Download - tugas fiqhi
Makalah Ushul Fiqh
Syar’umanqablana
DISUSUN Oleh :
Nama : NiniHARYANTI
NIM : 09.801.028
Dosen pembimbing : Dr.h. muhaemin,bm.ag
Fakultas pendidikan agama islam
Universitas indonesia timur
MakassaR
2012
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
1
Assalamualaikum wr.wb
Segala puji bagi Allah SWT Rabb semesta alam, yang senantiasa memberikan limpahan
rahmat dan karunianya, serta salam dan salawat tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga serta para sahabat
Makalah ini disusun untuk melengkapi mata kuliah fiqh yang mana diharapkan kepada
mahasiswa untuk lebih mengetahui mata kuliah ini, pembuatan makalah ini merupakan
penunjang bagi kami untuk mendapatkan nilai yang optimal
Dan penyusun juga mengharapkan bimbingn Dosen, jika ada kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, sehingga dapat menjadi acuan dalam mengikuti matakuliah dan
mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari.
Akhir kata, penyusun menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya jika
banyak kesalahan dalam makalah ini karena manusia tidak luput dari berbagai kesalahan .
Semoga makalah ini bisa bermanfaat.Terima kasih.
Wassalam
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman judul
Kata pengantar
Daftar isi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian syar’umanqablana
B. Kedudukan syar’umanqablana
C. Macam-macam syar’umanqablana
D. Pendapat para ulama tentang syar’umanqablana
BAB III : PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan
yang masih dipeselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al –Quran dan
Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah).
Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama yaitu: Marsalah
Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana.
Nabi Muhammad SAW adalah nabiyullah yang terjaga dari dosa baik sebelum beliau diutus
menjadi rosul ataupun belum. Nabi Muhammad membawa pesan Allah yang mengenai dua hal,
yaitu tentang apa-apa yang harus diimani (diyakini) dan apa-apa yang harus diamalkan. Beliau
juga terpelihara dari sifat jahiliyah yang menjadi budaya dalam keseharian kaum arab. Fakta ini
menimbulkan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk dalam diri kaum muslim saat ini.
Bila beliau adalah nsane yang taat beribadah, hamba Allah yang mulia maka siapakah yang ia
teladani dalam hal ini? Siapakah atau syari’at apa yang menjadi pedoman dalam keseharian
beliau sebelum beliau diutus menjadi Rasulullah SAW? Lantas apakah syariat-syariat tersebut
harus kita jalankan? Padahal kita umat muslim telah memiliki syariat sendiri yang disebarkan
oleh ajaran Rasulullah SAW yaitu syariat Islam. Wallahu’alam bisshowaab.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Syar’u Man Qoblana ?
2. Siapakah atau syariat apakah yang menjadi pedoman Rasulullah SAW sebelum beliau
diangkat menjadi rasul ?
3. Apa saja macam-macam Syar’u Man Qoblana ?
4. Bagaimana hukum pengamalan syariat-syariat nabi terdahulu pada masa Nabi Muhammad
SAW beserta umatnya ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini antara lain guna menjawab segala rumusan
masalah yang ada. Diharapkan makalah ini dapat membantu pemahaman pembaca mengenai
sumber dan dalil hukum Islam yang masih diperselisihkan, yaitu Syar’u Man Qablana, mulai dari
pengertian, macam-macam, pendapat para ulama tentangnya hingga pengamalannya bagi umat
Rasulullah SAW.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syar’u Man Qoblana
Ada beberapa pengertian tentang syar’u man qablana, diantaranya ;
Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.
Syar ‘u man qablana ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran
agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim,
dan lain-lain.
“Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara‟ yang telah disyaratkan
Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”
Syar’u man qablana atau syari’at sebelum kita maksudnya adalah “hokum-hukum yang telah
disyari’atkan untuk umat sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul
terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu”[4]
Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum
Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu
secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang
masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang
melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana
pencurian.
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man
qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk
bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.
2. Kedudukan Syar’u Man Qablana agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain
B. Kedudukan Syar’u Man Qablana
5
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas
yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah
surat Al-Syura : 13 yang artinya :
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada
Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan)
dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang
musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang
dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang
yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan,
tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada
juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum
kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat
yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.
C. Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat
terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa
macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat
terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi
menjadi tiga :
1. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua
ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali
dipotong apa yang kena najis itu.
2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas
kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah 183: الصيام كما كتب اعلى لذين من قبلكم لعلكم تتقون
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم
6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita.
Dalam hal ini banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama yang cenderung mengatakan
bahwa jika hukum tersebut shohih dapat kita amalkan, karena secara tidak langsung hukum
terdahulu tidak terhapus, itu berarti juga tetap menjadi syariat umat terdahulu yang berlaku bagi
kita umat Islam. Seperti halnya diamnya Rosulullah atas suatu perkara, tidak membenarkan tidak
pula menyalahkan (Taqririyah) Contoh dalam surat Al-Maidah ayat 32
“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh
seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”
D. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan
syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para ulama
Ushul Fiqh sepakat, bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam Al-Qur’qn adalah
berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi
Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat
sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya kewajiban untuk berpuasa
dibulan Ramadhan.
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang
tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku
bagi umat Islamdan tidak pula ada penjelasan yang membatalkanya.
Misalnya, persoalan hukuman qishash (hukuman setimpal) dalam syariat Nabi Musa yang
diceritakan dalam Al-Qur’an ayat 45 Surat al-Maidah:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At-Turat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qishash) nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutus-kan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-
Maidah/5:45)
7
Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan salah satu riwayat
dari Ahmad bin Hanbal, hukum-hukum seperti itu berlaku bagi umat Islam. Alasannya:
1. Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga. Oleh karena itu, apa yang
disyariatkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat
Muhammad SAW.
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain:
“ Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibarahim yang hanif.”
(QS. An-Nahl/16:123)
Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafi’iyah, dan salah satu
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Qur’an,tidak
menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW. kecuali ada ketegasan untuk itu. Di antara
alasan mereka terdapat dalam Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 48.
Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh menjelaskan, bahwa yang
terkuat dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama diatas. Alasannya, bahwa
syariat Islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh
karena itu, segala hukum-hukumsyariat para nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Qur’an tanpa
ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah dinasakh (dihapuskan), maka hukum-hukum itu
berlaku bagi umat Nabi Mumammad SAW.
E. Pendapat Mengenai Pengamalan Syar’u Man Qoblana
Apakah syariat nabi-nabi terdahulu masih terpakai atau wajib hukumnya diamalkan pada
masa kenabian Muhammad SAW dan umatnya? Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan
bahwa apabila syariat nabi-nabi sebelumnya ditegaskan kembali dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
seperti Aqidah (beriman pada Allah dan tidak meyekutukannya), puasa, zina, pencurian, dan
hokum hukum lainnya, maka secara otomatis hukum tersebut wajib kita amalkan juga (kita: umat
muslim). Akan tetapi bila tidak terdapat pada nash atau bahkan dihapuskan dan diganti dengan
hukum baru yang terdapat dalam nash Al-Qur’an maka kita tidak boleh mengamalkan syariat
nabi terdahulu karena telah diganti oleh hukum Islam, seperti hukum mengenai penebusan dosa
yang dilakukan oleh umat nabi Musa, bahwa tidak akan terampuni dosa seorang hamba kecuali
dengan penebusan nyawanya sendiri (bunuh diri) sedang dalam syari’at Islam jelas haram
8
hukumnya bunuh diri, dan cara menebus suatu kesalahan adalah dengan taubatannasuha pada
Allah SWT.
Sebagian mazhab malikiyah membagi beberapa syari’at yang diikuti oleh Rasulullah SAW,
yaitu:
1. Syariat Nabi Adam AS sebagai syariat pertama,
2. Syariat Nabi Nuh AS,
3. Syariat Nabi Ibrahim AS,
4. Syariat Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang jarak terutusnya paling
dekat dengan Nabi Muhammad.
Dan dari sekian pendapat di atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati
kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS.ada
juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini
menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan al-Baidhowi. Dan ada
sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali,
mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat
Nabi sebelumnya. Al-Qodhy mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun.
Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa
Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.
Akhirnya Allah mengutus beliau tahun 611 M dengan membekalinya al-Qur’an, sebagai kitab
panduan bersyariat bagi beliau dan umatnya (Umat Islam). Allah juga menjadikan setiap
perkataan, pekerjaan dan ketetepan beliau sebagai dasar dalam bersyariat dengan melegalkan
semuanya sebagai Wahyu, yang kita kenal dengan al-Sunnah. Dan bila kita mau menengok al-
Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri maka kita akan banyak menjumpai di dalamnya hukum-hukum
syariah umat terdahulu yang dikenal dalam Istilah Ushul Fiqh sebagai”Syar’u Man Qablana”
yang akan menjadi sasaran diskusi kita kali ini. Jumhur al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian
kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh
maka menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-
kitab mereka. Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan
bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk
9
syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm
dan kebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat
sebelum kita adalah syariat kita :
1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan klausanya telah
dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah
dalam surat al-An’am, ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga
bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran
dalam surat shod(ص) ayat 24.
2. Kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi ”Barangsiapa yang tertidur atau
lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat ”Kerjakanlah shalat
untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini
ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat
nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat
tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan
keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita
sebagai syariat kita, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan
Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku
akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban
permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-
masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib
mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah khusus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat
umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.
10
3. Pembagian Syar’u Man Qablana
a. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at kita (dimansukh)
Jika Alqur’an dan Hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada
umat terdahulu kemudian datang dalil nash yang membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum
itu bukanlah syari’at kita karena sudah ada yang membatalkannya. Misalnya, syari’at keharusan
bunuh diri bagi orang yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman
Nabi Musa.
Dan syarat keharusan memotong kain yang terkena najis sebagai syarat menyucikan
pakaian/kain itu sendiri di zaman Nabi Musa. Kedua kasus ini hukumnya telah dibatalkan
dengan firman Allah surat Hud : 3.
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya”
Dan dalam surat Al-Mudatstsir :4
“.......dan pakaianmu bersihkanlah”
b. Ajaran yang disyari’atkan oleh kita
Bila Al-Qur’an atau hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada
umat sebelum Islam, lalu Al-Qur’an dan hadis itu menetapkan bahwa hukum itu wajib pula
kepada umat Islam untuk mengerjakannya, tidak diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah
syari’at yang harus ditaati umat Islam.[9] Misalnya kewajiban berpuasa, kewajiban ini telah
diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Kemudian setelah datang agama Islam, syari’at
semacam itu diwajibkan lagi bagi orang Islam, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah :
183
11
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
c. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
a) Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas
diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b) Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.[10]
Untuk hal ini ada dua pendapat, yaitu;[11]
Pendapat pertama, menyatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi
Rasulullah saw. dan umatnya.
Pendapat kedua bila hukum yang diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada
nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana diwajibkan juga bagi
mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan.
Dengan perbedaan pendapat di atas, maka ada hal yang disepakati ulama :
Hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa
melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum
didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam.
Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak
bisa berlaku lagi bagi kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu,
tidak berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging bagi Bani
Israil.
Segala yang ditetapkan dengan nash yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama
samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi
bukan karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah
menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-
hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun
apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh
umat, seperti hukum qishash dan puasa yang ada dalam Alquran.
12
4. Sandaran Syari’at Rasulullah Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)
a. Keterikatan Rasulullah Sebelum Diutus Menjadi Rasul
Keterikatan Rasulullah sebelum diutus menjadi Rasul terhadap syari’at Islam, terjadi
perbedaan pendapat. Para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan
bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam,
karena jika Nabi SAW, terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang
menunjukkannya.[12]
Sedangkan setelah ditelusuri tidak ada dalil yang menegaskan bahwa beliau terikat
dengan syari’at sebelum Islam. Sedangkan ulama Hanafiyah, Hanabillah, Ibn al-Hajib
mengatakan bahwa Rasulullah sebelum diangkat menjadi Rasul terikat dengan syari’at sebelum
Islam, karena ada beberapa alasan yang menyatakannya ;
Setiap Rasul Allah diseru untuk mengikuti syari’at rasul-rasul sebelumnya.
Banyak riwayat yang menunjukkan
bahwa Nabi SAW. Sebelum menjadi Rasul telah melakukan perbuatan/amalan tertentu
yang sumbernya bukan dari akal semata, seperti pelaksanaan shalat, haji,
umrah,mengagungkan ka’bah dan thawaf disekelilingnya serta menyembelih binatang.
Hal tersebut berdasarkan firman Allah surat al-An’am:90[13]
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikitilah petunjuk itu”
b. Keterikatan Rasulullah Setelah Diangkat Menjadi Rasul
keterikatan Rasulullah dan umatnya terhadap syari’at sebelum Islam ketika telah diangkat
menjadi Rasul. Para ulama berpendapat bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak
membatalkannya. Sedangkan syari’at sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Sunnah tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya. Kecuali yang ditegaskan
dalam al-Qur’an dan Sunnah.
13
Namun untuk hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur’an, tetapi tidak ditegaskan
berlakunya untuk umat Muhammad SAW., tetapi diketahui secara pasti bahwa hukum itu
berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak ada pembatalan dalam al-Qur’an dan Sunnah, terjadi
perbedaan pendapat diantaranya;[14]
1. Jumhur ulama yang terdiri dari ulama
Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa jika hukum syari’at
sebelum Islam itu disampaikan pada Nabi SAW. Melalui wahyu al-Qur’an bukan melalui kitab
agama mereka yang telah diubah, maka umat Islam terikat dengan hukum tersebut. Alasannya
syari’at sebelum Islam juga merupakan syari’at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi
yang menunjukkan pembatalan syari’at, seperti yang tercantum dalam surat an-Nahl ayat 123
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ikutilah agama Ibrahim yang hanif.”
Kemudian hadis Rasulullah yang artinya: “siapa yang tertidur dan lupa untuk sholat, maka
kerjakanlah sholat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian Rasulullah membacakan ayat;
“kerjakanlah sholat itu untuk mengingat-Ku” (HR. Bukhari, Muslim Tirmidzi, Nasa’I dan Abu
Daud).
2. Ulama Asy’arriyah, Mu’tazilah dan Syi’ah dan sebagian ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa
syari’at sebelum Islam tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya, alasannya;
Pertama ketika Rasul SAW. Mengutus Mu’az bin Jabal untuk menjadi qadi di Yaman, Rasul
bertanya; “bagaimana engkau menetapkan hukum, Mu’az menjawab: ”dengan Kitabullah, jika
tidak ada dalam kitabullah, dengan sunnah Rasulullah SAW. Dan apabila tidak ada juga, maka
saya akan berijtihad. Nabi SAW. Memuji sikap Mu’az tersebut.
Kedua, firman Allah dalam surat al- Maidah ayat 48 yang artinya: “untuk tiap-tiap umat
diantara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang”
Ketiga, syari’at Islam merupakan Syari’at yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan
syari’at sebelum Islam hanya berlaku bagi umat tertentu, seperti sabda Rasul SAW. Yang
artinya: “para Nabi diutus khusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh umat manusia”
(HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).
14
Dalam hal ini Abdul Hamid Hakim mengutip perkataan Imam Al-Syaukani, yang
menyebutkan bahwa terdapat beberapa pendapat :[15]
Bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Adam as. karena syariat itu
smerupakan syariat yang pertama.
Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariat Nabi Nuh as.
Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariatnya nabi Ibrahim as.
Ada pula yang menyatakan Rasulullah beribadah dengan syariat Nabi Musa as.
Dan yang menyatakan Rasulullah bersyariat kepada syariat Isa as. karena Nabi yang
paling dekat dengan Rasulullah saw.
Bahkan ada yang berpendapat, bahwa Rasulullah saw. sebelum diutus tidak beribadah
atas syariat, menurutnya, karena kalaulah berada pada satu agama tentu Nabi menjelaskannya
dan tidak menyembunyikannya. Ibnu Qusyairi berkata, bahwa semua perkataan itu berlawanan
dan tidak ada dalil yang qath’i.
Imam Al-Syaukani mengembalikan kepada perkataan yang mengatakan bahwa
Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Ibrahim as. Menurutnya, karena Rasulullah
sering mencari dari syariat Ibrahim as., beramal dengan apa yang sampai kepadanya dari syariat
Ibrahim, dan juga seperti yang diketahui dari ayat Alqur‟an setelah beliau diutus untuk
mengikuti Millah Ibrahim as.
15
BAB III
PENUTUP
Dari permasalahan syariat sebelum kita ( Syar’u Man Qoblana ) yang telah dipaparkan diatas
maka dapat ditarik kesimpulan :
1. Syar’u Man Qablana adalah syariat sebelum kita (umat sebelum nabi Muhammad) yang
masih diperselisihkan keberlakuannya bagi umat Rasulullah SAW.
2. Terdapat dua macam pengelompokkan Syar’u Man Qablana, Pertama, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’
sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
3. Jelas bahwa terjadi perbedaan pendapat antara para ulama mengenai ketetapannya bagi
syariat kita.
Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana
kandungannya ada yang sesuai dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga
yang menyalahi. Semoga kita dalam menyoroti dalil yang masih diperselisihkan ini juga
berpandangan secara objektif tidak subjektif, segala ilmu berumber dari Allah, dan yang paling
mengetahui akan kebenarannyapun hanya Allah. Bila dalil Syar’u man Qoblana mendatangkan
manfaat dan kebaikan niscaya tidak ada salahnya kita mempergunakannya dan
mengamalkanannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah serta apa-apa yang dibawa
Rasulullah SAW. Wallahu A’lam Bi al-Shwab.
16
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana.2008)
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 2. (Jakarta: Kencana.2008)
http://hitampelangiku.blogspot.com/2010/01/syaru-man-qoblana.html
http://forumkajiansantrisidogiri.blogspot.com/2009/10/syaru-man-qablana-sebagai-dalil-
syara.html
17