Download - Trace Ability
ANALISIS DAN DESAIN SISTEM INFORMASI
UNTUK PENERAPAN DOKUMENTASI PROGRAM TRACEABILITY
PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU
ACHMAD RIZAL
C34063302
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
RINGKASAN
ACHMAD RIZAL. C34063302. Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk
Penerapan Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk
Tuna Loin Beku. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan BAMBANG
RIYANTO.
Dinamika perubahan gaya hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan saat
ini, memungkinkan dilakukannya transportasi bahan pangan dalam jumlah yang
sangat besar ke bagian dunia manapun dan memungkinkan penyebaran penyakit
karena mengkonsumsi bahan pangan (foodborne disease). Penolakan negara-
negara importir terkait tingginya kadar histamin pada tuna, merupakan contoh
kasus besar dalam perdagangan perikanan dunia saat ini. Konsep traceability telah
disarankan sebagai salah satu sistem manajemen risiko dalam menjamin mutu dan
keamanan pangan global dengan fokus utama dalam memudahkan pelacakan
produk. Akan tetapi, dalam implementasinya belum terdapat metodologi spesifik
yang dapat diacu oleh seluruh organisasi pangan, sehingga kajian mengenai sistem
informasi untuk mendukung penerapan dokumentasi dalam program traceability
pada industri perikanan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Tujuan dari
penelitian ini adalah membuat kerangka sistem informasi berbasis data elektronik
untuk mendukung penerapan dokumentasi program traceability pada suatu
industri pengolahan selama tahapan pendistribusian ikan tuna loin beku.
Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi tiga tahapan utama. Langkah
pertama adalah mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan
distribusi penanganan tuna. Langkah kedua berupa analisis praktek implementasi
sistem traceability dan asesmen traceability pada jaringan distribusi penanganan
tuna. Adapun langkah ketiga yaitu analisis dan desain sistem informasi
traceability perusahaan (PT X) yang meliputi identifikasi kebutuhan sistem,
pengembangan model traceability internal, pengembangan model untuk
pertukaran informasi antar aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan
terakhir adalah disain basis data.
Aktor-aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna antara lain kapal
penangkap, transit, PT X, distributor dan retailer dimana dari masing-masing aktor
yang terlibat, penting untuk diterapkannya sistem rekaman sebagai alat
pemantauan dan sistem pengkodean sebagai alat identifikasi. Hasil analisis dan
desain sistem informasi traceability menunjukkan bahwa dari masing-masing
aktor yang terlibat dalam rantai distribusi tuna loin beku, memiliki hubungan yang
saling terkait dalam penyediaan informasi traceability. Sebuah model untuk
implementasi sistem traceability secara internal juga dikembangkan untuk unit
pengolah ikan, sedangkan dalam pemodelan pertukaran informasi terlihat bahwa
tidak semua informasi yang ada pada salah satu aktor diteruskan ke aktor lainnya
dalam rantai distribusi. Sebagian informasi akan disimpan sebagai informasi
internal aktor. Terakhir desain basis data yang dilakukan baru mencakup desain
basis data untuk produk akhir yang terdiri dari 6 entitas utama yang saling
berhubungan. Entitas-entitas tersebut diantaranya adalah kapal penangkapan tuna,
supplier, bahan baku, produk, perusahaan, dan pelanggan.
ANALISIS DAN DESAIN SISTEM INFORMASI
UNTUK PENERAPAN DOKUMENTASI PROGRAM TRACEABILITY
PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU
ACHMAD RIZAL
C34063302
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
30
Judul : Analisis dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan
Dokumentasi Program Traceability pada Rantai Distribusi Produk
Tuna Loin Beku
Nama : Achmad Rizal
NRP : C34063302
Menyetujui,
Pembimbing I,
(Ir. Wini Trilaksani, M.Sc)
NIP. 19610128 198601 2 001
Pembimbing II,
(Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si)
NIP. 19690631 199802 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil)
NIP. 195805111985031002
Tanggal Lulus:……………………
30
PERYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Analisis dan
Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program
Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku” adalah karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada pihak manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2011
Achmad Rizal
C34063302
30
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :
1. Ibu Ir. Wini Trilaksani S.Pi, M.Si dan Bapak Bambang Riyanto S.Pi, M.Si.
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan masukan
dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim M.Sc selaku dosen penguji atas masukan dan
pengarahannya untuk perbaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Komisi
Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.
4. Bapak Firman Ardiansyah yang sangat membantu penulis dalam
pengumpulan ide, penyusunan dan perbaikan untuk penyempurnaan
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Hendra Sugandhi sebagai direktur utama PT X atas izin penelitian
yang diberikan serta Bapak Nur Hadipitoyo sebagai Manajer Umum PT X
atas bantuan, bimbingan dan kerjasamanya.
6. Mama, Papa, Kak Agus, Hendra dan seluruh keluarga untuk dukungan yang
diberikan baik dukungan moral maupun materiil yang telah diberikan pada
penulis tanpa batas.
7. Teman–teman THP 43 (Lovely Generation-LG 43), kakak dan adik kelas atas
semangat kebersamaannya.
8. Pajar and the genk (Bapak dan Ibu Kos (pak Sondhy dan Bu Yana), Boby,
Wahyu, Puguh,Anjar, Ozzy, Alvin, Qori, Kiki, Samsul, Faruk, Irvan) yang
selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. My ”i26r” member (Aisha Putri Hapsari), terima kasih untuk semua spirit dan
dorongan yang tiada hentinya kepada penulis selama berada di THP.
31
10. Teman-teman satu bimbingan: Wahyu, Ibnu, Ozi, Patmawati especially
teman-teman seperjuangan di Muara Baru: Anggi dan Minal atas
kebersamaan, dukungan dan semangat yang diberikan.
11. Mas Yayan, Mbak Nana, Mbak Uppy, Mbak Khom, Pak Eko, Mas Danuri,
Mas Wisman, Pipit dan seluruh karyawan PT X atas perhatian, canda tawa,
bantuan dan kerjasamanya.
12. IMulai Team - IndoTrace (Agus ‟Alay‟, Hendra ‟Jeki‟, Wiwik dan Anes) atas
kebersamaannya dan motivasi yang sangat membantu penyelesaian skripsi
ini.
13. Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan demi perbaikan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak yang
memerlukan.
Bogor, Mei 2011
Penulis
32
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ampenan pada tanggal 07 Maret
1988 dari ayah bernama Jamaludin dan ibu bernama
Nurhayati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara.
Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK
Yappi Raudhatul Jannah (tahun 1993-1994) dan SD Negeri 9
Ampenan (tahun 1994-2000), kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Mataram
(tahun 2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 5
Mataram (2003-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007
penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan
diantaranya paduan suara FPIK (Endeavour) suara Tenor periode 2007-2008,
sebagai Ketua Fisheries Processing Club (FPC) dua periode 2007-2008 dan
periode 2008-2009. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan
seperti staff Penanggung Jawab Keluarga MPKMB 2007, Ketua Bina Desa
Fisheries Processing Club (FPC) 2008 dan Ketua SANITASI 2009. Penulis juga
selalu mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan ISO 22000:2005 on Fish
and Fisheries Industries, pelatihan keamanan pangan dan lain sebagainya. Penulis
juga memiliki keahlian menyelam jenjang One Star Scuba Diver bersertifikasi
internasional.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Analisis
dan Desain Sistem Informasi untuk Penerapan Dokumentasi Program
Traceability pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku”.
33
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xi
1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 5
2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 6
2.1 Tuna .................................................................................................. 6
2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) .................... 6
2.1.2 Tuna loin ................................................................................... 8
2.1.3 Mutu dan kemunduran mutu ikan ............................................. 11
2.2 Traceability ........................................................................................... 13
2.3 Sistem Informasi ................................................................................... 18
3 METODE PENELITIAN............................................................................ 20
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 20
3.2 Tahapan Penelitian ............................................................................... 20
3.2.1 Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi
jaringan distribusi penanganan tuna yang memiliki kaitan
dengan PT X .......................................................................... 20
3.2.2 Analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem
traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna yang
berkaitan dengan PT X ............................................................. 21
3.2.2.1 Analisis praktek implementasi sistem traceability ...... 21
3.2.2.2 Asesmen praktek implementasi sistem traceability .... 22
3.2.3 Analisis dan desain atau perancangan sistem informasi
untuk mendukung penerapan traceability pada rantai
distribusi tuna loin beku ........................................................... 23
3.2.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem ...................................... 24
3.2.3.2 Pengembangan model traceability internal ................. 25
3.2.3.3 Model pertukaran informasi traceability ..................... 27
3.2.3.4 Desain basis data ......................................................... 28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 30
4.1 Rantai Distribusi Ikan Tuna .................................................................. 30
4.2 Analisis Praktek Implementasi Sistem Traceability ............................. 31
4.2.1 Analisis prosedur perekaman .................................................... 31
34
4.2.2 Analisis manajemen perekaman ............................................... 36
4.2.3 Analisis sistem pengkodean ...................................................... 38
4.3 Analisis dan Desain Sistem Informasi pada Rantai
Distribusi Tuna ..................................................................................... 41
4.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem ................................................... 41
4.3.2 Traceability internal ................................................................. 45
4.3.3 Pertukaran informasi traceability pada rantai
distribusi tuna ........................................................................... 52
4.3.4 Desain basis data ...................................................................... 59
4.3.5 Arsitektur umum implementasi sistem
informasi Traceability .............................................................. 63
5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 65
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 65
5.2 Saran .................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 66
GLOSSARY ......................................................................................................... 71
LAMPIRAN ......................................................................................................... 74
viii
35
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1 Komposisi gizi beberapa ikan tuna per 100 gram daging ............................. 8
2 Karakteristik kesegaran ikan secara organoleptik berdasarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI 01-4104.1-2006) ................................................... 11
3 Tahapan aktivitas penangkapan tuna di kapal dan penanganan di transit ..... 32
4 Proses produksi tuna loin beku dan formulir rekaman yang digunakan ....... 33
5 Entitas utama yang terdapat dalam basis data ............................................... 60
36
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1 Ikan tuna (Thunnus sp) ............................................................................... 7
2 Skema traceability decision tree ................................................................ 17
3 Model dasar sistem informasi .................................................................... 19
4 Skema traceability decision tree ................................................................ 23
5 Tahapan perancangan sistem informasi ..................................................... 24
6 Model use case diagram dan bagian-bagiannya ........................................ 25
7 Model umum IDEFO ................................................................................. 26
8 Penguraian model IDEFO (pengembangan sistem traceability internal
tuna)............................................................................................................ 27
9 Tipe interaksi pada sequence diagram ....................................................... 28
10 Model sequence diagram yang digunakan pada penelitian ....................... 28
11 Tahapan perancangan basis data ................................................................ 29
12 Rantai distribusi ikan tuna .......................................................................... 30
13 Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir ..................... 39
14 Contoh kode produksi pengemasan-stuffing pada master carton .............. 40
15 Use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna
beku ............................................................................................................ 42
16 Teknik IDEFO untuk pengembangan traceability internal pada Unit
Pengolahan Ikan (UPI) ............................................................................... 47
17 Teknik IDEFO untuk pengembangan dan penerapan sistem
traceability pada UPI ................................................................................ 51
18 Lokasi pengidentifikasian produk sistem traceability ............................... 52
19 Pertukaran informasi antar aktor yang terlibat pada rantai distribusi
tuna ............................................................................................................. 55
20 Sequence diagram untuk pertukaran informasi ketika informasi
tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta .................... 58
21 Entity relationship diagram dari basis data traceability ............................ 62
22 Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability ................... 63
23 Contoh dokumen XML untuk pertukaran informasi .................................. 64
51
37
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan
pancing ulur ................................................................................................ 74
2 Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku (data
verifikasi) ................................................................................................... 75
3 Record of harvest vessel ............................................................................. 77
4 Record of raw material receiving .............................................................. 78
5 Record of daily temperature....................................................................... 79
6 Chilling temperature report ....................................................................... 80
7 Report of inspection product after trimming before freezing .................... 81
8 Freezing monitoring report ........................................................................ 82
9 Daily report of packing and labelling ........................................................ 83
10 Cold storage temperature report ............................................................... 84
11 Report of stuffing ........................................................................................ 85
12 Hasil asesmen sistem traceability .............................................................. 86
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu mutakhir tentang permasalahan baru keamanan pangan dunia (new
global food safety), saat ini sudah mulai mengarah kepada hambatan-hambatan
teknis dalam perdagangan bebas (technical barrier to trade -TBT) (Wallace et al.
2011). Perkembangan penerapan yang cepat akan konsep sanitary and
phytosanytary (SPS), telah menuntut akan adanya jaminan keamanan pangan,
keteramanan akan kandungan zat gizi tertentu serta kelayakan dan standardisasi
pengujian akan produk pangan yang dikonsumsi. Selain itu, perdagangan pangan
dunia (global food trading) juga mengarah kepada dinamika perubahan gaya
hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan dari belahan dunia lainnya (Caswell
2000; Veen 2005; Thow et al. 2010; Wallace et al. 2011). Perubahan ini
memungkinkan transportasi bahan pangan dalam jumlah yang sangat besar ke
bagian dunia manapun dan memungkinkan timbulnya penyebaran penyakit karena
mengkonsumsi bahan pangan (foodborne disease).
Produk perikanan tuna juga tidak terlepas dari permasalahan global bahaya
keamanan pangan tersebut. Penolakan negara-negara importir terkait dengan
masalah tingginya kadar histamin, mewarnai peningkatan ekspor komoditas ini.
Selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 memperlihatkan data,
bahwa dari total 30 kasus penolakan tuna di Uni Eropa bagi Indonesia, 11 kasus
diantaranya disebabkan oleh kandungan histamin yang melebihi standar ambang
batas 10 mg/100 gram daging atau 100 ppm (EC 2007). Food and Drugs
Administration Amerika Serikat juga telah melaporkan bahwa telah terjadi 13
kasus penolakan tuna asal Indonesia tahun 2007 dan 7 kasus penolakan tuna
selama tahun 2008, akibat kadar histamin yang melebihi ambang batas (FDA
2009). Selanjutnya Emborg et al. (2005) menyampaikan bahwa histamin saat ini
merupakan masalah besar di dunia, dimana lebih dari 50 % semua kasus
keracunan di Amerika dan Inggris disebabkan oleh faktor ini.
Histamine fish poisoning merupakan gejala keracunan yang disebabkan
mengkonsumsi ikan yang mutunya sudah rusak (spoiled) atau terkontaminasi
bakteri. Umumnya kadar histamin telah melebihi ≥50 mg/100 g (Lehane dan
2
Olley 2000). Secara teoritis, histamin merupakan hasil dekarboksilasi histidin
bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25 oC
(Keer et al. 2002). Ikan berdaging gelap, seperti dari famili scombroidae,
umumnya memiliki kandungan histidin bebas yang tinggi. Kajian Lehane dan
Olley (2000) menunjukkan bahwa kandungan histidin bervariasi mulai dari 1 g/kg
pada ikan herring sampai 15 g/kg pada tuna.
Selama proses kemunduran mutu, histidin bebas akan diubah menjadi
histamin oleh bakteri penghasil histamin. Kajian Tao et al. (2009) tentang
kandungan histamin pada Thunnus obesus menunjukkan bahwa terdapat dua jenis
bakteri penghasil histamin, yaitu jenis Morganella morgani dengan suhu optimum
25 oC dan Photobacterium phosphoreum dengan suhu optimum 20
oC, sedangkan
Lehane dan Olley (2000) menyatakan bahwa bakteri yang diduga dapat
menghasilkan histamin pada level toksik untuk suhu diatas 7-10 oC adalah family
Enterobacteriaceae seperti Enterobacter spp., Morganella morganii, Proteus spp.
dan Raoultella spp.
Sebagaimana umumnya produk perikanan yang sangat mudah rusak (highly
perishable), ikan tuna juga memerlukan teknik penanganan rantai dingin yang
cepat dan penanggulangan timbulnya risiko bahaya histamin pada level toksik
(Keer et al. 2002). Kajian Guizaini et al. (2005) pada yellowfin tuna
menunjukkan bahwa ikan yang disimpan pada suhu 0 oC selama 17 hari,
memiliki kadar histamin yang lebih rendah dari standar FDA (5 mg/100 g)
dibandingkan dengan ikan yang disimpan pada 8 oC selama 4 hari dan 40
oC
selama 1 hari. Hal ini menunjukkan akan pentingnya penanganan tuna secara
baik untuk mencegah timbulnya histamin. Masalah kesalahan penanganan saat di
atas kapal misalnya, akan memberikan gangguan yang sangat besar pada proses
produksi hilir (perdagangan retail) atau hingga ketika ikan tersebut dikonsumsi.
Salah satu konsep dan instrumentasi mutu dan keamanan pangan yang
disarankan untuk mendukung dan penjamin mutu makanan adalah pemberian
informasi lengkap mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi yang
ditempuh, sehingga memudahkan upaya pelacakan produk. Konsep ini disebut
traceability system (Raspor 2005). Kajian McMeekin (2006) menunjukkan bahwa
perhatian utama traceability dilandaskan pada kebutuhan untuk menarik produk
3
pangan dari pasar (recall procedures), terutama terhadap produk yang diduga
memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia. Thakur dan Donnelly
(2010) juga menyampaikan hal yang sama, dimana traceability dianggap sebagai
alat manajemen risiko bagi suatu organisasi bisnis pangan untuk menarik kembali
suatu produk yang diidentifikasi tidak aman.
Masalah penarikan produk akan keamanan pangan ini telah memaksa
timbulnya regulasi mengenai traceability, khususnya di negara Amerika dan Uni
Eropa, bahkan pada General Food Law Regulation Uni Eropa (EC No. 178,
artikel 18) telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi-regulasi
tersebut memperlihatkan elemen-elemen penting, termasuk aturan traceability dan
penarikan produk berbahaya (recall procedures) yang terdapat di pasaran.
ISO 22005 (2007) sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di
dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal
harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk
tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan (one step forward)
dan satu langkah ke belakang (one step backward). ISO 22000 (2005) juga
menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan
melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan
kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan
distribusi. Namun, Folinas et al. (2006) menyampaikan bahwa dalam
implementasinya belum ada metodologi mengenai traceability yang spesifik yang
dapat diikuti oleh seluruh organisasi pangan. Suatu organisasi pangan bebas
memilih mekanisme yang cocok untuk memastikan sistem traceability telah
efisien untuk produk mereka.
Folinas et al. (2006) selanjutnya menyampaikan bahwa secara teoritis,
efisiensi dari suatu sistem traceability sangat tergantung dari kemampuan
mengumpulkan informasi mengenai mutu dan keamanan dari suatu produk.
Kajian Larsen (2003) memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode
pengumpulan informasi untuk mendukung traceability, yaitu mulai dari media
dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis teknologi informasi. Kajian
Senneset et al. (2007) juga menunjukkan bahwa pengembangan sistem
4
traceability berbasis teknologi informasi di Food Standard Agency Inggris lebih
efektif jika dibandingkan dengan sistem traceability berbasis dokumen kertas.
Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen (2003)
memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti
distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking) beberapa
kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau
organisasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan kerumitan dalam penanganan
informasi dalam rantai distribusi ikan tersebut. Guna mempermudah penanganan
informasi, Larsen (2003) menyampaikan bahwa telah dibuat suatu ketentuan
standar traceability, misalnya yang tercantum dalam tracefish
(http://www.tracefish.org). Konsep implementasi standar ini menggunakan sistem
elektronik untuk mencapai tahapan penelusuran dari rantai distribusi (chain
traceability) yang ada. Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyampaikan bahwa
standar tracefish menggunakan basis bahasa XML (extensible markup language),
untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem
traceability secara elektronik (electronic exchange) antara berbagai pihak atau
organisasi dalam suatu rantai distribusi. Tracefish sendiri mengembangkan dua
standar traceability produk perikanan yaitu standar untuk distribusi ikan hasil
budidaya (farmed fish distribution chain) dan ikan hasil tangkapan (captured fish
distribution chain). Akan tetapi hingga saat ini belum ada sistem traceability yang
dibangun secara efektif di perusahaan eksportir perikanan Indonesia. Indonesia
menghajatkan diterapkannya sistem ketertelusuran (traceability) bagi para pelaku
usaha perikanan pada setiap mata rantai nilai produk perikanan dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 Bab II pasal 3 huruf
C (KKP 2010). Pada peraturan ini tidak tertera metode spesifik untuk pelaksanaan
sistem traceability.
Melihat permasalahan tersebut, maka kajian mengenai sistem informasi
untuk mendukung penerapan traceability, terutama dokumentasi pada industri
perikanan sangat penting untuk dilakukan. Kajian tersebut nantinya diharapkan
dapat dikembangkan dalam aplikasi perangkat lunak sistem traceability yang
dapat diterapkan dalam suatu organisasi perikanan, terutama perdagangan tuna
Indonesia di dunia.
5
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis dalam pembuatan
kerangka sistem informasi berbasis data elektronik untuk mendukung penerapan
dokumentasi program traceability internal perusahaan pengolahan pada rantai
distribusi ikan tuna loin beku (tuna supply chain).
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuna
Ikan tuna merupakan salah satu primadona komoditas ekspor produk
perikanan Indonesia. Dalam statistik perikanan Indonesia, istilah tuna digunakan
sebagai nama grup dari beberapa jenis ikan yang terdiri dari jenis tuna besar
(Thunnus spp, seperti yellowfin tuna, big eye, southern bluefin tuna, dan
albacore), dan jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlins, sailfish,
dan swordfish. Skipjack tuna sering digolongkan sebagai cakalang, sedangkan
istilah tongkol umumnya digunakan untuk jenis eastern little tuna (Euthynus
spp.), frigate and bullet tuna (Auxis spp) dan longtail tuna (Thunnus tonggol)
(Purnomo dan Suryawati 2007)
2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.)
Klasifikasi ikan tuna (Thunnus sp.) menurut Collete dan Nauen (1983)
adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Superclass : Gnathostomata
Class : Osteichthyes
Subclass : Actinopterygii
Infraclass : Teleostei
Superorder : Acanthopterygii
Order : Perciformes
Suborder : Scombroidei
Family : Scombridae
Subfamily : Thunnini
Genus : Thunnus (8 species)
Katsuwonus (1 species)
Euthynnus (3 species)
Auxis (2 species)
Ikan tuna termasuk famili Scombridae, tubuh ikan tuna berbentuk tegak,
memanjang dan fusiform (streamline) dengan dua buah sirip dorsal terpisah yang
7
memiliki satu jari-jari keras pada jari-jari pertamanya dan sirip kaudal berbentuk
bulan sabit. Sirip ventral berukuran lebih kecil atau sama dengan sirip pektoral,
serta terletak menjorok kebelakang dari dasar sirip pektoral. Seluruh ikan
scombroids memiliki finlet dibelakang sirip dorsal dan sirip anal, serta sepasang
caudal peduncle keel di tengah pangkal ekornya. Sirip dorsal pertama dan sirip
anal pertama dapat melipat kedalam lipatan, sedangkan sirip pektoral dan sirip
ventral menekan kedalam tubuh pada saat berenang dengan cepat. Ikan ini
memiliki empat lekuk/lengkung insang pada setiap sisinya dan filamen insangnya
mengeras sebagai “gill rays” (Collette dan Nauen 1983). Adapun bentuk tubuh
spesies ikan tuna disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus Sp). Sumber : http://www.dkp.go.id
Ikan tuna merupakan ikan yang memiliki kemampuan berenang cepat dan
melakukan migrasi sepanjang hidupnya (Shomura et al. 1991) sehingga dapat
ditemukan di beberapa perairan, bahkan spesies tertentu dapat ditemukan hampir
di seluruh perairan dunia. Kebiasaan ikan tuna untuk bermigrasi didukung oleh
sistem metabolisme tuna yang dapat mengatur jumlah panas yang ada di dalam
tubuh untuk mencapai kondisi biologis yang efektif (FAO 2010). Kemampuan
metabolisme tuna untuk mengatur jumlah panas didalam tubuhnya dilakukan
dengan Rete mirabile yang dapat memindahkan panas dari pembuluh darah
vena ke pembuluh darah arteri untuk mengurangi pendinginan permukaan tubuh
dan menjaga otot tetap hangat sehingga tuna mampu berenang lebih cepat dengan
energi yang lebih sedikit (Block & Stevens 2001).
8
Tuna terdapat di berbagai perairan, terutama yang mempunyai kadar
garam tinggi. Di Samudra Hindia penyebarannya meluas dari 30o LS ke utara dan
dari timur Australia hingga pantai Amerika. Di Samudra Atlantik meluas dari
pantai Amerika hingga benua Afrika dan di Nusantara selain di kedua lautan
tersebut terdapat di laut yang dalam diantaranya Laut Bali, Laut Flores, Laut
Sawu, dan Laut Arafuru serta Laut Banda (Simonangkir 1993).
Kajian mengenai komposisi kimia dan nilai gizi pada beberapa ikan tuna
telah banyak dilakukan. Komposisi kimia dan nilai gizi antara tuna bluefin,
yellowfin dan skipjack berdasarkan kajian Oehlenschlager dan Rehbein (2009)
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi gizi beberapa ikan tuna per 100 gram daging
Komposisi Satuan Spesies Tuna
Bluefin Yellowfin skipjack
Kadar air gr 68 71 71
Protein gr 23 23 22
Total lemak gr 5 15 1
Abu gr 1,2 1,3 1,3
Energi kkal 144 168 103
Kalsium mg 8 16 29
Magnesium mg 50 50 4
Fosfor mg 254 191 222
Potasium mg 252 444 407
Sodium mg 39 37 37
Seng mg 0,6 0,52 0,82
Tembaga mg 0,09 0,06 0,09
Selenium µg 0,02 0,02 0,02
Iodin µg 36 36 36
20:5 (n-3) gr 0,283 0,037 0,071
22:6 (n-3) gr 0,890 0,181 0,185
Kolesterol mg 38 45 47 Sumber: Oehlenschlager dan Rehbein (2009)
2.1.2 Tuna loin
Tuna Loin beku adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku
tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan,
penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan
perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan,
pengepakan, pelabelan, dan penyimpanan (Badan Standardisasi Nasional 2006).
9
Penanganan dan pengolahan ikan Tuna Loin berdasarkan ketentuan SNI 01-
4104.3-2006 meliputi:
1) Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik,
untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-
hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C
(untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).
2) Penyiangan atau tanpa penyiangan
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi
dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara
cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada
tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan
baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).
3) Pencucian 1 (khusus yang menggunakan bahan baku segar).
Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir
secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk
maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan
baku tuna beku).
4) Pembuatan loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat
bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat,
cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 °C
(untuk bahan baku tuna segar) atau -180C (untuk bahan baku tuna beku).
5) Pengulitan dan perapihan
Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih.
Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan
tetap mempertahankan suhu produk 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar)
atau -18 0C (untuk bahan baku tuna beku).
6) Sortasi mutu
Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat
tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan
10
secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk
maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar).
7) Pembungkusan
Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual
vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan
secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat
produk maksimal 4,4 °C (untuk bahan baku tuna segar).
8) Pembekuan
Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku
(freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal –18 °C dalam waktu
maksimal 4 jam (untuk bahan baku tuna segar). Loin dengan bahan baku
tuna beku dibekukan dengan cara disusun dalam pan pembeku, lalu
dibekukan dengan freezer hingga suhu pusat ikan mencapai –18 °C secara
tepat.
9) Penimbangan
Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah
dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta
tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 °C.
10) Pengepakan
Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan
plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan
saniter.
11) Pengemasan
Produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis,
pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya
kontaminasi dari luar terhadap produk.
12) Pelabelan dan pemberian kode
Setiap kemasan produk tuna loin beku yang akan diperdagangkan agar
diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang
dipersyaratkan disertai keterangan jenis produk; berat bersih produk; nama
dan alamat lengkap unit pengolahan secara lengkap; bila ada bahan
11
tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut; tanggal, bulan, dan tahun
produksi; dan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.
13) Penyimpanan
Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan
suhu maksimal -25 oC dengan fluktuasi suhu ±2
oC. Penataan produk
dalam gudang beku diatur sedemikian supa sehingga memungkinkan
sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.
2.1.3 Mutu dan kemunduran mutu ikan
The International Organization for Standarization 9000:2000 (ISO
9000:2000) mendefinisikan mutu sebagai derajat dari serangkaian karakteristik
produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan. Dalam
bidang perikanan mutu identik dengan kesegaran ikan. Kesegaran ikan berkaitan
dengan semua total karakteristik produk yang baru dipanen dengan ciri tidak
rusak, tidak menunjukkan tanda pembusukan, tetap memiliki sifat karakteristik
spesies hidup baik dalam bentuk utuh, fillet atau potongan (Bremner dan
Sakaguchi 2000). Bahan baku yang baik dan sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI 01-4104.2-2006) harus memiliki karakteristik kesegaran secara
organoleptik seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik kesegaran ikan secara organoleptik berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4104.2-2006)
Indikator Karakteristik
Rupa Bersih
Kenampakan Mata cerah, cemerlang
Bau Segar
Tekstur Elastis, padat dan kompak
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2006)
Untuk mempertahankan mutu ikan segar, bahan baku harus secepatnya
diolah. Apabila terpaksa harus menunggu proses lanjutan maka ikan harus
disimpan dengan penyimpanan dingin atau penampungan dengan suhu produk
maksimal 5 oC, saniter dan higienis (SNI 01-2729.3-2006).
12
Kemunduran mutu ikan didasarkan tiga mekanisme yaitu proses autolisis
oleh enzim, oksidasi, dan pertumbuhan mikroba (Ghaly et al. 2010). Perubahan
utama yang terjadi pada kemunduran mutu ikan adalah kerusakan dari protein dan
lemak (Mahmoud et al. 2006). Huss (1995) menyatakan bahwa pada penurunan
kualitas ikan selama penyimpanan, pembusukan periode penyimpanan awal
didominasi oleh proses autolisis dan digantikan oleh perubahan akibat aktivitas
bakteri pada periode selanjutnya. Menurut Haard (1992) pada daging ikan terdapat
beberapa enzim protease seperti katepsin, tripsin, kemotripsin, dan peptidase yang
bekerja pada otot selama postmortem. Perubahan pada daging ikan sebagai hasil
reaksi ini dapat menguntungkan kondisi untuk perkembangbiakan bakteri.
Setelah ikan mati, pasokan oksigen ke jaringan otot akan terganggu karena
darah tidak lagi dipompa oleh jantung dan tidak disirkulasikan melalui insang.
Karena tidak ada oksigen yang tersedia untuk respirasi normal, produksi energi
dari nutrisi sangat dibatasi. Glikogen (karbohidrat yang disimpan) atau lemak
akan teroksidasi oleh enzim pada jaringan dalam serangkaian reaksi yang
akhirnya menghasilkan karbon dioksida (CO2), air dan senyawa kaya energi
organik adenosin trifosfat (ATP). Jenis respirasi berlangsung dalam dua tahap:
secara anaerob dan aerob yang tergantung pada kandungan oksigen (O2) yang
tersedia dalam sistem peredaran darah (Huss 1995).
Autolisis pada prinsipnya adalah reaksi enzimatik, yang berlangsung di
jaringan ikan. Enzim dan reaksi kimia dalam otot ikan yang terkait tidak langsung
terhenti setelah kematian ikan. Kelanjutan aktivitas enzim memulai proses lainnya
seperti rigor mortis, yang merupakan dasar untuk pembusukan autolisis pada ikan
(Huss 1995). Tahap rigor mortis pada ikan ditandai dengan penurunan pH
dikarenakan pemecahan glikogen menjadi asam laktat (Green 2011).
Degradasi nukleotida pada daging ikan setelah mati telah diteliti selama
puluhan tahun dan dianggap sebagai salah satu indeks utama untuk menilai
kesegaran ikan. Setelah ikan mati, ATP akan terdegradasi oleh enzim endogenous
yang menyebabkan pembentukan berturut-turut adenosin-5'-difosfat (ADP),
adenosin-5'-monophosphate (AMP), inosin-5'-monophosphate (IMP), inosin (Ino
atau HxR) dan hipoksantin (Hx) yang degradasi ke xanthine (X) dan uric acid
(U). Degradasi ATP sampai IMP sangat cepat, tetapi degradasi IMP relatif lambat,
13
IMP dominan terakumulasi dalam otot ikan. Reaksi ini diyakini sebagai proses
autolisis. Degradasi ATP sampai IMP secara umum dikaitkan dengan enzim yang
terdapat pada daging ikan sedangkan perubahan IMP menjadi Ino dan HX
dikaitkan dengan pertumbuhan bakteri (Surette et al. 1988).
Selama proses kemunduran mutu pada ikan tuna, segera setelah ikan mati
dan selama proses autolisis akan terbentuk histamin dari hasil dekarboksilasi
histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar
25 oC (Keer et al. 2002). Enzim pemecah karboksil dapat berasal dari tubuh ikan
sendiri, namun sebagian besar enzim tersebut dihasilkan oleh mikroba yang
terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi
(Keer et al. 2002). Kimata (1961) pada mulanya menduga bahwa pembentukan
histamin disebabkan karena proses autolisis, namun ternyata peranan proses
autolisis terhadap pembentukan histamin sangat kecil dan diabaikan jumlahnya,
jika dibandingkan jumlah histamin yang terbentuk karena proses dekarboksilasi
oleh bakteri.
Bakteri pembentuk histamin kebanyakan dari famili Enterobacteriaceae
yang jenisnya sangat banyak, namun yang paling berperan dalam dekarboksilasi
histidin adalah Morganella morganii, Klebsiella pneumonia, dan Hafnia alvei.
Bakteri ini dapat ditemukan pada hampir semua jenis ikan, kemungkinan besar
hasil kontaminasi pasca panen. Bakteri penghasil histamin ini tumbuh baik pada
suhu 10 oC, tetapi dapat juga tumbuh pada 5
oC. Oleh karena itu, Food and Drug
Administration (FDA) menetapkan bahwa batas kritis suhu untuk pertumbuhan
histamin adalah 4,4 oC. Bakteri penghasil histamin ini memproduksi enzim
dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas pada daging ikan menjadi
histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari
lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Lehane dan Olley 2000).
Toksisitas histamin bertambah ketika ada amin biogenik lain yang ikut
dikonsumsi seperti putresin dan kadaverin (Rossi et al. 2002).
2.2 Traceability
Codex Alimentarius (CAC/GL 60-2006) menyatakan bahwa traceability
adalah kemampuan untuk mengikuti pergerakan dari makanan selama tahap
proses produksi dan distribusi. The International Organization for Standarization
14
9000:2000 (ISO 9000:2000) mendefinisikan traceability sebagai kemampuan
untuk menelusuri sejarah, aplikasi, atau lokasi dari hal dibawah pertimbangan,
dan catatan yang dapat menghubungkan produk dengan asal bahan dan sejarah
proses produk, serta distribusi produk. General Food Law Regulation 178/2002
Uni Eropa pada artikel 3 nomor 15 mendefinisikan traceability sebagai
kemampuan menelusuri makanan atau pakan atau bahan baku produksi makanan
atau pakan, dalam setiap tahap proses produksi dan distribusi.
Masalah keamanan pangan pada masa perdagangan global saat ini telah
memaksa timbulnya regulasi mengenai traceability (Senneset dan Foras 2007).
Berbagai regulasi tentang sistem jaminan keamanan pangan dan traceability telah
tersedia di berbagai negara. Uni Eropa General Food Law Regulation (EC 178,
klausul 18) telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi ini
mencakup elemen penting seperti aturan traceability dan penarikan produk
berbahaya (Recall Procedures) yang terdapat di pasaran. Aturan ini menyatakan
bahwa traceability didefinisikan sebagai kemampuan untuk menelusuri produk,
pakan, bahan yang digunakan untuk konsumsi melalui semua tahapan produksi,
pengolahan dan distribusi produk (Official Journal of the European Communities
2002). Amerika sejak peristiwa 11 September telah pula mengeluarkan The US
Public Health Security and Bioterrorism Preparedness and Response Act pada
tahun 2002. Regulasi ini memberikan kekuasaan bagi FDA (Food and Drugs
Administration) melakukan perlindungan terhadap keamanan pangan nasional
dengan melakukan berbagai langkah, salah satu diantaranya adalah pembuatan
dan pemeliharaan rekaman (record keeping) untuk kepentingan traceability
(Thakur dan Hurburgh 2009).
ISO 22005 (2007) sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di
dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal
harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk
tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan (one step forward)
dan satu langkah ke belakang (one step backward). ISO 22000 (2005) juga
menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan
melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan
15
kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan
distribusi.
Penerapan traceability dalam industri pengolahan dapat dijelaskan melalui
beberapa tahap, yakni analisis sistem, asesmen traceability, prosedur penarikan
produk, dan dokumentasi dan perekaman (Derrick dan Dillon 2004). Berikut
adalah penjelasan tiap-tiap tahapan:
A. Analisis sistem
Analisis sistem merupakan langkah pertama dalam mengembangkan
sistem traceability yaitu melakukan analisis prosedur-prosedur yang ada dalam
industri pengolahan ikan untuk menetapkan elemen apa yang telah ada dan dan
memastikan langkah kunci dalam pengembangan sistem telah teridentifikasi.
Secara umum menganalisis sistem produksi yang diterapkan perusahaan sebagai
langkah kunci dalam penerapan sistem traceability. Analisis tersebut (Derrick dan
Dillon 2004) terdiri atas:
1) Membuat tim manajemen
Tindakan awal dalam pengembangan sistem traceability adalah membuat tim
manajemen. Penting bagi perusahaan menunjuk seseorang yang memiliki
kemampuan untuk memimpin tim, memiliki pengetahuan mengenai
traceability, dan memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi.
2) Membuat diagram tahapan proses produksi.
Tahapan proses produksi yang dimaksud dimulai dari tahap pengadaan bahan
baku (raw material) hingga pemuatan produk akhir di dalam kontainer.
3) Membuat prosedur identifikasi
Prosedur identifikasi disusun berpatokan pada diagram alir proses produksi
yang telah dibuat. Pembuatan prosedur identifikasi bertujuan untuk
menentukan format alat-alat dokumentasi serta menetukan pihak-pihak yang
bertanggung jawab terhadap rekaman tersebut.
4) Melakukan perekaman pada setiap tahapan proses produksi.
Perekaman pada tiap tahap proses bertujuan mengidentifikasi dan merekam
setiap hal yang berhubungan dengan produk baik pekerja, lingkungan, bahan
tambahan pada produk, dan hal-hal lain yang diperlukan.
16
5) Verifikasi
Verifikasi merupakan bagian penting dalam sistem perekaman terutama
sebagai alat konfirmasi dengan manajemen tingkat atas.
B. Asesmen traceability
Asesmen traceability merupakan sebuah kegiatan menentukan
kemampuan suatu prosedur dan perekaman mendukung penerapan sistem
traceability di unit pengolahan. Asesmen traceability di unit pengolahan
dilakukan dengan menggunakan traceability decision tree.
Traceability decission tree diawali dengan menjawab pertanyaan pada
masing-masing proses produksi secara berurutan (Derrick dan Dillon 2004) yang
meliputi :
1) Identifikasi prosedur dan rekaman perusahaan yang menyangkut traceability.
Apabila dokumen dalam tiap proses yang dibutuhkan untuk menjamin
traceability tidak ada, maka prosedur harus dimodifikasi.
2) Identifikasi apakah kode pengenal batch yang dicatat berdasarkan hubungan
data proses dengan masing-masing batch.
3) Identifikasi apakah kode pengenal batch dipindahkan dengan produk ke tahap
selanjutnya.
Apabila jawaban semua pertanyaan tersebut adalah tidak, maka perlu
dilakukan perubahan rekaman atau prosedur untuk memperbaiki pelaksanaan
traceabiliy selama di dalam industri. Diagram alir metode traceability decision
tree dapat dilihat pada Gambar 2.
17
Gambar 2 Skema traceability decision tree (Derrick dan Dillon 2004).
C. Prosedur penarikan produk (recall)
Prosedur penarikan produk (recall) akan terlihat manfaatnya pada saat
suatu produk diketahui mengandung bahaya oleh pihak yang bersangkutan yaitu
penjual atau pembeli. Jika demikian, maka produk akan ditarik dari peredaran
maupun dari tahapan proses produksinya. Adapun prosedur recall produk terdiri
atas:
1) Membuat tim manajemen recall produk
2) Membuat file produk yang dikomplain
3) Mencatat pihak yang melaporkan komplain
4) Menelusuri rantai produk
5) Menelusuri rekaman persediaan dan distribusi produk
6) Membuat tata cara penarikan produk yang memungkinkan
7) Mencatat penarikan produk
8) Evaluasi dan merancang penarikan produk yang lebih efektif
9) Uji coba rencana penarikan
Apakah pada tahap ini dibuat rekaman ?
Q1
Lanjut ke tahap selanjutnya
Apakah rekaman diperlukan untuk menelusuri produk ?
Q1a
Tindakan yang diperlukan : Membuat rekaman pada tahap ini
Tindakan yang diperlukan : Memodifikasi rekaman termasuk kode batch
Tindakan yang diperlukan : Mengembangkan metode termasuk kode batch
Apakah kode batch diikutsertakan dalam rekaman ?
Q2
Apakah kode batch pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya ?
Q3
ya
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ya
18
D. Dokumentasi dan perekaman
Setelah semua tahapan penerapan sistem traceability dilakukan, kegiatan
selanjutnya adalah mendokumentasikan serangkaian kegiatan yang telah
dilakukan sebagai arsip apabila kelak dibutuhkan perusahaan. Rekaman mutu
mewakili bukti bahwa prosedur mutu yang diharuskan telah diterapkan pada
produk dan jasa yang ditentukan. Rekaman harus dalam keadaan sah, mudah
diidentifikasi, dan mudah ditemukan. Pembentukan divisi pada perusahaan yang
spesifik menangani masalah traceability sangat direkomendasikan.
2.3 Sistem Informasi
Sistem adalah seperangkat unsur-unsur yang terdiri dari manusia, alat,
konsep dan prosedur yang dihimpun menjadi satu untuk maksud dan tujuan
bersama (Davis 1992). Sedangkan menurut Dengen dan Hatta (2009) sistem
adalah sekumpulan elemen yang dalam sebuah jaringan yang bekerja secara
teratur dalam satu kesatuan yang bulat dan terpadu untuk mencapai sebuah tujuan
atau sasaran tertentu. Suatu sistem dapat terdiri dari sistem-sistem bagian
(subsistem). Misalnya, sistem komputer terdiri dari subsistem perangkat keras dan
perangkat lunak. Masing-masing subsistem dapat terdiri dari subsistem yang lebih
kecil lagi. Subsistem-subsistem tersebut saling berinteraksi dan berhubungan
membentuk satu kesatuan sehingga tujuan atau sasaran sistem tersebut dapat
tercapai (Amirin 2003).
Model umum sebuah sistem terdiri dari masukan, pengolah, penyimpanan
dan keluaran. Hal ini tentu saja sangat sederhana karena sebuah sistem mungkin
memiliki beberapa masukan dan keluaran. Informasi merupakan data yang telah
diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat
dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang (Davis 1992). Sedangkan
sistem informasi adalah kumpulan atau susunan yang terdiri dari perangkat keras
dan perangkat lunak serta tenaga pelaksananya yang bekerja dalam sebuah proses
berurutan dan secara bersama-sama saling mendukung untuk menghasilkan suatu
produk (Dengen dan Hatta 2009). Model dasar sebuah sistem informasi dapat
dilihat pada Gambar 3.
19
Gambar 3 Model dasar sistem informasi (Davis 1992).
Sistem informasi memiliki perhatian khusus terhadap pengumpulan,
penyimpanan, analisis dan mendapatkan kembali (retrieval) data. Dalam konteks
manajemen keamanan pangan hal-hal tersebut sangat penting untuk mendukung
pengambilan keputusan dalam kerangka waktu yang singkat dan berpotensi
memungkinkan pengambilan keputusan yang harus dibuat secara real time
(McMeekin et al. 2006).
Saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan telah mendorong timbulnya
ketertarikan pada sistem elektronik bagi chain traceability. Salah satu contohnya
ketertarikan akan sistem yang mampu memfasilitasi komunikasi antara sistem
bisnis dan bekerja secara terintegrasi sebagai bagian dari manajemen produksi.
Dalam hal ini, sistem traceability berperan sebagai perlindungan merk dagang
(brand protection) melalui penyediaan informasi seperti asal bahan mentah yang
digunakan, rekaman sepanjang proses produksi (processing hystory) dan
informasi terkait lainnya (McMeekin et al. 2006). Dengan menggunakan sistem
elektronik untuk melakukan traceability sepanjang rantai distribusi (chain
traceability), informasi hanya akan dimasukkan sekali tidak ditulis setiap kali
bahan mentah diproses, dikemas atau dikemas ulang. Hal ini dapat mengurangi
kesalahan dan penghematan waktu pada beberapa tahapan dalam rantai distribusi
(Frederiksen et al. 2002; Larsen 2003).
Info-Fisk project (Frederiksen et al. 2002), melakukan kajian pada rantai
distribusi ikan segar dan mendemonstrasikan bahwa sistem berbasis internet
(internet-based) mampu menyediakan kemampuan traceability secara
keseluruhan sejak penangkapan, pengumpul, pelelangan, grosir dan penjualan
terakhir pada supermarket. Sistem ini menggunakan barcode sebagai media
identifikasi produk dan XML (Extensible Markup Language) untuk transfer
informasi berbasis internet antar operator bisnis.
Data Pengolahan Informasi
Penyimpanan
20
3 METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di perusahaan pengolahan ikan tuna PT X, yang
terletak pada kawasan Pelabuhan Perikanan Samudra Muara Baru, Jakarta Utara.
Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah bulan Agustus-September 2010.
3.2 Tahapan Penelitian
Penelitian ini mencakup evaluasi sistem dokumentasi rantai distribusi
penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X dan dilakukan dalam
beberapa tahapan, yaitu:
1. Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi
penanganan ikan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X, sebagai mata rantai
industri pengolahan tuna loin.
2. Melakukan analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem
dokumentasi program traceability pada jaringan distribusi penanganan tuna
yang memiliki kaitan dengan PT X. Pelaksanaan penerapan dokumentasi
program traceability meliputi prosedur perekaman, manajemen perekaman
dan sistem pengkodean. Adapun asesmen yang dilakukan menggunakan
traceability decission tree, untuk memastikan keperluan tahapan terhadap
proses ketelusuran.
3. Analisis dan desain pengembangan sistem informasi dalam jaringan rantai
distribusi tuna untuk pelaksanaan penerapan dokumentasi program
traceability. Kegiatan pelaksanaan pengembangan sistem informasi yang
dilakukan meliputi identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model
traceability internal, pengembangan model untuk pertukaran informasi antar
aktor (pihak-pihak) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir
adalah desain basis data.
Secara lengkap masing-masing tahapan tersebut adalah :
3.2.1 Mempelajari, mendeskripsikan dan memverifikasi jaringan distribusi
penanganan tuna yang memiliki kaitan dengan PT X.
1) Mempelajari jaringan rantai distribusi tuna yang berkaitan dengan PT X
mulai dari penangkapan hingga ekspor.
21
2) Pembuatan jaringan rantai distribusi tuna.
3) Verifikasi dan presentasi jaringan rantai distribusi tuna di PT X. Verifikasi
dan presentasi dilakukan dengan konsultasi dan diskusi kepada QC dan
manajer umum PT X.
3.2.2 Analisis dan asesmen terhadap praktek implementasi sistem
dokumentasi program traceability pada jaringan distribusi
penanganan tuna yang berkaitan dengan PT X
Analisis sistem merupakan langkah pertama dalam mengembangkan sistem
dokumentasi program traceability yaitu melakukan analisis prosedur-prosedur
yang ada dalam industri pengolahan ikan tuna untuk menetapkan elemen apa yang
telah ada dan memastikan langkah kunci dalam pengembangan sistem telah
teridentifikasi. Sedangkan asesmen traceability merupakan sebuah kegiatan
menentukan kemampuan suatu prosedur dan perekaman mendukung penerapan
sistem traceability di unit pengolahan.
3.2.2.1 Analisis praktek implementasi sistem traceability
Analisis sistem traceability yang dilakukan menggunakan data primer
maupun data sekunder berupa prosedur-prosedur yang diperoleh di industri
penanganan dan pengolahan tuna. Inventarisasi data primer dilakukan secara
langsung di lapangan melalui wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder
melalui studi pustaka, analisis dokumen, serta informasi dari instansi terkait. Data
yang diperoleh di evaluasi kesesuaiannya dengan mengacu pada standar aturan
yang berlaku di Uni Eropa (EC No. 178/2002) maupun Amerika (Bioterrorism
Act 2002) sebagai negara tujuan ekspor, selain itu juga mengacu kepada standar
internasional, Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 60-2006) mengenai
prinsip traceability sebagai alat untuk inspeksi makanan dan sistem sertifikasi dan
The International for Standarization seperti sistem manajemen keamanan pangan
ISO 22000.
Analisis sistem traceability menurut Derrick dan Dillon (2004) meliputi :
1) Analisis prosedur perekaman proses produksi
Analisis prosedur perekaman disusun berpatokan pada diagram alir proses
produksi tuna loin beku masing-masing aktor. Pada tahap ini, semua informasi
yang berkaitan dengan produk sepanjang proses produksi dipastikan telah
didokumentasikan.
22
2) Analisis manajemen perekaman
Analisis manajemen perekaman dilakukan meliputi semua ruang lingkup
traceability yaitu Supplier traceability, Process traceability dan Customer
traceability.
3) Analisis sistem pengkodean
Analisis sitem pengkodean dilakukan untuk melihat bagaimana perusahaan
memberikan kode identifikasi pada suatu produk dan menjaga keutuhan kode
bersama dengan informasi yang terkandung di dalamnya sepanjang proses
produksi.
Masing-masing analisis diatas dilakukan di seluruh tahap penanganan dan
pengolahan yang terjadi di rantai distribusi tuna loin.
3.2.2.2 Asesmen praktek implementasi sistem traceability
Tahap selanjutnya adalah melakukan asesmen terhadap praktek implementasi
sistem dokumentasi program traceability. Asesmen sistem dokumentasi program
traceability adalah penentuan kemampuan prosedur perekaman dan kegiatan
perekaman di unit pengolahan yang mampu mendukung penerapan sistem
traceability. Metode yang digunakan mengacu pada konsep traceability decision
tree (Derrick dan Dillon 2004).
Traceability Decision Tree diawali dengan pertanyaan pada masing-masing
proses produksi secara berurutan yang meliputi :
4) Identifikasi prosedur dan dokumen perusahaan yang menyangkut traceability.
Apabila dokumen dalam tiap proses yang dibutuhkan untuk menjamin
traceability tidak ada, maka prosedur harus diganti.
5) Identifikasi apakah kode pengenal suatu batch (batch identification codes)
yang dicatat berdasarkan hubungan data proses dengan masing-masing batch.
6) Identifikasi apakah kode pengenal suatu batch (batch identification codes)
dipindahkan dengan produk ke tahap selanjutnya.
Apabila jawaban semua pertanyaan tersebut adalah tidak, maka perlu
dilakukan perubahan prosedur pencatatan untuk memperbaiki pelaksanaan
traceabiliy selama di dalam industri. Diagram alir metode traceability decision
tree dapat dilihat pada Gambar 4.
23
Gambar 4 Skema Traceability Decision Tree (Derrick dan Dillon 2004).
3.2.3 Analisis dan desain atau perancangan sistem informasi untuk
mendukung penerapan traceability pada rantai distribusi tuna loin
beku
Konsep desain atau perancangan sistem informasi berbasis teknologi
informasi mengacu pada Thakur dan Hurburgh (2009). Tahapan perancangan
sistem informasi dilakukan untuk memberikan gambaran tentang Unit Pengolahan
Ikan, dalam hal ini PT X dan kaitannya dengan supplier (pemasok) maupun
konsumennya (buyer). Tahapan ini dilaksanakan dalam 4 (empat) aktivitas atau
kegiatan yaitu identifikasi kebutuhan sistem, pengembangan model traceability
internal, desain model untuk pertukaran informasi antar aktor (pihak-pihak) yang
terlibat dalam rantai distribusi tuna, dan terakhir adalah desain basis data.
Skematis tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Apakah pada tahap ini dibuat rekaman ?
Q1
Melanjutkan ke tahap selanjutnya
Apakah rekaman diperlukan untuk menelusuri produk ?
Q1a
Tindakan yang diperlukan : Membuat rekaman pada tahap ini
Tindakan yang diperlukan : Memodifikasi rekaman termasuk nomor lot
Tindakan yang diperlukan : Mengembangkan metode termasuk kode nomor lot
ya
ya
tidak
tidak
tidak
Apakah kode nomor lot diikutsertakan dalam rekaman ?
Q2
Apakah kode nomor lot pada produk diikutsertakan pada tahapan proses selanjutnya ?
Q3
tidak
24
Gambar 5 Tahapan perancangan sistem informasi (mengacu Thakur dan
Hurburgh 2009).
3.2.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem
Identifikasi kebutuhan sistem merupakan langkah pertama dari analisis dan
desain sistem informasi untuk mendukung implementasi dokumentasi program
traceability pada rantai distribusi ikan tuna. Tahapan identifikasi kebutuhan
sistem bertujuan memenuhi dan menyelaraskan antara berbagai kebutuhan dari
seluruh aktor yang terlibat.
Pelaksanaan identifikasi kebutuhan sistem meliputi penentuan dari pihak-
pihak (aktor) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna. Batasan terhadap pihak-
pihak (aktor) dalam penelitian ini adalah aktor yang terkait dengan PT X, baik
pihak supplier maupun pihak yang menerima produk akhir hasil produksi dari
perusahaan. Secara umum aktor-aktor yang terlibat dengan PT X adalah kapal
penangkap ikan, tempat pendaratan ikan (transit), unit pengolah ikan (PT X),
grosir (wholesalers), dan retailer.
Selanjutnya dari aktor-aktor yang terlibat dibuat interaksinya dalam bentuk
gambar model sistem traceability dari rantai distribusi tuna. Gambar model
tersebut menggunakan model diagram use case yang mengacu pada Lee dan Xue
(1999). Diagram use case ini membantu menjelaskan mengenai hubungan antara
aktor dengan setiap use case dalam sistem traceability rantai distribusi tuna yang
ada (Gambar 6).
Identifikasi kebutuhan sistem
Pengembangan model traceability internal
Desain model untuk pertukaran informasi antara
aktor yang terlibat dalam sistem
Desain basis data
25
Gambar 6 Model use case diagram dan bagian-bagiannya.
3.2.3.2 Pengembangan model traceability internal
Langkah selanjutnya adalah pengembangan model traceability internal.
Traceability internal memiliki peranan yang sangat penting dalam traceability
secara keseluruhan (chain traceability). Traceability internal dikembangkan
sebagai dasar bagi pengembangan pertukaran informasi pada chain traceability
tuna. Traceability internal yang baik akan memudahkan dalam pelacakan produk
secara keseluruhan dalam suatu rantai distribusi.
Pengembangan model traceability internal dikembangkan dengan
menggunakan teknik Integrated Definition Modelling (IDEF0) yang mengacu
IDEF0 (1993). Teknik Integrated Definition Modelling (IDEF0) menerangkan
mengenai masukan (input), keluaran (output), kontrol (control) dan mekanisme
(mechanisms) dari suatu proses (Gambar 7). Model ini dapat disusun secara
Aktor Use case Batasan sistem
Sistem
Use case
Use case
Use case
Use case
Sistem traceability rantai distribusi tuna
Aktor
Aktor
Aktor
Aktor
Aktor
Keterangan:
Garis penghubung
26
hierarki dalam bentuk struktur pohon (tree stucture), yaitu berupa sub proses-sub
proses dari proses utama (parent process).
Gambar 7 Model umum IDEF0.
Langkah pertama dari teknik IDEF0 adalah mengidentifikasi fungsi (proses)
utama. Proses utama pada penelitian ini adalah pengembangan sistem traceability
internal pada UPI (Unit Pengolahan Ikan) tuna. Setelah mengetahui proses utama
maka dilakukan pendefinisian input (sesuatu yang dapat digunakan dari suatu
proses untuk menghasilkan suatu output), kontrol (kondisi atau prinsip atau
batasan yang dibutuhkan sehingga suatu proses dapat menghasilkan output),
mekanisme (bagaimana suatu proses direalisasikan) dan output (data atau obyek
yang dihasilkan dari suatu proses) dari proses utama tersebut.
Input dan kontrol dipilih secara teoritis mengacu pada standar ISO 22005 :
2007, sedangkan mekanisme dan untuk mencapai output yang diinginkan
mengacu pada Thakur dan Humburgh (2009). Input pada penelitian ini adalah
regulasi, karakteristik produk dan harapan konsumen dengan acuan standar ISO
22005 : 2007. Mekanisme yang digunakan adalah standar industri, personal dan
prosedur-prosedur yang ada, sedangkan output yang ingin dihasilkan adalah
dokumentasi proses produksi, sertifikat yang divalidasi, jaminan kualitas
keamanan pangan, kepuasan konsumen dan pemenuhan regulasi yang berlaku.
Langkah selanjutnya dari teknik IDEF0 ini adalah menguraikan proses
utama menjadi sub proses-sub proses. Penguraian proses utama ini dibagi menjadi
5 tahap dimana output dari suatu tahapan merupakan input bagi tahapan yang lain
(Thakur dan Humburgh 2009). Kelima tahapan tersebut adalah untuk melihat
rencana sistem traceability, penerapan traceability, evaluasi pelaksanaan sistem,
validasi sistem dan perawatan sistem (Gambar 8).
NAMA
PROSES Masukan Keluaran
Kontrol
Mekanisme
27
Gambar 8 Penguraian model IDEF0 (pengembangan sistem traceability internal
tuna).
3.2.3.3 Model pertukaran informasi traceability
Model pertukaran informasi pada rantai distribusi tuna (tuna supply chain)
dibuat untuk menggambarkan informasi apa saja yang harus disimpan dan
dipertukarkan dalam rantai distribusi. Langkah yang dilakukan untuk
memodelkan pertukaran informasi dibagi menjadi tiga bagian yang mengacu pada
Thakur dan Hurburgh (2009).
Langkah pertama adalah memodelkan aliran produk tuna dan aliran
informasinya yang terlihat dari gambar rantai distribusi tuna beku. Dari gambar
tersebut akan terlihat aktivitas-aktivitas yang terjadi pada suatu produk tuna dan
informasi-informasi yang sebaiknya diteruskan oleh masing-masing aktor
sepanjang jalur distribusinya.
Langkah selanjutnya adalah menggambarkan pertukaran informasi ketika
salah satu aktor meminta informasi tambahan terhadap suatu produk yang diduga
berbahaya menggunakan sequence diagram mengacu pada Pender (2002).
Sequence diagram mengilustrasikan bagaimana suatu obyek berinteraksi dengan
obyek lainnya (interaksi antar obyek). Tipe interaksi pada sequence diagram
dapat dilihat pada Gambar 9, sedangkan model sequence diagram yang digunakan
pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Masukan Keluaran
Mekanis
me
Kontrol
Penerapan
/Implementasi
Traceability Evaluasi
Pelaksanaan
Sistem
Validasi
Sistem
Perawatan
Sistem
Menentukan Rencana
Sistem
Traceability
28
Kirim data produk Kirim data produk
Kirim data produk
Pesan tambahan
Pesan tambahan
Tanggapan pesan tambahan
Tanggapan pesan tambahan
Pesan tambahan
Tanggapan pesan tambahan
Gambar 9 Tipe interaksi pada sequence diagram. Sumber: Pender 2002
Gambar 10 Model sequence diagram yang digunakan pada penelitian.
Langkah terakhir adalah memfasilitasi bagaimana suatu data/informasi
dipertukarkan antar aktor dalam suatu rantai distribusi. Hal ini dapat dilakukan
menggunakan XML (Extensible Markup Language) (Folinas et al. 2007). XML
merupakan bahasa yang digunakan untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang
berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic exchange)
antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi.
3.2.3.4 Desain basis data
Penggunaan basis data pada sistem traceability perusahaan bertujuan
untuk mengurangi adanya program data dependence, duplikasi data dan
keterbatasan berbagi informasi yang direpresentasikan menggunakan entity
relationship diagram (ERD). ERD merupakan suatu diagram yang dapat
menunjukkan cara data dan informasi akan disimpan di dalam basis data beserta
hubungan antar data. Bagian yang digunakan untuk membangun suatu entity
relationship diagram adalah entitas (entity), atribut, dan hubungan/relasi antar
entitas (relationship) mengacu pada Hoffer et al. (2002). Tahapan-tahapan dalam
dalam melakukan desain basis data dapat dilihat dari Gambar 11.
Pesan yang membutuhkan tanggapan Tanggapan dari suatu pesan
Aktor Aktor Aktor Aktor
29
Persyaratan Data
E-R model
Definisi entitas
Rancangan skema eksternal &
konseptual
(terlepas dari DBMS)
Tahap I:
Koleksi & analisis
persyaratan
Tahap II:
Rancangan konseptual
Tahap III:
Pemilihan DBMS
Tahap IV:
Rancangan logikal
Tahap V:
Rancangan fisik
Tahap VI:
Implementasi
Rancangan skema eksternal &
konseptual
(sesuai dengan DBMS terpilih)
Rancangan skema internal
(sesuai dengan DBMS terpilih)
Pembangunan Basis Data
Persyaratan Proses
Rancangan Transaksi
Data
Rancangan program
aplikasi
Penyusunan program
aplikasi
Operasional program
aplikasi
Definisi:
tabel, index,
view, jalur,
akses, format
penyimpanan
Gambar 11 Tahapan perancangan basis data (Elmasri dan Navathe 1994).
Langkah yang digunakan pada penelitian ini hanya sampai pada tahap 2.
Persyaratan data (tahap 1) berisikan data-data yang dibutuhkan untuk
pengembangan basis data yaitu sesuai dengan data-data proses produksi tuna beku
di perusahaan. Rancangan konseptual basis data (tahap 2) menghasilkan skema
konseptual dari basis data yang bebas dari DBMS (database management system)
tertentu. Dalam hal ini digunakan pemodelan ERD (Entity Relationship Diagram)
menggunakan program microsoft office visio 2007.
30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Rantai Distribusi Ikan Tuna
Rantai produksi perikanan khususnya untuk ikan hasil tangkapan bisa
sangat panjang dan melibatkan banyak pihak. Secara umum, rantai distribusi ikan
hasil tangkapan melibatkan berbagai aktor (pihak) antara lain kapal penangkap
ikan, tempat pendaratan ikan (vessel landing businesses) dan tempat pelelangan
ikan, unit pengolah, perusahaan pengangkutan, grosir (wholesalers), dan retailer
(CEN 14660:2003). Dalam suatu rantai distribusi ikan beberapa pihak atau
seluruh pihak dalam standar tersebut dapat terlibat.
Rantai distribusi tuna (tuna supply chain) di PT X di mulai dari hasil
tangkapan tuna oleh nelayan didistribusikan untuk dibongkar muat di pelabuhan
(transit). Pada bagian transit ikan tuna yang masuk disortir secara organoleptik
oleh checker untuk dibedakan berdasarkan mutunya, yaitu: ikan tuna dengan mutu
A, B, C, dan D. Hasil sortir mutu ikan tuna sebagian akan diekspor langsung ke
Jepang, sedangkan bagian lainnya akan dijual kepada Unit Pengolahan Ikan (UPI)
dan pasar lokal. Rantai distribusi tuna ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Rantai distribusi ikan tuna.
Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 12. Kapal penangkap ikan
melakukan penangkapan ikan tuna yang kemudian didaratkan dan dijual ke pihak
transit. Pihak transit melakukan penjualan ikan tuna yang masuk ke berbagai
pihak mulai dari melakukan kegiatan ekspor secara langsung maupun melakukan
penjualan kepada pihak UPI (PT X) dan pasar lokal. Ikan tuna segar dengan mutu
A dan B di ekspor utuh (whole) ke Jepang menggunakan pesawat terbang sebagai
alat transportasinya, ikan tuna ini nantinya akan digunakan sebagai bahan baku
Kapal Transit
Transportasi Distributor Retailer
Distributor
Retailer
UPI
Pasar Lokal
Transportasi
31
untuk pembuatan sushi dan sashimi. Untuk ikan tuna dengan mutu C dan D, dijual
kepada pihak UPI yang tersebar di muara baru dengan spesifikasi ukuran (size) 16
up (16-19 kg), 20 up (20-29 kg) dan 30 up (lebih dari 30 kg) untuk diolah menjadi
produk diversifikasi tuna. Produk hasil diversifikasi tuna kemudian di
transportasikan menggunakan kapal untuk di ekspor ke pihak importir (grosir),
untuk selanjutnya didistribusikan kepada konsumen akhir oleh pihak retailer.
Selanjutnya, ikan tuna yang tidak masuk spesifikasi untuk ekspor maupun
spesifikasi UPI, akan dijual oleh pihak transit ke pasar lokal.
4.2 Analisis Praktek Implementasi Sistem Traceability
Analisis traceability dilakukan pada aktor yang terlibat dalam rantai
distribusi tuna loin beku yang berkaitan dengan PT X meliputi analisis prosedur
perekaman, analisis manajemen perekaman dan analisis sistem pengkodean. Aktor
yang terlibat antara lain Kapal Penangkap Tuna, Transit, PT X, dan Wholesaler
(Distributor) dan Retailer. Namun untuk tahap analisis ini hanya dibatasi hingga
pihak wholesaler saja.
4.2.1 Analisis prosedur perekaman
Analisis prosedur perekaman dilakukan pada tiap-tiap aktor (pihak) yang
terlibat dan bertujuan untuk memastikan semua informasi yang berkaitan dengan
produk sepanjang penanganan dan proses produksi dipastikan telah
didokumentasikan.
1) Kapal penangkap tuna dan transit
Analisis prosedur perekaman proses penangkapan ikan tuna diawali dari
penangkapan hingga bongkar muat dan penanganan ikan di darat. Tahap analisis
dapat dilihat pada Tabel 3.
32
Tabel 3 Tahapan aktivitas penangkapan tuna di kapal dan penanganan di transit.
No Nama tahapan kegiatan Aktivitas meliputi
1 Penangkapan* Kegiatan penangkapan
2 Penanganan di kapal* Teknik mematikan tuna
Pembuangan darah
Pembuangan insang dan isi perut
Pencucian
Penyimpanan (on-board storage)
3 Bongkar muat dan penanganan
di darat** Pembongkaran
Pengangkutan atau pemindahan
Penanganan:
- Pemeriksaan dan sortasi
- Pembersihan
- Pengemasan
- Pengangkutan dan pengiriman Sumber: * Blanc et al. (2005)
** SNI 01-2729.3-2006
Tabel 3 menunjukkan aktivitas-aktivitas yang secara umum terjadi selama
kegiatan penangkapan hingga penanganan di darat pada kapal penangkap ikan dan
tempat transit ikan. Kegiatan perekaman juga sebaiknya meliputi aktivitas-
aktivitas tersebut. Secara umum rekaman selama penangkapan dapat dilihat pada
log book penangkapan ikan tuna menggunakan alat tangkap rawai tuna dan
pancing ulur (Lampiran 1), sedangkan rekaman untuk pihak transit disesuaikan
dengan aktivitas selama bongkar muat dan penanganan hingga ikan
didistribusikan ke aktor selanjutnya. Deskripsi detail dari informasi yang
dibutuhkan dapat dilihat pada standar tracefish CEN 14460 (2003).
2) PT X
Analisis prosedur perekanan proses produksi tuna loin beku dilakukan
pada setiap tahap proses produksi di PT X. Tahap analisis dimulai dari tahap
pembelian hingga tahap pengisian (stuffing) dimana aktivitas yang dilakukan
selama proses produksi dapat dilihat pada Lampiran 2 sedangkan rekaman dapat
dilihat pada Tabel 4.
33
Tabel 4 Proses produksi tuna loin beku dan formulir rekaman yang digunakan.
No Nama tahapan kegiatan Rekaman
1 Pembelian (purchasing) Tally sheet of purchasing,
Record of harvest vessel
2 Penerimaan bahan baku Report of raw material receiving
3 Pencucian I Record of daily temperature
4 Penyimpanan sementara Record of daily temperature
5 Pencucian II Record of daily temperature
6 Penimbangan I Record of daily temperature
7 Pemotongan kepala Record of daily temperature
8 Pembentukan loin (loining) Record of daily temperature
9 Pembuangan kulit, daging gelap
dan duri Record of daily temperature
10 Penimbangan II Record of daily temperature
11 Pembungkusan sementara Record of daily temperature
12 Pemberian gas CO -
13 Pendinginan (chilling) Chilling temperature report
14 Sortasi mutu Record of daily temperature
15 Perapihan (retouching) Report of inspection product after
trimming before freezing
16 Penimbangan III Record of daily temperature
17 Pembungkusan Record of daily temperature
18 Pemvakuman Record of daily temperature
19 Penyusunan Record of daily temperature
20 Pembekuan Freezing monitoring report
21 Penimbangan IV Record of daily temperature
22 Pengemasan dalam master
carton dan pelabelan Daily report of packing and
labelling
23 Penyimpanan Cold storage temperature report
24 Pengisian (stuffing) Report of stuffing
Pembelian (purchasing)
Selama proses pembelian staf bagian produksi PT X mencatat pembelian
dalam tally sheet tentang no batch, size, tanggal pembelian, nama kapal, nomor
transit, dan nama supplier. Pada proses pembelian juga didapat informasi-
informasi tentang penangkapan dan penanganan ikan tuna selama di kapal
maupun di transit yang dicatat oleh staf produksi PT X dalam record of harvest
vessel (Lampiran 3) yang meliputi tanggal pembelian, berangkat dan berlabuh
kapal, area penangkapan, metode penangkapan, pendinginan dan penanganan, uji
organoleptik, penyortiran, nama penyortir dan pengirim.
34
Penerimaan bahan baku
Pada tahap penerimaan ikan tuna didapatkan rekaman yang berisi
informasi mengenai suhu pusat ikan, berat ikan, tanggal penerimaan, kode
pemasok, nomor batch, uji organoleptik (bau, tekstur dan warna) yang dicatat
dalam record of raw material receiving oleh quality control (QC). Record of raw
material receiving dapat dilihat pada Lampiran 4.
Pencucian I
Selama proses pencucian I dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat
dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Penyimpanan sementara
Selama proses penyimpanan sementara dilakukan pencatatan suhu ruang
yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Pencucian II
Selama proses pencucian II dilakukan pencatatan suhu ruang yang dicatat
dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Penimbangan I
Selama proses penimbangan I dilakukan pencatatanhasil penimbangan
yang dicatat dalam telly sheet of weighting.
Pemotongan kepala
Selama proses pemotongan kepala dilakukan pencatatan suhu ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Pembentukan loin (loining)
Selama proses pembentukan loin dilakukan pencatatan suhu ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Pembuangan kulit, daging gelap dan duri
Selama proses pembuangan kulit, daging gelap dan duri dilakukan
pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily
temperature (Lampiran 5).
Penimbangan II
Selama proses penimbangan II dilakukan pencatatan suhu ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
35
Pembungkusan sementara
Selama proses pembungkusan sementara dilakukan pencatatan suhu ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Pemberian gas CO
Pada proses pemberian gas CO, pencatatan baik suhu ruang maupun suhu
ikan tidak dilakukan.
Pendinginan (chilling)
Selama proses pendinginan dilakukan pencatatan suhu chilling
(sekitar -4 oC hingga 0
oC) yang dicatat dalam chilling temperature report
(Lampiran 6).
Sortasi mutu
Selama proses sortasi mutu dilakukan pencatatan suhu ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Perapihan (retouching)
Selama proses perapihan dilakukan pencatatan terhadaphasil pemeriksaan
loin terhadap benda asing, misalkan tulang, kulit, daging merah atau pengotor
lain, yang dicatat dalam report of inspection product after trimming before
freezing (Lampiran 7). Sedangkan suhu ruang selama perapihan sekitar 20oC
dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Penimbangan III
Selama proses penimbangan III dilakukan pencatatan suhu ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Pembungkusan
Selama proses pembungkusan dilakukan pencatatan suhu ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Pemvakuman
Selama proses pemvakuman dilakukan pencatatan suhu ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Penyusunan
Selama proses penyusunan dilakukan pencatatan suhu ruang (sekitar 20oC)
yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
36
Pembekuan
Selama proses pembekuan dilakukan pencatatan alat Air Blast Freezer
(ABF) (-40oC) yang dicatat dalam freezing monitoring report (Lampiran 8).
Penimbangan IV
Selama proses penimbangan IV dilakukan pencatatan suhu ruang
(sekitar 20oC) yang dicatat dalam record of daily temperature (Lampiran 5).
Pengemasan dalam master carton dan pelabelan
Selama proses pengemasan dan pelabelan dilakukan perekaman yang
meliputi jenis produk, no batch, kualitas kemasan vakum, berat bersih, kualitas
pengemasan dan label. Perekaman ini dicatat dalam daily report of packing and
labelling (Lampiran 9).
Penyimpanan
Selama proses penyimpanan dilakukan pencatatan suhu cold storage yaitu
sekitar -20 oC dipantau oleh staf QC 1 jam sekali dalam cold storage temperature
report (Lampiran 10).
Pengisian (stuffing)
Selama proses pengisian dilakukan pencatatan suhu dalam kontainer yaitu
sekitar -20 oC dipantau setiap jam oleh staf QC, kode produksi, jenis dan jumlah
produk dalam report of stuffing (Lampiran 11).
3) Wholesaler
Analisis prosedur perekaman bagi aktor wholesaler dilakukan berdasarkan
standar tracefish (CEN 14460:2003). Prosedur perekaman meliputi identitas
wholesaler, kemudian identitas, sumber dan control suhu dari tiap unit produk
yang diterima, sejarah proses produksi unit produk dan tujuan dari unit produk
dipasarkan.
4.2.2 Analisis manajemen perekaman
Menurut Notermans dan Beumer (2003) dalam Derrick dan Dillon (2004)
perekaman dilakukan pada semua ruang lingkup traceability, yaitu Supplier
traceability, Process traceability dan Customer traceability. Kajian Larsen (2003)
memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode untuk melakukan perekaman
37
yaitu mulai dari media dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis
teknologi informasi.
Sistem perekaman produk tuna loin yang dihasilkan oleh PT X
berdasarkan ruang lingkup telah terbagi menjadi tiga, yaitu Supplier traceability
yang dilakukan oleh pihak transit PT Samudra Agung Permai, Process
traceability oleh PT X dan Customer traceability oleh importir dari Amerika.
Perekaman di tahap supplier berisi informasi-informasi tentang metode
penangkapan dan penanganan ikan selama di kapal dan transit. Rekaman tersebut
dicatat dalam record of harvest vessel (Lampiran 3) oleh staf produksi PT X, yang
meliputi tanggal pembelian, berangkat dan berlabuh kapal, area penangkapan,
metode penangkapan, pendinginan dan penanganan, uji organoleptik, penyortiran,
nama penyortir dan pengirim.
Informasi suhu setiap ikan dalam satuan derajat celcius ketika pendaratan
ikan dari kapal tertera dalam record of harvest vessel, akan tetapi dalam
pelaksanaannya tidak dilakukan perekaman suhu ketika di transit karena asumsi
supplier ikan masih dalam keadaan setengah beku dengan suhu sekitar 0 oC akibat
pendinginan RSW (Refrigerated Sea Water) di dalam palka kapal dan waktu
penanganan di transit tidak memakan waktu lama (30-45 menit) serta suhu ruang
transit yang rendah (sekitar 20oC). Suhu yang tertera dalam record of harvest
vessel dalam kenyataannya adalah suhu pusat ikan ketika sampai di perusahaan.
Meskipun pendaratan ikan dari kapal tidak membutuhkan waktu yang lama dan
kondisi ikan relatif dalam keadaan setengah beku akan tetapi rekaman suhu ikan
selama di transit dan selama di palka kapal tetap dibutuhkan untuk menjamin
kualitas ikan tuna mulai dari proses penangkapan sampai pendaratan di transit.
Sistem perekaman produksi tuna loin beku di PT X dilakukan secara
berurutan pada setiap tahapan proses, mulai dari pembelian sampai dengan
pengisian produk akhir untuk di ekspor. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
terdapat tahapan produksi penting yang tidak dilakukan perekaman oleh pihak
perusahaan, yaitu pemberian gas CO (karbon monoksida). Hal ini dapat dilihat
dari asesmen sistem traceability tuna loin pada Lampiran 12.
Pada tahap pemberian gas CO bahan baku tuna loin tidak ada perekaman
dari staf quality control maupun dari staf lainnya. Pemberian gas CO dilakukan
38
pada daging dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruang khusus
yang terpisah dengan ruang lainnya. Gas CO yang diberikan hanya diatur tekanan
gas saja tanpa memperhitungkan volume atau kuantitasnya, selain itu juga tidak
memperhatikan mutu daging yang akan diberi gas CO atau antara mutu daging
yang berbeda-beda cenderung mendapat pemberian gas dengan volume yang
sama. Akibat proses yang kurang tepat tersebut, setelah pemberian gas CO dan
pendinginan terkadang masih ditemukan beberapa produk yang tidak memenuhi
standar kriteria warna daging yang ditetapkan sehingga harus dilakukan
pemberian ulang gas CO. Adanya ruang proses khusus, perlakuan gas CO dan
terkadang waktu tunggu proses yang lama dari tahapan ini serta potensi kegagalan
proses akibat standard operational procedur (SOP) yang kurang lengkap maka
diperlukan rekaman tersendiri yang berbeda dengan rekaman dari tahap proses
sebelumnya atau sesudahnya. Rekaman yang lengkap pada proses pemberian gas
CO akan memudahkan dalam melakukan penelusuran (traceback) apabila suatu
saat dilakukan penarikan produk (withdrawl atau recall). Rekaman proses
pemberian gas CO seharusnya meliputi waktu proses, kode batch loin, suhu
ruang, tekanan gas dan volume gas yang dipakai, jenis, ukuran dan kualitas loin.
Tahapan terakhir untuk melakukan perekaman secara internal oleh
perusahaan adalah ketika produk telah siap untuk di ekspor yaitu dilakukan pada
proses stuffing atau pengisian kontainer. Perekaman ini dicatat di report of stuffing
(Lampiran 11), yang meliputi suhu kontainer, kode produksi, jenis dan jumlah
produk. Perekaman selanjutnya adalah customer traceability yang dilakukan oleh
pihak pengimpor, yaitu pada waktu produk telah sampai di port of entry negara
pengimpor. Pihak pengimpor menginformasikan tentang kondisi produk kepada
pengekspor setelah dilakukan proses pengiriman produk melalui jalur laut dengan
estimasi waktu pengiriman selama 1-2 bulan.
4.2.3 Analisis sistem pengkodean
Salah satu kunci sukses dalam penerapan sistem traceability adalah
pemberian kode identifikasi (batch) pada suatu produk dan menjaga keutuhan
kode bersama dengan informasi yang terkandung di dalamnya sepanjang proses
produksi (Derrick dan Dillon 2004). Sistem pengkodean untuk traceability
produksi tuna pada pihak Transit menggunakan plastik warna-warni yang
39
diikatkan pada ekor ikan tuna. Masing-masing warna pada plastik mewakili
tingkat mutu, dimana tingkat mutu telah disortir terlebih dahulu oleh checker.
Ikan tuna dengan mutu A diberi plastik berwarna merah, mutu B diberi plastik
berwarna biru, mutu C plastik berwarna kuning dan terakhir mutu D diberi plastik
berwarna hitam.
Sistem pengkodean untuk traceability produksi tuna loin beku di PT X
menggunakan dokumen kertas (paper based) dimana kode bacth diikutsertakan
bersama produk sepanjang proses produksi. Cara ini lebih praktis digunakan
karena perusahaan dapat mengubah kode setiap hari atau setiap shift (Morrison
2003) Pengkodean di PT X dibagi menjadi dua, yaitu pengkodean tahap
pembelian sampai tahap penimbangan akhir (penimbangan IV) dan pengkodean
tahap pengemasan sampai pemuatan (stuffing).
Pengkodean pada tahap pembelian-penimbangan akhir menggunakan
selembar kertas atau plastik pembungkus produk yang dituliskan kode produk.
Kode produk terdiri dari 2 huruf dan 3 angka dimana kode ini akan berubah
menjadi kode produksi pada pengkodean tahap pengemasan sampai stuffing. Digit
pertama merupakan kode tempat perusahaan produksi, digit ke-2 sampai ke-4
merupakan nomor urut penerimaan bahan baku yang dimulai dari 001 sampai 999,
digit ke-5 merupakan kode asal supplier bahan baku. Contoh kode produksi tahap
pembelian-penimbangan akhir dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Contoh kode produksi tahap pembelian-penimbangan akhir.
Pada tahap pengemasan-stuffing kode produksi dari tahap pembelian-
penimbangan diterjemahkan menjadi kode produksi. Kombinasi huruf dan angka
sebanyak 5 digit diubah menjadi huruf seluruhnya. Digit ke-2, ke-3 dan ke-4
yang semula angka diubah menjadi huruf dengan metode penyandian yaitu SEA
PRODUCT dimana S=0, E=1, A=2, P=3, R=4, O=5, D=6, U=7, C=8, dan T=9.
Kode produksi dicetak pada kedua sisi master carton sebagai kode identifikasi
proses tuna loin. Contoh kode produksi tahap pengemasan-stuffing dapat dilihat
pada Gambar 14.
40
Gambar 14 Contoh kode produksi pengemasan-stuffing pada master carton.
Kode yang diterapkan di PT X cukup singkat, mudah dibaca dan
mempunyai ciri khusus akan tetapi kode tersebut tidak dapat menunjukkan jenis
produk yang lebih spesifik. Satu kode yang sama dipakai untuk beberapa macam
produk hasil perikanan yang dihasilkan oleh perusahaan. Sehingga tidak ada
perbedaan antara kode tuna loin dengan kode produk lain, misalnya tuna steak.
Hal ini dapat menyulitkan pihak tim traceability apabila suatu saat dilakukan
proses recall product. Apabila dalam suatu proses dengan sumber bahan baku
yang sama dihasilkan bermacam-macam produk maka seharusnya dilakukan
pengkodean khusus ketika proses bahan baku mengalami pemisahan (splitting).
Kode yang sama pada produk yang berbeda mengakibatkan perusahaan tidak
dapat mengidentifikasi atau menelusuri rekaman produksi dengan tepat. Hal ini
terjadi karena masing-masing produk mempunyai tahap proses dan waktu
produksi berbeda. Kode baru yang lebih spesifik atau tambahan pada kode
sebelumnya (kode bahan baku) seharusnya diberikan pada masing-masing produk
yang dihasilkan perusahaan.
Pengkodean pada pihak wholesaler dilakukan menggunakan label kertas
dengan barcode yang ditempelkan pada kotak pengemas produk. Pengemasan
ulang dilakukan di pihak ini dimana barcode ditempelkan pada produk yang
dikemas ulang setelah dibeli dari PT X. Sistem pengkodean hanya diketahui oleh
pihak wholesaler dimana pengkodean dimaksudkan untuk memudahkan penjualan
produk.
Pengkodean yang lebih spesifik untuk mengidentifikasi produk dapat
dilakukan menggunakan EAN.UCC sistem (Europan Article Numbering system)
yaitu GS1 identification number yang telah digunakan di seluruh dunia sebagai
standar sistem pengkodean. Sistem ini dapat menggunakan berbagai macam
41
media seperti barcode maupun RFID (Radio Frequency Identification) (GS1
2011). Perbedaan antara paper based system dengan barcode system atau RFID
adalah ketepatan dan kemudahan manajemen data. Paper based system
memindahkan kode bacth bersamaan dengan produk sepanjang proses produksi
sedangkan barcode dan RFID dapat menghubungkan masing-masing kode bacth
(dalam suatu basis data) pada tiap proses, tempat ikan atau rekaman dengan cara
mengidentifikasi barcode atau RFID (Derrick dan Dillon 2004).
4.3 Analisis dan Desain Sistem Informasi pada Rantai Distribusi Tuna
Tahapan analisis dan desain sistem informasi dilakukan untuk memberikan
gambaran tentang Unit Pengolahan Ikan yaitu PT X dan kaitannya dengan
supplier (pemasok) maupun konsumennya (buyer) yang terdiri dari empat tahap.
4.3.1 Identifikasi kebutuhan sistem
Identifikasi kebutuhan sistem dilakukan untuk menganalisis kebutuhan
informasi pengguna terhadap sistem yang akan dikembangkan yang kemudian
menentukan informasi apa saja yang yang akan disampaikan pada sistem (O‟Brien
dan Marakas 2006). Regattieri et al. (2007) juga mengatakan bahwa syarat dasar
melakukan desain sistem traceability adalah menentukan informasi yang
dibutuhkan untuk melakukan suatu penelusuran. Kategori informasi yang
sebaiknya disimpan oleh tiap-tiap aktor yang terlibat dalam suatu rantai distribusi
meliputi; informasi tentang produk, informasi proses dan informasi mengenai
kualitas produk (Thakur dan Donnelley 2010). Identifikasi kebutuhan sistem
dilakukan menggunakan use case diagram untuk menggambarkan fungsionalitas
yang diharapkan dari sebuah sistem dalam hal ini adalah sistem traceability. Hal
yang ditekankan adalah “apa” yang diperbuat sistem, dan bukan “bagaimana”.
Sebuah use case merepresentasikan sebuah interaksi antara aktor dengan sistem
(Dharwiyanti dan Wahono 2003). Use case diagram rantai distribusi tuna dapat
dilihat pada Gambar 15.
42
Retailer
Kapal
UPI/PT X
Transit Ikan
Wholesaler
Sistem traceability rantai distribusi tuna beku
Dokumen Cara
Penanganan Ikan
Sertifikat Hasil
Tangkapan
Dokumen proses
produksi (Processing Practices)
Sertifikasi HACCP
Sertifikasi Produk
(Health Certificate)
Dokumen Jalur
Distribusi Produk
Pemenuhan Regulasi
Keamanan Pangan
Gambar 15 Use case diagram untuk sistem traceability pada rantai distribusi tuna
loin beku (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).
Gambar 15. Menunjukkan use case diagram untuk sistem traceability
pada rantai distribusi tuna yang terlibat dengan PT X. Berdasarkan gambar
tersebut didefinisikan beberapa aktor seperti kapal penangkap ikan, transit ikan,
UPI (PT X), grosir (wholesaler) dan retailer yang terlibat pada system traceability
rantai distribusi tuna beku. Informasi apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan
suatu penelusuran digambarkan dalam sebuah use case (dilambangkan dengan
bentuk elips), diantaranya:
Dokumen Cara Penanganan Ikan : Para pihak yang terlibat dalam sistem
(aktor) harus mendokumentasikan segala sesuatu kegiatan yang berhubungan
dengan aktivitas penanganan ikan, baik sejak penangkapan, penyimpanan
maupun proses produksi. Persayaratan-persyaratan dalam penanganan ikan di
bagian produksi perikanan tangkap, produksi kapal penangkap dan
43
pengangkut ikan, tempat pendaratan ikan, unit pengolahan ikan dan lain-lain
terkait dengan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan tertera dalam
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.01/MEN/2007
tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada
Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Contoh: informasi mengenai
apakah ikan tuna segera disiangi setelah ikan ditangkap, bagaimana suhu ikan
dan suhu ruangan selama penyimpanan, metode penyimpanan ikan, dan lain-
lain.
Sertifikat Hasil Tangkapan : Sertifikat hasil tangkapan merupakan persyaratan
bagi produk perikanan hasil tangkapan dari laut (termasuk produk olahan)
yang dapat masuk pasar Uni Eropa (UE). Sertifikat ini merupakan landasan
awal untuk melakukan traceability dan juga merupakan upaya menegakkan
peraturan/ketentuan penanggulangan illegal, unreported and unregulated
fishing (IUU Fishing) yang diatur oleh Komisi Eropa bagi negara-negara yang
akan melakukan ekspor hasil tangkapan laut (termasuk produk olahan) ke
pasar Uni Eropa dan diterapkan oleh Indonesia. Sertifikat ini membuktikan
bahwa produk perikanan yang akan diekspor merupakan hasil tangkapan dari
kegiatan yang memenuhi ketentuan pengelolaan/konservasi perikanan (KKP
2009). Aturan mengenai sertifikat hasil tangkapan tertera dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009. Contoh:
informasi/data yang diperlukan untuk mengisi/melengkapi sertifikat, diisi
pada log book yang diwajibkan Kementrian Kelautan dan Perikanan yang
tertera dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.18/MEN/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan.
Memenuhi Regulasi Keamanan Pangan : Adalah menjadi hak importir untuk
menetapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor ke negaranya untuk
menjamin dan melindungi keselamatan dan kepuasan konsumen
(Purnomo 2007). Mengaplikasikan sistem traceability berarti mengharuskan
para aktor yang terlibat dalam sistem untuk menunjukkan bahwa produk atau
proses yang dikenakan pada produk tuna telah memenuhi persyaratan mutu
sesuai dengan regulasi yang berlaku terutama regulasi mengenai masalah
keamanan pangan. Contoh: Pihak transit harus memenuhi persyaratan mutu
44
UPI (PT X) sebelum dapat menjual ikan tuna, sedangkan suatu UPI harus
mampu menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan sesuai dengan
persyaratan mutu dan keamanan pangan yang berlaku di negara tujuan ekspor,
dan menunjukkan bahwa kondisi saat melakukan proses produksi (GMP,
SSOP) telah memenuhi regulasi yang berlaku.
Dokumen Proses Produksi (Processing Practice) : Unit Pengolahan Ikan
(UPI) khususnya PT X harus mendokumentasikan segala proses yang
dikenakan kepada tuna, mulai dari penerimaan bahan baku hingga pemuatan
untuk ekspor. Proses yang dilalui suatu produk berbeda-beda tergantung pada
jenis produk akhirnya (end product). Contoh: tahapan proses tuna saku,
tahapan proses pembuatan tuna loin, suhu pembekuan tuna, jenis kemasan,
bahan tambahan yang digunakan pada tuna seperti CO (carbon monoxide),
dan lain-lain.
Sertifikasi HACCP : Unit Pengolahan Ikan (UPI) khususnya PT X dengan
menerapkan sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis and Critical
Control Point) maka telah menerapkan sistem perekaman (record keeping)
yang merupakan salah satu dasar dari sistem traceability sebenarnya telah ada
dalam konsep HACCP yaitu pada prinsip ketujuh : penyimpanan catatan dan
dokumentasi. Sertifikat penerapan HACCP berdasarkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 dapat diberikan kepada
UPI apabila telah terdapat Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) yang
diperoleh dengan menerapkan Cara Pengolahan yang Baik (Good
Manufacturing Practices/GMP) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi
Sanitasi Standar (Standard Sanitation Operating Procedure/SSOP) dan telah
menerapkan konsepsi HACCP yang terdiri dari tujuh prinsip.
Sertifikasi Produk (Health Certificate) : Sebelum dapat melakukan ekspor,
pihak UPI harus mempunyai sertifikat mengenai produk yang akan diekspor
yaituhealth certificate. Health certificate merupakan surat keterangan yang
dikeluarkan oleh LPPMHP (Lembaga Pengembangan dan Pengujian Mutu
Hasil Perairan) yang menerangkan bahwa suatu hasil perikanan telah
ditangani dan diolah sejak pra-panen hingga siap didistribusikan dengan cara-
cara yang memenuhi persyaratan sanitasi sehingga aman dikonsumsi manusia.
45
Health certificate dapat diberikan apabila UPI konsisten dalam memenuhi
persyaratan penerapan HACCP.
Dokumen Jalur Distribusi Produk : ketika diperlukan, suatu sistem traceability
harus mampu menyediakan informasi mengenai jalur distribusi mana saja
yang dilalui oleh suatu produk sebelum sampai ke tangan konsumen akhir
minimal satu langkah ke belakang dan satu langkah ke depan (one step
backward, one step forward). Raspor (2005) menyatakan suatu sistem
traceability mampu memberikan informasi mengenai posisi suatu produk dan
jalur distribusi yang ditempuh yang dapat memudahkan upaya pelacakan
produk. Sebagai contoh adalah ketika suatu produk tuna terdeteksi mempunyai
potensi gangguan keamanan pangan, maka sangat penting untuk mengetahui
berada dimanakah produk yang diduga mempunyai gangguan keamanan
pangan tersebut langsung pada saat dibutuhkan.
4.3.2 Traceability internal
Traceability internal mempunyai peran yang sangat penting dalam
mendukung traceability tuna secara keseluruhan (chain traceability) (Thakur dan
Hurburgh 2009). Oleh karena itu pengembangan traceability internal pada industri
pengolahan tuna penting karena jika terjadi masalah pangan selama jalur
distribusinya maka traceability internal dapat digunakan untuk mencari
penyebabnya. Traceability internal disini dikembangkan secara teoritis untuk
memberikan suatu acuan yang baku dalam pengembangan traceability internal
pada dalam suatu organisasi khususnya pada industri pengolahan tuna loin beku
menggunakan teknik yang disebut Integrated Definition Modelling (IDEF0).
Berdasarkan standar ISO 22005:2007, suatu sistem traceability
dipengaruhi oleh regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen. Di
Indonesia produk hukum yang mengatur tentang traceability produk perikanan
yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010
tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yaitu
pada Bab II pasal 3 huruf C. Lebih lanjut ISO 22000:2005 yang merupakan sistem
manajemen keamanan pangan bagi organisasi dalam rantai produksi pangan pada
klausul 7.9 juga mempersyaratkan adanya sistem mampu telusur (traceability
system).
46
Ikan tuna sebagaimana ikan pada umumnya merupakan bahan pangan
yang dikategorikan highly perishable yaitu bahan pangan yang sangat mudah
busuk dan membutuhkan penanganan yang baik dalam rantai distribusinya
(Venugopal 2006). Teknik penanganan bahan baku tuna segar dilakukan secara
hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 oC,
sedangkan penanganan bahan baku tuna beku sama seperti halnya tuna segar
namun dilakukan dengan menjaga suhu pusat produk maksimal -18 oC (SNI 01-
4103.3-2006). Hal lain yang mempengaruhi sistem traceability adalah harapan
konsumen terhadap suatu produk. Sebagai contoh jika konsumen mengharapkan
adanya jaminan terhadap produk tuna yang dikonsumsi merupakan ikan yang
bebas dari bahaya keamanan pangan, maka produsen akan berusaha untuk
mencapai harapan konsumen tersebut. Dari berbagai penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa regulasi, karakterisasi produk, dan harapan konsumen
merupakan masukan bagi teknik IDEF0 pengembangan sistem traceability pada
tuna.
Suatu sistem traceability dikembangkan untuk memenuhi regulasi yang
berlaku (Thakur dan Hurburgh 2009). Sistem traceability produk perikanan
Indonesia dilakukan untuk memenuhi PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian
Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan, sedangkan dalam penerapannya
dibutuhkan suatu standar yang digunakan sebagai batasan untuk menghasilkan
keluaran yang tepat yaitu standar Codex Alimentarius Commission (CAC/RPC 1-
1969, Rev. 4-2003) mengenai prinsip umum untuk higiene pangan (General
Principles of Food Hygiene). Standar ini dipilih karena merupakan standar
internasional dari negara Amerika yang menjadi tujuan ekspor PT X dimana
pemilihan standar sebaiknya disesuaikan dengan negara tujuan ekspor atau
menggunakan standar yang lebih ketat persyaratannya untuk alasan kesehatan.
Oleh karena itu, standar CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dikategorikan sebagai
kontrol (control) bagi model ini. Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan
untuk mengembangkan sistem traceability, diantaranya standar industri, personal
(pihak yang terlibat), dan prosedur-prosedur yang ada. Keluaran (output) dari
model ini akan tergantung dari jenis produk akhir tuna yang dihasilkan dan aktor
yang terlibat didalamnya. Secara umum, output yang dapat dihasilkan dalam
47
sistem traceability internal ini adalah adanya berbagai macam dokumentasi
seperti dokumentasi proses produksi, sertifikat-sertifikat yang telah divalidasi, dan
pemenuhan terhadap regulasi sebagai jaminan kualitas dan keamanan pangan.
Model pada sistem ini harus dapat membuktikan klaim terhadap suatu produk,
misalnya klaim terhadap ikan tuna yang digunakan dalam proses produksi
ditangkap dari daerah penangkapan yang tidak melanggar undang-undang illegal,
unreported, and unregulated (IUU) fishing. Selain itu sistem traceability yang
dibuat juga harus menyediakan suatu tolak ukur untuk kepuasan konsumen.
Teknik IDEF0 (Integrated Definition Modelling) untuk pengembangan sistem
internal traceability pada suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI) dapat dilihat pada
Gambar 16.
Gambar 16 Teknik IDEF0 untuk pengembangan traceability internal pada Unit
Pengolahan Ikan (UPI).
Berdasarkan Gambar 16. maka dibuatlah detail dari teknik tersebut untuk
menunjukkan langkah-langkah yang dilakukan terkait dengan pengembangan
traceability internal pada UPI dalam hal ini PT X yang melakukan pengolahan
ikan tuna beku. Model ini digambarkan lebih detail (didekomposisi) untuk
memudahkan pemahaman mengenai rangkaian pengembangan traceability
internal pada UPI dan ditujukan untuk mendapatkan sertifikasi sistem manajemen
keamanan pangan (food safety management system certificate) seperti ISO 22000
oleh Thakur dan Humburgh (2009) dengan tahapan sebagai berikut :
1) Menentukan rencana sistem traceability : langkah pertama untuk
pengembangan sistem traceability internal adalah menentukan rencana
traceability. Masukan (input) bagi tahapan ini adalah kebutuhan akan regulasi,
Dokumentasi Proses Produksi
Sertifikat yang divalidasi
Jaminan Kualitas dan Keamanan Pangan
Kepuasan Konsumen
Kebutuhan Regulasi PENGEMBANGAN
SISTEM
TRACEABILITY
INTERNAL TUNA
A0
Karakteristik Produk
Harapan Konsumen
Pemenuhan Regulasi
Prosedur Personal Standar
Industri
48
karakteristik produk dan harapan konsumen. Kebutuhan akan regulasi
ditujukan untuk memenuhi CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 yang merupakan
regulasi Amerika Serikat karena negara tujuan ekspor PT X. Karakteristik hasil
perikanan yang highly perishable mempengaruhi rencana traceability dimana
penggunaan bahan-bahan seperti air atau es harus ada jaminan bahwa air
berasal dari air dengan kualitas air minum sehingga ikan tidak mudah rusak.
Penggunaan kemasan yang khusus bagi produk pangan (food grade) dan
peralatan yang digunakan juga perlu diperhatikan mengingat ikan merupakan
bahan pangan yang mudah busuk. Hal terakhir yang mempengaruhi suatu
sistem traceability adalah harapan konsumen dimana produsen akan senantiasa
berusaha memenuhi harapan dari konsumennya. Rencana sistem traceability
ditentukan berdasarkan keperluan-keperluan tersebut.
Selain masukan, diperlukan juga suatu standar bagi sistem ini dimana standar
CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dapat digunakan sebagai kontrol (control).
Berbagai mekanisme (mechanism) diperlukan untuk menentukan sistem
traceability, diantaranya standar industri, personal (pihak yang terlibat), dan
prosedur-prosedur yang ada. Personal yang terlibat dalam sistem ini harus
merupakan tim yang memiliki pengetahuan dan pengalaman multi disiplin, dan
merupakan orang-orang yang berasal dari berbagai departemen yang ada pada
suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI). Selain itu, menurut Derrick dan Dillon
(2004) penting bagi suatu UPI menunjuk seseorang yang memiliki kemampuan
untuk memimpin tim, memiliki pengetahuan mengenai traceability, dan
memiliki posisi penting dalam kegiatan produksi.
Rencana sistem traceability harus didefinisikan secara jelas dalam format yang
tetap dan termasuk di dalamnya mengenai informasi yang dibutuhkan untuk
dicatat dan informasi yang akan dibagi kepada aktor lain yang terlibat (dalam
rantai distribusi produk). Selain itu dalam sistem ini juga perlu didefinisikan
parameter yang tepat untuk mengukur kesuksesan sistem. Keluaran (output)
pada tahapan ini adalah terbentuknya manual sistem traceability yang
mendefinisikan prosedur untuk penerapan rencana sistem traceability dimana
secara umum prosedur meliputi dokumentasi proses produksi dan informasi
49
terkait proses produksi, termasuk perawatan dokumen dan verifikasi
(ISO 22005:2007).
2) Penerapan rencana traceability : Keluaran pada tahapan 1 merupakan masukan
bagi tahapan ini. Manual sistem traceability yang telah dibuat digunakan untuk
diterapkan pada tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme
yang sama dengan yang ada pada tahap 1. Pada sistem informasi yang
dikembangkan, dilakukan desain basis data traceability perusahaan yang
direpresentasikan menggunakan entity relationship diagram (ERD). ERD
merupakan suatu diagram yang dapat menunjukkan bagaimana data dan
informasi akan disimpan di dalam basis data beserta hubungan antar data.
Bagian yang digunakan untuk membangun suatu entity relationship diagram
adalah entitas (entity), atribut, dan hubungan (relationship). Pengguna (user)
dalam hal ini pihak UPI dapat mendesain entitas yang berkaitan dengan
aktifitas ikan tuna (per batch) baik kualitas maupun proses yang dikenakan.
Entity relationship diagram ini menghubungkan berbagai macam data mulai
dari kedatangan bahan baku tuna, proses produksi per batch, dan hasil akhir
dari tiap batch yang keluar dari ruang penyimpanan (storage) UPI. Setelah
selesai membuat ERD dilanjutkan dengan penerjemahan desain basis data
(database) pada sistem yang telah dibuat kemudian diterjemahkan ke dalam
bentuk perintah-perintah yang dimengerti komputer dengan mempergunakan
suatu bahasa pemrograman dan penyimpanan ke dalam database tergantung
dari keperluan pengguna. Hanya terdapat satu basis data terpusat untuk
menyimpan semua informasi yang dibutuhkan. Salah satu bahasa yang dapat
digunakan untuk merepresentasikan data adalah XML (Extensible Markup
Language). XML dipilih karena dalam industri perikanan terdapat suatu
standar yang disebut “tracefish” yang dapat digunakan untuk mencapai sistem
traceability secara menyeluruh pada suatu rantai distribusi dimana standar ini
menurut Larsen (2003) merupakan suatu konsep yang menggunakan sistem
elektronik untuk mencapai penelusuran rantai distribusi (chain traceability).
Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyatakan bahwa tracefish menggunakan
XML (extensible markup language) untuk memfasilitasi pertukaran informasi
yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic
50
exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi.
Setelah tahap ini selesai, sebuah laporan penerapan traceability akan
dihasilkan. Laporan ini akan terdiri dari deskripsi detail sistem database dan
penggunaannya.
3) Evaluasi pelaksanaan sistem : pelaksanaan sistem traceability akan dievaluasi
pada tahap ini. Evaluasi yang dilakukan mencakup evaluasi efisiensi
penggunaan database untuk kecepatan reaksi terhadap kasus keamanan
pangan. Laporan pelaksanaan sistem manajemen keamanan pangan seperti
HACCP atau ISO 22000 dan laporan hasil audit merupakan keluaran dari
tahapan ini. Tahapan ini memiliki kontrol dan mekanisme yang sama dengan
tahap sebelumnya.
4) Validasi sistem: validasi dibutuhkan untuk memastikan bahwa pelaksanaan
sistem sesuai dengan rencana traceability yang telah dibentuk. Laporan
pelaksanaan dan laporan hasil audit dari tahap 3 digunakan sebagai dasar untuk
pemvalidasian sistem traceability menggunakan standar CAC/RPC 1-1969,
Rev. 4-2003 sebagai kontrol dan mekanisme yang sama dengan tahapan-
tahapan sebelumnya. Setelah sistem traceability divalidasi, pemenuhan
CAC/RPC 1-1969, Rev. 4-2003 dapat dicapai. Dokumentasi lainnya seperti
dokumentasi proses produksi, sistem manajemen keamanan pangan, dan
validasi sistem (sertifikat) dapat dicapai. Bukti dari kepuasan konsumen juga
merupakan keluaran yang diharapkan dari proses pengembangan sistem
traceability internal ini.
5) Perawatan sistem: Perawatan dari sistem traceability merupakan tahapan yang
sangat penting dari keseluruhan proses. Perawatan dibutuhkan untuk menjaga
agar sistem tetap berjalan dan juga untuk melakukan perbaikan terus-menerus.
Tahapan ini merupakan proses yang terus-menerus dilakukan (siklus berulang)
dan rencana sistem traceability sebaiknya dimodifikasi berdasarkan perubahan
regulasi yang ada, permintaan konsumen dan faktor lainnya yang dapat
menyebabkan perubahan pada proses bisnis. Tahapan selanjutnya akan
dimodifikasi ulang setiap adanya perubahan rencana sistem traceability.
Keseluruhan tahapan pengembangan traceability internal ini dapat dilihat pada
Gambar 17.
32
Gambar 17 Teknik IDEF0 untuk pengembangan dan penerapan sistem traceability internal pada UPI
(Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).
51
Laporan Penerapan
traceability
Jaminan kualitas dan keamanan pangan
Penerapan
Traceability
2
Evaluasi
Pelaksanaan
Sistem
3
Validasi
Sistem
4
Perawatan
Sistem
5
Pemenuhan Regulasi
(CAC/RCP 1-1969,Rev. 4-2003)
Manual Traceability
Standar
Industri Personal Prosedur
Menentukan
Rencana
Sistem
Traceability
1
Dokumentasi Proses Produksi
Sertifikat yang divalidasi
Kepuasan Konsumen
Laporan Penerapan Sistem
Manajemen Keamanan Pangan
Laporan Audit
Jenis Produk Akhir
(Harapan Konsumen)
Highly Perishable
(Karakterisasi Produk)
CAC/RCP 1-1969,Rev. 4-2003 (Kebutuhan Regulasi)
52
4.3.3 Pertukaran informasi traceability pada rantai distribusi tuna
Peraturan pangan Uni Eropa yaitu General Food Law (EC No. 178, artikel
18) menyebutkan perlunya sistem traceability pada rantai distribusi pangan (food
supply chain) untuk mencapai kemampuan pelacakan secara utuh (Official
Journal of the Europan Communities 2002). Setiap aktor yang terlibat di
dalamnya harus menyimpan dan memelihara informasi yang berkaitan dengan
dari mana suatu bahan pangan berasal dan tetap menelusuri (mengikuti) jalur dan
perubahan bentuk yang dialami suatu produk sepanjang proses produksi dan
kemudian mentransfer informasi tersebut ke aktor selanjutnya dalam rantai
distribusinya (Thakur dan Humburgh 2009). Berbagi informasi (share) antar aktor
dalam rantai distribusi produk penting dilakukan untuk mencapai sistem
traceability yang efektif (Derrick dan Dillon 2004). Untuk memahami hal tersebut
maka dibuatlah suatu gambaran yang menunjukkan bagaimana suatu produk
diidentifikasi, struktur datanya, data carrier yang digunakan, dimana saja lokasi
pengumpulan data (data capture point) dan bagaimana data/informasi
dipertukarkan antar aktor dalam rantai distribusi tuna loin beku.
Sebelum mencapai traceability pada keseluruhan rantai distribusi (chain
traceability) penting untuk memahami lokasi-lokasi pengidentifikasian unit
produk pada traceability internal dan hubungannya dengan chain traceability.
Lokasi pengidentifikasian produk pada chain traceability mengacu pada Senneset
et al. (2007) dan dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Lokasi pengidentifikasian produk sistem traceability
(Modifikasi Senneset et al. 2007).
Lokasi pengidentifikasian produk
pada traceability internal
Lokasi pengidentifikasian
produk pada chain traceability
Aliran Informasi
Lokasi pengidentifikasian
produk pada chain traceability
Aliran Produk (tuna loin beku)
TRANSIT
IMPORTIR
UPI (PT X)
Penerimaan Proses Stuffing
53
Tahapan yang penting untuk dilakukan pengidentifikasian produk dan
perekaman secara internal di PT X adalah pada tahap penerimaan bahan baku dan
pengisian (stuffing) karena kedua tahapan ini merupakan tahapan yang menjadi
penghubung informasi antara supplier (transit)dengan perusahaan dan perusahaan
dengan pihak importir. Pada tahap penerimaan bahan baku merupakan awal dari
pengumpulan informasi dari supplier mengenai bahan baku atau bahan tambahan
yang digunakan, sedangkan pada tahap stuffing merupakan tahapan dimana
informasi baru ditambahkan setelah proses produksi selesai dilaksanakan.
Senneset et al. (2007) menyatakan penting bagi suatu organisasi menetapkan
identitas untuk melakukan penelusuran dimana identitas tersebut direkam pada
tahapan penerimaan dan pada saat suatu produk akan didistribusikan ke pihak
selanjutnya setelah proses produksi selesai dilaksanakan.
Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen (2003)
memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti
distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking) beberapa
kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau
organisasi yang berbeda. Praktek pendistribusian ikan tuna beku (frozen tuna) dari
satu aktor ke aktor lainnya juga mengalami berbagai macam aktivitas termasuk
pengemasan ulang diantaranya:
Pergerakan: Ikan tuna bergerak dari satu pihak ke pihak lain dalam rantai
distribusi sebelum akhirnya sampai ke konsumen akhir. Sebagai contoh adalah
nelayan menjual tuna ke pihak transit dan kemudian pihak transit menjualnya
ke PT X.
Penyortiran: Ikan selama distribusi mengalami aktivitas penyortiran untuk
pembedaan berdasarkan mutu. Contohnya ketika ikan yang disortir secara
organoleptik di transit oleh checker menjadi 4 tingkat grade (mutu), yaitu:
ikan tuna dengan grade A, B, C, dan D.
Penyimpanan (storage): Ikan tuna sejak penangkapan disimpan dalam periode
tertentu oleh tiap-tiap aktor sebelum akhirnya sampai ke tangan konsumen
akhir. Ikan yang disimpan dalam periode tertentu sebelum dikonsumsi dapat
mempengaruhi kondisi fisik, kimia maupun biologinya. Sebagai contoh
menurut Keer et al. (2002) ikan tuna yang disimpan pada suhu rendah oleh
54
retailer yaitu hanya menutup ikan menggunakan es atau secara sederhana ikan
hanya diletakkan di atas es untuk mencegah kebusukan, dalam jangga waktu
yang lama hal ini akan menyebabkan pertumbuhan bakteri yang memicu
terbentuknya histamin pada tuna.
Perubahan bentuk: Sepanjang rantai distribusi, ikan tuna tidak hanya di ekspor
dalam bentuk utuh segar melainkan juga di ekspor dalam bentuk yang
bermacam-macam seperti loin, steak, cubes dan ground meat.
Pengemasan ulang: Ikan tuna beku hasil diversifikasi pihak UPI (PT X)
diekspor ke Amerika tidak langsung ditujukan ke konsumen akhir melainkan
dijual ke pihak wholesaler (grosir) yang akan melakukan pengemasan ulang
sebelum didistribusikan kembali ke pihak retailer yang meneruskan ke
konsumen akhir.
Aktivitas-aktivitas yang terjadi pada ikan tuna sepanjang rantai distribusi
tersebut penting untuk direkam. Thakur dan Humburgh (2009) juga menyatakan
mendokumentasikan aktivitas yang terjadi pada suatu produk dan transfer
informasi kepada pihak selanjutnya pada rantai distribusi penting dilakukan.
Untuk memahami hal tersebut maka dibuatlah suatu gambaran yang menunjukkan
informasi apa saja yang harus didokumentasikan dan dibagi (transfer informasi)
kepada pihak-pihak (aktor) yang terlibat dalam rantai distribusi tuna (tuna supply
chain) yang dapat dilihat pada Gambar 19.
56
Kapal Transit
Transportasi Distributor Retailer
Distributor
Retailer
UPI
Pasar Lokal
Transportasi
Gambar 19 Pertukaran informasi antar aktor yang terlibat pada rantai distribusi tuna (Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).
Nama kapal1
ID kapal1
ID produk1
No registrasi kapal
Metode penangkapan
Spesies & berat ikan
Cara penanganan diatas kapal
Area dan tanggal
penangkapan1
Tanggal dan waktu
pengiriman
Identitas transit1
Identitas UPI3
Identitas distributor4
Nama produk3
ID berkaitan dengan produk
Identitas pengiriman
Spesies ikan
Jenis pengolahan
Jenis dan jumlah
kemasan
Berat bersih
Pengecekaan suhu
Tanggal kadaluarsa
ID produk1
Nama kapal1
Id kapal1
Control check
Area dan tanggal
penangkapan1
Tanggal dan waktu
penerimaan
Identitas transit2
Jumlah, spesies dan berat ikan
Waktu dan tanggal pengiriman
Identitas UPI3
Bukti pembelian
Identitas UPI3
Identitas transit2
Tanggal dan waktu penerimaan
ID berkaitan dengan
produk
Quality control check
Metode pendinginan
Jenis, jumlah dan berat ikan
Suhu ikan selama
pengangkutan
Nama produk
Berat bersih
Tahapan proses
Tipe kemasan
Suhu selama pengolahan dan
penyimpanan
Hasil uji mutu produk
Berat bersih produk
Tanggal produksi
Kode produksi
No registrasiUPI
Waktu dan tanggal pengiriman
Suhu selama
penyimpanan dan transportasi
Identitas tujuan ekspo
(distributor)4
55
56
Gambar 19. menunjukkan bahwa tidak semua informasi pada tiap-tiap
aktor dibagi kepada aktor selanjutnya dalam jalur distribusi. Angka-angka 1, 2,
dan 3 (superscript) menunjukkan informasi apa saja yang dibagi oleh tiap-tiap
aktor dalam rantai distribusi tuna. Ketika suatu informasi mengenai bacth tuna
didapatkan, informasi tersebut dapat digunakan untuk melacak ke belakang
hingga asal ikan. Sebaliknya setelah ikan tuna selesai di proses, informasi kepada
siapa bacth dari ikan tersebut dikirim dapat digunakan untuk mengikuti jalur
distribusinya bahkan hingga ke pihak retailer.
Informasi-informasi pada Gambar 19. untuk pihak Kapal Penangkap
berasal dari log book penangkapan ikan tuna menggunakan alat tangkap rawai
tuna dan pancing ulur (Lampiran 1). Untuk pihak Transit dan Distributor
(wholesaler) informasi berasal dari standar Tracefish (CEN 14660:2003),
sedangkan informasi pada pihak UPI berasal dari PT X sebagai perusahaan
pengolah ikan tuna loin beku.
Informasi-informasi yang sebaiknya didokumentasikan oleh tiap-tiap aktor
dalam rantai distribusi untuk mencapai ketertelusuran (traceability) produk
perikanan dapat dilihat dalam standar Tracefish (CEN 14660:2003) dimana pada
standar ini terdapat tiga kategori informasi yaitu kategori Shall, Should dan May.
Kategori shall merupakan kategori informasi yang berkaitan dengan data pokok
untuk sistem traceability. Data pada kategori ini dibutuhkan untuk melakukan
penelusuran mengenai sejarah, aplikasi maupun lokasi dari suatu produk dalam
prinsip satu langkah ke belakang dan satu langkah ke depan sehingga mampu
untuk memfasilitasi penarikan produk. Kategori should dan may merupakan
kategori informasi pendukung untuk mendeskripsikan dan menyediakan informasi
pendukung mengenai produk yang akan dilacak. Perbedaannya adalah kategori
should merupakan kategori informasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan suatu
sertifikasi (misal sertifikasi GMP) sedangkan kategori may tidak.
Selain gambaran mengenai informasi yang harus didokumentasikan dan
dibagi oleh tiap aktor dalam rantai distribusi tuna loin, sebuah sequence diagram
dikembangkan untuk menggambarkan pertukaran informasi ketika salah satu
aktor meminta informasi tambahan terhadap suatu produk olahan tuna pada aktor
sebelumnya. Menurut Thakur dan Humburgh (2009) tujuan utama dari sequence
57
diagram adalah untuk mendefinisikan rangkaian peristiwa yang menghasilkan
suatu output yang diinginkan. Sequence diagram pada tuna supply chain dapat
dilihat pada Gambar 20.
56
Kapal Transit UPI/PT X Distributor Retailer
Kirim data tuna
Kirim data produk
Kirim data tuna
Kirim data produk
Minta informasi tambahan
Minta informasi tambahan
Minta informasi tambahan
Minta informasi tambahan
Mengembalikan informasi tambahan
Mengembalikan informasi tambahan
Mengembalikan informasi tambahan
Mengembalikan informasi tambahan
Pengguna informasi
Gambar 20 Sequence diagram untuk pertukaran informasi ketika informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta
(Modifikasi Thakur dan Hurburgh 2009).
58
59
Gambar 20. menunjukkan rangkaian dari pertukaran suatu informasi.
Ketika suatu produk didistribusikan dari satu aktor ke aktor lain, informasi (data)
yang berkaitan dengan produk juga diikutsertakan. Namun pada kasus khusus
yaitu berkaitan dengan masalah keamanan pangan, maka lembaga berwenang
akan meminta informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya.
Ketika hal ini terjadi, aktor dalam suatu rantai distribusi harus mampu
menyediakan informasi yang dibutuhkan secara cepat (real time). Sebagai contoh
Thakur dan Humburgh (2009) menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, suatu
perusahaan memiliki waktu 24 jam untuk menyediakan informasi yang diperlukan
sejak informasi tambahan mengenai produk yang diduga berbahaya diminta.
4.3.4 Desain basis data
Desain basis data traceability direpresentasikan menggunakan entity
relationship diagram (ERD). Seperti halnya cetak biru yang merupakan kunci
untuk memahami dan membuat desain sebuah bangunan, entity relationship
diagram merupakan kunci untuk memahami dan membuat desain sebuah
database (Toledo dan Cushman 2007). ERD yang dihasilkan pada tahap ini masih
merupakan suatu bentuk konseptual, sehingga perlu disusun dan diterjemahkan ke
dalam bentuk fisik agar dapat digunakan. Desain basis data yang dilakukan baru
mencakup informasi mengenai produk akhir (end product) yang terdiri dari 6
entitas (obyek) utama yang saling berhubungan. Entitas-entitas tersebut
diantaranya adalah tabel kapal penangkapan tuna, tabel supplier, tabel bahan
baku, tabel produk, tabel perusahaan, dan tabel pelanggan. Deskripsi dari tiap-tiap
tabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
60
Tabel 5. Entitas utama yang terdapat dalam basis data
Entitas Keterangan
Kapal penangkapan tuna Berisi informasi berkaitan dengan seluruh aktivitas
penangkapan ikan tuna. Contoh: nama kapal, metode
penangkapan, lokasi penangkapan, dll.
Supplier Berisi informasi tentang identitas supplier dan
aktivitas pembelian ikan.
Bahan baku Berisi informasi tentang seluruh bahan baku yang
digunakan untuk proses produksi.
Produk Berisi informasi tentang segala sesuatu yang
mendeskripsikan tentang produk akhir dari suatu
proses produksi (end product).
Perusahaan Berisi informasi tentang perusahaan sebagai tempat
dilakukannya proses produksi tuna.
Pelanggan Berisi informasi tentang pelanggan yang membeli
produk dari perusahaan.
Entitas utama pada Tabel 5. juga merupakan entitas dari sistem informasi
dalam penelitian ini dimana terdapat hubungan (relasi) antara entitas-entitas
tersebut. Entitas adalah obyek-obyek bermakna yang bagi organisasi merupakan
informasi yang perlu untuk diketahui (Thakur dan Humburgh 2009). Hasil dari
penghubungan entitas tersebut akan menjadi suatu entity relationship diagram
yang disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. menjelaskan hubungan keterkaitan antara entitas yang ada.
Pada gambar tersebut primary key dan atribut digambarkan dimana primary key
merupakan identitas (ID) yang bersifat unique bagi setiap entitas. Primary key
dilambangkan dengan tulisan dengan garis bawah. Entitas produk memiliki
hubungan terhadap entitas perusahaan dimana setiap produk yang dihasilkan
berasal dari satu perusahaan saja yaitu PT X, sedangkan satu perusahaan dapat
menghasilkan banyak produk tuna yang memiliki banyak ID. Entitas perusahaan
memiliki hubungan dengan entitas pelanggan dimana satu perusahaan dapat
mempunyai banyak pelanggan dan begitu pula setiap pelanggan dapat mempunyai
banyak perusahaan sebagai tempat membeli produk. Entitas perusahaan memiliki
hubungan dengan entitas supplier dimana satu perusahaan dapat mempunyai
banyak supplier dan begitu pula setiap supplier dapat mempunyai banyak
perusahaan sebagai tempat menjual bahan baku.
61
Entitas produk memiliki hubungan dengan entitas supplier dimana setiap
produk yang dihasilkan berasal dari bahan baku dengan banyak supplier,
sedangkan setiap supplier dapat mempunyai bahan baku yang banyak yang
menghasilkan banyak produk. Entitas produk juga memiliki hubungan dengan
entitas bahan baku dimana setiap produk yang dihasilkan menggunakan banyak
bahan baku dan setiap bahan baku yang digunakan menghasilkan banyak produk.
Entitas bahan baku selain memiliki hubungan dengan entitas produk juga
memiliki hubungan dengan entitas supplier yaitu setiap bahan baku mempunyai
banyak supplier dan sebaliknya setiap supplier mempunyai bahan baku yang
banyak untuk dihasilkan berbagai macam produk. Terakhir adalah entitas supplier
memilili hubungan dengan entitas kapal dimana setiap ikan yang ada pada
supplier dikirim dari berbagai kapal penangkap tuna, sedangkan setiap kapal
penangkap tuna dapat mengirim ikan hasil tangkapannya kepada banyak supplier.
47
SupplierProduk
mempunyai
Id_produk
nama
produk
Tanggal
produksi
berat
bersih
FDA
registration
jenis
produk
nama
supplierId_supplier
Bahan baku
Id_bahan baku
menggunakan mempunyai
spesies
jumlah berat
tanggal
penerimaan
no urut
penerimaan
Perusahaan
menghasilkan
Id_perusahaan
nama
perusahaan
Pelanggan
Kapalmengirim
tanggal
pendaratan
Id_kapal
nama
kapal
metode
penangkapan
lokasi
penangkapan
tanggal
penangkapan
mempunyai
Id_pelanggan
nama
pelanggan
Gambar 21 Entity relationship diagram dari basis data traceability.
62
63
4.3.5 Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability
Arsitektur umum implementasi sistem digunakan untuk memudahkan
pemahaman mengenai bagaimana suatu organisasi dalam rantai distribusi produk
menyimpan data/informasi secara internal dan melakukan pertukaran
data/informasi antar aktor. Arsitektur ini merupakan modifikasi dari Karlsen et al.
(2011) yang membuat arsitektur implementasi traceability elektonik pada rantai
distribusi ikan segar yang dapat dilihat pada Gambar 22.
Kapal Penangkap
TunaTransit UPI Importir
Update
data
Update
data
Sistem
Informasi
A
Sistem
Informasi
B
Database
Traceability
Database
Traceability
Aliran produk Aliran informasi
Pertukaran Informasi Menggunakan XML
Tra
ce
ab
ility
in
tern
al
Ch
ain
Tra
ce
ab
ility
Pengguna sistem (aktor)
Gambar 22 Arsitektur umum implementasi sistem informasi traceability
(Modifikasi Karlsen et al. 2011)
Gambar 22 menunjukkan bahwa aktor kapal penangkap tuna dan transit
belum memiliki sistem informasi tersendiri sehingga informasi terkait traceability
yang terdapat pada masing-masing aktor (pihak) tersebut akan di transfer secara
manual menggunakan dokumen kertas hingga ke pihak UPI. Pihak UPI sendiri
memiliki suatu sistem informasi yang sama sekali berbeda dengan sistem
informasi yang terdapat pada pihak Importir. Pertukaran informasi secara
elektonik akan sulit dilakukan karena perbedaan sistem informasi tersebut,
sedangkan pertukaran informasi traceability berbasis dokumen kertas
membutuhkan waktu yang relatif lama (time consuming) untuk melakukan
64
penelusuran produk dan peluang eror yang cukup tinggi karena pencatatan
berulang dalam penggabungan dokumen pada prakteknya menyulitkan
traceability berbasis dokumen kertas (Derrick dan Dillon 2004; Senneset et al.
2007).
Kesuksesan pertukaran informasi produk perikanan dapat dilakukan jika
perbedaan sistem informasi antar aktor dalam rantai distribusi dapat bekerja
bersama (interoperable) (Sebestyen et al. 2008 dalam Karlsen et al. 2011).
Standar untuk mendeskripsikan pertukaran informasi antara sistem perangkat
lunak (software system) berguna untuk dapat mengefisienkan komunikasi (Folinas
et al. 2006). Peningkatan popularitas XML (Extensible Markup Language) saat ini
untuk melakukan pertukaran informasi antar sistem informasi yang berbeda telah
memudahkan para pelaku bisnis untuk menggunakan teknologi ini (Sidik dan
Pohan 2010; Thakur dan Hurburgh 2009). Dengan XML, data dapat dipertukarkan
antara sistem yang berbeda (not compatible). Dalam kenyataan yang sebenarnya
sistem komputer dan basis data menyimpan data dalam format yang berbeda satu
sama lain. Mengkonversi data ke XML dapal mengurangi kompleksitas dan
membuat data dapat dibaca oleh berbagai tipe aplikasi (Sidik dan Pohan 2010;
Karlsen et al. 2011). Perbedaan sistem informasi pada pihak UPI dan Importir
dapat dijembatani menggunakan XML sehingga memudahkan pertukaran
informasi secara elektronik. Salah satu contoh dokumen XML yang dapat
digunakan untuk melakukan pertukaran informasi dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Contoh dokumen XML untuk pertukaran informasi
(Modifikasi Tracefish 2003)
TraceabilityDocument Document ID="001" Creator= "rizal">
<ProductType>Frozen Tuna Loin</ProductType>
<BacthNumber>K183Q</BacthNumber>
<TradeName>Yellowfin tuna</TradeName>
<ScientificName>Thunnus albacares</ScientificName>
<ProductionMethodType>Captured</ProductionMethodType>
<CatchArea>FAO Catch Area No. 57 (Indian Ocean)</CatchArea>
<Size>5/8 Lbs/Pc</Size>
<NetWeight>40 Lbs</NetWeight>
<ManufactureCode>149281816446</ManufactureCode>
<ProductionDate>10 2010</ProductionDate>
<TemperatureControlMethodType>Refrigerated</TemperatureControlMethodType>
</TraceabilityDocument>
65
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kajian rantai distribusi penanganan tuna menunjukkan bahwa aktor yang
terlibat antara lain kapal penangkap, transit, PT X, distributor dan retailer. Dari
masing-masing aktor yang terlibat, sistem rekaman sebagai alat pemantauan dan
sistem pengkodean sebagai alat identifikasi penting untuk diterapkan. Penerapan
sistem dokumentasi program traceability di PT X menunjukkan bahwa sistem
rekaman sebagai hasil pemantauan dan sistem pengkodean sebagai alat
identifikasi telah diterapkan, akan tetapi masih belum optimal. Sistem rekaman
dan pengkodean belum mampu merekam dan menelusuri seluruh tahap
pengolahan tuna loin terutama pada tahap pemberian gas CO.
Hasil analisis dan desain sistem informasi dokumentasi program
traceability menunjukkan bahwa dari tiap-tiap aktor yang terlibat dalam rantai
distribusi tuna loin beku memiliki hubungan yang saling terkait dalam penyediaan
informasi dokumentasi program traceability dan ditampilkan dalam sebuah use
case. Sebuah model untuk implementasi sistem dokumentasi program traceability
secara internal juga dikembangkan untuk unit pengolah ikan menggunakan IDEF0
(Integrated Definition Modelling) terdiri dari input, kontrol, mekanisme dan
output. Dalam pemodelan pertukaran informasi, terlihat bahwa tidak semua
informasi yang ada pada salah satu aktor diteruskan ke aktor lainnya dalam rantai
distribusi, sebagian informasi akan disimpan sebagai informasi internal aktor.
Terakhir desain basis data yang dilakukan dalam suatu bentuk konseptual dimana
baru mencakup desain basis data untuk produk akhir (end product) yang terdiri
dari 6 entitas utama yang saling berhubungan. Entitas-entitas tersebut diantaranya
adalah kapal penangkapan tuna, supplier, bahan baku, produk, perusahaan, dan
pelanggan.
5.2 Saran
Tingkat efiktivitas dan efisiensi dari implementasi sistem informasi
berbasis teknologi informasi untuk mendukung pelaksanaan sistem dokumentasi
program traceability pada suatu perusahaan pengolah ikan sangat penting
dikembangkan.
66
DAFTAR PUSTAKA
Amirin TM. 2003. Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Blanc M, Desurmont A, Beverly S. 2005. Onboard Handling of Sashimi-Grade
Tuna. New Zealand: Secretariat of The Pacific Community P 1-22.
Block B, Stevens. 2001. Tuna: Physiology, Ecology, and Evolution Vol. 19.
California: Academic Press P 468.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-2729.3-2006. Ikan Segar-
Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.1-2006. Tuna Loin
Beku-Bagian 1: Spesifikasi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.2-2006. Tuna Loin
Beku-Bagian 2: Persyaratan Bahan Baku. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-4104.3-2006. Tuna Loin
Beku-Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional.
Bremner HA, M Sakaguchi. 2000. A critical look at whether „freshness‟ can be
determined. Journal of Aquatic Food Product Technology 9 (3): 5–25.
Caswell JA. 2000. Economic approaches to measuring the significance of food
safety in international trade. Journal of Food Microbiology 62 (3): 261-
266.
[CAC] Codex Allimentarious Comission. 2006. CAC/GL 60-2006. Principles for
Traceability/Product Tracing as a Tool Within a Food Inspection and
Certification System. Rome: CAC.
CEN 14660. 2003. CEN Workshop Agreement. Traceability of Fisheriy Products
- Spesification of the Information To Be Recorded In Captured Fish
Distribution Chains. Europan Committe for Standardization.
Collette BB, Nauen CE. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the
world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos
and related species known to date. FAO Fish.Synop., (125) Vol. 2: 137 p.
Committee on the Guidelines for Introduction of Food Traceability Systems.
2003. Guidelines for Introduction of Food Traceability Systems. Japan.
67
Davis GB. 1992. Sistem Informasi Manajemen-Bagian 2. Widyahartono B,
penerjemah. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.
Dengen N, Hatta HR. 2009. Perancangan sistem informasi terpadu pemerintah
daerah kabupaten Paser. Jurnal informatika Mulawarman 4 (1): 47-54.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Potensi dan Pemberdayaan
Ikan Tuna. http://www.dkp.go.id [17 Agustus 2010].
Derrick S, Dillon M. 2004. A Guide to Traceability within The Fish Industri.
Eurofish, Humber Institute Food and Fisheries, SIPPO.
Ekici K, Alisarli M. 2008. Histamine formation and microbiological changes in
endemic Chalcalburnus tarichi Pallas 1811 (Inci Kefali) stored at 4 °C.
Arch Med Vet 40 (1): 95-98.
Elmasri R, Navathe SB. 1994. Fundamentals of Database System-Second Edition.
California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Emborg J, Laursen G, Dalgaard P. 2005. Significant histamine formation in tuna
(Thunnus albacore) at 2 oC-effect of vacuum-and modified atmosphere-
packaging on psychrotolerant bacteria. Journal of food microbiology 101
(3): 263-279.
[FDA] Food and Drug Administration. 2009. FDA Import Refusal Report.
http://www.fda.gov [21 April 2010].
[FSAI] Food Safety Authority of Ireland. 2002. Guidance Note 10 Product Recall
and Traceability. Ireland.
Folinas D, Manikas, I, Manos, B. 2006. Traceability data management for food
chains. British Food Journal 108 (8): 622–633.
Frederiksen M, Osterberg C, Silberg S, Larsen E, Bremner A. 2002. Info-Fisk.
development and validation of an internet base traceability system in a
Danish domestic fresh fish chain. Journal of Aquatic Product Technology
11 (2): 13-34.
Ghaly AE, Dave D, Budge S, Brooks MS. 2010. Fish Spoilage Mechanisms and
Preservation Techniques: Review. American Journal of Applied Sciences 7
(7): 859-877.
Green DP. 2011. Sensory evaluation of fish freshness and eating qualities. Di
dalam: Alasalvar C, F Shahidi, K Miyashita, U Wanasundara, editor.
Handbook of Seafood Quality, Safety and Health Applications. USA:
Blackwell Publishing Ltd. Pp. 29 – 38.
GS1 US. 2011. The GS1 US Point of View: How GS1 Standards Support Product
Tracing, Critical Tracking Events, and Key Data Elements. United States.
68
Guzaini N, AL-Busaidy M.A, Al-Belushi I.M, Mothershaw A, Rahman M.S.
2005. The effect of storage temperature on histamine production and the
freshness of yellowfin tuna (Thunnus albacares). Food Research
International 35 (2): 215-222.
Haard NF. 1992. A review of proteolytic enzymes from marine organisms and
their applications in the food industry. Journal Aquatic Food Product
Technology 1 (1): 17.
Huss H H. 1995. Quality and Quality changes in fresh fish. Rome: FAO Fisheries
Technical Paper, No. 348.
Hoffer JA, Prescott MB, McFadden FR. 2002. Modern Database Management 6th
Edition. United States of America: Prentice Hall.
IDEFO Funcion Modelling Method. 1993. Integrated Definition Methods, IDEF
Family of Methods. Knowledge Based Systems, Inc.
http://www.idef.com/idef0.html [07 Maret 2011].
[ISO 9000:2000] The International for Standarization 9000:2000. 2000. Quality
Management System – Fundamentals and Vocabularry. The International
for Standarization. Switzerland.
[ISO 22000:2005] The International for Standarization 22000:2005. 2005. System-
Requirements for any Organization in the Food Chain. The International
for Standarization. Switzerland.. The International for Standarization.
Switzerland.
[ISO 22005:2007] The International for Standarization 22005:2007. 2007.
Traceability in the Feed and Food Chain-General Priciples and Basic
Requierements for System Design and Implementation. The International
for Standarization. Switzerland.
Junaedi F. 2005. Panduan Lengkap Pemrograman HTML. Yogyakarta: PD.
Anindya.
Karlsen KM, Sorensen CF, Foras F, Olsen P. 2011. Critical criteria when
implementing electronic chain traceability in a fish supply chain. Food
Control (22): 1339-1347.
Keer M, Lawicki P, Aguirre S, Rayner C. 2002. Effect of Storage Conditions on
Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna. Werribee: Public Health
Division of Victoria Government.
Kimata M. 1961. The Histamine Problem dalam Fish as Food Vol 1. New York:
Acad Press.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan
Dalam Angka 2009. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.
69
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan No.
PER. 19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Larsen E. (2003) Traceability in fish processing. Di dalam: M. Lees (Ed.) Food
Authenticity and Traceability. United Kingdom: Woodhead Publishing
Limited. pp. 507–517.
Lee J, Xue NL. 1999. Analyzing user requirements by use case: a goal driven
approach. IEE Software 16 (4): 92-101.
Lehane L, Olley J. 2000. Histamine fish poisoning revisited. Journal of Food
Microbiology 58 (1-2): 1–37.
Mahmoud BSM, K Yamazaki, K Miyashita, II Shin, T Suzuki. 2006. A new
technology of fish preservation by combined treatment with electrolysed
NaCl solutions and essential oil compounds. Journal Food Chemistry 99
(4): 656-662.
McMeekin TA, Baranyi J, Bowman J, Dalgaard P, Kirk M, Ross T, Schmid S,
Zwietering M.H. 2006. Information system in food safety management.
International Journal of Food Microbiology 112 (3): 181-194.
Morrison C. 2003. Traceability in food processing: an introduction. Di dalam: M.
Lees (Ed.) Food Authenticity and Traceability. United Kingdom:
Woodhead Publishing Limited. pp. 459–472.
Official Journal of the European Communities, 2002. Regulation (EC) No.
178/2002 of the European Parliament and the Council of 28 January 2002.
O‟Brien JA, Marakas GM. 2006. Management Information System-Seventh
Edition. Boston: McGraw-Hill.
Pender TA. 2002. UML Weekend Crash Course. United Stated of America:
Willey Publishing.
Purnomo AH. 2007. Permasalahan makro di sector perikanan dan alternatif
kebijakannya. Di dalam: BBRSEKP Potret dan Strategi Pengembangan
Perikanan Tuna, Udang dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan Besar
Riset Sosial Ekonomi Kelautan Perikanan.
Purnomo AH, Suryawati SH. 2007. Penawaran komoditas perikanan Indonesia:
trend produksi, sentra produksi dan teknologi pengolahannya. Di dalam:
BBRSEKP Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang
dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan Besar Riset Sosial Ekonomi
Kelautan Perikanan.
Raspor P. 2005. Bio-markers: Traceability in food safety issues. Acta Biochimica
Polonica 52 (3): 659-664.
70
Regattieri A, Gamberi M, Manzini R. 2007. Traceability of food products: general
framework and experimental evidence. Journal of Food Engineering 81
(2): 347-356.
Rehbein H, Oehlenschlager J. 2009. Fishery Products-Quality, Safety and
Authenticity. United Kingdom: Willey Blackwell.
Rossi S, Lee C, Ellis PC, Pivarnik LF. 2002. Biogenic amine formation in bigeye
tuna steak and skipjack tuna. Journal of Food Chemistry and Toxicology
(67): 2056-2060.
Senneset G, Foras E, Fremme KM. 2007. Challenges regarding implementation of
electronic chain traceability. British Food Journal 109 (10): 805-818.
Shomura RS, Majkowski J, Langi S. 1991. Interaction of Pacific Tuna Fisheries
Volume 2 Paper on Biology and Fisheries. Rome: FAO: 439p.
Sidik B, Pohan HI. 2010. Pemrograman Web dengan HTML - Revisi Ketiga.
Bandung: Informatika.
Surette M, Gill TA, LeBlanc PJ. 1988. Biochemical basis of postmortem
nucleotide catabolism in cod (Gadus morhua) and its relationship to
spoilage. Journal Agriculture Food Chemistry 36 (1): 19–22.
Thakur M, Donnelly KAM. 2010. Modelling traceability information in soybean
value chain. Journal of Food Engineering 99 (1): 98-105.
Thakur M, Hurburgh CR. 2009. Framework for implementing traceability system
in the bulk grain supply chain. Journal of Food Enginering 95 (4): 617-
629.
Thow AN, Swinburn B, Colagiuri S, Diligolevu M, Quested C, Vivili P, Leeder S.
2010. Trade and food policy: case studies from three Pasific Island
countries. Food Policy 35 (6): 556-564.
Toledo RAM, Cushman PK. 2007. Dasar-Dasar Database Relasional. Astranto
S, penerjemah. Jakarta: Erlangga.
Veen TWSV. 2005. International trade and food safety in developing countries.
Food Control 16 (6): 491-496.
Venugopal V. 2006. Seafood Processing, Adding Value Through Quick Freezing,
Retortable Packaging, and Cook-Chilling. United States of America: CRC
Press.
Wallace CA, Sperber WH, Mortimore SE. 2011. Food Safety for the 21st Century:
Managing HACCP and Food Safety Throughout the Global Supply Chain.
United Kingdom: Willey-Blackwell.
71
GLOSSARY
B
Basis data:
Kumpulan informasi yang disimpan dalam komputer secara sistematik dapat
diperiksa menggunakan suatu program komputer untuk memperoleh informasi
dari basis data tersebut.
Batch/Lot
Kumpulan dari unit atau banyak unit yang diproduksi dan/atau diproses atau
dikemas dalam keadaan yang sama.
D
Data
Informasi yang didokumentasikan.
Database Management System:
Kumpulan program yang digunakan untuk membuat dan mengelola basis data.
Desain Data Konseptual:
Model data yang menyediakan konsep bagaimana user (pengguna informasi)
melihat suatu data.
E
Entitas:
Obyek-obyek yang dilibatkan dalam sebuah basis data
Entity Relationship Diagram:
Suatu diagram yang dapat menunjukkan cara data dan informasi akan disimpan di
dalam basis data beserta hubungan antar data.
I
Informasi
Data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan
bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang.
Input
Sesuatu yang dapat digunakan dari suatu proses untuk menghasilkan suatu output.
72
K
Kontrol
Kondisi atau prinsip atau batasan yang dibutuhkan sehingga suatu proses dapat
menghasilkan output.
M
Mekanisme
Bagaimana suatu proses direalisasikan.
O
Output
Data atau obyek yang dihasilkan dari suatu proses.
P
Primary Key:
Identitas (ID) yang bersifat unique
Proses:
Suatu kumpulan yang saling berhubungan atau aktivitas yang saling berinteraksi
untuk mengubah suatu input menjadi output.
S
Sistem
Sekumpulan elemen yang dalam sebuah jaringan yang bekerja secara teratur
dalam satu kesatuan yang bulat dan terpadu untuk mencapai sebuah tujuan atau
sasaran tertentu.
Sistem Informasi
Kumpulan atau susunan yang terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak
serta tenaga pelaksananya yang bekerja dalam sebuah proses berurutan dan secara
bersama-sama saling mendukung untuk menghasilkan suatu produk.
73
T
Traceability
Kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi, atau lokasi dari hal dibawah
pertimbangan, dan catatan yang dapat menghubungkan produk dengan asal bahan
dan sejarah proses produk, serta distribusi produk.
Traceability Decission Tree
Metode untuk memastikan traceability dari setiap proses produksi pada suatu
perusahaan telah berjalan.
U
Use Case:
Suatu kegiatan yang dilakukan dan dapat diukur.
Use Case Diagram:
Suatu diagram yang menggambarkan skenario tentang apa yang terjadi ketika
seseorang/organisasi berinteraksi dengan sistem.
X
XML (Extensible Markup Language)
Merupakan bahasa sebagaimana HTML yang di desain untuk mendeskripsikan
data dimana tag dalam XML didefinisikan sendiri. Dokumen XML dapat
digunakan untuk pertukaran data antar organisasi.
74
LAMPIRAN
59
Lampiran 1 Log book penangkapan ikan dengan alat tangkap rawai tuna dan pancing ulur.
74
75
Lampiran 2 Tabel observasi kegiatan proses pembuatan tuna loin beku (data
verivikasi)
Nama tahapan kegiatan Aktivitas yang dilakukan
Pembelian (purchasing) Penyortiran ikan berdasarkan mutu
Pembuangan sirip
Pemeriksaan mutu dan suhu oleh
checker
Penerimaan bahan baku Pemeriksaan mutu dan suhu oleh
checker
Pencucian I Pencucian kulit dari kotoran yang
menempel dengan air mengalir
Penyimpanan sementara Penyimpanan ikan dalam bak besar
berisi es curai
Lama penyimpanan sementara
tergantung pada lamanya kesiapan
dari proses pengolahan selanjutnya
dan juga waktu kedatangan ikan
Pencucian II Pencucian dari kotoran setelah ikan
diangkat dari bak penyimpanan
semetara
Penimbangan I Penimbangan bobot ikan sebelum
proses cutting
Pencatatan bobot ikan
Pemotongan kepala Pembuangan kepala dampai batas
operculum
Pembersihan meja pemotongan
Pembentukan loin (loining) Pemfiletan menjadi 4 bagian
Pembuangan kulit, daging gelap dan
duri Pembuangan kulit
Pemisahan daging gelap
Pembuangan sisa-sisa duri
Penimbangan II Penimbangan bobot loin
Pencatatan dalam form
Pembungkusan sementara Pembungkusan dalam plastik
LDPE polos
Peletakan dalam keranjang
Penimbungan dengan flekes ice
Pemberian gas CO Pemberian gas CO pada tekanan
20-40 Psi
Jumlah penyuntikan disesuaikan
dengan size loin
Pendinginan (chilling) Penyusunan loin dalam keranjang
Penyimpanan dalam chill room
suhu 0-1oC selama 48 jam
Sortasi mutu Sortasi berdasarkan warna dan
tekstur
Loin dengan grade A diproses
76
menjadi saku, grade B menjadi
loin ID-on, grade C atau size yang
terlalu kecil menjadi steak
sedangkan daging sisa potongan
diproses menjadi cubes dan ground
meat.
Loin dengan mutu dibawah standar
dipisahkan untuk di smoke ulang
Perapihan (retouching) Perapihan dari daging gelap, sisa-
sisa daging gelap, sisa kulit, dan
sisa duri
Penyekaan daging dengan spon
Penimbangan III Penimbangan berat akhir loin
sebelum pembungkusan
Untuk mengetahui rendemen
produk
Pencatatan dalam form
(dokumentasi)
Pembungkusan Pemasukan dalam plastik polietilen
berlabel
Pemvakuman Pemvakuman produk yang telah
dikemas dengan mesin vakum
Penyusunan Penyususnan dalam keranjang
Pemberian no batch
Pengangkutan ke Air Blast Freezer
Pembekuan Pembekuan dalam ABF, suhu -
20oC selama 8 jam
Penimbangan IV Penimbangan bobot ikan setelah
pembekuan
Pengemasan dalam master carton dan
pelabelan Penyusunan dalam master carton
Pemberian label
Penyimpanan Penyusunan dalam cold storage
Penyimpanan produk dalam cold
storage pada suhu -18oC
Pengisian (stuffing) Pemindahan produk dari cold
storage ke dalam kontainer
pengangkut
77
Lampiran 3 Record of harvest vessel
78
Lampiran 4 Record of raw material receiving
79
Lampiran 5 Record of daily temperature
80
Lampiran 6 Chilling temperature report
81
Lampiran 7 Report of inspection product after trimming before freezing
82
Lampiran 8 Freezing monitoring report
83
Lampiran 9 Daily report of packing and labelling
84
Lampiran 10 Cold storage temperature report
85
Lampiran 11 Report of stuffing
Lampiran 12 Hasil asesmen sistem traceability
Tahapan
Proses
Pertanyaan 1:
Apakah pada
tahapan ini dibuat
rekaman?
Pertanyaan 2:
Apakah kode
nomor lot
diikutsertakan
dalam rekaman?
Pertanyaan 3: Apakah
kode nomor lot pada
produk diikutsertakan
pada tahapan proses
selanjutnya?
86
Ya: Identitas
perekaman?
Ya: Lanjutkan ke
pertanyaan 3?
Ya: Identitas
perekaman?
Tidak: Tindakan
yang mendukung?
Tidak: Tindakan
yang mendukung?
Tidak: Tindakan yang
mendukung?
Pembelian Ya Tally sheet
of
purchasing,
Record of
harvest
vessel
Ya Ya Bagian
pembelian
memberi kode
batch pada
tiap pembelian
ikan lalu
diteruskan
kebagian
penerimaan
Penerimaan
bahan baku
Ya Report of
raw
material
receiving
Ya Ya Tiap
penerimaan
diberi kode
batch
Pencucian 1 Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
pencucian I
diberi kode
batch
Penyimpanan
sementara
Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Ikan disimpan
terpisah sesuai
dengan kode
batch masing-
masing
Pencucian II Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
pencucian II
diberi kode
batch
Penimbangan I Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
penimbangan I
diberi kode
batch
Pemotongan
kepala
Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya
Tiap
pemotongan
kepala diberi
kode batch
Pembentukan
loin
Ya Record of
daily
temperature
Ya
Ya Tiap
pembentukan
loin diberi
kode batch
87
Tahapan
Proses
Pertanyaan 1:
Apakah pada
tahapan ini dibuat
rekaman?
Pertanyaan 2:
Apakah kode
nomor lot
diikutsertakan
dalam rekaman?
Pertanyaan 3: Apakah
kode nomor lot pada
produk diikutsertakan
pada tahapan proses
selanjutnya?
Ya: Identitas
perekaman?
Ya: Lanjutkan ke
pertanyaan 3?
Ya: Identitas
perekaman?
Tidak: Tindakan
yang mendukung?
Tidak: Tindakan
yang mendukung?
Tidak: Tindakan yang
mendukung?
Pembuangan
kulit, daging
gelap dan duri
Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
pembuangan
kulit, daging
gelap dan duri
diberi kode
bacth
Penimbangan
II
Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
penimbangan
II diberi kode
batch
Pembungkusan
sementara
Ya Record of
daily
temperature
Ya Tiap
pembungkusan
sementara
diberi kode
batch
Pemberian gas
CO
Tidak Pemberian
gas CO
dilakukan
tiap kode
batch yang
sama
Tidak Pemberian
gas CO
dilakukan
tiap kode
batch
yang sama
Tidak Pemberian gas
CO dilakukan
tiap kode
batch yang
sama
Pendinginan Ya Chilling
temperature
report
Ya Ya Tiap
pendinginan
diberi kode
batch
Sortasi mutu
Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap sortasi
mutu diberi
kode batch
Perapihan Ya Report of
inspection
product
after
trimming
before
freezing
Ya Ya Tiap perapihan
diberi kode
batch
Penimbangan
III
Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
penimbangan
III diberi kode
batch
88
Pembungkusan Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
pembungkusan
diberi kode
batch
Tahapan
Proses
Pertanyaan 1:
Apakah pada
tahapan ini dibuat
rekaman?
Pertanyaan 2:
Apakah kode
nomor lot
diikutsertakan
dalam rekaman?
Pertanyaan 3: Apakah
kode nomor lot pada
produk diikutsertakan
pada tahapan proses
selanjutnya?
Ya: Identitas
perekaman?
Ya: Lanjutkan ke
pertanyaan 3?
Ya: Identitas
perekaman?
Tidak: Tindakan
yang mendukung?
Tidak: Tindakan
yang mendukung?
Tidak: Tindakan yang
mendukung?
Pemvakuman Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
pemvakuman
diberi kode
batch
Penyusunan Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
penyusunan
diberi kode
batch
Pembekuan Ya Freezing
monitoring
report
Ya Ya Tiap
pembekuan
diberi kode
batch
Penimbangan
IV
Ya Record of
daily
temperature
Ya Ya Tiap
penimbangan
IV diberi kode
batch
Pengemasan
dalam master
carton dan
pelabelan
Ya Daily
report of
packing
and
labelling
Ya Ya Tiap
pengemasan
dalam master
carton dan
pelabelan
diberi kode
bacth
Penyimpanan Ya Cold
storage
temperature
report
Ya Ya Tiap
penyimpanan
diberi kode
batch
Pengisian Ya Report of
stuffing
Ya Ya Tiap pengisian
diberi kode
batch