165
5
TINJAUAN HUKUM DAN
KONSESI LAHAN
Legal Review and Land Base Concession
Ilyas Ismail
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Syiah
Kuala, Darussalam Banda Aceh Indonesia
I. LATAR BELAKANG
kosistem hutan rawa gambut Tripa (Tripa Peat Swamp Forest = TPSF) merupakan
suatu areal yang terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan Raya.
Dalam areal tersebut terdapat suatu areal hutan rawa gambut, yang dikenal dengan
sebutan areal TPSF yang merupakan salah satu dari tiga areal rawa gambut di pesisir
Barat Provinsi Aceh, selain Kluet dan Singkil. Secara administratif, 60% luas Rawa Tripa
berada di Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur Kabupaten Nagan Raya, dan 40%
berada di wilayah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Areal TPSF
tersebut telah ditetapkan menjadi bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (Keppres
Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Leuser).
Sebagai bagian Kawasan Strategis Nasional maka wilayah ini harus mendapat perhatian
khusus, terutama terkait dengan aspek lingkungan hidup. Upaya penanganan aspek
lingkungan hidup di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) harus mendapat prioritas
yang lebih tinggi bila dibandingan lokasi yang berada di luar KEL.
Total luas ekosistem TPSF sekitar 60.657,29 ha. Namun hanya sekitar 12.455,45 ha
(20,53%) dari total luas tersebut yang kodisinya masih ditutupi oleh hutan. Terdapat
indikasi juga bahwa sebagian besar dari hutan rawa tersebut berada dalam areal
perkebunan Hak Guna Usaha (Serambi Indonesia 8 September 2008). Ada 5 (lima)
perusahaan perkebunan pemegang HGU berada dalam areal tersebut, yaitu (1) PT.
Kalista Alam; (2) PT. Gelora Sawita Makmur; (3) PT. Cemerlang Abadi; (4) PT. Agra Para
Citra (PT. Astra Agro Lestari/PT. Surya Panen Subur-2); dan (5) PT. Dua Perkasa Lestari,
yang total luas arealnya sekitar 38.565 ha.
Di satu sisi pemanfaatan lahan hutan untuk lahan usaha pertanian/perkebunan dapat
mendatangkan manfaat secara ekonomi sehingga dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat atau keuntungan bagi perusahaan. Namun di sisi lain, pemanfaatan areal
hutan dan lahan usaha pertanian/perkebunan yang tidak sesuai dengan aturan-aturan
E
166 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
LAPORAN UTAMA
yang berlaku maka akan menjadi ancaman terhadap kelestarian alam yang pada
akhirnya juga akan menimbulkan kerugian secara materil bagi masyarakat setempat dan
pemerintah. Karena itu perlu dilakukan kajian hukum yang mendasar dan komprehensif
terhadap pemanfaatan lahan baik oleh perusahaan perkebunan, yang berada dalam
rencana areal TPSF.
Studi aspek hukum berbagai konsesi di areal TPSF ini bertujuan untuk melakukan :
(1) Identifikasi status penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan dalam areal TPSF; dan
(2) Analisis yuridis terhadap pemanfaatan lahan oleh perusahaan perkebunan dalam areal TPSF.
II. RUANG LINGKUP STUDI
Ruang lingkup kegiatan Studi Aspek Hukum berbagai Konsesi di areal TPSF ini ini adalah sebagai berikut : (1) Mengidentifikasi status hukum terhadap semua lahan yang ada dalam areal TPSF; (2) Analisis yuridis persyaratan dan mekanisme perolehan hak atas tanah oleh
perusahaan perkebunan, atas lahan yang berada dalam areal TPSF; (3) Analisis yuridis pelaksanaan kewajiban perusahaan perkebunan pemegang HGU
yang berada dalam TPSF.
Ouput dari kegiatan Studi Aspek Hukum berbagai Konsesi yaitu berupa status hukum dari areal TPSF.
III. METODOLOGI
A. Tempat dan Waktu
Kegiatan studi Aspek Hukum berbagai Konsesi ini dilakukan terhadap areal TPSF di
Provinsi Aceh yang luasnya mencapai 60.657 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan
Darul Makmur dan Tripa Makmur Kabupaten Nagan Raya (sekitar 60%), dan wilayah
Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya (sekitar 40 %) dari luas areal. Areal
yang merupakan ekosistem TPSF ini termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Secara geografis areal TPSF terletak pada 030 44’-030 56’ LU dan 960 23’ - 960 46’ BT.
Sebagaian besar luas areal TPSF ini dikuasai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Kegiatan studi ini dilaksanakan mulai April sampai dengan Juni 2013 dengan jumlah hari
kalender sekitar 90 hari.
B. Bahan
Bahan yang digunakan dalam kegiatan studi Rawa Tripa (TPSF) ini sebagai berikut :
(a) Peta Letak ekosistem TPSF skala 1:250.000.
(b) Peta Penggunaan Lahan di areal TPSF sekala 1:250.000.
(c) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Provinsi khususnya di areal TPSF skala 1: 250.000.
(d) Peta Hak Guna Usaha (HGU) atau Konsesi/Izin Pemanfaatan Lahan untuk Perkebunan Kelapa Sawit di areal TPSF sekala 1:50.000.
TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 167
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
1. Surat keputusan pemberian hak (SK) HGU, dokumen AMDAL HGU, dan/atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) perusahaan perkebunan, yaitu (1) PT. Cemerlang Abadi; (2) PT. Dua Perkasa Lestari; (3) PT. Agra Para Citra/PT. Astra Agro Lestari/PT. Surya Panen Subur; (4) PT. Kalista Alam; dan (5) PT. Gelora Sawita Makmur.
2. Ketentuan PerUndang-Undangan yang mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme perolehan hak guna usaha atas tanah; yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pemegang hak atas khususnya yang berada dalam areal Areal HutanGambut Rawa Tripa; yang antara lain yaitu (1) UU No. 5 tahun 1960; UU 41/1999; UU 12/1992; UU 18/2004; UU 11/2006; UU 32/2009; (2) PP 27/2012; PP 40/1996; PP 26/2008;PP 24/1997; (3) Keppres 32/1990; Inpres 10/2011; dan (4) Permentan 26/2007.
C. Metode dan Pendekatan Studi
Sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup pekerjaan maka metodologi yang digunakan
dalam studi ini secara umum adalah metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif yaitu
melalui kegiatan survai lapangan dan analisis yuridis perolehan dan pemanfaatan lahan.
Kegiatan survai lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder.
Data primer berupa data penguasaan fisik lahan yang berada dalam areal TPSF yang
diperoleh melalui pengamatan/kunjungan lapangan dan wawancara dengan responden,
hasil pengamatan dan wawancara diharapkan dapat diperoleh data mengenai data areal
HGU yang telah dimanfaatkan untuk kebun kelapa sawit oleh Perusahaan HGU yang
meliputi yaitu jumlah luas dan waktu mulai pemanfaatan.
Selanjutnya data sekunder berupa dokumen surat keputusan pemberian hak guna usaha
dan badan hukum berupa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan
perolehan dan pemanfaatan hak atas tanah yang berada dalam areal TPSF di peroleh
pada lembaga pemerintah, pemerintah daerah dan perusahaan perkebunan serta
institusi lainnya.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pelaksanaan kegiatan studi dibagi atas beberapa tahapan, yaitu (1) Tahap Persiapan; (2) Tahap Pra-survai; (3) Tahap Survai/Pengamatan Lapangan; (4) Tahap Analisis Yuridis; dan (5) Tahap Penyusunan Laporan/Dokumen Studi.
Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahap pertemuan dan diskusi Tim untuk memberikan gambaran rencana studi dan penyusunan Kerangka Acuan Kerja sesuai dengan bidang keahlian. Pada tahap awal ini juga dilakukan sosialisasi dan pembahasan berbagai permasalahan yang mungkin dihadapi sebelum dilakukan studi ke lapangan oleh Koordinator Tim dan seluruh peneliti.
Tahap Pra Survai
Tahap pra-survai yaitu melakukan survai pendahuluan ke lokasi studi (TPSF) yang diikuti oleh seluruh Tim Ahli dan Ketua/Koordinator Tim untuk melakukan orientasi lapangan agar mendapatkan kepastian tentang rencana lokasi pengamatan/kunjungan lapangan dan prediksi jumlah responden saat pelaksanaan survai utama. Kegiatan Pra-survai ini telah dilaksanakan selama 5 hari yaitu mulai tanggal 27 April sampai dengan 1 Mai 2013.
168 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
LAPORAN UTAMA
Hasil kegiatan prasurvai ini telah didiskusikan kembali pada tanggal 3 Mei 2013 untuk perencanaan kegiatan selanjutnya terutama persiapan untuk survai utama/pengamatan lapangan.
Tahap Survai Utama
Survai utama dilaksanakan untuk mengamati secara langsung di lapangan sesuai dengan rencana yang telah dibuat pada kegiatan pra-survai. Survai lapangan dilakukan Tenaga Ahli dan surveyor yang telah dilatih secara khusus untuk melakukan pengumpulan data lapangan melalui daftar kuesioner dan wawancara serta pengumpulan dokumen dan bahan hukum yang akan dilaksanakan secara terpadu pada Minggu ke II bulan Mei 2013.
E. Analisis Data
Data yang dikumpulkan di lapangan melalui pengamatan, kuesioner dan wawancara responden, serta dokumen dan bahan hukum dikumpulkan pada lembaga pemerintah provinsi, pemerintah daerah, perusahaan perkebunan dan institusi lainnya digunakan untuk analisis yuridis untuk dapat diketahui status hukum areal TPSF; terpenuhi atau tidaknya persyaratan dan mekanisme perolehan HGU serta pemenuhan kewajiban; serta dilaksanakan atau tidaknya kewajiban sebagai pemegang hak dalam pemanfaatan Hak atas yang kuasai oleh perusahaan perkebunan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Status Tanah dalam Areal TPSF
Tanah atau lahan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu (1)
tanah yang melekat suatu hak (tanah hak) dan (2) tanah yang tidak melekat suatu hak
(Tanah Negara). Tanah hak meliputi tanah-tanah yang telah melekat suatu hak, baik
yang dipunyai oleh perorangan maupun yang dipunyai oleh suatu badan hukum dengan
suatu hak tertentu (Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai atau lainnya sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (biasa juga disebut Undang-Undang Pokok Agraria). Sedangkan
tanah negara merupakan bidang-bidang tanah yang tidak melekat suatu hak atas tanah
apapun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UUPA tersebut. Maria SW Soemardjono
(2008) menyebutkan bahwa disamping dua entitas status tanah tersebut dikenal juga
satu entitas status tanah yang lain yaitu tanah ulayat. Tanah ulayat merupakan entitas
tersendiri, yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori tanah hak atau tanah negara.
Tanah Hak
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tanah hak merupakan tanah-tanah yang telah
melekat suatu hak tertentu. Hak-hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16
ayat (1), yang utama terdiri atas; hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan
(HGB) dan hak pakai. Hak milik dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu (1) penetapan
pemerintah/berdasarkan surat keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang,
yaitu terhadap tanah-tanah yang berasal dari tanah negara; (2) ketentuan undang-
undang/ketentuan konversi, yaitu terhadap tanah-tanah hak berdasarkan ketentuan
perundang-undangan sebelum berlakunya UUPA dan berdasarkan UUPA dikonversi
menjadi salah satu hak yang dikenal dalam UUPA sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan untuk masing-masing hak atas tanah dimaksud; (3) berdasarkan hukum adat,
yaitu berdasarkan persyaratan dan mekanisme hukum adat setempat.
TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 169
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
Hak Guna Usaha terjadi berdasarkan penetapan pemerintah dan ketentuan konversi, namun berdasarkan Pasal III Ketentuan Konversi UUPA bahwa HGU yang lahir berdasarkan ketentuan konversi hanya sampai dengan 24 September 1980, karena itu setelah batas waktu tersebut HGU hanya terjadi berdasarkan penetapan pemerintah/surat keputusan pemberian hak atas tanah Negara. Sedangkan hak pakai dapat terjadi berdasarkan penetapan pemerintah dan berdasarkan perjanjian dengan subjek hak milik.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa atas areal yang direncanakan untuk dijadikan areal lindung yang berada di Kecamatan Darul Kakmur dan Kecamatan Tripa Makmur Kabupaten Nagan Raya serta Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya terdapat tanah Hak Guna Usaha yang dipunyai oleh paling tidak 5 (lima) perusahaan perkebunan, yaitu;
(1) PT. Kalista Alam yang mempunyai tiga bidang HGU; yang terdiri atas:
a. HGU dengan luas areal 301.41 Ha, berada di Desa Pulo Ie Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00012 Tanggal 9 September 1996, yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2015.
b. HGU dengan luas 818,00 Ha berada di Desa Pulo Ie Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00026 Tanggal 23 Januari 1998, yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2032.
c. HGU dengan luas 5.769,00 Ha berada di Desa Pulo Kruet dan Desa Alue Bateung Brok Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00027 Tanggal 23 Januari 1998, yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2032.
(2) PT. Gelora Sawita Makmur yang mempunyai HGU atas tanah seluas 8.604,80 Ha berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00005 Tanggal 2 September 1994, berlaku sampai dengan 31 Desember 2028.
(3) PT. Agra Para Citra (PT. Astra Agro Lestari/PT. Surya Panen Subur), yang mempunyai 2 (dua) bidang HGU, yaitu:
a. HGU atas tanah seluas 7.877,00 Ha berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00025 Tanggal 6 Desember 1997, berlaku sampai dengan 21 Juli 2032.
b. HGU atas tanah seluas 5.080,00 Ha berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00034 Tanggal 19 April 1999, berlaku sampai dengan 10 Desember 2033.
(4) PT. Cemerlang Abadi yang mempunyai HGU atas tanah seluas 7.516 Ha, berada di Desa Babah Rot Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya, SK Nomor 45/HGU/DA/87 Tanggal 7 November 1987, berlaku sampai dengan 31 Desember 2017.
(5) PT. Dua Perkasa Lestari yang mempunyai HGU atas tanah seluas 2.599 Ha berada di Desa Ie Mirah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya, sertifikat Nomor 0002 Tanggal 29 Juni 2009, berlaku sampai dengan 7 Mei 2044.
Berdasarkan dokumen tersebut maka total luas tanah yang dipunyai oleh 5 (lima)
perusahaan perkebunan yang berlokasi di areal yang direncanakan untuk areal rawa
gambut tripa seluas 38.565,41 Ha. Hasil penelitian juga mengindikasikan bahwa
170 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
LAPORAN UTAMA
disamping penguasaan tanah dengan status HGU oleh perusahaan perkebunan terdapat
juga penguasaan tanah oleh perorangan warga setempat. Penguasaan tanah oleh
perorangan pada umumnya belum mempunyai surat bukti hak sebagaimana ditentukan
dalam ketentuan perundang-undangan tetapi menunjukkan adanya penguasaan secara
fisik. Penguasaan secara fisik dimaksud ada yang terindikasi adanya hubungan hukum
yang kuat antara orang dengan tanah yang dikuasainya yang ditunjukkan dengan adanya
pengusaaan tanah yang telah berlangsung lama dan terus menerus dan adanya tanaman
keras di atas tanah tersebut. Namun di samping itu terdapat juga penguasaan tanah
yang belum terindikasi adanya hubungan hukum yang kuat, tetapi masih pada tingkat
hubungan penggarapan yang ditunjukkan masih berupa lahan yang baru diusahakan.
Terhadap tanah-tanah yang telah diusahakan secara terus menerus, tanaman keras
telah produksi dan adanya pengakuan masyarakat setempat maka bidang tanah
tersebut dapat disebut sebagai tanah milik yang lahir berdasarkan hukum adat (tanah
milik adat) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1). Namun demikian tidak
dapat diketahui secara pasti berapa luas tanah yang berstatus tanah milik adat tersebut.
Sedangkan bidang-bidang tanah yang masih baru diusahakan dipandang masih berstatus
hak membuka tanah sebagaimana disebut Pasal 16 ayat (1) huruf f dan Pasal 46 UUPA.
Tanah Ulayat
Pasal 3 UUPA menyebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan
2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Namun demikian pengertian hak ulayat itu
sendiri tidak dijelaskan secara tegas, kecuali disebutkan “… yang dimaksud dengan hak
ulayat dan hak-hak serupa itu ialah apa yang dalam kepustakaan hukum adat disebut
“beschikkingsrecht” (Penjelasan Pasal 3 UUPA), karena itu pengertian atau batasan
tentang hak ulayat berpedoman kepada pendapat para ahli. Roestandi Ardiwilaga (1962
: 23) menyebutkan bahwa hak ulayat sebagai hak dari persekutuan hukum untuk
menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar dalam
lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-
anggotanya atau untuk kepentingan orang luaran (orang asing) atas izin Kepala
Persekutuan dengan membayar recognisi.
Hak ulayat pada dasarnya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat
hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut
berisi wewenang dan kewajiban terhadap tanah dengan segala isinya, yakni perairan,
tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan
dan mata pencahariannya (Maria SW. Sumardjono, 2008: 170). Oleh karena itu ruang
lingkup hak ulayat meliputi segala sumberdaya agraria yang ada dalam lingkungan
wilayahnya dan tanah merupakan obyek hak ulayat yang utama.
Walaupun dalam sejarahnya istilah hak ulayat tidak dikenal dalam masyarakat Aceh,
namun istilah “tanoh umum” atau “tanoh masyarakat” mengandung makna yang sama
dengan tanah ulayat. Hanya saja dalam kenyataannya kewenangan masyarakat hukum
TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 171
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
adat terhadap “tanoh umum” atau “tanoh masyarakat” tersebut tidak seperti dahulu
kala, sehingga dengan sendirinya pula mempengaruhi keberadaannya (Hakimy, 1980:
48). “Tanoh umum” atau “tanoh masyarakat” dibedakan dengan tanah negara. Tanah
negara merupakan tanah-tanah yang belum ada suatu hak apapun di atasnya, baik hak
perorangan maupun hak masyarakat hukum. Bahkan pada masa kolonial antara tanah
negara dan “tanoh masyarakat” atau “tanoh umum” ditempatkan tanda-tanda batas
dan atau jalan-jalan batas, yang oleh masyarakat Lam Tamot Aceh Besar disebut “patok
atau jalan Boss Wezen” (Abdullah Ahmad, dkk., 2000 : 14), yang dimaknakan sebagai
batas hutan negara. Dalam areal hutan negara tersebut warga masyarakat dilarang
untuk mengusahakan atau memungut hasil hutan.
Hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah), sama juga halnya dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat. Apabila hak-hak perorangan menguat, maka hak masyarakat melemah dan apabila hak perorangan melemah maka hak masyarakat menguat kembali.
Untuk menentukan ada atau tidaknya hak ulayat diperlukan suatu penelitian. Penelitian
tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan pakar hukum
adat, masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dan lembaga swadaya masyarakat
serta institusi-institusi yang mengelola sumberdaya alam, sebagaimana ditentukan
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Di
dalam aturan tersebut juga ditentukan kriteria penentu eksistensi hak ulayat terdiri atas
tiga unsur, yaitu 1) terdapat masyarakat hukum adat tertentu sebagai subyek hak ulayat;
2) adanya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil
keperluan hidup masyarakat hukum adat tersebut; dan 3) terdapatnya tatanan hukum
adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati oleh masyarakat hukum adat tersebut. Di lokasi penelitian terdapat indikasi
adanya hak masyarakat hukum adat atas tanah namun diperlukan penelitian secara
khusus dan mendalam sebagaimana diamanatkan ketentuan perundang-undangan
untuk memastikan ada atau tidak adanya hak ulayat.
Tanah Negara
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa Tanah Negara atau disebut juga tanah yang
dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak
atas tanah. Dalam arti yang lebih sempit dan dikaitkan dengan pandangan Maria SW.
Sumardjono tersebut di atas maka tanah Negara adalah bidang-bidang tanah yang tidak
melekat suatu hak dan tidak berstatus hak ulayat. Tanah Negara yang dimaksudkan
dalam pembahasan ini berbeda terminologi tanah milik negara sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Tanah milik negara atau daerah merupakan tanah dengan suatu hak
tertentu yang dipunyai oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dan berdasarkan
ketentuan perundang-undangan bahwa hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh
pemerintah atau pemerintah daerah adalah hak pakai dan hak pengelolaan.
172 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
LAPORAN UTAMA
B. Analisis terhadap Persyaratan dan Mekanisme Perolehan Hak Atas Tanah
Dalam ketentuan perundang-undangan ditetapkan persyaratan dan mekanisme perolehan suatu hak atas tanah. Persyaratan dan mekanisme tersebut berbeda antara suatu hak atas tanah tertentu dengan hak atas tanah lainnya. Persyaratan tesebut pada dasarnya terkait dengan subjek hak dan objek hak.
Subjek Hak
Dalam Pasal 30 ayat (1) UUPA dan Pasal 2 PP 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak
Pakai Atas Tanah ditentukan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah Warga Negara
Indoenesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI). Orang asing dan badan hukum
asing tidak diperkenankan mempunyai tanah dengan status HGU. Lima perusahaan
perkebunan pemegang HGU di lokasi penelitian merupakan Perusahaan Terbatas (PT)
yang merupakan Badan Hukum Indonesia.
Objek Hak
Berdasarkan Pasal 28 UUPA dan Pasal 4 PP 40/1996 bahwa tanah yang dapat diberikan
HGU adalah Tanah Negara. Apabila tanah yang dimohonkan HGU merupakan Areal
Hutan maka pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah tersebut dikeluarkan dari
statusnya sebagai areal hutan. Disamping itu apabila atas tanah yang dimohonkan HGU
merupakan tanah ulayat dan tanah hak (Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 18 Tahun 2004) maka
terhadap tanah ulayat dan tanah hak tersebut harus dilesaikan terlebih dahulu sebelum
diberikan HGU. Penyelesaian tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak dan
tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan
perundang-undangan di bidang penataan ruang bahwa suatu hak atas tanah termasuk
HGU pada dasarnya hanya dapat diberikan atas areal dalam areal budi daya, tidak dapat
diberikan atas areal dalam areal lindung.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat satu bidang HGU
yang arealnya berasal dari status areal hutan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan
Areal Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Seluas ± 3.549.813
(Tiga Juta Lima Ratus Empat Puluh Sembilan Ribu Delapan Ratus Tiga Belas) Hektar.
HGU yang dimaksud adalah HGU yang dipunyai oleh PT. Agra Para Citra atas tanah
seluas 7.877,00 Ha berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten
Nagan Raya, yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
Nomor 82/HGU/BPN/97, Tanggal 22 Juli 1997. Tanah HGU tersebut tanah bekas areal
hutan yang telah dilepaskan kepada Negara berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 152/Kpts-II/1996, Tanggal 6 April 1996.
Pada saat ini Kepmenhutbun 170/Kpts-II/2000 sedang dalam proses perubahan
bersamaan dengan proses pembahasan RTRW Aceh, dan dalam Presentasi Gubernur
Aceh “Kondisi RTRW Aceh 2012 – 2032” pada Pertemuan dengan Duta Besar Norwegia
di BAPPEDA Aceh tanggal 29 Agustus 2013 disebutkan bahwa ada usulan perubahan
areal hutan dari 3.549.813 Ha menjadi 3.527.313 Ha (berkurang 22.500 Ha dari
Kepmenhutbun 170/2000). Usulan tersebut dalam proses finalisasi di Kementerian
TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 173
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
Kehutanan yang nantinya akan terjadi perubahan terhadap Kemenhutbun 170/2000.
Berdasarkan Pasal 19 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa perubahan
peruntukan dan fungsi areal hutan ditetapkan oleh pemerintah yang didasarkan pada
hasil penelitian terpadu, bahkan apabila perubahan tersebut berdampak penting dan
cakupan yang luas serta bernilai strategis maka penetapan tersebut harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Di samping itu hasil penelitian menunjukkan juga bahwa HGU PT. Kalista Alam atas areal
seluas 301,41 ha yang berada di Desa Pulo Ie Kecamatan Darul Makmur Kabupaten
Nagan Raya telah diajukan permohonan perpanjangan jangka waktu HGU yang akan
berakhir pada 31 Desember 2015 dan berdasarkan Surat Kepala BPN RI Nomor
3182/14.3-300/IX/2012 Tanggal 11 September 2012 yang diujukan kepada Kepala
Kanwil BPN Provinsi Aceh bahwa permohonan tersebut dalam proses dan dimintakan
kepada Kepala Kanwil BPN Provinsi Aceh dan PT. Kalista Alam sesuai dengan
kewenangannya untuk memperbaiki dan melengkapi data yang dibutuhkan.
Mekanisme Perolehan Hak
Setiap orang yang bermaksud mempunyai suatu hak atas tanah Negara harus
mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang sebagaimana ditentukan
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 telah beberapa kali
dirubah/diganti terakhir dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah, dengan melengkapi persyaratan dan melelui
mekanisme sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5
Tahun 1973 telah beberapa kali diubah/diganti terakhir dengan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Untuk pengajuan permohonan HGU antara lain (1). Identidas pemohon; 2). Bukti yang
menunjukkan bahwa tanah yang dimohon merupakan tanah Negara yang tidak ada hak-
hak pihak lain di atasnya; yang dibuktkan dengan: (a) Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah
B, yang memuat antara lain bahwa tanah yang dimohon menurut Peraturan/RTRW
berada dalam areal budi daya non kehutanan; (b) Surat Kepala Dinas Kehutanan yang
menyatakan tanah yang dimohon tidak berada dalam areal hutan; (c) Keputusan Bupati
tentang Izin Lokasi Usaha Perkebunan; (d) Keputusan Gubernur tentang Izin Usaha
Perkebunan Budidaya; (e) Peta Bidang Tanah; (f) Surat Pertimbangan Setuju Kepala
Kanwil BPN Provinsi dan (g) Surat Pernyataan kesanggupan Pemohon untuk
pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari total areal kebun yang diusahakan
oleh perusahaan, serta (h) Izin Lingkungan. Terkait dengan Izin lingkungan diperoleh
data dokumen lingkungan hidup dari tiga perusahaan, yaitu:
a. PT. Kalista Alam yang beralokasi di Darul Makmur memiliki dokumen lingkungan
(AMDAL) berdasarkan Surat persetujuan dari Menteri Pertanian
No. 013/AMDAL/RKL-RPL/BA/VII/1997 tanggal 21 Juli 1997 tentang persetujuan
ANDAL dan RKL-RPL PT. Kalista Alam. Terhadap luas kebun PT. Kalista Alam sebesar
174 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
LAPORAN UTAMA
6.587 Ha berdasarkan Surat Kepmen Agraria/Kepala BPN No. 49/HGU/BPN/1997
tentang pemberian HGU atau tanah di Kabupaten Aceh Barat. PT. Kalista Alam telah
mengajukan permohonan pembuangan limbah cair kepada Bupati Nagan Raya
dengan melampirkan Surat Persetujuan Camat Darul Makmur No. 611.4/199/2013
Tanggal 13 Februari 2013 dan surat Izin Usaha No. 503/042/2009, namun
permohonannya ditolak dengan alasan tidak cukup administrasi pendukung.
b. PT. Gelora Sawita Makmur (PT. GSM) yang berlokasi di Gampong Pulo Kruet,
Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, menjalankan aktivitasnya
memiliki dokumen lingkungan berupa DPPL yang berdasarkan persetujuan
Kementrian Lingkungn Hidup Jakarta No. B.8051/Dep.I/LH/10/2009 Tanggal 28
Oktober 2009. Luas kebun PT. GSM sebesar 8.604,80 Ha dengan luas lahan
produktif 3.000 Ha berdasarkan Surat Kepmen Agraria/Kepala BPN Aceh Barat No. 1
tanggal 2 September 1994.
c. PT. Surya Panen Subur (PT. SPS) yang berlokasi di Gampong Pulo Kruet, Kecamatan
Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, dengan total luas areal 12.957 ha,
menjalankan aktivitasnya memiliki dokumen lingkungan berupa UKL-UPL yang
berdasarkan persetujuan KLH Nagan Raya No. 660.3/97/SK/2009 Tanggal 11 Maret
2009.
Telaahan terhadap dokumen Surat Keputusan Pemberian HGU menunjukkan bahwa
permohonan HGU tersebut telah memenuhi persyaratan dan mekanisme yang
ditentukan dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 23 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, dan sesuai Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara pemberian Hak
Atas Tanah terhadap pemberian HGU sebelum berlakunya PMNA/KBPN No. 9 Tahun
1999.
Terkait dengan persyaratan dan mekanisme tersebut hasil penelitian menunjukkan juga
bahwa terdapat suatu permohanan HGU yang diajukan oleh PT. Kalista Alam atas areal
seluas 1.605 ha yang berlokasi di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten
Nagan Raya yang telah diterbitkan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) berdasarkan
Keputusan Gubernur Aceh Nomor 525/BP2T/5322/2011 Tanggal 25 Agustus 2011, yang
kemudian berdasarkan perintah Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan
Nomor 89/B/2012/PT.TUN-MDN tanggal 30 Agustus 2012 Gubernur menerbitkan
Keputusan Nomor 525/BP2T/5078/2012 Tanggal 27 September 2012 tentang
pencabutan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 525/BP2T/5322/2011 Tanggal 25 Agustus
2011. Terhadap putusan PT. TUN tersebut telah berkekuatan hukum tetap karena
putusan MA terhadap perkara tersebut (Nomor 455 K/TUN/2012) Tanggal 25 April 2013
menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh PT. Kalista Alam. Sehubungan dengan
hal tersebut maka lahan tersebut tidak lagi memenuhi syarat untuk diajukan
permohonan HGU, dan status hukum tanahnya menjadi tanah negara.
TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 175
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
C. Analisis terhadap Pelaksanaan Kewajiban Pemegang HGU
Setiap pemegang hak atas tanah mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban
tersebut ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan dan dalam Surat Keputusan
Pemberian Hak. Dalam ketentuan perundang-undangan disebutkan kewajiban-
kewajiban pemegang HGU, antara lain sebagai berikut:
a. Pasal 7 UU 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman menyebutkan, yaitu (1)
Setiap orang atau badan hukum yang membuka dan mengolah lahan dalam luasan
tertentu untuk keperluan budidaya tanaman wajib mengikuti tata cara yang dapat
mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. Lebih lanjut dalam Pasal 44
disebutkan, yaitu (1) pemanfaatan lahan untuk keperluan budidaya tanaman
disesuaikan dengan ketentuan tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pelaksanaan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian
dan kemampuan lahan maupun pelestarian lingkungan hidup khususnya konservasi
tanah.
b. Pasal 25 UU 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan pada intinya menyebutkan bahwa
(1) Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup dan mencegah kerusakannya; (2) Untuk mencegah kerusakan fungsi
lingkungan hidup maka sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan
perkebunan wajib, antara lain (a) membuat analisis mengenai dampak lingkungan
hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan
hidup dan (b) menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya
pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup; (3) apabila
tidak mebuat AMDAL atau UKL-UPL maka ditolak permohonan izin usahanya dan
apabila telah memperoleh izin usaha perkebunan tetapi tidak menerapkan AMDAL
atau UKL-UPL maka dicabut izin usahanya. Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa
Menteri dapat mengusulkan kepada instansi yang berwenang di bidang pertanahan
untuk menghapus hak guna usaha apabila menurut penilaian Menteri hak guna
usaha yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai dengan yang dipersyaratkan
dan ditelantarkan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak diberikan hak guna
usaha yang bersangkutan.
c. Dalam Pasal 22 dan Pasal 34 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 3 PP 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan disebutkan bahwa (1) setiap usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL dan (2)
usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal maka
wajib memiliki UKL-UPL.
d. Dalam Pasal 12 PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas
Tanah disebutkan kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha; antara lain
(a) melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan
sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
176 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
LAPORAN UTAMA
pemberian haknya; (b) mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik
sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi
teknis; (c) membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah
yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha; (d) memelihara kesuburan
tanah, mencegah kerusakan sumberdaya alam dan menjaga kelestarian
kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; (e) menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai
pengunaan Hak Guna Usaha; lebih lanjut dalam Pasal 13 disebutkan bahwa Jika
tanah Hak Guna Usaha karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab
lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau
bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka pemegang Hak Guna
Usaha wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. Berdasarkan Pasal 17 34 UUPA
dan Pasal 17 PP 40/1996 bahwa HGU dapat dibatalkan apabila tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan
maupun dalam keputusan pemberian haknya.
Dalam keputusan pemberian HGU kepada perusahaan perkebunan sebagaimana tersebut di atas, antara lain ditentukan kewajiban-kewajiban pemegang hak sebagai berikut:
a. Tanah yang diberikan dengan HGU tersebut harus dipergunakan untuk usaha perkebunan dengan tanaman yang telah mendapat persetujuan dari instansi teknis;
b. Mengusahakan perkebunan secara produktif, sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;
c. Membangun serta memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah dalam areal tersebut;
d. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumberdaya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai aturan yang berlaku;
e. Setiap perubahan penggunaan tanah dan setiap bentuk perbuatan hukum yang bermaksud mengalihkan HGU diperlukan izin Menteri Agraria/ Kepala BPN;
f. Apabila dalam areal yang diberikan HGU ternyata masih terdapat pendudukan/penggarapan rakyat secara menetap dan dilindungi oleh undang-undang serta belum mendapat penyelesaian maka menjadi tanggungjawab sepenuhnya penerima hak untuk menyelesaikannya.
Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa terdapat indikasi tidak dilaksanakannya
semua kewajiban yang ditentukan dalam perundang-undangan dan keputusan
pemberiannya; terdapat areal yang telah diberikan HGU tetapi tidak diusahakan/
indikasi diterlantarkan dan adanya sanggahan dari warga masyarakat sekitar atas dasar
indikasi adanya lahan-lahan yang telah diusahakan oleh warga telah termasuk dalam
areal yang diberikan HGU yang belum mendapat penyelesaian.
Penetapan suatu bidang tanah terlantar adalah kewenangan Kepala BPN RI setelah
melalui tahapan (identifikasi, penelitian dan peringatan) sebagaimana ditentukan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 177
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
Tanah Terlantar. Oleh karena itu Laporan Dinas Perkebunan tahun 2012 yang antara lain
memuat data tanah yang tidak dapat ditanami (yang melipti; HGU PT. Kalista Alam
seluas 1.553,00 ha, HGU PT. Gelora Sawita Makmur seluas 575,10 ha, HGU PT. Surya
Panen Subur seluas 4.438,68 ha, HGU PT. Cemerlang Abadi seluas 2.641.20 ha) perlu
kajian lebih lanjut tentang faktor penyebab tidak dapat dapat ditanaminya bagian dari
areal tersebut.
Salah satu contoh, sanggahan warga terhadap HGU PT. Dua Perkasa Lestari seluas 2.599
Ha berada di Desa Ie Mirah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya, sertifikat
Nomor 0002 tanggal 29 Juni 2009, berlaku sampai dengan 7 Mei 2044; dan telah
diajukan permohonan pembatalan hak oleh Bupati Aceh Barat Daya berdasarkan surat
Nomor 525/635/2012, tanggal 26 September 2012, dengan alasan tidak melaksanakan
kewajiban yaitu berkenaan dengan penyelesaian ganti rugi terhadap lahan garapan
masyarakat yang berada dalam areal HGU sebagaimana ditentukan dalam Ketentuan
dan SK Pemberian Hak.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
a. Secara yuridis formal bahwa areal TPSF belum ditetapkan sebagai areal lindung walaupun dari aspek geofisik telah memenuhi kriteria yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan untuk ditetapkan sebagai areal lindung. Namun pada usulan RTRWA areal lindung yang diusulkan hanya seluas sekitar 12.000 Ha (masih dalam proses). Dalam areal rencana areal TPSF terdapat penguasaan tanah dengan status HGU oleh perusahaan perkebunan.
b. Secara yuridis formal bahwa semua HGU yang berada dalam areal TPSF telah mendaftarkan HGU pada Kantor Pertanahan setempat, tetapi atas areal HGU masih terdapat sengketa-sengketa dengan warga masyarakat karena dalam areal HGU terindikasi adanya lahan-lahan warga dan belum mendapat penyelesaian.
c. Terdapat indikasi adanya lahan-lahan yang telah diberikan HGU yang tidak diusahakan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan dan diterlantarkan.
B. Rekomendasi
a. Mengingat pada saat sekarang ini Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh dalam Proses finalisasi pembahasan maka diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam penetapan fungsi areal.
b. Khusus terhadap lahan 1.605 ha bekas areal IUP-B PT. Kalista Alam yang sekarang berstatus tanah Negara, perlu penanganan secara serius dengan melibatkan pihak-pihak terkait sehingga bebas dari pemaanfaatan oleh pihak manapun sampai ada kejelasan penetapan fungsi areal dan peruntukannya dalam RTRW Aceh.
c. Perlu kajian lebih komprehensif dengan melibatkan institusi teknis terkait khususnya BPN dan Dinas Perkebunan tentang pemanfaatan tanah oleh Perusahaan Perkebunan pemegang HGU dalam kerangka evaluasi pelaksanaan kewajiban perusahaan.
178 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF
THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
LAPORAN UTAMA
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ahmad, dkk., 2000. Keberadaan Hak Ulayat Setelah Berlakunya Hukum Agraria Nasional di Kabupaten Aceh Besar, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat dan Islam UNSYIAH, Banda Aceh.
Hakimy, TI. El., 1980. Tatanan Tanah di Wilayah Pedesaan Aceh, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Maria SW. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Roestandi Ardiwilaga R., 1962. Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, NV. Masa Baru, Bandung.