i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT
PADA PASIEN DHF (DENGUE HEMORRHAGIC
FEVER) DITINJAU DARI PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK DI RUMKITAL ( RUMAH SAKIT
ANGKATAN LAUT ) DR. MINTOHARDJO JAKARTA
PUSAT
SKRIPSI
SHELLY ZALLINA SUSTIAWATI
1110102000007
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2015
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT
PADA PASIEN DHF (DENGUE HEMORRHAGIC
FEVER) DITINJAU DARI PENGGUNAAN
ANTIBIOTIK DI RUMKITAL ( RUMAH SAKIT
ANGKATAN LAUT ) DR. MINTOHARDJO JAKARTA
PUSAT
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
SHELLY ZALLINA SUSTIAWATI
1110102000007
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2015
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
Telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Shelly ZallinaSustiawati
NIM : 1110102000007
Tanda Tangan :
Tanggal :
vi
ABSTRAK
Shelly Zallina Sustiawati
Farmasi
Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Antibiotik pada Pasien DHF (Dengue
Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat
Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk AedesAegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat
mengakibatkan kematian, sehingga pemberian antibiotic dalam pengobatan DHF
tidak diperlukan kecuali jika terdapat komplikasi infeksi sekunder yang
disebabkan oleh bakteri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran
pemberian antibiotik pada penatalaksanaan pasien DHF.
Penelitian ini dilakukan di RUMKITAL DR Mintohardjo Jakarta Pusat.
Responden yang diambil adalah pasien dengan diagnose akhir DHF di
RUMKITAL DR Mintohardjo Jakarta Pusat periode 2013. Data penelitian
merupakan data sekunder yaitu dari catatan medik pasien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik pada penderita DHF
(Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL DR Mintohardjo masih cukup
besar dilihat dari catatan medik pasien tersebut.
Kata Kunci: Antibiotik, DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)
vii
ABSTRACT
Shelly Zallina Sustiawati
Pharmacy
Evaluation rationality of Antibiotics usage for Dengue Hemorrhagic Fever’s
Patient on RUMKITAL (Navy Hospital) Dr.Mintohardjo Central Jakarta.
Dengue Hemorrhagic Fever is an infectious disease due to the dengue virus and
transmitted through bites of Aedes Aegypti mosquitos. This disease could attack
every single person and caused a death. In this case, antibiotics usage for Dengue
Hemorrhagic Fever medicine treatment is not necessary, except if there’s some
secondary infection complication that cause of bacteria. The research done to
know the illustrate of Antibiotics usage for the DHF Patients management.
The Research held in RUMKITAL Dr.Mintohardjo Central Jakarta. And take a
Dengue Hemorrhagic Fever Patient diagnostics in 2013 at RUMKITAL
Dr.Mintohardjo as a Respondent. Research Data is a secondary data from Patient
Medical Record.
The Result shows that using antibiotics to Dengue Hemorrhagic Fever patient in
RUMKITAL Dr.Mintohardjo still much enough from the patient medical records.
Keywords : Antibiotics, DHF
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa
mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya penulis dalam
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien
DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) Ditinjau dari Penggunaan Antibiotik di
RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat” ini.
Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, teladan bagi umat manusia dalam mejalani kehidupan.
Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di Instalasi Rekam Medik
pada pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo, serta teori yang didapat dari
berbagai literatur. Dalam menyelesaikan masa perkuliahan sampai penulisan
skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan yang menyertai, sehingga
penulis tidak terlepas dari doa, bantuan dan bimbingan banyak pihak. Oleh karena
itu, ucapan terimakasih penulis haturkan kepada:
1. BapakYardi, Ph.D., Apt sebagai Pembimbing I dan bapak Letkol Laut (K)
Drs. R. E. Aritonang, M.Si., Apt sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga dan pikiran selama penelitian dan
penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran da Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Ofa Suzanthi Betha, M.Si., Apt selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan selama masa perkuliahan.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
6. Segenap pegawai RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang telah memberikan
bimbingan da bantuan selama penelitian di RUMKITAL Dr. Mintohardjo
Jakarta.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Adhan S.H dan Ibunda Niswatin yang
selalu ikhlas tanpa pamrih memberikan kasih sayang, dukungan moral,
material, nasehat – nasehat, serta lantunan doa di setiap waktu.
8. Masku Alvian Meydiananda, sahabatku Kurnia Anisah, S. Farm, adekku
Nasrul Ja’far dan Visa yang selalu memberikan arahan, semangat dan
dukungan.
9. Teman – teman di Program Studi Farmasi: Aina, Khulfa serta teman – teman
farmasi 2010 atas semangat dan kebersamaan kita selama perkuliahan
berlangsung.
10. Teman – teman seperjuangan selama penelitian di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo: LukLuk, Halida, Isti dan Rendy atas bantuan yang telah
diberikan.
11. Teman – teman White House: Nia, Shulcha, Alung, Hilma dan Reka atas
semangat dan kebersamaan kita selama ini. Semoga tetap terjalin
persaudaraan kita dan akan terus berlanjut.
12. Keluarga IKPI Jakarta 2010 (Nurfa, Arik, Tsalis, Ahep), keluarga besar IKPI
Jakarta dan keluarga FORMALA serta saudara sekosan Elvin atas dukungan
dan hiburan yang telah diberikan.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan
penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari
Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan ini, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi
perbaikan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat , 6 Juli 2015
Penulis
x
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Shelly Zallina Sustiawati
NIM : 1110102000007
Program Studi : Strata-1 Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah
saya, dengan judul:
Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat pada Pasien DHF ( Dengue
Hemorrhagic Fever) Ditinjau dari Penggunaan Antibiotik di RUMKITAL
(Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang – undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal :
Yang menyatakan,
(Shelly Zallina Sustiawati)
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................... vi
ABSTRACT ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIYAH ..... x
DAFTAR ISI ............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .............................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 2
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 3
1.5 Batasan Penelitian ................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 4
2.1 Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)......................... 4
2.1.1 Definisi Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) . 4
2.1.2 Etiologi ........................................................................ 4
2.1.3 Patogenesis .................................................................. 5
2.2 Rasionalitas Obat .................................................................. 8
2.3 Antibiotik .............................................................................. 11
2.3.1 Definisi antibiotik ....................................................... 11
2.3.2 Penggolongan antibiotik ............................................. 11
2.3.3 Penggunaan antibiotik................................................. 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................. 17
3.1 Kerangka Konsep .................................................................... 17
xii
3.2 Desain Operasional ................................................................. 17
3.2.1 Variabel Bebas .............................................................. 17
3.2.2 VariabelTerikat.............................................................. 18
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 20
3.4 Metode Pengumpulan Data ..................................................... 20
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian .............................................. 20
3.5.1 Populasi ......................................................................... 20
3.5.2 Sampel. .......................................................................... 20
3.5.3 Kriteria Sampel .................................................... 21
3.6 Sumber Data.. ................................................................ 21
3.7 Analisa Data.. ................................................................. 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................... 22
4.1 Hasil ............................................................................... 22
4.2 Data demografi .............................................................. 22
4.2.1 Jenis kelamin ....................................................... 22
4.2.2 Umur .................................................................... 23
4.3 Data Hasil Analisis Tepat Diagnosis Penyakit ............. 23
4.4 Data Hasil Analisis Tepat Indikasi ................................ 24
4.5 Data Hasil Analisis Tepat Obat ..................................... 24
4.6 Data Hasil Analisis Tepat Dosis .................................... 25
4.7 Data Hasil Analisis Tepat Cara pemberian .................... 27
4.8 Data Hasil Analisis Tepat Lama Pemberian .................. 27
4.9 Data Hasil Analaisis Waspada Efek Samping ............... 28
4.10 Data Hasil Analisis Tepat Pasien ................................. 28
4.11 Data Hasil Analisis Lama Perawatan ........................... 29
4.12 Data laboratorium ........................................................ 29
4.12.1 Kadar trombosit ................................................. 29
4.12.2 Kadar hematokrit ............................................... 30
4.13 Pembahasan ................................................................. 30
4.13.1 Keterbatasan penelitian ...................................... 30
4.13.2 Pembahasan hasil penelitian .............................. 30
4.13.2.1 Pasien DHF berdasarkan data demografi. ...... 30
xiii
4.13.2.1.1 Pasien DHF berdasarkan jenis kelamin ....... 30
4.13.2.1.2 Pasien DHF berdasarkan umur.. .................. 31
4.13.2.2 Analisis Pasien DHF Berdasarkan Hasil Diagnosis 31
4.13.2.3 Analisa Tepat Indikasi.. ............................................ 32
4.13.2.4 Analisa Tepat Obat ... ……………………………… 33
4.13.2.5 Analisis Tepat Dosis ................................................ 34
4.13.2.6 Analisis Tepat Cara Pemberian ................................ 36
4.13.2.7 Analisis Tepat Lama Pemberian .............................. 36
4.13.2.8 Analisa waspada efek samping ................................ 37
4.13.2.9 Analisa Tepat Pasien ................................................ 38
4.11.2.9 Pasien DHF Berdasarkan Lama Perawatan .............. 38
4.11.2.10 Pasien DHF berdasarkan data laboratorium ........... 38
4.11.2.10.1 Pasien DHF berdasarkan kadar trombosit ........... 38
4.11.2.10.2 Pasien DHF berdasarkan kadar hematokrit ......... 39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 40
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 40
5.2 Saran……… … ....................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 41
LAMPIRAN .......................................................................................... 43
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Kriteria pasien.. ................................................................................... 22
4.2 Data demografi pasien DHF berdasarkan jenis kelamin ..................... 22
4.3 Data demografi pasien DHF berdasarkan umur…………………… .. 23
4.4 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan hasil diagnosis DHF ............ 23
4.5 Distribusi pemberian antibiotik pasien berdasarkan indikasi.............. 24
4.6 Distribusi antibiotik yang diberikan kepada pasien DHF ................... 24
4.7 Distribusi dosis obat yang diberikan kepada pasien DHF .................. 25
4.8 Distribusi antibiotik berdasarkan cara pemberian .............................. 27
4.9 Distribusi lama pemberian antibiotik pasien DHF ............................. 27
4.10 Distribusi frekuensi data klinis pasien .............................................. 28
4.11 Distribusi antibiotik berdasarkan kondisi pasien .............................. 28
4.12 Distribusi frekuensi lama perawatan pasien ...................................... 29
4.13 Parameter laboratorium pasien berdasarkan kadar trombosit ........... 29
4.14 Distribusi frekuensi kadar hematokrit pasien .................................... 30
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Definisi kelompok umur ....................................................... 43
Lampiran 2. Alur penelitian ...................................................................... 44
Lampiran 3. Surat izin melakukan penelitian di RUMKITAL ................. 45
Lampiran 4. Mintohardjo Surat permohonan izin pengambilan data Kabag
Minmed RSMTH ................................................................. 46
Lampiran 5. Surat permohonan izin pengambilan data Kasubbag Rawat Inap
RSMTH ................................................................................ 47
1
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4.
Virus tersebut termasuk dalam group B Arthopod borne viruses (arboviruses)
(Chen dkk, 2009).
Pasien yang terinfeksi virus dengue akan terjadi respon berupa sekresi
mediator vasoaktif yang berakibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
perembesan cairan ke ekstravaskuler (plasma kebocoran), sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Supriatna, 2010). Sampai saat ini
belum ada terapi yang spesifik untuk DHF. Karena disebabkan oleh virus, maka
pemberian antibiotik dalam pengobatan DHF tidak diperlukan kecuali jika
terdapat infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri dan apabila terjadi DSS
(Dengue Syok Syndrome), mengingat kemungkinan infeksi sekunder dapat terjadi
dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Namun dalam beberapa
kasus penanganan pasien DHF masih ditemukan pemberian antibiotik. Prinsip
pengobatan demam berdarah adalah penggantian volume cairan akibat
pembocoran plasma dan mempertahankan oksigenasi jaringan akibat syok
hipovolemik (Hapsari, 2010).
Pada penelitian yang dilakukaan oleh staff Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang, Afiana Rohmani dan Mery Tiyas
Anggraini di rumah sakit Roemani Semarang tahun 2010, menunjukkan bahwa
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai pada pasien DHF anak masih luas.
Dengan hasil penderita DHF tanpa komplikasi sebesar 88%, sementara yang tidak
mendapatkan antibiotik hanya 5%. Di samping itu, informasi yang didapat dari
Departemen Farmasi RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo
bahwa dari catatan rekam medis pasien DHF ditemukan penggunaan antibiotik
secara luas.
Antibiotik merupakan obat untuk menghentikan atau menekan
pertumbuhan kuman atau bakteri. Penggunaan antibiotik yang berlebihan (tidak
rasional) pada beberapa kasus yang tidak tepat, dapat menyebabkan peningkatan
2
2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
biaya pengobatan dan efek samping dari pemberian antibiotik seperti terjadinya
resistensi (Hooton dan Levy, 2001).
Rasionalitas antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang didasarkan asas
tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap efek
samping yang mungkin timbul dari pemberian antibiotik secara rasional.
Penggunaan obat yang rasional lebih diarahkan pada pasien agar didapatkan hasil
yang aman, efektif dan efisien (DepKes RI, 1997).
Penggunaan Obat secara Rasional (POR) merupakan suatu kampanye yang
disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam situsnya, WHO
menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien
menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang
sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya
yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kunci
yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu dan biaya yang sesuai, POR merupakan
upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif (Swestika, 2013).
Beberapa tahun terakhir, kasus DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)
seringkali muncul di musim pancaroba, khususnya bulan januari di awal tahun.
Karena itu, masyarakat perlu mengetahui penyebab penyakit DHF, mengenali
tanda dan gejalanya, sehingga mampu mencegah dan menanggulangi dengan baik.
Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DHF di
34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal
dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun
2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus
meninggal sebanyak 871 penderita (Kemenkes, 2015)
Berdasarkan data dari penelitian sebelumnya dan angka kejadian DHF di
Indonesia serta informasi yang didapat dari Departemen Farmasi di RUMKITAL
Dr. Mintohardjo, maka diperlukan kajian lebih lanjut mengenai rasionalitas
penggunaan antibiotik. Oleh karena itu, peneliti hendak melakukan penelitian
pada pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo mengenai evaluasi penggunaan
obat antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta
Pusat.
3
3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.2 Perumusan Masalah
Apakah penggunaan antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr.
Mintoharjo sudah memenuhi konsep rasional.
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran pemberian antibiotik terhadap pasien DHF di
RUMKITAL Dr. Mintoharjo Jakarta Pusat.
Untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien
DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data – data ilmiah
yang memberikan informasi tentang penggunaan antibiotik terhadap
pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan landasan bagi
tenaga medis agar penggunaan antibiotik dapat mengikuti kaidah
rasionalitas.
1.5 Batasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan obat
pada pasien DHF ditinjau dari penggunaan antibiotik. Dalam penelitian ini, tidak
dilakukan analisis tepat interval waktu pemberian, obat yang diberikan harus
efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga
yang terjangkau, tepat informasi, tipat tindak lanjut (follow-up), tepat penyerahan
obat (dispensing) dan kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatan yang
dibutuhkan, ketidaktaatan minum obat. Karena data yang dikumpulkan
merupakan data retrospektif sehingga tidak semua informasi dapat diperoleh
dengan lengkap.
4
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)
2.1.1 Definisi DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)
Demam berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah
penyakit demam akut terutama menyerang pada anak – anak, dan saat ini
cenderung polanya berubah ke orang dewasa. Gejala yang ditimbulkan
dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock yang
dapat menimbulkan kematian (Depkes, 2006).
Infeksi virus dengue dapat menyebabkan Demam Dengue (DD),
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), dan Syndrom Shock Dengue (SSD).
Infeksi dengue di jumpai sepanjang tahun dan meningkat pada musim
hujan. Demam berdarah dengue merupakan penyakit infeksi yang masih
menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini masih disebabkan oleh karena
tingginya angka morbiditas dan mortalitas (Depkes, 2006).
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue
adalah penyakitr menular yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan penyakit ini dapat
menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama
pada anak (Nursalam, 2005).
2.1.2 Etiologi
Penyebab demam berdarah adalah virus dengue sejenis arbovirus
yang dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti sebagai vektor ke tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk tersebut. Virus dengue penyebab demam berdarah
termasuk group B Arthopod borne virus (arbovirusess) dan sekarang
dikenal sebagai genus flavirus, family flaviridae dan mempunyai 4
serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Ternyata DEN 2 dan
DEN 3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai penyebab. Dalam
hal ini penularan melibatkan tiga faktor yaitu manusia, virus dan virus
perantara. Nyamuk – nyamuk tersebut dapat menularkan virus dengue
kepada manusia baik secara langsung, yaitu setelah menggigit orang yang
5
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sedang mengalami viremia, maupun secara tidak langsung setelah
mengalami masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8 – 10 hari. Pada
manusia diperlukan waktu 4 – 6 hari atau 13 – 14 hari sebelum menjadi
sakit setelah virus masuk dalam tubuh (Nursalam, 2005).
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes
Albopictus sebagai vector ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
tersebut. Infeksi pertama kali dapat memberi gejala sebagai demam
dengue. Apabila orang itu mendapat infeksi berulang oleh tipe virus
dengue yang berlainan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. DHF dapat
terjadi bila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat
infeksi berulang virus dengue lainnya (Mansjoer, 2000).
2.1.3 Patogenesis
a. Proses perjalanan penyakit
Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk
Aedes Aegypti dimana virus tersebut akan masuk ke aliran darah,
maka terjadilah viremia (virus dalam aliran darah). Kemudian aliran
darah beredar ke seluruh tubuh maka virus tersebut dapat dengan
mudah menyerang organ tubuh manusia. Paling banyak organ yang
terserang adalah system gastrointestinal, hepar, pembuluh darah dan
pada reaksi imunologi. Jika virus masuk ke dalam system
gastrointestinal maka tidak jarang pasien mengeluh mual, muntah dan
anoreksia. Bila virus menyerang organ hepar, maka virus dengue
tersebut mengganggu system kerja hepar, dimana salah satunya adalah
tempat sintesis dan oksidasi lemak, namun karena hati terserang virus
dengue maka hati tidak dapat memecahkan asam lemak tersebut
menjadi benda – benda keton, sehingga akan menyebabkan
pembesaran hepar atau hepatomegali, dimana pembesaran hepar ini
akan menekan abdomen dan menyebabkan distensi abdomen.
Virus dengue juga masuk ke pembuluh darah dan menyebabkan
peradangan pada pembuluh darah vaskuler atau terjadi vaskulitis yang
mana akan menurunkan jumlah trombosit (trombositopenia) dan
6
6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
faktor koagulasi merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan
hebat. Dapat terjadi kebocoran plasma yang akan menyebabkan
hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan berakhir dengan kematian.
Bila virus bereaksi dengan antibody maka mengaktivasi system
komplemen untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator
faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah atau terjadi
demam, dimana dapat terjadi DHF dengan derajat I, II, II, IV
(Mansjoer, 2000).
b. Manifestasi klinik
Standar DHF menurut WHO (1997) yang telah ditetapkan tanda
klinis, yaitu:
a) Demam tinggi mendadak dan terus – menerus selama 2 – 7 hari
(tanpa sebab yang jelas)
b) Manifestasi perdarahan, termasuk paling tidak setelah di uji
dengan tourniquet positif dan tampak bentuk lain perdarahan
spontan (petechia, purpura, echimosis, epistaksis, perdarahan gusi
dan hematemesis melena)
c) Pembesaran hati
d) Syok, yang ditandai nadi cepat dan lemah (130 x/menit), disertai
oleh tekanan darah menurun (tekanan systole manurun sampai 80
mmHg atau kurang) dan kulit yang teraba dingin dan lembab,
terutama pada ujung hidung, jari dan kaki. Penderita mengalami
gelisah serta timbul sianosis di sekitar mulut.
c. Klasifikasi
Berdasarkan derajat beratnya DHF secara klinis dibagi sebagai berikut
(Mansjoer, 2005):
a) Derajat I (ringan)
Terdapat demam mendadak selama 2 – 7 hari disertai gejala klinis
lain dengan manifestasi perdarahan teringan yaitu uji tourniquet
positif.
7
7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b) Derajat II (sedang)
Ditemukan pula perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan yang
lebih hebat seperti: ptikie, purpura, ekimosis dan perdarahan
konjugtiva.
c) Derajat III
Didapatkan perdarahan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah
tekanan menurun (20 mmHg) hipotens, sianosis disekira mulut,
kulit dingin dan lembab, gelisah.
d) Derajat IV
Terdapat dengue syok syndrome (DSS) dengan nadi dan tekanan
darah yang tidak terukur.
d. Komplikasi
Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah (Hidayat, 2004)
diantaranya:
a) Perdarahan gastrointestinal karena trombositopenia serta
terganggunya fungsi trombosit di samping difisiensi yang ringan
atau sedang.
b) Syok hipovolumik karena kekurangan plasma sampai 20% atau
lebih, menghilangnya plasma melalui endhotelium ditandai
dengan peningkatan hematokrit yang menyebabkan asidosis
metabolik, bahkan menimbulkan kematian.
c) Efusi pleura terjadi karena kerusakan dinding pembuluh darah
bersifat sementara, dengan pemberian cairan yang cukup syok
dapat di atasi dari efusi pleura biasanya menghilang setelah
beberapa kali perawatan.
d) Kegagalan sirkulasi darah terjadi karena pembuluh darah terhadap
protein plasma dan efusi pada ruang serosa di bawah peritoneal
pleura.
8
8 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2 Rasionalitas Obat
Penggunaan Obat secara Rasional (POR) merupakan suatu
kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam
situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional
adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan
klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode
waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan
kebanyakan masyarakat. Dengan empat kunci yaitu kebutuhan klinis,
dosis, waktu dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi
untuk mencapai pengobatan yang efektif.
WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di
dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan
separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Tujuan dari
penggunaan obat rasional yaitu untuk menjamin pasien mendapatkan
pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang
adekuat dengan harga yang terjangkau.
Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi
kriteria:
a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan
obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut.
Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi
yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,
misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian,
pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi
gejala adanya infeksi bakteri.
9
9 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus
yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat
yang dengan rentang terapi sempit, akan sangat beresiko timbulnya
efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin
tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
Obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk
ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan
efektivitasnya.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan
praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi
pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah
tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3x sehari
harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval
setiap 8 jam.
g. Tepat Lama Pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing – masing.
Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah
6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-
14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari
yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
h. Waspada Terhadap Efek Samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian dengan dosis terapi, karena itu
10
10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek
samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah d wajah.
i. Tepat Penilaian Kondisi Pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida.
Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida
sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada
kelompok ini meningkat secara bermakna.
j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin,
serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat – obat dalam
daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial
didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan
harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis.
Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang
menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli
melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah
menerapkan CPOB.
k. Tepat Informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi.
l. Tepat Tindak Lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tidak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh
atau mengalami efek samping.
m. Tepat Penyerahan Obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah
obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Dalam menyerahkan obat
juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,
ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
11
11 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
Jenis sediaan obat terlalu beragam
Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup
mengenai cara minum/menggunakan obat
Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri
lambung), atau efek ikutan (urin menjadi merah karena minum
rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu
(KemenKes RI, 2011).
2.3 Antibiotik
2.3.1 Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah agen yang digunakan untuk mencegah dan
mengobati suatu infeksi karena bakteri ( Mitrea, 2008 ). Akan tetapi,
istilah antibiotik sebenarnya mengacu pada zat kimia yang dihasilkan oleh
satu macam organisme, terutama fungi yang menghambat pertumbuhan
atau membunuh organisme yang lain ( Michael, 2006 ).
2.3.2 Penggolongan Antibiotik
Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan struktur kimia antibiotik
Berdasarkan strukturnya kimianya, antibiotik dikelompokkan
sebagai berikut:
a) Golongan Aminoglikosida, antara lain amikasin, dibekasin,
gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin,
sisomisin, streptomisin, tobramisin.
b) Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan karbapenem
(ertapenem, iipenem, meropenem), golongan sefalosporin
(sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim),
golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin
(penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu agen
12
12 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
antibacterial yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium
chrysognum.
c) Golongan Glikopeptida, antara lain vankomisin,
teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.
d) Golongan Poliketida, antara lain golongan makrolida
(eritromisin, azitromisin, klariromisin, roksitromisin),
golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin
(doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin).
e) Golongan Polimiksin, antara polimiksin dan kolistin.
f) Golongan Kinolon (fluorokinolon), antara lain asam
nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin,
levofloksasin dan trovafloksasin.
g) Golongan Streptogramin, antara lain pristinamycin,
virginiamycin, mikamycin dan kinupristin-dalfopristin.
h) Golongan Oksazolidinon, antara lain linezaolid.
i) Golongan Sulfonamida, antara lain kotrimoksazol dan
trimetoprim.
j) Antibiotik lain yang penting, seperti kloramfenikol,
klindamisin dan asam fusidat.
2. Berdasarkan toksisitas selektif
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang
bersifat bakteriostatik dan ada yang bersifat bakterisid (
Farmakologi dan terapi edisi 5, 2008 ). Agen bakteriostatik
menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan agen bakterisida
membunuh bakteri. Perbedaan ini biasanya tidak penting secara
klinis selama mekanisme pertahanan pejamu terlibat dalam
eliminasi akhir patogen bakteri. Pengecualiannya adalah terapi
infeksi pada pasien immunocompromised dimana menggunakan
agen – agen bakterisida (Michael, 2006).
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing – masing
13
13 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh
minimal (KBM). Antibiotik tertentu aktivitasnya dapat
meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar
antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Famakologi dan
terapi edisi 5, 2008).
3. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik
Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri,
antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:
a) Inhibitor sintesis dinding sel bakteri
Memiliki efek bakterisidal dengan cara memecah enzim
dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding
sel. Contohnya antara lain golongan beta-laktam seperti
penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam,
basitrasin, fosfomycin dan daptomycin.
b) Inhibitor sintesis protein bakteri
Memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik dengan cara
mengganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel – sel
normal dan menghambat tahap – tahap sintesis protein.
Obat – obat yang aktivitasnya menginhibitor sintesis protein
bakteri seperti aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin,
streptogamin, klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol.
c) Menghambat sintesa folat
Mekanisme kerja ini terdapat pada obat – obat seperti
sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat
mengabsorbsi asam folat, tetapi harus membuat asam folat
dari PABA (asam paraaminobenzoat), pteridin dan
glutamate. Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan
vitamin dan kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal ini
menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk senyawa –
senyawa antimikroba.
d) Mengubah permeabilitas membran sel
14
14 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Memiliki efek bakteriostatik dan bakterisidal dengan
menhilangkan permeabilitas membran dan oleh karena
hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis.
Obat – obat yang memiliki aktivitas ini antara lain
polimiksin, amfoterisin B, gramisidin, nistatin, kolistin.
e) Mengganggu sintesis DNA
Mekanisme kerja ini terdapat pada obat – obat seperti
metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat – obat ini
menghambat asam deoksiribonukleat (DNA) girase
sehingga menghambat sintesis DNA. DNA girase adalah
enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan
terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA
sehingga menghambat replikasi DNA.
f) Mengganggu sintesa RNA, seperti rifampisin (Janet, 2006
dan Hayes, 1996).
4. Berdasarkan aktivitas antibiotik
Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai
berikut:
a) Antibiotik spektrum luas (broad spectrum)
Contohnya seperti tetrsiklin dan sefalosporin efektif
terhadap organisme baik gram positif maupun gram negatif.
Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk
mengobati penyakit infeksi yang menyerang belum
diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
b) Antibiotik spekrtum sempit (narrow spectrum)
Golongan ini terutama efektif untuk melawan satu jenis
organisme. Contohnya penisilin dan eritromisin dipakai
untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
positif. Karena antibiotik berspektrum sempit bersifat
selektif, maka obat – obat ini lebih aktif dalam melawan
organisme tunggal daripada antibiotik berspektrum luas
(Hayes, 1996).
15
15 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Berdasarkan daya hambat antibiotik
Terdapat 2 daya hambat antibiotik terhadap kuman yaitu (
Farmakologi dan terapi edisi 5, 2008):
a) Time dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan
menghasilkan daya hambat maksimal jika kadarnya
dipertahankan cukup lama di atas Kadar Hambat Minimal
kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin, sefalosporin,
linezoid dan eritromisin.
b) Concentration dependent killing. Pada pola ini antibiotik
akan menghasilkan daya hambat maksimal jika kadarnya
relatif tinggi atau dalam dosis besar, tapi tidak perlu
mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama.
Contohnya pada antibiotik aminoglikosida, fluorokuinolon
dan ketolid.
2.3.3 Penggunaan Antibiotik
Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat –
obatan yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik.
Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria
tertentu. Kriteria pemakaian obat secara rasional meliputi (DepKes RI,
1997) : tepat indikasi, tepat obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara
pemakaian serta waspada efek samping.
Peresepan dan penggunaan antibiotik yang terlalu berlebihan dapat
memicu terjadinya resistensi antibiotik. Atas indikasinya penggunaan
antibiotik dapat digolongkan menjadi antibiotik untuk terapi definitif,
terapi empiris dan terapi profilaksis. Terapi secara definitif hanya
digunakan untuk mengobati infeksi karena bakteri, untuk mengetahui
bahwa infeksi tersebut disebabkan karena bakteri, dokter dapat
memastikannya dengan kultur bakteri, uji sensitivitas, tes serologi dan tes
lainnya. Pada terapi empiris, pemberian antibiotik diberikan pada kasus
16
16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
infeksi yang belum diketahui jenis kumannya seperti pada kasus gawat
karena sepsis, pasien imunokompromise dan sebagainya. Terapi antibiotik
pada kasus ini diberikan berdasarkan data epidemiologi kuman yang ada.
Sedangkan terapi profilaksis adalah terapi antibiotik yang diberikan untuk
pencegahan pada pasien yang rentan terkena infeksi. Antibiotik yang
diberikan adalah antibiotik yang berspektrum sempit dan spesifik ( Vindi,
2009 ).
17
17 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat Variabel Luar
3.2 Desain Operasional
3.2.1 Variabel Bebas
3.2.1.1 Penggunaan Obat Antibiotik Pada Pasien DHF
Definisi: obat antibiotik yang digunakan pada pengobatan DHF.
Skala : Nominal
Kategori :
a. Golongan Aminoglikosida
b. Golongan Beta-Laktam
c. Golongan Glikopeptida
d. Golongan Poliketida
e. Golongan Polimiksin
f. Golongan Kinolon
Penggunaan tidak
rasional
Ketersediaan
sarana
diagnostik
Promosi obat
Ketersediaan
obat
Permintaan
pasien
Penggunaan
antibiotik
Penggunaan rasional
Tepat diagnosis
Tepat indikasi
Tepat obat
Tepat dosis
Tepat cara
pemberian
Tepat lama
pemberian
Waspada efek
samping
Tepat pasien
18
18 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g. Golongan Streptogramin
h. Golongan Oksazolidinon
i. Golongan Sulfonamida
j. Kloramfenikol
k. Klindamisin
l. Asam Fusidat
3.2.2 Variabel Terikat
3.2.2.1 Tepat Diagnosis
Definisi: penggunaan obat sesuai dengan diagnosis pasien
Skala : Nominal
Kategori :
i. Tepat
ii. Tidak tepat
3.2.2.2 Tepat Indikasi
Definisi: penggunaan obat sesuai indikasi berdasarkan diagnosis
pasien.
Skala : Nominal
Kategori :
i. Tepat
ii. Tidak tepat
3.2.2.3 Tepat Obat
Definisi: pemilihan obat antibiotik pada pasien DHF berdasarkan
pengobatan.
Skala : Nominal
Kategori :
i. Tepat
ii. Tidak tepat
3.2.2.4 Tepat Dosis
Definisi: ketepatan pemberian dosis antibiotik pada pasien DHF.
19
19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Skala : Nominal
Kategori :
i. Tepat
ii. Tidak tepat
3.2.2.5. Tepat Cara Pemberian
Definisi: ketepatan cara pemberian obat berdasarkan kondisi dan
keadaan pasien.
Skala : Nominal
Kategori :
i. Tepat
ii. Tidak tepat
3.2.2.6 Tepat Lama Pemberian
Definisi: lama pemberian obat sesuai dengan penyakit pasien.
Skala : Nominal
Kategori :
i. Tepat
ii. Tidak tepat
3.2.2.7 Efek Samping
Definisi: efek samping yang ditimbulkan akibat pemberian obat
antibiotik pada pasien DHF.
Skala : Nominal
Kategori :
i. Ada
ii. Tidak ada
3.2.2.8 Tepat Pasien
Definisi: obat yang digunakan pasien mempertimbang kondisi
individu pasien yang bersangkutan.
Skala : Nominal
20
20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kategori :
i. Tepat
ii. Tidak tepat
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Mei 2014. Sedangkan
lokasi penelitian dilakukan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jl.
Bendungan Hilir No. 17, Jakarta Pusat Telp. (021)5703081-
85(021)5749037-40 Fax. (021)5711997 Indonesia.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini berupa data sekunder yaitu
pengambilan data dilakukan dari catatan medis pasien DHF (Dengue
Hemorrhagic Fever) yang ada di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta
Pusat.
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian
3.5.1 Populasi
Populasi penelitian adalah semua catatan medis pasien DHF
(Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta
Pusat pada periode tahun 2013.
3.5.2 Sampel
Sampel adalah semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dari
pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL Dr.
Mintohardjo pada periode tahun 2013 sebanyak 26 pasien. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua
pasien yang memenuhi kriteria diambil sebagai sampel penelitian.
21
21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.6.3 Kriteria sampel
a) Kriteria inklusi
Pasien dengan diagnosa penyakit DHF dengan atau tanpa disertai
infeksi sekunder.
Pasien dengan catatan medis yang lengkap.
b) Kriteria eksklusi
Pasien yang pindah ke Rumah Sakit lain sebelum terapi selesai
dilaksanakan.
3.7 Sumber Data
Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang didapatkan
dari catatan medis antara lain:
a. Nama antibiotik
b. Indikasi
c. Dosis
d. Lama pemberian
e. Cara pemberian
f. Jenis penggunaan
g. Data demografi (umur, jenis kelamin)
h. Data klinis
i. Data laboratorium
3.8 Analisa Data
Analisis data dilakukan secara analisa deskriptif. Analisa deskriptif
dilakukan dengan menguraikan data – data yang didapatkan dari catatan
medis antara lain nama antibiotik, indikasi, dosis, lama pemberian, cara
pemberian, jenis pemberian, data demografi (umur, jenis kelamin), data
klinis dan data laboratorium pasien.
22
22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Dari jumlah 52 sampel pasien Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dengan
jumlah 26 pasien diberikan antibiotik dan jumlah 26 pasien tidak diberikan
antibiotik yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Angkatan Laut
(RUMKITAL) Dr. Mintohardjo. Data tersebut diambil dari bagian Instalasi
Rekam Medik, untuk melihat gambaran dari setiap pemberian obat antibiotik
terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang diteliti sesuai dengan
kriteria inklusi. Sedangkan dari jumlah 24 data dengan kriteria eksklusi, sehingga
total sampel yang didapat sebesar 76 sampel.
Tabel 4.1 Kriteria pasien DHF
Kriteria Jumlah pasien
N %
Diberikan antibiotik 26 50
Tidak diberikan antibiotik 26 50
Total 52 100
*N: jumlah pasien
4.2. Data demografi
4.2.1. Jenis kelamin
Tabel 4.2 Data demografi pasien DHF berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin Jumlah pasien DHF
N %
Laki – laki 24 46,6
Perempuan 28 53,8
Total 52 100
*N: jumlah pasien
Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 52 pasien DHF yang diambil
datanya secara retrospektif terlihat jenis kelamin yang paling banyak adalah
perempuan (53,8%) dan selebihnya adalah laki – laki (46,6%).
23
23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2.2. Umur
Tabel 4.3 Data demografi pasien DHF berdasarkan umur (ICD-10 WHO,1992)
Umur (tahun) Jumlah pasien DHF
N %
< 1 tahun 1 2
1 – 14 tahun 29 55,7
15 – 44 tahun 21 40,4
45 – 64 tahun 1 2
>65 tahun 0 0
Total 52 100
*N: jumlah pasien
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 52 pasien DHF yang diambil
datanya terlihat umur yang paling banyak adalah 1 – 14 tahun sebesar 29 pasien
(55,7%), diikuti oleh umur 15 – 44 tahun sebesar 21 pasien (40,4%), umur
dibawah 1 tahun sebesar 1 pasien (2%), umur 45 – 64 sebanyak 1 pasien (2%) dan
tidak ada pasien yang berumur diatas 45 tahun. Pengelompokkan umur diatas
menurut ICD-10 WHO, 1992.
4.3. Data Hasil Analisis Tepat Diagnosis Penyakit
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan Hasil Diagnosis DHF
Diagnosis <100.
000*
Diagnosis 100.000 –
150.000*
Diagnosis >150.
000*
Diagnosis
Tpt Tdk Tpt Tdk Tpt Tdk
Tanpa
infeksi
sekunder
29 √ 20 √ - -
Dengan
infeksi
sekunder
2 √ 7 √ 3 √
*Trombosit
Berdasarkan data tabel di atas dapat diketahui bahwa pasien DHF
berdasarkan diagnosis adalah DHF tanpa infeksi sekunder dengan trombosit <
100.000 sebesar 29 pasien (55,7%) dari 52 pasien merupakan tepat diagnosis,
dengan trombosit 100.000 – 150.000 20 pasien (38 %) dari 52 pasien merupakan
tepat diagnosis dan dengan trombosit > 150.000 tidak ada. Semetara pasien DHF
yang disertai infeksi sekunder dengan trombosit < 100.000 terdapat 2 pasien
24
24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
merupakan tepat diagnosis, dengan trombosit 100.000 – 150.000 ada 7 pasien
termasuk tepat diagnosis dan dengan trombosit > 150.000 terdapat 3 pasien (5,7
%) dari 52 pasien yang merupakan tepat diagnosis.
4.4. Data Hasil Analisis Tepat Indikasi
Tabel 4.5 Distribusi pemberian antibiotik pasien berdasarkan indikasi
Obat
Tanpa
disertai
infeksi
sekunder
Indikasi
Tifoid
Indikasi
ISPA
Indikasi
Tpt Tdk Tpt Tdk Tpt Tdk
Antibiotik 19 √ 2 √ 5 √
Tanpa AB 21 √ 1 √ 4 √
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian antibiotik pada pasien
DHF dengan indikasi tanpa disertai infeksi sekunder adalah cukup tinggi yaitu 19
pasien (36,53 %) dari 52 pasien merupakan tidak tepat indikasi. Sedangkan pasien
DHF dengan indikasi disertai infeksi tifoid ada 2 pasien dan ISPA ada 5 pasien
termasuk tepat indikasi. Sementara pasien DHF tanpa disertai infeksi sekunder
yang tidak diberikan antibiotik sebanyak 21 pasien (40,38 %) dari 52 pasien
merupakan tepat indikasi. Sedangkan pasien DHF yang disertai infeksi tifoid ada
1 pasien dan ISPA ada 4 pasien termasuk tidak tepat indikasi.
4.5. Data Hasil Analisis Tepat Obat
Tabel 4.6 Distribusi Antibiotik yang diberikan kepada pasien DHF
Antibiotik
Tanpa
disertai
infeksi
Obat
Tifoid
Obat
ISPA
Obat
Tpt Tdk Tpt Tdk Tpt Tdk
Seftriakson 13 √ 1 √ 3 √
Sefiksim 0 1 √ 2 √
Sefadroksil 3 √ 0 0
Siprofloksasin 1 √ 0 0
Sefotaksim 1 √ 0 0
Amoksisilin 1 √ 0 0
Tanpa AB 21 √ 1 √ 4 √
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian antibiotik pada pasien
DHF dengan diagnosis tanpa disertai infeksi adalah cukup tinggi yaitu 13 pasien
25
25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(25 %) dari 52 pasien. Antibiotik yang paling banyak diberikan adalah seftriakson
sebanyak 19 pasien, merupakan tidak tepat obat. Sedangkan pasien DHF dengan
diagnosis disertai infeksi tifoid 1 pasien dan ISPA 3 pasien yang diberikan
seftriakson dapat dikatakan tepat obat. Sementara pasien DHF dengan diagnosis
tanpa disertai infeksi yang tidak diberikan antibiotik sebanyak 21 pasien (40,38
%) dari 52 pasien merupakan tepat obat. Sedangkan pasien DHF dengan diagnosis
disertai infeksi tifoid yang tidak diberikan antibiotik 1 pasien dan ISPA 4 pasien
termasuk tidak tepat obat.
4.6. Data Hasil Analisis Tepat Dosis
Tabel 4.7 Distribusi dosis obat yang diberikan kepada pasien DHF
Umur (tahun) Berat
badan
Jumlah
pasien DHF Dosis
pemakaian
Dosis
literatur*
Dosis
N % Tpt Tdk
o < 1 tahun 1 3,8
Seftriakson
Sefikisim
Siprofloksasin
Sefadroksil
Sefotaksim 6,5 kg 1 3,8 2x300 mg 50-180
mg
/kg/hr
√
Amoksisilin
o 1 – 14 tahun 16 61,5
Seftriakson 5 19,2 2x1 g Anak >
12 th 250
mg/hr
dan anak
< 12 th
125
mg/hr
√
3 11,5 1x1 g √
1 3,8 2x400 mg √
1 3,8 1x1 ½ √
Sefikisim 25 kg 1 3,8 1x1 kapsul 8
mg/kg/hr
. Maks.
400
mg/hr
√
36 kg 1 3,8 3x1 kapsul √
Siprofloksasin 45 kg 1 3,8 2x500 mg 250 mg
2x/hr
√
Sefadroksil 22 kg 1 3,8 3x300 mg 30
mg/kg/hr
maks. 2
g/hr
√
27 kg 1 3,8 3x400 mg √
23 kg 1 3,8 2x250 mg √
26
26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sefotaksim
Amoksisilin
o 15 – 44 tahun 9 34,6
Seftriakson 7 26,9 2x1 g 1-2 g
tiap 12-
24 jam
√
Sefikisim 1 3,8 2x1 kapsul 400
mg/hr
√
Siprofloksasin
Sefadroksil
Sefotaksim
Amoksisilin 1 3,8 2x500 mg 250-500
mg tiap 8
jam
maks. 2-
3 g/hr
√
o 45 – 64 tahun 0 0
Seftriakson
Sefikisim
Siprofloksasin
Sefadroksil
Sefotaksim
Amoksisilin
o >65 tahun 0 0
Seftriakson
Sefikisim
Siprofloksasin
Sefadroksil
Sefotaksim
Amoksisilin
Total 26 100
*Pediatric Dosage Handbook
Tabel di atas menunjukkan antibiotik yang tidak tepat dosis antara lain
seftriakson untuk pasien umur 1 – 14 tahun, sefiksim untuk pasien 1 – 14 tahun
dengan dosis yang kurang yaitu 1x 1 kapsul dan siprofloksasin untuk pasien umur
1 – 14 tahun. Sedangkan antibiotik yang termasuk tepat dosis antara lain
sefotaksim untuk pasien denganumur < 1 tahun, sefiksim untuk pasien umur 1 –
14 tahun dengan dosis 3x1 kapsul, sefadroksil untuk pasien umur 1 – 14 tahun,
seftriakson untuk pasien umur 15 – 44 tahun, sefiksim untuk pasien umur 15 – 44
tahun dan amoksisilin untuk pasien umur 15 – 44 tahun.
27
27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.7. Data Hasil Analisis tepat Cara Pemberian
Tabel. 4.8 Distribusi antibiotik berdasarkan cara pemberian
Nama antibiotik Cara pemberian Ketepatan
Oral Injeksi Tepat Tidak
Seftriakson √ √
Sefiksim √ √
Siprofloksasin √ √
Sefadroksil √ √
Sefotaksim √ √
Amoksisilin √ √
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa semua cara pemberian antibiotik dapat
dikatakan tepat cara pemberian.
4.8. Data Hasil Analisis Tepat Lama Pemberian
Tabel 4.9 Distribusi lama pemberian antibiotik pasien DHF
Nama
antibiotik
1-3
hr*
Ktepatn 4-6
hr*
Ktepatn 7-9
hr*
Ktepatn >9
hr*
Ktepatn
Tpt Tdk Tpt Tdk Tpt Tdk Tpt Tdk
Seftriakson 3 √ 12 √ 2 √
Sefiksim 1 √ 2 √
Sefadroksil 1 √ 2 √
Siprofloksasin 1 √
Sefotaksim 1 √
Amoksisilin 1 √
*Lama Pemberian
Dari tabel diatas dapat diketahui lama pemberian antibiotik yang paling
banyak adalah selama 4 – 6 hari merupakan tepat lama pemberian. Terdapat pula
lama pemberian selama 1 – 3 hari, 7 – 9 hari dan > 9 hari merupakan tidak tepat
lama pemberian.
28
28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.9. Data Hasil Analisis Waspada Efek Samping
Tabel 4.10 Distribusi frekuensi data klinis pasien
Keluhan Jumlah pasien DHF
N dg antibiotik N tanpa antibiotik
Demam/panas 23 24
Mual/muntah 17 17
Pusing/sakit kepala 11 13
Lemas 9 3
Batuk/pilek 7 5
Mimisan 2 1
Nyeri ulu hati 2 2
Nyeri sendi/nyeri otot 2 7
Bintik – bintik merah 1 2
Diare 0 2
*N: jumlah pasien
Dari data tabel di atas menunjukkan bahwa pasien DHF yang diberikan
antibiotik maupun tidak diberikan tanpa antibiotik, paling banyak mengalami
keluhan demam atau panas yaitu sebesar 23 pasien untuk pasien DHF yang
diberikan antibiotik dan 24 pasien untuk pasien DHF yang tidak diberikan
antibiotik. Kemudian masing – masing 17 pasien mengalami keluhan mual dan
muntah untuk pasien DHF dengan antibiotik dan tanpa antibitik. Diare adalah
keluhan paling sedikit yang dialami pasien DHF yaitu sebanyak 2 pasien yang
tidak diberikan antibiotik.
4.10. Data Hasil Analisis Tepat Pasien
Tabel 4.11 Distribusi Antibiotik berdasarkan kondisi pasien
Pasien Kelainan
ginjal
Kerusakan
hati Alergi Umur
Keterangan
Tepat Tidak
A - - - < 1 tahun √
B - - - 1 – 14
tahun
√
C - - - 15 – 44
tahun
√
29
29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel diatas menunjukkan bahwa tidak ada pasien yang mempunyai
kelainan ginjal, kerusakan hati atau riwayat alergi. Data yang ada untuk
menentukan ketepatan pasien hanya data umur pasien. Dilihat dari data umur yang
ada, menunjukkan semua tepat pasien.
4.11. Data Hasil Analisis Lama perawatan
Tabel 4.12 Distribusi frekuensi lama perawatan pasien
Lama perawatan Jumlah pasien DHF
N %
1 – 3 hari 15 28,8
4 – 6 hari 33 63
7 – 9 hari 3 5,7
>9 hari 1 2
Total 52 100
*N: jumlah pasien
Dari data tabel diatas dapat diketahui bahwa lama perawatan pasien DHF
terbanyak adalah 4 – 6 hari yaitu 33 pasien (63%), diikuti terbanyak kedua adalah
1 – 3 hari yaitu sebanyak 15 pasien (28,8%). Selanjutnya 7 – 9 hari sebanyak 3
pasien (5,7%) dan paling sedikit pasien DHF dengan lama perawatan selama lebih
dari 9 hari yaitu 1 pasien (2%).
4.12. Data laboratorium
Parameter laboratorium yang dijadikan acuan adalah kadar trombosit dan
hematokrit. Distribusi frekuensi kadar trombosit dan hemtokrit pada sampel
pasien DHF pada saat dating ke RS adalah sebagai berikut:
4.12.1. Kadar trombosit
Tabel 4.13 Parameter laboratorium pasien berdasarkan kadar trombosit
Kadar trombosit Jumlah pasien DHF
N %
<100.000 (trombositopenia) 29 55,7
100.000-150.000
(trombositopenia ringan) 20 38
>150.000 3 5,7
Total 52 100
*N: jumlah pasien
30
30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pasien dengan trombositopenia
sebanyak 29 pasien (55,7%), sedangkan pasien dengan trombositopenia ringan
sebanyak 20 pasien (38%) dan pasien dengan trombositopenia tinggi sebanyak 3
pasien (5,7%).
4.12.2. Kadar hematokrit
Tabel 4.14 Distribusi frekuensi kadar hematokrit pasien
Kadar hematokrit Jumlah pasien DHF
N %
≤ 40 Vol % 24 46
>40 Vol % (hemokonsentrasi) 28 53,8
Total 52 100
*N: jumlah pasien
Dari tabel di atas, jumlah pasien dengan keadaan hemokonsentrasi lebih
banyak dibanding pasien dengan kadar hematokrit normal, yaitu sebesar 28 pasien
(53,8%).
4.13. Pembahasan
4.13.1. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi keterbatasan antara lain:
kemungkinan masih ada keterbatasan waktu penelitian, keterbatasan dana
penelitian dan keterbatasan data yang dikumpulkan untuk penelitian ini
data retrospektif sehingga tidak semua informasi dapat diperoleh dengan
lengkap.
4.13.2. Pembahasan Hasil Penelitian
4.13.2.1. Pasien DHF berdasarkan data demografi
4.13.2.1.1. Pasien DHF berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan pengelompokkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan
yang mencolok antara jumlah pasien dengan jenis kelamin laki – laki
maupun perempuan. Secara keseluruhan jumlah pasien dengan jenis
kelamin perempuan lebih banyak yaitu 28 pasien (53,8%) dan pasien
dengan jenis kelamin laki – laki sebanyak 24 pasien (46,6%). Penelitian
31
31 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang dilakukan oleh Afiana dan Mery (2012) dari Universitas
Muhammadiyah Semarang menunjukkan bahwa pasien DHF yang paling
banyak adalah pasien dengan jenis kelamin laki – laki yaitu sebesar 330
anak (55,09%) dari keseluruhan jumlah populasi sebesar 599 anak.
4.13.2.1.2. Pasien DHF berdasarkan umur
Berdasarkan data demografi dari pengelompokkan umur pasien
DHF, sebagian besar pasien DHF pada kelompok umur 1 – 14 tahun yaitu
sebesar 29 pasien (55,7%) dengan 16 pasien (61,5%) diberikan antibiotik,
kemudian pasien pada kelompok 15 – 44 tahun sebesar 21 pasien (40,4%)
dengan 9 pasien (34,6%) diberikan antibiotik dan kelompok umur < 1
tahun sebesar 1 pasien (3,8%) yang diberikan antibiotik. Penelitian yang
dilakukan oleh Aryu (2010) menunjukkan bahwa dalam penelitiannya
pasien DHF yang paling banyak adalah pasien pada kelompok umur < 15
tahun yaitu sebesar 95% dan mengalami pergeseran dengan adanya
peningkatan proporsi pasien pada kelompok umur 15 – 44 tahun,
sedangkan proporsi pasien pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah.
Hal ini mungkin dikarenakan pengaruh dari sistem imun anak – anak yang
kurang kebal dan pola hidup yang kurang diperhatikan.
4.13.2.2. Analisis Pasien DHF Berdasarkan Hasil Tepat Diagnosis
Berdasarkan hasil data yang dilihat dari diagnosis pasien yang
diperoleh menunjukkan bahwa pasien yang tanpa disertai infeksi dengan
trombosit > 100.000/µL (trombositopenia) paling banyak yaitu 29 pasien
(55,7 %) dari 52 pasien merupakan tepat diagnosis, dengan trombosit
100.000 – 150.000 terdapat 20 pasien (38 %) dari 52 pasien termasuk tepat
diagnosis dan dengan trombosit > 150.000 tidak ada untuk pasien tanpa
disertai infeksi sekunder. Sementara, untuk pasien dengan disertai infeksi
sekunder dengan trombosit < 100.000 terdapat 2 pasien, dengan trombosit
100.000 – 150.000 terdapat 7 pasien dan pasien yang disertai infeksi
sekunder dengan trombosit > 150.000 terdapat 3 pasien bisa dikatakan
tepat diagnosis. Untuk pasien dengan trombosit > 150.000 kemungkinan
32
32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
belum masuk pada fase demam atau fase syok, yang mana trombosit
dalam jumlah normal atau lebih akan kemudian menurun pada fase
tersebut.
Berdasarkan diagnosis DHF menurut kriteria WHO 1999, secara
klinis pasien DHF dengan trombositopenia (< 100.000/µL). Terjadi
penurunan hitung trombosit dari nilai normal. Umumnya pada masa akut
jumlah trombosit 100.000/mm3 darah untuk patokan rawat inap dan rawat
jalan 150.000/mm3. Pada saat awal infeksi, trombosit dalam jumlah
normal kemudian menurun drastis, hingga saat fase demam, fase syok
mencapai puncak terendah (bisa mencapai 20.000), setelah itu perlahan
naik kembali pada fase konvalesken, setelah itu 7 – 10 setelah sakit maka
akan kembali normal.
4.13.2.3. Analisis Tepat Indikasi
Berdasarkan hasil penelitian dari pemberian antibiotik pada pasien
DHF, antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan tanpa
komplikasi infeksi tidak tepat. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien
DHF dengan disertai infeksi tifoid merupakan tepat indikasi. Akan tetapi,
terdapat 1 pasien yang disertai infeksi tifoid tidak diberikan antibiotik
merupakan tidak tepat indikasi, karena pengobatan dari tifoid yaitu
antibiotik. Kemudian antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF
dengan disertai infeksi ISPA termasuk tepat indikasi dan terdapat pula 4
pasien yang disertai infeksi ISPA tidak diberikan antibiotik termasuk tidak
tepat indikasi.
Sesuai indikasi antibiotik secara umum yaitu antibiotik mempunyai
indikasi penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Sedangkan DHF itu
sendiri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (Nursalam, 2005).
Karena disebabkan oleh virus, maka pemberian antibiotik dalam
pengobatan DHF tidak diperlukan kecuali jika terdapat infeksi sekunder
yang disebabkan oleh bakteri dan apabila terjadi DSS (Dengue Syok
33
33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Syndrome), mengingat kemungkinan infeksi sekunder dapat terjadi dengan
adanya translokasi bakteri dari saluran cerna.
karena antibiotik yang digunakan kebanyakan adalah golongan
sefalosporin generasi ketiga. Dimana, sefalosporin generasi ketiga
sebaiknya diberikan pada pasien apabila pemberian sefalosporin generasi
pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan
pasien (Farmakologi bergambar).
4.13.2.4. Analisa Tepat Obat
Berdasarkan hasil penelitian dari pemberian antibiotik pada pasien
DHF, antibiotik yang paling banyak diberikan adalah seftriakson.
Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien dengan diagnosis tanpa disertai
infeksi tidak tepat. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF
dengan disertai infeksi tifoid dapat dikatakan tepat obat. Akan tetapi,
pemilihan antibiotik seftriakson bukan merupakan pengobatan pilihan
utama untuk infeksi tifoid. Pengobatan untuk tifoid pilihan utama
menggunakan antibiotik seperti kloramfenikol. Kemudian antibiotik yang
diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi ISPA juga dapat
dikatakan tepat. Namun, pemilihan antibiotik seftriakson bukan
merupakan pengobatan pilihan utama. Seftriakson merupakan golongan
sefalosporin generasi ketiga. Dimana, sefalosporin generasi ketiga
sebaiknya diberikan pada pasien apabila pemberian sefalosporin generasi
pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan
pasien (Farmakologi bergambar).
Seftriakson termasuk anitibiotik spektrum luas yaitu golongan
sefalosporin. Karena termasuk sefalosporin generasi ketiga, seftriakson
sebaiknya diberikan pada pasien apabila sefalosporin generasi pertama dan
generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan pasien.
Seftriakson diberikan sebagai generasi selanjutnya untuk perbaikan dari
generasi pertama dan generasi kedua (Farmakologi bergambar). Antibiotik
berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit infeksi
34
34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang menyerang, belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas
(Farmakologi bergambar).
4.13.2.5. Analisis Tepat Dosis
Berdasarkan hasil penelitian yang dilihat dari dosis yang diberikan
kepada pasien paling banyak pasien DHF diberikan antibiotik seftriakson
dengan dosis 2 g sehari dan seftriakson dengan dosis 1 g sehari yaitu
keseluruhan pasien masing – masing sebanyak 12 pasien (10,6%) dan 3
pasien (5,7%) serta dosis 2x400 mg 1 pasien (1,9%) dosis 1x1 ½ g 1
pasien (1,9%). Apabila dilihat dari hasil data berdasarkan umur, pasien
dengan kelompok umur 1 – 14 tahun adalah paling banyak, untuk pasien
pada kelompok umur 1 – 14 tahun terdapat 5 pasien (12 tahun, 12 tahun,
12 tahun, 9 tahun, 6 tahun) dengan dosis 2 g sehari, 3 pasien (10 tahun, 9
tahun, 1 tahun) dengan dosis 1 g sehari dan 1 pasien (4 tahun) dengan
dosis 2x400 mg serta 1 pasien (7 tahun) dengan dosis 1x1 ½ g yang
diberikan antibiotik seftriakson. Sedangkan pasien yang diberikan
antibiotik lain sebanyak 6 pasien untuk kelompok umur 1 – 14 tahun, yaitu
antibiotik sefadroksil 3 pasien (6 tahun) dengan masing – masing dosis
3x300 mg, (6 tahun) dosis 3x400 mg dan (8 tahun) dosis 2x250 mg,
sefiksim 2 pasien (7 tahun) dengan dosis 1x1 g dan (11 tahun) dosis 3x1 g
dan ciprofloksasin 1 pasien (12 tahun) dengan dosis 2x500 mg. Sehingga
jumlah pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun yang diberikan
antibiotik sebanyak 16 pasien (61,5%).
Dalam buku Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 - 2003)
menyatakan bahwa dosis dari seftriakson untuk orang dewasa adalah 1 – 2
g setiap 12 – 24 jam, untuk anak > 12 tahun 250 mg dalam dosis tunggal
dan anak < 12 tahun 125 mg dalam dosis tunggal. Dalam penelitian ini,
pasien anak – anak dengan umur 1 – 14 tahun adalah yang paling banyak.
Sehingga untuk pasien anak – anak dengan umur 1 – 14 tahun, dosis yang
diberikan adalah tidak sesuai atau terlalu besar. Sedangkan untuk pasien
dewasa, dosis yang diberikan sudah sesuai menurut buku literatur
Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003). Untuk sefadroksil,
35
35 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menurut buku Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003) dosis
bayi dan anak – anak adalah 30 mg/kg/hari terbagi dalam 2 kali sehari,
dosis maksimal hingga 2 g/hari, dosis orang dewasa adalah 1 – 2 g/hari
dalam 1 – 2 dosis terbagi, dosis maksimum untuk orang dewasa 4 g/hari.
Dalam penelitian ini, pasien yang diberikan sefadroksil terdapat 3 pasien
dengan kelompok umur 1 – 14 tahun untuk masing – masing dosis 3x300
mg (6 tahun), dosis 3x400 mg (8 tahun) dan dosis 2x250 mg (6 tahun).
Untuk kelompok umur 1 – 14 tahun dosis yang diberikan sesuai dengan
buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003).
Dalam penelitian ini, untuk antibiotik sefiksim diberikan dosis 1x1
kapsul (7 tahun) dan dosis 3x1 kapsul (11 tahun) pada kelompok umur 1 –
14 tahun serta pada kelompok umur 15 – 44 tahun (34 tahun) dengan dosis
2x1 kapsul. Disini, dosis 1x1 kapsul yang diberikan untuk pasien pada
kelompok umur 1 – 14 tahun dengan berat badan 25 kg adalah kurang,
sedangkan dosis 3x1 kapsul yang diberikan untuk pasien pada kelompok
umur 1 – 14 tahun sesuai menurut buku literatur Pediatric Dosage
Handbook edisi 9 (2002 – 2003) yaitu dosis untuk bayi dan anak 8
mg/kg/hari dibagi setiap 12 – 24 jam, dosis maksimum 400 mg/hari,
dewasa 400 mg/hari setiap 12 – 24 jam. Apabila diberikan untuk pasien
dewasa dosis tersebut juga sesuai menurut buku literatur Pediatric Dosage
Handbook edisi 9 (2002 – 2003). Sedangkan antibiotik siprofloksasin
terdapat 1 pasien dengan dosis 2x500 mg untuk kelompok umur 1 – 14
tahun (12 tahun). Pada buku Drug Information Handbook, menyatakan
bahwa dosis untuk dewasa infeksi ringan 250 mg 2x/hari, infeksi berat 500
– 750 mg 2x/hari, sehingga dosis yang diberikan sesuai untuk orang
dewasa dan kurang sesuai untuk kelompok umur 1 – 14 tahun. Antibiotik
sefotaksim, di sini digunakan pada pasien kelompok umur < 1 tahun yaitu
umur 6 bulan dengan dosis yang diberikan 2x300 mg. Dalam buku Drug
Information Handbook menunjukkan, dosis untuk bayi dan anak 1 bulan
sampai 12 tahun adalah 50 – 180 mg/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 4 –
6 jam. Untuk pasien dengan umur 6 bulan, dosis tersebut yang diberikan
sesuai menurut buku Drug Information Handbook.
36
36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Antibiotik selanjutnya yang digunakan adalah amoksisilin, yaitu
diberikan pada pasien kelompok umur 15 – 44 tahun (27 tahun) dengan
dosis 3x500 mg. Dalam buku Drug Information Handbook menyatakan,
dosis untuk anak ≤ 3 bulan adalah 20 – 30 mg/kg/hari terbagi setiap 12
jam, untuk anak > 3 bulan atau < 40 kg adalah 20 – 50 mg/kg/hari dosis
terbagi setiap 8 – 12 jam, dan untuk dewasa adalah 250 – 500 mg setiap 8
jam atau 500 – 875 mg 2x sehari, dosis maksimum 2 – 3 g/hari. Jadi, dosis
amoksisilin yang diberikan sesuai dengan buku Drug Information
Handbook untuk pasien pada kelompok umur 15 – 44 tahun.
4.13.2.6. Analisis Tepat Cara Pemberian
Berdasarkan data hasil cara pemberian, antibiotik yang diberikan
paling banyak diberikan secara oral yaitu merupakan tepat cara pemberian.
Cara pemberian secara injeksi juga termasuk tepat cara pemberian. Dalam
penelitian ini, pasien yang paling banyak adalah pasien dengan umur 1 –
14 tahun. Antibiotik lebih banyak diberikan secara oral kemungkinan
dikarenakan kebanyakan pasien adalah pasien umur 1 – 14 tahun yang
akan lebih susah diberikan secara injeksi dibandingkan diberikan secara
oral. Karena bentuk sediaan antibiotik yang tersedia di rumah sakit
maupun di pasaran adalah berupa tablet, kapsul atau puyer dan tidak bisa
diberikan secara injkesi sehingga cara pemberiannya secara oral.
4.13.2.7. Analisis Tepat Lama Pemberian
Berdasarkan hasil lama pemberian obat antibiotik menunjukkan
bahwa sebagian besar pasien DHF diberikan terapi antibiotik yaitu
berkisar antara 4 – 6 hari yang merupakan tepat lama pemberian.
Sementara untuk lama pemberian selama 1 – 3 hari, 7 – 9 hari dan > 9 hari
merupakan tidak tepat lama pemberian. Dimana, berdasarkan lama
pemberian antibiotik secara umum adalah antibiotik paling lama diberikan
selama 7 hari atau sampai antibiotik tersebut habis.
Distribusi frekuensi lama pemberian obat antibiotik disini
berdasarkan lama perawatan pasien di RS Mintohardjo, yaitu pasien
37
37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
diberikan terapi obat antibiotik pada saat pasien datang ke RS sampai
pasien keluar dari RS. Akan tetapi, ada beberapa pasien yang diberikan
antibiotik berkisar antara 1 – 3 hari kemudian pada hari berikutnya tidak
diberikan antibiotik. Hal ini dikarenakan keluhan pasien pada hari
selanjutnya yang memungkinkan untuk tidak diberikan antibiotik.
4.13.2.8. Analisis waspada efek samping
Berdasarkan hasil penelitian dari keluhan pasien, demam atau
panas, mual, muntah, sakit kepala atau pusing dan lemas adalah keluhan
yang paling banyak dikeluhkan oleh pasien DHF, baik pasien DHF yang
diberikan antibiotik maupun pasien DHF yang tidak diberikan antibiotik.
Infeksi dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus pertama
kali dapat memberi gejala sebagai demam dengue.
Keluhan pasien tersebut dapat juga ditimbulkan dari efek samping
obat antibiotik seperti seftriakson yang menimbulkan efek samping
gastrointestinal yaitu faeces encer / diare, mual, muntah, stomatitis dan
glositis. Sefiksim memberikan efek samping seperti syok, reaksi
hipersensitivitas, kelainan hematologi, peningkatan hasil tes fungsi hati,
gangguan saluran cerna, disfungsi ginjal, gangguan pernapasan, sakit
kepala atau pusing. Siprofloksasin mempunyai efek samping seperti mual,
rasa tidak enak pada perut, dyspepsia, kembung, diare dan stomatitis,
kolitis psedomembranosa, sakit kepala, pusing, tidak enak badan,
mengantuk, rasa capek, kegelisahan, insomnia, terkadang depresi,
halusinasi, pandangan kabur, psikosis dan kejang serta kulit kemerahan.
Sedangkan untuk amoksisilin mempunyai efek samping berupa reaksi
kepekaan seperti erythematosus maculopapular, rash, urtikaria, serum
sickness. Reaksi kepekaan yang serius dan fatal pada amoksisilin adalah
anafilaksis terutama terjadi pada penderita yang hipersensitif pada
penisilin, gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah dan diare,
reaksi – reaksi hematologik (biasanya bersifat reversibel).
38
38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.13.2.9. Analisis Tepat Pasien
Berdasarkan data catatan rekam medis yang didapatkan, tidak
dituliskan atau tidak dicantumkan bahwasannya pasien mempunyai
riwayat alergi, adanya penyakit kelainan ginjal atau kerusakan hati dan
kondisi khusus misalnya pasien tersebut hamil, laktasi, balita atau lansia.
Sehingga terdapat kesulitan untuk mempertimbangkan pemilihan obat dan
untuk menganalisis ketepatan pasien, apakah obat yang diberikan pada
pasien tersebut telah memenuhi syarat tepat pasien atau tidak.
Dalam teori pada penelitian ini, obat yang akan digunakan oleh
pasien mempertimbangkan kondisi individu atau pasien yang
bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan
ginal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi,
balita dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya
pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal
akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari (Swestika,
2013).
4.13.2.10. Pasien DHF berdasarkan lama perawatan
Berdasarkan hasil penelitian dari lama perawatan pasien DHF,
sebagian besar pasien dirawat di RS selama 4 – 6 hari. Pada penelitian
oleh Afiana dan Mery (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang
menunjukkan bahwa pasien DHF paling lama dirawat selama 4 – 6 hari di
Rumah Sakit. Ini dilihat dari hasil laboratorium pasien, dimana hasil data
laboratorium berdasarkan kadar trombosit pasien semakin meningkat
setiap harinya. Sehingga memungkinkan pasien untuk tidak dirawat di
rumah sakit atau diperbolehkan pulang. Kadar trombosit normal adalah
150.000 sampai 450.000 trombosit per mikro-liter darah.
4.13.2.11. Pasien DHF berdasarkan data laboratorium
4.13.2.11.1. Pasien DHF berdasarkan kadar trombosit
Berdasarkan hasil data laboratorium dilihat dari kadar trombosit
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien mengalami trombositopenia.
39
39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelitian Afiana dan Merry (2012) dari Universitas Muhammadiyah
Semarang, menunjukkan adanya penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl
biasa terjadi pada pasien DHF, sering terjadi sebelum atau bersamaan
dengan perubahan nilai hematokrit.
Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada
hari ke-3 sampai hari ke-8 sakit, yang sering terjadi sebelum atau
bersamaan dengan perubahan hemtokrit. Penurunan nilai trombosit yang
disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat
unik untuk DHF, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun
atau sebelum syok terjadi.
4.13.2.11.2. Pasien DHF berdasarkan kadar hematokrit
Berdasarkan hasil kadar hematokrit menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang mencolok antara jumlah pasien dengan hemokonsentrasi
maupun dengan kadar hematokrit normal. Jumlah pasien dengan keadaan
hemokonsentrasi lebih banyak dibanding pasien dengan kadar hematokrit
normal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Afiana dan Mery (2010)
menunjukkan jumlah pasien dengan keadaan hemokonsentrasi lebih
sedikit disbanding pasien dengan kadar hematokrit normal. Peningkatan
nilai hematokrit terjadi sebelum atau bersamaan dengan penurunan jumlah
trombosit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma
dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Perlu diketahui bahwa nilai
hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan.
40
40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Dari hasil penelitian ini dengan total jumlah 76 sampel terdiri dari 52
sampel pasien Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) yang masuk kriteria
inklusi dengan jumlah 26 pasien diberikan antibiotik dan jumlah 26 pasien
tidak diberikan antibiotik serta jumlah 24 data dengan kriteria ekslusi.
2. Dari 52 pasien DHF yang menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit Angkatan
Laut (RUMKITAL) Dr. Mintohardjo lebih banyak ditemukan jenis
kelamin perempuan dengan usia berkisar antara 1 – 14 tahun.
3. Penggunaan obat antibiotik yang paling banyak adalah golongan
sefalosporin seftriakson.
4. Terdapat pemberian obat antibiotik pada pasien Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) yaitu tidak tepat indikasi, tidak tepat obat dan tidak tepat
dosis sebanyak 12 pasien (46,15 %) dari 26 pasien. Untuk ketepatan
pasien tidak bisa disimpulkan karena data yang didapat kurang lengkap.
5.2. Saran
1. Kepada peneliti selanjutnya agar dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
penggunaan obat antibiotik pada pasien Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF).
2. Kepada dokter/perawat di Rumah Sakit agar memperjelas penulisan
Rekam Medis.
41
41 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Dertarani, Vindi. 2009. Kajian rasionalitas penggunaan antibiotik di bagian Ilmu
Bedah RSUP Dr. Kariadi periode Agustus-Desember 2008. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Hooton, T. M., and Levy, S. B. 2001. Confronting The Antibiotic Resistance
Crisis: Making Appropriate Therapeutic Decisions in Community Medical
Practic., Medscape Portals.
http://www.rsaldrmintohardjo.com/ (diakses pada tgl 6 Feb. 2014 pukul 10:49)
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasinoal.
Ken Chen, Herdiman T. Pohan, Robert Sinto. 2009. Diagnosis dan Terapi cairan
pada Demam Berdarah Dengue. Jurnal Medicinus , 22 (1) , 3–7.
Kee JL, Hayes ER. 1996. Pharmacology: a Nursing Process Approach. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC. h. 324-327.
Mitrea, LS. 2008. Pharmacology. Canada: Natural Medicine Books. h. 53.
MM DEAH Hapsari. 2010. Tata Laksana Infeksi Dengue. Dalam : : MM DEAH
Hapsari, editor. Update Demam Berdarah Dengue : Naskah lengkap. Semarang :
Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 45-74
Moh Supriatna. 2010. Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : MM
DEAH Hapsari, editor. Update Demam Berdarah Dengue : Naskah lengkap.
Semarang : Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 7-28
Neal, Michael J. 2006. Medical Pharmacology At a Glance. Edisi 5. Penerbit
Erlangga.. h. 81
42
42 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rohmani, Afiana dan Merry T.A. 2012. Pemakaian Antibiotik Pada Kasus
Demam Berdarah Dengue Anak Di Rumah Sakit Roemani Semarang Tahun 2010.
Semarang: FK UMS. ISBN: 978-602-18809-0-6. Seminal Hasil – Hasil
Penelitian-LPPM UNIMUS 2012.
Staf Pengajar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 585- 586.
Staf Pengajar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 587- 588,
590-595
Stringer, Janet L. 2006. Basic Concepts in Pharmacology: a Student’s Survival
Guide. Edisi 3. (diterjemahkan oleh: dr. Huriawati Hartanto). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC. h. 186 – 199.
Swandari, Swestika. 2013. Penggunaan Obat Rasional (POR) Melalui Indikator 8
Tepat dan 1 Waspada. http:bppkmakassar.com diakses pada 4 Maret 2014 pukul
17.26 WIB.
Taketomo, Carol K. Hodding, Jane H. Kraus, Donna M. 2002 – 2003. Pediatric
Dosage Handbook edisi 9. American Pharmaceutical Association.
43
43 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. DEFINISI KELOMPOK USIA (Pediatric Dosage Handbook edisi 9
(2002 – 2003)
Bayi : umur 1 bulan – 1 tahun
Anak – anak : umur 1 – 12 tahun
Remaja : umur 13 – 18 tahun
Dewasa : umur > 18 tahun
44
44 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Alur Penelitian
Pengajuan surat izin penelitian
kepada KARUMKIT dan
BANGDIKLAT RUMKITAL
Dr. Mintohardjo Jakarta
Surat disetujui oleh
KARUMKIT, diterima dan
di ACC oleh pihak
BANGDIKLAT
Administrasi pembayaran Surat ke pihak ruang rawat dari
BANGDIKLAT
Surat ke pihak perawat ( kepala
bidang perawat ) dari
BANGDIKLAT
Surat ke ruang rekam medis
dari BANGDIKLAT
Pengambilan data di ruang
rekam medis Pengolahan data
Penyusunan skripsi
45
45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3
46
46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4
47
47 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5