Download - TODDO PULI TEMMALARA
TODDO PULI TEMMALARA:JENDELA DENGAN KACA YANG BENING
TENTANG MANUSIA LUWU
Oleh
Mashadi Said
(Universitas Gunadarma, Jakarta, Indonesia)
Disajikan padaFestival Galigo dan Seminar Internasional
SawerigadingDi Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Indonesia
Tanggal 10-14 Desember 2003
0
TODDO PULI TEMMALARA:JENDELA DENGAN KACA YANG BENING
TENTANG MANUSIA LUWU
Oleh
Mashadi Said
(Universitas Gunadarma, Jakarta, Indonesia)
Abstrak
Sejarah panjang perjalanan manusia Luwu dimulai sejak kehadiran Tomanurung di Tanah Luwu, kehadiran Islam sampai pada penjajahan Belanda dan Jepang serta kemerdekaan yang diwujudkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perjalanan panjang itu, sebagai suatu masyarakat yang berdaulat, Luwu memiliki kekayaan budaya. Wujud kebudayaan disimbolkan dengan sebuah ungkapan yang sangat terkenal di kalangan manusia Luwu, yaitu “Toddo Puli Temmalara”. Ungkapan ini telah diabadikan pada sebuah monumen yang berdiri tegak di jantung Kota Palopo, Luwu yang merupakan “jendela dengan kaca yang bening” adalah untaian kata yang memiliki makna yang dalam mengenai manusia luwu. Toddo Puli Temmalara mengandung makna seperti yang tergambar dalam konstruk berikut:
Sadda, mappabati AdaAda, mappabati GauGau mappabati Tau
Tau … sipakatauMappaddupa
NasabaEngkai Siri’ta nennia Pesseta
NassibawaiWawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng,
tenricau, maradeka nennia assimellerengMakkatenni Masse ri
Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullenaAlla Taala
Berdasarkan konstruk inilah, manusia Luwu berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci: Toddo Puli Temmalara, mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng,
maradeka
1
PENDAHULUAN
Jika pada sajian ini digunakan istilah “manusia Luwu”, maka yang perlu dicatat
adalah istilah ini tidak bermaksud mendeskripsikan manusia Luwu seadanya (seperti
pengamatan seorang sosiolog di lapangan). Deskripsi ini berusaha memberikan suatu
konstruk teoretis tentang konsep jati diri manusia Luwu menurut paham Max Weber,
yakni “bebas” dari realitas. Jadi, gambaran tentang manusia yang dideskripsikan pada
paparan ini adalah sesuatu yang abstrak, lokasinya berada dalam alam pikiran warga
manusia Luwu. Gambaran itu merupakan hasil dari pengalaman, penghayatan, yang
selanjutnya dikonstruksikan secara analitik.
Konstruk teoretis tentang jati diri manusia Luwu yang dipaparkan dalam makalah
ini merupakan perwujudan dari analisis mengenai kepustakaan Luwu yang disebut
Lontara, hasil-hasil analisis para cendekiawan mengenai peradaban Luwu dan Bugis pada
umumnya, serta pengalaman yang kami terima sebagai putra luwu, yang dilahirkan dan
dibesarkan di tanah Luwu. Kepustakaan yang digunakan untuk mengembangkan konstruk
tentang manusia Luwu meliputi berbagai Lontara, seperti Lontara Paseng, Lontara
Maplina Sawerigading Ri Saliweng Langi, Lontara Sukkuna Wajo, dan Lontara Latoa,
serta berbagai hasil kajian dan pemikiran cendekiawan, seperti Mattulada, Zainal Abidin
Farid, Hamid Abdullah, Fachruddin Ambo Enre, Anhar Gonggong, Harvey, Daeng
Mattata, Daeng Mangemba, Andaya, dan lain-lain mengenai manusia Luwu dan Bugis
pada umumnya.
KONSTRUK MANUSIA LUWU
Dari data yang ditemukan dalam kepustakaan Luwu serta hasil-hasil kajian para
cendekiawan manusia Luwu dapat dikonstruksikan sebagai berikut:
Sadda, mappabati Ada
(Bunyi mewujudkan kata)
2
Ada, mappabati Gau
(Kata mewujudkan Perbuatan)
Gau, mappabati Tau
(Perbuatan Mewujudkan Manusia)
Tau … sipakatau
(Manusia Memanusiakan Manusia)
Mappaddupa
(Membuktikannya dalam Dunia Realitas)
Nasaba
(Karena)
Engkai Siri’ta nennia Pesseta
(Kita Memiliki Siri dan Pesse)
Nassibawai
(Disertai dengan)
Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng,
tenricau, maradeka nennia assimellereng
(Kesucian hati, kejujuran, keteguhan, keberanian, kerja keras dan
ketekunan, kecendekiaan, daya saing yang tinggi, kemerdekaan,
kesolideran)
Makkatenni Masse ri
(Berpegang teguh pada)
Panngaderengnge na Mappasanre ri elo ullena
(Panngadereng serta bertawakal kepada)
Alla Taala
(Kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa)
Konstruk tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Bunyi merupakan hasil dari
persentuhan benda-benda atau keadaan yang menghasilkan nuansa khas, berupa bunyi-
bunyi. Bunyi-bunyi itu dipandang khas dan memiliki nilai serta kekuatan yang dianggap
luar biasa. Anggapan atas kekuatan itu dihubungkan dengan ilmu gaib yang dapat
digunakan untuk mendapatkan kekuatan lahir maupun batin. Hal inilah yang
3
menimbulkan dorongan kuat yang menampilkan pribadi yang teguh dalam menghadapi
masalah-masalah kehidupan yang terjelma sebagai sikap, prilaku dan temperamen, baik
pada individu maupun pada kelompok masyarakat.
Orang-orang tua atau leluhur Luwu menamakannya ilmu-ilmu gaib itu sebagai
paddissengeng, dengan segala macam bentuknya, seperti sadda tellu. Sadda paggerra,
sadda paremma, cenningrara, dan akebbengeng, wawangpurane. Jika kata-kata yang
digunakan dalam paddissengeng tersebut dianalisis secara cermat, maka dijumpai suatu
makna yang amat meresap ke dalam emosi seseorang yang menimbulkan dorongan yang
kuat yang menciptakan pribadi yang tangguh untuk menguasai dunia makro kosmos.
Sebagai contoh, untuk memberi keyakinan pada seseorang dalam menghadapi masalah
supaya nyali dan keberaniannya bertambah, wawangpurane (kelaki-lakian) berikut
dibaca ketika bangun tidur pada pagi hari atau sebelum meninggalkan tempat tidur sambil
duduk bersila, atau ketika menghadapi lawan-lawan di medan tempur atau dalam
negosiasi-negosiasi lainnya.
Bulu temmaruttunna Alla Taala kuonroi maccalinrung;
Engkaga balinna Alla Taala na engka balikku;
Mettekka tenribali, massadaka tenri sumpala
(Gunung yang kokoh kuat milik Allah Yang Maha Tinggi yang kutempati berlindung;
Tidak ada yang dapat menandingiku, kecuali jika ada yang dapat menandingi Allah yang
Maha Kuasa;
Kalau saya berbicara, tidak ada lagi yang dapat menyahut, dan kalau saya berpendapat,
tidak ada lagi yang bisa menyanggah)
Sadda atau bunyi sebagai fenomena dalam alam raya ini memberi manfaat yang
amat besar dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya karena bunyi-
bunyi itu memampukan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Seiring
dengan perkembangan peradaban manusia, bunyi-bunyi itu terwujud dalam suatu susunan
yang mengandung makna yang disepakati secara bersama. Susunan atas bunyi-bunyi
itulah yang disebut “ada” atau kata.
Ada atau kata itu digunakan manusia untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran
tentang suatu benda atau tindakan. Jadi, “ada mappabati gau” mengandung makna bahwa
4
bunyi-bunyi yang terwujud berupa kata yang dicetuskan oleh manusia harus serasi
dengan tindakan dalam dunia realitas. Bagi manusia Luwu keserasian antara perkataan
dan perbuatan (ada na gau) adalah perwujudan dirinya sebagai tau (manusia). Dengan
kata lain, individu yang tidak menyerasikan antara perkataan dan tindakannya berarti
melanggar etika dan martabat kemanusiaan “ia ada ia gau, taro ada taro gau’ adalah
ungkapan yang menegaskan pendirian manusia Luwu untuk selalu menyerasikan antara
“perkataan” dan “perbuatan”.
Dalam pandangan etika Luwu perbuatan individu tidak dapat dipisahkan dengan
individu lainnya karena dilandasi suatu prinsip pemuliaan martabat manusia yang dalam
ungkapan Luwu disebut “Tau Sipakatau”. Seseorang dapat disebut manusia kalau ia
dapat menempatkan dirinya sebagai “tau” yang berarti bahwa “kata dan prilakunya itu
mendudukkan posisi manusia pada posisi sebagai manusia yang bermartabat. Prinsip
“Tau Sipakatau” itu merupakan pangkal bagi segala sikap dan tindakan manusia Bugis
dalam hidupnya. Jadi, semuanya berpusat pada manusia itu sendiri. Manusia (tau) lah
yang menjadi penanggungjawab atas harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Menurut Mattulada (1996) harkat dan martabat yang menjadi “syirrun” atau
“asrar” yang berarti hakikat seseorang yang pada lidah orang Bugis pada umumnya
berarti “siri”, juga bermakna kalbu atau nurani manusia. Siri itulah menjadi fokus bagi
segala upaya manusia merealisasi diri dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatannya.
Siri pulalah yang membawanya ke dalam interaksi sosial, yang secara bersama terikat
dalam “Pesse”, yang berarti daya dorong yang kuat untuk mengambil tindakan “Siri”.
Karena itu, apabila terjadi masalah “Siri”, maka sebagai wujud kendalinya adalah kadar
“Pesse” yang ada pada diri setiap individu. Individu yang memiliki nyali yang besar akan
mengambil langkah yang besar pula, sedangkan individu yang memiliki nyali yang kecil
akan bertindak pula sesuai dengan kadar nyalinya. “Siri” dan “Pesse” adalah dua unsur
yang memiliki muatan utama atau keutamaan pada “Tau”, manusia secara individu.
Berdasarkan pandangan itu terwujudlah performansi khas manusia Luwu yang
tersimpul dalam sebuah frase atau ungkapan, yaitu: TODDO PULI TEMMALARA.
Toddo Puli bermakna tertancap dengan kuat, berketetapan hati secara sungguh-sungguh;
temmalara bermakna tidak goyah. Jadi, toddo puli temmalara berarti berketetapan batin
yang kuat dan tidak tergoyahkan.
5
a. Toddo Puli Temmalara ri Wawang Ati Mapaccinnge Nassibawai Alempureng (Teguh tak Tergoyahkan
pada Hati yang Suci-bersih disertai dengan Kejujuran)
Ati mapaccing berarti bawaan hati yang baik. Manusia Luwu dan manusia Bugis
pada umumnya menjadikan bawaan hati, niat atau pikiran yang baik sebagai “perisai”
dalam kehidupan. Dalam Paseng disebutkan:
“Duai Kuala Sappo, unganna panasae, belo kanukue.” (Dua kujadikan pagar, bunga
nangka, hiasan kuku.)
Buah nagka disebut “lempu” . Kata ini juga bisa berarti “kejujuran”, dan “belo
kanuku” disebut “pacci” yang kalau ditulis dalam aksara Bugis dapat dibaca “paccing”
yang berarti “kesucian.” Pada acara pernikahan, kedua benda ini, yaitu pacci dan lempu
merupakan hal yang sangat penting untuk diadakan karena simbol ini mengandung
makna yang sangat dalam yang mewarnai kehidupan manusia Luwu dan Bugis pada
umumnya, yaitu kesucian dan kejujuran. Hal ini merupakan modal utama dalam
mengharungi kehidupan keluarga dan sebagai anggota masyarakat.
Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi
perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang
harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Luwu, hati dan pikiran yang baik akan
menghasilkan kebaikan dalam kehidupan. Dalam Lontara disebutkan:
Empat hal yang membawa kepada kebaikan:
a. Pikiran yang benar,
b. Jualan yang halal,
c. Melaksanakan perbuatan benar,
d. Berhati-hati menghadapi perbuatan buruk
Dalam kehidupan sehari-hari manusia Luwu, harus selalu bersikap waspada
terhadap pengaruh-pengaruh yang dapat melunturkan niat atau bawaan hati yang baik
karena niat yang baik kadang-kadang dapat terkalahkan oleh dorongan-dorongan nafsu
keserakahan dan buruk lainnya, yang selanjutnya membangkitkan niat-niat yang jahat.
6
Dalam Paseng disebut: Empat macam yang memburukkan niat dan pikiran, yaitu (i)
kemauan, (ii) ketakutan, (iii) keengganan, dan (iv) kemarahan.
Di samping hati yang tulus, bawaan hati dan pikiran yang baik, yang menjadi
perisai dalam kehidupan manusia Luwu, kejujuran merupakan hal yang sangat mendasar.
Lempu (lurus, kejujuran) lawan katanya adalah jekko (bengkok, culas, curang, dusta,
khianat, seleweng, tipu, dan semacamnya). Menurut Lontara, manusia yang jujur
memiliki empat ciri, yaitu: (i) ia dapat melihat kesalahannya sendiri, (ii) mampu
memaafkan kesalahan orang lain, (iii) kalau ia diberi kepercayaan untuk menangani suatu
urusan, ia tidak berhianat, dan (iv) ia menepati janji yang diucapkan.
Bagi manusia Luwu, orang yang jujur adalah manusia yang menjadikan dirinya
sebagai titik tolak. Dalam ungkapan disebutkan: Kabbecci alemu iolo inappa
mukabbecci taue lainnge (cubit dirimu lebih dahulu sebelum engkau mencubit orang
lain). Dalam ungkapan lain disebutkan: Apabila engkau menghendaki agar sesuatu
dikerjakan orang banyak, umpamakanlah perahu, apabila engkau suka menaikinya,
perahu itulah yang engkau gunakan untuk memuat orang lain, itulah yang dimaksud
kejujuran. Maksud kutipan ini adalah setiap orang haruslah bersikap fair. Orang yang
jujur selalu memperlakukan orang lain menurut standar yang diharapkan dipergunakan
orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati orang lain, sebagaimana ia menghormati
dirinya sendiri. Ia menghormati hak-hak orang lain sebagaimana ia menghormati hak-
haknya. Manusia yang dapat berlaku jujur terhadap orang lain adalah manusia yang dapat
berlaku jujur pada dirinya sendiri.
Pada saat Raja Luwu menerima Datuk Sulaiman yang akan mengajaknya
memeluk Islam, dia berjanji memeluk Islam dengan ketentuan bahwa Datuk Sulaiman
harus bisa mengalahkan kelebihan-kelebihan Raja yang harus dipersandingkan terlebih
dahulu. Tetapi setelah Raja kalah dalam persandingan itu, dia dengan tulus dan ikhlas
menerima kekalahannya. Ia tidak mangkir dari janjinya dan bersikap fair atas
kekalahannya. Akhirnya, Raja menerima Islam sebagai agamanya, yang selanjutnya
diikuti oleh rakyatnya. Sikap jujur dan fair yang telah ditunjukkan oleh Raja dalam
persandingan itu merupakan manifestasi dari jati diri manusia Luwu.
7
b. Toddo Puli Temmalara ri Assimellerennge(Teguh tak Tergoyahkan pada Persaudaraan)
Assimellereng mengandung makna kesolideran, kesehatian, kerukunan,
kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lain, atau
antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang
tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan
saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan
penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang juga dikenal dengan konsep
sipa’depu-repu (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak memperdulikan
kesulitan sanak keluarga, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette perru.
Bagi manusia Luwu, kesetiaan pada persaudaraan adalah keharusan. Dalam
kehidupan sehari-hari, manisfestasi tentang kesehatian dan kerukunan itu disebutkan
dalam sebuah ungkapan: Tejjali tettappere banna mase-mase (Kami tidak mempunyai
apa-apa untuk kami suguhkan kepada Tuan: tiada permadani, sofa empuk untuk
mendudukkan Tuan. Yang kami miliki hanyalah kasih sayang). Bagi manusia Luwu
menghargai tetamu adalah keharusan. Maka tidak jarang kita jumpai seorang tuan rumah
sibuk mempersiapkan makanan yang sangat lezat bagi tetamunya, padahal dia sendiri
tidak melakukannya dalam kehidupanya sehari-hari. Hal ini dilakukan hanyalah semata-
mata untuk memberikan yang terbaik kepada saudaranya, sesamanya.
Adapun syarat eratnya persaudaraan itu meliputi 5 hal, yaitu (1) mau
sependeritaan, (2) sama-sama merasakan kegembiraan, (3) rela memberikan harta benda
sewajarnya, (4) ingat mengingatkan pada hal-hal yang benar, dan (5) selalu saling
memaafkan. Dasar persaudaraan itu dapat terlimpul dalam ungkapan berikut.
Mali siparappe, malilu sipakainge
Sirebba tannga tessirebba pasorong
Padaidi pada elo, sipatuo sipatakkong
Siwata menre, tessirui no.
(Kita saling mengulurkan tangan ketika hanyut,
Kita saling menghidupkan karena kita seia sekata
8
Saling mengangkat dan tak saling menjatuhkan)
Berbeda pendapat, tetapi tidak menyebabkan adu kekuatan)
Dalam Mapalina Sawerigading Ri Saliweng Langi, Sawerigading sebagai tokoh
sentral dalam cerita menunjukkan kesetiakawanan yang sangat tinggi seperti tertera
dalam kutipan berikut:
… janganlah ada di antara kita sudi kembali ke Luwu sebagai mayat hidup. Satu
nyawa bagi kita bersama, …
Pada kutipan itu tergambar bahwa kesetiakawanan adalah segala-galanya, walaupun
nyawa sebagai taruhannya.
c. Toddo Puli Temmalara ri Resoe(Teguh tak Tergoyahkan pada Usaha)
Reso berarti usaha dan tinulu berarti tekun. Dalam ungkapan disebutkan:
Resopa natinulu kuae topa temmanginngi malomo naletei pammase Dewata
(Hanya dengan usaha/kerja keras disertai dengan ketekunan sering menjadi titian rahmat
Ilahi).
Ungkapan itu memberi petunjuk bagi manusia Luwu bahwa tidak akan ada rizki
yang melimpah tanpa disertai dengan kerja keras. Artinya, untuk mendapatkan rizki
(dalle) tidak dapat diperoleh dengan hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Rizki tidak
boleh diperoleh dengan meminta-minta atau mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Dalam ungkapan lain disebutkan:
“Wahai anak-anak! Tidak adakah pekerjaannmu sehingga engkau tinggal
nongkrong di pinggir jalan. Jika tidak ada, pergilah ke Baruga (balai pertemuan)
mendengar soal adat, ataukah ke pasar mendengar warkah para penjual”.
Ungkapan di atas memberi himbauan kepada para pemuda untuk mencari bekal
hidup (life skill) berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan agar dapat menjadi modal
hidup untuk berusaha. Selanjutnya, dalam ungkapan yang berbeda ditekankan:
“Janganlah membiasakan dirimu pada empat jenis perbuatan: (1) meminta-minta, (2) meminjam-minjam, (3) memperoleh upah dari suruhan orang lain, dan (4) menumpang makan pada orang lain”.
9
Ungkapan di atas menunjukkan ajaran kemandirian. Perbuatan meminta-minta,
meminjam, memperoleh upah dari suruhan orang lain, serta menumpang makan di rumah
orang lain termasuk perbuatan yang tidak terpuji. Setiap orang haruslah berusaha sekuat
tenaga dan pikiran untuk mendapatkan rizki yang halal (massappa dalle hallala).
Manusia Luwu harus yakin (toddo puli) bahwa dalam meniti kehidupan, keberhasilan
hanya dapat diperoleh melalui kerja keras dan ketekunan serta memanfaatkan akal
pikiran atau ilmu pengetahuan.
Seorang lelaki pemalas, enggan bekerja keras, atau tidak mempunyai kepandaian
dan keterampilan hidup amat tercela dalam adat Luwu. Orang yang demikian itu tidak
dipandang sebagai pria, tetapi dipandang sebagai banci. Dalam ungkapan disebutkan:
Empat macam sifat lelaki sehingga ia dipandang sebagai wanita dan tidak
diperhitungkan sebagai lelaki, yaitu: (1) ia pemalas, (2) ia lemah, (3) ia dungu, dan (4) ia
bodoh. Dalam ungkapan ini tergambar dengan jelas bahwa, ilmu pengetahuan dan
keterampilan, serta ketekunan berusaha dalam meniti kehidupan ini sangat diperlukan.
Dengan demikian, seorang yang memperoleh harta benda dengan cara yang tidak benar
seperti bertindak korup sangat tercela dalam adat Luwu dan Bugis pada umumnya. Hal
ini tergambar pada ketetapan Sawerigading untuk selalu menjaga nama baik negeri Luwu
pada saat ia ditawarkan untuk berdamai dengan raja di negeri Saliweng Langi, Guttu
Tellamma. Guttu Tellemma menawarkan hadiah berupa sejumlah harta benda berharga
kepada Sawerigading asal Sawerigading mau melupakan pertikian di antara mereka.
Tetapi, Sawerigading menolak menerima tawaran itu. Dia pantang menerima suap dari
mana pun.
Usaha keras dan kegigihan untuk mencapai keberhasilan tergambar pula dalam
peristiwa perjuangan Sawerigading untuk mempersunting We Cudai di Tanah Cina.
Walaupun Sawerigading harus menghadapi berbagai macam tantangan, ia tak pernah
gentar hingga usahanya benar-benar berhasil.
d. Toddo Puli Temmalara ri Panngaderennge(Teguh tak Tergoyahkan pada Panngadereng)
10
Panngadereng, yaitu Ade (adat), Rapang (undang-undang), Wari (aturan
perbedaan pangkat kebangsaan), Bicara (ucapan, bicara), dan Syara (hukum syariat
Islam). Yang dimaksud dengan unsur-unsur tersebut adalah asas.
(1) Mappasilassae, diwujudkan dalam manisfestasi ade agar terjadi keserasian
dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam memperlakukan dirinya
dalam panngadereng. Di dalam tindakan-tindakan operasionalnya, ia
menyatakan diri dalam usaha-usaha mencegah sebagai tindakan
penyelamatan.
(2) Mappasenrupae, diwujudkan dalam manifestasi ade, untuk keberlangsungan
pola-pola yang sudah ada lebih dahulu guna stabilitas perkembangan yang
muncul. Hal ini dinyatakan dalam rapang.
(3) Mappallaiseng diwujudkan dalam manifestasi ade, untuk memberikan batas-
batas yang jelas tentang hubungan antara manusia dan lembaga-lembaga
sosialnya, sehingga masyarakat terhindar dari ketiadaan ketertiban, dan
kekacaubaluan. Hal ini dinyatakan dalam wari dalam segala variasi
perlakuannya
(4) Mappasisaue, diwujudkan dalam manisfestasi ade untuk menimpakan deraan
pada setiap pelanggaran ade yang dinyatakan dalam bicara. Asas ini adanya
pedoman legalitas dan represif yang sangat konsekuen dijalankan. Di
samping itu asas ini dilengkapi dengan siariawong yang diwujudkan dalam
manifestasi ade untuk menyatakan adanya perlakuan yang sama, mendidik
setiap orang untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Syara adalah
aturan syariat Islam yang menjadi unsur panngadereng.
Bagi masyarakat Luwu dan Bugis pada umumnya, panngadereng merupakan unsur
yang paling penting dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena:
(1) Manusia Luwu telah menerima adat secara total dalam kehidupan sistem sosial
budayanya dan telah melahirkan keyakinan dan kepercayaan yang teguh bahwa
hanya dengan berpedoman pada panngaderenglah ketenteraman dan kebahagiaan
bagi setiap anggota masyarakat dapat terjamin.
11
(2) Sistem sosial berdasarkan ketetapan panngadereng telah membentuk pola tingkah
laku dan pandangan hidup manusia Luwu. Mereka percaya dan sadar bahwa hanya
dengan panngaderenglah pola hidupnya, kepemimpinannya serta segala bentuk
interaksi sosialnya dapat terwujud.
(3) Di dalam pangngadereng terdapat unsur kepercayaan yang hakiki yang harus ditaati.
Karena dengan pangngadereng itulah, pola tingkah laku yang terbimbing sehingga
pemimpin dapat bersikap lebih jujur, arif, serta berpihak kepada orang banyak.
Bagi masyarakat Luwu, adat adalah segala-galanya. Seseorang hanya tunduk pada
peraturan-peraturan adat menurut hukum-hukum yang yang telah disepakati. Adat
menjamin kebebasan mereka dan tidak ada seorang pun yang dapat memaksanya untuk
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan adat. Masyarakat bersama-sama dengan
pemimpinnya menentukan nasib masa depannya. Perlakuan sewenang-wenang dari
seorang penguasa tidak mendapat tempat dalam sistem panngadereng. Bagi masyarakat
Luwu dan Bugis pada umumnya adat adalah tuannya, bukan penguasa. Baik pemimpin
maupun masyarakat harus tunduk dan taat pada adat atau hukum yang berlaku. Dalam
Lontara Sukkuna Wajo ditegaskan:
Maradekakeng, tanaemi ata, ade assiturenna Wajo napopuang.
(Kami merdeka, hanya negeri yang abdi, hukum yang telah disepakatilah
yang kami pertuan.)
e. Toddo Puli Temmalara ri Taro Taumaegae(Teguh tak Tergoyahkan pada Ketetapan Orang Banyak)
Lontara telah menempatkan manusia pada posisi yang amat penting. Ia
menempati sebagai posisi subjek yang mempunyai peran aktif dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan bernegara, rakyat adalah segala-
segalanya. Bilamana dalam suatu perkara, terdapat ketidaksepahaman di antara pemimpin
dan masyarakat, maka hal itu harus dikembalikan kepada rakyat. Dalam sebuah ungkapan
disebutkan:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
12
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega
(Batal ketetapan raja, tak batal ketetapan adat,
Batal ketetapan adat, tak batal ketetapan kaum,
Batal ketetapan kaum, tak batal ketetapan orang banyak (rakyat)
Ketika putri raju Luwu terserang penyakit kulit yang tidak dapat disembuhkan,
sehingga sangat menghawatirkan berjangkitnya kepada masyarakat, maka datanglah
utusan rakyat menghadap Raja.
Wakil rakyat berkata: Tuanku, mana yang Engkau sukai Telur yang Satu, atau
Telur yang Banyak? Raja yang sangat peka terhadap ungkapan rakyatnya itu sangat
memahami bahwa yang dimaksud dengan Telur yang Satu adalah putrinya sendiri yang
sedang sakit itu dan Telur Yang Banyak adalah rakyatnya. Maka berkatalah raja: Tentu
saja saya sangat mengutamakan Telur Yang Banyak. Akhirnya, puteri yang sangat
dicintainya itu dikeluarkan dari istana dan dialirkan ke sungai yang akhirnya terdampar
pada suatu tempat yang bernama sakkoli (sekke uli) di daerah Wajo saat ini. Raja hanya
bisa bertawakkal kepada Yang Maha Kuasa agar putrinya mendapat pertolongan dari
Yang Maha Kuasa (mappasanre ri elo ullena Alla Taala).
Raja sebagai seorang pemimpin amat memegang teguh pada kewajibannya,
sebagaimana disebutkan dalam Lontara:
Engkau kuselimuti supaya tidak kedinginan,
(terhindar dari bahaya dan berbagai kesukaran)
Engkau kujaga bagaikan mengusir burung pipit supaya tanaman padi tidak
hampa (Raja menjaga jiwa rakyat dan harta benda)
Saya membela kesalahan-kesalahanmu.
(Raja mendengar semua keluh kesah rakyatnya)
Ungkapan di atas, menegaskan pengayoman raja terhadap rakyatnya. Ia rela
menjadi “payung” bagi rakyatnya. Kedudukan rakyat dalam struktur sosial manusia
Luwu dan Bugis telah mendapat tempat yang terhormat dan diusahakan untuk selalu
dilindungi. Kondisi sosial yang menempatkan manusia pada kedudukan yang tidak
terbelenggu oleh tradisi dan tidak dijadikan sebagai objek politik oleh penguasa telah
13
memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, baik yang menyangkut
masalah kedamaian hidup yang selalu didambakan oleh setiap manusia di muka bumi,
maupun masalah yang menyangkut kebebasan untuk mengembangkan potensi yang
terdapat di dalam dirinya. Kondisi sosial yang menguntungkan ini, menjadikan manusia
Luwu dapat stabil dalam memelihara harga dirinya dan martabatnya.
Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha bertindak secara wajar
(sitinaja). Sesuatu yang dibebankan kepada rakyat harus sesuai dengan pertimbangan
yang wajar. Komitmen raja selaku pemimpin untuk selalu bertindak wajar tertuang dalam
Getteng Bicara di Luwu sebagai beikut:
“Takaranku kugunakan untuk menakar, timbanganku kugunakan untuk menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas”.
Menurut Abdullah (1985:86), teori kontrak sosial yang diproklamirkan oleh Jean
Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya Du Contract Social sesungguhnya telah
dijalankan dalam sistem kepemimpinan manusia Luwu dan Bugis kira-kira 300 tahun
sebelum teori itu diperkenalkan oleh cendekiawan Eropa yang sedang berusaha
menemukan suatu sistem yang paling tepat untuk masyarakatnya pada abad XVIII.
Unsur-unsur yang menjadi tekanan Rousseau dalam teorinya itu, seperti kebebasan,
batas-batas kekuasaan pemimpin, hak-hak rakyat, peran wakil-wakil rakyat, serta sanksi
terhadap penguasa yang melanggar, telah tercipta dalam dunia realitas masyarakat Luwu
dan Bugis dan menjadi prinsip hidup masyarakat sejak abad XV.
14
PENUTUP
a. Simpulan
Berdasarkan uraian konstruk manusia Luwu di atas, manusia Luwu adalah:
1. Pribadi yang menjadikan prinsip “tau sipakatau” (memanusiakan dirinya dan
memanusiakan manusia lainnya) sebagai landasannya dalam bertindak.
2. Pribadi khas yang menujukkan performansi yang amat menjunjung tinggi harkat dan
martabatnya sebagai manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
lainnya.
3. Pribadi yang tak gentar menghadapi segala tantangan yang ada di depannya demi
tegaknya harkat dan martabat manusia.
4. Pribadi yang ikhlas berdasarkan hati yang suci dalam menjalankan tugasnya sebagai
khalifah di muka bumi.
5. Pribadi yang jujur pada dirinya sendiri, pada manusia lainnya dan kepada Yang Maha
Kuasa, sehingga tercipta suatu tatanan kehidupan yang damai.
6. Pribadi pemimpin yang teguh memegang amanah yang diberikan kepadanya.
Berpegang teguh pada panngadereng dan ketetapan orang banyak.
7. Pribadi yang beretos kerja tinggi dalam mengharungi kehidupannya.
8. Pribadi yang bebas dari kekangan dan tekanan dalam menjalankan tugas-tugasnya.
9. Pribadi yang gemar bersaing tetapi solider kepada saudaranya, sesama manusia.
10. Pribadi yang selalu berpegang teguh pada panngadereng serta bertawakkal kepada
Allah Yang Maha Kuasa.
b. Saran
Sosialisasi mengenai kekayaan budaya lokal tidak hanya berhenti pada situasi
seminar seperti ini saja, tetapi harus pula didiseminasikan kepada kaum muda sebagai
pelanjut generasi mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMU, sampai ke perguruan tinggi.
15
Selanjutnya, konstruk teoretis yang telah tertanam dalam alam pikiran masyarakat
pada umumnya harus mendapat tempat yang layak dalam dunia realitas, mulai dari
pemimpinnya sampai kepada masyarakatnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H. 1985. Manusia Bugis-Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Abdullah, H. 1990. Reaktualisasi Etos Budaya Manusia Bugis. Solo: CV Ramadhani.
Ambo Enre, F. 1992. Beberapa Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan dan Sastra Bugis. Pinisi. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni, 1 (3): 1—32.
Daeng Mattata, S. 1976. Luwu dalam Revolusi. Makassar: yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu.
Mattulada, H.A. (ed.) 1990. Sawerigading: Folktale Sulawesi. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Mattulada. H.A. 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar. Dalam Najib, dkk (Ed.) Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara (hal. 21---90). Yokyakarta: LKPSM.
Punagi, AA. 1993. Pappaseng (Wasiat Orang Dahulu). Ujung Pandang: Proyek Pemibinaan Permuseuman Sulawesi Selatan.
Rahim, R. 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Said, Mashadi. 1998. Konsep Jati Diri Manusia Bugis: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Bugis. Disertasi: Universitas Negeri Malang.
Weber, M. The Theory of Social and Economic Organization. Terjemahan oleh A.R. Henderson dan Alcott Parson. 1974. London: William Hodge.
17