran di pondok
memang sangat ketat. Apalagi soal agama islam. Di pondok waktu sholat memang
segala aktifitas harus dihentikan. Semua harus datang ke mesjid pada waktu sholat
magrib. Namun, untuk sholat lainnya dilakukan di kamar masing-masing. Hal ini
dilakukan untuk melatih murid agar menjadi imam bagi orang lain. Hal ini sesuai
dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Shalat magrib di mesjid jami dihadiri seluruh penduduk sekolah. Karena hampir semua orang hadir, kecuali yang sakit atau pura-pura sakit, waktu seperempat jam setelah sholat dimanfaatkan untuk memberikan maklumat penting bagi
153
semua warga. Kismuh Islam, bagian yang khusus mengurusi pengumuman tampil di depan jamaah. Ditemani secarik kertas dan kepercayaan diri, mereka membacakan pengumuman. (AHMAD FUADI,2011:70)
Kami termenung-menung meresapi pesan yang menggugah ini. Awan-awan sumber khayal kami sekarang berganti warna menjadi terang, seiring dengan merapatnya matahari dengan peraduannya. Lonceng berdentang, waktunya kami ke mesjid menunaikan magrib. ( AHMAD FUADI, 2011: 211)
Untuk sholat . shalat isyah, subuh, dhuhur, ashar dan shalat sunnah di
lakukan di kamar sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sistem religi dalam novel
tersebut sangat menonjol. Shalat malam biasa alif dan kawan-kawan kerjakan. Shalat
dan berdoa merupakan usaha yang dilakukan agar semua pekerjaan dan kesulitan
dalam belajar biasa teratasi. Karena hanya tuhanlah semua memohon dan meminta
bantuan. Semua itu dilakukan dengan khusuk ikhlas. Hal ini sesuai dengan kutipan
dalam novel sebagai berikut:
Aku membentang sajadah dan melakukan shalat tahajjud. Diakhir rakaat, aku benamkan kesebuah sujud yang panjang dan dalam. Aku coba memusatkan perhatian kepadanya dan menghilang selainnya. Pelan-pelan aku merasa badanku semakin mengecil dan mengecil dan mengkerut hanya menjadi setitik debu yang melayang-layang di semesta luas yang diciptakannya. Betapa kecil dan tidak berartinya diriku, dan betapa luas kekuasaanya. Dengan segalah kerendahan hati, aku bisikkan doaku.
“ ya Allah, hamba datang mengadu kepadamu dengan hati rusuh dan berharap. Ujian pelajaran muthalah tinggal besok, tapi kau belum siap dan belum hapal pelajaran. Hambamu ini datang meminta kelapangan pikiran dan kemudahan untuk mendapat ilmu dan bisa menghapal dan lulus ujian dengan baik. Sesunguhnya engkau maha pendengar terhadap doa hamba yang kesulitan. Amminnnn”
Alhamdullilah, selesai tahajud badanku terasa lebih enteng dan segar. Aku siap sahirul lail, belajar keras dini sampai subuh. Dengan setumpuk buku di tangan, sarung melilit leher dan sebuah sajadah, aku bergabung dengan para pelajar malam lainnya di atas teras asrama. Ada belasan orang yang sudah terlebih dahulu membuka buku pelajaran di tengah malam buta ini. Ada yang bersila,
154
ada yang berselonjor, ada yang menopang punggungnya dengan dinding, dengan bermacam gaya,. Tapi semuanya sama; mulut komat-kamit, buku terbuka di tangan sarung melilit leher, segelas kopi dan duduk di atas hamparan sajadah. Sekilas mereka sedang naik permadani terbang .(AHMAD FUADI, 2011 : 197-198).
Dengan shalat tahajjud badan juga terasa ringan dan segar. Apalagi
menjelang ujian, banyak murid yang melakukan doa malam. Sungguh yang jarang
dilakukan oleh orang awam.
c. Ungkapan nilai moral secara positip dan secara negatif.
Pendidikan bertujuan menyiapkan dalam keseimbangan, kesatuan
orgamis, harmonis, dinamis. Guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Adapun filsafat pendidikan nasional adalah suatu sistem yang mengatur
dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri atas landasan
yang dijiwai oleh filsafat hidup bangsa” pancasila” yang diabadikan demi
kepentingan bangsa dan negara dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan
negara indonesia.
Nilai pendidikan merupakan hal-hal yang penting dan ajaran yang
berguna bagi kemanusiaan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta menjadikan
manusia berbudaya. Nilai pendidikan adalah nilai yang bermoral. Moral merupakan
tingka laku perbuatan manusia dipandang dari nilai baik-buruk, benar dan salah
berdasarkan adat dan kebiasaan dimana individu itu berada. Nilai moral dibagi dua
yaitu segi positif dan negatifnya. Kedua hal itu perlu disampaikan, sebab kita dapat
memperoleh teladan yang bermamfaat. Segi positif harus di tonjolkan sebagai hal
yang ditiru dan diteladani. Demikian yang segi negatif perlu juga diketahui serta di
155
sampaikan kepada pembaca. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak tersesat, bisa
membedakan mana yang baik mana yang buruk. Seperti halnya orang belajar. Ia akan
berusaha bertindak lebih baik jika tidak tahu hal-hal yang buruk dan tidak pantas
dilakukan. Nilai moral mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluru
persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia, mencakup semua
persoalan yang boleh dikatakan tak terbatas.
Pandangan hidup yang terungkap dalam novel negeri lima menara adalah
kata mujarab yang disampaikan oleh ustad salman kata mujarab yang memikat semua
orang adalah man jadda wa jadda. Hal tersebut terdapat dalam kutipan novel seperti
di bawa ini.
“man jadda wajada” teriakku pada diri sendiri. Sepotong syair arab yang diajarkan dihari pertama masuk kelas membakar tekadku. Siapa yang bersungguh sungguh akan sukses. (AHMAD FAUDI, 2011 :82)
Rumusan man jaddah wajada terbukti mujarab. Kesungguhanku segera dibalas kontan. (AHMAD FUADI, 2011 :82)
Siapapun yang meresapi dan melaksanakan kata man jadda wajada
dengan sungguh-sungguh maka, usahanya itu akan dibalas dengan kebaikan oleh
tuhan. Hal itu dilakukan oleh alif sekaligus pengarang novel tersebut. Alif dengan
bersungguh-sungguh berdoa dan berusaha. Usaha tersebut tidak sia-sia. Alif
mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, semua itu tidak terlepas dari suratan
takdir Allah SWT.
156
d. Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam
suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan organisasi yang mengakar pada
suatu kebiasaan, keparcayaan (belive), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu
yang dapat dibedakan dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa
yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Nilai budaya yang terungkap dalam novel yaitu kepercayaan orang
mengenai minang adalah mengenai rumah makan padang. Supremasi orang minang
soal makanan sangat terlihat dalam perjalanan menuju ke pondok madani. Perjalanan
dengan menggunakan bus tersebut terlihat begitu jelas. Hal ini sesuai dengan kutipan
dalam novel sebagai berikut:
Supremasi orang minang soal makanan tampak pada perjalanan ini.
Hampir sumua tempat makanan di pinggir jalan lintas sumatera dan padang memakai
tanduk dan bertuliskan “RM padang”. Di dalam ruangannya yang lapang tersusun
meja dan kursi yang jumlahnya ratusan. Speaker yang berbentuk kotak-kotak kayu
ada di setiap sudut ruangan dan tidak henti-henti memperdengarkan lagu pop minang.
(AHMAD FUADI, 2011 : 23)
Orang minang yang membuka restoran makanan selalu menggunakan
atap tanduk dan bertuliskan “RM Padang”. Atap tanduk merupakan ciri rumah
gabang. Rumah gabang merupakan rumah adat daerah minangkabau. Bagi sebagian
157
besar orang menggunakan atap tanduk menonjolkan salah satu ciri khas kebudayaan
daerah. Hal itulah yang menjadi ciri khas orang padang.
Selain itu juga menggunakan tulisan RM Padang. Itu merupakan satu
kesatuan dengan atap bertanduk. Kedua ciri khas tersebut tidak bisa terpisahkan.
Ibarat langit dengan bumi. Keduanya merupakan budaya irang minang. Selain itu,
kebudayaan lain dari minang adalah tingkat derajat pedas pada makanan rendang.
Semakin jauh dari padang derajat pedasnya semakin berkurang. Hal inilah yang
menjadi kebudayaan yang dianut masyarakat padang secara turun temurun.
3. Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima
Menara Karya Ahmad Fuadi
Ahmad Fuadi lahir di bayur, di sebuah kampung yang kecil. Kampung itu
terletak di Danau Minanjau. A. Fuadi lahir pada tanggal 30 desember 1972. Fuadi
menulis novel ini terinspirasi oleh pengalaman peribadi ketika menempuh
pendidikan. Pendidikan di pondok gontor memberikan kenikmatan yang
mencerahkan kehidupan, semuah tokoh dalam novel negeri lima menara terinspirasi
oleh sosok asli. Karakter yang ada dalam tokoh, juga merupakan gabungan dari
beberapa karakter yang sebenarnya.
Pandangan ahmad fuadi terhadap pondok madani dalam novel negeri
lima menara, merupakan tempat mengajarkan tentang kehidupan yang percaya dan
bertakwa terhadap tuhan. Selain itu pengarang juga berpandangan bahwa pondok
158
madani merupakan tempat untuk membentuk karakter seseorang dan menjadi
manusia berwawasan luas.
Murid pondok madani dibekali dengan iman yang kuat, pintar dan
berkarakter tersebut, tidak terlepas dari pendidik pondok. Pondok pengajar madani
sebagian besar adalah lulusan ingris dan mesir. Menurut ahmad fuadi, kyai pondok
madani tidak hanya mengajarkan agama. Belajar agama dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Misalnya, dengan membaca buku, pengajian, atau lewat internet
pondok pesantren adalah tempat belajar kehidupan secara total. Artinya belajar
mengenai kehidupan yang nantinya akan di terapkan dalam masyarakat.
Di pondok madani, murid belajar dengan pembiasaan yang baik dan
teratur selama 24 jam. Selama 24 jam tersebut semua aktivitas dipantau oleh para
kyai. Kegiatan di pondok madani antara lain belajar (learn how to learn), etos kerja
sampai tujuan hidup. Di pondok madani juga di wajibkan untuk menulis karangan
sebanyak tiga kali dalam seminggu dan menulis teks pidato dalam tiga bahasa. Semua
kegiatan tersebut dipantau dan diperiksa oleh kyai dengan ketat.
Menurut ahmad fuadi pembiasaan positif tersebut memudahkannya
menulis sampai sekarang. Menulis perlu etos kerja yang keras dan kejernihan visi
tentang hidup. Selain hal tersebut, dengan adanya pembiasaan yang positif ahmad
fuadi mendapatkan beberapa beasiswa keluar negeri. Hal itu terjadi karena adanya
semangat dan motifasi yang diajarkan di pondok madani. Kesempatan ahmad fuadi
untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri antara lain di ingris. London, amerika
serikat dan singapura.
159
Ahmad fuadi memang tidak salah pilih bersekolah dipondok madani.
Selain penjelasan di atas, pondok madani juga merupakan tempat membentuk anak
muda dengan totalitas pendidikan yang iklas. Artinya, pengajar di pondok
memberikan pendidikan yang mengajarkan keikhlasan. Selain itu kyai pondok
madani memberikan ilmu yang dimiliki dengan ikhlas dan hanya mengharapkan
pahala dari Allah. Ahmad fuadi sangat beruntung bisa masuk ke pondok madani.
Pondok madani juga memberikan bekal hidup bagi anak didiknya. Bekal
tersebut antara lain bekal untuk mengarungi hidup. Dimana kehidupan itu terkadang
senang dan susah. Bekal tersebut tertanam di dalam pikiran dan hati. Bekal itu berupa
ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Keduanya saling berjalan
beriringan untuk mengarungi kehidupan. Namun penanaman dan penerapan bekal
setiap individu di pondok madani itu berbeda-beda.
Selanjutnya pandangan ahmad fuadi terhadap pondok madani adalah
kepercayaan pondok yang mengharuskan murid pondok menggunakan bahasa asing
selama 24 jam. Bahasa asing tersebut adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Setiap
murid diwajibkan menggunakan bahasa asing dengan harapan agar semua murid bisa
berbahasa asing dengan lancar. Dimana bahasa asing merupakan kunci utama untuk
menjelajahi dunia.
Semua dapat dilakukan dan didapat oleh ahmad fuadi berkat semangat,
motivasi, kesungguhan, doa dan kerja keras. Salah satunya dalah motivasi yang
diajarkan di pondok madani. Motivasi tersebut adalah man jadda wajadda artinya
siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Menurut pandangan pengarang
160
man jadda wajadda harus di imbangi dengan usaha keras. Setiap keberhasilan pasti
ada jaraknya. Jarak tersebut tidak bisah ditentukan berapa lamanya. Jarak tersebut
harus diisi dengan kesabaran. Man jadda wajadda saja tidak cukup, tetapi harus di
dilengkapi dengan man shabara zhafira artinya siapa yang sabar akan beruntung.
B. Pembahasan
1. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara
Karya Ahmad Fuadi
Koentjaraningrat (dalam P. Hariono, 2009: 38 dan Mg. Sri Wijayati,
2007: 133) memaparkan tujuh unsur kebudayaan sebagai berikut: (1) sistem religi;
(2) sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa;
(5) kesenian; (6) sistem mata pencarian; dan (7) sistem peralatan hidup atau
teknologi.
Ketujuh unsur kebudayaan di atas, masing-masing memiliki tiga wujud
kebudayaan. Sehingga tiap-tiap kebudayaan dapat dijelaskan pada 1) wujud budaya
(gagasan, pola berpikir), 2) wujud sosial( tindakannya, pola aktivitas), 3) wujud fisik.
Keseluruhan sistem dalam wujud kebudayaan itu pada akirnya menjelma menjadi
kebudayaan makro suatu masyarakat, yang memiliki peraturan antar unsur
kebudayaan dan wujud kebudayaan (P. Hariyono, 2009: 38 ).
Sosial budaya yang terdapat dalam novel sesuai dengan tujuh unsur yang
dikemukakan oleh koentjaraningrat (dalam P. Hariyono, 2009: 38 dan Mg. Sri
161
Wijayati, 2007: 133). Sistem religi yang terdapat dalam novel adalah menganut
agama islam. Novel tersebut bercerita tentang kehidupan sehari-hari di pondok
madani. Dimana pondok sarat dengan pendidikan agama yang sangat kental.
Selanjutnya sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, terdapat
organisasi berupa perkumpulan enam murid pondok madani. Perkumpulan enam
murid tersebut deberi nama sahibul manara. Tempat perkumpulan sahibul manara
yaitu di menara masjid pondok madani. Selain di menara masjid, perkumpulan juga
dilakukan di aula.
Sistem pengetahuan juga terdapat dalam novel tersebut yaitu murid kelas
enam pondok madani mampu membuat pertujukan yang spektakuler. Sehingga
pertunjukan itu diberi nama class six show.
Sementara itu bahasa yang terdapat dalam novel berupa bahasa lisan dan
tulisan. Bahasa lisan terdiri dari bahasa minang, bahasa inggris dan bahasa arab.
Sedangkan bahasa tulisan berupa bahasa inggris dan bahasa arab. Untuk bidang
kesenian terdapat kesenian berupa kaligrafi dan kesenian bangunan pondok yang
menawan. Sistem mata pencarian yang terdapat dalam novel yaitu guru dan pegawai
pemda. Guru merupakan mata pencarian orang tua alif. Orang tua atang yang tinggal
di bandung bekerja sebagai pegawai pemda.
Unsur kebudayaan yang terakhir adalah sistem peralatan hidup dan
teknologi terdiri dari transportasi, alat komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk
162
wadah dan pakaian. Transportasi yang digunakan alif untuk pergi kepondok adalah
bus dan kapal. Namun, setelas lulus dan sukses alif belajar di luar negeri. Untuk dapat
ke luar negeri, alif menggunakan alat transportasi pesawat terbang. Selanjutnya,
peralatan komunikasi berguna untuk mengetahui keadaan dan kabar berita. Maka
dalam novel terdapat alat komunikasi berupa surat. Lain halnya dengan alat
komunikasi berupa wadah. Peralatan makan yang digunakan adalah piring dan gelas.
Terakhir adalah pakaian, pakaian seragam di pondok sudah ditentukan yaitu pakaian
pramuka, sarung dan pakaian olah raga.
2. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara
Karya Ahmad Fuadi
Nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari novel ini adalah nilai
pendidikan yang dikemukakan oleh Max Scheker. Dalam penelitian ini nilai-nilai
yang diambil untuk menganalisis nilai pendidikan adalah nilai yang dikemukakan
oleh Max Scheker. Maka nilai dalam novel dapat dikamukakan yaitu nilai vitalitas
atau kehidupan sosial, nilai religius atau keagamaan, nilai norma positif dan negatif
dan nilai budaya.
Nilai vitalitas yaitu mengenai kehidupan sosial keluarga alif yang
sederhana. Sehingga orang tua alif tidak mampu menyekolahkan alif di sekolah
negeri. Maka oarang tua alif menganjurkan untuk bersekolah di pondok yang
biayanya jauh lebih murah.
163
Nilai pendidikan selanjutnya yaitu nilai religius atau keagamaan. Alif
menuruti nasehat orang tua untuk sekolah di pondok. Di pondok madani terdapat
pembelajaran agama yang diajarkan setiap saat. Dimanapun berada, pelajaran agama
selalu dipelajari. Hal ini terbukti sesuai dengan kutipan.
“terima kasih atas pertanyaannya pak. Menurut kiai kami, pendidikan PM tidak
membedakan agama dan non agama. Semua satu dan semua berhubungan.
Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. Di madani, agama
adalah oksigen, dia ada dimana-mana,” jelas burhan lancar. (AHMAD FUADI,
2011 : 35)
Sementara itu nilai moral positif dan negatif berupa kalimat mujarab yang
mendatangkan motivasi dan semangat tinggi. Kata mujarab tersebut adalah man jadda
wajadda. Artinya siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh maka akan sukses.
Nilai pendidikan yang terakhir adalah nilai budaya. Budaya merupakan
suatu yang dianut oleh masyrakat setempat. Berkaitan dengan budaya tersebut, dalam
novel terdapat budaya mengenai kepercayaan orang minang tentang rumah makan
padang. Dalam mendirikan rumah makan padang bangunannya mempunyai atap
bertanduk dan bertuliskan “RM Padang”.
164
3. Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri
Lima Menara Karya ahmad Fuadi
Langkah yang dilakukan pengarang dalam menciptakan karyanya terinspirasi
dari kisah pribadinya. Awalnya pengarang terpaksa masuk di pendidikan pondok
madani. Pengarang ingin mewujudkan cita-cita menjadi seperti habibie. Akan tetapi,
keinginannya ditentang oleh orang tua pengarang. Keinginan masuk pondok madani
timbul karena surat dari etek gindo. Keputusan pengarang untuk melanjutkan
kepondok merupakan keputusan setengah hati. Selanjutnya keputusannya itu sirna
seiring berjalannya waktu dan terlaksananya pembelajaran di pondok madani.
Ahmad Fuadi sebagai pengarang novel negeri lima menara memandang
pondok madani adalah tempat membangun karakter anak bangsa. Dimana lulusan
pondok madani mampu bersaing di dunia kerja dan mampu bersaing dikancah luar
negeri. Selain itu pondok madani tempat mengajar ilmu pengetahuan dari wawasan
yang luas.
Hal ini sesuai dengan pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam
UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 UU sisdiknas. Karakter bangsa merupakan karakter
watak, tabiat, akhlak, atau keperibadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri dari
sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan
165
hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang kepada orang lain menumbuhkan
karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter
bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang.
Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu,
maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan di lingungan
sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter
bangsa hanya dapat dilakukan dalam satu proses pendidikan yang tidak melepaskan
peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyrakat, dan budaya bangsa.
(Pedoman sekolah, 2010)
Selanjutnya pengarang memiliki pandangan pengarang merupakan orang yang
paling beruntung bisa menjadi murid pondok madani. Beruntung pondok madani
memberikan bekal ilmu pembangun karakter. Pengarang juga merasa menjadi anak
muda yang dibentuk dengan totalitas pendidikan yang ikhlas. Pondok madani telah
memberikan bekal untuk mengarungi kehidupan ini. Baik kehidupan yang senang
maupun kehidupan yang susah. Bekal tersebut melekat dalam otak dan hati. Namun
semua itu tak dapat lepas dari motivasi para kiai yang ada di pondok madani.
166
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara
Karya Ahmad Fuadi
a. Sistem Religi meliputi (1) sistem kepercayaan yang menganut ajaran Agama
Islam; (2) sistem nilai dan pandangan hidup yaitu berupa kata mujarab “man
jadda wajadda’; dan (3) komunikasi keagamaan berupa dakwa;
b. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial meliputi (1) sistem
kekerabatan masyarakat Minangkabau yang matrilinial dan (2) asosiasi dan
perkumpulan Sahibul Menara di menara masjid sebelum Magrib dan aula
yang digunakan sebagai perkumpulan murid untuk melakukan kegiatan;
c. Sistem pengetahuan berupa kemampuan membuat Pesta pertunjukan itu
biasa di sebut dengan Class Six Show. Class Six Show yang ditampilkan
murid senior kelas enam dan pengajaran pondok yang bersifat modern yaitu
penggunaan bahasa asing selama 24 jam;
d. Bahasa yang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara adalah bahasa lisan
dan bahasa tulis. Bahasa lisan berupa bahasa Minang, bahasa Arab dan
bahasa Inggris. Bahasa tulis berupa bahasa Arab dan bahasa Inggris.
e. Keseniaan berupa keseniaan kaligrafi dan bangunan;
f. Sistem mata pencaharian yitu berupa guru dan pegawai Pemda;
167
g. Sistem peralatan hidup dan komunikasi berupa (1) transportasi yaitu berupa
bus dan kapal; (2) peralatan komunikasi berupa surat; (3) bentuk peralatan
komunikasi dalam bentuk wadah berupa piring dan gelas; (4) pakaian yang
digunakan setiap hari di dalam pondok yaitu berupa sarung, baju pramuka
dan baju olahraga.
2. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi
a. Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial yang berupa kisah kehidupan keluarga
Alif yang sederhana.
b. Nilai spiritual atau nilai agama yang tokohnya berguna islam dan
menampilkan kesediaan Alif untuk masuk ke Pondok.
c. Nilai moral yang positif dan negatif, nilai tersebut berupa nilai moral yang
positif yaitu adanya pembelajaran pertama dengan menggunakan kata yang
mujarab “man jadda wajadda’
d. Nilai budaya berupa supremasi masyarakat mengenai rumah makan padang
yang terdapat atap bertanduk dan bertuliskan ‘’RM Padang’’.
3. Pandangan Pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi
Pandangan Ahmad Fuadi terhadap Pondok Madani dalam novel
Negeri Lima Menara, tempat yang mengajarkan kehidupan yang percaya dan
bertakwa terhadap Tuhan. Selain itu pengarang juga berpandangan bahwa
Pondok Madani merupakan tempat untuk membentuk karakter seorang dan
168
menjadikan manusia berwawasan luas. Pondok Madani merupakan pondok
yang memberi bekal hidup kepada murid dan mengaharuskan muridnya untuk
menggunakan bahasa asing selama 24 jam. Semua itu dapat dilakukan dengan
usaha dan kerja keras seperti motivasi yang diajarkan di pondok man jadda
wajadda.
B. Implikasi
Penelitian ini melakukan pekerjaan terhadap karya novel berjudul
Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Novel Negeri Lima Menara karya
Ahmad Fuadi. Hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang
relevan memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Menjadi alternatif bahan materi pengajaran sastra
Pada aspek pendidikan, penelitian ini dapat memberikan alternatif
bahan materi pengajaran sastra. Pengajaran sastra seharusnya difokuskan pada
upaya untuk memiliki kemampuan aoresiasi, kemampuan untuk memiliki sikap
dan nilai, tidak terbatas hanya pada pengetahuan atau mengfal judul dan
pengarang karya sastra. Di dalam hal tesebut tercakup masalah pemberian
tanggapan terhadap karya sastra. Dalam pengajaran sastra, siswa harus
diarahkan pada penilaian karya sastra secara objektif. Maka, hal ini akan
membentuk jiwa sastra yang tidak hanya menampilkan prestasi akademis, tetapi
juga mengembangkan karakter diri yang potensial.
169
2. Pencapaian dalam proses pengajaran sastra
Penelitian ini mangkaji objek karya sastra berbentuk novel
beerjudul Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Memang, karya novel
memiliki jumlah halaman yang banyak sehingga diperlukan waktu banyak
dalam proses apresiasi karya. Meskipun demikian, hasil analisis pada aspek
sosiologi pada novel tersebut telah memberikan gambaran awal yang sederhana
terhadap kandungan novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
Pemahaman merupakan tahapan kelanjutan atas pengetahuan aspek fisik sastra
berupa wujud buku. Sosiologi sastra terkandung di dalam dan di liar karya
sastra. Oleh karena itu, pendidik harus memberikan arahan jelas terhadap aspek
pencapaian pembelajaran apresiasi sastra. Dengan begitu ada persiapan berupa
bahan materi yang telah disederhanakan sehingga dapat dipahami siswa secara
baik.
3. Pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
Bagi guru, pengkajian terhadap karya sastra novel melalui
pendekatan sosiologi sastra bisa dikembangkan dalam pola pengajaran apresiasi
karya sastra kepada siswa. Kajian ini memberikan fakta sastra dari dalam karya
itu sendiri juga dari luar karya sastra berupa pengarang kreatif dan latar sosial
budaya masyarakat pembentuknya. Dalam hal ini patokan pengajaran bukan
hanya pada aspek kognitif, melainkan juga pada aspek afektif bahkan
psikomotoriknya. Hal tersebut dapat dicapai dengan peran pendidik yang tidak
hanya menyampaikan kaidah pemahaman sosiologi, tetapi juga pada aspek
170
nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Artinya, pendidik
juga menggugah kesadaran siswa sebagai manusia dengan memberikan
gambaran keteladanan dari nilai-nilai edukatif cerita sastra tersebut.
4. Sebagai salah satu pendidikan nilai moral
Media pembelajaran dapat diambil dari berbagai sumber, termasuk
dari sebuah kisah atau cerita. Cerita Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad
Fuadi merupakan cerita yang mengandung nilai pendidikan, terutama nilai
moral. Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi pendidikan di Pondok
Madani. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel tersebut menggambarkan
karakteristik manusia dengan sisi kemanusian yang dimiliki. Manusia
merasakan suka dan duka, tertawa dan menangis, juga emosi dan pemaaf. Hal
itu merupakan cermin bagi pembaca dalam menjalani hidup dalam kehidupan
masyarakat juga dalam melakukan interaksi di masyarakat. Novel tersebut
memberikan gambaran lengkap sosok manusia dengan realitas masalah yang
dihadapi dalam hidup di pondok. Sikap dan perilaku yang dilakukan dalam
menangani masalah yang terjadi menjadi contoh yang bisa diteladani. Oleh
karena itu, novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi dapa dijadikan
sebagai sumber pengajaran.
5. Aspek keteladanan
Bagi siswa, materi dengan objek novel yang menggambarkan
realitas masyarakat memberikan variasi materi belajar terhadap apresiasi karya
sastra. Siswa juga akan merasa terdorong aspek kesadarannya jati dirinya
171
sebagai insan cendekiawan. Cerita yang bermakna dalam dan menggugah
motivasi dari novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi memberikan
kedalaman arti tersendiri bagi siswa. Pada akhirnya siswa akan menemukan
keteladanan yang utuh saat mereka menghadapai realitas kehidupan yang
mereka jalani.
6. Aspek pelestarian seni budaya Minangkabau melalui pendidikan
Wujud lain dari implikasi penelitian ini yaitu pada pelestarian
budaya, khususnya dalam hal ini seni budaya Minangkabau sebagian menjadi
cerita novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Aktivitas penelitian
yang dilakukan penulis merupakan bentuk kepedulian yang secara sederhana
dari tindakan yang bisa dilakukan dalam aspek pelestarian seni budaya
Minangkabau. Sebagai hal sederhana penulis akan mencapai pemahaman dasar
terhadap seni budaya yang memang harus dilestarikan yang ditampilkan dalam
karya sastra tersebut.
Keluhuran budaya Minangkabau perlu diwariskan dari generasi ke
generasi. Aspek awal yang bisa dilakukan yaitu dengan show up ‘’
menunjukkan ‘’ eksistensi seni budaya tersebut. Hal itu bisa dicapai dengan
pelaksanaan penelitian ini. Meluasnya efek ini ketika terjadi akumulasi dari
pengaruh positif yang diperoleh oleh masyarakat pembaca karya sastra ini.
Setiap pembaca akan memberikan pengaruh yang lebih luas dengan penyebaran
terhadap nilai-nilai seni budaya yang tekandung dalam karya sastra manakala
tejadi proses interaksi yang lebih meluas.
172
Oleh karena itu, proses pelestarian seni budaya Minangkabau
kemudian dapat lebih dikembangkan, bahkan bisa dilakukan secara lebih
sistematis. Aplikasi yang lebih mudah mengarah pada media pendidikan.
Penyelenggaraan pengajaran sastra menjadi salah satu sarana yang bisa
diandalkan. Sistematika yang dimiliki proses pengajaran bisa menempatkan
karya sastra ini sebagai bahan ajar apresiasi karya sastra. Diharapkan proses
pengajaran menjadi sarana pelestarian seni budaya yang efektif. Penanaman
nilai-nilai luhur seni budaya Minangkabau dapat dilakukan terprogram,
kontinyu, terarah terpantau secara baik.
7. Pengembangan kualitas dan kompetensi penelitian sastra
Pada aspek penelitian ilmiah, hasil penelitian ini menambah
kuantitas dan kualitas penelitian ilmiah, khususnya kajian di bidang karya
sastra. Secara kuantitas, penelitian ini akan menjadi dokumen sastra yang dapat
dijadikan sebagai bahan referensi dalam penelitian yang akan dilakukan di masa
mendatang. Oleh karena itu, penelitian ini juga mendorong kegiatan ilmiah
karena akan memberikan motivasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan
penelitian. Tumbuhnya motivasi kegiatan ilmiah juga akan meningkatkan
kompetensi atau kualitas kajian terhadap penelitian. Para peneliti lain akan
melakukan peningkatan kualitas penelitian mulai dari materi yang dikaji sampai
ke metodologi sehingga penelitian pada masa selanjutnya akan lebih
berkembang dan bervariasi.
173
8. Memberikan paradikma positif sastra kepada masyarakat pembaca
Kajian sastra merupakan alternatif bagi mahasiswa atau peneliti
yang memiliki sense kecenderungan tehadap dunia sastra. Paradikma
pengkajian terhadap karya sastra sendiri akan mengubah persepsi masyarakat
yang cenderung memandang sastra suatu yang abstrak dan imajinatif belaka.
Fakta yang bisa dimunculkan yaitu dengan peningkatan kualitas penelitian serta
hasi penelitian yang ternyata menyodorkan solusi dalam menyelesaikan
masalah kemanusiaan di masyarakat.
9. Cermin edukasi masyarakat
Pada aspek sosial masyarakat penelitian terhadap novel Negeri
Lima Menara karya Ahmad Fuadi ini dapat menjadi cermin bagi masyarakat
pembaca. Pembaca merupakan pribadi-pribadi yang hidup di masyarakat.
Demikian juga tokoh-tokoh dalam novel merupakan perwujudan pribadi
manusia dalam media cerita. Pengalaman-pengalaman peristiwa yang terjadi
pada tokoh bisa menjadi teladan yang bijak tampa dengan menggurui.
Mayarakat pembaca pun dari interaksi sosial yang positif dari cerita yang
diperhatikan dalam novel tersebut.
Dengan akal pikirannya, masyarakat pembaca akan dapat bertindak
dan berperilaku dengan baik melalui hikmah yang diambil dari deskripsi
peristiwa dalam cerita novel tersebut karena pada hakikatnya karya sastra
merupakan wujud realitas yang dituangkan dalam sebuah cerita. Perwujudan
174
sikap dan perilaku yang santun di dalam masyarakat akan membentuk sistem
kemasyarakatan yang baik.
C. Saran
Pada penelitian ini penulis menyampaikan saran sebagai berikut:
1. Pada aspek pendidikan, pendidik bahasa dan sasra sebaiknya melakukan
pengajaran dengan sistemastika yang runtut dan detail agar mudah dipahami
dan mendaptkan makna novel yang mendalam. Pencapaian maksial terhadap
pengajaran apresiasi sasra harus diwujudkan secara baik, mencakup aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, pengajaran tidak
terpatok pada hafalan, tetapi pada proses apresiasi yang mendalam. Di
samping itu, pendidikan tidak boleh melupakan berkenan penanaman nilai
moral serta kesadaran pelestarian seni budaya kepada siswa.
2. Siswa sebaiknya melakukan pengalaman belajar sastra yang lebih intens
karena dengan hal ini masa pencapaian prestasi siswa hanya pada akademisi,
tetapi juga pada perubahan behaviour.
3. Peneliti yang memiliki sense terhadap kajian sastra sebaiknya senantiasa
melakukan peningkatan kompetensi dan kualitas pengakajian sastra.
Pengkajian sastra bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan yang ada juga
dengan objek karya sastra mutakhir yang memiliki tingkat kerumitan yang
kompleks.
4. Masyarakat pembaca sebaiknya melakukan implementasi yang positif
sebagai hasil interaksinya dengan sastra sehingga menjadi fakta nyata yang
175
bisa menjadi pengaruh meluas tehadap perwujudan efek-efek potensial di
masyarakat.
176
Lampiran
177
SINOPSIS
Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah
Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan,
bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau
Maninjau.
Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera
dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya
Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti
perintah Ibunya: belajar di pondok.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera”
sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak
menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan
Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di
udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari
Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso
dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap
menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk.
178
Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian
masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak
tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa
pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.