V. GAMBARAN UMUM
5.1. Taman Nasional Gunung-Halimun Salak (TNGHS)
Kawasan Gunung Halimun sebelum menjadi taman nasional merupakan
kawasan hutan lindung dibawah Pemerintahan Belanda pada tahun 1924.
Kemudian pada tahun 1935 kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai
kawasan cagar alam oleh Djawatan Kehutanan Republik Indonesia dan
pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintahan Belanda beserta Republik
Indonesia. Selama menjadi cagar alam, pengelolaan kawasan Halimun mengalami
beberapa pergantian pengelolaan. Pada tahun 1961 kawasan cagar alam Gunung
Halimun dikelola dibawah Perum Perhutani Jawa Barat, tahun 1979 dikelola Balai
Konservasi Sumberdaya Alam III dibawah Sub Balai Konservasi Sumberdaya
Alam Jawa Barat dan kemudian dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede-
Pangrango pada tahun 1990 (Hartono et al, 2007).
Awal sejarah penunjukkan kawasan Gunung Halimun sebagai kawasan
taman nasional adalah berawal dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
282/Kpts-II/1992 pada tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 hektar
sebagai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Atas dasar kondisi
sumberdaya alam hutan di Gunung Salak yang semakin terancam rusak dan
adanya desakan para pihak yang peduli konservasi alam menjadi alasan kawasan
Halimun dan Salak ditetapkan sebagai kawasan taman nasional (Hartono et al
2007). Alasan selanjutnya adalah kawasan hutan yang berada di Gunung Halimun
dan Gunung Salak juga merupakan kesatuan hamparan hutan yang memilik tipe
yang sama, yaitu hutan dataran rendah dan hutan pegunungan. Kedua kawasan ini
mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dan juga memiliki hasil jasa
42
lingkungan yang penting yaitu berupa sumber mata air yang sangat berguna bagi
kehidupan masyarakat sekitar hutan Gunung Halimun dan Salak (Dephut 2003).
Alasan-alasan tersebut yang kemudian membuat kawasan TNGH ditambah
dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut serta kawasan di sekitarnya
yang status sebelumnya merupakan hutan produksi terbatas dan hutan lindung
yang dikelola Perum Perhutani diubah fungsinya menjadi hutan konservasi dalam
satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
(TNGHS) melalui SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 dengan luas total
113.357 hektar (Hartono et al, 2007).
Hartono et al (2007) juga menyebutkan alasan lain yang mendasari
penunjukkan kawasan Gunung Halimun sebagai taman nasional adalah kawasan
ini memiliki karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem
hutan hujan tropis di Pulau Jawa terutama Jawa Barat. Alasan selanjutnya adalah
kawasan Gunung Halimun juga berfungsi sebagai kawasan tangkapan air dan juga
merupakan habitat satwa unik yang ada di Gunung Halimun seperti Owa Jawa,
Elang Jawa dan Macan Tutul. Pengelolaan TNGHS berada di bawah Balai Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS). Sejarah TNGHS dijabarkan pada
Tabel 6 berikut :
Tabel 6. Sejarah Perkembangan Kawasan TNGHS
Tahun Status Kawasan Gunung Halimun
1924-1934 Status sebagai hutan lindung dibawah pemerintahan Belanda dengan luas
mencakup 39,941 hektar
1935-1961 Status cagar alam dibawah pengelolaan pemerintahan Belanda dan
Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Republik Indonesia
1961-1978 Status cagar alam dibawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat
1979-1990 Status cagar alam dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya
Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat
1990-1992 Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango
1992-1997 Status taman nasional dibawah pengelolaan Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango
43
Tabel 6. (lanjutan)
Tahun Status Kawasan Gunung Halimun
1997-2003 Status taman nasional dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional
Gunung Halimun setingkat Eselon III
2003 Status penunjukkan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak seluas 113.357 hektar (merupakan penggabungan
kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung
Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya)
Sumber : Hartono et al (2007)
Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) terletak di
dua propinsi yakni Propinsi Jawa Barat dan Banten serta tiga kabupaten yaitu
Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Dalam tiga
kabupaten tersebut, terdapat 26 Kecamatan (9 Kecamatan berada di Kabupaten
Bogor, 8 Kecamatan berada di Kabupaten Sukabumi dan 9 Kecamatan di
Kabupaten Lebak) serta terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya di
dalam dan/atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS (Dephut 2007).
Sumber : Hartono et al (2007)
Gambar 4. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
44
Kawasan TNGHS memiliki jalur batas yang panjang dan juga terdapat
beberapa enclave berada di dalamnya. Seperti enclave Perkebunan Nirmala dan
Cianten yang merupakan dua enclave perkebunan teh. Selain itu, terdapat pula
beberapa lahan garapan pertanian dan pemukiman. Konon, para petani sudah
tinggal berpuluh-puluh tahun sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Walau banyak dari mereka yang sudah meninggalkan kawasan tetapi
keturunannya masih tetap tinggal di kawasan taman nasional sampai sekarang
(Hartono et al. 2007)
Terdapatnya kampung adat didalam kawasan TNGHS yang mempunyai
pola hidup berpindah-pindah menjadi salah satu kekhawatiran akan terjadinya
degradasi SDA di TNGHS. Dalam kurun waktu 1989-2004 diperkirakan telah
terjadi deforestasi sebesar 25% atau berkurang sebesar 22000 Ha dengan laju
sebesar 1.3% per tahun. Deforestasi tersebut diikuti dengan kenaikan secara
konsisten semak belukar, ladang dan perumahan (Prasetyo dan Setiawan 2006)
dan sebagian besar deforestasi terjadi di wilayah perluasan. Data mengenai
kecamatan dan desa yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan P. 29/ Menhut-II/2006
tanggal 2 Juni 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai dan Unit Taman
Nasional dan Surat Kepala Balai No: SK. 16/Kpts/VI-T.13/Peg/2011 TNGHS 6
Januari 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (Departemen Kehutanan 2007), TNGHS termasuk taman nasional
tipe B yaitu terdiri dari satu orang Kepala Balai setingkat eselon IIIa ditambah
satu orang Kepala Sub Bagian Tata Usaha setingkat eselon IVa serta kelompok
45
jabatan fungsional yang terdiri dari Polisi Kehutanan (POLHUT) dan Pengendali
Ekosistem Hutan (PEH). Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
(BTNGHS) memiliki tiga Kantor Seksi Wilayah yang antara lain Kantor Seksi
Wilayah I Lebak, Kantor Wilayah Seksi II Bogor dan Kantor Seksi Wilayah III
Sukabumi. Wilayah Kasepuhan Adat Cibedug berada di wilayah Kantor Seksi
Lebak dibawah Resort Cibedug. Untuk lebih jelas, bisa dilihat pada Gambar 5.
Tabel 7. Wilayah Administratif Pemerintahan Desa, Kecamatan, Kabupaten
di Sekitar Kawasan TNGHS
Kabupaten Wilayah Administrasi yang Termasuk Dalam Kawasan Hutan TNGHS
Kecamatan Desa Sukabumi Cicurug Cisaat, Tenjolaya, Kutajaya, Pasawahan
Cidahu Girijaya, Cidahu
Parakan Salak Sukatani, Parakansalak
Kalapanunggal Gunung Endut, Pulosari
Cikidang Cikiray, Mekarnangka, Gunung Malang
Cisolok Karangpapak, Sirnaresmi
Cikakak Cimaja, Cileungsing, Margalaksana, Sirnarasa
Kabandungan Mekarjaya, Kabandungan, Cipeuteuy, Cihamerang, Cinaga
Bogor Sukajaya Kiarasari, Cisarua, Kiarapandak, Pasirmadang, Cileuksa, Sukamulih
Jasinga Jugalajaya, Pangradin, Curug
Nanggung Malasari, Bantarkaret, Curugbitung, Cisarua
Leuwiliang Puraseda, Purasari
Pamijahan Gn. Picung, Cibunian, Gn. Asri, Ciasihan, Gn. Bunder 2
Tenjolaya Tapos I, Gn.Malang
Tamansari Tamansari, Sukajadi, Sukaluyu
Cijeruk Cipelang, Sukaharja, Tajurhalang, Cijeruk
Cigombong Pasirjaya, Tugujaya
Lebak Cipanas Cipanas, Luhurjaya, Banjaririgasi, Ciladaeun, Lebakgedong,
Banjarsari, Lebaksitu, Lebaksangka
Muncang Pasirnangka, Karang Combong, Cikarang
Sobang Cirompang, Sobang, Hariang, Cilebang, Sukajaya, Majasari,
Sukamaju, Citujah, Sindanglaya, Ciparay
Sajra Leuwikopo, Ciminyak, Maraya, Pasirhaur, Girijaya, Jayapura,
Giriharja
Leuwidamar Kanekes
Cijaku Cikate
Panggarangan Gununggede, Sogong, Jatake
Bayah Cisuren
Cibeber Cihambali, Mekarsari, Hegarmanah, Neglasari, Kujangjaya,
Sirnagalih, Cikadu, Cisungsang, Kujangsari, Situmulya, Citorek,
Ciusul
Sumber : BPS Kab. Sukabumi, BPS Kab. Bogor tahun (2004-2005) dalam
Aprianto (2008)
46
5.2. Kondisi Umum Resort Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun
Salak
Resort Cibedug memiliki luas 11.526,435 Ha dan secara geografis terletak
pada 106o12’58”-106
o20’32” bujur timur dan 06
o40’58”-06
o48’15” lintang
selatan. Secara administratif kawasan Resort Cibedug terletak pada 4 kecamatan
yaitu Kecamatan Sobang, Cibeber, Panggarangan, Cijaku dan terletak pada 9 Desa
antara lain Desa Ciparay, Citorek, Sukamaju, Cirompang, Sukajaya, Cilebang,
Gn. Gede, Jatake, dan Cikate. Kantor Resort Cibedug sendiri terletak di Desa
Ciparay/ Citorek Timur Kecamatan Cibeber (BTNGHS 2010).
Kawasan resort Cibedug memiliki topografi yang bergelombang, berbukit-
bukit dan bergunung dengan ketinggian tempat bervariasi mulai dari 600- 1100
meter diatas permukaan laut (mdpl) dengan kemiringan lereng berkisar antara
15% sampai dengan 40%. Berdasarkan Schmidt dan Ferguson (1951), daerah
Resort Cibedug mempunyai tipe iklim B dengan perbandingan jumlah rata-rata
bulan kering dan bulan basah (Q) adalah 24,7 serta suhu rata-rata bulanan 21o
Celcius. Suhu terendah di Resort Cibedug adalah 17o Celcius dan suhu tertinggi
adalah 33o Celcius dengan kelembaban udara rata-rata 75% dan rata-rata curah
hujan yaitu 4000-6000 mm/tahun.
47
Keterangan : (*) untuk setiap kantor Resort memiliki nama lengkap Resort Pengelolaan Taman Nasional Wilayah
Lokasi Penelitian
Gambar 5. Bagan Struktur Organisasi TNGHS
Kepala Balai
Kepala Sub Bagian Tata Usaha
1. Urusan Umum
2. Urusan Kepegawaian
3. Urusan Keuangan
4. Urusan Perencanaan, Data Evaluasi dan Pelaporan DIPA
5. Urusan Kerjasama dan Hubungan Masyarakat
6. Urusan Bina Cinta Alam, Kader Konservasi dan Pusat
Penelitian Cikaniki
7. Urusan Perlindungan dan Kebakatan Hutan
Seksi Pengelolaan
TN Wilayah I Lebak
Resort*
Cisoka
Resort*
Gn
Bedil
Resort*
Cibedug
Seksi Pengelolaan
TN Wilayah II Bogor
Resort*
Gn
Kencana
Resort*
Gn
Botol
Resort*
Gn
Talaga
Seksi Pengelolaan TN
Wilayah III Sikabumi
Resort*
Gn
Kendeng
Resort*
Cimantaja
Resort*
Gn
Bodas
Kelompok Jabatan Fungsional
Resort*
Panggarangan
Resort*
Gn
Bangkok
Resort*
Gn
Butak
Resort*
Gn Salak
I
Resort*
Gn Salak
II
Resort*
Kawah
Ratu
Resort*
Sukawa
yana
1. Sub Seksi Umum
2. Sub Seksi Konservasi
Kawasan
3. Sub Seksi
Perlindungan dan
Pengendalian
Kebakaran Hutan
1. Sub Seksi Umum
2. Sub Seksi Konservasi
Kawasan
3. Sub Seksi
Perlindungan dan
Pengendalian
Kebakaran Hutan
1. Sub Seksi Umum
2. Sub Seksi Konservasi
Kawasan
3. Sub Seksi
Perlindungan dan
Pengendalian
Kebakaran Hutan
48
40%
6%
38%
14%
2% Hutan (40%)
Kebun (6%)
Semak, Rumput (38%)
Sawah, Ladang (14%)
Lahan Terbuka (2%)
Secara umum, penutupan hutan di kawasan Resort Cibedug merupakan
hutan primer dan hutan sekunder. Tipe hutan di kawasan ini merupakan hutan
hujan tropis pegunungan yang dapat dibagi menjadi tiga zona utama yaitu Zona
Collin (600-1000 mdpl) dan Zona Sub Montana (1000-1500 mdpl) (BTNGHS
2010). Namun, di beberapa tempat pada pinggiran kawasan terdapat pula semak
belukar, hutan tanaman, sawah dan perkebunan karet. Keadaan ekosistem hutan
Resort Cibedug banyak yang sudah rusak akibat penebangan liar dan perambahan.
Akibatnya banyak tumbuh pohon pionir seperti Kareumbi (Omalanthus
populneus), Cangcaratan (Naulea lanceolata), Manggong (Macaranga rhizoldes)
dan Puspa (Schima walichii). Besarnya persentase luas penutupan lahan di
kawasan Resort Cibedug TNGHS dijelaskan diagram pada Gambar 6 berikut.
Sumber : TNGHS 2010 (diolah)
Gambar 6. Persentase Luas Tutupan Lahan Resort
Cibedug, TNGHS
Keanekaragaman satwa yang dimiliki Resort Cibedug masih relatif cukup
tinggi walaupun kondisi hutan di kawasan resort ini banyak mengalami gangguan
(BTNGHS 2010). Pada Resort Cibedug terdapat berbagai jenis burung (aves)
seperti elang jawa, elang hitam, elang ular, binatang menyusui (mamalia), seperti
owa jawa, surili, serangga (insekta), binatang melata (reptilia), amfibia, berbagai
jenis moluska dan satwa air yang secara umum habitat satwa-satwa tersebut
49
tersebar merata di seluruh kawasan taman nasional. Secara keseluruhan, kawasan
TNGHS memiliki 244 jenis burung atau setara dengan 50% dari jumlah jenis
burung yang hidup di Jawa dan Bali, 61 jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 50 jenis
reptilia dan berbagai jenis serangga yang 26 jenis diantaranya adalah dari jenis
capung (Dephut 2007).
Kawasan TNGHS juga memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi.
Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di dalam hutan TNGHS yang
meliputi 391 marga dari 119 suku (Dephut 2007). Pada ketinggian 500 m – 700 m
diatas permukaan laut (dpl) ditemukan tumbuhan dari keluarga Dipterocarpaceae
yang merupakan ciri-ciri dari hutan hujan tropis. Jenis-jenis tumbuhannya yaitu
Dipterocarpus trinensis dan Dipterocarpus gracilis, akan tetapi jumlah tumbuhan
dari jenis ini jumlahnya sudah semakin berkurang akibat penebangan liar
(BTNGHS 2010).
Jenis-jenis tumbuhan bawah dan tumbuhan memanjat juga telah banyak
diketahui berada di dalam kawasan TNGHS. Jenis tumbuhan tersebut antara lain
beberapa jenis rotan seperti Calamus spp, Plectocomia elongata, Daemonorops
spp, lalu pandan memanjat (Freycinetia javanica) dan paku andam (Glichenia
linearis). Dalam kawasan TNGHS juga tercatat terdapat 75 jenis anggrek yang
hidup di TNGHS dan beberapa diantara jenis-jenis anggrek tersebut merupakan
jenis langka. Selain anggrek tumbuhan menarik yang dapat dijumpai di dalam
kawasan TNGHS adalah tumbuhan kantong semar (Nephentes sp.). Dengan
keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi serta keterikatan yang kuat antara
kawasan dengan masyarakat yang ada di dalam taman nasional membuat resort
50
Cibedug memiliki fungsi yang penting dalam hal pengawasan hutan TNGHS yang
berada di dalam wilayah resort Cibedug.
5.3. Sejarah Penduduk Kasepuhan Adat Cibedug
Asal-usul sejarah wewengkon adat Kasepuhan Cibedug dimulai pada
tahun 1942 yang pada saat itu wewengkon (wilayah) tersebut merupakan
kampung yang terlebih dahulu dibuka oleh orang Citorek dimana antara warga
Citorek dan Cibedug telah memahami proses tersebut karena masing-masing
menjaga amanat yang yang disampaikan oleh sesepuh mereka. Tokoh yang
pertama kali masuk ke wewengkon Adat Cibedug tersebut diantaranya Aki
Winata yang akrab dipanggil Aki Uin, lalu Aki Mursadam dan Aki Aspan.
Warga adat Cibedug telah mengalami beberapa kali perpindahan kampung
sesuai dengan tugas dan amanat leluhur mereka yaitu “Ngajaga turunan anu
Kidul” yang apabila diartikan menjadi menjaga incu-putu masyarakat adat
kasepuhan-kasepuhan yang ada di wilayah Banten Kidul. Nama-nama kampung
masyarakat Cibedug yang menjadi tempat mereka sebelum sampai ke Cibedug
antara lain meliputi Sajra, Lebak Menteng, Cidikit, Sinagar, Bojong Neros,
Sangyang dan hingga saat ini menempati wilayah Cibedug. Wewengkon Cibedug
memiliki batas-batas yang jelas yang ditandai dengan patok alam atau oleh
masyarakat Cibedug dikenal dengan sebutan tugu. Luas wewengkon adat
Kasepuhan Cibedug adalah sebesar 2104,4 Ha. Batas-batas wewengkon Cibedug
antara lain di sebelah barat berbatasan dengan Desa Cikate yang ditandai dengan
Tugu Lebak Cimuda, sebelah Utara Tugu Parawilu yang berbatasan dengan Desa
Kanekes, sebelah selatan ditandai dengan Batu Pasir Ipis dan sebelah timur
51
berbatasan dengan wewengkon adat Kasepuhan Citorek yang ditandai dengan
tugu Pasir Manggu dan Gunung Batu.
Dalam hal hubungan terhadap pemerintahan desa (ngaitkeun
pamarentahan), Kasepuhan Cibedug telah mengalami sebanyak 11 kali pergantian
Jaro atau kepala desa. Jaro disini merupakan salah satu bagian dari struktur adat
dari Kasepuhan Cibedug yang mempunyai tugas sebagai penghubung antara
urusan kepemerintahan dengan pihak adat. Pada penjelasan sebelumnya, wilayah
wewengkon adat Kasepuhan Cibedug secara administrasi masuk dalam wilayah
Desa Citorek Barat bersama dengan Kasepuhan Citorek. Adanya dua kasepuhan
di dalam satu desa ini menyebabkan jaro Desa Citorek Barat berada di dalam dua
kasepuhan yaitu Kasepuhan Cibedug dan Kasepuhan Citorek. Tokoh-tokoh yang
pernah menjadi jaro di Kasepuhan Cibedug dari informasi kasepuhan dan pihak
desa yaitu dimulai dari Jaro Saonah, Nahari, Jaili, Markin, Sukarta, Usman,
Nurkib, Sumedi, Subandi, Didi Jayadi dan sekarang dipimpin oleh Jaro Dian
Purnama.
Dalam proses perpindahan dijelaskan bahwa masyarakat Kasepuhan
Cibedug melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain pada saat tertentu
berdasarkan wangsit dari nenek moyang mereka melalui ketua adat. Wilayah yang
saat ini ditempati oleh masyarakat Cibedug selain merupakan hasil dari wangsit
dan di wilayah ini juga terdapat sebuah situs yang disakralkan. Mereka percaya
bahwa situs ini yang menandakan masyarakat Cibedug harus menempati wilayah
tersebut, wilayah yang sampai sekarang mereka tempati. Situs tersebut terbuat
dari batu yang menancap di dalam tanah dan ditempatkan di dalam sebuah rumah
untuk menjaganya. Untuk masuk ke situs ini, apabila orang luar harus didampingi
52
oleh seorang baris kolot, lalu tidak boleh masuk pada hari pantang yaitu hari
Selasa dan Jumat dan setiap masuk ke dalam situs ini harus membawa uang logam
untuk dilemparkan di dalam situs ini. Peninggalan sejarah ini juga merupakan
salah satu objek daya tarik wisata bagi TNGHS yang berada di kawasan Resort
Cibedug (BTNGHS, 2010).
(a) (b)
(c)
Gambar 7. Kondisi Situs Cibedug. (a) Jalan Menuju Tempat Situs, (b)
Seorang Baris Kolot Sedang Melakukan Ritual Sebelum Memasuki Tempat
Situs, (c) Situs Cibedug
53
5.4. Kondisi Penduduk Kasepuhan Adat Cibedug
Kasepuhan Cibedug adalah salah satu kasepuhan yang mendiami kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kasepuhan lain yang ada di dalam
kawasan TNGHS antara lain Kasepuhan Citorek, Ciptagelar, Sirnaresmi,
Ciptamulya, Cisitu, Cisungsang, Ciusul, Urug, Cicarucub, Bayah dan Giri Jaya
(Aprianto, 2008). Pada tiap kasepuhan dipimpin oleh sesepuh yang biasa
dipanggil abah olot atau ama. Masyarakat adat kasepuhan merupakan masyarakat
menurut sejarah yang ditulis oleh para antropolog dan ahli sejarah, asal usul
masyarakat Kasepuhan di TNGHS digolongkan dalam empat kategori, yaitu (a)
masyarakat yang dulunya merupakan pelarian dari Kerajaan Pajajaran yang
sekarang dikenal dengan nama Kasepuhan; (b) masyarakat yang berasal dari
laskar Mataram yang memberontak, (c) masyarakat pelarian dari culturstelsel –
buruh-buruh perkebunan dan (d) masyarakat pelarian pada masa perang
kemerdekaan (Emilia dan Suwito 2006).
Secara administratif Kasepuhan Cibedug termasuk kedalam wilayah Desa
Citorek Barat Kecamatan Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Pada Desa
Citorek Barat ini, selain terdapat Kasepuhan Cibedug terdapat pula satu
kasepuhan lain berada di wilayah ini yaitu Kasepuhan Citorek. Jumlah penduduk
Kasepuhan Cibedug adalah 139 KK dengan jumlah laki-laki sebanyak 216 jiwa
dan perempuan sebanyak 166 jiwa dengan sebagian besar berusia antara 10 – 19
tahun (BPD Citorek Barat 2010). Keterangan lebih lanjut tentang penduduk
Kasepuhan Cibedug dijelaskan pada Tabel 8 berikut.
54
Tabel 8. Data Penduduk Kasepuhan Cibedug
Sumber : BPD Citorek Barat (2010)
Rata-rata pendidikan penduduk di Kasepuhan Cibedug adalah tamat
sekolah dasar (SD) dan hanya sebagian kecil yang meneruskan ke jenjang sekolah
menengah pertama (SMP). Hal ini dikarenakan minimnya fasilitas pendidikan di
wilayah Kasepuhan Cibedug yang hingga saat ini hanya ada satu sekolah dasar
dan apabila ingin melanjutkan ke SMP harus menempuh jarak ± 8 km menuju
No Penduduk Kasepuhan Adat Cibedug Jumlah (dalam
Jiwa)
Persentase
(%)
1 Rasio Jenis Kelamin a. Laki-Laki 216 56,5
b. Perempuan 166 43,5
382 100
2 Rasio Tingkat Usia
a. 0 – 9 tahun 61 16
b. 10 – 19 tahun 82 21,5
c. 20 – 29 tahun 80 21
d. 30 – 39 tahun 51 13,3
e. 40 – 49 tahun 40 10,5
f. 50 – 59 tahun 25 6,5
g. 60 – 69 tahun 24 6,3
h. 70 – 79 tahun 16 4,2
i. 80 – 89 tahun 2 0,5
j. 90 – 99 tahun 1 0,2
382 100
3 Tingkat Pendidikan
a. Tidak Sekolah 70 18,3
b. Belum Sekolah 41 10,7
c. Tamat SD 225 59
d. Tidak Tamat SD 25 6,5
e. Tamat SLTP 15 4
f. Tamat SLTA 6 1,5
382 100
4 Mata Pencaharian
a. Petani/Pekebun 102 26,7
b. Mengurus Rumah Tangga 103 27
c. Pelajar/Mahasiswa 24 6,3
d. Tidak/Belum Bekerja 132 34,5
e. Guru 2 0,5
f. Buruh Harian 3 0,7
g. Buruh Perkebunan 13 3,4
h. Wiraswasta 1 0,3
i. Wartawan 1 0,3
j. Pembantu Rumah Tangga 1 0,3
382 100
5 Agama
a. Islam 382 100
b. Non Islam 0 0
382 100
55
Desa Citorek Barat. Akibat dari fasilitas yang minim ini pula, terdapat masyarakat
yang tidak mengenyam pendidikan sebagai jumlah terbanyak selanjutnya setelah
tamat pendidikan dasar.
Mata pencaharian masyarakat Kasepuhan Cibedug sebagian besar adalah
petani atau pekebun dan sebagai ibu rumah tangga. Akan tetapi, banyak juga di
masyarakat Kasepuhan Cibedug yang tidak bekerja atau belum mempunyai
pekerjaan. Lahan persawahan merupakan tempat garapan yang digunakan
masyarakat adat Cibedug dan hampir semuanya ditanami padi. Tanaman berkayu
seperti pohon sengon/jeunjing (Albizia falcataria) serta pohon buah-buahan dan
tanaman salada juga biasa ditanam di pekarangan rumah masyarakat untuk
dimanfaatkan.
Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sebagian besar masih menggunakan
kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Kayu-kayu yang mereka gunakan
biasanya mereka dapatkan dari ranting-ranting atau kayu yang sudah mati dan
kering lalu mereka kumpulkan. Selain nyawah, di beberapa rumah masyarakat
Cibedug mereka juga memelihara ayam, bebek (mereka biasa menyebut dengan
manila) dan juga kolam atau empang untuk memelihara ikan yang hasilnya
mereka gunakan untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri. Apabila sedang tidak
pergi ke sawah, penduduk kasepuhan adat Cibedug untuk yang laki-laki biasanya
berada dirumah sedangkan untuk penduduk perempuan terkadang membuat
beberapa peralatan yang berbahan dasar dari bambu untuk digunakan untuk
memasak atau sebagai wadah hasil memancing ikan. Barang-barang yang biasa
dibuat antara lain : 1) Boko, digunakan untuk menyimpan nasi yang sudah
matang, 2) Sair, digunakan untuk menjemur makanan, 3) Kalo, biasanya
56
digunakan untuk mengayak beras sebelum dimasak, 4) Aseupan, digunakan untuk
memasak beras, 5) Tolok, biasa digunakan untuk tempat mengumpulkan ikan
sehabis memancing dan 6) Tudung, semacam topi yang digunakan untuk pergi ke
sawah ataupun ke ladang.
(a) (b)
(c)
Gambar 8. Gambaran Keadaan Kasepuhan Cibedug. (a) Lahan Sawah (b)
Kolam/empang, (c) Tolok