Download - Tug as Logbook 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era globalisasi, manusia semakin terekspos dengan keberagaman kehidupan
social. Terpaan hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya tidak terbatas hanya pada
mereka yang memiliki latar belakangbudaya yang sam, melainkan juga mereka yang berasal
dari lingkup budaya berbeda. Globalisasi yang didukung oleh perkembangan teknoligi
informasi menuntut manusia selaku makhluk social untuk mampu berinteraksi dengan
pemikiran yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Kemajuan internet maupun peralatan
teknologi yang kian canggih menjadikan batas antara negara atau budaya satu dengan yang
lainnya tidak jelas (dunia tanpa batas). Hal ini kiranya tidak dijadikan sebagai hambatan
ataupun ancaman dalam proses interaksi antar personal. Globalisasi justru merupakan
tantangan dimana manusia harus bisa mengembangkan dirinya melalui adaptasi sosial yang
bervariasi tanpa harus kehilangan teoriti budaya dan identitas masing-masing.
Bangsa Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam budaya, suku, ras, dan salah satunya
adalah agama. Keanekaragaman agama yang merupakan bagian dari karakter negara
multikulturalis / pluralis ini pada dasarnya memiliki suatu tujuan yang sama. Tujuan tersebut
antara lain adalah untuk hidup damai dan rukun dengan mencapai toleransi yang positif.
Namun demikian, menemukan persamaan antar agama ternyata lebih sulit daripada
mendeteksi perbedaannya. Hal ini semakin nyata ketika memasuki era globalisasi yang
merobohkan isolasi-isolasi dari tantangan-tantangan dunia luar. Kalaupun dahulu mungkin
kehidupan beragama relative lebih tentram karena terisolasi, tidaklah demikian dengan zaman
globalisasi ini. Semakin mudahnya interaksi antar manusia di era globalisasi memunculkan
tantangan tersendiri bagi umat beragama untuk menghadapi insan-insan beragama lain.
Agama merupakan suatu anugerah dari Tuhan, diperuntukkan bagi kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia. Pluralitas kehidupan keberagamaan adalah sebuah kenyataan
yang harus disadari untuk saling melengkapi dan memperkaya pengalaman kehidupan,
membangun kasih sayang, persaudaraan, dan penghargaan sesame (bukan justru sebagai
musibah atau malapetaka).
Semua agama tidak hanya didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul
dengan agama lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna
kehadiran agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu.
Mengembangkan pluralisme agama melalui dialog adalah mengusahakan bagaimana seharusnya
setiap agama mengatasi kebenaran mutlaknya, saat berjumpa dengan agama- agama lain serta
mencari titik temu sehingga kehadiran agama-agama bukan sebagai sumber masalah (problem
maker), tetapi sebagai pemberi solusi atas masalah-masalah sosial (problem solver) dan sejauh
mana agama memberi ruang secara partikularitas atau keunikan dari masing-masing agama.
Sehingga keunikan tersebut tetap dapat dipertahankan dan dapat dikomunikasikan; bukan untuk
diperbandingkan dan bukan berarti juga mencampuradukkan. Sehingga tercipta keterbukaan,
perdamaian, dan toleransi yang positif.
Dalam toleransi yang positif, kita menerima prinsip saling menghormati dan memahami
perbedaan antara agama-agama yang ada di dalam negara. Namun bukan berarti semua agama
dianggap sama karena masyarakat Indonesia dan individu-individu menolak kompromi teologis
atau aqidah.
Dalam rangka mencapai kerukunan dan kedamaian hidup antar umat beragama yang dikenal
dengan sebutan interfaith dialog. Interfaith dialog merupakan salah satu cara untuk mengurangi
kesalahpahaman yang kerap terjadi menyangkut keyakinan agama. Interfaith dialog menekankan
usaha komunikasi antara umat beragama karena dipercaya komunikasi yang baik akan
menumbuhkan sikap saling memahami, menghargai dan menghormati serta toleransi antara yang
satu dengan yang lainnya.
Dialog adalah satu pilihan yang logis dan etis, adanya dialog memungkinkan terjadinya saling
melengkapi antara pendapat yang berbeda. Dialog berasal dari bahasa Yunani “dialogos”.
Artinya bicara antara dua pihak atau dwicara. Lawannya adalah monolog yang berarti bicara
sendiri. Arti sesungguhnya adalah percakapan antara dua orang atau lebih dalam mana diadakan
pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Dialog yang semacam itu membutuhkan
suatu sikap yang terbuka, bersifat hormat-menghormati, sikap yang melepaskan segala prasangka
mengenai agama lain, sikap mencari yang baik dari agama lain. sikap itu dapay dinamakan sikap
dialogis.
Tidak bisa dipungkiri, akibat faktor-faktor sejarah dan moral yang begitu komplek antara agama-
agama, budaya, bangsa, dan peradaban dan kemampuan untuk menerima perbedaan dan
kemauan untuk mencari titik temu adalah suatu yang sulit.
B. Definisi Operasional Judul
1 . Pengertian Interfaith Dialog (variabel independen)
Secara etimologis, dialog berasal dari bahasa yunani διά (dia, jalan batu / cara) dan λόγος (logos,
kata), sehingga dapat diartikan sebagai ‘cara manusia dalam mengunakan kata’ sehingga dialog
dapat diartikan sebagai percakapan timbal balik antara dua orang atau lebih.
Secara umum, dialog diartikan sebagai komunikasi yang mendalam, memiliki tingkat dan
kualitas yang tinggi sekaligus mencakup kemampuan untuk mendengarkan serta saling berbagi
pandangan.
Interfaith adalah jarak di sela-sela dua kepercayaan atau lebih. Di tengah dua agama.
Interfaith dialog adalah suatu interaksi antar umat beragama yang kooperatif dan positif antar
individu atau kelompok yang berbeda agama, dan kepercayaan dengan tujuan untuk membangun
dasar kesepahaman dalam setiap kepercayaan, nilai, dan komitmen terhadap dunia yang dapat
membangun hubungan yang harmonis antar agama.
2 . Pengertian kekerasan (variabel dependen)
Kekerasan (bahasa Inggris: Violence pengucapan bahasa Inggris: [/vaɪ(ə)ləns/] berasal dari
(bahasa Latin: violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti kekuasaan atau berkuasa)
adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah
ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada
tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan
oleh perorangan atau sekelompok orang, umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila
diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan
keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam
rumusan kekerasan ini
Akar Kekerasan: Kekayaan tanpa bekerja, Kesenangan tanpa hati nurani, Pengetahuan tanpa
karakter, Perdagangan tanpa moralitas, Ilmu tanpa kemanusiaan, Ibadah tanpa pengorbanan,
Politik tanpa prinsip.
C. Kerangka Berpikir
sssInInIn
A.
B.
D. Rumusan Masalah dan Hipotesis
Rumusan Masalah : Bagaimana menerapkan dialog Budha – Katholik di Los Angeles untuk
memecahkan masalah kekerasan dalam kehidupan beragama di Indonesia ?
MeMmbangun Kerukunan Hidup Beragama
Instrumen
Variabel Independen
Interfaith Dialog (Dialog antar agama)
Masalah
Variabel Dependen
Kekerasan agama di Indonesia
Indikator:
1. Tindakan sewenang-wenang terhadap
penganut agama tertentu
2. Penindasan terhadap kaum minoritas
3. Tidak adanya pemahaman akan
nilai/ajaran moral dasar dari setiap
agama
Indikator:
1. Interaksi umat beragama yang
positif
2. Membangun hubungan
harmonis antar agama
3. Pemahaman nilai-nilai dalam
setiap agama
Hipotesis
- Ha : Bila Interfaith Dialog dilaksanakan dengan baik, maka dapat mengatasi kekerasan
agama di Indonesia
- H0 : Meskipun interfaith dialog dilaksanakan sebaik-baiknya, tidak dapat menyelesaikan
masalah kekerasan agama di Indonesia
BAB II
REFLEKSI DAN ANALISIS KONDISI
A. Refleksi Kondisi
1. Berdasar Literatur
a. Berkait variabel independen (interfaith dialog) 1) Indikator I (Interaksi umat bergama yang positif)
-Kondisi kehidupan bergamaLiteratur PokokDialog antara Buddha dan Katholik di Los Angeles dimulai pada tahun 1989 di
mana dialog antar agama ini adalah dialog yang pertama kali dilakukan untuk
meningkatkan kesabaran antar umat beragama dan mengenal agama Buddha dan
Katholik secara lebih baik lagi.
Literatur PengembanganBanyak terjadi dialog dan interaksi antara umat Buddha dengan pemeluk agama
lainnya. Mereka saling menghargai. Pada suatu pertemuan yang dilaksanakan di
Assisi, Italia dimana Sri Paus mengundang semua pemimpin-pemimpin agama di
dunia. Pemimpin-pemimpin agama yang lain juga menunjukkan penghargaan
yang tertinggi terhadap Buddhisme.
2) Indikator 2 ( Membangun hubungan harmonis antar agama)-Kondisi kehidupan beragama
Literatur Pokok
Apa yang menyatukan kita lebih besar daripada apa yang memisahkan kita.
Dengan prinsip ini, dialog antar agama dapat berjalan dengan baik dan dapat
mempersatukan seluruh perbedaan antar penganut agama.
Literatur PengembanganMenghindarkan diri dari sikap stereotip dan menghakimi agama lain untuk
menjaga hubungan yang baik antar umat beragama.
3) Indikator 3 ( Pemahaman nilai setiap agama)
-Kondisi kehidupan beragama
Literatur Pokok
Di dalam literatur disebutkan terkadang kaum Buddhis yang memiliki kedudukan
tinggi di dalam suatu komunitas Buddhis justru melupakan prinsip interfaith
dialogue tersebut sehingga mereka salah dalam menggambarkan posisi Buddhis
dengan membuatnya lebih sesuai dengan kepercayaan lain dibandingkan dengan
yang sebenarnya terjadi. Ini terjadi karena mereka sibuk mencari persamaan yang
ada dengan agama lain dan kurang jujur dalam mengakui adanya perbedaan yang
ada. Sehingga interfaith dialogue tersebut tidak terlaksanakan dengan baik.
Literatur Pengembangan
Tata cara agama memang berbeda namun tujuannya adalah sama yaitu
mengajarkan nilai moral baik bagi penganutnya.Setiap penganut agama harus
mengintrospeksi nilai-nilai yang diajarkan masing-masing agama dan
merenungkannya agar tercapai pemahaman sesungguhnya.
4)Prinsip-prinsip interfaith dialog :
1. Dialog agama tidak langsung terjadi begitu saja melainkan melalui pengalaman-
pengalaman terdahulu
2. Dasar dari dialog agama dilakukan adalah untuk pertumbuhan akan kesatuan
dalam tingkat yang sama
3. Apa yang menyatukan kita lebih besar daripada apa yang memisahkan kita
b. Berkait dengan variabel dependen (Kekerasan dalam agama)
1) Indikator 1 ( Tindakan sewenang-wenang terhadap penganut agama tertentu)
-Kondisi kehidupan bergama
Literatur Pokok
Pengeboman gereja semakin marak terjadi dan menjadi topik utama di halaman
depan surat kabar. Hal ini sangat memprihatinkan dan menjadi fokus utama para
pemerintah Amerika Serikat di Gedung Putih. Ketidakadilan sosial semakin
meluas yang akhirnya berujung pada kekerasan.
Literatur Pengembangan
Kekerasan terhadap penganut agama semakin marak. Begitu banyak kekerasan
yang terjadi seperti perusakan tempat ibadah. Salah satu yang terjadi adalah
perusakan pura Hindu di Sragen. Pembakaran tempat tinggal penduduk juga
terjadi antara Kaum Sunni dan Syiah yang disebabkan perbedaan aliran dalam
Islam.
2) Indikator 2 ( Penindasan terhadap kaum Minoritas)
-Kondisi kehidupan beragama
Literatur Pokok
Lingkungan sosial yang semakin plural menuntut lebih dari sekedar toleransi saja,
melainkan harus mewujudkan suatu harmonisasi yang benar-benar sejati seiring
dengan semakin meningkatnya penindasan terhadap kaum minoritas di dunia,
yang bahkan terjadi di negara kita sendiri. Ketidakadilan sosial semakin meluas
yang akhirnya berujung pada kekerasan.
Literatur Pengembangan
Rogers, seorang ketua Christian Solidarity Worldwide Asia Timur mengatakan
“Indonesia, negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, telah “dijadikan sebagai
model “pluralisme agama dan demokrasi, khususnya di dunia Muslim, jelasnya.
Namun, “pluralisme itu semakin terancam oleh ekstremisme radikal dan
intoleransi agama.”
3) Indikator 3 (Tidak adanya pemahaman nilai/ ajaran moral dari setiap agama)
Baik dalam literatur pokok maupun literatur pengembangan menunjukan bahwa
pengertian banyak orang yang menganggap jika ia melakukan dialog antar
agama berarti sama saja dengan mengorbankan kepercayaannya sendiri. Sama
halnya dengan anggapan bahwa mengucapkan selamat pada saat perayaan hari
raya agama lain sama saja dengan mengorbankan kepercayaannya.
4) Rumusan Masalah Pokok
Persepsi yang salah mengenai dialog agama menyebabkan sulit tercapainya toleransi
positif agama yang pada akhirnya memicu kekerasan mengatas namakan agama.
2. Berdasar Hasil Peninjauan Lapangan
Diagram batang hasil penilitian terhadap 10 responden pada lembaga keagamaan:
a. Kristen
b. Katolik
3. Berdasar Nilai/ajaran agama
Teks ayat dari masing-masing 5 agama:
a. Berkait Variabel Independen ( Interfaith Dialog)
1) Kristen
Galatia 5 (22-23)
“Tetapi buah Roh ialah : kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran,
kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal
itu.”
2) Katolik
Roma 12 : 10
“Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului
dalam member hormat”
3) Islam
Ayat :QS Al Baqarah (2) ayat 256
“Serulah (manusia) kepadajalanTuhanmudenganhikmahdanpengajaran yang
baik,danbedebatlahdenganmerekadengancara yang baik.
SesungguhnyaTuhanmu, Dialah yang lebihmengetahuisiapa yang sesatdarijalan-
NyadanDialah yang lebihmengetahuisiapa yang mendapatpetunjuk.”
4) Budha
Kitab Suci Dhammapada Bab I ( Yamaka Vagga ) ayat 2
“Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran
adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran baik,
maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak pernah
meninggalkan bendanya.”
5) Hindu
b. Berkait Variabel Dependen (Kekerasan)
1) Kristen
Lukas 10 :27“ Jawab orang itu : “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesama manusia seperti dirimu
sendiri”.
2) Katolik
1 Petrus 3:9“dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan
caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah
kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat”
3) Islam
Ayat : QS Al Mumtahanah (60) ayat 9
“Sesungguhnya Allah hanyamelarangkamumenjadikanmerekasebagaikawanmu
orang-orang yang memerangikamudalamurusan agama
danmengusirkamudarikampunghalamanmudanmembantu (orang lain)
untukmengusirmu. Barangsiapamenjadikanmerekasebagaikawan, merekaitulah
orang zalim”
4) Budha
Kitab Suci Dhammapada Bab X ( Danda Vagga ) ayat 3
“Barangsiapa mencari kebahagiaan dari dirinya sendiri dengan jalan
menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah
mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan.”
5) Hindu
B. Analisis Kondisi
1. Berdasarkan Literatur
a. Literatur Pokok
Permasalahan utama yang disampaikan dalam literature pokok adalah keyakinan
dari para penganut agama lain bahwa dengan berpartisipasi dalam suatu dialog
antar agama sama berarti mengorbankan keyakinan mereka sendiri.
Permasalahan ini akan menghambat terciptanya harmonisasi yang baik antar agama
jika masing-masing penganut agama tidak dapat mengubah persepsinya menegenai
interfaith dialog. Hal ini sangat memprihatinkan padahal Holy Father pun
mengajarkan sesuatu mengenai dasar dalan suatu dialog lintas agama yaitu tujuan dari
suatu dialog antar agama adalah untuk membangun suatu pertumbuhan kesatuan pada
tingkat yang sama.
Persepsi yang salah inilah yang menimbulkan keributan di antara penganut agama di
mana masing-masing penganut agama meributkan apa yang menjadi persamaan
mereka namun tidak pernah untuk mencoba lihat bahwa perbedaan dalam agama
adalah hal yang mutlak yang tidak dapat dipungkiri. Keributan ini pada akhirnya akan
memunculkan perasaan sakit hati antar pemeluk agama di mana terkadang seorang
pemeluk agama lain memberikan pandangan objektif terhadap suatu agama namun
pada akhirnya justru menyudutkan agama tersebut dan menganggap agamanya sendiri
yang paling baik. Perlu disadari bahwa dialog yang murni adalah dialog yang saling
mengembangkan rasa hormat satu sama lain dan menganggap bahwa setiap penganut
agama memiliki hak yang sama untuk memeluk agamanya.
Kurang kesadaran dari agama lain juga ikut berpengaruh mengapa dialog antar agama
belum dapat menyelesaikan semua permasalahan yang ada. Terkadang agama lain
non Buddhis contohnya memberikan pandangan mengenai Buddhism, namun
memberikan komentar yang justru meninggalkan rasa sakit hati bagi penganut agama
Buddha itu sendiri.
Hambatan potensial lain adalah tertulis dalam buku WCC , Guidelines on Dialogue ,
penulis menyatakan bahwa " mudah untuk membahas agama dan bahkan ideologi
seolah-olah mereka ada di beberapa wilayah tenang cukup terpisah dari divisi
tajam , konflik dan penderitaan umat manusia . " Semua umat Buddha akan setuju
dengan penulis ketika ia menunjukkan bahwa " [ r ] eligions (agama) dan ideologi
sering menyebabkan gangguan masyarakat dan penderitaan mereka yang kehidupan
masyarakat yang rusak . " Perbedaan agama sering paling berakar dan merusak
semua.
Begitu banyaknya masalah yang menimpa masyarakat kita pada akhir abad ini
diartikulasikan dalam forum politik --- lingkungan , proliferasi nuklir , terorisme
internasional , hak asasi manusia , kekerasan perkotaan , keadilan sosial , dan
sejenisnya.
Hal yang perlu kita perhatikan adalah intoleransi agama dan penganiayaan. Kedua hal
ini tidaklah menghilang tapi justru semakin meningkat dan bahkan terjadi di negara
kita sendiri. Seperti yang tertera di literatur bahwa belakangan terjadi pengeboman
gereja yang terjadi. Hal ini sangatlah menyedihkan dan inilah menjadi salah satu alas
an mengapa dialog antar agama harus terus dilakukan.
Di lingkungan sosial yang semakin plural, toleransi saja tidaklah cukup untuk
mengatasi setiap masalah yang muncul atas nama perbedaan agama. Setiap agama
harus memiliki semangat untuk menjawab tantangan ini di mana secara bersama-
sama mengembangkan hal yang lebih dari sekedar toleransi yaitu mengasihi
tetangga kita sendiri, orang lain, penganut agama lain sebagaimana mengasihi
diri kita sendiri.
Seperti yang disebutkan dalam Dhammapada yang diajarkan Buddha kepada
penganutnya yaitu “Conquer anger by love, conquer evil by good, conquer avarice by
giving, conquer the liar by the truth” yang artinya taklukkan kemarahan dengan
kasih, taklukkan kejahatan dengan kebaikan, taklukkan ketamakan dengan
memberi, taklukkan pembohong dengan kebenaran.
Dengan menanamkan ajaran ini, setiap konflik yang terjadi karena perbedaan agama
tidaklah harus diselesaikan dengan kekerasan yang berujung penderitaan bagi semua,
melainkan dengan kasih dan kesabaran seperti yang menjadi tujuan dari dialog agama
Buddha-Katolik di Los Angeles tahun 1989.
b. Literatur Pengembangan
Agama merupakan konteks penting dalam kehidupan manusia. Namun seriring
dengan kenyataan yang ada, wajah agama tercoreng karena tindakan radikalisme
agama yang menjadi pemicu konflik antar umat beragama. Agama yang seharusnya
untuk menuntun kehidupan kita justru malah menjadi ketakutan terbesar bagi antar
penganut agama, khususnya kaum minoritas.
Munculnya radikalisme (agama) ditandai oleh tiga kecenderungan umum, yaitu:
Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang
berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau
bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide,
lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan keadaan yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus
berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam
radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (worldview)
tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut
sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada.
Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran
program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum
radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap
emosional yang menjurus pada kekerasan.
Penjelasan tentang sumber dan faktor penyebab timbulnya kekerasan dan
radikalisme agama tersebut di atas sedikit banyak pembenarannya akan segera
tampak di permukaan tatkala terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme
di mana-mana. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul
dalam bentuknya yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia
misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia
Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu juga di Tanah Air
terjadi konflik antaragama di Poso, di Ambon, dan lain-lain. Kesemuanya ini
memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering kali menjadi pendorong
terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian.
Berkembangnya radikalisme agama di Indonesia, sebenarnya bukan hanya satu
kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, juga dapat menjadi ancaman
bagi masa depan bangsa yang mendambakan keamanan dan kedamaian. Tindakan
radikalisme itu dilakukan bertujuan sebagai membela agama tetapi justru telah
mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pembawa damai dan kemanusiaan. Orang-
orang radikal kurang begitu menyadari bahwa memperjuangkan keadilan dan
kebenaran dalam agama tidak dapat dibenarkan kalau menggunakan media
kekerasan.
Persoalan-persoalan ini harus menjadi alasan untuk terus mengembangkan dan
mendorong usaha-usaha dialog antaragama demi menciptakan Indonesia sebagai
rumah bersama yang damai, adil dan setara. Dialog antaragama harus diimbangi
dengan kerja-kerja konkrit di bidang kemanusiaan lintas agama yang menunjang
kultur kehidupan.
Menanggapi tindakan agama yang radikal ini menjadi salah satu kunci penting
mengapa dialog antar agama sangat diperlukan untuk membahas masalah ini dan
mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Perlu diingat bahwa dialog agama
adalah dialog kehidupan.
Dialog antaragama lebih mudah dijalankan jika bertolak dari kerja-kerja
kemanusiaan lintas agama tersebut. Dialog, sesungguhnya adalah baik. Terutama
untuk menghilangkan kesalahpahaman. Namun, jika dialog dibumbui dengan
praktik sinkritisme (ikut ritual agama lain), tidaklah membawa manfaat apa-apa
untuk toleransi. Kecuali hanya akan melahirkan pemahaman relativisme
berkeyakinan.
Dialog kehidupan beragama tidak pertama-tama berpangkal dari dogma, tetapi
berangkat dari praksis kehidupan bersama. Dogma adalah ranah privat masing-
masing agama. Sementara kehidupan beragama adalah ranah publik, di sana
terjadi perjumpaan dengan penganut agama lain. Dialog kehidupan beragama
tidak sama dengan diskusi tentang kesamaan dan perbedaan agama tetapi usaha
untuk mengerti, memahami dan menerima lawan dialog kita sebagai pribadi utuh
dengan segala aspek historis, psikologis, sosiologis, spiritualitas dan iman
kepercayaannya.
Dengan kata lain dialog kehidupan beragama adalah dialog antara dua penganut
agama yang saling mengekspresikan iman mereka. Untuk itu butuh iman yang
mendalam.