Download - Tinjauan BUKU Filsafat Ilmu
TINJAUAN BUKU
FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
PERSPEKTIF PROSES DAN PRODUK
Oleh
I Putu Mas DewantaraProgram Studi Pendidikan Bahasa S3, Program Pascasarjana Undiksha
Cetakan Pertama Januari 2014Penerbit: Pustaka LarasanUkuran 15 cm x 21 cm, Isi 306 halamanISBN 602-1586-08-2
Penulis: 1. Nengah Bawa Atmadja 2. Anantawikrama Tungga Atmadja
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran
manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami
dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi
dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke
dalam sebuah proses dialektika.
Buku “Filsafat Ilmu Pengetauan: Perspektif Proses dan Produk” ini lahir di
samping karena tuntutan akademis juga lahir karena rasa tanggung jawab penulis
(Atmadja dan Atmadja) terhadap kepercayaan yang telah diberikan oleh berbagai pihak
untuk mengampu matakuliah Filsafat Ilmu. Walaupun penulis tidak berasal dari
keluaran jurusan filsafat, buku ini tampaknya mampu menghadirkan berbagai gambaran
mendasar tentang filsafat dan perkembangan filsafat itu sendiri baik filsafat barat
maupun filsafat di timur. Bertitik tolak dari judul buku, yaitu “Filsafat Ilmu
Pengetahuan: Perspektif Proses dan Produk” jelas terlihat bahwa buku ini bertujuan
menghadirkan konsepsi filsafat ilmu pengetahuan dalam kerangka proses dan produk.
Sebelum sampai ke konsepsi tersebut, penulis memberikan pijakan berpikir melalui
rangkaian bab penyusun buku ini. Benang merah yang tampak bak sebuah pohon di
mana filsafat ilmu pengetahuan dalam perspektif proses dan produk adalah buahnya.
Akar dari pohon ini berupa pemahaman mendasar tentang konsep filsafat baik secara
etimologi maupun terminologi. Batang, cabang, dan ranting dari pohon itu berupa
pemahaman tentang filsafat pengetahuan dan filsafat ilmu pendidikan.
Marilah kita coba meninjau rangkaian bab yang disajikan oleh penulis (Atmadja
& Atmadja) dalam buku Filsafat Ilmu Pengetahuan: Perspektif Proses dan Produk ini.
Bab I Pengertian Filsafat
Bab ini memberikan pengantar tentang hakikat filsafat dilihat dari etimologi,
terminologi, filsafat sebagai pandangan hidup, dan filsafat sebagai ilmu. Filsafat lebih
banyak bermuatan kognisi dan kurang bermuatan keterampilan teknologis. Walaupun
demikian aspek praktisnya tidak bisa diabaikan, yakni filsafat memberkan resep
bertindak dalam konteks penumbuhan keterampilan sosial yang bijaksana dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan etimologinya, kata “filsafat” dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari dua kata, yaitu philein (mencintai)
atau philia (cinta) atau philos (sahabat, kekasih) dan sophia (kebijaksanaan, kearifan).
Jadi, filsafat dapat diartikan sebagai “cinta kebijaksanaan”. Dalam bahasa Arab disebut
falsafah dan filsafat. Sementara di India, tidak dikenal kata filsafat, falsafah atau
falsafat, yang dikenal adalah kata dharsana yang bermakna memandang,
memperhatikan, merenungkan, memahami diteruskan dengan kontemplasi, kemudian
membentuk persepsi untuk memberi kesimpulan, visi, dan keyakinan.
Ulasan selanjutnya dalam bab ini membicarakan mengenai pengertian filsafat
secara terminologi. Terdapat berbagai pemaknaan yang disajikan oleh penulis dengan
menampilkan pemaknaan dari beberapa ahli dalam bentuk tabel. Seperti pendapat
Poespoprojdjo (1999), Keraf dan Dua (2001), Hamersma (1981), Poedjawiatna (1982),
Verhaak dan Imam (1991), dan ahli-ahli lain. Bertolak dari defenisi filsafat dari ahli-ahli
tersebut, dapat dikemukakan karakteristik filsafat sebagai berikut.
(1) Filsafat adalah bagian dari pengetahuan yang berkenaan dengan hakikat, prinsip,
dan asas dari seluruh realitas atau apa yang ada – objek materi filsafat.
(2) Ada sebagai objek materi filsafat, bisa ada sekala (nyata) ada niskala (tidak
nyata), ada dalam kemungkinan, ada dalam pikiran atau ada dalam ruang yang
kosong antara sain dan teologi.
(3) Pengetahuan filsafat didapat lewat aktivitas akal budi atau intelek dengan
menggunakan pikiran rasional, pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian
kritis, menyeluruh, dan sistematis.
(4) Filsafat sebagai ilmu, bertujuan mencari kebijaksanaan melalui panggilan
kebenaran secara mendalam yang mencakup sebab-sebab utama (the first
causes) ataupun sebab-sebab terakhir (the last causes).
(5) Berkenaan dengan itu maka filsafat bukan pernyataan, melainkan pertanyaan
yang tidak pernah berakhir.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berfilsafat adalah bertanya. Filsafat bukanlah
orang yang tahu, melainkan orang yang sebenarnya tidak tahu, tetapi yang ingin
mencari tahu.
Selanjutnya dipaparkan dalam buku ini pendapat Skolimowski bahwa tanpa
filsafat kita tidak mempunyai jangkar, tidak mempunyai arah, tidak mempunyai
pengertian akan makna kehidupan. Karena itu, tepat rasanya dikatakan bahwa filsafat
dapat dijadikan sebagai pandangan hidup manusia. Sebagai contoh adalah gagasan
tentang Pancasila sebagai filsafat hidup negara dan sebagai ideologi NKRI, filsafat
Upanisad dalam agama Hindu, ajaran Syekh Siti Jenar tentang Tuhan, jiwa, akal, jalan
kehidupan, dan tindakan manusi yang diakomodasikan dengan agama Islam, berfungsi
penting bagi pandangan hidup orang Jawa.
Dalam paparan selanjutnya mengkaji filsafat sebagai ilmu. Ilmu merupakan
kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis dan memberikan jawaban atas
pertanyaan (1) ontologi, yakni apa yang ingin diketahui, (2) epistemologi, yakni
bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan (3) aksiologi, yakni untuk apa
(kegunaan) ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia.
Dilihat dari ontologinya, objek materi filsafat sangatlah luas, karena mencakup
sarwa sekalian alam yang sekala dan niskala. Dasar epistemologi yang dimilki oleh
filsafat mencakup antara lain metode yang digunakan untuk mengkaji apa yang menjadi
objek ilmu. Sementara dasar aksiologis filsafat lebih banyak pada aspek teoretis karena
inti filsafat adalah membentuk pemikiran bukan sekadar mengisi kepala dengan fakta-
fakta.
Pokok bahasan yang juga tidak kalah menarik dalam filsafat adalah
ketersinggungan antara filsafat dan agama. Agama merupakan sumber pengetahuan dan
atau kebenaran bagi kehidupan manusia. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan
persamaan dan perbedaan filsafat dan agama. Trueblood (1986) mengatakan bahwa
persamaan antara filsafat dan agama terletak pada bidang kajiannya, yakni apa yang
ultimate. Artinya sama-sama mengkaji hal-hal yang sangat penting yang menyangkut
soal hidup dan mati. Mengenai perbedaan antara keduanya, Atmadja dan Atmadja
menyajikannya dalam bentuk tabel. Beberapa perbedaan di antaranya seperti bahwa
filsafat adalah berpikir sedangkan agama berarti pengabdian. Filsafat banyak berurusan
dengan pikiran yang tenang agar bersikap realistis terhadap suatu realitas. Sementara
agama berurusan dengan hati atau kesadaran supra yang mendorong seseorang untuk
mengabdi tanpa berpikir kritis terhadap agamanya. Filsuf bisa bersifat lunak terhadap
filsuf lainnya. Bahkan dia bersedia berubah atau meninggalkan gagasannya. Sementara
penganut agama akan berusaha mempertahankan agamanya walaupun mungkin dikritik
atau dicela oleh orang lain. Masih banyak lagi perbedaan antara filsafat dan agama.
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa keduanya tidak bisa bekerja sama.
Mengkaji agama dengan perspektif filsafat sehingga melahirkan apa yang disebut
filsafat agama. Dalam konteks ini agama bisa mengambil beberapa hal dari filsafat,
yakni kritis dan dialektis.
Bab 2 Filsafat Pengetahuan (Epistemologi Dasar)
Pada bab kedua ini penulis memaparkan tentang hakikat epistemologi atau
hakikat pengetahuan. Pembahasan dilanjutkan dengan pemaparan secara ringkas tentang
perbedaan antara filsafat pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan. Pengetahuan
menyatu dengan kehidupan manusia. Pengetahuan memiliki karakteristik dan sumber.
Kajian terhadap sumber pengetahuan bisa mengacu kepada filsafat Barat dan filsafat
Timur.
Immanuel Kant, filsuf Jerman abad XVIII mengemukakan bahwa pernyataan
tentang manusia pada hakikatnya adalah hasil rangkuman serta titik kulminasi dari tiga
pernyataan fundamental, yakni yang dapat kukenal (epistemologi), apa yang harus
kuperbuat (etis) dan apa yang dapat kuharapkan (religius). Dalam kaitannya dengan apa
yang kukenal, atau apa yang harus kuketahui, memunculkan problematika kefilsafatan,
yakni epistemologi.
Secara etimologi, epistemologi berarti teori, kata, pikiran, percakapan tentang
pengetahuan atau bisa pula disamakan dengan theory of knowledge. Epistomologi
tumbuh dan berkembang bertalian dengan hakikat manusia sebagai mahluk yang
berpancaindra dan berpikiran. Alat indra dan pikiran sangat penting sebab kemanusian
dimulai ketika manusia mempertanyakan apa yang dialami pada tempat mereka
bereksistensi.
Melaui alat indra dan pikiranlah manusia mengetahui sesuatu yang kemudian
disebut pengetahuan. Pengetahuan dapat dipilah menjadi dua, yakni pengetahuan biasa
dan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Hal inilah yang memunculkan filsafat pengetahuan
dan filsafat ilmu pengetahuan. Adapun sumber pengetahuan sebagaimana yang telah
diungkapkan di depan dapat dilihat dari pendapat filsafat Barat dan filsafat Timur.
Sumber pengetahuan menurut filsafat Barat tercermin dari tiga doktrin yang
berkembang, yakni empirisme, rasionalisme, dan kritisme. Epistomologi yang bercorak
empirisme dapat dicermati pada gagasan Aristoteles yang menyatakan bahwa
pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sangat penting bagi manusia.
Adapun tokoh yang dianggap sebagai pendiri emperisme adalah John Locke. Prinsip
dasar empirisme menekankan pada gagasan bahwa sumber pengetahuan adalah melalui
pengalaman (empeiria).
Gagasan tentang rasionalisme terlihat pada gagasan Plato yang menyatakan
bahwa pengetahuan yang benar sudah ada bersama kita dalam bentuk idea-idea yang
tidak dipelajari, melainkan merupakan bawaan. Gagasan ini terus dipertahankan dan
dikembangkan oleh filsuf penganut rasionalisme seperti Rene Descartes, Baruch
Spinoza, Gotfried Wilhelm von Leibniz, Blaise Pascal, dll. Bapak rasionalisme
kontinental adalah Rene Descartes. Latar belakang rasionalisme adalah kekecewaan
Descartes terhadap guru-gurunya yang tidak pernah bersepakat dalam bidang ilmu dan
filsafat. Hanya satu perkecualian, yaitu ilmu pasti.
Empirisme menekankan pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan,
sedangkan rasionalisme menekankan pada rasio. Dua pandangan yang bertolak
belakang ini telah muncul pada zaman Yunani dan didamaikan oleh Aristoteles yang
menyatakan bahwa pengetahuan manusia tercapai sebagai hasil kegiatan manusia yang
mengamati kenyataan yang banyak, lalu menarik unsur-unsur universal dari yang
partikular. Jadi, pengetahuan diperoleh dengan jalan abstraksi yang dilakukan dengan
bantuan akal budi terhadap kenyataan yang bisa diamati. Selain bersumber dari tiga
doktrin tersebut, filsafat Barat juga memiliki sumber pengetahuan lain yang berupa
kesangsian, agama, dan tradisi.
Selain membicarakan filsafat Barat, menarik pula untuk membicarakan gagasan
tentang sumber pengetahuan menurut pandangan filsafat Timur. Gagasan ini penting
tidak sekadar untuk memperluas cakrawala, tetapi pula memberikan kesadaran apa yang
diwacanakan di dunia Barat, ternyata diwacanakan juga di dunia Timur. Berkenaan
dengan itu, dipilihlah tiga gagasan filsafat, yakni Islam, Hindu, dan Budha.
Objek ilmu dalam perspektif etimologi Islam adalah alam metafisik dan alam
realitas fisi. Walaupun rumusannya berbeda, pandangan ini bisa dikaitkan dengan
empirisme, yakni melihat alam sebagai sumber pengetahuan yang penyerapannya
didapat lewat panca indera. Daya indrawi tidak bisa dilepaskan dari akal. Karena itu,
agama Islam memandang indera dan akal sebagai sumber pengetahuan yang penting.
Dengan demikian, secara epistomologi Islam mengakui bahwa sumber pengetahuan
adalah pengalaman tentang alam dan akal budi sebagai daya yang menyerap dan
mengelolanya. Gagasan ini mirib dengan pendapat Barat tentang empirisme dan
rasionalisme. Hal lain yang ditambahkan sebagai sumber pengetahuan adalah hati atau
jiwa manusia. Selain itu, sumber pengetahuan yang lain adalah sejarah. Gagasan ini
berkaitan dengan hakikat sejarah sebagai kumpulan pengalaman kolektif yang bisa
dipakai sebagai pedoman bertindak dalam kontek kekinian.
Dilihat dari perspektif filsafat Hindu, sumber pengetahuan bisa dicermati pada
berbagai aliran filsafat Hindu, misalnya Vedanta. Gagasan tentang epistemologi yang
berlaku pada aliran-aliran ini bisa saja berbeda-beda. Namun dibalik perbedaan ini maka
kasus-kasus tertentu gagasan mereka bisa dipergunakan guna memperjalas dan
memperkuat bagaimana sosok gagasan filsafat Hindu tentang sumber dan proses untuk
mendapatkan pengetahuan. Dalam konteks ini, gagasan Vedanta tentang hakikat
manusia yang diibaratkan dengan sebuah kereta bisa dipakai sebagai kerangka berpikir.
Epistimologi Hindu memberikan penekanan pada peran penting jiwa atma. Jika
epistimologis Hindu dikaitkan dengan kedudukan rasio dan pengalaman, yakni
perspektif rasionalisme dan empirisme sebagaimana yang berlaku di Barat, maka agama
Hindu tidak mengambil jalan memadukannya secara beimbang, melainkan lebih
mengutamakan rasio sebagai sumber pengetahuan daripada pengalaman. Gagasan ini
memberi petunjuk bahwa pikiran sebagai raja, walaupun tidak bisa dipisahkan dari
panca indra sebagai anak buahnya, namun pikiran tetap penting karena dialah sebagai
penguasa indra.
Agama ataupun filsafat Budha tidak kalah menariknya daripada filsafat Hindu
dan Budha. Agama Budha memang mengakaui bahwa pengalaman dan rasio adalah
sumber pengetahuan, namun ketika dia memilih mana yang lebih utama, maka filsafat
Budha tampaknya lebih menekankan pada epistimologi rasionalisme. Gagasan ini dapat
dicermati dalam kitab suci agama Budha yang menyatakan bahwa “… Di antara lima
organ indra, pikiran adalah tuannya”.
Bab 3 Filsafat Ilmu Pengetahuan (Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi)
Bab ini memaparkan tentang pengertian filsafat ilmu dari segi terminologinya.
Dengan cara ini tidak saja terlihat berbagai definisi tentang filsafat ilmu, tetapi juga
objek materi dan objek formal filsafat ilmu. Filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu
pengetahuan. Karena itu, filsafat ilmu diposisikan sebagai penyelidikan lanjutan. Yang
dikaji dalam filsafat terkait denga tiga kelompok pertanyaan sehingga melahirkan tiga
ranah filsafat ilmu, yakni ontologi, epistiemologi, dan aksiologi.
Ontologi mensyaratkan bahwa ilmu pengetahuan harus memiliki objek, yakni
sesuatu yang ada. Namun, secara falsafati tidak mudah merumuskan tentang hakikat
“apa itu ada?”. Secara falsafati muncul pertanyaan “apa itu ada, dan apa itu kenyataan?”
Pada kenyataan adalah dua substansi yang berbeda. kenyataan adalah ada dalam realitas
yang meruang dan mewaktu, sedangkan ada, bisa tidak meruang dan mewaktu,
melainkan hanya dalam pikiran.
Dalam epistemologi khusus dipertanggungjawabkan metode dan jalan untuk
mendapatkan hasil yang sesuai dengan bidang yang digeluti. Untuk itu, kebutuhan akan
metode ilmiah amat penting, sehingga metode ilmiah lazim disamakan dengan
epistemologi. Ada beberapa metode untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah, seperti
metode deduksi, metode induksi, metode abduksi, Logico-Hipothetico-Verificative,
positifisme logis, dan rasionalisme kritis.
Aksiologi menyangkut berbagai aspek antara lain masalah nilai guna. Artinya,
ilmu tidak saja bertujuan mencari kebenaran dalam konteks pemahaman dan penjelasan,
tetapi terselip pula tujuan lain, yakni meramalkan dan mengendalikan suatu gejala sosial
dan gejala alam guna mewujudkan kesejahteraan manusia.
Bab 4 Ilmu Pengetahuan sebagai Proses
Ilmu sebagai proses berarti ilmu didapat lewat kegiatan riset. Riset berkaitan
dengan paradigma. Ada tiga paradigma keilmuan, yakni positivistik, interpretatif, dan
kritis. Ketiga paradigma tersebut melahirkan metodologi risert yang berbeda, yakni
metodelogi penelitian kuantitatif, kualitatif, dan kritis.
Ilmu sebagai proses berkaitan erat dengan adanya perbedaan antara ilmu dan
pengetahuan sehari-hari. Ilmu bertujuan mencari kebenaran teoretis, sedangkan
pengetahuan sehari-hari. Ilmu bertujuan mencari kebenaran sedangkan pengetahuan
sehari-hari bertuan eksistensial, yakni mempertahankan hidup bagi pemiliknya.
Akibatnya ilmu tidak menerima pengetahuan sehari-hari sebagai kebenaran teoretis, tapi
harus ditindaklanjuti melalui suatu proses piramida ilmu yang dapat dibagi menjadi
empat tahap, yakni pertama, pengetahuan harus bertolak dari pengetahuan sehari-hari
yang cukup luas, variatif atau bahkan bisa bersifat kompleks yang diungkapkan dengan
bahasa sehari-hari yang maknanya kadang-kadang kabur dan ambigu. Kedua,
pengetahuam seperti ini harus diolah melalui proses pemurnian, yakni membuat titik
fokus observasi yang dilanjutkan dengan pengungkapan dengan konsep-konsep yang
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. ketiga, mencari kondisional yang
dituangkan dalam bentuk hipotesis. Keempat, proposisi yang diuji secara ketat
melahirkan hukum-hukum. Kelima, proses akhir dari ilmu pengetahuan adalah
membentuk teori yang andal guna menjelaskan suatu gejala sosiobudaya dan kealaman
secara kausalitas.
Jika diperhatikan, kelima proses tersebut berkaitan dengan penelitian. Penelitian
adalah proses, sedangkan hasilnya adalah ilmu. Di balik semua itu ada aspek yang tidak
bisa diabaikan, yakni paradigma. Paradigma sangatlah penting sebab paradigma
menentukan epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Paradigma tidak saja menentukan
metodologi, metode dan teknik penelitian dalam konteks ilmu sebagai proses dan
produk.
Karya ilmiah yang paling populer yang mengkaji tentang paradigma adalah
karya Thomas Kuhn yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution”. Dalam
karya tersebut, Kuhn menggunakan istilah paradigma dalam dua dimensi, yakni:
pertama berarti keseluruhan perangkat atau konstelasi yang berisikan keyakinan, nilai-
nlai, teknik-teknik, dan selanjutnya yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu
masyarakat. Kedua, paradigma berarti unsur-unsur tertentu dalam perangkat tersebut,
yakni cara-cara pemecahan atas teka-teki, yang digunakan sebagai model atau cara yang
lain sebagai landasan bagi pemecahan atas teka-teki, yang digunakan sebagai modal
atau cara yang lain sebagai landasan bagi pemecahan atas teka-teki dan ilmu
pengetahuan normal.
Paradigma ilmu pengetahuan yang paling tua adalah paradigma ilmu alam atau
yang disebut juga paradigma positivistik (positivisme, positivis). Paradigma ini
mendominasi, karena diberlakukan untuk semua ilmu, baik ilmu alam, ilmu sosial
maupun ilmu humaniora. Bahkan muncul anggapan bahwa suatu ilmu baru disebut ilmu
apabila mengikuti paradigma positivistik. Gagasan ini tentunya menimbulkan reaksi,
yakni penolakan terhadap pemberlakuan paradigma tunggal. Hal ini disebabkan dalam
ilmu sosial dan humaniora, ontologinya berbeda. berkenaan dengan itu,muncullah
paradigma tandingan, yakni paradigma naturalisme (naturalistik). Perang paradigma
memunculkan usaha-usaha pembenahan, misalnya paradigma positivistik
disempurnakan menjadi paradigma pospositivistik (pospositivistik). Di antara perang
antara paradigma positivistik dan pospositivistik melawan paradigma naturalistik, maka
muncul ketidakpuasan atas paradigma-paradigma tersebut, karena dianggap
mengabaikan aspek praktis. Merekapun mengembangkan paradigma baru, yakni
paradigma kritis atau critical theory. Karena itu pula, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Guba dan Lincoln bahwa dalam ilmu sosial dikenal empat paradigma, yakni (1)
paradigma positivisme, (2) paradigma pospositivisme, (3) paradigma naturalisme, dan
(4) paradigma teori kritis. Sementara itu, ilmu alam hanya mengenal satu paradigma,
yaitu positivisme. Secara substansial, paradigma ilmu dapat dipilah menjadi tiga, yakni
(1) paradigma positivisme, (2) paradigma naturalisme, dan (3) paradigma teori kritis.
Paradilma ilmu mengalami perkembangan yang pasang surut. Thomas S. kuhn
yang tidak sependapat dengan asas klasifikai yang dikemukakan oleh Popper
sebagaimana jalan bagi perkembangan ilmu pengetahuan mengemukakan gagasan yang
memandang perkembangan ilmu meliputi tiga tahapan, yakni (1) tahap prakonsensus,
(2) tahap normal, dan (3) tahap kritis dan penemuan ilmah.
Masing-masing paradigma penelitian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
melahirkan melahirkan metodologi yang berbeda. Paradigma positivistik melahirkan
metodologi penelitian kuantitatif, paradigma interpretasi melahirkan metodologi
penelitian kualitatif, dan paradigma teori kritis melahirkan metodologi penelitian ktitis
dan metodologi refleksi diri. Berbicara masalah metodologi tentunya juga tidak dapat
dilepaskan dari ciri-ciri aktivitas penelitian itu sendiri, yakni (1) indrawiah, (2)
imajinasi, dan (3) kognitif.
Bab ini juga menguraikan tentang teori-teori kebenaran. Kebenaran ilmiah
merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian. Kebenaran merupakan sifat
pengetahuan. Hal ini disebut kebenaran epistemologis atau kebenaran gnoseologis.
Pertanyaan yang muncul adalah “Apakah kebenaran itu?”.
(a) Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini dianut oleh kaum rasionalis. Teori kebenaran koherensi menyatakan
bahwa suatu pernyataan (pengetahuan, teori, proposisi, hipotesis) dianggap benar, bila
koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Matematika dan ilmu pasti sangat kuat berpegangan pada teori kebenaran koherensi.
(b) Teori Kebenaran Korespondensi
Teori ini dianut oleh kaum empiris. Teori kebenaran korespondensi menyatakan
bahwa suatu pernyataan adalah benar, jika berkesesuaian atau berketerkatan dengan
realitas empirik. Misalnya, pernyataan bahwa ibukota Provinsi Bali adalah Denpasar
adalah benar. Sebab, berkorespondensi dengan realitas, yakni ibukota Provinsi Bali
adalah Denpasar.
(c) Teori Kebenaran Pragmatis
Teori ini dianut oleh kaum pragmatis. Teori ini berpandangan bahwa kebenaran
sama artinya dengan kegunaan. Artinya, ide, gagasan, pengetahuan, teori, proposisi atau
hipotesa adalah benar jika berguna, tepat guna, atau bersifat fungsional bagi kehidupan
manusia. Misalnya, teori elit (tokoh masyarakat) berperan penting dalam
mengendalikan tindakan anak buahnya. Namun, sesuau dan lain hal, terjadi konflik
antaranak buah. Masalah ini dicoba untuk dipecahkan, dengan meminta bantuan kepada
elite, dan ternyata berhasil. Konflik terselesaiakan dan kedamaian terwujud. Dengan
demikian, teori elite benar, karena memiliki sifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Jadi, sebuah proposisi dikatakan benar tidak semata-mata karena kelogisannya, tetapi
harus pula dikaitkan dengan uji kegunaannya dalam kehidupan manusia.
(d) Teori Kebenaran Performatif
Suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu menciptakan realitas.
(e) Teori Kebenaran Konsensus
Kebenaran konsesus terbentuk lewat dialog antara orang-orang berbeda
kepentingan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu kesepakatan.
(f) Kebenaran Agama
Ajaran agama berkeyakinan bahwa ada kebenaran terberi, yakni berasal dari
Tuhan berbentuk ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci. Dalam kitab suci
tersebutlah tertuang kebenaran bagi penganutnya.
Setelah menjelaskan berbagai teori kebenaran, penulis memberikan penjelasan
tentang berbagai tugas ilmu, seperti menjelaskan, memahami, meramalkan,
mengendalikan, mengucapkan, memberdayakan. Ilmu sebagai proses dan produk tidak
bisa dilepaskan dari aktivitas berpikir. Dengan mengikuti Kaelan (2002:17) berpikir
dengan mempertimbangkan aturan-aturan atau hukum-hukum dan bentuk kegiatan
seperti ini disebut bernalar. Begitu pula Plato dan Aristoteles mengemukakan bahwa
berpikir adalah berbicara dalam batin, mempertimbangkan, menganalisis, membuktikan
sesuatu, dan menarik suatu simpulan adalah sebagian dari kegiatan berpikir manusia.
Sarana berpikir manusia meliputi logika, statistika, matematika, dan bahasa.
Bab 5 Ilmu Sebagai Produk, Penggolongan, dan Kerjasama Antarilmu
Ilmu sebagai produk berbentuk berbagai pernyataan ilmiah. Dengan demikian
dikemukakan bahwa ilmu sebagai produk = pernyataan ilmiah. Ilmu sebagai pernyataan
ilmiah memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri itu dapat menjawab pertanyaan “Apa itu
ilmu?” Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan kemampuan
berpikir, berkehendak, dan merasa. Kemampuan berpikir inilah yang mengakibatkan
manusia memiliki ilmu. Hasrat inin tahu akan suatu realitas dikaji melalui suatu proses
penelitian guna menghasilkan produk, yakniilmu pengetahuan. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan tidak saja sebagai suatu proses, yakni proses penelitian, tetapi juga sebagai
produk.
Ilmu sebagai produk yang sama dengan pernyataan ilmiah. adapun bentuk-
bentuk pernyataan ilmiah, misalnya konsep, proposisi, dalil, teorema, teori, fakta,
asumsi, dll. Bertolak dari definisi ilmu dan aneka bentuk pernyataan maka dapat
dirangkum beberapa ciri ilmu sebagai produk dari aktivitas penelitian adalah empiris,
ilmu pengetahuan bersifat sekuler, sistematis, objektif, standarisasi dan replikasi,
analitis, verifikatif, intersubjektif, kebenaran ilmiah faktual dan rasional, tentatif,
kumulatif, sosial, dapat dikomunkasikan, universal, progresif, sikap kritis, dapat
digunakan, ilmu sebagai usaha pencarian, dan ilmu sebagai upaya untuk menaklukkan.
Ilmu yang dikembangkan oleh manusia sangat luas dan kompleks. Berkenaan
dengan itu, maka ilmu dapat dikelompokkan menjadi berbagai jenis bergantung dari
sudut pandang yang digunakan untuk melihatnya. Adapaun berbagai bentuk
pengelompokan ilmu dapat dikemukanan sebagai berikut.
(1) Ilmu nomotetis (A-alfa), ilmu ideografis (B-beta), dan ilmu gamma
Secara klasik ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua, yakni ilmu nomotetis
dan ilmu ideografis atau lazim pula disebut ilmu kategori A (alfa) dan B (beta).
Kemunculan ilmu pengetahuan ideografis tidak semata-mata untuk menunjukkan bahwa
dia berbeda secara ontologis, tetapi terkait pula gerakan protes terhadap hegemoni
paradigma atau cara berpikir positivistime. Berkenaan dengan itu, muncul aliran filsafat
Neo-Kantinian, yakni aliran filsafat ingin kembali pada pemikiran kritis Imanuel Kant.
Aliran ini tidak sekadar ingin kembali memahami gagasan Kahn, tetapi juga
melampuinya (mengerti secara baik gagasan dan sekaligus mengoreksinya). Aliran
filsafat ini membedakan ilmu menjadi dua, yakni: (1) Natuurwissschaften (natural
science) atau ilmu-ilmu kealaman yang sifatnya menerangkan atau menjelaskan dan (2)
Geisteswissenschften, ilmu-ilmu kerohanian, ilmu-ilmu humaniora atau ilmu
pengetahuan budaya yang sifatnya memahami.
(2) Perbedaan ilmu berdasarkan objek
Berdasarkan objeknya, maka ilmu pengetahuan bisa dipisahkan menjadi
beberapa jenis, yakni (a) ilmu matematika, (b) ilmu pengetahuan alam, (c) ilmu tentang
prilaku, (d) ilmu pengetahuan kerohanian.
(3) Ilmu pengetahuan alam, humanitis, dan sosial
(4) Ilmu murni dan ilmu terapan
Walaupun ilmu-ilmu bisa dipisahkan menjadi berbagai bidang, baik atas dasar
objek materi maupun objek forma