Download - TRI NURHAENI-FUH.pdf
ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM
AL-JAWZIYYAH
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh:
TRI NURHAENI NIM: 103033127771
JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H./2008 M.
ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM
AL-JAWZIYYAH
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh TRI NURHAENI NIM: 103033127771
Di Bawah Bimbingan
Dr. SRI MULYATI, MA. NIP: 150 227 564
JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H./2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM AL-
JAWZIYYAH telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Februari 2008. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat
Islam (S.Fil.I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 26 Maret 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dra. Hermawati, MA. Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag NIP: 150 227 408 NIP: 150 254 185
Anggota,
Drs. Syamsuri, M.A Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 150240089 NIP: 150 270 808
Dr. Sri Mulyati, MA. NIP: 150 227 564
KATA PENGANTAR الرحيم الرحمن الله بسم
Segenap potensi rasa, pikir dan gerakku bersimpuh di haribaan Allah SWT
seraya berucap syukur kepada-Nya. Dia telah mewahyukan teks kauniyah dan
tanziliyyah untuk segenap alam, sehingga pena sejarah telah mengabadikan ilmu-
ilmu untuk menggali al-hikmah yang tersimpan di dalamnya.
Shalawat serta salam senantiasa tercurah untuk baginda Rasulullah SAW
yang telah mengangkat derajat umat manusia dari alam kejahiliyahan ke alam
yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Berkat perjuangan beliau lah sampai detik
ini kita masih bisa berkelana dalam pengetahuan dan mencicipi manisnya Iman
dan nikmatnya Islam.
Selanjutnya, adalah suatu keharusan bagi setiap mahasiswa yang akan
menyelesaikan perkuliahan dan mencari gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menyusun
skripsi. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis menulis skripsi yang berjudul:
Zuhud Dalam Pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Dalam pengembaraan yang panjang untuk mencari jati diri di Universitas
hingga kemudian dapat menyusun karya ilmiah yang berupa skripsi, penulis
banyak mendapatkan hambatan dan tantangan baik yang bersifat internal atau
eksternal. Namun berkat usaha dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulis
dapat juga menyelesaikan studi dan skripsi ini.
Karena itu, tak lupa saya haturkan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Ibu Dr.Sri Mulyati, M.A. Selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar
membimbingku dalam proses penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filasafat beserta para pembantu dekan.
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Drs. Ramlan Abdul Gani, M.Ag.
selaku ketua dan sekertaris jurusan Aqidah-Filsafat.
4. Seluruh dosen, staf akademik dan staf Perpustakaan Utama UIN maupun
Fakultas Ushuluddin.
5. Kedua orang tuaku, Bapak Daryono dan Ibu Kaidah tercinta atas segala
kasih sayang dan dukungannya selama ini, baik berupa moril maupun
materil. Tak tergambarkan betapa berharganya beliau. Tiada ungkapan dan
hadiah yang dapatku berikan untuk menggambarkan betapa berharganya
dan berartinya beliau dihatiku. Ku hanya bisa berdo’a kepada Allah SWT,
semoga kesehatan dan keberkahan selalu bersamamu. Amiin. Terima kasih
ibu, terima kasih bapak, Kau membanting tulang, menguras keringat, tak
kenal lelah hanya untuk menyekolahkan ku hingga sampai keperguruan
tinggi. Begitu besar jasamu dan takkan pernah terganti dengan apapun.
Terima kasih kepada kakakku Mila tercinta yang selalu membimbingku
dalam setiap langkahku dan kepada adik-adikku (Ria, Fitri, Rahmat, Iik)
tersayang atas curahan kasih sayang dan perhatian yang diberikan
kepadaku.
6. Untuk Sahabat-sahabat ku tercinta, Muni, Yanti, Tutto, Nissa ”PA” terima
kasih atas segala dukungannya. Semangat yang kalian berikan
menghilangkan segala kejenuhan dalam menyusun skripsi ini. Tanpa
kalian skripsi ini tak berarti apa-apa. Tuk ka Sofa, ka Janah terima kasih
atas segala pengertiannya selama ini.
7. Sahabat sekaligus teman seperjuangan Aqidah-Filsafat angkatan 2003,
Nadia, Latifah, Elly, Ujang, Udin, Ali, Mawardi, Dedi, Pei, Tatang,
setiawan, fakhru dan semua yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Kebersamaan selama ini takkan pernah terlupakan.
`Akhirnya, segala kebenaran hanya milik-Nya, semoga skripsi ini
membawa manfaat bagi khalayak ramai dan akademisi, dan semoga Allah
membalas jasa kebaikan mereka di atas dengan balasan yang setimpal. Âmîn yâ
Rabb al-‘Âlamîn.
Jakarta, Desember 2008 M. Dzulhijjah 1429 H.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………
KATA PENGANTAR……………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………..
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………
BAB 1 . PENDAHULUAN………………………………………………
A. Latar Belakang Masalah……………………………………
B. Perumusan Masalah………………………………………..
C. Tujuan Penelitian………………………………………………
D. Tinjauan Pustaka………………………………………………
E. Metode Penelitian……………………………………………
F. Sistematika Penulisan…………………………………………
BAB II. BIOGRAFI IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH ……………..
A. Riwayat Hidup…………………………………………………
B. Kondisi Sosial Masyarakat ………………………
C. Karya-karya Ibn Qayyim……………………………
BAB III. LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN ZUHUD……
A. Pengertian Zuhud Menurut Para Pakar …………………………
B. Asal-usul Zuhud……………………………………….
C. Maqam Zuhud Dalam Tasawuf ………………………………..
BAB IV. ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM AL-
JAWZIYYAH…………………………………………………
A. Hakikat Zuhud………………………………………………
B. Tingkatan Zuhud …………………………………………….
i
iii vi viii 1 1 4 4 4 6 67 9 9 10 18 22 22 28 33 37 37 47
1. Zuhud Orang Awam ……………………………………
2. Zuhud Orang khusus ……………………………………
3. Zuhud Orang Ma’rifat ……………………….................
BAB V. PENUTUP………………………………………………………
A. Kesimpulan…………………………………………………….
B. Saran-saran…………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
49 50 52 56 56 57 59
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagian
perwujudan dari ihsan, yang berarti kesadaran adanya komunikasi dari dialog
langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam dunia tasawuf seseorang yang
ingin bertemu dengan-Nya harus melakukan perjalanan (suluk) dan
menghilangkan antara dirinya dengan Tuhan-Nya, yaitu dunia materi.
Hidup zuhud oleh para sufi dianggap suatu martabat yang tinggi. Memang
harus diakui, bahwa ajaran zuhud dalam tasawuf, dipahami oleh orang–orang
sebagai apriori terhadap dunia dan hanya mementingkan akhirat. Dalam tasawuf
zuhud dikenal sebagai station (maqâm) untuk menuju jenjang kehidupan tasawuf.
Namun di sisi lain ia merupakan moral Islam. Dalam posisi ini ia tidak berarti
suatu tindakan pelarian dari kehidupan dunia nyata (riil), akan tetapi ia adalah
suatu usaha memepersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru yang akan
menegakkannya saat menghadapi problema hidup dan kehidupan yang serba
materialistik dan berusaha merealisasikan keseimbangan jiwanya. Kehidupan ini
hanya sekedar sarana bukan tujuan. Seorang zahid mengambil dunia atau materi
secukupnya dan tidak terjerat cinta padanya.1
Zuhud sebagai salah satu tahapan (maqâm) dalam tasawuf sering kali
mendapat arti sebagai anti kemajuan dan pro kemunduran. Menekuni dan
mengamalkan zuhud dituduh menjauhi realitas kehidupan dunia dan membangun
jalan kemunduran umat.
1 Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. 1,h.
122
Memang ada pandangan keliru2 dari masyarakat tentang pengertian zuhud.
Pandangan seseorang yang bertindak zuhud bagi mereka adalah seorang yang
berpakaian kumel, tidak peduli dengan orang lain dan asyik berzikir mengingat
Tuhan-Nya. Islam tidak mengharuskan manusia menolak sama sekali dan tidak
mengharuskan manusia hidup menderita. Apabila nikmat itu diberikan Allah,
maka hendaklah diterima dengan segala kesyukuran, tidak rakus dan tidak
meremehkannya. Nikmat-nikmat Allah hendaklah diterima denga
mengarahkannya pada taqarrub. Kehidupan dunia mempunyai nilai khas yang
patut disyukuri dan bagai ladang untuk mempersiapkan bekal di alam baqa.
Karena itu, maka zuhud bila diartikan sesuai dengan semangat syari’at Islam
adalah menghindari penghambaan harta benda, tidak rakus terhadap kemewahan
dunia, menerima nikmat Allah dengan keadaan qana’ah dan memilih hidup
sederhana.3
Sejalan dengan hal itu Ibn Qayyim al-Jawziyah berpendapat bahwa
kecintaan kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan berzuhud di dunia.
Orang yang mencintai dunia, tamak dan mengutamakannya akan percaya bahwa
ada dunia yang lebih mulia. Lebih utama dan lebih kekal, namun bisa juga tidak
percaya. Namun jika tidak percaya, maka sebab utamanya adalah tidak beriman.
Namun jika ia percaya dengan akhirat tetapi tidak mengutamakannya, maka
penyebabnya adalah kerusakan akal dalam memilih untuk dirinya sendiri.4
2 Pandangan orang-orang awam yang kurang pengetahuan akan kezuhudan yang
sebenarnya. 3 Hamzah Ya’qub, Tingkat ketenangan dan Kebahagiaan M’u’min, (Jakarta: Av Arisa,
1992), h. 288 4 Ibn Al-Qayyim Al-Jawziyah, Al-Fawai’id: menuju Pribadi Taqwa, (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar , 2005), cet. 1, h. 100,101
Dalam pandangannya ini, Ibn Qayyim melihat manusia yang cinta dunia
kepada dua hal; percaya kepada akhirat namun mengabaikannya..
Kepercayaannya ini sia-sia karena hanya ada dalam ucapannya saja tidak diiringi
dengan perbuatannya. Sehingga ini merupakan kelemahan akal. Selanjutnya orang
yang cinta dunia tetapi tidak mempercayai akan kehidupan akhirat, disebabkan
kurangnya iman dalam diri seseorang sehingga rasa percaya tidak ditanamkan
dalam dirinya.
Sejalan dengan tujuan para sufi, mereka berkeyakinan bahwa kebahagiaan
yang paripurna dan abadi adalah bersifat spiritual. Mereka sependapat bahwa
kenikmatan hidup dunia bukanlah tujuan akan tetapi dunia hanya sekedar
jembatan.
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu.
Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia
yang mengendalikan hawa nafsunya. Ia cenderung ingin menguasai dunia atau
berusaha agar berkuasa di dunia. Pandangan hidup seperti ini menjurus ke arah
pertentangan manusia dengan sesamanya, sehingga ia lupa akan wujud dirinya
sebagai hamba Allah yang harus berjalan di atas aturan-aturan-Nya. Karena
sebagian besar waktu dihabiskan untuk persoalan-persoalan duniawi, ingatan dan
perhatiannya pun jauh dari Tuhan.5
Berdasarkan pemikiran di atas maka penulis merasa tertarik untuk
mengkaji lebuh dalam tentang konsep zuhud yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim.
Maka dari itu pula penulis ingin mencoba menulis skripsi ini dengan judul
KONSEP ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYAH.
5 Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta; LSIK, 1994), h. 65
B. Perumusan Masalah
Pembahasan mengenai Ibn Qayyim sebenarnya sangatlah luas. Sehingga
penulis melihat perlunya memberikan batasan pada studi ini. Tulisan ini secara
khusus menyajikan pandangan Ibn Qayyim yang berkaitan tentang zuhud.
Agar penulisan skripsi ini terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan,
maka dalam skripsi ini penulis merumuskan permasalahanya sebagai berikut:
Bagaimana pandngan Ibn Qayyim tentang zuhud, dan apa sebenarnya hakikat
zuhud itu sendiri.
C. Tujuan Penelitian
1. Mengenal lebih dekat sejarah kehidupan dan karya-karya Ibn Qayyim.
2. Mengetahui dan memahami pandangan Ibn Qayyim tentang konsep
zuhud.
3. Menunjukkan seperti apa definisi zuhud yang dikemukakan oleh para
pemikir Islam.
4. Menambah pengetahuan tentang makna dan hakikat zuhud yang
dikemukakan oleh Ibn Qayyim.
5. Mengetahui tingkatan-tingkatan zuhud yang dikemukakan oleh Ibn
Qayyim.
D. Tinjauan Pustaka
Berkaitan dengan kajian pemikiran atau pun ajaran Ibn Qayyim yang
hendak penulis ungkapkan dalam skripsi ini, dalam kazanah perpustakaan UIN
Syarif Hidayatullah telah ada beberapa kajian yang berkaitan dengan pemikiran
dan ajaran Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ada beberapa studi penelitian yang
membahas pemikiran beliau, di antaranya:
1. Konsep Isti’âdzah Pada Tafsir Al-Falaq dan An-nas Ibn Qayyim al-
Jawziyyah. Disusun oleh Irami Fajriani, sarjana dari Tafsir Hadits Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat 2006. Dalam tilsannya ini ia membahas konsep
isti’âdzah diataranya mengenai: pengertian dan urgensi isti’âdzah dan
isti’âdzah dalam Al-Qur’an.
2. Nuralaila, jurusan Aqidah Filsafat 2005. Dalam judulnya Iblis dan
Pengaruhnya Pada Kehidupan Manusia Menurut Ibn Qayyim, ia
memaparkan mengenai refleksi umum tentang jin, setan dan iblis. Dalam
tulisannya ini ia lebih kepada pengertian jin dan iblis jugapengaruhnya
iblis pada manusia.
3. Siti Khomariah, jurusan Tafsir Hadits tahun 2004. Dalam judulnya
Kehidupan Hadits Ahad Studi Komperatif Antara Pendapat Imam al-
Syafi’i dan Imam Ibnu Qayyim. Dalam tulisannya, Siti Komariah
membahas mengenai pandangannya terhadap hadits ahad, pengertian
hadits dan klasifikasi hadits.
4. Nursusilawati, jurusan Aqidah Filasafat tahun 2005. Dalam judulnya Ruh
Dalam Pandangan Ibn Qayyim. Ia mengomentari seputar pengertian ruh,
penciptaan hakikat ruh dan macam-macamnya.
5. Suparman, jurusan Tafsir Hadits 2005. Dalam judulnya Sumpah Allah
Dalam Waktu Perapektif Ibnu Qayyim. Dalam tulisannya ia membahas
mengenai definisi sumpah, faidah sumpah, unsur-unsur sumpah.
Dari skripsi yang telah ada seputar pemikiran Ibn Qayyim jelas berbeda.
Karena penulis sendiri membahas mengenai zuhud yang dipaparkan oleh Ibn
Qayyim.
E. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini termasuk penelitian kepustakaan (library research),
suatu metode dengan pengumpulan data-data dan informasi, baik berupa buku-
buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasikan secara sistematis
dan analisis dengan bantuan dari berbagai macam sarana yang terdapat di ruang
pustaka.
Sedangkan data-data yang diperlukan dapat dicari dari sumber-sumber
kepustakaan yang bersifat primer, yaitu sebagai sumber utama, dalam kitabnya
Ibn Qayyim al-Jawziyyah: Tahdzib Madarijus Salikin, Bairut al-Manar al-
Islamiyyah,1997, dan data skundernya adalah karya ilmiah yang membahas
tentang Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang ada kaitannya dengan permasalahan yang
dibahas dan penulis jadikan rujukan.
Metode pembahasan yang digunakan dalam penulisan ini sendiri adalah
metode analisis deskriptif, suatu pembahasan yang bermaksud untuk
menggambarkan mengenai data-data dalam rangka menguji perbandingan dengan
tokoh-tokoh yang lain.
Sedangkan teknis penulisannya berdasarkan pedoman penulisan skripsi,
tesis dan desertasi FUF yang termuat dalam buku pedoman Akademik 2003-2004
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai buku panduan dalam menyusun
penulisan ini dengan baik dan benar.
F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, sistematika yang dipakai dalam skripsi ini adalah:
Bab I Pendahuluan, yang dimulai dengan latar belakang masalah untuk
mengemukakan alasan penulis membahas topik ini, dilanjutkan dengan studi
kepustakaan untuk mengetahui bahwa topik yang penulis bahas tidak sama
dengan tulisa-tulisan yang lain. Kemudian perumusan masalah, hal ini dilakukan
supaya pembahasannya lebih terfokus dan dapat menjawab masalah-masalah yang
dihadapi. Setelah itu tujuan penelitian, dilanjutkan dengan metodologi penelitian
untuk menjelaskan bagaimana cara melakukan penelitian dan melalui pendekatan
apa yang dilakukan oleh penulis. Terakhir sitematika penulisan, dalam hal ini
penulis akan menjelaskan pembagian bab secara keseluruhan, disertai uraian
singkat tentang isi masing-masing bab tersebut.
Bab II penulis akan menjelaskan biografi Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang
bertujuan untuk mengetahui kepribadiannya, yang meliputi riwayat hidup, kondisi
sosial masyarakat dan karya-karyanya
Bab III penulis akan menjelaskan pengertian zuhud menurut parapakar,
selanjutnya akan menguraikan asal-usul zuhud sehingga berkembang dikalangan
para sufi dan pengikutnya. Terakhir penulis akan menjelaskan maqâm zuhud
dalam tasawuf yang memiliki posisi yang sangat penting bagi para sufi.
Bab IV penulis akan membahas khusus zuhud dalam pandangan Ibn
Qayyim al-Jawziyyah, yang meliputi hakekat zuhud, tingkatan zuhud yang
diawali dengan zuhud orang awam, dilanjutkan dengan zuhud orang khusus, dan
pada tingkatan yang terakhir adalah zuhud orang ma’rifat.
Bab V pada bab ini penulis akan menjelaskan kesimpulan yang mengulas
isi pembahasan yang telah dijelaskan sebelumya desertai saran-saran agar
penulisan seperti ini dapat dilakukan lebih baik dimasa-masa yang akan datang
BAB II
BIOGRAFI IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH
A. Riwayat Hidup Ibn-Qayyim
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abī Bakr bin Ayyūb bin Sa’d
bin Hāris al-Zar’î al-Dimasyqī al-Faqīh al-Ushūlī al-Nahwi al-Hāris Syams al-Dīn
abū Ábd Allāh ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Beliau dilahirkan dari keluarga yang
bernuansa keilmuan dan keutamaan pada 7 Shafar 691 H/1292 M, di desa Zar’i
wilayah Harran, kira-kira lima puluh mil sebelah tenggara kota Damaskus.6
Ayahnya; Syaikh As-Sholeh Al-Abid-an-Nasik Abu Bakar bin Ayyub Az-
Zurai adalah seorang ulama besar dan merupakan direktur madrasah al-Jauziah di
Damaskus untuk beberapa periode. Oleh karenanya ia dikenal dengan sebutan
“Qayyim al-Jauziyyah”. Ayah Ibn Qayyim memang merupakan sosok yang cukup
mulia, tampil apa adanya, memiliki peran penting dalam mengembangkan ilmu
fara’idh. Sang ayah meninggal di madrasah al-Jauziyyah, malam Ahad tanggal 10
Dzulhijjah.7
Semua kitab biografi sepakat memberi beliau julukan dengan Ibn Qayyim
al-Jawziyyah (putra laki-laki dari seorang kepala sekolah al-Jawziyyah). Dan
sebutan itu juga diberikan kepada semua keturunan dan keluarga beliau. Sehingga
6 Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Al-Fawa’id Pesona Keindahan, terj. Hadi Mulyo, (Jakarta:
Pustaka Azzam,1999), cet, ke-1, h. 165 7 Syaikh M.Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, terj. M.Khalid Muslih, Imam
Awaluddin, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2005), cet.ke-1, h. 227-228
anak cucu Qayyim al-Jawziyyah menjadi terkenal dengan julukan “Ibn Qayyim
al-Jawziyyah.8
Adapun gelar “Ibn Jawzi” sebenarnya tidak benar disandarkan kepada
Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah secara mutlak. Sebutan itu muncul dan populer
dikarenakan keteledoran para penulis atau dimunculkan oleh orang-orang yang
memendam rasa dengki terhadap Ibn Qayyim. Nama asli yang dimliki Ibn Jawzi
adalah: ‘Abd ar-Rahmân bin ‘Alî al-Qurasyî yang wafat pada tahun 597 H.
Berulang kali terjadi kesalahan dalam pencantuman nama pada kitab
Daf’u Syubh al-Tasybîh yang ditulis secara sewenang-wenang dengan memakai
nasab Ibn Jawzi sebagai pengarang dalam salah satu terbitan kepada Ibn Qayyim.
Kesimpulan dari uraian di atas ialah bahwa penyebutan nama Ibnul-Jawzi kepada
beliau adalalah fatal, dan wajib bagi kita untuk menyebut beliau dengan nama
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Karena itu adalah gelar yang popular dimiliki beliau,
atau kita sebut saja Ibn Qayyim untuk lebih mudah dan ringkasnya.9
B. Kondisi sosial Masyarakat
Ibn Qayyim tumbuh dan berkembang di lingkungan intelektual dan
ningrat, ia berkecimpung di dunia ilmu pengetahuan semenjak ia masih usia belia.
Ia tumbuh besar dalam lingkungan masyarakat intelektual yang cemerlang,
sehingga sangat mempengaruhi berbagai ide dan gagasan yang muncul dalam
pemikirannya.10
8 Muhammad Al-Anwar Al-Shanhuti, Ibnu Qayim Berbicara tentang Tuhan, (Jakata:
Mustaqim, 2001, cet. Ke-1, h.18 9 Al-Sanhuti, Ibn Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 19-20 10 Al-Sanhuti, Ibnu Qayim Berbicara Tentang Tuhan, h.21
Ibn Qayyim memiliki akhlak yang mulia, memiliki perangai lembut dalam
pergaulan, mempunyai semangat tinggi, wawasan luas, termasuk orang besar
dalam sisi karakteristik, kebaikan, keilmuan, keutamaan, beribadah. Bahkan salah
satu muridnya yang bernama Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Bacaan
dan etikanya sangat baik, lemah lembut, tidak pernah hasat dan dengki kepada
siapapun, tidak pula menyakiti dan mencela. Secara umum kepribadiannya
dipenuhi oleh kebaikan dan akhlak yang mulia.11
Beliau tipe anak yang tidak mudah puas dengan ilmu yang didapat dari
orang tuanya. Ini karena ia memiliki prinsip ilmu adalah segalanya. Walaupun ia
masih kanak-kanak, tanpa rasa takut dan malu ia duduk bersama beberapa orang
yang usianya jauh di atasnya. Ia juga menimba ilmu dari imam-imam terkemuka
pada masanya tanpa mengenal lelah ia berusaha meraih berbagai macam ilmu
pengetahuan, hingga tercapailah impian dengan baik dan jadilah sebagai sosok
yang sangat kompeten dengan setiap cabang ilmu agama.12
Ibn Qayyim mempunyai potensi sebagai penggerak dengan akal yang luas
dan pemikiran yang subur, serta daya hafal yang cukup menakjubkan. Sejak kecil
ia memiliki obsesi yang jujur dalam menuntut ilmu. Ia sangat ulet dalam meneliti
dan menganalisa serta memiliki kebebasan dalam menimba ilmu.13 Karena begitu
gemar menuntut ilmu, sehingga masa kecilnya tidak seperti anak-anak lainnya
yang sedang bermain dan hal-hal lainnya yang sifatnya hiburan.
Dalam segala bidang ilmu pengetahuan, beliau mempelajari secara
istimewa dari para ulama di zamannya. Dan karena itu beliau menjadi tersohor
karena keluhuran ilmu dan kebesaran namanya. Al Imam Ibn Qayyim banyak
11 Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 229 12 al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara Tentang Tuhan, h. 22 13 Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h.232
membaca atau menelaah kitab yang ada dan beliau sangat luas pengetahuannya
disebabkan memiliki guru yang banyak. Di mana beliau belajar dari mereka akan
bermacam disiplin ilmu, kemampuan dan spesialisasi yang mereka miliki.
Terlebih lagi dengan guru beliau, dimana beliau banyak sekali belajar ilmu
darinya. Yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.14
Beliau adalah seorang budayawan yang berwawasan luas banyak
berkembangn di saentero Mesir dan Syria (Syâm) kala itu. Dapat disimpulkan
bahwa beliau telah mempelajari seluruh cabang ilmu Syari’as seperti: ilmu tauhid,
ilmu kalam, tafsir, hadits, fiqh, fara’id, bahasa arab dan nahwu, serta masih
banyak lagi ilmu-ilmu utama lainnya yang beliau pelajari dari para imam
semasanya. Sehingga beliau pun menjadi pakar seperti mereka, bahkan sering kali
melebihi kapasitas keilmuan mereka. Sehingga pamornya menjadi naik secara
perlahan.15
Adapun guru-guru Ibn Qayyim lainnya adalah sebagai berikut:
1. Abu ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdurrahaman bin ‘Abdul Mun’im bin Na’mah
An Nābilisi al Hanbali, yang lebih dikenal dengan nama Asy Syihāb Al
‘Ābiri, wafat pada tahun 697 H.
2. Isma’il Majiduddin bin Muhammad Al-Farrā Al-Harrāni, wafat pada tahun
729 H. Beliau belajar ilmu Al-Fara’idh dan fiqh darinya.
3. Muhammad Syamsuddin Abu ‘Abdullah bin Abi Al-Fath Al- Ba’labaki
Al-Hanbali, wafat pada tahun 709 H. Guru beliau inilah yang mengajarkan
bahasa arab dan membacakan kepada beliau kitab Al Mulakhhash karya
Abi Al- Baqā.
14 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Shalawat Nabi Saw, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), cet.ke-1, h. 31
15 Al-Jamal,Biografi 10 Imam Besar, h. 233
4. Muhammad Shafiyuddin bin ‘Abdurrahim bin Muhammad Al arwami Asy
Syāfi’i, wafat pada tahun 715 H. Beliau belajar dua ilmu ushuldarinya
yaitu ilmu ushul fiqh dan tauhid.16
5. Beliau pun belajar hadits pada al-Qadhā Taqiy al-Dīn bin Sulaimān, Abu
Bakr bin ‘Abd al-Dīn, Fāthimah binti Jauhār dan lain-lain.17
Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih banyak mengabdikan dirinya dalam hal-
hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan karena memiliki tetap di madrasah al-
Jawziyyah sekaligus sebagai pengajar. Di samping itu ia juga pengajar di
madrasah As-Sadriyyah yang didirikan oleh Sadr ad-Din As’ad Ibn Usman Ibn
Qaimaz Az-Zahabi al-Tukmani Asy-Syafi’i (w.748 H) yang merupakan seorang
muhadits terkenal yang mengarang buku di bidang hadits dan yang lainnya, Ibn
Abd al-Hadi Ibn Qudamah Al-Maqdisy al-Sahili Al-Hanbali (w. 744 H), al-Fairuz
al-Abadi (w. 817 H) serta beberapa ulama termashur lainnya.18
Di antara sekian banyak gurunya yang paling banyak berpengaruh adalah
guru besarnya Syaikhul Islam Ibn Taimiyah. Ia mengikuti metode sang guru untuk
memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama, dan sebagaimana gurunya
iapun sangat gencar menyeranga kaum filsuf, Kristen dan Yahudi. Beliau beserta
gurunya (Ibn Taimiyah) berpendirian bahwa pintu ijtihad tetap terbuka sejauh
yang bersangkutan memiliki kesanggupan untuk melakukannya.19 Awal
mulanya ibn Qayyim menjadi pengikut Ibnu Taimiyah adalah di saat kedatangan
16 Al-Jauziyyah, Shalawat Nabi Saw, h.34 17 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h.22 18 Ica Purba Nur Hendra, Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibn Qayyim Al-Jawziyyah,
(Tesis, S2 Fakultas Syari’ah, UIN Jakarta, 2007), h. 23 19 Van Houve, Ensiklopedi Islam 2, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru,1999), cet.ke-5, h. 168
Ibn Taimiyah ke Damaskus pada sekitar tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728
H.20
Beliau pernah ditahan bersama Syaikhul Ibn Taymiyah di al-Qāl’ah. Dan
pada masa-masa akhirnya beliau dipisahkan dari Syaikhul Ibn Taymiyah. Beliau
baru dikeluarkan dari tahanan setelah Syaikhul Ibn Taymiyah wafat. Selama
ditahan, beliau menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’ān dengan tabadur dan
tafakur. Dan Allah membuka banyak kebaikkan untuknya; beliau memeperoleh
insting dan perasaan yang lurus. Dari situ beliau kemudian menguasai ilmu orang-
orang ahli ma’rifat.21
Ajaran gururnya yang terpenting adalah berpegang teguh pada Al-Qur’ân
dan al-Sunnah serta memahaminya seperti pemahaman para Salafus Shaleh,
membuang ajaran yang bertentangan dengan al-Kitab dan al-Sunnah,
memperbaharui kajian ilmu agama yang benar, membersihkannya dari ajaran
bid’ah yang diciptakan dari kaum muslimin sendiri terutama dalam hal manhaj
palsu yang mereka temukan sendiri sekitar di abad-abad lampau, yakni abad
kemunduran, kejumudan dan taklid buta.22
Sebagai ulama besar, beliau sering dijadikan sebagai sorotan dan
menganggap bahwa beliau sangat fanatik dengan mazhab Hanbali dan taklid
dalam segala hal, sesungguhnya itu tidak benar, karena bermazhabnya beliau pada
mazhab Hanbali merupakan ittiba’ (mengikuti pendapat-pendapat) yang dikuatkan
20 Al-Jauziyyah, Shalawat Nabi Saw,h. 31
21 Al-Jauziyyah, Melumpuhkan Senjata Syetan, terj. Ainul Hāris Umar ArifinThayyib, Lc, (Jakarta: Darul Falah, 1998), Cet. Ke-1, h.6 22 Al-Jauziyyah, Pesona Keindahan, h. 172
oleh dalil dan menolak taklid yang tercela. Sebab bagaimana mungkin beliau
fanatik penuh terhadap mazhab Hanbali, sedangkan beliau menentang taklid.23
Beliau tidak berpedoman atau condong pada suatu mazhab saja, akan
tetapi dalam memandang dan mempelajari suatu masalah beliau akan berpedoman
pada jalan yang ditempuh ulama salaf yang dibarengi dengan tunduk pada dalil
yang menolak taklid buta. Demikianlah cara yang digunakan para ahli hadis dan
sunah yang sampai pada derajat Imamah dan ijtihad.
Ibn Qayyim hidup pada masa kejumudan berpikir dan merajalelanya taklid
buta terhadap suatu mazhab. Taklid telah melampaui batas dan fanatik mazhab
telah melumpuhkan pemikiran seta membunuh kreativitas masyarakat, dan ini
membuat Ibn Qayyim merasa khawatir dan ketakutan. Namun ironisnya, para
ulama di zamannya tanpa mereka sadari, tergolong orang yang fanatik padasuatu
mazhab.24
Beliau pun tampil di depan orang-orang yang bertaklid untuk menyeru
pada kebebasan berpikir dan berpegang pada al-Qur’ān dan al-Sunnah, atu dengan
jalan ijtihad jika tidak ditemukan pada al-Qur’ān dan al-Sunnah. Salah satu
masalah dimana beliau tidak sepaham dengan mazhab Hambāli adalah pada
masalah menggauli budak perempuan yang menjadi tawananan. Beliau
sependapat dengan Imam Syāfi’ī bahwa menggauli tawanan budak perempuan
setelah pembebasannya adalah boleh, walaupun budak tersebut memiliki suami.
Sedangkan pengikut Imam Ahmad berpendapat bahwa sesungguhnya
23 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 39 24 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 39
diperbolehkan menggauli budak perempuan yang ditawan jika ia sendiri (tidak
bersuami).25
Ibn Qayyim telah banyak mengupas habis berbagai masalah ijtihad dan
taklid. Menurutnya ijtihad harus dikembalikan kepada Allah Swt maupun Rasul-
Nya Saw, dan taklid hukumnya haram. Orang yang bertaklid buta telah keluar dari
golongan ’ulama.26
Sedangkan dalam masalah fiqih, ia mengikuti jalan yang ditempuh oleh
para ’ulama salaf, yaitu pengambilan (istinbath) hukum dari nash tanpa rasa
fanatik pada suatu mazhab. Beliau beristinbath dengan menyandarkan kepada
nash-nash dan penjelasan dalilnya di dalam menjelaskan hokum-hukum syari’at
yang diambilnya.27
Dari sini tampak jelas, Ibn Qayyim sangat konsisten dalam mewujudkan
tujuan-tujuannya, sehingga sasaran dan metodenya berjalan selaras dengan
mantap menuju satu tujuan. Dan tujuan itu adalah menyerukan ijtihad dan
menolak taklid. Karena itu beliau mengedepankan dalil-dali aqli dan naqli,
mengemukakan pendapat para ’ulama, meniskusikannya, dan bersikap netral.28
Konon, Ibn Qayyim memilki banyak kesamaan dengan sang guru, Ibnu
Taimiyah. Semenjak Ibn Qayyim berguru kepadanya, mereka selalu bersama-
sama dalam kurun waktu yang sangat lama, yakni sejak tahun 712 H, tahun
dimana Ibnu Taimiyah kembali dari mesir ke Damaskus sampai wafatnya tahun
728 H, dan selama enam belastahun itu Ibn Qayyim kerap menyerap beerbagai
25 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Bebicara tentang Tuhan, h. 40-41 26 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 41 27 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 42 28 Al-Sanhuti, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Tuhan, h. 42
macam ilmu pengetahuan, dan keterampilan sehingga beliau menjadi murid
terpandai dan unggul.29
Karena Ibn Taymiyyah melihat bahwa di dalam muridnya terdapat
kesungguhan dan kejujuran yang luar biasa dalam mengabdi kepada ilmunya,
maka beliau selalu memberikan nasehat serta pengarahan yang berharga. Ini
semua membantu dalam mengembangkan potensi serta menambah kekokohan dan
ketegarannya.
Untuk memenuhi hak-hak gurunya (Ibn Taimiyah), Ibn Qayyim selalu
berbakti kepadanya baik di saat senang maupun disaat susah. Ini merupakan
bagian dari balas budi atas kebaikan gurunya serta penghargaan bagi jasanya yang
besar buat dirinya.
Beliau pernah merasakan cobaan seperti yang dialami gurunya. Beliau
dipenjara bersama gurunya, dalam satu benteng setelah sebelumnya disiksa dan
diarak di atas pungung onta serta di pukuli dengan cemeti. Siksaan itu mereka
terima karena mengingkari ziarah ke makam orang-orang pilihan (wali).30
Sebagaimana Ibn Qayyim sangat berbakti kepada gurunya di masa
hidupnya serta mencintainya dengan penuh ketulusan, ia pun menjadi
penerusyang baik setelah wafatnya. Ia segera mengambil estafet pembaruan serta
tetap konsisten dalam jalan yang lurus; melalui penebaran ilmu, mengembalikan
manusia kepada akidah yang benar, kepada prinsip-prinsip agama yang lurus,
serta mematikan bias racun yang ditebarkan oleh musuh-musuh Islam dalam
akidah umatnya.31
29 Ibid, h. 49 30 Ibid, h. 45 31 Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besa, h. 237
Beliaupun menutup lembaran hidupnya pada malam kamis, tanggal 13
Rajab tahun 751 H/ 1352 M, di usia 60 tahun. Kemudian beliau disholatkan
keesokan harinya padahari kamis di Masjid Agung Damaskus, dan ba’da zhuhur
disholatkan lagi di Masjid Jāmi al-Jirrah dekat pemakaman al-Bāb al-Shāgir. Dan
sampai sekarang makamnya dikenal dengan al-Bāb al-Jadīd.32
Ibn Qayyim telah mendapatkan rahmat dari Allah Swt dengan limpahan
rahmat yang luas. Dan semoga Allah Swt menempatkan beliau bersama orang-
orang yang mendapat nikmat. Amin.
Sebagai ulama besar, bukan berarti sumbangan pemikirannya berhenti
sampai disini, sebab beliau mempunyai sumbangan pemikiran yang tidak sedikit.
Bahkan di antara mereka ada yang menjadi ulama kenamaan, seperti Ibnu Katsīr
(w. 774 H) dan Ibnu Rajab (w. 795 H). Selain kedua ulama tersebut masih ada
lagi kedua putranya yang bernama Ibrāhīm (w. 767 H) dan Syarīf al- Dīn ‘Abd
Allah.33
Selain terkenal sebagai seorang guru, pengarang dan pengajar, terkenal
juga sebagai seorang mufti dan ahli dalam berdialog yang selalu mengangkat
bendera kemenangan bagi kitab suci al-Qur’an dan Sunnah. Maka sering kali
beliau memberikan fatwa, berdialog serta berdebat dengan cara yang baik untuk
menumbangkan argumentasi-argumentasi kebatilan. Walaupun di penjara maupun
disiksa ,semua itu beliau lakukan dengan penuh kesabaran serta penyerahan diri
kepada Allah dengan melalui tulisan pena dan perkataan.34
32 Al-Jauziyyah, Pesona Keindahan, h.178 33 Ibid, h. 174-175 34 Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h.239
Walaupun beliau telah menemui Sang Khalik, namun karya-karyanya
masih banyak dibaca dan dibicarakan bahkan ditulis oleh beberapa ilmuan yang
mengaguminya.
C. Karya-Karyanya
Karya-karya yang begitu banyak merupakan tanda yang sangat jelas
perihal keluasan ma’rifat ilmu pengetahuannya, kejernihan otak serta
penguasaannya yang mendalam. Adapun karya-karyanya merupakan refleksi yang
sesungguhnya dari sisi kekuatan, keindahan serta daya tarik yang luar biasa dari
sisi intelektual Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Tulisan-tulisan Ibn Qayyim merupakan hasil pemikiran yang mendalam,
perenungan yang kuat, memiliki susunan yang baik. Tulisan-tulisannya itu
merupakan kumpulan antara kedalaman berfikir dan jauh jangkauannya.35 Inilah
yang kemudian sebab keterkaguman kawan maupun lawannya.
Ibn Qayyim telah pergi meninggalkan dunia fana ini menemui Sang
Khalik Allah ‘Azza wa Jalla beberapa abad yang lalu, akan tetapi kebesaran dan
keagungannya sampai saat ini masih dikenang.
Beliau menulis buku dengan tulisan tangannya sendiri dalam jumlah yang
sangat banyak. Dalam bukunya yang berjudul Shifatu Ahli Nār terjemahan
Qodirun Nur dijelaskan bahwa karya-karyanya hampir seratus judul dalam
berbagai ilmu pengetahuan. Adapun diantara karya-karya beliau, yaitu:
1. “Zâd al-Ma’âd fi Khir al- Hudâ al-‘ibâd.” Yaitu sebuah ensiklopedi
besar ang memuat disiplin ilmu, seperti: Sirah, fiqih, tauhid, ilmu
35 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Fawaid, Menuju Pribadi Takwa, terj. Munirul Abidin,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), cet. Ke-1, h. xvi
kalam, selekta dalam tafsir dan hadits, bahasa, nahwu dan yang
lainnya.
2. “I’lâmu Al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-Âlamîn.” Dalam buku ini Ibn
Qayyim menjelaskan dengan panjang lebar hukum perbuatan hamba
dalam bab agama dan berbagai permasalahannya.
3. “Ighatsul Lahfan min Mashayid Asy-Syaitan.” Ini merupakan buku
terpenting Ibn Qayyim sehingga banyak ulama yang meresum buku ini
serta memilih beberapa bab untuk dicetak secara terpisah.
4. “Ad-daa’ wa Ad-Dawaa’ atau “Al-Jawaul Kafi Liman Saala’an
Dawaa’ Asy-Syai.” Dua nama dalam satu buku. Buku ini memuat
jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
keoadanya. Buku ini juga informasi yang bermanfaat, pembahasan
tentang muhasabah dan pengendalian jiwa..
5. “Ar-Ruh.” Dalam buku ini Ibn Qayyim berbicara tentang ruh dan
seluruh seluk-beluknya, yang diikuti oleh penjelasan-penjelasan dan
nasehat-nasehat yang sangat bermanfaat, sebagai bekal manusia.
6. “Al-Kalim At-Tayyibu wa Al-Amal Ash-Shalih” atau “Al-wabil Ash-
Shayyibu min Al-klaim Ath-Thayyib.” Buku yang sangat besar
faedahnya mencakup faedah dzikrullah.
7. “Jila’ul Afhâm Fi Shalatiwa Salam ala Kairil Anam. Dalam kitrab ini
Ibn Qayyim menjelaskan beberapa hadits yang berkenaan dengan
shalat dan salam Kepada Rasulullah, sekaligus menyeleksi hadits sahih
dari yang tidak sahih, tempat dan waktu yang tepat untuk bershalawat
dan juga rahasia do’adan hikmah yang terkandung di dalamnya.
8. “Miftâh Dâr Al-Sa’âdah.” Buku ini memuat informasi dan
keutamaannya, tentang hikmatullah dalam penciptaan makhluk dan
penurunan syari’atnya, serta tentang kenabian dan urgensinya. Serta
pembahasan-pembahasan lainnya seputar masalah ini.
9. “Madārij al-Sâlikîn Baina Manazila Iyyaka Na’budfu wa Iyyaka
Nasta’in.” Ini merupakan buku terbaik dari karya Ibn Qayyim untuk
membina jiwa dan akhlak, agar berperilaku seperti orang-orang
bertakwa yang jujur, yang bersih jiwanya dengan takwa dan bersinar
hatinya dengan hidayah Allah Swt.36
BAB III
LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN ZUHUD
A. Pengertian Zuhud Menurut Para Pakar
Secara etimologi zuhud (arab; berasal dari akar kata ذهزلا - ةداهزلا )yang berarti meninggalkan, menjauhi, tidak memperhatikan, tidak menyukai dan
36 Al-Jamal, Biografi 10m Imam Besar, h. 242
memandang hina, remeh, rendah. Sedangkan makna kata dari ادهز - دهذي - دهز adalah ةدابعلل ايندل كرت : meninggalkan kesenangan dunia untuk
beribadah.37
Kata zuhud (z,h dan d) sendiri, menurut Abû Bakr Muhammad al-Warrâq
(w.290 H/903 M), mengandung arti tiga hal yang mesti ditinggalkan. Huruf z
berarti zinah (perhiasan, kehormatan) huruf h berati hawa (keinginan) dan huruf d
menuju kepada dunia (dunia materi).38
Zuhud pada hakikatnya ialah menjauhkan dunia dari hati dan pikiran
sehingga ia tampak kecil dan tak berarti. Ketika itu seorang hamba akan
merasakan ketiadaan dunia, ia hanya mencintai dan mengutamakan yang sedikit
saja daripadanya, dan hal ini apabila ditinjau dari aspek batiniahnya. Adapun
apabila ditinjau dari segi lahiriahnya, maka seorang yang berzuhud hendaknya
berpaling dari urusan harta benda dunia, meski ia mampu dan kuasa
mengumpulkannya. Apa yang diambilnya dari harta benda hanyalah sekedar
pencukupan kebutuhan dirinya.39
Dalam tasawuf, zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan
menyucikan hati untuk melepaskan ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam
tasawuf zuhud diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya
zuhud dibedakan pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran sufi. Misalnya
Abu Sulaiman al-Darani mengatakan bahwa “sufi itu suatu ilmu dari ilmu-ilmu
37 A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif,1997), cet. ke-14, h. 588 38 Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya; Mengurai Maqâmat dan
Akhwal Dalanm Tradisi Sufi, (Jakarta; Prenada, 2005), cet. Ke-1, h.60. 39 Habib Abdullah Haded, Nasehat Agama dan Wasiat Islam, (Bandung: Gema Risalah
Press,1993), hal.457.
tentang zuhud. Maka tidak pantas mengenakan kain Suff dengan uang tiga dirham
ditangannya tetapi di dalam hatinya menginginkan lima dirham.40
Pada tempat lain Abu Sulaiman al-Darani mengatakan bahwa “ zuhud
adalah meninggalkan segala sesuatu yang melalaikan hati dari Allah”. Menurut al-
Junaidi zuhud ialah “mengosongkan tangan dari harta dan mengosongkan hati dari
pencarian (mencari sesuatu). Sejalan dengan itu pula Ruwaim Ibn Ahmad
mengatakan bahwa “zuhud adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus
pengaruhnya dari hati.41
Syibli mengatakan bahwa: “zuhud itu engkau berzuhud terhadap apa selain
Allah.” Dan Malik bin Dinar berkata: “kebanyakan manusia mengatakan bahwa
Malik bin Dinar adalah seorang zahid , sedangkan zahid yang sebenarnya adalah
Umar bin Abdul Aziz, dimana dunia ada di tangannya tapi tidak
mempedulikannya.” Akan tetapi Syibli kembali berpandangan dan mengatakan:
“zuhud yang sebenarnya tidak ada, lantaran adakalanya dia berzuhud karena tidak
punya sesuatu, itu bukan zuhud. Atau adakalanya dia zuhud sedangkan dunia ada
padanya. Bagaimana mungkin bisa berzuhud kalau seandainya dunia ada
padanya.42
Tampak sekali dari cuplikan pengertian zuhud tersebut, ada sedikit
perbedaan kesan yang dikandungnya. Pendapat Malik bin Dinar nampaknya lebih
“moderat” dibanding dengan pendapat yang lainnya, karena bisa saja orang yang
dilimpahi kekayaan (dunia di tangannya) bisa disebut seorang zahid. Tapi dengan
syarat dia tidak terlena dengan kemewahan dunia. Tidak merasa bangga atas
40 simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), cet. Ke-1, h.58 41 Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. Ke-1, h.2 42 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangan Dalam Islam,h.58-59
kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih karena
hilangnya kemewahan di tangannya. Hartanya digunakan sebagai alat untuk lebih
taat istiqomah dalam beribadah kepada Allah, semakin rajin menolong sesama dan
akhlaqnya semakin mulia.
Pandangan tersebut kelihatannya sejalan dengan pandangan Abu al-Wafa
al-Taftazani, yang berpendapat bahwa: “zuhud bukanlah kependetaan terputusnya
kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat
seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi. Mereka tetap
bekerja dan berusaha. Namun kehidupan duniawi tidak
menguasai kecendrungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari
Tuhan.43
Kaum Sufi yang lain memandang zuhud sebagai sebuah sikap yang tidak
dikuasai dunia, bukannya memusuhi dunia. Secara lebih luas, zuhud dalam
pandangan al-Syiblî berarti menjauhkan diri dari segala susuatu selain Allah. Jadi
dalam pandangan kaum sufi ini, zuhud adalah sebuah hikmah pemahaman yang
membuat mereka memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi.
Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak
menguasai kecenderungan kalbu mereka serta membuat mereka lalai apalagi
ingkar kepada Allah.44
Menurut Abû Hasan al-Syâdzili (w.658 H/1258 M), meninggalkan dunia
yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebihan dalam
memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya
43 Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), cet. ke-1,
h. 3 44 Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, h.60
menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaiki-baiknya sesuai petunjul Allah
dan rasul-Nya.45
Secara eksplisit kata zuhud hanya disebut sekali dalam al-Qur’an yaitu
dalam surat Yusuf ayat 20:
☺
Adapun penjelasan ayat-ayat yang lain di dalam al-Qur’an tentang zuhud
diantaranya adalah sebagai berikut :
Firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 20:
⌧
⌧
“ Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah
keuntungan itu baginyadan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”
Dalam surat al-Anfal ayat: 28,
☺ ☺
“Dan ketahuilah hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.”
Kemudian dalam surat Yunus ayat: 7
45 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. Ke-2, h.74.
☺
⌧
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tentram dengan kehidupan itu an orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami.”
Di lanjutkan dengan ayat:8
☺
“Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka
kerjakan.” Masih dalam pemahaman tentang zuhud, Imam al-Ghazali berpendapat
bahwa “zuhud merupakan kesimpulan menghindarkan diri dari segala keinginan
jiwa yang tidak patut apalagi terlarang dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik
dan lebih utama, karena menyadari bahwa yang harus ditinggalkan tadi adalah
sesuatu yang hina dan tercela sedang yang dipakai adalah yang mulia dan
terpuji.46
Riwayat At-Turmudzi menjelaskan bahwa: Berzuhud di dunia bukanlah
dengan cara mengharamkan segala yang halal atau menyi-nyiakan harta kekayaan.
Tetapi berzuhud di dunia artinya, kamu mengencangkan genggaman tangan
terhadap apa-apa yang dikuasai Allah, dan menjadikan balasan musibah jika kamu
ditimpanya lebih kamu sukai, sekalipun musibah itu datang terus menerus.47
46 Imam al-Ghazali, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mu’min,terj. Abdai Rathomy,
(Bandung: CV Dipongoro, 1996), h.965 47 Syaikh Zainuddin Al-Malibary, Irsyadul ‘Ibad; Panduan Kejalan Kebenaran, terj.
Muhammad Zuhri, Ibnu Muchtar (Semarang: Cv Asy-Syifa, TT), h. 155
Sementara itu Hamzah Ya’qub juga berpendapat bahwa: “zuhud bila
diartikan sesuai dengan syariat semangat Islam dapat diformulasikan sebagai
berikut: Menghindari perbudakan harta benda, menerima nikmat Allah dengan
qana’ah, cenderung dan mengutamakan ganjaran pahala akhirat, memilih hidup
sederhana karena percaya bahwa khazanah rezeki yang tidak terkira ada di tangan
Allah, rajin bekerja, dan berderma, sabar , menjauhi syubhat dan tidak meminta-
minta.48
Imam Ahmad bin Hambali, yang terkenal sebagai faqih yang “formalistis”
beranggapan bahwa: “Zuhud bukan asketisisme dalam artian keadaan atau corak
kehidupan yang dijalani oleh orang yang menolak masalah-masalah duniawi atau
mazhab pemikiran yang meletakkan semua tekanan pada segi-segi bendawi
kehidupan manusia. Tetapi zuhud adalah asketisisme dalam artian hidup
sederhana berdasarkan motif keagamaan.49
Itulah berbagai macam pandangan dan pengertian zuhud menurut para
pakar (pakar tasawuf). Jadi jelas hidup zuhud bukan berarti hidup miskin atau
enggan bekerja, sehingga hidup melarat. Hidup zuhud harus dipahami secara
benar dan mendalam. Sehingga zuhud tidak melemahkan etos kerja. Seorang
zahid boleh saja kaya raya asalkan hatinya tidak terlena dan tejerat oleh
kemewahan dunia. Tegasnya seorang zahid baik itu dalam keadaan kaya atau
dalam keadan miskin, hatinya tetap terpaut kepada Allah, kekayaan ataupun
kemiskinan tidak menjadi halangan untuk tetap taat dan mengabdi pada Allah
SWT.
48 Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu’min, (Jakarta: AV. Atisa,
1992), cet. Ke-4, h.288 49 Jalaluddin Rahmat, Islam Al-Ternatif; Ceramah-Ceramah Di Kampus, (Bandung:
Mizan, 1991), cet. Ke-4, h. 99
B. Asal-Usul Zuhud
Para peneliti baik dari kalangan orientalis ataupun lainnya, berbeda
pendapat tentang faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan zuhud.
Zuhud bermula sebagai reaksi rohaniah sebagaian kaum Muslimin terhadap sistem
politik dan ekonomi di kalangan muslim sendiri. Gerakan zuhud telah muncul
pada akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriyah.
R.A.Nicholson misalnya, menganggap zuhud dalam Islam berkembang
secara Islam, sekalipun memang agak terkena dampak Nasrani. Dan Ignez
Goldziher sementara itu berpendapat bahwa tasawuf mempunyai dua aliran.
Pertama zuhud, dan ini mendekati semangat Islam serta Ahlus Sunnah. Kedua,
tasawuf dalam pengertiannya yang luas maupun segala ucapannya yang berkaitan
dengan pengenalan terhadap Allah(ma’rifat), keadaan rohaniah (hal), dan rasa
(dzauq). Menurutnya, yang kedua ini terkena dampak Neo Platonisme dan ajaran-
ajaran Budha ataupun Hindu dan karena itu tambah Goldziher, tasawuf jenis ini
begitu terpengaruh dampak agama Masehi.
Kesimpulannya kedua orientalis di atas menganggap zuhud (asketisisme)
dalam islam muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu Islam itu sendiri dan
kependetaan Nasrani. Sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauh mana
dampak faktor yang terakhir.50
Sementara itu. Abu al-‘Ala ‘Afifi berpendapat bahwa ada empat factor
yang mengembangkn zuhud dalan Islam, yaitu:
“ pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri
50 Abu al-Wafa’ al-Ghanami al-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke zaman, terj. Ahmad Rofi’
Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), cet. Ke-1, h. 56-57
kedua, revolusi rohaniah kaum muslim terhadap system sosio-politik yang berlaku. Ketiga, dampak asketisisme Masehi. Keempat, penentangan terhadap fiqh dan kalam.51
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftzani sependapat dengan Abu al-A’la
‘Affifi mengenai kedua faktor yang pertama, yaitu zuhud bersumber dari ajaran-
ajaran Islam serta revolusi kaum muslimin terhadap sistem sosio-politik yang
berlangsung di zaman dinasti Umayyah dan ‘Abbasiyah yang sangat bergelimang
dengan harta kekayaan dan kemewahan dunia serta lalai terhadap ajaran agama,
menjadi faktor-faktor yang mengembangkan zuud dalam Islam. Akan tetapi
tentang pendapatnya yang ketiga dan keempat, menurut al-Taftazani Kependetaan
Nasrani bukanlah salah satu faktor yang mengembangkan asketisisme Islam.
Begitu juga halnya dengan penentangan terhadap fiqih dan kalam, tidaklah
berkaitan dengan perkembangan asketisisme Islam, sekalipun faktor ini begitu
erat dengan perkembangan tasawuf sejak abad ketiga hijriyah dan seterusnya.52
Lebih jauh lagi al-Taftazani menguraikan pendapatnya tentang dua faktor
utama yang membuat berkembangnya gerakan zuhud, yaitu al-Quran dan as-
Sunnah serta kondisi-kondisi sosio-polotik pada dua abad pertama hijriyah.
Pertama, faktor awal dan utama yang mengembangkan gerakan zuhud dalam
Islam ialah ajaran Islam sendiri yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah
yang berkaitan dengan uraian tentang ketidak artian dunia maupun hiasannya, dan
perlunya berusaha secara sunguh-sungguh demi akhirat untuk memperoleh pahala
surga ataupun selamat dari azab neraka. Kedua, factor kedua yang
mengembangkan gerakan zuhud ialah kondisi-kondisi sosio-politik. Konflik-
konflik politik yang terjadi, sejak akhir masa khalifah Utsman bin ‘Affan ra.,
51 Amin Syukur, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) h. 5 52 Al-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, h. 57-58
mempunyai dampak yang sangat religius, sosial dan politik kaum muslim. Dalam
kalangan kaum muslim sekali lagi timbul fanatisme. Konflik-konflik politik itu
terus berlangsung sampai masa khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Setelah itu kaum
muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok-kelompok
Umayyah, Syiah, khawarij dan kaum Zahid.53
Kemudian gerakan zuhud menyebar ke berbagai pelosok negeri, dengan di
bawa oleh para sufi dengan ajarannya. Masing-masing yang mempunyai ciri khas
tersendiri. Dan di antara zahid (orang zuhud) yang terkenal adalah Hasan al-Basri
(W.110 H). Dasar-dasar kezuhudan yang dianutnya adalah “al-khauf” senantiasa
bersedih hati karena merasa takut tidak bisa melaksanakan perintah Allah
sepenuhnya. Oleh karena itu pula ia merasa takut kepada Allah. Zuhud
menurutnya adalah barometer kehidupan. Hal ini dapat disimpulkan dari
ucapannya: Seorang faqih (ahli fiqh) adalah yang zuhud terhadap dunia dan
waspada terhadap agamanya, serta langgeng dalm beribadah kepada Tuhan.54
Dalam sejarah, sikap zuhud merupaka praktek keseharian dan jalan hidup
yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabt-sahabatnya. Di Madinah
ada sekelompok umat yang papah dan miskin namun tidak mengurangi kesalehan
mereka dalam beribadah, merekalah kaum al-Qurrâh dan ahl al-Suffah.55 Sikap
hidup yang zuhud dari Nabi, sahabat-sahabat dan ahl al-Suffah ini merupakan
53Al-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, h. 59-64 54 Syukur, Zuhud Di Abad Modern, h. 69 55 Mengenai ahl al-Suffah ini mereka sebagai kelompok yang terjaga dengan kebenaran
dari kecenderungan duniawi terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban, dan panutan kaum miskin yang menjauhi duniawi. Mereka tidak memiliki keluarga ataupun harta. Bahkan perdagangan ataupun peristiwa yang berlangsung di sekitarnya tidak melelikan mereka darimengingat Allah.
embrio bagi lahirnya gerakan tasawuf sebagai sebuah amal dan ilmu yang
mapan.56
Pandangan Hasan al-Basri yang lain tentang dunia antara lain nasihat yang
didengarnya oleh Abu Sa’id al-Khuzani: Sesungguhnya dunia adalah rumah amal.
Barang siapa yang mengelutinya atas dasar senang dan cinta kepadanya, akan
celaka dengannya, dan Allah akan menghanyutkan baginya, kemudian dunia
menyerahkan kepada sesuatu yang tak mampu bersabar dan menanggung siksa.57
Menurut Harun Nasution, zahid-zahid yang muncul pada masa Bani
Umayah (sekitar tahun 661 M), pergi mengikuti jejak Nabi Muhammad saw. Dan
para sahabat dekatnya dalam kenyataannya bercabang dua. Zahid-zahid seperti
Hasan al-Basri, Sufyan al-sauri dan Ja’far al-Sidiq, di samping banyak beribadah,
mereka juga mencurahkan perhatian pada dunia ilmu. Dengan demikian
perkembangan ilmu dalam islam tidak terbatas hanya kepada ilmu agama saja,
melainkan mencakup juga ilmu pengetahuan yang sekarang dikenal dengan nama
sains. Salah seorang zahid yang memusatkan pada sains adalah Jabir ibn Hayyan.
Selain itu ada juga yang memusatkan seluruh perhatiannya kepada ibadah serta
bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah.58
Selain zahid-zahid yang telah disebutkan di atas, ada juga zahid
perempuan (zahidah), ia adalah Rabi’ah `Adawiyah (w.135 H). Dalam posisinya
sebagai zahidah, ia mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya
dengan zahid-zahid yang telah disebutkan. Kalau diperhatikan zuhud Rabi’ah
`Adawiyah akan terlihat bahwa zuhudnya mempunyai corak lain dari zuhud
56 Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, h.60 57 Syukur, Zuhud Di Abad Modern,, h.67 58 Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),
h. 6-7
Hasan al-Basri yang bercorak rasa takut. Rabiah `Adawiyah melengkapi corak
zuhud dengan unsur baru yaitu cinta “al-mahabbah” yang menjadi sarana dalam
merenungkan cinta terhadap Allah.59
Banyak sekali ungkapan-ungkapan Rabi’ah adawiyah yang menyatakan
rasa cintanya kepada Allah, diantaranya:
“Aku mencintaimu dengan dua cinta, cinta karena diri-Mu dan cinta karena diriku…., Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu, cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabirsehingga ku mengenal-Mu….. untuk kedua cinta itu pujian bukanlah bagiku, melainkan bagi-Mu pujian itu semua.” Ketika Rabi’ah Adawiyah ditanya oleh Sufyan al-Sauri mengenai hakikat
keimanan, ia menjawab: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada
neraka dan bukan pula ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-
Nya.60
Agaknya gerakan zuhud yang dikemukakan di atas, bisa dipandang
sebagai fase pendahuluan tasawuf, sebab hubungan antara sufi dan zahid tidak
dapat dipisahkan, sebab setiap sufi harus seorang zahid. Harun Nasution
mengatakan bahwa, tiap-tiap sufi adalah zahid, tetapi tidak sebaliknya, sebab
sebelum menjadi sufi ia harus menjadi zahid terlebih dahulu.61
Itulah sejarah singkat tentang asal-usul dan perkembangan zuhud. Jadi
pandangan islam tentang masalah zuhud ini, jelas berbeda dengan kerahiban
Kristen. Islam jelas-jelas menentang kerahiban Kristen. Konsepsi zuhud dalam
Islam bukan mengarah kepada asketisisme. Karena suatu perbedaan tajam antara
dunia dan akhirat tidak kemana-mana. Dalam perspektif Islam, dunia dan akhirat
tidaklah terpisah dan tidak asing satu sama lainnya.
59 Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.
25 60Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, h. 25 61Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspek, h. 10
C. Maqam Zuhud Dalam Tasawuf
Zuhud merupakan salah satu maqâm yang sangat penting dalam tasawuf.
Untuk dapat berada dengan Allah sedekat-dekatnya, seorang muslim harus
menempuh perjalanan panjang yang berisi stasion-stasion. Dan stasion-stasion ini
disebut dengan maqâm.
Sebelum mengetahui lebih jauh mengenai maqâm zuhud, adakalanya kita
mengenal terlebih dahulu akan tanda-tanda bagi seorang zahid. Karena dengan
tanda-tanda ini, seorang zahid akan lebih mudah untuk mencapai ke dalam maqâm
zuhudnya. Adapun tanda-tanda tersebut ada tiga macam, yaitu:
1. Seorang zahid itu tidak menjadi gembira jikalau sesuatu yang diinginkan atau diharapkan itu maujud atau ada, tetapi juga tidak akan bersedih hati manakala tidak ada atau hilang.
2. Seorang zahid sama saja kesannya dalam jiwa, apabila menerima celaan ataupun pujian. Yang berkaitan dalam celaan itu adalah zuhud dalam harta, sedangkan yang berkaitan dengan pujian itu adalah zuhud dalam pangkat atau kedudukan.
3. Seorang zuhud itu merasa mendapatkan ketenangan jiwa dan hatinya dalam hubungannya dengan Allah.62
Al-Sarrâj memandang zuhud sebagai maqâm yang mulia. Berkaitan
dengan kemulian zuhud ini, Nabi pernah menyampaikan ”Jika kalian melihat
seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan,
maka ikutilah ia, karena ia dibimbing oleh hikmah. Zuhud merupakan fondasi
kondisi-kondisi spiritual (ahwâl) yang disukai Allah. Ia merupakan langkah awal
bagi orang-orang yang bermaksud menuju Allah, memutuskan hubungan selain
kepada Allah, rela dan berpasrah diri hanya kepada Allah. Jika ia tidak paham dan
62 Said Hawwa, Induk Pensucian Diri,
mengamalkan zuhud beserta hikmahnya, maka menurut al-Sarrâj tidak sah
baginya untuk naik ke maqâm selanjutnya.63
Zuhud menurut al-Sarrâj, membutuhkan maqâm faqr. Zuhud yang berarti
sebuah sikap rohani yang tidak dikuasai dunia materi hanya bisa sempurna dengan
sikap faqr, yakni sebuah sikap mental yang senantiasa merasa butuh kepada Allah,
hanya kepada Allah tidak kepada yang lainnya. Seseorang yang mempunyai sikap
zuhud berarti ia sudah membebaskan dirinya dari jeratan dan kungkungan dunia
materi yang bisa mencelakakannya. Kebutuhan terhadap dunia materi hanya
sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya semata tidak lebih, kebutuhannya yang
hakiki hanya kepada Allah semata.64
Dalam pada itu, tokoh-tokoh sufi mempunyai perbedaan masing-masing
dalam menempuh jalan “Thariqah” atau sistem dalam melakukan riyadhah atau
latihan. “Sufinya yaitu mencari hubungan dengan Tuhan untuk mencapai hakikat
ketuhanan. Maka tumbuh bermuncullah institusi-institusi tarekat.” Mereka mulai
merasa perlu menentukan tarekat atau sistem pelajaran yang diterima oleh murid
dari gurunya dengan gelar Syekh (ketua) atau mursyid (penunjuk jalan). Tarekat-
tarekat suluk itu laksana “pesantren” pada masa-masa sebelum terbentuknya
madrasah.65
Maka dengan melihat dan memperhatikan kaum sufi , sampai-sampai
Imam al-Ghazali berani mengatakan bahwa: “Aku yakin dengan sebenar-
benarnya, kaum sufiyah itulah yang mampu menempuh jalan yang dicontohkan
Nabi dan yang dikehendaki Allah.” Kemudian selanjutnya Imam al-Ghazali
63 Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, h.60-61. 64 Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, h.62-63 65 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), cet. Ke-2,
h. 26
berpendapat bahwa: “Mendekati Allah, merasakan kehadiran Allahdan
ma’rifatullah, hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan yakni jalan yang
ditempuh oleh kaum sufi.66
Walaupun demikian namun perbedaan itu saling melengkapi satu dengan
yang lainnya. Al-Tusi mendefinisikan maqam dengan tingkatan seorang hamba di
hadapan Allah, dalam hal ibadah dan latihan jiwa yang dilakukannya. Adapun
maqâm itu ialah, taubah, wara, zuhud, faqr, sabr, tawakkal dan ridha.
Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika: al-Taubah, al-Sabr,
al-Faqr, al-Zuhud, al-Tawakkul, al-Mahabbah, al-Ma΄rifah dan al-Ridha.
Muhammad al-Kalabazi menempatkan zuhud dalam urutan sebagai
berikut: al-Taubah, al-Zuhd,al-Sabr, al-Faqr, al-Tawadhu, al-Takwa, al-
Tawakkal, al-Ridha, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah.
Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam: al-
Taubah, al-Wara; al-Zuhud, al-Tawakkul dan al-Ridha.67
Melihat sistematika yang dikemukakan para ulama sufi tersebut, bahwa
bahwa maqâm zuhud tidaklah sama dalam posisinya. Zuhud dijadikan sebaagia
maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepaskan hati
dengan dunia. Dalam pandangan sufi dunia tidak bisa berada dalam kalbu secara
bersamaan dengan Tuhan.68
Inti zuhud adalah kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia. Ia bagaikan
bangkai. Seseorang boleh memilikinya sekedar untuk mencapai kebaikan dan
untuk beribadah kepada Allah Swt. Wujud zuhud ini adalah kehidupan yang
66 Zahri, Kunci Memahami Tasawuf ,h. 30 67 Syukur, Zuhud Di Abad Modern, h.63 68Syukur, Zuhud Di Abad Modern , h. 64
sederhana, wajar, integratif dan aktif dalam berbagai kehidupan di dunia ini,
sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.69
Zuhud merupakan dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam ajaran
sufisme yang diyakini oleh para sufi yang merupakan langkah awal dari mereka
yang menekuni tasawuf dalam usahanya untuk berada sedekat mungkin dengan
Tuhan. Sehingga siapa saja yang tidak berhasil melalui tahap ini, maka niscaya
tidak akan pernah berhasil mencapai hal dan maqam sesudahnya. Maka untuk
menjadi sufi , maka seseorang harus mengawalinya dengan menjadi zahid.
Maqâm zuhud merupakan maqâm yamg sangat mulia. Hanya dengan
perjuangan yang keras seseorang bisa mencapai maqâm zuhud. Tetapi perjuangan
dan riyādhah yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai maqâm zuhud
jangan sampai tercemari oleh rasa ujub dan takabur serta riya yang hanya ingin
mendapat pujian dari manusia (makhluk) dan jangan pula merasa malu atau putus
asa. Serahkanlah semuanya itu hanya kepada Allah semata.
69Syukur, Zuhud Di Abad Modern, h.vi
BAB IV
ZUHUD DALAM PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH
A. HAKIKAT ZUHUD
Ibn Qayyim al-Jawziyyah memiliki kemampuan untuk memakmurkan
hatinya dengan keyakinannya kepada Allah, selalu merasa fakir dan di hadapan
Allah kembali dan bersimpuh. Di samping itu ia memiliki kekayaan yang cukup
besar, serta kedudukan yang cukup tinggi di antara para ulama yang berkomitmen.
Ia memiliki kerinduan dan cinta yang memenuhi seluruh hatinya, ia
memakmurkan hatinya dengan ketergantungan kepada Allah baik dalam kondisi
sepi ataupun ramai, dengan berdzikir sehingga ibadahnya menduduki posisi
sebagai pengobatan dan penyembuhan serta olah raga bagi jiwa.
Maka tidak terlalu mengherankan jika beliau hidup zuhud di dunia serta
rendah hati. Baginya fenomena dunia yang menipu telah sirna dalam dirinya
setelah nyata bahwa hakekatnya adalah kebinasaan.70
70 Syaikh M. Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Besar Imam, terj. Khalid Musleh, Imam
Awaluddin, (Jaakarta: Pustaka Al-Kautsar 2005), cet. ke-1, h. 230
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir; Salah satu muridnya berkata, ”Bacaan
dan etikanya sangat baik, banyak berlemah lembut, tidak pernah hasad dan dengki
kepada siapapun, tidak pula menyakiti dan mencela mereka. Secara umum
kepribadiannya dipenuhi oleh kebaikan dan akhlak yang mulia.” Al-Imam Ibn
Katsir juga sangat bangga bisa bergaul sdengan beliau, dan dapat mencintainya,
hingga suatu ketika ia berkata, ”saya termasuk teman beliau yang paling akrab dan
paling ia senangi.”71
Makna zuhud menurut Ibn Qayyim adalah ungkapan tentang pengalihan
keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Syarat
sesuatu yang tidak disukai haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai
dengan pertimbangan tertentu. Sehingga zuhud bukanlah sekedar meninggalkan
harta dan mengeluarkannya, tetapi zuhud ialah meninggalkan dunia karena
didasarkan pada pengetahuan tentang kehinaannya.72
Beliau berpandangan bahwa cinta kepada akhirat tidak akan murni kecuali
dengan zuhud terhadap dunia, dan zuhud terhadap dunia tidak akan terwujud
kecuali setelah memiliki dua pandangan sebagai berikut:
1. Memandang dunia sebagai sesuatu yang rendah, cepat sirna dan fana.
Selain dunia adalah tempat berbagai keletihan dan perjuangan
sehingga si pencari dunia selalu dikungkung kesusahan.
2. Memandang akhirat sebagai suatu yang abadi dan mengandung aneka
ragam kebaikan dan kenikmatan.73
71 Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 229 72 Imam Ahmad bin Hanbal, Zuhud Cahaya Kalbu, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Darul
Falaf,2003), cet. Ke-2, h. xvi. 73 Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Al-Fawa’id; Menuju Pribadi Takwa, terj. Munirul Abidin,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), cet. ke-3, h.102
Pembagian yang ada ini bersifat keharusan, seorang hamba tidak akan
terlepas dari pembagian tersebut. Memilih dunia daripada akhirat jelas berasal dari
iman yang rusak. Ibn Qayyim berkata: ”bahwa Rasul dan para sahabt meletakkan
dunia di belakang punggung, mereka tidak antusias padanya, lalu dilemparkannya
dan tidak disenanginya lagi dan mereka tidak condong padanya.
Bila kedua pandangan ini telah dimiliki oleh seorang hamba, maka ia akan
mendahulukan apa yang di prioritaskan oleh akalnya dan akan bersikap zuhud
terhadap sesuatu (dunia) yang memang semestinya ia harus berzuhud
terhadapnya. Setiap orang cenderung untuk mengambil kehidupan dunia dan
kesenangan hari ini yang bersifat temporer dan tidak mempedulikan kehidupan
akhirat dan kesenangan hari esok yang kekal. Kecuali jika ia mengetahui bahwa
kehidupan akhirat lebuh baik daripada kehidupan dunia dan kecendrungan
(cintanya) terhadap kesenangan abadi lebih kuat daripada cintanya kepada
kesenangan sementara.74
Manakala seseorang mengutamakan dunia atas akhirat, berarti ia tidak
mengetahui hakikat keduanya mungkin juga ia mengetahui hakikat keduanya,
namun kecintaannya kepada dunia telah mendominasinya. Jika demikian berarti
iman dan akalnya lemah. Malah orang yang tidak meyakini bahwa akhirat itu
lebih baik dan lebih afdal daripada dunia dapat dikatakan pula bahwa orang yang
demikian itu tidak memiliki Iman.75
Orang-orang yang paling terpedaya adalah mereka yang tertipu oleh
kesenangan hidup di dunia yang mereka rasakan, sehingga mereka lebih
74 Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Pesan-Pesan Spiritual Ibn Qayyim, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), cet. ke-2, h. 85 75 Al-Jawziyyah, Pesan-Pesan Spiritual Ibn Qayyim, h. 85
mementingkan kehidupan dunia daripada kesenangan akhirat. Mereka merasa
lebih senang di dunia daripada di akhirat.
Dengan tutur katanya yang baik lagi bijak, Ibn Qayyim berkata dengan
perkataan yang hikmah, “Seseorang yang mencintai dunia, maka dunia akan
menjadi tuan baginya sehingga ia akan dijadikannya sebagai budak dan
hambanya serta dihinakannya. Sebaliknya, jika seseorang memusuhi dunia akan
melihat kebesarannya, sehingga dunia akan mengabdikan diri dan tunduk
kepadanya.76 Jika hati berzuhud terhadap kenikmatan dunia, maka ia akan
mencari kenikmatan akhirat. Dan jika ridha terjadap kenikmatan dunia ia akan
meninggalkan akhirat.77
Dari pada itu, sehingga sebagian mereka ada yang mengatakan,
“Kesenangan dunia adalah sekarang, sedangkan kesenangan akhirat ditangguhkan.
Yang sekarang itu lebih baik daripada yang ditangguhkan. Sebagian lagi
mengatakan, “Kenikmatan di dunia itu suatu yang pasti, sedangkan kenikmatan di
akhirat itu masih diragukan.78
Jika orang-orang merasa kaya dengan dunia, maka hendaklah merasa kaya
dengan Allah, dan kalau orang lain bangga denga harta yang melimpah, maka
hendaklah bangga dengan Tuhanmu. Jika manusia tenang dengan kekasih mereka,
maka hendaklah tenang dengan Allah. Seorang zahid berpesan; ”Tinggalkanlah
dunia sebagaimana mereka telah meninggalkan akhirat, dan jadilah engkau di
dunia ini laksana lebah yang hanya memakan yang baik-baik dan hanya memberi
76 Al-Jawziyyah, Al-Fawa’id; Menuju Pribadi Takwa, h. 109 77 Al-Jawziyyah Al-Fawa’I; Menuju Pribadi Takwa, h. 107 78 Ibn Qayyim Al-Jawziyah, Siraman Rohani Bagi yang mendambakan Ketenangan Hati,
terj. Arif Iskandar, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), cet. ke-1, h.
yang baik-baik, jika hinggap pada sesuatu, ia tidak merusak atau
menghancurkannya.79
Berbeda dengan orang-orang yang bertakwa. Mereka tidak tergoda oleh
cinta kedudukan dan dunia sehingga mereka tidak memprioritaskan atas akhirat.
Mereka tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah. Selain beristi’anah
(meminta bantuan) dengan sholat dan kesabaran serta selalu berpikir tentang
kefanaan dunia serta kerendahannya.80
Inilah gambaran terhadap lemah dan kuatnya iman. Dalam hal berzuhud,
seorang zahid haruslah terlebih dahulu menanamkan dalam dirinya akan keimanan
yang kuat. Sehingga dalam melaksanakannya tidak akan ragu.
Seseorang yang dapat dikatakan zahid sebenarnya bukanlah yang
meninggalkan seluruh hartanya. Melainkan bagaimana seseorang dapat bersikap
balance di antara dunia dan juga akhirat. Inilah hakikat zuhud yang sesungguhnya
menurut beliau.
Tidaklah benar seseorang yang hanya mementingkan akhiratnya saja
lebih-lebih mementingkan keduniawiannya. Dalam hal ini memang sangatlah di
perlukan keimanan dan juga ketakwaan kita. Sebenarnya, dunia diciptakan
sebagai tempat cobaan bagi manusia. Sehingga akal manusia amatlah diperlukan.
Ibn Qayyim pun berkata: “Akhirnya aku menyadari bahwa yang paling baik
adalah yang di tengah-tengah. Lebih tidak, kurang pun tidak.”81
Ibn Qayyim beranggapan bahwa tidaklah baik terlalu berlebih-lebihan
dalam berzuhud. Karena sikap yang demikian ini hanya akan membawanya
79 Al-Jawziyyah, Al-Fawaaid, Pesan-pesan Spiritual Ibn Qayyim, h.109 80 Al-Jawziyyah, Pesan-Pesan Spiritual Ibn Qayyim, h. 85 81 Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menag Dalam
Hidup, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2005), cet. ke-2, h. 86
kepada sifat yang riya. Di mana sikap seperti ini adalah suatu kesalahan dan telah
keluar dari jalan yang telah dituntunkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat
beliau baik secara nagli maupun secara akal sehat.
Dalam melakukan kezuhudannya, di antara orang-orang zuhud ada yang
merasa kuat baik berada di masjid atau hanya duduk-duduk dan berdzikir di
zawiyyah ‘tempat persemedian’. Mungkin juga mereka beralasan tentang
kesendiriannya itu, “ia khawatir jika keluar akan melihat berbagai kemunkaran.”
Sebagian dari mereka ada juga yang tidak pernah mengunjungi orang lain atau
pun teman-temannya.82
Sebagian dari mereka pun ada yang tidak mau memakan makanan adonan
segar. Yang lainlagi hanya memakan makanan yang sedikit sehingga ia tidak
memperdulikan kondisi badannya, dan juga ada yang memakai pakaian yang
seadanya dengan menggunakan pakaian yang sudah kumel dan lain sebagainya.
Dalam hal ini ada sebuah kisah, di mana ketika Farqad as-Sabkhi datang
ke rumah Hasan al-Bashri yang pada saat itu sedang makan ‘faludzaj’.83 Hasan
kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang makanan ini? Aku tidak
makan karena aku tidak menyukainya.” Hasan al-Bashri berkata: apakah makanan
yang seperti ini tidak disukai oleh seorang muslim (diharamkan)?”
Ada pula seorang pria yang datang menemui Hasan al-Bashri, kemudian
berkata: Aku mempunyai seorang tetangga yang tidak mau makan ‘faludzaj’.
Hasan bertanya kenapa? Ia menjawab, “Tetanggaku mengatakan ia tidak mampu
mensyukuri kenikmatan dari makanan mewah seperti itu.” Lalu Hasan
82 Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menag Dalam Hidup, h. 458 83 Sejenis makanan yang istimewa. Makanan ini berasal dari campuran madu dengan
gandum dan ditambah minyak sapi.
berkomentar, “Tetanggamu itu adalah orang yang bodoh dan tidak tahu. Jika
demikian apakah ia juga tidak mampu untuk mensyukuri nikmat yang didapatnya
dari segelas air yang dingin.?84
Ibn Qayyim menanggapi kejadian tersebut dengan mengatakan bahwa
sebenarnya, bagi orang yang seperti itu telah tertutup jalan kebenaran bagi dua
arah. Sebab utamanya adalah kebodohan mereka sendiri. Mereka tidak
mengetahui bahwa Nabi saw dan para sahabatnya tidak pernah melakukan hal
yang seperti itu. Rasulullah ,makan daging ayam, menyukai yang manis-manis
dan madu.85
Jika hal-hal tersebut dianggap sebagai cara hidup zuhud. Maka
sesungguhnya semua itu sangat bertentangan dengan cara hidup Rasulullah dan
para sahabatnya. Pertentangan terjadi secara sisi syari’at dan cara hidup bijak. Jika
ada sebagian orang yang hendak memprotes dan mengatakan: “Bahwa sikap
seperti ini menentang kebaikan dan sifat zuhud itu sendiri.” Padahal tidaklah
demikian adanya. Karena, sikap zuhud mereka itu sudah melampaui batas. Di
mana Rasulullah saw sendiri pernah bersabda:
“Setiap amal yang tidak dilandaskan pada perintah kami (syari’at), maka amalan itu tersebut tertolak.” Ibn Qayyim pun menegaskan janganlah terpesona dengan cara ibadah
yang dilakukan oleh banyak orang yang mengaku zahid, namun sebenarnya
amalan mereka jauh menyimpang dari jalan yang digariskan Rasulullah dan tidak
juga para sahabatnya. Misalnya dengan cara berpura-pura khusyuk yang
berlebihan, berpura-pura menjalani hidup dengan amat sederhana yang luar biasa
84 Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Bisikan Hati Ibnu Jauzi, terj. Ibnu
Ibrahim, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), cet. ke-1, h. 78 85 Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup, h. 87
dan hal-hal yang mungkin dianggap oleh orang-orang awam sebagai sesuatu yang
sangat baik.86
Hal yang demikian inilah yang ditakutkan oleh Ibnu Qayyim. Beliau
khawatir dengan berzuhud yang terlalu over atau berlebihan hanya akan
mendatangkan sikap takabur dan menjadi riya. Sehingga seorang zahid harus lebih
mengetahui lagi makna apa yang terkandung atau hakikat yang bagaimana
sebenarnya yang terkandug di dalam kezuhudan itu sendiri.
Sikap zuhud yang demikian itu muncul karena kurangnya ilmu
pengetahuan yang mereka miliki. Sehingga mereka merasa benar dengan apa
yang dilakukannya. Maka dari itu menurutnya, memohonlah kepada Allah akan
ilmu yang bermanfaat. Sebab, ilmu itu adalah dasar. Apabila ilmu itu dapat diraih,
maka dengan ilmu kita dapat mengenal Allah dengan sebaik-baiknya dan berbakti
kepada-Nya sesuai dengan apa yang diajarkan dan disenangi-Nya. Dan dengan
ilmu pun kita dapat merasakan suatu keikhlasan dalam menjalani hidup.
Dalam ungkapan bijaknya beliau berkata: “Beberapa keinginan dunia
laksana permainan dan hayalan saja. Sedangkan pandangan orang awam terbatas
hanya pada lahiriahnya dan orang yang berakal akan melihat dari balik tabir.87
Ibn Qayyim pun pernah menjalani kehidupan zuhud yang pada waktu itu
beliau hampir meninggalkan keluarganya. Ibn Qayyim mulai menjauh dari dunia
dan beliau pun mulai mengganti pakaiannya dengan pakaian lusuh dan makan
dengan cara yang sangat sederhana. Namun yang terjadi adalah beliau merasakan
tubuhnya tak berdaya.
86Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup, h. 89-90 87 Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, AlFawa’id, terj. Mahrus A’li, (Jakarta: Cendekia Sentra
Muslim, 2000), cet. ke-1, h.48
Ibn Qayyim kembali larut dalam khalwatnya. Beliau pun berkata: ”Saya
ingin seperti para ulama, namun badanku tak kuasa untuk menuntut ilmu. Aku
ingin seperti para zahid, namun badan tak lagi mampu untuk berzuhud.” Beliau
merasa hal yang demikian hanyalah bisikan setan. Kemudian beliau berkata: ”Jika
aku berzuhud dalam caramu, maka habislah apa yang ada dalam genggamku dan
apapun yang menjadi hajat keluargaku.” Uzlah yang benar adalah menghindarkan
diri dari keburukan bukan dari hal-hal yang baik. Kisah ini diambil dari karya
beliau yang berjudul Shaidul Khathir; cara manusia cerdas menang dalam hidup.
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, banyak sekali orang berbicara tentang
zuhud. Semua berbicara tentang pengalamannya, kondidi dan keadaannya. Orang-
orang lebih mengunggulkan berbicara mengenai kondisi pengalamannya. Padahal,
berbicara atas dasar ilmu lebih luas dan lebih tepat daripada berbicara dengan
dasar pengalaman. Selain itu, lebih tepat dari sisi penjelasan.
Sebenarnya bukanlah dunia itu yang harus kita hindari. Melainkan yang
layak dihindari adalah segala hal yang tidak dihalalkan dan segala sesuatu yang
sifatnya berlebihan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang
zahid bukanlah meninggalkan segala hal yang mubah dalam arti baik melainkan
dapat meninggalkan segala hal yang merugikan dan seorang zahid haruslah bisa
membedakan di antara keduanya.
Pada hakikatnya bukanlah dunia yang tercela, tetapi yang tercela adalah
perbuatan hambanya. Dunia adalah jembatan yang akan menghantarkan hamba
menuju surga atau neraka. Namun ketika kehidupan dunia ini didominasi oleh
hawa nafsu, keinginan untuk meraih keberuntungan, kelalaian, kehidupan jauh
dari Allah dan juga kehidupan akhirat. Sehingga keadaan yang seperti inilah yang
akan meliputi para penghuni dunia dan kehidupannya di sana, dengan demikian
dunia akan tercela dalam keadaan bagaimanapun.88
Riwayat Ad Dailami menegaskan, “Tinggalkanlah dunia untuk ahli-
ahlinya, karena barangsiapa menambil dunia melebihi kapasitas kegunaannya,
maka ia telah mengambil kematiannya tanpa ia sadari.”89
Apabila ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai orang yang zahid,
kemudian ia menolak untuk berusaha dan mengatakan, “Aku tidak akan makan,
tidak akan minum dan tidak akan menghindar dari panas matahari disaat terik dan
tidak akan menghangatkan disaat dingin menggigil, maka orang semacam ini
secara ijma’ sudah dianggap berbuat maksiat atau membuat kesalahan kepada
Allah dan dirinya sendiri.”90
Begitu pula jika ia mengatakan, “Aku tidak akan mencari rizki dan aku
serahkan rizki keluargaku kepada Allah semata, lalu keluarganya ditimpa musibah
kelaparan seperti sakit dan lainnya, maka ia telah berbuat dosa kepadaAllah.”91
Janganlah tergoda dengan omongan kacau mereka yang berpura-pura
zuhud yang selalu mengurangi makan secara tidak wajar. Hal itu dapat
mengakibatkan dirinya tidak mampu melakukan pekerjaan yang wajib.
Sebenarnya hal yang demikian itu tak pernah dicontohkan Rasulullah dan para
sahabat-sahabatnya. Jika Rasulullah tidak makan dan mereka lapar itu seringkali
88 Al-Jawziyyah, Uddatu Ash-Shabiriin Wa Dzakiratu asy-Syakiriin; Indahnya Sabar,
(Jakarta: Magfirah Pustaka,2007), cet. Ke-2, hal.257 89 Syaikh Zainuddin Al-Malibary, Irsyadul ‘Ibad; Panduan Ke Jalan Kebenaran, terj.
Moh. Zuhri, Ibnu Muchtar, (Semaramg: Cv Asy-Syifa, TT ), h.155 90 Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Bisikan Ibnu Jauzi, h.77 91 Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Bisikan Ibnu Jauzi, h.77
disebabkan mereka selalu mendahulukan orang lain, kemudian mereka bersabar
karena darurat.92
Ibn Qayyim menegaskan bahwa generasi Islam yang pertama itu adalah
para sahabat Rasulullah, dimana mereka itu bekerja dan mencari nafkah serta
cenderung untuk meninggalkan harta benda yang banyak bagi ahli waris mereka.
Oleh karena itu kembalilah kepada generasi Islam pertama yang masih murni.
Dan hendaknya kita tidak mengikuti ajaran-ajaran yang didasarkan pada
pandangan yang salah.
Sebenarnya anjuran untuk zuhud di dunia merupakan teguran agar tidak
selalu mementingkan kehidupan duniawi, sehingga mengabaikan urusan akhirat.
Semua itu dimaksudkan agar manusia berada pada derajat yang terbaik di sisi
Allah sebagai balasan dari apa yang telah mereka kerjakan di dunia.
Sungguh amatlah disayangkan jika seorang zahid, demi kezuhudannya
harus menelantarkan keluarganya dan menyiksa dirinya sendiri. Karena yang
demikian itu hanya akan membuat kerugian pada dirinya.
Memang berzuhud itu di haruskan tapi tidak dengan hal yang berlebihan.
Adakalanya sebelum berzuhud terlebih dahulu memahami akan hakikat zuhud itu
sendiri. Yang mana Ibn Qayyim telah menjelaskan, pada hakikatnya zuhud itu
adalah yang dapat mengimbangi antara kehidupan dunia dan akhirat. Berlebihan
dalam hal kehidupan dunia tidak dibenarkan, lebih mementingkan akhirat pun
adalah tidak benar.
92 Al-Jawziyyah, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup, h.194.
B. TINGKATAN ZUHUD
Di dalam al-Qur’an penuh dengan ajaran-ajaran zuhud tehadap dunia,
informasi-informasi tentang rendahnya, sedikitnya dan ketidak kekalan dunia, dan
cepat sirnanya dunia, juga ajaran yang mendorong terhadap akhirta, informasi-
informasi tentang kemulyaan akhirta dan kekekalan akhirat. Jika Allah
menghendaki sesorang hamba itu baik, maka Allah memberi pertunjuk dalam
hatinya, sehingga ia dapat menentukan hakikat dunia dan akhirta dan menentukan
mana diantara keduanya yang lebih utama untuk kepentingan orang lain.93
Kezuhudan bukanlah suatu masalah mudah yang bisa diperoleh tanpa
bersusah-payah dan tidak semua orang mampu menjadi seorang zahid. Kezuhudan
merupakan langka-langkah untuk melatih perilaku. Di mana dalam kezuhudan ini
ada pencapaian-pencapaian tertentu sehingga seorang bisa dikatakan sebagai
seorang zahid dan dalam pencapaiannya dibutuhkan keimanan yang kuat.
Dalam masalah pencapaian zuhud ini, Ibn Qayyim mengemukakan bahwa
ada tiga tingkatan yang harus dilaluinya. Tentang pendapatnya ini, beliau
mengutipnya dari sebagian Imam. Diantara mereka adalah Imam Ahmad yang
berkata ”Zuhud itu memiliki tiga tingkatan yang pertama, meninggalkan yang
haram dan ini zuhudnya orang awam. Kedua, meninggalkan nikmat yang lebih
dari rezeki yang halal dan ini adalah zuhudnya orang-orang khusus. Ketiga,
meninggalkan apa yang dapat melalaikan dari Allah dan inilah zuhudnya orang-
orang ma’rifat.94
93 Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Tahdzib Madarij Salikin, (Bairut: al-Manar al-Islamiyyah, 1997), h. 257 94Sa’id bin Musfir, Al-Itiqadiah Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Wa Arauhu Al-Itiqadiah Wa Ash-Shufiah; Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-JailaniI, terj. Munirul Abidin, (Jakarta: Darul Falah, 2003), Cet.Ke-1, h.491.
Perkataan Imam Ahmad ini selaras dengan perkataan Imam-imam
terdahulu dengan tambahan pada rinciannya dan penjelasan tentang tingkatan-
tingkatannya. Ini merupakan pendapat yang paling disepakati dan ini menunjukan
bahwa beliau dalam hal ini berada pada tingkatan tertinggi.
Dalam masalah urutan maqâm penulis tidak menemukan secara spesifik
ada dalam posisi keberapa maqâm zuhud itu sendiri. Hanya saja mengemukakan
bahwa zuhud berada pada tingkatan tertinggi dan ketika kita berzuhud dibarengi
dengan sikap qana’ah dan sikap ketakwaan.
Sebelum lebih jauh mengetahui tingkatan zuhud tersebut adakalanya kita
mengetahui beberapa macam zuhud menurut Ibn Qayyim, yaitu:
1. Zuhud dalam hal yang haram, yaitu fardhu ain.
2. Zuhud dalam masalah syubhat, yang tergantung pada tingkat syubhat.
Jika kuat akan menjurus kepada wajib dan jika melemah menjadi
sunah.
3. Zuhud dalam masalah-masalah yang lebih.
4. Zuhud dalam masalah yang tidak perlu dilakukan, dipandang,
ditanyakan, ditemui dan lain-lain.
5. Zuhud di tengah manusia.
6. Zuhud dalam kaitannya dengan diri, yaitu merendahkan diri Karena
Allah.
7. Zuhud yang meliputi semua itu, yaitu zuhud dalam hal-hal selain Allah
dan apapun yang membuat lalai terhadap Allah.95
95 Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Mendulang Faidah Dari Lautan Ilmu, terj. Kathur Suhardi,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), cet. ke-2, h.179
Dari sekian macam-macam zuhud tersebut Ibn Qayyim membaginya
menjadi tiga tingkatan:
1. Zuhud Orang Awam
Zuhud ini di awali dengan meninggalkan segala yang haram. Ini
merupakan tingkatan awal atau pemula. Zuhud ini disebut juga dengan zuhud
dalam syubhat, artinya meninggalkan hal-hal yang meragukan apakah halal
ataukah haram.
Adapun zuhud terhadap hal-hal yang syubhat adalah meninggalkan sesuatu yang tidak jelas bagi seorang hamba. Seperti yang dijelaskan dalam haditsnya Nu’man bin Basyir r.a. dari Nabi Saw: “Yang halal itu jelas, dan yang harampun juga jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara yang masih belum jelas. Sebagian besar manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa menjauhi hal-hal yang syubhat, maka ia akan terhindar dari hal yang haram. Dan barang siapa yang terjatuh dalam hal-hal yang syubhat, maka ia akan terjerumus dalam hal yang haram, seperti seorang pengembala yang mengembala di sekitar garis larangan, maka ia akan cepat mengembala dalam larangan tersebut. Ingatlah dalam setiap harta milik terdapat garis larangan, dan ingatlah garis larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkannya. Ingatlah di dalam jasad terdapat segumpal dagig, apabila segumpal daging iut baik, maka baik pulalah seluruh jasad. Dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah hati.”
Syubhat ini merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Setelah
meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak
menyukai kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasik. Tidak
menyukai celaan dan kekurangan hanya berlaku di mata Allah dan bukan di mata
manusia, sekalipun sebenarnya tidak suka celaan dan kekurangan di mata
manusia. Ini bukan termasuk sifat yang tercela. Yang tercela dalam hal ini ialah
jika sikapnya itu semata di mata manusia dan tidak merasa malu dimata Allah.96
96 Al-Jawziyyah, Tahdzib Madarijus Salikin, h. 260
Seorang zahid harus berpantang dari kesenangan yang diharamkan dan
barang-barang Syubhat, serta selalu menghindari kemewahan dunia, kemudian
mempertangguh kehadirannya untuk terus menerus berdekatan dengan Allah.
2. Zuhud Orang Khusus
Pada tingkatan zuhud ini, meninggalkan segala sesuatu yang berlebih-
lebihan dalam hal yang halal. Tingkatan zuhud ini lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkatan zuhud yang pertama.
Zuhud ini disebut juga dengan zuhud mustahab atau sunnah, yang
tergantung pada tingkatan-tingkatannya dalam hukum sunnahnya, dengan menilik
sesuatu yang dihindari, yaitu zuhud dalam hal yang mubah, makruh, hal yang
berlebih dan melakukan keanekaragaman syahwat yang mubah.97
Dalam tingkatan zuhud ini seorang hamba menyibukkan dirinya dalam
seluruh rentang waktu dengan sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya kepada
Allah, atau menentukan waktu makan, minum, tidur, maupun waktu istirahat.
Yaitu kapan menempatkannya dengan niat yang kuat terhadap apa yang dicintai
Allah, dan menjauhkan diri dari apa yang dibenci Allah. Itu semua merupakn
pengisian waktu, dan bila dalam pengisian waktu tersebut terdapat unsur
kesenangan yang paling sempurna, maka jangan menganggap bahwa pengisian
waktu adalah meninggalkan kesenangan-kesenangan dan kebaikan-kebaikan.98
Dengan kata lain bahwa dalam tingkatan ini mendekatkan diri kepada
Allah, bukan hanya dengan beri’tikaf saja. Tetapi dengan kita selalu mengingat
kepada-Nya entah disaat makan, tidur atau pun beraktifitas dalam kehidupan
sehari-hari. Kita niatkan ini semua semata-mata karena Allah, sehingga dalam
97 Ibn Hanbal, Zuhud, h.xvii 98 Al-Jawziyyah, Tahdzib Madarijus Salikin, h. 261
jiwa menambah kekuatan dan melakukan apa-apa yang dicintai Allah dan
menjauhi segala hal yang dimurkai-Nya atau dilarang.
Seorang zahid apabila telah berada pada tingkatan ini, melakukan
semuanya dari dalam hati secara seimbang, sehingga ia dapat melepaskan segala
rasa kegundahan dalam hal yang berkaitan dengan sebab-sebab keduniaan.99
Jiwanya akan semakin tentram, damai dan selalu merasa senang. Karena
dengan tingkatan zuhud ini seorang zahid telah menyerahkan secara ikhlas
kehidupannya semata-mata hanya karena Allah. Tidak ada rasa ketergantungan
dalam keduniaan. Sehingga segala hal yang berlebihan pun tak tampak dalam
kepribadiannya. Ia tidak merasa gembira jika sesuatu yang diinginkannya itu
tercapai dan tidak juga merasa bersedih hati manakala tidak tercapai atau hilang.
Kezuhudan yang dimiliki oleh seorang zahid memang amatlah sulit. Dan
ini merupakan suatu perkara yang amat rumit. Karena letaknya ialah di dalam
jiwa yang amat abstrak.
3. Zuhud Orang Ma’rifat
Tahap akhir dari seorang zahid dalam tingkatannya menurut Ibn Qayyim
adalah zuhudnya orang ma’rifat. Zuhud orang ma’rifat ini dapat juga dikatakan
dengan zuhud dalam zuhud. Zuhud orang-orang yang masuk ke dunia zuhud ini
adalah mereka yang benar-benar tekun dalam melakukan perjalanan kepada
Allah.100
Ada dua golongan dalam tingkatan zuhud ini, yaitu :
1. Orang yang zuhud di dunia secara keseluruhan, maksudnya bukan
melepaskan dunia ini dari tangan sama sekali akan tetapi mengeluarkan
99 Al-Jawziyyah, Tahdzib Madarijus-Salikin, h. 261 100 Ibn Hanbal, Zuhud, h. xviii
dunia itu secara keseluruhan dari hatinya tidak menengoknya dan tidak
membiarkannya mengendap dalam hati.
2. Zuhud terhadap diri sendiri, dan ini merupakan zuhud yang paling berat
serta paling sulit.
Dalam tingkatan zuhud ini dapat dilakukannya dengan tiga cara: pertama,
menghinakan perbuatan zuhudnya; Orang yang memenuhi hatinya dengan
kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya, niscaya dia tidak akan
berpandangan bahwa dunia yang ditinggalkannya karena Allah berhak menjadi
korban. Karena dunia dengan segala isinya menurut Allah tidak dapat disamakan
dengan sayap seekor nyamuk. Seorang ahli ma’rifat tidak akan beranggapan
bahwa zuhudnya terhadap dunia merupakan perkara besar yang perlu
diperhitungkan dan dirayakan. Orang yang zuhudnya benar maka, jika dunia yang
ditinggalkannya, oleh Allah dijadikan berharga, maka ia merasa malu
memperhatikan zuhudnya terhadap dunia tersebut. Bahkan zuhudnya terhadap
dunia akan sirna sebagaimana dunia darinya. Dan dia juga merasa malu untuk
menyebutnya dengan lisannya dan melihatnya dengan hatinya.101 Hatinya tidak
lagi bersukaria karena memperoleh sesuatu dan tidak pula bersedih karena
kehilangan sesuatu; orang yang memujinya dan orang yang mencelanya
dianggapnya sama saja dan ia senantiasa merasa dekat dengan Tuhan dan
merasakan nikmat ibadah.
Sungguh bijak seorang zahid dalam pribadinya ini. Sebagaimana telah di
jelaskan pada bab sebelumnya bahwa tak pantas seorang zahid merasa besar
101 Al-Jauziyyah, Tahdzib Madarijus Salikin, h. 262
kepala akan kezuhudannya itu dan amatlah jelas pada tingkatan zuhud ini, bahwa
sikap riya bukanlah cerminan dari seorang zahid.
Kedua, zuhud ini dapat dilakukannya dengan cara: Menyeimbangkan
keadaan saat mendapatkan dan meningalkan sesuatu; Artinya melihat apa yang
ditinggalkan atau yang dilakukannya dalam kedudukan yang sama. Ia tetap zuhud
saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat meninggalkannya. Hal ini
merupakan bagian dari tingkatan zuhudnya orang-orang khusus.
Ketiga, cara yang terakhir adalah tidak berpikir untuk mendapatkan
balasan. Dia melihat kesendirian Tuhan dalam pemberian dan pencegahan
pemberian. Dia tidak beranggapan bahwa dia meninggalkan sesuatu, juga tidak
mengambil sesuatu. Akan tetapi Tuhan sendirilah yang memberikan dan
mencegah pemberian. Maka sesuatu yang diambilnya mengalir dari pemberian
Allah kepadanya sebagaimana air yang mengalir disungai. Dan sesuatu yang
ditinggalkanya karena Allah, itu karena Allahlah yang mencegahnya dari sesuatu
tersebut. .102
Sejalan dengan tingkatan-tingkatan zuhudnya orang ma’rifat ini, maka
sifat-sifat zuhud yang dimilikinya merupakan nilai-nilai hakiki yang tinggi. Pada
tingkatan in, seorang zahid meninggalkan segala perkara yang dapat membuat
seseorang lalai dan lupa kepada Allah.
Tingkatan zuhud orang ma’rifat ini berada pada tingkatan yang tertinggi.
Sebab jika zuhud pada tingkaatn pertama dan keduapun masih dapat disandang
oleh para salik yang saleh-saleh. Namun zuhud pada tingkatan yang ketiga, yakni
zuhudnya orang ma’rifat ini hanya bisa dimiliki oleh para sufi sebagai orang-
102 Al-Jawziyyah, Tahdzib Madarijus Salikin, h. 262
orang yang arif bijaksana. Mereka terus terpelihara fitrahnya sebagai manusia
beriman dan mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan kata lain bahwa cara ini menunjukkan keikhlasan bagi seorang
zahid dalam melakukan segala sesuatunya. Ia menyerahkan seluruhnya semata-
mata hanya milik Allah. Tidak pernah berpikir dalam benaknya untuk meminta
balasan atau mendapatkan derajat di sisi Allah atas apa yang ia perbuat.
Dapat dikatakan bahwa tingkatan zuhud yang akhir ini, yakni tingkatan
zuhud orang ma’rifat merupakan bagian dari keseluruhan tingkatan-tingkatan
zuhud sebelumnya, yaitu: zuhudnya orang awam dan zuhud orang khusus.
Inilah tingkatan-tingkatan zuhud yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-
Jawziyyah. Yang intinya menjelaskan segala persoalan-persoalan dalam berzuhud.
Dengan adanya tingkatan-tingkatan zuhud ini, semoga mempermudah bagi para
muzahid dalam melaksanakannya. Dan dalam tingkatan-tingkatan ini pun telah
dijelaskan bagaimana cara berzuhud yang baik dan benar. Sehingga tidak ada lagi
kekeliruan dalam berzuhud.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bab terakhir penulisan skripsi ini, penulis mencoba mengambil
kesimpulan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Yakni kesimpilannya
adalah sebagai berikut:
Pembahasan zuhud takkan habis untuk dibahas, karena para pemikir
muslim dan para ulama terdahulu pun, begitu antusias dalam memperdebatkan
masalah zuhud, walaupun kadang ada juga persamaan dan perbedaannya, tapi
mereka sangat menghargai dalam hal perbedaan pendapat.
Sikap zuhud merupakan suatu hal yang sangat mulia. Karna zuhud
merupakan pangkal kebaikan dan ketaatan seorang hamba kepada Allah Swt. Oleh
karena itu, amatlah beruntung bagi orang yang telah mampu memiliki sikap
zuhud, karena ia akan memperoleh kebahagiaan yang sejati di akhirat nanti.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, di mana beliau memiliki kekayaan yang besar,
kedudukan yang cukup tinggi dan dikenal oleh banyak orang, namun itu semua
tidak mengurangi rasa zuhudnya terhadap apa yang beliau miliki.
Dengan konsep zuhudnya ini, Ibn Qayyim menjelaskan bahwa pada
dasarnya hakikat zuhud itu adalah bukan sekedar meninggalkan harta saja,
melainkan meninggalkan dunia karena kehinaannya. Mengetahui kebaikan dunia
dan juga keburukannya, tidak terlalu memprioritaskan kehidupan dunia dan
meyakini akan kehidupan akhirat itu lebih baik ketimbang kehidupan dunia.
Orang yang zuhud hanya akan mencintai dunia dan mengambil
keperluannya saja. Ia tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan hidup,
melainkan hanya sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan hidup, di akhirat.
Mereka menyadari bahwa kenikmatan dan kehidupan dunia hanyalah permainan
dan tipuan belaka.
Ibn Qayyim pun menjelaskan bahwa seorang zahid yang sesungguhnya
adalah tidak merasa senang ataupun bangga terhadap apa yang dicapainya. Dia
tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud dalam meninggalkannya.
Sebaik-baiknya zuhud adalah yang tidak keluar dari ajaran Rasulullah saw.
B. Saran-saran
Diakui oleh penulis, bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Diperlukan kajian dan penulisan yang lebih mendalam lagi tentang masalah ini.
Selanjutnya, Ibn Qayyim sebagai seorang pemikir, yang banyak
menghasilkan karya besar sangat layak diberikan perhatian dan kajian yang lebih
terhadap pemikirannya. Penulis yakin bahwa masih banyak persoalan-persoalan
zuhud yang belum terangkat dan terungkap di sini. Untuk itu penulis memberikan
saran kepadapara akademisi dan pembaca pada khususnya, yaitu:
1. Secara umum perlu dikembangkan kajian yang lebih intensif mengenai
pemikiran zuhud, karena hal tersebut merupakan permasalahan yang
penting bagi umat muslim, sehingga dapat mengaplikasikannya di
dalam kehidupan dan manfaatnya pun dapat dirasakan oleh umat
manusia dan umat Islam pada khususnya.
2. Melakukan penelitian lebih dalam tentang pemikiran Ibn Qayyim al-
Jawziyyah khususnya dalam bidang zuhud.
3. Yang tak kalah pentingnya adalah penelitian tentang pengaruh zuhuz
relevansinya terhadap kehidupan masa sekarang.
Ini semua menjadi pekerjaan rumah bagi para ilmun. Semoga tulisan ini
menjadi gambaran yang sederhana walau dalam batas yang minim
DAFTAR PUSTAKA As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: LSIK, 1994 Bahri, Media Zainul, Menembus Tirai Kesendirian-Nya; Mengurai Maqâmat dan
Ahwâl Dalam Tradisi Sufi, Jakarta: Prenada 2005. Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid II, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Houve, 1995. Ghazali, Imam al-, Bimbingan untuk mencapai Tingkatan Mu’mini, terj. Abdai
Rathomy, Bandung: Cv Diponegoro, 1996. Jamal, M. Hasan al-, Biografi 10 Imam Besar, terj. M. Khalied Muslih dan
Awaluddin, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2000. Jawziyyah, Ibn Qayyim al-, al-Fawa’id; Menuju Pribadi Takwa, terj. Munirul
Abidin, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000. -------, Pesona keindahan, Jakarta: Pustaka Azzam, 1990. -------, Shalawat Nabi Saw, terj. Ibn Ibrahim, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000. -------, Melumpuhkan Senjata Syetan, terj. Haris Umar dan Arifin Thayyib,
Jakarta: Darul Fallah, 1998. -------, Siraman Rohani Bagi Yang Mendambakan Ketenangan Hati, terj. Arif
Iskandar, Jakarta: Lentera Basritama, 2000. -------, Shaidul Khathir; Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup,
Jakarta:Maghfirah Pustaka, 2005. -------, Shaidul Khathir; Bisikan Hati Ibn Jawzi, terj. Ibn Ibrahim, Jakarta: Pustaka
Azzam, 1998. -------, Mendulang Faidah Dari Lautan Ilmu, terj. Kathur Suhardi, Jakarta:
pustaka al-Kautsar, 1998. -------, Tahdzib Madarijus Salikin, Bairut: al-Manar al-Islamiyyah, 1997. Malibary, Syaikh Zainuddin al. Irsyadul ‘Ibad; Panduan kejalan Kebenaran, terj.
Muhammad Zuhn dan Ibn Muchtar, Semarang: Cv As-Syifa,TT
Munawir, Aw, Kamus al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Mulyati, Sri, et, all, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media, 2005 Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. -------, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985. Qahtani, Sa’id Bin Musfi al-, Asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani Wa Arauhu Al-
I’tiqadiyah Wa Ash-Shufiyah; Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani, Jakarta: Darul Falah, 2003.
Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif Ceramah-Ceramah Di Kampus, Bandung:
Mizan, 1991. Sanhuti, al-, Muhammad al-Anwar, Ibn Qayyim Berbicara tentang Tuhan,
Jakarta: Mustaqim, 2001. Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996. Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Taftazani, al-, Abu al-Wafa’ al-Ghanami, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, terj.
Ahmad Rofi’ Utsmani, Bandung: Pustaka, 1995. Ya’qub, Hamzah, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu’min, Jakarta, AV
Atisa, 1992 Zahn, Mustafa, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: PT: Bina Ilmu,1995.
Pedoman Translitrasi
g غ sy ش kh خ a ا
s ص d د b ب f ف
d ض dz ذ t ت Q ق
k ك zh ط R ر ts ث
z ظ z ز J ج L ل
h ح M م ‘ ع s س
n ن y ي h ه w و
â = a panjang
î = i panjang
û = u panjang
aw = وا
uw = وا
ay = ي ا
iy = ي ا