1
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
TRANSFORMASI NANDAI KE DALAM NASKAH PERTUNJUKAN;
SEBUAH SOLUSI PENGEMBANGAN KREATIVITAS PELESTARIAN
BUDAYA LOKAL (Keragaman Sastra Daerah di Sumatera Selatan Peluang Meningkatkan
Potensi Berkreasi dan Berpikir Kritis Generasi Penerus)
A. Latar Belakang
Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keanekaragaman
kearifan lokal, yang didalamnya terkandung nilai-nilai etika, moral, norma-
norma yang sangat dijunjung tinggi sejak nenek moyang dulu. Nilai-nilai tersebut
menyatu dalam kehidupan masyarakat dengan dinamis. Bahkan kearifan lokal
menjadi pedoman masyarakat dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam
dan sosialnya.
Aktivitas kebudayaan dalam masyarakat tidak terlepas dari tatanan nilai
yang terbentuk dan disepakati secara bersama melalaui produk budaya. Salah satu
produk budaya masyarakat yaitu sastra lisan (tutur)1 yang diwariskan secara turun
menurun. Sebagai produk budaya, sastra lisan sering juga disebut cerita rakyat.
Hal ini karena sastra lisan muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat
sejak mereka belum mengenal tulisan, dan disampaikan secara turun temurun dari
mulut ke mulut suatu kelompok masyarakat tertentu. Makanya dalam teori sastra,
tidak dikenal adanya pemilik tunggal cerita lisan. Setiap masyarakat cerita berhak
untuk mengakui bahwa cerita lisan yang ada padanya adalah miliknya. Hal ini
disebabkan oleh proses kelahiran sastra lisan itu sendiri.
Beberapa daerah yang tersebar di Nusantara ini, memiliki sastra lisan yang
menjadi kekayaan budaya. Demikian juga dengan Sumatera Selatan yang
memiliki kearifan lokal bermacam-macam lengkap dengan kekhasannya.
Misalnya di Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat, maka kita mengenal sastra
lisannya, andai-andai, pantun, rejung, tadut, guritan, ringit, mantra. Lalu
Kabupaten Empat Lawang ada andai-andai (nandai), pantun, rejung, mantra. Ke
kabupaten Musi Banyu Asin, selain mantra, pantun, ada senjang. Kabupaten
1 Jenis sastra lisan di Lubuklinggau; cerita rakyat (prosa rakyat), Puisi rakyat; pantun, mantra, senjang, rejung, lagu daerah.
2
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Musi Rawas, Kota Lubuklinggau, Kabupaten Musi Rawas Utara , ada nandai,
rejung, senjang, mantra, lagu daerah dan lain sebagainya.
Berbicara sastra lisan di Sumatera Selatan, fenomena yang terjadi sastra
lisan-sastra lisan ini tidak terwariskan dengan baik, dan diambang kepunahan.
khususnya cerita rakyat. Kearifan lokal yang paling mencolok mendekati
kepunahan ialah sastra lisannya dalam bentuk cerita daerah. Sebagaimana
dikemukakan peneliti muda bidang sastra di Sumatera Selatan, Ery Agus
Kurnianto, M.Hum yang menyatakan sastra tutur di Sumsel ada 127 jenis yang
diambil dari kota dan kabupaten dan di Sumatera Selatan diambang kepunahan.
Karena di lapangan sulit mencari penutur yang bisa menuturkan dengan baik. Hal
senada disampaikan Ketua Lembaga Budaya Komunitas Batang Hari Sembilan,
Vebri Al Lintani, yang mengatakan saat ini sastra tutur di Sumatera Selatan
hampir punah. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat untuk
mempertahankan tradisi sastra tutur.
Demikian pula sastra lisan yang berada di kota Lubuklinggau dan
sekitarnya, sastra lisan ini pun nyaris punah karena tidak terwariskan dengan baik.
Problemnya sama minim sekali penutur bahkan beberapa daerah sudah tidak ada
lagi penuturnya. Padahal kita tahu sastra lisan merupakan aset budaya.
Salah satu sastra lisan di Lubuklinggau, yaitu cerita rakyat2 yang disebut
nandai. Sesuai dengan sifatnya, cerita rakyat (nandai) di Lubuklinggau umumnya
diwarisi secara turun menurun, dari mulut kemulut. Hal ini sejalan dengan hal
yang diungkapkan Harianto dan Evi Novianti (2004:1) cerita rakyat merupakan
sastra yang pewarisan dan penyebarannya dilakukan secara lisan dari mulut ke
mulut sehingga cerita rakyat disebut sastra lisan.
Sistem pewarisan nandai di Lubuklinggau juga dilakukan secara turun-
temurun kepada anak-anak atau generasi penerusnya. Nandai dilakukan secara
intensif pada saat menjelang tidur, atau pada saat berkumpul ketika ada hajatan,
atau pada waktu istirahat berkebun, berladang, di sawah sembari menjaga padi
2 Cerita rakyat di Lubuklinggau disebut ‘nandai’, cerita daerah yang dituturkan dengan menggunakan bahasa daerah, disampaikan oleh orang-orang tua sebagai penutur. Dari delapan kecamatan wilayah Lubuklinggau, penutur hanya tinggal dua orang saja; Lubuklinggau Barat I yaitu Bapak Komarudin, Lubuklinggau Timur I, bapak Ali Pitah.
3
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
dari serbuan burung pipit. Dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang
tukang cerita pada para pendengarnya, nenek atau kakek pada cucu-cucunya,
ataupun antar sesama anggota masyarakat.
Selain itu, nandai-nandi ini merupakan media untuk mendidik. Karena
umumnya nandai yang disampaikan mengandung ajaran moral yang layak
diteladani. Namun saat ini, nandai semakin langka, utamanya di kalangan
keluarga dan masyarakat yang bermukim di Lubuklinggau. Cerita rakyat tidak
lagi menjadi media mendidik bagi anak-anak sekaligus pembentukan karakter
sejak dini. Tuntutan kehidupan saat ini menggiring setiap orang untuk materialis,
hedonistis, individualistis, praktis, dan berusaha memenuhi kebutuhan secara
instant. Jika dulu nandai sebagai sarana hiburan, saat ini masyarakat lebih
memilih media elekrto yang praktis. Akibatnya sastra lisan berupa nandai di
Lubuklinggau semakin kritis, masyarakat penutur semakin sedikit, bahkan
sebagian besar sudah meninggal. Sementara kalangan muda yang idealnya penjadi
pewaris penuturnya tidak berminat samasekali untuk mempelajari apalagi
mengembangkan nandai sebagai warisan nenek moyangnya. Hal di atas hanya
sebagian kecil penyebab nandai di kota Lubuklinggau makin terkubur. Di
samping itu minimnya pemerhati dan kolektor cerita rakyat dan tukang cerita
menjadi penyebab nandai terancam punah. Bisa dipastikan, jika tidak
dikembangkan dan dijaga kelestariannya, masa mendatang masyarakat sudah
tidak kenal nandai sebagai ciri khas daerahnya.
Pudentia dikutip Taum (2011:6) dalam Muhtar (2014:5) menyatakan
bahwa kematian sebuah tradisi lisan bisa berarti kita kehilangan ensiklopedi
sebuah masyarakat. Jika melihat kenyataan, pernyataan tersebut benar adanya,
tentu saja sangat menyakitkan. Maka tidak menutup kemungkinan masa yang
akan datang sastra lisan-sastra lisan itu akan menjadi kenangan. Selanjutnya anak
cucu tidak akan kenal lagi berbagai kekayaan budaya nenek moyangnya.
Ensiklopedi sebuah masyarakat benar-benar mati.
Beradasarkan fenomena di atas, sudah selayaknya masyarakat,
budayawan, pemerhati sastra lisan melakukan tindakan tertentu. Minimal
mempertahankan nandai yang telah terdokumentasi. Sebagian besar nandai ini
4
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
sudah di dokumenkan oleh budayawan daerah H. Suwandi Syam. Diantaranya
nandai; Bujang Kurap, Dayang Torek, Putri Silampari, Bute Puru, Putri Berias,
Asal Mula Batu Urip, Asal Mula Nama Lubuklinggau, Asal Mula Nama Selangit,
dan beberapa legenda lainnya. Selanjutnya RD Kedum dalam versi yang berbeda
berdasarkan nara sumber yang berbeda pula; Asal Mula Danau Rayo, Putri
Berias, Asal Mula Nama Dusun Kayu Are, Putri Selaka, Legenda Bujang Kurap,
Gentayu Ulak Dalam, Putri Selindang Abang, Selindang Koneng (Peri Mandi
Kasai), dan lain-lain.
Nandai-nandai di atas hanyalah sebagian kecil dari berbagai sastra lisan
yang tersebar di Lubuklinggau dan sekitarnya, karena sebagian besar sudah tidak
ada penuturnya maka harus ada upaya untuk pelestariannya, salah satunya
mentransformasi nandai ke dalam bentuk karya sastra yang lebih menarik.
Transformasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya mengubah
manuskrip nandai menjadi naskah seni pertunjukkan.
Transformasi adalah suatu proses atau cara mengubah yang ada menjadi
bentuk baru. Bentuk baru ini bisa berupa fisik, bentuk, dan fungsinya. Mengapa
pentingnya transformasi sastra lisan ke dalam bentuk lain? Mengapa tidak
mempertahankannya sesuai dengan pakemnya? Dengan cara mentransformasikan
sastra lisan terutama nandai ke dalam bentuk baru, misalnya naskah drama, maka
kekhawatiran kehilangan sastra lisan nandai ini dapat diminimalisir. Apapun
bentuknya, nama dan jenis sastra lisan di negeri ini, menggambarkan betapa
kayanya warisan nenek moyang dan dapat ditransformasi ke bentuk lain sebagai
salah satu pengembangan sastra daerah. Sekaligus bentuk kreativitas berangkat
pada kearifan lokal. Pertanyaannya upaya apa saja yang harus dilakukan dalam
melestarikan kearifan lokal, terutama sastra lisan nandai? Bagaimana
mentransfortasi nandai menjadi bentuk naskah pertunjukan?
B. Nandai Sastra Lisan Lubuklinggau
Lubuklinggau tidak berbeda dengan daerah lainnya yang ada di Sumatera
Selatan. Lubuklinggau juga memiliki sastra lisan- sastra lisan yang tersebar dan
menjadi milik masyarakat Lubuklinggau. Salah satu sastra lisan yang ada di
5
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Lubuklinggau adalah cerita rakyat yang disebut nandai. Cerita rakyat ini pernah
menjadi bagian penting dari kehidupan para pewarisnya. Berkembang sebelum
sastra tulis digunakan sebagai wahana untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaan.
Cerita rakyat atau nandai, merupakan bagian dari sastra lisan yang
berbentuk prosa. Wujud kelisanan cerita rakyat sudah berlangsung lama, sehingga
saat ini tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan cerita itu diciptakan dan
siapa penciptanya. Ia tumbuh dan berkembang dalam suatu kelompok masyarakat
tertentu.
Egoff dan Saltman menyatakan bahwa cerita rakyat3 sebagai primitive and
non literate society (1990:228), selanjutnya Bettelheim menyebutkan preliterate
society (1997:25). Artinya, cerita rakyat dapat dipahami sebagai ekspresi budaya
suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan
berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan
ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut.
Cerita rakyat mempunyai fungsi dalam masyarakatnya, misalnya sebagai
media pendidikan, pengajaran moral, hiburan, proses sosial dan sebagainya,
bersifat pralogis, yakni mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan
logika ilmu pengetahuan.
Sebagai produk masyarakat kolektif masa lalu nandai memiliki nilai-nilai
yang dapat kita petik dalam penuturannya, antara lain nilai-nilai nilai moral, nilai
religi, nilai budaya, nilai kehidupan, dan nilai kepahlawanan dan lain-lain.
Sehingga kita dapat melihat gagasan-gagasan, pandangan hidupan, sistem
masyarakat, sistem kebudayaan, dan pesan-pesan yang hendak disampaikan dalam
nandai.
3 Mukmin dan Izzah (2010:2) menyatakan umumnya cerita–cerita rakyat mengisahkan tentang
terjadinya alam semesta, manusia pertama, kematian, bentuk khas binatang, bentuk topografi,
gejala alam tertentu, tokoh sakti yang lahir dari perkawinan sumbang, tokoh pembawa
kebudayaan, makanan pokok, (seperti pagi, jagung, sagu, dsb.), asal–mula nama suatu daerah
atau tempat, tarian, upacara, dan binatang tertentu. Adapun tokoh–tokoh dalam cerita rakyat
biasanya ditampilkan dalam berbagai wujud, baik berupa binatang, manusia maupun dewa, yang
kesemuanya disifatkan layaknya manusia.
6
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Orang yang bernadai, atu tukang cerita (penutur), biasanya tidak hanya
mampu menuturkan cerita rakyat ini dengan runtut. Akan tetapi, di dalam
penuturannya, tukang cerita akan menyelinginya dengan rejung, senjang, mantra,
pepatah, lagu, pantun, dan lain sebagainya. Di Lubuklinggau dan sekitarnya,
zaman dulu yang menjadi penutur, tidak dibatasi pada jenis kelamin, muda atau
tua. Siapapun bisa menjadi tukang nandai yang penting adalah kemampuan
menyampaikan nandai dengan menarik, menguasai berbagai sastra lisan lainnya,
minimal rejung, senjang dan lagu, dan dapat bertutur dengan lancar.
Biasanya, tukang cerita menuturkan nandai pada waktu-waktu tertentu.
Misalnya pada waktu ada hajatan, usai bekerja di ladang, sawah dan kebun. Atau
dilakukan oleh orang-orang tua sebagai pengantar tidur pada anak atau cucu-
cucunya. Tidaklah berlebihan, jika dikatakan nandai merupakan cermin pribadi
masyarakat Lubuklinggau dan sekitarnya masa lalu. Maka sudah sepatutnyalah
ada upaya menumbuhkembangkan serta melestarikan kearifan lokal ini sebagai
salah sayu kekayaan budaya.
C. Transformasi Nandai dalam Bentuk Naskah Pertunjukkan (Drama)
Di dalam kamus Bahasa Indonesia transformasi dapat diartikan perubahan
rupa bentuk, sifat, fungsi, dan lain sebagainya. Transformasi juga dapat
didefiniskan sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai
pada tahap yang paling sempurna. Berangkat pada definisi di atas, transformasi
nandai ke dalam bentuk naskah drama, artinya mengubah nandai sebagai sastra
lisan ke dalam bentuk naskah pertunjukan. Dalam mentranformasi sastra lisan
nandai ke dalam naskah pertunjukan diharapkan dapat menghidupkan kembali
sastra lisan nandai ini sekaligus menjadi media kreativitas orang-orang yang
bergiat di dalamnya; penulis, pengamat budaya, pemilik cerita, masyarakat,
pendidik, mahasiswa, pelajar, seniman dan lain-lain.
Transformasi nandai ke dalam bentuk naskah drama bukan satu satunya
cara untuk melestarikan dan membuat nandai ini menjadi luntur dari pakemnya.
Akan tetapi sebagai alternatif agar isi nandai yang tumbuh di masyarakat tetap
7
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
hidup. Sekaligus merupakan kreativitas di dalam pengembangan sastra kearifan
lokal.
Sebagai warisan budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan
estetika budaya. Dengan mentransformasi nandai menjadi naskah pertunjukan
maka pemahaman isi cerita lisan akan hadir lebih hidup karena dikemas
sedemikian rupa sesuai dengan tujuannya sebagai seni pertunjukan. Maka
mentfansformasinyapun ada kriteria-kriteria yang harus dipahami sebagai seni
pertunjukan dengan tidak mengurangi keajekan nandai. Hal ini dianggap perlu
sehingga akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan sastra lisan nandai
sebagai salah satu kekayaan budaya.
Metransfortasi naskah lisan nadai ke dalam naskah drama bukanlah satu-
satunya bentuk baru pelestraian sastra tutur nandai. Akan tetapi bisa juga
ditransformasikan ke dalam bentuk sendra tari, tari daerah, lagu daerah, pantun,
dan sebagainya. Sehingga yang semula hanya dituturkan, akhirnya menjadi seni
yang divisualkan. Inilah yang dikatakan kreativitas.
Berkaitan dengan kreativitas, menurut Munandar (1995: 25) kreativitas
adalah suatu kemampuan umum untuk menciptakan suatu yang baru, sebagai
kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan
dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-
hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Dijelaskan lebih lanjut, kreativitas adalah sebuah kemampuan yang
dimiilki oleh individu atau seseorang untuk memahami keadaan dalam
meninterprestasikan pengalaman dan memecahkan masalah dengan cara yang
baru dan asli, sehingga terciptalah menciptakan suatu hal yang baru dan manfaat.
D. Naska Petunjukan (Drama)
Naskah drama adalah karya fiksi yang memuat kisah atau lakon. Naskah
yang lengkap terdiri atas babak dan adegan-adegan. Ada beberapa kategori naskah
pentas, yaitu : a) Naskah yasan, artinya teks drama yang sengaja diciptakan sejak
awal sudah berupa naskah drama. Naskah semacam ini biasa ditulis oleh seorang
sutradara. b) Naskah garapan, artinya teks drama yang berasal dari olahan cerita
8
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
prosa atau puisi diubah ke dunia drama. Biasanya penggarapan naskah terikat oleh
jalan cerita sebelumnya. sehingga bagian kecil saja yang diubah. Hal ini memang
lebih mudah. Sebab penggarap tidak perlu berimajinasi dari awal. c) Naskah
terjemahan artinya naskah yang berasal dari bahasa lain, diperlukan adopsi dan
penyesuaian dengan budanyanya. (Endraswara. 2011: 37).
Berdasarkan pandangan di atas, transformasi nandai menjadi naskah
drama masuk ke dalam kategori garapan. Sebab naskah pertunjukan ini berasal
dari sastra lisan atau prosa lisan. Sesuai dengan kriteria naskah pertunjukan, maka
ketika mengubah nandai menjadi naskah pertunjukan perlu rancangan kretivitas
dan pemahaman tentang seni pertunjukan ini. Artinya, dibutuhkan pemahaman
dasar tentang karya sastra seni pertunukan (drama) secara mumpuni. Sebab,
ketika seseorang menulis naskah pertunjakan, maka imajinasinya harus bermain
pada wilayah panggung dengan berbagai macam peristiwanya. Hal ini agar
menghasilkan naskah yang baik.
Menurut Arifin (1980:15), naskah yang baik apabila naskah itu kaya
dengan ide-ide baru, baik dilihat dari filsafat, sosial, kulturil, politis dan asli
(bukan jiplakan). Selanjutnya bagaimana nilai sastranya, bagaimana bahasa yang
dipakai, segar atau penuh klise. Derek Bowskill dalam bukunya menyebutkan
naskah yang baik; Pertama, mencetuskan kegembiraan dan ketakutan-ketakutan
manusia yang akan berbaur dengan kegembiraan dan ketakutan yang ada pada
penonton. Kedua, memberikan kekayaan batin, membebaskan manusia dari
prasangka-prasangka dan memberikan rasa senang. Ketiga, menciptakan situasi
yang membutuhkan jawaban, mendorong imajinasi dan dan menyediakan
pengalaman-pengalaman yang intens, kuat dan hebat. Keempat, tidak membuat
pertanyaan-pertanyaan dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan atau malah tak
terjawabkan. Kelima, dialog-doalognya enak, bahasanya mudah untuk
menyatakan perasaan hingg tema yang dikandung dapat terwujudkan. Keenam,
jika dibaca berulang-ulang, dan digali akan menimbulkan pengertian-pengertian
yang lebih jelas. Tujuh, yang dilontarkan adalah kebenaran-kebenaran dari
pandangan seseorang tentang kondisi manusia. Asli, luas, mendalam, dan tidak
palsu atau dibikin-bikin.
9
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Berbicara tentang kriteria naskah drama yang baik, maka tidak lepas
berbicara struktur. Endraswara (2011: 21) membagi struktur drama yang baku
yaitu; pertama, ada babak yang akan membentuk keutuhan kisah kecil, lengkap
dengan petunjuknya. Kedua, adegan. Setiap babak biasanya akan dibagi-bagi
menjadi beberapa adegan yang dibatasi oleh perubahan peristiwa. Ketiga,
merupakan bagian yang sangat penting dan secara lahiria membedakan sastra
drama dengan jenis fiksi lainnya. Keempat, prolog. Sebagaimana prosa maka
drama pun mengenal bagian awal, tengah dan solusi serta peleraian. Prolog dalam
drama tidak terlalu dianggap penting. Prolog biasanya bagian naskah yang ditulis
pengarang pada bagian awal yang memuat pengenalan pemain. Kelima, epilog.
Yaitu penutup drama yang biasanya cukup disampaikan oleh pembawa acara atau
narator di belakang panggung.
Contoh Transformasi Nandai Menjadi Naskah Drama
P u t r i S e l a k a (Legenda Sungai Temam Kota Lubuklinggau)
Di sebuah perkampungan kecil jauh di dalam hutan, ada sebuah kelompok
kehidupan yang bersahaja, damai, sejuk, subur, memiliki aliran sungai yang
jernih, bernama Lubuk Timang yang dipimpin oleh seorang Kepala Suku Gindo
Redam. Kampung Lubuk Timang berasal dari nama salah satu lubuk dalam
yang mengalir mengelilingi dusun.
Kehidupan masyarakatnya, sebagian ada yang sudah memilki ladang, sebagian
lagi hanya mengandalkan hasil hutan, makan umbi-umbian; gadung, ketela, ubi
kayu, dan buah rotan. Meski berada jauh di tengah rimba, Gindo Redam memiliki
seorang putri yang cantik luar biasa. Namanya Putri Selaka. Selain cantik, putri
Selaka juga pandai berejung, bersenjang, dan menari. Setiap petang, ia bersama
gadis-gadis (dehe-dehe) di kapungnya akan belajar menari senjang.
Ternyata, kecantikan Putri Selaka, sudah tersohor ke dusun-dusun lainnya. Baik
ke hulu sungai, maupun ke wilayah hilir. Tidak ketinggalan Rantana, anak
kepala suku hulu Air. Sudah lama ia mendengar kalau di salah satu dusun
rimba ini, ada seoranng putri yang cantik luar biasa. Rentana Air Kati, yang
terletak hulu sungai, mulai mencari dusun tempat Putri Selaka berada. Tidak sulit
baginya, dalam waktu singkat ia menemukan dusun yang terletak di hilir dusun.
Angin telah membawa suara merdu Putri Selaka yang tengah bersenjang.
Ayah Rantana, Gindo Sangsang Lubuk Kati, sebenarnya saudara Gindo Redam.
Mereka adik dan kakak. Namun Gindo Sangsang Lubuk Kati diusir dari dusun
dan disumpah nenek moyang, karena kelakuannya yang tak lazim. Sikapnya
10
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
yang kejam, suka membunuh hewan dan memakan dagingnya mentah-mentah,
membuat nenek moyangnya marah.
Demi melihat kecantikan Putri Selaka, Rentana langsung hendak menjadikannya
istri. Tentu saja Putri Selaka menolak. Apalagi kedatangan Rantana yang tiba-
tiba, sungguh tidak beradat.
Kedatangan Rentana ke Lubuk Timang, benar-benar membawa petaka. Rentana
dengan berani ingin mempersunting Putri Selaka. Putri Selaka, gadis Lubuk
Timang itu tidak pernah bermimpi jika ia akan menjadi sumber segalanya.
Penolakkannya terhadap Rantana, telah membuat pemuda itu mengamuk, dan
mengancam akan menghancurkan Lubuk Timang. Gindo Redam, ayah Putri
Selaka jelas tidak suka dengan cara Rantana. Apalagi ketika ia mengetahui
kalau Rantana adalah keponakannya. Anak kakaknya yang sengaja di usir dari
sukunya.
Marah karena ditolak mentah-mentah, Rantana menancapkan sebatang aur
gading di pinggir dusun dan berkata, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat
mengubah sumpahku, selagi aur ini masih tertancap, tidak ada satupun yang
bisa mempersunting Putri Selaka, kecuali aku. Lalu jika menolak maka semua
gadis Lubuk Timang pun, tidak akan menemukan jodohnya.
Akhirnya Gindo Redam berusaha menyatukan kekuatan untuk melawan Rantana
yang sakti. Jalan satu-satunya untuk menawarkan kekuatan aur gading yang
ditanam Rantara, Gindo Redam harus menyatukan kekuatan bersama Tetua
adat Intan Lanang. Dusun Lubuk Timang akan disilamkan dari pandangan
Rantana.
Menjelang malam purnama, ritual dilaksanakan. Namun belum usai ritual
Rantana datang. Rantana tahu jika Gindo Redam berniat menyilamkan dusun
dari padangannya. Rantana naik pitam. Ia menyerang Tetua Intan Lanang
dengan pusala yang terselip di pinggangnya. Tanpa di duga, senjatanya
mengenai Putri Selaka yang berlindung di belakang ayahnya. Putri Selaka tewas
seketika. Menyadari hal itu, Rantana terkejut. Dia ambil tubuh Putri Selaka, lalu
dibawanya pergi entah kemana. Gindo Redam, dan penduduk panik. Mereka
berlari berusaha mengejar Rantana. Namun gagal. Putri Selak tak tahu dibawa
Rantana kemana.
Akhirnya, sejak saat itu, untuk melindungi kampungnya dari ganguan orang
jahat, akhirnya Gindo Redam benar-benar menyilamkan dusunnya. Sejak itu,
dusun Lubuk Timang silam dari pandangan. Yang ada hanya air terjun yang
mirip seperti tirai. Sejak itu, orang menamakan air terjun Temam, terletak kurang
lebih 12 km dari Kota Lubuklinggau, dan menjadi salah satu objek wisata kota
Lubuklinggau.***
Sumber : Kusem (alm)-65 tahun, petani dari Desa Jukung Kota Lubuklinggau. Tidak ada pewarisnya.
Teks cerita di tulis RD Kedum
11
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
PUTRI SELAKA (Legenda Air Terjun Temam)
Karya; RD.Kedum
Putri Selaka (Anak Gindo Redam-Kepala Suku Lubuk Timang)
Gindo Redam
(Kepala Suku Lubuk Timang)
Intan Lanang
(Tetuo Adat Lubuk Timang)
Rantana Lubuk Katti
(Putra Gindo Muara Katti)
Penduduk 1,2
SINOPSIS
Putri Selaka, gadis Lubuk Timang itu tidak pernah bermimpi jika ia akan menjadi
sumber malapetaka. Penolakkannya terhadap Rantana, telah membuat pemuda itu
mengamuk, dan mengancam akan menghancurkan Lubuk Timang. Gindo Redam, ayah
Putri Selaka tidak setuju. Sebab, Gindo Sangsang Lubuk Katti, ayah Rantana adalah
saudara kandungnya yang dikucilkan dan disumpah nenek moyang, karena kebiasaan
anehnya-membunuh hewan lalu memakan dagingnya mentah-mentah.
Rantana menancapkan sepotong aur gading di pinggir dusun dan berkata, tidak ada satu
kekuatan pun yang dapat mengubah sumpahnya, dan tidak ada satupun yang bisa
mempersunting Putri Selaka, kecuali Dia. Lalu semua gadis Lubuk Timang pun, tidak
akan menemukan jodohnya.
Jalan satu-satunya untuk menawarkan kekuatan aur gading yang ditanam Rantara,
Gindo Redam harus menyatukan kekuatan bersama Tetua adat Intan Lanang. Dusun
Lubuk Timang akan disilamkan dari pandangan Rantana.
Menjelang malam purnama, ritual dilaksanakan. Namun belum usai ritual Rantana
datang. Rantana menyerang Tetua Intan Lanang. Tanpa di duga, senjatanya mengenai
Putri Selaka yang berlindung di belakangnya. Putri Selaka tewas seketika. Menyadari hal
itu, Rantana terkejut. Dia ambil tubuh Putri Selaka, lalu dibawanya pergi entah kemana.
Gindo Redam, dan penduduk panik. Mereka berlari berusaha mengejar Rantana.
SETTING
Suasana petang hari. Musik etnik mengalun tenang. Beberapa gadis bercengkrama
gembira. Samar-samar terdengar rejung;
Oii… tiang boloh ditetak empat
Seje di unde ke ulu doson
Putri Selaka namea royat
Dere tekenal beparas anggon
12
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Dusun kami si Lubuk Timang
Mengalir ayow jenih ke ilir
Royat kami perlu dikenang
Anak cucung jan ian mangkir
…………………..
Musik etnik berubah, satu dere menari pisau, bergerak gemulai. Beberapa penduduk yang
melintas tertegun kagum.
BABAK I
Penduduk 1
Wow!! Luar biasa. Ternyata dere-dere kita masih ada yang bisa menari. Tari pisau ini warisan nenek moyang kita. Tidak banyak yang bisa menarikan tari mistis ini.
Penduduk 2
Benar sekali sanak. Aku tidak bisa bayangkan. Ternyata budaya nenek moyang kita
jaman dulu luar biasa. Tapi, mengapa tari ini dikatakan tari mistis?
Penduduk 1
Sebab, tari ini biasa dilakukan oleh nenek moyang kita ketika melakukan ritual tolak
bala, menjaga dusun. Sekaligus menggambarkan kekuatan dan keberanian batin nenek
moyang kita, yang tidak tembus dengan senjata tajam.
Penduduk 2
Oo…camtu…(manggut-manggut) Artinya, nenek moyang kita dulu kebal. (Beranjak keluar
panggung)
Putri Selaka
Sanak, aghai sudah petang. Mari kita pulang. Besok kita lanjutkan lagi permainan kita.
Lihatlah, burung enggang sudah hendak pulang ke sarangnya. Pertanda malam sudah
makin dekat. Tapi, mengapa dusun kita bekabut. Padahal lembayung masih tampak gerah menerangi
alam. Ah, sudahlah..mudah-mudahan ini bukan pertanda buruk. (Semua bergegas- out stage- empty stage)
Babak II
(Pagi hari. Putri Selaka masuk dan duduk mengayam tikar, sembari bersenjang;
Ooi Alangkah anggon burung seriti
Terbang ke ilir kadang ke ulu
Bedan hebatang nak di tangisi
Lum ade lananga lum ade judu
( tiba-tiba Rantana sudah berada di hadapan Putri Selaka)
Rantana
Ahai…tak salah rupanya angin senjangmu membawaku kemari, ternyata benar kalau di dusun ini ada seorang peri, berparas cantik luar biasa. Engkaukah yang bernama Putri
Selaka itu dehe? (mendekat dan memegang dagu Putri Selaka)
Putri Selaka
Hei…siapa engkau anak lanang? Kurang ajar sekali. Tak diajarkan sopan santunkah engkau bagaimana caranya masuk ke dusun orang?
13
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Rantana
(tertawa) Bukankah aku sudah menyapamu lebih dulu?
Kurang sopankah itu, Putri cantik?
Putri Selaka
Sikapmu menunjukkan jika kau tidak beradat anak lanang.
Rantana
Hei…dari tadi kau memanggiku anak lanang-anak lanang. Apakah itu sopan? Aku
Rantana. Anak gindo ayow ulu. Gindo Sangsang Lubuk Katti.
Putri Selaka (Kaget) Gindo Sangsang Lubuk Katti?
Rantana
Iya..kenapa? Mengapa terkejut? Nama Bakku memang menggetarkan tanah Silampari
ini, Sangsang Lubuk Katti. (tertawa) Kau kenal?
Gindo Redam
(Tiba-tiba) Siapa yang menyebut-nyebut Sangsang Lubuk Katti?
Anak lanang. Siapa kau? Bisakah kau bersikap sedikit sopan.
Rantana
Akulah yang menyebut-nyebut Sangsang Lubuk Katti. Mengapa?
Tiap kali aku masuk dusun asing, semua heran dan menyatakan takut mendengar nama
Bakku.
Gindo Redam
Ow..jadi kau anak Sangsang Lubuk Katti? Ia adalah saudaraku yang diusir dari dusun dan disumpah nenek moyang, karena kelakuannya yang tak lazim. Ia kejam, suka
membunuh hewan dan memakan dagingnya mentah-mentah.
Rantana
(Terbahak) Sampai sekarang kebiasaan itu masih Gindo. Jangankan hewan, manusia
pun bisa dimakannya hidup-hidup. Kau takut? Kau juga ikut-ikutan menyumpah Bakku, bukan?
Gindo Redam
Itu urusan Bakmu. Ada apa engkau datang kemari. Siapa namamu?
Rantana Rantana. Namaku Rantana Lubuk Katti. Angin senjang Putri Selaka telah membawaku
kemari, Gindo. Sudah lama aku mendengar kecantikannya. Ahaiii…ternyata benar. Putri
Selaka cantik luar biasa. Aku hendak menjadikannya istriku.
Putri Selaka
Tutup mulutmu Rantana, kau sedang berbicara dengan siapa?
Rantana
Dengan Bakmu Putri Selaka. Calon mertuaku. Siapa namanya?
(bersikap biasa-biasa saja)
Gindo Redam Rantana, aku pamanmu, Redam. Saudara Bakmu. Mana mungkin kau mempersunting
putriku. Putri Selaka saudaramu.
14
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Rantana
Aaah !!! Aku tak peduli! Sumpah nenek moyang telah memutuskan tali darah Bakku dan
engkau Gindo Redam. Aku benci dengan orang yang menghalangi keinginanku.
Termasuk engkau!
Putri Selaka
Siapa yang sudi mejadi istrimu, Rantana. Kuharamkan diriku di persunting manusia
binatang sepertimu.
Intan Lanang
(Masuk) Hmmm…ada tamu yang tak beradat rupanya. Tak kau ukur tingginya langit dan
dalamnya laut anak lanang. Panjang rotan ada batasnya. Kuat akar pun ada putusnya.
Jangan kau inginkan jadi tunggul tercancang di tengah subur hutan.
Rantana Ahai..siapa pula kau pak Tua. Pandai sekali kau berbicara. Tak akan aur mati sia-sia,
selagi tertancap di tanah basah. Aku kemari berniat baik, hendak mempersunting Putri
Selaka jadi istriku.
Putri Selaka
Kau tak berotak Rantana. Apa kurang jelas yang telah disampaikan Bakku?
Rantana
Jelas…sangat jelas!! Putri Selaka calon istriku!! Kuncinya satu, kau harus mau!
(menyambar tubuh Putri Selaka, Putri Selaka menjerit, memberontak. Intan Lanang menyerang secepat kilat. Putri Selaka terlepas dan berlari mendekati Baknya.)
Intan Lanang
Rantana, beraninya kau berlaku kurang ajar di hadapan orang tua. Pergilah dari sini
sebelum habis kesabaran kami. Kau salah alamat anak lanang. Aur gading tetap jadi
aur gading. Tak akan berubah jadi aur betung. Keputusan Gindo Redam ibarat tebing,
tak akan terbis karena angin.
Rantana
Baik, Orang tua! Aku belum kalah. Aku akan datang tepat malam bulan purnama. Ini
hinaan! Akan ku tantang kau orang tua. (berpaling ke Gindo Redam) Pikirkan baik-baik
lamaranku Gindo. (mengambil sepotong bambu lalu menancapkannya) Ingat!! Aur ini akan menjadi saksi. Putri Selaka tidak akan pernah menikah kecuali
dengan Rantana. Dan gadis dusun inipun tidak akan ada yang menikah, sebelum Putri
Selaka menjadi istriku. (Menghilang)
Putri Selaka
Bak,(cemas) Bagaimana dengan sumpahnya? Jika benar-benar terjadi, sungguh hidupku
tidak ada artinya. Aku telah membuat semua dehe dusun ini menjadi dehe tua, Bak.
(menangis)
Gindo Redam
Tidak usah cemas anakku…di atas langit masih ada langit. Meski ancamannya
menakutkan. Kita mampu melawan tantangannya. Yakinlah itu.
Intan Lanang, kita harus melakukan sesuatu sebelum Rantana datang purnama
mendatang. (di sambut anggukan oleh Intan Lanang - Out stage)
15
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Babak III
(Beberapa penduduk sibuk menyiapkan bahan ritual. Putri Selaka tampak sedih dipapah
beberapa orang, diikuti Intan Lanang dan Gindo Redam)
Putri Selaka
(Menerawang) Jika sumpah Rantana benar-benar terjadi. Maka petaka besar untuk
dusun kita. Kalian akan menjadi perawan tua. Tak akan kita dengar lagi dendang rejung,
senjang, dan tabuhan besindo di dusun kita. Dusun kita akan jadi dusun mati (menangis
sedih)
Intan Lanang
Untuk itulah Putri Selaka, dusun kita akan kita pagari, agar Rantana tidak bisa kemari
lagi. (memandang ke atas) Purnama sudah dekat.
Putri Selaka
Tapi aur itu sudah tertancap Tetua. Bukankah kekuatan bumi telah memaku ucapan
Rantana?
Intan Lanang
(Ragu, sembari bersiap-siap melakukan ritual) Tidak Selaka. Kita mampu melawan
kekuatan Rantana yang tak beradat itu. Mari Gindo Redam, kita satukan kekuatan. Kita
cabut sumpah Rantana yang tertanam di aur gading. Kita kumpulkan kekuatan para
mambang penunggu dusun. Roh nenek moyang akan berpihak pada kebenaran
Gindo Redam
Mari Tetua..sebelum bulan naik di atas kepala (keduanya bersedekap, yang lain
menunggu harap-harap cemas)
Intan Lanang
Sungsang sangkarat getah betih getah limau
Kayu cendane kayu paku kayu bumi tembesi tembesu
Pirak ganting pirak gantung yap,,yap selayap upai
Upai abis tiang bejenjang jenjang kido jenjang kanan
Lang beketek lang betakup lang lang..lang
Uuuwah!!
Beting segale beting, bukit, gunung, langit, bumi,
Mate aghai, mate ayow mate segale mate silap mpuk dusun kami
(Intan Lanang memercikan air ke seluruh penjuru. Belum usai tiba-tiba Rantana datang
dengan muka merah)
Rantana
Kurang ajar, Tetua! Lancang sekali kau menghalangi aku (pedang terhunus) Memagari
dusun agar silam dalam pandangan mataku.
(Demi melihat kedatangan Rantana yang tiba-tiba, Putri Selaka berlindung di belakang
Tetua Intan Lanang)
Orang tua! Berapa tinggi ilmu yang kau punya sehingga berani-beraninya kau hendak
menyilamkan Lubuk Timang. Kau belum tahu siapa Rantana. Kau harus mati
tetua…Hiaaat…
16
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
(menebaskan pisau besarnya. Tetua menghindar dengan lincah. Pisaupun mengenai Putri
Selaka. Putri Selaka terpekik tumbang berlumuran darah. Semua panik. Rantana yang
tidak menduga peristiwa itu pun ikut terkejut)
Putri Selaka! Putri!! Aku akan bawa Selaka pergi, tak dapat mempersuntingnya, jasadnya
pun jadi. Hiiiiat!!
(Rantana membopong tubuh Putri Selaka, lalu dibawanya pergi. Semua baru tersadar
lalu mengejar)
Koor: (riuh)
Selaka…Putri Selaka….Putri Selaka Putri Selakaaaa…..Putri.. (Semua berlari-mengejar.
Musik etnik kembali hingar bingar. Rejung/lagu penutup terdengar menyayat. Stage
kembali sepi)
Tamat
Lubuklinggau, 12 April 2014
Catatan:
Aghai = hari
Bak = ayah
Besindo = berkenalan/bercinta
Camtu = seperti itu
Dere = gadis
Gindo = kepala suku
Rejung = lagu daerah
Sanak = saudara
Senjang = pantun dilagukan
Silam = hilang/ghaib
Terebis = longsor
Tetuo = tokoh adat/dituakan
17
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Simpulan
Bergesernya minat masyarakat terhadap cerita rakyat, menggambarkan
bergesernya pula fungsi cerita rakyat. Cerita rakyat bukan lagi sebagai media
hiburan. Generasi muda bayak tidak kenal lagi sastra lisan nandai sebagai bagian
budaya leluhurnya. Sehingga semakin hari sastra lisan ini semakin tergerus karena
sudah tidak ada lagi penuturnya. Akibatnya peran sastra lisan di masyarakat pun
menjadi pudar. Generasi muda umumnya tidak mengenal dan enggan untuk lebih
jauh mendalami cerita rakyat ini. Sehingga, lambat laun cerita rakyat ini akan
hilang sama sekali.
Transformasi nandai menjadi naskah pertujukkan, hanya sebagai alternatif
bagi siapapun, menjadikan sastra lisan khusunya nandai menjadi bentuk lain.
Masih banyak kearifan-kearifan lokal yang bisa di transformasi ke dalam bentuk
naskah drama ini. Misalnya misalnya adat perkawinan, ritual pengobatan, tata cara
adat lainnya yang tersebar luas di Sumatera Selatan.
Sastra lisan -satra lisan yang tersebar, idealnya menjadi sumber inspiratif
dan kreasi bagi pengamat, pecinta, kearifan lokal. Hal tersebut bukan saja sebagai
upaya melestarikan dan mengembangkan sastra lisan dalam bentuk lain, namun
juga sebagai ajang krativitas bagi penulis, pelajar, dan pendidik. Kreativitas
dalam berkarya ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan ajar. Misalnya
untuk di Perguruan Tinggi sebagai materi pendukung mata kuliah Apresiasi
Drama, Sanggar Teater, Perencanaan Pementasan Drama, Keterampilam
Menulis, Sastra Daerah, dan lain sebagainya. Termasuk juga bagi guru dan
pelajar sebagai materi mata pelajaran yang berkaitan dengan seni pertunjukan
atau drama.
---0000--
18
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
REFERENSI
Agus DS. 2008.Mendongeng Bareng Kak Agus Ds Yuk. Yokyakarta. Kanisius.
Arifin. Max. 1980. Teater Sebuah Perkenalan Dasar. Flores: Nusa Indah
Danandjaja, James. 2003. Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang
Manunggal. Jakarta: Grafiti.
Egoff. Shella dan Judith Saltman.1990. The New republic of Chidhood: A Critical
Guide to Canadian Children,s Literature in English. Toronto: Oxford
University Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Epistomologi, Model,
Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress.
-------- 2011. Metode Pembelajaran Drama. Apresisi, Ekspresi, dan Pengkajian.
Yogyakarta: Buku Seru
Fuadi Aziz. Cerita Rakyat Peran dan fungsinya. Dalam Koran Merdeka, 5 Mei
1993.
Hutomo. Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan, Pengantar Studi Satra
Lisan. Surabaya. HISKI.
Harianto, Evi Novianti. 2004. Mantra Muar Wayek (Analisis Struktur dan
Fungsi). Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Kedum, RD. Kumpulan Cerita Rakyat Lubuklinggau-koleksi pribadi belum
dipublikasikan secara Nasional.
Mukmin, Suhadi dan Izzah. Menjadikan Cerita rakyat Bangka sebagai Industri
kreatif dan Media Pembelajaran yang Integratif. Bangka Belitung. Makalah
Internasional Lisan VII, tanggal 19-22 nopember 2010.
Munandar.Utami. 2004. Pengembangan Emosi dan Kreativitas. Jakarta : Rineka
Cipta
Pundentia. 2008. Metodologi kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL
19
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
Pradotokusumo, Partini Sarjono.2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama.
Rusyana Yus. 200. Prosa Tradisional; Pengertian Klasifikasi, dan Teks, Jkaarta:
Pusat Bahasa , Departemen Pendididkan Nasional.
Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia: Pengantar Teori dan
Pembelajarannya. Yogyakarta: LaksBang PRESSSindo.
Syam, Suwandi. Kumpulan Cerita Rakyat Musi Rawas (tidak ada tahun-
manuskrip)
Taum, Yosep Yapi. Studi Sastra Lisan: Sejarah, teori, Metode dan Pendekatan
Disertasi Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Lamera.
Wellek, Rene dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusatraan. Jakarta. PT Gramedia.
Internet:
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/1
98104252005012-HALIMAH/INTEERTEKSTUAL_ks.pdf (diakases 18 April 2016)
https://dkpalembang.wordpress.com/2015/08/20/sastra-tutur-sumsel-punah-
bergurulah-pada-metode-iqra/
http://forumlintangempatlawang.blogspot.co.id/2008/08/sastra-tutur-di-sumsel-
hampir-punah.html
20
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan rusmana dewi Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
l k