DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. TUJUAN UMUM 1
B. TUJUAN KHUSUS 1
BAB II. TINDAK PIDANA KORUPSI MATERIIL 7
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Materiil 7
1. Latar Belakang dan Sejarah Tindak Pidana
Korupsi 7
2. Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia 7
a. Delik Korupsi dalam KUHP 7
b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa
Perang Pusat (Pepperpu) No. Prt/
Peperpu/013/1950 7
c. UU No.24 (PRP) Tahun 1960 tentang Tindak
Pidana Korupsi 8
d. UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
tindak Pidana Korupsi 8
e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 8
f. UU No.28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 10
g. UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi 10
h. UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 10
i. UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 11
j. UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 12
k. UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi 12
l. PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi 20
m. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi 21
3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 13
a. Manusia (Natuurlijk Persoon) 13
b. Badan Hukum/Korporasi (Rechtspersoon) 14
c. Manusia dan Korporasi Sebagai Subjek Tindak
Pidana Korupsi 14
d. Kriteria Tindak Pidana Korupsi oleh
Korporasi 15
4. Delik Tindak Pidana Korupsi yang Berasal dari
KUHP 15
5. Delik-Delik Tindak Pidana Korupsi 15
6. Delik Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana
Korupsi 51
7. Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana
Korupsi 52
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Materiil 53
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Materiil 53
BAB III. TINDAK PIDANA KORUPSI FORMIL 54
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Formil 54
1. Sistem Peradilan Pidana dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi 54
2. Proses Penuntutan dalam Tindak Pidana
Korupsi 59
3. Pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2006SebagaiRatifikasidariUnitedNation
Convention Against Corruption (UNCAC)
dan Implikasinya terhadap Hukum Positif 63
4. Perlindungan Saksi Pelapor dalam Sistem
Peradilan Pidana Tindak Pidana Korupsi 64
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Formil 67
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Formil 67
BAB IV. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI 68
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Komisi Pemberantasan Korupsi 68
1. Dasar dan Tujuan Pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) 68
2. Ruang Lingkup Tugas dan Wewenang KPK 69
3. Susunan Organisasi KPK 71
4. Hambatan dan Tantangan bagi KPK dalam
Pemberantasan Korupsi di Indonesia 75
D. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Komisi Pemberantasan Korupsi 76
E. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Komisi Pemberantasan Korupsi 76
DAFTAR REFERENSI 77
TENTANG PENULIS 80
DAFTAR ALAT DAN BAHAN 81
BAB I. PENDAHULUAN
A. TUJUAN UMUM
Setelah mempelajari modul ini, peserta latih diharapkan mampu menjelaskan tentang tindak
pidana korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
B. TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan tindak pidana korupsi materiil.
2. Menjelaskan tindak pidana korupsi formil.
3. Menjelaskan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
1 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 2
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam
Menjelaskan Tindak Pidana
Korupsi Materiil
Maraknya kejahatan korupsi terjadi di-
sebabkan oleh banyak hal. Salah satu penyebab
utama adalah ketidaktahuan masyarakat me-
ngenai lingkup kejahatan korupsi tersebut.
Meski dalam pertanggungjawaban pidana
ketidaktahuan bukan alasan untuk menghin-
dar dari tanggungjawab hukumnya, kebutuhan
untuk menyosialisasikan lingkup kejahatan ko-
rupsi adalah hal yang sangat penting. Oleh ka-
renanya perlu penjabaran secara menyeluruh
mengenai kejahatan korupsi yang diatur oleh
perundang-undangan Indonesia.
Pembahasan pada bab ini akan dibagi
dua. Bagian pertama membahas tindak pidana
korupsi secara materiil meliputi namun tidak
terbatas pada sejarah tindak pidana korupsi, ke-
tentuan hukum materiil mengenai tindak pidana
korupsi, perbuatan apa saja yang dapat dikata-
kan sebagai tindak pidana korupsi, hingga pem-
bahasan mendalam unsur-unsur yang terdapat
pada pasal undang-undang. Sedangkan bagian
kedua membahas tindak pidana korupsi secara
formil yang meliputi ketentuan hukum acara, sis-
tem peradilan pidana, proses penuntutan, hingga
pembahasan mengenai kelembagaan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
1. Latar Belakang dan Sejarah Tindak
Pidana Korupsi
a. Pendahuluan
Sejarah pemberantasan korupsi yang
cukup panjang di Indonesia menunjukkan bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi memang
membutuhkan penanganan yang ekstra keras
dan membutuhkan kemauan politik yang sangat
besar dan serius dari pemerintah yang berkuasa.
Politik pemberantasan korupsi itu sendiri ter-
cermin dari peraturan perundang-undangan
yang dilahirkan pada periode pemerintahan ter-
tentu. Keberadaan undang-undang pemberan-
tasan korupsi hanyalah satu dari sekian banyak
upaya memberantas korupsi dengan sungguh-
sungguh. Di samping peraturan perundang-
undangan yang kuat, juga diperlukan kesadaran
masyarakat dalam memberantas korupsi. Ke-
sadaran masyarakat hanya dapat timbul apa-
bila masyarakat mempunyai pengetahuan dan
pemahaman akan hakikat tindak pidana korupsi
yang diatur dalam undang-undang. Pengetahuan
masyarakat secara umumnya dan pengetahuan
para penegak hukum, utamanya KPK pada khu-
susnya mengenai tindak pidana korupsi, mutlak
diperlukan.
b. Pengantar Singkat Mengenai Korupsi
Korupsi adalah suatu kejahatan luar bi-
asa (extra ordinary crime), secara umum memiliki
ciri-ciri sebagai berikut, yaitu (1) berpotensi di-
lakukan oleh siapa saja, (2) korbannya bisa siapa
BAB II. TINDAK PIDANA KORUPSI MATERIIL
saja karena tidak memilih target atau korban
(random target atau random victim), (3) kerugian-
nya besar dan meluas (snowball effect atau dom-
ino effect), dan (4) terorganisasi atau oleh or-
ganisasi. Dalam perkembangannya keempat ciri
itu berkembang dengan sifat lintas negara, yaitu
bahwa pelaku, korban, kerugian, dan organisa-
sinya bersifat lintas negara. Berdasarkan kriteria
extra ordinary crime tersebut, terlihat bahwa ko-
rupsi memenuhi keseluruhan ciri-ciri tersebut
tanpa terkecuali.
Syed Husein Alatas dalam bukunya
Sosiologi Korupsi mengatakan korupsi se-
perti wabah penyakit menular yang berbahaya.
Pendapatnya itu didasari pada anggapan bahwa
perilaku korupsi sangat berbahaya seperti
halnya wabah penyakit yang menular dengan
tidak mengenal korbannya. Penulis beranggapan
bahwa korupsi bahkan lebih berbahaya dari wa-
bah penyakit menular. Hal ini disebabkan pada
terjadinya wabah penyakit menular, masyarakat
cenderung berupaya untuk melakukan tindakan
pencegahan secara proaktif. Dalam hal wabah
korupsi, masyarakat cenderung tidak berbuat
apa-apa untuk menghindar. Tidak jarang sese-
orang justru secara aktif melibatkan diri mem-
bantu atau memudahkan terjadi korupsi selain
juga cenderung tidak mau tahu. Lebih dari itu,
perilaku korupsi bukanlah perbuatan yang kasat
mata sebagai mana halnya wabah penyakit yang
dapat diidentifikasi proses penularannya dan
dapat diidentifikasi pula pengidap wabahnya.
Dalam kejahatan korupsi, kita tidak dapat me-
ngidentifikasi perbuatan korupsi secara kasat
mata.Begitupulakitatidakdapatmengidentifi-
kasi koruptor atau menyebutkan ciri-ciri pelaku
tindak pidana korupsi. Sehingga bagaimana kita
akan mencegah atau memberantas suatu wabah
korupsi padahal wabahnya, penularannya, dan
orang yang tertular wabah korupsi tidak dapat
kitaidentifikasikanmeminjamtagline KPK yaitu
“memahami untuk membasmi”, maka poin
penting yang harus sangat ditekankan di sini ada-
lah bahwa seseorang tidak akan mengerti dan
paham mengenai korupsi apabila hanya sekedar
membaca undang-undang dan peraturan semata.
Memahami korupsi berarti harus tahu apa asas
hukumnya, tahu segi bahasannya, dan paham
bagaimana cara kerjanya. Untuk itulah diperlu-
kan pemahaman yang menyeluruh dan tekad un-
tuk tidak serta merta alergi belajar hukum, teru-
tama hukum pidana khususnya mengenai tindak
pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang
erat berkaitan. Karena pada hakikatnya belajar
hukum sebenarnya banyak menggunakan logika.
Tidak ada satupun profesi hukum yang bekerja
dengan close book.
Prof. Romli Atmasasmita berpendapat
bahwa korupsi sulit diberantas karena adanya
dua faktor utama. Pertama, adalah alasan dari segi
historis budaya. Kedua, adalah karena lemahnya
perundang-undangan. Menurut hemat penulis,
pendapat tersebut sangat tidak tepat. Ada kri-
tik yang menyatakan bahwa budaya memiiki tiga
unsur penting, yaitu estethic, artistic, dan beauty.
Oleh karenanya korupsi tidak dapat di-sebut
sebagai budaya, tidak ada etisnya, tidak artistik,
apalagi beauty. Untuk itulah penulis dengan tegas
menyatakan bahwa korupsi bukanlah suatu bu-
daya.
Prof. Andi Hamzah pernah menjabarkan
mengapa korupsi sangat sulit diberantas dalam
empat alasan, yaitu sebagai berikut:
1. Kurangnya pendapatan pegawai negeri.
2. Latar belakang budaya Indonesia.
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol
yangkurangefektifdanefisien.
4. Adanya anggapan bahwa korupsi adalah hasil
dari modernisasi.
3 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Pertama, mengenai pendapatan atau gaji
pegawai negeri. Bahwa gaji yang kecil yang men-
dorong penyelenggara negara untuk melakukan
korupsi hingga pernah ada wacana hendak me-
naikkan gaji pegawai negeri untuk mencegah
korupsi. Bagi sebagian kalangan mungkin obat
tersebut mujarab, tetapi bagi sebagian kalangan
tertentu belum tentu sehingga perlu dicari obat
lain. Apakah pelaku korupsi hanya mereka yang
gajinya kecil saja? Tidak. Dari pegawai yang gaji
kecil sampai besar semuanya dapat terkena ko-
rupsi. Ada yang korupsi karena butuh (corruption
by needs) dan ada yang korupsi karena rakus
(corruption by greed).
Kedua, mengenai latar belakang budaya
Indonesia. Sejalan dengan kritik penulis terha-
dap pendapat Prof. Romli Atmasasmita. Bahwa
“budaya” di sini bukanlah suatu hal yang buruk.
Karena “budaya” yang dimaksud di sini antara
lain budaya memberikan upeti kepada pembesar
atau penguasa, yang sekarang ini dapat dikatego-
rikan sebagai suap karena adanya kepentingan
tertentu yang hendak diperjuangkan. Contoh
lain saat membuat KTP. Terdapat mindset apabila
petugas kelurahan tidak diberi uang maka pro-
sesnya akan dipersulit. Kultur “setoran” inilah
yang seharusnya mulai dihilangkan. Terlebih hal-
hal demikian tidak sepantasnya dikatakan sebagai
budaya yang menjunjung tinggi estethic, artistic,
dan beauty. Jangan membenarkan apa yang telah
menjadi kebiasaan. Mulailah untuk membiasakan
yang benar, bukan membenarkan yang biasa.
Ketiga, mengenai manajemen yang
kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan
efisien. Hal ini tentunya banyak dijumpai bah-
kan di kehidupan sehari-hari. Contoh suap se-
bagai salah satu bentuk korupsi. Melanggar lalu
lintas dan terkena tilang, asal ada “uang aman”
masalah selesai. Ingin mempercepat pengurusan
dokumen tertentu di kelurahan, dikenal istilah
“uang pelicin”, dan masih banyak lagi. Hal-hal ke-
cil se-perti ini terjadi di kehidupan sehari-hari
karena adanya sistem manajemen dan kontrol
yang kurang baik, sehingga menimbulkan adanya
celah-celah yang dapat dimanfaatkan.
Keempat, mengenai anggapan bahwa
korupsi adalah hasil dari modernisasi. Akibat
modernisasi, penggunaan sumber daya manusia
berkurang dan mulai tergantikan oleh banyak
mesin. Manusia akhirnya berusaha sekuat tenaga
untuk mempertahankan posisinya agar tidak
runtuh, kalau perlu dengan segala macam cara
termasuk memperkaya diri sendiri melalui jalan
korupsi.
c. Sejarah Korupsi di Indonesia
Soedarso menyatakan bahwa kultur
korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak zaman
Multatuli, yaitu pada saat penyalahgunaan jabatan
masih marak terjadi. Saat menjadi ambtenaar dan
kontrolir, Multatuli melaporkan banyak kejaha-
tan-kejahatan yang dilakukan oleh Bupati Lebak
dan Wedana Parangkujang (Banten Selatan) ke-
pada atasannya dan meminta supaya ter-hadap
mereka ini dilakukan pengusutan. Menurut
Multatuli, Bupati tersebut telah menggunakan
kekuasaannya melebihi apa yang diperboleh-
kan oleh peraturan, dengan tujuan untuk mem-
perkaya dirinya sendiri. Kejahatan yang timbul
adalah suatu bentuk onderdanigheid, yaitu sikap
tunduk dari penduduk yang semasa itu sedang
dilingkupi penindasan dan sikap semena-mena
oleh penjajah maupun penguasa setempat (So-
edarsono, 1969:10-11).
Hamzah menyatakan bahwa penyalah-
gunaan kekuasaan yang dimaksud Soedarsono
telah diatur dalam KUHP. Karena pada masa
itu penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat me-
mang telah diperhitungkan secara khusus oleh
Peme-rintah Hindia Belanda sewaktu penyusu-
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 4
nan Wetboek van Strafrecht (Hamzah, 2007:18),
misalnya saja pada Pasal 423 KUHP mengenai
kejahatan-kejahatan knevelarij (pemerasan), yang
rumusannya sebagai berikut:
Pegawai Negeri yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
menyalahgunakan kekuasaanya telah memaksa
orang lain untuk menyerahkan sesuatu, untuk me-
lakukan suatu pembayaran atau telah melakukan
pemotongan terhadap suatu pembayaran atau
untuk melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi
(Lamintang & Lamintang, 2009:142-143).
Meskipun terdapat pengaturannya, na-
mun dewasa ini masyarakat seolah-olah ber-
sikap pasrah terhadap kemungkinan menjadi
korban dari tindak pidana seperti yang dimak-
sudkan dalam Pasal 423 KUHP tersebut, atau
bahkan dalam pandangan Lamintang, bahwa
rakyat sudah menjadi bebal terhadap tindak pi-
dana seperti itu karena dianggap “sudah biasa”,
bahkan mereka menjadi terbiasa untuk men-
tolerir diri mereka menjadi korban kejahatan
yang dilakukan oleh pegawai negeri (Lamintang
& Lamintang, 2009:142-143).
Selain itu, meninjau perihal latar bela-
kang kultur korupsi berarti juga meninjau peri-
hal tradisi masyarakat dan korupsi itu sendiri.
Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat
(tradisi masyarakat) pada masa lalu secara tidak
langsung telah memberikan pengaruh terhadap
eksistensi korupsi di masa kini. Pada masa kera-
jaan dahulu dikenal pemberlakuan aturan pem-
berian upeti terhadap tanah-tanah luas. Pada
masa itu, tanah-tanah yang luas dianggap milik
raja sehingga rakyat yang menggarap tanah terse-
but harus menyerahkan pajak, sewa, dan upeti.
Pada saat aturan tersebut diberlakukan, rakyat
tidak menganggap hal tersebut sebagai tindakan
korupsi, tetapi sebagai bentuk kewajiban kepada
rajanya. Dengan demikian, kebiasaan tersebut
terus berlaku. Implikasi dari tradisi tersebut ialah
praktik korupsi berupa pemberian sesuatu ke-
pada pejabat menjadi suatu kebiasaan yang lum-
rah. Karena ditanamkan sebagai bentuk dari ke-
wajiban, sehingga seakan terjadi pembiaran dari
masyarakat. Padahal apabila kita merujuk pada
peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang korupsi, tindakan semacam ini merupa-
kan salah satu bentuk korupsi yang mengarah
pada penyuapan (Triandayani, 2002:7).
Diperlukan pemahaman yang menyelu-
ruh yang dapat menjembatani antara nilai-nilai
kearifan lokal yang telah dilakukan secara turun
temurun (misalnya seperti kebiasaan memberi-
kan upeti, amplop saat pernikahan, dsb.) de-
ngan pemahaman yang benar mengenai apa-apa
saja tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi (misalnya dalam contoh
di atas, memberikan amplop saat pernikahan
dengan nilai uang lebih dari Rp. 1.000.000; dan
dengan menyebutkan siapa pengirimnya, dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana apabila tidak
dilaporkan dan diketahui oleh KPK).
2. Tindak Pidana Korupsi dalam Per-
aturan Perundang-undangan di
Indonesia
Tindak pidana korupsi bukan merupakan
barang baru di Indonesia. Sejak zaman kerajaan-
kerajaan terdahulu, korupsi telah terjadi meski
tidak secara khusus menggunakan istilah korup-
si. Pasca zaman kemerdekaan, ketika Indonesia
mulai membangun dan mengisi kemerdekaan
dengan pembangunan, korupsi terus mengganas
sehingga mengganggu jalannya pembangunan na-
sional. Berbagai upaya pemberantasan korupsi
5 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
dilakukan oleh pemerintah sejak kemerdekaan,
baik dengan menggunakan peraturan perundang-
undangan yang ada maupun dengan membentuk
peraturan perundang-undangan baru yang secara
khusus mengatur mengenai pemberantasan tin-
dak pidana korupsi.
Berikut ini adalah peraturan perundang-
undangan yang pernah digunakan untuk mem-
berantas tindak pidana korupsi di Indonesia
beserta dengan penjelasan dan komentar-ko-
mentar selama keberlakuannya:(Kemenristekdik
ti, 2011:119-140):
• Delik korupsi dalam KUHP (1946).
• Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa
Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1950.
• UU No. 24 (PRP) Tahun 1960 tentang Tindak
Pidana Korupsi.
• UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberan-
tasan Tindak Pidana Korupsi.
• TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penye-
lenggara Negara yang Bersih dan Bebas Ko-
rupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
• UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyeleng-
gara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
• UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberan-
tasan Tindak Pidana Korupsi.
• UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pember-
antasan Tindak Pidana Korupsi.
• UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pem-
berantasan Tindak Pidana Korupsi.
• UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nation Convention Against Corrup-
tion (UNCAC) 2003.
• UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
• PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tin-
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 6
dak Pidana Korupsi.
• Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
• Perpres No.55 Tahun 2012 tentang Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025
Dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014.
• Inpres No. 10 Tahun 2016 tentang Aksi
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Ta-
hun 2016 dan Tahun 2017.
a. Delik Korupsi dalam KUHP
Meski tidak secara khusus mengatur
mengenai tindak pidana korupsi di dalamnya,
KUHP telah mengatur banyak perbuatan ko-
rupsi, yang mana pengaturan tersebut kemudian
diikuti dan ditiru oleh pembuat undang-undang
pemberantasan korupsi hingga saat ini. Namun
meskipun demikian tetap terbuka jalan lapang
untuk menerapkan hukum pidana yang sesuai
dan selaras dengan tata hidup masyarakat Indo-
nesia mengingat KUHP sekarang ini sudah tua
dan seringkali dilabeli sebagai merek kolonial.
Dalam perjalanannya KUHP telah di-
ubah, ditambah, dan diperbaiki oleh beberapa
undang-undang nasional seperti UU No. 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, UU No.
20 Tahun 1946 tentang Hukum Tutupan, dan UU
No. 73 Tahun 1958 tentang Keberlakuan UU No.
1 Tahun 1946 untuk Seluruh Wilayah Indonesia,
termasuk berbagai undang-undang mengenai
korupsi yang mengatur secara lebih khusus be-
berapa ketentuan yang ada di KUHP.
Delik korupsi yang ada di dalam KUHP
meliputi delik jabatan dan delik yang berkaitan
dengan delik jabatan. Sesuai dengan sifat dan
kedudukan KUHP, delik korupsi yang diatur di
dalamnya masih merupakan kejahatan biasa. Pada
bagian berikutnya dalam modul ini akan dibahas
secara khusus mengenai delik-delik korupsi yang
secara mutlak ditarik atau diambil dari KUHP.
b. Peraturan Pemberantasan Korupsi
Penguasa Perang Pusat (Pepperpu)
No. Prt/Peperpu/013/1950
Peraturan ini dapat dikatakan seba-
gai peraturan pertama yang memakai istilah
korupsi sebagai istilah hukum dan juga turut
memberikan pengertian korupsi sebagai per-
buatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara. Peraturan ini setidaknya
membagi korupsi menjadi dua perbuatan, yaitu
korupsi sebagai perbuatan pidana dan korupsi
sebagai perbuatan lainnya. Pembagian ini menuai
banyak kritik dari para sarjana hukum, meski-
pun sebenarnya apabila ditelisik secara objektif,
terdapat perkembangan yang cukup baik diban-
dingkan dengan peraturan sebelumnya. Adapun
pembagian korupsi ke dalam dua jenis perbuatan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Korupsi Sebagai Perbuatan Pidana
a) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam
Pasal 41-50 dalam Pepperpu ini dan dalam
Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP.
b) Kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri
sendiri atau orang lain yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara atau daerah atau me-
rugikan suatu badan yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau badan hukum lain
yang mempergunakan modal dan kelongga-
ran-kelonggaran masyarakat.
c) Kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri
sendiri atau orang lain yang dilakukan de-
ngan menyalahgunakan jabatan atau kedudu-
kan.
2) Korupsi Sebagai Perbuatan Bukan Pidana
atau Perbuatan Lainnya
a) Kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri
sendiri atau orang lain yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan keuangan
atau perekonomian negara atau daerah atau
merugikan suatu badan yang menerima ban-
tuan dari keuangan negara atau badan hu-
kum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran masyarakat.
b) Kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri
sendiri atau orang lain yang dilakukan de-
ngan menyalahgunakan jabatan atau kedudu-
kan.
c. UU No. 24 (PRP) Tahun 1960 tentang
Tindak Pidana Korupsi
Perubahan yang signifikan dari Pera-
turan Penguasa Perang Pusat ke dalam bentuk
Undang-Undang ini hanyalah pengubahan istilah
dari “perbuatan” menjadi “tindak pidana”. Salah
satu hal menarik yang patut diperhatikan adalah
bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat ten-
tang Pemberantasan Korupsi bersifat darurat,
temporer, dan berdasarkan UU Keadaan Bahaya.
Sehingga dalam keadaan normal diperlukan pe-
nyesuaian-penyesuaian tertentu agar dapat lebih
diterima secara luas, baik dari segi legitimasi
maupun segi penerapan hukumnya.
d. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pembe-
rantasan Tindak Pidana Korupsi
Tercatat sepanjang periode 1960-1970
terdapat banyak perkara tindak pidana korup-
si. Meskipun demikian masih terlalu dini untuk
mengambil hipotesis bahwa banyaknya perkara
tindak pidana korupsi sejalan dengan efektifnya
undang-undang yang telah diberlakukan. Be-
berapa masalah yang timbul saat pembentukan
undang-undang ini antara lain, usulan untuk
memberlakukan pembuktian terbalik dan keten-
tuan berlaku surut (retroaktif).
Pada tahun 1970-an juga, Presiden
membentuk Komisi 4 dengan tujuan agar usaha-
7 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
usaha pemberantasan korupsi dapat berjalan
lebihefektifdanefisien.AdapunanggotaKomisi
4 tersebut yaitu Wilopo, I.J. Kasimo, Prof. Jo-
hannes, dan Anwar Tjokroaminoto, dengan tugas
sebagai berikut:
1. Mengadakan penelitian dan penilaian
terhadap kebijakan dan hasil-hasil yang
telah dicapai dalam pemberantasan ko-
rupsi.
2. Memberikan pertimbangan kepada
pemerintah mengenai kebijaksanaan
yang masih diperlukan dalam pemberan-
tasan korupsi.
e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 ten-
tang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme
Semangat reformasi turut mengiringi
terbitnya TAP MPR ini, yang di dalamnya mem-
buat banyak amanat untuk membuat peratu-
ran perudang-undangan yang mengawal pem-
bangunan selama era reformasi, termasuk
diantaranya amanat untuk menyelesaikan per-
masalahan hukum Presiden Soeharto dan kro-
ni-kroninya. TAP MPR ini turut memfasilitasi
keinginan penduduk Indonesia untuk menyusun
tatanan kehidupan baru menuju masyarakat
madani berkembang di Indonesia yang mengede-
pankan civil society yang dianggap lebih mengede-
pankan kepentingan rakyat.
f. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Pe-
nyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Memuat judul yang sama dengan TAP
MPR No. XI/MPR/1998, undang-undang ini
memperkenalkan istilah tindak pidana baru yang
dikenal sebagai Kolusi dan Nepotisme. Kedepan-
nya, ketiga tindak pidana tersebut dikenal dengan
terminologi “KKN”, yaitu singkatan dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Dalam perjalanannya, un-
dang-undang ini tidak banyak digunakan karena
terlalu luasnya ketentuan tindak pidana yang di-
atur didalamnya serta adanya kebutuhan untuk
menggunakan ketentuan undang-undang yang
lebihspesifikdantegasdalamrangkapemberan-
tasan korupsi.
g. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pem-
berantasan Tindak Pidana Korupsi
Terdapat dua alasan diundangkannya
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pertama, bahwa reforma-
si dianggap perlu meletakkan nilai-nilai baru atas
upaya pemberantasan korupsi. Kedua, bahwa
undang-undang sebelumnya yang diundangkan
pada tahun 1971 dianggap sudah terlalu lama
dan tidak lagi efektif. Meskipun demikian, nyatan-
ya masih banyak ketentuan dari undang-undang
sebelumnya yang dimuat kembali di undang-un-
dang yang baru ini.
Menurut hemat penulis, terdapat be-
berapa kelemahan dari undang-undang ini yang
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ditariknya pasal-pasal perbuatan terten-
tu dari KUHP sebagai tindak pidana ko-
rupsi dengan cara menarik nomor pasal.
Penarikan menimbulkan risiko bahwa
apabila suatu saat KUHP diubah maka
akan berakibat pada tidak sinkronnya ke-
tentuan KUHP baru dengan ketentuan
tindak pidana korupsi yang berasal dari
KUHP lama tersebut.
2. Adanya pengaturan mengenai alasan pen-
jatuhan pidana mati berdasarkan suatu
keadaan tertentu yang dianggap berle-
bihan dan tidak sesuai dengan semangat
penegakan hukum.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 8
3. Tidak adanya aturan peralihan yang se-
cara tegas menjadi jembatan antara
undang-undang lama dengan undang-
undang baru. Hal ini dapat menyebabkan
kekosongan hukum untuk suatu periode
atau keadaan tertentu.
h. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Beranjak dari kelemahan-kelemahan
yang terdapat pada UU No. 31 Tahun 1999, mun-
culah inisiatif untuk memperbaiki kelemahan
tersebut melalui UU No. 20 Tahun 2001 yang
mengubah beberapa ketentuan undang-undang
lama. Adapun perubahan tersebut dapat diurai-
kan sebagai berikut:
1. Penarikan pasal-pasal perbuatan tertentu
dari KUHP sebagai tindak pidana korupsi
dilakukan dengan cara mengadopsi isi
pasal secara keseluruhan sehingga peru-
bahan KUHP tidak akan mengakibatkan
ketidaksinkronan.
2. Pengaturan alasan penjatuhan pidana
mati didasarkan atas perbuatan korupsi
yang dilakukan atas dana-dana yang digu-
nakan bagi penanggulangan keadaan ter-
tentu seperti keadaan bahaya, bencana
nasional, dan krisis moneter.
3. Dicantumkannya aturan peralihan yang
secara tegas menjadi jembatan antara
undang-undang lama yang sudah tidak
berlaku dengan adanya undang-undang
baru, sehingga tidak lagi menimbulkan
risiko kekosongan hukum yang dapat
merugikan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
i. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
KPK sebagai suatu komisi yang memiliki
tugas dan kewenangan di bidang pemberantasan
tindak pidana korupsi, dilandasi pembentukan-
nya oleh undang-undang ini. Hal ini tidak lepas
dari amanat UU No. 31 Tahun 1999 yang meng-
hendaki dibuatnya suatu komisi khusus untuk
memberantas korupsi. Karena korupsi itu sendi-
ri telah menjadi tindak pidana yang bersifat luar
biasa (extra ordinary crime), sehingga diperlukan
cara-cara yang luar biasa juga untuk memberan-
tasnya (extra ordinary measure).
Berbicara mengenai cara-cara yang luar
biasa tersebut, sebenarnya UU No. 31 Tahun
1999 telah mengakomodasi landasan hukumnya.
Hal ini dapat dijumpai antara lain pada ketentuan
mengenai alat-alat bukit yang dapat dijadikan se-
bagai dasar pembuktian di pengadilan, termasuk
dengan diakuinya beban pembuktian terbalik
terbatas atau berimbang di mana pelaku tindak
pidana korupsi juga dibebani kewajiban untuk
membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
hasil tindak pidana korupsi.
Sejarah mencatat, KPK dibentuk sebagai
penjelmaan dari ketidakpercayaan masyarakat
atas kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam
memberantas korupsi. Kedua institusi terse-
but terlanjur dipandang dan dianggap oleh
masyarakat sebagai tempat terjadinya korupsi
baru, baik dalam penanganan perkara-perkara
korupsi maupun penanganan perkara-perkara
lainnya, sehingga tidaklah mengherankan bila
KPK diberikan kewenangan yang lebih besar
dibanding institusi pemberantasan korupsi yang
telah ada sebelumnya yaitu Kepolisian dan Ke-
jaksaan. Hal ini juga merupakan pengejawanta-
han dari cara-cara atau upaya-upaya yang luar
biasa untuk memberantas korupsi.
Fungsi KPK itu sendiri pada awalnya
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 10
adalah trigger mechanism atau pemicu, terutama
bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaku-
kan pemberantasan korupsi. KPK juga memiliki
kewenangan untuk menjadi supervisi bagi Ke-
polisian dan Kejaksaan, misalnya dengan dapat
mengambil alih perkara korupsi yang ditangani
Kepolisian dan Kejaksaan apabila penanganan
perkara oleh kedua isntitusi tersebut dianggap
tidakmemilikiperkembanganyangsignifikan.
Lantas bagaimana menentukan kapan
suatu perkara menjadi kewenangan KPK dan
kapan menjadi kewenangan Kejaksaan? KPK
sendiri dibatasi kewenangannya untuk menanga-
ni perkara-perkara sebagai berikut:
1. Perkara yang melibatkan aparat penegak
hukum dan/atau penyelenggara negara.
2. Perkara yang mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat.
3. Perkara yang menyangkut kerugian ne-
gara paling sedikit Rp.1 miliar. (Pasal 11
UU No.30 Tahun 2002)
j. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Penge-
sahan United Nation Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003
UNCAC merupakan hasil dari Me-
rida Conference di Meksiko tahun 2003 sebagai
wujud keprihatinan dunia atas korupsi. Melalui
UNCAC negara-negara yang hadir dalam kon-
ferensi menyepakati perlu adanya suatu pe-
rubahan tatanan dunia dan kerjasama antara
negara-negara dalam pemberantasan korupsi.
UNCAC mengatur antara lain mengenai ker-
jasama hukum timbal balik (mutual legal assis-
tance atau MLA), pertukaran narapidana (trans-
fer of sentence person), korupsi di lingkup swasta
(corruption in private sector), dan pemulihan aset
hasil kejahatan (asset recovery).
Melalui UU No. 7 Tahun 2006, Indone-
sia meratifikasi UNCAC dengan pengecualian,
yaitu pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) tentang
Penyelesaian Sengketa. Pada prinsipnya Indone-
sia menolak untuk mengikuti kewajiban pen-
gajuan perselisihan kepada Mahkamah Interna-
sional, kecuali dengan adanya kesepakatan para
pihak.
k. UU No. 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tang-
gal 19 Desember 2006, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang dibentuk berdasarkan ketentuan
Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 dinyatakan ber-
tentangan dengan UUD 1945. Pertimbangan
utama dari putusan ini adalah ketentuan bahwa
pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam
salah satu lingkaran peradilan umum yang diben-
tuk dengan undang-undang tersendiri (Penje-
lasan Umum UU No. 46/2009). Oleh karenanya,
dibuatlah undang-undang baru yang menjadi pa-
yung hukum dari Pengadilan Tindak Pidana Ko-
rupsi, yaitu UU No. 46 Tahun 2009.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi me-
rupakan pengadilan khusus yang berada di ling-
kungan Peradilan Umum, berkedudukan di setiap
ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang
bersangkutan. Khusus untuk DKI Jakarta, Pe-
ngadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan
di setiap kota yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum pengadilan negeri yang bersang-
kutan. (Ali, 2014:41). Pengadilan ini berwenang
mengadili tiga jenis tindak pidana, yaitu (1) tin-
dak pidana korupsi, (2) tindak pidana pencucian
uang yang tindak pidana asalnya (predicate crime)
adalah tindak pidana korupsi, dan (3) tindak pi-
dana yang secara tegas dalam undang-undang
lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
11 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
l. PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran
Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Pasal 41-42 UU No. 31 Tahun 1999
mengatur bahwa “Masyarakat dapat berperan
serta membantu upaya pencegahan dan pem-
berantasan korupsi.” Sehingga pemerintah ke-
mudian membuat peraturan turunan dari un-
dang-undang tersebut dalam bentuk PP No. 71
Tahun 2000 tentang Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Latar belakang timbulnya ketentuan ini
adalah karena adanya krisis kepercayaan karena
korupsi yang terjadi di berbagai bidang pemerin-
tahan. Masyarakat pun menjadi skeptis terhadap
pemerintah. Padahal tanpa dukungan masyarakat
secara luas, program-program yang telah disusun
untuk memberantas tindak pidana korupsi ten-
tunya tidak akan berjalan secara maksimal. Pada
dasarnya PP No. 71 Tahun 2000 memberikan
hak kepada masyarakat untuk mencari, mem-
peroleh, dan memberikan informasi tentang
dugaan korupsi serta menyampaikan saran dan
pendapat maupun pengaduan kepada penegak
hukum, baik kepada polisi, jaksa, hakim, advokat,
dan juga KPK. Selain itu PP ini juga mengako-
modasi anggota masyarakat yang telah berperan
serta dalam memberantas tindak pidana korupsi
dengan memberikan penghargaan.
Beberapa bentuk dukungan masyarakat
yang diatur dalam PP ini adalah:
1. Mengasingkan dan menolak keberadaan ko-
ruptor.
2. Memboikot dan memasukkan nama korup-
tor dalam daftar hitam.
3. Melakukan pengawasan lingkungan.
4. Melaporkanadanyagratifikasi.
5. Melaporkan adanya penyelewengan penye-
lenggaraan negara.
6. Berani memberi kesaksian.
7. Tidakasallaporataufitnah.
m. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Per-
cepatan Pemberantasan Korupsi
Adanya keinginan dari pemerintah un-
tuk mempercepat pemberantasan korupsi turut
melatarbelakangi terbitnya Inpres No. 5 Tahun
2004. Melalui Inpres ini, Presiden merasa perlu
memberi instruksi khusus (berjumlah 12 in-
struksi) untuk membantu KPK dalam penyeleng-
garaan laporan, pendaftaran, pengumuman, dan
pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara). Instruksi ini pun ditu-
jukan secara khusus kepada beberapa menteri,
Jaksa Agung, Kapolri, serta seluruh Gubernur
dan Bupati/Walikota sesuai peran dan tanggung
jawab masing-masing. Selain itu juga terdapat
Perpres No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Na-
sional Pencegahan dan Pemberantasan korupsi
Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka
Menengah Tahun 2012-2014 dan Inpres No. 10
Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pem-
berantasan Korupsi Tahun 2016 dan Tahun 2017.
3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Korupsi, sebagai salah satu tindak pi-
dana, pastilah dilakukan oleh subjek hukum, yaitu
suatu entitas atau segala sesuatu yang dapat me-
miliki hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam
ilmu hukum subjek hukum terbagi menjadi dua,
yaitu manusia (natuurlijk persoon) dan badan
hukum (rechtspersoon). Perlu kiranya diuraikan
secara singkat apa yang dimaksud dengan sub-
jek hukum manusia dan badan hukum tersebut
dalam bagian ini.
a. Manusia (Natuurlijk Persoon)
Manusia sebagai subjek hukum memiliki
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 12
arti bahwa manusia memiliki hak dan kewajiban,
baik yang sudah ada sejak lahir hingga mati atau-
pun yang timbul sewaktu-waktu ketika manusia
melakukan tindakan hukum tertentu (Mertoku-
sumo, 2010:92-93). Ilustrasi sederhananya adalah
bahwa seorang bayi manusia memiliki hak untuk
hidup bebas sejak dari kandungan hingga lahir
(hak asasi manusia). Kemudian saat melakukan
tindakan hukum seperti jual beli misalnya, antara
manusia yang membeli barang dengan manu-
sia yang menjual barang. Pembeli memiliki ke-
wajiban membayar uang sejumlah harga barang
dan sebaliknya memiliki hak untuk mendapatkan
barang yang telah dibelinya. Demikian halnya
dengan penjual yang memiliki hak menerima
uang sesuai harga yang telah disepakatinya dan
memiliki kewajiban menyerahkan barang yang
telah lunas dibeli tersebut kepada pembelinya.
Manusia sebagai subjek hukum setidaknya mem-
punyai tiga sifat, yaitu:
1. Mandiri, yaitu mempunyai kemampuan pe-
nuh untuk bersikap tindak, yang dalam ba-
hasa hukum seringkali disebut dengan cakap.
2. Terlindung, yaitu apabila dianggap tidak
mampu bersikap tindak, maka tidak dapat
dihukum. Contohnya adalah orang cacat
mental, orang yang menderita gangguan keji-
waan, dan anak di bawah umur.
3. Perantara, yaitu sikap tindaknya dibatasi
sebatas kepentingan pihak yang diantarain-
ya (kepentingan pengampu dibatasi oleh
kepentingan orang yang diampunya). Con-
tohnya adalah adanya wali bagi anak yang
belum dewasa dan adanya pengampu bagi
seseorang yang sudah dewasa tetapi akal
pikirannya tidak sehat.
Selain itu perlu juga disoroti subjek hu-
kum manusia yang berperan sebagai pegawai
negeri, di mana pegawai negeri yang dimak-
sud disini tidak hanya sebatas (1) pegawai
negeri yang diatur dalam UU No.43 Tahun 1999
tentang Kepegawaian (Pegawai Negeri adalah se-
tiap warga negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara
lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku) dan UU No.5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Pasal 1 an-
gka 1, 2, 3, dan 4) tetapi juga (2) pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)
KUHP (Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-
orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga
orang-orang yang, bukan karena pemilihan, men-
jadi anggota badan pembentuk undang-undang
pemerintahan, atau badan perwakilah rakyat, yang
dibentuk oleh Pemerintah atau atas nama Pemer-
intah, begitu juga semua anggota dewan watersc-
hap, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan
kepala golongan Timur Asing yang menjalankan ke-
kuasaan yang sah), (3) orang yang menerima gaji/
upah dari keuangan negara/daerah, (4) orang
yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi
yang menerima bantuan dari keuangan negara/
daerah, dan (5) orang yang menerima gaji/upah
dari korporasi yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara/masyarakat.
b. Badan Hukum/Korporasi (Rechtsper-
soon)
Badan hukum adalah organisasi atau
kelompok manusia yang mempunyai tujuan ter-
tentu yang dapat menyandang hak dan ke-
wajiban. Negara dan perseroan terbatas mis-
alnya, adalah organisasi atau kelompok manusia
yang merupakan badan hukum. Selain itu badan
hukum bertindak sebagai satu kesatuan dalam
lalu lintas hukum seperti orang. Hukum mencip-
takan badan hukum oleh karena itu pengakuan
13 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
organisasi atau kelompok manusia sebagai sub-
jek hukum itu sangat diperlukan (Mertokusumo,
2010:93-94).
Secara teoritis badan hukum dibagi
menjadi dua jenis, yaitu badan hukum privat dan
badan hukum publik. Selain itu terdapat empat
teori yang sering digunakan sebagai syarat badan
hukum untuk menjadi subjek hukum, yaitu:
1. Teori Fictie, bahwa badan hukum adalah
suatu rekayasa yang tidak nyata (von Savigny).
2. Teori Kekayaan Bertujuan, bahwa badan
hukum memiliki kekayaan yang terpisah
dengan kekayaan pemilik maupun anggo-
tanya (Alois von Brinz).
3. Teori Pemilikan, hak dan kewajiban badan
hukum terpisah dengan hak dan kewajiban
pemilik maupun anggotanya (Planiol dan Mo-
lengraaf).
4. Teori Organ, bahwa dalam suatu badan
hukum ada organ-organ di dalamnya yang
menjalankan hak dan kewajibannya (Otto von
Gierke).
c. Manusia dan Korporasi Sebagai Subjek
Tindak Pidana Korupsi
Menilik pada sejarahnya, suatu tindak
pidana biasanya hanya dapat dilakukan oleh
subjek hukum manusia saja. Fenomena ini se-
laras dengan ketentuan yang termuat dalam
KUHP bahwa hanya manusia saja (yang tercer-
min dalam kata-kata “barang siapa”) yang dapat
dijatuhi pidana, baik dalam bentuk penjara, ku-
rungan, maupun denda atau jenis-jenis pidana
lainnya. Namun seiring dengan perkembangan
zaman, ternyata mulai didapati pula tindak pi-
dana yang dilakukan oleh korporasi sebagai
badan hukum. Hal ini tentu saja menimbulkan
polemik mengenai apakah badan hukum dapat
dijatuhi pidana? Jawabannya adalah tentu saja da-
pat.
UU No. 31 Tahun 1999 mengamini
bahwa subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana
karena melakukan tindak pidana korupsi adalah
subjek hukum manusia dan/atau badan hukum.
Pasal 1 angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 secara
tegas mengatur “Setiap orang adalah orang per-
seorangan atau termasuk korporasi.” Sedangkan
definisikorporasiitusendiridapatditemuipada
Pasal 1 angka 1 UU No. 31 Tahun 1999 yaitu
“Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau ke-
kayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.” Meskipun
sekilas terlihat seperti penyimpangan dari ke-
tentuan KUHP, namun tentu saja ketentuan ini
sah dan legal karena sejalan dengan asas lex spe-
cialis derogat legi generalis.
d. Kriteria Tindak Pidana Korupsi oleh
Korporasi
Pasal 20 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999
menyatakan bahwa “Tindak pidana korupsi di-
lakukan oleh korporasi apabila tindak pidana terse-
but dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama.” Maksud dari
rumusan pasal tersebut adalah bahwa korporasi
dikatakan melakukan tindak pidana korupsi jika
(1) dilakukan oleh orang-orang berdasarkan
hubungan kerja maupun hubungan lain, dan (2)
bertindak dalam lingkungan korporasi terse-
but baik sendiri maupun bersama-sama. Kedua
kriteria tersebut menjadi penanda bahwa kor-
porasi-lah yang melakukan tindak pidana (Ali,
2014:52-53).
Terdapat setidaknya dua teori yang da-
pat digunakan untuk menjelaskan tindak pidana
korupsi oleh korporasi. Pertama, teori pelaku
fungsional (functioneel daaderschap) yang dije-
laskan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro. Teori
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 14
ini memandang bahwa dalam lingkungan sosial
ekonomi, pelaku tidak perlu selalu melakukan
perbuatanitusecarafisik,tetapidapatsajaper-
buatan tersebut dilakukan oleh pegawainya, asal-
kan perbuatan tersebut masih dalam ruang ling-
kup fungsi-fungsi dan kerwenangan korporasi
(Reksodiputro, 1994:107-108). Apabila pegawai
tersebut melakukan suatu pelanggaran yang
dilarang oleh hukum, sesungguhnya perbuatan
tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan
oleh korporasi (Ali, 2014:53).
Kedua, teori identifikasi (identification
theory). Teori ini pada intinya menyatakan bahwa
korporasi dapat melakukan perbuatan pidana
secara langsung melalui orang-orang yang sangat
berhubungan erat dengan korporasi yang dalam
derajat tertentu dapat dipandang sebagai korpo-
rasi itu sendiri. Perbuatan yang dilakukan oleh
anggota-anggota tertentu dari korporasi, selama
perbuatan itu berkaitan dengan korporasi, diang-
gap sebagai perbuatan dari korporasi itu sendiri.
Sehingga apabila perbuatan tersebut mengaki-
batkan terjadinya kerugian, atau jika anggota
tertentu korporasi melakukan tindak pidana,
maka sesungguhnya perbuatan pidana tersebut
merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi, yang pada akhirnya korporasi dapat
dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana
yang telah dilakukannya (Ali, 2014:53).
4. Delik Tindak Pidana Korupsi yang
Berasal dari KUHP
Dalam perkembangannya tidak dapat
dipungkiri bahwa terdapat banyak pasal dari UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
yang secara mutlak diambil dari KUHP. Penting
sekali bagi penegak hukum untuk memahami ri-
wayat dibuatnya suatu pasal pada undang-undang
dan asalnya dari pasal dalam KUHP. Misalnya bila
merujuk pada ketentuan Pasal 5 UU No. 31 Ta-
hun 1999 (sebelum diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001) yang rumusannya sebagai berikut:
Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999
Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus
lima puluh juta rupiah).
Penjelasan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999
Cukup jelas.
Pasal 209 KUHP
(1) Dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) ta-
hun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp4.500,-:
1. barang siapa memberi hadiah atau per-
janjian kepada seorang pegawai negeri
dengan maksud hendak membujuk dia, su-
paya dalam pekerjaannya ia berbuat atau
mengalpakan sesuatu apa, yang berten-
tangan dengan kewajibannya.
2. barang siapa memberi hadiah kepada se-
orang pegawai negeri oleh sebab atau ber-
hubungan dengan pegawai negeri itu sudah
membuat atau mengalpakan sesuatu apa
dalam menjalankan pekerjaannya yang ber-
tentangan dengan kewajibannya.
(2) Dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak
yang tersebut dalam Pasal 35 No. 1-4 (KUHP
92, 149, 210, 418).
Apabila rumusan pasal tersebut di atas,
baik yang tertulis dalam undang-undang mau-
pun yang tertulis dalam KUHP sebagai pasal
asalnya, maka dapat juga dirujuk penjelasan pasal,
putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi),
15 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
doktrin, dan juga MvT (memorie van toelichting)
atau risalah pembentukan KUHP untuk menda-
patkan gambaran dan pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai maksud dan tujuan pasal
ini pada saat dibentuknya (mengetahui mak-
sud pembuat undang-undang). Misalkan dalam
contoh ini penulis akan merujuk pendapat R.
Soesilo (Soesilo, 1995:166) mengenai pasal
terkait, yaitu:
1. Kejahatan ini biasa disebut “menyuap” atau
“menyogok” pegawai negeri (actieve omkoo-
ping).
2. Unsur yang penting dalam pasal ini ialah,
orang itu harus mengetahui, bahwa ia ber-
hadapan dengan seorang “pegawai negeri”,
jika bukan pegawai negeri ia tidak dapat di-
hukum.
3. Maksud pemberian hadiah atau perjanjian
itu harus membujuk supaya pegawai negeri
itu dalam pekerjaannya berbuat atau men-
galpakan sesuatu yang “bertentangan den-
gan kewajibannya”, jadi kalau untuk berbuat
atau mengalpakan sesuatu yang sah menurut
kewajiban jabatannya, tidak dapat dihukum.
4. Seorang yang berbuat pelanggaran atau ke-
jahatan memberi hadiah (uang atau barang)
atau perjanjian (berupa apa saja) kepada
agen polisi dengan maksud supaya jangan
membuat proses-verbal (jadi bertentangan
dengan kewajiban agen polisi), dapat dihu-
kum menurut sub 1 pasal ini.
Seorang yang telah berbuat suatu pelang-
garan atau kejahatan, memberi hadiah atau
perjanjian pada agen polisi, setelah agen
polisi itu ternyata tidak membuat proses-
verbal terhadapnya, dapat dihukum menurut
sub 2 pasal ini. Berhubung dengan ini maka
dapatlah ditentukan, bahwa pada saat pem-
berian dilakukan, kejahatan ini telah selesai,
meskipun pegawai itu tidak mau menerima
pemberiannya, misalnya dalam hal menyuap
itu meletakkan sejumlah uang di atas meja
tulis dan pegawai negeri itu menolak untuk
menerimanya. Dapat dipandang sebagai
suatu janji ialah mengeluarkan dompet uang
dengan mengeluarkan kata-kata “tidak da-
patkah tuan menyimpan perkara ini?” atau
“tidak dapatkah tuan meniadakan proses-
verbal atas kejahatan ini?”.
Tidak usah penyuap itu melakukan sendiri
pemberian atau janji, hal ini dapat dilaku-
kan pula dengan mempergunakan seorang
perantara, yang mana mungkin dapat diper-
salahkan sengaja membantu kejahatan itu.
5. Pegawai negeri yang menerima pemberian,
hadiah, atau perjanjian semacam itu dapat
dipersalahkan “menerima suap” dalam Pasal
418 atau 419 KUHP (pasieve omkooping).
6. Apa yang disebut “pegawai negeri” lihat
catatan pada Pasal 92 KUHP.
7. Menurut UU No. 3 Tahun 1971, Pasal 209
ini dipandang sebagai “tindak pidana korup-
si” dan diancam hukuman penjara seumur
hidup atau penjara selama-lamanya 2 tahun
dan denda setinggi-tingginya Rp30.000.000,-
Contoh di atas barulah merujuk pada
salah satu referensi, yaitu penjelasan pasal-pasal
dalam KUHP menurut R. Soesilo. Apabila terda-
pat yurisprudensi, doktrin, ataupun risalah pem-
bentukan mengenai Pasal 209 tentunya dapat
ditambahkan untuk lebih memberikan gambaran
secara komprehensif mengenai Pasal 5 UU No.
31 Tahun 1999 jo. Pasal 20 Tahun 2001. Berikut
adalah tabel delik korupsi yang secara mutlak di-
ambil dan dikembangkan dari pasal-pasal KUHP.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 16
Tabel Delik Korupsi yang Secara Mutlak Diambil dari KUHP
Sumber: Gandjar Laksmana Bonaprapta, “Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia” dalam
Kemenristekdikti, Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kemenristekdikti, 2011: 129).
Tabel Delik Korupsi yang Dirumuskan oleh Pembuat Undang-Undang
UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001
Diadopsi dari KUHP
Pasal 5 ayat (1) huruf a Pasal 209 ayat (1) ke-1Pasal 5 ayat (1) huruf b Pasal 209 ayat (1) ke-2Pasal 6 ayat (1) huruf a Pasal 210 ayat (1) ke-1Pasal 6 ayat (1) huruf b Pasal 210 ayat (2) ke-2Pasal 7 ayat (1) huruf a Pasal 387 ayat (1)Pasal 7 ayat (1) huruf b Pasal 387 ayat (2)Pasal 7 ayat (1) huruf c Pasal 388 ayat (1)Pasal 7 ayat (1) huruf d Pasal 388 ayat (2)Pasal 8 Pasal 415Pasal 9 Pasal 416Pasal 10 Pasal 417Pasal 12 huruf a Pasal 419 ke-1Pasal 12 huruf b Pasal 419 ke-2Pasal 12 huruf c Pasal 420 ayat (1) ke-1Pasal 12 huruf d Pasal 420 ayat (1) ke-2Pasal 12 huruf e Pasal 423Pasal 12 huruf f Pasal 425 ke-1Pasal 12 huruf g Pasal 425 ke-2Pasal 12 huruf h Pasal 425 ke-3Pasal 12 huruf i Pasal 435
17 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Pasal 12 huruf i Pasal 12 huruf i1. Pasal 1 ayat (1) huruf a, b,
dan d2. Pasal 1 ayat (2)
1. Pasal 22. Pasal 33. Pasal 134. Pasal 15
5. Delik-Delik Tindak Pidana Korupsi
Terdapat 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang mengatur mengenai
tindak pidana korupsi, yang mana dapat dikerucutkan menjadi 7 macam perbuatan utama, yaitu:
1) Merugikan keuangan negara.
2) Suap.
3) Penggelapan dalam jabatan.
4) Paksaan mengeluarkan uang (pemerasan).
5) Perbuatan curang.
6) Benturan kepentingan dalam pengadaan (penipuan oleh pemborong).
7)Gratifikasi.
Ketujuh macam perbuatan utama tersebut apabila dijabarkan lebih mendetail akan menjadi 30 ben-
tukperbuatanspesifik.Selainitutindakpidanakorupsijugadapatditelisikeratkaitannyadengantindakpi-
dana lainnya, misalnya tindak pidana pencucian uang. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing perbuatan
utama tersebut.
1) Merugikan Keuangan Negara
Dalam kategori perbuatan yang merugikan keuangan negara, hanya terdapat dua pasal dari 13 pasal
yang mengatur seluruh tindak pidana korupsi dalam undang-undang, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3. Secara se-
derhana Pasal 2 digunakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang bukan merupakan pejabat negara,
sedangkan Pasal 3 digunakan terhadap pelaku yang merupakan pejabat negara (PNS/ASN) yang memiliki
kewenangan, kesempatan, atau sarana tertentu yang berasal dari negara.
a. Pasal 2
Tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2000 diatur pada Bab II,
yang pasal pertamanya langsung mengatur korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian
negara. Berikut adalah uraiannya.
Pasal 2
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan ter-
tentu, pidana mati dapat dijatuhkan
Penjelasan Pasal 2
1. Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak dia-
tur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela ka-
rena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 18
formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang
sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
2. Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam Pasal ini adalah keadaan yang dapat dijadikan
alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana
alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi
dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Tabel Unsur Pasal 2
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak hanya manusia
tetapi juga korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
2 Secara melawan hukum Melawan hukum dalam arti materiil (berlawa-nan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat) dan dalam arti formil (berlawanan dengan ketentuan dalam peraturan tertulis).
3 Melakukan perbuatan Menurut KBBI, melakukan perbuatan berarti melakukan sesuatu yang diperbuat, berupa tin- dakan apapun. Dalam hukum pidana dikenal adanya jenis delik formil dan delik yang dilakukan secara aktif.
4 Memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau korporasi
Secara harafiah memperkaya adalah kegiatanapapun yang menjadikan bertambahnya kekayaan, terlepas dari kuantitas penambahan yang terjadi. Misalkan dengan membeli, menjual, mengambil, memindah bukukan rekening, serta perbu-atan lainnya sehingga pelaku jadi bertambah kekayaan-nya (Mulyadi, 2007:81). Bertambahnya kekayaan pelaku juga harus memi-liki hubungan dengan berkurangnya kekayaan ne-gara. Selain itu tidak ada keharusan bahwa pelaku saja yang bertambah kekayaannya, tapi juga orang lain (seperti keluarganya) atau bahkan korporasi. (Ali, 2014:93-94).
19 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
5 Dapat merugikan keuangan atau perekono-mian negara
Kerugian yang dimaksud bukan hanya sekedar pengertian kerugian seperti dalam suatu peru-sahaan, tetapi kerugian yang terjadi karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum atau pe-nyalahgunaan wewenang (Ali, 2014:105).
Selain itu terdapat penjelasan mengenai unsur
“yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” yang terdapat dalam Pen-
jelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999, yaitu:
Keuangan negara yang dimaksud adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, ter-
masuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara
dan segala hak yang timbul karena:
(a) Berada dalam penguasaan, pengurusan,
dan pertanggungjawaban pejabat lemba-
ga negara, baik di tingkat pusat maupun di
daerah.
(b) Berada dalam penguasaan, pengurusan,
dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,
yayasan, badan hukum, dan perusahaan
yang menyertakan modal negara, atau pe-
rusahaan yang menyertakan modal pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan ne-
gara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Per-
ekonomian Negara adalah kehidupan pereko-
nomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat mau-
pun di daerah sesuai dengan ketentuan pera-
turan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran,
dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
rakyat.
Sebagai catatan, unsur kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara
tidak bersifat mutlak, yaitu bahwa kerugian itu
tidak harus telah terjadi. Sekedar suatu perbua-
tan memperkaya dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Dengan de-
mikian perbuatan memperkaya secara melawan
hukum telah memenuhi rumusan pasal ini.
b. Pasal 3
Pada intinya pasal ini melarang setiap
perbuatan mengambil atau mencari untung
yang dilakukan dengan cara menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana. Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa mencari untung
adalah naluri setiap orang sebagai makhluk
sosial dan makhluk ekonomi. Tetapi yang dila-
rang oleh undang-undang adalah perbuatan
mencari untung yang dilakukan dengan men-
yalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sara-
na. Sebagai catatan, keuntungan dalam arti nama
baik tidak termasuk dalam pengertian ini.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan me-
nguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, ke-
sempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipi-
dana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp50.000.000,- (lima puluh juta ru-
piah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah).
Penjelasan Pasal 3
Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama
dengan Penjelasan Pasal 2.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 20
Tabel Unsur Pasal 3
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak hanya manusia tetapi juga
korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak ber-badan hukum.
2 Dengan tujuan Merupakan penjabaran dari ajaran kesalahan dan pertang-gungjawaban pidana, yaitu opzet atau kesengajaan atau de-ngan sengaja. Unsur dengan tujuan merupakan bentuk ke-sengajaan sebagai tujuan.
3 Menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi
Menurut KBBI menguntungkan berarti mendapatkan laba atau manfaat. Keuntungan yang diperoleh harus merupakan keuntungan materiil, dan keuntungan materiil tidak harus berupa uang. Memperoleh suatu keuntungan atau men-guntungkan pada dasarnya memiliki arti memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada sebelumnya (La-mintang, 1991:276).
4 Menyalahgunakan ke-wenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
Syarat utama diterapkannya unsur ini adalah bahwa pelaku merupakan orang yang sungguh-sungguh mempunyai ke-wenangan, kesempatan, atau sarana. Karena orang yang tidak memilikinya tentunya tidak dapat menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana, dan oleh karenanya dalam hal demikian terdapat unsur melawan hukum.
5 Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
Unsur ini harus dikaitkan dengan unsur sebelumnya, karena terdapat alternatif di dalam penerapannya berupa:
a. penyalahgunaan kewenangan karena jabatan atau kedudukan
b. penyalahgunaan kesempatan karena jabatan atau kedudukan, dan
c. penyalahgunaan sarana karena jabatan atau kedudukan
21 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Catatan penting dalam konteks pene-
rapan Pasal 2 dan Pasal 3 ini adalah, bahwa
unsur kerugian keuangan negara atau perekono-
mian negara tidak bersifat mutlak, yaitu bahwa
kerugian itu tidak harus selalu terjadi. Sekedar
suatu perbuatan memperkaya dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara ka-
rena perbuatan memperkaya secara melawan
hukum telah memenuhi rumusan pasal ini.
2) Suap-Menyuap
Secara konseptual suap diartikan seba-
gai pemberian hadiah atau janji kepada seorang
penyelenggara negara atau pegawai negeri yang
berhubungan dengan jabatannya. Secara nor-
matif, suap diatur dalam berbagai rumusan pasal,
yang apabila dilihat dari jenisnya, dapat dibagi
menjadi dua, yaitu (1) suap aktif (active bribery)
dan (2) suap pasif (passive bribery). Kategori
pelaku yang menerima suap pun dibagi menjadi
dua jenis, yakni penegak hukum (hakim, advokat,
jaksa, dan polisi) dan non-penegak hokum yaitu
penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil
(Ali, 2014:125). Berikut adalah pasal-pasal terkait
suap dalam undang-undang korupsi.
a. Pasal 5
Pasal yang mengatur suap yang pertama
kali dapat dijumpai pada undang-undang korupsi
adalah Pasal 5 ini, yang mengatur dua jenis per-
buatan, yaitu “memberi suap” dan “menerima
suap”. Berikut adalah uraiannya.
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling sing-
kat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus
lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut ber-
buat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan ke-
wajibannya, atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang berten-
tangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara ne-
gara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penjelasan Pasal 5
1. Cukup jelas.
2. Yang dimaksud dengan “penyelenggara ne-
gara” dalam Pasal ini adalah penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 ten-
tang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pengertian “penyelenggara negara” tersebut
berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya
dalam Undang-Undang ini.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 22
Tabel Unsur Pasal 5 ayat (1) huruf a
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak hanya manusia tetapi juga
korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak ber-badan hukum.
2 Memberi atau menjanji-kan sesuatu
Memberi berarti beralihnya benda yang dijadikan objek pemberian dari tangan pemberi ke tangan penerima, dan hal ini tidakmensyaratkanbendatersebutberalihsecarafisik,tetapi cukup dengan beralihnya penguasaan benda tersebut kepada penerima.Sedangkan arti menjanjikan sesuatu berarti apa yang dijan-jikan tersebut belum diwujudkan sebelum pengawai negeri atau penyelenggara negara yang disuap melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Ali, 2014:126-127).
3 Pegawai negeri atau pe-nyelenggara negara
Pegawai negeri telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan pe-nyelenggara negara menurut UU No. 28 Tahun 1999 meli-puti:• Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara• Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara• Menteri• Gubernur• Hakim• Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan• Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitan-
nya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ke-tentuan perundang-undangan yang berlaku.
4 Dengan maksud Merupakan penjabaran dari ajaran kesalahan dan pertang-gungjawaban pidana, yaitu opzet atau kesengajaan atau dengan sengaja. Unsur dengan tujuan merupakan bentuk ke-sengajaan sebagai tujuan.
5 Supaya pegawai negeri atau penyelenggara nega-ra tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
Pada waktu memberikan hadiah atau janji, pelaku meng-hendaki agar pegawai negeri atau penyelenggara negara me-lakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut kehendak-nya. Cukup membuktikan bahwa pada waktu memberikan hadiah atau janji, pelaku mempunyai maksud tertentu.
6 Yang bertentangan de-ngan kewajibannya
Pelaku harus mengetahui bahwa dengan melaksanakan ke-hendaknya itu si pegawai negeri atau penyelenggara negara telah tidak memenuhi kewajibannya.
23 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Karena Pasal 5 ayat (1) huruf a ditarik dari Pasal 209 KUHP, maka perlulah kita cermati yurisprudensi yang
berkaitan dengan Pasal 209 KUHP, karena dapat diterapkan juga dalam Pasal 5, beberapa yurisprudensi itu
antara lain:
1) Arrest Hoge Raad 24 November 1980, W. 5969
“Pasal ini dapat juga diperlakukan seandainya hadiah itu tidak diterima.”
2) Arrest Hoge Raad 25 April 1916, N.J. 1916, 300 W. 9896
“Memberi hadiah di sini mempunyai arti yang lain daripada menghadiahkan sesuatu semata-mata karena ke-
murahan hati. Ia meliputi setiap penyerahan dari sesuai yang bagi orang lain mempunyai nilai.”
3) Putusan Mahkamah Agung No. 145 K/Jr/1955, 22 Juni 1955
“Pasal 209 KUHP tidak mensyaratkan bahwa pemberian itu diterima dan maksud daripada Pasal 209 KUHP
ialah untuk menetapkan sebagai suatu kejahatan tersendiri, suatu percobaan yang dapat dihukum menyuap.”
Tabel Unsur Pasal 5 ayat (1) huruf b
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak hanya manusia tetapi juga kor-
porasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hu-kum.
2 Memberi sesuatu Memberi sesuatu adalah perbuatan mengalihkan atau memin-dahkan penguasaan atas objek pemberian. Sesuatu yang diberikan bisa berupa dan berwujud apa saja.
3 Pegawai negeri atau penye-lenggara negara
(Lihat penjelasan unsur pegawai negeri dan penyelenggara negara pada bagian sebelumnya)
4 Karena atau ber- hubungan dengan sesuatu
Pemberian dilakukan terkait suatu hal yang melekat pada penerima
5 Yang bertentangan dengan kewajiban
Pemberian yang dilakukan bersifat melanggar atau tidak boleh di-lakukan karena bertentangan dengan kewajiban
6 Dilakukan atau tidak dilaku-kan dalam jabatannya
Unsur ini tidak mensyaratkan bahwa penerima harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban itu dilakukan dalam jabatannya.
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-
lenggara negaraPegawai negeri atau penyelenggara ne-gara meliputi (1) pegawai negeri yang diatur dalam UU Kepegawaian dan UU Aparatur Sipil Negara, (2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP, (3) orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara/daerah, (4) orang yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi yang menerima ban-tuan dari keuangan negara/daerah, dan (5) orang yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara/masyarakat.
Tabel Unsur Pasal 5 ayat (2)
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 24
No. Unsur Keterangan2 Menerima pemberian atau
janjiSelesainya perbuatan menerima ada-lah apabila suatu pemberian (mi-salnya sejumlah uang) telah berpindah kekuasaanya secara mutlak dan nyata ke tangan pegawai negeri atau penye-lenggara yang menerima. Sedangkan perbuatan menerima janji dianggap telah selesai dan sempurna jika ada keadaan-keadaan yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa apa isi yang dijanjikan telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelengga-ra negara (misalnya dengan anggukan kepala, atau kata-kata yang sifatnya dapat dinilai atau dianggap menerima) (Ali, 2014:133).
2 Berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau berhu-bungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan ke-wajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Bahwa terdapat tindakan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang terkait dengan penerimaan barang atau janji tersebut, misalnya demikian (1) A menyuap X agar memenangkan dirin-ya dalam tender pengadaan barang di instansi Z, (berbuat sesuatu), atau (2) A menyuap X agar tidak memproses pelanggaran yang dilakukan oleh A di instansi Z, (tidak berbuat sesuatu), yang mana hal-hal tersebut berten-tangan dengan kewajiban X sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Rumusan unsur pada Pasal 5 tersebut mungkin akan sedikit membingungkan karena mirip. Pada
dasarnya Pasal 5 ayat (1) adalah delik korupsi yang disebut “memberi suap”, sedangkan Pasal 5 ayat (2) adalah
delik korupsi yang disebut “menerima suap”. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) pula dijumpai dua bentuk per-
buatan memberi suap sebagaimana diatur dalam huruf a dan huruf b, di mana huruf a adalah suap sebelum
berbuat atau tidak berbuat, sedangkan huruf b adalah suap setelah berbuat atau tidak berbuat. Perbedaan
utama keduanya dapat dilihat dalam tabel berikut.
25 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Tabel Perbedaan Suap Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b
Pasal 5 ayat (1), baik untuk huruf a maupun huruf b, dapat dikategorikan sebagai perbuatan suap
aktif (perbuatan memberi suap) karena pelaku deliknya adalah seseorang selain pegawai negeri atau pe-
nyelenggara negara. Berikutnya dapat dijumpai ketentuan pada Pasal 5 ayat (2) yang merupakan suap pasif
karena pelaku deliknya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara.
b. Pasal 6
Sekilas terdapat kemiripan antara struktur Pasal 6 dengan Pasal 5 yang telah dibahas sebelumnya.
Pasal 6 ayat (1) huruf a adalah suap kepada hakim, Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah suap kepada advokat, dan
Pasal 6 ayat (2) adalah penerima suap yang merupakan seorang hakim atau advokat.
Pasal 6
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi pu-
tusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan pe-
rundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
2. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 5 ayat (1) huruf a Pasal 5 ayat (1) huruf bPemberian atau janji dilakukan dengan tujuan agar pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan de-ngan kewajibannya.(suap sebelum berbuat atau tidak berbuat sesuatu)
Pemberian atau janji dilakukan karena pegawai negeri atau penyelenggara negara telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.(suap setelah berbuat atau tidak ber-buat sesuatu)
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 26
c. Pasal 11
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikir Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,-
(dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang (lihat penjelasan unsur pada bagian se-
belumnya)2 Yang memberi atau menjan-
jikan sesuatu kepada hakim(lihat penjelasan unsur ini pada bagian terdahulu)Tujuan pemberian atau janji adalah hakim.
3 Dengan maksud Dengan maksud merupakan wu-jud dari adanya kesengajaan berbuat, bahwa pemberi menyadari dalam arti mengetahui dan menghendaki perbu-atannya tersebut
4 Untuk mempengaruhi pu-tusan perkara yang diserah-kan kepadanya untuk diadili; atau
Unsur ini terkait dengan unsur mak-sud, yaitu bahwa pemberian atau janji untuk memberikan itu terkait adanya keinginan tertentu agar dilakukan oleh penerima.
5 Yang memberi atau menjan-jikan sesuatu kepada sese-orang yang menurut undang-undang ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
(lihat penjelasan unsur memberi atau menjanjikan)Tujuan pemberian atau janji adalah kedudukan advokat.
6 Dengan maksud Dengan maksud merupakan wu-jud dari adanya kesengajaan berbuat, bahwa pemberi menyadari dalam arti mengetahui dan menghendaki perbua-tannya tersebut
7 Untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan
Unsur ini terkait dengan unsur mak-sud, yaitu bahwa pemberian atau janji dihubungkan dengan itikad pemberi yang menginginkan agar penerima mengikuti kehendaknya.
27 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Tabel Unsur Pasal 6
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-
lenggara negara(lihat penjeasan unsur ini pada bagian sebelumnya)
2 Menerima hadiah atau me-nerima janji
Menerima hadiah adalah per- buatan beralihnya objek pemberian dari kekuasaan pemberi ke dalam kekuasaan penerima.Menerima janji adalah sikap, perbua-tan, atau pernyataan yang menunduk-kan diri adanya suatu ikatan
3 Diketahui atau patut diduga Diketahui adalah bentuk kesalahan berupa kesengajaan bahwa pelaku menyadari perbuatannya sebagai per-buatan yang diketahui dan dikehen-daki.Patut diduga adalah bentuk kesalahan berupa kekurang hati-hatian pene-rima bahwa apa yang diterima terkait dengan kekuasaan atau kewenangan terkait kedudukan/jabatannya.
4 Hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang ber-hubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya
Objek yang diterimanya adalah terkait dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki penerima, atau penerima mampu menduga bahwa pemberian dilakukan karena pemberinya me-mandang bahwa penerima memiliki kekuasaan tertentu.
Pasal ini ditarik langsung dari Pasal 418 KUHP. Sedangkan terdapat beberapa yurisprudensi terkait Pasal 418
KUHP, yaitu sebagai berikut:
1) Arrest Hoge Raad 10 April 1893, W. 6333
“Adalah tidak perlu bahwa pemberian itu diterima oleh si pegawai negeri di dalam sifatnya sebagai pegawai
negeri.”
2) Putusan Mahkamah Agung No. 50 K/Kr/1960, 13 Desember 1960
“Undang-undang atau hukum tidak mengenal ketentuan, bahwa apabila seorang pegawai negeri dituduh me-
lakukan kejahatan yang dimaksud oleh Pasal 418 KUHP, maka orang yang memberi kepada pegawai negeri
itu harus dituntut lebih dahulu atas kejahatan tersebut di Pasal 209 KUHP.”
3) Putusan Mahkamah Agung No. 77 K/Kr/1973, 19 November 1974
“Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi c.q. menerima hadiah, walaupun menurut anggapannya uang
yang diterima itu dalam hubungannya dengan kematian keluarganya, lagipula penerima barang-barang itu
bukan terdakwa melainkan istri atau anak-anak terdakwa.”
Tabel Unsur Pasal 11
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 28
d. Pasal 12 huruf a
Pasal 12 huruf a
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Tabel Unsur Pasal 12 huruf a
4) Putusan Mahkamah Agung No. 1/1955/M.A.Pid., 23 Desember 1955
“Seorang menteri adalah “pegawai negeri” dalam arti yang dimaksudkan di dalam pasal-pasal 418 dan 419
KUHP. Dalam hal dua orang atau lebih dituduh bersama-sama dan bersekutu melakukan kejahatan menurut
pasal-pasal 418 dan 419 KUHP, tidaklah perlu masing-masing dari mereka, memenuhi segala unsur yang oleh
pasal itu dirumuskan untuk tidak pidana tersebut. In casu tidak perlu mereka semua melakukan tindakan
menerima uang.”
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-
lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Yang menerima hadiah atau menerima janji
Menerima hadiah diartikan bahwa objek yang diberikan telah berpindah tangan atau penguasaan dari pemberi kepada penerima.Menerima janji diartikan bahwa telah tercapai kesepakatan mengenai objek yang akan diberi/diterima.
3 Padahal diketahui atau patut diduga
(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
4 Hadiah atau janji tersebut di-berikan untuk menggerakkan
Objek yang diterima atau disepakati akan diterima adalah sarana agar mun-cul niat penerima untuk mengikuti ke-hendak pemberi.
5 Agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
Perbuatan yang dilakukan Penerima, baik berupa melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah atas ke-hendak pemberi.
6 Yang bertentangan dengan kewajibannya
Penerima melanggar kewajiban jabatannya diakibatkan adanya pembe-rian atau janji dari pemberi.
29 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
e. Pasal 12 huruf b
Pasal 12 huruf b
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah):
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak me-
lakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Tabel Unsur Pasal 12 huruf a
f. Pasal 12 huruf c
Pasal 12 huruf c
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-
lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Yang menerima hadiah atau menerima janji
(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
3 Padahal diketahui atau patut diduga
(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
4 Diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesua-tu dalam jabatannya
Perbuatan melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu merupakan kausa dari pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
5 Yang bertentangan dengan kewajibannya
Perbuatan melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu oleh pegawai negeri atau penyelenggaran negara itu me-langgar kewajibannya
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 30
g. Pasal 12 huruf d
Pasal 12 huruf d
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut unutk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Penjelasan Pasal 12 huruf d
Yang dimaksud dengan “advokat” adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
No. Unsur Keterangan1 Advokat Advokat sebagaimana dimaksud oleh
UU No. 18 tahun 20032 Yang menerima hadiah atau
menerima janji(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
3 Padahal diketahui atau patut diduga
(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
4 Diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesua-tu dalam jabatannya
Advokat yang menerima hadiah atau janji mengetahui atau setidaknya da-pat menduga bahwa diberikan untuk mempengaruhi nasehat atau pen- dapatnya.Pasal ini dapat diterapkan meski Advokat tidak terpengaruh adanya hadiah atau janji itu dalam nasihat atau pendapatnya
31 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
No. Unsur Keterangan1 Hakim Yang dimaksud Hakim dalam UU ini
meliputi juga pengertian hakim yang dimaksud dalam Ps. 92 ayat (2) KUHP sebagaimana telah diadopsi ke dalam UU PTP Korupsi
2 Yang menerima hadiah atau menerima janji
(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
3 Padahal diketahui atau patut diduga
(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
4 Diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesua-tu dalam jabatannya
Perbuatan melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu merupakan kausa dari pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
Tabel Unsur Pasal 12 huruf c
Tabel Unsur Pasal 12 huruf d
h. Pasal 13
Pasal 13
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau we-
wenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)
Tabel Unsur Pasal 13
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak
hanya manusia tetapi juga korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
2 Memberikan hadiah atau janji Unsur ini bersifat alternatif, memberi hadiah atau memberi janji. Memberi hadiah adalah menyerahkan sesuatu di mana hadiah menurut KBBI adalah pemberian kenang-kenangan, peng-hargaan, penghormatan. Sedangkan memberi janji memenuhi juga makna berjanji, mengikat janji, atau “janjian”.
3 Kepada pegawai negeri Pegawai negeri atau penyelenggara ne-gara meliputi (1) pegawai negeri yang diatur dalam UU Kepegawaian dan UU Aparatur Sipil Negara, (2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP, (3) orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara/daerah, (4) orang yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi yang menerima ban-tuan dari keuangan negara/daerah, dan (5) orang yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara/masyarakat.
4 Dengan mengingat kekua-saan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya; atau
Unsur ini terkait dengan unsur pegawai negeri sebagai tujuan pem-berian hadiah atau janji. Pegawai ne-geri yang dituju memiliki kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya.
5 Oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut
Unsur ini terbukti apabila si pemberi mengetahui, menduga, atau mengira, bahwa kekuasaan atau kewenangan tertentu melekat pada si pejabat sehubungan dengan jabatan atau kedudukannya.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 32
Perbuatan utama yang dilarang di dalam Pasal 13 sebagai perbuatan korupsi adalah memberi hadiah
atau janji kepada pegawai negeri. Memang memberi adalah perbuatan yang baik, akan tetapi memberikan
hadiah kepada seseorang dengan mengingat kekuasaan atau wewenangnya, yang melekat pada jabatan atau
kedudukan orang itu, adalah perbuatan yang masuk ke dalam pengertian delik korupsi. Pemahaman men-
dasar yang perlu dipahami adalah bahwa perbuatan memberi yang dilarang oleh delik ini adalah memberi
hadiah atau memberi janji.
Pada umumnya hadiah diberikan karena penerima telah melakukan suatu prestasi tertentu, dan
atas prestasi itulah hadiah diberikan. Pemberian yang tidak mensyaratkan adanya prestasi tidak meme-
nuhi pengertian hadiah. Kemudian mengenai janji, undang-undang sebenarnya tidak menjelaskan pengertian
memberi janji yang dimaksud, oleh karena itu perbuatn memberi janji yang dimaksud di sini dapat diartikan
sebagai setiap, semua, dan segala perbuatan memberi janji (termasuk yang dalam aktivitas sehari-hari kita
kenal menawarkan, mengajak, atau bahkan “janjian”!).
Memang pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari kita sering memberikan sesuatu kepada
pegawai negeri, terutama pejabat, dengan memandang jabatan dan/atau kewenangan yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya. Doktrin anti korupsi tidak menghendaki perbuatan seperti ini karena hubungan
dengan pegawai negeri, pejabat, orang yang memiliki kekuasaan dan/atau kewenangan tidak perlu mendapat
tempat yang istimewa. Catatan penting di sini adalah bahwa delik dalam pasal ini hanya dapat diancamkan
kepada seorang pemberi. Adapun penerima akan diancam dengan pasal lain.
i. Pasal 15
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai
dengan Pasal 14.
Tabel Unsur Pasal 15
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak
hanya manusia tetapi juga korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
2 Yang melakuan percobaan, atau pembantuan, atau per-mufakatan jahat
Percobaan, pembantuan, atau permu-fakatan jahat, ketiganya ini mengacu pada ketentuan yang sama yang ada di KUHP.
3 Untuk melakukan tindak pidana korupsi
Bahwa tujuan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat itu adalah un-tuk melakukan tindak pidana korupsi.
4 Dipidana sama dengan pelaku tindak pidana korupsinya
Berbeda dengan KUHP, percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat memiliki ancaman hukuman yang sama dengan ancaman hukuman pelaku uta-ma.
33 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Konsep perumusan delik yang diatur dalam Pasal 15 sebenarnya mengadopsi konsep yang ada di
dalam KUHP, yang setidaknya mencakup tiga hal, yaitu percobaan (poging), perbantuan (medeplichtigheid),
dan permufakatan jahat. Berikut adalah penjelasan singkat dari masing-masing konsep tersebut.
Percobaan tindak pidana (Pasal 53 KUHP) pada hakikatnya adalah tindak pidana yang tidak selesai.
Namun demikian tindak pidana yang tidak selesai tersebut dapat diancam dengan sanksi pidana, sepanjang
memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu (1) adanya niat, (2) adanya permulaan pelaksanaan, dan (3) tidak se-
lesainya delik bukan karena kehendak pelaku. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka pelaku tetap
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dengan hukuman dikurangi 1/3. Namun dalam hal percobaan
tindak pidana korupsi, apabila pelaku memenuhi seluruh syarat di atas, maka pertanggungjawaban pidananya
tetap berlaku penuh dan hukumannya tidak dikurangi 1/3, melainkan sama dengan apabila delik korupsi itu
selesai dilakukan.
Perbantuan (medeplichtigheid) adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk membantu
seseorang yang akan atau sedang melakukan tindak pidana. Perbantuan tersebut diberikan dengan cara
memberikesempatan,sarana,atauketerangan.Karenatidakditentukansecaradefinitif,makasetiapper-
buatan apapun dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk bantuan bagi pelaku utama apabila seseorang tidak
menghalangi orang lain melakukan delik. Sama halnya seperti percobaan, seorang yang melakukan perban-
tuan hukumannya dikurangi 1/3 dalam KUHP, sedangkan dalam tindak pidana korupsi, ancaman pidana
seorang pembantu sama dengan pelaku utama.
Mengenai permufakatan jahat, KUHP mengatur permufakatan jahat atas delik tertentu saja yang
dapat dipidana, seperti delik makar, delik pembunuhan kepala negara dan/atau tamu negara. Dalam undang-
undang korupsi, meski perbuatan seseorang atau beberapa orang sekedar memenuhi adanya permufakatan
jahat, tetapi sanksi pidana yang dapat diancamkan kepadanya sama dengan bila mereka telah melakukan
delik korupsi yang baru disepakati tersebut.
3) Penggelapan dalam Jabatan
a. Pasal 8
Tabel Unsur Pasal 8
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang
lain selain pegawai negeriPengertian pegawai negeri diatur di Pasal 1 angka 3 UU PTP KorupsiAdapun selain pegawai negeri adalah siapa saja, setiap orang
2 Yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
Ditugaskan menjalankan suatu jabatan adalah adanya penugasan secara resmi untuk memegang jabatan tertentu
3 Secara terus menerus atau untuk sementara waktu
Jabatan yang ditugaskan kepada pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri itu bisa bersifat per-manen ataupun untuk jangka waktu tertentu saja
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 34
4 Dengan sengaja:• menggelapkan uang atau
surat berharga yang di-simpan karena jabatan-nya, atau
• membiarkan uang atau surat berharga itu diam-bil atau digelapkan oleh orang lain, atau
• membantu dalam mela- kukan perbuatan (me- ngambil atau mengge-lapkan uang atau surat berharga) tersebut
Penggelapan merupakan tindak pidana berupa memperlakukan barang yang bukan milik sendiri sebagai seakan mi-liknya sendiri.Perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga dilakukan sehubungan keberadaan uang atau surat berharga itu di tangannya sebagai konsekuensi jabatan yang diembannya, diperlaku-kan seakan milik sendiri dan karenan-ya ia (bertujuan) mendapatkan keun-tungan.Membiarkan diambil atau digelap-kan berarti pegawai negeri atau se-lain pegawai negeri itu tidak melaku-kan perbuatan apapun yang bersifat menghalangi.Membantu mengambil atau mengge-lapkan terjadi secara sadar untuk me-mudahkan pelakunya
5 Yang bertentangan dengan kewajibannya
Perbuatan melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu oleh pegawai negeri atau penyelenggaran negara itu mel-anggar kewajibannya
6 Yang bertentangan dengan kewajibannya
Penerima melanggar kewajiban jabatannya diakibatkan adanya pembe-rian atau janji dari pemberi.
7 Untuk mempengauhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan
Unsur ini terkait dengan unsur mak-sud, yaitu bahwa pemberian atau janji dihubungkan dengan itikad pemberi yang menginginkan agar penerima mengikuti kehendaknya.
Yurisprudensi
1) Arrest Hoge Raad 27 Juli 1938, 1939 No. 123
“Bagi seorang pegawai kantor pos, benda-benda post seperti perangko, meterai, kartu pos, dan sebagainya
itu merupakan surat-surat berharga. Berdasarkan undang-undang pos, benda-benda tersebut diperuntukkan
guna membayar beberapa hak dan kewajiban tertentu, sehingga di dalam peredarannya benda-benda terse-
but mempunyai suatu fungsi, yang disebut sebagai kertas berharga.”
2) Putusan Mahkamah Agung No. 73 K/Kr/1956, 23 Maret 1957
“Dipergunakannya sejumlah uang oleh pegawai negeri untuk pos lain daripada yang telah ditentukan, meru-
pakan kejahatan penggelapan termaksud Pasal 415 KUHP.”
35 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
b. Pasal 9
Tabel Unsur Pasal 9
c. Pasal 10 huruf a
Tabel Unsur Pasal 10 huruf a
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang
lain selain pegawai negeri(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Yang diberi tugas menjalan-kan suatu jabatan umum:• secara terus menerus,
atau• untuk sementara waktu
(Telah dijelaskan pada tabel unsur Pasal 8 di atas)
3 Dengan sengaja Doktrin menjelaskan dengan sengaja sebagai “mengetahui dan menghenda-ki”, dan dalam pasal ini kesengajaan berbuat harus diartikan kesengajaan dalam arti sebagai tujuan (opzet als oogmerk)
4 Memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi
Perbuatan memalsukan dijelaskan se-bagai:• membuat keadaan palsu dari ke-
adaan yang tidak ada;• membuat keadaan palsu dari ke-
adaan yang sebenarnya ada.Perbuatan memalsu dalam unsur ini dilakukan secara khusus terhadap daftar-daftar khusus pemeriksaan administrasi.
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang
lain selain pegawai negeri(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Yang diberi tugas menjalan-kan suatu jabatan umum se-cara terus menerus atau se-mentara waktu
(telah dijelaskan pada tabel unsur Pasal 8 di atas)
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 36
3 Menggelapkan, menghancur-kan, merusakkan, atau mem-buat tidak dapat dipakai
Menggelapkan adalah perbuatan memperlakukan barang yang bukan milik sendiri sebagai seakan miliknya sendiri.Perbuatan menghancurkan adalah perbuatan apapun yang mengakibat-kan hancurnya barangPerbuatan merusakkan adalah per-buatan apapun yang mengakibatkan rusaknya barangPerbuatan mengakibatkan tidak ada-pat dipakai adalah perbuatan apapun yang menimbulkan tidak dapat dipakai
4 Barang, akta, surat, atau daf-tar
Objek kejahatan ini adalah terbatas pada barang, akta, surat, atau daftar saja
5 Yang digunakan untuk me-yakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang ber-wenang
Objek yang dihancurkan, dirusak, atau menjadi tidak dapat dipakai itu adalah objek yang digunakan untuk meyakin-kan atau pembuktian penting di hada-pan pejabat
6 Yang dikuasai karena jabatannya
Objek barang, akta, surat, atau daf-tar ada di tangan pelaku kejahatan ini karena jabatannya dan bukan karena sebab lain
7 Untuk mempengauhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan
Unsur ini terkait dengan unsur mak-sud, yaitu bahwa pemberian atau janji dihubungkan dengan itikad pemberi yang menginginkan agar penerima mengikuti kehendaknya.
37 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
d. Pasal 10 huruf b
Tabel Unsur Pasal 10 huruf b
e. Pasal 10 huruf c
Tabel Unsur Pasal 10 huruf c
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang
lain selain pegawai negeri(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Yang diberi tugas menjalan-kan suatu jabatan umum se-cara terus menerus atau se-mentara waktu
(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
3 Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancur-kan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
Unsur ini pada dasarnya sama dengan unsur Pasal 10 huruf a kecuali penam-bahan unsur membiarkan dan meng-hilangkan, yaitu perbuatan pasif/omis-sion delict dengan tidak berbuat yang seharusnya, dan perbuatan apapun yang mengakibatkan hilangnya barang
4 Barang, akta, surat, atau daftar
telah dijelaskan pada tabel unsur Pasal 10 huruf a di atas)
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang
lain selain pegawai negeri(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Yang diberi tugas menjalan-kan suatu jabatan secara te-rus menerus atau sementara waktu
(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
3 Membantu orang lain meng-hancurkan, menghilangkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
Unsur ini pada dasarnya sama dengan unsur Ps. 10 huruf b kecuali penam-bahan unsur membantu, yaitu dengan sengaja memberikan kesempatan, sa-rana, atau keterangan sebelum keja-hatan dilakukan maupun perbuatan apapun yang bersifat tidak mengha-langi terjadinya suatu kejahatan pada saat sedang terjadi
4 Barang, akta, surat, atau daftar
(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 38
4) Paksaan Mengeluarkan Uang (Pemerasan)
Perbedaan antara suap dengan pemerasan terletak pada inisiatifnya. Apabila inisiatif ada di pemberi,
maka dikategorikan sebagai suap. Apabila inisiatif ada di penerima, maka dikategorikan sebagai pemerasan.
a. Pasal 12 huruf e
Pasal 12 huruf e
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang memberi-
kan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri.
Tabel Unsur Pasal 12 huruf e
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-
lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Dengan maksud Merupakan betuk kesalahan pelaku yang harus diartikan berupa kesenga-jaan sebagai tujuan (opzet als oogmerk)
3 Menguntungkan diri sendiri atau orang lain
Mendapatkan manfaat pada diri pelaku maupun orang lain selain
4 Secara melawan hukum Meliputi pengertian melawan hukum dalam arti formil dan materiil
5 Dengan menyalahgunakan kekuasaannya
Pelaku memiliki kekuasaan sehubu-ngan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara
6 Memaksa seseorang Perbuatan yang mengakibatkan orang lain merasa tidak berdaya baik dalam arti mutlak maupun relatif
7 Memberikan sesuatu yang dibayar, atau menerima pembayaran dengan poto-ngan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri
Terdapat keterpaksaan pada orang yang membayar, menerima pemba-yaran dengan potongan padahal se-harusnya tidak ada pemotongan, atau mengerjakan sesuatu bagi pelaku, per-buatan mana merupakan keuntungan bagi pelaku
39 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
b. Pasal 12 huruf f
Pasal 12 huruf f
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau
memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas
umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempu-
nyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Tabel Unsur Pasal 12 huruf f
Yurisprudensi atas Pasal 425 ke-1, Putusan Mahkamah Agung No. 25 K/Kr/1955
“Salah satu unsur dari Pasal 425 ke-1 KUHP adalah menjalankan perbuatan itu di dalam jabatannya. Karena
pembuatan daftar penerimaan uang dan pembayaran gaji orang-orang yang dimintai uang oleh terdakwa itu
bukanlah tugas terdakwa sebagai klerek pada Jawatan Pengajaran Daerah, akan tetapi menjadi tugas dari
Kepala Sekolah Rakyat yang bersangkutan, sedang terdakwa hanya dimintai bantuan, maka permintaan uang
tersebut tidak dilakukan terdakwa dalam jatabannya.”
c. Pasal 12 huruf g
Pasal 12 huruf g
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-
lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Pada waktu menjalankan tu-gas
Perbuatan dilakukan pada saat menja-lan tugas dan bukan pada saat lain
3 Meminta, menerima, atau memotong pembayaran ke-pada pegawai negeri atau penyelenggara negara lain atau kepada kas umum
Cukup jelas
4 Seolah mereka itu mempuyai utang kepadanya
Pelaku beralasan bahwa apa yang di-minta, diterima, atau potongan yang dilakukannya adalah karena adanya utang kepada dirinya
5 Padahal diketahui bukan utang
Unsur ini merupakan bentuk kesenga-jaan pelaku bahwa ia mengetahui ke-tiadaan utang itu kecuali sebagai cara untuk mendapatkan sejumlah uang
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 40
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, memeinta atau mene-
rima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Tabel Unsur Pasal 12 huruf g
5) Perbuatan Curang
a. Pasal 7 ayat (1) huruf a
Tabel Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-
lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Pada waktu menjalankan tugas
(telah dijelaskan pada tabel penjelasan unsur Pasal 12 huruf f)
3 Meminta, menerima, atau memotong pembayaran ke-pada pegawai negeri atau penyelenggara negara lain atau kepada kas umum
Pada dasarnya unsur ini sama de-ngan unsur pada Pasal 12 huruf f, perbedaannya hanya pada bentuknya yaitu pekerjaan atau barang sedang-kan pada Pasal 12 huruf f adalah uang/pembayaranMeminta atau menerima pekerjaan maupun penyerahan barang merupa-kan perbuatan curang oleh pelaku
No. Unsur Keterangan1 Pemborong atau ahli ba-
ngunan yang pada waktu membuat bangungan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan ba-han bangunan
Kejahatan korupsi ini merupakan delik khusus yang hanya bisa dilakukan oleh subjek dengan kualifikasi tertentuyaitu pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan
2 Melakukan perbuatan curang Perbuatan curang adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, utamanya menyangkut kualitas dan atau kuantitas barang
3 Yang dapat membahayakan• keamanan orang atau
barang, atau• keselamatan negara da-
lam keadaan perang
Perbuatan curang pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangu-nan itu berpotensi menimbulkan ba-haya keamanan orang atau barangPerbuatan curang pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangu-nan itu berpotensi menimbulkan ba-haya bagi keselamatan negara dalam keadaan perang
41 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
b. Pasal 7 ayat (1) huruf b
Tabel Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b
c. Pasal 7 ayat (1) huruf c
Tabel Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf c
d. Pasal 7 ayat (1) huruf d
Tabel Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf d
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang (telah dijelaskan pada bagian terda-
hulu)
2 Yang bertugas mengawasi pembangunan atau penye-rahan bahan bangunan
Perbuatan mengawasi pembangunan atau mengawasi penyerahan bahan bangunan
3 Dengan sengaja (telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
4 Membiarkan perbuatan cu-rang sebagaimana dimaksud huruf a
Pembiaran adalah kualifikasi per-buatan berupa perbuatan pasif/omis-sion delict dengan tidak berbuat yang seharusnya
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang (telah dijelaskan pada bagian terda-
hulu)
2 Yang pada waktu menyerah-kan barang keperluan TNI dan/atau Polri
Pasal ini sama dengan apa yang dia-tur pada Pasal 7 ayat (1) huruf a, yang membedakannya adalah objek perbuatan curangnya adalah barang keperluan TNI/Polri
3 Melakukan perbuatan curang (telah dijelaskan pada table penjelasan unsur Pasal 7 ayat (1) huruf a)
4 Yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang
Perbuatan curang pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangu-nan itu berpotensi menimbulkan ba-haya bagi keselamatan negara dalam keadaan perang
No. Unsur Keterangan1 Setiap orang (telah dijelaskan pada bagian terda-
hulu)
2 Yang bertugas mengawasi pe-nyerahan barang keperluan TNI dan/atau Polri
(telah dijelaskan pada table penjelasan unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b)
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 42
e. Pasal 7 ayat (2)
Tabel Unsur Pasal 7 ayat (2)
f. Pasal 12 huruf h
Pasal 12 huruf h
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah
negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
No. Unsur Keterangan3 Dengan sengaja (telah dijelaskan pada bagian terda-
hulu)
4 Membiarkan perbuatan cu-rang sebagaimana dimaksud huruf c
Pembiaran adalah kualifikasi perbua-tan berupa perbuatan pasif/omission delict dengan tidak berbuat yang se-harusnya
No. Unsur Keterangan1 (Setiap) orang (telah dijelaskan pada bagian terda-
hulu)
2 Yang menerima• penyerahan barang ba-
ngunan, atau• penyerahan barang ke-
perluan TNI dan/atau Polri
Perbuatan curang berupa menerima penyerahan barang bangunan atau ba-rang keperluan
3 Dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimak-sud ayat (1) huruf a atau c
Pembiaran adalah kualifikasi per-buatan berupa perbuatan pasif/omis-sion delict dengan tidak berbuat yang seharusnya
43 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Tabel Unsur Pasal 12 huruf h
6) Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
a. Pasal 12 huruf i
Pasal 12 huruf i
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
i. pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugas-
kan untuk mengurus atau mengawasinya pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung mau-
pun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,.
Tabel Unsur Pasal 12 huruf i
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-
lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)
2 Pada waktu menjalankan tugas
(telah dijelaskan pada table penjelasan unsur Pasal 12 huruf f)
3 Menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai seolah-olah sesuai per-aturan perundang-undangan
Menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai seolah-olah sesuai peraturan perundang-undangan
4 Telah merugikan orang yang berhak
Untuk menerapkan kejahatan ini harus dibuktikan adanya kerugian yang nyata pada orang yang berhak
5 Padahal diketahuinya Merupakan bentuk kesalahan sebagai syarat pertanggungajwaban pidana berupa kesengajaan
6 Perbuatan tersebut berten-tangan dengan peraturan perundang-undangan
Perbuatan menggunakan tanah negara merupakan perbuatan melanggar per-aturan perundang-undangan
No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-
lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terdahulu)
2 Langsung maupun tidak lang-sung
Cukup jelas
3 Turut serta dalam pembo-rongan, pengadaan, atau persewaan
Perbuatan turut serta dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama dan tidak harus dalam pengertian medeplegen sebagaimana dalam konsep penyertaan tindak pidana
4 Yang pada saat perbuatan dilakukan Seluruh atau seba-gian ditugaskan untuk men-gurus atau mengawasinya
Perbuatan curang yang dimaksud dalam pasal ini adalah berupa (potensi) ben-turan kepentingan mengingat pelaku adalah orang yang seharusnya me-ngurus atau mengawasi pemborongan, pengadaan, atau persewaan
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 44
7) Gratifikasi
Pada prinsipnya gratifikasi adalah pemberian biasa dari seseorang. Pemberian gratifikasi pada
dasarnyabukanmerupakantindakpidana.Gratifikasimenjaditindakpidanaapabilapemberiandilakukan
sehubungan dengan jabatan yang diemban oleh penerima, baik sebagai pegawai negeri atau pun penyeleng-
gara negara. Tanpa kedudukan pegawai negeri atau penyelenggara negara, pemberian tidak akan terjadi atau
dilakukan. Pada praktiknya pemberian seperti ini kerapkali dijadikan modus untuk “membina” hubungan
baik dengan pejabat sehingga dalam seseorang tersangkut suatu masalah yang menjadi kewenangan pejabat
tersebut, kepentingan orang itu sudah terlindungi karena ia sudah berhubungan baik dengan pejabat terse-
but.GratifikasidiaturpadaPasal12Byangrumusannyasebagaiberikut:
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pi-
dana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Penjelasan Pasal 12B
1. Yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberi-
an uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri
maupun di luar negeri dan yang dilakukan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
2. Cukup jelas.
Tabel Unsur Pasal 12B
No. Unsur Keterangan1 Setiapgratifikasi Gratifikasi sebagaimana dijelaskan
pada bagian penjelasan memiliki mak-na yang sangat luas meliputi merupa-kan dalam arti luas dan fasilitas lainnya
2 Kepada pegawai negeri atau penyelenggara
Penerimagratifikasiadalahsubjekhu-kumpidanatertentudengankualifikasipegawai negeri atau penyelenggara negara
45 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Catatanpentingdalamjenistindakpidanakorupsiiniadalahbahwagratifikasihanyaditujukanke-
pada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai penerima suatu pemberian. Selain itu sifat pidana
gratifikasi akanhapusdengandilaporkannyapenerimaan gratifikasi ituolehpegawai negeri ataupenye-
lenggaranegarakepadaKPKdalamjangkawaktu30harisejaktindakanyangdidugagratifikasitersebut
diterima. Setelah laporan diterima, maka dalam 7 hari KPK akan menentukan apakah pemberian tersebut
gratifikasiataubukan.
Lantas yang menjadi pertanyaan terpenting adalah, bagaimana menentukan suatu pemberian adalah
gratifikasiataubukan?Kuncinyaadalahkeikhlasan.Misalnyakitamemberikepadapengemisapakahikhlas?
Bisa jadi ikhlas dan jumlah pemberian pun bervariasi dengan jumlah Rp500,- sampai Rp10.000,- misalnya.
Tapi sangat jarang dan bahkan hampir tidak ada yang memberi pengemis Rp100.000,- dengan ikhlas. Ber-
beda halnya ketika datang ke perkawinan teman, mungkin pemberian Rp100.000,- lazim dijumpai, karena
diberikan kepada teman sendiri. Berbeda juga ketika datang ke perkawinan atasan atau boss, bisa jadi jum-
lahnya meningkat hingga Rp500.000,- dan tidak lupa menyelipkan kartu nama supaya tahu siapa pemberinya.
Ini erat kaitannya dengan kepentingan.
Kuncimemahamigratifikasisebenarnyabukanpadabesarannilainyamelainkanpadakontekspem-
beriandanhubunganantarapemberidanpenerima.Begituadaindikasiconflictofinterestdapatmenjadi
suap dan gratifikasi.Meskipun demikian dalam beberapamomentum tertentuKPKmasihmemberikan
kelonggaran untuk menghargai kearifan lokal turun temurun, terutama tradisi memberikan sesuatu saat ada
teman atau kerabat menggelar hajatan (pesta pernikahan, masa berkabung, dsb.) di mana pemberian masih
diperbolehkan asalkan nilainya di bawah Rp1.000.000,-. Sebagai catatan, ketentuan ini tercantum dalam
PedomanPengendalianGratifikasiKPKyangditerbitkanpadabulanJuni2015.(KPK,2015)
Catatan penulis terhadap kebijakan dari KPK tersebut adalah apabila ditemui adanya pemberian di
atas Rp1.000.000,- (katakanlah Rp5.000.000,-) maka KPK akan menyita Rp4.000.000,- dan mengembalikan
sisanya kepada penerima. Menurut hemat penulis, praktik yang demikian tidaklah tepat. Dengan demikian
apabila memang ingin ikhlas memberi tanpa adanya kepentingan tertentu, maka hanya ada dua cara. Perta-
ma, memberi dengan jumlah di bawah Rp1.000.000,- atau Kedua, memberi dengan jumlah berapapun tanpa
No. Unsur Keterangan3 Setiapgratifikasi Pemberian gratifikasi dikategorikan
sebagai suap yaitu pemberian dengan maksud tertentu
4 Kepada pegawai negeri atau penyelenggara
Pemberian dilakukan dengan meng- ingat jabatan penerimanya. Tanpa jabatan tersebut, pemberian tidak akan dilakukan.
5 Dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
Pegawai negeri atau penyelenggara negara tertentu karena kewajiban atau tugasnya diberi kewenangan un-tuk menerima pemberian. Pemberian dan penerimaan gratifikasi dilakukanberlawanan dengan itu.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 46
memberikan identitas atau tanda atau petunjuk apapun mengenai siapa yang memberi (meskipun pada
akhirnya harus tetap dilaporkan kepada KPK).
Tabel Penggolongan Tindak Pidana Korupsi (Maheka, 2006:16-19)
Pelaku Jenis Perbuatan AncamanPidana
Dasar Hukum
Keterangan
Perse-orangan atau Korporasi
Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Ne-gara
Penjara se-umur hidup; penjara min. 4 tahun max. 20 tahun; denda min. Rp200 juta max. Rp1 miliar.
Pasal 2
Dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan, yaitu apabila tindak pidana korupsi tersebut di-lakukan pada dana-dana penanggu-langan bahaya/bencana, penanggu-langan kerusuhan, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta penanggulangan korupsi.
Perse-orangan atau Korporasi
Menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan, untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain, yang da-pat merugikan keuangan atau perekonomianNegara
Penjara seu-mur hidup; penjara min. 1 tahun max. 20 tahun; denda min. Rp50 juta max. Rp1 miliar
Pasal 3
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri/penyelenggara ne-gara supaya mau berbuat atau tidak berbuat sesua-tu, dalam jabatannya atau tidak dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
Penjara min. 1 tahun max. 5 tahun; denda min. Rp50 juta max Rp250 juta
Pasal 5 ayat (1)
Pegawai negeri/penyelenggara negara yang mene-rima pemberian/janji juga dipidana, dianggap menerima suap
Memberi atau menjanji-kan sesuatu kepada hakim untuk mempengaruhi pu-tusan perkara
Penjara min. 3 tahun max. 15 tahun; denda min. Rp150 juta max. Rp750 juta
Pasal 6 ayat (1)
Hakim atau advokat yang mene-rima pemberian/janji juga dipidana, dianggap menerima suap
Supplier/Pembo-rong/ahlibangunan; penjual bahanbangunan
Melakukan pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan, secara curang, yang dapat membahayakan keamanan orang/barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang
Penjara min. 2 tahun max. 7 tahun; denda min. Rp100 juta max. Rp350 juta
Pasal 7
Pengawas dan penerima bahan/ba-rang yang membiarkan terjadinya perbuatan curang tersebut juga dipidana
47 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Pelaku Jenis Perbuatan AncamanPidana
Dasar Hukum
Keterangan
Perse-orangan atauKorporasi
Menyerahkan barang ke-perluan TNI atau POLRI, secara curang, yang dapat membahayakan keselama-tan negara dalam keadaan perang
Penjara min. 2 tahun max. 7 tahun; denda min. Rp100 juta max. Rp350 juta
Pasal 7
Pengawas dan penerima bahan/ba-rang yang membiarkan terjadinya perbuatan curang tersebut juga dipidana
Pegawai negeri
Menggelapkan uang atau surat berharga, atau mem-biarkan barang tersebut diambil/digelapkan, atau membantu mengambil/mengggelapkan
Penjara min. 3 tahun max. 15 tahun; denda min. Rp150 juta max. Rp750 juta
Pasal 8
Memalsukan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan admi-nistrasi
Penjara min. 1 tahun max. 5 tahun; denda min. Rp50 juta max. Rp250 juta
Pasal 9
Menggelapkan, menghan-curkan membuat tidak da-pat dipakai/merusakan alat bukti
Penjara min. 2 tahun max. 7 tahun; denda min. Rp100 juta max. Rp350 juta
Pasal 10
Membiarkan atau mem-bantu orang lain meng-hilangkan, menghancurkan, merusakkan alat bukti
Pegawai negeri atau penyeleng-gara negara
Menerima hadiah atau janji karena kewenangan/kekuasaan jabatannya
Penjara min. 1 tahun max. 5 ta-hun; denda min. Rp50 juta max. Rp250 juta
Pasal 11
Dianggap menerima suap
Menerima hadiah atau janji, supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya
Penjara seumur hidup; penjara min. 4 tahun max 20 tahun; denda min. Rp200 juta max. Rp1 miliar
Pasal 12 huruf a
Dianggap menerima suap
Menerima hadiah karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang berten-tangan dengan kewajiban-nya
Pasal 12 huruf b
Dianggap menerima suap
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 48
Pelaku Jenis Perbuatan AncamanPidana
Dasar Hukum
Keterangan
Hakim
Menerima hadiah atau janji yang diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara
Penjara seumur hidup; penjara min. 4 tahun max 20 tahun; denda min. Rp200 juta max. Rp1 miliar
Pasal 12 huruf c
Dianggap menerima suap
Advokat
Menerima hadiah atau janji yang diberikan untuk mempengaruhi nasehat yang akan diberikan
Pasal 12 huruf d
Dianggap menerima suap
Pegawai negeri atau pe-nyelengga-ra negara
Menyalahgunakan kekua-saannya untuk mengun-tungkan diri sendiri/orang lain (secara melawan hu-kum), memaksa seseorang untuk memberikan sesua-tu, membayar, menerima pembayaran dengan po-tongan, atau mengerjakan sesuatu
Penjara se-umur hidup; penjara min. 4 tahun max. 20 tahun; denda min. Rp200 juta max. Rp1 miliar
Pasal 12huruf e
Dianggap menerima suap
Meminta, menerima, memotong pembayaran seolah-olah merupakan utang
Penjara min. 2 tahun max. 7 tahun; denda min. Rp100 juta
Pasal 12 huruf f
Meminta, menerima peker-jaan atau barang seorang-olah merupakan utang
Pasal 12 huruf g
Menggunakan tanah ne-gara (di atasnya ada hak pakai) seolah-olah sesuai peraturan perundang-undangan padahal ber-tentangan dan merugikan orang yang berhak
Pasal 12 huruf h
Turut serta dalam pem-borongan, pengadaan, atau persewaan padahal tugas-nya mengawasi
Pasal 12 huruf i
Menerima gratifikasi ka-rena jabatannya, yang ber-lawanan dengan kewajiban atau tugasnya
Pasal 12B
Perse-orangan atau Kor-porasi
Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena jabatan/Kedudukannya
Penjara max. 3 tahun; denda max. Rp150 juta
Pasal 13
Dianggap menerima suap
49 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
DenganpengaturangratifikasiolehPasal
12B, perbuatan materil berupa memberi sesuatu
mempunyai beberapa gradasi:
• Pemberian yang boleh atau wajib dilaku-
kan, seperti halnya pemberian sedekah atau
pemberian hadiah kepada orangtua atau di
antara kakak dan adik.
• Pemberian yang mempunyai maksud terten-
tu tetapi bukan kejahatan atau tindak pidana
karena tidak dilarang oleh peraturan perun-
dang-undangan, seperti halnya pemberian
dengan maksud agar penerima berbaik hati
kepada pemberi.
• Pemberian yang dilatarbelakangi maksud
tertentu agar penerima mengikuti mak-
sud atau kehendak pemberi dan karenanya
merupakan tindak pidana suap tetapi tidak
masuk kategori kejahatan korupsi, me-
lainkan diatur oleh UU No. 11 tahun 1980
tentang suap, yaitu pemberian kepada orang
biasa non pegawai negeri atau penyeleng-
gara negara.
• Pemberian karena penerima telah melaku-
kan sesuatu yang sesuai dengan maksud atau
kehendak pemberi dan karenanya pemberi-
an itu merupakan suatu hadiah, merupakan
tindak pidana suap sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 13 bagi pemberi dan Pasal 11 bagi
penerima, seperti halnya pemberian oleh
murid kepada gurunya karena pemberi telah
naik kelas atau lulus ujian.
• Pemberian yang dilakukan oleh maksud agar
penerima mengikuti kehendak pemberi dan
melanggar kewajibannya, merupakan tindak
pidana suap sebagaimana diatur Pasal 5 ayat
(1) bagi pemberi/penyuap dan diatur Pasal
12 a atau b bagi penerima suap.
• Pemberian yang dilakukan karena penerima
merupakan pegawai negeri atau penyeleng-
gara negara, bukan merupakan suap tetapi
diangggap pemberian suap. Pemberian ini
adalah gratifikasi yang dilarang. Contoh
pemberianyangmerupakangratifikasiyang
dilarang adalah pemberian oleh-oleh kepada
atasan.
Catatan penting yang perlu digaris-
bawahi adalah bahwa gratifikasi berbeda de-
ngan suap. Berikut adalah beberapa argumentasi
hukumyangmenegaskanbahwadelikgratifikasi
bukanlah suap, yaitu: (KPK, 2015:9-10)
1. Gratifikasi merupakan jenis tindak pidana
baru. Hal ini ditegaskan pada sambutan
pemerintah atas persetujuan RUU No. 20
Tahun 2001 yang mengubah ketentuan UU
No. 31 Tahun 1999, sebagai berikut: “Dalam
rancangan undang-undang ini diatur ketentuan
mengenai gratifikasi sebagai tindak pidana
baru. Gratifikasi tersebut dianggap suap apa-
bila berhubungan dengan jabatan dan berlawa-
nan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai
pegawai negeri atau penyelenggara negara. Na-
mun gratifikasi tersebut tidak dianggap suap
apabila penerima gratiifkasi melaporkan pada
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu
yang ditentukan dan apabila tidak melaporkan
dianggap suap…”
2. Putusan No. 34/Pid.B/TPK/2011/PN.Jkt.Pst
(Pengadilan Tindak Pidana Korupsi) dengan
terdakwa Dhana Widyatmika yang mene-
gaskan bahwa kalimat “gratifikasi yang diang-
gap suap”berartigratifikasiberbedadengan
suapataugratifikasibukanlahsuap.
3. Pandangan ahli hukum dan praktisi hukum,
yaitu:
a. Prof. Dr. Eddy Omar Syarif Hiariej, per-
bedaangratifikasidansuapterletakpada
ada atau tidaknya “meeting of mind” pada
saat penerimaan. Pada tindak pidana
suap, terdapat meeting of mind antara
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 50
pemberi dan penerima suap, sedangkan
padatindakpidanagratiifikasitidakter-
dapat meeting of mind antara pemberi
dan penerima. Meeting of mind meru-
pakan nama lain dari konsesus atau hal
yang bersifat transaksional.
b. Dr. Adami Chazawi, S.H., pada keten-
tuan tentang gratifikasi belum ada niat
jahat (mens rea) pihak penerima pada
saat uang atau barang diterima. Niat ja-
hatdinilaiadaketikagratifikasitersebut
tidak dilaporkan dalam jangka waktu 30
hari kerja, sehingga setelah melewati
waktu tersebut dianggap suap sampai
dibuktikan sebaliknya. Sedangkan pada
ketentuan tentang suap, pihak penerima
telah mempunyai niat jahat pada saat
uang atau barang di terima.
c. Djoko Sarwoko, S.H., M.H., dalam suap
penerimaan sesuatu dikaitkan dengan
untuk berbuat atau tidak berbuat yang
terkait dengan jabatannya, sedangkan
gratifikasidapatdisamakandengankon-
sep self assessment seperti kasus perpa-
jakan yang berbasis pada kejujuran sese-
orang.
6. Delik Lain yang Berkaitan dengan Tin-
dak Pidana Korupsi
Selain delik korupsi utama yang diatur
dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 15, undang-
undang juga mengatur tindak pidana lain yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi seba-
gaimana diatur dalam Bab III Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999. Adapun tindak pidana
lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
itu adalah:
a. Tindak pidana sebagaimana diaur
dalam Pasal 21.
Pasal 21 UU No. 31 tahun 1999 menyata-
kan:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidangg Terdakwa maupun para
saksi dalam perkara tindak pidana korupsi dipi-
dana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 150,000,000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 600,000,000,00 (enam ratus juta rupiah).
Tindak pidana menurut Pasal 21 di atas
adalah tindak pidana yang dikenal sebagai Ob-
struction of Justice atau menghalangi peradilan.
Penerapan kejahatan menghalangi peradilan te-
lah umum diterapkan terhadap kejahatan serius
atau kejahatan luar biasa. Pentingnya mengung-
kap kejahatan serius atau kejahatan luar biasa
dianggap perlu untuk dilindungi dari segala per-
buatan yang menghalanginya.
b. Tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 22.
Pasal 22 UU No. 31 tahun 1999 menyata-
kan:
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan
sengaja tidak memberi keterangan atau member
keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pi-
dana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 150,000,000,00 (seratus lima puluh juta) dan
paling banyak Rp. 600,000,000,00 (enam ratus
juta rupiah).
Pasal ini mengatur konsekuensi pidana
dari kewajiban pihak-pihak tertentu untuk mem-
berikan keterangan yang benar guna mengung-
51 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
kap kejahatan korupsi. Adapun pihak-pihak ter-
tentu itu adalah Tersangka, bank, saksi, ahli, dan
setiap orang selain yang dikecualikan. Khusus
mengenai permintaan keterangan kepada bank
sebagaimana dimaksud Pasal 29, meski UU me-
wajibkan Gubernur BI untuk memenuhi per-
mintaan KPK selambat-lambatnya 3 (tiga) hari
kerja, MA-RI telah menerbitkan Surat Ketua
Mahkamah Agung RI tertanggal 3 Desember
2004 yang menyatakan bahwa untuk keperluan
pemeriksaan dugaan tindak pidana korupsi, KPK
tidak harus meminta ijin Gubernur Bank Indo-
nesia.
c. Tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 23
Pasal 23 UU Nomor 31 tahun 1999 men-
yatakan:
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ke-
tentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220,
Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429, atau
Pasal 430 KUHP, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50,000,000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 300,000,000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal ini menarik beberapa ketentuan
pidana yang ada dalam KUHP menjadi tindak
tindak pidana korupsi dalam hal terdapat hubu-
ngan atau kaitan dengan kejahatan korupsi. Apa-
bila tidak terdapat hubungan atau kaitan dengan
kejahatan korupsi, pasal-pasal tersebut tetap
berlaku sebagai kejahatan sebagaimana penga-
turannya dalam KUHP. Sebagai contoh misalnya
sebagaimana Pasal 220 KUHP yang menyatakan:
Barangsiapa memberitahukan atau mengadu-
kan bahwa dilakukan suatu perbuatan pidana,
padahal mengetahui bahwa tidak dilakukan itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan.
Tindak pidana sesuai Pasal 220 KUHP
adalah apa yang kita kenal sebagai laporan palsu,
yaitu mengadukan telah terjadinya tindak pidana
padahal orang yang melaporkan mengetahui
bahwa hal itu tidak benar. Seandainya pelapor
membuat laporan palsu atas tindak pidana pem-
bunuhan, ia diancam dengan pidana penjara
sesuai Pasal 220 KUHP. Akan tetapi apabila pe-
lapor membuat laporan palsu atas tindak pidana
korupsi, ia diancam dengan pidana penjara sesuai
Pasal 23 UU No. 31 tahun 1999.
d. Tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 24.
Pasal 24 UU No. 31 ttahun 1999 menya-
takan:
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaima-
na dimaksud dalam Pasal 31 dipidana penjara pa-
ling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling ban-
yak Rp. 150,000,000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Ketentuan Pasal 24 mengatur sebagai tindak
pidana perbuatan menyebut atau mengungkap
nama pelapor suatu perkara kejahatan korupsi
baik di tingkat penyidikan maupun di sidang pe-
ngadilan. Ketentuan ini penting sebagai bentuk
perlindungan terhadap pelapor mengingat sifat
kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
7. Sifat Melawan Hukum dalam Tindak
Pidana Korupsi
Pada dasarnya KPK menganut bahwa
sifat melawan hukum dalam tindak pidana ko-
rupsi ada dua, materiil dan formil. Tidak bisa han-
ya salah satu saja misalnya sifat melawan hukum
secara materiil yang sekedar melanggar norma-
norma dalam masyarakat. Perlu ditegaskan juga
aturan hukum formil yang dilanggar, sehingga ala-
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 52
san yuridis untuk memidanakan seseorang men-
jadi kuat dan tidak sewenang-wenang.
LeIP menyatakan dalam penelitiannya
bahwa sifat melawan hukum dalam pandangan
formil memiliki arti bahwa apabila suatu per-
buatan telah memenuhi larangan dalam undang-
undang maka di situ ada kekeliruan. Letak mela-
wan hukumnya perbuatan sudah terlihat nyata,
yaitu dari sifat melanggar ketentuan undang-un-
dang. Sedangkan sifat melawam hukum dalam
pandangan materiil memiliki arti bahwa belum
tentu suatu tindakan, meskipun telah memenuhi
semua perbuatan yang dilarang undang-undang,
adalah melawan hukum. Karena hukum bukan-
lah undang-undang semata, melainkan ada pula
hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma
atau kenyataan-kenyatana yang berlaku dalam
masyarakat (LeIP, 2016).
Selain itu sifat melawan hukum materiil
biasanya digunakan untuk dasar penghapus pi-
dana, bukan untuk memintakan pertanggung-
jawaban pidana. Misalnya dalam doktrin ilmu hu-
kum dikenal adanya NMW (Negatief Materieele
Wederrechtelijkheid) atau ajaran sifat melawan
hukum dalam arti materiil yang berfungsi negatif,
yaitu perbuatna yang menurut undang-undang
dilarang, tetapi masyarakat menganggapnya tidak
melanggar hukum pidana (bukan tindak pidana)
sehingga dalma hal ini perbuatan tersebut tidak
dapat dipidana.
Faktor yang harus dipenuhi untuk dapat
menghapuskan sifat melawan hukumnya ada tiga,
yaitu (1) adanya kepentingan umum yang dikerja-
kan atau dilayani oleh terdakwa, (2) tidak adanya
keuntungan pribadi yang diperoleh oleh Terdak-
wa, dan (c) kerugian yang tidak diderita oleh ne-
gara atau masyarakat. Mahkamah Agung pernah
memutus perkara yang memenuhi unsur-unsur
tersebut, yaitu pada Putusan Mahkamah Agung
No. 42 K/Kr/1965 atnggal 8 Januari 1966 atas
nama Terdakwa Machroes Effendi dan Putusan
Mahkamah Agung No. 81 K/Kr/1973 tanggal 30
Maret 1977 atas nama Terdakwa Ir. Moch. Otjo
Danaatmadja. (Lamintang, 1997:364-366).
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam
Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi
Materiil
1. Menjelaskan Latar belakang dan sejarah tin-
dak pidana korupsi dengan rinci dan runtut.
2. Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Menjelaskan Subjek hukum tindak pidana
korupsi sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Menjelaskan Delik tindak pidana korupsi
yang berasal dari KUHP sesuai ketentuan
yang berlaku.
5. Menjelaskan Delik-delik tindak pidana ko-
rupsi sesuai ketentuan yang berlaku
6. Menjelaskan delik lain yang berkaitan de-
ngan tindak pidana korupsi sesuai ketentuan
yang berlaku.
7. Menjelaskan sifat melawan hukum dalam
tindak pidana korupsi dengan rinci.
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam
Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi
Materiil
1. Harus cermat dan teliti dalam menjelaskan
tindak pidana korupsi materiil.
2. Harus berpikir analitis serta evaluatif waktu
menjelaskan tindak pidana korupsi materiil.
53 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam
Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi
Formil
Dalam upaya penegakan hukum terha-
dap perkara tindak pidana korupsi maka perlu
dipahami mengenai konsepsi hukum acara dalam
Sistem Peradilan Pidana baik yang diatur dalam
KUHAP maupun peraturan perundang-undan-
gan lain yang berkaitan dengan Sistem Peradi-
lan Pidana tindak pidana korupsi. Dengan me-
mahami konsepsi hukum acara dengan baik
diharapkan mampu memiliki gambaran besar
mengenai penegakan hukum tindak pidana
korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana.
1. Sistem Peradilan Pidana dalam Perka-
ra Tindak Pidana Korupsi
Istilah Sistem Peradilan Pidana, atau
Criminal Justice Sistem pertama kali digagas
oleh Frank Remington pada tahun 1958 sebagai
suatu “rekayasa” administrasi peradilan dengan
menggunakan pendekatan sistem (Atmasasmita,
1996:8). Sistem Peradilan Pidana secara mudah
dapat dipahami sebagai suatu sistem yang me-
nunjukkan mekanisme kerja dalam upaya
penindakan terhadap perkara pidana. Tujuan dari
sistem peradilan pidana menurut Mardjono Rek-
sodiputro adalah mencegah masyarakat menjadi
objek/korban; menyelesaikan kasus kejahatan
yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah
dipidana; dan mengusahakan agar mereka yang
pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi kejahatannya (Reksodiputro, 1993: 1).
Dalam penegakan hukum pidana yang
dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana
(SPP), beberapa komponen yang terdapat di
dalamnya antara lain Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, Pemasyarakatan, dan Advokat.
Kelima komponen tersebut telah diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan na-
sional. Guna menciptakan efektivitas semua
komponen sistem harus bekerja secara integral
dalam arti suatu subsistem bekerja harus mem-
perhatikan pula subsistem yang lainnya secara
keseluruhan. Atau dapat dikemukakan bahwa
sistem tidak akan bekerja secara sistematik apa-
bila hubungan antara polisi dengan kejaksaan,
antara polisi dengan pengadilan, kejaksaan den-
gan lembaga pemasyarakatan dengan hukum itu
sendiri. Ketiadaan hubungan fungsional antara
subsistem ini akan menjadikan kerawanan dalam
sistem sehingga terjadinya fragmentasi dan in-
efektivitas (Atmasasmita, 1996: 116).
Dalam upaya penanggulangan tin-
dak pidana korupsi maka Negara membentuk
Undang-Undang yang memberikan kewenangan
kepada lembaga-lembaga seperti Kepolisian,
Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi
untuk melaksanakan tugasnya dalam sistem
peradilan pidana untuk menganggulangi tindak
pidana korupsi, dimana masing-masing lembaga
tersebut terdapat kekhususan tersendiri dalam
menangani perkara tindak pidana korupsi.
BAB III. TINDAK PIDANA KORUPSI FORMIL
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 54
1) Kewenangan Kepolisian dalam Sistem
Peradilan Pidana
Kepolisian merupakan lembaga sub sis-
tem dalam SPP yang mempunyai kedudukan per-
tama dan utama. Kedudukan yang demikian oleh
Hakristuti Harkrisnowo dikatakan sebagai the
gate keeper of the criminal justice sistem (Harkris-
nowo, 2003: 2). Hukum memberikan wewenang
kepada polisi untuk menegakkan hukum dengan
berbagai cara, dari cara yang bersifat preventif
sampai represif berupa pemaksaan dan penin-
dakan. Tugas polisi dalam ruang lingkup yang ke-
bijakan kriminal yang penal berada pada ranah
kebijakan aplikatif, yaitu ranah hukum pidana
yang cenderung represif (Raharjo dan Angkasa,
2011: 395).
Mengacu pada Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KU-
HAP), pejabat polisi negara RI dapat bertindak
sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana.
Sehingga, polisi berwenang untuk menjadi pe-
nyelidik dan penyidik untuk setiap tindak pidana.
Dalam hal terdapat dugaan terjadinya sebuah
tindak pidana maka proses awal dalam SPP ada-
lah dilakukannya penyelidikan, dimana penye-
lidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menen-
tukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pe-
nyelidikan dilakukan oleh penyelidik yakni adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia yang di-
beri wewenang oleh KUHAP untuk melakukan
penyelidikan.
2) Kewenangan Kejaksaan dalam Sistem
Peradilan Pidana
Dalam sistem peradilan pidana pihak
kejaksaan akan bekerja setelah terdapat pe-
limpahan perkara dari pihak kepolisian. Di dalam
KUHAP ditegaskan bahwa Jaksa merupakan
penuntut umum yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang untuk melakukan penuntutan
dan pelaksanaan putusan Hakim. Tugas dan Ke-
wenangan Kejaksaan Republik Indonesia secara
normatif ditegaskan dalam Undang-Undang No-
mor 16 Tahun 2004 (UU No. 16 Tahun 2004)
tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di
bidang pidana, perdata dan tata usaha negara,
serta turut menyelenggarakan kegiatan di bi-
dang ketertiban dan ketentraman umum. Meli-
hat ketentuan Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004
tersebut, pada dasarnya Kejaksaan berwenang
menjalankan tugasnya dalam 3 (tiga) lingkup per-
adilan berbeda.
Terhadap perkara hukum pidana, Kejak-
saan dapat melakukan penyidikan tidak hanya
dalam perkara tindak pidana umum akan tetapi
dapat melakukan penyidikan dalam tindak pidana
tertentu. Kewenangan Kejaksaan dalam dalam
melakukan penyidikan perkara tindak pidana
tertentu diatur dalam beberapa peraturan pe-
rundang-undangan antara lain: Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seba-
gaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara
atau Domunis Litis mempunyai kedudukan sentral
dalam penegakan hukum, karena hanya institusi
kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu
kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak,
berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana
menurut hukum acara pidana. Di samping seba-
gai penyadang dominus litis (Procureur die de pro-
cesvoering vaststelt), Kejaksaan juga merupakan
55 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana
(executive ambtenaar) (Effendy, 2005: 105). Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) ditegaskan bahwa kewenangan dalam
menerima hasil penyidikan dan menentukan
apakah berkas perkara tersebut telah memen-
uhi persyaratan untuk dapat atau tidaknya di-
limpahkan ke pengadilan merupakan kewenangan
kejaksaan.
Apabila penuntut umum berpendapat
bahwa hasil dari penyidikan dapat dilakukan pe-
nuntutan, maka penuntut umum dapat membuat
surat dakwaannya. Selanjutnya apabila penun-
tut umum memutuskan untuk menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti
atau bukan tindak pidana atau bahkan karena
ditutup demi hokum, maka penuntut umum
menuangkannya dalam bentuk ketetapan. Ber-
dasarkan kewenangan yang dimiliki Kejaksaan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa penentuan
dapat tidaknya suatu berkas perkara dilimpah-
kan ke pengadilan berada di tangan penuntut
umum, bukan berada di lembaga lain (Adji, 2011:
92).
3) Kewenangan Pengadilan dalam Sistem
Peradilan Pidana
Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan mer-
upakan tempat berlangsungnya proses peradi-
lan, kewenangan untuk mengadakan pengadilan
terdapat pada lembaga kehakiman. Pengadilan
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan ke muka
pengadilan.
Dalam perkara tindak pidana korupsi
maka yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana korupsi adalah
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaima-
na ketentuan UU No. 46 Tahun 2009 Tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam me-
meriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak
pidana korupsi, proses ini dilakukan dengan ma-
jelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya
3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karir dan
Hakim ad hoc.
Berdasarkan ketentuan UU No. 46 Ta-
hun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Ko-
rupsi, dalam hal pemeriksaan di sidang pengadilan
perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili,
dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Ko-
rupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama
120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung se-
jak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal pemeriksaan
tingkat banding Tindak Pidana Korupsi, diperiksa
dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Selan-
jutnya dalam hal pemeriksaan tingkat kasasi Tin-
dak Pidana Korupsi, diperiksa dan diputus dalam
waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara di-
terima oleh Mahkamah Agung.
Dalam Penjelasan Umum UU No. 46
Tahun 2009 jelaskan tentang Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim
Karier dan Hakim ad hoc yang persyaratan pe-
milihan dan pengangkatannya berbeda dengan
Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad
hoc diperlukan karena keahliannya sejalan de-
ngan kompleksitas perkara tindak pidana ko-
rupsi, baik yang menyangkut modus operandi,
pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pi-
dana korupsi antara lain di bidang keuangan dan
perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan
barang dan jasa pemerintah.
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 56
UU No. 46 Tahun 2009 juga jelaskan tentang hu-
kum acara yang digunakan dalam pemeriksaan
di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum
acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-Undang ini. Kekhususan hu-
kum acara tersebut antara lain mengatur:
a. penegasan pembagian tugas dan we-
wenang antara ketua dan wakil ketua Pe-
ngadilan Tindak Pidana Korupsi;
b. mengenai komposisi majelis Hakim dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan baik
pada tingkat pertama, banding maupun
kasasi;
c. jangka waktu penyelesaian pemeriksaan
perkara tindak pidana korupsi pada setiap
tingkatan pemeriksaan;
d. alat bukti yang diajukan di dalam per-
sidangan, termasuk alat bukti yang diper-
oleh dari hasil penyadapan harus diper-
oleh secara sah berdasarkan ketentuan
pera-turan perundang-undangan; dan
e. adanya kepaniteraan khusus untuk
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
4) Kewenangan Lembaga Pemasyara-
katan dalam Sistem Peradilan Pidana
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, lem-
baga pemasyarakatan merupakan lembaga yang
berperan paling akhir dari sebuah suatu sistem
peradilan pidana. Pemasyarakatan merupakan
kegiatan untuk melakukan pembinaan warga
binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang meru-
pakan bagian akhir dari sistem pemidanaan
dalam tata peradilan pidana. Sistem pemasyara-
katan diselenggarakan dalam rangka memben-
tuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi
manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, mem-
perbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pem-
bangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab. Suatu
sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan
berdasarkan asas:
a. pengayoman.
b. persamaan perlakuan dan pelayanan.
c. pendidikan.
d. pembimbingan.
e. penghormatan harkat dan martabat
manusia.
f. kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan.
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubu-
ngan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.
Dalam lembaga pemasyarakatan, Nara-
pidana bukan saja obyek melainkan juga subyek
yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang
sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan
atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana,
sehingga tidak harus diberantas, hal yang harus
diberantas adalah faktor-faktor yang dapat me-
nyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama,
atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat
dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya un-
tuk menyadarkan Narapidana atau Anak Pidana
agar menyesali perbuatannya, dan mengemba-
likannya menjadi warga masyarakat yang baik,
taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai
moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai
kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan
damai.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung
tombak pelaksanaan asas pengayoman meru-
pakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut
57 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
di atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan re-
integrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pe-
masyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila
Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tu-
gas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan
Pemasyarakatan dalam UU 12/1995 ini ditetap-
kan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
5) Kewenangan Advokat dalam Sistem
Peradilan Pidana
Advokat berperan sebagai pendamping
seseorang yang disangka melakukan suatu tindak
pidana. Tiap orang dijamin oleh hukum meng-
gunakan haknya untuk mendapatkan pendam-
pingan oleh advokat. Dengan adanya advokat
maka proses peradilan diharapkan menjadi
seimbang antara orang perseorangan melawan
negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum
sehingga diharapkan dapat mendapatkan kebe-
naran materiil yang berujung pada dicapainya
keadilan.
Ketentuan terkait advokat diatur dalam
UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Bahwa
Advokat adalah orang yang berprofesi mem-
beri jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan ber-
dasarkan UU No. 18 Tahun 2003. Jasa hukum
yang diberikan advokat antara lain dalam sistem
peradilan pidana adalah memberikan konsultasi
hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, me-
wakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
klien.
UU No. 18 Tahun 2003 mengatur andil
advokat dalam Sistem Peradilan Pidana. Advokat
dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara
hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, maka peran dan fungsi Advokat seba-
gai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung
jawab merupakan hal yang penting, di samping
lembaga peradilan dan instansi penegak hukum
seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hu-
kum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas
profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan
hukum untuk kepentingan masyarakat pen-
cari keadilan, termasuk usaha memberdayakan
masyarakat dalam menyadari hak-hak funda-
mental mereka di depan hukum. Advokat seba-
gai salah satu unsur sistem peradilan merupakan
salah satu pilar dalam menegakkan supremasi
hukum dan hak asasi manusia.
Selain dalam proses peradilan, peran
Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pe-
ngadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar
proses peradilan pada saat sekarang semakin
meningkat, sejalan dengan semakin berkem-
bangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama
dalam memasuki kehidupan yang semakin ter-
buka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pem-
berian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam
pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi
Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi
pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan
hukum nasional khususnya di bidang ekonomi
dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.
2. Proses Penuntutan dalam Tindak Pi-
dana Korupsi
1) Kewenangan Kejaksaan dalam Peradi-
lan Tindak Pidana Korupsi
Kewenangan Kejaksaan diatur dalam
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kejak-
saan adalah lembaga pemerintahan yang melak-
sanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan undang-un-
dang. Dalam perkara dugaan terjadinya tindak
pidana korupsi, penuntut umum berwenang
untuk melakukan penuntutan. Dimana penuntu-
tan merupakan tindakan penuntut umum untuk
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 58
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan cara yang diatur dalam
Hukum Acara Pidana, dengan permintaan untuk
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pe-
ngadilan.
Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang
sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun
2004 sebagai berikut:
a. melakukan penuntutan.
b. melaksanakan penetapan hakim dan
putusan pengadilan yang telah mem-
peroleh kekuatan hukum tetap.
c. melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan kepu-
tusan lepas bersyarat.
d. melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-
undang.
e. melengkapi berkas perkara ter-
tentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum di-
limpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan de-
ngan penyidik.
Perihal kewenangan Kejaksaan dalam
perkara tindak pidana korupsi, di dalam Pasal
30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan telah diatur secara eksplisit
bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu, dalam hal ini perkara tindak pidana ko-
rupsi. Dalam penjelasan UU No. 16 Tahun 2004
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak
pidana tertentu adalah tindak pidana korupsi
dan pelanggaran HAM. Sebagaimana pengaturan
yang diatur tegas dalam Undang-Undang terse-
but maka secara formal yuridis, kejaksaan telah
memiliki kewenangan dalam hal melakukan pe-
nyelidikan tindak pidana korupsi.
Dalam sistem peradilan pidana Indone-
sia, kedudukan Kejaksaan memiliki peran sentral.
Hal ini tidak lepas dari kewenangan yang dimiliki
kejaksaan dalam hal menentukan apakah suatu
perkara dapat atau tidak diajukan ke muka per-
sidangan. Kekuasaan untuk menentukan apa-
kah suatu perkara dapat diteruskan atau tidak
kepersidangan berdasarkan alat bukti yang sah
merupakan Dominus litis yang dimiliki kejaksaan
di negara Indonesia (Effendy, 2005: 105).
Kewenangan Kejaksaan dalam KUHAP
disebutkan bahwa dapat mengadakan pra-pe-
nuntutan apabila ada kekurangan pada penyi-
dikan dengan memperhatikan ketentuan pasal
110 ayat (3) dan (4) KUHAP dalam rangka pe-
nyempurnaan penyidikan dari penyidik. Dalam
pasal 14 KUHAP butir b tersebut tidak diguna-
kan penyidikan lanjutan yang biasa dikenal dalam
HIR, namun dalam KUHAP menyebutkannya
dengan istilah pra-penuntutan. Berdasarkan Per-
aturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
PER-036/A1JAl09/2011 Tentang Standar Ope-
rasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara
Tindak Pidana Umum, Pra-penuntutan merupa-
kan tindakan Penuntut Umum untuk mengikuti
perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan dari pe-
nyidik, termasuk mempelajari atau meneliti ke-
lengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang
diterima dari penyidik, serta memberikan petun-
juk guna dilengkapi oleh penyidik untuk menen-
tukan apakah berkas perkara tersebut lengkap
atau tidak.
2) Kewenangan KPK dalam Peradilan
Tindak Pidana Korupsi
Setelah membahas kewenangan Kejak-
saan, maka perlu pula untuk membandingkan
kewenangan Kejaksaan dengan kewenangan
59 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi.
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diatur
bahwa KPK mempunyai tugas:
a. Koordinasi dengan instansi yang ber-
wenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi
b. Supervisi terhadap instansi yang ber-
wenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana ko-
rupsi
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi
e. Melakukan monitor terhadap penyeleng-
garaan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi
sebagaimana di atas, maka KPK berwenang:
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyi-
dikan, dan penuntutan tindak pidana ko-
rupsi
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam ke-
giatan pemberantasan tindak pidana ko-
rupsi
c. Meminta informasi tentang kegiatan pem-
berantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait
d. Melaksanakan dengar pendapat atau per-
temuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi
e. Meminta laporan instansi terkait menge-
nai pencegahan tindak pidana korupsi.
Terkait dengan pelaksanaan tugas su-
pervisi, UU No. 30 Tahun 2002 mengatur bahwa
KPK berwenang melakukan pengawasan, pe-
nelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi dan dengan instansi yang melaksanakan
pelayanan publik. KPK oleh Undang-Undang juga
berwenang untuk mengambil alih penyidikan
atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang penanganannya sedang dilakukan
oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal KPK
mengambil alih penyidikan atau penuntutan, ke-
polisian atau kejaksaan wajib menyerahkan ter-
sangka dan seluruh berkas perkara beserta alat
bukti, serta dokumen lain yang diperlukan dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja,
terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan
KPK.
Apabila dibandingkan dengan ke-
wenangan kejaksaan dalam melakukan penyidi-
kan tindak pidana korupsi, terdapat prosedur
yang berbeda dengan KPK sebagaimana yang
ditentukan dalam Undang-Undang. Dalam hal
suatu tindak pidana korupsi terjadi dan KPK be-
lum melakukan penyidikan, sedangkan perkara
tersebut telah dilakukan penyidikan oleh ke-
polisian atau kejaksaan. Maka instansi kepolisian
atau kejaksaan wajib memberitahukan kepada
KPK paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
Akan tetapi dalam hal KPK sudah mulai melaku-
kan penyidikan tindak pidana korupsi, kepolisian
atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan
penyidikan.
Apabila dalam hal penyidikan dilaku-
kan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan dan KPK, maka penyidikan yang di-
lakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut
segera dihentikan. Selanjutnya berkaitan dengan
kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan sebagaimana yang diatur
dalam KUHAP, maka KPK tidak berwenang se-
bagaimana institusi lain seperti Kepolisian. Hal
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 60
ini diatur dalam Pasal 40 UU KPK, dimana dinya-
takan secara tegas bahwa KPK tidak berwenang
mengeluarkan surat perintah penghentian pe-
nyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak
pidana korupsi.
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum
UU No. 30 Tahun 2002, bahwa pada dasarnya
segala kewenangan Komisi Pemberantasan Ko-
rupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi
tindak pidana korupsi yang terkait:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penye-
lenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh aparat penegak hu-
kum atau penyelenggara negara
b. Mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit
rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam UU No. 30
Tahun 2002 tersebut dan Penjelasan Umum,
maka Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat
dan memperlakukan institusi yang telah ada se-
bagai “counterpartner” yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan se-
cara efisien dan efektif; tidakmemonopoli tu-
gas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan; berfungsi sebagai pemicu dan pem-
berdayaan institusi yang telah ada dalam pem-
berantasan korupsi (trigger mechanism); ber-
fungsi untuk melakukan supervisi dan memantau
institusi yang telah ada, dan dalam keadaan ter-
tentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (super-
body) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian
dan/atau kejaksaan.
Dalam hal KPK melakukan pengusutan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ok-
num militer atau anggota Tentara Nasional In-
donesia (TNI) bersama-sama dengan sipil, maka
secara yuridis formal harus diadili dalam satu
lingkup peradilan umum (Pengadilan Negeri)
atau dalam lingkup peradilan militer (Mahkamah
Militer). Hal inilah yang disebut peradilan konek-
sitas. Jika tidak ingin melakukan, mengkoordi-
nasikan atau mengendalikan penyidikan konek-
sitas yang dimaksud, Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat menyerahkan perkara tersebut
kepada kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung un-
tuk mengkoordinasikan dan mengendalikannya.
Akan tetapi menurut Pasal 44 ayat (5), pelak-
sanaan penyidikan koneksitas tersebut tetap
dikoordinasikan dan dilaporkan perkembangan-
nya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (Ef-
fendy, 2010: 45).
3) Pelaksanaan Penuntutan Perkara Tin-
dak Pidana Korupsi
Dalam praktik dikenal bahwa dimu-
lainya suatu proses penuntutan dimulainya dari
kirimnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan
(SPDP) dari pihak kepolisian atau penyidik ke
pihak Kejaksaan. SPDP ini akan ditindaklanjuti
oleh pihak kejaksaan dengan menunjuk penun-
tut umum untuk mengikuti perkembangan pe-
nyelidikan. SPDP memiliki fungsi penting dalam
proses peradilan pidana. Tanpa SPDP, penuntut
umum tidak dapat mengetahui penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik, dan tentunya mengaki-
batkan penuntut umum tidak dapat mengikuti
perkembangan penyidikan dan membuat koor-
dinasi antara penyidik dan penuntut umum
menjadi tidak maksimal (Pangaribuan, 2017: 114-
115). Setelah pihak kejaksaan menerima SPDP
tersebut, maka kejaksaan segera menerbitkan
P-16 mengenai penunjukan jaksa peneliti. Dari
61 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
hasil penyidikan oleh penyidik, hasil penyidikan
tersebut dikirimkan kepada jaksa peneliti untuk
diteliti kelengkapan berkasnya.
Kemudian dalam proses pemeriksaan
suatu berkas perkara hasil penyidikan, terdapat
dua hal yang bisa diputuskan oleh jaksa peneliti.
Dalam hal suatu berkas perkara dinyatakan leng-
kap maka setelah itu terdapat proses pelimpa-
han perkara, tersangka maupun barang bukti
dari penyidik ke kejaksaaan. Kemudian apabila
dalam hal suatu berkas perkara dinyatakan be-
lum lengkap, maka tindakan yang harus dilakukan
penuntut umum adalah mengembalikan berkas
kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk-
petunjuk apa saja yang harus dilengkapi kepada
penyidik. Apabila petunjuk sebagaimana telah
dikirim oleh jaksa peneliti telah dipenuhi dan
berkas perkara dinyatakan lengkap, maka ke-
wajiban jaksa selanjutnya adalah menerbitkan
P-21 yang menyatakan bahwa berkas perkara
tindak pidana korupsi tersebut sudah lengkap.
Dengan diterimanya berkas perkara oleh pe-
nuntut umum, maka tanggung jawab yuridis atas
penanganan perkara tersebut beralih dari pen-
yidik kepada penuntut umum. Setelah penyera-
han berkas perkara (disebut juga penyerahan ta-
hap I), penuntut umum segera membuat rencana
surat dakwaan sebagai tahap awal dari penyusu-
nan surat dakwaan dan segera memberitahukan
penyidikan untuk menyerahkan barang bukti dan
juga tersangka kepada penuntut umum, dan den-
gan penyerahan ini beralih pula tanggungjawab
yuridis terhadap tersangka dan barang bukti dari
penyidik kepada penuntut umum (disebut juga
penyerahan tahap II) (Pangaribuan, 2017: 116).
Dalam merumuskan surat dakwaan,
maka kejaksaan harus memenuhi syarat-syarat
formil dan materiil. Syarat formil pembuatan
surat dakwaan berdasarkan Pasal 143 ayat (2)
huruf a KUHAP meliputi:
1. Tanggal dan tanda tangan penuntut umum
yang membuat surat dakwaan
2. Identitas terdakwa yang meliputi nama leng-
kap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama
dan pekerjaan.
Kemudian mengenai syarat materiil su-
rat dakwaan diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KU-
HAP yang meliputi kewajiban penuntut umum
untuk membuat uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwa-
kan dengan menyebutkan tempat dan waktu
suatu tindak pidana dilakukan. KUHAP sendi-
ri tidak membahas mengenai yang dimaksud
uraian cermat, jelas dan lengkap. Akan tetapi hal
ini diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung No-
mor SE-004/J.A.11/1993 sebagai berikut:
Uraian secara cermat, berarti menuntut
ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mem-
persiapkan Surat Dakwaan yang akan diterap-
kan bagi terdakwa. Dengan menempatkan kata
“cermat” paling depan dari rumusan pasal 143
(2) huruf b KUHAP, pembuat Undang-Undang
menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam
membuat Surat Dakwaan selalu bersikap korek
dan teliti.
1. Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian
atau fakta kejadian yang jelas dalam Surat
Dakwaan, sehingga terdakwa dengan mu-
dah memahami apa yang didakwakan ter-
hadap dirinya dan dapat mempersiapkan
pembelaan dengan sebaik-baiknya.
2. Uraian secara lengkap, berarti Surat Dak-
waan itu memuat semua unsur (elemen)
Tindak Pidana yang didakwakan. Unsur-
unsur tersebut harus terlukis didalam
uraian fakta kejadian yang dituangkan
dalam Surat Dakwaan.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 62
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Repub-
lik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 Ten-
tang Pembuatan Surat Dakwaan, secara materiil
suatu Surat Dakwaan dipandang telah meme-
nuhi syarat apabila Surat Dakwaan tersebut
telah memberi gambaran secara bulat dan utuh
mengenai:
1) Tindak Pidana yang dilakukan
2) Siapa yang melakukan Tindak Pidana
tersebut
3) Dimana Tindak Pidana dilakukan
4) Bilamana/kapan Tindak Pidana dilaku-
kan
5) Bagaimana Tindak Pidana tersebut di-
lakukan
6) Akibat apa yang ditimbulkan Tindak Pi-
dana tersebut (delik materiil)
7) Apakah yang mendorong terdakwa
melakukan Tindak Pidana tersebut (de-
lik-delik tertentu)
8) Ketentuan-ketentuan Pidana yang di-
terapkan.
Komponen-komponen tersebut se-
cara kasuistik harus disesuaikan dengan jenis
Tindak Pidana yang didakwakan (apakah Tindak
Pidana tersebut termasuk delik formil atau de-
lik materiii). Dengan demikian dapat diformu-
lasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang
berkenaan dengan formalitas pembuatan Surat
Dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat
yang berkenaan dengan materi/substansi Surat
Dakwaan. Untuk keabsahan Surat Dakwaan,
kedua syarat tersebut harus dipenuhi. Tidak
terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat
Dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedang
tidak terpenuhinya syarat materiil. menyebabkan
dakwaan batal demi hukum (absolut nietig).
3. Pengesahan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2006 Sebagai Ratifikasi dari
United Nation Convention Against Cor-
ruption (UNCAC) dan Implikasinya
terhadap Hukum Positif
Pada tahun 2003 terbentuk United Na-
tions Convention Against Corruption (UNCAC). UN-
CAC ini memaparkan hubungan erat antara ko-
rupsi dan pencucian uang (Chaikin & Sharman,
2009: 40). UNCAC menjadi tonggak di dalam
kerjasama internasional dalam pemberantasan
korupsi dan pencucian yang berasal dari korupsi.
UNCAC menjadi instrumen pertama pertama
yang diakui secara internasional dan mengikat
secara hukum dalam hal pemberantasan tindak
pidana korupsi (Husein, 2007: 222).
Pada tanggal 18 April 2006 Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi UNCAC tersebut
dengan UU No. 7 Tahun 2006 tentang Penge-
sahan United Nations Convention Against Corrup-
tion (Konvensi PBB Anti Korupsi). Konvensi PBB
2003 tahun memuat 8 (delapan) bagian dan ke-
tentuanyangsangatsignifikanterhadapperkem-
bangan pembaharuan perundang-undangan na-
sional dalam pemberantasan korupsi: Chapter II,
Preventive Measures; Chapter IV, International Co-
operative; Chapter V, Asset Recovery; dan Chapter VII,
Mechanism for Implementation.
Beberapa implikasi terhadap Undang-
UndangkorupsidengandiratifikasinyaKonvensi
UNCAC 2003 antara lain: (Situmorang, 2014:
342-343)
a. Berkaitan dengan konsep dan sistem hukum
material yang telah lama dianut dalam sis-
tem hukum nasional, yaitu konsep standar
mengenai unsur-unsur tidak pidana korupsi
yang menitikberatkan sifat melawan hukum
dari suatu perbuatan, dan konsep “daad-dader
strafrecht” karena konvensi PBB 2003 hanya
menitikberatkan kepada 3 (tiga) unsur, yaitu:
mengetahui (knowledge), kesengajaan (intent),
dan adanya tujuan (purpose). Selain itu kon-
63 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
vensi PBB 2003 bertujuan untuk melindungi
kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik
disamping kepentingan negara.
Sebagai konsekuensi maka rumusan un-
sur tindak pidana korupsi di dalam UU No.
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
yang menekankan adanya kerugian negara
perlu dikaji kembali, mungkin juga perlu
dipertimbangkan unsur kerugian “pihak
ketiga yang beritikad baik”. Selain itu dalam
konvensi PBB 2003 masih digunakan penger-
tian istilah “bribery” yang diartikan sebagai
“corruption” dalam kaitan hubungan swasta
dan pejabat publik. Sedangkan dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 pengertian
istilah “bribery atau “suap” dimasukkan seba-
gai salah satu jenis tindak pidana korupsi dan
tidak ditujukan khusus kepada subyek yang
terlibat di dalamnya.
b. Konvensi PBB 2003 menganut pendekatan
komprehensif dalam menghadapi korupsi
yang melibatkan dua atau lebih Negara yang
sudah tentu melibatkan juga Warga Negara
Asing sehingga titik berat, dimana penga-
turannya terletak pada prosedur bagaimana
melacak dan menyita serta mengembalikan
aset hasil korupsi dari suatu negara yang
“menikmatinya” ke negara korban (state’s
victim). Sedangkan UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 hanya mengandalkan
pengaturan mengenai bagaimana kualifikasi
tindak pidana korupsi dapat diperluas seh-
ingga kerugian negara sekecil apapun dapat
dicegah.
c. Pengaturan mengenai kerjasama yang lebih
mengemuka dalam Konvensi PBB 2003
dibandingkan dengan ketentuan di dalam UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001,
sehingga implementasi konvensi tersebut
ke dalam hukum nasional menuntut ruang
pengaturan yang lebih luas mengenai bidang
tersebut.
d. Implikasi keempat, diperlukan proses krimi-
nalisasi terhadap perbuatan pelanggaran
hukum baru sebagaimana yang telah diatur
dalam Bab III tentang “Criminalization and
Law Enforcement” dalam United Nations Con-
vention Against Corruption 2003, termasuk di-
antaranya:
“Bribery of national public officials, Bribery
of foreign public officials and officials of pub-
lic international organization, embezzlement,
missapropriation or other diversion of property
by a public officials and trading in influence.”
4. Perlindungan Saksi Pelapor dalam Sis-
tem Peradilan Pidana Tindak Pidana
Korupsi
Dalam rangka menumbuhkan partisipasi
masyarakat dalam mengungkap suatu tindak pi-
dana, maka diperlukan suatu mekanisme yang
mampu membuat suasana aman dan kondusif
bagi para pelapor yang hendak menyampaikan
suatu fakta. Untuk mewujudkan hal tersebut
diperlukan sebuah perlindungan hukum dan
keamanan kepada setiap orang yang mengetahui
atau menemukan suatu hal yang dapat memban-
tu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi
agar melaporkannya kepada penegak hukum.
Perlindungan Saksi Pelapor yang de-
mikian itu harus diberi perlindungan hukum dan
ke-amanan yang memadai atas laporannya, se-
hingga saksi pelapor tidak merasa terancam atau
terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan
jaminan perlin-dungan hukum dan keamanan
tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan
yang memungkinkan masyarakat tidak lagi mera-
sa takut untuk me-laporkan suatu tindak pidana
yang diketahuinya kepada penegak hukum, ka-
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 64
rena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh
pihak tertentu.
Pengaturan mengenai perlindungan
terhadap pengungkap fakta atau saksi pelapor
(Whistleblower) secara eksplisit diatur dalam UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Pengaturan mengenai perlindungan
tersebut dimandatkan kepada Lembaga Perlin-
dungan Saksi dan Korban (LPSK), yakni lembaga
yang bertugas dan berwenang untuk memberi-
kan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi
dan/atau Korban. LPSK bertanggung jawab un-
tuk menangani pemberian perlindungan dan
bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan
tugas dan kewenangan.
Berdasarkan Pasal 10 UU No. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
konsepsi perlindungan terhadap whistleblower
antara lain adalah:
1. Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat di-
tuntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan, kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya.
2. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam
kasus yang sama tidak dapat dibebaskan
dari tuntutan pidana apabila ia ternyata
terbukti secara sah dan meyakinkan ber-
salah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan
pidana yang akan dijatuhkan.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Kor-
ban, dan pelapor yang memberikan kete-
rangan tidak dengan itikad baik.
Meskipun Pasal 10 UU No. 13 Tahun
2006 tidak secara khusus menyebutkan pelapor
dengan istilah Whistleblower, tapi yang dimaksud
dengan pelapor dalam penjelasan UU ini ada-
lah orang yang memberikan informasi kepada
penegak hukum mengenai suatu tindak pidana
(Nixson, et.all., 2013: 48). Berdasarkan rumusan
Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 dapat dipahami
bahwa seorang pelapor tidak dapat dituntut se-
cara hukum terhadap laporan maupun kesak-
siannya mengenai suatu tindak pidana. Dengan
catatan bahwa perlindungan diperoleh oleh saksi
pelapor sepanjang pihak tersebut melakukannya
dengan itikad baik.
Mengenai macam-macam perlindungan
serta hak-hak dari pelapor maka berdasarkan
Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006 diatur sebagai
berikut:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah di-
berikannya.
b. ikut serta dalam proses memilih dan me-
nentukan bentuk perlindungan dan duku-
ngan keamanan.
c. memberikan keterangan tanpa tekanan.
d. mendapat penerjemah.
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat.
f. mendapatkan informasi mengenai perkem-
bangan kasus.
g. mendapatkan informasi mengenai putusan
pengadilan.
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
i. mendapat identitas baru.
j. mendapatkan tempat kediaman baru.
k. memperoleh penggantian biaya transportasi
sesuai dengan kebutuhan.
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementa-
ra sampai batas waktu perlindungan ber-
akhir.
Berkaitan dengan pelapor dalam perka-
65 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
ra tindak pidana korupsi maka hal ini juga diatur
dalam UU No. 13 Tahun 2006. Dalam pasal 5 ayat
(2) UU No. 13 Tahun 2006 dipaparkan bahwa
hak-hak dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2006 tersebut diberikan kepada saksi dan/atau
korban tindak pidana dalam kasus-kasus terten-
tu sesuai dengan keputusan LPSK. Pada dasarnya
perlindungan yang diberikan tersebut diberikan
dengan mempertimbangkan syarat-syarat seba-
gaimana berikut:
a. sifat pentingnya keterangan saksi dan/
atau korban.
b. tingkat ancaman yang membahayakan
saksi dan/atau korban.
c. hasil analisis tim medis atau psikolog
terhadap saksi dan/atau korban.
d. rekam jejak kejahatan yang pernah di-
lakukan oleh saksi dan/atau korban.
Mahkamah Agung telah menunjukkan
bentuk komitmennya dalam mendukung per-
lindungan saksi dan korban dengan menerbit-
kan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
tahun 2011. Perlakuan Bagi Whistleblower dan
Justice Collaborator dalam tindak pidana ter-tentu
yang menjadi landasan hukum dan acuan bagi
pengadilan untuk memberikan perlindungan.
Substansi utama yang terdapat dalam SEMA ini
adalah adanya perlakuan khusus terhadap pihak-
pihak yang dikategorikan sebagai pelapor tindak
pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama. Per-
lakukan khusus tersebut antara lain diberikan
dengan keringanan pidana dan/atau bentuk per-
lindungan lainnya.
Bentuk perlindungan dan reward yang di-
berikan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung ini
kepada whistleblower jika pihak yang dilaporkan
melaporkan balik si whistleblower, maka penanga-
nan kasus yang dilaporkan whistleblower harus di-
dahulukan daripada kasus yang dilaporkan oleh
terlapor (Semendawai, 2011: 53).
Ironinya di Indonesia hingga saat ini belum ter-
dapat undang-undang yang secara khusus meng-
atur tentang whistleblower. Meskipun secara
eksplisit aturan tentang perlindungan hukum
whistleblower telah dimuat dalam Pasal 10 UU
No. 13 Tahun 2006 Tentang Lembaga Perlind-
ungan Saksi dan Korban dan SEMA No.4 Tahun
2011 Tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tin-
dak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang
bekerjasama (justice collaborator). Kedua aturan
tersebut belum dapat melindungi keberadaan
sosok whistleblower, oleh karenanya saat ini
diperlukan adanya sebuah UU yang secara khu-
sus mengatur mengenai whistleblower. Undang-
Undang ini diproyeksikan untuk memastikan
mekanisme pengungkapan dan perlindungan
terhadap whistleblower untuk mengungkap suatu
‘kesalahan’ atau penyalahgunaan wewenang yang
membahayakan kepentingan publik (Nixson,
et.al., 2013: 51). Dengan adanya sebuah Undang-
Undang yang mengatur secara khusus whistle-
blower, diharapkan mampu mengedepankan
perlindungan hukum bagi saksi pelapor terkait
tindak pidana korupsi.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 66
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi Formil
1. Menjelaskan sistem peradilan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi sesuai ketentuan yang ber-
laku.
2. Menjelaskan proses penuntutan dalam tindak pidana korupsi sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Menjelaskan Pengesahan UNCAC dan im-plikasinya terhadap hukum positif dengan rinci.
4. Menjelaskan Perlindungan saksi pelapor dalam sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi dengan
rinci.
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi Formil
1. Harus cermat dan teliti dalam menjelaskan tindak pidana korupsi formil.
2. Harus berpikir analitis serta evaluatif
67 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam
Menjelaskan Komisi Pemberantasan
Korupsi
1. Dasar dan Tujuan Pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi
Masa reformasi pada tahun 1988 me-
rupakan tahun yang bersejarah bagi bangsa In-
donesia karena pada tahun tersebut Presiden
Soeharto yang telah memerintah selama lebih
kurang 32 tahun berhenti dari jabatan Pre-
siden Republik Indonesia. Dengan berhentinya
Soeharto dari jabatan presiden pada tanggal 21
Mei 1998, Wakil Presiden B.J. Habibie diangkat
menjadi Presiden Republik Indonesia. Era refor-
masi ini hadir sebagai akibat terjadinya berba-
gai permasalahan di era Orde baru, antara lain
tingkat korupsi yang tinggi, krisis ekonomi, krisis
kepercayaan serta kondisi stabilitas politik yang
buruk. Korupsi pun pada era Orde Baru menjadi
endemik di kalangan birokrat (sipil dan militer).
Oleh karena itu, pada era ini pemberantasan ko-
rupsi menjadi satu program prioritas penegakan
hukum. Hal ini dapat dilihat dengan dikeluarkan-
nya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. TAP MPR terse-
but merupakan salah satu pedoman dalam rang-
ka menyelamatkan dan menciptakan normalisasi
kehidupan nasional sesuai dengan ketentuan
reformasi.
Sebagai tindak lanjut atas TAP MPR
tersebut, maka diterbitkanlah Undang-Undang
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme pada tanggal 19 Mei 1999. Selain
itu, Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai
memiliki kelemahan-kelemahan dan mengham-
bat reformasi. Kelemahan-kelemahan tersebut
antara lain sebagai berikut:
1. Kelemahan dalam hukum material terle-
tak pada ketentuan mengenai rumusan
delik yang bersifat materiel tidak diru-
muskan secara formil.
2. Unsur kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara merupakan salah
satu unsur mutlak yang harus dapat
dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum.
3. Peraturan Mahkamah Agung yang me-
negaskan antara lain berkas tindak pi-
dana korupsi tidak terbukti jika kepen-
tingan umum terlayani, terdakwa tidak
memperoleh keuntungan dan negara
tidak dirugikan.
4. Dalam rumusan delik dalm perihal sanksi
pidana yang telah menetapkan maksimal
umum dan tidak ada batasan minimal
khusus, sehingga Jaksa Penuntut Umum
maupun Hakim dapat bergerak leluasa
dalam batasan minimal umum (satu hari)
dan maksimal umum yang ditetapkan
dalam UU Tindak Pidana Korupsi No.3
Tahun 1971.
BAB IV. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 68
Atas dasar hal tersebut, maka diterbit-
kanlah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pember-
antasan Tindak Pidana Korupsi dan menyatakan
UU No. 3 Tahun 1971 tidak berlaku lagi. Seiring
dengan berjalannya waktu, maka diadakan pe-
nyempurnaan kembali pada UU No. 31 Tahun
1999 melalui diterbitkannya UU No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Ta-
hun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Sejalan dengan semangat pemberan-
tasan korupsi, dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 31
Tahun 1999 menyatakan bahwa, “Dalam waktu
paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang
ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi”, maka sebagai bentuk
tindak lanjut amanat undang-undang terse-
but, pada tanggal 27 Desember 2002 diterbit-
kanlah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan
misi utama melakukan penegakan hukum yakni
dalam hal pemberantasan korupsi. Pemben-
tukan lembaga ini dikarenakan adanya pemikiran
bahwa lembaga penegak hukum konvensional
seperti Kejaksaan dan Kepolisian dianggap be-
lum mampu memberantas korupsi. Sebagaimana
tertuang dalam Pasal 4 UU No. 30 Tahun 2002,
KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya
guna dan hasil guna terhadap upaya pemberan-
tasan tindak pidana korupsi. Selain itu, KPK juga
berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan in-
stitusi yang telah ada dalam pemberantasan ko-
rupsi (trigger mechanism). Niscaya, pembentukan
KPK menandai babak baru dimulainya perang
terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Asas-Asas KPK
Dalam menjalankan tugas dan we-
wenangnya, berdasarkan Pasal 5 UU No. 30
Tahun 2002, KPK berasaskan pada:
a) Kepastian hukum adalah asas dalam
negara hukum yang mengutamakan lan-
dasan peraturan perundang-undangan, ke-
patutan dan keadilan dalam setiap kebi-
jakan menjalankan tugas dan wewenang
KPK.
b) Keterbukaan adalah asas yang mem-
buka diri terhadap hak masyarakat un-
tuk memperoleh informasi yang benar,
jujur dan tidak diskriminatif tentang ki-
nerja KPK dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
c) Akuntabilitas adalah asas yang menen-
tukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir kegiatan KPK harus dapat diper-
tanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
d) Kepentingan umum adalah asas yang
mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif
dan selektif.
e) Proporsionalitas adalah asas yang me-
ngutamakan keseimbangan antara tugas,
wewenang, tanggungjawab dan kewajiban
KPK.
2. Ruang Lingkup Tugas dan Wewenang
KPK
KPK adalah lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. KPK memiliki beberapa tugas dan
wewenang yang diatur dalam Pasal 6-14 UU No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Merujuk pada Pasal 6
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembe-
rantasan Korupsi, tugas KPK yakni sebagai beri-
69 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
kut:
a) Melaksanakan koordinasi dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberan-
taan tindak pidana korupsi.
b) Melakukan supervisi terhadap instansi
yang berwenang melakukan pemberan-
tasan tindak pidana korupsi.
c) Melakukan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
d) Melakukan tindakan-tindakan pence-
gahan tindak pidana korupsi; dan
e) Melakukan monitor terhadap penyeleng-
garaan pemerintahan negara.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya
tersebut, KPK memiliki wewenang yang diatur
dalam Pasal 7-14 UU No. 30 Tahun 2002. Ada-
pun wewenang KPK ialah sebagai berikut:
a) Dalam menjalankan tugas koordinasi,
KPK berwenang mengkoordinasikan pe-
nyelidikan, penyidikan dan penuntutan
korupsi; menetapkan sistem pelaporan
dalam ke-giatan pemberantasan korupsi;
meminta informasi tentang kegiatan pem-
berantasan korupsi kepada instansi terkait;
melaksanakan dengar pendapat atau per-
temuan dengan instansi yang berwenang;
dan meminta laporan instansi terkait me-
ngenai pencegahan korupsi. (Pasal 7 jo.
Pasal 6 huruf a UU No. 30 Tahun 2002)
b) Dalam melaksanakan tugas supervisi,
KPK berwenang mengawasi, meneliti dan
menelaah instansi dalam menjalankan tu-
gas dan wewenang memberantas korupsi
serta dalam melaksanakan pelayanan pu-
blik; mengambil alih penyidikan atau pe-
nuntutan terhadap pelaku korupsi yang
sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan
(Pasal 8 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 6 huruf
b UU No. 30 Tahun 2002). Pengambil-
alihan penyidikan atau penuntutan terse-
but dapat dilakukan oleh KPK dengan
alasan sebagai berikut: (Pasal 9 Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002)
1. Laporan dari warga masyarakat me-
ngenai tindak pidana korupsi yang
tidak ditindaklanjuti.
2. Proses penanganan tindak pidana ko-
rupsi berlarut-larut atau tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Penanganan tindak pidana korupsi
ditujukan untuk melindungi pelaku tin-
dak pidana korupsi yang sesungguhnya.
4. Penanganan tindak pidana korupsi me-
ngandung unsur korupsi.
5. Hambatan penanganan tindak pidana
korupsi karena campur tangan dari ek-
sekutif, yudikatif atau legislatif; atau
6. Keadaan lain yang menurut pertim-
bangan kepolisian atau kejaksaan, pe-
nanganan tindak pidana korupsi sulit
dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
c) Dalam melakukan penyelidikan, pe-
nyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi, KPK berwenang melaku-
kan penyadapan dan merekam pembi-
caraan; memerintah instansi yang terkait
untuk melarang seseorang bepergian ke
luar negeri; meminta keterangan bank/
lembaga keuangan lainnya tenatang ke-
adaan keuangan tersangka/terdakwa yang
sedang diperiksa; memerintahkan kepada
bank/lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil
dari korupsi milik tersangka, terdakwa
atau pihak lain yang terkait; memerintah-
kan kepada pimpinan atau atasan tersang-
ka untuk memberhentikan sementara
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 70
tersangka dari jabatannya; meminta data
kekayaan dan data perpajakan tersangka/
terdakwa kepada instansi yang terkait;
menghentikan sementara suatu transaksi
keuangan, transaksi perdagangan, dan per-
janjian lainnya atau pencabutan sementa-
ra perizinan, lisensi serta konsesi yang di-
lakukan atau dimiliki oleh tersangka atau
terdakwa yang diduga berdasarkan bukti
awal yang cukup ada hubungannya dengan
tindak pidana korupsi yang sedang dipe-
riksa; meminta bantuan Interpol Indone-
sia atau instansi penegak hukum negara
lain untuk melakukan pencarian, penang-
kapan, dan penyitaan barang bukti di luar
negeri; meminta bantuan kepolisian atau
instansi lain yang terkait untuk melaku-
kan penangkapan, penahanan, penggele-
dahan dan penyitaan dalam perkara tin-
dak pidana korupsi yang sedang ditangani
(Pasal 12 jo. Pasal 6 huruf c UU No. 30
Tahun 2002). Kewenangan KPK dalam hal
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
ini dapat dilaksanakan dengan kriteria tin-
dak korupsi sebagai berikut: (Pasal 11 UU
No. 30 Tahun 2002)
1. Melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oeh
aparat penegak hukum atau penye-
lenggara negara.
2. Mendapatkan perhatian yang mere-
sahkan masyarakat.
3. Menyangkut kerugian negara paling
sedikit satu miliar rupiah.
d) Dalam melaksanakan tugas pence-
gahan, KPK berwenang melakukan
pendaftaran dan pemeriksaan terhadap
laporan harta kekayaan penyelenggara
negara; menerima laporan dan menetap-
kan status gratifikasi;menyelenggarakan
program pendidikan antikorupsi pada se-
tiap jenjang pendidikan; merancang dan
mendorong terlaksananya program so-
sialisasi pemberantasan tindak pidana ko-
rupsi; me-lakukan kampanye antikorupsi
kepada masyarakat umum; dan melaku-
kan kerjasama bilateral atau multilateral
dalam pemberantasan tindak pidana ko-
rupsi. (Pasal 13 jo. Pasal 6 huruf d UU No.
30 Tahun 2002).
e) Dalam melaksanakan tugas monitor
terhadap penyelenggaraan pemerin-
tahan negara KPK berwenang melakukan
pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara
dan pemerintah; memberi saran kepada
pimpinan lembaga negara dan peme-
rintah untuk melakukan perubahan jika
berdasarkan hasil pengkajian, sistem pe-
ngelolaan administrasi tersebit berpo-
tensi korupsi; dan melaporkan kepada
Presiden RI, DPR dan BPK, jika saran
KPK mengenai usulan perubahan terse-
but tidak diindahkan. (Pasal 14 jo. Pasal 6
huruf e UU NO. 30 Tahun 2002).
3. Susunan Organisasi KPK
Struktur organisasi Komisi Pemberan-
tasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga
memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut
berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-lang-
kah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye
publik dapat dilakukan secara sistematis dan
konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberan-
tasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat
luas. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 21 UU
No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberan-
71 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
tasan Tindak Pidana Korupsi, KPK terdiri atas
Pimpinan KPK yang terdiri atas 5 anggota KPK,
Tim Penasihat yang terdiri dari 4 anggota dan
Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas.
a. Pimpinan KPK
Pimpinan KPK terdiri atas 5 orang yang
terdiri atas seorang ketua merangkap anggota
dan 4 orang wakil ketua merangkap anggota.
Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan
pejabat negara yang berasal dari unsur peme-
rintahan dan unsur masyarakat.
Pimpinan KPK memegang jabatan
selama empat tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengam-
bilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif
kolegial. Selain itu, dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, KPK dibantu oleh seorang
Sekretaris Jenderal yang bertanggungjawab pada
Pimpinan KPK.
Pimpinan KPK membawahi 4 bidang
yang terdiri atas:
(1) Bidang Pencegahan, yang membawahkan
Sub-bidang Pendaftaran dan Pemeriksaan
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara; Sub-bidang Pendidikan dan Pela-
yanan Masyarakat; dan Sub-bidang Peneli-
tian dan Pengembangan.
(2) Bidang Penindakan, yang membawahkan
Sub-bidang Penyelidikan; Sub-bidang Pe-
nyidikan; dan Sub-bidang Penuntutan.
(3) Bidang Informasi dan Data, yang mem-
bawahkan Sub-bidang Pengelolaan Infor-
masi dan Data dan Sub-bidang Pembinaan
Jaringan Kerja Antar komisi dan Instansi.
(4) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat, yang membawahkan Sub-bi-
dang Pengawasan Internal dan Sub-bidang
Pengaduan Masyarakat.
b. Tim Penasihat
KPK berwenang mengangkat Tim Pe-
nasihat yang diajukan oleh panitia seleksi pe-
milihan yang dibentuk oleh KPK. Selanjutnya,
Panitia seleksi pemilihan mengumumkan pen-
erimaan calon dan melakukan kegiatan men-
gumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan
dan masukan dari masyarakat. Calon Tim Penasi-
hat yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan
kemudian diumumkan kepada masyarakat untuk
mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan di-
angkat oleh KPK. Nantinya, KPK akan memilih
4 dari 8 calon yang diajukan oleh panitia seleksi
pemilihan yang telah mendapat tanggapan dari
masyarakat. Tim Penasihat ini nantinya berfungsi
memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai
dengan kepakarannya kepada KPK dalam pelak-
sanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberan-
tasan Korupsi.
c. Pegawai KPK sebagai Pelaksana Tugas
Berdasarkan Pasal 2 PP No. 63 Tahun
2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya
Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi seba-
gaimana telah diubah dengan PP No. 103 Tahun
2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemer-
intah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem
Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pem-
berantasan Korupsi, Pegawai KPK adalah Warga
Negara Indonesia yang karena kompetensinya
diangkat sebagai pegawai pada KPK. Dalam Pasal
3 PP tersebut disebutkan Pegawai KPK terdiri
atas:
(1) Pegawai Tetap.
(2) Pegawai Negeri yang dipekerjakan; dan
(3) Pegawai Tidak Tetap.
Untuk mempermudah pemahaman
perihal Struktur Organisasi KPK, berikut di-saji-
kan bagan Struktur Organisasi KPK berdasarkan
Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pember-
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 72
antasan Korupsi No. PER-08/XII/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK tanggal 30 Desember
2008.
Bagan Struktur Organisasi KPK
Sumber: https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi
73 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Tabel Komposisi SDM KPK Berdasarkan Jabatan (KPK, 2016)
No. Jabatan Jumlah %1 Ketua 1 0,09
2 Wakil Ketua 4 0,363 Sekjen 1 0,09
6 Deputi 4 0,36
5 Direktur 8 0,71 6 Kepala Biro 4 0,36 7 Kepala Bagian 14 1,25 8 Kepala Sekretariat 2 0,18 9 Spesialis 618 54,98 10 Administrasi 468 41,64 TOTAL 1.124 100
4. Hambatan dan Tantangan bagi KPK
dalam Pemberantasan Korupsi di
Indonesia
Pemberantasan korupsi adalah upaya
yang mengusik zona nyaman. Maka dari itu
dalam kurun waktu 15 tahun sejak KPK didi-
rikan, sering kali upaya pemberantasan korupsi
oleh KPK menemui berbagai hambatan dan tan-
tangan. Berikut adalah beberapa hambatan dan
tantangan pemberantasan korupsi oleh KPK.
a. Bidang dan Subbidang Organisasi KPK
yang Diatur Rigid dalam UU KPK
Di dalam tubuh KPK, terdapat 4 bidang
yang dibawahi oleh Pimpinan KPK, yaitu Bidang
Pencegahan, Bidang Penindakan, Bidang Informa-
si dan Data, serta Bidang Pengawasan Internal
dan Pengaduan Masyarakat. Bidang-bidang terse-
but juga membawahkan masing-masing bebera-
pa sub-bidang yang diatur secara eksplisit oleh
UU No. 30 Tahun 2002. Di satu sisi, dengan dia-
turnya bidang-bidang dan sub-bidang tersebut
secara eksplisit dapat menjadi payung hukum
bagi struktur organisasi KPK. Namun, di sisi lain
pengaturan secara rigid dalam UU No. 30 Tahun
2002 justru menghambat pembentukan bidang-
bidang baru yang dibutuhkan untuk menjawab
tantangan pemberantasan korupsi dan perkem-
bangan modus operandi korupsi. Sebab, peru-
bahan dan/atau penambahan harus melalui revisi
undang-undang yang notabene membutuhkan
waktu lama. Hal inilah yang berpotensi menjadi
hambatan bagi KPK dalam upaya pemberantasan
korupsi.
b. Pergeseran Peran dan Fungsi Tim Pe-
nasihat KPK
KPK memiliki kewenangan untuk men-
gangkat Tim Penasihat. Tim Penasihat ini ber-
fungsi memberikan nasihat dan pertimbangan
sesuai dengan kepakarannya kepada KPK dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pem-
berantasan Korupsi. Latar belakang Tim Penasi-
hat bersifat terbuka dan ditentukan sesuai kebu-
tuhan KPK. Pada asal mula pembentukannya, Tim
Penasihat dirancang tidak menjadi bagian dari
struktur tetap organisasi KPK dengan fungsi se-
bagai suatu forum yang bersifat situasional. Jus-
tru pada kenyataannya, UU mengatur kedudukan
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 74
tim penasihat menjadi bagian yang permanen
dalam organisasi KPK. Oleh karena itu, Tim Pe-
nasihat harus didudukkan kembali sebagaimana
fungsi dan kebutuhan sesuai tugasnya.
c. Pertimbangan Khusus Terhadap Latar
Belakang Pendidikan Calon Pimpinan
KPK
Untuk menjadi Pimpinan KPK disyarat-
kan berpendidikan sarjana hukum atau sarjana
lain yang memiliki keahlian dan pengalaman
sekurang-kurangnya 15 tahun. Dalam praktik,
justru pada level Pimpinan KPK minim yang
memiliki keahlian mumpuni dalam hukum pi-
dana. Meskipun yang bekerja di lapangan adalah
penyelidik maupun penyidik, namun juga pada
level Pimpinan KPK dibutuhkan decision maker
yang mumpuni di bidang hukum pidana. Konklus-
inya, meskipun tidak diwajibkan Pimpinan KPK
harus sarjana hukum, namun alangkah baiknya
jika ada pertimbangan khusus atau proporsi
khusus bagi sarjana hukum.
d. Wacana Pembukaan Kantor KPK di
Daerah
Kini santer berhembus kabar bahwa
KPK memiliki wacana untuk membuka kantor
di kota-kota besar di beberapa daerah. Pada
dasarnya UU No. 30 Tahun 2002 memberikan
peluang untuk mewujudkan wacana ini, yakni
pada Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan bahwa
KPK dapat membentuk perwakilan di daerah ibu-
kota provinsi. Namun, di sisi lain harus dipahami
bahwa UU No. 30 Tahun 2002 mengamanat-
kan KPK untuk menjadi trigger mechanism bagi
lembaga penegak hukum lainnya dalam pem-
berantasan korupsi. Sementara, di kota-kota di
daerah pada dasarnya sudah ada kepolisian dan
kejaksaan, sehingga apabila KPK didirikan di dae-
rah-daerah justru akan berpotensi menihilkan
perannya sebagai trigger mechanism. Faktanya
hingga kini KPK masih menjadi ujung tombak
dalam pemberantasan korupsi. Hal yang harus
dilakukan justru memberdayakan lembaga pene-
gak hukum yang ada di daerah-daerah. Selain itu,
jika KPK didirikan di daerah-daerah, justru akan
mengingkari ciri khas “superbody” dari KPK itu
sendiri. Pun dari sisi pengawasan juga akan sulit
jika KPK membuka cabang ke daerah-daerah.
e. Minimnya Sumber Daya Manusia di
KPK
Dengan jumlah 34 provinsi dan pen-
duduk 237.641.326 jiwa (BPS, 2010), jumlah
SDM KPK tergolong minim, yakni 1.124 orang
(Laporan KPK, 2016). Bandingkan saja dengan
Malaysia yang memiliki lembaga pemberantasan
korupsi yang disebut Suruhanjaya Pencegahan
Rasuah Malaysia (SPRM) atau Malaysia Anti-
Corruption Commission (MACC).dengan jum-
lah pegawai sebanyak 2.900 orang, sementara
penduduk Malaysia berjumlah sekitar 31 juta
jiwa (Departement Statistics of Malaysia,
2015). Selain itu, Independent Commis-
sion Against Corruption (ICAC) Hongkong
juga merupakan salah satu lembaga pemberan-
tasan korupsi yang cukup memadai. Pada tahun
2005 jumlah pegawai ICAC mencapai 1.194
orang dengan jumlah penduduk Hongkong saat
itu sekitar 7 juta jiwa. Dari angka-angka terse-
but, dapat diketahui rasio antara jumlah pegawai
lembaga pemberantasan korupsi dan jumlah
penduduk negara yang bersangkutan. Rasio di
Indonesia sebesar 1:211.425, Malaysia sebesar
1:10.690, dan Hongkong sebesar 1:5.863. Dari
data tersebut, dapat dilihat bagaimana kesen-
jangan rasio antara jumlah pegawai KPK dengan
jumlah penduduk di Indonesia dengan negara
Malaysia dan Hongkong.
Rasio antara jumlah pegawai dan pen-
duduk menjadi hal yang cukup penting untuk
75 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
dipertimbangkan.Mengingat,KPKsenantiasamenerimabanyak laporangratifikasidandugaankorupsiyang
harus segera disusun prioritas penindakan. Maka dari itu, harus dipertimbangkan kembali jumlah kebutuhan
SDM dalam KPK agar dapat sebanding dengan tingginya jumlah pekerjaan rumah KPK untuk memberantas
korupsi.
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan Komisi Pemberantasan Korupsi
1. Menjelaskan dasar dan tujuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai ketentuan yang
berlaku.
2. Menjelaskan ruang lingkup tugas dan wewenang KPK.
3. Menjelaskan susunan organisasi KPK
4. Menjelaskan hambatan dan tantangan bagi KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan Komisi Pemberantasan Korupsi
1. Harus cermat dan teliti dalam menjelaskan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Pemberantasan Ko-
rupsi.
2. Harus berpikir analitis serta evaluatif waktu menjelaskan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Pember-
antasan Korupsi.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 76
DAFTAR REFERENSI
Buku, Makalah, Disertasi dan Dokumen Lain
Adji, Indriyanto Seno.(2011). KUHAP Dalam Prospektif. Diadit Media, Jakarta.
Atmasasmita, Romli.(1996). Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme. Bi-
nacipta. Bandung.
Atmasasmita, Romli. (1999).“Landasan Filosofi Pemberantasan Korupsi di Indonesia.” Makalah disampai-
kan dalam seminar korupsi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti,
Jakarta, 5 Agustus 1999
Chaikin, David dan J.C Sharman. (2009). Corruption and Money Laundering, A Symbolic Relationship. Pal-
grave Macmillan. Amerika Serikat.
Pangaribuan, Aristo M.A. et.al.. (2017). Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia.PT.RajaGrafindo
Persada bekerja sama dengan Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Jakarta.
Harlina, Indah. (2008). “Kedudukan dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penegakan
Hukum”, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Harkrisnowo, Hakristuti. (2003). Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Leg-
islasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam
Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok.
Husein, Yunus.(2007). Bunga Rampai Anti Pencucian Uang. Books Terrace & Library. Bandung.
KPK. (2015). Pedoman Pengendalian Gratifikasi. KPK. Jakarta.
KPK. (2016). Laporan Tahunan KPK Tahun 2016. Jakarta.
Reksodiputro, Mardjono.(1993). Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Pe-
negakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
Efendi, Marwan.(2005). Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Gramedia. Jakarta.
Effendy, Marwan.(2010). Peradilan in Absentia dan Koneksitas. Timpani Publishing. Jakarta.
Maheka, Arya. (2006). Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta: KPK
Masduki, Teten dan Danang Widyoko.(2005). “Menunggu Gebrakan KPK”. Jantera. Edisi 8 Tahun III,
Maret 2005
Situmorang, Mosgan.(2014). Harmonisasi Hukum Nasional di Bidang Korupsi dengan United Nations
Convention Against Corruption “Jurnal Rechtsvinding” Vol. 3. No. 3. Jakarta.
Nixson, et.all. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam
Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “USU Law Journal”.Vol.II. No. 2.
77 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
Semendawai, Abdul Haris.(2011). Memahami Whistleblower Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK). Jakarta.
Raharjo, Agus dan Angkasa. (2011). Profesionalisme Polisi dalam Penegakan Hukum “Jurnal Dinamika
Hukum” Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Reksodiputro, Mardjono. (1999). “Suatu Saran tentang Kerangka Aktivitas Reformasi Hukum”. Makalah
disampaikan pada Seminar Hukum Nasional Ke VII dengan tema “Reformasi Hukum Menuju
Masyarakat Madani” diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Jakarta, 12-15
Oktober 1999.
Department of Statistic Malaysia. (2015). “Data Perangkaan Penduduk Tahun 2015”.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations
Convention Against Corruption, 2003” (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 78
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Republik Indonesia, Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat
Dakwaan.
Republik Indonesia, Keputusan Jaksa Agung Nomor 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001
tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi
Perkara Tindak Pidana.
Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER - 036/A1JAl09/2011 Tentang Standar Opera
sional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.
79 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi
TENTANG PENULIS
Gandjar Laksmana Bonaprapta Bondan, lahir di Pekalongan, 9 Februari 1971. Memperoleh gelar Sar-
jana dan Magister di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar pun mengabdikan dirinya pada
almamater dengan menjadi pengajar hukum pidana selama kurang lebih 21 tahun, di mana dalam
kurun waktu tersebut tidak kurang dari 19 tahun digunakan untuk mengajar hukum tindak pidana ko-
rupsi. Selain itu Gandjar juga mengasuh mata kuliah asas-asas hukum pidana, penerapan asas hukum
pidana, dan kapita selekta hukum pidana yang juga membahas materi tindak pidana pencucian uang.
Selain aktif mengajar di kampus dan juga di diklat KPK, Gandjar juga mendirikan CLEAR (Center for
Legislacy, Empowerment, Advocacy, and Research) pada tahun 2009, yaitu sebuah organisasi nirlaba yang
bergerak di bidang kajian dan penelitian hukum dengan berfokus pada peningkatan kapasitas sumber
daya manusia melalui pengetahuan di bidang hukum yang disampaikan secara sederhana dan mudah
dipahami awam. Saat ini Gandjar menjabat sebagai Chairman CLEAR.
Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 80