BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan pembangunan adalah tersedianya
permodalan. Permodalan tidak didapat begitu saja tetapi dibutuhkan sarana-sarana lain
termasuk halnya meletakkan keberadaan lembaga jaminan yang salah satunya adalah
lembaga gadai.
Dalam rangka pembinaan hukum nasional diperlukan perhatian yang serius tentang
lembaga jaminan gadai, karena perkembangan perdagangan akan diikuti oleh perkembangan
kebutuhan akan kredit, sedangkan pemberian kredit memerlukan jaminan demi keamanan
pemberian kredit itu sendiri. Lembaga gadai menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya KUH Perdata) diatur dalam Buku III Bab XX Pasal 1150 sampai dengan Pasal
1160. Lembaga gadai banyak digunakan dalam praktik.
Kedudukan pemegang gadai berbeda dengan pemegang fidusia, karena benda jaminan
berada dalam penguasaan pemegang gadai selaku kreditur. Dalam hal ini kreditur sedapat
mungkin akan terhindar dari iktikad jahat (te kwader trouw) pemberi gadai. Dalam gadai
benda jaminan sama sekali tidak boleh berada dalam penguasaan (inbezitstelling) pemberi
gadai, sedang benda yang dijaminkan dengan jaminan fidusia tetap berada di tangan pemberi
jaminan fidusia selaku debitur. Kata “gadai” dalam undang-undang digunakan dalam dua arti,
pertama menunjukkan kepada bendanya (benda gadai). Kedua, tertuju kepada haknya (hak
gadai). Saham adalah bukti kepemilikan atas sejumlah modal dalam suatu perseroan terbatas.
Demikian yang dirumuskan dalam Pasal 51 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya UUPT).
Dengan demikian modal berbicara tentang sesuatu yang abstrak yang lebih
merupakan wujud kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang pendiri atau pemegang saham
sebagai suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan berdasarkan perjanjian pendirian
perseroan terbatas. Sedangkan saham merefleksikan sesuatu hak yang merupakan benda yang
dapat dikuasai dengan hak milik, yang memiliki wujud konkrit, yang dapat dilihat dan
dikuasai secara fisik oleh setiap pemegang saham dalam suatu perseroan terbatas.
Saham sebagai suatu hak yang merupakan benda yang dapat dikuasai dengan hak
milik juga dapat ditemukan dasarnya pada ketentuan umum yang diatur dalam KUH Perdata
Pasal 511 angka (4).4 Oleh karena itu saham sebagai benda bergerak dijadikan sebagai
1
jaminan hutang dengan gadai atau jaminan fidusia sebagai lembaga jaminannya. Hal ini
sejalan dengan ketentuan Pasal 60 UU PT.5 Saham adalah benda bergerak dan karena itu
dapat digadaikan.
Saham sebagai suatu hak yang merupakan benda yang dapat dikuasai dengan hak
milik. Sero-sero atau andil-andil itu terdapat dalam persekutuan perdagangan uang,
persekutuan dagang atau persekutuan perusahaan. Sekalipun persekutuan dan perusahaan
yang bersangkutan itu merupakan kebendaan tidak bergerak, namun sero-sero atau andil-
andil itu dianggap merupakan kebendaan bergerak, akan tetapi hanya terhadap para
pesertanya selama persekutuan berjalan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 511 angka (4)
KUH Perdata.
Untuk itu perlu ketegasan tentang saham sebagai benda bergerak yang pada akhirnya
memberi ketegasan tentang lembaga jaminan yang dapat dibebankan atas saham tersebut.
Ketentuan mengenai saham sebagai benda yang dapat dimiliki dipertegas kembali dalam
rumusan Pasal 60 UU PT. Bahwa kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak
memberikan hak kebendaan kepada pemegangnya yang dapat dipertahankan terhadap setiap
orang. Pemegang saham yang memiliki saham mempunyai hak kebendaan terhadap saham
tersebut.
Sebagai subjek hukum pemegang saham mempunyai hak dan kewajiban yang timbul
atas saham tersebut. Selaku pemegang hak, pemegang saham berhak mempertahankan
haknya terhadap setiap orang. Hak dan kewajiban pemegang saham baik terhadap perseroan
maupun terhadap pemegang saham lainnya berada dalam hubungan perikatan, seagaimana
diatur dalam undang-undang dan anggaran dasar perseroan.
Dalam menjalankan kegiatan usaha yaitu antara lain untuk membeli aktiva, membeli
bahan keperluan produksi, persedian kas maupun untuk pengembangan kegiatan usaha
lainnya, perusahaan sebagai rechtperson memerlukan dana membiayai semua keperluan
tersebut di atas. Namun demikian adakalanya perusahaan tersebut tidak memiliki dana yang
cukup untuk menjalankan kegiatannya.
Pemenuhan dana untuk dapat mencukupi kekurangan dana tersebut, sebagai modal
perusahaan dapat diperoleh dari sumber intern perusahaan maupun ekstern perusahaan.
Pemenuhan dana dari sumber intern diperoleh atau dihasilkan sendiri dalam perusahan,
misalnya berasal dari dana yang berasal dari keuntungan yang tidak dibagikan atau
keuntungan yang ditahan dalam perusahaan (retained earnings) sedangkan dana dari sumber
ekstern dapat diperoleh dari tambahan penyertaan modal pemilik perusahaan, melalui pasar
modal dan dapat pula diperoleh dari pinjaman dari pihak ketiga atau kredit bank.
2
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa salah satu sumber dana adalah berasal
dari pinjaman pihak ketiga, namun demikian untuk mendapatkan fasilitas kredit / hutang dari
bank ataupun kreditor disyaratkan adanya suatu jaminan untuk keamanan dan kepastian
pengembalian hutang. Lembaga jaminan akan lebih memberikan kepastian hukum daripada
sekedar kepercayaan. Jaminan menjadi sangat berarti apabila dikemudian hari debitur benar-
benar cedera janji.
Dalam hal ini, kreditor menjadi pasti kedudukannya terhadap debitur karena sudah
ada jaminan. Jaminan memberikan fungsi antara lain membuka hak dan kekuasaan kepada
pemberi kredit untuk mendapatkan pelunasan dengan barang jaminan itu, bila debitor
melalaikan kewajibannya, disamping itu juga mendorong debitor agar benar-benar
menjalankan usahanya dengan sebaik-baiknya. Selain itu jaminan juga berfungsi untuk
memperlancar pemberian kredit.
1.2 Rumusan Masalah
1. bagaimana penerapan hak dan kewajiban pemegang saham dalam jaminan kredit?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap kreditor pemegang gadai dalam
pelaksanaan pengikatan saham perseroan terbatas yang belum dicetak?
3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Penerapan Hak dan Kewajiban Pemegang Saham dalam Jaminan Kredit
Sebagai subjek hukum pemegang saham mempunyai hak dan kewajiban yang timbul
atas saham tersebut. Selaku pemegang hak, pemegang saham berhak mempertahankan
haknya terhadap setiap orang. Hak dan kewajiban pemegang saham baik terhadap perseroan
maupun terhadap pemegang saham lainnya berada dalam hubungan perikatan, seagaimana
diatur dalam undang-undang dan anggaran dasar perseroan.
Gadai merupakan jaminan yang oleh undang-undang kepada pemegang gadai
diberikan kewenangan dan keistimewaan yaitu hak yang didahulukan pelunasannya barang
tersebut daripada orang-orang yang berpiutang lainnya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
1150 KUH Perdata.
Gadai (Pand) merupakan lembaga jaminan kebendaan bagi benda bergerak yang
diatur dalam KUH Perdata. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas
suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh orang lain atas
namanya dan memberikan kekuasaan kepada kreditur lainnya, dengan kekecualian untuk
mendahulukan biaya lelang, biaya penyelamatan benda setelah digadaikan.
Adapun yang menjadi objek jaminan gadai adalah benda bergerak baik yang
berwujud maupun tidak berwujud. Benda yang tidak berwujud yang dapat menjadi jaminan
antara lain adalah surat-surat berharga, saham-saham, obligasi, sertifikat Bank Indonesia,
surat berharga pasar uang, hak tagih. Digunakannya saham sebagai jaminan kredit, maka
selama debitur belum melunasi hutangnya, saham tersebut berada dalam kekuasaan kreditur,
namun segala hak yang timbul dari pemilikan saham tersebut tetap berada pada debitur
sebagai pemilik saham.
Hal ini disebabkan oleh karena sifat penyerahan saham tersebut adalah hanya tertuju
pada jaminan sebagai pelunasan hutang apabila debitur ternyata tidak dapat melunasi
hutangnya tepat pada saat yang telah diperjanjikan untuk itu.
Perkembangan industri dan perdagangan dewasa ini juga berakibat secara langsung
terhadap perkembangan lembaga jaminan gadai itu sendiri, yang salah satu perkembangan
tersebut adalah timbulnya praktik gadai saham. Praktik gadai saham timbul sebagai suatu
bentuk jaminan kredit yang diberikan debitur kepada kreditur, karena dalam hal pemberian
4
kredit maka perihal keberadaan jaminan sangat utama dalam hal seorang debitur
mendapatkan pinjaman uang/kredit.
Perjanjian gadai saham merupakan faktor kunci dalam proses penyaluran kredit ke
dunia usaha. Apabila debitur gagal8 membayar kredit (failure debtor), maka perjanjian
tersebut adalah pelindung bagi bank bila di kemudian hari akan menjual kembali bagian
saham yang dijaminkan itu.
Ketika sebuah bank memutuskan memberi kredit kepada nasabahnya, maka sudah
sewajarnya bagi bank tersebut meminta jaminan atau kolateral. Kolateral itu akan menjadi
benteng terakhir pertahanan bank, apalagi setelah dihapuskannya fasilitas likuiditas bank
Indonesia. Kualitas kolateral itu pulalah yang menentukan apakah bank dapat memperoleh
kembali dana yang disalurkan bila debitur tersebut dikemudian hari ternyata gagal melakukan
pembayaran kembali hutangnya. Suatu prinsip yang berlaku dalam hukum jaminan adalah
kreditur tidak dapat meminta suatu janji agar memiliki benda yang dijaminkan untuk
pelunasan hutang debitur kepada kreditur.
Ratio dari ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan yang akan
terjadi jika kreditur memiliki benda jaminan yang nilainya lebih besar dari jumlah hutang
debitur kepada kreditur. Karena itu benda jaminan tersebut harus dijual dan kreditur berhak
mengambil uang hasil penjualan tersebut sebagai pelunasan piutangnya. Apabila masih ada
kelebihan, maka sisa hasil penjualan tersebut harus dikembalikan kepada debitur.
Dalam praktiknya, kreditur berupaya menghindari larangan ini dengan membuat
perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali untuk menyelubungi perjanjian hutang
piutang dengan gadai sebagai jaminannya. Sikap Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalam hal ini sudah jelas, yaitu membatalkan atau menyatakan batal demi hukum perjanjian
seperti itu. Namun demikian mengingat berbagai kendala yang dihadapi kreditur dalam
melakukan eksekusi atas benda yang dijaminkan, maka perlu dipikirkan suatu mekanisme
hukum yang memungkinkan kreditur memperoleh pelunasan piutangnya secara efisien
dengan tetap memberikan perlindungan hukum kepada debitur dan pembeli barang jaminan
tersebut.
Bagi kreditur pemegang jaminan kebendaan seperti gadai, jaminan fidusia, hipotik,
dan hak tanggungan mempunyai hak untuk mengambil hasil penjualan benda yang dibebani
gadai, jaminan fidusia, hipotik pelunasan piutangnya lebih dahulu dari kreditur konkuren
yang dijaminkan oleh Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata atau disebut droit de preference.
Dalam praktik kreditur khususnya lembaga keuangan seperti bank akan meminta suatu
jaminan khusus yang lahir dari perjanjian antara kreditur dengan debitur.
5
Dalam hal ini kreditur mempunyai hak kebendaan atas benda milik debitur atau pihak
ketiga sebagai jaminan hutang. Pengikatan jaminan ini bersifat accessoir artinya jaminan itu
lahir, hapus dan beralih mengikuti atau tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu hutang
piutang atau perjanjian kredit. Selain itu kreditur memegang hak kebendaan, tetap
mempunyai hak gadai, jaminan fidusia, hipotik ataupun hak tanggungan, meskipun benda
yang dibebani dengan jaminan dipindahtangankan atau dialihkan kepada pihak ketiga dalam
hal ini pembeli. Dalam ilmu hukum sifat ini dikenal dengan istilah droit de suit.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Pasal 1155 dan
Pasal 1156 KUH Perdata, pelaksanaan eksekusi atas barang gadai, telah ditentukan secara
limitatif dan imperatif dengan cara dan bentuk tertentu. Semua objek gadai saham bila akan
dieksekusi harus dijual secara lelang di muka umum. Proses eksekusi gadai saham tersebut
harus dilakukan secara terbuka, supaya terdapat perlindungan bagi pemilik saham untuk
mendapatkan harga pasar yang wajar.
Cara ini merupakan ketentuan dasar atas eksekusi barang gadai:
1. Penjualan dilakukan di muka umum.
2. Cara penjualan, menurut kebiasaan setempat.
3. Sesuai dengan syarat-syarat yang lazim berlaku.
4. Dari hasil penjualan, kreditor mengambil pelunasan meliputi: jumlah utang pokok, bunga,
dan biaya yang timbul dari penjualan. Namun di sisi lain jika debitur gagal bayar maka
kreditur bisa langsung melakukan lelang atas aset yang dijaminkan itu.
Dalam perjanjian pemberian kredit selalu ada pernyataan bahwa bank bisa langsung
melakukan lelang atas aset yang dijaminkan jika debitur tidak bisa memenuhi kewajibannya
sampai tenggang waktu yang ditentukan. Sebenarnya Pasal 1155 KUH Perdata, secara Ipso
Jure, memberi parate executie dengan hak menjual atas kuasa sendiri (rechts van
eigenmachtige verkoop, the right to sale) objek barang gadai kepada pemegang gadai
(kreditur, tanpa hal itu diperjanjikan dalam perjanjian gadai), namun Pasal 1155 ayat (1)
KUH Perdata mengatur prinsip-prinsip pokok:
1. Penjualan barang gadai harus atau mesti dilakukan di muka umum melalui penjualan
lelang (executtoriale verkoop) atau the right to sale under execution;
2. Ketentuan pokok penjualan barang gadai di muka umum adalah mandat memaksa
(imperatief mandaat) atau mandatory instruction yang diberikan undang-undang kepada
pemegang gadai/kreditor dalam kedudukan eigenmachtige verkoop berdasarkan Pasal
1155 ayat (1) KUH Perdata.
6
Terjadi suatu distorsi, satu sisi kreditur dan debitur yang melakukan kontrak hutang
mempunyai tanggung jawab atas penjualan benda jaminan untuk pelunasan hutang debitur
yang gagal bayar, di sisi lain pihak ketiga dalam hal ini pembeli benda jaminan harus
dilindungi atas batasan kebebasan berkontrak yang dilakukan kreditur dan debitur.
Pada dasarnya UUPT memberikan hak appraisal (appraisal right) melalui Pasal 62
dan Pasal 126 ayat (1) hanya terhadap tindakan-tindakan sebagai berikut:
1. Perubahan anggaran dasar.
2. Pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50%
(lima puluh persen) kekayaan bersih perseroan; atau
3. Penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan. Hak appraisal merupakan
keistimewaan yang diberikan oleh UUPT. Hak appraisal ini merupakan suatu hak untuk
menggantikan ketentuan dalam hukum korporat yang sudah terbilang kuno di beberapa
negara bahwa terhadap tindakan korporat tertentu, seperti merger dan akuisisi, perubahan
anggaran dasar, penjualan, penjaminan dan lain-lain perlu lebih dahulu disetujui oleh rapat
umum pemegang saham yang diputuskan secara aklamasi dalam arti seratus persen
(100%) harus menyetujui tindakan tersebut.
Perlindungan hukum bagi pembeli saham yang digadaikan sangat diperlukan demi
terjaminnya kepastian hukum. Pembelian harus dilakukan secara lelang di muka umum. Jika
pembelian objek gadai dilakukan di bawah tangan, maka pembeli dan bank tidak harus
dilindungi karena perbuatan tersebut melawan hukum. Karena harga pasar wajar tertinggi
saham harus diuji di muka umum, bukan secara sembunyi di bawah tangan,17 untuk
menghindari tindakan yang dapat menimbulkan kecurigaan atas adanya konspirasi antara
kreditur dengan pembeli.
Walaupun alasan sudah ditentukan dalam peraturan perundangan sulit untuk
membuktikan bahwa tindakan tersebut menyebabkan kerugian atau akan adanya kerugian
bagi pemegang saham atau bagi perusahaan secara keseluruhan. Apalagi karena para
pemegang saham minoritas saat bersikap berbeda pendapat, umumnya tindakan perseroan
yang diperdebatkan tersebut masih belum dilakukan atau baru mulai dilakukan sehingga
kerugian belum kelihatan. Hal tersebut mengakibatkan bahwa Pasal 62 ayat (1) UUPT sulit
untuk diterapkan.
Terhadap pelaksanaan hak appraisal juga berlaku apa yang disebut dengan market
exeption. Dengan market exeption ini, yang dimaksudkan adalah bahwa hak appraisal tidak
diberikan manakala terhadap saham yang akan dijual dengan hak appraisal tersebut
merupakan saham dari perusahaan yang sahamnya aktif diperdagangkan di pasar modal.
7
Logikanya jika kemampuan keuangan/kondisi keuangan kas/aliran tunai (cash flow) dalam
perseroan sudah tersedia, bagi pemegang saham yang tidak setuju dengan tindakan perseroan
tersebut melalui penjualan sahamnya di pasar modal, untuk apa lagi diberikan hak appraisal,
karena tujuan pemberian hak tersebut adalah untuk meningkatkan kemampuan keuangan kas
bagi pemegang saham tersebut.
Namun yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa pemberian hak tersebut kepada
pemegang saham yang keberatan sahamnya untuk dijual, bukanlah semata-mata untuk
menyediakan aliran dana masuk ke kas, tetapi hal tersebut menyangkut tentang hak dari
seluruh pemegang saham, yang dijamin oleh undang-undang.
Hak appraisal tidak diberikan apabila saham yang akan dijual merupakan saham dari
perusahaan yang sahamnya aktif diperdagangkan di pasar modal. Bila tetap diberikan juga
sebenarnya bukanlah merupakan suatu tindakan yang baik, karena ketika pemegang saham
yang tidak setuju menjual sahamnya ke pasar, harga saham tersebut sudah terkoreksi karena
berita adanya tindakan perseroan yang ditentang oleh beberapa pemegang saham yang tidak
setuju tersebut. Atau meskipun harga saham tidak terkoreksi, harga saham di pasar modal
belum tentu mencerminkan harga saham yang sebenarnya sesuai dengan keadaan perusahaan.
Dalam perkembangannya, penggunaan hak appraisal ini merupakan pranata hukum
yang berfungsi untuk mencegah pihak direksi untuk melakukan transaksi yang merugikan
dan dapat menjadi kompensasi bagi pemegang saham yang tidak setuju dengan tindakan
perubahan prinsipil dalam perseroan tersebut.
Di Indonesia, kasus sengketa gadai saham ini pernah terjadi, yakni yang menyangkut
sebuah entitas bisnis pertambangan. Bagian saham dari salah satu pemilik hak kuasa atas
pertambangan itu digadaikan sebagai jaminan kredit kepada salah satu bank asing di luar
negeri. Pada saat pemilik saham gagal membayar hutang pada saat jatuh tempo, maka pihak
bank memutuskan untuk menjual bagian saham tersebut kepada salah satu pembeli di
Indonesia. Merasa dirugikan dan diperlakukan secara sepihak oleh bank, sang pengusaha
justru mengajukan gugatan kepada bank yang bersangkutan dan pembeli saham tersebut.
Pengadilan negeri pada tingkat pertama mengeluarkan penetapan bahwa bank sebagai
kreditur berhak menjual seluruh saham yang diagunkan sebagai jaminan hutang tersebut,
namun oleh pengadilan pada tingkat banding telah membatalkan penetapan pengadilan negeri
tersebut.
8
2.2 Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Gadai dalam
Pelaksanaan Pengikatan Saham Perseroan Terbatas yang belum dicetak
Pengadilan negeri pada tingkat pertama mengeluarkan penetapan bahwa bank sebagai
kreditur berhak menjual seluruh saham yang diagunkan sebagai jaminan hutang tersebut,
namun oleh pengadilan pada tingkat banding telah membatalkan penetapan pengadilan negeri
tersebut. Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) melalui suratnya tanggal 3 Maret
2006 menyatakan sejumlah penetapan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkait dengan
eksekusi gadai saham milik Beckkett Pte Ltd oleh Deutsche Bank AG, batal demi hukum
karena tidak berdasarkan hukum.
Sementara itu pada saat yang sama debitur juga mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Tinggi (Hight Court) Singapura agar transaksi penjualan saham antara kreditur
dan pembeli itu dibatalkan dan kepemilikan atas saham itu dibekukan. Pengadilan Tinggi
Singapura menolak tuntutan tersebut dan dikuatkan lagi oleh pengadilan di tingkat banding
yang bersifat final dan mengikat (final and binding), karena court of appeal merupakan
lembaga banding tertinggi di Singapura.
Dengan demikian dari penjelasan di atas harus ada perlindungan hukum bagi pembeli
bagian saham yang dijual oleh bank sebagai kreditur yang dalam hal ini selaku pemegang
gadai, mengingat saham yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit tersebut merupakan
hak bank sebagai kreditur untuk menjual benda yang dijaminkan debitur yang gagal bayar
hutang tersebut. Karena jaminan itulah yang akan menjadi benteng terakhir pertahanan bank,
maka perlindungan hukum juga diperlukan bagi pembeli bagian saham yang dijual bank.
Sebab bank juga punya kewajiban bagi para nasabah lain sebagai penyimpan dana pihak
ketiga yang kemudian digunakan sebagai dana pemberian kredit kepada masyarakat.
Namun hakikatnya proses penggadaian saham tersebut harus dilakukan secara
terbuka. Dalam perjanjian pemberian kredit selalu ada pernyataan bahwa bank bisa langsung
melakukan lelang atas aset yang dijaminkan jika debitur tidak bisa memenuhi kewajibannya
sampai tenggang waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini sudah seharusnya bahwa
pembeli yang beriktikat baik mendapat perlindungan hukum untuk menikmati benda yang
dibeli dengan tenteram dan bebas dari tuntutan hukum.
Perlindungan yang berikan oleh hukum hanya bagi pembeli yang beriktikad baik,
namun standar iktikad baik itu tidak ada dijelaskan atau tidak ada diberi batasan-batasan oleh
undang-undang. Di sisi lain bank sebagai kreditur tak mungkin melakukan konspirasi dengan
pembeli karena bank sangat berkepentingan mendapatkan pengembalian hutang yang setinggi
mungkin.
9
Pembeli saham yang digadaikan akan memperoleh jaminan kepastian hukum apabila
pembelian dilakukan secara lelang di muka umum. Tetapi jika pembelian objek gadai
dilakukan di bawah tangan, maka pembeli dan bank tidak harus dilindungi karena perbuatan
tersebut melawan hukum. Apabila penjualan dilakukan di bawah tangan, maka patut
dicurigai. Karena harga pasar wajar tertinggi saham harus diuji di muka umum, bukan secara
sembunyi-sembunyi dengan penjualan di bawah tangan. Dengan demikian terdapat
perlindungan bagi pemilik saham untuk mendapatkan harga pasar yang wajar. Jadi
hakikatnya proses eksekusi saham tersebut harus dilakukan secara terbuka.
Klausul yang memberi hak kepada pemegang gadai melakukan penjualan di bawah
tangan, bertentangan dengan Pasal 1155 KUH Perdata. Klausul yang demikian dianggap
tidak pernah ada (never existed) karena bersifat illegal, dan tentunya hal ini akan berdampak
memberikan kepastian hukum sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada pembeli
apabila telah melakukan jual beli barang yang digadaikan seperti yang telah disyaratkan oleh
undang-undang.
Selain itu kreditur dan debitur yang melakukan kontrak hutang mempunyai tanggung
jawab atas penjualan benda jaminan dan pihak ketiga dilindungi atas batasan kebebasan
berkontrak. Meskipun undang-undang menyatakan bahwa kepemilikan atas suatu kebendaan
telah beralih pada saat penyerahan kebendaan dilakukan, namun karena ketentuan 1266 KUH
Perdata masih memungkinkan dibatalkannya suatu perjanjian (jual beli) demikian dalam hal
salah satu pihak cidera janji (untuk tidak memberikan pelunasan pembayaran) atas kebendaan
(saham) yang dibeli, maka sesungguhnya kepastian hukum mengenai perlindungan hukum
bagi pembeli gadai saham belum ada.
Beberapa problematika / permasalahan hukum yang mungkin timbul pada intinya
menurut penulis dapat dikelompokan / diakibatkan oleh :
1. Saham-saham yang digadaikan sulit dilakukan penjualan baik yang dilakukan secara
lelang maupun dibawah tangan untuk melunasi pinjaman debitor.
Sudah menjadi hal yang umum, seorang pembeli baik itu melalui mekanisme jual beli
di bawah tangan maupun lelang pasti akan mempertimbangkan nilai ekonomis suatu barang
yang akan dibelinya. Demikian halnya jika obyek yang akan dibelinya adalah merupakan
saham perusahaan yang sudah bangkrut atau perusahaan tersebut memiliki track record
sebagai debitor macet di Bank. Tentu saham - saham tersebut bisa terjadi tidak laku terjual.
Oleh karenanya pada debitor yang menyerahkan jaminan saham-saham perusahaan
tanpa dibarengi dengan penyerahan jaminan berupa fixed asset yang cukup tentu akan sangat
beresiko dalam melindungi kepentingan Bank.
10
2. Tidak ada lembaga yang melakukan pencatatan adanya penjaminan gadai saham dalam hal
saham tidak terdaftar di bursa efek yang diserahkan sebagai jaminan.
Berbeda dengan saham yang telah terdaftar pada bursa efek, dimana kreditor
pemegang gadai dapat mengajukan permohonan pencatatan gadai atas saham pada
perusahaan penitipan efek (kustodian). Atas saham yang dijadikan obyek gadai tersebut oleh
kustodian selanjutnya akan dilakukan pencatatan bahwa saham merupakan jaminan bank dan
sebagai langkah pengamanan dilakukan pemblokiran saham sehingga atas saham yang
dijadikan jaminan tidak dapat ditarik atau dipindahbukukan selama dalam status gadai
sehingga penerimaan saham sebagai jaminan seperti ini lebih mengamankan Bank karena
Bank dapat melakukan monitoring saham dengan bekerja sama dengan perusahaan penitipan
efek tersebut.
Keadaan tersebut berbeda dengan penggadaian atas saham tidak terdaftar di bursa
efek baik untuk yang sudah mencetak sahamnya maupun yang belum mencetak. Menurut
hemat penulis, sangat riskan jika kreditor menerima jaminan tersebut karena kreditor sulit
untuk melindungi jaminannya karena rentan akan adanya penjaminan ulang, duplikasi
jaminan atau perbuatan hukum lain termasuk kemungkinan pengalihan saham dimaksud oleh
pemilik baik yang dilakukan sebelum diserahkan sebagai jaminan ataupun bahkan setelah
saham tersebut menjadi jaminan bank karena tidak ada lembaga / instansi melakukan
pencatatan atas penjaminan tersebut sehingga monitoring atas jaminan berupa saham sulit
dilakukan.
3. Potensi tidak terlindunginya Bank sebagai pemegang gadai karena warkat / surat saham
tidak diserahkan dalam penguasaan Bank.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam praktek terdapat banyak perusahaan yang
belum mencetak sahamnya. Karena belum dicetaknya surat saham maka debitor tersebut
tidak dapat menyerahkan asli warkat / surat saham. Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam
hal saham belum dicetak dan akan diikat gadai, maka kebijakan perkreditan BNI untuk saham
atas nama surat yang sahamnya belum dicetak tersebut dapat diwakili / diganti sementara
dengan resipis.
Walaupun secara hukum pengikatan gadai saham atas nama terpenuhi yaitu dengan
adanya pemberitahuan kepada debitor dan kemudian resipis telah diserahkan oleh pemberi
gadai ke Bank sebagai pengganti surat saham, penulis berpendapat pemberi gadai masih
dapat melakukan perbuatan hukum / kekuasaan atas saham yang digadaikan untuk
ditransaksikannya tanpa sepengetahuan pemegang gadai meskipun status gadai atas saham
11
belum dicabut misalnya saja saham dijual atau adanya duplikasi jaminan atas saham
dimaksud.
Disamping itu tidak diserahkannya warkat / surat saham kurang melindungi
pemegang gadai saham karena penguasaan saham diperlukan karena manakala saham dijual
dalam bursa / lelang yang dijual / dilelang yang diperlihatkan adalah warkat / surat sahamnya
dan bukan akta / surat gadainya.Sedangkan untuk saham atas unjuk, tidak diserahkannya
surat saham sudah tentu tidak memenuhi ketentuan hukum perdata karena gadai terhadap
piutang atas bawa harus diikuti dengan penyerahan surat buktinya.
4. Sulit menentukan / menetapkan berapa nilai dari saham-saham saat akan dijaminkan
maupun saat dieksekusi.
Karena sifat saham yang sangat fluktuatif (untuk sahamsaham yang telah terdaftar
pada bursa efek) ataupun tidak adanya surat / warkat saham yang dapat diserahkan pemberi
gadai sebagai tanda penyertaan dan bukti kepemilikan atas saham kepada pemegang gadai
(untuk saham-saham yang tidak terdaftar di bursa efek) maka penilaian jaminan dilakukan
tentu akan menyulitkan saat dilakukan penilaian / taksasi atas saham. Sulit / tidak jelasnya
menilai taksiran atas saham sehingga dapat menjadi peluang saat saham akan diserahkan
sebagai jaminan dinilai mempunyai nilai ekonomis taksiran yang tinggi karena dengan
mempertimbangkan bahwa perusahaan tersebut bonafide sehingga dapat diasumsikan mudah
untuk dijual / dieksekusi.
Namun kenyataannya saat akan dilakukan eksekusi perusahaan sudah bangkrut dan
merupakan debitor macet di Bank. saham – saham tersebut kemudian menjadi tidak ada
nilainya bahkan dapat terjadi terjadi tidak laku terjual.
12
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bentuk-bentuk perlindungan hukum kepada pemegang gadai atas permasalahan /
problematika yang mungkin timbul adalah dengan memperjanjikan / mencantumkan klausul-
klausul yang melindungi kepentingan Bank yaitu misalnya :
a. Kuasa yang menyatakan bahwa jika dipandang perlu oleh Bank, Bank dapat
mempergunakan hak-hak yang diperoleh pemberi gadai sebagai pemilik saham termasuk hak
untuk hadir serta memberikan suaranya dalam Rapat Umum Pemegang Saham dan menerima
deviden. Dengan pemberian kuasa tersebut maka Bank mempunyai hak untuk ikut
menentukan kebijaksanaan perusahaan termasuk melaksanakan hak-hak sebagai pemegang
saham.
b. Kuasa kepada Bank untuk menerima pembayaran pembagian hasil likuidasi dalam hal
perseroan tersebut di likuidasi dan mempergunakan semua penerimaan tersebut dan
diperhitungkan untuk melunasi utang debitor.
c. kuasa dan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemberi gadai untuk sewaktu-waktu
menjual saham-saham yang digadaikan baik secara lelang maupun dibawah tangan.
d. Melakukan segala sesuatu yang dianggap baik oleh Pemegang Gadai untuk melaksanakan
hak dan kuasa tersebut.
e. Klausula yang berisikan pernyataan dari pemberi gadai bahwa saham yang diserahkan
telah disetor penuh, benar-benar milik pemberi gadai, tidak ada pihak lain yang ikut memiliki
atau mempunyai hak apapun, tidak atau sedang atau akan dialihkan kepada pihak manapun,
tidak sedang dijadikan jaminan dengan cara bagaimanapun pada pihak lain, tidak tersangkut
dalam perkara atau sengketa dan bebas dari sitaan maupun pernyataan untuk membebaskan
Bank dari tuntutan / klaim dari ahli waris pemberi gadai yang mungkin timbul dikemudian
hari.
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Bambang Riyanto, 2001, Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan, BPPE, Yogyakarta.
Frieda Husni Hasbullah, 2002, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang memberi jaminan
perorangan, Jilid 2, cetakan I, Hill-Co, Jakarta
Gatot Supramono, 1997, Perbankan Dan Masalah Kredit, Djambatan, Jakarta.
14