i
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBUKTIAN
TINDAK KEKERASAN PSIKIS DALAM UNDANG-UNDANG
NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SITI MUTHIA
NIM: 107043202231
K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H / 2011 M
ii
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBUKTIAN
TINDAK KEKERASAN PSIKIS DALAM UNDANG-UNDANG
NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SITI MUTHIA
NIM: 107043202231
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. Dedy Nursamsi, SH., M. Hum
NIP. 197412132003121002 NIP. 196111011993031002
K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H / 2011 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembuktian Tindak
Kekerasan Psikis Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 26 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab
dan Hukum.
Jakarta, 26 September 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (..................................)
NIP. 196511191998031002
Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (..................................)
NIP. 197412132003121002
Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (..................................)
NIP. 197412132003121002
Pembimbing II: Dedy Nursamsi, SH., M. Hum (..................................)
NIP. 196111011993031002
Penguji I : Dra. Hj.Afidah Wahyuni. M.Ag (..................................)
NIP. 196804081997032002
Penguji II : Drs. H. Ahmad Yani, M.A (..................................)
NIP. 196404121994031004
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Syawal 1432 H
13 September 2011
SITI MUTHIA
v
ABSTRAK
Pembimbing I : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si
NIP. 197412132003121002
Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH., M. Hum
NIP. 196111011993031002
SITI MUTHIA. NIM 107043202231. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembuktian
Tindak Kekerasan Psikis Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum (PMH), Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1432 H / 2011 M. Isi :
Isi: xii + 90 halaman + 2 lampiran
Penulisan ini untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pembuktian
tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga pada Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri, yang bertujuan untuk mengetahui putusan hakim dalam memutuskan perkara
pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri telah sesuai dengan hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, pengumpulan
data melalui studi dokumenter yaitu UU No.23 Tahun 2004 dan buku-buku lain.
Adapun teknik analisis data pada penelitian ini adalah analisis kualitatif, analisis data
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola.
Hasil penulisan memperlihatkan bahwa pembuktian tindak kekerasan psikis
dalam Pengadilan Agama telah sesuai dengan hukum Islam. Terbukti bahwa alat
bukti yang dihadirkan dalam persidangan sama seperti yang ada dalam hukum Islam.
Sedangkan dalam Pengadilan Negeri tidak sesuai dengan hukum Islam, alat bukti
keterangan ahli tidak dijadikan alat bukti oleh hakim dalam memutuskan perkaranya.
Kata Kunci: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembuktian Tindak Kekerasan Psikis
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Allhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad
SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan umatnya yang selalu membantu
perjuangan beliau dalam menegakkan Dinullah di muka bumi ini.
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah
satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Syari’ah pada Konsentrasi Perbandingan
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, jauh dari sempurna
karena keterbatasan pengetahuan, waktu dan kemampuan penulis dalam penyusunan
skripsi ini. Untuk itu saran dan kritik dari segenap pembaca sangat penulis harapkan.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang
membutuhkannya.
Dengan segala kerendahan hati, melalui skripsi ini penulis ingin
menyampaikan terimakasih atas bimbingan dan bantuannya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Bapak Dr. KH. Ahmad Mukri Adji, MA., pembantu dekan bidang Akademik, Dr.
Jaenal Aripin, M.Ag., pembantu dekan bidang Administrasi Umum dan Dr. JM
Muslimin, MA., pembantu dekan bidang Kemahasiswaan.
3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab & Hukum.
4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., dan Dedy Nursamsi, SH., M.Hum.,
selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak
memberikan bimbingan, kritik, saran dan telah meluangkan waktunya dalam
membimbing dengan penuh kesabaran.
5. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.A dan ibu Dra. Hj.Afidah Wahyuni. M.Ag., selaku
penguji dalam sidang munaqosah penulis yang telah memberikan kritik, saran, dan
penilaian.
6. Segenap bapak dan ibu dosen Program Studi Perbandingan Mazhab & Hukum,
khususnya pada konsentrasi Perbandingan Hukum angkatan 2007 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada
penulis.
7. Pimpinan serta seluruh staf karyawan akademik Universitas dan Fakultas Syariah,
berikut staf Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah & Hukum.
viii
8. Para staf di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Negeri Kepanjen
yang telah memberikan bantuan dan kerjasamanya kepada penulis.
9. Kedua orang tua tercinta bapak dan ibu, Asmad Effendi dan Romlah yang telah
banyak mendoakan dan memberikan dorongan moril maupun materil bagi penulis
untuk memberikan yang terbaik dalam penulisan skripsi ini.
10. Kakak Siti Amaliah S.Sos, Muhammad Iqbal Basith S.Kom, Muhammad Iqdam
S.Kom, Desi Monavidia S.Kom, Siti Nurlaila Sakinah, Adik Muhammad Adji
Akasyah, Ahmad Sulton Naba serta keluarga besar yang telah banyak membantu
dan memberikan motifasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Kak Mansiah, S.Hi., yang telah banyak membantu memberikan doa, semangat,
perhatian, dan meluangkan waktunya dalam membimbing kepada penulis.
12. Untuk teman terdekat yang telah banyak membantu memberikan dorongan dan
semangat dalam penulisan skripsi ini Ahmad Nafi’i S.Hi, Miftahul Rohmah,
terima kasih atas segala bantuan, semangat dan waktunya, tidak pernah terlupakan
pengorbanan yang kita lakukan bersama sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
Marissa, Amalucky Tadzkiroh, Andita Wulandari, Merry Zaimarni, Widya, Rima
Indriasari S.E, Fitriah, Yani Suryani, Nurlaela, serta keluarga besar Perbandingan
Hukum angkatan 2007.
ix
13. Untuk teman-teman KKN sembilan 2010 yang banyak memberikan dorongan dan
semangat kepada penulis.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut
serta membantu dan mendorong penulis menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi
penulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis berharap semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan dan tak lupa penulis mohon maaf bila ada kesalahan dan
kekurangan.
Jakarta, 12 Syawal 1432 H
13 September 2011 M
SITI MUTHIA
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8
D. Metode Penelitian ............................................................................. 9
E. Review Kajian Terdahulu ................................................................. 11
F. Sistematika Penelitian ...................................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian KDRT ............................................................................. 14
B. Bentuk-bentuk KDRT ...................................................................... 19
xi
C. Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya KDRT ............................... 32
D. Dampak KDRT ................................................................................. 36
BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO. 23
TAHUN 2004
A. Gambaran Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Pengertian KDRT ........................................................................ 41
2. Bentuk - bentuk KDRT ............................................................... 44
B. Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga
1. Pengertian, Bentuk dan Dampak ................................................. 48
2. Perlindungan Hukum Bagi Korban dan Sanksi Bagi Pelaku ...... 51
3. Pengertian Pembuktian Kekerasan Psikis dan Macam-macam Alat
Bukti ............................................................................................ 57
C. Putusan Hakim Terhadap Pembuktian Kekerasan Psikis
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur ................................ 62
2. Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen ......................................... 65
BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI
A. Putusan Pengadilan Negeri di tinjau dari hukum Islam .................. 71
B. Putusan Pengadilan Agama dalam tinjauan hukum Islam .............. 76
xii
C. Relevansi hukum Islam dan hukum positif
tentang pembuktian kekerasan psikis .............................................. 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 86
B. Saran ................................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 90
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah salah satu proses kehidupan yang harus dilalui oleh
setiap manusia, di samping proses kelahiran dan kematian. Pernikahan
dilaksanakan karena manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan
satu dengan yang lainnya untuk keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Pernikahan yang sah untuk seorang muslim adalah pernikahan yang dilakukan
sesuai dengan hukum Islam, Undang-undang atau norma-norma yang berlaku di
dalam masyarakat Indonesia.
Dalam Udang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 1 “perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1 Isi dari pasal di atas memberikan
pemahaman bahwa tujuan dari suatu pernikahan yaitu untuk membentuk keluarga
yang kekal, sesuai dengan ikatan-ikatan agama, kedua belah pihak haruslah
menjunjung tinggi nilai agama dan harus dapat menjalankan sebagaimana
mestinya, dan harus dapat juga menjadi suri tauladan yang baik bagi keluarga dan
masyarakat.
1 RI. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, cet. I, (Jakarta: Visi Media,
2007), h. 2.
2
Tentu tujuan tersebut tidak bisa dicapai begitu saja tanpa ada satu
kemauan berarti yang dapat diwujudkan dalam sebuah aturan. Sebagai salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam memasuki perkawinan. Perkawinan adalah
suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
melalui akad nikah (ijab dan kabul) dengan tujuan membentuk rumah tangga
bahagia dan sejahtera.2 Dalam KHI pasal 3 perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan wa rahmah.3
Pada hakikatnya, seorang yang melakukan akad pernikahan adalah saling
berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan menghormati
satu dengan yang lainnya. Sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-cita yang
diinginkan. Islam sendiri menghendaki dicapainya suatu makna rumah tangga
yang mulia dari suatu perkawinan atau kehidupan berumah tangga.4Setiap orang
yang telah melangsungkan pernikahan pastinya sangat mengharapkan pernikahan
itu berjalan dengan baik, mempunyai keturunan dan saling setia sampai akhir
hayat yang memisahkan.
Sesudah terjadinya pernikahan, suami isteri mempunyai tanggung jawab
dalam membina rumah tangga. Dimana masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban sebagai suami isteri. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai
kelebihan dari isterinya dan masing-masing mempunyai tugas yang berbeda-beda
2 Sidi Nazar Bakry “Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Keluarga yang Sakinah” cet. I, (T.tp.,
Pedoman Ilmu Jaya, 2001), h. 2. 3 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. V, (Jakarta: CV. Akademika
Pressindo, 2007), h. 114. 4 Abduttawab Haikal Ilyas Ismail Al Sendany, et. Al (pent) “Rahasia Rasullullah Saw,
Poligami Dalam Islam Versus Monogamy Barat”, (Jakarta: Pedoman Ilu Jaya, 1988), h. 7.
3
dalam membangun rumah tangganya itu, di samping ada yang sama pula.5 Seperti
salah satu contoh suami mempunyai kewajiban untuk mencari nafkah dan
memberikan nafkahnya kepada anak dan isterinya, sedangkan isteri berkewajiban
mengurus rumah tangga serta anak-anaknya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataan hidup di masyarakat, tidak
lepas dari perselisihan antara anggota keluarga tersebut terlebih antara suami dan
isteri. Keadaan kehidupan berumah tangga yang demikian mengakibatkan
pasangan suami isteri yang terikat dalam tali perkawinan tidak bisa mewujudkan
keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah. Kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) bisa dianggap sebagai suatu permasalahan dan bisa menimpa siapa saja
termasuk bapak, suami, istri, dan anak.
Kata kekerasan sudah akrab di telinga kita, ditambah lagi dengan
banyaknya tindak kekerasan yang terjadi pada reformasi ini, yang semakin bebas
diberitakan oleh media massa, baik media cetak maupun media elektronik.
Rumah tangga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri dari
suami dan isteri yang terikat dalam perkawinan yang sah dengan ataupun tanpa
anak. Namun secara umum pengertian KDRT di sini oleh penulis dipersempit
artinya hanya penganiayaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Hal ini bisa
dimengerti, karena kebanyakan korban dalam KDRT adalah istri.
5 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, cet. I, (Jakarta: Siraja, 2003),
h. 152.
4
Kenyataan hidup seperti itu menimbulkan bahwa memelihara kelestarian
kesinambungan hidup bersama suami isteri itu bukanlah perkara yang mudah
dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dalam kehidupan yang
harmonis antara suami dan isteri tidak dapat diwujudkan. Munculnya perubahan
pandangan hidup yang berbeda antara suami dan isteri, dapat menimbulkan
perselisihan pendapat antara keduanya. Berubah kecenderungan hati pada masing-
masing memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana
harmonis menjadi percekcokkan, kasih sayang menjadi kebencian. Perselisihan
yang terjadi tersebut adalah suatu hal yang sangat sering dijumpai dalam
kehidupan rumah tangga, dimana hal tersebut adalah sesuatu yang wajar selama
tidak disertai dengan tindak kekerasan. Biasanya dalam perselisihan tersebut,
pihak isteri lebih banyak diam dan mengalah karena status isteri yang harus
tunduk dan patuh terhadap suami.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 34:
Artinya: “Maka wanita baik-baik ialah yang taat kepada Allah dan mematuhi
suami, serta memelihara rahasia hubungan intim persuami-isterian
sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah”.
Allah SWT menciptakan manusia terdiri atas laki-laki dan perempuan, di
hadapan Allah SWT laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama,
yang membedakan hanyalah bahwa kaum laki-laki adalah seorang pemimpin.
5
Contoh dalam kehidupan berumah tangga, dimana laki-laki atau suami
mempunyai tanggung jawab sebagai kepala keluarga untuk melindungi isteri dan
anaknya. Dalam sebuah rumah tangga suami mempunyai kedudukan lebih tinggi
dari pada perempuan, dan tujuan dari berumah tangga adalah saling melaksanakan
hak dan kewajiban suami isteri, yang mana kewajiban isteri adalah patuh terhadap
suami. Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa isteri haruslah mematuhi
suami, karena suami bertanggung jawab memimpin, dan melindunginya dari
perkara yang dapat menimbulkan bahaya dan kejahatan. Tetapi pada
kenyataannya seorang suami terkadang menyalahartikan kekuasaan dirinya
terhadap istri. Suami lebih bersikap semena-mena atas statusnya sebagai suami
dan kepala rumah tangga. Hal tersebut dijadikan argumen bahwa isterinya adalah
miliknya dan tanggung jawabnya, oleh karena itu isteri harus patuh terhadap
suami. Hal ini tentu sangat merugikan pihak isteri. Karena dalam sebuah rumah
tangga, suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.
Kekerasan dalam rumah tangga sering kali terjadi, seperti kekerasan fisik,
ekonomi, seksual maupun kekerasan psikis. Di antara ketiga kekerasan itu,
kekerasan secara fisik, ekonomi, dan seksual mudah untuk dibuktikan dengan cara
divisum atau dengan cara medis, tetapi kekerasan psikis sulit untuk dibuktikan
karena menyangkut perasaan seseorang atau batin seseorang.
Tidak ada yang dapat mengetahui bagaimana perasaan seseorang, jika
orang tersebut mengalami kekerasan psikis, hanya orang yang mempunyai
6
keahlian khususlah yang dapat mengetahui korban kekerasan psikis. Berbeda
dengan kekerasan fisik, yang lebih mudah untuk dibuktikan karena tidak perlu
orang yang mempunyai keahlian khusus untuk mengetahuinya, sebab semua
orang dapat melihat dan mengetahui korban kekerasan fisik hanya dengan melihat
bekas luka seperti memar atau luka lainnya yang membekas di tubuh korban.
Kasus yang ada mengenai pembuktian kekerasan psikis, penulis mengambil dua
putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Negeri Kepanjen.
Dalam putusan Pengadilan Agama nomor 1167/Pdt.G/2010/PA.JT,
dijelaskan bahwa pembuktian tindak kekerasan psikis dapat dilakukan dengan
cara mengajukan alat bukti tertulis, baik berupa surat asli maupun berupa photo
copy yang bermaterai yang telah dicocokkan dengan aslinya. Seperti photo copy
kutipan akte nikah, kartu keluarga, dan surat keterangan dokter dari rumah sakit.
Serta menghadirkan bukti saksi-saksi di muka sidang, baik dari pihak keluarga
ataupun dari orang yang dipercaya. Sedangkan pada putusan Pengadilan Negeri
nomor 1010/Pid.B/2009/PN.Kpj. Pembuktian kekerasan psikis dapat dilakukan
dengan cara hanya menghadirkan bukti saksi-saksi yaitu istri (korban), atau
keluarga korban, dan keterangan dari terdakwa.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis bermaksud melakukan
penelitian tentang “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PEMBUKTIAN TINDAK KEKERASAN PSIKIS DALAM UNDANG-
UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, perlu dibatasi masalah yang akan
diteliti agar dalam pembahasan ini tidak meluas. Maka dalam penelitian ini
penulis terfokus pada putusan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Agama terhadap pembuktian tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga,
serta analisis hukum Islam terhadap putusan hakim Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama mengenai pembuktian kekerasan psikis dalam rumah
tangga.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas penulis agar dalam
pembahasan ini tidak meluas, maka penelitian ini penulis terfokus pada
pembuktian tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga.
Rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
terhadap pembuktian tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga?
b. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pembuktian tindak
kekerasan psikis yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana putusan hakim Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama dalam membuktikan tindak kekerasan psikis dalam
rumah tangga.
b. Untuk mengetahui apakah putusan hakim Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama terhadap tindak kekerasan psikis telah sesuai dengan
hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
a. Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan golongan akademisi pada
khususnya dalam memahami tentang masalah pembuktian kekerasan
psikis dalam rumah tangga.
b. Bermanfaat bagi penulis guna menambah wawasan dan pemahaman
tentang masalah kekerasan psikis dalam rumah tangga.
c. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
program strata satu (S1) pada prodi Perbandingan Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum.
9
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah menggunakan metode-
metode yang umumnya berlaku dalam penelitian, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah
metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang memuat deskripsi
tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis.
Sedangkan penelitian ini bersifat kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur yang ada relevansinya
dengan judul skripsi ini.
2. Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber
data yaitu:
a. Sumber Data Primer, yaitu data yang didapat dari bahan-bahan dokumen
yang diperlukan dalam hal ini yaitu Al-Quran dan Undang-undang No. 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Sumber Data Sekunder, yaitu data pendukung dan pelengkap data
penelitian yang dapat diperoleh dari literatur-literatur lain yang memiliki
relevansi dengan pembahasan skripsi ini, seperti buku-buku, internet, dan
referensi lainnya yang mendukung judul skripsi ini.
10
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah studi dokumenter, yaitu proses pengumpulan data yang
dilakukan melalui penggunaan bahan dokumen yang diperlukan, dalam hal ini
adalah Undang-undang No.23 Tahun 2004 sebagai rujukan utama dan buku
pedoman hidup berumah tangga dalam Islam, hukum pembuktian serta buku-
buku dan literatur-literatur lain yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik
analisa kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain.6 Dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan data-data
yang telah diperoleh dan disusun lalu kemudian dideskripsikan.
Sedangkan dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada
“Buku Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh tim penulis
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
6 Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004),
h. 248.
11
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Mengenai masalah yang akan penulis bahas dalam skripsi ini, sebelumnya
sudah ada beberapa skripsi terdahulu yang membahas dengan tema yang sedikit
mirip dengan apa yang penulis tulis, yaitu sama-sama membahas kekerasan dalam
rumah tangga, tetapi penulis lebih memfokuskan masalah KDRT mengenai
pembuktian kekerasan psikis.
Pertama, skripsi dari Samsul Mu’min dengan judul, “Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Ditinjau Dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Analisa
Putusan Perkara 1376/pid. b/2005/PA. Jaksel)”. Penelitian dari skripsi ini
difokuskan pada kekerasan dalam rumah tangga dalam pandangan Al- Qur’an,
Social Cultural dan kajian jender, sejauh mana peran putusan perkara No.
1376/pid. b/2005/PA. Jakarta Selatan dalam menangani dan mencegah tindakan
KDRT dan sudahkah putusan perkara No. 1376/pid. b/2005/PA.Jaksel, di
pengadilan Jakarta Selatan sesuai dengan acuannya yaitu UU No. 23 Tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Kedua yaitu, skripsi dari Sopiani dengan judul, “Pandangan Masyarakat
Terhadap Kekerasan Fisik Dalam Rumah Tangga (Studi Pada Masyarakat Desa
Parung Serab, Kec. Ciledug, Tangerang)”. Penelitian dari skripsi ini difokuskan
pada hukum kekerasan fisik dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif dan
bagaimana pandangan masyarakat Desa Parung Serab, Kec. Ciledug Tangerang
terhadap kekerasan fisik yang terjadi dalam rumah tangga.
12
Ketiga yaitu, dari Rina Septiani dengan judul skripsi, “Penerapan
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PDKRT dalam Kasus Gugat Cerai
Dengan Alasan KDRT (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama No. 078/Pdt.
G/ 2007/PA. JP)”. Dalam skripsi ini yang dibahas yaitu apa pertimbangan hukum
hakim dalam memutuskan perkara No.078/Pdt. G/ 2007/PA. JP.
Sedangkan yang keempat yaitu dari Dhiaul Fajri dengan judul
“Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Perceraian”. Penelitian dari
skripsi ini difokuskan pada jenis dan pola KDRT bagaimana yang sering muncul
dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama Tanggamus Lampung dan apa
pertimbangan hakim dalam menentukan putusan perceraian dengan alasan KDRT
di Pengadilan Agama Tanggamus Lampung. Dari keempat judul skripsi di atas
yang membedakan dengan judul yang dibahas penulis adalah mengenai
pembuktian tindak kekerasan psikis dalam rumah tangga menurut UU KDRT dan
hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini ditulis dalam lima bab, dengan
penjelasan pada masing-masing bab tersebut. Adapun sistematika penulisan ini
adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, tinjauan kajian terdahulu, dan sistematika penulisan.
13
Bab II Tinjauan Umum Tentang KDRT Menurut Hukum Islam. Dalam
bab ini dibahas tentang pengertian, bentuk-bentuk, faktor penyebab,
dan dampak dari KDRT dalam hukum Islam.
Bab III Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU No. 23 Tahun
2004. Dalam bab ini membahas tentang gambaran umum tentang
kekerasan dalam rumah tangga, pengertian, bentuk dari KDRT.
Kekerasan psikis dalam rumah tangga, pengertian, bentuk, dan
dampak. Perlindungan hukum bagi korban KDRT dan Sanksi bagi
pelaku. Pengertian pembuktian kekerasan psikis, dan macam-macam
alat bukti. Putusan hakim terhadap pembuktian kekerasan psikis,
putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Putusan Pengadilan
Negeri Kepanjen.
Bab IV Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri. Putusan Pengadilan Negeri ditinjau dari
hukum Islam, putusan Pengadilan Agama dalam tinjauan hukum
Islam, relevansi hukum Islam dan hukum positif tentang pembuktian
kekerasan psikis.
Bab V Penutup. Merupakan tahap akhir dari penulisan ini yang berisi
kesimpulan-kesimpulan penelitian dari awal sampai akhir, juga terdiri
dari saran-saran penulis tentang persoalan yang diangkat dalam
penulisan skripsi ini.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam
Dalam perkawinan, bersikap aniaya pada salah satu pasangan bukan hanya
akan merusak tujuan perkawinan itu sendiri, tetapi juga meruntuhkan fondasi
sosial peradaban masyarakat yang dibangun mulai dari sebuah keluarga. Hal yang
penting bahwa sikap aniaya merupakan bentuk pengkhianatan seseorang hamba
kepada Tuhannya.
Sebagaimana yang tertuang dalam surat At-Tahriim ayat 6:
666
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S. at-
Tahriim/66: 6)
Salah satu bentuk aniaya yang masih dialami sebagian besar pasangan
perkawinan, khususnya pihak perempuan adalah kekerasan-kekerasan baik fisik
maupun psikis. Hal tersebut disebabkan kedudukan relasi yang tidak seimbang
15
antara suami isteri.1 Suami beranggapan bahwa dirinya yang paling berkuasa
karena kedudukan suami lebih tinggi dari pada isteri, dan suami adalah pemimpin
dalam rumah tangga.
Kekerasan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas (jarimah)
pengertian kriminalitas (jarimah) dalam Islam adalah tindakan melanggar
peraturan yang telah ditentukan oleh syariat Islam dan termasuk ke dalam
kategori kejahatan. Sementara kejahatan dalam Islam adalah perbuatan tercela. (al
qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara, bukan yang lain. Sehingga apa yang
dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap wanita, dengan anggapan wanita
telah menjadi korbannya.2 Bentuk–bentuk kekerasan baik kekerasan fisik atau
kekerasan psikis merupakan suatu tindakan yang telah melanggar ketentuan yang
telah disyariatkan dalam Islam, jelas sekali mengenai ketentuan hak dan
kewajiban suami isteri, yang mana suami seharusnya menjadi pelindung bagi
isterinya.
Rumah tangga Islami adalah rumah tangga yang di dalamnya ditegakkan
adab-adab Islam. Baik yang menyangkut individu maupun ke seluruhan anggota
rumah tangga. Rumah tangga Islami adalah sebuah rumah tangga yang didirikan
di atas landasan ibadah. Mereka saling berkumpul karena Allah, saling
1 Nasruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, cet. I, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2010), h. 85-86. 2 Mufidah ch, Penghapusanya Kekerasan TerhadapPerempuan dan Anak Dalam Perspektif
Islam “makalah sosialisasi PKDRT di Kabupaten Malang.
16
menasehati, dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang
ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah.
Rumah tangga Islami adalah rumah tangga yang di dalamnya terdapat
sakinah, mawadah, dan wa rahmah (perasaan tenang, cinta, dan kasih sayang)
perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah setiap harinya. Seluruh
anggota merasakan suasana “surga” di dalamnya inilah ciri khas rumah tangga
Islami. Mereka berserikat dalam rumah tangga itu untuk berkhidmat pada aturan
Allah SWT. Mereka bergaul dan “ta‟abbudiyah” (peribadatan) yang jauh dari
dominasi nafsu, bekerja sama di dalamnya untuk saling menguatkan dalam
beribadah kepada Nya.3 Bagi calon suami isteri yang akan menikah dan
membangun rumah tangga, hendaklah mengetahui lebih dulu apa tujuan dari
sebuah pernikahan, agar dalam menjalani sebuah pernikahan itu dapat tercapai
tujuan pernikahan.
Pada umumnya setiap orang berumah tangga mereka sama-sama
mengimpikan dan mendambakan kebahagiaan seperti yang digambarkan oleh
Nabi Muhammad SAW. Namun, sering sekali terjadi kebalikannya, timbul
percekcokkan dan perbedaan pendapat antara suami istri yang mengakibatkan
pertengkaran, kekerasan, bahkan bisa berakhir dengan perceraian.4 Sebenarnya
perbedaan pendapat dan percekcokkan dalam berumah tangga itu bisa di hindari
oleh suami isteri, dengan cara keduanya saling menghargai, menghormati dan
3 http://www.docstoc.com/docs/37753855/BAB-II-KDRT.
4 Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (keluarga yang sakinah), cet. I, (Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 1.
17
masing-masing dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana
mestinya.
Untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis haruslah saling
menghargai keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri, karena hak dan
kewajiban merupakan kunci keberhasilan dalam membangun sebuah rumah
tangga. Hak adalah sesuatu yang harus diterima sedangkan kewajiban adalah
sesuatu yang harus dilaksanakan dengan baik. Begitulah kehidupan antara suami
istri dalam setiap rumah tangga.
Oleh karena itu antara suami istri haruslah tahu dan melaksanakan hak dan
kewajibannya masing-masing. Kewajiban suami terhadap istri antara lain yaitu:
1. Memperlakukan istri dengan cara yang baik dan bijaksana.
Firman Allah SWT, surat An Nisa ayat 19:
419
Artinya: “Dan bergaulah dengan mereka (isterimu) menurut patut (secara
baik)”.
2. Jangan menyakiti istri dan mensia-siakannya, baik jasmani maupun
rohaninya. Sabda Rasulullah SAW:
18
Artinya: “Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, ia berkata, Rasulullah SAW
bersabda: ”Cukuplah seseorang itu berdosa jika dia menyia-
nyiakan orang yang seharusnya dia beri nafkah”.(Hadis shahih
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya).5
3. Memberi nafkah sesuai dengan kemampuan yang ada secara tulus ikhlas,
sesuai dengan sabda Rasulullah:
Artinya: “Dari Abu Umamah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
Barang siapa yang memberi nafkah kepada isterinya, anak-ananya,
dan keluarganya maka itu adalah sedekah”. (H.R. Thabrani)6
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat 7:
657
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”.
Sedangkan pelaksanaan kewajiban antara suami dan istri harus seimbang
dan sejalan, kewajiban dilaksanakan dan yang hak diterima. Kewajiban istri
terhadap suami antara lain adalah sebagai berikut:
5 Syaikh Salim, Syarah Riyadhush Shalihin. Penerjemah M. Abdul Ghoffar E.M, cet. II, (T.tp,
PT. Pustaka Imam asy- Syafi’i, 2005), h. 661. 6 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, cet. I, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 186.
19
a. Setia dan patuh kepada suami, baik waktu senang maupun waktu susah, dalam
suka dan duka. Firman Allah SWT. Dalam surat An Nisa ayat 34:
434
Artinya: “Perempuan-perempuan yang saleh ialah yang taat (patuh), yang
memelihara kehormatannya waktu gaib (suaminya tidak ada),
sebagaimana Allah telah memeliharakan dirinya.”
b. Berwajah cerah dan simpatik (setia), hindarilah bermuka masam dan sering
menggerutu atau suka cemberut.
c. Tidak berpergian tanpa ijin suami, bila ada suatu keperluan untuk berpergian
ke luar rumah mintalah ijin kepada suami, untuk menghindari fitnah dan
lainnya.
d. Memegang rahasia suami dan rumah tangganya.7 Selain memegang rahasia
suami dan rumah tangga, isteri juga harus memelihara dan menjaga harta
benda suami dari segalam macam pemborosan. Jadi isteri harus pandai-pandai
dalam mengatur kebutuhan rumah tangga.
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan menurut hukum Islam ini paling sulit dideteksi karena
umumnya terjadi di lingkungan domestik yang mencakup hubungan perkawinan
seperti poligami, kekerasan seksual, talak dan sebagainya. Al-Qur’an sumber
hukum Islam memang tidak mencakup seluruh persoalan kekerasan terhadap
7 Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga keluarga yang sakinah, h. 37-42.
20
perempuan, namun banyaknya ayat yang berbicara mengenai kekerasan terhadap
perempuan sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam sangat memberi perhatian
terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Adapun kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga perspektif hukum
Islam sebagai berikut:
1. Kekerasan Fisik
Al-Qur’an dan hadist diyakini semua umat Islam sebagai sumber
acuan utama dalam semua tindakan. Kedua sumber tersebut dipelajari dan
dikaji di lembaga pendidikan dan lapisan masyarakat sehingga lumrah jika
terjadi banyak penafsiran.
Al-Qur’an memberi perhatian bagi istri yang nusyuz hal ini dijadikan
dasar pemikiran Surat An-Nisa ayat 34. Dalam ayat ini yang dijadikan dasar
memberi pelajaran bagi istri yang nusyuz yaitu terdapat pada ayat:
434
Artinya: “wanita-wanita yang kamu khawatiri Nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukulah mereka”.
Dalam hal memukul, janganlah sampai melukai badannya, jauhilah
muka dan tempat-tempat lain yang membahayakan, karena tujuan memukul
bukanlah untuk menyakiti, tetapi untuk memberi pelajaran (ta‟zir). Meskipun
surat An-Nisa ayat 34 membolehkan suami memukul istri dalam rangka
21
mendidik, akan tetapi tidak asal memukul, melainkan dengan syarat, batasan
dan ketentuan, antara lain:
Pertama, ia dilakukan kepada istri ketika nusyuz, yakni durhaka
dengan tidak menaati suami dalam batas-batas tertentu. Jika istri belum
terbukti nusyuz maka suami belum boleh melakukannya. “Nusyuz” artinya
artinya meninggalkan, contoh nusyuz seorang istri misalnya meninggalkan
rumah tanpa seizin suami.
Kedua, setelah sang istri terbukti nusyuz maka tidak otomatis suami
langsung boleh memukulnya. Suami terlebih dulu harus melakukan dua
tahapan terlebih dahulu yaitu menasihatinya. Jika sang istri adalah muslimah
yang shalihah dan dia terbukti nusyuz, maka sebuah nasihat sudah baginya,
untuk menyadari kekeliruannya dan mengulangi kesalahannya. Dengan
demikian selesailah persoalannya tanpa ada kekerasan.
Ketiga, kalaupun dengan nasihat belum cukup maka masih ada
langkah kedua yang mesti dilalui yaitu berpisah darinya di tempat tidur. Pada
tahap ini, kalau sang istri adalah muslimah shalihah yang terbukti dia nusyuz,
maka dengan sanksi ini dia akan menyadari kesalahannya.
Keempat, kalau tahap-tahap tersebut belum cukup untuk menyadarkan
sang istri, maka diperbolehkan melakukan sanksi pemukulan dalam rangka
mendidik, memperbaiki, dan meluruskan. Karena tujuannya untuk mendidik,
bukan menyakiti, misalnya meninju dengan kepalan tangan hingga terluka
berdarah-darah untuk melampiaskan amarah dan dendam kesumat. Memukul
22
yang dibolehkan adalah pukulan ghairu mubarrihi, yaitu yang tidak melukai
dan tidak mematahkan, tidak melukai daging dan tidak mematahkan tulang.
Dan yang terpenting, tidak boleh memukul anggota badan yang diharamkan,
misalnya memukul wajah.
Jadi, memukul istri adalah hanya sebuah alternatif terakhir sebagai
sarana untuk mendidik seorang istri. Tak ada yang perlu dipersoalkan dari
tahapan-tahapan pendidikan terhadap istri pembangkang dalam ayat tersebut.
Islam mengajarkan bahwa kedudukan suami dalam keluarga adalah
sebagai kepala keluarga (Qs An-Nisa’ 34) yang salah satu tugasnya adalah
mengurus dan mendidik istri. Ketika menjalankan kewajiban sebagai kepala
keluarga yang mendidik istri dengan cara yang halus hingga cara pemukulan
yang syar’i, sang suami tidak bisa dihukumi sebagai pelaku KDRT. Karena
ketegasan dalam mendidik dan nahi munkar berbeda kasus maupun
konsekuensinya dengan KDRT.8 Maksud dari cara mendidik isteri dengan
cara yang halus adalah memberitahu kepadanya dengan kata-kata yang halus,
tidak membentak atau berkata-kata kasar kepadanya. Karena isteri
mempunyai sifat yang lemah lembut, sehingga jika suami berkata-kata kasar
kepada isterinya ditakutkan isteri itu tersinggung atau bahkan menyakiti
perasaan isteri tersebut.
8http://www.voa-islam.com/counter/christology/2011/07/21/15630/alquran-atau-bibel-
pemicu-kdrt-menjawab-gugatan-forum-murtadin-kafirun.
23
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
durhakanya sang isteri (nusyuz) ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya,
suami berhak memberi nasihat kepadanya, sesudah nyata kedurhakaannya,
suami berhak berpisah tidur dengannya, kalau dia masih durhaka, suami
berhak memukulnya.9 Memukul di sini juga tidak boleh asal memukul, tetapi
ada tempat yang dibolehkan suami untuk memukul isterinya.
Dalam tafsir al azhar dijelaskan tindakan–tindakan yang patut
dilakukan suami terhadap istri yang nusyuz yaitu dengan cara “maka ajarilah
mereka” beri mereka petunjuk dan pengajaran, ajarilah mereka dengan baik,
sadarkan mereka akan kesalahanya. Suami hendaklah menunjukan pimpinan
yang tegas dan bijaksana, cara yang kedua yaitu dengan cara “pisahkan
mereka dari tempat tidur” Kerapkali istri menjadi hilang kesombongannya
karena pengajaran demikian. Tetapi ada pula perempuan yang harus dihadapi
dengan cara yang lebih kasar, maka pakailah cara yang ketiga “dan pukulah
mereka” tentu saja cara yang ketiga ini hanya dilakukan kepada perempuan
yang sudah memang patut dipukul.10
Di dalam tafsir itu dijelaskan tahap-tahap
atau cara yang memang patut dilakukan suami dengan tujuan mendidik isteri.
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, dijelaskan bahwa pemukulan yang
dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, dan juga harus disertai dengan
rasa kasih sayang seorang pendidik, sebagaimana yang dilakukan seorang
9 M.A. Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 186-187. 10
Hamka, Tafsir al- Azhar, Juz V, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 48-49.
24
ayah terhadap anak-anaknya, dan yang dilakukan oleh guru terhadap
muridnya. Semua tindakan itu boleh dilakukan kalau kedua belah pihak
berada dalam kondisi harmonis. Tindakan itu hanya boleh dilakukan untuk
menghadapi ancaman kerusakkan dan keretakkan, karenanya tindakan seperti
pemukulan terhadap isteri tidak boleh dilakukan kecuali kalau terjadi
kesalahan yang hanya dapat diselesaikan dengan cara tersebut.11
Dari kesalah
pemahaman surat An-Nisa inilah banyak suami yang melakukan kekerasan
terhadap istri dalam segala bentuknya.
Sebagian Ulama menafsirkan al-Qur’an tentang pemukulan ini.
Pertama, pemukulan tidak boleh diarahkan ke wajah, kedua, pemukulan tidak
boleh sampai melukai, dianjurkan dengan benda yang paling ringan, seperti
sapu tangan. Ketiga pemukulan dilakukan dalam rangka mendidik. Keempat,
pemukulan dilakukan dalam rangka sepanjang memberikan efek bagi
keutuhan dan keharmonisan kembali relasi suami istri.12
Nabi Muhammad melarang seseorang melakukan kekejaman dan
penyiksaan. Rasulullah SAW bersabda:
13
11
Sayyid Quth, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 244. 12
Husen Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, cet. I,
(Yogjakarta: Lkis, 2004), h. 242. 13
Maktabah al-Syamilah, Surat ke – 29, Juz ke – 12.
25
Artinya: “Dari Abdur Rohman Abdillah bin Mas‟ud dari ayahnya berkata :
Rasulullah SAW bersabda : Tidak seorangpun boleh dijatuhi
hukuman dengan Api”. (H.R. Ibnu Abi Saibah)
Dalam hukum pidana, beberapa hukuman mungkin terlihat berat atau
bahkan keras. Hukuman berat diancam bagi beberapa kejahatan seperti
perzinaan. Islam memandang kejahatan tersebut adalah perbuatan yang keji
dan konsekuensinya sangat menyakitkan. Contoh lainnya adalah pencurian
yang dikatagorikan dalam hukuman hudud, hukuman bagi kejahatan ini
adalah potong tangan.14
2. Kekerasan Psikis
Selain kekerasan fisik Islam juga memperhatikan kekerasan psikis,
sebagaimana kisah Khaulah binti Tsalabah mengadu kepada Rasulullah
karena selalu dicaci maki oleh suaminya Aus bin Samit, Khaulah seorang
muslimah yang taat beribadah dan taat pada suami. Sehingga walaupun dicaci
ia tetap bersabar, tetapi pada suatu hari hilanglah kesabarannya karena
dizhihar suaminya, lantaran marah hanya karena pulang tidak ada makanan.
Malam harinya Khaulah menolak dicampuri suaminya. Peristiwa ini diajukan
pada Rasulullah lalu turunlah surat al Mujadah ayat 1-6 tentang zhihar ayat ini
mengandung makna agar para suami tidak mudah menzhihar istrinya.15
Ada sebuah hadist yang menjelaskan apabila seseorang telah mengilla
istrinya, mereka harus membayar kafarah ketika ia akan mengauli istrinya.
14
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 73. 15
Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Praktis; Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan
dalam Rumah Tangga, cet. I, (T.tp., STAIN Press, 2006), h. 111.
26
:
Artinya: Dari Aisyah ra. Mengatakan “Rasulullah SAW bersumpah illa‟
terhadap istri-istrinya dan mengharamkan mereka, kemudian
menjadikan yang haram menjadi halal dan menyebar kafarah
tebusan sumpahnya”. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa illa’ itu merupakan sumpah
suami terhadap istrinya bahwa dia tidak akan menggauli istrinya dalam masa
yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan masa. Apabila
seorang suami bersumpah sebagai sumpah yang tersebut itu, hendaklah
ditunggu sampai 4 bulan. Kalau dia kembali baik, kepada isterinya sebelum 4
bulan, maka suami diwajibkan membayar dengan kafarat saja. Tetapi kalau
sampai 4 bulan suami tidak kembali baik dengan isterinya, maka hakim
berhak menyuruh memilih diantara dua perkara: membayar kafarat serta
kembali baik kepada isterinya, atau menthalaq isterinya. Jika suami tetap tidak
mau menjalankan salah satu dari pekara tersebut, maka hakim berhak
menceraikan isterinya dengan paksa.
Para ulama sepakat ketika suami mengilla istrinya selama 4 bulan
berturut-turut maka tidak boleh menjima istrinya. Suami ketika akan menjima‟
istrinya lagi ia harus membayar kifarat yaitu memerdekakan budak jika ada.
Apabila tidak menemukan budak, maka puasa dua bulan berturut-turut,
27
apabila tidak mampu, maka memberi makan 60 orang miskin.16
Dalam hal ini
suami haruslah menyadari perkataannya, agar tidak sembarang mengucap
untuk tidak menggauli isterinya.
Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukan bahwa antara perempuan dan
laki-laki itu sama atau setara misalnya tentang kesempatan mendapatkan
pahala, hubungan perempuan dengan laki-laki dan juga kerabatnya. Dalam hal
memilih pasangan hidup, Islam memberi hak bagi perempuan untuk memilih
pasangannya. Semula hak itu ditentukan oleh wali, setelah Islam datang
tuntutan Islam anak gadis yang akan dinikahkan, diajak bicara dan ikut
menentukan pilihannya.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan ini adalah pemaksaan aktivitas seksual oleh satu pihak
terhadap pihak lain, suami terhadap istri atau sebaiknya yang biasa disebut
dengan marital rape. Dengan demikian marital rape merupakan tindak
kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri untuk
melakukan aktifitas seksual tanpa pertimbangan kondisi istri.17
Dalam
berhubunggan suami isteri, suami tidak boleh melakukan pemaksaan atau
bahkan sampai melakukan kekerasan terhadap isterinya, karena akan
mengakibatkan penyiksaan terhadap isteri.
16
Ibnu Hajar al Asqolani, Bulughul Maram, (Semarang: PT. Toha Putra), T.th), h. 237. 17
Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, cet. I, (Yogjakarta: PT.
LkiS Pelangi Aksara, 2007), h. 11.
28
Bentuk-bentuk marital rape dapat berupa hubungan seksual yang tidak
dikehendaki istri karena ketidaksiapan istri dalam bentuk fisik dan psikis,
hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri, misalnya dengan oral atau
anal. Hubungan seksual disertai ancaman kekerasan atau dengan kekerasan
yang mengakibatkan istri mengalami luka ringan ataupun berat.18
Salah satu
contohnya seperti memaksakan isteri untuk bergaul pada saat isteri dalam
keadaan haid.
Terkait dengan masalah suami istri, ada beberapa statemen al-Qur’an
yang bisa dikemukakan di antaranya dalam surat al-Baqarah ayat 187 yaitu:
2187
Artinya: “Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu dan kamu adalah
pakaian bagi mereka”
Ayat lain juga menyatakan bahwa suami harus menggauli istrinya
dengan cara yang ma‟ruf, ma‟ruf di sini berati suami haruslah memperlakukan
isteri tidak seperti budak belian, bersikap kasar tanpa memperhatikan dan
menghargai hak dari seorang isteri, karena dalam hubungan suami isteri, isteri
juga mempunyai hak untuk menolak apabila isteri dalam keadaan sakit atau
karena alasan lain yang menyebabkan isteri itu tidak dapat menerima ajakan
suami. Suami tidak boleh memaksakan isteri untuk bergaul, ini tentunya tidak
diperbolehkan adanya kekerasan baik pemukulan, penganiayaan dan lain
sebagainya. Al Syirazi mengatakan meskipun pada dasarnya istri wajib
18
Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, h. 13.
29
melayani permintaan suami, akan tetapi jika memang tidak terangsang untuk
melayaninya ia boleh menawarnya atau menagguhkannya, dan bagi istri yang
sedang sakit atau tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani
ajakan suami sampai sakitnya hilang. Jika suami tetap memaksa pada
hakekatnya ia telah melanggar prinsip muasyaroh bil ma‟ruf dengan berbuat
aniaya kepada pihak yang justru seharusnya ia lindungi.19
Jadi dalam
hubungan suami isteri, suami memang harus menghargai isteri apakah isteri
mau untuk diajak bergaul atau tidak. Agar kedua belah pihak tidak ada yang
merasa di rugikan.
Ulama Mazhab memandang „azl (coitus interruptus) yakni menarik
kemaluan laki-laki keluar dari kemaluan wanita pada saat-saat mau keluar
mani. Tiga dari empat Mazhab yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam
Hambali sepakat bahwa azl tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa
seizin istri, dengan alasan dapat merusak kenikmatan istri. Umar berkata:
.
Artinya: “Dan dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata: Rasulullah SAW
melarang azl terhadap perempuan merdeka kecuali dengan
izinnya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)20
19
Masdar F. Ma’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet. II, (Bandung : PT.
Mizan Hazanah Ilmu-ilmu Islam, 1997), h. 113. 20
Mu’ammal Hamidy, dkk, Nailul Authar Himpunan Hadis-hadis Hukum, cet. III, (Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 2001), h. 2275-2276.
30
Sejalan dengan prinsip melindungi hak istri untuk menikmati
hubungan seksnya. Dengan merujuk pada hadits di atas jelas bagi kita bahwa
dalam hubungan seks dan justru pada detik-detik kenikmatannya istri sama
sekali bukan hanya objek tapi juga menjadi subjek.21
Yang mana dalam
berhubungan suami isteri, pada saat melakukan azl, suami harus bisa mengerti
isteri atau dengan cara komunikasi, agar kedua belah pihak sama-sama
mendapatkan kenikmatan. Dari sini jelaslah perspektif al-Qur’an melarang
adanya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri atau
marital rape, ia bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam tentang
seksualitas dalam perkawinan.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi ialah apabila suami tidak memberi nafkah,
perawatan atau pemeliharaan sesuai dengan hukum yang berlaku atau
perjanjian antara suami dan istri tersebut. Selain itu juga yang termasuk dalam
katagori penelantaran ekonomi adalah membatasi atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali
orang tersebut. Islam mengatur secara jelas melalui pengalaman-pengalaman
masa kenabian Muhammad, jelaslah bahwa Islam tidak menoleransi
penelantaran dan kekerasan dari segi ekonomi.
Islam menetapkan kewajiban nafkah kepada istri, karena itu seorang
suami yang tidak memberi nafkah kepada istrinya telah berdosa kepada
21
Masdar F. Ma’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, h. 117-118.
31
istrinya dan Tuhan. Para istri yang menuntut suami untuk membelikan
keperluan-keperluan pokok yang menjadi tanggung jawab suami harus benar-
benar dipertimbangkan apakah menurut ajaran agama sesuatu yang
dimintanya itu merupakan pemborosan ataukah benar-benar menjadi tanggung
jawab suami, seperti keperluan makan dan minum, pakaian, pengobatan serta
pemeliharaan kesehatan. Seorang istri juga hendaknya mempertimbangkan
hal-hal yang akan diminta kepada suaminya, sehingga tidak membebani
dengan tuntutan diluar kewajibannya.22
Isteri tidak boleh menuntut kepada
suami, isteri haruslah mengerti kemampuan suami agar tidak menjadi beban
bagi suami.
Adapun dasar kewajiban suami menafkahi istri tersebut dalam firman
Allah Q.S. Al Baqarah ayat 233:
2233
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyususan dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma‟ruf”.
Dari beberapa paparan di atas jelas sekali bahwa Islam benar-benar
telah melarang bertindak kekerasan terhadap istri, termasuk juga penelantaran
pemberian nafkah. Bahkan ketika terjadi cerai pun Islam masih memberi
22
Muhammad Thalib, Ketentuan Nafkah Istri dan Anak, cet. I, (Bandung: PT. Irsyad Baitus
Salam), h. 21-22.
32
perhatian terhadap perempuan, salah satunya adalah dengan adanya Iddah,
dan larangan mengambil kembali sesuatu yang telah diberikan kepadanya, hal
ini dijelaskan dalam surat al- Baqarah ayat 229:
2229
Artinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah”23
.
C. Faktor-faktor Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dalam kehidupan berumah tangga pasti ada saja faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kekerasan, secara garis besar faktor-faktor kekerasan
dalam rumah tangga dapat dirumuskan menjadi dua, yakni faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal ini berkaitan erat hubungannya dengan kekuasaan
suami dan diskriminasi di kalangan masyarakat. Diantaranya :
a. Budaya patriarki yang menempatkan pada posisi laki-laki dianggap lebih
unggul dari pada perempuan dan berlaku tanpa perubahan, seolah-olah
itulah kodrati.
b. Kesalahan dalam interpretasi agama, yang tidak sesuai dengan universal
agama, misalnya seperti nusyuz, yakni suami boleh memukul istri dengan
23
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah
al-Qur’an, 1997, h. 37.
33
alasan mendidik atau istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami,
maka suami berhak memukul dan istri dilaknat malaikat. Pandangan-
pandangan seperti ini yang menyebabkan kerugian bagi pihak isteri,
karena dalam Islam ada beberapa tahapan yang harus dilakukan suami,
sebelum suami berhak memukul iserinya, suami memang boleh memukul
isterinya apabila isteri sudah tidak bisa lagi menjalankan kewajibannya
sebagai isteri dan sudah tidak bisa lagi di nasehati. Pukulan ini juga
dimaksudkan untuk mendidik bukan untuk menyakiti isteri.
Tetapi ada juga faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga antara lain:
1) Pemberian cap atau labelisasi perempuan dengan kondisi fisik yang lemah
cenderung menjadi anggapan objek pelaku kekerasan sehingga
pengkondisian lemah ini dianggap sebagai pihak yang kalah dan
dikalahkan. Hal ini sering kali dimanfaatkan laki-laki untuk
mendiskriminasikan perempuan sehingga perempuan tidak dilibatkan
dalam berbagai peran strategis. Akibat dari labeling ini, sering kali laki-
laki memanfaatkan kekuatannya untuk melakukan kekerasan terhadap
perempuan baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Pemberian labeling
bahwa perempuan lemah, mengakibatkan pihak perempuan merasa
dirugikan dan dianggap tidak mempunyai kemampuan di hadapan laki-
laki. Pemberian labeling terhadap perempuan itu harus dihapuskan, agar
peran perempuan tidak dianggap lemah dan rendah di hadapan laki-laki,
34
karena perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama dalam
berbagai peran strategis.
2) Kekuasaan yang berlindung di bawah kekuatan jabatan juga menjadi
sarana untuk melakukan kekerasan. Jika hakekat kekuasaan sesungguhnya
merupakan kewajiban untuk mengatur, bertanggung jawab dan
melindungi pihak yang lemah, namun sering kali kebalikannya bahwa
dengan sarana kekuasaan yang legitimate, penguasa sering kali melakukan
terhadap warga atau bawahannya. Dalam kontek ini misalnya negara
terhadap rakyat dalam berbagai bentuk kebijakan yang tidak sensitif pada
kebutuhan rakyat kecil.
3) Sistem ekonomi juga menjadi sebab terjadinya kekerasan terhadap
perempuan. Dalam sistem ekonomi kapitalis dengan prinsip ekonomi cara
mengeluarkan modal sedikit untuk mencapai keuntungan sebanyak-
banyaknya, maka memanfaatkan perempuan sebagai alat dan tujuan
ekonomi akan menciptakan pola eksploitasi terhadap perempuan dan
berbagai perangkat tubuhnya. Oleh karena itu perempuan menjadi
komoditas yang dapat diberi gaji rendah atau murah.24
Sistem ekonomi ini
tidak menggambarkan keadilan bagi perempuan. Ada upaya yang harus
dilakukan agar pihak perempuan tidak lagi terpojok dan di anggap lemah.
24
Mufidah et al, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Panduan Pemula Untuk
Pendampingan Korban Kekereasan Terhadap Perempuan dan Anak, (PT. PSG dan Pilar Media,
2006), h. 8-10.
35
Sehingga mempunyai kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki
dalam sistem perekonomian.
Sedangkan faktor internal timbulnya kekerasan terhadap istri adalah
kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan yaitu: 1)
sakit mental, 2) pecandu alkohol, yang kerap kali melakukan kekerasan terhadap
isteri dalam keadaan mabuk tanpa menyadari perbuatannya tersebut, 3) kurangnya
komunikasi, antara pihak suami isteri masing-masing mempunyai kesibukkan di
luar rumah seperti bekerja, sehingga menyebabkan kurang perhatian terhadap
anak, dan menimbulkan kurangnya komunikasi yang berakibat kekerasan 4)
penyelewengan seks, 5) citra diri yang rendah, terkadang suami menggangap
dirinya rendah, karena tidak mempunyai pekerjaan dan tidak bisa memberikan
kebutuhan pokok hidup kepada keluarganya, 6) frustasi, bisa saja terjadi karena
himpitan ekonomi, ataupun masalah pekerjaan yang di bawa ke dalam rumah, 7)
perubahan situasi dan kondisi, 8) kekerasan sebagai sumber daya untuk
menyelesaikan masalah (pola kebiasaan dari keluarga atau orang tua).25
Anggapan seperti itu sungguh tidak baik, karena kekerasan bukanlah cara yang
tepat untuk memecahkan sebuah masalah, banyak cara lain yang dapat dijadikan
solusi seperti kedua pihak suami isteri harus saling mengerti satu sama lain, dan
dapat melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing agar tidak terjadi
kekerasan.
25
Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Patriarkhis, Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan
dalam Rumah Tangga, cet. I, (T.tp., STAIN Press, 2006), h. 103.
36
Salah satu indikasi permasalahan sosial yang berdampak negatif pada
keluarga adalah kekerasan yang terjadi dalam lembaga keluarga, hampir semua
bentuk kekerasan dalam keluarga oleh laki-laki misalnya pemukulan terhadap istri
pemerkosaan dalam keluarga dan lain sebagainya semua itu jarang menjadi bahan
pemberitaan masyarakat karena dianggap tidak ada masalah, sesuatu yang tabu
atau tidak pantas dibicarakan korban, dari berbagai bentuk kekerasan yang
umumnya adalah perempuan lebih khususnya lagi adalah istri cenderung diam
karena merasa sia-sia. Para korban biasanya malu bahkan tidak berani
menceritakan keadaannya kepada orang lain. Karena takut dianggap membuka aib
keluarganya sendiri.
D. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Terjadinya KDRT tidak lepas dari dampak KDRT. Korban kekerasan
biasanya bisa mengenali fakta kekerasan psikis sementara waktu, sebagai
pengenalan awal untuk menyadari seseorang diketahui menjadi korban atau
sedang menderita gangguan psikologis, seperti ketakutan (fear). Diantara gejala
yang muncul seperti jika seseorang berada dalam keadaan kecemasan
berkelanjutan karena relasi dirasa tidak berimbang. Seseorang sama sekali tidak
bisa mengambil keputusan terutama dalam situasi mendesak. Selalu khawatir
bersikap karena ketergantungan permanen. Rasa tidak percaya diri (PD), rasa
tidak PD dapat berarti orang tidak bisa membuat konsep diri positif orang
kemudian terjangkit dan didominasi oleh konsep diri negatif hingga tidak
37
menemukan cara menghargai diri. Gejala ini ditandai dengan sikap merendah
terus menerus atau minder, selalu menyerahkan urusan kepada orang lain, dan
merosotnya eksistensi diri hingga tidak lagi memiliki harapan untuk membuat
nilai positif dalam hidupnya. Hilangnya kemampuan untuk bertindak. Orang
dengan situasi trauma atau mengalami kejenuhan permanen akibat harga dirinya
lemah akan jatuh pada situasi pesimis dalam memandang hidup dan hingga
enggan melakukan tindakan yang sesuai dengan apa yang diharapkannya. Efek
kekerasan psikis menimbulkan trauma degenetatif (mematahkan semangat
berkembang generasi). Adanya situasi tidak berdaya (helplessness) situasi ini juga
merupakan gangguan pribadi dan dikatakan orang sakit secara psikologis. Ciri-
ciri helplessness antara lain putus asa, menyerah sebelum berbuat, fatalistik, dan
selalu menggantung diri, pada otoritas. Orang yang tidak berdaya akan sulit
melakukan komunikasi.
Seperti kekerasan yang dialami oleh istri dapat menimbulkan akibat secara
kejiwaan seperti kecemasan, murung, stress, minder, kehilangan percaya kepada
suami, menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Akibat secara fisik seperti
memar, patah tulang, cacat fisik, gangguan mensturasi, kerusakan rahim,
keguguran, terjangkit penyakit menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan
kematian.
Dampak psikologis lainnya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan
oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga
diri dan konsep diri korban (ia akan melihat dirinya negatif, banyak menyalahkan
38
diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai dan bertumpuknya
tekanan, kekecewaan dan kemarahan yang tidak dapat diungkapkan.26
Biasanya
dampak psikologis dari hubungan intim, korban malu untuk bertemu dengan
orang lain, merasa dirinya rendah.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas pada
istri saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa menggalami
penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan
penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak setengah dari anak-anak yang
hidup di dalam rumah tangga yang didalamnya terjadi kekerasan juga mengalami
perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi
secara emosional maupun seksual.
Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis
bagi anak-anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu
berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya, ada kalanya seorang anak
berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain.
Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang sudah besar
akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya
yang diperlakukan kejam. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau
mengalami KDRT adalah sering gugup, suka menyendiri, cemas, sering ngompol,
gelisah, gagap, sering menderita gangguan perut, sakit kepala dan asma, kejam
26
Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan Psikologis dalam buku
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: Alumni, 2000), h. 283.
39
pada binatang, ketika bermain meniru bahasa dan prilaku kejam, suka memukul
teman.27
Dampak yang terjadi pada si anak sangat sekali disayangkan, jika anak
kecil yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan kasih sayang justru tidak
mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan dari kedua orang tuannya.
Dampak itu tentu tidak baik untuk masa depan si anak, manakala pada masa
anak-anaknya sudah mengalami atau menyaksikan KDRT.
Dampak KDRT terhadap anak juga bisa terjadi seperti penurunan prestasi
akademik, serta hilangnya keinginan untuk melanjutkan pendidikan, menyimpan
rasa dendam dan sakit hati terhadap pelaku KDRT biasanya anak menjadi benci
kepada pelaku KDRT, merasakan trauma yang berkepanjangan karena melihat
tindak pidana KDRT, sulit untuk dapat mempercayai orang lain, tidak merasa
nyaman untuk tinggal di rumah dan terkadang bersikap melanggar hukum dan
norma sosial, pergaulan bebas karena tertekan melihat kondisi rumah dan merasa
kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tua, akibat dari kekerasan yang
dilakukan orang tua, juga dapat mempengaruhi perilaku dan emosional serta
sering kali berkata-kata kasar.28
Kekerasan dalam rumah tangga memberikan anggapan pada anak bahwa
kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah
kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan
melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan
27 Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (belajar dari kehidupan
Rasulullah SAW) , h. 35-37. 28
http://putriraturetno.blogspot.com/2010/05/Dampak-Kekerasan-Rumah-Tangga-
Terhadap.html.
40
anak sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. KDRT memberikan pelajaran pada
anak laki-laki untuk tidak menghormati kaum perempuan. Masalah seperti ini
harus mendapatkan perhatian khusus karena anak merupakan penerus keluarga,
agama, maupun bangsa yang harus mendapatkan pendidikan yang baik untuk
menjadikan dirinya manusia yang lebih baik. Jika dilihat dari dampak kekerasan
diatas, maka perlu adanya penanganan khusus dalam hal KDRT, agar tidak
banyak kasus-kasus KDRT yang timbul di masyarakat.
41
BAB III
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT
UU NO. 23 TAHUN 2004
A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah atau dilemahkan)
yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik ataupun non fisik dengan
sengaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada objek kekerasan.1
Secara etimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti
padat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak mudah pecah.
Sedangkan kata “kekerasan” itu sendiri adalah perihal (yang bersifat) keras,
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik. Secara terminologi
yang dimaksud dengan kekerasan atau violence pada dasarnya merupakan
suatu konsep yang makna isinya sangat bergantung kepada masyarakat
sendiri.2
1 Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, cet. I, (Malang: UIN, 2008), h.
267. 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar edisi ke
2, cet. VII, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 484-485.
42
Menurut Ensiklopedia Nasional jilid ke-1, yang di maksud dengan
“rumah” adalah tempat tinggal atau bangunan untuk tinggal manusia.
Sementara rumah tangga memiliki pengertian tempat tinggal beserta
penghuninya dan apa-apa yang ada di dalamnya.3 Pengertian lain dari rumah
tangga adalah masyarakat kecil sekurang-kurangnya terdiri dari pasangan
suami istri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir dari mereka.
Jadi setidak-tidaknya rumah tangga adalah pasangan suami istri baik
mempunyai anak atau tidak mempunyai anak.
Kekerasan terhadap perempuan telah tumbuh sejalan dengan
pertumbuhan kebudayaan manusia. Namun hal tersebut baru menjadi
perhatian dunia internasional sejak 1975. Kekerasan terhadap perempuan
menurut perserikatan bangsa-bangsa dalam deklarasi penghapusan kekerasan
terhadap perempuan pasal 1 kekerasan terhadap perempuan adalah segala
bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau
akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan secara
fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan,
baik terjadi di area publik atau domestik.4
Menurut Herkunanto, kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan
atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan
perempuan baik secara fisik maupun secara psikis. Tujuan tertentu itu bisa
3 Ensiklopedia Nasional Indonesia, jilid ke-1.
4 “Kekerasa Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)”, Paket Informasi, Rifka Annisa
Women’s Crisis Center, Jogyakarta, h. 2.
43
saja karena suami beranggapan bahwa dirinya sebagai kepala rumah tangga
dan paling berkuasa sehingga dia dapat melakukan segala hal yang
dikehendakinya tanpa memikirkan bahwa isterinya adalah seseorang yang
harus dilindungi dan disayangi bukan untuk disakiti ataupun mendapat
perlakuan kekerasan.
Dari berbagai macam pengertian kekerasan di atas, tidak menunjukkan
bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan hanya kaum laki-laki saja,
sehingga kaum perempuanpun dapat dikategorikan sebagai pelaku kekerasan.5
Namun, kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki lebih sering terjadi,
dari pada kekerasan yang dilakukan oleh seorang perempuan. Kekerasan
dalam rumah tangga khususnya penganiayaan terhadap istri, merupakan salah
satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penemuan penelitian
masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang
istri atau anaknya saja, rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup
rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita.6 Dampak
kekerasan terhadap anak sangatlah dikhawatirkan, karena ditakutkan di
kemudian hari anak tersebut akan melakukan kekerasa terhadap oranglain,
atau bahkan terhadap keluarganya sendiri.
5 Herkunanto, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam buku
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: PT. Alumni, 2000), h. 267-268. 6 Ciciek Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (belajar dari kehidupan
Rasulullah SAW), cet. I, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), h. 22.
44
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman unuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.7 (Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2004).
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan segala bentuk jenis
kekerasan (baik fisik maupun psikis) yang dilakukan oleh anggota keluarga
kepada anggota keluarga yang lain (yang dapat dilakukan oleh suami kepada
istri dan anaknya, atau oleh ibu kepada anaknya, atau bahkan sebaliknya).
Meskipun demikian, korban yang dominan adalah kekerasan terhadap istri
dan anak yang dilakukan oleh sang suami. 8
Berdasarkan beberapa definisi di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa segala perbuatan tindakan kekerasan
dalam rumah tangga merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia dan
merampas kemerdekaan orang lain yang dapat dikenakan sanksi hukum
pidana maupun hukum perdata
2. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Masalah kekerasan (khususnya dalam rumah tangga) merupakan salah
satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan.
7 RI. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. I, (Jakarta: Visimedia,
2009), h. 46. 8http://www.masbied.com/2011/02/23/tinjauan-umum-tentang-kekerasan-dalam-rumah-
tangga.
45
Oleh karena itu kekerasan patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan yang
melawan hukum kemanusiaan.
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk
penganiayaan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya. Seperti kekerasan
fisik (kekerasan ini biasanya terjadi akibat dari perbuatan-perbuatan seseorang
kepada orang lain dengan cara memukul, menampar, menendang atau dengan
perbuatan lain yang menyebabkan orang lain menderita patah tulang, kulit
tersayat, memar) biasanya perlakuan ini akan nampak seperti biru-biru, luka
lebam, atau luka lainnya. Kekerasan psikologis atau emosional (kekerasan ini
berupa penghinaan, komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,
dan mengancam orang lain), hal ini dapat dilakukan secara aktif
(menggunakan kekerasan), atau pasif (menelantarkan) dan pelanggaran
seksual.
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan menurut Undang-
undang PDKRT tertuang dalam pasal 5-9. Setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah
tangganya, dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran
rumah tangga. Sebab di dalam sebuah keluarga haruslah satu sama lain saling
menghormati dan melindungi agar dalam rumah tangga tersebut tercipta
kenyamanan dan keharmonisan.
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
46
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Kekerasan seksual dapat berupa pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu. Dan penelantaran dalam rumah tangga adalah
menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya.
Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah persoalan domestik yang
tidak boleh diketahui orang lain. Karena KDRT merupakan pelanggaran hak
asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapuskan.
Jadi Undang-undang PKDRT ini merupakan jaminan yang diberikan
negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak
pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT. Undang-undang ini juga tidak
bertujuan untuk mendorong perceraian, sebagaimana sering dituduhkan orang.
UU PDKRT ini justru bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga
yang benar-benar harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk
kekerasan sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga.
Semua pihak perlu sekali mengetahui dan mematuhi Undang-undang
ini, sebab persoalan ini bukanlah persoalan biasa yang hanya harus diketahui
oleh pasangan suami isteri tetapi semua orang haruslah sadar bahwa
kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
47
bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Semua orang haruslah tanggap
dalam masalah ini, meskipun masalah rumah tangga merupakan masalah
internal tetapi apabila sudah terjadi suatu kekerasan yang menyebabkan orang
lain menderita maka menjadi masalah eksternal yang harus mendapatkan
perhatian dari pihak lain.
Menurut Herkunanto, bentuk-bentuk kekerasan dapat berupa
kekerasan psikis, bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya
karena sensitifitas emosi seseorang sangat berfariasi. Dalam suatu rumah
tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih sayang pada istri
agar terpenuhi kebutuhan emosionalnya. Hal ini penting untuk
perkembangannya jiwa seseorang identifikasi yang timbul pada kekerasan
psikis lebih sulit diukur dari pada kekerasan fisik. Karena kekerasan psikis
merupakan kekerasan yang mengakibatkan penderitaan batin dalam diri
seseorang, jadi sulit sekali orang lain untuk mengetahui bahwa seseorang
mengalami kekerasan psikis.
Kekerasan fisik, bila didapati perlakuan bukan karena kecelakaan pada
perempuan. Perlakuan itu dapat diakibatkan oleh suatu episode kekerasan
yang tunggal atau berulang, dari yang ringan hingga yang fatal. Penelantaran
perempuan, penelantaran adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan
hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan pada pihak lain
khususnya pada lingkungan rumah tangga.
48
Pelanggaran seksual, setiap aktifitas yang dilakukan oleh orang
dewasa atau perempuan. Pelanggaran seksual ini dapat dilakukan dengan
pemaksaan atau dengan tanpa pemaksaan. Pelanggaran seksual dengan unsur
pemaksaan akan mengakibatkan trauma yang dalam bagi perempuan.9
Biasanya perempuan korban kekerasan seksual akan mengalami depresi,
sering menganggap dirinya kotor dan tidak suci, oleh karenanya banyak
korban yang mengurung diri di rumah untuk menghindari dari omongan
masyarakat sekitar.
B. Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Kekerasan Psikis
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam deklarasi peghapusan
kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan adalah segala
bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau
akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik
secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan,
paksaan, baik yang terjadi di area publik atau domestik.10
Kekerasan
psikologis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan
9 Herkunanto, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam buku
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, h. 268-270. 10
Rifka Annisa, “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)”, Paket
Informasi, (Jogyakarta: Women’s Crisis Center, t.th), h. 2.
49
penderitaan psikis pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang
menyakitkan atau merendahkan diri, mengisolir istri dari dunia luar,
mengancam atau menakut- nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
Menurut Mansour Fakih, kekerasan adalah serangan atau invasi
terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang.11
Bahwa segala bentuk macam kekerasan yang apabila di lakukan secara terus
menerus akan mempengaruhi batin seseorang yang ada di dalam dirinya
ataupun perubahan fisik pada diri seseorang.
Bentuk-bentuk dan Dampak Kekerasan Psikis
Bentuk kekerasan psikis sulit untuk dibatasi pengertiannya karena
sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi. Identifikasi akibat yang
timbul pada kekerasan psikis ini sulit diukur, karena kekerasan ini tidak
menimbulkan bekas secara lahiriah, tetapi berdampak pada batin isteri yang
dapat mengakibatkan derita yang sangat sulit disembuhkan. Kekerasan
psikologis juga mempunyai frekwensi dan intensitas yang berbeda-beda,
misalnya dalam bentuk marah, menghina, meremehkan, mencemooh,
mengancam, membentak, memaki dan lain sebagainya.
11
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, ), cet. I, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996, h. 17.
50
Namun ada beberapa alasan yang digunakan bahwa sesungguhnya
kekerasan fisik akibatnya justru lebih menyakitkan. Seperti sekalipun tindak
kekerasan psikologi itu jauh lebih menyakitkan, namun kekerasan psikologi
tidak akan merusak organ tubuh bagian dalam bahkan tindakan yang berakibat
kematian. Sebaliknya tindakan kekerasan fisik kerap menghasilkan hal yang
demikian. Karena kekerasan fisik lebih kepada perilaku serta perbuatan
seseorang seperti memukul dan lainnya yang menyebabkan memar ataupun
luka. Sedangkan kekerasan psikis hanya berupa ucapan, ataupun sindiran yang
hanya menyebabkan batin seseorang terluka.
Kekerasan fisik jauh lebih mudah diukur dan dipelajari, tulang yang
patah atau hidung yang berdarah jauh lebih mudah diuji dan divisum,
ketimbang kekerasan emosional yang membuat seseorang merasa
dipermalukan atau dilecehkan.12
Tidak ada yang mengetahui seseorang
mengalami kekerasan emosional kecuali tim medis yang ahli dalam hal itu.
Sedangkan kekerasan fisik dapat terlihat dengan mata oleh semua orang,
bahwa orang itu mengalami kekerasan fisik.
Kekerasan psikis dapat di bagi menjadi dua bagian, yaitu: kekerasan
psikis berat dan kekerasan psikis ringan. Kekerasan psikis berat berupa
tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan
dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial.
12
Rhodo, dalam Aroma Elmina, Perempuan Kekerasan dan Hukum, (Yogyakarta: UII Pres,
2003).
51
Penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut,
seperti gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau
disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat atau menahun,
gangguan stress pasca trauma, gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba
lumpuh atau buta tanpa indikasi medis), depresi berat atau destruksi diri,
gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti
skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya, bunuh diri.
Sedangkan kekerasan psikis ringan bisa mengakibatkan ketakutan dan
perasaan terteror, rasa tidak berdaya, hilangnya rasa tidak percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, gangguan fungsi tubuh ringan (sakit
kepala, gangguan pencernaan indikasi medis), dan fobia atau depresi
temporer.13
Mengakibatkan ketakutan dalam waktu yang tidak lama, dan
memungkinkan untuk bisa berubah dari akibat kekerasan psikis tersebut.
2. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kekerasan Psikis
Akar kekerasan terhadap perempuan karena adanya budaya dominasi
laki-laki terhadap perempuan atau budaya patriarki. Dalam struktur dominasi
laki-laki ini kekerasan sering kali digunakan oleh laki-laki untuk
memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas dan
kadangkala untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata.
13
http://www.lbh-apik.or.id/kdrt-bentuk.htm.
52
Kekerasan terhadap perempuan sering tidak dianggap sebagai masalah
besar atau masalah sosial karena hal itu merupakan urusan rumah tangga yang
bersangkutan, dan orang lain tidak ikut campur tangan. Kejahatan dari
kekerasan rumah tangga merupakan suatu yang rahasia, dan dianggap sesuatu
yang sifatnya pribadi dan bukan merupakan masalah sosial. (Susan L. Miler,
2000: 289)14
Penulis tidak sependapat dengan pendapat Susan, karena
kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah besar yang harus
mendapatkan perhatian dari berbagai macam pihak, seperti pemerintah dan
masyarakat agar para pelaku kekerasan tidak lagi dengan seenaknya
melakukan kekerasan dalam rumah tangganya.
Walaupun adanya pandangan seperti tersebut di atas tidak berarti
menjadikan alasan untuk tidak memberikan perlindungan hukum yang
memadai terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga. Perlindungan hukum adalah setiap usaha yang dilakukan oleh pihak-
pihak untuk menanggulangi kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam
bentuk fisik, psikologis, seksual dan kekerasan ekonomi.
Pihak-pihak yang dapat melakukan perlindungan hukum bagi
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, bisa saja misalnya dapat
dilakukan oleh keluarga, tetangga korban, tokoh masyarakat, aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim), lembaga sosial dan lain sebaginya. Yang jelas
14
Ni Nyoman Sukerti, “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga (Kajian
Perspektif Hukum dan Gender),” (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana), h. 13.
53
pihak-pihak dimaksud dapat memberikan rasa aman terhadap istri korban
kekerasan suami.
Para korban kekerasan dalam rumah tangga terutama isteri, yang
sering sekali mendapat perlakuan kekerasan oleh suaminya dalam kasus
KDRT jarang atau tidak banyak yang melaporkan kasusnya itu kepada pihak
yang berwajib. Mereka beralasan bahwa masalah suami isteri adalah masalah
intern keluarga yang tidak perlu diceritakan kepada orang lain, bahkan ada
sebagian yang beranggapan bahwa itu semua merupakan cobaan yang harus
dilewati dalam hidup berumah tangga.
Sehingga apabila terjadi kekerasan terhadap perempuan dan sering
tidak terungkap, itu semua karena isteri beranggapan bahwa apabila isteri
menceritakan atau melaporkan masalah rumah tangganya kepada orang lain
sama saja membuka aib keluarga. Dengan sulit terungkapnya kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga, ini berarti perempuan korban
kekerasan ikut melindungi kejahatan dalam rumah tangga. Karena perempuan
atau isteri ini telah menutupi tindakan kriminal yang dilakukan suaminya.
Yang mana semestinya isteri melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan
suaminya agar isteri terbebas dari tindak kekerasan dan terlindungi oleh pihak
yang berwenang.
Sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, masalah penganiayaan dalam
lingkup rumah tangga diatur dalam KUHP bab penganiayaan, pasal 351-356
54
dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita/ Perempuan.15
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga baru
diberlakukan 22 September 2004, ini merupakan satu bentuk pembaruan
hukum di Indonesia, yang berpihak kepada kelompok rentan, khususnya
perempuan. Undang-undang ini lahir mengingat banyaknya kasus-kasus
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, dan beberapa unsur
tindak pidana dalam KUHP yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan masyarakat, maka di perlukan pengaturan secara khusus tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-undang ini mengatur tentang pencegahan dan perlindungan
terhadap korban KDRT, mengatur secara spesifik KDRT dengan unsur-unsur
tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur
dalam KUHP, juga mengatur tentang kewajiban bagi aparat penegak hukum,
petugas kesehatan, pekerja sosial dan relawan sebagai pendamping untuk
melindungi korban kekerasan.16
Banyak pihak yang terlibat dalam membantu
memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga ini,
sehingga diharapkan kekerasan dalam rumah tangga sudah tidak lagi terjadi.
Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi korban kekerasan berhak
mendapatkan perlindungan, pelayanan, penanganan, serta pendampingan oleh
15
http://ejournal.unud.ac.id/2011/06/24/abstrak/kekerasan%20rt%sukerti.pdf. 16
http://www.google.co.id/2011/06/24/#hl=id&xhr=t&q=PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ISTERI YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN SUAMI.
55
lembaga bantuan hukum. Dalam hal pemberian perlindungan sementara,
kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan atau pembimbing rohani untuk mendampingi
korban. Di samping itu, polisi juga wajib memberikan keterangan kepada
korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Banyaknya pihak yang terlibat dalam penanganan korban kekerasan
dalam rumah tangga mencerminkan kompleksitas persoalan yang mengitari
seputar korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban KDRT tidak hanya
terluka secara fisik saja tetapi juga merambah pesoalan yang bersifat psikis
dan menyangkut hal-hal yang bersifat privasi. Oleh karena itu korban
disamping menghadapi problem yuridis tetapi juga menghadapi persoalan
psikologis.17
Bentuk-bentuk perlindungan bagi korban KDRT yang diberikan oleh
pihak kepolisian, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
pembimbing rohani, advokat dan pengadilan diatur dalam Pasal 16 sampai
dengan Pasal 38.
Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan Psikis
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi
(hukum) pidana merupakan cara yan paling tua, setua peradaban manusia itu
sendiri. Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan
17
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, cet. I, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2006), h. 91.
56
sebagai salah satu sarana politik kriminal. Bahkan akhir-akhir ini, hampir
semua produk perundang-undangan pada bagian akhir kebanyakan
dicantumkan sub-sub bab tentang ketentuan pidana.
Berbagai produk legislasi sangat terlihat jelas selalu menjadikan
hukum pidana sebagai instrumen untuk menakut-nakuti atau mengamankan
bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang.
Fenomena legislatif yang demikian, menarik dikaji dari sudut kebijakan
hukum pidana khususnya dilihat dari batas-batas kemampuan hukum pidana
sebagai sarana penanggulangan kejahatan.18
Tujuan hukum pidana di Indonesia melindungi korban suatu tindak
kejahatan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap pihak yang
dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman yang
dijatuhkan pada pelaku ini merupakan salah satu hak yang dituntut oleh pihak
korban. Korban yang sudah dirugikan secara psikologis menuntut para
penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan
pelaku.19
Agar para pelaku tidak mudah lagi untuk melakukan kejahatan atau
kekerasan dalam rumah tangganya.
Ketentuan pidana bagi orang yang melakukan kekerasan psikis
dipidana dengan pidana penjara 3 tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.0000. Dan apabila perbuatan kekerasan tersebut tidak menimbulkan
18
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, h. 95-96. 19
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,),
cet. I, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2001), h. 100.
57
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, maka dipidana penjara
4 bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00. Jika seseorang yang
melakukan kekerasan psikis kepada korbannya, dan korban tersebut tidak
menimbulkan penyakit yang menjadi penghalang untuk menjalankan
pekerjaan, maka si pelaku kekerasan psikis di berikan keringan hukuman
karena perbuatannya tidak menimbulkan penyakit bagi si korban.
3. Pembuktian Kekerasan Psikis
Definisi pembuktian menurut Prof TM. Hasbie As Shiddiqie
pembuktian adalah segala yang dapat menampakkan kebenaran, baik dia
merupakan saksi atau sesuatu yang lain. Sedangkan menurut Subekti, yang
dimaksud dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.20
Proses
pembuktian untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam pasal 54
dan 55 UU PKDRT seperti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang
berlaku kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Sebagai salah satu
alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat
20
A. Juaini Syukri, Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum
Acara Positif dan Hukum Acara Islam, cet. I, (Jakarta: PT. Magenta Bhakti Guna, 1983), h. 25.
58
bukti yang sah lainnya.21
Dalam pembuktian kasus kekerasan psikis,
keterangan satu orang saksi dan satu alat bukti saja sudah bisa perkara itu
dibuktikan.
Untuk membuktian bersalah atau tidaknya seseorang terdakwa
haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan dalam hal
pembuktian. Hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan
kepentingan terdakwa.
Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah
melanggar ketentuan pidana (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya,
harus mendapat hukuman yang setimpal degan kesalahannya. Sedangkan
kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil
sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat
hukuman. Socrates pernah mengungapkan bahwa “ lebih baik melepaskan
seribu orang penjahat dari pada menghukum seorang yang tidak bersalah”.
Demikianlah besarnya perhatian dan perlindungan yang hendak diberikan
oleh hukum kepada orang yang tidak bersalah.22
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
21
RI. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, h. 66. 22
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, cet. III, (Jakarta: Djambatan, 2002),
h. 136.
59
merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-
undang yang boleh dipergunakan Hakim untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan. Dalam persidangan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena
membuktikan kesalahan terdakwa.23
Membuktikan ialah meyakinkan Hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah
diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka Hakim atau
Pengadilan.24
Dalam hal pembuktian hakim harus benar-benar adil dalam
mejatuhi putusan, jika memang salah maka harus dijatuhi hukuman
sebagaimana mestinya, tetapi jika memang tidak, maka orang itu harus
dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam
proses pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan
nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan dengan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa “dibebaskan” dari
hukuman. Sebaliknya, kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat
bukti yang disebut dalam pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah”
kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus berhati-
23
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), cet. VIII, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h. 274. 24
Subekti, Hukum Pembuktian, cet. XV, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005), h. 1.
60
hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian.
Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” dari setiap
alat bukti yang disebut dalam pasal 184 KUHAP.
Dalam hukum acara perdata yang dimaksud dengan membuktikan
yaitu meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan. Tetapi tidak semua dalil yang menjadi dasar
gugatan harus dibuktikan kebenarannya.
Macam-macam Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, di mana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Di
dalam KUHAP, macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP,
yaitu alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, serta keterangan terdakwa.
a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan. Semua orang dapat menjadi saksi, kecuali keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
derajat ketiga dari terdakwa, saudara dari terdakwa (seperti saudara ibu
atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan perkawinan,
dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga), suami atau istri
61
terdakwa meskipun sudah bercerai. Dalam persidangan yang harus
diterangkan yaitu apa yang saksi lihat, dengar dan saksi alami sendiri.25
Keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang
memiliki kekuatan pembuktian, jika dipenuhi aturan ketentuan seperti26
harus mengucapkan sumpah atau janji, memberikan keterangan saksi yang
bernilai sebagai bukti, keterangan saksi harus diberikan di sidang
pengadilan, seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
b. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan
menurut Pasal 168 KUHAP, keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan.
c. Keterangan Surat, selain Pasal 184 yang meyebutkan alat-alat bukti maka
hanya ada satu Pasal yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal
187 KUHAP. Menurut pasal ini, alat bukti surat adalah “surat yang dibuat
di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah jabatan”.27
Salah
satu contohnya seperti surat nikah.
d. Petunjuk, alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan
yang ada persesuaiannya baik antara yang satu dengan yag lain dan
25
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia,
(Jakarta: FIM, 2008), h. 10-21. 26
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), h. 286. 27
B. Fachri Nasution, Himpunan Naskah dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Pidana
Umum Kejaksaan Agung R.I, (Jakarta: Kejaksaan Agung R.I, 2000), h. 114.
62
apabila perbuatan itu dikaitkan akan memberi gambaran bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan dapat ditentukan pelakunya. Petunjuk
sebagaiama dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
e. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau alami
sendiri, keterangan ini digunakan untuk membantu menemukan bukti di
sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus
disertai dengan alat bukti yang lain.28
Alat bukti surat atau tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan serta
sumpah juga bisa dijadikan bukti dalam perkara perdata, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 164 HIR. Sumpah adalah pernyataan khidmat yang diucapkan pada
waktu memberi janji dan biasanya dengan mengucapkan sifat yang Maha Kuasa.
C. Putusan Hakim Terhadap Pembuktian Kekerasan Psikis
Mengenai kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga, penulis meneliti
dua putusan di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Negeri
28
Solahuddin, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata (KUHP,
KUHAP & KUHPdt), cet. I, (Jakarta: Transmedia, 2008), h. 194.
63
Kepanjen. Yang terjadi pada tahun 2010, dengan Nomor perkara
1167/Pdt.G/2010/PA.JT, dan pada tahun 2008 dengan Nomor perkara
1010/Pid.B/2009/PN.Kpj, penulis membahas dua putusan yang posisi kasusnya
sebagai berikut:
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
a. Posisi kasus
Perkara kekerasan psikis dalam rumah tangga dengan Nomor
perkara 1167/Pdt.G/2010/PA.JT. Adalah Hj.Antje Lasmini binti H.M
Dahlan, berstatus menikah dengan H.M. Yusuf bin mudehir, dengan
kutipan akte nikah No. 940/47/II/97. Hubungan penggugat dengan
tergugat cukup bahagia dan harmonis, walaupun selama perkawinan
berlangsung (15 tahun) belum dikarunia anak. Tetapi setelah beberapa
tahun perkawinan berlangsung, tergugat suka dan sering berlaku kasar,
menghina, merendahkan martabat penggugat selaku isteri, hingga tergugat
melakukan pernikahan yang kemudian hari diketahui penggugat telah
menikahi 2 orang wanita lain tanpa seijin dan sepengetahuan penggugat
selaku isteri yang sah. Akibat dari perbuatan tergugat, penggugat
mengalami penderitaan batin yang cukup dalam hingga jatuh sakit stroke
dan lumpuh sebelah.
b. Pertimbangan Hukum
Pertimbangan-pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur dalam perkara nomor 1167/Pdt.G/2010/PA.JT. yakni mengabulkan
64
gugatan penggugat seluruhnya dan menjatuhkan talak satu terhadap
tergugat. Didasari atas pertimbangan penggugat yang sudah berusaha
sedemikian rupa untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga dengan
tergugat, akan tetapi tidak berhasil, justru penggugat semakin menderita.
Pertimbangan selanjutnya yaitu Majelis Hakim menimbang
keterangan saksi-saksi, alat bukti tertulis, pertimbangan ini juga dikuatkan
dengan jawaban lisan yang pada intinya disimpulkan bahwa tergugat
membenarkan dalil-dalil yang dikemukakan penggugat serta tidak
keberatan bercerai dengan penggugat, setelah mendengar pernyataan
tergugat dan kedua saksi, maka Majelis Hakim berpendapat telah terbukti
tergugat melanggar Pasal 33 dan 34 Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan
Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat. Majelis Hakim juga
melihat tidak ada halangan secara Syariah dan peraturan perundang-
undangan, maka Majelis Hakim mengabulkan permohonan tersebut.
c. Putusan Terhadap Perkara
Dalam perkara ini setelah melihat fakta-fakta yang ada dan
berdasarkan pertimbangan hukum yang diambil, maka pengadilan telah
mengadili dan mengabulkan gugatan penggugat dan menjatuhkan talak
satu bain sughro tergugat H. M. Yusuf bin Mudehir terhadap penggugat
Hj. Antje Lasmini binti H. M Dahlan, serta mmerintahkan kepada panitera
Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk mengirimkan salinan putusan
tersebut kepada KUA kecamatan cakung kota Jakarta Timur, dan
65
membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp. 336.000 (tiga ratus tiga puluh enam ribu rupiah).
2. Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen
a. Posisi Kasus
Perkara kekerasan psikis dalam rumah tangga terjadi pada sekitar
bulan Oktober 2008, bahwa telah terjadi perbuatan kekerasan psikis dalam
lingkup rumah tangga terhadap korban Martha Agustin Sutanti, yang
dilakukan oleh terdakwa Edy Subagyo, yang dilakukan dengan cara Edy
Subagyo menanyakan baju dinasnya kepada saksi Martha Agustin (isteri
terdakwa) dijawab “coba saja cari dirumah” lalu terdakwa menjawab
“tidak ada, sudah saya cari” kemudian saksi Martha Agustin membantu
mencari, dan setelah ketemu oleh saksi Martha Agustin diberikan baju
tersebut kepada terdakwa dengan cara dilempar kearah muka terdakwa,
lalu terdakwa emosi dan menampar kedua pipi saksi Martha Agustin
sebanyak 4 kali, keesokan harinya saksi pulang ke rumah orang tuanya
dan di rumah itu ada seorang perempuan, sehingga saksi memarahinya.
Dan kemarahannya didengar oleh terdakwa, tetapi justru terdakwa
membela perempuan itu serta memarahi saksi yang notabene adalah isteri
terdakwa. Setelah pertengakaran tersebut saksi kembali pulang ke rumah
orang tuanya.
Pada tanggal 29 Oktober saksi bertemu terdakwa untuk menjemput
anaknya, terdakwa mencekik leher saksi, dan sejak saat itu terdakwa
66
dengan saksi tidak pernah bertemu dan terdakwa juga tidak memberikan
nafkah lahir dan batin kepada saksi sebagai isteri yang sah. Akibat dari
kejadian tersebut saksi Martha Agustin mengalami depresi berat, tetapi
emosi tetap dalam taraf stabil.
Sesuai dengan salah satu kesimpulan dari Rumah Sakit Daerah
Kanjuran Kepanjen pada tanggal 26 Juni 2009 yang dibuat dan ditanda
tangani oleh Yusti Silastuti Elvia Yunarini, S.Psi, Psikolog dengan laporan
hasil pemeriksaan bahwa korban seorang perempuan yang bernama
Martha Agustin Sutanti, pada pemeriksaan mengalami depresi berat, dan
emosi tetap dalam taraf stabil. Sebab luka batin atau depresi saksi korban
ini adalah akibat cekikan leher, tamparan, serta perilaku kekerasan lain
dan tidak diberikan nafkah lahir maupun batin, sehingga menimbulkan
depresi berat.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdakwa Edy Subagyo secara
sah tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
dakwaan primair, dan terbukti secara sah melakukan tindak pidana “telah
menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga”, sebagaimana
dakwaan susidair. Oleh karena itu terdakwa harus dijatuhi hukuman yang
setimpal dengan perbuatannya.
b. Pertimbangan Hukum
Pengadilan Negeri Kepanjen setelah membaca dan mendengar
tuntutan pidana oleh Jaksa Penuntut Umum, dalam perkara ini
67
menghadirkan saksi yang diajukan oleh penuntut umum masing-masing
yaitu: Martha Agustin Sutanti, Harinimus Buadi, Fransiska Lilik
Sumarliah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: terdakwa telah
menampar, mencekik serta mengatakan akan membunuh saksi dan tidak
memberi nafkah kepada Martha Agustin dan anaknya. Sedangkan saksi
Harinimus Buadi, Fransiska Lilik Sumarliah mengatakan bahwa dia
mengetahui sendiri Martha Agustin di pipinya ada bekas dipukul warna
merah, tetapi soal pemukulan saksi tidak tahu, dan terdakwa tidak pernah
menafkahi anak dan isterinya.
Terdakwa juga menyatakan bahwa benar terdakwa bekerja sebagai
Polri, terdakwa sudah tidak serumah lagi dengan saksi Martha Agustin,
bahwa terdakwa mengakui masalah yang terjadi dalam rumah tangganya
karena adanya perselingkuhan dengan wanita lain dan kepergok isteri.
Dan terdakwa juga menyatakan tidak pernah memberi nafkah kepada anak
dan isterinya, terdakwa juga pernah mengancam isteri, tetapi ancaman itu
tidak sunguh-sunguh hanya bermaksud agar isteri diam tidak berulah.
Selain itu, alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan yaitu hasil
pemeriksaan dari RSD kanjuran Kepanjen atas nama Martha Agustin.
Setelah menghadirkan alat bukti, maka Majelis Hakim
memutuskan dengan pertimbangan bahwa terdakwa didakwa oleh
Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu, primair melanggar Pasal 45 ayat
1 UU RI Nomor 23 Tahun 2004, sebagai berikut;
68
1. Setiap orang
2. Dilarang melakukan KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah
tangga, dengan cara kekerasan psikis
Terdakwa menampar bagian pipi korban sebanyak 2 kali dan
mencekik leher korban merupakan kekerasan dalam lingkup rumah tangga
dengan cara kekerasan psikis sebagaimana pada dakwaan primair. Maka
dipertimbangkan sebagai berikut; bahwa terdakwa dengan korban yang
ditampar sebanyak 2 kali di bagian pipi telah diakui terdakwa di
persidangan, diperkuat pula oelh keterangan saksi Harinimus buadi, dan
saksi Fransiska (orang tua korban) yang melihat pipi korban bekas
pukulan ada warna kemerahan akan tetapi pencekikan yang dilakukan
terdakwa terhadap korban dibantah terdakwa, walaupun telah terjadi
penamparan seperti yang diterangkan oleh korban bahwa esok hari setelah
terjadi penamparan, korban masih bisa bekerja di rumah sakit, berarti
korban tidak terhalang melakukan pekerjaan.
Perbuatan pengertian kekerasan psikis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b menurut UU KDRT adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang;
Perbuatan terdakwa yang melakukan penamparan sebanyak dua
kali, Majelis berpendirian, belumlah dikategorikan pengertian KDRT
69
karena akibat yang timbul dari penamparan tersebut, tidak berakibat
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 5 huruh b, dengan demikian unsur
di atas tidak terpenuhi, oleh karena salah satu unsur dari pasal dakwaan
primair tidak terpenuhi maka perbuatan terdakwa tidak terbukti dalam
dakwaan primair dan terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan primair
tersebut;
Terdakwa juga didakwa dengan dakwaan subsidair melanggar
Pasal 49 huruf a, sebagai berikut:
1. Setiap orang;
2. Dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut huku yang berlaku baginya ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut;
Bahwa dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa
diperoleh fakta di persidangan bahwa antara korban dengan terdakwa
bertengkar dikarenakan masalah baju dinas dan terjadi pemukulan dengan
cara menampar sebanyak dua kali oleh terdakwa terhadap korban
mengenai bagian pipinya. Pada hari berikutnya saksi datang ke rumah
terdakwa dan di rumah tersebut korban menemukan ada perempuan
selingkuhan terdakwa. Sejak korban pulang ke rumah orang tuanya
sampai sekarang, terdakwa tidak pernah lagi memberikan nafkah lahir
sepeti uang atau berupa barang dan nafkah batin kepada korban;
70
Berdasarkan alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan yaitu
saksi, keterangan surat dari rumah sakit daerah kanjuran, dan keterangan
dari terdakwa, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen
mengadili dan menjatuhkan hukuman pada terdakwa.
Menyatakan terdakwa bernama Edy Subagyo tersebut di atas tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana pada dakwaan primair. Membebaskan terdakwa dari
dakwaan primair. Menyatakan terdakwa Edy Subagyo terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana telah menelantarkan
orang lain dalam lingkup rumah tangganya. Menghukum terdakwa dengan
pidana penjara selama 3 bulan. Membebankan biaya perkara kepada
terdakwa sebesar Rp. 5.000 (lima ribu rupiah).
Demikian diputuskan yang mana diucapkan di muka sidang yang
terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal 30 Januari 2007 oleh
Hakim Ketua Syamsudin, SH. Dengan dihadiri oleh Hakim-hakim
anggota Sumedi, SH dan A. Asgari MD,SH. Panitera Pengganti
Pengadilan Negeri Kepanjen Lutfi Anwar, SH. Jaksa Penutut Umum
Gaguk Safrudin, SH. M. Hum. Dan terdakwa.
71
BAB IV
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI
A. Putusan Pengadilan Negeri Di Tinjau Dari Hukum Islam
Setelah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai pembuktian dalam
KUHAP dan dalam hukum acara perdata yang dimaksud dengan membuktikan
yaitu meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu persengketaan. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, bukti lebih dikenal
dengan istilah “al bayyinah” yang merupakan sinonim dari kata “al dalil wa al
hujjah” yang masing-masing berarti petunjuk dari argumentasi. Al bayyinah
(bukti) adalah semua hal yang bisa membuktikan sebuah dakwaan. Bukti juga
merupakan hujah bagi orang-orang yang mendakwa atas dakwaannya.1
Menurut pendapat di atas bukti adalah sesuatu yang bisa dihadirkan di
dalam persidangan, biasanya dalam persidangan baik Pengadilan Negeri maupun
Pengadilan Agama masing-masing pihak yang berperkara menghadirkan bukti
untuk membantunya dalam menyelesaikan perkara tersebut. Alat bukti yang dapat
dipergunakan dalam suatu pengadilan, menurut Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh
1 Abdurrahmann al-Maliki dan Ahmad ad-Daur, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam
Islam. Penerjemah Syamsuddin Ramadlan, dkk, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), h. 303.
72
al-Sunnah, menyatakan bahwa alat bukti yang dapat dipergunakan ada empat,
yaitu: Iqrar, Syahadah (kesaksian), sumpah, dan surat-surat yang mempunyai
kekuatan resmi. Sedangkan menurut pendapat para Fuqaha, alat bukti yang
dipergunakan adalah kesaksian, pengakuan, sumpah dan keterangan ahli.
Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk
membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafadz-lafadz kesaksian di
hadapan sidang pegadilan. Kesaksian telah ditetapkan dalilnya. Al-Kitab dan as-
Sunnah telah menetapkan dengan amat jelas hukum-hukum kesaksian.2 Allah swt
berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 282
.....
.....2282
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan( QS. al-Baqarah [2]: 282)
Pengakuan atau Iqrar yaitu pernyataan dari penggugat atau tergugat atau
pihak-pihak lainnya mengenai ada tidaknya sesuatu. Iqrar adalah pernyataan
seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan
persetujuan pihak lain. Iqrar atau pengakuan dapat diberikan di muka hakim di
2 http://luthfibandung.blogspot.com/2010/12/sistem-hukum-persanksian-dan-peradilan.html.
73
persidangan atau di luar persidangan.3 Dalam hal ini pernyataan yang diucapkan
oleh penggugat dan tergugat haruslah pernyataan yang benar, tidak merekayasa.
Karena pernyataan yang benar dapat membantu hakim dalam memutuskan sebuah
perkara.
Sumpah menurut bahasa hukum Islam disebut al amin atau al hiff tetapi
kata al yamin lebih umum dipakai. Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat
yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan
mengingat sifat maha kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi
keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh Nya. Pada dasarnya,
sumpah ini adalah dari pihak yang digugat atau dituntut.
Seseorang yang telah disumpah dengan mengigat sifat Allah, maka orang
tersebut haruslah memberikan kesaksiannya dengan pernyataan yang jujur, benar,
dan tidak merekayasa. Karena janji yang telah diucapkannya adalah
menggunakan atau dengan mengigat sifat Allah.
Ahli bukti sumpah ini bermacam-macam sumpah ini ada yang memiliki
bentuk tersendiri, seperti sumpah Li’an (dalam perkara zina) dan sumpah
Qasamah (di lapangan pidana), bagaimanapun juga, selain dari sumpah Li’an dan
sumpah pemutus, alat bukti sumpah tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, hakim
tidak bisa memutus hanya semata-mata berdasarkan kepada sumpah tanpa disertai
3 Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2005), h. 135.
74
oleh alat bukti lainnya. Sumpah hanyalah merupakan salah satu alat bukti dapat
diandalkan untuk pengambilan putusan terakhir.4
Keterangan ahli atau Al-Khibrah ialah setiap orang yang mempunyai
keahlian tertentu terhadap suatu masalah. Kadang-kadang untuk memastikannya
penyelidikan suatu masalah, perlu kemampuan khusus, baik teknik maupun
ilmiah, maka ini dipergunakan dalam pemeriksaan. Seperti bila diperluakan untuk
memeriksa sebab kematian pada jarimah pembunuhan, atau menyelidiki bahan
makanan pada jarimah keracunan dan lain-lain.5 Biasanya dalam hal ini adalah
dokter, karena memang dokterlah salah satu bukti yang dapat membantu
memudahkan hakim dalam memutuskan sebuah perkara.
Pada Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen perkara nomor
1010/Pid.B/2009/PN.Kpj mengenai kekerasan psikis, dalam persidangan perkara
tersebut alat bukti yang dihadirkan adalah alat bukti saksi, dan keterangan
terdakwa. Dalam memutuskan perkaranya hakim merujuk pada UU No. 23 Tahun
2004. Undang-undang ini merupakan bentuk hasil pemikiran yang diatur secara
komprehensif, jelas dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban,
serta sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat dan
aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan
terhadap martabat manusia yang dapat menghilangkan kemerdekaan orang lain.
4 Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 137.
5 Usman Hasyim dan M. Ibnu Rachman, Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayat Islam, cet.
I, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), h. 99.
75
Bahwa dalam perkara tersebut terdakwa sering berperilaku kasar terhadap
isterinya seperti menampar, mencekik dan terdakwa juga telah membawa wanita
lain ke rumahnya, sehingga membuat isteri marah. Terdakwa juga tidak
memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya, sehingga isteri memutuskan untuk
tinggal di rumah orang tuanya. Padahal penyebab terjadinya tindak kekerasan itu
hanya karena terdakwa menanyakan baju dinas kepada isterinya dan isteri
memberikan bajunya dengan cara dilempar ke muka terdakwa. Terdakwa emosi
karena isterinya melemparkan baju ke muka terdakwa, sehingga terdakwa
menampar kedua pipi isteri sebanyak empat kali.
Perilaku terdakwa sebagai aparat penegak hukum tidaklah mencerminkan
sebagaimana mestinya seorang penegak hukum. Padahal terdakwa adalah seorang
aparat kepolisian yang mana, terdakwa semestinya dapat memberikan contoh
kepada masyarakat terlebih lagi kepada keluarganya. Bukan sebaliknya yang
melakukan kekerasan terhadap isterinya serta menelantarkan isteri dan anaknya,
dengan cara tidak memberikan nafkah lahir maupun nafkah batin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam putusan Pengadilan Negeri
Nomor 1010/Pid.B/2009/PN.Kpj. putusan tersebut tidak sah, karena tidak terbukti
dan tidak sesuai dengan hukum Islam, dalam putusan ini keterangan ahli tidak
dijadikan hakim sebagai alat bukti. Padahal keterangan ahli dari hasil
pemeriksaan Psikologi Yusti Silastuti Elvia S.Psi, dari RSUD Kanjuran Kepanjen
menyatakan bahwa korban mengalami depresi berat yang bisa dijadikan alat bukti
76
dalam kekerasan psikis. Hakim di sini dalam memutuskan perkaranya kurang
teliti dan mencermati, karena jika setiap perkara semua hakim tidak memakai
keterangan ahli dalam pembuktian kekerasan psikis, maka tidak akan pernah
kekerasan psikis pada Pengadilan Negeri bisa dibuktikan.
B. Putusan Pengadilan Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam
Hakim dalam memutuskan perkara kekerasan psikis di Pengadilan Agama
Jakarta Timur Nomor 1167/Pdt.G/2010/PA.JT, alat bukti yang dihadirkan dalam
persidangan yaitu alat bukti saksi, keterangan surat, keterangan ahli. Dalam
memutuskan perkaranya Hakim merujuk pada UU No.1 Tahun 1974, Undang-
undang ini merupakan bentuk hasil usaha dalam mengatur permasalahan
perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 peraturan ini adalah sebagai
penjelas atau pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 berikut ketentuan pidana, jika
terjadi pelanggaran hukum di dalam pelaksanaannya.
Selain itu Majelis Hakim juga merujuk pada Kompilasi Hukum Islam
(KHI), KHI ini lahir dari semangat para ulama yang tersebar diseluruh Indonesia,
yang bertujuan adalah selain mempositifkan hukum syariat Islam dalam bidang
keperdataan, juga untuk mengkodifikasikan kitab fikih yang digunakan di
Pengadilan Agama, dan Al-Qur’an dalam surat Ar-Rum ayat 21. Bahwa setiap
77
tujuan pernikahan membentuk keluaraga sakinah mawadah wa rahmah,
mengambil sandaran hukum pada ketentuan ayat diatas.
Pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur perkara Nomor
1167/Pdt.G/2010/PA.JT suami tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai
suami, yaitu melindungi isteri dari segala macam bahaya yang mengancam diri
isteri. Dalam perkara tersebut suami sering berkata-kata kasar, menghina,
merendahkan martabat isteri.
Suami juga pernah menggusirnya dari tempat tinggal kediaman bersama,
padahal isteri sedang menderita sakit stroke. Pada saat isteri di rawat di rumah
sakit, suami juga tidak mau merawatnya. Bahkan suami menuduh adik isteri
mencuri harta benda yang dimilikinya dan mengancam akan menghancurkan
seluruh keluarga penggugat selaku isteri, karena adik penggugat mengambil
pakaian penggugat di rumahnya.
Pada saat isteri sedang dirawat di rumah sakit, suami tidak bersedia
menanggung biaya perawatan. Padahal seharusnya menjadi tanggung jawab
suami, karena masih berstatus suami isteri yang sah. Bahkan tanpa
sepenggetahuan isteri, suami telah menikahi dua orang wanita lainnya tanpa seijin
penggugat selaku isteri. Perbuatan suami tersebut sudah tidak lagi
78
menggambarkan kewajiban dari seorang suami, karena perbuatan terhadap
isterinya sangat merugikan dan menyakiti perasaan korban selaku isteri.
Menurut penulis putusan Pengadilan Agama Nomor
1167/Pdt.G/2010/PA.JT telah sesuai dengan hukum Islam, karena dalam putusan
itu pihak yang berperkara tidak bisa melaksanakan kewajiban suami isteri
sebagaimana mestinya seperti yang telah disebutkan di pembahasan awal bahwa
kewajiban suami adalah melindungi isterinya, tetapi dalam hal ini suami telah
melanggar kewajibannya.
C. Relevansi Hukum Islam dan Hukum Positif Tentang Pembuktian Kekerasan
Psikis
Dalam hukum pidana Islam ada dua istilah yang digunakan oleh para
fuqaha untuk menjatuhkan tindak pidana atau kejahatan, pertama jarimah dan
kedua jinayah. Jarimah adalah perbuatan yang dilarang, jarimah terbagi dalam
tiga kubu besar jarimah hudud, jarimah diyat, dan jarimah ta’zir.6
Jarimah hudud adalah jarimah atau hukuman yang telah ditentukan Allah
dan merupakan hak Allah. Jarimah diyat adalah jarimah yang dikenakan
hukuman pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhdap jiwa
atau anggota badan. Jarimah ta’zir adalah jarimah yang belum ada ketentuan
6 Muhammad Ichsan dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, cet. I,
(Yogyakarta: Lab. Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2008), h. 67.
79
nasnya dalam Al-qur’an. Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan
diterima oleh si tersangka/ si pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di tekankan
pada hukuman yang diberikan oleh pemerintah/ kekuasaan mutlak berada di
tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak boleh bertentangan
dengan hukum Allah SWT.
Dilihat dari hak yang dilanggar, ta’zir dapat dibagi menjadi dua bagian:
pertama, yang berkaitan dengan hak Allah. Yaitu segala sesuatu yang berkaitan
dengan kemaslahatan umum. Seperti pencurian, penimbunan bahan pokok dan
lain-lain. Bisa dikatakan juga dengan hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang
karena meninggalkan kewajiban, seperti tidak membayar zakat. Kedua, yang
berkaitan dengan hak perseorangan, yaitu perbuatan yang mengakibatkan
kerugian kepada orang tertentu atau bisa juga sabagai suatu siksaan yang
dijatuhkan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syariat, seperti penipuan,
pengkhianatan, penghinaan dan lain-lain.
Sedangkan Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara terperinci
kepada beberapa bagian7, yaitu jarimah ta’zir yang berkaitan dengan
pembunuhan. Dalam masalah pembunuhan itu diancam dengan hukuman mati
atau qisas. Tapi apabila qisas dimaafkan maka hukumannya adalah diyat. Dan
jika diyatnya dimaafkan maka Ulul Amri berhak menjatuhkan ta’zir bila hal ini
7 http://students.sunan-ampel.ac.id/ryana/2011/01/05/makalah-tazir.
80
dipandang lebih maslahat. Jarimah ta’zir yang berhubungan dengan pelukaan.
Menurut Imam Malik, hukuman ta’zir dapat digabungkan dengan qishash dalam
jarimah pelukaan, karena qishash merupakan hak adami, sedangkan ta’zir sebagai
imbalan atas hak masyarakat. Di samping itu, ta’zir juga dapat dikenakan
terhadap jarimah pelukaan apabila qisas nya dimaafkan atau tidak bisa
dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’. Jarimah ta’zir
yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak.
Jarimah macam ini berkaitan dengan jarimah zina, menuduh zina, dan
penghinaan.
Di antara kasus perzinaan yang diancam dengan ta’zir adalah perzinaan
yang tidak memenuhi syarat yang dikenakan hukum had, atau terhadap syubhat
dalam pelakunya, perbuatannya, atau tempat. Tuduhan-tuduhan selain tuduhan
zina digolongkan kepada penghinaan dan statusnya termasuk kepada ta’zir,
seperti tuduhan mencuri, mencaci maki dan sebagainya. Panggilan-panggilan
seperti wahai kafir, wahai munafik, wahai fasik, dan semacamnya termasuk
penghinaan yang dikenakan hukuman ta’zir. Karena panggilan tersebut termasuk
perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Kekerasan rumah tangga dalam Islam merupakan salah satu perbuatan
jarimah ta’zir, dalam perkara KDRT seperti menghina serta berkata-kata kasar
dapat dikatagorikan dengan hukuman celaan. Jika menurut hakim si pelaku
81
jarimah ta’zir cukup dikenakan hukuman celaan untuk memperbaikinya maka Ia
boleh melakukannya. Apabila dalam rumah tangga yang dialami isteri maupun
suami dalam KDRT salah satu pihak ada yang mengancam dalam hal apa pun,
maka masuk dalam hukuman ancaman. Seperti ancaman suami kepada isterinya,
“akan saya bunuh kamu”. Hukuman ancaman itu adalah hukuman ta’zir, tapi
dengan syarat bukan ancaman palsu sehingga hakim bisa memberi hasil yang
cukup untuk memperbaiki si pelaku jarimah. Seperti kata-kata hakim, “jika kamu
masih mengancam isteri kamu, maka kamu akan saya kenakan sanksi”. Kata-kata
seperti itu merupakan hukuman ancaman bagi pelaku.8
KDRT yang menyebabkan perbuatan seseorang mencederai anggota
badan korban atau memberi dampak atas keselamatannya, termasuk dalam
katagori jarimah qisas wa diyat contohnya pencederaan sengaja seperti mencekik,
mencederai, menampar, maka hukumannya adalah qisas. Jika qisas tidak bisa
dilaksanakan maka digantikan dengan dua hukuman pengganti yaitu diyat dan
ta’zir. Mencekik, menampar bahkan memukul masuk dalam bentuk kekerasan
fisik, yang mana kekerasan fisik mempunyai bekas luka yang mudah dilihat
dengan mata, dan dapat diketahui oleh semua orang. Lain halnya dengan
kekerasan psikis yang sangat sulit untuk diketahuinya, kecuali orang yang
mempunyai keahlian khusus.
8 Muhammad Ichsan dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, cet. I,
(Yogyakarta: Lab. Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2008), h. 193.
82
Sedangkan KDRT yang tidak menyebabkan pencenderaan terhadap
korban, atau tidak meninggalkan bekas, termasuk dalam pencederaan tidak
sengaja. Tidak ada qisas jika tidak meninggalkan bekas. Jadi hukumannya adalah
hukumah (diyat yang tidak ditentukan).9 Jadi dalam penjatuhan sanski, hukuman
yang akan diberikan adalah membayar ganti rugi yang belum ditentukan
besarnya.
Jadi KDRT merupakan perbuatan yang merusak kemerdekaan seseorang.
Kemerdekaan seseorang di sini adalah mengambil hak-hak orang lain. Sanksi
yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang yang terpenting dalam hal ini
adalah penjara dengan berbagai macamnya dan pengasingan. Tujuan dari
penjatuhan sanksi itu agar tidak ada lagi kekerasan yang terjadi dalam kehidupan
berumah tangga. Terutama bagi para pelaku KDRT agar tidak mengulangi
kesalahannya dan menyayangi serta melindungi isterinya sebagaimana mestinya.
Penulis berpendapat bahwa hukuman atau sanksi bagi pelaku KDRT harus
sesuai dengan apa yang dilakukannya, agar para pelaku tidak melakukan
kekerasan lagi terutama terhadap isteri, dan anaknya atau sebaliknya. Sedangkan
dalam hukum positif KDRT di atur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yang mana dalam undang-undang
ini dibuat untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku kekerasan dalam
9 Muhammad Ichsan dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, h. 181.
83
rumah tangga, dan melindungi korban KDRT. Sanksi atau hukuman yang
diberikan bagi pelaku KDRT diatur dalam Pasal 44 sampai Pasal 49, hukumannya
yaitu pidana penjara dan denda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan
oleh pelaku.
Sedangkan dalam KUHP buku kedua kejahatan KDRT masuk dalam bab
XX tentang penganiayaan Pasal 351 & Pasal 352. Dalam Pasal 351 penganiayaan
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika mengakibatkan luka berat, maka
diancam pidana paling lama lima tahun.
Pasal 352 penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan jabatan, diancam karena penganiayaan ringan, dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. Salah satu contoh KDRT yang dilakukan pelaku berupa penamparan,
memukul atau hal lainnya yang menimbulkan atau tidak menimbulkan bekas luka,
maka dalam KUHP masuk dalam bab penganiayaan. Karena perbuatan suami
tersebut telah melanggar ketentuan bahwa suami adalah pelindung bagi isteri.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas penulis berkesimpulan, bahwa
dua sistem hukum antara hukum Islam dan hukum positif sama-sama memberikan
sanksi yang berat bagi para pelaku kekerasan psikis. Meskipun dalam hukum
84
Islam tidak ada ketentuan berapa lama seseorang dikenakan pidana penjara dan
denda. Penjatuhan saksi pidana penjara dan denda kepada para pelaku kekerasan
dalam rumah tangga merupakan hal yang paling tepat, karena seseorang yang
melakukan perbuatan kekerasan atau menyakiti orang lain telah melanggar
kemerdekaan seseorang yang mana harus dikenakan sanksi pidana penjara.
Karena dalam hukum Islam melakukan kekerasan sama saja dengan merampas
kemerdekaan milik orang lain. Mengambil hak-hak yang dimiliki oleh orang itu.
Padahal sudah jelas bahwa setiap orang masing-masing mempunyai hak
kemerdekaan dalam hidupnya, tetapi masih saja ada orang-orang yang tidak bisa
menghargai dan menghormati hak orang lain itu. Terlebih lagi yang paling
ditakutkan adalah orang yang merampas kemerdekaan itu adalah orang terdekat,
seperti keluarga, suami ataupun isteri.
Seseorang yang dianggap dekat dan dapat melindunginya, pada
kenyataannya tidak seperti yang diharapkan. Seperti seorang suami yang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteriya seperti kekerasan
fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan lain yang menyebabkan isteri merasa
dirinya terancam, akibat dari perbuatan suami tersebut.
Bahwa dalam kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga, yang menimpa
seorang isteri dalam kasus di atas sangatlah sulit dibuktikan, karena kekerasan
85
psikis merupakan kekerasan yang mengakibatkan penderitaan batin dalam diri
seseorang. Dalam hal ini harus benar-benar adanya bukti di dalam persidangan
yang bisa dijadika petunjuk apakah seseorang mengalami kekerasan psikis atau
tidak. Salah satu alat buktinya dapat berupa surat keterangan dari dokter ataupun
psikolog.
Keterangan dokter ataupun psikolog di sini, adalah keterangan yang paling
dibutuhkan hakim dalam proses persidangan. Karena dalam perkara kekerasan
dalam rumah tangga terutama perkara kekerasan psikis, yang dianggap
pernyataannya dapat meyakinkan hakim adalah keterangan dari dokter itu sendiri.
Sebab dalam memberikan kesaksiannya dokter atau psikolog itu memberikan
kesaksian berdasarkan keahlian yang dimilikinya tidak memberikan keterangan
kepada hakim yang tidak benar atau merekayasa.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, maka
sebagai akhir dari bagian ini penulis dapat menarik kesimpulan. Bahwa kekerasan
dalam rumah tangga adalah sebuah bentuk kriminalitas atau jarimah yaitu
tindakan melanggar peraturan yang telah ditentukan oleh syariat Islam dan
termasuk kedalam kategori kejahatan.
Sedangkan dalam UU No. 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Dari hasil penelitian penulis mendapatkan kesimpulan:
1. Hakim dalam memutuskan perkara Nomor 1010/Pid.B/2009/PN.Kpj. tentang
kekerasan psikis, dalam hal pembuktian hakim melihat alat bukti yang
dihadirkan dalam persidangan berupa keterangan saksi, keterangan terdakwa
Dalam perkara tersebut, hakim merujuk pada UU No. 23 Tahun 2004 dan
KUHAP. Berdasarkan alat bukti di atas hakim memutuskan, menyatakan
terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan primair dan
87
terbukti melakukan tindak pidana menelantarkan orang lain dalam lingkup
rumah tangganya dalam dakwaan subsidair.
Sedangkan dalam perkara Nomor 1167/Pdt.G/2010/PA.JT pembuktian yang
dihadirkan dalam persidangan adalah saksi, keterangan ahli, dan keterangan
surat. Dalam memutuskan perkara Hakim merujuk pada UU No. 1 Tahun
1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dan KHI. Dalam perkara
tersebut salah satu pihak yaitu suami tidak bisa menjalankan kewajibannya
sebagai suami untuk melindungi isteri. Berdasarkan pertimbangan hukum,
maka Hakim memutuskan mengabulkan gugatan penggugat dan menjatuhkan
talak satu bain sughro tergugat H.M Yusuf bin Mudehir terhadap Penggugat
Hj. Antje Lasmini binti H. M. Dahlan.
2. Pandangan hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Nomor
1010/Pid.B/2009/PN.Kpj. putusan tersebut tidak sah, karena tidak terbukti dan
tidak sesuai dengan hukum Islam, dalam putusan ini keterangan ahli tidak
dijadikan hakim sebagai alat bukti. Padahal keterangan ahli dari hasil
pemeriksaan Psikologi Yusti Silastuti Elvia S.Psi, dari RSUD Kanjuran
Kepanjen menyatakan bahwa korban mengalami depresi berat yang bisa
dijadikan alat bukti dalam kekerasan psikis. Sebagaimana dalam hukum Islam
keterangan ahli dapat dijadikan sebagai alat bukti.
Sedangkan dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor perkara
1167/Pdt.G/2010/PA.JT alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan yaitu
keterangan surat, keterangan ahli, dan saksi. Dalam putusan ini menurut
88
penulis telah sesuai dengan hukum Islam, karena dalam hal pembuktian alat
buktinya telah sesuai dengan alat bukti yang ditentukan oleh Syara. Hakim
juga melihat bahwa pihak yang berperkara tidak bisa melaksanakan
kewajibannya sebagai suami yang harus melindungi isterinya sebagaimana
yang telah ditentukan dalam KHI dan UU No 1 Tahun 1974.
B. Saran
Sosialisasi undang-undang terhadap masyarakat harus terus dilakukan,
karena sampai saat ini banyak masyarakat yang belum tahu tentang UU PKDRT.
Sosialisasi pertama difokuskan kepada aparat penegak hukum, dan masyarakat
dengan memberi penyuluhan-penyuluhan masalah hukum dan perlu menanamkan
perilaku tidak adanya diskriminasi kepada perempuan. Sosialisasi kedua kepada
kalangan agamawan dan pemuka agama untuk mengubah kultur dan interpretasi
agama. Sosialisasi ketiga yang dilakukan oleh lembaga bantuan hukum harus
memberikan pemahaman tentang kesetaran gender, bahwa perempuan
mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki.
Diharapkan bagi para korban KDRT terutama para istri jangan takut untuk
melaporkan kasusnya pada pihak yang berwenang, terutama kepada keluarga
sendiri, karena kalau hal seperti ini dibiarkan terus menerus, mereka akan
menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang sudah biasa dan
mereka para korban sama saja membiarkan kekerasan dalam rumah tangga
sebagai suatu perbuatan yang wajar dilakukan bagi para suami.
89
Penulis juga mengharapkan kepada semua masyarakat yang melihat atau
mengetahui adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga, dapat membantu atau
melaporkan bahwa telah terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga kepada
pihak yang berwajib. Meskipun masalah rumah tangga merupakan masalah
internal tetapi apabila sudah terjadi suatu kekerasan yang menyebabkan orang lain
menderita, maka menjadi masalah eksternal yang harus mendapatkan perhatian
dari pihak lain.
90
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim, Departemen Agama RI.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika
Pressindo, 2007, Cet. Ke-5.
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Perdata, dan Korupsi di
Indonesia, Jakarta: FIM, 2008.
Annisa, Rifka, “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)”, Paket
Informasi, Jogyakarta: Women’s Crisis Center.
Al Asqolani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Semarang: PT. Toha Putra.
Al Sendany, Abduttawab Haikal Ilyas Ismail et. Al (pent), “Rahasia Rasullullah
Saw, Poligami Dalam Islam Versus Monogamy Barat”, Jakarta: Pedoman Ilu
Jaya, 1988.
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, Jakarta: Amzah, 2010, Cet. Ke-1.
Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah & Hukum, 2007. Cet.
Ke-1.
Dewi Gemala, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2005.
Ensiklopedia Nasional Indonesia, jilid ke-1.
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), Cet. Ke-1.
Farha, Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (belajar dari
kehidupan Rasulullah SAW), Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender,
1999, Cet. Ke-1.
F. Ma’udi, Masdar, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung: PT. Mizan
Hazanah Ilmu-ilmu Islam, 1997, Cet. Ke-2.
Hamidy, Mu’ammal, dkk, Nailul Authar Himpunan Hadis-hadis Hukum, Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 2001, Cet. Ke-3.
Hamka, Tafsir al- Azhar, Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
91
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet. Ke-8.
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Siraja, 2003,
Cet. Ke-1.
Herkunanto, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam
buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung: PT. Alumni,
2000.
Ichsan, Muhammad dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif,
Yogyakarta: Lab. Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2008, Cet.
Ke-1.
“Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)”, Paket Informasi, Rifka
Annisa Women’s Crisis Center, Jogyakarta.
Maktabah al-Syamilah.
Marhijanto, Bambang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Bintang Timur,
1995, Cet. Ke-1.
Marlia, Milda, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, Yogjakarta: PT. LkiS
Pelangi Aksara, 2007, Cet. Ke-1.
Moleong, Lexy. J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004.
Mufidah ch, Penghapusanya Kekerasan TerhadapPerempuan dan Anak Dalam
Perspektif Islam “makalah sosialisasi PKDRT di Kabupaten Malang.
Mufidah et al, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Panduan Pemula
Untuk Pendampingan Korban Kekereasan Terhadap Perempuan dan Anak,
PT. PSG dan Pilar Media, 2006.
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN, 2008, Cet.
Ke-1.
Muhammad, Husen, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren,
Yogjakarta: Lkis, 2004, Cet. Ke-1.
92
Mulyati, Sri, “Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-
undang No. 23 Tahun 2004 dan Hukum Islam”, Skripsi S1 Fakultas Syariah,
STAIN Salatiga, 2007.
Nasution, B. Fachri, Himpunan Naskah dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara
Pidana Umum Kejaksaan Agung R.I, Jakarta: Kejaksaan Agung R.I, 2000.
Nazar Bakri, Sidi, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (keluarga yang sakinah), Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993, Cet. Ke-1.
Poerwandari, Kristi, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan Psikologis dalam
buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung: Alumni, 2000.
Prinst, Darwan, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, 2002, Cet.
Ke-3.
Rasaid, M. Nur, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. Ke- 4.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: CV. Sinar Baru,
1988, Cet. Ke-21.
Rhodo, dalam Aroma Elmina, Perempuan Kekerasan dan Hukum, Yogyakarta: UII
Pres, 2003.
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2006, Cet. Ke-1.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Sayyid, Quth, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. Ke-1.
Solahuddin, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata (KUHP,
KUHAP & KUHPdt), Jakarta: Transmedia, 2008, Cet. Ke-1.
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005, Cet. Ke-15.
Syaikh Salim, Syarah Riyadhush Shalihin. Penerjemah M. Abdul Ghoffar E.M, T.tp,
PT. Pustaka Imam asy- Syafi’i, 2005, Cet.Ke-3.
Syukri, A. Juaini, Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut
Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam, Jakarta: PT. Magenta Bhakti
Guna, 1983, Cet. Ke-1.
93
Thalib, Muhammad, Ketentuan Nafkah Istri dan Anak, Bandung: PT. Irsyad Baitus
Salam, Cet. Ke-1.
Tihami, M.A. dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besarrr
edisi ke 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, Cet. Ke-7.
Umar, Nasruddin, Fikih Wanita Untuk Semua, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2010, Cet. Ke-1.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan & Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Jakarta: Visi Media, 2007, Cet. Ke-1.
Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, Bandung: PT. Refika Aditama, 2001, Cet. Ke-1.
Zumrotun, Siti, Membongkar Fiqh Praktis; Refleksi atas Keterbelengguan
Perempuan dalam Rumah Tangga, STAIN Press, 2006, Cet. Ke-1.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/kekerasan%20rt%sukerti.pdf.
http://students.sunan-ampel.ac.id/ryana/2011/01/05/makalah-tazir/
http://www.docstoc.com/docs/37753855/BAB-II-KDRT
http://www.google.co.id/#hl=id&xhr=t&q= PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ISTERI YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN SUAMI
http://www.lbh-apik.or.id/kdrt-bentuk.htm.
http://www.masbied.com/2011/02/23/tinjauan-umum-tentang-kekerasan-dalam-
rumah-tangga.
http://www.voa-islam.com/counter/christology/2011/07/21/15630/alquran-atau-bibel-
pemicu-kdrt-menjawab-gugatan-forum-murtadin-kafirun.
http://luthfibandung.blogspot.com/2010/12/sistem-hukum-persanksian-dan-
peradilan.html.
http://putriraturetno.blogspot.com/2010/05/Dampak-Kekerasan-Rumah-Tangga-
Terhadap.html.
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125