I
Udin lSTlLAH "kasus Udin" semakin lama
semakin kurang menggambarkan apa yang sedang terjadi. Mulanya memang pembunuhan terhadap Udin, wartawan Bernas, menjadi inti persoalan. Namun dengan cepat peristiwa itu berkembang jauh dan rumit, mengalahkan kasus pembunuhan itu sendiri.
Kini, seperti kita saksikan bersama, yang menjadi.pusat masalah adalah pertarungan dua skenario tentang motif pembunuhan itu. Menurut salah satu kubu, Udin dibunuh karena terlibat cinta segi tigao Skenario ini dilawan kubu yang yakin
Udin dibunuh karena ada yang terancam oleh sejumlah liputan jurnalistiknya.
Semakin lama pelaku pembunuhan dan korban pembunuhan di Yogya itu menjadi tokoh-tokoh figuran belaka. Drama berdarah ini diambil alih sejumlah tokoh lain yang terbelah menjadi dua kubu utama. Di satu pihak tampil q,parat penyelidik. Di pihak lain para saksi mata, tersangka, asosiasi profesi jurnalis, advokat bantuan hukum, dan tentu saja sorak-sorai publik. Kurang lebih ini menggambarkan secara mikro apa yang di kalangan ilmuwan sosial dibilang dikotomi "negara" versus "masyarakat sipil".
Layak diingat, semua ini terjadi sebelum kasus pembunuhan Udin itu diajukan ke sidang pengadilan. Mirip sebuah pertandingan sepak bola yang menjelma menjadi sebuah keroyokan massa an- . tara kapten kesebelasan, wasit, promotor, serta suporter di luar lapangan. Seakan-akan di mata publik, sudah teramat jelas mengapa Udin dibunuh, walau belum terlalu jelas siapa persisnya pelaku pembunuhan. Dengan keyakinan itu seperti itu publik menyoroti dengan mata terbelalak setiap gerak-gerik aparat kepolisian dan hukum. Apa pun tingkah mereka yang mencurigakan publik langsung dihardik secara terbuka.
*** DALAM berbagai pembahasan, pembunuhan terhadap Udin se
ring dikaitkan dengan sejumlah kasus kekerasan berdarah lain be-
lakangan ini. Atau dimasukkan dalam daftar risiko yang diderita kaum wartawan. Tentu saja perbandingan demikian tidak keliru. Namun apa yang telah saya uraikan di atas menunjukkan ada yang lain dan istimewa dari kasus Udin.
Tidak semua kekerasan terhadap wartawan menimbulkan amarah publik. Seperti halnya tida]c semua pembunuhan terhadap seorang buruh akan menimbulkan gejolak sosial seperti dalam kasus terbunuhnya Marsinah. Seperti halnya tidak semua kasus pembredelan media massa menimbulkan amuk massa seperti yang terjadi tahun 1994. Tidak semua pelanggaran hak asasi, atau penghinaan SARA bisa berbuntut panjang.
Kalaupun timbul. reaksi amarah publik, tidak dalam korelasi yang jelas antara kadar kesadisan, jumlah korban, atau jumlah kerugian korban dengan ledakan amarah publik, durasi dan daya jangkaunya. Ada kasus pembunuhan yang lebih sadis (seperti tubuh korban yang dipotong-potong) tanpa menimbulkan reaksi besar-besaran dalam rentangan masa yang panjang. Mengukur kejahatan suatu kriminalitas semata-mata berdasarkan pertimbangan hukum, moralitas formal, atau ekonomi seringkali tidak cukup menjelaskan dinamika masyarakat kita. ltu sebabnya perang-saudara di Jawa-Bali tahun 1965 dan kebeTingasan di Situbondo 1996 masih jauh penalaran para ahli sosial.
Ada pentingnya kita terus-menerus mempertajam kepekaan memahami apa yang kadang-kadang menimbulkan keresahan massa dan apa yang cenderung menggemaskan publik untuk sejenak saja. Dalam kasus-kasus apa publik merasa ikut memiliki, ikut menjadi korban, dan mati-matian menuntut keadilan dari suatu kekerasan sosial? Jawabnya tidak mudah, dan tidak bisa digeneralisir. Setiap kasus punya riwayat dan pesan yang berbeda-beda.
*** UNTUK memahami dengan lebih baik keistimewaan kasus Udin,
ada baiknya kita ingat kembali apa yang sekitar setahun lalu menimpa keluarga Acan di Bekasi. Sesudah dirampok, istri dan anak putri Acan diperkosa beramai-ramai.
Reaksi publik meledak-ledak, khususnya di Jakarta. Tetapi hanya beberapa minggu. Media massa kebanjiran kutukan terhadap penjahat dan tuntutan publik kepada pihak kepolisian agar pelaku perampokan dan perkosaan itu segera ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Tuntutan itu sedemikian serunya, sampai-sampai menjadi semacam intimidasi terhadap kewibawaan dan kredibilitas aparat hukum.
Bedanya dari kasus Udin, simpatisan Acan tidak punya gambaran apa pun tentang motif ataupun pelaku kejahatan. Berbeda daTi kasus Udin, publik yang berniat membela keluarga Acan tak terlalu peduli siapa yang dikejar, ditangkap, dan diinterogasi aparat keamanan. Apalagi bagaimana tersangka itu diperiksa dan diadili. Dalam kasus Udin, pihak polisi berada dalam posisi jauh lebih sulit menjadi pahlawan masyarakat. Salah-salah malah ikut diadili . ***
. Ariel Heryanto
Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>