Download - Tugas 1 Pk Kahar Naim Sumantoro
SUMBANGAN KONSEP DAN TEORI-TEORI ILMU SOSIAL LAIN
BAGI PENDIDIKAN POLITIK
Oleh:
Naim SumantoroNPM. 145710115
Kelas Raden Saleh
Dosen Pengampu:
Dr.Kahar Yoes, M.Si.
0
TUGAS
MAKALAH
DASAR DAN TEORI PENDIDIKAN POLITIK
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP ARRAHMANIYAH DEPOK
PROGRAM STUDI S2 PPKn
SUMBANGAN KONSEP DAN TEORI-TEORI ILMU SOSIAL LAIN BAGI
PENDIDIKAN POLITIK
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan suatu masyarakat atau komuniti, seorang individu
akan berhubungan dengan individu lain yang juga anggota masyarakat atau
komuniti yang bersangkutan, dan hubungan tersebut tidak hanya dalam satu
arena tertentu saja akan tetapi sangat berkaitan dengan kebutuhan dari
manusia itu sendiri. Kebutuhan-kebutuhan manusia dalam rangka
kehidupannya terwujud dalam bentuk-bentuk mata pencaharian, kesenian,
bahasa dan struktur kemasyarakatan, kekerabatan, teknologi dan agama.
Wujud pelaksanaan kebutuhan tersebut merupakan elemen dalam kebudayaan
manusia, oleh karena itu masing-masing elemen tersebut memunculkan
suasana-suasana tertentu yang sesuai dengan aktivitasnya.
Dengan dasar suasana dan arena yang manusia tersebut harus terlibat,
maka otomatis, seorang individu sebagai anggota suatu masyarakat akan
mempunyai banyak status berkaitan dengan suasana dan elemen budaya yang
ada. Kumpulan hak dan kewajiban atau status yang dipunyai oleh manusia
tersebut pada dasarnya dapat terbagi dalam dua bagian besar yaitu perolehan
(ascribed) dan pencapaian (achieved). Sebagai status perolehan, manusia tidak
akan dapat merubahnya karena sudah secara kodrati diterima. Status perolehan
ini akan diwujudkan oleh individu yang menyandangnya, seperti laki-laki dan
perempuan, anak si Hasan, bapak si Togob, ibu si Sudin, pemuda atau pemudi
berusia 25 tahun, orang tua, anak-anak dan seterusnya. Individu yang
menyandangnya tidak akan dapat merubahnya, dan ini akan diwujudkan
dalam bentuk nyata sebagai peran-peran sesuai dengan status yang
disandangnya.
Di pihak lain, status pencapaian adalah kumpulan hak dan kewajiban
yang disandang seseorang ketika orang tersebut berada pada status tertentu
yang diperolehnya sehingga orang tersebut akan merubah tindakan dan
1
tingkah lakunya dengan dasar status yang disandangnya, seperti seorang
pemain badminton di sebuah kampung, dan karena seringnya dia berlatih
kemudian mengikuti pertandingan tingkat nasional dan menjadi juara
badminton tingkat nasional maka statusnya menjadi berubah, dari seorang
pemain badminton tingkat dusun menjadi seorang juara badminton nasional.
Sehingga otomatis tingkah laku dan tindakannya akan mengikuti hak dan
kewajiban yang baru disandangnya.
Pemetaan sosial pada dasarnya adalah usaha untuk menggambarkan,
mendeskripsikan mengidentifikasikan norma-norma, moral, nilai dan aturan
yang digunakan oleh manusia sebagai anggota masyarakat untuk mengatur
hubungan interaksi yang terjadi di dalamnya. Norma, moral, nilai dan aturan
yang terwujud dalam konteks masyarakat biasanya berupa pranata-pranata
yang berlaku dalam masyarakat dan bersumber dari kebudayaan yang dipakai
oleh masyarakat yang bersangkutan, sehingga bersifat abstrak. Usaha
melakukan pemetaan sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara atau metode
penjaringan data atas gejala yang tampak, yaitu bisa dengan cara kuantitatif
atau juga dengan kualitatif. Tetapi agar supaya gejala sosial yang diidentifikasi
tersebut dapat tergambar dengan jelas dan berkaitan dengan kebudayaan yang
dipegang oleh masyarakat yang bersangkutan, maka akan lebih baik lagi
menggunakan metode kualitatif yang berisi tentang kualitas dari data yang
diperoleh. Walaupun demikian, data-data sekunder tetap diperlukan untuk
melihat perkembangan secara historis keadaan kenyataan yang terdeteksi dan
pengalaman dari masyarakat dalam menghadapi keadaan-keadaan nyata yang
pernah dialaminya. Kejadian-kejadian nyata yang dialami oleh anggota
masyarakat biasanya tercatat dalam buku catatan yang bersifat permanen dan
berisi tentang data-data empiris pada masanya. Catatan-catatan ini biasanya
berkenaan dengan jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pola migrasi,
angka kematian dan kelahiran serta kepemilikan yang ada pada masyarakat.
Kedua data ini yaitu kualitatif dan kuantitatif menjadikan penggambaran
kehidupan masyarakat dapat bersifat menyeluruh atau holistik. Yaitu
menggambarkan secara keseluruhan aspek dari keadaan masyarakat dari setiap
2
pranata yang ada di dalamnya. Selain penggambaran keadaan masyarakat
secara keseluruhan baik secara diakronis atau historis juga tergambar secara
sinkronis atau fungsional hubungan antar pranata yang berlaku di dalamnya
yang berisi tentang kebiasaan-kebiasaan dari anggota-anggota masyarakat
dalam mewujudkan status dan perannya dalam setiap pranata yang berlaku.
Pemetaan sosial secara mendalam sering dilakukan oleh para peneliti
sosial khususnya antropologi dalam menggambarkan kehidupan secara
menyeluruh suatu masyarakat sukubangsa dengan mengorbankan waktu
bertahun-tahun untuk tinggal bersama masyarakat yang ditelitinya. Usaha
yang dilakukan oleh para antropolog tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
data etnografi.
Ilmu politik berhubungan dengan ilmu pengetahuan lainnya, seperti
sosiologi, antropologi dan ilmu–ilmu sosial lainnya, karena ilmu sosial
mempunyai obyek penelitian yang sama, yaitu manusia sebagai anggota
kelompok.
B. Pembahasan1. Konsep Ilmu Sosial
Kita tidak dapat membayangkan jika kehidupan manusia tidak berada
dalam masyarakat (sosial). Karena manusia adalah makhluk sosial, mereka
tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia membutuhkan
orang lain untuk bisa bertahan hidup (survive). Kesaling ketergantungan
itu akan menjadikan suatu kerja sama yang bersifat tetap dan menghasilkan
bentuk masyarakat tertentu.
Secara keilmuan, terdapat banyak teori tentang masyarakat maupun
sosial. Sebelum lahirnya teori-teori sosial raksasa, seperti Thomas Hobbes
(yang dikenal dengan teori individualisme instrumental dengan
diktumnya homo homini lupus), Adam Smith yang dikenal teori sistem
sosial dengan invisible hand-nya tentang system yang terintegrasi, Karl
Marx yang dikenal dengan teori konflik dan kekuasaan, Durkheim yang
dikenal dengan teori struktur dan fungsi, Max Weber yang dikenal dengan
3
teori tindakan sosial dan birokrasi rasional, serta Alfred Schutz yang
dikenal dengan pendekatan fenomenologisnya(Campbell, 1994:61-231).
Mereka semua telah memberikan kontribusi yang bermakna dalam
memahami, apa itu manusia dan apa itu masyarakat manusia? Karena
hingga sekarang tidak ada teori sosial yang disetujui bersama.
Istilah sosial (social dalam bahasa Inggris) dalam ilmu sosial
memiliki arti yang berbeda-beda, misalnya istilah sosial dalam sosialisme
dengan istilah Departemen Sosial, jelas keduanya mailiki arti yang sangat
jauh berbeda. Menurut Soekanto (1993: 464) istilah sosial pun berkenaan
dengan perilaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan proses-proses
sosial.
Secara keilmuan, masyarakat yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu
sosial, dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari berbagai segi. Dilihat
dari segi ekonomi, akan membahas tentang usaha-usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan materialnya dari bahan-bahan yang terbatas
ketersediaannya. Sedangkan dari segi politik, berhubungan dengan
penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Berbeda dengan psikologi
sosial, yang pada hakikatnya mempelajari perilaku manusia sebagai
individu secara sosial. Selain itu terdapat antropologi budaya yang lebih
menekankan pada masyarakat dan kebudayaannya, dan begitu seterusnya
untuk ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti geografi sosial, sejarah, maupun
sosiologi.
Istilah ilmu sosial tidak begitu saja dapat diterima di tengah-tengah
kalangan akademisi. Sciences Sociale dan Sizialwissenschaften adalah
istilah-istilah yang lebih mengena, meski keduanya juga membuat
“menderita” karena diinterpretasikan terlalu luas maupun terlalu sempit
(Dahrendorf, 2000: 1000). Ironisnya, ilmu sosial yang dimaksud sering
hanya untuk mendefinisikan sosiologi, atau hanya teori sosial sintetis.
Berjalannya waktu tidak banyak membantu dalam mengusahakan
diterimanya konsep itu. Ilmu-ilmu sosial tumbuh dari dari filsafat moral. Di
kalangan filsuf moral Skotlandia, kajian ekonomi politik selalu diikuti oleh
4
kajian isu-isu sosial yang lebih luas, meski tidak disebut sebagai ilmu
sosial. Comte menyebutnya science social, dari Charles Fourier (1808),
untuk mendeskripsikan keunggulan disiplin sintetis dari bangunan ilmu.
Sedikitpun ia tidak ragu bahwa metode ilmu sosial sama sekali tidak
berbeda dengan ilmu-ilmu alam.
Pandangan beberapa ahli tentang ilmu-ilmu sosial, tidak sepesimis
Ralf Dahrendorf, namun ia pun tetap kritis terhadap pandangan-pandangan
yang menyeret ilmu sosial. Untuk ilmu kealaman (sains) yang kemudian
sering didefinisikan sebagai pencarian hukum-hukum mengenai alam yang
tetap benar, mengatasi segala ruang dan waktu (Wallerstein, 1997: 4).
Sedangkan untuk ilmu-ilmu sosial, Wallerstein lebih menekankan pada
suatu perilaku sosial yang menekankan jauh melebihi kearifan secara turun-
temurun dan merupakan hasil deduksi dari padatnya pengalaman hidup
manusia sepanjang zaman.
2. Teori Ilmu Sosial1. Teori Interaksi simbolis (Menurut Noeng Muhadjirin dalan Tjipto .2009:
81)
Konsep interaksi simbolik bertolak pada tujuh posisi dasar, yaitu:
a. Bahwa perilaku manusia itu mempunyai .makna dibalik yang
menggejala, sehingga diperlukan metoda untuk mengungkapkan
perilaku yang terselubung.
b. Pemaknaan kemanusiaan manusia perlu dicari sumbernya pada
interaksi sosial manusia. Manusia membangun lingkungannya,
manusia membangun dunianya, dan kesemuanya dibangn berdasrkan
simpati, dengan bentuk tertinggi mencintai sesama manusia dan
mencintai Tuhan.
c. Bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang
holistik, tidak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga.
d. Perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran fenomenologik,
yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan tujuan, bukan di
5
tujukan atas proses mekamik atau otomatik, perilaku manusia
bertujuan dan tidak terduga.
e. Konsep mental manusia itu berkembang dialektik, mengakui adanya
tesis, antithesis, dan sintesis, sifatnya idealitik bukan materialistik.
f. Perilaku manusia itu wajar, dan konstruktif kreatif, bukan elementer
reaktif.
g. Perlu di gunakan metoda instrospeksi simpatetik, menekankan
pendekatan intuitif untuk menangkap makna (Muhadjir, dalam Tjipto
2009: 82).
2. Teori Etnografi (Menurut Bogdan Dan Bilken Dalam Tjipto .2009: 83)
a. dijelaskan bahwa kerangka kerja yang digunakan dalam
melaksanakan studi antropologi adalah konsep tentang kebudayaan
(the concept of culture). Usaha untuk mendiskripsikan budaya atau
aspek budaya disebut (ethnography). Budaya merupakan pengetahuan
yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menginterpretasikan
pengalaman yang menghassilkan sesuatu (Spradly dalam Tjipto,
2009: 83).
b. Beberapa antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai
“Pengetahuan perolehan yang digunakan orang untuk menafsirkan
pengalaman dan membuahkan tingkahlaku” (Spradly dalam Tjipto,
2009: 83).
c. Peneliti Etnografi agar dapat mencapai tujuan perlu memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
Peneliti dituntut memiliki pengetahuan dan dedikasi yang tingi,
sebab etnografi diperlukan pengamatan, interaksi dengan
responden, atau anggota komunitas tertentu dalam waktu yang
relative lama.
Etnografi umumnya tidak tertarik dengan generalisasi seperti pada
penelitian psikometrik, tetapi lebih tertarik untuk memotret
kondisi apa adanya.
6
Fokus etnografi adalah situasi nyata dan setting secra alamiah
dimana orang beraktifitas dan berhubungan sosial dengan anggota
masyarakat lainnya.
Etnografi menempatkan pada perlunya koleksi dan interpretasi
data dari hipotesis yang sudah diterapkan.
Etnografi bergerak dari data dalam mencari hipotesis, bukan
hipotesis mencari data.
Dari hipotesis yang dibangun peneliti, etnografi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu Naturalistic Ecological Hypotheses (NEH) dan
Qualitative Phenomenological Hypothesis (QHP). Naturalistic Ecological
Hypothesis menyatakan bahwa konteks duania perilaku terjadi pada subjek
yang diteliti, memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku subjek
tersebut. Sedangakan dalam penelitian Qualitatif Phenomenological
Hypothesis lebih mengkonsentrasikan etnografi dibnding dengan
psikometrik, karena peneliti lebih percaya bahwa perilaku manusia tidak
dapat dimengerti dengan lebih baik tanpa meleburkan diri bersama
(incorporating) kedalam pengamatan persepsi subjek serta system
kepercayaan diri mereks yang terlibat dalam penelitian.
3. Teori diskriptif (William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey,1986)
Menggambarkan apa-apa yang nyata-nyata terjadi dilapangan
(memotret apa adanya). Artinya, semua kegiatan sosial yang terjadi di
lapangan di gambarkan secara nyata. Misalnya seorang bocah membantu
seorang nenek yang tua renta hendak menyeberang jalan. Sehingga apa
yaang terjadi tersebut digambarkan dengan sebenar-benarnya, tanpa
adanya rekayasa.
4. Teori pre-skriptif (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin,
Stephen K.Bailey, 1986)
Menggambarkan perubahan-perubahan untuk melakukan pembaharuan,
koreksi dan perbaikan suatu proses teori dan fenomena tertentu.
7
5. Teori Normatif (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey, 1986)
Pada dasarnya mempersoalkan peranan suatu kebijaksanaan/ perundang-
undangan/ peraturan tertentu.
6. Teori asumtif (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey, 1986)
Lebih memusatkan perhatian pada usaha-usaha untuk memperbaiki suatu
praktek dengan memahami hakekat suatu fenomena yang terjadi dalam
lingkungannya.
7. Teori instrumental (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin,
Stephen K.Bailey, 1986)
Bermaksud untuk melakukan konseptualisasi mengenai cara-cara
memperbaiki suatu teknis sehingga dapat dibuat sebagai sasaran yang
lebih realistik (tools of analysis).
8. Teori hubungan manusia (human relation theory) (Menurut William
L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Menitik beratkan bahwa norma-norma sosial merupakan faktor kunci
dalam menentukan sikap, perilaku dan tindakan seseorang terutama dalam
lingkungan kerja.
9. Teori pengambilan keputusan (decesion making
theory) ( Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey, 1986)
Lebih mengkonsentrasikan diri pada analisa proses pengambilan
keputusan, apakah mempergunakan model statistik, model optimasi,
model informasi, model simulasi, model liniar programming, model
critical path scheduling, model inventory, model site location, ataukah
model resources allocation, dan sebagainya (catatan : pada beberapa
fakultas dan program training sudah merupakan mata pelajaran
tersendiri).
10. Teori perilaku (behavior theory) (Menurut William L.Morrow, Stephen
P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
8
Orientasi yang dikembangkan adalah efesiensi dan sasaran dengan cara
mengintegrasikan komponen-komponen anggota organisasi, struktur dan
prosesnya. Dengan kata lain teori perilaku lebih memahami pentingnya
aspek dan faktor manusia sebagai alat utama untuk mencapai tujuan
organisasi ( catatan : teori perilaku ini juga sudah merupakan mata kuliah
tersendiri sebagai mata kuliah perilaku organisasi).
11. Teori sistem (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen
K.Bailey, 1986)
Merupakan suatu cara pendekatan yang memandang bahwa setiap
fenomena mempunyai berbagai komponen yang saling berinteraksi satu
sama lain agar dapat bertahan hidup (survival). Dalam sistem memiliki
beberapa unsur sistem antara lain : unsur lingkungan, unsur masukan
(input), unsur pengelola (konversi/throught put), unsur keluaran (out
put/product), unsur efek atau unsur akibat (consequences), dan unsur
umpan balik (feed back)
12. Teori kontingensi (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin,
Stephen K.Bailey, 1986)
Sebagai perkembangan dari teori sistem yang dipersamakan dengan
pendekatan situasional yang mengakui adanya dinamika dan kompleksitas
antar hubungan (interaksi sosial).
13. Teori deskriptif eksplanatori (Menurut William L.Morrow, Stephen
P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Menjelaskan keaneka ragaman isi yang terkandung dalam fenomena
lingkungan nyata (cenderung ke metode content analysis, discourse
analysis, framing analysis).
14. Sosiologi adalah ilmu positip (Menurut August Comte)
Masyarakat. Ia menggunakan kata positip yang artinya empiris. Jadi
sosiologi baginya adalah studi empiris tentang masyarakat. Menurut
August Comte, obyek studi dari sosiologi adalah tentang masyarakat, ada
dua unsure yaitu struktur masyarakat yang disebut statika sosial dan
proses-proses sosial di dalam masyarakat yang disebut dinamika sosial.
9
15. Teori Struktural Fungsional (Konstruksionisme) (Menurut Talcott
Parson)
Teori ini menjelaskan tingkah laku manusia berdasarkan suatu sistem
sosial yang terbentuk oleh jaringan hubungan berbagai fungsi yang ada
dalam suatu masyarakat, yaitu fungsi-fungsi seperti : peran, status,
pendapatan, pekerjaan dll. Hubungan antara fungsi-fungsi sosial tersebut
dianggap sama dengan hubungan antara fungsi-fungsi biologis dalam
suatu organisme.
16. Teori Struktural Historis (Menurut Max Weber)
Dimana tingkah laku manusia seakan-akan ditentukan hanya oleh pranata
ekonomi dengan tekanan khusus, padahal kenyataannya bahwa tingkah
laku manusia berhubungan langsung dengan hubungan produksi yang
melibatkannya.
17. Teori Struktural Historis (Menurut Hegel)
Dengan demikian orang-orang yang mempunyai akses terhadap faktor-
faktor produksi akan mempunyai bentuk tingkah laku yang berbeda dari
mereka yang tidak memiliki akses tersebut.
18. Teori Struktural Historis (Menurut Karl Marx)
Relasi produksi tersebut menimbulkan klas-klas sosial dalam masyarakat,
dan tingkah laku sosial sebetulnya tidak lebih dari masalah yang muncul
dari pertarungan antar kelas.
19. Teori Struktural A-Historis (Menurut Levi Strauss)
Teori ini beranggapan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh
beberapa struktur apriori yang asal-usulnya tidak dapat dijelaskan oleh
perkembangan sejarah, bahkan sebaliknya sejarah dibentuk oleh watak
struktur-struktur tersebut.
20. Teori Fenomenologi (Menurut Muhadjir, Dalam Tjipto 2009: 68)
Pendekatan fenomenologi mengakuai adanya kebenaran empiric etik yang
memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelasskan serta
berargumentasi. Akal budi ini mengandung makna bahwa kita perlu
menggunakan criteria lebih tinggi lagi dari sekedar true or false.
10
3. Sumbangan Ilmu Sosial Lain Bagi Pendidikan Politik
Politik sangat berhubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial lainnya karena
ilmu politik mempelajari gejala-gejala sosial lainnya yang selalu berubah atau
mepelajari manusia sebagai makhluk sosial yang bisa rasional tetapi juga
irasional.
Hubungan ilmu Politik dengan ilmu-ilmu lainnya.
1. Hubungan ilmu Politik dengan ilmu Ekonomi.
Ilmu politik dan Ekonomi sejak dulu sampai sekarang selalu sangat erat
hubungannya. Dalam setiap tindakan politik ada aspek ekonominya,
demikian pula struktur perekonomian suatu masyarakat dapat
mempengaruhi lembaga-lembaga politik yang sudah ada. Pada zaman
Yunani, ilmu politik mengatur kehidupan politik orang-orang Yunani,
sedangkan ekonomi (oikonomos) mengatur kemakmuran material dari
warga negara Yunani. Pada abad 17, Montchretien de Watteville
memperkenalkan istilah “Ekonomi Politik” yang menggambarkan begitu
eratnya ilmu politik dan Ekonomi. Pada akhir PD I di Inggris
dikemukakan ide tentang Negara kesejahteraan (Welfare state) artinya
Negara Mensejahterakan rakyatnya, bukan sekedar “Negara penjaga
malam”.
2. Hubungan ilmu politik dengan ilmu hukum
Setiap masyarakat baik moderen maupun primitive harus berdasarkan
kepada ketertiban. Hukum dibuat, dijalankan dan dipertahankan oleh suatu
kekuasaan. Pada saat ini, kekuasaan itu adalah Negara. Dalam hal ini
sudah nampak hubungan antara ilmu politik dan ilmu hukum, yaitu dalam
peranan Negara sebagai pembentuk hukum dan dalam objek ilmu hukum
itu sendiri yaitu hukum. Ilmu politik juga menyelidiki hukum tetapi tidak
menitik beratkan pada segi-segi teknis dari hukum, melainkan terutama
menitikberatkan pada hukum sebagai hasil persaingan kekuatan-kekuatan
social, sebagai hasil dari factor-faktor kekuasaan.
11
Hukum juga merupakan salah satu diantara sekian banyak “alat politik”
yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebijakan penguasa dan Negara.
Tidak semua bagian hukum positif mempunyai hubungan yang erat
dengan ilmu poltik, misalnya: hukum public dan hukum Negara adalah
yang paling erat hubungannya, sedang hukum perdata atau hukum dagang
relative kecil hubungannya.
3. Hubungan Ilmu Politik dengan Sosiologi
Menurut Giddings, sarjana-sarjana ilmu politik harus menlengkapi dirinya
dengan pengetahuan dasar sosiologi, karena sosiologi sebagai ilmu
masyarakat dengan hasil-hasil penyelidikannya, menyebabkan ilmu politik
tidak perlu lagi mengadakan penyelidikan yang telah dihasilkan oleh
sosiaologi tersebut. Sosiologi meliputi berbagai cabang pengetahuan
antara lain sosiaologi tentang kejahatan, sosiologi pendidikan, sosiologi
agama, sosiologi politik dan sebagainya.
Terutama sosiologi politik, sangat erat hubungannya dengan ilmu politik,
sebab sosiologi politik bagian dari sosiologi yang menganalisis proses-
proses yang menitik beratkan pada dinamika tingkahlaku politik.
Sebagaimana tingkahlaku itu dipengaruhi oleh berbagai proses spsoal,
seperti kerjasama, persaingan, konflik dsb. Hal-hal tersebut juga dianalisis
oleh ilmu politik.
4. Hubungan Ilmu Politik dengan Psikologi Sosial
Psikologi berasal dari bahasa Yunani “psycos” yang berarti jiwa dan
“logos” yang berarti ilmu, jadi ilmu yang mempelajari tentang jiwa
manusia. Proses pendekatan ilmu politik banyak memakai hukum-hukum
dan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan gejala-gejala politik dan
penyelidikan tentang motif-motif yang menjadi dasar setiap proses politik.
Sarjana psikologi mengembangkan pendapat-pendapat mereka tentang
naluri, emosi, dan kebiasaan individu atau “psyche” seseprang.
Pengetahuan “psyche” seseorang dapat menjelaskan seluruh tingkah laku
dan sikal orang itu. Dalam penyelidikan pendapat umum, propaganda,
12
parpol, masalah kepemimpinan dan revolusi amat banyak dipergunakan
hukum-hukum dan dalil-dalil psikologi itu.
Jika dahulu psikologi agak diabaikan dalam penyelidikan ilmu politik,
dewasa ini keadaan itu berubah. Pengetahuan psikologi diperlukan
dimanapun dan kapanpun diadakan penyelidikan politik secara ilmiah.
Menurut Lasswell, di AS kini ilmu politik sedang mengalami peninjauan
kembali atas metode serta peristilahannya. Peninjauan kembali ini
terutama disebabkan oleh pengalaman dalam pelaksanaan prosedur-
prosedur psikologis dalam penyelidikan ilmu politik. Menurut Lasswell,
psikologi akan memainkan perannya yang lebih besar lagi di masa depan,
karena bertambah intensifnya perjuangan untuk mempertahankan dan
memperoleh kebebasan individu.
5. Hubungan Ilmu Politik dengan Antropologi Budaya.
Antropologi budaya menyelidiki aspek-aspek cultural dari setiap hidup
bersama dimasa lampau dan masa kini. Sebagai ilmu yang mempelajari
kebudayaan masyarakat, maka hasil-hasil penyelidikan antropologi dapat
bermanfaat bagi ilmu politik. Terutama hasil-hasil penyelidikan
kebudayaan dimasa lampau yang meliputi semua aspek cultural
masyarakat, termasuk ide-ide dan lembaga-lembaga politiknya, dapat
dijelaskan kepada sarjana-sarjana ilmu politik menjadi timbul suatu
pertumbuhan dan perkembangan ide-ide dan lembaga-lembaga politik itu
salah satu konsep antropologi budaya yang merupakan penemuan yang
penting adalah “konsep kebudayaan” (culture concept) sebagaimana
dikembangkan oleh Ralph Tipton dan sarjana-sarjana antropologi lainnya.
Konsep ini menyatakan eratnya hubungan antara kebudayaan sesuatu
masyarakat dengan kepribadian individu-individu dari masyarakat itu,
antara kebudayaan dengan lembaga-lembaga dan ide-ide terdapat yang
terdapat dalam masyarakat itu. Kebudayaan memberikan corak dan ragam
pada lembaga-lembaga dan ide-ide dalam masyarakat itu.
13
6. Hubungan Ilmu Politik dengan Sejarah
Sejarah adalah deskriptif kronologis peristiwa dari zaman silam. Sejarah
merupakan penghimpunan kejadian-kejadian konkret di masa lalu. Ilmu
politik tak terbatas pada apa yang terdapat dalam sejarah. Mengetahui
sejarah politik suatu Negara belum memberikan gambaran yang tepat
tentang keadaan politik negera itu di masa lampau dan masa yang akan
datang. Sejarah hanya menvatat apa yang pernah terjadi, sedang ilmu
politik disamping menyelidiki apa yang pernah terjadi, juga apa yang kini
sedang berlangsung dan mengadakan ramalan hari depan suatu
masyarakat, ditinjau dari segi politik.
Politik membutuhkan sejarah dan hamper semua peristiwa histories adalah
peristiwa politik. Ilmu politik memperkaya materinya dengan peristiwa
sejarah, mengadakan perbandigan dari buku-buku sejarah. Sejarah
merupakan gudang data bagi ilmu politik.
8. Hubungan Ilmu Politik dengan Geografi
Segala penyelidikan atas kehidupan manusia tidak akan bermanfaat dan
tidak akan sempurna jika penyelidikan itu tidak meliputi keadaan geografi.
Dengan kata lain kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh letak geografi,
luas wilayah, kekayaan alam, iklim dsb. Misalnya letak geografis
menentukan apakan suatu Negara akan menjadi Negara “land power” atau
“sea power” demikian juga letak suatu Negara akan mempengaruhi dalam
diplomasi dan strategi perang.
Dalam hal ini, terdapat cabang geografi, yaitu geopolitik yang memberikan
penafsiran geografis atas hubungan-hubungan internasional. Geopolitik
berusaha melukiskan hubungan yang erat antara factor-faktor geografis dan
peristiwa-peristiwa politik.
Bagi sarjana-sarjana Jerman seperti Haushofer, kekalahan Jerman dalam
PD I terutama disebabkan oleh apa yang mereka sebut dengan “kekalahan
geografis” peristiwa tersebut menunjukkan betapa eratnya hubungan ilmu
politik dengan geografi.
14
9. Hubungan Ilmu Politik dengan Etika
Etika adalah pengetahuan tentang hal-hal yang baik dan buruk, tentang
keharusan dan hal-hal yang wajib dibiarkan. Hubungan ilmu politik dan
etika dilukiskan sebagai suatu hubungan yang membatasi ilmu politik,
terutama praktek politik. Etika mengatakan apa yang harus dilakukan,
tetapi disamping itu juga menetapkan batas-batas dari apa yang wajib
dibiarkan. Etika memberikan dasar moral kepada politik. Apabila
menhilangkan moral dari politik, maka akan kita dapatkan politik yang
berisfat “Machiavelistis” yaitu politk sebagai alat untuk melakukan segala
sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan. Hanya dengan
jalan menjadikan kesusilaan sebagai dasar politik, dapat diharapkan akan
adanya politik yang mengindahkan aturan-aturan permainan, apa yang
harus dilakukan dan apa yang wajib dibiarkan.
C. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa konsep kita mengenai sosial (masyarakat) pun
mendasar bagi pemahaman diri kita sendiri. Dengan kata-kata Aristoteles,
manusia adalah seekor hewan sosial, yakni bahwa ia tidak bisa hidup terus di
luar sebuah kelompok sosial, tetapi apakah kita tergantung pada masyarakat
kita hanya sebagai dukungan dari luar untuk pemeliharaan kehidupan pribadi
kita, ataukah kita tidak memiliki kehidupan lepas dari hubungan-hubungan
social kita? Bagaimana kita menjawab pertanyaan tersebut tidak lepas dari
gambaran yang kita miliki tentang masyarakat atau sosial(Campbell, 1994:7).
Politik pendidikan atau the politics of education adalah kajian tentang
relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara – cara
penyampaiannya.Politik adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya
15
penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik
yang dikenal dalam ilmu politik.
Pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan
saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa
mengandung unsur – unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas
politik ada kaitannya dengan aspek – aspek kependidikan.Kontrol Negara
terhadap pendidikan umunnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, system
pendidkan diatur secara legal. Kedua, system pendidikan dijalankan sebagai
birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga,
penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat, reproduksi
politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks
tertentu. Dengan demikian jelas bahwa ilmu sosial dan pendidikan politik
memiliki hubungan atau keterkaitan yang erat dengan kata lain memberikan
sumbangan untuk pendidikan politik.
16
DAFTAR PUSTAKA
Al Muchtar, Suwarma (2000) Pengantar Studi Sistem Politik Indonesia. Bandung. Gelar Pustaka Mandiri
Almond, Gabriel. (1990) Budaya Politik, Tingkah Laku, Demokrasi di Lima NegaraJakarta: Bumi Aksara.
Kantaprawira, Rusadi. (2004) Sistem Polilik Indonesia: Suatu Model PengantarBandung: Sinar Baru Algensindo
Mawardi, Dkk. 2000. IAD-IBD-ISD. Jakarta: Pustaka Setia
Sastroatmodjo, Sudijone. (1995) Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003) Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Wahyu, Drs. MS. 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
17
i