V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Indentifikasi Faktor Pendorong Terbentuknya Lembaga Kerjasama
Antar Daerah BARLINGMASCAKEB
5.1.1. Proses Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB
Lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB terbentuk pada
tanggal 28 Juni 2003 berdasarkan Keputusan Bersama Bupati Banjarnegara,
Bupati Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap, dan Bupati Kebumen,
Nomor: 130.A Tahun 2003; Nomor: 4 Tahun 2003; Nomor: 36 Tahun 2003;
Nomor: 48 Tahun 2003 dan Nomor: 16 tahun 2003 Tentang Pembentukan
Lembaga Kerjasama Regional Management dan Regional Marketing Antar
Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Pemerintah Kabupaten Purbalingga,
Pemerintah Kabupaten Banyumas, Pemerintah Kabupaten Cilacap dan Pemerintah
Kabupaten Kebumen. Terbentuknya lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB sebenarnya melalui proses yang cukup panjang. Berawal
dari pelaksanaan Seminar Nasional “Meningkatkan Sinergi Daya Saing dalam
Globalisasi dan Otonomi Daerah” yang diselenggarakan oleh Magister
Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, di Semarang tanggal 4
April 2002, yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah kabupaten/kota di Jawa
Tengah, konsep Regional Management dan Regional Marketing mulai
diperkenalkan kepada beberapa daerah yang berpotensi untuk melakukan
regionalisasi (Abdurahman, 2009).
Berdasarkan dukungan akademik tersebut, apresiasi pembentukan lembaga
kerjasama antar daerah muncul dari Ketua APKASI (Asosiasi Pemerintahan
Kabupaten Seluruh Indonesia) Koordinator Wilayah Jawa Tengah yang juga
menjabat sebagai Bupati Purbalingga. Pada kegiatan Rakor APKASI Koordinator
Wilayah Jawa Tengah pada tanggal 19 Oktober 2002 bertempat di “Café
Maharani” Purwokerto, dengan didampingi Tim UNDIP, melakukan diskusi
intensif dengan Bupati Banjarnegara, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan
Bupati Kebumen sebagai “aktor regional potensial” untuk membentuk
regionalisasi di wilayah “banyumasan” (Abdurahman, 2009).
100
Dalam kegiatan diskusi ini berkembang kesadaran, kemauan politik
(political will) dan upaya nyata kabupaten terkait di wilayah ini dalam
mensinergikan berbagai potensi dan kekuatan lokal secara bersama. Krisis
ekonomi yang berkelanjutan dan implikasi pelaksanaan otonomi daerah memberi
dorongan bagi beberapa daerah di wilayah selatan Jawa Tengah ini untuk
melakukan konsolidasi dan kebijakan strategis yang bersifat regional. Tumbuhnya
kesadaran untuk mensinergikan berbagai potensi dan kekuatan lokal secara
bersama, ditindaklanjuti dengan melakukan sosialisasi kepada para pejabat teknis
di tingkat kabupaten mengenai pentingnya kegiatan kerjasama antar daerah dalam
bentuk Regional Management pada tanggal 11 November 2002. Pada kegiatan ini
disepakati perlunya membentuk “Tim Persiapan” pembentukan lembaga
kerjasama antara daerah “BARLINGMASCAKEB”. Nama ini diambil dari
akronim lima kabupaten yang bersepakat melakukan kerjasama antar daerah yaitu
Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas,
Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kebumen. Anggota dari “Tim Persiapan”
adalah para kepala Bappeda atau pejabat lain yang ditunjuk yang berasal dari
perwakilan lima kabupaten di wilayah “banyumasan’. Dalam kegiatan ini juga
disepakati perlunya landasan hukum bagi pelaksanaan kerjasama antar daerah.
Untuk itu perlu dibuat suatu letter of Agreement dalam bentuk kesepakatan
bersama lima bupati untuk melakukan kerjasama antar daerah dan Memorandum
of Understanding (MoU) berupa keputusan bersama lima bupati tentang
pembentukan lembaga kerjasama antar daerah. Pembuatan draf kesepakatan
bersama dan keputusan bersama ini menjadi tugas dari ‘Tim Persiapan” tersebut.
Embrio kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB ini kemudian
terwujud setelah dilakukan penandatanganan kesepakatan bersama antar lima
bupati di wilayah “banyumasan” untuk melakukan kerjasama antar daerah melalui
penerapan konsep Regional Management yang diorientasikan pada kegiatan
Regional Marketing. Penandatanganan Kesepakatan Bersama (letter of
Agreement) lima bupati dilaksanakan pada tanggal 16 Desember 2002 bertempat
di Gedung Graha Bhakti Praja BAKORLIN Wilayah III Purwokerto. Dalam
kegiatan ini sekaligus dilakukan kegiatan sosialisasi konsep dimaksud kepada
jajaran legislatif dan stakeholders yang lain.
101
Kemauan bersama untuk membentuk wadah kerjasama antar daerah dalam
kerangka pembangunan regional lima kabupaten pada akhirnya terwujud melalui
penandatanganan Keputusan Bersama Bupati (KBB) Banjarnegara, Purbalingga,
Banyumas, Cilacap, dan Kebumen, Nomor 130.A Tahun 2003; Nomor 4 Tahun
2003; Nomor 36 Tahun 2003; Nomor 48 Tahun 2003 dan Nomor 16 Tahun 2003
tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management dan Regional
Marketing Antar Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Pemerintah Kabupaten
Purbalingga, Pemerintah Kabupaten Banyumas, Pemerintah Kabupaten Cilacap
dan Pemerintah Kabupaten Kebumen. Penandatanganan Keputusan Bersama
Bupati ini dilakukan di Hotel Queen Garden Baturaden pada tanggal 28 Juni 2003
setelah mendapat persetujuan dari DPRD masing-masing kabupaten sebagai
wujud dukungan lembaga legislatif sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangan.
Penandatanganan Keputusan Bersama lima bupati tersebut telah menjadi
dasar operasionalisasi kegiatan dari lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB. Atas dasar hal tersebut, pada tanggal yang sama para
bupati sebagai anggota Forum Regional langsung melaksanakan rapat
membentuk Dewan Eksekutif sebagai pelaksana operasional dalam menjabarkan
kebijakan-kebijakan Forum Regional. Dalam rapat tersebut disepakati Bupati
Purbalingga sebagai Ketua Dewan Eksekutif sedangkan Sekretaris Dewan
Eksekutif dijabat oleh Kepala Badan Koordinasi Pembangunan Lintas
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah wilayah III.
Untuk menunjang keberlangsungan aktivitas Regional Management
BARLINGMASCAKEB, pada tanggal 13 Agustus 2003 Forum Regional
kembali melakukan pertemuan dengan agenda menetapkan kelengkapan
perangkat kelembagaan yang diperlukan bagi organisasi kerjasama antar daerah
tersebut agar bisa berjalan. Dari kegiatan pertemuan tersebut disepakati hal-hal
sebagai berikut; (1) menyetujui Logo, Stempel, dan Kop Surat Lembaga
kerjasama Regional Management BARLINGMASCAKEB; (2) memerintahkan
kepada Dewan Eksekutif untuk melakukan rekruitmen bagi calon Regional
Manager; (3) mengangkat caretaker Regional Manager untuk menjalankan tugas
102
operasional harian lembaga kerjasama sampai terpilihnya Regional Manager yang
definitif.
Meskipun kelengkapan perangkat kelembagaan organisasi sebagaimana
tercermin dari hasil kesepakatan rapat Forum Regional Regional Management
BARLINGMASCAKEB menjadi persyaratan bagi berlangsungnya aktivitas
lembaga kerjasama antar daerah namun, efektivitas kelembagaan dari lembaga
tersebut sangat tergantung dari struktur kelembagaan yang dibentuknya. Struktur
kelembagaan Regional Management (RM) BARLINGMASCAKEB sebagaimana
tertuang dalam Keputusan Bersama lima bupati dikelompokkan menjadi tiga
bagian yaitu:
1. Forum Regional. Struktur ini memiliki fungsi sebagai pemegang kewenangan
tertinggi dalam menentukan semua kebijakan RM BARLINGMASCAKEB.
Anggota dari Forum Regional adalah para bupati dari lima kabupaten anggota.
2. Dewan Eksekutif. Struktur ini memiliki fungsi sebagai pembantu dalam
menjabarkan kebijakan-kebijakan umum yang telah dibuat oleh Forum
Regional agar menjadi lebih operasional. Susunan organisasi Dewan eksekutif
terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris dan anggota. Ketua Dewan
Eksekutif dijabat oleh salah satu bupati secara bergiliran dalam jangka waktu
1 (satu) tahun. Sekretaris Dewan Eksekutif tidak merangkap anggota dijabat
oleh Kepala Badan Koordinasi Pembangunan Lintas Kabupaten/Kota Privinsi
Jawa Tengah Wilayah III, yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh
bendahara dan seorang tenaga administrasi. Anggota Dewan Eksekutif terdiri
dari perwakilan daerah yang masing-masing daerah diwakili oleh 1 (satu)
orang.
3. Regional Manager. Struktur ini memiliki fungsi sebagai pelaksana operasional
kegiatan dari RM BARLINGMASCAKEB. Dalam menjalankan aktivitasnya
Regional Manager dibantu oleh seorang sekretaris dan masing-masing satu
orang analis perekonomian dan investasi dan analis pemasaran
Adapun Bagan Struktur Organisasi dari lembaga Regional Management
BARLINGMASCAKEB sebagaimana terdapat dalam lampiran Surat Keputusan
Bersama lima bupati adalah sebagai berikut:
103
Sumber: RM. BARLINGMASCAKEB, 2011
Gambar 13 Bagan Struktur Organisasi Regional Management BARLINGMASCAKEB 5.1.2. Motif Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah
BARLINGMASCAKEB Dalam prosesnya, kerjasama antar daerah ini dapat berjalan dengan baik.
Hal ini karena didukung oleh beberapa faktor (Abdurahman 2009). Pertama,
adanya kesamaan aspek sosio kultural. Salah satu alasan mengapa kelima
kabupaten mau bergabung dalam lembaga kerjasama antar daerah karena adanya
kesamaan budaya, khususnya budaya banyumasan yang telah mengakar di
masyarakat. Aspek kultur-historis yang mewariskan ‘ikatan kekeluargaan’ ini
mendukung suatu iklim komunikasi yang kondusif di antara aktor regional terkait
dalam membentuk platform kerja sama.
Kedua, adanya berbagai potensi & produk unggulan yang berasal dari
sektor pertanian. Mayoritas kegiatan ekonomi masyarakat dan kontribusi PDRB
terbesar di lima daerah terkait ini berbasis pada sektor pertanian. Luasnya lahan
pertanian yang dimiliki membentuk karakteristik masyarakat yang relatif seragam.
FORUM REGIONAL
DEWAN EKSEKUTIF (KETUA & 5 ANGGOTA SEBAGAI WAKIL KABUPATEN)
SEKRETARIAT DEWAN EKSEKUTIF:
SEKRETARIS BENDAHARA TENAGA ADMINSTRASI
REGIONAL MANAGER SEKRETARIS
ANALIS PEREKONOMIAN &
INVESTASI
ANALIS PEMASARAN
F O R U M
M U L T Y S T A K E H O L D E R S
F A S I L I T A T O R P E M P U S & P R O P
BUPATI BANJARNE
GARA
BUPATI PURBALING
GA
BUPATI BANYUMAS
BUPATI KEBUMEN
BUPATI CILACAP
104
Hal ini merupakan modal besar sekaligus tantangan untuk mengarahkan
pengembangan produk-produk pertanian agar menjadi lebih inovatif, integratif,
dan kompetitif.
Ketiga, adanya sarana dan prasarana yang saling melengkapi. Prasarana
perhubungan jalan telah menghubungkan kelima daerah sehingga mobilitas
manusia, barang dan jasa, serta informasi dapat berjalan lancar. Sarana ini juga
telah memperlancar aliran perdagangan di antara kelima daerah menjadi lebih
intensif dan semakin kuat dari waktu ke waktu. Hanya saja, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa di beberapa lokasi terdapat kondisi sistem transportasi yang
buruk dan belum menjangkau desa-desa yang terisolir, khususnya di desa-desa
tertinggal. Kondisi ini justru menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi kelima daerah
melalui regional management untuk mencari terobosan-terobosan baru guna
mengaitkan potensi desa-desa tersebut ke dalam sistem perdagangan antar
wilayah. Apabila potensi-potensi tersebut sudah saling terkait maka peran
pelabuhan udara dan laut yang terdapat di wilayah ini menjadi sangat penting
untuk memasarkan produk unggulan tersebut ke dalam sistem perdagangan yang
lebih luas
Berbagai faktor pendukung tersebut menggambarkan bahwa keterbatasan
potensi sumberdaya ekonomi di suatu daerah sebenarnya akan dapat lebih mudah
untuk dikembangkan apabila pengelolaannya dilakukan dengan cara bekerjasama
dengan daerah lain. Pengelolaan potensi sumberdaya ekonomi yang dilakukan
sendiri oleh masing-masing daerah dapat menciptakan inefisiensi. Inefisiensi
dapat terjadi antara lain karena kecilnya potensi ekonomi yang harus dikelola atau
adanya keterbatasan kemampuan daerah dalam pengelolaannya baik dari segi
pendanaan maupun kemampuan aparatnya. Dengan bekerjasama antar daerah
akan dapat menumbuhkan sinergi yang lebih besar dalam mengelola potensi
sumberdaya ekonomi secara bersama. Atas dasar alasan itulah para aktor regional
di wilayah ”banyumasan” membentuk lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas daerah
dalam mengelola potensi sumberdaya ekonomi daerah melalui konsep regional
marketing untuk kepentingan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan kata lain,
motif pembentukan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
105
adalah untuk melakukan pemasaran bersama potensi ekonomi di masing-masing
daerah yang terbatas serta melakukan kerjasama dan sinergi antar daerah untuk
meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah. Adanya kegiatan pemasaran
potensi ekonomi di tingkat regional diharapkan dapat mendorong masuknya
investasi di berbagai sektor sehingga berdampak pada peningkatan kegiatan
ekonomi di daerah. Adanya peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai sektor ini
akan berakibat pada penguatan skala ekonomi daerah yang pada gilirannya akan
berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Adanya motif untuk meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah dari
para pembuat kebijakan dalam pembentukan lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB tertuang dalam berbagai dokumen pembentukan dari
lembaga tersebut. Dalam Kesepakatan Bersama Bupati Banjarnegara, Bupati
Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan Bupati Kebumen Dalam
Rangka Pembentukan Regional Management BARLINGMASCAKEB yang
ditandatangani pada tanggal 16 Desember 2002, pada poin ketiga secara tegas
dijelaskan bahwa salah satu kendala utama daerah dalam menghadapi otonomi
daerah adalah adanya keterbatasan potensi sumberdaya. Sedangkan kesepakatan
pada poin kelima dijelaskan bahwa dalam upaya meningkatkan efisiensi
pemanfaatan sumberdaya yang terbatas ketersediaannya bagi pembangunan
daerah dibutuhkan komunikasi, kerjasama dan sinergi antar daerah dalam bentuk
Regional Management dan Regional Marketing. Berikut kutipan lengkap poin 3
(tiga) dan poin 5 (lima) kesepakatan lima bupati dimaksud:
” 2. ............. 3. Bahwa keterbatasan kapasitas dan potensi sumberdaya merupakan
salah satu permasalahan dan kendala utama yang dihadapi daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah.
4 ............ 5. bahwa untuk semakin meningkatkan efektivitas penyelenggaraan
pembangunan dan efisiensi pemanfaatan potensi sumberdaya yang terbatas ketersediaannya bagi pembangunan daerah, serta untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu mengakses pasar nasional maupun internasional dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini diperlukan komunikasi, kerjasama dan sinergi antar daerah dalam bentuk Regional Management dan Regional Marketing.”
106
(Kesepakatan Bersama Bupati Banjarnegara, Bupati Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan Bupati Kebumen Dalam Rangka Pembentukan Regional Management BARLINGMASCAKEB)
Maksud dari butir kesepakatan di atas adalah bahwa untuk mengatasi
keterbatasan sumberdaya termasuk di dalamnya adalah sumberdaya ekonomi yang
dimiliki oleh masing-masing daerah perlu diupayakan dengan melakukan
komunikasi, kerjasama dan sinergi antar daerah dalam bentuk platform kerjasama
antar daerah. Motif pembentukan lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB sebagai upaya penguatan skala ekonomi daerah
dipertegas dalam isi dokumen Keputusan Bersama lima bupati tentang
pembentukan lembaga kerjasama Regional Management dan Regional Marketing
sebagaimana tertuang dalam pasal 4 sebagai berikut:
”Pasal 4 Tujuan diselenggarakannya kerjasama ini adalah untuk: 1. Mewujudkan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan antar daerah
dan dalam pengelolaan serta pemanfaatan potensi daerah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya pembangunan
2. Sinkronisasi dalam penyusunan peraturan daerah untuk mengurangi hambatan birokrasi dalam kegiatan ekonomi dan investasi
3. Menghindari persaingan yang tidak sehat antar daerah 4. Memperkuat posisi tawar dan meningkatkan posisi daya saing daerah
agar mampu mengakses pasar nasional dan internasional dalam era globalisasi ekonomi
5. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam promosi potensi daerah 6. Membangun kemitraan antar daerah, antar pemerintah kabupaten
dengan pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dunia usaha serta dengan lembaga non pemerintah di tingkat nasional maupun internasional”
(Keputusan Bersama Bupati Banjarnegara, Bupati Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan Bupati Kebumen Tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management dan Regional Marketing Antar Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Pemerintah Kabupaten Purbalingga, Pemerintah Kabupaten Banyumas, Pemerintah Kabupaten Cilacap dan Pemerintah Kabupaten Kebumen). Isi pasal 4 dari Keputusan Bersama lima bupati di atas menjadi landasan
kerja bagi Dewan Eksekutif maupun Regional Manager dalam menjalankan tugas-
tugasnya. Dengan mengacu pada isi pasal 4 di atas, dalam melakukan pemasaran
potensi wilayah di lima kabupaten, dengan bekerjasama dengan SKPD terkait,
Dewan Eksekutif dan Regional Manager memfokuskan pada kegiatan
107
memfasilitasi masuknya investor di lima kabupaten anggota, pemasaran produk-
produk daerah melalui kegiatan perdagangan dan kegiatan pengembangan wisata
regional. Dengan fokus pada tiga kegiatan tersebut diharapkan aktivitas ekonomi
wilayah menjadi meningkat sehingga berdampak pada penguatan skala ekonomi
daerah.
5.1.3. Skala Ekonomi Daerah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB
Pemberian otonomi pada daerah kabupaten/kota di Indonesia berimplikasi
pada terjadinya pengkotak-kotakan wilayah berdasarkan batas-batas wilayah
administratifnya. Otonomi tidak hanya berupa pemberian kewenangan
pengelolaan pemerintahan kepada daerah, namun juga pemberian kewenangan
pengelolaan potensi ekonomi daerah oleh masing-masing pemerintah daerah.
Dengan terbaginya wilayah Indonesia ke dalam wilayah-wilayah administratif
kabupaten/kota, potensi ekonominya pun juga ikut terbagi berdasarkan
keberadaan potensi ekonomi tersebut pada masing-masing wilayah
kabupaten/kota. Terbatasnya potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing
daerah kabupaten/kota sebagai akibat dari penerapan otonomi daerah
menyebabkan skala ekonomi daerah di masing-masing kabupaten/kota menjadi
rendah.
Tingkat skala ekonomi daerah sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya
aktivitas ekonomi yang terjadi di daerah tersebut. Sedangkan besar kecilnya
aktivitas ekonomi sangat dipengaruhi oleh penggunaan faktor produksi seperti
besarnya investasi, penggunaan tenaga kerja dan pemanfaatan potensi sumberdaya
alam untuk kegiatan ekonomi di masing-masing daerah. Berikut dijelaskan
pemanfaatan faktor produksi ekonomi yang dapat menggambarkan kondisi skala
ekonomi di lima kabupaten sebelum terbentuknya lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB.
1. Investasi Daerah
Masuknya investasi di daerah menjadi salah satu faktor penentu besar
kecilnya skala ekonomi daerah. Dengan masuknya investasi dapat digunakan
untuk membiayai pembangunan di berbagai sektor sehingga kegiatan ekonomi
108
daerah akan menjadi berkembang. Tabel berikut menggambarkan besarnya
investasi yang masuk di lima kabupaten dari tahun 2000 sampai dengan tahun
2003.
Tabel 22 Jumlah Investasi Yang Masuk di Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB dan Kabupaten Lain di Provinsi Jawa Tengah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah (Rupiah)
Kabupaten /Provinsi
Tahun 2000 2001 2002 2003
Banjarnegara
48,440,550,300
48,347,555,320 48,877,405,213 53,367,996,960
Purbalingga
28,201,000,000
28,394,000,000
28,519,000,000
76,192,218,890
Banyumas
41,096,692,000
43,202,319,000
43,835,798,000
45,471,043,000
Cilacap
1,369,813,068,000
1,372,866,539,000
1,373,467,819,000
1,373,889,106,000
Kebumen
209,457,500,000
209,770,000,000
214,177,500,000
217,155,000,000 Rata-Rata Kabupaten di Jawa Tengah 555,539,714,286 614,738,400,000 696,914,914,286 790,634,742,857
Sumber:Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Jawa Tengah, LPJ Tahunan Bupati Banjarnegara, Puralingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen.
Dari tabel di atas terlihat bahwa pada tahun 2003 Kabupaten Cilacap
menduduki peringkat tertinggi dalam penyerapan investasi daerah yang mencapai
lebih dari 1,4 trilyun rupiah. Kabupaten Kebumen hanya pada kisaran 217,15
milyar rupiah, sedangkan Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas
hanya pada kisaran antara 31,5 milyar rupiah sampai dengan 53,36 milyar rupiah.
Apabila dilihat dari sarana dan prasarana wilayah yang tersedia,
Kabupaten Cilacap memang memungkinkan untuk dapat menyerap investasi
daerah lebih tinggi dibandingkan dengan lima kabupaten lainnya. Dengan
memiliki infrastruktur perhubungan yang memadahi seperti adanya pelabuhan
samudera dan pelabuhan udara serta akses jalan darat yang mudah baik dari
Jakarta, Bandung, Yogyakarta maupun Semarang, menjadikan Kabupaten Cilacap
menjadi tempat yang ideal sebagai daerah kawasan industri sehingga lebih
memudahkan untuk menarik investor di kabupaten tersebut.
Besarnya investasi yang masuk ke suatu daerah menggambarkan
penggunaaan faktor produksi modal bagi kegiatan perekonomian di daerah
109
tersebut. Dari Tabel 22 di atas terlihat bahwa pemanfaatan modal (investasi)
dalam kegiatan perekonomian di lima kabupaten di wilayah
BARLINGMASCAKEB, kecuali untuk Kabupaten Cilacap, relatif rendah jika
dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Tengah. Pemanfaatan faktor
produksi modal dalam kegiatan perekonomian Kabupaten Cilacap lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata pemanfaatan modal di kabupaten lainnya di Jawa
Tengah karena karakteristik Kabupaten Cilacap sebagai kawasan industri
sehingga lebih mudah untuk menarik investasi ke wilayah ini.
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa skala ekonomi kabupaten di
wilayah BARLINGMASCAKEB, kecuali untuk Kabupaten Cilacap, dilihat dari
sisi penggunaan faktor produksi modal masih kecil. Untuk itu diperlukan upaya
penguatan skala ekonomi daerah dengan mendorong masuknya investasi ke
wilayah ini. Dengan bekerjasama antar daerah upaya ini akan dapat lebih mudah
untuk dilakukan. Dengan memanfaatkan kesamaan potensi daerah secara bersama,
misalnya produksi hasil pertanian, dapat membuka peluang masuknya investor
pada kegiatan agro industri berbasis kawasan. Dengan bekerjasama promosi
potensi ekonomi daerah dapat dilakukan secara bersama sehingga efisiensi
pembangunan akan dapat dicapai. Kerjasama antar daerah juga dapat dilakukan
dengan memanfaatkan keragaman potensi wilayah yang ada. Sebagai contoh
Kabupaten Banjarnegara sebagai penghasil komoditas pertanian buah salak dapat
mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian tersebut sedangkan
pemasarannya dapat dilakukan di Kabupaten Banyumas yang memiliki sarana dan
prasarana perdagangan yang lebih baik. Pada intinya apabila masuknya investasi
dapat digunakan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian di tingkat wilayah
maka aktivitas ekonomi daerah akan meningkat sehingga berdampak pada
penguatan skala ekonomi daerah.
2. Penyerapan Tenaga Kerja
Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur besar kecilnya
tingkat skala ekonomi daerah adalah tingkat penyerapan tenaga kerja pada pasar
kerja. Sebagai contoh, apabila suatu perekonomian dapat mencapai kondisi full
employment, hal ini memberikan arti bahwa faktor produksi tenaga kerja dalam
perekonomian tersebut dapat digunakan secara optimal. Penggunaan faktor
110
produksi tenaga kerja yang optimal dalam suatu aktivitas perekonomian
memberikan makna bahwa perekonomian di wilayah tersebut memiliki skala yang
cukup karena dapat mendayagunakan semua tenaga kerja yang ada ke dalam pasar
kerja yang tersedia.
Dalam kenyataannya kondisi full employment dalam perekonomian suatu
wilayah sangatlah sulit untuk dicapai. Hal ini bisa disebabkan karena lapangan
pekerjaan yang tersedia tidak sebanyak jumlah tenaga kerja yang ada, atau tenaga
kerja tidak mau masuk dalam pasar tenaga kerja karena pekerjaan yang ada tidak
sesuai dengan keinginan yang diharapkan. Di negara berkembang, seperti halnya
di Indonesia, apabila terjadi situasi perekonomian tidak tercapai kondisi full
employment lebih disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja yang tersedia
sehingga tidak semua tenaga kerja bisa masuk dalam pasar kerja. Kondisi tidak
terserapnya tenaga kerja dalam pasar tenaga kerja yang tersedia juga terjadi di
Indonesia, khususnya di wilayah BARLINGMASCAKEB sebagaimana dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 23 Jumlah Penduduk Bekerja, Pencari Kerja dan Angkatan Kerja di Wilayah BARLINGMASCAKEB dan di Prov. Jawa Tengah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah
No. Kabupaten/
Provinsi Status
Ketenagakerjaan Tahun
2001 2002 2003 1 Banjarnegara Angkatan Kerja 370,927 398,928 424,919
Bekerja 357,731 383,451 402,976 Mencari Kerja 13,196 15,477 21,943
2 Purbalingga Angkatan Kerja 381,252 374,739 404,477 Bekerja 366,709 356,175 389,681 Mencari Kerja 14,543 18,564 14,796
3 Banyumas Angkatan Kerja 683,588 682,975 714,020 Bekerja 658,244 646,789 676,640 Mencari Kerja 25,344 36,186 37,560
4 Cilacap Angkatan Kerja 381,901 378,278 353,074 Bekerja 358,188 362,887 345,543 Mencari Kerja 23,715 15,391 17,531
5 Kebumen Angkatan Kerja 643,166 648,320 649,632 Bekerja 608,308 613,215 613,846 Mencari Kerja 34,858 35,105 35,786
6 Jawa Tengah Angkatan Kerja 15,644,337 16,236,550 16,257,270 Bekerja 15,065,387 15,654,856 15,724,082 Mencari Kerja 578,949 581,694 533,188
Sumber: Kabupaten dan Provinsi dalam angka tahun 2001 – 2003.
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2001 sampai dengan tahun
2003 pada saat kerjasama antar daerah belum dilakukan, di Kabupaten
111
Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen, pasar tenaga kerja
selalu tidak mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang tersedia. Bahkan tingkat
pengangguran atau tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan cenderung
meningkat.
96.19
94.70
95.93
97.87
96.3096.72
94.84
96.1296.44
96.3495.05
94.74
96.29
93.79
94.59 94.5594.58
96.42
91.0092.0093.0094.0095.0096.0097.0098.0099.00
2001 2002 2003
Tahun
Pers
enta
se
Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen Jawa Tengah
Sumber: Kabupaten dan Provinsi dalam angka tahun 2001 – 2003.
Gambar 14 Proporsi Penduduk Bekerja Terhadap Angkatan Kerja Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya
Lembaga Kerjasama Antar Daerah. .
Apabila dilihat dari tingkat proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap
angkatan kerja, persentase di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Banyumas
cenderung menurun. Kondisi ini memberikan arti bahwa dari sisi tingkat
penyerapan tenaga kerja, skala perekonomian di kedua kabupaten melemah
karena aktivitas perekonomiannya tidak mampu menyerap jumlah tenaga kerja
yang tersedia. Bahkan setiap tahunnya jumlah tenaga kerja yang tidak terserap
dalam pasar kerja semakin meningkat. Kondisi sebaliknya terjadi di Kabupaten
Cilacap. Proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap angkatan kerja di kabupaten
ini selalu meningkat. Hal ini dapat dimaknai bahwa tingkat skala ekonomi di
Kabupaten Cilacap pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 dilihat dari
indikator penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan.
Kondisi pasang surut penguatan skala ekonomi dari indikator tingkat
penyerapan tenaga kerja terjadi di Kabupaten Purbalingga. Hal ini ditunjukkan
dari penurunan persentase proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap angkatan
kerja di kabupaten tersebut pada tahun 2002, namun kembali naik seperti kondisi
semula pada tahun berikutnya. Di Kabupaten Kebumen, selama periode tahun
112
2001 sampai dengan 2003 proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap angkatan
kerja relatif tidak mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
perekonomian di Kabupaten Kebumen pada periode tahun tersebut relatif stabil
tetapi dengan tingkat skala ekonomi yang rendah jika dibandingkan dengan
kabupaten lainnya. Hal ini ditunjukkan bahwa pada periode tiga tahun dari mulai
tahun 2001 sampai dengan 2003 proporsi jumlah penduduk berkerja terhadap
angkatan kerja menunjukkan tingkatan yang paling rendah dengan rata-rata
sebesar 94,57 persen.
Untuk mengetahui secara umum apakah di lima kabupaten di wilayah
BARLINGMASCAKEB telah memiliki skala ekonomi yang cukup sebelum
terbentuknya lembaga kerjasama antar daerah berdasarkan indikator penyerapan
tenaga kerja maka perlu dilakukan perbandingan terhadap kondisi di Provinsi
Jawa Tengah berdasarkan indikator yang sama.
Tabel 24 Proporsi Jumlah Penduduk Bekerja Terhadap Angkatan Kerja di Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah (%)
No. Kabupaten/
Provinsi Tahun Rata-Rata
2001 2002 2003 1 Banjarnegara 96.44 96.12 94.84 95.80 2 Purbalingga 96.19 95.05 96.34 95.86 3 Banyumas 96.29 94.70 94.74 95.24 4 Cilacap 93.79 95.93 97.87 95.86 5 Kebumen 94.58 94.59 94.55 94.57 6 Jawa Tengah 96.30 96.42 96.72 96.48
Sumber: Kabupaten dan Provinsi dalam angka tahun 2001 – 2003.
Tabel di atas menunjukkan bahwa secara parsial pada tahun-tahun tertentu
ada kabupaten yang persentase proporsi jumlah penduduk bekerja terhadap
angkatan kerjanya lebih tinggi dari proporsi yang sama di Provinsi Jawa Tengah.
Namun, secara umum apabila diperbandingkan rata-rata proporsi jumlah
penduduk bekerja terhadap angkatan kerja dilima kabupaten dengan Provinsi Jawa
Tengah dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 rata-rata proporsi jumlah
penduduk bekerja terhadap angkatan kerja di wilayah Provinsi Jawa Tengah lebih
tinggi dibandingkan dengan proporsi yang sama di kelima kabupaten. Data ini
menunjukkan bahwa skala ekonomi daerah di kelima kabupaten sebelum adanya
113
lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB berdasarkan indikator
penyerapan tenaga kerja menunjukkan tingkatan yang rendah.
3. Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Alam
Potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh daerah dapat menjadi faktor
produksi perekonomian di daerah tersebut. Dari sisi ekonomi, pemanfaatan
sumberdaya alam dapat meningkatkan output perekonomian daerah. Oleh karena
itu, pemanfaatan potensi sumberdaya alam di daerah dapat berpengaruh terhadap
peningkatan skala ekonomi daerah tersebut. Pemanfaatan potensi sumberdaya
alam agar dapat menghasilkan nilai ekonomi dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, pemanfaatan sumberdaya alam agar bisa memberikan nilai tambah
ekonomi dengan cara secara apa adanya, seperti untuk kegiatan pariwisata. Kedua,
pemanfaatan sumberdaya alam dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi
dengan cara melakukan pengambilan atau pengolahan dari sumberdaya alam
tersebut, seperti kegiatan usaha pertambangan dan penggalian tambang. Pada
bagian ini akan dijelaskan pemanfaatan potensi sumberdaya alam dalam
memberikan nilai tambah ekonomi di lima kabupaten sebelum pembentukan
lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB.
3.1. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Untuk Pariwisata
Potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
pariwisata di Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan
Kebumen cukup melimpah. Kekayaan alam di wilayah ini terlihat dari banyaknya
ragam potensi obyek wisata yang dapat dikembangkan untuk dapat menghasilkan
nilai ekonomi. Potensi ini berupa: (1) potensi wisata alam seperti pemandangan
alam pegunungan, sentra produksi pertanian yang dapat dijadikan kawasan
agrowisata, sumber air panas, kawasan gua-gua kapur, batu-batuan geologi,
sampai hamparan pantai Pulau Jawa bagian selatan yang memanjang sepanjang
batas selatan Kabupaten Cilacap hingga Kabupaten Kebumen; (2) potensi wisata
buatan seperti waduk pembangkit tenaga listrik, kolam pemandian dan arena
bermain anak; (3) potensi wisata religi seperti petilasan dan peninggalan sejarah,
serta (4) potensi wisata budaya berupa produk budaya khas dari daerah masing-
masing seperti musik dan tarian khas daerah, sentra produksi batik dengan corak
khas daerah.
114
Untuk mengetahui tinggi rendahnya skala ekonomi daerah dilihat dari
pemanfaatan potensi sumberdaya alam untuk kegiatan pariwisata dapat dilihat dari
banyaknya obyek wisata yang telah memberikan manfaat ekonomi bagi daerah.
Tabel berikut menggambarkan perbandingan banyaknya obyek wisata yang telah
memberikan manfaat ekonomi di wilayah BARLINGMASCAKEB dengan
kabupaten lain di Provinsi Jawa Tengah.
Tabel 25 Banyaknya Obyek Wisata Yang Telah Memberikan Nilai Ekonomi di Wilayah BARLINGMASCAKEB dan Kabupaten lain di Jawa Tengah
Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah
No. Kabupaten Obyek Wisata Yang Telah Memberi Nilai Ekonomi 2000 2001 2002 2003
1 Banjarnegara 4 6 6 5 2 Purbalingga 4 4 4 8 3 Banyumas 10 10 10 11 4 Cilacap 8 8 8 8 5 Kebumen 7 8 8 8 6 Rata-rata Kabupaten di
Jawa Tengah 6 6 6 7
Sumber: Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten dan Provinsi Jawa Tengah Dalam Angka.
Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk Kabupaten Banyumas, Cilacap dan
Kebumen jumlah obyek wisata yang telah memberikan nilai ekonomi bagi daerah
lebih banyak jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah obyek wisata di
kabupaten lain di Jawa Tengah. Sehingga dapat dikatakan bahwa skala ekonomi
dari indikator pemanfaatan sumberdaya alam untuk kegiatan pariwisata cukup
tinggi. Sedangkan untuk Kabupaten Banjarnegara dan Purbalingga secara relatif
skala ekonomi daerah berdasarkan indikator pemanfaatan sumberdaya alam untuk
kegiatan pariwisata masih rendah.
Meskipun secara relatif jumlah obyek wisata yang telah memberikan
manfaat ekonomi di wilayah BARLINGMASCAKEB lebih banyak jika
dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Tengah, bukan berarti bahwa
pemanfaatan potensi obyek wisata yang ada tidak perlu dikembangkan agar bisa
memberikan manfaat ekonomi baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat.
Kecilnya jumlah potensi wisata yang telah dapat dikembangkan dan memberikan
manfaat ekonomi bagi daerah menunjukkan bahwa pengelolaan potensi tersebut
bagi upaya peningkatan skala ekonomi daerah belumlah optimal. Melalui
115
kerjasama antar daerah pengoptimalan pemanfaatan potensi wisata daerah agar
bisa memberikan manfaat ekonomi bisa dilakukan.
Data tahun 2000 hingga 2003 menunjukkan bahwa Kabupaten
Banjarnegara dengan jumlah potensi wisata yang telah teridentifikasi sebanyak 18
baru dapat dimanfaatkan secara optimal dan telah memberikan manfaat ekonomi
antara empat sampai enam obyek wisata saja. Kabupaten Purbalingga dengan
potensi wisata yang sama baru mampu memanfaatkannya sebanyak empat obyek
wisata saja dan meningkat menjadi delapan pada tahun 2003. Kabupaten
Banyumas dengan potensi wisata sebanyak 31 obyek baru mampu memanfaatkan
antara 10 sampai 11 obyek wisata saja. Kabupaten Cilacap dengan potensi wisata
sebanyak 21 baru dimanfaatkan sebanyak delapan obyek saja, dan Kabupaten
Kebumen dengan potensi obyek wisata sebanyak 25 buah baru dapat di
kembangkan sebanyak delapan obyek saja.
Tabel 26 Banyaknya Potensi dan Obyek Wisata Yang Telah Memberikan Nilai Ekonomi di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah
No. Kabupaten Jumlah
Potensi Wisata
Obyek Wisata Yang Telah Memberi Nilai Ekonomi
2000 2001 2002 2003 1 Banjarnegara 18 4 6 6 5 2 Purbalingga 18 4 4 4 8 3 Banyumas 31 10 10 10 11 4 Cilacap 21 8 8 8 8 5 Kebumen 25 7 8 8 8
Sumber: Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten.
Meskipun kemampuan daerah dalam mengelola potensi wisata yang ada
sangat terbatas, namun penerimaan daerah dari sektor wisata dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan. Tabel 27 menggambarkan kondisi tersebut. Pengelolaan
sumberdaya pariwisata daerah sebenarnya tidak hanya menguntungkan bagi
pemerintah daerah dalam bentuk penerimaan retribusi pariwisata, namun juga
memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar obyek wisata. Berkembangnya suatu
kawasan wisata biasanya akan memberikan dampak bagi usaha ekonomi
masyarakat sekitarnya. Banyak lapangan usaha yang bisa diciptakan dengan
tumbuhnya suatu kawasan wisata. Dengan demikian, adanya kemampuan dari
pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi wisata yang ada akan
berdampak pada peningkatan skala ekonomi daerah.
116
Tabel 27 Pendapatan Sektor Pariwisata Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah (Rupiah)
No. Kabupaten Tahun
2000 2001 2002 2003 1 Banjarnegara 202,646,830 603,877,550 820,336,500 1,145,528,700 2 Purbalingga 32,027,940 57,585,450 178,257,500 341,664,500 3 Banyumas 535,754,550 1,454,246,890 1,462,481,450 1,580,156,400 4 Cilacap 241,473,190 515,957,100 526,852,700 673,346,600 5 Kebumen 210,215,170 604,308,790 309,816,000 735,751,000
Sumber: Dinas Pariwisata dan kebudayaan Kabupaten.
Selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003, penerimaan daerah
dari sektor pariwisata di Kabupaten Banjarnegara meningkat sebesar 465,28
persen, yaitu sebanyak 202,65 juta rupiah pada tahun 2000 meningkat menjadi
1,15 milyar rupiah pada tahun 2003. Di Kabupaten Purbalingga pada periode yang
sama peningkatan penerimaan daerah dari sektor pariwisata menunjukkan angka
yang cukup fantastis yaitu sebesar 966,77 persen, atau naik hampir sepuluh kali
lipat dari tahun 2000 yang semula hanya sebesar 32,02 juta menjadi 341,67 juta
pada tahun 2003. Kenaikan yang sama juga terjadi di Kabupaten Banyumas,
Cilacap dan Kebumen. Di Kabupaten Banyumas terjadi kenaikan sebesar 194,94
persen, dari penerimaan pada tahun 2000 sebesar 535,75 juta meningkat menjadi
1,59 milyar pada tahun 2003. Di Kabupaten Cilacap penerimaan pada tahun 2000
sebesar 241,47 juta meningkat menjadi 673,35 juta pada tahun 2003, atau naik
sebesar 178,85 persen. Sedangkan di Kabupaten Kebumen peningkatan
penerimaan pendapat daerah dari sektor pariwisata meningkat sebesar 250 persen
dari penerimaan semula sebesar 210,22 juta pada tahun 2000 meningkat menjadi
735,75 juta pada tahun 2003.
Penerimaan pendapatan daerah dari sektor pariwisata yang cukup besar di
wilayah ini mengindikasikan bahwa potensi ekonomi dari sektor tersebut
memiliki peluang yang cukup besar untuk terus dikembangkan. Apalagi
mengingat potensi sektor ini di masing-masing kabupaten masih cukup besar.
Pengelolaan yang serius dari sektor ini akan mampu menjadi daya ungkit
berkembangnya perekonomian di daerah. Meskipun penerimaan daerah dari
sektor pariwisata menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun, kontribusi
117
penerimaan sektor ini terhadap pendapatan asli daerah (PAD) ternyata masih
sangat rendah. Tabel berikut memberi gambaran kondisi tersebut.
Tabel 28 Persentase Kontribusi Sektor Pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah (%)
No. Kabupaten/
Provinsi Tahun Rata-Rata
2000 - 2003 2000
2001 2002 2003
1 Banjarnegara 3.49 10.39 3.74 4.53 5.54 2 Purbalingga 0.28 0.51 0.76 1.21 0.69 3 Banyumas 3.03 8.23 3.90 3.51 4.67 4 Cilacap 0.92 1.97 1.12 2.77 1.70 5 Kebumen 2.68 7.69 1.16 2.47 3.50
Sumber: Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten.
Selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 rata-rata persentase
kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di wilayah
BARLINGMASCAKEB masih sangat rendah. Di Kabupaten Banjarnegara rata-
rata konribusi sektor pariwisata terhadap PAD hanya sebesar 5,54 persen, dengan
kontribusi terbesar terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 10,39 persen. Di
Kabupaten Banyumas rata-rata kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD hanya
sebesar 4,67 persen, namun sektor ini pernah memberi kontribusi yang relatif
besar pada tahun 2001 yaitu sebesar 8,23 persen. Di Kabupaten Kebumen rata-rata
kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD hanya sebesar 3,50 persen, namun
pada tahun 2001 kontribusi sektor pariwisata pernah mencapai 7,69 persen.
Sementara itu, di Kabupaten Cilacap besarnya rata-rata kontribusi sektor
pariwisata terhadap PAD sangat kecil yaitu hanya 1,70 persen. Sedangkan di
Kabupaten Purbalingga kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD hanya sebesar
0, 69 persen.
Dari ilustrasi di atas menunjukkan bahwa skala ekonomi daerah di wilayah
BARLINGMASCAKEB dilihat dari indikator pemanfaatan potensi sumberdaya
alam untuk kegiatan pariwisata sudah cukup baik. Namun, mengingat potensi
pariwisata yang dimiliki wilayah ini sangat banyak, maka upaya pengembangan
potensi tersebut agar bisa memberikan manfaat ekonomi dengan menggunakan
platform kerjasama regional mungkin dapat lebih menguntungkan.
118
3.2. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Bahan Tambang dan Galian
Potensi sumberdaya alam bahan tambang dan galian di wilayah
BARLINGMASCAKEB sebenarnya tidak terlalu besar. Potensinya hanya sebesar
6,14 persen dari potensi pada sektor yang sama yang dimiliki wilayah Provinsi
Jawa Tengah. Namun demikian, apabila dilihat dari volume cadangan bahan
tambang yang dimiliki di masing-masing kabupaten, potensi tersebut cukup besar
apabila dapat diolah dan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pembangunan
daerah.
Dari tabel 29 di bawah terlihat bahwa dari lima kabupaten di wilayah
BARLINGMASCAKEB, Kabupaten Kebumen memiliki volume potensi bahan
tambang dan galian paling besar yaitu sebanyak 9,832,317,690 3M , sedangkan
kabupaten yang memiliki volume potensi bahan tambang dan galian terkecil
adalah Kabupaten Purbalingga yaitu hanya sebanyak 60,522,000 3M . Dari
besarnya volume potensi tersebut sebagian besar belum dimanfaatkan secara
ekonomi. Pemanfaatan sumberdaya pertambangan dan galian di Kabupaten
Banjarnegara pada tahun 2003 baru sebesar 1.90 persen dari total potensi yang
ada. Di Kabupaten Banyumas produksi sumberdaya tambang dan galian baru
mencapai 1.36 persen dari total potensi yang tersedia. Keadaan yang sama juga
terjadi di Kabupaten Cilacap, dimana pemanfaatan sumberdaya tambang dan
galian baru sebesar 1.37 persen. Sementara di Kabupaten Purbalingga
pemanfaatannya jauh lebih rendah lagi yaitu hanya sebesar 0.33 persen.
Sedangkan di Kabupaten Kebumen yang memiliki potensi sumberdaya tambang
terbesar di wilayah ini pemanfaatannya hanya kurang dari 0.01 persen.
Tabel 29 Proporsi Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB dan Provinsi Jawa Tengah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah
No. Kabupaten/
Provinsi Potensi Sumber Daya Tambang (M3)
Produksi Sumberdaya Tambang (M3)
Persentase
1 Banjarnegara 717,035,112 13,632,191 1.90 2 Purbalingga 60,522,000 196,808 0.33 3 Banyumas 754,226,932 10,268,476 1.36 4 Cilacap 586,824,423 8,042,098 1.37 5 Kebumen 9,832,317,690 3,750 0.00 6 Jawa Tengah 194,599,572,000 439,512,883 0.23
Sumber: Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Kabupaten dan Provinsi.
119
1.90
0.000.23
0.33
1.36 1.37
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
Banjarnegara 1.90
Purbalingga 0.33
Banyumas 1.36
Cilacap 1.37
Kebumen 0.00
Jawa Tengah 0.23
Persentase
Sumber: Data sekunder diolah
Gambar 15 Persentase Pemanfaatan Sumberdaya Tambang Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Sebelum Terbentuknya Lembaga
Kerjasama Antar Daerah.
Randahnya pemanfaatan potensi sumberdaya tambang dan galian di
wilayah ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, berbagai potensi sumberdaya
alam berupa tambang mineral logam dan tambang mineral bukan logam tersebar
di banyak wilayah dengan kapasitas volume yang kecil sehingga tidak banyak
perusahaan pertambangan yang berani menanamkan modalnya untuk melakukan
eksploitasi karena secara ekonomis tidak memberikan keuntungan. Kedua,
selektifnya pemerintah daerah dalam mengeluarkan Surat Ijin Pertambangan
Daerah (SIPD) untuk pengelolaan bahan tambang jenis batuan dengan
pertimbangan meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan. Sedikitnya SIPD
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebagai bukti kecilnya pemberian
izin pengelolaan sumberdaya tambang secara resmi oleh pemerintah daerah
kepada perusahaan pertambangan menunjukkan bahwa potensi pertambangan di
wilayah ini belum secara optimal dikelola agar dapat memberikan manfaat
ekonomi bagi masyarakat
120
Tabel 30 Banyaknya Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) yang Dikeluarkan Pemerintah Daerah Sebelum Terbentuknya Lembaga Kerjasama Antar Daerah
No. Kabupaten Tahun
2000 2001 2002 2003 1 Banjarnegara 22 13 1 3 2 Purbalingga 14 58 0 5 3 Banyumas 105 87 80 71 4 Cilacap 27 163 36 45 5 Kebumen 16 0 1 1
Sumber: Kabupaten Dalam Angka Tahun 2003.
Meskipun secara rata-rata persentase pemanfaatan sumberdaya tambang
terhadap potensi yang ada di wilayah BARLINGMASCAKEB lebih tinggi jika
dibandingkan dengan persentase yang sama di wilayah provinsi, namun melihat
kecilnya pemanfaatan potensi tambang yang ada di wilayah ini menggambarkan
bahwa tingkat skala ekonomi dari aktivitas kegiatan pertambangan masih sangat
rendah. Dengan adanya kerjasama antar daerah pengelolaan potensi pertambangan
di daerah ini diharapkan dapat lebih meningkat untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat tanpa harus mengorbankan aspek kerusakan lingkungan.
5.1.4. Kondisi Tipologi dan Hierarkhi Wilayah
Deskripsi tipologi wilayah dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi
wilayah di lima kabupaten secara umum pada saat kabupaten tersebut belum
melakukan kerjasama antar daerah serta posisi masing-masing kabupaten terhadap
daerah lainnya. Penggambaran tipologi wilayah akan dideskripsikan berdasarkan
pada; (1) output perekonomian wilayah, seperti persentase sumbangan sektor
perekonomian terhadap PDRB dan besaran PAD yang diterima pemerintah daerah
sebagai indikator kemampuan daerah dalam mengelola potensi daerah menjadi
penerimaan daerah; (2) sarana dan prasarana wilayah, terutama sarana dan
prasarana pertanian, perdagangan dan industri.
Perekonomian daerah di lima kabupaten di wilayah
BARLINGMASCAKEB sebelum tergabung dalam lembaga kerjasama antar
daerah lebih banyak disumbang dari sektor pertanian. Data tahun 2002
menunjukkan bahwa sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Banjarnegara sebasar 39,60 persen,
121
Kabupaten Purbalingga sebesar 30,90 persen, Kabupaten Banyumas sebesar 25,
10 persen, di Kabupaten Cilacap sebesar 36,25, dan bahkan di Kabupaten
Kebumen sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB mencapai 42,01 persen.
Di samping sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar terhadap
PDRB, secara umum sektor industri, perdagangan dan jasa juga memberi
sumbangan terhadap PDRB secara signifikan. Rata-rata sumbangan ketiga sektor
tersebut terhadap PDRB persentasenya mencapai dua digit, kecuali sektor jasa di
Kabupaten Cilacap yang hanya sebesar 8,06 persen. Kondisi ini menggambarkan
bahwa pertumbuhan perekonomian di lima kabupaten di wilayah
BARLINGMASCAKEB ditopang dari sektor pertanian, namun sektor industri,
perdagangan, dan jasa di wilayah tersebut mulai berkembang.
Tabel 31 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tanpa Migas di Wilayah BARLINGMASCAKEB Tahun 2002 (Persen) Sektor/Lapangan Usaha 2002
Banjarnegara Purbaligga Banyumas Cilacap Kebumen 1. Pertanian 39.60 30.90 25.10 36.25 42.01 2. Pertambangan dan Penggalian 0.53 0.34 1.66 2.67 5.79 3, Industri 15.35 11.66 18.83 19.26 10.71 4. Listrik, Gas & Air Minum 0.41 0.89 1.56 0.87 0.70 5. Bangunan 6.87 4.82 3.61 4.32 4.48 6. Perdagangan 13.60 17.81 14.34 19.60 10.29 7. Angkutan/Komunikasi 3.79 6.19 9.48 4.34 4.07 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 4.70 4.37 8.17 4.64 5.41 9. Jasa-Jasa 15.15 23.04 16.71 8.06 16.54 PDRB 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: Kabupaten Dalam Angka Tahun 2003.
Meskipun aktivitas perekonomian di wilayah ini memiliki banyak
kesamaan sebagaimana telah dijelaskan di atas, namun masing-masing pemerintah
daerah dalam mengelola potensi daerah yang ada menunjukan kemampuan yang
berbeda. Dilihat dari penerimaan PAD sebagai indikator kemampuan daerah
dalam mengelola potensi daerah menjadi sumber penerimaan daerah, Kabupaten
Banyumas dan Kabupaten Cilacap memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan
dengan tiga kabupaten lainnya. Data tahun 2000 sampai dengan tahun 2003
menunjukkan bahwa penerimaan PAD di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten
122
Cilacap rata-rata mencapai dua kali lipat dari penerimaan PAD di ketiga
kabupaten yang lain.
Kondisi ini bisa saja disebabkan karena adanya keterbatasan kemampuan
sumberdaya manusia (SDM) di ketiga daerah tersebut, namun juga bisa
disebabkan karena keterbatasan potensi daerah yang dimiliki atau kondisi letak
geografis yang kurang menguntungan dibandingkan dengan kondisi yang sama di
Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap sehingga ketiga daerah tersebut
tidak mampu mengelola potensi daerah yang ada secara optimal. Namun
demikian, mengingat adanya kesamaan struktur perekonomian daerah di wilayah
ini, dengan bergabungnya ke lima kabupaten tersebut ke dalam lembaga
kerjasama antar daerah dapat dijadikan sarana bagi daerah yang memiliki kinerja
perekonomian lebih rendah untuk melakukan benchmarking pada daerah lain yang
memiliki kinerja perekonomian lebih baik.
Tabel 32 Besarnya Nilai PAD Kabupaten Di Wilayah BARLINGMASCAKEB
No. Kabupaten Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2000 2001 2002 2003
1 Banjarnegara 4,769,553,000 11,552,077,000 16,273,668,000 22,410,000,0002 Purbalingga 6,010,601,000 11,731,681,000 17,567,588,000 28,080,087,0003 Banyumas 15,240,136,000 29,541,431,000 37,449,524,000 51,113,126,0004 Cilacap 16,958,979,000 27,456,673,000 48,137,769,000 48,301,124,0005 Kebumen 6,310,219,000 14,216,177,000 22,760,200,000 29,807,202,000
Sumber: Data sekunder diolah
Perbedaan kemampuan dari masing-masing daerah dalam mengolah
potensi perekonomian yang ada menjadi output perekonomian salah satunya juga
disebabkan ketersedianya sarana dan prasarana wilayah. Perbedaan ketersediaan
sarana dan prasarana wilayah tersebut dapat digambarkan berdasarkan hierarkhi
wilayah. Semakin tinggi hierarkhi wilayah di suatu daerah menggambarkan
semakin baik potensi wilayah di daerah tersebut. Berikut digambarkan hierarkhi
wilayah kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB berdasarkan indikator
hirarkhi wilayah pertanian dan indikator hirarkhi wilayah perdagangan dan
industri.
123
Tabel 33 Indikator Hirarkhi Wilayah Pertanian Kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB tahun 2002
No. Indikator Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 1 Luas lahan tanaman
pangan (Ha) 68,710 56,360 88,724 149,831 107,338
2 luas lahan holtikultura (Ha)
6,441 2,114 1,569 4,206 857
3 Luas lahan perkebunan (Ha)
22,709 21,811 21,555 44,157 1,198
4 Jumlah RPH Milik pemerintah
4 2 9 6 4
5 Jumlah RPH Non Pemerintah
0 0 4 4 2
6 Jumlah Kelompok ternak
196 143 179 136 109
7 Jumlah kelompok tani 1,621 1,513 1,853 577 432 8 Jumlah pasar hewan 2 2 7 2 2 9 Jumlah Pos IB 0 0 7 0 2
10 Jumlah kelompok petani ikan
162 121 188 60 138
11 Jumlah balai benih ikan
1 3 3 2 4
12 Luas kolam pendederan 0 18 71 0 0
13 Luas kolam pembenihan (Ha)
47 23 43 4 0
14 Luas kolam pembesaran (Ha)
245 320 403 623 0
15 Luas penangkapan ikan di rawa (Ha) 0 0 0 271 72
16 Luas penangkapan ikan di sungai ()Ha 531 950 1,337
990 943
17 Luas penangkapan ikan di tambak (Ha) 0 0 0 0 28
18 Luas pengkapan ikan di genangan (Ha) 0 0 0 0 909
19 Luas penangkapan ikan di cekdam (Ha) 1,250 593 325
849 270
Sumber: Kabupaten Dalam Angka Tahun 2003.
Berdasarkan indikator hierarkhi wilayah pertanian sebagaimana
ditampilkan pada tabel di atas maka tingkatan hirarkhi wilayah pertanian di lima
kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB dapat dilihat pada gambar berikut.
124
Gambar 16 Hirarkhi Wilayah Pertanian Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB TAHUN 2002
Dari gambar di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Banyumas berada
pada posisi hierarkhi I berdasarkan hierarkhi wilayah pertanian, disusul
Kabupaten Cilacap dan Banjarnegara pada posisi hierarkhi II, sedangkan
Kabupaten Purbalingga dan Kebumen berada pada posisi hierarkhi III. Posisi
hierarkhi ini pada dasarnya menggambarkan perbedaan kondisi sarana dan
prasarana pertanian di kelima kabupaten baik dari sisi kelengkapan maupun
jumlahnya.
125
Tabel 34 Indikator Hierarkhi Wilayah Perdagangan dan Industri Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB tahun 2002
No. Indikator Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 1 Jumlah Departemen
Store 0 0 0 0 1 2 Jumlah Pasar
Swalayan 20 9 15 42 2 3 Jumlah Pusat
Perbelanjaan 0 0 0 1 1 4 Jumlah Pasar
Tradisional 20 34 86 30 35 5 Jumlah Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) 0 0 0 5 4
6 Jumlah Bank Umum 27 25 84 28 26 7 Jumkah Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) 34 31 33 16 20
8 Jumlah KUD 18 16 25 23 23 9 Jumlah Koperasi
Non KUD 121 196 374 431 330 10 Panjang Jalan
Kabupaten (Km) 711 710 805 1010 603 11 Panjang Jalan
Provinsi (Km) 84 43 32 62 90 12 Panjang Jalan
Nasional (Km) 58 30 181 83 61 13 Panjang jalan aspal
(Km) 815 430 665 876 518
14 Panjang jalan dengan kondisi baik (Km)
372 380 314 524 455
15 Panjang jalan dengan kondisi sedang (Km)
128 231 211 173 72
16 Jumlah Stasiun Kereta
0 0
1 2
3
17 Jumlah Terminal Bis 2 2 3 2 3 18 Jumlah Pelabuhan
Laut 0
0 0
1 0
19 Jumlah Lapangan Terbang
0 0
0 1
0
20 Jumlah Hotel 9 6 140 42 25 Sumber: Sumber: Kabupaten Dalam Angka Tahun 2003.
Dari indikator hierarkhi wilayah perdagangan dan industri, Kabupaten
Banyumas dan Cilacap berada pada posisi hierarkhi wilayah I, Kabupaten
Kebumen pada posisi hierarkhi wilayah II, sedangkan Kabupaten Banjarnegara
dan Kabupaten Purbalingga berada pada posisi hierarkhi wilayah III. Posisi
hierarkhi wilayah perdagangan dan industri ini menggambarkan perbedaan sarana
dan prasarana perdagangan dan industri dari masing-masing kabupaten.
126
Gambar 17 Hierarkhi Wilayah Perdagangan dan Industri Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB TAHUN 2002
.Keberadaan Kabupaten Banyumas dan Cilacap pada posisi hierarkhi
wilayah I dalam kegiatan perdagangan dan industri menunjukkan bahwa sarana
dan prasarana kegiatan perdagangan dan industri di wilayah tersebut lebih baik
jika dibandingkan dengan ketiga kabupaten yang lainnya. Di samping karena
adanya kemauan dan kemampuan dari masing-masing daerah untuk memenuhi
ketersediaan sarana dan prasarana ini, faktor letak geografis daerah tersebut
terhadap kemudahan akses pada daerah sekitar terutama kota-kota besar yang
dianggap menjadi pusat-pusat pertumbuhan sangat berpengaruh terhadap
ketersediaan infrastruktur ini.
Dari peta infrastruktur wilayah terlihat bahwa Kabupaten Banyumas
menjadi daerah simpul penghubung keempat kabupaten lainnya. Kabupaten
Banyumas juga menjadi simpul jalur darat utama, baik menggunakan jalur jalan
raya maupun kereta api di Jawa Tengah selatan bagian barat. Semua akses menuju
Kota Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta apabila melalui jalur selatan
Pulau Jawa pasti melewati Kabupaten Banyumas. Kondisi ini memungkinkan
apabila sarana dan prasarana perdagangan dan industri secara cepat tumbuh di
wilayah ini.
127
Gambar 18 Peta Infrastruktur Kabupaten di WilayahBARLINGMASCAKEB
Kabupaten Cilacap secara geografis sebenarnya merupakan wilayah yang
kurang menguntungkan. Wilayah ini terletak di ujung barat bagian selatan Provisi
Jawa Tengah. Akses dengan menggunakan jalan raya ke daerah ini akan berhenti
di Kota Cilacap. Namun, karena Kota Cilacap terletak di sebelah utara Pulau
Nusakambangan, kota ini memiliki pelabuhan samudera satu-satunya di wilayah
selatan Pulau Jawa. Kabupaten Cilacap juga memiliki sarana perhubungan udara
berupa lapangan terbang meskipun hanya bisa digunakan oleh jenis pesawat
dengan kapasitas penumpang yang kecil. Kedua sarana berhubungan laut dan
udara tersebut menjadi keunggulan dari Kabupaten Cilacap dibandingkan dengan
keempat kabupaten lainnya. Dengan keunggulan ini maka sangat memungkinkan
apabila sarana dan prasarana perdagangan dan industri penunjang lainnya di
kabupaten ini menjadi cepat berkembang.
Kabupaten Kebumen terletak di sebelah timur Kabupaten Banyumas dan
Kabupaten Cilacap. Kabupaten Kebumen merupakan kota kecil yang berada di
jalur darat utama Jawa Tengah bagian selatan. Karena letaknya yang strategis
sebagai penghubung jalur antara Yogyakarta ke arah Jakarta maupun ke arah
128
Bandung maka sarana dan prasarana perdagangan dan industri di wilayah ini
cukup dapat berkembang dengan baik.
Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara terletak di sebelah timur dari
Kabupaten Banyumas. Kedua kabupaten ini berada pada jalur darat bagian tengah
Provinsi Jawa Tengah ke arah Semarang. Karena secara geografis letak kedua
kabupaten ini berada di daerah pegunungan maka pengembangan jalur
perhubungan darat di wilayah ini hanya dikembangkan sebagai jalur alternatif
perdagangan. Oleh karena itu, menjadi sangat bisa dipahami apabila
pengembangan sarana dan prasarana perdagangan dan industri di kedua wilayah
ini menjadi sangat terbatas.
Dari gambaran tipologi dan hierarkhi wilayah di atas menunjukan bahwa
potensi ekonomi dan kemampuan sumberdaya manusia di masing-masing daerah
di kelima kabupaten yang tergabung dalam lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan. Dari
struktur ekonomi daerah, ke lima kabupaten lebih banyak ditopang dari sektor
pertanian. Namun sebenarnya masing-masing daerah memiliki karakteristik
potensi yang berbeda-beda. Adanya kesamaan maupun keragaman tipologi
wilayah ini dapat menjadi peluang untuk melakukan pengembangan potensi
wilayah dengan cara bekerjasama diantara mereka. Untuk meningkatkan nilai
tambah hasil pertanian misalnya, dapat dilakukan dengan membangun industri
hasil pertanian di tingkat kawasan. Tempat lokasi industri dapat dipilih
berdasarkan daerah yang memiliki potensi terbesar dari jenis hasil pertanian yang
akan diolah atau berdasarkan kemudahan lokasi dari sisi sarana transportasinya.
Sedangkan kabupaten lain yang tidak dipilih sebagai lokasi industri tetap
mendapatkan keuntungan dengan cara memberikan support berupa kontribusi
pasokan bahan baku maupun tenaga kerja. Kerjasama semacam ini akan dapat
menggerakkan aktivitas sektor pertanian lebih cepat karena adanya jaminan
serapan pasar hasil produksi pertanian yang lebih pasti. Dari contoh di atas, secara
umum dari berbagai potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah dapat
dibuka peluang untuk dilakukan kerjasama dalam upaya pengembangannya.
Kerjasama antar daerah tidak harus selalu diartikan bahwa masing-masing daerah
harus mendapatkan sesuatu yang sama dengan daerah lainnya, misalnya apabila di
129
suatu daerah dibangun sebuah pabrik maka daerah lainya juga harus dibangun
sebuah pabrik pula. Apabila hal ini dilakukan maka yang terjadi bukannya sebuah
sinergi melainkan justru kompetisi diantara para anggota.
Berdasar pada ilustrasi di atas, maka upaya pengembangan potensi
ekonomi di masing-masing daerah dalam konteks kerjasama antar daerah harus
dilakukan berdasarkan potensi dan karakteristik dari masing-masing kabupaten
dengan melihat keuntungan letak geografis dan ketersediaan sarana infrastruktur
pendukungnya. Atas dasar hal tersebut, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten
Purbalingga ditinjau dari letak geografis dan potensi yang dimiliki lebih dominan
sebagai daerah pertanian. Sehingga apabila akan dikembangkan lebih tepat
apabila kedua kabupaten tersebut dikembangkan sebagai kawasan agro industri.
Kabupaten Banyumas karena letaknya berada pada simpul jalur tranportasi baik
jalan raya maupun kereta api maka sarana perdagangan dan jasa dapat tumbuh
dengan cepat. Oleh karena itu Kabupaten Banyumas lebih cocok dikembangkan
sebagai kawasan perdagangan dan jasa. Di Kabupaten Cilacap dengan dimilikinya
sarana dan prasarana transportasi laut dan udara maka daerah ini lebih tepat
dikembangkan sebagai kawasan perdagangan dan industri. Sedangkan Kabupaten
Kebumen dengan memiliki potensi pertanian yang baik dengan posisi geografis
yang berada di jalur transportasi Jawa Tengah bagian selatan lebih tepat
dikembangkan sebagai daerah kawasan agro industri atau perdagangan.
5.2. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB
Sejak awal pembentukannya, lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB lebih diarahkan pada kegiatan regional marketing.
Regional marketing adalah konsep kerjasama antar daerah dalam memasarkan
potensi-potensi yang dimiliki masing-masing daerah guna meningkatkan kapasitas
dan daya saing daerah untuk dapat mengakses pasar regional, nasional dan
internasional.
Lembaga kerjasama antar daerah ini memiliki visi: ”menjadikan
BARLINGMASCAKEB sebagai wilayah yang terkemuka dengan masyarakat
sejahtera dan tata pemerintahan yang baik (good governance)”. Untuk mencapai
130
visi tersebut, lembaga ini berusaha mewujudkannya dengan menjalankan misi
sebagai berikut; (1) terciptanya iklim investasi yang kondusif dan ramah
lingkungan; (2) terbangunnya jaringan kelembagaan ke pasar regional, nasional
dan internasional; (3) meningkatnya daya beli masyarakat dan indeks
pembangunan manusia.
Dalam menjalankan misi untuk mencapai visi yang telah ditetapkan,
Regional Manager (RM) memfokuskan aktivitasnya pada tiga inti kegiatan yaitu
invesment, trade and regional tourism. Yang dimaksud dengan investment adalah
melakukan kegiatan pemasaran potensi daerah dengan sasaran masuknya investor
di wilayah BARLINGMASCAKEB. Trade adalah kegiatan pemasaran potensi
wilayah dengan tujuan akhir dapat memasarkan produk-produk daerah melalui
kegiatan perdagangan antar wilayah. Sedangkan regional tourism adalah upaya
melakukan pemasaran potensi pariwisata daerah secara bersama dengan tujuan
agar pariwisata regional di wilayah BARLINGMASCAKEB dapat berkembang.
5.2.1. Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB
Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB adalah
hasil-hasil yang telah dicapai oleh organisasi tersebut dalam menjalankan misi
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam penelitian ini, kinerja
lembaga yang dievaluasi adalah tingkat pencapaian hasil kegiatan yang dilakukan
oleh lembaga kerjasama antar daerah BARLINGASCAKEB dari tahun 2003
sampai dengan tahun 2009.
Selama periode sejak berdirinya lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 berbagai
aktivitas kegiatan telah dilakukan oleh lembaga tersebut guna mewujudkan tujuan
yang telah ditetapkan. Berbagai aktivitas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penguatan Kelembagaan BARLINGMASCAKEB
Sebagai lembaga baru langkah pertama yang dilakukan oleh lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB agar bisa eksis yaitu dengan
melakukan penguatan kelembagaan. Berbagai aktivitas telah dilakukan dalam
kegiatan penguatan kelembagaan berupa: (1) sosialisasi kelembagaan, (2)
131
penggalian sumber-sumber pendanaan, (3) pengisian tenaga pelaksana, dan (4)
pembuatan perencanaan program secara terpadu.
Kegiatan sosialisasi kelembagaan merupakan langkah pertama yang
dilakukan dengan maksud agar keberadaan lembaga bisa dikenal dan diterima
baik di kalangan birokrasi pemerintah daerah maupun di kalangan masyarakat
calon pengguna. Untuk itu telah dilakukan kegiatan sosialisasi internal ke dalam
birokrasi pemerintahan di lima kabupaten sebagai anggota dari lembaga kerjasama
antar daerah ini. Sosialisasi dilakukan dengan menyelenggarakan pertemuan dan
dialog dengan bupati dan jajaran birokrasi pemerintah daerah dengan maksud
memperkenalkan keberadaan lembaga kerjasama antar daerah ini agar mereka
memberikan dukungan terhadap keberadaan dan berbagai program kerja yang
akan dilakukan. Untuk memperkenalkan keberadaan lembaga kerjasama antar
daerah ini juga telah dilakukan kegiatan sosialisasi kepada pihak eksternal sebagai
calon pengguna melalui berbagai media informasi seperti surat kabar, radio dan
televisi.
Kegiatan sosialisasi ini telah cukup memberikan hasil seperti yang
diharapkan. Istilah BARLINGMASCAKEB yang diperkenalkan sebagai kawasan
pembangunan regional mulai dikenal dan bisa diterima oleh berbagai fihak.
Berbagai promosi produk dan pembentukan asosiasi yang melibatkan aktivitas di
lima kabupaten banyak yang mulai menggunakan istilah
”BARLINGMASCAKEB” meskipun kegiatan tersebut tidak berkait dengan
aktivitas lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB, seperti
pembentukan ”paguyuban seniman BARLINGMASCAKEB” dan berbagai
produk iklan bisnis yang menyebut ”kawasan BARLINGMASCAKEB” sebagai
cakupan pemasarannya. Intinya nama BARLINGMASCAKEB telah menjadi
”branding” nama kawasan di wilayah Jawa Tengah selatan bagian barat.
Aktivitas lain dalam kegiatan penguatan kelembagaan adalah melakukan
penggalian sumber-sumber pendanaan organisasi. Eksistensi suatu lembaga salah
satunya sangat ditentukan oleh sumber pendanaan yang menopang berbagai
aktivitas dari lembaga tersebut. Sejak mulai pembentukannya pada tahun 2003
hingga saat ini, sumber pendanaan lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB lebih mengandalkan dari dana iuran pemerintah
132
kabupaten anggota. Pernah diupayakan menggali sumber pendanaan dari bantuan
pemerintah pusat maupun provinsi melalui kegiatan semiloka nasional
”Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Kerjasama Antar Daerah”, namun usaha
tersebut hingga saat ini belum memberikan hasil. Penggalian sumber pendanaan
juga pernah dilakukan melalui bantuan lembaga donor. Kegiatan ini mampu
memberikan hasil dengan mendapat bantuan pendanaan sebesar 1,5 milyar rupiah
dari lembaga Partnership for Government Reform In Indonesia (PGRI) pada tahun
2004. Sayangnya pemberian bantuan ini hanya dalam bentuk bantuan proyek
kerjasama kegiatan, sehingga pendanaan yang diberikan tidak bersifat kontinyu.
Aktivitas penguatan kelembagaan lain yang tidak kalah penting adalah
melakukan pengisian personel Regional Management BARLINGMASCAKEB.
Pengisian personel sebagai tenaga pelaksana dari organisasi sangat penting
dilakukan karena tanpa personel yang lengkap dan handal maka kegiatan
organisasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Pengisian personel pada
lembaga ini direkrut dari tenaga profesional. Mereka yang direkrut adalah regional
manager, sekretaris regional manager, analis pemasaran, analis perekonomian
dan investasi serta bendahara.
Kegiatan penguatan kelembagaan yang terakhir yang dilakukan lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB yaitu dengan melakukan
perencanaan program pembangunan secara terpadu. Kegiatan ini dilakukan
dengan membentuk pokja-pokja sektoral yang berada di SKPD masing-masing
kabupaten. Pokja ini bertugas membantu Regional Management melakukan
sinkronisasi kegiatan agar kegiatan yang diprogramkan di level lembaga
kerjasama dapat sejalan dengan program kegiatan di tingkat SKPD. Adapun pokja
yang dibentuk meliputi; (1) Pokja I: Bidang pariwisata; (2) Pokja II: Bidang
pertanian; (3) Pokja III : Bidang perdagangan, dan (4) Pokja IV: Bidang
infrastruktur. Aktivitas lain dari kegiatan perencanaan program pembangunan
secara terpadu yaitu dengan menyusun perencanaan program pembangunan lintas
kabupaten secara terpadu melalui kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan
(Musrenbang) BARLINGMASCAKEB. Kegiatan ini mencoba mengidentifikasi
berbagai program kegiatan pembangunan lintas kabupaten, kemudian mencoba
mengalokasikan sumber pendanaan mana saja yang harus didanai dari APBD
133
kabupaten, mana yang perlu diusulkan untuk didanai dari APBD provinsi dan
sumber pendanaan dari APBN. Kegiatan musrenbang ini sekali dilakukan pada
tahun 2006, kemudian tidak pernah lagi dilakukan. Hal ini disebabkan tidak ada
dasar hukum yang mengatur kegiatan musrenbang di tingkat regional, serta
kurangnya komitmen dari masing-masing kabupaten dalam penyusunan
perencanaan program pembangunan secara terpadu.
2. Penyusunan Rumusan Kebijakan Pengembangan Regional
Dengan bergabungnya lima kabupaten dalam lembaga kerjasama antar
daerah, idealnya perencanaan pembangunan yang dilakukan tidak dilakukan
secara parsial dengan hanya semata-mata mendasarkan pada potensi ekonomi
yang dimiliki dari masing-masing daerah. Dengan bekerjasama, perencanaan
pengembangan daerah semestinya lebih memperhatikan pengembangan kawasan
dengan melakukan sinergi antar daerah. Menyadari pentingnya hal tersebut,
dengan diawali kegiatan pemetaan potensi daerah, Forum Regional (FR)
BARLINGMASCAKEB yang beranggotakan para bupati di wilayah
BARLINGMASCAKEB bersepakat menetapkan perencanaan pembangunan
berbasis kawasan dengan mendasarkan pada potensi ekonomi yang dimiliki oleh
masing-masing anggota. Hasil kesepakatan tersebut merekomendasikan
pengembangan BARLINGMASCAKEB menjadi kawasan yang berorientasi pada
agro industri dan pariwisata, meskipun masing-masing kabupaten dapat
dikembangkan sesuai dengan karakteristik kabupaten diantaranya: (1) Kabupaten
Banjarnegara diproyeksikan sebagai daerah pertambangan; (2) Kabupaten
Purbalingga diproyeksikan sebagai daerah agribisnis dan industri; (3) Kabupaten
Banyumas diproyeksikan sebagai daerah perdagangan dan pendidikan; (4)
Kabupaten Cilacap diproyeksikan sebgai daerah industri; dan (5) Kabupaten
Kebumen diproyeksikan sebagai daerah pertambangan. Namun demikian, gagasan
ideal tersebut nampaknya masih sulit dilaksanakan. Kendala utama yang
menghambat gagasan tersebut adalah kurangnya komitmen dari masing-masing
daerah yang disebabkan karena adanya ego daerah. Justru faktor-faktor seperti
inilah yang timbul sebagai ekses negatif dari otonomi daerah yang perlu
dihilangkan dengan melakukan kerjasama antar daerah.
134
3. Fasilitasi Investasi Daerah
Aktivitas yang dilakukan pada kegiatan fasilitasi investasi daerah adalah
melakukan pemasaran berbagai potensi daerah yang dimiliki oleh masing-masing
kabupaten di kawasan BARLINGMASCAKEB kepada para calon investor.
Tujuannya adalah agar investasi yang masuk di lima kabupaten anggota lembaga
kerjasama antar daerah ini meningkat. Dengan meningkatnya investasi akan dapat
menggerakkan kegiatan ekonomi daerah di berbagai sektor. Dengan
meningkatnya kegiatan ekonomi maka akan dapat meningkatkan skala ekonomi
daerah. Kegiatan pemasaran dilakukan baik dengan cara mendatangi pada calon
investor maupun dengan cara mendatangkan calon investor untuk hadir di
BARLINGMASCAKEB.
Negosiasi investasi dan koordinasi dengan lembaga terkait bagi pemasaran
potensi wilayah yang telah difasilitasi oleh lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB adalah sebagai berikut:
a. Rencana pembangunan pabrik gula kelapa BARLINGMASCAKEB di
Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas oleh Pemerintah Kanada.
b. PT. Telekomunikasi Indonesia dan PT Industri Telekomunikasi Indonesia
(INTI) untuk pengembangan jaringan telekomunikasi.
c. PT Galuh Bio Kencana untuk investasi pabrik pupuk organik.
d. PT. Merpati Nusantara Airlines untu membuka jalur penerbangan di Bandara
Tunggul Wulung Cilacap.
e. PT. Indohage Multi Guna dari Belanda untuk investasi pabrik pengolahan
nanas di Kabupaten Banjarnegara.
f. PT. Carrefour Indonesia Tbk, untuk investasi usaha ritel di Purwokerto.
g. Turnto Company dari China untuk investasi pabrik minyak atsiri di
BARLINGMASCAKEB.
h. PT Bali Grain Company untuk investasi jagung beserta infrastruktur di
BARLINGMASCAKEB.
i. James Lyle Larsen (The Fifteen Trust-America) dalam investasi penanaman
jagung 100.000 Ha di BARLINGMASCAKEB.
135
j. Islamic Development Bank dan perbankan di wilayah
BARLINGMASCAKEB untuk membantu pendanaan bagi pemerintah di
bidang infrastruktur, dan pengusaha eksportir serta UKM.
k. PT. Meko Budi Pratama untuk investasi pengembangan sarana hiburan di
Monumen Soedirman Karanglewas Kabupaten Banyumas.
l. Politeknik Manufacture Astra dan Yayasan Wiyata untuk pengembangan
SDM dan industri otomotif di Kabupaten Purbalingga.
m. Yayasan Gramedia untuk investasi Pengembangan Pariwisata (resort) di
Karangreja Kabupaten Purbalingga.
n. PT.Apac Inti untuk investasi pengolahan minyak dan gas di Kabupaten
Kebumen.
o. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Tengah untuk pengembangan
produk pertanian.
p. Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Tengah untuk pengembangan
investasi di BARLINGMASCAKEB.
q. Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan untuk mendapatkan bahan baku industri
mebel/furniture di BARLINGMASCAKEB berupa kayu pinus.
Dari berbagai negosiasi investasi tersebut beberapa investor telah
membuat komitmen secara tertulis untuk menanamkan investasinya di wilayah
BARLINGMASCAKEB dalam bentuk:
a. MoU (Memoradum of Understanding), yaitu PT Galuh Bio Kencana dengan
Bupati Purbalingga selaku ketua Dewan Eksekutif dalam investasi
pembangunan pabrik pengolahan sampah organik di wilayah
BARLINGMASCAKEB
b. LoA ( Letter of Acceptance) yaitu James Lyle Larsen (The Fifteen Trust-
Amerika) dengan RM dalam investasi penanaman Jagung 100.000 Ha di
wilayah BARLINGMASCAKEB
c. Perjanjian Kerjasama (PKS) Yaitu perjanjian kerjasama antara PT Merpati
Nusantara Airlines dengan Bupati Cilacap selaku anggota FR dalam uji coba
penerbangan Halim-Cilacap selama satu bulan dengan sistem insentif
d. Persetujuan Bupati Banjarnegara kepada PT. Indaho Multi Guna untuk
investasi pabrik pengolahan nanas beserta perkebunan inti dan plasma
136
e. MoU dengan Politeknik Manufacture ASTRA untuk pengembangan SDM dan
otomotif di Kabupaten Purbalingga.
Di samping melakukan negosiasi secara langsung kepada calon investor,
upaya lain yang dilakukan untuk memfasilitasi masuknya investor di wilayah
BARLINGMASCAKEB dilakukan dengan mencoba membuat peraturan yang
dapat menjamin suasana kondusif bagi masuknya investor di wilayah ini. Dalam
rangka menciptakan kondisi tersebut telah dilakukan sinkronisasi kebijakan publik
di bidang pelayanan perijinan dengan membuat prototipe kebijakan regional
tentang penyelenggaraan perijinan berupa rancangan perda perijinan yang
diharapkan dapat berlaku di lima kabupaten anggota. Meskipun rancangan perda
ini kemudian tidak dapat diberlakukan di masing-masing kabupaten, namun
pembuatan prototipe perda tentang perijinan investasi ini telah mengilhami
lahirnya perda-perda tentang perijinan di masing-masing daerah yang kemudian
melahirkan kebijakan mengenai “one stop service” yaitu kebijakan satu pintu
bagi pelayanan perijinan investasi di masing-masing daerah.
Promosi potensi daerah juga dilakukan dalam rangka memfasilitasi
masuknya investor di wilayah ini. Promosi dilakukan dengan menggunakan alat
media promosi seperti brosur, pembuatan film dalam bentuk VCD dan pembuatan
website BARLINGMASCAKEB dengan alamat
http://www.barlingmascakeb.com. Promosi potensi daerah juga dilakukan dengan
cara mengikuti berbagai kegiatan pameran/expo baik di dalam wilayah maupun di
luar wilayah BARLINGMASCAKEB, serta melakukan kegiatan misi dagang di
beberapa negara antara lain; di Italia dengan melakukan kerja sama technical
asistence furnitur dan order product; di Spanyol untuk melakukan persiapan
pameran di Valencia Spanyol; di Jerman dengan melakukan kerja sama
peningkatan SDM dan perencanaan tata kota; di Mesir dalam rangka pemasaran
produk kerajinan, dan di Yordania dalam rangka membuka toko dan pemasaran
kerajinan tangan di Amman Yordania.
4. Pengembangan Perdagangan Produk Daerah
Peningkatan perdagangan produk daerah juga menjadi ”prioritas” program
kerja dari Regional Management BARLINGMASCAKEB. Kegiatan perdagangan
pada dasarnya merupakan aktivitas hilir dari suatu kegiatan perekonomian.
137
Problem utama yang sering terjadi dalam suatu kegiatan ekonomi adalah masalah
kemampuan memasarkan produk yang telah dihasilkan. Dalam banyak kasus
sering terjadi, suatu kegiatan ekonomi mampu menghasilkan suatu produk
tertentu, namun setelah produk dihasilkan masalah muncul berkaitan dengan
bagaimana memasarkan produk tersebut. Suatu produk yang telah dihasilkan
tetapi tidak dapat dipasarkan tidak akan mampu memberi manfaat ekonomi baik
bagi produsen maupun masyarakat sebagai pengguna.
Menimbang pentingnya masalah pemasaran produk daerah bagi aktivitas
perekonomian daerah, maka salah satu fokus kegiatan dari lembaga kerjasama
antar daerah BARLINGMASCAKEB adalah mendorong peningkatan
perdagangan produk daerah. Memfokuskan perhatian pada kegiatan pemasaran
produk pada dasarnya juga memfokuskan perhatian pada kegiatan produksi
sebagai aktivitas hulunya. Suatu produk akan sulit untuk dipasarkan apabila
kualitas produk tersebut tidak memenuhi standar pengguna (konsumen). Salah
satu cara yang dilakukan untuk memasarkan produk daerah yaitu dapat dilakukan
dalam kegiatan pasar lelang.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan dalam mensukseskan program nasional, khususnya program institusi pasar yang berkaitan dengan upaya meningkatkan pemasaran, daya saing, pendapatan petani dan ketahanan pangan, telah mengembangkan pasar lelang komoditi agro, baik pasar lelang spot (penyerahan segera setelah transaksi) maupun pasar lelang forward (penyerahan kemudian), yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sampai saat ini sudah ada 17 pasar lelang, terdiri dari 11 pasar lelang spot dan 6 pasar lelang forward. Pasar lelang spot telah dikembangkan di Sumatera Utara untuk komoditas kakao, Jambi untuk komoditas karet dan di Sumatera Barat untuk komoditas agro. Sedangkan pasar lelang forward telah dikembangkan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Sulawesi Utara.
Peranan pasar lelang, termasuk pasar lelang agro, antara lain memberikan
kepastian pasokan komoditi, meningkatkan transparansi pembentukan harga,
pengadaan sumber informasi harga, memperluas akses pangan, meningkatkan
mutu dan nilai tukar produk, memperkuat posisi tawar petani, menciptakan harga
pasar yang wajar dan efisien, serta pembinaan pelaku program untuk mengatasi
pasar global. Dalam penyelenggaraan pasar lelang dengan sistem forward
138
(penyerahan kemudian), para penjual cukup hanya membawa contoh/sampel yang
dilengkapi dengan spesifikasi dari komoditas yang akan di jual, dan bertemu
dengan pembeli yang membayarnya di kemudian hari saat penerimaan barang,
pada harga yang telah disepakati dalam pasar lelang.
Dengan mengacu pada berbagai keuntungan di atas Regional Management
BARLINGMASCAKEB dalam upaya membantu melakukan pemasaran produk
daerah telah menyelenggarakan kegiatan pasar lelang komoditi agro dengan
sistem forward, dengan harapan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi
perbaikan tingkat perekonomian masyarakat di wilayah BARLINGMASCAKEB.
Tabel 35 Rekapitulasi Transaksi Pasar Lelang BARLINGMASCAKEB
No. Tahun Jumlah Kegiatan
Pasar Lelang
Komoditi Yang Dijual Nilai Transaksi (Rupiah)
1 2004 7 Beras, Kentang, Salak, Pala, The Hijau, Gula Merah, Semangka, Melon, Gaplek dan Jagung
18,175,300,000
2 2006 2 Beras, Cengkeh, kelapa Lokal, Gula Merah, Coco Fiber, Kentang Kubis, Pinang, Cabe, Duku, Jagung, Jamur, Kencur, Kopra, Manggis, Minyak Nilam, Onggok Pres, Salak Pondoh, Sapi Potong, Tomat dan Wortel.
56,026,350,000
3 2007 2 Gula Merah, Cegkeh, Coco Peat, Kopra, Coco Dust, Bengkoang, Beras, Gula Pasir, Sapi, Kelapa, Cabe, Kambing, Abon, Bungkil Kopra, Jagung, Jambu, Tomat, Jahe, Salak, Belimbing, Dedak, Emping Mlinjo, Pinang, Kapulogo, Kentang, Kunyit dan Labu.
63,833,250,000
4 2008 3 Arang, Beras, Strawbery, Cabe, Cengkeh, Gula Merah, Kemiri, Kentang, Mangga, Minyak Nilam, Rumput Laut, Sapi Potong, The Rosela, Tepung Tapioka, Bekatul, Buncis, Emping Mlinjo, Jagung, Gula Semut, Jeruk, Kacang Hijau, Singkong, Mahkota Dewa, Tomat, Empon-empon, Gaplek, Jahe, Petai, Sukun dan Tapioka
115,416,000,000
5 2009 3 Beras, Cabe, Cengkeh, Ikab Bawal, Gurameh, Patin, Jagung, Kacang Tanah, Kencur, Kentang, Kopi, Kumis Kucing, Rosela, Gabah, Kemiri, Lada, Minyak Goreng Lokal, Tepung Tapioka, Tomat, Vanili, Jahe, dan Kencur
31,453,900,000
Sumber: Laporan Kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB.
139
Kegiatan pasar lelang telah dilaksanakan sejak tahun 2004 hingga tahun
2009, dengan jumlah kegiatan sebanyak 17 kali dengan nilai total transaksi
mencapai 284,9 milyar rupiah. Perincian kegiatan pasar lelang tiap tahun dapat
dilihat pada tabel 35 di atas. Dalam rangka mengembangkan kegiatan pasar lelang
ini, Regioanl Management BARLINGMASCAKEB telah bekerjasama dengan
Badan Pengawaas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Kementerian
Perdagangan RI. Adapun bantuan yang diperoleh berupa dua unit komputer dan
satu printer serta dana pengembangan sebesar 40 juta rupiah pada tahun 2004 dan
sebesar 200 juta rupiah pada tahun 2005.
Keberhasilan pemasaran produk daerah juga sangat ditentukan oleh
kualitas dari produk yang diperdagangkan. Menyadari akan hal tersebut, Regional
Management BARLINGMASCAKEB dalam membantu memasarkan produk-
produk daerah juga mencoba memperhatikan aspek kualitas produk. Untuk
menjaga kualitas produk agar mudah untuk dipasarkan lembaga kerjasama antar
daerah ini menyelenggarakan kegitan fasilitasi bantuan pengadaan mesin produksi
untuk usaha kecil dan menengah (UKM) di wilayah BARLINGMASCAKEB.
Beberapa kegiatan yang telah berhasil dilakukan antara lain: (1) Bantuan mesin
pengemas/packaging dari Pusat Dagang Kecil dan Menengah (PDKM)
Departemen Perdagangan RI untuk Kabupaten Banjarnegara; (2) Bantuan
pengadaan mesin produksi pengolahan serabut kelapa dari Direktorat Jenderal
Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan RI untuk UKM orientasi
ekspor di Kabupaten Kebumen, dan (3) Bantuan pengadaan mesin produksi
kerajinan kayu dari Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen
Perdagangan RI untuk UKM orientasi ekspor di Kabupaten Purbalingga.
Kegiatan ini diharapkan dapat membantu pelaku usaha di wilayah
BARLINGMASCAKEB untuk bisa lebih meningkatkan kualitas produk yang
dihasilkan agar bisa memenuhi standar konsumen yang membutuhkan.
Tidak hanya memfasilitasi pemberian bantuan alat produksi, dalam rangka
meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, Regional Management
BARLINGMASCAKEB juga memfasilitasi kegiatan pelatihan untuk
meningkatkan ketrampilan pelaku usaha dalam meningkatkan kreasi sehingga
produk usaha yang dihasilkan lebih memenuhi tuntutan pasar. Kegiatan pelatihan
140
yang telah dilakukan yaitu pelatihan desain batik yang diselenggarakan oleh
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, untuk UKM Batik se
BARLINGMASCAKEB di Hotel Green Valley Baturaden pada tahun 2010.
5. Pengembangan Pariwisata Regional
Kegiatan lain yang dilakukan oleh Regional Management
BARLINGMASCAKEB dalam upaya meningkatkan skala ekonomi daerah
adalah dengan melakukan pengembangan pariwisata regional. Sektor pariwisata
dipilih untuk dikembangkan karena wilayah BARLINGMASCAKEB memiliki
potensi wisata yang beragam. Oleh karena itu, apabila sektor ini dikembangkan
dengan menggunakan pendekatan kerjasama regional akan dapat menghasilkan
sinergi yang lebih besar jika dibandingkan dengan apabila potensi pariwisata
tersebut dikembangkan secara parsial oleh masing-masing daerah.
Pilihan sektor pariwisata untuk dikembangkan tidak hanya didasarkan atas
pertimbangan bahwa pengembangan suatu kawasan pariwisata akan berdampak
pada peningkatan pendapatan daerah, tetapi juga akan memberikan pengaruh pada
peningkatan pendapatan masyarakat. Suatu kawasan yang berkembang karena
adanya aktivitas ekonomi, seperti adanya obyek wisata dapat memberikan dampak
pada pengembangan kegiatan ekonomi yang lainnya seperti kegiatan
perdagangan, perhotelan, rumah makan dan sebagainya. Pengembangan kegiatan
ekonomi semacam ini kemudian membuka peluang usaha bagi masyarakat.
Dengan kata lain pengembangan pariwisata regional akan dapat mendorong
peningkatan skala ekonomi daerah.
Dalam rangka melakukan pengembangan pariwisata regional, beberapa
langkah telah dilakukan oleh Regional Management BARLINGMASCAKEB
yaitu dengan melakukan; (1) pemetaan potensi pariwisata; (2) pembuatan alat
promosi wisata; dan (3) pemasaran pariwisata. Hasil dari kegiatan pemetaan
potensi wisata yaitu tersusunnya profil pariwisata BARLINGMASCAKEB. Dari
hasil pemetaan potensi pariwisata inilah akan menjadi dasar bagi penyusunan
kebijakan pengembangan pariwisata ke depan. Pembuatan alat promosi pariwisata
juga penting untuk dilakukan. Dengan promosi, potensi wisata di wilayah
BARLINGMASCAKEB akan menjadi dikenal oleh para wisatawan. Hal ini akan
memberikan dampak pada bertambahnya wisatawan yang berkunjung di wilayah
141
BARLINGMASCAKEB. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kesiapan dari
para pelaku wisata agar dapar memberikan pelayanan terbaik bagi para wisatawan
yang datang. Kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan
pelayanan wisata yaitu dengan membentuk Paguyuban Pariwisata
BARLINGMASCAKEB (PPB). Anggota dari paguyuban ini terdiri dari
perwakilan SKPD pariwisata, pengusaha hotel, pengusaha biro perjalanan
pariwisata, dan himpunan pramuwisata Indonesia dari perwakilan masing-
masing kabupaten. Dalam rangka mengembangkan pariwisata regional di wilayah
BARLINGMASCAKEB juga telah dibuat paket-paket wisata di masing-masing
kabupaten. Dengan paket wisata ini diharapkan akan dapat lebih mengenalkan
kawasan BARLINGMASCAKEB dari sisi potensi wisatanya.
Dari berbagai aktivitas yang telah dilakukan oleh Regional Management
BARLINGMASCAKEB sebagimana telah dijelaskan di atas dapat diringkas ke
dalam satu tabel kegiatan sebagai berikut:
142
Tabel 36 Daftar Kegiatan dan Hasil yang Dicapai Oleh Regional Management BARLINGMASCAKEB
No. Kegiatan Sub Kegiatan Hasil
1. Penguatan Kelembagaan
Sosialisasi BARLINGMASCAKEB
Sosialisasi BARLINGMASCAKEB melalui: 1. Surat kabar: Suara Merdeka, Radar
Banyumas, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Republika;
2. Media elektronik: Bms TV, Ratih TV, TVRI, RCTI, SCTV, Dian Swara FM, Tara valeria FM, RRI Purwokerto, dan Mafasa FM.
3. Kunjungan ke masing-masing kabupaten untuk melakukan dialog dengan para bupati dan jajarannya.
Penggalian sumber pendanaan
1. Kegiatan Semiloka Nasional Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Kerjasama Antar Daerah
2. Melakukan Kerjasama dengan Partnership for Government Reform In Indonesia (PGRI) mendapatkan dana pendampingan sebesar 1,5 milyar rupiah
Pengisian tenaga pelaksana
Penetapan regional manager (RM), sekretaris, analis pemasaran dan analis perekonomian dan investasi
Perencanaan program pembangunan secara terpadu
1. Pelaksanaan kegiatan Musrenbang BARLINGMASCAKEB
2. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) sektoral BARLINGMASCAKEB meliputi: Pokja I : Bidang pariwisata Pokja II: Bidang pertanian Pokja III : Bidang perdagangan Pokja IV: Bidang infrastruktur
2. Penyusunan Rumusan Kebijakan
Pemetaan potensi wilayah
Rekomendasi pengembangan BARLINGMASCAKEB menjadi kawasan yang berorientasi pada agro industri dan Pariwisata, meskipun masing-masing kabupaten dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristik kabupaten diantaranya: 1. Kabupaten Banjarnegara diproyeksikan
sebagai daerah pertambangan 2. Kabupaten Purbalingga diproyeksikan
sebagai daerah agribisnis dan industri 3. Kabupaten Banyumas diproyeksikan
sebagai daerah perdagangan dan pendidikan
4. Kabupaten Cilacap diproyeksikan sebagai daerah industri
5. Kabupaten Kebumen diproyeksikan sebagai daerah pertambangan
Sumber: Laporan Kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB.
143
Tabel 36 Lanjutan
No. Kegiatan Sub Kegiatan Hasil 3. Fasilitasi
investasi daerah
Mengundang calon investor untuk berinvestasi di BARLINGMASCAKEB
Beberapa Investor yang difasilitasi oleh RM BARLINGMASCAKEB telah membuat komitmen Tertulis dalam bentuk: 1. MoU (Memoradum of Understanding), yaitu
PT Galuh Bio Kencana dengan Bupati Purbalingga selaku ketua Dewan Eksekutif dalam investasi pembangunan pabrik pengolahan sampah organik di wilayah BARLINGMASCAKEB
2. LoA ( Letter of Acceptance) yaitu James Lyle Larsen (The Fifteen Trust-Amerika) dengan RM dalam investasi penanaman Jagung 100.000 Ha di wilayah BARLINGMASCAKEB
3. Perjanjian Kerjasama (PKS) Yaitu perjanjian kerjasama antara PT Merpati Nusantara Airlines dengan Bupati Cilacap selaku anggota FR dalam uji coba penerbangan Halim-Cilacap selama satu bulan dengan sistem insentif
4. Persetujuan Bupati Banjarnegara kepada Indaho Multi Guna untuk investasi pabrik pengolahan nanas beserta perkebunan inti dan plasma
5. MoU dengan Politeknik Manufacture ASTRA untuk pengembangan SDM dan otomotif di Kabupaten Purbalingga
Sinkronisasi kebijakan publik di bidang pelayanan perijinan
Prototype kebijakan regional tentang penyelenggaraan perijinan (Prototype Perda 5 kabupaten)
Pembuatan alat promosi
1. Brusur/leaflet tentang pasar lelang komoditi agro, pelayanan penerbangan Jakarta - Cilacap
2. VCD potensi BARLINGMASCAKEB Website: http://www.barlingmascakeb.com
Kegiatan promosi potensi wilayah
1. Keikutsertaan BARLINGMASCAKEB dalam berbagai pameran/ expo antara lain: Purbalingga Expo 2004, Banjarnegara Expo 2004, Java Trade Centre 2006 di Semarang, Kebumen Expo. Pameran Pangan Nusa 2009 di Jakarta. Pameran luar negeri ”Malaysia Fresh Fruits And Indo Extravagansa” di Singapura.
2. melakukan kegiatan misi dagang di beberapa negara antara lain: a. Italia: Melakukan Kerja sama Technical
Asistence Furniture dan Order Product b. Spanyol: Persiapan Pameran di Valencia
Spanyol c. Jerman: Kerja sama peningkatan SDM dan
Perencanaan Tata Kota d. Mesir: Pemasaran produk kerajinan e.Yordania: Membuka Outlet dan Pemasaran
Handycraft di Amman Yordania Sumber: Laporan Kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB.
144
Tabel 36 Lanjutan
No. Kegiatan Sub Kegiatan Hasil 4. Perdagangan
Produk Daerah
Kegiatan Pasar Lelang forward komoditas agro
Dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 telah terselenggara kegiatan pasar lelang sebanyak 17 kali dengan nilai total transaksi sebesar Rp. 284,904,800,000,-
Fasilitasi bantuan pengadaan mesin produksi untuk usaha kecil dan menengah (UKM)
1. Bantuan mesin pengemas/packaging dari Pusat Dagang Kecil dan Menengah (PDKM) Departemen Perdagangan RI untuk Kabupaten Banjarnegara.
2. Bantuan pengadaan mesin produksi pengolahan serabut kelapa dari Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan RI untuk UKM orientasi ekspor di Kabupaten Kebumen.
3. Bantuan pengadaan mesin produksi kerajinan kayu dari Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan RI untuk UKM orientasi ekspor di Kabupaten Purbalingga
Kegiatan Pelatihan
Pelatihan desain batik yang diselenggarakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM untuk UKM Batik se BARLINGMASCAKEB di Hotel Green Valley Baturaden 2010.
Kerjasama dengan lembaga lain
Bantuan dari Badan Pengawaas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Deperindag RI untuk pengembangan pasar lelang forword komoditi agro berupa dua unit kmputer dan satu printer serta dana 40 jt tahun 2004 dan 200 juta tahun 2005.
5. Pengembangan Pariwisata Regional
Pemetaan potensi pariwisata
Tersusunnya profil wisata BARLINGMASCAKEB
Pembuatan alat promosi wisata
1. Leaflet pariwisata BARLINGMASCAKEB 2. Web pariwisata BARLINGMASCAKEB
Pemasaran Pariwisata
1. Pembentukan paguyuban pariwisata BARLINGMASCAKEB di masing-masing kabupaten
2. Pembentukan paket wisata BARLINGMASCAKEB
Sumber: Laporan Kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB. 5.2.2. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah Dari Sisi Output
Setelah mendeskripsikan berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh
Regional Management BARLINGMASCAKEB, subbagian ini akan
mendeskripsikan evaluasi kinerja lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB dari sisi output. Untuk mengukur capaian kinerja dari
sisi output (keluaran), dilakukan dengan; (1) membandingkan antara realisasi
capaian terhadap target capaian yang ditetapkan dalam program kerja lembaga
145
tersebut; (2) menghitung efisiensi biaya (cost-efficiency) aktivitas lembaga dalam
menghasilkan output (keluaran).
1. Pengukuran Kinerja dari Sisi Output Berdasar Perbandingan Realisasi Capaian Terhadap Target Capaian Program Kerja Lembaga KSAD
Output adalah hasil langsung dari suatu proses kegiatan. Pengukuran
output adalah pengukuran keluaran langsung suatu proses kegiatan. Ukuran output
menunjukkan hasil implementasi program atau aktivitas. Untuk mengukur kinerja
organisasi dalam bentuk keluaran langsung hanya bisa dilakukan apabila
organisasi tersebut mampu membandingkan antara realisasi dengan target yang
hendak dicapai yang telah ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, target kinerja
harus ditentukan. Setelah target ditentukan, dalam tahap berikutnya organisasi
membuat indikator kinerja. Indikator kinerja ini berfungsi sebagai tonggak yang
menandai sejauh mana organisasi telah mencapai tujuan dan target yang telah
ditetapkan (Mahmudi, 2005).
Aktivitas utama lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu; memfasilitasi masuknya
investasi ke daerah, mendorong frekuensi kegiatan perdagangan produk daerah ke
pasar regional, nasional atau bahkan ke internasional, dan melakukan
pengembangan pariwisata regional.
Kegiatan fasilitasi masuknya investasi ke daerah dilakukan dengan
memasarkan potensi ekonomi daerah kepada calon investor. Mendorong kegiatan
perdagangan produk daerah dilakukan dengan menyelenggarakan kegiatan pasar
lelang. Sedangkan kegiatan pengembangan pariwisata regional dilakukan dengan
membentuk paguyuban pariwisata dan penetapan paket-paket wisata di masing-
masing kabupaten anggota. Dari berbagai aktivitas tersebut, untuk mengetahui
bagaimana kinerja organisasi dilihat dari keluaran langsung (output) yang
dihasilkan dapat diukur dengan membandingkan antara realisasi output yang
dicapai dengan target output yang diharapkan, sebagaimana dapat dilihat pada
tabel di bawah.
146
Tabel 37 Indikator Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB Berdasar Perbandingan Target Dan Realisasi Program Kerja
No. Aktivitas Kegiatan Indikator Kinerja Pengukuran Kinerja 1. Fasilitasi Investasi
Daerah Jumlah nilai investasi yang masuk
Perbandingan realisasi terhadap target
2. Perdagangan Produk Daerah
1. Jumlah nilai transaksi dalam kegiatan lelang 2. Jumlah peserta lelang
Perbandingan realisasi terhadap target
3. Pengembangan Pariwisata Regional
Jumlah obyek wisata yang dikembangkan
Perbandingan realisasi terhadap target
Untuk mengetahui berapa target capaian yang diharapkan, dapat dilihat
pada dokumen perencanaan program yang dibuat oleh setiap organisasi pada awal
tahun kegiatan. Sedangkan untuk mengetahui berapa realisasi capaian kegiatan
dapat dilihat dari dokumen laporan pertanggungjawaban kegiatan yang dibuat
pada akhir tahun kegiatan atau selambat-lambatnya pada awal tahun kegiatan pada
tahun berikutnya. Berdasarkan kedua dokumen tersebut, diketahui bahwa
Regional Management BARLINGMASCAKEB tidak pernah membuat target-
target kegiatan yang harus dicapai dalam melaksanakan program kegiatannya.
Setiap tahun organisasi memiliki serangkaian program kerja yang harus
dilaksanakan agar tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat dicapai. Namun,
karena target pencapaian tujuan tahunannya tidak pernah ditetapkan maka kinerja
organisasi tidak pernah bisa diukur. Pencapaian kinerja organisasi dari sisi output
atau keluaran langsung setidaknya dapat dijadikan bahan evaluasi bagi organisasi
apakah program kerja yang dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan
organisasi telah sesuai pada jalur yang benar.
Berdasarkan penggalian data di lapangan, dari hasil wawancara dengan
Sekretaris Regional Manager BARLINGMASCAKEB, diperoleh informasi
bahwa evaluasi program tahunan tidak pernah dilakukan. Alasan yang diberikan
adalah bahwa setiap tahun Regional Manager membuat rencana program kegiatan
yang diajukan kepada Dewan Eksekutif untuk mendapat persetujuan sebagai dasar
rencana program tersebut dapat dilaksanakan. Pada akhir tahun kegiatan, Regional
Manager juga membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan yang perlu
dimintakan pengesahan dari Dewan Eksekutif sebagai bukti bahwa kegiatan
selama satu tahun berjalan telah dapat diterima pertanggungjawabannya. Dalam
147
kenyataannya, kedua dokumen tersebut yaitu dokumen rencana program kegiatan
dan dokumen laporan pertanggungjawaban kegiatan yang dibuat oleh Regional
Manager selalu mendapat persetujuan dan pengesahan dari Dewan Eksekutif.
Atas dasar hal tersebut mereka menganggap bahwa tidak ada yang salah berkaitan
dengan rencana program yang disusun dan capaian hasil yang diperoleh dari
kegiatan Regional Management BARLINGMASCAKEB selama ini. Sehingga
evaluasi program kegiatan tahunan tidak pernah dilakukan.
Dari temuan ini, evaluasi awal yang harus dilakukan untuk membenahi
kinerja kelembagaan dari lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB haruslah dimulai dari aktivitas pembuatan dokumen
rencana kegiatan yang harus berisi mengenai; (1) visi, misi, tujuan, sasaran dan
target; (2) penentuan indikator input, output, dan outcome. Apabila dokumen
perencanaan telah berisi dua hal tersebut maka kinerja organisasi akan dapat
diukur, dan apabila kinerja organisasi belum dapat mencapai sebagaimana yang
diharapkan maka evaluasi terhadap proses pencapaian hasil akan lebih mudah
untuk dilakukan.
2. Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasar Penghitungan Efisiensi Biaya (Cost-Efficiency)
Efisiensi merupakan perbandingan antar output dengan input atau dengan
istilah lain output per unit input. Efisiensi terkait hubungan antara output berupa
barang atau pelayanan yang dihasilkan dengan sumberdaya yang digunakan untuk
menghasilkan output tersebut. Suatu organisasi dikatakan efisien apabila mampu
menghasilkan output tertentu dengan input serendah-rendahnya, atau dengan input
tertentu mampu menghasilkan output sebesar-besarnya. Jadi efisiensi merupakan
rasio antara besarnya output yang dihasilkan dengan besarnya input yang
digunakan untuk menghasilkan output tersebut.
Untuk mengukur kinerja lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB berdasarkan penghitungan efisiensi biaya (cost-
efficiency) dilakukan dengan membandingkan output yang dihasilkan dari
organisasi tersebut berupa keuntungan yang diperoleh pemerintah daerah maupun
masyarakat sebagai akibat dari aktivitas kerjasama yang dilakukan dengan
besarnya input yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut.
148
Ada tiga kegiatan utama yang dilakukan oleh lembaga kerjasama antar
daerah ini agar tujuan yang diharapkan berupa peningkatan skala ekonomi daerah
dapat dicapai, yaitu; (1) melakukan kegiatan fasilitasi investasi daerah, (2)
melakukan perdagangan produk daerah, dan (3) pengembangan pariwisata
regional. Pengukuran kinerja dari sisi efisiensi biaya dilakukan dengan
membandingkan antara input dengan output yang dihasilkan dari ketiga kegiatan
tersebut.
Sumber pendanaan dari lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB berasal dari iuran lima kabupaten anggota. Pada tahun
pertama dan kedua masing-masing anggota bersepakat berkontribusi sebesar 100
juta rupiah untuk membiayai kegiatan operasional lembaga. Pada tahun ketiga
kontribusi dinaikkan menjadi masing-masing sebesar 150 juta rupiah.
Penggunaan anggaran operasional kegiatan pada dasarnya dibagi menjadi
dua. Pertama, belanja tidak langsung yaitu alokasi dana yang digunakan untuk
membayar gaji personel (pegawai) dan biaya tetap lainnya seperti biaya listrik,
telpon, air PAM, dan pemeliharan peralatan kantor lainnya. Kedua, belanja
langsung yaitu alokasi pendanaan yang digunakan untuk membiayai berbagai
kegiatan yang dilakukan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Alokasi belanja langsung inilah yang digunakan untuk membiayai kegiatan
fasilitasi investasi daerah, perdagangan produk daerah dan pengembangan
pariwisata daerah. Besarnya alokasi anggaran dari masing-masing kegiatan tiap
tahunnya terlihat pada kolom input dari masing-masing tabel pengukuran kinerja.
Tabel 38 Alokasi Anggaran Kegiatan Lembaga KSAD BARLINGMASCAKEB Tahun 2003 -2009
Tahun Belanja Langsung (Rp.)
Belanja Tidak langsung (Rp.)
Jumlah (Rp.)
2003 216,056,264 258,500,000 474,556,264 2004 196,799,336 212,000,000 408,799,336 2005 535,026,571 212,000,000 747,026,571 2006 511,573,342 212,000,000 723,573,342 2007 478,794,696 295,350,000 774,144,696 2008 202,760,722 295,350,000 498,110,722 2009 454,650,000 295,350,000 750,000,000
Sumber: Data sekunder diolah.
149
2.1. Kegiatan Fasilitasi Investasi Daerah
Kegiatan fasilitasi investasi daerah ini dilakukan oleh lembaga kerjasama
antar daerah BARLINGMASCAKEB untuk mendatangkan calon investor agar
mau menanamkan investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB. Berbagai
kegiatan telah dilakukan untuk mendatangkan para calon investor tersebut agar
bersedia menanamkan investasinya di wilayah ini. Aktivitas pertama yang
dilakukan adalah melakukan kegiatan promosi potensi ekonomi daerah dengan
sistem on-line dengan cara membangun website BARLINGMASCAKEB guna
membangun jaringan informasi dan komunikasi kepada calon investor. Di
samping itu promosi potensi juga dilakukan dengan mengikuti berbagai kegiatan
pameran pembangunan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Agar para calon investor bersedia menanamkan investasinya di wilayah ini
perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif di wilayah
BARLINGMASCAKEB. Untuk itu telah dilakukan sinkronisasi kebijakan publik
di bidang pelayanan perijinan agar masyarakat dunia usaha dan investor mendapat
perlakuan yang sama dalam pengurusan perijinan usaha di lima kabupaten
anggota dengan prinsip ”mudah, murah, cepat, transparan, dan akuntabel”, dengan
membuat prototipe Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan perijinan di lima
kabupaten anggota. Untuk mempermudah akses masuknya investor ke wilayah ini
lembaga kerjasama antar daerah bekerjasama dengan PT Merpati Nusantara
Airlines, Tbk. membuka jalur penerbangan Jakarta – Cilacap dengan sistem
insentif.
Dalam rangka mendatangkan para investor di wilayah ini, di samping
melakukan kegiatan promosi dan mempersiapkan iklim kondusif bagi masuknya
investasi, regional manager secara aktif juga mengundang para calon investor
untuk berinvestasi di wilayah ini serta melakukan road show ke berbagai
perusahaan yang menggunakan bahan baku produk yang dihasilkan di wilayah
BARLINGMASCAKEB seperti PT Indofood, ABC Indonesia, dan Industri Kecap
Bango yang berpotensi sebagai investor. Untuk mendukung berbagai kegiatan
tersebut dilakukan kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah yang bergerak
di bidang investasi dan penanaman modal seperti Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), Kementerian Perdagangan dan Perindustrian.
150
Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan di atas adalah masuknya
investor yang menanamkan investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB.
Selama periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 jumlah investasi baru yang
masuk di kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB adalah sebagaimana
terlihat pada tabel berikut.
Tabel 39 Investasi Baru yang Masuk di Kabupaten di Wilayah Barlingmascakeb
Tahun Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 2003 4,490,591,747 47,673,218,890 1,635,245,000 421,287,000 2,977,500,000 2004 16,788,682,377 0 2,372,201,000 -1,022,567,000 740,000,000 2005 3,664,708,893 -19,651,743,890 55,832,158,000 601,280,000 -2,965,000,000 2006 17,290,690,634 86,169,224,000 77,444,598,000 30,421,287,000 102,500,000 2007 84,003,043,226 -80,335,163,000 -21,780,000,000 3,104,602,000 1,480,000,000 2008 -100,564,642,990 -27,913,589,558 162,000,000,000 128,961,724,000 922,500,000 2009 65,449,520,900 33,994,200,558 -109,990,000,000 -1,263,838,000 537,500,000
Rata-rata 2003 - 2009 13,017,513,541 5,705,163,857 23,930,600,286 23,031,967,857 542,142,857
Sumber: Data sekunder diolah
Untuk mengukur indikator kinerja output dapat dilakukan dengan melihat
jumlah investasi baru yang masuk di wilayah ini yang difasilitasi oleh lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB. Untuk mengukur efisiensi biaya
dari kegiatan ini dilakukan dengan menghitung rasio rata-rata investasi baru yang
masuk di kabupaten dikurangi biaya mendatangakan invesatsi ketika tidak
kerjasama dengan rata-rata investasi baru yang masuk di kabupaten dikurangi
biaya mendatangakan investasi ketika kerjasama. Besarnya nilai efisiensi biaya
dari kegiatan ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 40 Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasarkan Penghitungan Efisiensi Biaya (Cost-Efficiency) Untuk Kegiatan Fasilitasi Investasi Daerah (Rupiah)
Kabupaten Tahun Tidak kerjasama Kerjasama Cost-
Effisiency Rata-Rata Investasi Baru yang Masuk di Kabupaten
Biaya yang dialokasikan untuk mendatangkan investor
Rata-Rata Investasi Baru yang Masuk di Kabupaten
Biaya yang dialokasikan untuk mendatangkan investor
Banjarnegara 2003 - 2009 13,017,513,541 691,914,663 13,017,513,541 821,169,044 0.990 Purbalingga 2003 - 2009 5,705,163,857 667,158,833 5,705,163,857 796,413,214 0.974 Banyumas 2003 - 2009 23,930,600,286 1,105,799,770 24,380,600,286 1,235,054,151 1.014 Cilacap 2003 - 2009 23,031,967,857 1,180,196,240 23,031,967,857 1,309,450,621 0.994 Kebumen 2003 - 2009 542,142,857 276,356,295 542,142,857 405,610,676 0.514
Sumber: Data sekunder diolah
151
Dari tabel di atas diketahui bahwa hanya di Kabupaten Banyumas yang
menunjukkan bahwa efisiensi biaya dari kegiatan mendatangkan investasi
memiliki nilai lebih besar dari satu (>1). Sedangkan di empat kabupaten lain
yaitu Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen nilai efisiensi biayanya
lebih kecil dari satu (<1). Hal ini memberikan arti bahwa pada kegitan fasilitasi
invesatsi daerah yang dilakukan oleh pengelola lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB hanya memberikan manfaat bagi Pemerintah Kabupaten
Banyumas berupa tambahan masuknya investasi baru sebagai akibat dari kegiatan
yang dilakukan oleh lembaga KSAD. Sedangkan di ke empat kabupaten lain
kegiatan fasilitasi investasi daerah tidak memberikan manfaat apa-apa.
Dari hasil penggalian data di lapangan dengan melakukan wawancara
dengan Sekretaris Dewan Eksekutif, Regional Manager, Analis Pemasaran dan
pejabat birokrasi setingkat Kepala Bidang di SKPD terkait, di masing-masing
pemerintah daerah diperoleh informasi bahwa berbagai kegagalan lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB disebabkan oleh berbagai hal
antara lain; kurangnya komitmen kepala daerah, tidak selektifnya pengelola
lembaga kerjasama antar daerah dalam mendatangkan calon investor, dan
kurangnya kesiapan masyarakat untuk menerima investasi yang masuk di daerah.
Kurangnya komitmen kepala daerah juga menjadi salah satu penyebab
rendahnya kinerja dari kegiatan ini. Tugas dari Regional Management
BARLINGMASCAKEB dalam kegiatan fasilitasi investasi daerah adalah
mendatangkan calon investor agar bersedia menanamkan investasinya di wilayah
BARLINGMASCAKEB. Setelah calon investor datang, mereka diperkenalkan
kepada pimpinan daerah sebagai calon pengguna untuk bernegosiasi mengenai
kelayakan investasi yang akan ditanamkan. Kepastian investor untuk
menanamkan investasi sangat bergantung pada keberhasilan negosiasi mereka
dengan pemerintah daerah dimana mereka mau menanamkan investasinya. Dalam
suatu kasus, negosiasi pernah gagal disebabkan karena komitmen kepala daerah
untuk menerima investasi yang masuk di daerahnya kurang, sebagai contoh PT
Carrefour Tbk. yang bergerak di bidang usaha ritel bermaksud untuk menanamkan
usahanya di Kabupaten Banyumas. Karena bidang usaha dari perusahaan ini
bergerak di usaha perdagangan, mereka berharap mendapatkan lokasi usaha di
152
wilayah Kota Purwokerto. Mereka menginginkan lokasi usaha di tanah pemda
atau ditempat lain dengan sistem sewa, namun untuk memudahkan urusan
adminitrasi pertanahannya lokasi minta disediakan oleh pemerintah daerah. Atas
permintaan tersebut negosiasi tidak mencapai kesepakatan karena pemerintah
daerah tidak mengijinkan tanah pemda digunakan sebagai lokasi usaha.
Pemerintah daerah juga tidak bersedia untuk mencarikan lokasi pengganti serta
membantu mengurus administrasi pertanahannya. Atas penolakan ini, mereka
sebenarnya sudah berusaha untuk mencari lokasi sendiri namun, karena dirasa
kurang sesuai dan harganya juga terlalu tinggi akhirnya mereka mengurungkan
niatnya berinvestasi di Kabupaten Banyumas
Kendala lain yang menjadi penyebab gagalnya investor menanamkan
investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB adalah kurang selektifnya
pengelola lembaga kerjasama antar daerah dalam mendatangkan calon investor.
Ada kesan pengelola (dalam hal ini Regional Manager) menjadikan terjadinya
”proses negosiasi” dengan calon investor sebagai ukuran keberhasilan dari
kegiatan fasilitasi investasi daerah. Hal ini menyebabkan selektifitas untuk
mendatangkan calon investor yang layak untuk berinvestasi di wilayah
BARLINGMASCAKEB menjadi sedikit terabaikan. Beberapa catatan yang perlu
diberikan kepada pengelola berkaitan dengan kurangnya selektifitas ini adalah:
1. Beberapa investor yang akan menanamkan investasinya di wilayah
BARLINGMASCAKEB masih diragukan kemampuannya terutama dalam
bidang keuangan. Hal ini didasarkan atas perlunya dana pendamping yang
harus disediakan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang tidak sedikit.
Ketidaksediaan pemerintah daerah dalam menyediakan dana pendamping
menyebabkan kegagalan mereka untuk berinvestasi.
2. Beberapa investor sebenarnya dapat dianggap kurang pas untuk menanamkan
investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB karena persyaratan teknis
yang dibutuhkan cukup berat untuk dipenuhi bagi pemerintah daerah di
wilayah BARLINGMASCAKEB. Sebagai contoh, investor pada tanaman
jagung dan pendirian pabrik nanas di Kabupaten Banjarnegara. Mereka
membutuhkan lahan 100 ribu Ha dengan sistem kontrak selama 30 tahun.
Pertanyaannya apakah pemerintah daerah di lima kabupaten mampu
153
menyediakan lahan seluas itu. Apakah tidak terjadi trade off dengan kegiatan
ekonomi yang sudah ada, apalagi jika ternyata aktivitas ekonomi yang telah
dijalani lebih menguntungkan. Contoh lain adalah rencana pendirian pabrik
gula kelapa. Sudah menjadi rahasia umum, selama ini antara pengrajin gula
kelapa dan para tengkulak terjadi saling ketergantungan yang sangat erat.
Kondisi ini sangat sulit untuk diurai. Apabila kondisi ini tidak dapat diperbaiki
problem input akan muncul bagi pendirian pabrik gula kelapa yang
direncanakan. Solusinya adalah melakukan penanaman pohon kelapa baru
sebagai penyupai bahan baku gula kelapa yang akan diolah. Pertanyaannya
adalah butuh berapa lama untuk melakukan penanaman pohon baru untuk
sampai bisa berproduksi. Kemudian, kalau yang menanam pohon tersebut
adalah para pengrajin lama, mereka sudah terikat dengan para tengkulak dan
bukannya kepada pabrik gula.
Pada intinya kegagalan realisasi penanaman investasi di wilayah
BARLINGMASCAKEB yang telah diupayakan oleh Regional Management
BARLINGMASCAKEB karena ketidaklayakan jenis usaha yang akan
diinvestasikan. Hal ini disebabkan karena kurangnya kehati-hatian dari pengelola
lembaga kerjasama antar daerah dalam memilih calon investor untuk
menanamkan investasinya di wilayah ini.
Ketidaksiapan masyarakat terhadap masuknya investasi di daerah juga
menjadi salah satu kendala sulitnya calon investor untuk menanamkan
investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB. Banyak pemerintah daerah yang
mengkampanyekan bahwa wilayahnya merupakan daerah yang pro investasi.
Untuk menyandang predikat tersebut dibuat berbagai peraturan yang
mempermudah investor untuk masuk, misalnya dengan menyederhanakan
prosedur perijinan dan membebaskan biaya perijinan untuk penanaman investasi.
Namun demikian, berbagai kemudahan perijinan untuk kegiatan investasi menjadi
kurang berarti apabila masyarakat tidak disiapkan untuk menerima program
tersebut. Salah satu contoh dari gagalnya kegiatan fasilitasi investasi daerah yang
dilakukan oleh Regional Management BARLINGMASCAKEB berkaitan dengan
masalah tersebut. Kasus gagalnya PT. Carrefour Tbk. menanamkan investasinya
di Kabupaten Banyumas dikarenakan kesulitan untuk mencari lokasi yang cocok
154
dengan harga yang wajar. Masyarakat pemilik tanah yang lokasinya diminati oleh
perusahaan tersebut dengan tiba-tiba menaikkan harga jual tanah mereka untuk
dibeli atau disewa di luar batas kewajaran ketika tahu yang menginginkan tanah
mereka adalah investor dari luar. Kenaikan harga tanah mereka bisa mencapai
sepuluh kali lipat dari harga yang sewajarnya. Pemilik tanah hanya melihat bahwa
investor adalah orang yang memiliki banyak uang dan akan menanamkan
investasinya untuk mendapatkan keuntungan. Masyarakat kurang menyadari
bahwa dengan masuknya investasi di daerah akan dapat membuka lapangan
pekerjaan baru dan hal ini dapat membantu masyarakat lainnya yang sedang
membutuhkan pekerjaan. Ketidaksiapan masyarakat terhadap masuknya investor
dengan mencari keuntungan sendiri menjadi salah satu penyebab gagalnya
kegiatan fasilitasi investasi daerah.
2.2. Pengembangan Perdagangan Produk Daerah
Kegiatan pengembangan perdagangan produk daerah yang dilakukan
dalam bentuk penyelenggaraan pasar lelang forward komoditi agro. Selama
penyelenggaraan kegiatan pasar lelang sejak tahun 2003 sampai dengan tahun
2009 telah dilakukan kegiatan sebanyak 17 kali dengan melibatkan jumlah
pedagang sebanyak 133 orang yang berasal dari wilayah
BARLINGMASCAKEB. Untuk mengetahui manfaat dari kegiatan pasar lelang
ini telah dilakukan pengambilan sampel secara proporsional kepada 30 orang
pedagang yang terlibat dalam kegiatan lelang tersebut. Berdasarkan hasil
wawancara dengan mereka, semuanya menganggap bahwa adanya kegiatan pasar
lelang yang diselenggarakan oleh lembaga kerjasama antar daerah telah
memberikan manfaat bagi mereka karena kegiatan tersebut telah memberikan
alternatif baru bagi mereka untuk melakukan kegiatan transaksi perdagangan di
luar tempat transaksi perdagangan yang biasa mereka lakukan.
Dengan terlibat dalam kegiatan pasar lelang nilai omset perdagangan
mereka akan meningkat karena jumlah komoditas yang diperdagangkan
bertambah. Berdasarkan pengakuan mereka, keuntungan yang diperoleh per
satuan barang yang dijual pada kegiatan pasar lelang sama dengan apabila dijual
pada tempat lain. Artinya dengan mengikuti kegiatan pasar lelang mereka tidak
mendapatkan keuntungan lebih untuk masing-masing satuan komoditas yang
155
dijualnya. Keuntungan diperoleh karena dengan mengikuti kegiatan pasar lelang
mereka akan menambah jumlah omset penjualan. Karena omset penjualan
bertambah maka keuntungan pedagang akan bertambah. Sebaliknya bagi
pedagang yang tidak terlibat dalam kegiatan pasar lelang maka mereka tidak akan
mendapat tambahan keuntungan karena tidak adanya penambahan omset
perdagangan mereka. Dengan kata lain kegiatan pengembanagn perdagangan
produk daerah melalui kegiatan pasar lelang dapat memberikan manfaat berupa
penambahan keuntungan bagi para pedagang khususnya yang terlibat dalam
kegiatan pasar lelang tersebut.
Untuk mengukur kinerja kegiatan perdagangan produk daerah berdasarkan
perhitungan efisiensi biaya dilakukan dengan membandingan rasio besaran nilai
input yaitu besarnya keuntungan pedagang ketika tidak ada pasar lelang dengan
keuntungan pedagang ketika ada pasar lelang dikurangi biaya lelang. Tabel
berikut menggambarkan besaran nilai biaya efisiensi dari kegiatan perdagangan
produk daerah.
Tabel 41 Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasarkan Penghitungan Efisiensi Biaya (Cost-Efficiency) Untuk Kegiatan Perdagangan Produk
Daerah
Kabupaten Tahun Tidak kerjasama Kerjasama Cost-Effisien cy Keuntungan
pedagang Biaya yang dialokasikan untuk kegiatan pasar lelang.
Keuntungan Pedagang
Biaya yang dialokasikan untuk kegiatan pasar lelang.
Banjarnegara 2003 - 2009 62,787,945,945 0 69,764,384,384 172,014,344 1.108 Purbalingga 2003 - 2009 25,388,525,194 0 26,724,763,362 172,014,344 1.046 Banyumas 2003 - 2009 89,711,618,590 0 92,486,204,732 172,014,344 1.029 Cilacap 2003 - 2009 25,615,600,936 0 26,963,790,459 172,014,344 1.046 Kebumen 2003 - 2009 45,218,528,021 0 47,598,450,548 172,014,344 1.049
Sumber: Data primer dan sekunder diolah
Tabel di atas menunjukkan bahwa rasio keuntungan pedagang pada saat
terlibat dalam kegiatan pasar lelang yang diselenggarakan lembaga KSAD dengan
pada saat tidak terlibat dalam kegiatan pasar lelang nilainya lebih besar dari satu
(> 1). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pasar lelang yang diselenggarakan
oleh KSAD menguntungakan bagi pedagang di lima kabupaten di wilayah
BARLINGMASCAKEB.
156
Meskipun kegiatan pasar lelang secara umum telah memberikan manfaat
bagi pedagang berupa tambahan keuntungan bagi mereka, namun berdasarkan
penggalian data dari para responden pedagang penyelenggaraan pasar lelang
dengan menggunakan sistem forward (perdagangan berjangka) seringkali masih
memunculkan banyak masalah. Hal ini ditunjukkan dari munculnya beberapa
ketidakpuasan dari pelaku transaksi, terutama dari para produsen. Dengan sistem
forward jaminan legalitas transaksi masih lemah sehingga muncul tawar menawar
kedua ketika realisasi pengiriman barang terjadi. Keadaan ini menunjukkan bahwa
posisi tawar terutama pihak produsen masih lemah.
Tidak tercapainya kondisi ideal dalam kegiatan pasar lelang disebabkan
karena lemahnya aturan main dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut, seperti;
(1) tidak adanya persyaratan yang pasti terhadap peserta lelang, baik penjual
maupun pembeli, (2) Jangka waktu pelaksanaan lelang dengan realisasi
penyerahan barang terlalu panjang, (3) masih adanya informasi yang asimetris
(asimetris information) mengenai standarisai produk. Adanya berbagai kendala
tersebut menyebabkan kesepakatan nilai transaksi yang terjadi pada saat lelang
tidak selalu sama dengan pada saat penyerahan barang. Kondisi ini berakibat pada
naik turunnya keuntungan yang diperoleh para pedagang.
2.3. Pengembangan Pariwisata Regional
Aktivitas ketiga yang dipilih sebagai fokus kegiatan oleh Regional
Management BARLIGMASCAKEB untuk meningkatkan skala ekonomi wilayah
adalah kegiatan pengembangan pariwisata regional. Pilihan ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa potensi pariwisata sebagai sumberdaya ekonomi yang
dimiliki oleh masing-masing daerah cukup beragam dan memiliki kekhasan
masing-masing sehingga sangat potensial untuk dikembangkan pada skala
regional. Pariwisata sebagai sumberdaya ekonomi potensial bagi daerah dapat
ditunjukkan dari besaran penerimaan pendapatan daerah dari sektor ini dari tahun
ke tahun yang cenderung meningkat. Selama periode tahun 2003 sampai dengan
tahun 2009 penerimaan daerah dalam bentuk retribusi pariwisata dapat dilihat
pada tabel berikut.
157
Tabel 42 Retribusi Pariwisata Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB
Tahun Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 2003 1,000,572,312 335,760,000 1,647,145,905 487,959,705 859,114,800 2004 1,115,021,400 310,400,500 1,632,688,234 506,882,140 859,114,800 2005 1,101,986,062 325,500,000 1,514,679,917 416,957,675 859,114,800 2006 1,409,485,172 344,247,000 1,437,369,390 351,573,680 692,173,490 2007 1,541,532,031 348,198,500 1,632,333,220 407,459,220 1,005,472,053 2008 1,772,043,124 385,029,550 2,794,003,207 464,726,395 1,278,598,632 2009 2,342,286,780 421,304,000 2,914,959,976 1,987,871,775 1,488,341,838
Rata-Rata 1,468,989,554 352,919,936 1,939,025,693 660,490,084 1,005,990,059
Sumber: Data sekunder diolah Untuk mengukur kinerja lembaga kerjasama antar daerah dari aspek
efisiensi biaya pada kegiatan pengembangan pariwisata regional dapat dilakukan
dengan menghitung rasio rata-rata penerimaan retribusi pariwisata dikurangi biaya
pengembangan obyek wisata ketika tidak kerjasama dengan rata-rata penerimaan
retribusi pariwista dikurangi biaya pengembangan obyek wisata ketika ada
kerjasama. Tabel 43 menggambarkan rasio efisiensi biaya dari kegiatan
pengembangan pariwisata regional di wilayah BARLINGMASCAKEB.
Tabel 43 Pengukuran Kinerja Dari Sisi Output Berdasarkan Penghitungan Efisiensi Biaya (Cost-Effisiency) Untuk Kegiatan Pengembangan
Pariwisata Regional
Kabupaten Tahun Tidak Kerjasama Kerjasama Cost-Effisiency
Rata-Rata Penerimaan Retribusi obyek wisata
biaya yang dialokasikan untuk kegiatan pengembang an pariwisata
Rata-rata PenerimaaanRetribusi obyek wisata
biaya yang dialokasikan untuk kegiatan pengembang an pariwisata
Banjarnegara 2003 - 2009 1,468,989,554 892,935,819 1,468,989,554 947,189,324 0.906 Purbalingga 2003 - 2009 352,919,936 259,352,856 352,919,936 313,606,362 0.420 Banyumas 2003 - 2009 1,939,025,693 1,750,628,070 1,939,025,693 1,804,881,576 0.712 Cilacap 2003 - 2009 660,490,084 528,638,889 660,490,084 582,892,394 0.589 Kebumen 2003 - 2009 1,005,990,059 820,869,764 1,005,990,059 875,123,270 0.707 Sumber: Data sekunder diolah
Dari tabel di atas diketahui bahwa rasio penerimaan retribusi pariwisata
ketika bekerjasama dengan ketika tidak bekerjasama di kelima kabupaten
menunjukkan nilai lebih kecil dari satu (< 1). Artinya pengembangan pariwisata
regional melalui kegiatan kerjasama antar daerah tidak efisien. Dengan kata lain
kegiatan yang dilakukan oleh Regional Management BARLINGMASCAKEB
dengan membentuk Paguyuban Pariwisata BARLINGMASCAKEB dan
158
pembentukan paket-paket wisata di masing-masing kabupaten anggota tidak
memberikan hasil bagi upaya pengembangan pariwisata regional.
Kegiatan pembentukan paguyuban pariwisata BARLINGMASCAKEB
dimaksudkan untuk mewadahi para pelaku usaha pariwisata seperti pemilik hotel
dan restoran, pemilik travel biro pariwisata dan pramuwisata agar bersinergi
dalam mempromosikan potensi wisata di daerah masing-masing.
Permasalahannya, setelah paguyuban dibentuk siapa yang melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap kegiatan paguyuban tersebut. Regional Management
tidak bisa melakukan pembinan dan pengawasan terhadap paguyuban pariwisata
yang dibentuk karena mereka tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal
tersebut. Akibatnya setelah paguyuban terbentuk, aktivitas dari paguyuban
tersebut tidak pernah terpantau dan hasil kegiatannya tidak terlihat memberikan
manfaat bagi pengembangan pariwisata regional.
Realisasi pelaksanaan dari pembentukan paket-paket wisata di masing-
masing daerah juga tidak dapat berjalan dengan baik. Agar bisa berjalan dengan
baik kegiatan ini harus melibatkan SKPD di masing-masing daerah yang
membidangi kegiatan kepariwisataan. Dalam kenyataannya pengelola lembaga
kerjasama antar daerah tidak pernah berkoordinasi dan bekerjasama dengan
Dinas Pariwisata kabupaten untuk menjalankan kegiatan yang telah
direncanakannya. Dengan kata lain kegiatan yang telah diprogramkan tidak
memberikan dampak bagi pengembangan pariwisata regional karena kegiatan
yang telah diprogramkan hanya berhenti sampai pada tingkat perencanaan saja.
5.2.3. Evaluasi Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah dari Sisi Outcome
Outcome adalah hasil yang dicapai dari suatu program atau aktivitas
dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. Outcome mengukur apa yang telah
dicapai. Hasil yang diharapkan bisa berupa target kinerja yang diharapkan,
sedangkan outcome adalah hasil nyata yang dicapai. Pengukuran outcome
merupakan hal yang penting dalam organisasi sektor publik. Pengukuran
outcome di sektor publik adalah mengukur dampak atas aktivitas atau pelayanan
yang diberikan oleh organisasi sektor publik terhadap masyarakat.
159
Alasan perlunya penilaian outcome pada organisasi sektor publik adalah
bahwa pembuatan kebijakan sektor publik perlu melakukan perencanaan dan
pengendalian atas pelayanan yang menjadi tanggungjawabnya. Mereka perlu
membuat pertimbangan mengenai kinerja program sektor publik di masa lalu
dan mengalokasikan sumberdaya di masa yang akan datang. Untuk melakukan
pengendalian, pengukuran outcome memiliki dua peran, yaitu pengendalian
masa lalu (retrospective) dan pengendalian masa depan (prospective) (Mahmudi,
2005). Sebagai alat pengendalian masa lalu, pengukuran outcome dapat
digunakan untuk menentukan apakah manfaat yang diharapkan dari suatu
program telah tercapai. Sedangkan sebagai pengendali masa depan, pengukuran
outcome digunakan untuk memberikan arahan dalam melakukan keputusan
alokasi sumberdaya publik.
Untuk mengukur outcome (hasil yang telah dicapai) dari lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB, harus dilihat kembali untuk
tujuan apa lembaga ini dibentuk. Mengacu pada pasal 4 ayat (1) dan (2)
Keputusan Bersama Bupati tentang pembentukan lembaga kerja sama antar
daerah BARLINGMASCAKEB, menyebutkan bahwa tujuan
diselenggarakannya kerjasama adalah untuk (1) mewujudkan sinergi dalam
pelaksanaan pembangunan antar daerah dengan menekankan pada pemanfaatan
potensi daerah secara bersama, (2) melakukan sinkronisasi dalam penyusunan
peraturan daerah untuk mengurangi hambatan birokrasi dalam kegiatan ekonomi
dan investasi. Kedua tujuan tersebut sebenarnya mengarah kepada kegiatan
melakukan pembangunan ekonomi daerah tetapi dengan memanfaatkan potensi
ekonomi secara bersama pada tingkat regional karena menyadari masing-masing
daerah memiliki kekurangan. Melakukan kegiatan pembangunan ekonomi daerah
secara bersama dapat diartikan sebagai melakukan kegiatan peningkatan skala
ekonomi daerah yang terbatas secara bersama.
Untuk mengetahui kinerja outcome pengukurannya didasarkan pada
indikator sebagai berikut; (1) Nilai investasi, diukur dari indikator kontribusi
masuknya investasi baru yang difasilitasi lembaga KSAD terhadap total investasi
baru di kabupaten; (2) Penyerapan tenaga kerja, diukur dari indikator kontribusi
tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan yang pembentukannya difasilitasi oleh
160
lembaga KSAD terhadap total tenaga kerja di kabupaten; (3) Pemanfaatan potensi
sumberdaya alam diukur dari indikator (a) jumlah perusahaan pertambangan dan
penggalian yang pembentukannya difasilitasi oleh lembaga KSAD terhadap total
perusahaan pertambangan dan penggalian di kabupaten dan (b) jumlah obyek
wisata yang telah memberikan manfaat ekonomi yang pengembangannya
difasilitasi oleh lembaga KSAD terhadap total obyek wisata yang telah
memberikan manfaat ekonomi di kabupaten. Dengan mendasarkan berbagai
indikator tersebut outcome yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Investasi Daerah
Masuknya investasi di lima kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB
baik sebelum maupun sesudah ada lembaga kerjasam antar daerah secara umum
menunjukkan peningkatan. Tabel 44 menunjukkan kondisi tersebut.
Dibandingkan dengan kabupaten lainnya, Kabupaten Cilacap merupakan daerah
yang unggul dalam hal kemampuan menarik investasi di wilayah ini. Keunggulan
ini disebabkan karena Kabupaten Cilacap memiliki kelengkapan sarana dan
prasarana infrastruktur transportasi wilayah yang lebih baik seperti tersedianya
pelabuhan samudera, bandar udara dan sarana transportasi jalan yang cukup baik
sehingga kabupaten Cilacap menjadi wilayah yang diminati oleh para investor
untu menanamkan invesatsinya.
Tabel 44 Nilai Investasi yang Masuk di Kabupaten Sebelum dan Sesudah adanya Lembaga KSAD di Wilayah Barlingmascakeb
Tahun Kabupaten Keterang
an Banjarnegara Purbalingga Banyumas Cilacap Kebumen 2000 48,440,550,300 28,201,000,000 41,096,692,000 1,369,813,068,000 209,457,500,000 sebelum
adanya lembaga KSAD
2001 48,347,555,320 28,394,000,000 43,202,319,000 1,372,866,539,000 209,770,000,0002002 48,877,405,213 28,519,000,000 43,835,798,000 1,373,467,819,000 214,177,500,0002003 53,367,996,960 76,192,218,890 45,471,043,000 1,373,889,106,000 217,155,000,0002004 70,156,679,337 76,192,218,890 47,843,244,000 1,372,866,539,000 217,895,000,000 Sesudah
adanya lembaga KSAD
2005 73,821,388,230 56,540,475,000 103,675,402,000 1,373,467,819,000 214,930,000,0002006 91,112,078,864 142,709,699,000 181,120,000,000 1,403,889,106,000 215,032,500,0002007 175,115,122,090 62,374,536,000 159,340,000,000 1,406,993,708,000 216,512,500,0002008 74,550,479,100 34,460,946,442 321,340,000,000 1,535,955,432,000 217,435,000,0002009 140,000,000,000 68,455,147,000 211,350,000,000 1,534,691,594,000 217,972,500,000
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Jawa Tengah, LPJ Tahunan Bupati Banjarnegara, Puralingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen.
Meskipun secara rata-rata terjadi kenaikan besaran nilai investasi yang
masuk di kabupaten di wilayah BARLINGMASCAKEB tidak berarti bahwa hal
161
tersebut disebabkan karena kinerja dari lembaga KSAD. Dari hasil analisis kinerja
outcome dari lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
berdasarkan indikator masuknya investasi baru di tingkat kabupaten menunjukkan
tingkatan yang sangat rendah. Aktivitas fasilitasi investasi daerah yang dilakukan
oleh lembaga KSAD dengan tujuan untuk mendatangkan invesatsi di daerah
belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Tabel 45 di bawah
memberikan gambaran tersebut.
Tabel 45 Kontribusi Besarnya Investasi Yang Masuk di Kabupaten yang Difasilitasi Oleh Lembaga Kerjasama Antar Daerah
Kabupaten Tahun Rata-Rata
Investasi baru yang Masuk di Kabupaten (Rp.)
Jumlah investasi baru yang masuk yang difasilitasi oleh lembaga KSAD di kabupaten (Rp)
Persentase Sumbangan lembaga KSAD terhadap masuknya investasi baru di kabupaten
Banjarnegara 2003 - 2009 13,017,513,541 0 0.00
Purbalingga 2003 - 2009 5,705,163,857 0 0.00
Banyumas 2003 - 2009 23,930,600,286 450,000,000 1.88
Cilacap 2003 - 2009 23,031,967,857 0 0.00
Kebumen 2003 - 2009 542,142,857 0 0.00
Sumber: Data Sekunder diolah
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa kontribusi masuknya investasi di
lima kabupaten sebagai akibat adanya kerjasama antar daerah belum menunjukkan
hasil. Kegiatan fasilitasi investasi daerah dari lembaga KSAD yang dimaksudkan
untuk mendorong masuknya investasi ke daerah belum mampu membuat para
investor tertarik unuk menanamkan investasinya ke kabupaten anggota. Selama
tujuh tahun periode pelaksanaan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
baru bisa menghadirkan satu investor yang menanamkan investasinya di
Kabupaten Banyumas, itu pun dengan kontribusi nilai investasi yang sangat kecil
yaitu hanya sebesar 1.88 persen dari rata-rata total investasi baru yang masuk di
kabupaten pada periode 2003 – 2009.
2. Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja
Dari indikator tingkat penyerapan tenaga kerja, kinerja outcome dari
lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB juga menunjukkan hasil
yang tidak menggembirakan. Buruknya kinerja outcome dari indikator ini sangat
162
berkaitan erat dengan kinerja outcome dari indikator masuknya investasi di
daerah. Karena lembaga kerjasama antar daerah hanya mampu memfasilitasi
masuknya satu investor, apalagi dengan besaran nilai investasi yang relatif kecil
dan hanya mampu merekrut tenaga kerja sebanyak 25 orang, maka kinerja
outcome dari lembaga ini juga sangat rendah. Tabel berikut menggambarkan
capaian kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dari sisi
outcome berdasarkan indikator penyerapan tenaga kerja.
Tabel 46 Kontribusi Tenaga Kerja Yang Bekerja di Perusahaan di Kabupaten yang Keberadaannya Di Fasilitasi Lembaga Kerjasama Antar Daerah
Kabupaten Tahun Rata-Rata
Tenaga Kerja Yang Bekerja di Perusahaan (orang)
Jumlah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan yang Difasilitasi oleh lembaga KSAD
Kontribusi Tenaga Kerja Yang Bekerja di Perusahaan dari Lembaga KSAD ( %)
Jenis Perusahaan
Banjarnegara 2003 - 2009 8,259 0 0 Besar dan sedang
Purbalingga 2003 - 2009 20,014 0 0 Besar dan sedang
Banyumas
2003 - 2009
89,531
25
0.03
Besar, sedang dan kecil
Cilacap 2003 - 2009 8,014 0 0 Besar dan sedang
Kebumen 2003 - 2009 89,251 0 0 Besar, sedang dan kecil
Sumber: Data Sekunder diolah
Dari kinerja outcome, kontribusi lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB pada penyerapan tenaga kerja di daerah hanya sebesar
0.03 persen di Kabupaten Banyumas. Kontribusi ini hampir tidak ada artinya jika
dibandingkan dengan besarnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan di
Kabupaten Banyumas yang mencapai 89.531 orang. Sementara di empat
kabupaten lainnya kontribusi tersebut sama sekali tidak ada.
3. Pemanfaatan Sumberdaya Alam
Pada indikator pemanfaatan sumberdaya alam kinerja outcome dari
lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB menunjukkan hasil
yang lebih buruk. Apabila pada dua indikator sebelumnya, meskipun dengan hasil
yang kurang baik, keberadaan lembaga kerjasama antar daerah masih dapat
memfasilitasi masuknya investor ke daerah dan berkontribusi terhadap
163
penambahan penyerapan tenaga kerja walaupun dengan hasil yang tidak
signifikan. Pada indikator pemanfaatan sumberdaya alam kinerja outcome dari
lembaga ini sama sekali tidak memberikan hasil. Dua tabel berikut
menggambarkan kondisi tersebut.
Tabel 47 Kontribusi Pengelolaan Perusahaan Pertambangan dan Penggalian di Kabupaten yang Keberadaannya di Fasilitasi Oleh Lembaga Kerjasama Antar Daerah
Kabupaten Tahun Rata-Rata Jumlah
Perusahaan Pertambangan dan Galian
Persentase Jumlah Usaha Pertambangan dan Galian Yang Difasilitasi Lembaga KSAD (%)
Banjarnegara 2003 - 2009 13 0 Purbalingga 2003 - 2009 32 0 Banyumas 2003 - 2009 83 0 Cilacap 2003 - 2009 27 0 Kebumen 2003 - 2009 19 0 Sumber: Data Sekunder diolah Tabel 48 Kontribusi Jumlah Obyek Wisata yang Telah Memberikan Manfaat
Ekonomi di Kabupaten yang Keberadaannya di Fasilitasi Oleh Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB
Kabupaten Tahun Rata-Rata Obyek Wisata Yang
Telah Memberikan Manfaat Ekonomi
Jumlah Obyek Wisata Yang Difasilitasi Lembaga KSAD (%)
Banjarnegara 2003 - 2009 5 0 Purbalingga 2003 - 2009 9 0 Banyumas 2003 - 2009 11 0 Cilacap 2003 - 2009 7 0 Kebumen 2003 - 2009 8 0
Sumber: Data Sekunder diolah
Dari deskripsi di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa keberadaan
lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB yang dibentuk dengan
tujuan dapat mendorong pembangunan ekonomi secara regional dalam bentuk
penguatan skala ekonomi daerah belum dapat memberikan hasil sebagaimana
yang diharapkan.
5.2.4 Identifikasi Penyebab Rendahnya Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB
Dari hasil penggalian data di lapangan, kegagalan lembaga kerjasama
antar daerah BARLINGMASCAKEB dalam mewujudkan tujuannya dapat
diidentifikasi faktor penyebabnya karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama,
164
faktor eksternal yaitu kurangnya dukungan dari pemerintah baik pusat maupun
provinsi. Kedua, faktor internal yaitu kurangnya komitmen dari pimpinan daerah
dan lemahnya aspek pengelolaan kegiatan dari lembaga kerjasama antar daerah.
Berikut deskripsi faktor penyebab rendahnya kinerja lembaga kerjasama antar
daerah BARLINGMASCAKEB.
1. Kurangnya Dukungan Dari Pemerintah
Kurangnya dukungan dari pemerintah baik pusat maupun provinsi
terhadap keberadaan lembaga kerjasama antar daerah juga menjadi faktor kendala
tidak optimalnya lembaga tersebut dalam menjalankan aktivitasnya. Dukungan
pemerintah baik pusat maupun provinsi dapat berupa dukungan pembuatan
peraturan perundangan sebagai dasar legal formal bahwa keberadaan lembaga
kerjasama antar daerah memang diatur dalam peraturan perundangan. Dukungan
juga dapat diberikan dalam bentuk pengawasan dan pembinaan maupun
pemberian bantuan pendanaan.
Secara formal memang telah banyak dibuat peraturan perundangan
mengenai lembaga kerjasam antar daerah. Namun, isi dari berbagai peraturan
tersebut terkadang tidak sejalan bahkan saling meniadakan. Seperti peraturan
perundangan yang mengatur sumber pembiayaan dari lembaga kerjasama antar
daerah sangat rancu dan membingungkan. Padahal pembiayaan bagi suatu
lembaga seperti lembaga kerjasama antar daerah sangat penting untuk menjaga
eksistensinya. Namun pembuat peraturan nampaknya tidak memahami sehingga
ketika membuat peraturan turunannya sumber pendanaan dari lembaga kerjasama
antar daerah ini menjadi tidak jelas. Berikut disampaikan kronologis urutan
peraturan perundangan yang mengatur mengenai keberadaan lembaga kerjasama
antar daerah dan sumber pendanaannya.
Dasar pembentukan lembaga kerjasama antar daerah adalah Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 195 ayat (1)
sampai dengan (4) yang berbunyi:
(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerja sama antar daerah yang diatur
165
dengan keputusan bersama. (3) Dalam penyediaan pelayanan pubik, daerah dapat bekerja sama
dengan pihak ketiga. (4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang
membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.
Pembentukan lembaga kerjasama antar daerah sebagaimana diatur dalam
undang-undang tersebut dibuat peraturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah
(PP) No. 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar
Daerah. Dalam pasal 24 dan pasal 25 ayat (2) dari Peraturan Pemerintah tersebut
mengatur mengenai pembentukan badan kerjasama dan sumber pembiayaan dari
keberadaan badan kerjasama tersebut.
Pasal 24 (1) Dalam rangka membantu kepala daerah melakukan kerja sama dengan
daerah lain yang dilakukan secara terus menerus atau diperlukan waktu paling singkat 5 (lima) tahun, kepala daerah dapat membentuk badan kerja sama.
Pasal 25 (2) Biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas badan kerja sama
menjadi tanggung jawab bersama kepala daerah yang melakukan kerja sama.
Berdasarkan PP No. 50 Tahun 2007 pembiayaan lembaga kerjasama antar
daerah menjadi tanggungjawab kepala daerah. Melalui Permendagri Nomor 22
Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2012 diperjelas bahwa yang dimaksud tanggungjawab
kepala daerah dalam pembiayaan lembaga kerjasama antar daerah berupa
pemberian alokasi anggaran dari APBD melalui pos belanja hibah, sebagaimana
tercantum dalam Point 5 (lima) Lampiran Permendagri No. 22 Tahun 2011.
Dalam penyelenggaraan pembangunan yang melibatkan beberapa daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat secara lebih efektif dan efisien, pemerintah daerah dapat menganggarkan program dan kegiatan melalui pola kerjasama antar daerah dengan mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya. Apabila pemerintah daerah membentuk badan kerjasama, maka masing-masing pemerintah daerah menganggarkan dalam APBD dalam bentuk belanja hibah kepada badan kerjasama.
Sampai pada tahap ini, isi dari peraturan perundangan yang mengatur
mengenai lembaga kerjasama antar daerah masih konsisten. Namun dengan
166
keluarnya Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah
dan Bantuan Sosial yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah,
dana belanja hibah tidak lagi dapat diberikan kepada lembaga kerjasama antar
daerah. Pada pasal 5 Permendagri tersebut mengatur pemberian belanja hibah
hanya boleh diberikan kepada siapa saja dan pada pasal 6 menjelaskan secara rinci
kriteria dari penerima hibah tersebut.
Pasal 5 Hibah dapat diberikan kepada: a. pemerintah; b. pemerintah daerah lainnya; c. perusahaan daerah; d. masyarakat; dan/atau e. organisasi kemasyarakatan.
Pasal 6 1) Hibah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a diberikan kepada satuan kerja dari kementerian/lembaga pemerintah non kementerian yang wilayah kerjanya berada dalam daerah yang bersangkutan.
2) Hibah kepada pemerintah daerah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b diberikan kepada daerah otonom baru hasil pemekaran daerah sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan.
3) Hibah kepada perusahaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka penerusan hibah yang diterima pemerintah daerah dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4) Hibah kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d diberikan kepada kelompok orang yang memiliki kegiatan tertentu dalam bidang perekonomian, pendidikan, kesehatan, keagamaan, kesenian, adat istiadat, dan keolahragaan non-profesional.
(5) Hibah kepada organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Permendagri tersebut sama sekali tidak membuka ruang bagi lembaga
kerjasama antar daerah untuk dapat menerima kucuran dana APBD untuk
membiayai kegiatannya. Dengan keluarnya peraturan ini “lonceng kematian”
sudah dibunyikan oleh pemerintah sendiri terhadap eksistensi lembaga kerjasama
antar daerah. Ada dugaan keluarnya Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber Dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah, hanya bentuk “kecelakaan konstitusi” terhadap
keberadaan lembaga kerjasama antar daerah. Karena dasar pembentukan lembaga
167
kerjasama antar daerah bersumber dari undang-undang. Oleh karena itu, apabila
pemerintah ingin menghapuskan keberadaan lembaga kerjasama antar daerah juga
harus melalui undang-undang bukan peraturan di bawahnya. Bisa jadi terbitnya
permendagri tersebut karena ketidakpahaman dari pembuat peraturan tersebut
terhadap keberadaan lembaga kerjasama antar daerah. Namun terlepas dari
berbagai latar belakang yang mendasarinya, keluarnya peraturan tersebut dapat
menjadi bukti kurangnya dukungan pemerintah terhadap keberadaan lembaga
kerjasama antar daerah. Kondisi ini menjadi salah satu kendala tidak optimalnya
kinerja lembaga kerjasama antar daerah dalam menjalankan program kerjanya.
Kurangnya dukungan dari pemerintah terhadap lembaga kerjasama antar
daerah juga dapat dilihat dari kurangnya peran pemerintah provinsi dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga kerjasama antar daerah.
Berdasarkan Permendagri No. 23 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pembinaan dan
Pengawasan Kerjasama Antar Daerah, pasal 3 menyebutkan gubernur melakukan
pembinaan dan pengawasan atas kerjasama antar daerah kabupaten/kota di
wilayahnya. Namun dalam prakteknya peran tersebut tidak pernah dijalankan.
Masing-masing lembaga kerjasama antar daerah berjalan dan berkreasi sendiri
tanpa arahan dari pemerintah provinsi.
2. Kurangnya Komitmen Pimpinan Daerah.
Pembentukan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
merupakan kesepakatan bersama dari lima bupati (Bupati Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) yang dituangkan dalam bentuk
kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut muncul tentunya karena adanya
kesepahaman untuk membentuk lembaga sebagai wadah kerjasama di antara lima
kabupaten. Karena dasarnya adalah kesepakatan bersama, komitmen dari lima
bupati pada awal pembentukan lembaga ini tidak diragukan lagi. Namun, dalam
perjalanannya komitmen ini dapat berubah, misalnya ketika operasional dari
kesepakatan tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan atau ketika terjadi
pergantian kepala daerah (bupati) di salah satu kabupaten anggota.
Dalam realitanya fenomena itu benar terjadi. Pada saat ini, kepala daerah
dilima kabupaten anggota telah mengalami beberapa pergantian. Artinya kepala
daerah yang sekarang memimpin di lima kabupaten yang bekerjasama bukan lagi
168
bupati yang menandatangani kesepakatan bersama tersebut. Meskipun mereka
tetap bersepakat untuk melanjutkan kerjasama antar daerah yang sudah ada
namun, melemahnya komitmen di antara mereka telah menunjukkan tanda-tanda.
Pada awal pembentukannya, Forum Regional yang beranggotakan para
bupati bersepakat untuk menyelenggarakan rapat Forum Regional dengan agenda
membuat kebijakan umum dan mengevaluasi kinerja dari Dewan Eksekutif.
Dalam prakteknya komitmen untuk selalu menghadiri rapat Forum Regional
mulai menurun. Dengan alasan kesibukan kerja, rapat Forum Regional tidak lagi
selalu dapat diselenggarakan sekali dalam setahun namun bisa menjadi sekali
dalam dua tahun.
Pada level yang lebih rendah, Dewan Eksekutif yang beranggotakan para
Kepala Bappeda di masing-masing kabupaten dengan ketua salah satu bupati yang
ditunjuk oleh Forum Regional, dalam menyelenggarakan agenda rapat tidak selalu
dapat dihadiri oleh para anggotanya. Ketua Dewan Eksekutif tidak pernah
menghadiri rapat Dewan Eksekutif, dan para anggota Dewan Eksekutif lebih
sering mewakilkan kehadirannya pada kegiatan rapat-rapat Dewan Eksekutif.
Dalam banyak kasus Rapat Dewan Eksekutif tidak dapat membuat keputusan
karena ketidakhadiran dari para anggotanya.
Kesibukan kerja memang dapat menjadi alasan ketidakhadiran mereka
dalam kegiatan rapat yang menjadi agenda kegiatan lembaga kerjasama antar
daerah. Namun, dengan komitmen yang tinggi, dengan pemahaman bahwa
kegiatan kerjasama antar daerah sangat perlu untuk mendapat perhatian, mereka
pasti dapat meluangkan waktu untuk menghadirinya. Jadi komitmen yang menjadi
kata kunci, dan bukannya kesibukan kerja, yang menjadikan mereka bisa hadir
atau tidak dalam setiap kegiatan yang menyangkut kerjasama antar daerah.
Secara fisik ketidakhadiran pimpinan daerah dalam setiap agenda kerja
lembaga kerjasama antar daerah tidak terlalu bepengaruh karena mereka selalu
mengirimkan wakil dalam mengadiri berbagai kegiatan tersebut. Namun secara
psikologis ketidakhadiran mereka dapat menurunkan semangat kerja Regional
Manager dan perangkatnya dalam menjalankan aktivitasnya. Menurunnya
semangat kerja ini dapat berakibat pada kurang optimalnya pekerjaan mereka
sehingga berakibat pada tidak tercapainya tujuan organisasi.
169
Menurunnya komitmen pimpinan daerah juga terlihat dari arah program
pembangunan di masing-masing kabupaten. Kesepakatan bersama yang dibuat
oleh para bupati bahwa dibentuknya lembaga kerjasama antar daerah bertujuan
untuk mewujudkan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan antar daerah
dengan menekankan pada pemanfaatan potensi daerah secara bersama. Namun,
dengan berjalannya waktu, ada gejala pengembangan potensi sumberdaya
ekonomi daerah justru mengarah pada kompetisi antar daerah. Sebagai contoh, di
Kabupaten Cilacap saat ini telah memiliki pelabuhan udara meskipun baru bisa di
darati oleh pesawat terbang dengan kapasitas yang kecil sehingga diperlukan
upaya pengembangan agar bisa melayani pesawat komersial dengan jenis yang
lebih besar dengan cakupan layanan pengguna di tingkat regional. Namun saat ini
ada wacana di kabupaten lain untuk melakukan pembangunan lapangan terbang di
wilayah mereka dengan memanfaatkan infrstruktur yang telah tersedia yang
dimiliki oleh militer. Contoh lain misalnya, keberhasilan suatu daerah dalam
mengembangkan suatu potensi wisata ditangkap oleh daerah lain sebagai sumber
inspirasi untuk melakukan hal yang sama di daerah masing-masing.
Adanya gejala pemanfaatan potensi sumberdaya ekonomi daerah yang
mengarah pada kompetisi antar daerah menjadi bukti melemahnya komitmen
pimpinan daerah terhadap keberadaan lembaga kerjasama antar daerah yang telah
dibentuknya sendiri. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab mengapa kinerja
lembaga tersebut tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan
3. Lemahnya Aspek Pengelolaan Kegiatan Lembaga Kerjasama Antar Daerah
Faktor kendala lain yang menyebabkan kinerja outcome dari lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB tidak optimal karena lemahnya
aspek pengelolaan dari lembaga kerjasama antar daerah itu sendiri. Sebagaimana
telah dijelaskan pada sub bab terdahulu bahwa kegagalan kinerja lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan diantaranya disebabkan karena ketidaktepatan pengelola dalam
memilih calon investor yang memungkinkan untuk menanamkan investasinya di
wilayah BARLINGMASCAKEB. Dalam upaya melakukan pengembangan
pariwisata regional misalnya ketidaktepatan memilih sasaran program dan jenis
170
kegiatan menjadi penyumbang rendahnya kinerja dari sisi outcome. Pembentukan
paguyuban pariwisata dan paket wisata di masing-masing daerah tidak
menghasilkan sinergi tetapi justru menimbulkan potensi terjadinya kompetisi
antar daerah.
Tidak terintegrasinya kegiatan yang dilakukan oleh Regional Management
dengan kegiatan yang dilakukan oleh SKPD di masing-masing daerah juga
menjadi faktor penyumbang penting rendahnya kinerja lembaga kerjasama antar
daerah. Untuk bisa menghasilkan kinerja outcome sebagaimana yang diharapkan,
peran SKPD terkait sangat penting karena merekalah yang memiliki sumberdaya
manusia dan sumberdaya keuangan untuk bisa menjalankan fungsi pembangunan.
Dalam konteks pembangunan regional, tujuan pembangunan bisa dicapai apabila
SKPD terkait dari masing-masing kabupaten bekerjasama untuk menyelesaikan
permasalahan yang menyangkut bidang mereka namun berskala lintas daerah.
Selama ini agenda program kegiatan dari lembaga kerjasama antar daerah hanya
dilakukan oleh regional manager tanpa melibatkan SKPD dari masing-masing
daerah. Dengan kata lain aktivitas yang dilakukan oleh lembaga kerjasama antar
daerah belum mampu menumbuhkan aktivitas ”aksi bersama” (collective action)
bagi penyelesaian masalah pembangunan pada tingkatan regional.
5.2.5 Analisis Kritis Dimensi Kelembagaan Sebagai Pengaruh Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB
Kelemahan dari sisi pengelolaan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB sebenarnya tidak terlepas dari
dimensi kelembagaan yang dipilih untuk menjalankan organisasi tersebut.
Mengapa kelemahan pengelolaan kegiatan bisa terjadi, karena ketidakjelasan
aturan main yang dibuat untuk menjalankan organisasi tersebut.
Kelembagaan sebagai serangkaian peraturan yang membangun struktur
interaksi antar anggota mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap capain
kinerja dalam suatu organisasi. Serangkaian aturan main yang disepakati dapat
menyangkut kewenangan yang dimiliki, pola relasi antar anggota yang terlibat,
struktur organisasi, kerangka regulasi dan sumber pendanaan. Semua dimensi ini
memberi kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
171
Sebagai contoh, organisasi yang dibentuk dengan kewenangan hanya melakukan
sharing informasi diantara para anggotanya maka organisasi tersebut tidak
mungkin dituntut untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapai
oleh anggota secara bersama.
Pada subbagian ini akan dideskripsikan hasil analisis faktor yang
mempengaruhi kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
dari aspek kelembagaan. Variabel yang akan dianalisis meliputi; format
kerjasama, pengelolaan kerjasama, struktur organisasi, kerangka regulasi, sumber
pendanaan dan sistem pendukung.
1. Format Kerjasama
Ada beberapa alternatif pola kelembagaan sebagai basis pengembangan
kerjasama antar daerah di Indonesia seperti: “Lembaga Kerjasama”, “Forum
Koordinasi”, “Forum Koordinasi Monitoring dan Evaluasi” dan “Badan Usaha
Bersama”. Perbedaan dari masing-masing format kerjasama tersebut terletak pada
dimensi kewenangan, lingkup otoritas dan pola relasi antara lembaga kerjasama
dengan anggota-anggotanya.
Pilihan pola kelembagaan dari lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB yang dilakukan oleh para penggagasnya adalah dalam
bentuk “Lembaga Kerjasama”. Pilihan ini sudah tepat, mengingat ada dua tujuan
yang hendak dicapai yaitu (1) tujuan pembangunan, dengan penekanan pada
sinkronisasi dan pensinergian program pembangunan ekonomi antar daerah; (2)
tujuan pemasaran, yang lebih menekankan pada pemasaran produk-produk lokal.
Pencapaian dua tujuan ini sangat membutuhkan format kelembagaan dalam
bentuk Lembaga Kerjasama, karena format ini memiliki kewenangan, lingkup
otoritas dan pola relasi antar anggota yang dapat mendukung pencapaian tujuan
tersebut.
Namun demikian, di dalam prakteknya format kelembagaan lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dalam bentuk “Lembaga
Kerjasama” ini tidak bisa berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan. Hal ini
disebabkan “Lembaga Kerjasama” tidak menjalankan kewenangan yang
dimilikinya secara penuh, hanya memiliki lingkup otoritas yang terbatas serta pola
relasi antar anggota yang sangat cair.
172
Ada empat kewenangan yang seharusnya dijalankan kelembagaan
kerjasama antar daerah dalam bentuk “Lembaga Kerjasama”, yaitu; (1)
Information networks: forum yang berfungsi sebagai pertukaran informasi
mengenai kebijakan dan program, teknologi dan solusi potensial atas masalah-
masalah bersama; (2) Developmental networks: Adanya keterlibatan anggota yang
lebih tinggi, tidak hanya sekedar pertukaran informasi tetapi dikombinasikan
dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung meningkatkan kapasitas
informasi daerah untuk melaksanakan solusi atas masing-masing persoalannya;
(3) outreach networks: jaringan antar daerah lebih solid dengan adanya program
strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan dilaksanakan di daerah
lain; dan (4) action networks: daerah-daerah secara bersama-sama membuat
serangkaian program aksi bersama-sama yang dijalankan oleh masing-masing
daerah sesuai dengan proporsi dan kemampuannya masing-masing. “Lembaga
Kerjasama” BARLINGMASCAKEB seharusnya menjalankan kewenangan
tersebut sampai pada tahapan action networks, namun dalam kenyataannya
kewenangan yang dijalankan hanya pada tahapan Information networks,
Developmental networks dan outreach networks saja.
“Lembaga Kerjasama” seharusnya juga memiliki lingkup otoritas yang
kuat dalam bentuk pengaturan yang ketat terhadap anggota dengan sanksi yang
tegas bagi yang melanggar kesepakatan. Dalam prakteknya, pengaturan yang ketat
terhadap anggota tidak pernah dibuat dan setiap ada pelanggaran kesepakatan
selalu diselesaikan dengan cara-cara persuasif dengan semangat kemitraan.
“Lembaga Kerjasama” juga menuntut adanya pola relasi dalam bentuk
pelibatan anggota yang tinggi dalam upaya memecahkan permasalahan bersama.
Namun, dalam prakteknya aktivitas ini tidak pernah dilakukan. Semua kegiatan
dijalankan oleh Regional Manager sementara masing-masing pemerintah daerah
tinggal menunggu hasilnya. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa dari aspek
format kerja sama, lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
memiliki struktur dalam bentuk “Lembaga Kerjasama“ namun fungsi yang
dijalankan tidak sebagaimana yang dipersyaratkan. Kondisi ini menjadi faktor
penyumbang rendahnya kinerja dari lembaga kerjasama antar daerah tersebut.
173
2. Pengelolaan Kerjasama
Pada umumnya pengelolaan kerjasama antar daerah baik di Indonesia
maupun di beberapa negara terbagi kedalam dua pola yaitu pengelolaan oleh
tenaga profesional dan pengelolaan yang terintegrasi pada pemerintahan daerah.
Pada pengelolaan profesional, pengeloaaan lembaga kerjasama dilimpahkan
kepada kelompok profesional yang direkrut secara khusus untuk mengelola
aktivitas kerjasama. Dalam beberapa kasus model ini sangat mempercepat
terjadinya proses kerjasama antar daerah karena kepercayaan anggota terhadap
pengelola cukup tinggi karena mereka dianggap independen tidak memihak
kepada salah satu anggota. Kelemahannya, aktivitas yang dilakukan oleh lembaga
kerjasama ini sulit terintegrasi dengan unit-unit kerja di pemerintah daerah.
Pengelolaan oleh pemerintah daerah adalah pengelolaan kerjasama antar
daerah yang sepenuhnya melekat dalam unit-unit reguler pemerintah tanpa
melibatkan tenaga profesional. Model ini tidak terlalu mempercepat terjadinya
proses kerjasama antar daerah karena sangat berpeluang terjebak dalam logika
birokrasi dalam proses pengembangan kerjasama antar daerah. Di samping itu,
tingkat kepercayaan angota rendah terhadap pelaksana karena dianggap tidak
netral terhadap salah satu anggota. Hanya saja dalam model ini mempunyai
kekuatan yaitu tingginya tingkat integrasi antara aktivitas kerjasama antar daerah
dengan unit-unti kerja di pemerintah daerah karena pengelolaannya memang di
bawah pemerintah daerah.
Pengelola lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
dilakukan oleh tenaga profesional yaitu oleh Regional Manager beserta jajarannya
yang dipilih melalui mekanisme fit and proper test. Pada awalnya kepercayaan
anggota terhadap kinerja pengelola cukup tinggi. Namun sebagaimana kelemahan
dari pengelolaan oleh tenaga profesional, aktivitas yang dilakukan oleh lembaga
kerjasama antar daerah ini tidak terintegrasi dengan unit kerja di pemerintah
daerah. Hal ini menyebabkan kinerja yang dicapai tidak sesuai sebagaimana yang
diharapkan. Akibatnya kepercayaan anggota terhadap kinerja pengelola menjadi
rendah.
Pada kasus pengelolaan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
sebaiknya dilakukan dengan menggabungkan antara pengelolaan oleh tenaga
174
profesional dengan pengelolaan oleh birokrasi pemerintah. Pada kegiatan tujuan
pemasaran potensi wilayah, kegiatan ini lebih cocok dilakukan oleh tenaga
profesional karena kegiatan pemasaran lebih membutuhkan adanya kemampuan
marketing yang mengadopsi nilai-nilai interpreneurship dari lembaga bisnis, dan
kalangan tenaga profesional biasanya memiliki kemampuan tersebut. Sedangkan
pada kegiatan tujuan pembangunan dengan penekanan pada sinkronisasi dan
pensinergian program pembangunan ekonomi antar daerah sebaiknya dilakukan
oleh para birokrat di level SKPD terkait sesuai dengan bidang pembangunan yang
dikerjasamakan. Misalnya apabila disepakati melakukan kerjasama di bidang
kesehatan, maka yang melaksanakan kerjasama tersebut adalah para birokrat di
jajaran SKPD yang membidangi masalah kesehatan di masing-masing kabupaten.
Hasil ini diharapkan akan menjadi lebih efektif karena merekalah yang
sebenarnya mengetahui berbagai permasalahan serta memiliki sumberdaya yang
cukup guna menyelesaikan hal tersebut. Dengan melakukan pembagian tugas
semacam ini kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
diharapkan menjadi lebih optimal.
3. Struktur Organisasi
Struktur organisasi pada lembaga kerjasama antar daerah melihat
kesetaraan anggota dengan mengandalkan mekanisme kerja yang bersifat
networking atau hierarkhis. Mekanisme kerja yang bersifat networking
memandang anggota memiliki tingkat kesetaraan yang sama. Keputusan
didasarkan pada inter-relasi yang dilakukan oleh daerah, yang masing-masing
daerah bersifat bebas dan mandiri untuk melakukan relasi satu sama lain. Dalam
struktur ini tidak ada struktur kewenangan sentral dan tujuan dari kerjasama
tersebut merupakan hasil dari kesepakatan bersama dari para anggotanya.
Mekanisme kerja yang bersifat hierarkhis menganggap ada hubungan yang
bersifat hierarkhis antar anggota. Proses pembuatan keputusan bersifat top-down
dan tidak melibatkan anggota.
Struktur organisasi dari lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB mengacu pada bentuk struktur organisasi yang bersifat
networking, karena adanya kesetaraan di antara anggotanya. Pengambilan
keputusan dalam lembaga kerjasama ini dibuat secara bersama melalui rapat
175
Forum Regional yang beranggotakan para bupati dari masing-masing kabupaten
anggota. Struktur organisasi semacam ini memiliki kelemahan karena tidak
adanya struktur kewenangan sentral dalam organisasi. Akibatnya tidak ada
jaminan ketaatan anggota terhadap kesepakatan yang telah dibuat. Untuk
mengatasi kendala tersebut intensitas komunikasi antar anggota harus sering
dilakukan dengan jalan melakukan berbagai pertemuan. Untuk menjamin adanya
ketaatan anggota terhadap keputusan yang telah dibuat bersama, dapat dilakukan
dengan membuat mekanisme kontrol melalui sanksi yang ketat bagi para
anggotanya jika mereka melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Sayangnya
kedua hal tersebut tidak dilakukan pada lembaga kerjasama antar daerah ini.
4. Kerangka Regulasi
Dalam melakukan kerjasama antar daerah perlu disepakati apakah hanya
akan mengatur pelaksanaan perjanjian induk atau sampai mengatur hal-hal yang
bersifat teknis. Kerangka regulasi ini menjadi penting untuk diperhatikan karena
semakin teknis hal-hal yang diatur dalam perjanjian kerjasama maka semakin
jelas tujuan yang hendak dicapai.
Kerangka regulasi dari lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB hanya mengatur perjanjian induk dalam bentuk
Keputusan Bersama Bupati lima kabupaten yang bersepakat untuk bekerjasama.
Dalam perjanjian induk tersebut tujuan yang hendak dicapai juga sangat bersifat
umum sebagaimana tercantum dalam pasal 4 sebagai berikut:
Tujuan diselenggarakannya kerjasama ini adalah untuk: 1. Mewujudkan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan antar
daerah dan dalam pengelolaan serta pemanfaatan potensi daerah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya pembangunan
2. Sinkronisasi dalam penyusunan peraturan daerah untuk mengurangi hambatan birokrasi dalam kegiatan ekonomi dan investasi
3. Menghindari persaingan yang tidak sehat antar daerah 4. Memperkuat posisi tawar dan meningkatkan posisi daya saing
daerah agar mampu mengakses pasar nasional dan internasional dalam era globalisasi ekonomi
5. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam promosi potensi daerah
6. Membangun kemitraan antar daerah, antar pemerintah kabupaten dengan pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dunia usaha serta
176
dengan lembaga non pemerintah di tingkat nasional maupun internasional”
Tujuan yang bersifat umum tersebut secara umum dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu; (1) tujuan pembangunan dengan penekanan pada sinkronisasi
dan pensinergian program pembangunan ekonomi antar wilayah; dan (2) tujuan
pemasaran dengan penekanan pada pemasaran potensi dan produk-produk lokal.
Agar bisa mengarah pada tujuan yang lebih spesifik maka perlu dibuat suatu
kerangka regulasi yang mengatur perjanjian kerjasama pada bidang-bidang
pembangunan yang disepakati yang memuat apa bidang yang dikerjasamakan,
siapa pelaku kerjasama, hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang
bekerjasama, mekanisme sanksi bagi yang melanggar perjanjian, alokasi sumber
pendanaan dan batas waktu perjanjian dilangsungkan. Dengan kerangka regulasi
semacam ini maka akan dapat menjamin adanya kepastian kegiatan kerjasama
serta hasil-hasil yang akan dicapainya.
Pada kasus kerjasama antara daerah BARLINGMASCAKEB kerangka
regulasi hanya mengatur perjanjian induk. Namun perjanjian induk ini perlu
ditindaklanjuti dengan membuat kerangka regulasi yang mengatur hal-hal yang
lebih bersifat teknis berupa perjanjian kerjasama untuk menyelesaikan persoalan
yang lebih spesifik antar SKPD di masing-masing kabupaten anggota.
5. Sumber Pendanaan
Sebagaimana organisasi lain, pendanaan menjadi masalah krusial bagi
keberlangsungan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB.
Selama ini dalam menjalankan aktivitasnya lembaga ini hanya mengandalkan
dana iuran dari kabupatan anggota. Besarnya iuran pada tahun 2003 dan tahun
2004 sebesar 100 juta tiap kabupaten, namun pada tahun 2005 besarnya iuran
disepakati untuk dinaikkan menjadi 150 juta tiap anggota. Karena tidak ada aturan
perundangan yang mengatur, masing-masing daerah mengalokasikan dana iuran
tersebut melalui APBD pada pos-pos yang berbeda. Ada yang melalui alokasi
belanja hibah atau belanja bantuan sosial. Sejak keluarnya Permendagri No. 37
Tahun 2010 dan Permendagri No. 22 tahun 2011 tentang Pedoman Tata Cara
Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah semua daerah
anggota mengalokasikan iuran daerah melalui pos belanja hibah.
177
Namun, dengan keluarnya Permendagri No. 32 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah, dana belanja hibah tidak lagi dapat diberikan kepada
lembaga kerjasama antar daerah. Pada saat ini terjadi kebingungan bagi daerah
yang memiliki lembaga kerjasama antar daerah. Mereka tidak lagi dapat
mengalokasikan iuran daerah untuk kegiatan kerjasama antar daerah yang mereka
lakukan.
Idealnya lembaga kerjasama antar daerah memiliki sumber-sumber
pendanaan di luar dari iuran anggota melalui APBD. Sumber pendanaan bisa
berasal dari bantuan pemerintah baik pusat maupun provinsi, atau lembaga
kerjasama antar daerah menggalang dana dari organisasi non pemerintah (NGO)
seperti lembaga donor. Lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
pernah mendapatkan bantuan pendanaan dari NGO sebesar 1,5 milyar untuk
kegiatan operasional yang berasal dari Partnership For Governance Reform In
Indonesia (PGRI). Namun, karena sifatnya hanya berupa bantuan proyek maka
bantuan pendanaan ini tidak bersifat kontinu. Belajar dari pengalaman ini
mestinya pengelola lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
selalu menjalin hubungan dengan berbagai organisasi kemasyarakatan yang lain
terutama yang potensial dapat memberikan bantuan pendanaan bagi kegiatan
operasional organisasi.
Sumber pendanaan juga dapat berasal dari bantuan (subsidi) pemerintah
baik pusat maupun provinsi. Aspek pembiayaan dapat menjadi salah satu faktor
pendukung yang dapat digunakan oleh pemerintah pusat dalam mendorong
inisiatif kerjasama regional, sehingga penyediaan anggaran untuk kegiatan
kerjasama antar daerah dapat didukung oleh pemerintah pusat melalui berbagai
bentuk skim. Namun, kemauan politik (political will) pemerintah ke arah sana
nampaknya belum ada. Pemerintah pusat nampaknya belum menaruh perhatian
terhadap keberadaan lembaga kerjasama antar daerah yang telah banyak dilakukan
oleh pemerintah daerah di Indonesia. Pemerintah pusat lebih merespon terhadap
gejala tumbuhnya pemekaran wilayah di berbagai daerah dengan memberikan
subsidi sebagai daerah otonom baru, meskipun pemekaran wilayah berdampak
pada mengecilnya skala ekonomi daerah. Sementara gejala tumbuhnya kerjasama
178
antar daerah yang dapat memberikan potensi pada penguatan skala ekonomi
daerah justru tidak diperhatikan.
Peluang sumber pendanaan bagi lembaga kerjasama antar daerah dapat
berasal dari pemerintah provinsi. Dengan keluarnya Permendagri No. 32 Tahun
2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber
Dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, peluang itu semakin nyata. Dalam
peraturan ini disebutkan bahwa pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota dapat memberikan dana hibah kepada pemerintah daerah yang
lainnya yang berada dalam wilayah adminstratifnya. Peraturan ini
mengakomodasi bahwa pemerintah provinsi dapat memberikan dana hibah kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kegiatan penyelenggaraan kerjasama
antar daerah. Namun, lagi-lagi tidak adanya kemauan politik dari pemerintah
dalam hal ini provinsi menjadikan peluang bagi lembaga kerjasama antar daerah
untuk mendapatkan sumber pendanaan menjadi hilang. Tidak adanya kepastian
sumber pendanaan bagi lembaga kerjasama antar daerah tidak hanya berpengaruh
terhadap capaian kinerja dari lembaga tersebut, namun lebih dari itu dapat
berpengaruh terhadap eksistensi dari lembaga tersebut.
6. Sistem Pendukung
Untuk bisa dapat tetap eksis, lembaga kerjasama antar daerah harus
memiliki jaringan yang kuat baik kepada lembaga pemerintah maupun kepada
lembaga non pemerintah yang lainnya. Jaringan ini mutlak diperlukan agar
eksistensi lembaga dapat terjaga. Beberapa lembaga yang perlu dibangun
jaringannya sebagai sistem pendukung dari lembaga kerjasama antar daerah
adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi, lembaga donor, dan sesama
lembaga kerjasama antar daerah yang lain.
Peran dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan lembaga donor telah
dibahas pada subbab di atas. Subbagian ini akan membahas pentingnya
membangun jaringan dengan sesama lembaga kerjama antar daerah.
Terkoneksinya hubungan antar lembaga kerjasama antar daerah sangat membantu
keberlangsungan dari lembaga tersebut. Inter-koneksi dapat dilakukan dengan
komunikasi melalui telepon atau surat menyurat antar pengelola. Namun dalam
era teknologi sekarang ini inter-koneksi lebih afdol apabila dilakukan dengan
179
membuka situs resmi internet yang saling terhubung diantara lembaga kerjasama
antar daerah.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh apabila inter-koneksi ini terjalin.
Antar lembaga kerjasama dapat melakukan brainstorming (curah pendapat)
mengenai berbagai permasalahan sejenis yang dihadapi oleh para pengelola.
Mereka juga sekaligus dapat melakukan benchmarking (mencontoh) terhadap
kegiatan baik (best practice) yang telah dilakukan oleh lembaga kerjasama antar
daerah yang lainnya. Dalam kadar tertentu terjalinnya koneksi antar lembaga ini
dapat menciptakan kohesifitas di antara mereka sehingga keberadaan sesama
lembaga ini dapat menjadi kelompok penekan (preasure group) bagi pemerintah
pusat dalam memperjuangkan berbagai kepentingan lembaga mereka, seperti
misalnya perlunya pemberian subsidi oleh pemerintah pusat kepada lembaga
kerjasama antar daerah.
Keberadaan sistem pendukung pada Lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB nampaknya belum menjadi perhatian oleh para pengelolanya. Lembaga ini memang telah memiliki situs resmi www.barlingmascakeb.com , namun situs mereka tidak terkoneksi dengan sesama situs lembaga kerjasama antar daerah lainnya. Dalam menjalankan aktivitasnya Regional Management BARLINGMASCAKEB hanya berkomunikasi dengan kabupaten anggota dan hampir tidak pernah melakukan komunikasi dengan sesama lembaga kerjasama antar daerah yang lain. Dalam menjalin hubungan dengan sistem pendukung yang lainya seperti pemerintah provinsi dan pusat, pengelola nampaknya tidak memiliki bargaining yang kuat, sehingga berbagai kemudahan yang sebenarnya dapat diperoleh apabila memiliki jaringan yang kuat dengan aktor-aktor pendukung tadi tidak pernah didapat.
Dari analisis aspek kelembagaan di atas diketahui bahwa lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB tidak memiliki format
kelembagaan yang jelas, dalam arti tidak ada aturan main yang pasti, seperti siapa
berbuat apa dan mendapatkan apa dari para anggotanya ketika mereka bergabung
dalam suatu lembaga kerjasama antar daerah. Dari format kelembagaan, lembaga
kerjasama antar daerah ini tidak memiliki lingkup otoritas yang jelas. Tidak ada
aturan main yang mengatur mekanisme sanksi bagi para anggota yang melanggar
kesepakatan yang telah dibuat. Lembaga ini juga tidak mengatur bagaimana
180
mekanisme pelibatan anggota dalam setiap aktivitas kerjasama yang telah
disepakati bersama. Idealnya suatu lembaga kerjasama antar daerah harus
mengatur mekanisme keterlibatan anggota dalam bentuk siapa berbuat apa dan
mereka mendapatkan apa dalam setiap aktivitas yang dikerjasamakan.
Aturan main dalam pemberian kontribusi pendanaan juga tidak jelas.
Lembaga kerjasama ini hanya menetapkan besarnya jumlah uang yang harus
dikontribusikan untuk kegiatan operasional lembaga dalam jumlah yang sama.
Mekanisme ini menimbulkan kemungkinan munculnya penunggang bebas (free-
riders) diantara para anggota, karena dalam bekerjasama setiap anggota pasti tidak
akan mendapat manfaat (keuntungan) yang sama besar dengan anggota yang
lainnya. Oleh karena itu, kontribusi pendanaan dari masing-masing anggota
kepada lembaga harus dibedakan berdasarkan manfaat yang diterima oleh anggota
dari keberadaan lembaga kerjasama antar daerah tersebut. Namun demikian, pada
intinya lemahnya aspek kelembagaan dari lembaga kerjasama antara daerah ini
lebih disebabkan karena tidak adanya kewenangan otoritas yang bersifat sentral.
Lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuk dari bawah biasanya lebih
mengandalkan penggunaan strukutur organisasi yang bersifat networking
(jaringan kerja), hal ini dikarenakan masing-masing anggota memiliki posisi yang
setara. Namun, penggunaan struktur organisasi yang bersifat networking dalam
suatu organisasi memiliki kelemahan tidak adanya pusat kendali dalam
pengambilan keputusan organisasi. Struktur organisasi yang bersifat networking
efektifitasnya sangat tergantung dari adanya komitmen dari masing-masing
anggota untuk tetap mentaati setiap keputusan yang telah dibuat bersama.
Pengingkaran dari setiap kesepakatan yang telah dibuat akan berdampak pada
gagalnya pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan secara bersama,
karena setiap pengingkaran dari kesepakatan yang telah dibuat oleh masing-
masing anggota biasanya juga tanpa dibuatkan aturan main bagaimana cara
menegakkan pelaksanaan dari kesepakatan tersebut.
181
5.3. Analisis Kebijakan Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah Sebagai Strategi Penguatan Skala Ekonomi Daerah.
5.3.1. Analisis Efektivitas Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah
Di era otonomi daerah sekarang ini, setiap pemerintah daerah memiliki
kewenangan dan tanggungjawab yang cukup besar untuk mengelola potensi
sumberdaya ekonomi yang dimiliki untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan
masyarakat di wilayah masing-masing. Namun, pelaksanaan otonomi daerah
menjadi kurang bermakna ketika otonomi yang terjadi hanya pada tataran politik
dan administratif tetapi tidak disertai dengan adanya otonomi di bidang ekonomi.
Secara faktual meskipun dari sisi politik setiap daerah mempunyai kewenangan
dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, namun dari sisi
ekonomi (keuangan) sebagian besar pemerintah daerah masih bergantung pada
anggaran yang berasal dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan baik
dalam bentuk dana bagi hasil, dana alokasi umum atau dana alokasi khusus.
Ketergantungan anggaran daerah pada pemerintah pusat disebabkan
karena kemampuan keuangan daerah yang sangat terbatas. Keterbatasan
kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendanaan asli daerah
disebabkan karena terbatasnya kondisi skala ekonomi di masing-masing daerah.
Oleh karena itu, penguatan skala ekonomi daerah menjadi hal yang wajib
dilakukan oleh setiap pemerintah daerah apabila ingin meningkatkan sumber
pendanaan bagi pembangunan daerah sehingga dapat memberikan dampak bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan skala ekonomi daerah adalah dengan melakukan kerjasama
antar daerah. Dengan membentuk lembaga kerjasama antar daerah masing-masing
daerah dapat bekerjasama dalam mengelola potensi sumberdaya ekonomi secara
bersama sehingga pengelolaan anggaran pembangunan dapat menjadi lebih
efisien.
Alat analisis yang digunakan untuk menilai ketepatan strategi yang
digunakan untuk penguatan skala ekonomi daerah adalah analisis teori permainan
(game theory analisys). Game adalah suatu situasi strategis dimana terdapat
keterkaitan antar dua atau lebih pelaku yang membuat keputusan. Masing-masing
pelaku memperoleh penghargaan (reward) atas keputusannya dimana nilai dari
182
penghargaan (reward) yang diperoleh bergantung pada keputusan yang dibuat
oleh pihak lain (Kimbrough, dalam Vipriyanti, 2007).
Ada dua strategi yang dapat dipilih oleh pemerintah daerah dalam
meningkatkan skala ekonomi daerah, yaitu strategi: (1) tidak bekerjasama; atau
(2) bekerjasama. Apabila tidak bekerjasama maka masing-masing pemerintah
daerah akan bekerja sendiri dan akan menanggung seluruh biaya yang harus
dikeluarkan dalam upaya meningkatkan skala ekonomi daerah masing-masing
berupa belanja langsung dari kegiatan pengembangan pariwisata, perdagangan,
pertambangan dan investasi. Sebaliknya masing-masing daerah juga akan
memperoleh penerimaan sebagai akibat dari pengembangan dari berbagai bidang
tersebut dalam bentuk retribusi pariwisata, PDRB perdagangan, penerimaan pajak
pertambangan daerah dan nilai investasi yang masuk ke daerah.
Apabila memilih bekerjasama berarti masing-masing pemerintah daerah
harus bersedia saling membantu dalam upaya meningkatkan skala ekonomi
daerah. Konsekuensi yang harus ditanggung oleh masing-masing daerah apabila
mereka bersedia untuk bekerjasama adalah adanya tambahan biaya yang harus
dikeluarkan berupa iuran bersama untuk kegiatan promosi potensi ekonomi daerah
secara bersama. Namun demikian, mereka juga akan menerima keuntungan
berupa berkurangnya biaya transaksi sebagai akibat dari adanya kerjasama antar
daerah. Di samping itu, akibat dari adanya sinergi dari kerjasama antar daerah
maka pendapatan dari masing-masing daerah dalam bentuk retribusi pariwisata,
PDRB perdagangan, penerimaan pajak pertambangan daerah dan nilai investasi
yang masuk ke daerah juga akan meningkat.
Dari perhitungan apa yang akan diperoleh oleh masing-masing daerah
apabila mereka memilih tidak bekerjasama atau memilih bekerjasama, maka dapat
ditentukan pay off kerjasama antar daerah di masing-masing kabupaten. Pay off
adalah penalti yang harus ditanggung atau reward yang diperoleh masing-masing
aktor atau pelaku dalam analisis permainan tersebut. Pay off masing-masing
pelaku dalam analisis permainan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
ditunjukkan pada tabel berikut.
183
Tabel 49 Pay off dari Masing-Masing Pelaku KSAD BARLINGMASCAKEB Tahun 2009 (dalam milyar rupiah)
Kabupaten Bekerjasama Tidak Bekerjasama
Banjarnegara 148,336 133,831 Purbalingga 74,631 67,478 Banyumas 226,850 205,236 Cilacap 291,273 263,972 Kebumen 239,926 217,486
Sumber: Data sekunder diolah.
Analisis game yang dilakukan dalam kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB adalah “Permainan Berbentuk Normal” (Normal Form
of Games) yang sifatnya statik (Anwar, 2002). Hasil analisis game menunjukkan
bahwa terdapat keseimbangan Nash (Nash Equilibrium) dalam setiap interaksi
antar pemerintah kabupaten. Nash Equilibrium adalah keadaan dimana setiap
peserta dalam permainan memilih strategi terbaik bilamana strategi pihak lain
diketahui (Anwar, 2002). Secara lebih spesifik dapat dinyatakan bahwa Nash
Equilibrium adalah suatu keseimbangan dimana setiap pemain tidak dapat lagi
merubah strategi permainannya dengan tujuan untuk meningkatkan
keuntungannya. Keseimbangan tersebut tercapai apabila pemerintah kabupaten
memilih strategi untuk bekerjasama dengan kabupaten yang lainnya dalam
meningkatkan skala ekonomi daerahnya.
Tabel 50 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Banjarnegara dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam
milyar rupiah)
Pemain/ Strategi Empat Kabupaten
Bekerjasama Tidak Bekerjasama
Banjarnegara
Bekerjasama
148,336 ; 832,682
133,831 ; 754,174
Tidak
Bekerjasama
133,831 ; 754,174
133,831 ; 754,174
Sumber: Data sekunder diolah.
Tabel di atas menunjukkan bahwa Nash Equilibrium dalam meningkatkan
skala ekonomi daerah antara kabupaten Banjarnegara dengan empat kabupaten
lainnya (Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) terjadi apabila mereka
saling melakukan kerjasama. Apabila pemerintah Kabupaten Banjarnegara
184
memilih bekerjasama dengan empat kabupaten lain (Purbalingga, Banyumas,
Cilacap dan Kebumen) maka pay off yang diperoleh sebesar 148,336 milyar
rupiah yaitu berupa selisih keuntungan dari pendapatan yang diterima oleh
pemerintah Kabupaten Banjarnegara sebagai akibat meningkatnya skala ekonomi
daerah yang diusahakan secara bersama dengan biaya yang dikeluarkan untuk
membiayai peningkatan skala ekonomi daerah tersebut secara bersama. Namun,
apabila Kabupaten Banjarnegera memilih tidak bekerjasama dengan empat
kabupaten lainnya dalam meningkatkan skala ekonomi daerah nilai pay off yang
diterima hanya sebesar 133,831 milyar rupiah yang berasal dari selisih
keuntungan dari pendapatan yang diterima oleh pemerintah Kabupaten
Banjarnegara sebagai akibat meningkatnya skala ekonomi daerah yang
diusahakan sendiri dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai peningkatan
skala ekonomi daerah secara mandiri.
Untuk keempat kabupaten lainnya (Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan
Kebumen) dengan bekerjasama dengan Kabupaten Banjarnegara akan
mendapatkan pay off sebesar 832,682 milyar rupiah, berupa selisih keuntungan
dari pendapatan yang diterima oleh empat kabupaten tersebut sebagai akibat
meningkatnya skala ekonomi daerah yang diusahakan secara bersama dengan
biaya yang dikeluarkan untuk membiaya peningkatan skala ekonomi daerah
tersebut secara bersama. Namun apabila empat kabupaten tersebut tidak
bekerjasama dengan Kabupaten Banjarnegara nilai pay off yang terima hanya
sebesar 754,174 milyar rupiah yang berasal dari selisih keuntungan dari
pendapatan yang diterima oleh empat kabupaten tersebut sebagai akibat dari
peningkatan skala ekonomi daerah yang diusahakan sendiri-sendiri dengan biaya
yang dikeluarkan untuk membiaya peningkatan skala ekonomi daerah secara
sendiri-sendiri.
Apabila Kabupaten Banjarnegara memilih bekerjasama namun empat
kabupaten memilih tidak bekerjasama dengan Kabupaten Banjarnegara atau
sebaliknya empat kebupaten memilih bekerjasama dengan Kabupaten
Banjarnegara namun Kabupaten Banjarnegara memilih tidak bekerjasama maka
nilai pay off yang diterima oleh kabupaten Banjarnegara maupun empat kabupaten
lainnya adalah seperti apabila masing-masing kabupaten tidak bekerjasama. Dari
185
gambaran di atas menunjukkan bahwa Nash equilibrium interaksi antara
Kabupaten Banjarnegara dengan empat kabupaten lainya yang tergabung dalam
lembaga kerjasama antar daerah adalah saling bekerjasama. Artinya saling
bekerjasama antara ke lima kabupaten tersebut lebih menguntungkan jika
dibandingkan dengan tidak bekerjasama dalam upaya meningkatkan skala
ekonomi daerah.
Tabel 51 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Purbalingga dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam
milyar rupiah)
Pemain/Strategi Empat Kabupaten
Bekerjasama Tidak Bekerjasama
Purbalingga
Bekerjasama 74,631 ; 906,386 67,478 ; 820,527
Tidak
Bekerjasama
67,478 ; 820,527
67,478 ; 820,527
Sumber: Data sekunder diolah.
Strategi Pemerintah Kabupaten Purbalingga untuk bekerjasama dengan ke
empat kabupaten lainnya (Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) dalam
upaya meningkatkan skala ekonomi daerah menghasilkan pay off sebesar 74,631
milyar rupiah berupa selisih keuntungan dari pendapatan yang diterima oleh
pemerintah Kabupaten Purbalingga sebagai akibat meningkatnya skala ekonomi
daerah yang diusahakan secara bersama dengan biaya yang dikeluarkan untuk
membiayai peningkatan skala ekonomi daerah tersebut secara bersama. Namun,
apabila Kabupaten Purbalingga memilih strategi untuk tidak bekerjasama dengan
empat kabupaten lainnya dalam meningkatkan skala ekonomi daerah nilai pay off
yang diterima hanya sebesar 67,478 milyar rupiah yang berasal dari selisih
keuntungan dari pendapatan yang diterima oleh pemerintah Kabupaten
Purbalingga sebagai akibat meningkatnya skala ekonomi daerah yang diusahakan
sendiri dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai peningkatan skala
ekonomi daerah secara mandiri.
Sedangkan keempat kabupaten lainnya (Banjarnegara, Banyumas, Cilacap
dan Kebumen), apabila mereka memilih strategi bekerjasama dengan Kabupaten
Purbalingga maka mereka akan mendapatkan nilai pay off sebesar 906,386 milyar
rupiah. Namun, apabila mereka memilih strategi untuk tidak bekerjasama dengan
186
Kabupaten Purbalingga mereka hanya akan mendapatkan nilai pay off sebesar
820,527 milyar rupiah.
Apabila Kabupaten Purbalingga memilih bekerjasama namun empat
kabupaten memilih tidak bekerjasama dengan Kabupaten Purbalingga atau
sebaliknya empat kebupaten memilih bekerjasama dengan Kabupaten Purbalingga
namun Kabupaten Purbalingga memilih tidak bekerjasama maka nilai pay off
yang diterima oleh kabupaten Purbalingga maupun empat kabupaten lainnya
adalah seperti apabila masing-masing kabupaten tidak bekerjasama. Dari
gambaran di atas menunjukkan bahwa Nash equilibrium interaksi antara
Kabupaten Purbalingga dengan empat kabupaten lainya yang tergabung dalam
lembaga kerjasama antar daerah adalah saling bekerjasama. Dengan demikian,
bekerajasama bagi Kabupaten Purbalingga dengan ke empat kabupaten lainnya
lebih menguntungkan apabila ingin meningkatkan skala ekonomi daerahnya.
Tabel 52 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Banyumas dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam
milyar rupiah) Pemain/Strategi Empat Kabupaten
Bekerjasama Tidak Bekerjasama Banyumas
Bekerjasama
226,850 ; 754,167
205,236 ; 682,769
Tidak
Bekerjasama
205,236 ; 682,769
205,236 ; 682,769
Sumber: Data sekunder diolah.
Strategi dominan dari Kabupaten Banyumas dalam meningkatkan skala
ekonomi daerah adalah bekerjasama dengan empat kabupaten lainnya
(Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan Kebumen). Dengan bekerjasama nilai
pay off yang diterima sebesar 226,850 milyar rupiah. Sedangkan apabila tidak
bekerjasama nilai pay off yang diterima hanya sebesar 205,236 milyar rupiah.
Untuk empat kabupaten lainnya (Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap dan
Kebumen) strategi dominan dalam meningkatkan skala ekonomi daerah juga
dengan bekerjasama dengan Kabupaten Banyumas. Dengan bekerjasama, secara
kumulatif keempat kabupaten mendapatkan nilai pay off sebesar 754,167 milyar
rupiah, sedangkan kalau tidak bekerjasama nilai pay off yang diterima hanya
sebesar 682,769 milyar rupiah.
187
Tabel 52 menunjukkan bahwa Nash equilibrium interaksi antara
Kabupaten Banyumas dengan empat kabupaten lainya yang tergabung dalam
lembaga kerjasama antar daerah adalah saling bekerjasama. Dengan demikian,
bekerjasama bagi Kabupaten Banyumas dengan keempat kabupaten lainnya lebih
menguntungkan apabila ingin meningkatkan skala ekonomi daerah.
Tabel 53 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Cilacap dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam milyar rupiah)
Pemain/Strategi Empat Kabupaten
Bekerjasama Tidak Bekerjasama Cilacap
Bekerjasama
291,273 ; 689,745
263,972 ; 624,033
Tidak
Bekerjasama
263,972 ; 624,033
263,972 ; 624,033
Sumber: Data sekunder diolah.
Untuk Kabupaten Cilacap Nash Equilibrium dalam meningkatkan skala
ekonomi daerah adalah bekerjasama dengan empat kabupaten lain (Banjarnegara,
Purbalingga, Banyumas dan Kebumen). Dengan bekerjasama dalam
meningkatkan skala ekonomi daerah Kabupaten Cilacap akan menerima pay off
sebesar 291,273 milyar rupiah, sedangkan apabila tidak bekerjasama hanya
mendapatkan nilai pay off sebesar 263,972 milyar rupiah. Demikian juga dengan
keempat kabupaten lainnya, dalam meningkatkan skala ekonomi daerah Nash
Equilibriumnya adalah bekerjasama dengan Kabupaten Cilacap. Dengan
bekerjasama dengan Kabupaten Cilacap secara kumulatif keempat kabupaten
tersebut akan mendapatkan nilai pay off sebesar 689,745 milyar rupiah.
Sedangkan apabila tidak bekerjasama hanya mendapatkan nilai pay off sebesar
624,033 milyar rupiah.
188
Tabel 54 Matriks Pay off Game Interaksi Kabupaten Kebumen dan Empat Kabupaten Lain Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah (dalam
milyar rupiah)
Pemain/Strategi Empat Kabupaten Bekerjasama Tidak Bekerjasama
Kebumen
Bekerjasama
239,926 ; 741,092
217,486 ; 670,520
Tidak
Bekerjasama
217,486 ; 670,520
217,486 ; 670,520
Sumber: Data sekunder diolah.
Nilai pay off yang diterima oleh Kabupaten Kebumen apabila bekerjasama
dengan empat kabupaten lain (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan
Cilacap) adalah sebesar 239,926 milyar rupiah. Nilai pay off ini merupakan
kondisi Nash Equilibrium karena nilai tersebut merupakan keuntungan tertinggi
yang bisa diperoleh bagi Kabupaten Kebumen dalam upaya meningkatkan skala
ekonomi daerah. Apabila tidak bekerjasama dengan daerah lain Kabupaten
Kebumen hanya mendapatkan nilai pay off sebesar 217,486 milyar rupiah. Artinya
bekerjasama dengan kabupaten lain bagi Kabupaten Kebumen jauh lebih
menguntungkan dari pada tidak bekerjasama dalam upaya meningkatkan skala
ekonomi daerahnya.
Demikian juga sebaliknya, bagi keempat kabupaten lainnya
(Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap) dalam upaya meningkatkan
skala ekonomi daerahnya, bekerjasama dengan Kabupaten Kebumen jauh lebih
menguntungkan karena akan memperoleh nilai pay off sebesar 741,092 milyar
rupiah jika dibandingkan dengan apabila tidak bekerjasama dengan Kabupaten
Kebumen karena hanya akan mendapatkan nilai pay off sebesar 670,520 milyar
rupiah.
Dari uraian di atas, secara keseluruhan hasil analisis game menunjukkan
bahwa bekerjasama adalah strategi terbaik yang harus dipilih oleh masing-masing
kabupaten apabila ingin meningkatkan skala ekonomi daerah. Hasil ini
memberikan implikasi bahwa egoisme antar daerah dan semangat berkompetisi
antar daerah sebagai ekses dari pelaksanaan otonomi daerah harus dihilangkan.
Sebagai gantinya perlu ditumbuhkan adanya semangat berkolaborasi antar daerah
189
dan adanya kemauan untuk bekerjasama dalam memanfaatkan potensi
sumberdaya ekonomi daerah yang terbatas untuk kepentingan bersama.
5.3.2. Analisis Efisiensi Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah
Sebagaimana dikemukakan oleh Schluter dan Hanisch (1999)
pembentukan kelembagaan baru, seperti munculnya lembaga kerjasama antar
daerah, dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dengan cara
meminimalkan biaya transaksi (transaction cost) yang mungkin timbul.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk mengukur efisien tidaknya desain
kelembagaan kerjasama antar daerah digunakan alat analisis ekonomi biaya
transaksi (transaction cost economics). Hipotesis dari analisis ini adalah semakin
tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi, berarti kian tidak
efisien kelembagaan yang didesain; demikian sebaliknya (Yustika, 2008). Atas
dasar asumsi tersebut, untuk menguji efisien tidaknya desain kelembagaan
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dilakukan dengan mengukur
keberadaan indikator dari variabel biaya transaksi pada aktivitas penguatan skala
ekonomi daerah sebelum lembaga kerjasama antar daerah terbentuk dan sesudah
adanya lembaga kerjasama antar daerah.
Peningkatan skala ekonomi daerah dapat terjadi apabila ada peningkatan
aktivitas ekonomi di daerah. Aktivitas ekonomi akan meningkat apabila jumlah
investasi yang masuk ke daerah meningkat, angkatan kerja yang ada bisa terserap
pada pasar kerja yang tersedia, dan potensi sumberdaya ekonomi daerah dapat
ditingkatkan pengelolaannya agar bisa memberikan manfaat ekonomi bagi
masyarakat seperti pengelolaan potensi pariwisata dan pengelolaan potensi
sumberdaya alam pada kegiatan pertambangan. Berikut akan dijelaskan potensi
timbulnya biaya transaksi pada berbagai kegiatan tersebut.
1. Kegiatan Fasilitasi Investasi Daerah
Ada empat aktivitas yang berpotensi menimbulkan biaya transaksi pada
kegiatan fasilitasi investasi daerah yaitu kegiatan promosi potensi daerah,
pembuatan rencana program kegiatan dan biaya melakukan monitoring dan
evaluasi kegiatan.
190
-
100,000,000
200,000,000
300,000,000
400,000,000
500,000,000
Biay
a Tr
ansa
ksi
Banjarnegara 237,500,000 100,000,000
Purbalingga 56,660,000 20,000,000
Banyumas 409,851,250 201,666,667
Cilacap 333,800,000 198,333,333
Kebumen 187,500,000 75,000,000
Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program
Sumber: Data sekunder diolah.
Gambar 19 Biaya Transaksi Promosi Potensi Daerah untuk Mendatangkan Investasi
Untuk bersedia menanamkan investasinya di daerah, investor harus
mengetahui potensi apa saja yang dimiliki oleh daerah dan apakah iklim investasi
di daerah tersebut kondusif untuk menanamkan modalnya. Untuk mengetahui
informasi tersebut ada dua hal yang bisa terjadi. Pertama, calon investor yang
aktif mencari informasi dimana daerah yang cocok untuk menanamkan
investasinya. Kedua, daerah yang aktif menawarkan potensi sumberdayanya
kepada calon investor melalui kegiatan promosi potensi daerah agar calon investor
mau menanamkan investasinya di daerah mereka. Kedua kegiatan ini sama-sama
berpotensi menimbulkan biaya transaksi. Bagi investor dibutuhkan biaya untuk
mencari informasi bagi kepentingan penanaman modal mereka dan bagi daerah
biaya transaksi muncul berupa biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan promosi
potensi daerah.
Gambar di atas menunjukkan bahwa pada saat sebelum adanya kegiatan
kerjasama antar daerah dan sesudah adanya kegiatan kerjasama antar daerah,
kelima kabupaten anggota semuanya mengalokasikan biaya untuk melakukan
promosi potensi daerahnya agar para investor bersedia menanamkan investasinya
ke daerah masing-masing. Kabupaten Banyumas dan Cilacap terlihat paling
gencar melakukan kegiatan promosi ini dilihat dari besaran nilai rupiah yang
dialokasikan untuk kegiatan tersebut. Namun, besaran nilai rupiah yang
191
dialokasikan untuk kegiatan promosi potensi daerah menurun di semua kabupaten
setelah adanya program kerja sama antar daerah. Hal ini disebabkan pertama,
salah satu dari kegiatan lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuk
memfokuskan pada kegiatan promosi potensi daerah sehingga aktivitas ini dapat
membantu kegiatan di masing-masing daerah dalam mempromosikan potensi
daerahnya. Kedua, dengan berkembangnya teknologi informasi maka masing-
masing daerah dapat melakukan promosi potensi daerahnya melalui dunia maya
dengan teknologi internet, sehingga dapat menekan biaya promosi jika
dibandingkan apabila kegiatan tersebut dilakukan secara konvensional.
Dalam kegiatan pembuatan rencana kegiatan pada SKPD yang menangani
bidang investasi, hampir semua kabupaten tidak mengalokasikan anggaran untuk
kegiatan tersebut baik pada saat sebelum adanya kegiatan kerjasama maupun
sesudah adanya kegiatan kerjasama, kecuali untuk Kabupaten Purbalingga. Tidak
dialokasikan anggaran pada kegiatan pembuatan rencana program karena
dianggap bahwa kegiatan tersebut telah masuk ke dalam tupoksi dari salah satu
bidang sehingga kegiatannya tidak diperlukan anggaran tambahan. Munculnya
anggaran pada kegiatan ini merupakan biaya transaksi. Meskipun di Kabupaten
Purbalingga masih ada alokasi anggaran untuk kegiatan pembuatan rencana
program namun jumlahnya menjadi menurun setelah adanya kegiatan kerjasama
antar daerah. Artinya ada penurunan biaya transaksi pada kegiatan pembuatan
rencana program sesudah adanya kegiatan kerjasama antar daerah.
0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
12000000
Bia
ya T
rans
aksi
Banjarnegara 0 0
Purbalingga 10,612,000 5,000,000
Banyumas 0 0
Cilacap 0 0
Kebumen 0 0
Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program
Sumber: Data sekunder diolah.
Gambar 20 Biaya Transaksi Pembuatan Rencana Program Mendatangkan Investasi di Daerah.
192
Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi pada kegiatan fasilitasi investasi
daerah, pada kondisi sebelum adanya kerjasama antar daerah semua kabupaten
mengalokasikan anggaran tersebut meskipun dengan nilai yang bervariasi.
Kabupaten Cilacap mengalokasikan anggaran untuk kegiatan monitoring dan
evaluasi (monev) paling besar dibandingkan dengan daerah lain. Seharusnya
kegiatan monev telah masuk dalam tupoksi salah satu bidang di masing-masing
SKPD, namun anggaran kegiatan monev tetap dialokasikan dengan alasan
kegiatan tersebut harus dilakukan di lapangan sehingga diperlukan anggaran
tambahan bagi yang melaksanakannya. Dengan alasan yang sama ditambah
dengan cakupan wilayah yang sangat luas maka di Kabupaten Cilacap biaya
monev dianggarkan dengan jumlah yang cukup besar.
Setelah adanya kegiatan kerjasama antar daerah, anggaran untuk kegiatan
monev tidak lagi dialokasikan di empat kabupaten, namun untuk Kabupaten
Cilacap alokasi anggaran untuk kegiatan monev masih tetap disediakan tetapi
dengan jumlah yang sudah jauh berkurang dibandingkan pada saat kondisi
sebelum adanya kerjasama.
-
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
Biay
a Tr
ansa
ksi
Banjarnegara 4,000,000 0
Purbalingga 5,000,000 0
Banyumas 2,000,000 0
Cilacap 80,000,000 41,666,667
Kebumen 32,500,000 0
Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program
Sumber: Data sekunder diolah.
Gambar 21 Biaya Transaksi Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Mendatangkan Investasi di Daerah.
Biaya mengurus perijinan juga merupakan biaya transaksi yang
berpeluang muncul dalam kegiatan fasilitasi investasi. Pada waktu sebelum ada
193
kegiatan kerjasama antar daerah pengurusan perijinan dilakukan di banyak SKPD
disesuaikan dengan bidang tugas dari lembaga tersebut dengan jenis perijinan
yang diminta. Karena banyaknya jenis perijinan yang dikelola dengan tempat
yang berbeda-beda menjadikan sangat sulit untuk memperoleh data mengenai
biaya perijinan sebelum kegiatan kerjasama antar daerah dilaksanakan. Sesudah
adanya kegiatan kerjasama antar daerah di semua kabupaten pengurusan perijinan
investasi dikelola oleh SKPD khusus meskipun dengan nama yang berbeda-beda
di masing-masing kabupaten. Dari hasil penggalian data di lapangan diperoleh
informasi bahwa setelah terbentuknya lembaga pelayanan satu pintu (one stop
service) untuk kegiatan perijinan investasi bahwa dalam rangka menumbuhkan
iklim investasi yang kondusif di semua kabupaten membebaskan semua biaya
perijinan yang berkaitan dengan penanaman investasi kecuali untuk pemberian
ijin yang menyangkut masalah keamanan, pengawasan dan gangguan seperti ijin
keramaian, IMB dan HO. Karena data mengenai biaya perijinan sebelum
berlangsungnya kegiatan kerjasama antar daerah tidak diperoleh maka tidak dapat
ditampilkan perbandingan biaya pengurusan perijinan pada saat kondisi sebelum
kerjasama dan sesudah kerjasama.
Dari deskripsi di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam
kegiatan fasilitasi investasi daerah, biaya transaksi pada kegiatan ini masih terjadi
di lima kabupten di wilayah BARLINGMASCAKEB, namun setelah adanya
kerjasama antar daerah biaya transaksi pada kegiatan ini dapat lebih dikurangi.
2. Kegiatan Ketenagakerjaan
Pada kegiatan ketenagakerjaan, aktivitas yang berpeluang memunculkan
biaya transaksi adalah kegiatan pembuatan rencana kegiatan, monitoring dan
evaluasi program serta akses informasi mengenai lowongan pekerjaan. Dalam
aktivitas pembuatan rencana kegiatan pada SKPD yang terkait dengan masalah
ketenagakerjaan, empat kabupaten tidak mengalokasikan anggaran untuk kegiatan
ini baik sebelum ada kerjasama antar daerah maupun sesudah ada kerjasama antar
daerah. Hanya Kabupaten Purbalingga yang masih mengalokasikannya meskipun
dengan jumlah yang relatif kecil.
Sama seperti dengan SKPD yang membidangi masalah investasi, alasan
tidak mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pembuatan rencana kegiatan di
194
bidang ketenagakerjaan karena mereka menganggap bahwa aktivitas tersebut
merupakan tupoksi dari salah satu bagian dari SKPD tersebut sehingga kegiatan
ini dianggap sebagai kegiatan rutin yang tidak harus diberi alokasi anggaran
khusus dalam mengerjakannya. Meskipun Kabupaten Purbalingga masih
menganggarkan dana untuk kegiatan pembuatan rencana kegiatan, namun
semakin tahun jumlahnya juga semakin berkurang, yang semula rata-rata 6 juta
rupiah berkurang menjadi rata-rata 5 juta rupiah setalah ada kegiatan kerjasama
antar daerah. Dengan demikian ada penurunan biaya transaksi pada aktivitas ini
setelah ada kerjasama antar daerah.
0
2000000
4000000
6000000
8000000
Biay
a Tr
ansa
ksi
Banjarnegara 0 0
Purbalingga 6,000,000 5,000,000
Banyumas 0 0
Cilacap 0 0
Kebumen 0 0
Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program
Sumber: Data sekunder diolah.
Gambar 22 Biaya Transaksi Pembuatan Rencana Kegiatan Bidang Ketenagakerjaan
Pada kegiatan monitoring dan evaluasi bidang ketenagakerjaan, empat
kabupaten tidak mengalokasikan anggaran untuk kegiatan ini. Dengan alasan yang
sama kegiatan ini telah menjadi tupoksi dari salah satu bagian sehingga telah
menjadi pekerjaan rutin organisasi yang tidak memerlukan alokasi anggaran
khusus. Namun, di Kabupaten Banyumas alokasi anggaran untuk kegiatan
monitoring masih tetap dilakukan baik sebelum adanya kegiatan kerjasama
maupun sesudah adanya kegiatan kerjasama dengan jumlah yang tetap meskipun
dengan nilai yang relatif kecil.
195
0
500000
10000001500000
2000000
2500000
3000000
Biay
a Tr
ansa
ksi
Banjarnegara 0 0
Purbalingga 0 0
Banyumas 2,500,000 2,500,000
Cilacap 0 0
Kebumen 0 0
Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program
Sumber: Data sekunder diolah.
Gambar 23 Biaya Transaksi Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Ketenagakerjaan.
Dalam kegiatan mengakses lowongan pekerjaan yang dilakukan oleh para
pencari kerja, biaya transaksi tidak timbul karena baik sebelum maupun sesudah
adanya kegiatan kerjasama antar daerah SKPD yang menangani masalah
ketenagakerjaan di semua kabupaten membebaskan semua biaya yang berkaitan
dengan urusan mengakses lowongan pekerjaan. Aktivitas ini mencakup kegiatan
pembuatan kartu calon tenaga kerja (kartu kuning) dan pendaftaran calon tenaga
kerja di perusahaan yang melimpahkan perekrutan calon tenaga kerjanya pada
Dinas Tenaga Kerja.
Dari berbagai gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
kegiatan pengelolaan ketenagakerjaan di kabupaten di wilayah
BARLINGMASCAKEB masih menimbulkan biaya transaksi, namun dengan
adanya kerjasama antar daerah biaya transaksi ini meskipun sedikit telah dapat
dikurangi.
3. Kegiatan Pengelolaan Pertambangan
Dalam kegiatan pengelolaan pertambangan, SKPD yang
bertanggungjawab untuk menangani bidang ini tidak mengalokasikan anggaran
secara khusus baik untuk kegiatan pembuatan rencana program maupun pada
kegiatan promosi potensi pertambangan yang ada di daerahnya masing-masing.
Hal ini menunjukkan bahwa kedua kegiatan tersebut oleh SKPD yang
menanganinya dianggap sebagai kegiatan rutin yang tidak memerlukan alokasi
196
anggaran khusus untuk melakukannya, sehingga pada dua kegiatan tersebut tidak
timbul biaya transaksi yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi pada
kegiatan pengelolaan pertambangan daerah.
Pada kegiatan monitoring dan evaluasi dari pengelolaan pertambangan,
tiga kabupaten yaitu Purbalingga, Banyumas dan Cilacap masih menganggap
perlunya alokasi pendanaan untuk kegiatan monev, sedangkan di dua kabupaten
yaitu Banjarnegara dan Kebumen tidak lagi menganggap perlu. Alasan dianggap
perlunya alokasi anggaran kegiatan monev karena kegiatan ini harus dilakukan di
lapangan dengan lokasi yang tersebar dan berjauhan sehingga diperlukan
tambahan pendanaan untuk melaksanakannya. Meskipun alokasi pendanaan untuk
kegiatan monev tetap dianggarkan, tetapi rata-rata besaran anggaran tersebut
mengalami penurunan pada tahun-tahun setelah kegiatan kerjasama antar daerah
dilakukan. Penurunan besaran anggaran tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut.
0
10000000
20000000
30000000
40000000
50000000
Bia
ya T
rans
aksi
Banjarnegara 0 0
Purbalingga 45,000,000 26,666,667
Banyumas 32,500,000 24,000,000
Cilacap 30,000,000 30,000,000
Kebumen 0 0
Rata-Rata Sebelum program Rata-Rata Sesudah Program
Sumber: Data sekunder diolah.
Gambar 24 Biaya Transaksi Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pengolahan Pertambangan
Adaya penurunan anggaran dari kegiatan monev ini menunjukkan bahwa
telah terjadi penurunan biaya transaksi dari kegiatan tersebut. Dengan demikian,
secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun dalam kegiatan pengeloalan
petambangan di daerah telah menimbulkan biaya transaksi, namun dengan adanya
197
kegiatan kerjasama antar daerah telah dapat menurunkan besaran biaya transaksi
tersebut.
4. Kegiatan Pengembangan Pariwisata
Kegiatan promosi potensi pariwisata pada tahun-tahun sebelum kegiatan
kerjasama antar daerah dilakukan selalu dianggarkan oleh lima kabupaten di
wilayah BARLINGMASCAKEB. Besarnya anggaran kegiatan untuk promosi
pariwisata dapat dilihat pada gambar di bawah. Kabupaten Cilacap dan Kebumen
adalah dua kabupaten yang mengalokasikan anggaran promosi pariwisatanya
cukup besar dibandingan dengan daerah lain. Sedangkan Kabupaten Banjarnegara
merupakan kabupaten yang mengalokasikan anggaran untuk promosi pariwisata
paling kecil.
-
200,000,000
400,000,000
600,000,000
800,000,000
Biay
a Tr
ansa
ksi
Banjarnegara 17,500,000 0
Purbalingga 40,000,000 13,283,667
Banyumas 77,161,000 75,000,000
Cilacap 670,000,000 322,583,333
Kebumen 436,986,000 163,216,469
Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program
Sumber: Data sekunder diolah. Gambar 25 Biaya Transaksi Kegiatan Promosi Potensi Pariwisata
Dengan bergabungnya kelima kabupaten tersebut ke dalam lembaga
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB, dimana salah satu kegiatannya
adalah melakukan kegiatan promosi wisata secara bersama, telah memberikan
pengaruh pada berkurangnya alokasi anggaran untuk kegiatan promosi wisata
yang dilakukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing kabupaten. Bahkan
untuk Kabupaten Banjarnegara setelah bergabung ke dalam lembaga kerjasama
antar daerah BARLINGMASCAKEB tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk
kegiatan promosi potensi wisata. Gambaran di atas menunjukkan bahwa meskipun
198
biaya transaksi masih cukup besar pada kegiatan promosi potensi wisata namun,
adanya kerjasama antar daerah telah mampu menurunkan besarnya biaya transaksi
tersebut jika dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan kerjasama antar
daerah.
Pada aktivitas pembuatan rencana kegiatan pengembangan periwisata di
masing-masing SKPD terkait sebelum adanya kegiatan kerjasama antar daerah,
Kabupaten Banjarnegara, Banyumas dan Kebumen masih mengalokasikan
anggaran untuk kegiatan tersebut. Sedangkan Kabupaten Purbalingga dan Cilacap
aktivitas pembuatan rencana kegiatan pengembangan pariwisata tidak lagi
dianggarkan secara khusus. Namun setelah adanya kegiatan kerjasama antar
daerah, Kabupaten Banjarnegara dan Kebumen telah mengurangi alokasi
anggaran untuk kegiatan pembuatan perencanaan pengembangan pariwisata.
Sedangkan di Kabupaten Banyumas anggaran untuk kegiatan tersebut telah
dihilangkan. Artinya dengan adanya kegiatan kerjasama antar daerah telah dapat
mengurangi biaya transaksi yang ditimbulkan dari kegiatan pembuatan rencana
pengembangan pariwisata.
-
50,000,000
100,000,000
150,000,000
Biay
a Tr
ansa
ksi
Banjarnegara 125,000,000 66,666,667
Purbalingga 0 0
Banyumas 24,806,400 0
Cilacap 0 0
Kebumen 18,750,000 13,333,333
Rata-Rata Sebelum Program Rata-Rata Sesudah Program
Sumber: Data sekunder diolah.
Gambar 26 Biaya Transaksi Pembuatan Rencana Kegiatan Pengembangan Pariwisata
Pada kegiatan monitoring dan evaluasi program di kelima kabupaten baik
sebelum adanya kerjasama antar daerah maupun sesudah adanya kerja sama antar
daerah tidak mengalokasikan anggaran untuk kegitan tersebut. Mereka
199
menganggap bahwa kegiatan monev merupakan kegiatan rutin sebagai bagian dari
tupoksi mereka sehingga kegiatan tersebut tidak diperlukan alokasi anggaran
khusus untuk menjalankannya.
Dari berbagai deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa adanya kegiatan
kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB telah dapat mengurangi biaya
transaksi dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah
daerah, khususnya pada kegiatan fasilitasi investasi daerah, pengelolaan
ketenagakerjaan, pengelolaan pertambangan daerah dan pengembangan pariwisata
daerah. Dengan berkurangnya biaya transaksi sebagai akibat dari adanya lembaga
kerjasama antar daerah ini maka keberadaan lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB secara kelembagaan dapat dianggap efisien.
5.4. Format Kelembagaan Yang Tepat Bagi Lembaga Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB 5.4.1. Tahap Dekomposisi
Hasil analisis kinerja kelembagaan kerjasama antar daerah menunjukkan bahwa dari sisi output maupun outcome belum menunjukkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Namun, dari hasil analisis efektivitas dan efisiensi kelembagaan menunjukkan bahwa pembentukan lembaga kerjasama antar daerah dapat dipandang sebagai strategi yang tepat dalam upaya meningkatkan skala ekonomi daerah. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan lembaga kerjasama antar daerah yang telah dibentuk. Kesalahan pengelolaan lembaga ini sangat terkait dengan aspek kelembagaan berupa aturan main yang ditetapkan sehingga berpengaruh terhadap kemampuan pengelolaan dari lembaga tersebut. Untuk memperbaikinya diperlukan adanya perubahan format kelembagaan baru dari lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB agar dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.
Perubahan format kelembagaan dimaksudkan agar lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dapat meningkatkan fungsinya sehingga dapat bekerja dengan optimal dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Merumuskan format kelembagaan baru merupakan permasalahan yang kompleks karena menyangkut berbagai pilihan siapa pelaku yang tepat untuk mengelola lembaga kerjasama antar daerah, prioritas tujuan mana yang hendak
200
dicapai serta pilihan strategi berupa bentuk lembaga seperti apa yang hendak dipilih untuk mewadahi kegiatan kerjasama antar daerah.
Dengan menggunakan metode AHP masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat disederhanakan dalam bentuk hierarkhi. Dalam upaya merumuskan format kelembagaan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dapat disederhanakan dalam bentuk hirarkhi dengan struktur sebagaimana dapat dilihat pada gambar 6 (lihat Bab III Metode Penelitian).
Rumusan format kelembagaan kerjasama antar daerah tersebut didasarkan
pada kenyataan bahwa kelembagaan kerjasama antar daerah kurang berfungsi
dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Agar tujuan di atas dapat
dicapai maka dibutuhkan pelaku yang tepat dalam menjalankan roda organisasi
lembaga kerjasama antar daerah. Ada tiga kelompok yang dianggap relevan
sebagai pelaku yang menjalankan kelembagaan kerjasama antar daerah yaitu
birokrasi pemerintah, tenaga profesional, dan campuran dari tenaga profesional
dan birokrasi pemerintah.
Berdasarkan tiga kelompok pelaku tersebut, dirumuskan beberapa kriteria
berupa tujuan yang hendak dicapai dari peningkatan kelembagaan kerjasama antar
daerah. Berbagai tujuan tersebut adalah mengurangi terjadinya eksternalitas,
meningkatkan efisiensi pembiayaan pembangunan, meningkatkan kegiatan
pelayanan publik dan yang terakhir adalah hanya untuk kepentingan politik
semata. Dari berbagai kriteria tersebut maka dapat dirumuskan beberapa alternatif
strategi kebijakan pembentukan lembaga kerjasama antar daerah yang dapat
berupa antara lain: lembaga forum koordinasi antar daerah, lembaga sekretariat
bersama, lembaga kerjasama antar daerah yang bersifat otonom, dan lembaga
badan usaha bersama.
5.4.2. Tahap Comparative Judgement
Untuk memperoleh matriks perbandingan berpasangan dilakukan dengan
menanyakan kepada para responden pakar untuk menilai pengaruh relatif setiap
elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria pada hirarkhi yang telah
ditetapkan berdasarkan skala intensitas yang telah ditentukan.
201
Penelitian ini menggunakan 16 (enam belas) responden pakar yang
dianggap mengetahui format kelembagaan yang ideal dari lembaga kerjasama
antar daerah BARLINGMASCAKEB, yaitu (1) Anggota Dewan Eksekutif
BARLINGMASCAKEB dari masing-masing kabupaten anggota yang diwakili
oleh para kepala Bappeda sebanyak lima orang, (2) Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) komisi A Bidang Pemerintahan di masing-masing
kabupaten anggota sebanyak lima orang, (3) Para pengusaha di lima kabupaten
anggota yang tergabung di dalam organisasi Kamar Dagang dan Industri Daerah
(Kadinda) sebanyak lima orang, dan (4) seorang ahli di Bidang Pemerintahan
Daerah dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Berdasarkan hasil kompilasi dari seluruh responden diperoleh matrik
pairwise comparison (perbandingan berpasangan) sebagai berikut:
5.4.2.1. Level Pelaku
Tabel 55 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Pelaku Berdasarkan Fungsi Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah
Pelaku Birokrasi Profesional Campuran
Birokrasi dan Profesional
Birokrasi 1.000 (2.77765) (4.56059)
Profesional (2.50864)
Campuran Birokrasi dan Profesional 1.000
Sumber: Data primer diolah.
5.4.2.2.Level Kriteria/Tujuan Tabel 56 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Kriteria Berdasarkan
Pelaku Birokrasi Kriteria/Tujuan Eksternalitas Efisiensi Pelayanan
Publik Kepentingan Politik
Eksternalitas 1.000 (3.71428) (3.34439) 3.01982
Efisiensi 1.000 1.35877 4.94936
Pelayanan Publik 1.000 4.88698
Kepentingan Politik 1.000 Sumber: Data primer diolah.
202
Tabel 57 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Kriteria Berdasarkan Pelaku Tenaga Profesional
Kriteria/Tujuan Eksternalitas Efisiensi Pelayanan
Publik Kepentingan Politik
Eksternalitas 1.000 (4.50075) (3.64708) 2.62359
Efisiensi 1.000 1.7263 6.1998
Pelayanan Publik 1.000 5.22918
Kepentingan Politik 1.000
Sumber: Data primer diolah.
Tabel 58 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Kriteria Berdasarkan Pelaku Campuran Antara Birokrasi dan Tenaga Profesional
Kriteria/Tujuan Eksternalitas Efisiensi Pelayanan
Publik Kepentingan Politik
Eksternalitas 1.000 (4.53626) (3.68897) 3.26898
Efisiensi 1.000 1.79726 7.44238
Pelayanan Publik 1.000 6.62371
Kepentingan Politik 1.000
Sumber: Data primer diolah.
5.4.2.3. Level Strategi
Tabel 59 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria Mengurangi Terjadinya Ekternalitas
Strategi Forum
Koordinasi Sekretariat Bersama
Lembaga Otonom KSAD
Badan Usaha Bersama
Forum Koordinasi 1.000 (2.978) (5.84881) (1.73773)
Sekretariat Bersama 1.000 (3.97128) (1.13477)
Lembaga Otonom KSAD 1.000 4.13654
Badan Usaha Bersama 1.000 Sumber: Data primer diolah.
203
Tabel 60 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria Peningkatan Efisiensi
Strategi Forum
Koordinasi Sekretariat Bersama
Lembaga Otonom KSAD
Badan Usaha Bersama
Forum Koordinasi 1.000 (3.25812) (7.36172) (1.81338)
Sekretariat Bersama 1.000 (4.54073) (1.10386)
Lembaga Otonom KSAD 1.000 4.81583
Badan Usaha Bersama 1.000 Sumber: Data primer diolah.
Tabel 61 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan
Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria Peningkatan Pelayanan Publik
Strategi Forum
Koordinasi Sekretariat Bersama
Lembaga Otonom KSAD
Badan Usaha Bersama
Forum Koordinasi 1.000 (3.00979) (6.47571) (1.47581)
Sekretariat Bersama 1.000 (4.48263) 1.08667
Lembaga Otonom KSAD 1.000 5.05945
Badan Usaha Bersama 1.000 Sumber: Data primer diolah.
Tabel 62 Matriks Perbandingan Berpasangan Antar Strategi Pembentukan
Lembaga Kerjasama Antar Daerah Berdasarkan Kriteria Kepentingan Politik
Strategi Forum
Koordinasi Sekretariat Bersama
Lembaga Otonom KSAD
Badan Usaha Bersama
Forum Koordinasi 1.000 (2.48389) (4.18069) (1.45051)
Sekretariat Bersama 1.000 (2.73762) 1.08251
Lembaga Otonom KSAD 1.000 3.2607
Badan Usaha Bersama 1.000 Sumber: Data primer diolah.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan bantuan sofware expert
choice 2000, matrik pairwise comparison (perbandingan berpasangan) gabungan
semua responden pada masing-masing level sebagaimana terlihat pada tabel 54
sampai dengan tabel 61 di atas menunjukkan nilai indeks inconsistency kurang
dari 0.10. Hal ini berarti jawaban responden terhadap pertanyaan yang diajukan
204
cukup konsisten sehingga data yang diperoleh dapat dilanjutkan pada tahapan
analisis.
5.4.3. Tahap Synthesis of Priority
Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan software expert choice
2000, diketahui pilihan prioritas (bobot) dari semua responden pada setiap unsur
hirarakhi yang telah ditentukan sebagai berikut:
Gambar 27 Bobot Prioritas dari Pencapaian Tujuan Peningkatan Fungsi
Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah BARLINGMASCAKEB
5.4.3.1. Pelaku
Terdapat tiga pelaku yang harus diperhatikan untuk dapat mencapai
strategi yang optimal dalam meningkatkan fungsi kelembagaan kerjasama antar
daerah BARLINGMASCAKEB, yaitu; (1) Birokrasi Pemerintah, (2) Tenaga
Profesional, dan (3) Campuran Birokrasi Pemerintah dan Tenaga Profesional.
Berdasarkan hasil analisis dari berbagai pendapat para exspert kelompok pelaku
yang dapat memberikan kontribusi terhadap tujuan yang ingin dicapai terlihat
pada tabel berikut:
Tabel 63 Skala Prioritas Pelaku
No. Pelaku Bobot Prioritas
1. Birokrasi Pemerintah 0,115 3
2. Tenaga Profesional 0,278 2
3. Campuran Birokrasi Pemerintah dengan Tenaga Profesional
0,606 1
Sumber: Data Primer diolah.
205
Tabel di atas menunjukkan bahwa untuk meningkatkan fungsi
kelembagaan kerjasama antar daerah BARLLINGMASCAKEB pilihan para
pelaku yang terlibat dalam menjalankan organisasi tersebut menurut para
responden paling utama harus dilakukan oleh tenaga campuran dari birokrasi
pemerintah dan tenaga profesional. Dari hasil wawancara mendalam (dept
interview) dengan para responden ada berbagai pertimbangan mengapa mereka
lebih memilih tenaga campuran birokrasi pemerintah dengan tenaga profesional
sebagai pelaku yang menjalankan lembaga kerjasama antara daerah sebagaimana
tergambar pada deskripsi berikut.
Mereka beranggapan apabila tenaga birokrasi pemerintah sebagai
pelakunya, maka banyak kelemahan yang akan muncul sehingga berpotensi
membuat organisasi tidak akan dapat mencapai tujuan secara optimal. Berbagai
kelemahan tersebut antara lain organisasi akan terjebak pada berbagai aturan yang
bersifat rigid dan berbelit-belit sebagaimana ciri khas aturan main dari lembaga
birokrasi. Padahal keberadaan lembaga kerjasama antar daerah ini diharapkan
mampu melakukan berbagai terobosan dengan melakukan lobi-lobi ke berbagai
stakeholdres seperti; pemerintah pusat, pemerintah provinsi, para pengusaha dan
berbagai asosiasi yang ada di masyarakat guna menunjang pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan. Kelemahan birokrasi pemerintah yang cenderung bersifat lambat
dalam merespon berbagai perubahan yang ada, bahkan ada yang menganggap
birokrasi cenderung korup dianggap tidak mampu membawa perubahan yang
lebih baik apabila diserahi untuk mengelola lembaga kerjasama antar daerah.
Namun demikian, ada sisi baik dari birokasi pemerintah ini apabila mereka
mengelola lembaga kerjasama antar daerah, yaitu mereka memiliki sumberdaya
manusia (SDM) yang mumpuni secara teknis serta memiliki sumberdaya
keuangan yang cukup dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan
di daerah sebagaimana yang telah mereka hadapi sehari-hari.
Sementara itu, apabila pelaku diserahkan kepada tenaga profesional,
mereka dipandang memiliki kemampuan lobi ke berbagai stakeholders yang
dibutuhkan sebagaimana gerak langka organisasi perusahaan yang lebih
mementingkan keuntungan sebagai pencapaian tujuannya. Namun, pelaku dari
tenaga profesional ini memiliki kekurangan berupa; (1) keterbatasan sumberdaya
206
manusia yang memiliki kemampuan teknis dalam menyelesaikan berbagai
persoalan pembangunan antar daerah, (2) ketidakmampuan melakukan koordinasi
dengan perangkat daerah di kabupaten anggota dalam menjalankan berbagai
kegiatannya.
Menimbang berbagai kekuatan dan kelemahan pelaku dari birokrasi
pemerintah dan tenaga profesional di atas, sebagian besar responden lebih
memilih pelaku dari tenaga campuran antara birokrasi pemerintah dengan tenaga
profesional sebagai pilihan utama pelaku yang menjalankan organisasi lembaga
kerjasama antar daerah. Pilihan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa lembaga
kerjasama antar daerah diharapkan dapat bertindak gesit sebagaimana organisasi
perusahaan dalam melakukan lobi-lobi ke berbagai stakeholders yang diperlukan
serta mampu mengantisipasi berbagai perubahan yang mungkin terjadi pada
lingkungannya. Di samping itu, lembaga kerjasama antar daerah juga diharapkan
memiliki pelaku yang secara teknis menguasai berbagai permasalahan
pembangunan antar daerah serta memiliki kemampuan melakukan koordinasi
dengan pemerintah daerah kabupaten anggota dalam menjalankan program
kegiatannya.
5.4.3.2. Kriteria
Hasil penilaian bobot kriteria/tujuan tidak ditunjukkan oleh software
expert choice secara langsung. Expert choice hanya menampilkan bobot
kriteria/tujuan per matriks aktor. Bobot kriteria/tujuan diintegrasikan dengan cara
mengalikan matriks nilai eigen dari kriteria/tujuan dengan matrik bobot aktor.
Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 64 Penghitungan Nilai Bobot Kriteria dan Skala Prioritas Kriteria
Kriteria/pelaku Birokrasi Profesional Campuran Kriteria
Terbobot Priori
tas 0.115 0.278 0.606 Mengurangi Eksternalitas 0.139 0.118 0.118 0.120 3 Meningkatkan Efisiensi 0.434 0.485 0.493 0.483 1 Meningkatkan Pelayanan Publik 0.360 0.336 0.339 0.340 2 Kepentingan Politik 0.067 0.061 0.050 0.055 4
Sumber: Data Primer diolah.
207
Tujuan dari peningkatan fungsi kelembagaan kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB adalah: (1) mengurangi terjadinya eksternalitas antar
kabupaten anggota, (2) meningkatkan efisiensi pembangunan, (3) meningkatkan
pelayanan publik bagi masyarakat, dan (4) untuk kepentingan politik. Berdasarkan
hasil analisis sebagaimana terlihat pada tabel di atas diketahui bahwa responden
lebih menganggap penting bahwa tujuan meningkatkan efisiensi pembangunan
lebih diutamakan, kemudian tujuan meningkatkan pelayanan publik, setelah itu
tujuan mengurangi terjadinya eksternalitas, dan terakhir baru tujuan untuk
kepentingan politik.
Pilihan prioritas pertama berupa tujuan meningkatkan efisiensi didasarkan
atas pertimbangan bahwa sebagian besar responden berpendapat bahwa tujuan
pembentukan lembaga kerjasama antar daerah dimaksudkan untuk meningkatkan
skala ekonomi daerah. Sementara itu, masing-masing daerah yang bekerjasama
memiliki keterbatasan sumberdaya ekonomi maupun biaya sehingga dengan
bekerjasama masing-masing daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
biaya pembangunan yang harus dikeluarkan. Dengan demikian, dengan
mengeluarkan besaran biaya pembangunan yang sama di masing-masing daerah
apabila bekerjasama akan dapat menghasilkan output pembangunan yang lebih
besar jika dibandingkan dengan apabila mereka tidak saling bekerjasama.
Tujuan meningkatkan pelayanan publik menjadi prioritas ke dua yang
dipilih oleh para responden. Tujuan ini tidak menjadi isu utama yang harus
dicapai dalam konteks kerjasama antar daerah karena sebagian responden
menganggap bahwa aspek pelayanan publik yang menyangkut lintas batas
wilayah kabupaten/kota bukan menjadi bidang tugas dari lembaga kerjasama antar
daerah tetapi seharusnya menjadi bidang tugas dari lembaga Badan Koordinasi
Pembangunan Lintas Wilayah Kabupaten/Kota (Bakorlin) di tingkat provinsi.
Mengurangi eksternalitas menjadi tujuan peningkatan fungsi kelembagaan
kerjasama antar daerah pada prioritas ke tiga. Hal ini disebabkan karena peluang
terjadinya eksternalitas di antara kabupaten anggota tidak terlalu menonjol
sehingga mengurangi terjadinya eksternalitas tidak dipandang sebagai prioritas
utama tujuan dari lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB.
208
Sedangkan tujuan kepentingan politik menjadi prioritas ke empat dari
peningkatan fungsi kelembagaan kerjasama antar daerah. Tujuan ini relatif tidak
dianggap penting dan menjadi pilihan dari responden karena mereka menganggap
bahwa tidak ada kepentingan politik apapun yang perlu dicapai melalui kerjasama
antar daerah. Kerjasama antar daerah menurut mereka dibentuk atas dasar untuk
kepentingan meningkatkan pertumbuhan dan skala ekonomi daerah.
5.4.3.3. Strategi
Ada empat strategi pembentukan format kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan fungsi
kelembagaan kerjasama antar daerah, yaitu; (1) Membentuk Lembaga Forum
Koordinasi Antar Daerah, (2) Membentuk Lembaga Sekretariat Bersama Antar
Daerah, (3) Membentuk Lembaga Otonom Kerjasama Antar Daerah, dan (4)
Membentuk Badan Usaha Bersama Antar Daerah.
Dari hasil analisis, menurut berbagai pendapat expert strategi
pembentukan format kerjasama antar daerah yang dianggap dapat lebih
meningkatkan fungsi kelembagaan kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 65 Skala Prioritas Strategi
No. Strategi Pembentukan Lembaga KSAD Bobot Prioritas
1. Forum Koordinasi 0,076 4
2. Sekretariat Bersama 0,168 2
3. Lembaga Otonom 0,615 1
4. Badan Usaha Bersama 0,141 3
Sumber: Data Primer diolah.
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa pembentukan format kerjasama
antar daerah dalam bentuk lembaga otonom kerjasama antar daerah menjadi
strategi utama yang dipilih oleh para expert untuk meningkatkan fungsi
kelembagaan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB. Lembaga otonom
kerjasama antar daerah adalah badan yang dibentuk secara khusus untuk
mengelola kegiatan kerjasama antar daerah. Lembaga ini berdiri sendiri dan tidak
melekat pada struktur birokrasi pemerintah daerah. Lembaga ini juga bukan
merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di tingkat pemerintah
209
kabupaten anggota. Sebagai lembaga yang bersifat otonom badan ini haruslah
bersifat quasi eksekutif, quasi legislatif dan quasi yudikatif. Artinya lembaga ini
harus dapat membuat peraturan, melaksanakan peraturan dan dapat menyelesaikan
perselisihan internal pada tingkat pertama. Lembaga kerjasama antar daerah yang
bersifat otonom struktur organisasinya harus mengandalkan pada mekanisme
kerja yang bersifat hierarkhis. Meskipun antar kabupaten anggota memiliki
kesetaraan, namun agar lembaga kerjasam antar daerah yang dibentuk dapat
menjalankan fungsinya secara optimal dibutuhkan kerelaan dari para pimpinan
daerah kabupaten anggota untuk mendelegasikan kewenangannya secara penuh
kepada pengelola lembaga kerjasama antar daerah ini agar dapat merumuskan
tujuan kerjasama secara lebih spesifik berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat,
membuat aturan main kerjasama dengan jelas, misalnya masing-masing kabupaten
harus berbuat apa dan mendapatkan apa, serta dapat menetapkan mekanisme
pemberian sanksi bagi anggota yang melanggar kesepakatan. Tanpa adanya
kewenangan yang bersifat hierarkhis semacam ini maka lembaga kerjasama antar
daerah tersebut tidak akan dapat bekerja secara optimal.
Secara konseptual keberadaan lembaga kerjasama antar daerah yang
bersifat otonom akan mudah untuk dibentuk apabila kewenangan otonomi daerah
ada pada tingkat provinsi dan bukan pada tingkat kabupaten/kota. Pemberian
otonomi pada tingkat kabupaten/kota berarti memberikan kewenangan kepada
para bupati dan walikota untuk mengelola potensi sumberdaya ekonomi di daerah
masing-masing. Akibatnya ketika antar kabupaten/kota harus bekerjasama untuk
mengelola potensi sumberdaya ekonomi tersebut secara bersama, kewenangan
tersebut akan akan sulit untuk didelegasikan kepada pihak lain dalam
mengelolanya. Oleh karena itu, apabila otonomi daerah berada pada tingkat
kabupaten/kota maka efektivitas lembaga kerjasama antar daerah akan sulit untuk
dapat dicapai.
Idealnya pemberian otonomi daerah berada pada tingkat provinsi. Jika hal
ini dilakukan maka pemerintahan kabupaten/kota berada di bawah kendali
pemerintah provinsi atau gubernur. Apabila otonomi ada ditingkat provinsi maka
pengelolaan potensi sumberdaya ekonomi yang ada di wilayah kabupaten/kota
tidak sepenuhnya berada di bawah kewenangan bupati/walikota, tetapi gubernur
210
sebagai kepala daerah provinsi juga memiliki kewenangan untuk ikut mengatur
pengelolaan potensi sumberdaya ekonomi tersebut. Oleh karena itu, apabila ada
kerjasama antar daerah yang dibentuk dengan tujuan untuk mengelola potensi
sumberdaya ekonomi secara bersama yang keberadaannya di wilayah
kabupaten/kota, pengelolaannya akan jauh lebih mudah unutk dilakukan, karena
lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuk akan dapat menggunakan struktur
organisasi yang bersifat hierarkhi dengan otoritas sentral berada pada tangan
gubernur. Dengan kata lain, penerapan lembaga kerjasama antar daerah yang
bersifat otonom akan lebih mudah untuk dilakukan apabila pemberian otonomi
daerah berada pada tingkat pemerintah provinsi dari pada di tingkat pemerintah
kabupaten/kota.
Pilihan format lembaga otonom kerjasama antar daerah apabila dapat
dijalankan dengan benar akan dapat memberikan implikasi pada peningkatan
fungsi kelembagaan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB. Hal ini
disebabkan karena format kerjasama dalam bentuk lembaga otonom kerjasama
antar daerah memiliki kewenangan, lingkup otoritas dan pola relasi yang dapat
mendorong peningkatan kinerja dari lembaga tersebut.
Ada empat kewenangan yang seharusnya dijalankan kelembagaan
kerjasama antar daerah dalam bentuk “Lembaga Otonom Kerjasama Antar
Daerah”, berupa; (1) information networks; yaitu forum yang berfungsi sebagai
pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi potensial atas masalah-
masalah bersama, (2) developmental networks; yaitu adanya keterlibatan anggota
yang lebih tinggi, tidak hanya sekedar pertukaran informasi tetapi dikombinasikan
dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung meningkatkan kapasitas
informasi daerah untuk melaksanakan solusi atas masing-masing persoalannya,
(3) outreach networks; yaitu jaringan antar daerah lebih solid dengan adanya
program strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan dilaksanakan di
daerah lain, dan (4) action networks; yaitu daerah secara bersama-sama membuat
serangkaian program aksi bersama yang dijalankan oleh masing-masing daerah
sesuai dengan proporsi dan kemampuannya masing-masing. Dengan empat
kewenangan ini maka lembaga otonom kerjasama antar daerah mampu melakukan
211
aksi bersama antar anggota dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi
oleh anggotanya.
Regional Management (RM) BARLINGMASCAKEB sebagai lembaga
pelaksana dari kerjasama antar daerah secara struktur memiliki bentuk sebagai
lembaga otonom, namun secara fungsi tidak menjalankan ke empat kewenangan
yang seharusnya dimiliki oleh lembaga kerjasama dalam bentuk lembaga otonom.
RM BARLINGMASCAKEB sebagai pelaksana dari lembaga kerjasama antar
daerah seharusnya bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan fungsi information
networks, developmental networks, outreach networks, dan action networks dari
para anggotanya. Namun dalam kenyataannya kewenangan yang dijalankan tidak
sampai pada pelaksanaan fungsi action networks.
Regional Management sebagai lembaga tempat berkumpulnya para bupati
dari lima kabupaten lebih sering hanya dijadikan tempat untuk melakukan sharing
informasi mengenai permasalahan daerah yang dapat dikerjasamakan. Sedangkan
tindak lanjut dari kegiatan sharing informasi dengan melakukan pengembangan
kapasitas aparat di daerah masing-masing untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan yang ada serta melakukan benchmarking ke sesama kabupaten
anggota dengan mencontoh cara penyelesaian permasalahan yang pernah muncul
di kabupaten lain beberapa kali pernah dilakukan tetapi dengan intensitas yang
sangat kurang. Sedangkan tahapan aktivitas melakukan aksi bersama (collective
action) dari para anggota untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi
secara bersama tidak pernah dilakukan. Upaya penyelesaian berbagai
permasalahan bersama yang dilakukan oleh Regional Manager melalui berbagai
progam kerja yang telah ditetapkan dilakukan tanpa melibatkan aparat pemerintah
di kabupaten anggota. Hasilnya menjadi tidak efektif karena berbagai program
kerja yang dilaksanakan oleh Regional Manager tidak sejalan dengan program
kerja yang ada di SKPD di masing-masing kabupaten anggota.
Dengan format kelembagaan baru dalam bentuk lembaga otonom dengan
pelaku berasal dari tenaga campuran antara birokrasi pemerintah dengan tenaga
profesional diharapkan lembaga otonom ini dapat menjalankan ke empat
kewenangan sebagaimana disebut di atas. Kinerja lembaga kerjasama diharapkan
akan bisa efektif karena pelaksana teknis dari kegiatan kerjasama antar daerah
212
dilakukan dengan melibatkan SKPD terkait yang relevan. Sedangkan lembaga
otonom kerjasama antar daerah lebih berfungsi sebagai lembaga supporting dan
lembaga tink tank untuk membantu kabupaten anggota dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang dikerjasamakan.
Format kelembagaan dalam bentuk lembaga otonom kerjasama antar
daerah juga memiliki lingkup otoritas yang kuat dalam bentuk pengaturan yang
ketat terhadap anggota dengan sanksi yang tegas bagi yang melanggar
kesepakatan. Adanya lingkup otoritas yang demikian akan membuat
keberlangsungan lembaga kerjasama antar daerah akan lebih terjaga. Dengan
lingkup otoritas yang kuat akan mendorong masing-masing daerah terutama para
pimpinan daerahnya untuk lebih memiliki komitmen yang kuat terhadap
keberlangsungan lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuknya.
Pada saat ini lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB
tidak memiliki lingkup otoritas yang kuat. Ketidaktaatan anggota terhadap
kesepakatan yang dibuat tidak pernah diselesaikan dengan penegakan aturan
karena memang aturan mengenai sanksi bagi anggota yang melanggar
kesepakatan tidak pernah dibuat. Dengan format kelembagaan yang baru perlu
dibuat aturan main yang jelas berkaitan dengan hak dan kewajiban serta aturan
sanksi yang tegas bagi anggota yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat.
Menegakkan lingkup otoritas yang kuat memang sulit untuk dilakukan. Tetapi
apabila lembaga kerjasama antar daerah telah memiliki kinerja yang baik dan
semua anggota telah dapat merasakan manfaat dari adanya lembaga kerjasama
antar daerah tersebut maka penegakan otoritas tidak akan sulit untuk dilakukan.
Lembaga kerjasama antar daerah dalam bentuk lembaga yang otonom
mensyaratkan adanya pola relasi dalam bentuk pelibatan anggota yang tinggi
dalam upaya memecahkan permasalahan bersama. Dengan pola relasi yang seperti
ini memungkinkan semua kabupaten anggota akan terlibat di dalam setiap
kegiatan yang dilakukan oleh lembaga kerjasama antar daerah. Keterlibatan di
dalam setiap aktivitas kerjasama dapat digunakan untuk menilai apakah aktivitas
yang dilakukan oleh lembaga kerjasama antar daerah telah mengarah pada upaya
penyelesaian masalah yang dihadapi secara bersama serta apakah masing-masing
213
daerah anggota telah merasakan manfaat secara bersama dari adanya lembaga
kerjasama antar daerah tersebut.
Dalam prakteknya lembaga kerjasama antar daerah
BARLINGMASCAKEB tidak memiliki pola relasi yang tinggi antar anggotanya.
Tidak terintegrasinya program kerja yang dijalankan oleh lembaga kerjasama
antar daerah dengan program kerja yang ada di tingkat SKPD menunjukkan
bahwa pelibatan anggota dalam pencapaian tujuan kerjasama sangat rendah.
Aparat pemerintah daerah di masing-masing kabupaten anggota tidak pernah
merasa beranggapan bahwa tujuan kerjasama akan dapat dicapai apabila mereka
terlibat di dalamnya. Ketika kinerja dari lembaga kerjasama antar daerah tidak
tercapai sebagaimana yang diharapkan, mereka justru melakukan kritik terhadap
pengelola lembaga kerjasama dan menganggap pengelola tidak dapat bekerja
dengan baik.
Dengan adanya format kelembagaan yang baru dalam bentuk lembaga
otonom, pelibatan anggota terhadap berbagai aktivitas kerjasama akan menjadi
tinggi. Pilihan pelaku dari lembaga kerjasama yang berasal dari tenaga campuran
antara birokrasi pemerintah dan tenaga profesional diharapkan dapat menjamin
pola relasi yang tinggi dari para anggota terhadap kegiatan dan keberlangsungan
dari lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB. Dengan adanya
kewenangan, lingkup otoritas dan pola relasi sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas penerapan format kelembgaan kerjasama antar daerah dalam bentuk lembaga
otonom diharapkan dapat meningkatkan fungsi kelembagaan kerjasama antar
daerah BARLINGMASCAKEB dimasa yang akan datang.