VAKSIN BIVALEN UNTUK PENCEGAHAN
PENYAKIT MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA
DAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA
(Oreochromis niloticus)
DESY SUGIANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Vaksin Bivalen untuk
Pencegahan Penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis pada
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2012
Desy Sugiani
NIM C161090081
ABSTRACT
DESY SUGIANI. Bivalent vaccine for Motile Aeromonas Septicemia and
Streptococcocis in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). Under direction of
SUKENDA, ENANG HARRIS, and ANGELA M. LUSIASTUTI.
Etiological agents of common fish diseases are the Gram-negative
Aeromonas hydrophila and the Gram-positive Streptococcus agalactiae, both are
considered severe fish pathogens on account of their ability to cause damaging
disease outbreaks in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). The occurence of co-
infections between A. hydrophila and S. agalactiae at Waduk Cirata was about
20% per populations. Clinical signs appeared soon after infection, and include
depression or excitability, anorexia, C-shaped body posturing, erratic swimming
and whirling, and death. Aeromonas hydrophila and S. agalactiae cultures were
not able to inhibit each other and showed negative results from antimicrobial
activity, both are succeptible to antibitoics Tetracycline and Chloramphenicol.
Nile Tilapia also were clinically examined and necropsied for histopathology,
samples were taken from kidney, brain, liver, and spleen. Histopathological
lesions were grouped into two characteristic patterns. The first pattern consisted
focal lesion and inflammation. The second pattern consisted of multifocal lesion,
necrotic, and inflammatory lesions resulting organ deformation. The mortality
patterns of Nile Tilapias showed acute and chronic infections to Motile
Aeromonas Septicemia, sub-acute infection to Streptococcocis. There was a
homeostatic balances on hematological respons during co-infection. Aeromonas
hydrophila AHL0905-2 and Streptococcus agalactiae N14G, were used as an
inactivated A. hydrophila and S. agalactiae vaccine. Different vaccine
preparations and formulations for vaccination of Nile Tilapia species were tried
by adding neutral buffered formalin 3% to the bacterial culture (bacterin). The
safety of formalin inactivated vaccine is still questionable by some aquaculture
practitioners, but the sterility and safety test results of the bivalent vaccine was
safe to use through intraperitoneal injection route. An antibody response was
detected at the 1st week that rose significantly (p<0.05) at the 3
th week post
immunization in all the immunized groups. Similarly, there were significant
difference (p<0.05) in the humoral immune response between groups immunized
with single and mixed bacterial antigens. Upon challenge with single pathogen, a
high relative percent survival was recorded in the group immunized with mixed
bacterial antigens and was comparable to those fish immunized with the single
bacteria. The value of relative per cent survival from bivalent vaccine mixed
whole cell+ECP was 100% and 86.2% to single infections and 56.7% to co-
infections, indicate that this vaccine was eficient in Nile Tilapia.
Key Words : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, co-infection, monovalent
vaccine, bivalent vaccine, immune response, RPS
RINGKASAN
DESY SUGIANI. Vaksin Bivalen untuk Pencegahan Penyakit Motile Aeromonas
Septicemia dan Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Dibimbing oleh SUKENDA, ENANG HARRIS, dan ANGELA M.
LUSIASTUTI.
Kasus kematian ikan akibat infeksi bakteri Aeromonas sp. dan
Streptococcus sp. menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila
(Oreochromis niloticus) di Indonesia. Timbulnya penyakit akibat infeksi Motile
Aeromonas Septicemia (MAS) dan Streptococcosis tersebut dapat terjadi karena
rendahnya ketahanan tubuh ikan, lingkungan pemeliharaan yang buruk, serta
manajemen pemberian pakan yang tidak baik. Kedua jenis penyakit ini
menyebabkan masalah pada budidaya ikan dan mengakibatkan kerugian ekonomi
karena terjadi kematian ikan yang tinggi dan menurunnya kualitas produk
perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik masing-
masing antigen secara in vitro, menganalisis patogenesis secara in vivo, serta
mengkaji efektifitas dan efikasi vaksin bivalen gabungan dari bakterin Aeromonas
hydrophila dan Streptococcus agalactiae dalam menghasilkan respons imun pada
ikan Nila. Lima tahapan penelitian dirancang untuk membantu pengambilan
keputusan.
Pertama, melakukan kajian ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae:
keberadaan, daya tumbuh in-vitro, sensitifitas antibiotik, dan gambaran
histopatologi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bakteri A. hydrophila dan
Streptococcus sp. menyebabkan wabah penyakit MAS dan Streptococcosis yang
menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila di Indonesia.
Keberadaan kejadian ko-infeksi antara bakteri A. hydrophila dengan S. agalactiae
pada ikan Nila di KJA Waduk Cirata sebesar 20%. Uji kerentanan ikan Nila
terhadap kedua jenis penyakit ini dilakukan secara in-vitro dan in-vivo untuk
melihat kompetisi antigen dan ko-infeksi dari kedua jenis bakteri penyebab
penyakit. Hasil uji pertumbuhan bakteri untuk melihat kompetisi antigen pada
media cair maupun media padat menunjukkan bahwa kedua jenis bakteri ini dapat
tumbuh bersinergi (tidak saling menghambat). Bakteri A. hydrophila dan S.
agalactiae bersifat rentan terhadap antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol. Hasil
histopatologi organ ginjal, otak, hati, dan limpa memperlihatkan dua pola karakter
luka. Pola pertama, luka yang fokal sampai terlihat adanya inflamasi dan
perdarahan. Pola kedua, luka yang multifokal, luka parah, nekrotik, dan luka
inflamasi yang mengakibatkan deformasi sel-sel organ.
Kedua, menganalisis karakteristik hasil ko-infeksi buatan dari penyakit
MAS dan Streptococcosis dapat dilihat dengan menggunakan parameter gambaran
hematologi. Hasil pengujian ko-infeksi melalui injeksi pada ikan Nila
menggunakan dosis mematikan (LD100) dan dosis mematikan (LD50)
menyebabkan kematian bervariasi antara 20-90% dalam waktu 2-12 hari masa
inkubasi. Bakteri A. hydrophila lebih mematikan untuk ikan Nila pada dosis tinggi
(LD100) dibanding dengan bakteri S. agalactiae, hal ini diduga karena adanya
endotoksin yang dimiliki bakteri A. hydrophila yang bersifat toksik mematikan
(lethal toxic). Pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi
Streptococcosis bersifat sub-akut, sedangkan infeksi MAS bersifat akut dan
kronis. Perubahan pertahanan non spesifik ikan terhadap infeksi patogen dilihat
dengan mengamati level hematokrit, neutrofil, limfosit, monosit, dan indeks
fagositik darah ikan Nila yang diambil dari arteri caudalis pada hari ke-3, ke-6,
ke-9, ke-12, dan ke-15 setelah infeksi. Hasil analisis perubahan limfosit lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol, level hematokrit dan level neutrofil lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol, dan level monosit dan indeks fagositik
fluktuatif selama masa perlakuan memperlihatkan adanya homeostasi gambaran
darah ikan terhadap serangan infeksi antigen.
Ketiga, membuat sediaan vaksin inaktif dari isolat bakteri A. hydrophila
AHL0905-2 dan S. agalactiae N14G dengan menambahkan 3% bufer formalin
kedalam biakan broth bakterin dan diinkubasi selama 24 jam. Kualitas produk
vaksin dikontrol dengan melakukan uji keamanan, sterilitas, dan karakter protein
penyusun dari sediaan vaksin. Hasil karakterisasi protein menggunakan SDS-
PAGE menunjukkan bahwa bakteri A. hydrophila sel utuh memiliki empat belas
pita, dua pita dari produk ektraselular, tiga pita pada sediaan crude supernatan,
dan tujuh pita dari sediaan broth. Sediaan sel utuh S. agalactiae memiliki sepuluh
pita, dua pita produk ekstraselular, tiga pita sediaan crude supernatan, dan empat
pita sediaan broth. Residu formalin pada sediaan vaksin sel utuh sebesar 0,147
ppm, produk ekstraselular (ECP) 1,01 ppm, dan campuran sel utuh+ECP 0,702
ppm. Inaktifasi sediaan vaksin menggunakan formalin masih dipertanyakan
keamanannya oleh beberapa praktisi akuakultur, akan tetapi hasil uji sterilitas dan
keamanan vaksin bivalen dari penelitian ini aman untuk digunakan melalui injeksi
intra peritoneal pada ikan Nila.
Keempat, menganalisis respons imun terhadap campuran sel utuh dan
ekstraselular antigen A. hydrophila dan S. agalactiae sebagai ukuran keberhasilan
vaksinasi ikan Nila dengan vaksin monovalen dan bivalen. Analisis imunologi
dan respons imun dalam aktifitas bakterisidal serum dapat dijadikan komponen
untuk melihat viabilitas patogen dalam inang yang ditunjukkan melalui aktifitas
respiratory burst, lisosim, komplemen, dan antibodi. Ikan Nila divaksin dengan
vaksin monovalen A. hydrophila, monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh,
bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan, bivalen broth, dan
kontrol. Parameter respons imun diukur setiap minggu selama 3 minggu
pemeliharaan setelah vaksinasi. Titer antibodi terdeteksi setelah satu minggu
pemeliharaan pascavaksinasi, nilai titer antar perlakuan vaksin bivalen dengan
vaksin monovalen dan kontrol berbeda nyata (P<0,05). Vaksin monovalen dapat
meningkatkan respons imun spesifik dan non spesifik lebih baik jika
dibandingkan dengan vaksin bivalen untuk proteksi bakteri homolog. Sedangkan
untuk proteksi terhadap bakteri heterolog vaksin bivalen sel utuh dan sel
utuh+ECP memberikan respons imun spesifik maupun non spesifik terbaik jika
dibandingkan dengan vaksin monovalen A. hydrophila maupun vaksin monovalen
S. agalactiae.
Kelima, melihat peningkatan respons antibodi pascavaksinasi dengan
antigen tunggal dan campuran dari bakterin A. hydrophila and S. agalactiae untuk
meningkatkan daya tahan ikan Nila terhadap penyakit MAS dan Streptococcosis.
Sediaan vaksin dibuat dengan metode pembuatan dan formula yang berbeda, yaitu
proses inaktifasi dilakukan dengan menambahkan 3% bufer formalin (NBF 10%)
pada biakan bakteri dalam media tumbuh BHI dan TSB. Vaksinasi diberikan
melalui injeksi intraperitoneal dengan sediaan vaksin monovalen dan bivalen (sel
utuh, produk ektraselular/ECP, crude supernatan, campuran sel utuh+ECP, dan
broth). Uji tantang dilakukan menggunakan dosis LD50 infeksi tunggal maupun
ko-infeksi dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Efektifitas dan keampuhan
vaksin tersebut dihitung berdasarkan nilai RPS (Relative Percent Survival) dan
hasil deteksi respons hematologi. Nilai RPS vaksin bivalen campuran sel
utuh+ECP mencapai 100 untuk uji tantang dengan A. hydrophila dan 56,7 pada
uji tantang ko-infeksi. Vaksin monovalen A. hydrophila maupun S. agalactiae
hanya mampu memproteksi terhadap bakteri homolog, tidak terjadi proteksi
silang diantara keduanya.
Kata kunci : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae , ko-infeksi, vaksin
monovalen, vaksin bivalen, respons imun, RPS
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VAKSIN BIVALEN UNTUK PENCEGAHAN
PENYAKIT MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA
DAN STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA
(Oreochromis niloticus)
DESY SUGIANI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup :
Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan
Dr. Sri Nuryati, S.Pi, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. I Nyoman Adiasmara Giri, M.Sc.
Dr. Munti Yuhana, S.Pi, M.Si.
.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2011 - Februari 2012 ini adalah
Vaksin Bivalen untuk Pencegahan Penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan
Streptococcosis pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus).
Desertasi ini memuat 5 bab yang merupakan pengembangan dari naskah
artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 1-2 berjudul Pengaruh ko-infeksi
bakteri Aeromonas hydrophila dengan Streptococcus agalactiae terhadap
gambaran hematologi dan histopatologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) akan
diterbitkan (Jurnal Riset Akuakultur – JRA Vol. 7 No. 1 Tahun 2012) dan Bab 3-5
Vaksinasi ikan Nila (Oreochromis niloticus) menggunakan vaksin monovalen dan
bivalen untuk pencegahan penyakit MAS dan Streptococcosis akan diterbitkan
(Jurnal Riset Akuakultur – JRA).
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sukenda, M.Sc; Prof. Dr. Ir.
Enang Harris, MS; Dr. drh. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si selaku pembimbing
yang memberi saran dan masukan. Terimakasih penulis ucapkan kepada
Kementrian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa periode
Agustus 2009 – Juli 2012. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Ir. Oman Komarudin, MSc; Ir. Taukhid, MSc; drh. Uni Purwaningsih; Tuti
Sumiati, SPi; Reza Samsudin, SPi, MSi; Bambang Priadi; Edy Farid Wadjdy;
Mikdarullah; Ahmad Wahyudi; serta seluruh staf peneliti dan karyawan-karyawati
lingkup Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar yang telah
membantu selama pengumpulan data dan memberi masukan dalam penulisan
ilmiah. Terimakasih untuk teman AKU 2009 semoga kerjasama kita tetap terjalin,
selamat kembali bertugas ke institusi masing-masing. Ungkapan terimakasih juga
disampaikan kepada Bapak H. Inan; Ibu Hj. Supriati Warno; Sutikno SE; Putri
Aqila Fathiyah; Queena Azka Mazaya; serta seluruh keluarga atas doa dan
motivasi yang selalu memberikan semangat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2012
Desy Sugiani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 08 Desember 1979 sebagai anak
tunggal dari pasangan H. Inan dan Hj. Supriati Warno. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro pada tahun 1997 dan lulus
pada tahun 2001. Pendidikan Magister ditempuh di Program Studi Ilmu Perairan,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 dan lulus pada
tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program
Studi Ilmu Akuakultur IPB diperoleh dari program beasiswa KKP pada tahun
2009.
Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan
sejak tahun 2005, ditempatkan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Air Tawar, Bogor. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti
adalah kesehatan ikan.
Karya ilmiah berjudul Kerentanan Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
terhadap serangan ko-infeksi Streptococcosis dan MAS telah disajikan dan masuk
makalah Prosiding Seminar Nasional di Universitas Gajahmada Yogyakarta pada
bulan Juli 2011. Artikel berjudul Pengaruh ko-infeksi bakteri Aeromonas
hydrophila dengan Streptococcus agalactiae terhadap gambaran hematologi dan
histopatologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) telah disajikan di Seminar Forum
Inovasi dan Teknologi Akuakultur FITA Bali pada bulan Juli 2011, dan akan
diterbitkan pada Jurnal Riset Akuakultur Vol. 7 No. 1 Tahun 2012. Artikel
berjudul Vaksinasi ikan Nila (Oreochromis niloticus) menggunakan vaksin
monovalen dan bivalen untuk pencegahan penyakit MAS dan Streptococcosis
akan diterbitkan pada Jurnal Riset Akuakultur JRA. Sedangkan artikel dengan
judul Respons imun ikan Nila, Oreochromis niloticus, terhadap vaksin bivalen sel
utuh dan ekstraselular antigen Aeromonas hydrophila dan Streptococcus
agalactiae telah disajikan pada Seminar Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur
FITA-Indoaqua Makasar pada bulan Juni 2012.
Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................
Halaman
xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xxi
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................. 1
Tujuan Penelitian ......................................................................... 4
Manfaat Penelitian ....................................................................... 5
Hipotesis ...................................................................................... 5
Kebaruan (novelty) ....................................................................... 5
Kerangka Berfikir Penelitian ....................................................... 5
2. TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Motile Aeromonas Septikemia (MAS) ......................... 8
Penyakit Streptococcosis ............................................................. 9
Bakteri Aeromonas hydrophila .................................................... 10
Bakteri Streptococcus agalactiae ................................................ 11
Imunologi Ikan ............................................................................. 12
Vaksin pada Ikan ......................................................................... 15
Vaksin Polivalen .......................................................................... 17
Pembentukan Respons Imun Pascavaksinasi................................ 18
3. BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 19
Ikan Uji ........................................................................................ 19
Isolat Bakteri ................................................................................ 19
Vaksin .......................................................................................... 19
Parameter yang Diukur ................................................................ 20
Analisis Data ................................................................................ 21
Alur Pelaksanaan Penelitian ........................................................ 22
4. KO-INFEKSI Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus
agalactiae: KEBERADAAN, DAYA TUMBUH in-vitro,
SENSITIFITAS ANTIBIOTIK, DAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI
Abstrak ......................................................................................... 23
Abstract ........................................................................................ 23
Pendahuluan ................................................................................. 24
Bahan dan Metode ....................................................................... 24
Hasil dan Pembahasan ................................................................. 27
Simpulan dan Saran ..................................................................... 37
xiv
5. PATOGENESIS KO-INFEKSI A. hydrophila DAN S.
agalactiae PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
Abstrak ......................................................................................... 39
Abstract ........................................................................................ 39
Pendahuluan ................................................................................. 40
Bahan dan Metode ....................................................................... 41
Hasil dan Pembahasan ................................................................. 42
Simpulan dan Saran ..................................................................... 50
6. VAKSIN BIVALEN Aeromonas hydrophila dan Streptococcus
agalactiae: KEAMANAN, STERILITAS DAN KARAKTER
PROTEIN
Abstrak ......................................................................................... 51
Abstract ........................................................................................ 51
Pendahuluan ................................................................................. 52
Bahan dan Metode ....................................................................... 53
Hasil dan Pembahasan ................................................................. 58
Simpulan dan Saran ..................................................................... 65
7. HEMATOLOGI DAN RESPONS IMUN IKAN NILA
(Oreochromis niloticus) YANG DIIMUNISASI DENGAN
VAKSIN MONOVALEN DAN BIVALEN : Aeromonas
hydrophila dan Streptococcus agalactiae
Abstrak ......................................................................................... 66
Abstract ........................................................................................ 66
Pendahuluan ................................................................................. 67
Bahan dan Metode ....................................................................... 67
Hasil dan Pembahasan ................................................................. 71
Simpulan dan Saran ..................................................................... 82
8. EFIKASI VAKSIN BIVALEN TERHADAP PENYAKIT
MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA DAN
STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis
niloticus)
Abstrak ......................................................................................... 83
Abstract ........................................................................................ 83
Pendahuluan ................................................................................. 84
Bahan dan Metode ....................................................................... 85
Hasil dan Pembahasan ................................................................. 87
Simpulan dan Saran ..................................................................... 99
9. PEMBAHASAN UMUM ……………………………………… 100
10. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………. 107
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 109
LAMPIRAN …………………………………………………………. 119
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Komponen vaksin bivalen ........................................................... 20
2. Sensitifitas terhadap beberapa jenis antibiotik ............................ 35
3. Perlakuan infeksi LD100 ............................................................... 41
4. Perlakuan infeksi LD50 ................................................................. 42
5. Kelangsungan hidup ikan Nila pascavaksinasi ........................... 60
6. Hasil uji kadar formalin sediaan vaksin yang diinaktifasi
dengan bufer formalin 3% ...........................................................
61
7. Berat protein sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan bufer
formalin 3% .................................................................................
62
8. Karakter berat molekul protein hasil SDS-PAGE bakteri A.
hydrophila dan S. agalactiae yang diinaktifasi dengan bufer
formalin 3% ................................................................................
64
9. Perlakuan proteksi vaksin monovalen A. hydrophila dan S.
agalactiae ....................................................................................
85
10. Perlakuan vaksin bivalen ............................................................. 86
11. Perlakuan kontrol ......................................................................... 86
12. Parameter hematologi dan respon imun efikasi vaksin
monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan A.
hydrophila ....................................................................................
90
13. Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin
monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan S.agalactiae.
91
14. Parameter hematologi dan respon imun efikasi vaksin
monovalen dan bivalen setelah uji tantang dengan ko-infeksi A.
hydrophila dan S. agalactiae.......................................................
91
15. Tingkat RPS ikan yang di vaksin monovalen dan bivalen A.
hydrophila dan S. agalactiae.....................................................
93
16. Kisaran Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian ......... 96
xvi
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka berfikir penelitian vaksin bivalen gabungan bakterin
A. hydrophila S. dan agalactiae untuk pencegahan wabah
penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) dan
Streptococcosis pada ikan Nila (Oreochromis niloticus) ..............
7
2. Alur pelaksanaan penelitian Vaksin Bivalen untuk pencegahan
penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis
pada ikan Nila (Oreochromis niloticus) ........................................
22
3. Ikan Nila (O. niloticus) yang terinfeksi. (a) MAS, (b)
Streptococcosis, (c) ko-infeksi MAS dan Streptococcosis. (u)
ulcer, (h) haemorhage, (exo) eksoptalmi, (op) opaque................
28
4. Deformasi C-shaped ikan Nila yang terinfeksi Streptococcosis... 28
5. Gerakan renang berputar (whirling) ikan Nila yang terinfeksi
Streptococcosis...............................................................................
29
6. Organ dalam ikan Nila yang terserang ko-infeksi MAS dan
Streptococcosis. (a) ikan sehat, (b) ikan terserang kronis, (c)
ikan terserang akut.……………………………………………...
30
7. Pertumbuhan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada
media agar. (a) dan media cair, (b) dengan kepadatan tanam
awal 1 koloni .................................................................................
32
8. Uji kompetisi daya tumbuh bakteri A. hydrophila dan S.
agalactiae pada media agar BHIA dengan masa inkubasi 48 jam
32
9. Uji kompetisi daya tumbuh bakteri A. hydrophila dan S.
agalactiae pada media cair dengan masa inkubasi 24 jam ...........
33
10. Histopatologi kerusakan organ dari ikan Nila hasil ko-infeksi
A.hydrophila + S. agalactiae dengan pewarnaan Hematoxylin-
Eosin (H dan E). (a) otak bagian cerebellum, (b) otak bagian
mesencephalon, (c-d) limpa, dan (e-f) ginjal. (p) perdarahan, (n)
nekrosa, (mmc) melano macrofag centre, (i) inflamasi, (d)
degenerasi, (g) granuloma.......................................................
36
11. Total hematokrit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae ......................................................................................
43
12. Total monosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae ......................................................................................
44
13. Total neutrofil ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae ......................................................................................
45
xviii
14. Total limfosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae ......................................................................................
45
15. Indeks fagositik ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae ......................................................................................
46
16. Kematian ikan pada perlakuan infeksi LD100 ................................ 47
17. Kematian ikan pada perlakuan infeksi LD50 ................................. 48
18. Sediaan vaksin hasil inaktifasi dengan 3% bufer formalin. (a)
sediaan hasil sentrifuse : pelet di bagian bawah dan supernatant,
(b) sediaan pelet yang dilarutkan dalam salin (sediaan vaksin sel
utuh), ( ) pelet bakteri. ...............................................................
58
19. Sediaan vaksin monovalen dan bivalen sel utuh “siap pakai”
yang diinaktifasi dengan 3% bufer formalin ................................
59
20. Pengamatan kematian ikan pascavaksinasi dengan sediaan
vaksin yang diinaktifasi dengan 3% bufer formalin ...................
60
21. SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Aeromonas hydrophila
AHL0905-2 ...................................................................................
63
22. SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Streptococcus agalactiae
N14G ..............................................................................................
63
23. Kadar hemoglobin ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin
monovalen dan bivalen .................................................................
71
24. Persen hematokrit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin
monovalen dan bivalen .................................................................
72
25. Persentase fagosit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin
monovalen dan bivalen .................................................................
73
26. Indek fagositik darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin
monovalen dan bivalen .................................................................
74
27. NBT-assay dari ikan Nila hasil vaksinasi menggunakan vaksin
monovalen dan bivalen .................................................................
75
28. Aktifitas lisosim serum ikan Nila pascavaksinasi ......................... 77
29. Aktifitas komplemen serum ikan Nila pascavaksinasi dengan
vaksin monovalen dan bivalen yang diinaktifasi menggunakan
3% bufer formalin .........................................................................
79
30. Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang
di tantang dengan bakterin A. hydrophila .....................................
81
31. Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang
di tantang dengan bakterin S. agalactiae ......................................
81
32. Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang
xix
di tantang dengan gabungan bakterin A. hydrophila dan S.
agalactiae ......................................................................................
81
33. Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) yang divaksin
monovalen secara intraperitoneal dan diuji tantang selama 15
hari ................................................................................................
88
34. Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang
dengan bakteri A. hydrophila yang dipelihara selama 16 hari. (a)
perlakuan vaksin bivalen, (b) kontrol……………………………
89
35 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang
dengan bakteri S.agalactiae yang dipelihara selama 16 hari. (a)
perlakuan vaksin bivalen, (b) kontrol……………………………
90
36 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang
dengan ko-infeksi bakteri A. hydrophila+S.agalactiae yang
dipelihara selama 16 hari. (a) perlakuan vaksin bivalen, (b)
kontrol……………………………………………………………
91
xx
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Karakteristik Morfologi, Fisik dan Biokimia Bakteri ................... 119
2. Pengujian Kadar Formalin dengan Metode AOAC (1990) .......... 121
3. Tahapan Pewarnaan Silver Hasil SDS-PAGE ............................... 122
4. Bagan Alur Pembuatan Vaksin ..................................................... 123
5. Berat Protein Vaksin ..................................................................... 125
6. Hasil SDS-PAGE Protein Vaksin .................................................. 126
7. Gambaran Darah ........................................................................... 128
8. Persentase dan Indek Fagositosis .................................................. 129
9. Nilai NBT-Assay .......................................................................... 130
10. Aktifitas Lisosim ........................................................................... 131
11. Aktifitas Komplemen .................................................................... 132
12. Titer Antibodi ................................................................................ 133
13. Relative Percent Survival (RPS) ……………........……………... 134
14. Komposisi Kandungan Media ……………………….......……… 135
xxii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan komoditas unggulan
budidaya air tawar di Indonesia. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)
menargetkan produksi ikan Nila tahun 2012 sebanyak 639.300 ton. Jumlah ini
naik sekitar 36,26% dari total produksi tahun 2011 yang sebanyak 469.173 ton.
Guna mencapai target tersebut telah dibuat beberapa strategi diantaranya
pengadaan bibit unggul (jenis Wanayasa, Larasati, dan BEST) dan upaya
pencegahan penyakit dengan penggunaan imunostimulan dan pemberian
vaksinasi.
Kasus kematian ikan akibat infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dan
Streptococcus sp. menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila
di Indonesia. Timbulnya penyakit akibat infeksi Motile Aeromonas Septicemia
(MAS) dan Streptococcosis tersebut dapat terjadi karena rendahnya ketahanan
tubuh ikan, lingkungan pemeliharaan yang buruk, serta manajemen pemberian
pakan yang tidak baik (Ibrahem et al. 2008; Harikrishnan et al. 2010). Kedua jenis
penyakit ini menyebabkan masalah pada budidaya ikan dan mengakibatkan
kerugian ekonomi karena terjadi kematian ikan yang tinggi dan menurunnya
kualitas produk perikanan.
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri yang paling umum terdapat di
habitat perairan tawar. Genus Aeromonas meliputi mikroba prominen di dalam
reservoir air tawar bersama-sama dengan jasad renik yang lain bertindak sebagai
biofilter alami dan berfungsi untuk memurnikan perairan dan diperlukan sebagai
mikroflora normal. Penyakit biasanya timbul dalam tipe infeksi akut dengan
kondisi klinis munculnya peradangan yang sistemik dan mengakibatkan kematian
dalam waktu 24 sampai 48 jam. Tipe infeksi kronis ditandai dengan kerusakan
pada bagian sirip, lesi pada kulit, gerakan renang lemah, dan menyebabkan
kematian 10% sampai 70% dari total populasi di kolam budidaya (Ibrahem et al.
2008). Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi A. hydrophila dari yang bersifat
akut hingga bersifat laten dengan membentuk infeksi septisemia lebih dikenal
2
dengan nama penyakit Hemorrhagic Septicaemia atau Aeromonas Septicemia
(Ismail et al. 2010).
Bakteri patogen Streptococcus agalactiae dan Streptococcus iniae
menyebabkan penyakit Streptoccoccosis pada ikan Nila (Klesius et al. 2006,
2007; Hernandez et al. 2009; Toranzo 2009; Zilberg et al. 2010). Studi patologi
anatomi secara makroskopis dan mikroskopis akibat infeksi Streptococcosis
diteliti pada ikan Nila di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan gejala klinis
yang tampak adalah eksoptalmus, dermal hemoragi dan warna kehitaman pada
tubuh. Pada tes bakteriologi menggunakan pewarnaan Gram, agar darah dan API
20 STREP sistem, bakteri penyebab diidentifikasi sebagai Streptococcus sp.
(Lusiastuti et al. 2008). Lebih lanjut Lusiastuti et al. (2009) melakukan survei di
daerah Waduk Cirata – Jawa Barat dan dari analisis sekuen DNA terhadap jenis
bakteri yang menginfeksi ikan Nila tersebut diketahui merupakan spesies bakteri
S. agalactiae dan S. iniae. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY (2010)
melaporkan adanya infeksi bakteri A. hydrophila dan Streptococcus sp. pada ikan
Nila dari hasil pemantauan penyakit ikan yang dilakukan di wilayah DIY.
Penanggulangan penyakit MAS dan Streptoccoccosis akibat infeksi A.
hydrophila dan S. agalactiae dengan metode vaksinasi monovalen telah banyak
dilakukan. Ismail et al. (2010) meneliti vaksin A. hydrophila yang dibuat dalam
bentuk sediaan sel utuh yang diinaktifasi menggunakan formalin untuk
menghasilkan bakterin A. hydrophila. Vaksin tersebut diaplikasikan melalui oral
pada ikan Nila (O. niloticus) dan menghasilkan relative level of protection (RLP)
sebesar 86,8%. Respons antibodi humoral pada ikan Nila yang divaksinasi dilihat
melalui uji mikro-aglutinasi. Hasil level titer antibodi terendah dengan log 2 pada
nilai 2 dan 3 pada minggu pertama dan empat minggu setelah divaksinasi,
sementara ikan Nila yang diberi pakan tanpa divaksin, level titer antibodi yang
diperoleh adalah log 2 pada nilai 1.
Sugiani et al. (2010) melakukan penelitian vaksinasi ikan Lele (Clarias
gariepinus) menggunakan sediaan vaksin sel utuh A. hydrophila isolat AHL0905-
2 yang diinaktifasi menggunakan formalin (0,5% v/v) dan diaplikasikan melalui
3
perendaman, menghasilkan relative percent survival (RPS) sebesar 98,75%
dengan level titer antibodi log 2 pada nilai 4 setelah divaksinasi selama 21 hari.
Lusiastuti et al. (2010) melakukan penelitian pendahuluan untuk melihat
efek vaksin sel utuh S. agalactiae dengan formalin killed untuk ikan Nila, lebih
lanjut Hardi et al. (2011) mengemukakan bahwa diperoleh RPS>90% pada ikan
Nila yang diberi vaksin kombinasi extracellular product (ECP) dan sel utuh
bakteri S. agalactiae isolat N14G. Hal ini sesuai dengan hasil riset penggunaan
vaksin S. agalactiae untuk penanggulangan Streptococcosis yang telah
dikembangkan dari extracellular product (ECP) dan sel utuh yang dimatikan
dengan formalin-killed (Pasnik et al. 2006). Evans et al. (2004) mengemukakan
bahwa ikan Nila yang diimunisasi dengan modifikasi vaksin S. agalactiae yang
dilemahkan (inactivated) mampu memberikan respons imun spesifik terhadap
jenis bakteri S. agalactiae yang sama dan mampu memproteksi terhadap jenis
bakteri S. iniae, sedangkan ikan Nila yang divaksin S. iniae tidak mampu
memproteksi terhadap infeksi jenis bakteri S. agalactiae atau tidak memiliki
kemampuan proteksi silang terhadap jenis bakteri berbeda.
Vaksinasi ikan untuk melindungi ikan dalam melawan berbagai infeksi
bakteri patogen secara serempak dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin
bivalen atau polivalen. Strategi vaksinasi diperlukan keputusan seperti penyakit
spesifik apa yang akan dipapar, jenis vaksin, metoda vaksinasi, pemilihan waktu
vaksinasi dan perlakuan vaksinasi ulang (booster). Perumusan vaksin yang ideal
dapat diambil dalam bentuk vaksin polivalen untuk melindungi secara serempak
terhadap penyakit tertentu. Vaksin polivalen harus mampu melindungi dari semua
serotipe dari tiap patogen penyebab penyakit tertentu. Akan tetapi, harus
diperhatikan kompetisi antigen spesifik yang mungkin terjadi terutama ketika
vaksin diaplikasikan melalui suntik (Toranzo et al. 2009).
Beberapa penelitian mengenai vaksin bivalen dan polivalen pada ikan
menunjukkan hasil yang bervariasi, dikarenakan setiap strain bakteri memiliki
kemampuan antigenik yang berbeda. Osman et al. (2009) melakukan penelitian
vaksinasi pada ikan Nila terhadap infeksi Aeromonas dan Pseudomonas
menggunakan vaksin monovalen dengan RPS yang bervariasi antara 73-89%,
4
bivalen dengan RPS 74%, dan polivalen gabungan Aeromonas spp. (A.
hydrophila, A. sobria dan A. caviae) dan Pseudomonas fluorescens dengan RPS
81%. Silva et al. (2009) melakukan penelitian hematologi dan respons
immunologi ikan Nila setelah divaksin menggunakan vaksin polivalen bakterin A.
hydrophila, P. aeruginosa dan Enterococcus durans, diketahui bahwa titer
antibodi tertinggi diperoleh pada hari ke-21 setelah vaksinasi. Vaksin campuran
antara sel utuh antigen A. hydrophila, E. tarda dan P. fluorescens, merupakan
patogen dari kelompok bakteri Gram negatif yang diperoleh dari hasil isolasi pada
Indian major carps ternyata dapat merangsang respons antibodi pada Rohu
(Labeo rohita Ham.) (Swain et al. 2007).
Pembentukan vaksin bivalen dan polivalen akan dipengaruhi oleh banyak
proses imunologi seperti reaksi silang antigen, kompetisi antigen, waktu
pematangan dan penghilangan sifat antigenik yang akan mempengaruhi
efektifitas, kemampuan menghasilkan respons imun dan level antibodi.
Nikoskelainen et al. (2007) melaporkan bahwa terdapat hambatan respons imun
spesifik terhadap vaksin polivalen Aeromonas salmonicida, Listonella
anguillarum dan serotipe Th+Fd dari antigen Flavobacterium psychrophilum.
Penggunaan beberapa antigen bakteri di dalam vaksin polivalen harus hati-hati
dalam mencampurkannya untuk menghindari sifat saling hambat dari antigen
yang akan mempengaruhi tanggap kebal spesifik pada ikan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa respons berikut ini :
1. Menganalisis karakteristik masing-masing antigen, waktu pematangan, uji
kultur bersama antigen secara in vitro.
2. Menganalisis patogenesis masing-masing antigen dan gabungan keduanya
secara in vivo pada ikan Nila.
3. Mengkaji efektifitas dan efikasi vaksin bivalen gabungan dari bakterin A.
hydrophila dan S. agalactiae dalam menghasilkan respons imun dan
meningkatkan kelangsungan hidup pada ikan Nila.
5
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan produk vaksin bivalen
gabungan A. hydrophila dan S. agalactiae untuk pencegahan wabah penyakit
MAS dan Streptococcosis pada ikan Nila (O. niloticus).
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae memiliki perbedaan karakteristik
dalam sifat patogenesis terhadap ikan Nila.
2. Vaksin bivalen gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae dapat
memberikan proteksi lebih baik dibandingkan dengan vaksin monovalen A.
hydrophila maupun vaksin monovalen S. agalactiae pada ikan Nila yang
terinfeksi A. hydrophila dan S. agalactiae (penyakit MAS dan
Streptococcosis).
Kebaruan (novelty)
Kebaruan dari penelitian ini yaitu, pertama diketahuinya kompetensi
kedua antigen A. hydrophila dan S. agalactiae untuk dijadikan kandidat vaksin
bivalen. Kedua, dihasilkan vaksin yang dapat mencegah infeksi A. hydrophila
dan S. agalactiae pada ikan Nila yaitu vaksin bivalen gabungan antara bakterin A.
hydrophila dan S. agalactiae.
Kerangka Berfikir Penelitian
Latar belakang dan kerangka berfikir penelitian vaksin bivalen gabungan
bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae untuk pencegahan wabah penyakit MAS
dan Streptococcosis pada ikan Nila (O. niloticus) dijabarkan pada Gambar 1.
Budidaya ikan Nila pada semua fase hidupnya sangat rentan terhadap
berbagai hambatan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup. Faktor
penyebab kegagalan kegiatan budidaya ikan Nila dapat dikarenakan adanya
gangguan dari lingkungan, nutrisi yang kurang baik, dan adanya serangan
penyakit. Aeromonas hydrophila dan S. agalactiae akhir-akhir ini telah menjadi
masalah penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan Nila, apabila
6
terjadi serangan dari kedua jenis bakteri ini akan menyebabkan kematian 60-
100%. Ada dua opsi penanggulangan serangan penyakit ini yaitu melalui
pengobatan, baik dengan menggunakan bahan alami maupun obat dari bahan
kimia tertentu yang bersifat antibakteri. Opsi kedua adalah melalui pencegahan
yaitu dengan prinsip imunostimulasi yang bertujuan agar ketahanan tubuh ikan
terhadap serangan agen penyebab penyakit dapat terbentuk dengan lebih baik.
Imunostimulasi dapat dilakukan dengan menggunakan imunostimulan yang lebih
menekankan pada peningkatan respons imun yang bersifat non spesifik, dan
menggunakan vaksin dengan target utamanya adalah meningkatkan kemampuan
sel memori untuk mengenali agen penyebab penyakit sehingga proses respons
imun dalam tubuh ikan dapat terbentuk dengan lebih baik lagi, vaksin dapat
meningkatkan respons imun spesifik. Vaksin memiliki banyak jenis, pada tahapan
penelitian yang akan dilakukan untuk pencegahan penyakit MAS dan
Streptococcosis maka akan dibuat suatu vaksin in-aktif dalam bentuk monovalen
maupun bivalen dari sediaan bakterin yang berbeda. Beberapa hal yang akan
dilihat adalah tingkat keamanan, profil protein, dan level proteksi ketika
diaplikasikan secara injeksi intraperitoneal pada ikan Nila. Hasil akhir diharapkan
dapat diketahui sediaan bentuk vaksin yang dapat memberikan Relative Percent
Survival (RPS) paling tinggi.
7
Gambar 1 Kerangka berfikir penelitian vaksin bivalen gabungan bakterin A.
hydrophila dan S. agalactiae untuk pencegahan wabah penyakit
Motile Aeromonas Septicemia (MAS) dan Streptococcosis pada ikan
Nila (O. niloticus).
Pengobatan Dengan Bahan
Antibakterial Alami dan Kimia
Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Infeksi Streptococcus agalactiae
Kematian Tinggi 60-100%
Pembenihan dan Pembesaran Terhambat
Pencegahan
Vaksinasi
RPS meningkat
Infeksi Aeromonas hydrophila
Musim, Kualitas Air,
dan Sistem Budidaya
Pakan kurang tepat Penyakit
Imunostimulan
Vaksin monovalen
Vaksin bivalen
Komponen
vaksin
Respons imun meningkat
Metode pencampuran
sediaan vaksin
Reaksi silang antigen, kompetisi antigen, waktu
pematangan, penghilangan sifat antigenik
8
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS)
Gejala klinis dari ikan Nila yang terinfeksi Motile Aeromonas Septicemia
(MAS) ditandai dengan adanya septisemia, luka, cacat tulang, eksoptalmi dan
nekrosis otot. Pada kondisi posmortem ditemukan adanya luka fokal pada organ
hati, limpa, dan ginjal, serta terdapat cairan yang mengisi rongga abdominal.
Hasil isolasi dan identifikasi didapat jenis bakteri A. hydrophila dari bagian organ
intestinal ikan yang sakit maupun ikan yang sudah sehat, hal ini dapat terjadi pada
kondisi invasi penyakit ataupun kondisi MAS yang akut dengan adanya lokalisasi
koloni bakteri A. hydrophila yang teridentifikasi dari jaringan hematopoetik
(Ibrahem et al. 2008).
Menurut Toranzo et al. (1986) sebagai tambahan hasil identifikasi
dilakukan reaksi voges-proskauer (VP), citrate utilization, lysine decarboxylase
(LDC), arabinosa dan tes fermentasi amygadalin untuk melihat tingkat virulensi
dari bakteri. Reaksi biokimia berkorelasi dengan tingkat virulensi. Variasi tingkat
virulensi dari spesies penyebab Motile Aeromonas dapat dilihat dengan uji
karakteristik biokimia dari bakteri A. hydrophila. Burke et al. (1981)
mengemukakan hubungan yang signifikan antara tingkat virulensi A. hydrophila
pada ikan dengan produksi asam dari arabinosa dan sukrosa, tes VP dan LDC,
penambahan elastase dan aktifitas hemolitik.
Tingkat virulensi dari mikroorganisme berasosiasi dengan produksi enzim
tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa tes yang bersifat enzimatik dapat
digunakan untuk mengidentifikasi bakteri A. hydrophila. Uji aktifitas hemolitik
isolat A. hydrophila pada media TSA yang diberi 5% Red Blood Cells (RBCs)
domba, menunjukkan hasil bahwa 72% bakteri A. hydrophila dengan 2 tipe
aktifitas hemolitik, isolat A. hydrophila ß hemolitik dan strain A. hydrophila non
hemolitik. Ada suatu korelasi antara hemolisin dan virulensi isolat A. hydrophila.
Aeromonas hydrophila mampu memproduksi hemolisin ekstraselular dengan
membentuk zona hemolisis pada media agar darah (Sakai et al. 1993). Terdapat
korelasi yang kuat antara hasil dari uji biokimia, aktifitas enzimatik, aktifitas
9
hemolitik dan tes patogenisitas dari isolat A. hydrophila dengan tingkat
virulensinya. Sangat direkomendasikan untuk melakukan serangkaian uji tersebut
untuk melihat tingkat bahaya dari isolat A. hydrophila (Ibrahem et al. 2008).
Penyakit Streptococcosis
Infeksi Streptococcal pada ikan merupakan infeksi bakteri yang dapat
mempengaruhi patologi dari varietas budidaya ikan di seluruh dunia (Romalde &
Toranzo 2002; Toranzo et al. 2005). Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sangat
rentan terhadap infeksi Streptococcosis dan menimbulkan wabah yang sangat
mematikan (Pretto-Giardano et al. 2010). Akan tetapi, ikan channel catfish tidak
peka terhadap Group B Streptococcus (GBS) terutama terhadap infeksi S. iniae
dan S. agalactiae (Evans et al. 2007).
Streptococcosis pada ikan merupakan infeksi dari beberapa jenis bakteri
Streptococcus sp. dengan gejala penyakit yang hampir sama pada setiap spesies
bakteri dan dapat mengakibatkan kerusakan sistem saraf pusat yang
terkarakterisasi dari gejala klinis berupa adanya eksoptalmi (pop-eye) dan
meningoensefalitis. Klasifikasi Gram positif bentuk kokus berdasarkan pasangan
hibridisasi DNA-DNA menggunakan sekuen 16S terhadap bakteri patogen pada
ikan diperoleh jenis bakteri: Lactococcus garvieae (syn. Enterococcus
seriolicida), L. piscium, Streptococcus iniae (syn. S. shiloi), S. agalactiae (syn. S.
difficile), S. parauberis, dan Vagococcus salmoninarum (Toranzo 2009).
Menurut Toranzo (2009) pada kondisi perairan yang hangat (warm water)
Streptococcosis (menyebabkan kematian pada suhu di atas 15 ºC) disebabkan oleh
L. garvieae, S. iniae, S. agalactiae dan S. parauberis, sedangkan pada perairan
dingin cold water Streptococcosis (menyebabkan kematian pada suhu di bawah 15
ºC) disebabkan oleh L. piscium dan V. salmoninarum. Agen penyebab penyakit
Streptococcosis pada ikan di daerah perairan hangat seperti di Indonesia
merupakan bakteri yang potensial bersifat zoonotik pada manusia.
Ikan yang terinfeksi Streptococcosis menunjukkan gerakan renang yang
tak menentu (erratic), berputar (whirling), perdarahan pada mata, katarak,
eksoptalmi (pop-eye), atau terdapat perdarahan di sekitar anus dan pangkal sirip.
10
Bagian internal tubuh mengalami perubahan, bagian otak menjadi lembek dan
berair, serta hati membengkak dan berwarna pucat. Gejala lain yang teramati pada
ikan seabream (Sparus auratus L.) dan ikan mullet (Liza klunzingeri) terinfeksi
Streptococcosis berupa tubuh yang melengkung membentuk huruf C, mata
berwarna putih (ocular opacity), perdarahan di periorbital dan intraokular,
bernanah (purulence) dan eksoptalmi (Musa et al. 2009).
Bakteri Aeromonas hydrophila
Cipriano (2001) mengemukakan bahwa isolat A. hydrophila berbentuk
batang pendek dan Gram negatif, oxidase-positif, mampu menfermentasi glukosa
dan resisten terhadap cakram Vibrostatic 0129, mampu tumbuh dalam media agar
MacConkay, bersifat motil, dan koloni berbentuk bulat halus dengan diameter 2-3
mm, ukuran lebar sel 0,3-1 μm dan panjang sel 2-4,5 μm. Identifikasi juga dapat
dilakukan menggunakan sistem tes kit API 20 NE. Media identifikasi selektif
Rhimler-Shotts (media R-S) dibuat oleh Shotts dan Rhimler (1973) untuk
mempermudah identifikasi jenis bakteri Aeromonads yang akan membentuk
koloni berwarna kuning pada media.
Isolat A. hydrophila menunjukkan hasil reaksi positif pada sitokrom
oksidase, hidrolisis gelatin, produksi indol, glukosa, sukrosa, fermentasi manitol,
arginin dehidrolase dan tes ß- galaktosidase. Sebagian isolat positif pada media
Voges Proskauer, lisin dekarboksilase, tripsin, fermentasi tes arabinosa, ß-
glukosidase, ß-glaktosidase, ß-glukuronidase, ∞-glukosidase, dan valin
arilamidase. Identifikasi enzimatik menggunakan sistem tes kit API ZYM
menunjukkan bahwa isolat bereaksi positif pada alkalin fosfatase, butirat esterase
(C4), caprilat esterase (C8), Miristate lipase (C14), leusin arilamidase dan N-
asetil- ß-glukosaminidase, Asam fosfatase dan fosfomidase. Beberapa isolat
menunjukkan hasil negatif pada sistein arilamidase, Chimotripsin, α-Mannosidase
dan α-fukosidase. Aktifitas hemolitik ada yang bersifat ß –hemolitik, α- hemolitik,
dan non-hemolitik (Ibrahem et al. 2008).
11
Bakteri Streptococcus agalactiae
Streptococcus agalactiae adalah bakteri Gram-positif, tidak membentuk
spora, tidak bersifat asam, non motil, oksidase-negatif, katalase-negatif, kokus
dengan diameter sekitar 2 μm. Biasanya berbentuk berpasangan atau membentuk
rantai pendek (Rattanachaikunsopon & Phumkhachorn 2009). Kohler (2007)
mengelompokkan bakteri S. agalactiae termasuk ke dalam golongan kelompok
antigen Lancefield B dengan tipe haemolitik β (α, -). Bentuk koloni bakteri S.
agalactiae berwarna putih abu-abu, bening, koloni berbentuk bulat, dan
menghasilkan β-haemolitik pada media agar darah (Musa et al. 2009).
Streptococcus agalactiae (Group B streptococcus, GBS) merupakan
patogen yang dapat menginfeksi pada manusia dan hewan termasuk beberapa
spesies ikan. Tahun 2003, bakteri S. agalactiae diisolasi dari red Tilapia
Oreochromis sp. dan Nila (O. Niloticus) pada budidaya ikan di Thailand.
Identifikasi bakteri GBS menggunakan API 20 STREP, polymerase chain
reaction (PCR) dan multiplex PCR-based reverse line blot hybridization
(mPCR/RLB) (Suanyuk et al. 2008). Identifikasi S. agalactiae juga dapat
menggunakan BioStar STREP B (STREP B OIA) BioStar1OIA1 Strep B Assay
Kit (Evans et al. 2010). Untuk melihat genotipe bakteri S. agalactiae, Olivares-
Fuster et al. (2008) menggunakan metode Single-Stranded Conformation
Polymorphism (SSCP) dengan analisis Intergenic Spacer Region (ISR), dan
menggunakan fingerprint Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP).
Streptococcus agalactiae menyebabkan penyakit septisemia pada Nila,
merusak organ otak, ginjal, usus, dan organ lainnya. Penyakit ini biasanya
ditandai dengan gejala anoreksia, eksoptalmi, asites dan gerakan renang tak
menentu. Percobaan infeksi buatan pada ikan mullet dan seabream menggunakan
isolat S. agalactiae dari otak ikan Nila, O. niloticus L., menyebabkan kematian
100% dan 90%, pada masa pascainokulasi selama 7 hari, hal ini menandakan
bahwa S. agalactiae bersifat virulen yang menyebabkan penyakit epizootik
(Evans et al. 2002).
12
Bakteri S. agalactiae memiliki kemampuan aktifitas kemotaktik dan
kemokinetik yang memegang peranan penting dalam respons proinflamasi dari
makrofag terhadap infeksi yang ditimbulkannya. Aktifitas kemotaktik dan
kemokinetik teramati dari ECP S. agalactiae dengan berat molekul 7,54 kDa.
Berat molekul ECP diperoleh dari hasil fraksinasi menggunakan High-pressure
liquid chromatography terhadap ECP S. agalactiae semi-purifikasi (Klesius et al.
2007).
Imunologi Ikan
Sel spesifik dan jaringan dari sistem imun pada teleost terletak pada organ
limfomeiloid primer, sekunder, dan tersier. Organ limfoid primer pada teleost
adalah timus dan ginjal bagian depan yang berfungsi untuk hematopoiesis dan
pembentukan sel baru. Organ sekunder adalah limpa dan kelenjar getah bening
yang berfungsi untuk regenerasi pada respons imun dengan melibatkan interaksi
antara beberapa tipe sel dan respons imun spesifik untuk melawan serangan
antigen (Lin et al. 2005). Organ limpa pada teleost juga berperan sebagai sistem
limpatik (belum terbentuk sempurna) untuk menfilter cairan tubuh. Organ tersier
pada teleost adalah berupa struktur mukosa yang membawa sel-sel limfoid
(Pellane 2002).
Tanggap kebal alami terjadi seketika apabila ada patogen masuk ke dalam
inang, faktor humoral bawaan yang terdapat di serum dan mukus ikan akan
melakukan perlawanan pasif dengan menghancurkan patogen. Apabila terjadi
suatu serangan patogen atau benda asing pada ikan maka akan terjadi respons
imun alami yang melibatkan sirkulasi dan perbaikan jaringan melalui respons
fagosit granulosit (neutrofil, eosinofil sel granular) monosit, dan sel makrofag
(Danerson 1974).
Sistem pertahanan tubuh ikan terbagi menjadi dua, yaitu pertahanan
seluler (pertahanan primer) dan pertahanan humoral. Sistem pertahanan primer
pada ikan berkaitan dengan disekresikannya mukus oleh sel mukus yang terdapat
di jaringan epitel pada permukaan kulit, insang dan usus. Mukus mengandung
substansi seperti imunoglobulin, lisosim, Protein C-reaktif, dan lektin. Substansi
13
tersebut sangat penting untuk pertahanan penyakit maupun lingkungan yang tidak
menguntungkan (Iwama & Nakanishi 1996).
Ellis (2001) mengemukakan bahwa respons dan faktor humoral terdiri dari
serum amiloid protein, antibodi, lisosim, transferin, interferon, antiprotease,
lektin, lisin, protease, protein C-reaktif, dan komplemen. Sedangkan respons dan
faktor seluler antara lain adalah makrofag, killer cell, neutrofil, reaksi penolakan
allograft dan hipersensitifitas. Ikan mempunyai kemampuan dalam sistem imun
non-spesifik berupa barier mekanik dan kimiawi yang terdiri dari permukaan
kulit, sisik, dan mukus pada permukaan tubuh dan insang (Iwama & Nakanishi
1996).
Sistem kekebalan tubuh ikan terhadap antigen melalui mekanisme fagosit
dengan perantara makrofag dan granular leukosit, sebagai contoh neutrofil
menyerang mikroorganisme yang masuk melalui jaringan kulit ikan atau mukus.
Selain itu ada lisosim dan komplemen lain yang merusak patogen. Komponen
spesifik dalam sistem imun, terdiri dari humoral dan respons sel terhadap memori
imunologi, walaupun memori imun pada ikan secara umum sangat kurang
berkembang dibandingkan hewan tingkat tinggi lainnya. Tingkat induksi dan
respons imun ikan sangat dipengaruhi oleh suhu perairan (Danerson 1999).
Pada respons imun spesifik, makrofag bertindak melawan sel antigen,
sedangkan B-limfosit terlibat dalam produksi antibodi. T-limfosit berperan dalam
imunitas melalui diferensiasi dan proliferasi dari B-limfosit. Antibodi akan
diproduksi terhadap patogen spesifik yang akan mengikat membran patogen dan
merusak melalui aktivasi sistem komplemen dengan cara klasik (Li et al. 2006).
Hanya ada satu kelas antibodi pada ikan teleost, mirip dengan kelas IgM
pada mamalia dengan berat molekul yang besar (Dorson 1981, Ellis 1989).
Struktur IgM ikan tetrameric sedangkan pada mamalia struktur IgM pentameric.
Perlindungan antibodi ikan terhadap suatu penyakit belum terpetakan secara
detail, akan tetapi aktifitas aglutinasi antibodi dapat dijadikan bukti untuk melihat
efektifitas vaksinasi dan menghasilkan proteksi yang lengkap melawan berbagai
infeksi (Ellis 1989). Keberadaan IgM pada ikan tidak hanya terbatas dalam serum.
Antibodi juga ditemukan terdapat pada lapisan mukus yang melapisi sel epitel
14
ikan dan IgM kemungkinan diproduksi secara lokal bukan berasal dari serum.
Ellis (1981) menduga bahwa sistem imun pada ikan dapat terlihat dan terus
dihasilkan sebagai bagian dari sistem respons imun yang sistemik dan bagian dari
mukus.
Imunitas dapatan (acquired immunity) pada ikan sama dengan respons
alaminya. Akan tetapi, respons imun dapatan lebih lama terbentuk setelah
terinfeksi penyakit yang akut dan setelah proses vaksinasi, karena pada imun
dapatan bersifat spesifik dan memiliki memori sedangkan imun alami bersifat
non-spesifik dan tidak memiliki memori. Respons imun alami terhadap infeksi
bakteri dapat melalui aktifitas fagositosis dengan komponen internal berupa
cytokine (interferon), lytic enzyme (lisosim), serum protein, komplemen, dan
kinin. Respons imun buatan melibatkan B-limfosit dan sel plasma dalam
menghasilkan antigen-spesifik antibodi, serta cytokine dari T-limfosit (Stuart
1999). Proliferasi limfosit pada ikan memerlukan waktu relatif lama untuk
mencapai puncak setelah ditantang dengan patogen, respons sekunder yang
muncul yaitu berupa titer antibodi (Ellis 1981).
Tanggapan kebal adaptif dapat terbentuk pada kelompok teleost seperti
ikan dan dapat dideteksi dalam hitungan hari bahkan minggu (4-6 minggu) dari
infeksi atau peradangan awal tergantung dari suhu lingkungan. Tanggap kebal
adaptif terdiri dari jaringan sel protein komplek, pengantar pesan biokimia
(sitokin), dan gen yang bekerja sama untuk menghasilkan suatu induksi tanggap
kebal spesifik yang memerlukan Abs (antibodi spesifik) dan Ags (antigen
spesifik) (Press & Evenson 1999).
Antibodi spesifik dapat bertindak sebagai molekul efektor yang larut di
dalam serum dan sebagai sel yang peka rangsangan terhadap permukaan sel B-
limfosit. Sebagai suatu molekul efektor pada serum, antibodi dapat
menghancurkan antigen dengan berbagai jalan (pathway). Antibodi spesifik dapat
menetralkan antigen dengan fungsi sel yang peka rangsangan, aktifitas enzimatik,
atau faktor toksigenik. Sebagai alternatif, kemampuan antibodi spesifik yang
multivalen mengikat antigen (masing-masing molekul Ab atau antibodi
monomerik efektif mengikat 2 antigen), membentuk makromolekular Ab-Ag
15
komplek. Jika cukup besar, makromolekular komplek ini akan mempercepat
perlekatan antigen oleh sel untuk selanjutnya terjadi proses fagositosis
penghancuran antigen (Pilstrom & Bengten 1996).
Vaksin pada Ikan
Preparasi antigen vaksin dibuat dari organisme patogen yang telah dibuat
menjadi non-patogen dengan berbagai macam metode. Tujuan melakukan
vaksinasi adalah untuk menstimulasi sistem imun dengan cara meningkatkan
resistensi ikan terhadap jenis patogen tertentu. Vaksin pada industri budidaya ikan
biasanya menggunakan formula dari bakterin (yang diinaktifasi dengan formalin
atau pemanasan bakteri sel utuh), sel bakteri hidup yang tidak virulen, toksin
bakteri, vektor rekombinan, dan menggunakan asam nukleat dari bakteri (Skinner
2009).
Imunologi dan analisis transkripsi menunjukkan bahwa dengan vaksinasi
dapat: (i) menginduksi respons chemiluminescence yang lebih kuat dan lebih
tinggi dalam produksi nitrit oksida dan aktifitas asam fosfatase pada makrofag
ginjal anterior, (ii) memproduksi serum antibodi spesifik, yang akan memberikan
immunoproteksi ketika diberikan imunisasi pasif pada ikan, (iii) regulasi ekspresi
gen pengkode protein yang berperan dalam respons imun bawaan dan respons
imun dapatan. Ketiga faktor tersebut akan memegang peranan dalam
membuktikan bahwa vaksinasi pada ikan dapat mengontrol penyakit
Streptococcosis pada lingkungan budidaya (Sun et al. 2010).
Ikan dapat diimunisasi dengan tiga cara, melalui injeksi (intraperitoneal),
perendaman dalam larutan vaksin, dan melalui oral (dicampur dengan pakan).
Ketiga cara ini memiliki keuntungan dan kerugian yang akan mempengaruhi level
proteksi, efek samping, cara pemberian, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk
kegiatan vaksinasi. Pemberian vaksinasi melalui injeksi telah banyak digunakan
pada skala industri dan kegiatan riset di laboratorium dengan hasil yang baik dan
alur mekanisme pembentukan respons imunnya juga telah diketahui, akan tetapi
pemberian vaksin melalui oral dan perendaman masih belum banyak diketahui
16
alur penyerapan antigen dan presentasi antigen setelah diserap (Gudding et al.
1999).
Enzim ekstraselular, kapsul polisakarida, lipopolisakarida (LPS), membran
luar bakteri menjadi faktor penentu virulensi bakteri yang kemudian digunakan
sebagai kandidat sediaan vaksin untuk menanggulangi infeksi bakteri yang
homolog maupun heterolog. Preparasi mikroorganisme dan produk sisa
metabolismenya dapat digunakan sebagai agen yang dapat menstimulasi
pembentukan antibodi dan penghancuran antigen melalui efektor makrofag dalam
perlakuan uji tantang (Shoemaker & Klesius 1997).
Proteksi melawan A. hydrophila pada ikan Carp melalui vaksinasi dengan
crude lipopolisakarida (LPS) lebih baik dibanding dengan sel utuh yang
diinaktifasi menggunakan formalin. Vaksin LPS yang diberikan melalui
perendaman pada ikan selama 2 jam pada suhu 25 oC lebih efektif dalam
mengurangi stres perlakuan dibanding ketika diberikan melalui injeksi, akan
tetapi vaksinasi dengan crude LPS tidak dapat melihat respons imun humoral
melalui pengukuran reaksi aglutinasi bakteri, hemaglutinasi pasif dan tes difusi
agar gel (Baba et al. 1988).
Kunci keberhasilan vaksinasi pada ikan menurut Toranzo et al. (2009)
adalah sebagai berikut :
- Tidak menggunakan vaksin sebagai satu alat pemecahan masalah manajemen
budidaya. Kepadatan ikan yang tinggi, ikan dalam keadaan stres, kualitas air
yang jelek dapat menyebabkan terhambatnya pembentukan proteksi respons
imun.
- Hanya memvaksin ikan yang sehat. Performa vaksin sangat tergantung pada
status kesehatan ikan. Vaksin tidak dapat diharapkan memberi proteksi yang
tinggi jika ikan yang divaksin dalam keadaan sakit atau karier terhadap
patogen sejenis dengan vaksin.
- Memberikan waktu untuk ikan dalam membentuk imunitas. Selama masa
induksi vaksin, lingkungan pemeliharaan harus tetap terjaga terutama fluktuasi
suhu, karena akan mempengaruhi proses pembentukan respons imun.
17
- Ketat dalam memberikan rekomendasi penggunaan vaksin. Jangan
memperpendek waktu pemaparan yang disarankan, tidak memodifikasi dosis
maupun solusi vaksin, tidak melebihi kepadatan ikan yang diperbolehkan
dalam penggunaan melalui perendaman, mencampurkan vaksin ke dalam
larutan dengan suhu yang sama dengan media pemeliharaan.
Vaksin Polivalen
Formula vaksin ideal adalah dalam bentuk sediaan vaksin polivalen yang
dapat memproteksi secara simultan terhadap beberapa patogen penting penyebab
suatu penyakit dan efektif digunakan untuk spesies ikan yang luas. Vaksin
polivalen juga harus dapat melindungi dari semua serotipe bakteri yang berasal
dari area geografis berbeda. Formula vaksin polivalen harus dibuat dengan teliti
karena masalah kompetisi antigen dapat muncul terutama ketika vaksin tersebut
diaplikasikan melalui injeksi (Toranzo et al. 2009).
Karena sifat antigenik yang beragam antara kelompok organisme yang
komplek, maka diperlukan strategi penggunaan vaksinasi, apakah dengan
menggunakan vaksin polivalen, imunisasi menggunakan inaktifasi ekstraselular
toksin (toxoid), atau vaksin yang berisi selular antigen dan toxoid. Vaksinasi
dengan larutan antigen ekstraselular lebih efektif dalam memberikan perlindungan
melawan serotipe yang heterolog dibandingkan dengan vaksin yang hanya terdiri
dari satu jenis sel utuh dari antigen (Baba et al. 1988).
Untuk menanggulangi penyakit furunkulosis pada ikan Atlantic salmon
(Salmo salar L.) akibat infeksi bakteri Aeromonas salmonicida maka Hoel et al.
(1997) membuat vaksin polivalen yang berisi bakteri A. salmonicida, Vibrio
salmonicida, dan V. anguillarum. Respons imun humoral Atlantic salmon yang
divaksin dengan vaksin polivalen lebih baik dalam memberikan proteksi terhadap
antigen A. salmonicida dibandingkan dengan vaksin monovalen.
Gassent et al. (2004) melakukan vaksinasi pada Anguilla anguilla L.
menggunakan vaksin bivalen yang terdiri dari bakteri V. vulnificus strain CECT
4604 dan CECT 5198 untuk menanggulangi penyakit pada A. Anguilla (eel
disease). Vaksin diberikan dengan 4 rute yang berbeda yaitu melalui perendaman,
18
injeksi (intra peritoneal atau IP), intubasi melalui mulut, dan intubasi melalui
anus. Intubasi melalui mulut dan injeksi (IP) memberikan level proteksi lebih
tinggi dibandingkan dengan intubasi melalui anus maupun perendaman dengan
rerata RPS 80–100%. Vaksinasi dapat meningkatkan antibodi plasma maupun
mucus (lendir), akan tetapi tidak meningkatkan produksi lisosim pada plasma
maupun lendir.
Pembentukan Respons Imun Pascavaksinasi
Vektor vaksin memiliki kemampuan untuk menstimulasi mediasi sel,
antibodi humoral, dan imunitas mukosa. Vektor vaksin juga harus mampu
bertahan dan bereplikasi dalam tubuh inang, menghasilkan respons imunitas
selular yang kuat sehingga dapat memberikan proteksi dengan durasi waktu lebih
lama. Induksi imun selular (respons CD4+ dan CD8
+ sel-T) berperan dalam
memberikan proteksi terhadap infeksi intraselular (Skinner 2009).
Beberapa penelitian pada ikan telah dapat mendemonstrasikan relevansi
molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan kelas II dalam
pembentukan respons imun. Presentasi antigen oleh MHC yang tepat dapat
memberikan respons dan pengenalan oleh sub populasi sel-T dan sel-B. Selain itu,
vaksinasi pada ikan dapat menginduksi respons Th1 dan CD8 sel-T. Stimulasi sub
populasi sel-T dapat menginduksi produksi interferon gamma yang dapat
memediasi penghancuran intraselular bakteri (Seder & Hill 2000).
19
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium kesehatan ikan Balai Penelitian
dan Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPPBAT) Bogor, Laboratorium
Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan - Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB, Laboratorium Terpadu PAU IPB, dan Laboratorium Uji Balai
Besar Pengolahan Produk Perikanan dan Bioteknologi (BBP3B) Jakarta.
Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011 - Februari 2012.
Ikan Uji
Ikan uji menggunakan ikan Nila (Oreochromis niloticus) berukuran
15±0,5 g. Ikan yang digunakan harus memenuhi asumsi Spesifik Pathogen Free
(SPF) bebas dari karakteristik yang akan muncul ketika terinfeksi penyakit Motile
Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis, melewati masa aklimatisasi selama
14 hari. Pengamatan dilakukan dengan melihat gejala klinis serta dilakukan
pengambilan sampel isolat untuk melakukan identifikasi bakteri target (A.
hydrophila dan S. agalactiae).
Isolat Bakteri
Bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae
menggunakan isolat koleksi BPPBAT Kementrian Kelautan dan Perikanan,
Bogor. Aeromonas hydrophila diinokulasi dalam media Tryptic Soy Agar (TSA)
menggunakan A. hydrophila isolat AHL0905-2, dan S. agalactiae diinokulasi
dalam media Brain Heart Infussion Agar (BHIA) menggunakan S. agalactiae
isolat N14G.
Vaksin
Ada 2 sediaan vaksin monovalen yang di uji pada penelitian ini, yaitu
vaksin monovalen sel utuh A. hydrophila (Sugiani et al. 2010) dan vaksin
monovalen sel utuh+ECP S. agalactiae (Pasnik et al. 2006), dan 5 sediaan vaksin
20
bivalen gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. Perlakuan kontrol
sesuai dengan media solusi sediaan vaksin.
Tabel 1 Komponen vaksin bivalen
Perlakuan Komponen vaksin Komponen uji tantang
1
2
3
4
5
(su AH) : (su SA)
(ECP AH) : (ECP SA)
(cS AH) : (cS SA)
(su+ECP AH) : (su+ECP SA)
(br AH) : (br SA)
Setiap perlakuan vaksin
diuji tantang dengan
bakteri AH, SA, dan ko-
infeksi AH+SA
AH (Aeromonas hydrophila), SA (Streptococcus agalactiae), ECP (produk ekstraseluler),
su (sel utuh), cS (crude supernatan), br (broth).
Parameter yang Diamati
Beberapa parameter uji yang diamati pada penelitian ini diantaranya
adalah kematian ikan, gejala klinis, dan gambaran sistem imun ikan.
Gejala klinis
Gejala klinis ikan diamati dengan melihat tingkah laku makan, berenang,
respons terhadap kejutan, dan perubahan anatomi bagian luar tubuh ikan maupun
organ dalam ikan.
Hematologi dan gambaran sistem imun
Pengamatan hematologi dan gambaran sistem imun dilakukan dengan
mengamati sampel darah yang diambil dari ikan perlakuan kemudian diukur kadar
haemoglobin menurut metode Sahli (Wedenmeyer & Yasutake 1977). Kadar
hematokrit menurut metode Anderson dan Siwicki (1995). Aktifitas fagositosis
meliputi indek fagositik dan persen fagositosis dievaluasi menggunakan metode
Zhang et al. (2008).
Produksi oksigen radikal dari fagositosis dalam darah dapat dilihat dengan
pewarnaan nitroblue tetrazolium (NBT-Assay) seperti yang dilakukan Anderson
dan Siwicki (1995). Aktifitas lisosim diuji menggunakan lyso-plate assay menurut
Gassent et al. (2004) dengan melihat zona lisis dari bakteri Micrococcus
lysodeikticus. Aktifitas komplemen (Complement consumption assay) dilakukan
menggunakan metode Vivas et al. (2005). Titer antibodi diukur dengan
menggunakan aglutinasi langsung (direct aglutination) terhadap antigen-antibodi
perlakuan.
21
Histopatologi
Pengamatan gambaran histopatologi dilakukan untuk mengetahui efek dari
penyakit MAS (infeksi A. hydrophila) dan Streptococcosis (infeksi S. agalactiae)
terhadap ikan Nila.
Relative Percent Survival (RPS)
Tingkat kelangsungan hidup (SR) setelah uji tantang kemudian dihitung
menjadi nilai Relative Percent Survival (RPS) untuk melihat efektifitas vaksinasi
dengan menggunakan rumus Ellis (1988) :
Analisis Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Analisis untuk data pengamatan gambaran darah, patologi klinik darah,
indeks fagositik, aktifitas lisosim, aktifitas Respiratory Burst, aktifitas
komplemen, titer antibodi, dan RPS (Relative Percent Survival) dianalisis dengan
program SPSS. Perubahan gejala klinis dan histopatologi organ dianalisis secara
deskriptif.
22
Alur Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam 5 tahapan penelitian yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Alur pelaksanaan penelitian Vaksin Bivalen untuk pencegahan
penyakit Motile Aeromonas Septicemia dan Streptococcosis pada
ikan Nila (O. niloticus).
Tahap 1
Analisis karakteristik bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus
agalactiae
Identifikasi bakteri, waktu pematangan (kinetik pertumbuhan), uji kultur bersama
(media cair dan media agar), sensitifitas terhadap antibiotik secara in vitro
Tahap 2
Uji patogenisitas bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan gabungan keduanya
Perubahan pola berenang, tingkah laku makan, perubahan patologi anatomi organ
dalam dan luar, gambaran darah, patologi klinik darah, histopatologi, dan kematian
ikan.
Tahap 3
Kajian preparasi vaksin A. hydrophila dan S. agalactiae
Sediaan vaksin
Komponen vaksin terdiri dari vaksin sel utuh,
ECP, sel utuh+ECP, crude supernatan, dan broth.
Fraksinasi protein melalui SDS-PAGE
Uji kualitas vaksin
Uji keamanan vaksin (innocuity
test), uji sterilitas vaksin (sterility
test) dan uji kadar formalin
Tahap 4 & 5
Efikasi vaksin bivalen gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae
pada ikan Tilapia (Oreochromis niloticus)
Melakukan analisis spesifik respons dan proteksi silang vaksin monovalen A. hydrophila
dan S. agalactiae secara in vivo pada ikan Tilapia
RPS, gambaran darah, patologi klinik darah, aktifitas Respiratory Burst, aktifitas lisosim,
aktifitas komplemen, dan titer antibodi
23
KO-INFEKSI Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus
agalactiae: KEBERADAAN, DAYA TUMBUH in-vitro,
SENSITIFITAS ANTIBIOTIK, DAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI
Abstrak
Bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus sp. menyebabkan wabah
penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) dan Streptococcosis yang menjadi
penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila (Oreochromis niloticus) di
Indonesia. Keberadaan kejadian ko-infeksi antara bakteri A. hydrophila dengan S.
agalactiae pada ikan Nila di KJA Waduk Cirata sebesar 20% dari populasi di
karamba. Uji kerentanan ikan Nila terhadap kedua jenis penyakit ini dilakukan
secara in-vitro dan in-vivo untuk melihat kompetisi antigen dan ko-infeksi dari
kedua jenis bakteri penyebab penyakit. Hasil uji pertumbuhan bakteri pada media
cair maupun media padat menunjukkan bahwa kedua jenis bakteri ini dapat
tumbuh bersinergi (tidak saling menghambat). Bakteri A. hydrophila dan S.
agalactiae bersifat rentan terhadap antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol. Hasil
histopatologi organ ginjal, otak, hati, dan limpa memperlihatkan dua pola karakter
luka. Pola pertama, luka yang fokal sampai terlihat adanya inflamasi dan
perdarahan. Pola kedua, luka yang multifokal, luka parah, nekrotik, dan luka
inflamasi yang mengakibatkan deformasi sel-sel organ.
Kata kunci : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae , kompetisi antigen,
histopatologi
Abstract
Etiological agents of common fish diseases are the Gram-negative A.
hydrophila and the Gram-positive S. agalactiae, both are considered severe fish
pathogens on account of their ability to cause damaging disease outbreaks in Nile
Tilapia (O. niloticus). The occurence of co-infections between A. hydrophila and
S. agalactiae at Waduk Cirata was about 20% per populations. Pathogenesis in
fish involved septicaemia and colonization of numerous organs, such as the liver,
brain, and kidney. Clinical signs appeared soon after infection, and include
depression or excitability, anorexia, C-shaped body posturing, erratic swimming,
whirling, and death. Aeromonas hydrophila and S. agalactiae cultures were not
able to inhibit each other and showed negative results from antimicrobial activity,
both are succeptible to antibiotics Tetracycline and Chloramphenicol. Nile Tilapia
also were clinically examined and necropsied for histopathology, samples were
taken from kidney, brain, liver, and spleen. Histopathological lesions were
grouped into two characteristic patterns. The first pattern consisted focal lesion
and inflammation. The second pattern consisted of multifocal lesion, necrotic, and
inflammatory lesions resulting organ deformation.
Key Words : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, antimicrobial activity,
histophatology
24
Pendahuluan
Kasus kejadian suatu wabah penyakit pada ikan dapat melibatkan banyak
faktor. Patogen infeksius (virus, bakteri, dan parasit) sering dianggap sebagai
penyebab utama dari perjangkitan penyakit, sedangkan perubahan faktor
lingkungan, mutu air yang jelek, dan manajemen budidaya yang salah menjadi
penyebab infeksi sekunder yang akan memperparah kondisi sakit. Keterikatan
kedua faktor ini akan mempengaruhi keseimbangan fisiologis normal dari suatu
organisme, yaitu jika ada interupsi maka akan menyebabkan tekanan fisiologis
yang dapat menyebabkan perubahan fungsional sel dan tanggap kebal
(Wedemeyer et al. 1990).
Penyakit ikan akibat infeksi Aeromonas hydrophila dan Streptococcus
agalactiae dapat menginfeksi ikan Nila yang ada di alam maupun pada sistem
budidaya. Kedua bakteri ini berasal dari dua tipe Gram bakteri yang berbeda yaitu
Gram negatif (A. hydrophila) dan Gram positif (S. agalactiae) dengan karakter
infeksi dan gejala klinis yang berbeda pula. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
karakteristik tipe ko-infeksi dan karakter pertumbuhan bakteri penyebab penyakit
MAS dan Streptococcosis, sensitifitas terhadap antibiotik, dan pengaruh infeksi
terhadap sel-sel organ dengan melakukan serangkaian uji secara in vivo maupun
in vitro di laboratorium. Penelitian dilakukan dengan metode infeksi tunggal dan
ko-infeksi untuk membedakan gejala klinis dan perubahan patologi organ ikan
Nila (O. niloticus).
Bahan dan Metode
Penelitian tahap awal dilakukan dengan melihat kajian dasar pada kedua
jenis patogen target yaitu A. hydrophila dan S. agalactiae. Beberapa aspek yang
diteliti adalah keberadaan kedua jenis bakteri ini di perairan umum yang
digunakan untuk kegiatan budidaya, melihat karakter pertumbuhan bakteri pada
media tumbuh, melihat kerentanannya terhadap beberapa jenis antibiotik yang ada
di pasaran, serta melihat kerusakan yang terjadi pada organ tubuh ikan yang
terinfeksi kedua jenis bakteri tersebut.
25
1 Survei Lapang
Kegiatan survei dilakukan di sentra budidaya ikan Nila (O. niloticus) pada
karamba jaring apung daerah Cirata-Cianjur. Pengamatan keberadaan penyakit
MAS dan Streptococosis di ikan Nila diambil pada beberapa lokasi karamba,
dilakukan pengamatan gejala klinis, melakukan pembedahan (sectio) untuk
melihat kondisi organ yang teramati dari ikan sehat maupun ikan sakit, dan
membuat preparasi isolat bakteri dengan metode gores pada media tumbuh TSA
(Triptic Soy Agar), R-S agar (Rhimler-Shott), Streptococcus medium, dan BHIA
(Brain Heart Infusion Agar). Hasil inokulasi bakteri diidentifikasi menggunakan
API 20 NE untuk identifikasi bakteri A. hydrophila dan API Strep 20 untuk
identifikasi bakteri S. agalactiae.
2 Analisis Waktu Pematangan
Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae ditumbuhkan pada media TSA dan
BHIA diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 28 oC. Diambil satu koloni terpisah
(102 cfu/mL) dari masing-masing isolat kemudian ditumbuhkan dalam media cair
(Tryptic Soy Broth TSB dan Brain Heart Infusion BHI broth) dan media agar
(TSA dan BHIA) diinkubasi selama 24, 48, dan 72 jam dengan suhu 28 oC.
Pengamatan pertumbuhan bakteri dilakukan dengan menghitung koloni bakteri
yang tumbuh pada media TSA dan BHIA hasil pengenceran seri.
3 Uji Kultur bersama di Media Cair dan Media Agar
Uji pertumbuhan pada media agar dilakukan dengan menggunakan kertas
cakram diameter 0,5 cm dibuat dari kertas cakram Whatman no.4 untuk melihat
kemampuan anti mikrobial yang dimiliki masing-masing isolat. Pertama, kertas
cakram direndam dalam solusi bakteri A. hydrophila (104 cfu/mL) selama 1 jam.
Kertas cakram kemudian diletakkan di atas media BHIA yang telah diinokulasi
dengan bakteri S. agalactiae (0,2 mL 104 cfu/mL). Inokulan diinkubasi selama 24
jam kemudian dihitung diameter zona hambat yang dihasilkan. Kedua, kertas
cakram direndam dalam solusi bakteri S. agalactiae (104 cfu/mL) selama 1 jam.
Kertas cakram kemudian diletakkan di atas media TSA yang telah diinokulasi
26
dengan bakteri A. hydrophila (0,2 mL 104 cfu/mL). Inokulan diinkubasi selama 24
jam kemudian dihitung diameter zona hambat yang dihasilkan.
Uji pertumbuhan pada media cair dengan melakukan kultur bersama di
media TSB dan BHI untuk melihat IC (Inhibitor Concentration). Metoda yang
digunakan dalam uji IC adalah dengan uji pengenceran seri (Dilution Test).
Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae diencerkan hingga didapat konsentrasi
perlakuan yang berbeda (1012
, 1010
, 108, 10
6, 10
4, dan 10
2 cfu/mL). Ke dalam
masing-masing konsentrasi perlakuan kemudian diinokulasikan dengan bakteri
yang berbeda sebanyak 50 µL sehingga total bakteri yang diinokulasikan adalah
100 µL kedalam 10 mL media cair. Pertumbuhan bakteri dari masing- masing
perlakuan dilihat melalui jumlah koloni yang tumbuh pada TSA dan BHIA.
4 Sensitifitas Terhadap Antibiotik
Sensitifitas bakteri terhadap beberapa jenis antibiotik dilakukan dengan
menumbuhkan isolat A. hydrophila dalam media TSA, sedangkan S. agalactiae
ditumbuhkan dalam media BHIA. Kertas cakram yang telah mengandung
antibiotik diletakkan pada inokulan bakteri uji, diinkubasi selama 24 jam pada
suhu 28 oC, zona hambat (zona bening) yang terbentuk diukur diameternya.
Antibiotik yang diujikan meliputi : 1) Eritromisin; 2) Nalidixic acid; 3)
Novobiosin; 4) Klindamisin; 5) Sefalotin; 6) Tetrasiklin; 7) Furazolidon; 8)
Kloramfenikol; 9) Gentamisin; 10) Metisilin; 11) Ampisilin.
5 Pengamatan Gambaran Histopatologi
Pengamatan gambaran histopatologi untuk mengetahui efek dari penyakit
MAS (infeksi A. hydrophila) dan Streptococcosis (infeksi S. agalactiae) terhadap
perubahan struktur sel dilakukan dengan membuat preparat histologi dari organ
hati, limpa, ginjal, dan otak. Preparat kemudian diwarnai menggunakan
Hematoxylin-Eosin (H&E) dan dilakukan pengamatan terhadap perubahan sel-sel
organ menggunakan mikroskop. Sampel ikan yang dibuat preparasinya adalah
dari kelompok ikan yang menunjukkan gejala klinis terinfeksi MAS dan
Streptococcosis yang terjadi secara alami di alam maupun hasil infeksi buatan di
laboratorium.
27
Hasil dan Pembahasan
1 Keberadaan Penyakit dan Gejala Klinis Ikan Terinfeksi MAS dan
Streptococcosis di KJA Cirata
Survei kerentanan ikan Nila terhadap infeksi MAS dan Streptococcosis
dilakukan pada budidaya ikan Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata
yaitu Blok Jangari-Mande dan Blok Pasir Pogor-Bobojong. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa keberadaan Aeromonas hydrophila sebesar 100% dan ko-
infeksi Streptococcus sp. sebesar 20% yang merupakan hasil isolasi bakteri pada
organ ginjal, otak, dan luka dari 10 ekor ikan sakit dan 5 ekor ikan sehat dari
populasi di setiap KJA. Ikan Nila secara alami pada karamba tersebut dapat
terindikasi terjadi ko-infeksi dari penyakit MAS dan Streptococcosis sebesar 20%
dari sampel ikan yang menunjukkan gejala sakit. Gejala klinis yang teramati
ditandai dengan adanya eksoptalmi, warna tubuh gelap, bola mata menonjol dan
berwarna putih (opaque), perut gembung apabila dibedah terdapat cairan
berwarna bening pada rongga perut (asites), perdarahan (hemorrhage), sirip gripis
dan pangkal sirip berwarna pucat, ginjal dan hati berwarna pucat, serta saluran
intestin kosong.
Identifikasi dilakukan pada isolat hasil inokulasi pada media TSA, BHIA,
dan media R-S (Rhimler-Shott) dari luka, ginjal, dan hati ikan Nila yang
menunjukan gejala sakit. Pengujian identifikasi dilakukan di laboratorium
menggunakan API 20 NE diperoleh hasil positif A. hydrophila dan menggunakan
API Strep 20 diperoleh hasil positif S. agalactiae (Lampiran 1).
2 Gejala Klinis Ikan Nila Terserang Ko-infeksi MAS dan Streptococcosis
Hasil Infeksi Buatan
Patogen difasilitasi beberapa faktor yang dapat membantu dalam
kompetisinya untuk hidup pada inang dengan memiliki kemampuan untuk
menempel, penetrasi, hidup, dan berkembangbiak pada tubuh inang. Bakteri A.
hydrophila memiliki beberapa faktor virulensi diantaranya fimbriae (pili),
permukaan protein S-layer, memproduksi siderophore, enterotoksin,
dermonekrotik, hemolisin, proteases, haemaglutinin, dan endotoksin (Cipriano
28
2001). Bakteri S. agalactiae termasuk ke dalam golongan kelompok antigen
Lancefield B dengan tipe haemolitik β (α, -), kemampuan hemolitik terhadap sel
eritrosit tersebut merupakan salah satu penentu faktor virulensinya (Kohler 2007).
Gambar 3 Ikan Nila (O. niloticus) yang terinfeksi. (a) MAS, (b) Streptococcosis,
(c) ko-infeksi MAS dan Streptococcosis. (u) ulcer, (h) hemorrhage,
(exo) eksoptalmi, (op) opaque.
Hasil pengamatan gejala klinis pada ikan Nila yang terinfeksi bakteri A.
hydrophila ditandai dengan adanya perdarahan (hemorrhage), borok (ulcer), dan
mata berwarna putih (opaque) (Gambar 3). Ikan Nila yang terinfeksi bakteri S.
agalactiae menunjukkan gejala pergerakan renang berputar (whirling),
membentuk huruf C (C-shaped) (Gambar 4), dan mata menonjol (eksoptalmi).
Gambar 4 Deformasi C-shaped ikan Nila yang terinfeksi Streptococcosis.
Gejala klinis yang nampak pada ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae
menunjukkan gabungan dari karakter penyakit MAS dan Streptococcosis yaitu
dengan adanya perdarahan pada permukaan tubuh dan eksoptalmi di mata.
Karakter gejala klinis akibat serangan bakteri dari kedua jenis penyakit ini
menjadi lebih dikenal dengan nama Hemorrhage disease untuk penyakit MAS
dan Whirling disease (Gambar 5) untuk penyakit Streptococcosis.
op exo u u
c b a
h
29
Gambar 5 Gerakan renang berputar (whirling) ikan Nila yang terinfeksi
Streptococcosis. Pergerakan ikan ( ) dilihat dari gambar ke-1
berturut-turut sampai gambar ke-18.
18 17 16
15 14 13
12 11 10
9 8 7
5 4
3 2 1
6
30
Gambar 6 Organ dalam ikan Nila yang terserang ko-infeksi MAS dan
Streptococcosis. (a) ikan sehat, (b) ikan terserang kronis, (c) ikan
terserang akut.
Gambaran organ dalam ikan yang terkena ko-infeksi kronis dengan
kejadian kematian setelah lebih dari 5 hari pascainfeksi, terlihat berupa perubahan
warna (ginjal, limpa, hati, dan jantung) menjadi berwarna pucat, dan terdapat
asites berupa cairan berwarna kekuningan pada rongga perut. Gambaran organ
dalam ikan yang terinfeksi akut dengan kejadian kematian ikan pada hari ke-1
sampai hari ke-2 pascainfeksi terlihat adanya warna merah kehitaman pada semua
organ dalam ikan, dan cairan empedu lebih banyak jika dibandingkan dengan ikan
yang sehat (Gambar 6).
Virulensi dari bakteri patogen dapat menimbulkan gejala klinis yang
nampak pada inang terinfeksi. Ibrahem et al. (2008) mengemukakan bahwa gejala
klinis dari ikan Nila yang terinfeksi MAS ditandai dengan adanya septisemia,
asites, luka, cacat tulang, eksoptalmi dan nekrosis otot. Ikan pada kondisi
posmortem ditemukan adanya luka fokal pada parenchym organ hati, limpa, dan
ginjal, serta terdapat cairan yang mengisi rongga abdominal. Hasil isolasi dan
identifikasi didapat jenis bakteri A. hydrophila dari organ intestinal ikan yang
sakit maupun ikan yang sudah sehat, hal ini dapat terjadi pada kondisi invasi
c
b
a
31
penyakit maupun kondisi MAS yang akut dengan adanya lokalisasi koloni bakteri
A. hydrophila yang teridentifikasi dari jaringan hematopoetik.
Bakteri S. agalactiae menyebabkan penyakit septisemia pada ikan Nila,
merusak organ otak, ginjal, usus, dan organ lainnya. Penyakit ini biasanya
ditandai dengan gejala anoreksia, eksoptalmi, asites dan gerakan renang tak
menentu. Percobaan infeksi buatan pada ikan mullet dan seabream menggunakan
isolat S. agalactiae dari otak ikan Nila (O. niloticus L.) menyebabkan kematian
100% dan 90%, dengan masa pascainfeksi selama 7 hari, hal ini menandakan
bahwa S. agalactiae bersifat virulen yang menyebabkan penyakit epizootik
(Evans et al. 2002).
3 Waktu Pematangan dan Uji Kultur bersama di Media Cair dan Media
Agar
Penghitungan koloni bakteri pada media agar dari kepadatan tanam awal
sebanyak 102 cfu/mL diperoleh hasil bahwa kepadatan bakteri pada media TSA
dengan lama inkubasi 24, 48, dan 72 jam berturut-turut untuk A. hydrophila
adalah 1013
cfu/mL, 1014
cfu/mL, dan 1014
cfu/mL, sedangkan S. agalactiae adalah
108
cfu/mL, 1010
cfu/mL, dan 1012
cfu/mL. Kepadatan bakteri pada media BHIA
dengan lama inkubasi 24, 48, dan 72 jam berturut-turut untuk A. hydrophila
adalah 1012
cfu/mL, 1013
cfu/mL, dan 1013
cfu/mL, sedangkan S. agalactiae adalah
108
cfu/mL, 1011
cfu/mL, dan 1013
cfu/mL.
Penghitungan koloni bakteri pada media broth dari kepadatan tanam awal
sebanyak 102 cfu/mL diperoleh hasil bahwa kepadatan bakteri pada media TSB
dengan lama inkubasi 24, 48, dan 72 jam berturut-turut untuk A. hydrophila
adalah 1012
cfu/mL, 1011
cfu/mL, dan 1010
cfu/mL, sedangkan S. agalactiae adalah
108
cfu/mL, 1010
cfu/mL, dan 1012
cfu/mL. Kepadatan bakteri pada media BHI
dengan lama inkubasi 24, 48, dan 72 jam berturut-turut untuk A. hydrophila
adalah 1012
cfu/mL, 1012
cfu/mL, dan 1010
cfu/mL, sedangkan S. agalactiae adalah
106
cfu/mL, 109
cfu/mL, dan 1011
cfu/mL.
32
Gambar 7 Pertumbuhan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media agar.
(a) dan media cair, (b) dengan kepadatan tanam awal 1 koloni.
Karakter waktu pematangan bakteri A. hydrophila akan mencapai puncak
pertumbuhan pada 24 jam masa inkubasi. Karakter waktu pematangan bakteri S.
agalactiae akan mencapai puncak pertumbuhan pada 72 jam masa inkubasi
(Gambar 7).
Gambar 8 Uji kultur bersama bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media
agar BHIA dengan masa inkubasi 48 jam.
Kepadatan bakteri ketika ditumbuhkan dalam media cair secara terpisah
diperoleh hasil untuk A. hydrophila 1012
cfu/mL dan S. agalactiae 108
cfu/mL,
hasil ini tidak jauh berbeda ketika kedua bakteri ini ditumbuhkan dalam media
cair secara bersamaan, yaitu untuk kepadatan di media TSB : A. hydrophila 1011
cfu/mL dan S. agalactiae 107
cfu/mL, sedangkan di media BHI : A. hydrophila
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 jam 24 jam 48 jam 72 jam
kep
adat
an b
akte
ri l
og c
fu/m
L
waktu pengamatan (jam)
A. hydrophila di TSA
A. hydrophila di BHIA
S. agalactiae di BHIA
S. agalactiae di TSA
0
2
4
6
8
10
12
14
0 jam 24 jam 48 jam 72 jam
kep
adat
an b
akte
ri l
og c
fu/m
L
waktu pengamatan (jam)
A. hydrophila di TSB
A. hydrophila di BHI
S. agalactiae di BHI
S. agalactiae di TSB
b a
33
1012
cfu/mL dan S. agalactiae 106
cfu/mL. Kepadatan A. hydrophila yang lebih
dominan ketika ditumbuhkan bersamaan disebabkan bakteri ini memiliki
kemampuan tumbuh dalam media lebih cepat dibandingkan dengan S. agalactiae.
Gambar 9 Uji kultur bersama bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada media
cair dengan masa inkubasi 24 jam.
( ) A. hydrophila,( ) S. agalactiae.
Hasil uji kultur bersama bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae pada
media agar (Gambar 8) maupun media cair (Gambar 9) menunjukkan bahwa
kedua jenis bakteri dapat tumbuh bersinergi. Kultur bersama pada media agar
tidak menghasilkan zona hambat antar isolat, kedua isolat mampu tumbuh
bersama dalam media cair, dan tidak menunjukkan aktifitas anti mikrobial.
Karakter pertumbuhan bakteri yang bersinergi ini, diduga karena kedua jenis
bakteri tidak memiliki enzim yang dapat menghambat pertumbuhan satu sama lain
dan tidak saling berkompetisi dalam perebutan media untuk tumbuh.
4 Sensitifitas Terhadap Antibiotik
Bakteri A. hydrophila isolat AHL0905-2 bersifat resisten terhadap
Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Metisilin, dan Ampisilin; bersifat intermediet
terhadap Eritromisin, Nalidixic acid, Furazolidon, dan Gentamisin; bersifat rentan
terhadap Tetrasiklin dan Kloramfenikol. Strain A. hydrophila yang berbeda dapat
menentukan perbedaan karakter terhadap beberapa antibiotik, seperti yang
dikemukakan oleh Angka (1997) bahwa hasil uji terhadap beberapa isolat bakteri
0
2
4
6
8
10
12
14
A. hydrophila + S.
agalactiae pada TSB
A. hydrophila + S.
agalactiae pada BHI
A. hydrophila pada
BHI
S. agalactiae pada
TSB
kep
adat
an b
akte
ri l
og c
fu/m
L
bakteri uji dalam media
34
A. hydrophila terhadap beberapa antibiotik menunjukkan bahwa berturut-turut
bersifat resisten; intermediet; sensitif terhadap antibiotik Oksitetrasiklin (12%;
22,9%; 65,1%), Oxolinic acid (9,6%; 6,9%; 84,4%), Eritromisin (28,9%; 10,8%;
60,3%), Streptomisin (10,8%; 15,7%; 73,5%), Kloramfenikol (28,9%; 14,5%;
56,6%), dan potensial Sulfonamid (20,5%; 7,2%; 72,3%).
Bakteri S. agalactiae isolat N14G bersifat resisten terhadap Nalidixic acid
dan Furazolidon, intermediet terhadap Gentamisin, dan bersifat rentan terhadap
Eritromisin, Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Tetrasiklin, Kloramfenikol,
Metisilin, dan Ampisilin (Tabel 2). Hasil uji sedikit berbeda dengan yang
dilakukan oleh Hardi (2011), bakteri S. agalactiae bersifat resisten terhadap
Metisilin, Tetrasiklin, Klindamisin, dan Gentamisin; bersifat rentan terhadap
Kloramfenikol, Sefalotin, dan Ampisilin; serta bersifat intermediet terhadap
Eritromisin. Perbedaan sensitifitas terhadap antibiotik dapat terjadi karena adanya
perbedaan strain dari bakteri S. agalactiae.
Antibiotik yang dapat menanggulangi bakteri A. hydrophila adalah
Tetrasiklin dan Kloramfenikol, sedangkan untuk menanggulangi S. agalactiae
adalah Eritromisin, Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Tetrasiklin,
Kloramfenikol, Metisilin, dan Ampisilin. Antibiotik yang dapat menanggulangi
kejadian ko-infeksi dari kedua jenis bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae
adalah dengan menggunakan antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol (Tabel 2).
Hasil sensitifitas terhadap antibiotik menunjukkan bahwa kedua jenis
bakteri penyebab MAS dan Streptococcosis sebenarnya masih dapat ditanggulangi
dengan perlakuan antibiotik. Antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri ini adalah termasuk dari jenis antibiotik yang sudah dilarang
penggunaannya dan masuk dalam kriteria obat keras menurut Komisi Obat
Indonesia (KOI), maka perlu dilakukan upaya pencegahan melalui imunostimulasi
menggunakan imunostimulan maupun vaksin.
Hasil uji sensitifitas terhadap antibiotik menunjukkan bahwa A. hydrophila
bersifat resisten terhadap Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Metisilin, dan
Ampisilin. Bakteri S. agalactiae bersifat resisten terhadap Nalidixic acid dan
Furazolidon. Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel
35
mikroorganisme oleh antibiotika. Sifat resistensi dapat dipengaruhi oleh faktor
non-genetik yaitu keadaan bakteri pada stadium istirahat, sehingga bakteri tidak
peka terhadap antibiotik. Resistensi karena faktor non-genetik yang umumnya
terjadi karena perubahan pada pertahanan tubuh bakteri itu sendiri atau perubahan
struktur bakteri sehingga tidak sesuai lagi sebagai target antibiotik. Resistensi
yang dipengaruhi faktor genetik yaitu suatu keadaan mikroorganisme yang semula
peka terhadap suatu antibiotik pada suatu saat dapat berubah sifat genetiknya
menjadi tidak peka atau memerlukan konsentrasi yang lebih besar. Perubahan ini
terjadi karena gen bakteri mendapatkan elemen genetik yang terbawa sifat
resistensi. Perubahan genetik dapat ditransfer atau dipindahkan dari satu spesies
bakteri ke spesies lainnya melalui berbagai mekanisme (Shome & Shome 1999).
Tabel 2 Sensitifitas terhadap beberapa jenis antibiotik
No Dosis
(g)
Nama
Antibiotik
Zona bening pada isolat
bakteri (mm) Keterangan
A. hydrophila S. agalactiae A. hydrophila S. agalactiae
1 15 Eritromisin 12 33 intermediet rentan
2 30 Nalidixic acid 20 - intermediet resisten
3 30 Novobiosin - 25 resisten rentan
4 2 Klindamisin - 31 resisten rentan
5 30 Sefalotin - 40 resisten rentan
6 30 Tetrasiklin 22 32 rentan rentan
7 100 Furazolidon 11 - intermediet resisten
8 30 Kloramfenikol 25 30 rentan rentan
9 10 Gentamisin 15 11 intermediet intermediet
10 5 Metisilin - 25 resisten rentan
11 10 Ampisilin - 31 resisten rentan
5 Gambaran Histopatologi Ikan Nila Terserang Ko-infeksi MAS dan
Streptococcosis
Hasil pengamatan histopatologi organ otak menunjukkan suatu kongesti
pada daerah optic tectume di mesensefalon yang merupakan bagian otak terbesar
pada ikan yang berfungsi untuk mengontrol sensor dan pergerakan mata, dan ada
perdarahan (hemorrhage) pada mauthner cell yang terdapat pada metensefalon
dan mielensefalon dengan fungsinya sebagai pengatur gerak reflek dari saraf otot
(C-start behavior). Diantara tubuli ginjal terdapat suatu infiltrasi limfosit dan ada
36
sel yang nekrosis sehingga membentuk deformasi sel. Pada organ limpa terdapat
melano macrofag centre (MMC) yang bersifat multifokal (Gambar 10). Hasil
pengamatan histopatologi dibandingkan dengan kontrol organ yang sehat dari
Atlas Fish Histology (Takashima & Hibiya 1995).
Gambar 10 Histopatologi kerusakan organ dari ikan Nila hasil ko-infeksi A.
hydrophila+S. agalactiae dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin
(H dan E). (a) otak bagian cerebellum, (b) otak bagian
mesencephalon, (c-d) limpa, dan (e-f) ginjal. (p) perdarahan, (n)
nekrosa, (mmc) melano macrofag centre, (i) inflamasi, (d)
degenerasi, (g) granuloma.
Kerusakan pada optic tectum akan menimbulkan perubahan penampakan
dari mata ikan, baik itu berupa mata menonjol maupun adanya disorientasi dari
bola mata. Kerusakan pada metensefalon dan mielensefalon akan mengakibatkan
b a
d
n
d c
p mmc
d
g
f e
i
37
gerakan ikan yang tak terkontrol yaitu berupa pergerakan memutar dan adanya
deformasi bentuk tubuh menyerupai huruf C.
Hasil histopatologi terbagi ke dalam dua pola karakter luka. Pola pertama,
luka yang fokal yaitu kerusakan sel yang terjadi hanya pada satu sel, luka yang
mild dengan kerusakan minor tidak sampai merubah bentuk sel, dan terlihat
adanya inflamasi dan granuloma. Granuloma berisi kumpulan sel-sel yang rusak,
yang diselubungi oleh kapsul tebal dari kumpulan makrofag. Pusat makrofag dan
melanomakrofag juga teramati banyak menyelubungi granuloma. Pola kedua,
luka yang multifokal dengan kerusakan sel yang terjadi pada beberapa sel secara
mengelompok, luka parah (acute), nekrotik, luka inflamasi yang melibatkan
leukosit, makrofag, fibrin dan sel granular eosinophilik. Kedua pola luka biasanya
teramati ada pada bagian otak dan mata (Hernandez et al. 2009).
Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme
pertahanan untuk eliminasi bakteri. Mekasime terjadinya kerusakan jaringan
karena adanya sitokin yang menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada
endotel vaskular pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal
serta aktivasi sel inflamasi (Smith 1977).
Simpulan dan Saran
Simpulan hasil penelitian ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae
penyebab infeksi MAS dan Streptococcosis dengan meneliti keberadaan, daya
tumbuh secara in-vitro, sensitifitas terhadap beberapa antibiotik, dan gambaran
histopatologi organ adalah :
1. Keberadaan ikan Nila terserang A. hydrophila di KJA Cirata adalah 100%,
yang terserang ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae adalah 20% dari
populasi disetiap karamba.
2. Infeksi bakteri A. hydrophila dapat menyebabkan penyakit MAS dengan
gejala klinis terdapat keputihan pada mata, perdarahan dan borok pada tubuh.
3. Infeksi bakteri S. agalactiae menyebabkan penyakit Streptococcosis dengan
gejala eksoptalmi pada mata, gerakan renang berputar (whirling) dan
membentuk huruf C.
38
4. Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat tumbuh bersinergi pada media
inokulasi buatan.
5. Waktu pematangan dalam media cair maupun media padat untuk bakteri A.
hydrophila adalah 24 jam, sedangkan bakteri S. agalactiae adalah 72 jam.
6. Ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae dapat ditanggulagi menggunakan
antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol (rentan) atau Gentamisin,
Eritromisin, dan Novobiosin (rentan-intermediet).
7. Hasil histopatologi organ ginjal, otak, dan limpa memperlihatkan dua pola
karakter luka. Pola pertama, luka yang fokal sampai terlihat adanya inflamasi
dan perdarahan. Pola kedua, luka yang multifokal, luka parah (acute),
nekrotik, dan luka inflamasi yang mengakibatkan deformasi sel-sel organ.
Karakter dari kedua jenis bakteri ini dapat dijadikan pertimbangan awal
dalam langkah pencegahan maupun pengobatan yang akan dilakukan, sehingga
strategi penanggulangan penyakit ini dapat optimal dilakukan dan tepat guna.
39
PATOGENESIS KO-INFEKSI Aeromonas hydrophila DAN
Streptococcus agalactiae PADA IKAN NILA (Oreochromis
niloticus)
Abstrak
Karakteristik hasil ko-infeksi buatan dari bakteri Aeromonas hydrophila
dan Streptococcus agalactiae dapat dilihat dengan menggunaan parameter
gambaran hematologi dan pola kematian ikan. Pengujian ko-infeksi melalui
injeksi pada ikan Nila ukuran 15±0,5 g menggunakan dosis mematikan (LD100)
dan dosis mematikan (LD50) menyebabkan kematian bervariasi antara 20-90%
dalam waktu 1-12 hari masa inkubasi. Bakteri A. hydrophila lebih mematikan
untuk ikan Nila pada dosis LD100. Pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa
infeksi MAS bersifat akut dan kronis, sedangkan infeksi Streptococcosis bersifat
sub-akut. Perubahan pertahanan non spesifik ikan terhadap infeksi patogen dilihat
dengan mengamati level hematokrit, neutrofil, limfosit, monosit, dan indeks
fagositik darah ikan Nila yang diambil dari arteri caudalis pada hari ke-3, ke-6,
ke-9, ke-12, dan ke-15 setelah infeksi. Hasil analisis perubahan level hematokrit
dan limfosit lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, level neutrofil lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol, dan level monosit dan indeks fagositik fluktuatif
selama masa perlakuan memperlihatkan adanya homeostasi gambaran darah ikan
terhadap serangan infeksi antigen.
Kata kunci : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, ko-infeksi, hematologi
Abstract
Characteristic of co-infection from A. hydrophila and S. agalactiae were
assessed by analyzing hematological parameters and pattern of death. Nile Tilapia
(Oreochromis Niloticus) sized 15 g were infected by intraperitoneal injection with
A. hydrophila and S. agalactiae using LD100 and LD50 dose. Mortality of fish was
20-90% in day one until day twelve post infections. The mortality patterns of Nile
Tilapias showed sub-acute infection to Streptococcocis, acute and chronic
infections to Motile Aeromonas Septicemia. Bacterium A. hydrophila more
virulent for Nile Tilapias at lethal dose (LD100) compared to S. agalactiae, this
matter was anticipated caused by endotoksin A. hydrophila had the character of
toxic lethal. The different administration co-infection stimulated hematological
responsse in Nile Tilapia post-infection. Infected fish groups presented higher
hematocrit, number of neutrophils, number of lymphocytes, number of
monocytes, and phagocytic ability on 3, 6, 9, 12, and 15 days after infection than
the non-infected group. The result of this study suggested that there was a
homeostatic balances on hematological response during co-infection.
Key Words : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, co-infection, haematology
40
Pendahuluan
Motile Aeromonas Septicemia (MAS) adalah infeksi A. hydrophila
komplek yang mengakibatkan hemoragik septisemia pada beberapa spesies ikan
budidaya maupun spesies ikan di alam. Tiga spesies penyebab penyakit MAS
adalah dari jenis A. hydrophila, A. sobria, A. caviae, jenis bakteri strain A.
hydrophila merupakan predominan patogen pada ikan. Aeromonas juga
merupakan spesies oportunis dan merupakan penyebab infeksi sekunder. Wabah
MAS biasanya terjadi apabila ada stresor lingkungan, infeksi parasit dan
perubahan fisiologis tubuh yang mengakibatkan ikan menjadi rentan terhadap
serangan infeksi Aeromonas (Toranzo et al. 2009).
Infeksi streptokokal menjadi aspek infeksi baru dalam kegiatan
akuakultur. Bakteri S. agalactiae awalnya menyerang ikan rainbow trout (Salmo
gardnieri) dan Nila di Israel. Ikan Nila yang terinfeksi streptokokal menunjukkan
gejala adanya kerusakan pada sistem syaraf pusat, dengan gejala yang spesifik
yaitu gerakan renang berputar (whirling) dan eksoptalmi (Kohler 2007). Tahun
2008 S. agalactiae berhasil diisolasi dari ikan Nila pada sistem budidaya di
Indonesia oleh Lusiasti et al. (2008), sehingga menjadi perhatian utama dalam
kegiatan riset untuk melihat aspek epidemiologi dan penanggulangannya.
Hasil uji pertumbuhan bakteri pada media cair maupun media padat
menunjukkan bahwa kedua jenis bakteri ini dapat tumbuh bersinergi (tidak saling
menghambat), akan tetapi kemampuan tumbuh antigen dalam tubuh ikan secara
langsung belum diketahui. Pengaruh infeksi bakteri A. hydrophila dan S.
agalactiae terhadap gambaran hematologi dan kematian ikan dapat dilihat dengan
melakukan uji kerentanan ikan Nila terhadap kedua jenis penyakit ini, yang
dilakukan secara in-vitro untuk melihat kompetisi antigen dan ko-infeksi dari
kedua jenis bakteri penyebab penyakit.
Bahan dan Metode
1 Uji Patogenesis
Uji patogenesis bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan gabungan
keduanya pada ikan Nila (O. niloticus) dilakukan dengan cara injeksi intra
41
peritoneal (IP) bakteri A. hydrophila LD100 (1012
cfu/mL) dan LD50 (107 cfu/mL)
(Sugiani et al. 2010) dan S. agalactiae LD100 (108 cfu/mL) dan LD50 (10
3 cfu/mL)
(Taukhid & Purwaningsih 2011) 0,1 mL/ekor untuk melihat dampak infeksi
bakteri pada ikan Nila. Ikan dipelihara selama 1-14 hari untuk melihat gambaran
darah dan kematian ikan.
Tabel 3 Perlakuan infeksi LD100
Perlakuan Tipe bakteri dan media tumbuh Lama inkubasi (jam) Kode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Aeromonas hydrophila TSB
Aeromonas hydrophila TSB
Aeromonas hydrophila TSB
Streptococcus agalactiae BHI
Streptococcus agalactiae BHI
Streptococcus agalactiae BHI
A. hydrophila+S. agalactiae TSB
A. hydrophila+S. agalactiae TSB
A. hydrophila+S. agalactiae TSB
Aeromonas hydrophila TSA
Aeromonas hydrophila TSA
Aeromonas hydrophila TSA
Streptococcus agalactiae BHIA
Streptococcus agalactiae BHIA
Streptococcus agalactiae BHIA
A. hydrophila+S. agalactiae BHI
A. hydrophila+S. agalactiae BHI
A. hydrophila+S. agalactiae BHI
TSB
BHI
24
48
72
24
48
72
24
48
72
24
48
72
24
48
72
24
48
72
-
-
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
D1
D2
D3
E1
E2
E3
F1
F2
F3
Kontrol
Kontrol
Sediaan bakteri bakteri A. hydrophila diinkubasi pada media TSA dan
TSB selama 24, 48, dan 72 jam pada suhu 28 oC, sedangkan S. agalactiae
diinkubasi pada media BHIA dan BHI broth selama 24, 48, dan 72 jam pada suhu
28 oC (Tabel 3). Inokulan dari media agar sebanyak 1 cawan petri dipanen ke
dalam 10 mL salin 0,845%, kemudian dari masing-masing sediaan dilakukan
pengenceran seri untuk mendapatkan dosis yang diharapkan.
Perlakuan infeksi LD50 menggunakan isolat bakteri dari media tumbuh
dengan lama waktu inkubasi yang menimbulkan kematian terbanyak serta waktu
42
tersingkat pada hasil perlakuan LD100, dengan rincian kode untuk masing-masing
inokulan bakteri sebagaimana tertera pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 4 Perlakuan infeksi LD50
Perlakuan Tipe bakteri Perbandingan volume bakteri Kode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
A1 + B1
A1 + B1
A1 + B1
A1 + B1
A1 + B1
D1 + E3
D1 + E3
D1 + E3
D1 + E3
D1 + E3
Tryptic Soy Broth
Brain Heart Infusion
50 : 50
75 : 25
25 : 75
0 : 100
100 : 0
50 : 50
75 : 25
25 : 75
0 : 100
100 : 0
-
-
A
B
C
D1
D2
E
F
G
H1
H2
Kontrol
Kontrol
A. hydrophila dalam TSB dengan masa inkubasi 24 jam (A1), S. agalactiae dalam BHI
dengan masa inkubasi 24 jam (B1), A. hydrophila dalam TSA dengan masa inkubasi 24
jam (D1), S. agalactiae dalam BHIA dengan masa inkubasi 72 jam (E3).
2 Gambaran Hematologi
Analisis gambaran hematologi dan sistem imun dilakukan dengan
mengamati sampel darah yang diambil dari ikan perlakuan kemudian diukur kadar
hematokrit menurut metode Anderson dan Siwicki (1995), differensial leukosit
menurut metode Blaxhall dan Daisley (1973), dan indeks fagositik menurut
metode Zhang et al. (2008).
Hasil dan Pembahasan
Ikan dapat membentuk pertahanan diri terhadap serangan infeksi bakteri.
Apabila terjadi suatu serangan patogen atau benda asing pada ikan maka akan
terjadi respons imun alami yang melibatkan sirkulasi dan perbaikan jaringan
melalui respons fagosit granulosit (neutrofil dan eosinofil sel granular) monosit,
dan sel makrofag. Respons imun alami ini hanya dapat bertahan dan berfungsi
dengan baik pada beberapa hari atau minggu setelah adanya invasi bakteri ke
dalam tubuh dan berfungsi sebagai respons imun anti-infeksi fase awal.
43
Gambar 11 Total hematokrit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1
75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1
0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3
50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3
25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3
100:0, dan Kontrol.
Hasil perlakuan ko-infeksi (Kode A, B, C, E, F, dan G) dengan
perbandingan komposisi cfu/mL bakteri yang berbeda antara A. hydrophila dan S.
agalactiae menunjukkan adanya penurunan kadar hematokrit. Hematokrit darah
diukur dengan melihat proporsi volume darah yang terdiri dari sel darah merah,
plasma atau komponen cairan, dan sel-sel lainnya. Perlakuan infeksi bakteri dapat
menurunkan jumlah hemosit (sel darah merah) dan meningkatkan plasma darah
pada setiap perlakuan, terdapat perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan
control (P<0,05), namun tidak berbeda nyata (P>0,05) jika dibandingkan dengan
perlakuan infeksi tunggal A. hydrophila (Kode D2 dan H2) dan infeksi tunggal S.
agalactiae (Kode D1 dan H1) (Gambar 11).
Aktifitas makrofag atau sel mast oleh adanya invasi bakteri dapat
mempengaruhi pembentukan mediasi inflamasi dan merangsang transfer serta
akumulasi leukosit ke daerah yang terinfeksi. Selama infeksi bakteri sedang
berlangsung, adanya respons pertahanan ikan ditandai dengan banyaknya leukosit
0
50
100
150
A B C D1 D2 E F G H1 H2 Kontrol
Hem
ato
kri
t (%
)
Perlakuan
48 jam (Plasma darah) 48 jam (sel darah) 96 jam (Plasma darah)
96 jam (sel darah) 144 jam (Plasma darah) 144 jam (sel darah)
192 jam (Plasma darah) 192 jam (sel darah) 240 jam (Plasma darah)
240 jam (sel darah)
44
yang ditransfer sehingga akan nampak adanya peningkatan jumlah leukosit dalam
darah yang berfungsi untuk mengeliminasi serangan bakteri (Caruso et al. 2002).
Gambar 12 Total monosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1
75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1
0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3
50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3
25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3
100:0, dan Kontrol.
Jumlah monosit, neutrofil, dan limfosit mengalami fluktuasi membentuk
suatu homeostasi total leukosit dengan rata-rata terlihat adanya peningkatan
jumlah limfosit dan monosit serta adanya penurunan jumlah neutrofil jika
dibandingkan dengan kontrol (Gambar 12, 13, dan 14). Hal ini menunjukkan
adanya aktifitas pertahanan non spesifik dari ikan berupa peningkatan monosit
darah yang berfungsi sebagai sel fagosit (makrofag) yang akan memfagositosis
antigen bakteri dalam tubuh ikan (Gambar 15).
Peningkatan jumlah limfosit menunjukkan bahwa ada aktifitas pertahanan
selular spesifik yang memungkinkan adanya pembentukan antibodi atau memori
pada ikan yang dapat bertahan dari serangan ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae. Nilai indeks fagositik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
pada setiap perlakuan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan aktifitas
fagositik dari ikan terhadap adanya serangan infeksi bakteri.
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
DL
(M
on
osi
t %
)
Perlakuan
48 jam 96 jam 144 jam 192 jam 240 jam
45
Gambar 13 Total neutrofil ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1
75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1
0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3
50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3
25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3
100:0, dan Kontrol.
Gambar 14 Total limfosit ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1
75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1
0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3
50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3
25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3
100:0, dan Kontrol.
Menurut Pan (1999), selama masa infeksi akan terjadi peningkatan yang
signifikan dari aktifitas fagositosis oleh neutrofil. Hasil penelitian Zhang et al.
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
DL
(N
eutr
ofi
l %
)
Perlakuan
48 jam 96 jam 144 jam 192 jam 240 jam
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
DL
(L
imfo
sit
%)
Perlakuan
48 jam 96 jam 144 jam 192 jam 240 jam
46
(2008), injeksi A. hydrophila 5,2x106 cfu/mL terhadap Bullfrog menunjukkan
trend penurunan secara gradual dari presentasi tingkat fagositosis darah, total
leukosit dan eritrosit lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, serta aktifitas
antibakterial meningkat. Infeksi A. hydrophila dapat mempengaruhi reaksi imun
non-spesifik pada Bullfrog.
Gambar 15 Indek fagositik ikan Nila hasil ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae. (A) Tipe bakteri A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1
75:25, (C) Tipe bakteri A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1
0:100, (D2) Tipe bakteri A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3
50:50, (F) Tipe bakteri D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3
25:75, (H1) Tipe bakteri D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3
100:0, dan Kontrol.
Kematian ikan Nila yang terjadi setelah diinfeksi dengan A. hydrophila
menunjukkan kematian lebih cepat yaitu jam ke-6 pascainjeksi dengan jumlah
kematian mencapai 100%. Hal ini disebabkan karena adanya toksin mematikan
dari produk ekstraselular bakteri A. hydrophila yang menjadi salah satu faktor
virulensi dari jenis bakterin tersebut, karena jumlah bakteri yang diinjeksikan
sangat tinggi yaitu 1012
cfu/mL.
Kematian ikan setelah diinjeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae
dengan perbedaan waktu tanam dalam media yang berbeda sesuai dengan hasil
kurva tumbuh pada tahap satu, diperoleh hasil bahwa yang paling mematikan dari
isolat bakteri A. hydrophila adalah yang ditanam dalam media TSB dan TSA
umur inkubasi 24 jam, sedangkan untuk isolat S. agalactiae adalah yang ditanam
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
Ind
eks
fago
siti
k (
%)
Perlakuan
0 jam 48 jam 96 jam 144 jam 192 jam 240 jam
47
dalam media BHI umur inkubasi 24 jam dan dalam media BHIA umur inkubasi
72 jam (Gambar 16).
Gambar 16 Kematian ikan Nila pada perlakuan infeksi LD100. A1 (A. hydrophila
TSB 24 jam), A2 (A. hydrophila TSB 48 jam), A3 (A. hydrophila
TSB 72 jam), B1 ( S. agalactiae BHI 24 jam), B2 ( S. agalactiae
BHI 48 jam), B3 ( S. agalactiae BHI 72 jam), C1 (A. hydrophila+S.
agalactiae TSB 24 jam), C2 (A. hydrophila+S. agalactiae TSB 48
jam), C3 (A. hydrophila+S. agalactiae TSB 72 jam), D1 (A.
hydrophila TSA 24 jam), D2 (A. hydrophila TSA 48 jam), D3 (A.
hydrophila TSA 72 jam), E1 (S. agalactiae BHIA 24 jam), E2 (S.
agalactiae BHIA 48 jam), E3 (S. agalactiae BHIA 72 jam), F1 (A.
hydrophila+S. agalactiae 24 jam), F2 (A. hydrophila+S. agalactiae
48 jam), F3 (A. hydrophila+S. agalactiae 72 jam), dan kontrol.
Perbedaan tingkat virulensi ini diduga karena adanya perbedaan
kandungan komponen penyusun media tumbuh yang dapat mempengaruhi tingkat
kematangan bakteri dan ekspresi virulensi dari masing-masing bakteri.
Pengujian ko-infeksi dilakukan melalui injeksi intra peritoneal pada ikan
Nila menggunakan dosis LD100 dan dosis LD50, di mana masing-masing ikan
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
1 3 6 12 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336
Pengamatan jumlah ikan (jam)
Kem
atia
n i
kan
(ek
or)
A1 A2 A3 B1
B2 B3 C1 C2
C3 D1 D2 D3
E1 E2 E3 F1
F2 F3 Kontrol
48
diinjeksi 0,1 mL inokulan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dengan masa
inkubasi berbeda yaitu 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Perlakuan ko-infeksi dengan
dosis 50:50 (A. hydrophila:S. agalactiae) menunjukkan kematian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan dosis ko-infeksi 25:75 maupun 75:25. Hasil ko-
infeksi menyebabkan kematian bervariasi antara 33-50% dalam waktu inkubasi 2-
12 hari.
Gambar 17 Kematian ikan Nila pada perlakuan infeksi LD50. (A) Tipe bakteri
A1+B1 50:50, (B) Tipe bakteri A1+B1 75:25, (C) Tipe bakteri
A1+B1 25:75, (D1) Tipe bakteri A1+B1 0:100, (D2) Tipe bakteri
A1+B1 100:0, (E) Tipe bakteri D1+E3 50:50, (F) Tipe bakteri
D1+E3 75:25, (G) Tipe bakteri D1+E3 25:75, (H1) Tipe bakteri
D1+E3 0:100, (H2) Tipe bakteri D1+E3 100:0, dan kontrol.
Hasil uji LD50 (Gambar 17) yang mematikan ikan Nila sebesar 50% dari
ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae adalah pada perlakuan B dan E.
Perlakuan B adalah campuran 75:25 bakteri A. hydrophila dalam TSB (24 jam)
dengan S. agalactiae dalam BHI (24 jam). Perlakuan E adalah campuran 50:50
0
5
10
15
20
25
30
35
24 48 72 96 120 144 168 192 216 240
Kem
atia
n i
kan
(ek
or)
pengamatan jumlah ikan (jam)
A B C D1D2 E F GH1 H2 Kontrol
49
bakteri A. hydrophila dalam TSA (24 jam) dengan S. agalactiae dalam BHIA (72
jam).
Kematian yang berbeda diduga karena adanya keterbatasan sistem
imunologi ikan yang hanya mampu mengenali finite clonal dari suatu antigen
dalam satu waktu sekitar 105 sel, dan bahwa setiap antigen memiliki karakter
berbeda dalam pengenalan dengan sistem imun non spesifik dari ikan. Setiap
antigen yang masuk ke dalam tubuh ikan, ada yang berhasil dieliminasi oleh
sistem imun namun untuk yang lolos dari eliminasi akan menyebabkan kerusakan
sel dan menimbulkan penyakit pada inang. Ikan memiliki keterbatasan di dalam
memberikan respons imun dan respons pengenalan multi antigen. Keterbatasan
kapasitas finite clonal dan proteksi imunitas (rata-rata terbatas pada 5x105 sel
antigen yang dapat dikenali vektor imun ikan sebagai antigen pada satu waktu)
akan mempengaruhi efektifitas respons imun ikan (Busch 1997).
Infeksi tunggal bakteri A. hydrophila maupun bakteri S. agalactiae
ternyata lebih mematikan daripada hasil ko-infeksi dengan tingkat kematian 13-
100%. Bakteri A. hydrophila lebih mematikan untuk ikan Nila pada dosis tinggi
(LD100) dibanding dengan bakteri S. agalactiae, hal ini diduga karena adanya
endotoksin yang dimiliki bakteri A. hydrophila yang bersifat sangat toksik (lethal
toxic). Kebalikannya dengan dosis mematikan (LD50) bakteri S. agalactiae
ternyata lebih virulen dibandingkan dengan bakteri A. hydrophila pada ikan Nila.
Dilihat dari pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi
Streptococcosis bersifat sub-akut di mana rata-rata kematian terjadi 3-8 hari
pascainfeksi. Sedangkan infeksi MAS bersifat akut dan kronis, di mana kematian
akut terjadi hari ke-1 sampai hari ke-3 pascainfeksi dan kematian kronis terjadi >
8 hari pascainfeksi, dengan kematian ikan antara 20-100%.
Mian et al. (2009) menyatakan bahwa pada suhu perairan hangat lebih dari
27 oC S. agalactiae cenderung lebih bersifat virulen. Setelah uji tantang dengan
LD50 (strain SA 20-06 LD50 pada 6,14x107
cfu/mL) menyebabkan kematian 90-
100%. Gejala klinis muncul 24 jam pascainfeksi, dengan gerakan renang tak
menentu merupakan gejala yang umum terjadi apabila terjadi infeksi pada bagian
50
otak. Kematian terjadi pada 72 jam pascainfeksi, namun beberapa ikan mati
setelah 14 hari pascainfeksi.
Penyakit biasanya timbul dalam tipe infeksi akut dengan kondisi klinis
munculnya peradangan yang sistemik dan mengakibatkan kematian dalam waktu
24 sampai 48 jam. Tipe infeksi kronis ditandai dengan kerusakan pada bagian
sirip, lesi pada kulit, gerakan renang lemah, dan menyebabkan kematian 10
sampai 70% dari total populasi di kolam budidaya (Ibrahem et al. 2008). Penyakit
yang diakibatkan oleh infeksi A. hydrophila digolongkan dari yang bersifat akut
hingga bersifat laten dengan membentuk infeksi septisemia (Ismail et al. 2010).
Simpulan dan Saran
Hasil dari uji patogenesis ko-infeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae
dapat disimpulkan bahwa :
1. Injeksi secara intra peritoneal dari kedua jenis bakteri tersebut pada ikan Nila
dapat merangsang homeostasi respons imun non-spesifik (monosit, neutrofil,
limfosit, dan hematokrit) dan meningkatkan kemampuan fagositosis darah.
2. Pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi MAS bersifat akut dan
kronis, sedangkan infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut.
3. Ko-infeksi buatan dari gabungan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae
menyebabkan kematian ikan Nila sebesar 33-50% dalam waktu 2-12 hari
pascainfeksi.
Ikan Nila sangat rentan terhadap infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari
bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Karakter dari patogenesis infeksi A.
hydrophila dan S. agalactiae yang berisfat akut dan kronis, maka diperlukan
kewaspadaan pada kegiatan budidaya ikan yang baik dan benar dalam manajemen
sistem budidaya maupun sistem pengelolaan lingkungannya, agar tidak terjadi
wabah penyakit MAS dan Streptococcosis.
51
VAKSIN BIVALEN Aeromonas hydrophila DAN Streptococcus
agalactiae: KEAMANAN, STERILITAS DAN KARAKTER
PROTEIN
Abstrak
Vaksin inaktif dibuat dari isolat bakteri A. hydrophila AHL0905-2 dan S.
agalactiae N14G dengan menambahkan 3% bufer formalin kedalam biakan broth
bakterin dan diinkubasi selama 24 jam. Kualitas produk vaksin dikontrol dengan
melakukan uji keamanan, sterilitas, dan karakter protein penyusun dari sediaan
vaksin. Hasil karakterisasi protein menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa
bakteri A. hydrophila sel utuh memiliki empat belas pita, dua pita dari produk
ektraselular, tiga pita pada sediaan crude supernatan, dan tujuh pita dari sediaan
broth. Sediaan sel utuh S. agalactiae memiliki sepuluh pita, dua pita produk
ekstraselular, tiga pita sediaan crude supernatan, dan empat pita sediaan broth. Residu
formalin pada sediaan vaksin sel utuh sebesar 0,147 ppm, produk ekstraselular (ECP)
1,01 ppm, dan campuran sel utuh+ECP 0,702 ppm. Inaktifasi sediaan vaksin
menggunakan formalin masih dipertanyakan keamanannya oleh beberapa praktisi
akuakultur, akan tetapi hasil uji sterilitas dan keamanan vaksin bivalen dari penelitian
ini aman untuk digunakan melalui injeksi intra peritoneal pada ikan Nila.
Kata kunci : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, SDS-PAGE, protein
Abstract
Aeromonas hydrophila AHL0905-2 and Streptococcus agalactiae N14G, were
used to evaluate an inactivated vaccine of A. hydrophila and S. agalactiae in Nile
Tilapia for controlling of Motile Aeromonas Septicemia and Streptococcal disease
outbreaks. Formaldehyde treatment was a process widely used in vaccine preparation
to stabilize protein components or to inactivate toxin molecules. Different vaccine
preparations and formulations for vaccination of Nile Tilapia species were tried by
adding neutral buffered formalin 3% to the bacterial culture (bacterin). Formaldehyde
concentrations residues from whole cell vaccine was 0.147 mg/L, extracellular
product (ECP) was 1.01 mg/L, and mixed between whole cell+ECP were 0.702 mg/L.
Based on protein characterization using SDS-PAGE, whole cell A. hydrophila protein
profiles has forteen pairs proteins, extracellular product has two pairs proteins, crude
supernatant has three pairs proteins, and broth has seven pairs proteins. Whole cell S.
agalactiae protein profiles has ten pairs, extracellular product has two pairs proteins,
supernatant has three pairs proteins, and broth has four pairs proteins. The safety of
formalin inactivated vaccine is still questionable by some aquaculture practitioners,
but the sterility and safety test results of the bivalent vaccine was safe to use through
intra peritoneal injection route. In addition, safety of the vaccine was shown where no
mortality with signs of MAS and Streptococcocis disease occurred in similar sized
fish following immunization.
Key Words: Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, SDS-PAGE, protein
52
Pendahuluan
Beberapa metode pembentukan vaksinasi aktif dari bakteri telah berhasil
dikembangkan untuk ikan, diantaranya melalui pasase di laboratorium, pasase
menggunakan inang alternatif, mutagenesis menggunakan bahan kimia maupun
secara fisik, dan manipulasi genetik dengan teknik insersi gen (Shoemaker et al.
2010). Perkembangan strategi pembentukan vaksin aktif memiliki keuntungan dan
kekurangan, dalam bidang akuakultur pembuatan vaksin lebih banyak
menggunakan vaksin in-aktif yang dimatikan, baik dengan pemanasan, sonikasi,
maupun penambahan bahan kimia tertentu.
Preparasi pembuatan vaksin menggunakan formalin merupakan vaksin in-
aktif dengan menambahkan bahan kimia yang dapat mematikan sel bakteri.
Beberapa vaksin jenis ini terbukti telah dapat meningkatkan level antibodi dan
dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit yang sama selama 8 minggu
setelah pemberian pada ikan. Vaksin bakteri in-aktif untuk ikan biasanya dibuat
dalam sediaan kultur media broth, karena dapat diperoleh sel bakteri beserta
produk ekstraseluarnya. Jenis vaksin ini akan efektif memberikan perlindungan
jika diaplikasikan melalui suntik dan perendaman (Evans & Arias 2009).
Bakterin dari jenis A. hydrophila dan S. agalactiae telah banyak dibuat
sediaan vaksin dengan inaktifasi formalin (Toranzo et al. 2009). Penggunaan
serotipe bakteri yang sesuai dengan strain lokal sangat tepat digunakan karena
akan memberikan proteksi lebih tinggi dengan efek samping minimal. Faktor
utama yang perlu diperhatikan apabila akan menggunakan vaksin adalah tingkat
keamanannya, sterilitas, dan karakter komposisi penyusun vaksin. Keuntungan
menggunakan vaksin in-aktif adalah aman terhadap lingkungan karena agen
penyakit telah dilemahkan atau dimatikan, kemampuannya dalam menstimulasi
sel mediasi, humoral (antibodi), dan imunitas mukosal.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keamanan dan sterilitas vaksin
untuk memastikan kelayakan vaksin tersebut digunakan pada ikan dengan
pemberian melalui injeksi. Metode pembuatan vaksin mengadopsi dari beberapa
hasil penelitian yang telah dilakukan, kemudian dilakukan modifikasi sehingga
diperoleh cara preparasi sediaan vaksin yang praktis dan efisien dari segi
53
penggunaan alat dan proses inaktifasi. Karakter protein penyusun vaksin dilihat
menggunakan metode SDS-PAGE untuk melihat berat protein penyusun dari
masing-masing sediaan vaksin.
Bahan dan Metode
Preparasi sediaan vaksin bivalen merupakan modifikasi dari beberapa hasil
penelitian terdahulu yang telah terbukti aman digunakan, mudah dalam
pembuatan dan dapat meningkatkan respons imun. Agen patogen yang digunakan
sebagai kandidat vaksin merupakan isolat lokal, maka perlu dilakukan langkah
penelitian awal dengan melakukan uji kemanan dan sterilitas sediaan vaksin.
Metode yang sudah ada dimodifikasi sampai diperoleh cara dan sediaan yang
tepat untuk membuat vaksin bivalen A.hydrophila dan S. agalactiae.
1 Preparasi Sediaan Vaksin
Pembuatan vaksin bivalen menggunakan cara kultur dengan modifikasi
metode kultur terpisah menurut Silva et al. (2009). Proses inaktifasi vaksin
dilakukan dengan menambahkan bufer formalin dalam sediaan kultur bakteri.
Vaksin yang dibuat pada penelitian ini adalah vaksin bivalen yang berisi
campuran dari sel utuh, ECP, sel utuh+ECP, crude supernatan, dan sediaan broth
dari bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Vaksin bivalen dibuat dengan
mencampurkan masing-masing sediaan vaksin dengan perbandingan 1:1 (v/v).
Prosedur pembuatan vaksin yang dilakukan adalah sebagai berikuit :
1.1 Sediaan Vaksin Sel Utuh (Whole Cell)
Vaksin sel utuh A. hydrophila dibuat dengan modifikasi metode Ismail et
al. (2010) dan Rodrigues et al. (2006). Bakteri A. hydrophila diinokulasi dalam
media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu
28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10% bufer formalin
hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v) disimpan selama 24 jam
pada suhu 28 oC. Sel utuh bakteri in-aktif diperoleh dengan mensentrifus pada
3.000 g selama 30 menit dan pelet (endapan) sel diresuspensi dengan PBS (pH
7,2). Hasil resuspensi sediaan sel utuh disimpan pada suhu 4 oC.
54
Vaksin sel utuh S. agalactiae dibuat dengan modifikasi metode
Shoemaker et al. (2010) dan Evans et al. (2004). Bakteri S. agalactiae
diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi di inkubator dengan shaker selama 72
jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10% bufer
formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v) disimpan selama
24 jam pada suhu 28 oC. Hasil inaktifasi dengan formalin disentrifus pada 3.000
g selama 30 menit, pelet sel bakteri dan supernatan dipisahkan. kemudian pelet
diresuspensi dalam larutan salin 0,845% steril dengan rasio 1:10 (v/v). Hasil
resuspensi sediaan sel utuh disimpan pada suhu 4 oC.
1.2 Sediaan Vaksin ECP
Vaksin ECP A. hydrophila dibuat dari extracellular product (ECP)
bakteri A. hydrophila modifikasi metode yang dilakukan Ni et al. (2010) dengan
beberapa modifikasi. Bakteri A. hydrophila diinokulasi dalam media BHI
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 28 oC di inkubator dengan shaker. Hasil
kultur ditambahkan 10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin 0,3%
(v/v) kemudian disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC (proses inaktifasi). Hasil
inaktifasi disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit. Pelet (endapan) sel bakteri
dipisahkan dari supernatan. Supernatan yang berisi ECP diaduk mengunakan
shaker, kemudian disaring memakai filter steril (0,45 μm) untuk menghilangkan
residu bakteri. Hasil saringan disimpan dalam mesin pendingin pada suhu -20 oC.
Vaksin ECP S. agalactiae dibuat dengan metode seperti yang dilakukan
oleh Hardi (2011), Klesius et al. (1999) dan Evans et al. (2004) dengan beberapa
modifikasi. Bakteri S. agalactiae diinokulasi pada media TSB, diinkubasi pada
suhu 28 oC selama 72 jam. Hasil kultur ditambahkan 10% bufer formalin hingga
konsentrasi akhir formalin 0,3% (v/v) kemudian disimpan selama 24 jam pada
suhu 28 oC (proses inaktifasi). Hasil inaktifasi kemudian disentrifus pada 3.000 g
selama 30 menit. Pelet (endapan) sel bakteri dipisahkan dari supernatan.
Supernatan yang berisi ECP diaduk mengunakan shaker, kemudian disaring
memakai filter steril (0,22 μm) untuk menghilangkan residu bakteri. Hasil
saringan disimpan dalam mesin pendingin pada suhu -20 oC.
55
1.3 Sediaan Vaksin Crude Supernatan
Vaksin crude supernatan A. hydrophila dibuat dari bakteri A. hydrophila
yang diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker
selama 24 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan
10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v)
disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC. Sel bakteri in-aktif diperoleh dengan
mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit, suspensi bakteri dipisahkan dari pelet
(endapan). Suspensi sediaan crude supernatan disimpan pada suhu 4 oC.
Vaksin crude supernatan bakteri S. agalactiae dibuat dari bakteri S.
agalactiae yang diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi di inkubator dengan
shaker selama 72 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan
menambahkan 10% bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi
0,3% (v/v) disimpan selama 24 jam pada suhu 28 oC. Hasil killing dengan
formalin disentrifus pada 3.000 g selama 30 menit, pelet dan suspensi bakteri
dipisahkan. Suspensi sediaan crude supernatan disimpan pada suhu 4 oC.
1.4 Sediaan Vaksin Broth
Vaksin broth A. hydrophila dibuat dari bakteri A. hydrophila yang
diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama
24 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10%
bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v) disimpan
selama 24 jam pada suhu 28 oC. Sediaan broth disimpan pada suhu 4
oC.
Vaksin broth bakteri S. agalactiae dibuat dari bakteri S. agalactiae yang
diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama
72 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan 10%
bufer formalin hingga konsentrasi akhir formalin menjadi 0,3% (v/v) disimpan
selama 24 jam pada suhu 28 oC. Sediaan broth disimpan pada suhu 4
oC.
2 Uji Kualitas Vaksin Bivalen
2.1 Uji keamanan vaksin (Innocuity test)
Uji keamanan vaksin menggunakan metode Anderson et al. (1970) dengan
menginokulasi sel bakteri dari sediaan vaksin pada ikan Nila (O. niloticus) secara
56
intra peritoneal (IP) 0,1 mL/ekor dan sebagai kontrol ikan diinjeksi dengan salin
fisiologis. Setelah 15 hari pascainjeksi dilakukan reisolasi bakteri A. hydrophila
dan S. agalactiae dari ikan perlakuan untuk melihat koloni bakteri yang sama.
Vaksin yang dikatakan aman jika hasil dari reisolasi tidak diperoleh bakteri aktif
yang sama dengan isolat vaksin.
2.2 Uji sterilitas vaksin (Sterility test)
Uji sterilisasi seperti yang dilakukan Aly (1981) dengan melakukan
kultivasi sediaan vaksin hasil inaktifasi kedalam BHIA dan TSA yang diinkubasi
pada suhu 25 °C selama 24 jam untuk memastikan tidak ada bakteri yang tumbuh
dari jenis A. hydrophila dan S. agalactiae yang sama seperti bakterin sediaan
vaksin.
2.3 Uji kadar formalin vaksin
Uji kuantitatif untuk melihat residu kadar formalin yang terkandung dalam
sediaan vaksin setelah inaktifasi dilakukan dengan menggunakan metode AOAC
(1990). Tahapan analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. Penyerapan warna dilihat
dengan alat spektrofotometer pada absorban 415 nm.
Hasil analisis dimasukkan ke dalam rumus:
Kadar formalin (ppm)
Keterangan :
Ca : Mikrogram formalin dari kurva
W : berat contoh (gram)
F : faktor pengenceran
3 Analisis Protein ECP, Sel Utuh, dan Crude Supernatan Menggunakan
Sodium Dodecyl Sulphate–Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS–
PAGE) Protein secara umum diukur dengan metoda Bradford (1976) di dalam
Bollag dan Edelstein (1991). Sebanyak 100 L sampel ditambah dengan 1 mL
pereaksi Bradford kemudian divortex dan diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 595 nm. Pereaksi Bradford berasal dari larutan stok yakni: 100 mL
57
etanol 95%, 200 mL phosphoric acid 88% dan 350 mg Serva Blue G. Sebanyak
30 mL larutan stok ditambah 425 mL akuades, 15 mL etanol 95% dan 30 mL
phosphoric acid 88%. Campuran tersebut diencerkan dua kali sebelum digunakan
untuk analisis protein. Konsentrasi protein contoh dihitung berdasarkan kurva
standar yang dibuat dari Bovine Serum Albumin (BSA). Khusus pada tahap
pemurnian, protein dimonitor dengan cara mengukur serapan pada panjang
gelombang 280 nm (A280).
Elektroforesis mengikuti metode Laemmli (1971) di dalam Bollag dan
Edelstein (1991) dengan tahapan persiapan gel pemisah (10%): 3,34 mL larutan A
30% (b/v) akrilamid dan 0,8% (b/v) bis-akrilamid, 2,5 mL larutan B (1,5 M
Tris-Cl pH 8,8; 0,4% SDS) ditambah 50 L APS 10% dan 5 L TEMED
dituangkan ke dalam cetakan gel. Stacking gel (5%): 0,67 mL larutan C (1 M Tris-
Cl pH 6,8 dan 0.4% SDS), 2,3 mL akuades, 30 L APS 10% dan 5 L TEMED
dituang diatas gel pemisah yang sudah beku kemudian dipasang sisir serta
ditunggu hingga gel beku sempurna. Bufer elektroforesis berisi Tris 25 mM, glisin
192 mM, dan SDS 0,1%. Bufer diatur pada pH 8,3.
Pemisahan protein dilakukan dengan cara protein sampel (20 L)
dicampur dengan 5 L bufer sampel (60 mM Tris-Cl pH 6,8 25% gliserol; 2%
SDS; 14,4 mM 2-merkaptoetananol dan 0,1% bromfenol biru), dididihkan selama
2-3 menit dan dimasukkan ke dalam gel. Protein dipisahkan dengan memberikan
aliran listrik (125 mA dan 150 V). Gel kemudian diwarnai dengan perak nitrat.
Tahapan pewarnaan dengan perak nitrat dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gel diangkat, direndam selama 30 menit di dalam larutan berisi 50% metanol dan
10% asam asetat kemudian dicuci selama 30 menit di dalam larutan berisi metanol
5% dan asam asetat 7%. Kemudian gel direndam di dalam 10% glutaraldehid
selama 30 menit dan dibilas dengan akuades selama 1-2 jam (diganti setiap 30
menit). Selanjutnya gel direndam dalam larutan dithiothreitol (5 g/mL) selama
30 menit, larutan dibuang dan diganti dengan larutan perak nitrat 0,1%. Gel
kemudian dibilas dengan sedikit akuades, dibilas dua kali dengan sedikit larutan
developer (50 L formaldehid 37% di dalam sodium karbonat). Tahap akhir, gel
58
direndam dalam larutan developer hingga pita protein dapat diamati dengan baik
dan reaksinya segera dihentikan dengan mencuci gel di dalam larutan asam sitrat
2,3 M.
Hasil dan Pembahasan
1 Preparasi Sediaan Vaksin
Metode preparasi sediaan vaksin yang dilakukan merupakan hasil
modifikasi dari beberapa metode yang telah ada. Tahapan pembuatan vaksin dapat
dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 18 Sediaan vaksin hasil inaktifasi dengan 3% bufer formalin. (a) sediaan
hasil sentrifuse : pelet di bagian bawah dan supernatant, (b) sediaan
pelet yang dilarutkan dalam salin (sediaan vaksin sel utuh), ( )
pelet bakteri.
Bakteri A. hydrophila diinokulasi dalam media BHI, diinkubasi dalam
inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 oC. Bakteri S. agalactiae
diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama
72 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan bufer
formalin sebanyak 3% v/v (NBF atau neutral buffer formalin 10% ; dibuat
dengan mencampurkan 0,4 g NaH2PO4+0,65 g Na2HPO4+10 mL formaldehid
37%+90 mL akuades steril) kemudian diaduk menggunakan magnet pengaduk
selama 4 jam. In-aktif sel utuh bakteri diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000
g selama 30 menit dengan suhu 4 oC, pelet (endapan) sel dipisahkan dari
supernatan, pelet sel diresuspensi dengan salin (NaCl 0,845%, pH 7). Produk
ekstraselular (ECP) A. hydrophila diperoleh dengan menyaring supernatan hasil
a b
59
sentrifus menggunakan filter steril 0,45 μm, dan ECP S. agalactiae menggunakan
filter steril 0,22 μm. Sediaan vaksin hasil inaktifasi disimpan pada suhu 4 oC.
Sediaan vaksin bivalen diperoleh dengan mencampurkan sediaan A. hydrophila
dengan sediaan S. agalactiae 1:1 v/v.
Gambar 19 Sediaan vaksin monovalen dan bivalen sel utuh “siap pakai” yang
diinaktifasi dengan 3% bufer formalin.
2 Sterilitas dan Keamanan Sediaan Vaksin
Kematian harian ikan Nila yang diinjeksi vaksin dengan sediaan inaktifasi
3% bufer formalin terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-12, kematian terbanyak
terjadi pada kelompok ikan Nila yang divaksin dengan sediaan vaksin bivalen
crude supernatan dan sediaan broth (Gambar 20).
Sediaan vaksin monovalen dan bivalen diuji kualitasnya dengan melihat
tingkat keamanan dan sterilitas dari vaksin. Preparasi sediaan vaksin monovalen
dan bivalen (sel utuh, ECP, gabungan sel utuh+ECP, crude supernatan, dan broth)
yang diinaktifasi menggunakan 3% bufer formalin aman dan steril untuk
digunakan dengan rata-rata kelangsungan hidup >80% (Tabel 5). Ikan Nila yang
telah diinjeksi melalui intra peritoneal dengan beberapa jenis sediaan vaksin
tersebut tidak terjadi kematian dalam waktu 24 jam pascainjeksi, gerakan renang
normal, nafsu makan stabil, dan tidak menunjukkan gejala peradangan ataupun
tukak di area bekas injeksi. Gejala perubahan tingkah laku dan kerusakan di area
bekas injeksi tersebut biasanya akan muncul jika ada efek toksik dari formalin
terhadap ikan.
60
Gambar 20 Pengamatan kematian ikan pascavaksinasi dengan sediaan vaksin
yang diinaktifasi dengan 3% bufer formalin.
Tabel 5 Kelangsungan hidup ikan Nila pascavaksinasi
No Komposisi sediaan vaksin Kelangsungan hidup (%)
1 Monovalen A. hydrophila 91,7b
2 Monovalen S. agalactiae 90bc
3 Bivalen Sel utuh 91,7b
4 Bivalen ECP 88,3cd
5 Bivalen Sel utuh + ECP 93,3a
6 Bivalen crude Supernatan 85d
7 Bivalen Broth 80e
8 Kontrol 95a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
taraf uji P>0,05.
Hasil re-isolasi terhadap beberapa ikan pascavaksinasi tidak diperoleh
adanya tumbuh bakteri yang sama dengan kandidat vaksin dan sediaan vaksin
hasil inaktifasi ketika dilakukan preparasi gores pada media agar tidak ada yang
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
kem
atia
n k
um
ula
tih h
aria
n (
%)
perlakuan vaksin (hari)
Monovalen A. hydrophila 1 Monovalen A. hydrophila 2 Monovalen A. hydrophila 3Monovalen S. agalactiae 1 Monovalen S. agalactiae 2 Monovalen S.agalactiae 3Bivalen Sel utuh 1 Bivalen Sel utuh 2 Bivalen Sel utuh 3Bivalen ECP 1 Bivalen ECP 2 Bivalen ECP3Bivalen Sel utuh+ECP 1 Bivalen Sel utuh+ECP 2 Bivalen Sel utuh+ECP 3Bivalen Supernatan 1 Bivalen Supernatan 2 Bivalen Supernatan 3Bivalen Broth 1 Bivalen Broth 2 Bivalen Broth 3Kontrol TSB Kontrol BHI Kontrol Salin 0,845%Kontrol
61
tumbuh. Pengujian karakter kesamaan bakteri kandidat vaksin dilakukan dengan
melihat sensitifitas terhadap beberapa jenis antibiotik yang sesuai dengan
penelitian sebelumnya oleh Sugiani dan Lusiastuti (2011).
Formalin untuk ikan bersifat toksik akut, sehingga konsentrasinya dalam
tubuh ikan diharapkan rendah. Pemakaian formalin dalam perikanan masih
menjadi perdebatan untuk keamanan pangan, adapun penggunaan formalin dalam
sediaan vaksin masih dapat diterima dengan catatan bahwa konsentrasinya tidak
tinggi sehingga tidak toksik ketika diaplikasikan baik melalui suntik, perendaman,
maupun melalui pakan.
Kadar formalin pada sediaan vaksin sel utuh 0,147 mg/L, ECP 1,01 mg/L,
dan sel utuh+ECP 0,702 mg/L menunjukkan bahwa sediaan vaksin relatif aman
untuk digunakan melalui injeksi intraperitonel, karena tingkat kelangsungan
hidupnya sekitar 85-100% (Tabel 6).
Tabel 6 Hasil uji kadar formalin sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan bufer
formalin 3%
No Sampel Kadar Formalin (mg/L)
1 Sel utuh 0,147
2 ECP 1,010
3 Sel utuh+ECP 0,702
Jung et al. (2001) melakukan penelitian mengenai residu formalin 37%
pada urat daging ikan olive flounder (Paralichthys olivaceus) dan black rockfish
(Sebastes schlegeli) setelah ditreatmen dengan cara perendaman. Residu formalin
dalam urat daging dapat luruh hingga konsentrasi yang setara dengan normal
(kontrol) setelah 72 jam, yaitu kandungan residu yang terdeteksi pada perlakuan
100 mg/L setelah 1, 24, 48, dan 72 jam berturut-turut adalah 0,8; 0,7; 0,8; 0,9
µg/g, perlakuan 300 mg/L dengan residu 1,2; 0,8; 0,9; 0,7 µg/g, perlakuan 500
mg/L dengan residu 1,6; 0,8; 1,0; 0,8 µg/g, sedangkan kontrol 0,9 µg/g. Begitu
juga dengan residu pada air pemeliharaan dengan perlakuan 25, 50, 100, 150, dan
200 mg/L yang akan luruh berturut-turut dalam jangka waktu 2, 6, 8, 9, dan 10
hari ketika diaerasi, tanpa diganti air dan luruh dalam jangka waktu 7, 9, 11, 13,
dan 19 hari tanpa aerasi dan tanpa ganti air. Secara alami kandungan formalin
62
dalam jaringan urat daging ikan olive flounder dan black rockfish terdeteksi 0,5-
2,1 µg/g.
Formaldehid yang dipakai untuk membuat bahan bufer formalin
merupakan bahan kimia yang umum digunakan dalam proses inaktifasi sediaan
vaksin. Fungsi formaldehid adalah untuk menstabilkan komponen protein atau
untuk inaktifasi molekul toksin dari bakteri. Formaldehid bereaksi dengan grup
asam amino lisin yang merupakan produk tidak stabil membentuk ikatan metilen
(methylene bridge) sehingga menjadi grup asam amino yang stabil, reaksi ini
dapat terbentuk antar asam amino dengan molekul yang sama sehingga
membentuk ikatan silang antar internal protein atau antara dua molekul
membentuk ikatan dimer (senyawa kimia yang terdiri dari dua molekul monomer
yang identik dan terikat bersama-sama) (Sato et al. 1984).
3 Protein Vaksin
Tabel 7 memperlihatkan berat protein sediaan vaksin A. hydrophila hasil
inaktifasi dengan bufer formalin 3% dari jenis sediaan sel utuh adalah 0,53
mg/mL, sediaan ECP 1,93 mg/mL, sediaan crude supernatan 1,99 mg/mL, serta
sediaan broth 2,12 mg/mL.
Tabel 7 Berat protein sediaan vaksin yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3%
Nama Berat protein (mg/mL)
A. hydrophila S. agalactiae
Sel utuh 0,53 1,37
ECP 1,93 1,89
Crude supernatan 1,99 1,88
Broth 2,12 2,11
Berat protein sediaan vaksin S. agalactiae hasil inaktifasi dengan bufer
formalin 3% dari jenis sediaan sel utuh adalah 1,37 mg/mL, sediaan ECP 1,89
mg/mL, sediaan crude supernatan 1,88 mg/mL, serta sediaan broth 2,11 mg/mL.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa sediaan vaksin broth memiliki berat protein
yang lebih besar dibandingkan dengan sediaan vaksin crude supernatan, ECP,
maupun sel utuh. Penghitungan berat protein dapat dilihat pada Lampiran 5.
63
97 kDa
66 kDa
45 kDa
30 kDa
20,1 kDa
14,4 kDa
97 kDa
66 kDa
45 kDa
30 kDa
20,1 kDa
14,4 kDa
M 1 2 3 4
Gambar 21 SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Aeromonas hydrophila AHL0905-
2 (M) Marker (1) broth A. hydrophila (2) sel utuh A. hydrophila (3)
ECP A. hydrophila (4) crude supernatan A. hydrophila.
M 1 2 3 4
Gambar 22 SDS-PAGE sediaan vaksin bakteri Streptococcus agalactiae N14G
(M) Marker (1) broth S. agalactiae (2) crude supernatan S. agalactiae
(3) sel utuh S. agalactiae (4) ECP S. agalactiae.
Gambar 21 menunjukkan pita protein untuk sediaan sel utuh A. hydrophila
yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% terdapat 14 pita yaitu 119,57; 94,39;
82,76; 72,57; 58,81; 45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 19,00; 17,10; 15,00; dan
12,81 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan crude
supernatan terdapat 3 pita yaitu 94,39; 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan broth yang
diinaktifasi dengan bufer formalin 3% terdapat 7 pita yaitu 136,36; 119,57; 87,23;
55,80; 25,36; 19,00; dan 14,61 kDa (Tabel 8). Penghitungan berat molekul protein
A. hydrophila hasil SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 6.
64
Gambar 22 menunjukkan pita protein untuk sediaan sel utuh S. agalactiae
yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% terdapat 10 pita yaitu 111,86; 83,42;
79,09; 58,98; 54,45; 43,99; 23,20; 18,74; 17,77; dan 15,97 kDa. Sediaan ECP
terdapat 2 pita yaitu 83,42 dan 21,99 kDa. Sediaan crude supernatan terdapat 3
pita yaitu 83,42; 58,98; dan 21,99 kDa. Sediaan broth terdapat 4 pita yaitu 111,86;
79,09; 23,20; dan 18,74 kDa (Tabel 8). Penghitungan berat molekul protein S.
agalactiae hasil SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 6.
Karakterisasi protein A. hydrophila menggunakan SDS-PAGE
menunjukkan bahwa jumlah pita protein terbanyak berturut-turut terdapat pada sel
utuh, broth, crude supernatan, dan ECP. Thomas et al. (2009) menggunakan 4
jenis pita protein untuk mengkarakterisasi A. hydrophila yaitu 19,5 kDa, 25,36
kDa, 29 kDa and 65,6 kDa. Jika dibandingkan dengan hasil SDS-PAGE terhadap
A. hydrophila isolat AHL0905-2 maka hanya identik dengan 1 pita yaitu 25,36
kDa, dan mendekati pita pada19,5 kDa yaitu 19,0 kDa.
Tabel 8 Karakter berat molekul protein hasil SDS-PAGE bakteri A. hydrophila
dan S. agalactiae yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3%
Vaksin Sediaan BM Kd
A. hydrophila Sel utuh 119,57; 94,39; 82,76; 72,57; 58,81;
45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 19,00;
17,10; 15,00; 12,81
ECP 55,80; 17,10
Crude Supernatan 94,39; 55,80; 17,10
Broth 136,36; 119,57; 87,23; 55,80; 25,36;
19,00; 14,61
S. agalactiae Sel utuh 111,86; 83,42; 79,09; 58,98; 54,45;
43,99; 34,61; 23,20; 17,77; 15,97
ECP 83,42; 21,99
Crude Supernatan 83,42; 58,98; 21,99
Broth 111,86; 79,09; 23,20; 18,74
Preparasi sediaan vaksin dengan menggunakan formalin ternyata dapat
mempengaruhi profil protein. Sediaan vaksin sel utuh memiliki jumlah profil
protein yang lebih banyak dibandingkan dengan sediaan ECP, crude supernatan,
maupun broth. Formaldehid dapat membantu membentuk ikatan metilen yang
akan mempengaruhi respons sel-T terhadap data paralel protein yang terdiri dari
65
asam amino modifikasi seperti N-glikosilasi, alkilasi, dan iodinasi sehingga dapat
mempengaruhi presentasi antigen oleh sel-T. Penggunaan formaldehid juga dapat
mendegradasi secara parsial protein FHA (forkhead-associated), merubah
sensitifitas protein pada aktifitas protease, adanya purifikasi digesti tripsin dan
dapat mendegenerasi fragmen protein menjadi ukuran yang lain (Tommaso et al.
1994).
Pasnik et al. (2005) melakukan uji karakterisasi protein S. agalactiae
menggunakan SDS-PAGE di mana terdapat dua pita 47 dan 75 kDa dan
predominan pita 54 kDa dan 55 kDa pada sediaan segar (satu hari setelah
inaktifasi dengan bufer formalin 3%), sedangkan sediaan vaksin yang telah
disimpan selama 1 tahun pada suhu 4 oC hanya terdeteksi pita 47, 54, dan 55 kDa.
Proses penyimpanan dan lama waktu penyimpanan dapat merubah profil protein
dari sediaan vaksin serta dapat menurunkan tingkat proteksi terhadap
kelangsungan hidupnya hanya 29%.
Simpulan dan Saran
Simpulan dari kegiatan preparasi sediaan vaksin dengan metode inaktifasi
berbeda adalah :
1. Sediaan vaksin bivalen hasil inaktifasi dengan bufer formalin 3% aman
digunakan untuk pemberian secara injeksi intra peritoneal pada ikan Nila (O.
niloticus).
2. Jumlah pita protein vaksin A. hydrophila dan S. agalactiae sediaan sel utuh
lebih banyak dibandingkan dengan pita protein sediaan vaksin ECP, broth,
dan crude supernatan.
Sediaan vaksin yang telah dibuat perlu diuji lebih lanjut untuk melihat
tingkat efektifitasnya pada ikan dengan menganalisis efek vaksin tersebut
terhadap respons imun dari ikan Nila.
66
HEMATOLOGI DAN RESPONS IMUN IKAN NILA
(Oreochromis niloticus) YANG DIIMUNISASI DENGAN
VAKSIN MONOVALEN DAN BIVALEN : Aeromonas
hydrophila DAN Streptococcus agalactiae
Abstrak
Respons imun terhadap campuran sel utuh dan ekstraselular antigen
Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae dievaluasi sebagai ukuran
keberhasilan peningkatan respons antibodi ikan Nila setelah divaksin dengan vaksin
monovalen dan bivalen. Analisis hematologi dan respons imun dalam aktifitas
bakterisidal serum dapat dijadikan komponen untuk melihat viabilitas patogen dalam
inang yang ditunjukkan melalui aktifitas respiratory burst, lisosim, komplemen, dan
antibodi. Ikan Nila 15±0,5 g divaksin dengan vaksin monovalen A. hydrophila,
monovalen S. agalactiae, bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP,
bivalen crude supernatan, bivalen broth, dan kontrol. Parameter imun diukur setiap
minggu selama 3 minggu pemeliharaan setelah vaksinasi. Titer antibodi terdeteksi
setelah satu minggu pemeliharaan pascavaksinasi, nilai titer antar vaksin bivalen
dengan vaksin monovalen dan kontrol berbeda nyata (P<0,05). Vaksin monovalen
dapat meningkatkan respons imun spesifik dan non spesifik lebih baik jika
dibandingkan dengan vaksin bivalen untuk proteksi homolog. Sedangkan untuk
proteksi terhadap bakteri heterolog vaksin bivalen sel utuh dan sel utuh+ECP
memberikan respons imun spesifik maupun non spesifik terbaik jika dibandingkan
dengan vaksin monovalen A. hydrophila maupun vaksin monovalen S. agalactiae.
Kata kunci : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, vaksin monovalen, vaksin
bivalen, respons imun
Abstract
The humoral immune responsse to mixed whole cell antigens and
extracellular product of Aeromonas hydrophila and Streptococcus agalactiae, the
common Gram negative and Gram positive bacterial pathogens associated with
diseases of Motile Aeromonads Septicemia and Streptococcocis in Nile Tilapia were
evaluated for their efficacy in triggering antibody responsses. The Nile Tilapia were
either immunized with antigens from single bacterial strain A. hydrophila and S.
agalactiae or a combination of all two. An antibody and humoral immune response
was detected at the 1st week post immunization that rose significantly ( p<0.05) at the
3th week post immunization in all the immunized groups. Similarly, there were
significant difference ( p<0.05) in the humoral immune response between groups
immunized with single and mixed bacterial antigens. The monovalent vaccine could
enhance immune responsse specific and non specific better than the bivalent vaccine
from bacterial homolog. Otherwise, the protection from heterologous bacteria, the
bivalent vaccine provided the best specific and non specific immune respons
compared with monovalent vaccine.
Key Words : Aeromonas hydrophila, S. agalactiae, monovalent vaccine, bivalent
vaccine, immune responsse
67
Pendahuluan
Keberhasilan pemberian vaksinasi pada ikan dapat dilihat menggunakan
faktor imunologi yang dapat membuktikan keamanan dan tingkat proteksinya.
Vaksin yang ideal harus dapat bertahan dalam jaringan inang lebih lama untuk
membentuk perlindungan terhadap antigen sehingga tidak terjadi sakit. Analisis
imunologi dalam aktifitas bakterisidal serum dapat dijadikan komponen untuk
melihat viabilitas patogen dalam inang yang ditunjukkan melalui aktifitas
respiratory burst, lisosim, antibodi, dan komplemen (Ellis 2001).
Stimulasi respons imun non spesifik dapat meningkatkan kemampuan ikan
melindungi diri terhadap serangan patogen, namun dengan adanya antibodi
spesifik akan lebih baik lagi dalam meningkatkan kemampuan proteksinya.
Tingkat proteksi ini tergantung dari reaksi silang antar komponen antigen yang
akan digunakan sebagai kandidat vaksin, yang bertujuan untuk meningkatkan
tanggap kebal terhadap antigen homolog (Gudding et al. 1999). Kemampuan
peningkatan respons imun ikan setelah vaksinasi dapat dijadikan acuan
keberhasilan peningkatan tanggap kebal. Vaksinasi dapat menstimulasi sistem
imun untuk memproduksi antibodi yang akan membantu dalam perlindungan
terhadap antigen.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran hematologi dari ikan Nila
yang diberi vaksin terhadap respons antigen homolog yang masuk. Keberhasilan
reaksi respons imun dari ikan yang telah vaksinasi dalam mengeliminasi serangan
antigen diperlukan kerjasama antara respons imun spesifik dan respons imun non
spesifik. Beberapa parameter yang dilihat pada penelitian ini merupakan
gambaran respons imun non spesifik yang diamati dari darah ikan setelah
vaksinasi dengan vaksin bivalen.
Bahan dan Metode
Ikan Nila pada perlakuan vaksin diinjeksi secara intra peritoneal sebanyak
0,1 mL/ikan dengan sediaan monovalen A. hydrophila, monovalen S. agalactiae,
bivalen sel utuh, bivalen ECP, bivalen sel utuh+ECP, bivalen crude supernatan,
68
dan bivalen broth. Ikan Nila kontrol diinjeksi dengan TSB, BHI, salin 0,845%,
dan kontrol tanpa injeksi. Ikan dipelihara selama 21 hari (Li et al. 2006), setiap 3
hari gambaran hematologi diamati dengan beberapa parameter yang dilihat
sebagai berikut :
1 Gambaran Hematologi
Darah diambil secara intra muscular dari caudal vein ikan menggunakan
syring yang telah diberi heparin sebagai antikoagulan, darah disimpan pada suhu
15 oC. kemudian diukur kadar haemoglobin menurut metode Sahli (Wedenmeyer
& Yasutake 1977), kadar hematokrit menurut metode Anderson dan Siwicki
(1995).
2 Indek Fagositosis
Aktifitas fagositosis dievaluasi menggunakan metode Zhang et al. (2008)
dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 100 µL suspensi Staphylococcus aureus
kepadatan 107 cfu/mL dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, ditambahkan 200
µL darah dengan heparin dan dihomogenkan menggunakan vortex, kemudian
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 30 oC. 1 mL salin ditambahkan ke dalam
tabung dan dihomogenkan. Solusi homogenat disentrifus dengan 3.000 g selama 5
menit, 1 mL supernatan diambil kemudian dibuang, sisa solusi dihomogenkan
kembali. Diambil satu tetes homogenat, dibuat preparat ulas di atas slide glass.
Preparat difiksasi dengan metanol selama 2-3 menit, kemudian dicuci dengan
akuades, preparat dikeringanginkan, tahap akhir preparasi diwarnai dengan
pewarna giemsa. Preparat diamati di bawah mikroskop. Persen Fagositosis (PP)
dan Indek Fagositosis (IP) dihitung menggunakan rumus:
PP =(N1/100)x100
IP = N2/100
Keterangan :
N1
N2
: total jumlah fagosit yang memakan (engulf) bakteri secara acak dari
100 fagosit yang terhitung.
: total jumlah bakteri yang dimakan oleh fagosit dari 100 fagosit yang
terhitung.
69
3 Uji Respiratory Burst (Metode NBT-Assay)
Produksi oksigen radikal dari fagositosis dalam darah dapat dilihat dengan
pewarnaan nitroblue tetrazolium (NBT) seperti yang dilakukan Anderson dan
Siwicki (1995). 0,1 mL sampel darah dengan heparin diletakkan pada tabung
efendorf dan ditambahkan 0,1 mL 0,2% NBT, suspensi NBT- sel darah diinkubasi
selama 30 menit pada suhu ruang. Kemudian 0,05 mL sampel suspensi NBT-sel
darah dipindahkan ke dalam tabung gelas yang berisi 1 mL N,N-
dimethylformamide solution (DMS). Suspensi disentrifus selama 5 menit pada
3.000 g. Supernatan dipisahkan, dimasukkan dalam tabung kuvet dan dibaca
menggunakan spektrofotometer. NBT akan direduksi oleh formazan pada reaksi
dengan radikal oksigen yang diproduksi dari neutrofil dan monosit. Analisis
produksi radikal oksigen dengan menggunakan NBT dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm.
4 Aktifitas Lisosim
Aktifitas lisosim diuji menggunakan lyso-plate assay menurut Lie et al.
(1989) dan Gassent et al. (2004) dengan melihat zona lisis dari bakteri
Micrococcus lysodeikticus. Metode ini dilakukan dengan membuat sumur (2 mm)
pada media agar cawan yang berisi bakteri M. lysodeikticus (50 mg/mL), setiap
sumur diisi plasma darah sebagai serum uji kemudian diberi bufer fosfat 5 L
(14,04 g/L KH2PO4; 5,2 g/L Na2HPO4, pH 6,2). Cawan diinkubasikan pada 25 oC
selama 20 jam, untuk pembentukan zona lisis.
5 Aktifitas Komplemen
Aktifitas komplemen (Complement consumption assay) dilakukan
menggunakan metode Vivas et al. (2005) yang dimodifikasi. Sebanyak 200 µL
serum ikan dan 200 µL suspensi bakteri A. hydrophila (109 cfu/mL) dicampurkan
dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf. Sebanyak 200 µL serum ikan
dan 200 µL suspensi bakteri S. agalactiae (109 cfu/mL) dicampurkan dengan
PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf. Sebanyak 200 µL serum ikan dan 100
µL suspensi bakteri A. hydrophila dan 100 µL suspensi bakteri S. agalactiae
dicampurkan dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf, untuk kontrol
70
tabung eppendorf hanya diisi dengan PBS. Tabung diinkubasi selama 1,5 jam
pada suhu 16 oC. Ditambahkan 400 µL PBS ke dalam setiap tabung dan suspensi
difilter menggunakan filter 0,22 µm.
Larutan hasil filtrasi dimasukkan ke dalam mikrotiter 25 µL, ditambahkan
secara serial (serial two-fold dilutions) 2% suspensi rabbit red blood cells
(RaRBC) dalam PBS yang kemudian diinkubasi selama 1,5 jam pada 16 oC.
Tahap selanjutnya ditambahkan 100 µL 0,9% salin dingin (ice-cold), dan sel
diendapkan dengan cara disentrifus (1.400 g, 5 menit, 4 oC). Absorban supernatan
dilihat dengan 405 nm. 100% hemolisis diperoleh dengan menambahkan 25 µL
RaRBC dan 175 µL akuades, dan aktifitas lisis (spontaneous lysis) diperoleh
dengan menambahkan 25 µL RaRBC dan 50 µL PBS, setelah 1 jam diinkubasi
ditambahkan 100 µL 0,9% salin. Aktifitas komplemen dihitung dengan melihat
hemolisis pada RaRBC, hasil dimasukkan dalam rumus berikut :
x 100%
6 Titer Antibodi
Titer diukur menggunakan aglutinasi langsung (direct aglutination)
terhadap antigen- antibodi perlakuan. Nilai titer dimasukkan dalam hitungan log
2. Tes aglutinasi dilakukan pada mikrotiter 96 sumur dengan dasar sumur
berbentuk huruf „U‟. Serum ikan perlakuan vaksin sebagai antibodi dimasukkan
ke dalam sumur no 1 (kontrol positif) dan sumur no 2 masing-masing 100 µL,
kemudian dilakukan pengenceran seri (serially two-fold diluted) dalam PBS 100
µL (pH 7,2) sampai sumur ke-11, pada sumur ke-12 hanya diisi PBS (kontrol
negatif). Pengujian kelompok pertama dengan menambahkan antigen ke dalam
sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 100 µL bakteri homolog A. hydrophila.
Kelompok kedua, menambahkan ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12
sebanyak 100 µL bakteri homolog S. agalactiae. Kelompok terakhir,
menambahkan ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 50 µL bakteri
A. hydrophila+50 µL bakteri S. agalactiae yang telah diinaktifasi dengan formalin
71
(107 cfu/mL). Mikrotiter yang berisi antibodi dan antigen kemudian diinkubasi
semalaman pada suhu ruang dan titer aglutinasinya dihitung.
Hasil dan Pembahasan
Beberapa parameter imunitas seperti kadar hemoglobin, hematokrit,
aktifitas fagositosis, lisosim, dan aktifitas Respiratory burst (NBT-positif) dapat
dijadikan parameter evaluasi untuk melihat respons ikan terhadap infeksi bakteri
maupun pemberian imunostimulan (Zhang et al. 2012).
1 Kadar Hemoglobin
Hemoglobin merupakan metaloprotein (protein yang mengandung zat
besi) di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen.
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu
molekul organik dengan satu atom besi.
Gambar 23 Kadar hemoglobin ikan Nila pascavaksinasi dengan sediaan vaksin
monovalen dan bivalen.
( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( )
bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( )
bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.
Pengaruh vaksinasi pada ikan Nila dengan beberapa sediaan vaksin
monovalen dan bivalen yang diaplikasikan melalui suntik terhadap parameter
hemoglobin darah ikan dapat dilihat pada Gambar 23. Dua kelompok perlakuan
vaksin monovalen dan bivalen memiliki kadar hemoglobin yang berkisar antara 7-
10 g 100 mL-1
rata-rata peningkatan kadar hemoglobin terjadi pada hari ke-3
sampai hari ke-6 setelah vaksinasi (P<0,05).
0
2
4
6
8
10
12
1 3 6 9 12 15 18 21
Hem
oglo
bin
(g %
)
perlakuan vaksin (hari)
72
Hemoglobin darah ikan mengalami fluktuasi dan cenderung semakin
menurun setelah adanya perlakuan injeksi vaksin karena adanya pengurangan sel
darah merah dan adanya penambahan jumlah plasma darah yang mengakibatkan
kadar warna merah darah berkurang, proses ini merupakan respons normal ikan
terhadap adanya suatu perubahan lingkungan maupun serangan agen penyakit.
Pada suhu perairan 15-30 oC kadar hemoglobin ikan Nila normal berkisar antara
7,5-8 g 100 mL-1
(Sherif & Feky 2009).
2 Hematokrit Darah
Hematokrit merupakan persentase volume eritrosit dalam darah ikan, bila
hematokrit 30 (30%) berarti darah terdiri dari 30% eritrosit dan 70% plasma dan
leukosit. Nilai hematokrit tertinggi pada level 37 perlakuan vaksin monovalen S.
agalactiae, sedangkan hematokrit terendah pada perlakuan vaksin bivalen broth di
level 17 (Gambar 24).
Gambar 24 Persen hematokrit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin
monovalen dan bivalen.
( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( )
bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( )
bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.
Eritrosit merupakan salah satu sel darah merah yang berperan dalam
proses pengangkutan material di dalam tubuh ikan. Perubahan persentasi
hematokrit dalam darah terjadi karena adanya proses fisiologis tubuh yang
bereaksi terhadap adanya antigen yang masuk. Pada suhu perairan 15-30 oC kadar
hematokrit ikan Nila normal berkisar antara 24,1-25,0% (Sherif & Feky 2009).
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
1 3 6 9 12 15 18 21
Hem
atokri
t (%
)
perlakuan vaksin (hari)
73
3 Indek Fagositosis
Kemampuan fagositosis dilihat dari persentase fagositosis nilai dan indek
fagosit. Hasil penghitungan indek fagositosis terlihat bahwa perlakuan vaksin
monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh dan bivalen sel utuh+ECP memiliki
kemampuan fagositosis lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain
dan kontrol (P<0,05) (Gambar 25 dan 26).
Gambar 25 Persentase fagosit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin
monovalen dan bivalen.
( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( )
bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( )
bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.
Ikan memiliki mekanisme pertahanan sendiri terhadap antigen yang masuk
ke dalam tubuh. Vaksinasi yang diberikan berupa vaksin aktif yaitu komponen
penyusunnya berasal dari bakteri dan debris bakteri yang telah diinaktifasi,
apabila masuk ke dalam aliran darah diduga akan dikenali sebagai antigen dan
merangsang respons imun spesifik yang kemudian jika terpapar lebih lama akan
membentuk suatu memori dengan dibentuknya respons imun spesifik.
Respons imun non spesifik akan mengalami fluktuasi pada sesaat setelah
invasi antigen dalam hitungan hari, sedangkan respons imun spesifik akan
terbentuk dalam hitungan minggu. Kedua respons imun ini memegang peranan
penting dalam mekanisme tanggap kebal dari ikan terhadap serangan patogen
(Skinner et al. 2010).
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 3 6 9 12 15 18 21
per
senta
se f
ago
sito
sis
(%)
perlakuan vaksin (hari)
74
Aktifitas fagositosis dapat terjadi apabila ada reaktif oksigen yang bekerja
sendiri maupun bersama-sama dengan enzim lisosim dalam membunuh bakteri
sebagai sel asing. Hasil analisis indek fagosit dan persen fagositosis dari
perlakuan vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan hasil yang lebih tinggi
dibanding dengan kontrol, mengindikasikan bahwa pemberian vaksin dapat
meningkatkan kemampuan bakterisidal serum ikan terhadap invasi antigen.
Gambar 26 Indek fagositik darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin
monovalen dan bivalen.
( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( )
bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( )
bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.
4 Respiratory Burst (NBT-Assay)
Aktifitas produksi oksigen radikal superoksida (O-2) pada aktifitas
fagositosis dapat dilihat dengan menggunakan pewarnaan NBT. Pada hasil
penelitian diketahui bahwa pemberian perlakuan vaksin dapat meningkatkan
kemampuan sel fagosit dalam melawan antigen. Nilai Optical density (OD)
perlakuan vaksin berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan kontrol
namun jika dibandingkan dengan antar perlakuan maka yang memberikan
pengaruh terbaik terhadap nilai NBT adalah perlakuan vaksin monovalen A.
hydrophila. Antar perlakuan vaksin bivalen tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi
berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol (P<0,05). Nilai NBT pada awal
perlakuan berkisar antara 0,261-0,315, peningkatan terjadi rata-rata pada
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
1 3 6 9 12 15 18 21
ind
ek f
ago
siti
k
perlakuan vaksin (hari)
75
pengamatan hari ke-6, ke-9, dan ke-12 setelah vaksinasi. Hasil pengamatan nilai
NBT dapat dilihat pada Gambar 27.
Nilai NBT semakin tinggi menunjukkan bahwa produksi radikal oksigen
bebas pada aktifitas respiratory burst semakin besar. Produksi radikal bebas ini
digunakan untuk melawan patogen. Ikan mempunyai mekanisme membunuh sel-
sel fagosit melalui oksigen bebas dalam vakuola lisosom yang mampu
meningkatkan permeabilitas sel bakteri sehingga bisa menyebabkan masuknya
substansi dan cairan dalam sel bakteri yang kemungkinan bisa menyebabkan
plasmolisis.
Gambar 27 NBT-assay dari ikan Nila hasil vaksinasi menggunakan vaksin
monovalen dan bivalen.
Radikal oksigen toksik ini dengan cepat dikonversi menjadi hidrogen
peroksida (H2O2) yang memiliki sifat bakterisidal yang kuat. Karakter radikal
oksigen yang bersifat toksik terhadap patogen ini diduga pula dikonversi menjadi
radikal hidroksi (OH-) yang memiliki kemampuan mendegradasi membran lipid
antigen.
Penurunan aktifitas NBT mengindikasikan adanya kontaminan dan infeksi
yang kronis atau ikan sedang dalam kondisi stres. Peningkatan NBT dapat
mengindikasikan bahwa perlakuan penyuntikan vaksin telah efektif merangsang
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
1 3 6 9 12 15 18 21
OD
NB
Tas
say (
540n
m)
perlakuan vaksin (hari)
Monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae
Bivalen Sel utuh Bivalen ECP
Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Supernatan
Bivalen Broth Kontrol
76
sistem kekebalan tubuh ikan (Anderson 2004). Neutrofil dan sel fagositik yang
teraktivasi dapat menghasilkan absorbans 20-30% lebih tinggi, yang menunjukkan
produksi oksigen radikal yang lebih tinggi untuk pertahanan terhadap penyakit.
Hasil analisis NBT terhadap ikan yang diberi vaksin monovalen dan
bivalen menunjukkan suatu peningkatan jumlah oksidatif radikal jika dibanding
dengan kontrol, dengan semakin tinggi nilai NBT maka kemampuan sel fagosit
dalam aktifitas respiratory burst semakin tinggi.
Oksigen radikal bebas dihasilkan pada saat fagositosis melalui aktifitas
respiratory burst. Hasil dari nilai NBT perlakuan vaksin bivalen lebih tinggi dibanding
kontrol, maka penggunaan vaksin bivalen yang diaplikasikan melalui injeksi pada
ikan Nila tidak mengakibatkan hambatan dalam pembentukan respons imun,
walaupun nilainya tidak setinggi NBT dari vaksin monovalen.
Sediaan vaksin bivalen yang merupakan formula vaksin yang
menggunakan bakterin dari bakteri Gram yang berbeda A. hydrophila (Gram
negatif) dan S. agalactiae (Gram positif) dari sel dan hasil metabolitnya tidak
menimbulkan pengaruh imunosupresi yang biasanya ditandai dengan penurunan
nilai NBT (penurunan aktifitas respiratory burst).
5 Aktifitas Lisosim
Respons imun alami merupakan pertahanan pertama terhadap serangan
infeksi patogen, mencegah perlekatan antigen, invasi, atau multiplikasi dari
patogen infeksius. Salah satu kunci utama dalam respons imun alami adalah
aktifitas lisosim. Analisis aktifitas lisosim dilakukan untuk melihat pengaruh
injeksi vaksin monovalen dan bivalen terhadap sistem imun alami dan perolehan
pada ikan Nila. Perlakuan injeksi vaksin monovalen atau bivalen diharapkan dapat
memicu sistem imun untuk bersinergi dalam meningkatkan aktifitas lisosim dan
titer antibodi terhadap antigen spesifik.
Aktifitas lisosim dideteksi dari serum ikan dengan perlakuan vaksin
monovalen, bivalen, dan tanpa vaksin (Gambar 28). Aktifitas lisosim sebelum
perlakuan berkisar antar 3-5 mm. Kemampuan aktifitas lisosim meningkat pada
hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah pemberian vaksin, dan mengalami fluktuasi
77
sesudahnya. Berdasarkan hasil analisis perlakuan bivalen sel utuh, bivalen sel
utuh+ECP dan monovalen A. hydrophila berbeda nyata dibandingkan dengan
perlakuan vaksin monovalen dan bivalen lainnya dan berbeda nyata juga dengan
perlakuan kontrol (P<0,05).
Gambar 28 Aktifitas lisosim serum ikan Nila pascavaksinasi.
( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( )
bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( )
bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol
Pada masa induksi vaksin hari ketiga sampai hari kesembilan terlihat
adanya peningkatan aktifitas lisosim yang menandakan bahwa ada reaksi respons
imun dari ikan Nila terhadap vaksin monovalen dan bivalen yang diberikan secara
injeksi. Perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh, dan bivalen
sel utuh+ECP memiliki rata-rata peningkatan aktifitas lisosim lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain dan kontrol yaitu 9; 10; 12 pada hari
ke-3, 12; 8; 10 pada hari ke-6, dan 7; 7; 6 pada hari ke-9.
Lisosim merupakan lisin yang berfungsi sebagai penghancur membran sel,
biasanya terdapat dalam cairan mukus, serum, jaringan yang kaya kandungan
leukositnya (ginjal anterior), dan bagian tubuh ikan yang rentan terhadap serangan
mikroorganisme (kulit, insang, saluran pencernaan, anus). Lisosim merupakan
enzim yang dapat menghidrolisis ikatan β (14) antara N-acetylmuramic acid
dan N-acetylglucosamine yang merupakan konstituen penyusun lapisan
peptidoglikan dinding sel bakteri.
0
2
4
6
8
10
12
14
1 3 6 9 12 15 18 21
Zo
na
lisi
s ak
tifi
tas
liso
sim
(mm
)
Perlakuan vaksin (hari)
78
Ikan memiliki lisosim yang berfungsi sebagai respons imun alami, yang
mampu melisis bakteri Gram negatif dan Gram positif (Yano 1996). Lisosim
berperan dalam opsonisasi yang merupakan kunci utama untuk respons inflamasi
dengan adanya aktifasi sistem komplemen dan fagositisis. Pada saat proses
inflamasi, makrofag dan granulosit polimorf nuklear memakan dan
menghancurkan patogen target dibantu oleh kerja lisosim.
6 Aktifitas Komplemen
Aktifitas komplemen dilihat dari kemampuan hemolisis terhadap RaRBC
(Rabbit Red Blood Cells). Kemampuan komplemen meningkat seiring dengan
peningkatan pembentukan titer antibodi, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis
hemolisis komplemen pada minggu ketiga lebih tinggi dibandingkan rata-rata
hemolisis komplemen pada minggu kedua dan minggu pertama setelah vaksinasi.
Aktifitas komplemen perlakuan vaksin berbeda nyata dibandingkan dengan
kontrol yang hanya menggunakan PBS sebagai solusi uji (P<0,05).
Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC oleh serum dari ikan yang
divaksin monovalen A. hydrophila, S. agalactiae dan bivalen sel utuh lebih tinggi
(pengenceran ke-2 dan ke-3) dibandingkan dengan serum dari perlakuan vaksin
bivalen ECP, crude supernatan, broth, maupun kontrol, baik pada minggu ke-1,
minggu ke-2, maupun minggu ke-3 (pengenceran ke-4). Kemampuan komplemen
dalam melisis RaRBC meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3 dengan rata-rata
hemolisis 60-80% pada pengenceran ke-1 (Gambar 29). Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan komplemen akan meningkat pada hari ke 14 pascavaksinasi.
Komplemen adalah komponen penting dari tanggapan kebal adaptif dan
bawaan pada ikan. Komponen komplemen non-aktif akan diaktifkan dan diubah
menjadi serine protease aktif akhirnya yang akan mendorong sel neutrofil dan
makrofag untuk melakukan opsonisasi atau mengarahkan pembunuhan patogen
melalui aktifitas peradangan. Sistem komplemen memegang peran penting di
dalam respons tanggap kebal dan proses peradangan dengan menarik sel fagosit
ke lokasi luka atau infeksi (Holland & Lambris 2002).
79
Gambar 29 Aktifitas komplemen serum ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin
monovalen dan bivalen yang diinaktifasi menggunakan 3% bufer
formalin. (a) minggu ke-1, (b) minggu ke-2, (c) minggu ke-3.
Komplemen dapat diinisiasi melalui tiga jalur yaitu melalui jalur klasik
(classical complement pathway atau CCP), jalur alternatif (alternate complement
0
20
40
60
80
100
120
1x 2x 4x 8x 16x 32x
% H
emo
lisi
s
Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-1
0
20
40
60
80
100
120
1x 2x 4x 8x 16x 32x
% H
emo
lisi
s
Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-2
0
20
40
60
80
100
120
1x 2x 4x 8x 16x 32x
% H
emoli
sis
Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-3
Monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiaeBivalen Sel utuh Bivalen ECPBivalen Sel utuh+ECP Bivalen SupernatanBivalen Broth Kontrol
a
b
c
80
pathway atau ACP), dan melalui jalur lektin (lectin complement pathway / LCP).
Jalur klasik berasosiasi dengan imunitas dapatan yang dirangsang oleh aktifitas
perlekatan permukaan antigen, membentuk ikatan antigen-antibodi komplek
(Holland & Lambris 2002).
7 Titer Antibodi
Titer antibodi ikan Nila (Gambar 30, 31, dan 32) dengan perlakuan vaksin
monovalen maupun bivalen menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding
dengan kontrol (P<0,05). Hasil pengamatan antar perlakuan vaksin maka
diperoleh data yang menunjukkan perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh serta
gabungan sel utuh+ECP memiliki titer antibodi yang lebih tinggi, baik pada uji
tantang dengan bakteri tunggal maupun bakteri gabungan (ko-infeksi) pada nilai
6, dan 5 (log 2) dibanding dengan bivalen (ECP, crude supernatan, dan broth).
Hasil titer antibodi menunjukkan bahwa perlakuan vaksinasi monovalen
ternyata lebih tinggi dalam membentuk respons imun dengan mencapai nilai 7
(log 2) untuk monovalen A. hydrophila dan nilai 5 (log 2) untuk monovalen S.
agalactiae jika dibandingkan dengan vaksin bivalen semua sediaan ketika uji
tantang dengan bakteri tunggal. Hasil titer antibodi terhadap uji tantang gabungan
(ko-infeksi) menunjukkan nilai titer yang relatif lebih rendah jika dibandingkan
dengan proteksi vaksin bivalen.
Rata-rata titer antibodi setiap perlakuan terjadi peningkatan pada minggu
ke-2 pascavaksinasi, beberapa perlakuan puncak titer tertinggi diperoleh pada
masa minggu ke-3 dan pada saat dilakukan uji tantang terlihat bahwa titer antibodi
mengalami penurunan yang kemudian diikuti adanya peningkatan kembali pada
masa pemulihan yaitu 2 minggu setelah uji tantang.
Titer antibodi mencerminkan kemampuan tubuh ikan terhadap infeksi
bakteri melalui respons imun spesifik. Semakin tinggi nilai titer maka diharapkan
kemampuan perlindungan terhadap infeksi juga menjadi tinggi. Antibodi yang
beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin
lainnya yang diproduksi bakteri.
81
Gambar 30 Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di
tantang dengan bakterin A. hydrophila.
( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( )
bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( )
bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol
Gambar 31 Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di
tantang dengan bakterin S. agalactiae.
( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( )
bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( )
bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol
Gambar 32 Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di
tantang dengan gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae.
( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( )
bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( )
bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol
012345678
0 1 2 3 4 5
masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke-
Tit
er a
nti
bo
di
(lo
g2
)
Perlakuan vaksin (inaktifasi dengan 3% bufer formalin)
0123456
0 1 2 3 4 5
masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke-Tit
er a
nti
bo
di
(lo
g2
)
Perlakuan vaksin (inaktifasi dengan 3% bufer formalin)
012345
0 1 2 3 4 5
masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke-Tit
er a
nti
bo
di
(lo
g2
)
Perlakuan vaksin (inaktifasi dengan 3% bufer formalin)
82
Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi melalui dua cara.
Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu
secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui
kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu
dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan
sel target. Ikatan komplek bersama antara antibodi dan toksin tidak dapat berdifusi
sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar
karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah
(Skinner 2009).
Simpulan dan Saran
Berdasarkan analisis hematologi dan imunologi serum ikan yang diberi
perlakuan vaksin menunjukkan hasil bahwa :
1. Vaksinasi menggunakan vaksin monovalen dapat meningkatkan respons
imun spesifik dan non spesifik lebih tinggi jika dibandingkan dengan vaksin
bivalen untuk proteksi infeksi tunggal.
2. Vaksin bivalen sel utuh dan sel utuh+ECP memberikan respons imun spesifik
maupun non spesifik terbaik terhadap perlakuan ko-infeksi jika dibandingkan
dengan monovalen A. hydrophila maupun monovalen S. agalactiae.
Vaksin yang memberikan respons imun terbaik adalah bivalen sel
utuh+ECP dari gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. Respons imun
ini digunakan sebagai acuan untuk melihat tingkat proteksi secara menyeluruh
pada ikan Nila, pada tahap selanjutnya perlu dilakukan uji tantang dengan infeksi
tunggal maupun ko-infeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae untuk
mengetahui efektifitas vaksin terhadap kelangsungan hidup ikan Nila.
83
EFIKASI VAKSIN BIVALEN TERHADAP PENYAKIT
MOTILE AEROMONAS SEPTICEMIA DAN
STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA (Oreochromis
niloticus)
Abstrak
Peningkatan respons antibodi pascavaksinasi dengan antigen tunggal dan
campuran dari bakterin Aeromonas hydrophila and Streptococcus agalactiae
diharapkan dapat meningkatkan daya tahan ikan Nila (Oreochromis niloticus)
terhadap penyakit Motile Aromonas Septicemia (MAS) dan Streptococcosis. Ikan
divaksinasi melalui injeksi intraperitoneal 0,1 mL dengan sediaan vaksin
monovalen dan bivalen (Sel utuh, produk ektraselular/ECP, crude supernatan,
campuran sel utuh dan ECP, dan broth). Uji tantang dilakukan menggunakan
dosis LD50 infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari bakteri A. hydrophila dan S.
agalactiae. Efektifitas dan keampuhan vaksin tersebut dihitung berdasarkan nilai
RPS (Relative Percent Survival) dan hasil deteksi respons hematologi. Vaksin
bivalen campuran sel utuh+ECP merupakan sediaan vaksin bivalen terbaik dalam
meningkatkan RPS dibandingkan dengan perlakuan sediaan vaksin monovalen
maupun vaksin bivalen sediaan sel utuh, ECP, crude supernatan, broth. Nilai RPS
vaksin bivalen campuran sel utuh dan ECP mencapai 100% untuk uji tantang
dengan A. hydrophila, 86,2% untuk uji tantang dengan S. agalactiae, dan 56,7%
untuk uji tantang ko-infeksi.
Kata kunci : vaksin monovalen, vaksin bivalen, RPS
Abstract
The immune responsse to single and mixed antigens of A. hydrophila and
S. agalactiae, the common bacterial pathogens associated with diseases in O.
niloticus were evaluated for their efficacy in triggering survival responsses. Fish
were vaccinated by using monovalent, bivalent vaccines (whole cell, Extracellular
product/ECP, crude supernatant, mixed whole cell+ECP, and broth) and the
efficacy of these vaccines were tested by using the challenge test with the
detection of RPS (Relative Percent Survival) and by detecting the immune
responsse of fish after challenge. An immune responsse was detected rose
significantly (p<0.05) at 2th
week after challenge in all the immunized groups. The
results of fish vaccination showed that the bivalent vaccine (mixed whole
cell+ECP) when used in Nile Tilapia through the injection route was of higher
efficacy (RPS) respectively and it was effective against more than one type of
bacteria. The value of relative per cent survival from bivalent vaccine mixed
whole cell+ECP was 100% and 86.2% to single infections and 56.7% to co-
infections, indicate that this vaccine was eficient in Nile tilapia.
Keywords : monovalent vaccine, bivalent vaccine, RPS
84
Pendahuluan
Perkembangan penanggulangan penyakit dalam budidaya ikan lebih
cenderung memilih cara pencegahan dengan strategi vaksinasi yang dapat spesifik
melindungi baik dari tipe patogen maupun spesies ikan. Menurut KEP.02-MEN-
KKP-2007 untuk menjamin keamanan dan mutu produk perikanan maka produk
perikanan harus bebas residu antibiotik, bebas logam berat, serta bebas dari bahan
biologi dan bahan kimia yang dilarang. Penggunaan vaksin yang dikombinasikan
dengan cara budidaya ikan yang baik (CBIB) dapat menjadi substansi pencegahan
penyakit sehingga hasil produksi lebih dapat diprediksi. Penanggulangan penyakit
Motile Aeromonas Septicemia (MAS) dan Streptoccoccosis akibat infeksi
Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae menggunakan vaksin
monovalen telah banyak dilakukan, namun penggunaan vaksin bivalen untuk
sekaligus melindungi ikan Nila dari serangan infeksi kedua jenis penyakit tersebut
belum dilakukan.
Vaksinasi ikan sudah menjadi protokol standar dalam kegiatan akuakultur.
Program efisiensi vaksinasi dapat menurunkan frekuensi terjadinya suatu wabah
penyakit dan dapat menurunkan penggunaan antibiotik untuk pengobatan.
Keberadaan antibodi spesifik setelah dilakukan vaksinasi dapat diamati dengan
metode konvensional menggunakan ikatan antigen-antibodi. Konsentrasi antibodi
serum dapat memproteksi inang dari serangan infeksi bakteri, akan tetapi titer
antibodi jika tidak didukung dengan respons imun lainnya tidak selalu berkorelasi
positif terhadap ketahanan pada ikan. Banyak faktor imunologi yang akan
mempengaruhi aktifitas biologi dalam pembentukan antibodi yang akan
menstimulasi pembentukan respons non-spesifik sebagai efektor dan antibodi
spesifik sebagai sel memori (Nikosleinan et al. 2007).
Pembentukan vaksin bivalen akan dipengaruhi oleh banyak proses
imunologi seperti reaksi silang antigen (cross-reaction antigenic), kompetisi
antigen, waktu pematangan dan penghilangan sifat antigenik yang akan
mempengaruhi efektifitas, kemampuan menghasilkan respons imun dan level
antibodi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat proteksi ikan Nila melalui
tingkat kelangsungan hidupnya terhadap uji tantang dengan bakteri homolog dan
85
bakteri heterolog setelah dilakukan vaksinasi dengan vaksin monovalen dan
vaksin bivalen, serta melihat respons imun ikan Nila terhadap kedua jenis bakteri
A. hydrophila dan S. agalactiae setelah uji tantang.
Bahan dan Metode
1 Spesifik Respons dan Proteksi Vaksin Monovalen A. hydrophila dan S.
agalactiae
Kajian reaksi respons imun silang antar heterolog bakteri A. hydrophila
dan Streptococcus sp. perlu dilakukan untuk melihat kemampuan proteksi setiap
vaksin monovalen yang diberikan pada ikan terhadap jenis bakteri lain penyebab
MAS dan Streptococcosis. Aeromonas hydrophila dan S. agalactiae merupakan
bakteri dari genus berbeda, jika dilihat dari gejala klinis yang tampak antara ikan
yang terinfeksi S. agalactiae dan A. hydrophila memiliki karakter yang berbeda
pada ikan Nila, diduga tingkat proteksi silang antar kedua jenis bakteri ini juga
akan berbeda.
Dosis vaksin monovalen vaksin A. hydrophila menggunakan dosis Sugiani
et al. (2010), sedangkan dosis S. agalactiae menggunakan dosis yang dilakukan
Pasnik et al. (2006). Setiap ikan disuntik vaksin secara intraperitoneal sebanyak
0,1 mL/ikan. Kombinasi komponen vaksin disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Perlakuan proteksi vaksin monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae
Perlakuan Ulangan Komponen vaksin Komponen uji tantang
1
2
1
2
3
1
2
3
A. hydrophila
A. hydrophila
A. hydrophila
S. agalactiae
S. agalactiae
S. agalactiae
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi
S. agalactiae
A. hydrophila
Ko-infeksi Ko-infeksi (A. hydrophila + S. agalactiae)
2 Proteksi Vaksin Bivalen Terhadap Infeksi Tunggal dan Ko-infeksi
Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae.
Ikan Nila dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan vaksin bivalen (Tabel
10), dan 4 kelompok kontrol (Tabel 11) dengan 3 ulangan, di mana setiap ikan
disuntik vaksin secara intra peritoneal sebanyak 0,1 mL/ikan. Ikan dipelihara
86
selama 21 hari setelah divaksin kemudian dilakukan uji tantang dengan dosis
LD50 sebanyak 0,1 mL/ikan, ikan dipelihara kembali selama 14 hari. Data
kematian ikan dicatat setiap hari selama waktu penelitian untuk menghitung
kematian kumulatif, sedangkan gambaran darah dan patologi klinik darah diukur
setiap 3 hari.
Tabel 10 Perlakuan vaksin bivalen
Perlakuan Ulangan Komponen vaksin Komponen uji tantang
1
2
3
4
5
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Biv (su AH) : (su SA)
Biv (su AH) : (su SA)
Biv (su AH) : (su SA)
Biv (ECP AH) : (ECP SA)
Biv (ECP AH) : (ECP SA)
Biv (ECP AH) : (ECP SA)
Biv (su+ECP AH) : (su+ECP SA)
Biv (su+ECP AH) : (su+ECP SA)
Biv (su+ECP AH) : (su+ECP SA)
Biv (cS AH) : (cS SA)
Biv (cS AH) : (cS SA)
Biv (cS AH) : (cS SA)
Biv (br AH) : (br SH)
Biv (br AH) : (br SH)
Biv (br AH) : (br SH)
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi
Biv (bivalen), AH (Aeromonas hydrophila), SA (Streptococcus agalactiae), ECP (produk
ekstraseluler), su (sel utuh), cS (crude supernatan), br (broth), ko-infeksi (A. hydrophila +
S. agalactiae)
Tabel 11 Perlakuan kontrol
Perlakuan Ulangan Kontrol Komponen uji tantang
1
2
3
4
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Kontrol TSB
Kontrol TSB
Kontrol TSB
Kontrol BHI
Kontrol BHI
Kontrol BHI
Kontrol Salin 0,845%
Kontrol Salin 0,845%
Kontrol Salin 0,845%
Kontrol tanpa injeksi
Kontrol tanpa injeksi
Kontrol tanpa injeksi
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi
A. hydrophila
S. agalactiae
Ko-infeksi TSB (trytic soy broth), BHI (brain heart infusion)
87
Ikan Nila diberi perlakuan vaksin gabungan hasil kultur terpisah bakteri A.
hydrophila dan S. agalactiae yang diinaktifasi menggunakan 3% bufer formalin
dengan perbandingan volume sediaan vaksin 1:1 (v/v) (Silva et al. 2009).
3 Uji Tantang
Uji tantang dilakukan terhadap 5 kelompok perlakuan vaksin bivalen, 2
kelompok perlakuan vaksin monovalen, dan 4 kelompok kontrol dengan
melakukan uji tantang pada minggu ke-3 (Li et al. 2006). Kematian ikan diamati
untuk melihat proteksi vaksin dengan menghitung Relative Percent Survival
(RPS). Dosis bakteri untuk uji tantang menggunakan dosis dari hasil LD50 kedua
jenis bakteri uji. LD50 A. hydrophila infeksi tunggal adalah 107 cfu/mL, LD50 S.
agalactiae infeksi tunggal adalah 103 cfu/mL, sedangkan LD50 ko-infeksi A.
hydrophila+S. agalactiae adalah dengan menggabungkan 50:50 A. hydrophila
dalam TSA (24 jam) dengan S. agalactiae dalam BHIA (72 jam). Ikan diinjeksi
secara intra peritoneal sebanyak 0,1 mL/ekor. Ikan yang mati diamati dan dicatat
selama 14 hari perlakuan uji tantang.
Hasil dan Pembahasan
1 Proteksi Vaksin Monovalen
Gambar 33 menunjukkan rata-rata kematian harian ikan Nila yang
divaksin dengan vaksin monovalen A. hydrophila dan diuji tantang dengan
bakteri A.hydrophila tingkat kematiannya rendah (10%), sedangkan yang diuji
tantang dengan S. agalactiae dan ko-infeksi tingkat kematiannya tinggi (80% dan
90%). Pada perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila terbukti hanya dapat
memproteksi ikan dari uji tantang terhadap bakteri yang sama, tidak ada proteksi
silang untuk bakteri S. agalactiae, hal ini terlihat dari kematian ikan yang tinggi
setelah uji tantang dengan bakteri berbeda. Kematian harian perlakuan monovalen
A. hydrophila yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila berbeda nyata
dengan kontrol (P<0,05). Kematian ikan terjadi mulai hari ke-2 sampai hari ke-14,
dimana kematian rata-rata tertinggi kelompok ikan yang divaksin monovalen A.
88
hydrophila terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-7 pascauji tantang dengan bakteri
A. hydrophila, S. agalactiae, dan ko-infeksi.
Vaksin monovalen A. hydrophila terbentuk dari sediaan sel utuh, sehingga
proteksinya relatif lebih spesifik untuk strain homolog dan tidak dapat
memproteksi terhadap bakteri di luar kelompok strain A. hydrophila. Hasil ini
sama dengan vaksin bakteri A. hydrophila yang dibuat oleh Shieh (1987), bahwa
Atlantic salmon yang divaksinasi melalui injeksi intra muskular dengan vaksin
sediaan ekstraselular protease dari A. hydrophila dapat melindungi dari uji tantang
dengan bakteri yang homolog dan beberapa isolat bakteri yang heterolog dari A.
hydrophila. Akan tetapi, tidak ada laporan mengenai kemampuan ekstraselular
protease yang dihasilkan dari satu spesies untuk menimbulkan reaksi silang
melawan spesies motil Aeromonad yang lainnya.
Gambar 33 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) yang divaksin monovalen
secara intraperitoneal dan diuji tantang selama 16 hari.
Sama dengan kelompok ikan yang divaksin monovalen A. hydrophila,
kelompok ikan yang divaksin dengan vaksin monovalen S. agalactiae juga hanya
dapat memproteksi dari kelompok strain yang homolog, tidak menimbulkan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kem
atia
n k
um
ula
tif
har
ian (
%)
uji tantang (hari)
Monovalen A. hydrophila uji A. hydrophila Monovalen A. hydrophila uji S. agalactiae
Monovalen A. hydrophila uji ko-infeksi Monovalen S. agalactiae uji A. hydrophila
Monovalen S. agalactiae uji S. agalactiae Monovalen S.agalactiae uji ko-infeksi
89
proteksi ketika diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila. Rata-rata kematian
ikan terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-8 pascauji tantang, dengan tingkat
kematian 20% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri S.
agalactiae, kematian 60% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri
A. hydrophila, dan kematian 80% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan
ko-infeksi.
2 Proteksi Vaksin Bivalen
Kematian ikan yang divaksin bivalen dengan sediaan sel utuh, ECP, crude
supernatan, gabungan sel utuh+ECP, maupun broth, relatif lebih tahan terhadap
uji tantang dengan bakteri tunggal maupun gabungan.
Gambar 34 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang dengan
bakteri A. hydrophila yang dipelihara selama 16 hari. (a) perlakuan
vaksin bivalen, (b) kontrol.
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
kem
atia
n k
um
ula
tif
har
ian
(%
)
uji tantang (hari)
Bivalen Sel utuh Bivalen ECP
Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen crude Supernatan
Bivalen Broth
0
2
4
6
8
10
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16kem
atia
n k
um
ula
tif
har
ian (
%)
uji tantang (hari)
Kontrol TSB Kontrol BHIKontrol Salin 0,845% Kontrol tanpa injeksi
a
b
90
Kematian ikan terjadi mulai hari ke-2 sampai hari ke-14. Kematian rata-
rata tertinggi terjadi pada 4-8 hari pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila
(Gambar 34), S. agalactiae (Gambar 35), dan ko-infeksi (Gambar 36).
Gambar 35 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang dengan
bakteri S.agalactiae yang dipelihara selama 16 hari. (a) perlakuan
vaksin bivalen, (b) kontrol.
Kematian harian perlakuan vaksin bivalen berbeda nyata dengan kontrol
(P<0,05), jika dibandingkan antar perlakuan vaksin bivalen maka perlakuan
vaksin bivalen sediaan sel utuh dengan gabungan sel utuh dan ECP tidak berbeda
nyata (P>0,05), dan berbeda nyata dengan perlakuan vaksin bivalen sediaan ECP,
crude supernatan, dan broth (P<0,05).
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
kem
atia
n k
um
ula
tif
har
ian
(%
)
uji tantang (hari)
Bivalen Sel utuh Bivalen ECP
Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Supernatan
Bivalen Broth
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
kem
atia
n k
um
ula
tif
har
ian (
%)
uji tantang (hari)
Kontrol TSB Kontrol BHI
Kontrol Salin 0,845% Kontrol tanpa injeksi
b
a
91
Kelompok ikan yang divaksin dengan sediaan sel utuh dan sediaan sel
utuh+ECP rata-rata tingkat kematian 0% setelah diuji tantang dengan bakteri A.
hydrophila, 22-32% setelah diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae, dan 43%
setelah diuji tantang dengan ko-infeksi.
Gambar 36 Kematian harian ikan Nila (O. niloticus) setelah diuji tantang dengan
ko-infeksi bakteri A. hydrophila+S.agalactiae yang dipelihara
selama 16 hari. (a) perlakuan vaksin bivalen, (b) kontrol.
Sediaan sel utuh dan sel utuh+ECP merupakan sediaan vaksin yang dapat
memberi kelangsungan hidup tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok
perlakuan vaksin bivalen ECP, crude supernatan, maupun broth.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
kem
atia
n k
um
ula
tif
har
ian
(%
)
uji tantang (hari)
Bivalen Sel utuh Bivalen ECP
Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen crude Supernatan
Bivalen Broth
0
2
4
6
8
10
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
kem
atia
n k
um
ula
tif
har
ian (
%)
uji tantang (hari)
Kontrol TSB Kontrol BHI
Kontrol Salin 0,845% Kontrol tanpa injeksi
a
b
92
8 Hematologi dan Respons Imun Ikan Nila Setelah Uji Tantang
Vaksinasi aktif merupakan bentuk dari imunisasi aktif menggunakan
stimulasi antigen untuk meningkatkan respons imun alami dan respons imun
perolehan (adaptif) dengan menghasilkan spesifik respons imun humoral dan
imunitas antara cell-mediated immunity terhadap patogen dan antigen spesifik
(Skinner 2009). Respons imun spesifik yang diamati dengan melihat titer antibodi,
sedangkan respons imun non spesifik diamati dengan melihat perubahan pada
kadar hematokrit, hemoglobin, indek fagositik, persentase fagosit, produksi
radikal bebas respiratory burst, aktifitas lisosim dan komplemen.
Hasil analisis beberapa parameter hematologi pada ikan Nila setelah
vaksinasi dan uji tantang dengan bakteri homolog maupun heterolog
menunjukkan adanya perubahan dalam kadar hematokrit, hemoglobin, indek
fagositik, persentase fagosit, titer antibodi, nilai NBT (aktifitas respiratory burst),
aktifitas lisosim dan komplemen. Rata-rata perlakuan vaksin monovalen dan
bivalen berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol dalam respons imun
spesifik maupun non spesifik.
Tabel 12 Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan
bivalen setelah uji tantang dengan A. hydrophila
Perlakuan He
(%)
Hb
(g %) IP PP
Antibodi
(log 2) NBT
Lisosim
(mm) Komplemen
Mono. A. hydrophila 27±1,4 8±0,14 2,2±0,15 66±5,29 6 0,725±0,16 3±1,4 74,07±9,16
Mono. S. agalactiae 29±1,4 7,8±0,28 2±0,26 58±5,29 3 0,488±0,03 5±0,7 61,11±1,3
Biv. Sel utuh 27±2,1 7,4±0 1,9±0,25 56±4,16 4 0,538±0,13 4±1,4 59,26±5,23
Biv. ECP 30±0,7 7,4±0,13 2,4±0,17 48±2 4 0,353±0,06 2±0,7 92,59±3,9
Biv. Sel utuh + ECP 29±2,1 9±0,13 2,1±0,28 50±6,42 5 0,447±0,12 5±2,1 85,18±4,3
Biv. Crude Supernatan 26±1,4 7,4±0,14 2,1±0,26 52±7,07 4 0,273±0,08 5±0,7 98,15±2,4
Biv. Broth 28±1,4 7,6±0,28 1,6±0,28 42±4,16 3 0,397±0,09 6±2,1 92,59±4,6
Kontrol 26±2,1 8±0,14 2±0,26 54±5,29 3 0,269±0,11 3±1,4 103,71±7,8
Mono (monovalen), Biv (bivalen), He (hematokrit), Hb (hemoglobin), IP (indek
fagositik), PP (persentase fagosit), NBT (Uji respiratory burst).
Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang
dengan bakteri A. hydrophila menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin
monovalen A. hydrophila , dan sediaan sel utuh+ECP yang memberikan respons
imun terbaik. Nilai titer antibodi yang merupakan parameter uji respons imun
93
spesifik menunjukkan bahwa sediaan vaksin ini terutama untuk monovalen A.
hydrophila hanya mampu bereaksi terhadap bakteri homolog, sedangkan
parameter respons imun non spesifik relatif sama antar perlakuan (Tabel 12).
Tabel 13 Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan
bivalen setelah uji tantang dengan S.agalactiae
Perlakuan He
(%)
Hb
(g %) IP PP
Antibodi
(log 2) NBT
lisosim
(mm) komplemen
Mono. A. hydrophila 26±1,4 8,8±0,56 2,5±0,22 78±3.46 2 0,584±0,004 4±1,7 66,67±9,32
Mono. S. agalactiae 22±1,4 8±0 2,3±0,15 80±3.65 4 0,59±0,006 4±2,08 59,26±2,13
Biv. Sel utuh 29±2,1 8±0,14 2,1±0,11 72±2.51 4 0,599±0,144 7±2,82 77,78±12,04
Biv. ECP 23±0,7 7,8±0,14 1,9±0,19 78±5.03 3 0,395±0,159 3±1,73 101,85±5,65
Biv. Sel utuh + ECP 24±2,1 8±0,70 2,2±0,17 74±4.61 4 0,621±0,16 6±1,52 90,74±3,85
Biv. Crude Supernatan 22±1,4 7±0,42 2±0,20 74±5.65 2 0,394±0,1 3±1,54 98,15±5,23
Biv. Broth 24±1,4 7,6±0,28 2,1±0,21 66±3.22 3 0,536±0,09 5±1,41 96,29±5,25
Kontrol 28±2,8 8±0,14 2,4±0,56 58±4.17 3 0,396±0,042 3±1,2 103,71±9,08
Mono (monovalen), Biv (bivalen), He (hematokrit), Hb (hemoglobin), IP (indek
fagositik), PP (persentase fagosit), NBT (Uji respiratory burst).
Tabel 14 Parameter hematologi dan respons imun efikasi vaksin monovalen dan
bivalen setelah uji tantang dengan ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae
Perlakuan He
(%)
Hb
(g %) IP PP
Antibodi
(log 2) NBT
lisosim
(mm) komplemen
Mono. A. hydrophila 24±0,7 6,8±0,42 1,6±0,21 68±2,83 4 0,431±0,1 3±2,5 79,63±3,88
Mono. S. agalactiae 25±2,1 7,4±0,07 1,4±0,16 64±2,82 3 0,286±0,02 7±1,9 85,12±5,28
Biv. Sel utuh 22±2,8 7,5±1,6 1,4±0,15 60±4,24 4 0,318±0,02 9±2 92,59±7,85
Biv. ECP 26±1,4 9,8±0,63 1,2±1,14 54±5,65 2 0,303±0,09 5±2,5 103,7±5,24
Biv. Sel utuh + ECP 24±1,4 8,9±0,49 1,2±0,17 62±2,82 4 0,439±0,11 9±2,5 96,29±0,92
Biv. Crude Supernatan 22±1,4 9,6±1,41 1±0,21 58±7,07 3 0,285±0,02 6±1,5 101,85±7,84
Biv. Broth 24±2,8 7,6±0,07 1,1±0,20 48±1,42 4 0,318±0,05 3±1,4 90,75±1,82
Kontrol 28±0,7 7,5±0,49 1,4±0,15 46±3,22 3 0,398±0,07 5±1,7 103,71±4,53
Mono (monovalen), Biv (bivalen), He (hematokrit), Hb (hemoglobin), IP (indek
fagositik), PP (persentase fagosit), NBT (Uji respiratory burst).
Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang
dengan bakteri S. agalactiae menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin
monovalen S. agalactiae, sel utuh, dan sediaan sel utuh+ECP sama-sama
memberikan respons imun terbaik. Nilai titer sediaan vaksin ini terutama untuk
monovalen S. agalactiae hanya mampu bereaksi terhadap bakteri homolog. Nilai
titer yang relatif lebih rendah jika dibanding dengan kelompok vaksin yang diuji
94
tantang dengan A. hydrophila diduga karena tingkat proteksi sediaan vaksin
bivalen rendah terhadap respons infeksi S. agalactiae, sedangkan untuk parameter
respons imun non spesifik relatif sama antar perlakuan (Tabel 13).
Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang
dengan bakteri ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae menunjukkan bahwa
perlakuan sediaan vaksin monovalen A. hydrophila dan S. agalactiae, bivalen
sediaan sel utuh, sel utuh+ECP dan broth sama-sama memberikan respons imun
terbaik. Kelompok perlakuan vaksin bivalen maupun monovalen dapat
meningkatkan respons imun non spesifik dengan nilai rata-rata kenaikan yang
hampir sama, namun berbeda nyata (P<0,05) dalam kemampuannya
meningkatkan respons imun spesifik (Tabel 14).
Pemberian vaksin monovalen dan bivalen dapat mempengaruhi respons
imun, diduga dengan adanya antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen
sehingga lisozim serum dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan
menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan
antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung
pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak,
dan juga faktor kemotaktik terhadap neutrofil untuk membantu fagositosis
(Skinner 2009).
Aeromonas hydrophila dan S. agalactiae merupakan tipe bakteri
ekstraselular (Burke et al. 1981; Romalde & Toranzo 2002). Smith (1977)
menerangkan bahwa respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk
menetralkan efek toksin dan mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah
terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan.
Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negatif dapat mengaktivasi
komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Hasil aktifasi ini adalah
komplemen (C3b) yang mempunyai efek opsonisasi, lisis bakteri melalui serangan
komplek membran dan respons inflamasi akibat pengumpulan serta aktifasi
leukosit. Endotoksin juga merangsang makrofag dan sel lain seperti endotel
vaskular untuk memproduksi sitokin seperti interleukin (IL-1, IL-6 dan IL-8).
95
Hampir semua vaksin memiliki potensi untuk dibuat dalam bentuk bivalen
dan polivalen (vaksin dengan kandungan beberapa antigen; bakteri dan virus).
Vaksin polivalen dapat melindungi individu ikan terhadap penyakit utama yang
mungkin akan menyerang pada saat proses produksi budidaya sampai ukuran siap
panen, serta dapat menghindari kebutuhan akan vaksinasi ulang (Berg et al.
2006).
Anbarasu et al. (1998) menemukan bahwa vaksin A. hydrophila yang
diinaktifasi menggunakan bufer formalin lebih baik dibanding dengan vaksin
yang diinaktifasi dengan pemanasan, terutama ketika bakterin akan diaplikasikan
melalui suntik dan disatukan dengan adjuvan. Akan tetapi, sonikasi sel untuk
vaksin menghasilkan respons antibodi yang terbaik. Sonikasi akan memecah sel
dan memungkinkan diperolehnya antigen somatik (lipopolisakarid bakteri).
Tanpa memperhatikan apakah vaksin berbentuk sel utuh, freeze-thawed sel, atau
sel hasil sonikasi, Thune dan Plumb (1982) menyatakan bahwa pemberian vaksin
A. hydrophila melalui suntik akan memberikan hasil yang lebih baik dalam
membentuk respons humoral antibodi dibanding dengan pemberian vaksin
melalui rendam atau semprot.
Tabel 15 Tingkat RPS ikan Nila yang divaksin monovalen dan bivalen A.
hydrophila dan S. agalactiae
Perlakuan Relative Percent Survival (RPS) setelah diuji tantang
A. hydrophila S. agalactiae Ko-infeksi
A. hydrophila+S. agalactiae
Monovalen A. hydrophila 89,2b 17,2
e 2,7
d
Monovalen S. agalactiae 35,1e 72,4
b 13,5
c
Bivalen Sel utuh 100a 72,4
b 56,7
a
Bivalen ECP 45,9d 31
d 24,3
b
Bivalen Sel utuh+ECP 100a 86,2
a 56,7
a
Bivalen crude Supernatan 45,9d 31
d 2,7
d
Bivalen Broth 67,6c 44,8
c 24,3
b
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada taraf uji P>0,05.
Berdasarkan Tabel 15, nilai RPS yang tinggi pada perlakuan vaksin sel
utuh dan bivalen sel utuh+ECP didukung oleh hasil pengamatan karakter protein
penyusun sediaan vaksin pada tahap penelitian sebelumnya. Hasil SDS-PAGE dari
96
sediaan vaksin tersebut memiliki karakter protein lebih banyak jika dibandingkan
dengan sediaan vaksin ECP, crude supernatan, dan broth. Karakter protein akan
mempengaruhi tingkat imunogenisitas dari sediaan vaksin. Stuart (1999)
mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi imunogenisitas yaitu : (1)
harus dikenali sebagai sel asing dengan memiliki derajat perbedaan genetik antara
antigen dan sel inang, (2) kandungan berat molekul yang imunogenik harus
>6.000 dalton, berat molekul <1.000 dalton tidak imunogenik, berat molekul
1.000-6.000 dalton tingkat imunogeniknya bervariasi, (3) memiliki kompleksitas
kimia penyusun, komponen sederhana walaupun memiliki berat molekul tinggi
bersifat tidak imunogenik. Protein memiliki sifat imunogenik yang tinggi,
karbohidrat atau polisakarida sifat imunogeniknya rendah, lemak tidak memiliki
sifat imunogenik, asam nukleat tunggal memiliki tingkat imunogenik yang rendah
namun apabila asam nukleat dikonjugasikan dengan protein maka akan menjadi
imunogenik.
Busch (1997) menjelaskan bahwa ada proteksi silang antar antigen
(keberadaan satu antigen dapat memberikan proteksi terhadap antigen yang
berbeda, bahkan terhadap antigen yang tidak memiliki keterkaitan), kompetisi
antigenik (keberadaan satu antigen mempengaruhi atau menekan aktifitas antigen
lain), dan terjadi imunodominansi antar antigen (setiap sub unit antigen
determinan terlibat dalam proses pengikatan atau reaksi dengan antibodi) semua
faktor tersebut dapat mempengaruhi spesifitas, aviditas, dan tingkat produksi
antibodi spesifik (Abs).
Nilai RPS ikan Nila pascauji tantang menunjukkan hasil yang beragam
(Tabel 15). Perlakuan vaksin monovalen berbeda nyata dengan perlakuan vaksin
bivalen dan keduanya juga berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Nilai RPS
tertinggi (100) didapat dari perlakuan vaksin bivalen sel utuh serta gabungan
bivalen sel utuh dan ECP yang diuji tantang oleh bakteri tunggal A. hydrophila.
Nilai RPS terkecil (2,7) didapat dari perlakuan vaksin bivalen crude supernatan
yang diuji dengan bakteri ko-infeksi. Akan tetapi, jika diamati nilai RPS pada
perlakuan uji tantang dengan bakteri ko-infeksi secara keseluruhan maka sediaan
vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh dan ECP yang memiliki
97
nilai sama (56,7). Penghitungan nilai RPS diperoleh dengan menghitung kematian
ikan dan dimasukkan ke dalam rumus yang dibuat oleh Ellis (1988), rincian
perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 13.
Nilai RPS yang relatif rendah tersebut dari perlakuan vaksin bivalen
terhadap ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae menunjukkan bahwa vaksin
tersebut kurang protektif terhadap penyakit MAS dan Streptococcosis jika terjadi
infeksi secara bersamaan. Sediaan vaksin bivalen yang paling memberikan level
proteksi tertinggi adalah vaksin bivalen gabungan sel utuh A. hydrophila+S.
agalactiae dan ECP A. hydrophila+S. agalactiae, apabila infeksi yang terjadi
merupakan infeksi tunggal.
Vaksin monovalen yang hanya dapat memproteksi dari serangan penyakit
yang sama dan tidak dapat memproteksi dari infeksi silang maupun infeksi
gabungan (ko-infeksi). Vaksin monovalen A. hydrophila hanya dapat
memproteksi dari infeksi MAS, dan vaksin monovalen S. agalactiae hanya dapat
memproteksi dari infeksi Streptococcosis.
Vaksin bivalen memiliki proteksi yang rendah terhadap infeksi S.
agalactiae, hal ini diduga karena bakteri Streptococcus merupakan bakteri
ekstraseluler yang biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit, namun pada
keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit
karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang
mengakibatkan adhesi yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri. Selain
itu, kapsul tersebut melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang
seharusnya dapat dikenali oleh reseptor fagosit. Fungsi kapsul ini untuk
menghambat akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri, sehingga
respons imun terhadap infeksi dan pembentukan respons imun spesifik yang
diperantarai sel-sel limfosit juga menjadi terhambat (Samen et al. 2004).
Giordano et al. (2010) melakukan vaksinasi ikan Nila dengan inaktifasi
bakteri S. agalactiae sel utuh (formalin killed) dengan dosis 2,0x108 cfu/mL
menghasilkan RPS sebesar 83,6% setelah ditantang dengan bakteri S. agalactiae
3,0x107 cfu/mL pada 30 hari setelah vaksinasi. Hal ini membuktikan bahwa
98
vaksin inaktif S. agalactiae dapat memproteksi ikan Nila yang terinfeksi bakteri S.
agalactiae homolog.
Nilai proteksi vaksin bivalen yang terpresentasikan dengan kelangsungan
hidup setelah uji tantang dari sediaan sel utuh maupun sediaan sel utuh+ECP
memiliki nilai RPS lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin bivalen sediaan
crude supernatan, broth, dan ECP, hal ini diduga bahwa kandungan formaldehid
dari bahan inaktifasi bufer formalin yang digunakan untuk menginaktifkan bakteri
dan toxin bakteri mempengaruhi kemampuan proteksi respons imun ikan terhadap
antigen.
Secara umum inaktifasi formaldehid dalam pembuatan vaksin telah terbuki
dapat meningkatkan proteksi respons antibodi, akan tetapi formaldehid juga dapat
berpengaruh terhadap pengenalan antigen oleh sel-T. Pengenalan sel-T terhadap
antigen sebagai ikatan peptida akan membentuk molekul major hystocompability
complex (MHC), formaldehid dapat mempengaruhi presentasi antigen dengan cara
interfensi pada saat degradasi proteolitik menjadi peptida membentuk ikatan
peptida jadi MHC atau pengenalan reseptor sel-T terhadap peptida-MHC
komplek (Tommaso et al. 1994).
Tingkat proteksi berupa respons imun maupun kelangsungan hidup
pascauji tantang terhadap ikan Nila yang diberi perlakuan vaksin akan terbentuk
secara optimal jika didukung dengan kondisi lingkungan perairan yang sesuai
untuk pertumbuhan ikan Nila.
Tabel 16 Kisaran Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian
Pemeliharaan ikan dilakukan pada bak terkontrol, di mana pergantian air
dilakukan setiap 2 hari sekali sebanyak 50% dari total volume. Nilai parameter
kualitas air media pemeliharaan selama penelitian berada pada kisaran yang sesuai
untuk pemeliharaan ikan Nila (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa hasil
Parameter Kisaran Satuan
Temperatur 24 - 26,5 °C
pH 6,5 - 7 -
TAN 0,016 - 0,69 ppm
Oksigen terlarut 6 - 8 mg/L
99
penelitian yang diperoleh disebabkan adanya perbedaan perlakuan dan bukan
merupakan pengaruh dari kualitas air.
Simpulan dan Saran
Vaksin dalam bentuk bivalen gabungan sel utuh+ECP lebih mampu
memproteksi ikan Nila terhadap infeksi tunggal A. hydrophila (RPS 100%),
infeksi tunggal S. agalactiae (RPS 86,2%), dan ko-infeksi (RPS 56,7%) daripada
vaksin monovalen.
Komposisi sediaan vaksin bivalen yang telah diteliti sebenarnya memiliki
kemampuan dalam meningkatkan respons imun, hanya perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dalam penyusunan komposisi berbeda dari sediaan vaksin bivalen,
sehingga level proteksi yang dihasilkan terhadap infeksi tunggal maupun ko-
infeksi dari kedua jenis bakteri dapat meningkat.
100
PEMBAHASAN UMUM
Kasus kematian ikan akibat infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dan
Streptococcus sp. menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila
(Oreochromis niloticus) di Indonesia. Hasil isolasi bakteri pada organ ginjal, otak,
dan luka menunjukkan keberadaan A. hydrophila sebesar 100% dan ko-infeksi
Streptococcus sp. sebesar 20% pada budidaya ikan Nila di Karamba Jaring
Apung (KJA) Waduk Cirata.
Gejala klinis ikan yang terinfeksi MAS dan Streptococcosis menunjukkan
adanya eksoptalmi, warna tubuh gelap, bola mata menonjol dan berwarna putih
(opaque), perut gembung apabila dibedah terdapat cairan berwarna bening pada
rongga perut (asites), perdarahan (hemorrhage), sirip gripis dan pangkal sirip
berwarna pucat, ginjal dan hati berwarna pucat, serta saluran intestin kosong.
Hasil pengamatan histopatologi organ otak menunjukkan suatu kongesti dan
perdarahan (hemorrhage), terdapat suatu infiltrasi limfosit diantara tubuli ginjal
dan ada sel yang nekrosis sehingga membentuk deformasi sel, terdapat melano
macrofage centre (MMC) pada organ limpa yang bersifat multifokal.
Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat tumbuh bersinergi pada
media agar maupun media cair. Karakter pertumbuhan bakteri yang bersinergi
diduga bahwa kedua jenis bakteri tidak memiliki enzim yang dapat menghambat
pertumbuhan satu sama lain dan tidak saling berkompetisi dalam pemanfaatan
media untuk tumbuh.
Perlakuan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae pada ikan Nila
dengan perbandingan komposisi cfu/mL bakteri yang berbeda menunjukkan
adanya penurunan jumlah hemosit darah dan peningkatan plasma darah pada
setiap perlakuan, jika dibandingkan dengan kontrol terdapat perbedaan yang nyata
(P<0,05), namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan infeksi
tunggal A. hydrophila dan infeksi tunggal S. agalactiae. Jumlah monosit,
neutrofil, dan limfosit mengalami fluktuasi membentuk suatu homeostasi total
leukosit dengan rata-rata terlihat adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit
serta adanya penurunan jumlah neutrofil jika dibandingkan dengan kontrol.
101
Fluktuasi homeostasis tersebut menunjukkan adanya aktifitas pertahanan non
spesifik dari ikan Nila berupa peningkatan monosit darah yang berfungsi sebagai
sel fagosit (makrofag) yang akan memfagositosis antigen bakteri dalam tubuh
ikan. Peningkatan jumlah limfosit menunjukkan bahwa ada aktifitas pertahanan
selular spesifik yang memungkinkan adanya pembentukan antibodi atau memori
pada ikan yang dapat bertahan dari serangan ko-infeksi A. hydrophila dan S.
agalactiae. Nilai indeks fagositik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
pada setiap perlakuan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan aktifitas
fagositik dari ikan terhadap adanya serangan infeksi bakteri.
Hasil ko-infeksi menyebabkan kematian bervariasi antara 33-50% dengan
waktu inkubasi 2-12 hari. Infeksi tunggal bakteri A. hydrophila maupun bakteri S.
agalactiae lebih mematikan daripada ko-infeksi dengan tingkat kematian 13-80%.
Kematian ikan yang terjadi setelah diinfeksi dengan A. hydrophila menunjukkan
kematian lebih cepat yaitu jam ke-6 pascainjeksi dengan jumlah kematian
mencapai 100%. Kematian ikan yang cepat disebabkan karena adanya toksin
mematikan (lethal toxic) dari produk ekstraselular bakteri A. hydrophila yang
menjadi salah satu faktor virulensi dari jenis bakterin tersebut. Nilai LD50 ko-
infeksi diperoleh dari campuran 50:50 bakteri A. hydrophila dalam TSA (24 jam)
dengan S. agalactiae dalam BHIA (72 jam).
Infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut dengan rata-rata kematian terjadi
3-8 hari pascainfeksi. Infeksi MAS bersifat akut dan kronis, kematian akut terjadi
1-3 hari pascainfeksi dan kematian kronis terjadi >8 hari pascainfeksi dengan
jumlah kematian ikan antara 20-100%.
Jenis antibiotik yang dapat menanggulangi jenis bakteri A. hydrophila
adalah Tetrasiklin dan Kloramfenikol, sedangkan untuk menanggulangi S.
agalactiae adalah Eritromisin, Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Tetrasiklin,
Kloramfenikol, Metisilin, dan Ampisilin. Kejadian ko-infeksi dari kedua jenis
bakteri yaitu A. hydrophila dan S. agalactiae hanya dapat ditanggulangi dengan
menggunakan antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol.
Kedua jenis bakteri penyebab MAS dan Streptococcosis sebenarnya masih
dapat ditanggulangi dengan perlakuan antibiotik, akan tetapi dilihat dari hasil uji
102
bahwa antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri adalah dari jenis
antibiotik yang sudah dilarang penggunaannya dan masuk dalam kriteria obat
keras menurut Komisi Obat Indonesia (KOI), maka perlu dilakukan upaya
pencegahan melalui imunostimulasi menggunakan imunostimulan maupun
vaksin.
Pembuatan vaksin bivalen dimulai dengan menginokulasi bakteri A.
hydrophila dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama
24 jam pada suhu 28 oC. Bakteri S. agalactiae diinokulasi dalam media TSB,
diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 oC. Kultur
bakteri diinaktifasi dengan menambahkan bufer formalin sebanyak 3% v/v (NBF
atau neutral buffer formalin 10% ; dibuat dengan mencampurkan 0,4 g
NaH2PO4+0,65 g Na2HPO4+10 mL formaldehid 37%+90 mL akuades steril)
kemudian diaduk menggunakan magnet pengaduk selama 4 jam. Sel utuh bakteri
in-aktif diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit dengan suhu
4 oC, pelet (endapan) sel dipisahkan dari supernatan, kemudian pelet sel
diresuspensi dengan salin (NaCl 0,845%, pH 7). Produk ekstraselular (ECP) A.
hydrophila diperoleh dengan menyaring supernatan hasil sentrifus menggunakan
filter steril 0,45 μm, dan ECP S. agalactiae menggunakan filter steril 0,22 μm.
Sediaan vaksin hasil inaktifasi disimpan pada suhu 4 oC. Sediaan vaksin bivalen
diperoleh dengan mencampurkan sediaan A. hydrophila dengan sediaan S.
agalactiae 1:1 v/v.
Sediaan vaksin bivalen (sel utuh, produk ekstraselular/ECP, gabungan sel
utuh+ECP, crude supernatan, broth) yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3%
aman dan steril untuk digunakan. Berat protein sediaan vaksin A. hydrophila dari
jenis sediaan sel utuh adalah 0,43 dan 0,53 mg/mL, sediaan ECP 1,93 mg/mL,
sediaan crude supernatan 1,99 mg/mL, serta sediaan broth 2,12 mg/mL. Pita
protein untuk sediaan sel utuh A. hydrophila terdapat 14 pita yaitu 119,57; 94,39;
82,76; 72,57; 58,81; 45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 19,00; 17,10; 15,00; dan
12,81 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan crude
supernatan terdapat 3 pita yaitu 94,39; 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan broth
terdapat 7 pita yaitu 136,36; 119,57; 87,23; 55,80; 25,36; 19,00; dan 14,61 kDa.
103
Pita protein untuk sediaan sel utuh S. agalactiae terdapat 10 pita yaitu 111,86;
83,42; 79,09; 58,98; 54,45; 43,99; 23,20; 18,74; 17,77; dan 15,97 kDa. Sediaan
ECP terdapat 2 pita yaitu 83,42 dan 21,99 kDa. Sediaan crude supernatan
terdapat 3 pita yaitu 83,42; 58,98; dan 21,99 kDa. Sediaan broth terdapat 4 pita
yaitu 111,86; 79,09; 23,20; dan 18,74 kDa. Hasil dari karakterisasi protein A.
hydrophila menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa jumlah pita protein
terbanyak berturut-turut terdapat pada sel utuh, broth, crude supernatan, dan ECP.
Hematologi dan respons imun dari dua kelompok perlakuan vaksin
monovalen dan bivalen memiliki kadar hemoglobin yang berkisar antara 7-11 g
dengan rata-rata peningkatan (P<0,05) kadar hemoglobin terjadi pada hari ke-3
sampai hari ke-6 setelah vaksinasi. Nilai hematokrit tertinggi pada level 37
perlakuan vaksin monovalen S. agalactiae, sedangkan hematokrit terendah pada
perlakuan vaksin bivalen broth di level 17. Perlakuan vaksin monovalen A.
hydrophila, bivalen sel utuh dan bivalen sel utuh+ECP memiliki kemampuan
fagositosis lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain dan kontrol
(P<0,05). Aktifitas fagositosis dapat terjadi apabila ada reaktif oksigen yang
bekerja sendiri maupun bersama-sama dengan enzim lisosim dalam membunuh
bakteri sebagai sel asing. Hasil analisis persen fagositosis dan indek fagosit dari
perlakuan vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan hasil yang lebih tinggi
dibanding dengan kontrol, mengindikasikan bahwa pemberian vaksin dapat
meningkatkan kemampuan bakterisidal serum ikan terhadap invasi antigen.
Nilai NBT pada awal perlakuan berkisar antara 0,261-0,315, peningkatan
produksi oksigen radikal terjadi rata-rata pada pengamatan hari ke-6, ke-9, dan ke-
12 setelah vaksinasi. Neutrofil dan sel fagositik yang teraktifasi dapat
menghasilkan absorbans 20-30% lebih tinggi, yang menunjukkan produksi
oksigen radikal yang lebih tinggi untuk pertahanan terhadap penyakit. Sediaan
vaksin bivalen merupakan formula vaksin yang menggunakan bakterin dari
bakteri Gram yang berbeda A. hydrophila (Gram negatif) dan S. agalactiae
(Gram positif) dari sel dan hasil metabolitnya tidak menimbulkan pengaruh
imunosupresi yang biasanya ditandai dengan penurunan nilai NBT (penurunan
aktifitas respiratory burst).
104
Perlakuan injeksi vaksin monovalen atau bivalen diharapkan dapat
memicu sistem imun untuk bersinergi dalam meningkatkan aktifitas lisosim, dan
titer antibodi terhadap antigen spesifik. Aktifitas lisosim dideteksi dari serum ikan
dengan perlakuan vaksin monovalen, bivalen, dan tanpa vaksin. Aktifitas lisosim
sebelum perlakuan berkisar antara 3-5 mm. Kemampuan aktifitas lisosim
meningkat pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah pemberian vaksin, dan
mengalami fluktuasi sesudahnya. Hasil analisis perlakuan vaksin bivalen sel utuh,
bivalen sel utuh+ECP dan monovalen A. hydrophila berbeda nyata dibandingkan
dengan perlakuan vaksin monovalen dan bivalen lainnya dan berbeda nyata juga
dengan perlakuan kontrol (P<0,05).
Kemampuan konsumsi komplemen dalam melisis RaRBC oleh serum dari
ikan yang divaksin monovalen A. hydrophila, S. agalactiae dan bivalen sel utuh
lebih tinggi (pengenceran ke-2 dan ke-3) dibandingkan dengan serum dari
perlakuan vaksin bivalen ECP, crude supernatan, broth, maupun kontrol, baik
pada minggu ke-1, minggu ke-2, maupun minggu ke-3 (pengenceran ke-4).
Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC meningkat pada minggu ke-2 dan
ke-3 dengan rata-rata hemolisis 60-80% pada pengenceran ke-1, menunjukkan
bahwa kemampuan komplemen akan meningkat pada hari ke-14 pascavaksinasi.
Titer antibodi ikan Nila dengan perlakuan vaksin monovalen maupun
bivalen menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding dengan kontrol (P<0,05).
Perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh serta gabungan sel utuh+ECP memiliki
titer antibodi yang lebih tinggi, baik pada uji tantang dengan bakteri tunggal
maupun bakteri gabungan (ko-infeksi) pada nilai 6 (log 2), dan 5 (log 2)
dibanding dengan bivalen (ECP, crude supernatan, dan broth).
Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang
dengan bakteri tunggal A. hydrophila, bakteri tunggal S. agalactiae, dan ko-
infeksi A. hydrophila+S. agalactiae menunjukkan bahwa perlakuan sediaan
vaksin monovalen S. agalactiae dan A. hydrophila, bivalen sediaan sel utuh, sel
utuh+ECP dan broth sama-sama memberikan respons imun non spesifik terbaik.
Kelompok perlakuan vaksin bivalen maupun monovalen dapat meningkatkan
respons imun non spesifik dengan nilai rata-rata kenaikan yang hampir sama,
105
namun berbeda nyata dalam kemampuannya meningkatkan respons imun spesifik
(P<0,05). Nilai titer antibodi yang merupakan parameter uji respons imun spesifik
menunjukkan bahwa sediaan vaksin ini terutama untuk monovalen A. hydrophila
dan monovalen S. agalactiae hanya mampu bereaksi terhadap bakteri homolog.
Rata-rata kematian harian ikan Nila yang divaksin dengan vaksin
monovalen A. hydrophila dan diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila tingkat
kematiannya rendah (10%), sedangkan yang diuji tantang dengan S. agalactiae
dan ko-infeksi tingkat kematiannya tinggi (80% dan 90%). Kematian harian
perlakuan monovalen A. hydrophila yang diuji tantang dengan bakteri A.
hydrophila berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Kematian rata-rata tertinggi
kelompok ikan yang divaksin monovalen S. agalactiae terjadi pada 4-7 hari
pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan ko-infeksi. Rata-
rata kematian ikan terjadi pada 4-8 hari pascauji tantang, dengan tingkat kematian
20% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae,
kematian 60% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri A.
hydrophila, dan kematian 80% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan
ko-infeksi. Perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila maupun monovalen S.
agalactiae terbukti hanya dapat memproteksi ikan dari uji tantang terhadap
bakteri yang sama, tidak ada proteksi silang untuk bakteri lainnya, hal ini terlihat
dari kematian ikan yang tinggi setelah uji tantang dengan bakteri berbeda.
Kematian ikan yang divaksin bivalen dengan sediaan sel utuh, ECP,
gabungan sel utuh+ECP, crude supernatan, maupun broth, relatif lebih tahan
terhadap uji tantang dengan bakteri tunggal maupun ko-infeksi. Kematian harian
perlakuan vaksin bivalen berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Jika
dibandingkan antar perlakuan vaksin bivalen maka perlakuan vaksin bivalen
sediaan sel utuh dengan gabungan sel utuh+ECP tidak berbeda nyata (P>0,05)
namun berbeda nyata dengan perlakuan vaksin bivalen sediaan ECP, crude
supernatan, dan broth (P<0,05). Kematian rata-rata tertinggi terjadi pada 4-8 hari
pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan ko-infeksi.
Busch (1997) menjelaskan bahwa ada proteksi silang antar antigen
(keberadaan satu antigen dapat memberikan proteksi terhadap antigen yang
106
berbeda, bahkan terhadap antigen yang tidak memiliki keterkaitan), kompetisi
antigenik (keberadaan satu antigen mempengaruhi atau menekan aktifitas antigen
lain), dan terjadi imunodominansi antar antigen (setiap sub unit antigen
determinan terlibat dalam proses pengikatan atau reaksi dengan antibodi) semua
faktor tersebut dapat mempengaruhi spesifitas, aviditas, dan tingkat produksi
antibodi spesifik (Abs).
Hasil analisis beberapa parameter hematologi pada ikan Nila setelah
vaksinasi dan uji tantang dengan bakteri tunggal maupun ko-infeksi menunjukkan
adanya perubahan dalam kadar hematokrit, hemoglobin, indeks fagositik,
persentase fagosit, titer antibodi, nilai NBT (aktifitas respiratory burst), aktifitas
lisosim dan konsumsi komplemen. Rata-rata perlakuan vaksin monovalen dan
bivalen berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol dalam respons imun
spesifik maupun non spesifik.
Nilai RPS tertinggi (100) didapat dari perlakuan vaksin bivalen sel utuh
serta gabungan bivalen sel utuh+ECP yang diuji tantang oleh bakteri tunggal A.
hydrophila. Nilai RPS terkecil (2,7) didapat dari perlakuan vaksin bivalen crude
supernatan yang diuji dengan bakteri ko-infeksi. Nilai RPS pada perlakuan uji
tantang dengan bakteri ko-infeksi secara keseluruhan menunjukkan bahwa sediaan
vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh+ECP memiliki nilai RPS
yang sama (56,7).
107
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat tumbuh bersinergi pada media
inokulasi buatan. Waktu pematangan mencapai tahap eksponensial
pertumbuhan dalam media cair maupun media padat untuk bakteri A.
hydrophila adalah 24 jam, sedangkan bakteri S. agalactiae adalah 72 jam.
2. Pola kematian yang terjadi menunjukkan bahwa infeksi MAS bersifat akut
dan kronis, sedangkan infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut. Ko-infeksi
buatan dari gabungan bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae menyebabkan
kematian ikan Nila sebesar 33-50 % dalam waktu 2-12 hari pascainfeksi.
3. Proteksi perlakuan vaksin bivalen sel utuh+ECP memberikan respons imun
spesifik maupun non spesifik terbaik jika dibandingkan dengan monovalen A.
hydrophila maupun monovalen S. agalactiae. Vaksin bivalen ini lebih
mampu memproteksi ikan terhadap infeksi tunggal A. hydrophila (RPS
100%), infeksi tunggal S. agalactiae (RPS 86,2%), dan ko-infeksi (RPS
56,7%) daripada vaksin monovalen.
Saran
Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae memiliki perbedaan karakter
patogenesis dan imunokompetensi pada ikan Nila. Perbedaan karakter dari kedua
jenis bakteri ini diharapkan menjadi pertimbangan awal dalam langkah
pencegahan maupun pengobatan yang akan dilakukan, sehingga strategi
penanggulangan penyakit ini dapat optimal dilakukan dan tepat guna.
1. Ikan Nila sangat rentan terhadap infeksi tunggal maupun ko-infeksi dari
bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae, melihat tingkat patogenesis infeksi A.
hydrophila dan S. agalactiae yang berisfat akut dan kronis diperlukan
kewaspadaan dalam kegiatan budidaya agar tidak terjadi wabah penyakit
MAS dan Streptococcosis.
2. Komposisi sediaan vaksin bivalen yang telah diteliti sebenarnya memiliki
kemampuan dalam meningkatkan respons imun, namun perlu dilakukan
108
penelitian lebih lanjut dalam penyusunan komposisi berbeda dari sediaan
vaksin bivalen, sehingga level proteksi yang dihasilkan terhadap infeksi
tunggal maupun ko-infeksi dari kedua jenis bakteri dapat meningkat.
109
DAFTAR PUSTAKA
Aly TM. 1981. Studies on the Effect of Different Adjuvant on the Efficiency of
FMD Vaccine in Farm Animal. Ph. D. faculty of Vet. Med. Zagazig
University - Egypt.
Anbarasu K, Thangakrishnan K, Arun BV, Chandran MR. 1998. Assessment of
immune responsse in freshwater Catfish (Mystus vittatus Bloch) to
different bacterins of Aeromonas hydrophila. Indian Journal of
Experimental Biology 36: 990 – 995.
Anderson DP. 2004. Immunostimulants, vaccines, and environmental stressors in
aquaculture: NBT assays to show neutrophil activity by these
immunomodulators. Di dalam: Suarez C et al., editor. Avances en
nutricion acuicola VII. Memorias del Simposium Internacional de
Nutricion Acuicola. 16-19 Nov 2004, Sonora Mexico.
Anderson DP, Capstiek PB, Mowat GN. 1970. In vitro method for safety of
FMD. J. hyg. Gamd. 68: 159-172.
Anderson DP, Siwicki AK. 1995. Basic hematology and serology for fish health
programs. Di dalam: Shariff M, Arthur JR, Subasinghe RP, editor. Fish
Health Section. Asia Fisheries Society (eds), Disease in Asian Aquaculture
II. Manila, Philippines. hlm 185-202.
Angka SL. 1997. Antibiotic sensitivity and pathogenicity of Aeromonas and
Vibrio isolates in Indonesia. Di dalam: Flegel TW, MacRae IH, editor.
Fish health section. Asian Fisheries Society (eds). Disease in Asian
Aquaculture III. Manila, Philippines.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1990. Official Methods of
Analysis. 15th
Ed Association of Official Analytical Chemists Inc. Virgnia,
USA.
Baba T, Imamura J, Izawa K, Ikeda K. 1988. Immune protection in carp, Cyprinus
carpio L., after immunization with Aeromonas hydrophila crude
lipopolysaccharide. Journal of Fish Diseases 11: 237-244.
Berg A, Rodseth OM, Tangeras A, Hansen T. 2006. Time of vaccination
influences development of adhesions, growth and spinal deformities in
Atlantic salmon, Salmo salar. Diseases of Aquatic Organisms 69: 239-48.
Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Routine haematological methods for use with
fish blood. Journal Fish Biology 5: 577-581.
110
Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. Department of Biochemistry
University of Geneva - Switzerland: Wiley-Liss.
Burke V, Robinson J, Atkinson HM, Gracey M. 1981. Biochemical characteristics
of enterotoxogenic Aeromonas sp. J. Clin. Microbiol. 15: 48-52.
Busch RA. 1997. Polyvalent vaccines in fish: the interactive effects of multiple
antigens. Di dalam: Gudding R, Lillehaug PJ, Midtlyng PJ, Brown F,
editor. Fish Vaccinology. Developments in Biological Standardization,
Karger 90: 245-56.
Caruso D, Schlumberge O, Dahm C, Proteau JP. 2002. Plasma lysozyme levels in
sheatfish Silurus glanis L. subjected to stress and experimental infection
with Edwardsiella tarda. Aquaculture Research 33: 999-1008.
Cipriano RC. 2001. Aeromonas hydrophila and Motile Aeromonad Septicemias of
fish. Fish Disease Leaflet 68. Fish and Wildlife Service Division of
Fishery Research Washington DC.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY. 2010. Laporan kegiatan
laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan tahun 2010. BPTKP DIY. 29
hlm.
Dorson M. 1981. Role and characterization of fish antibody. Develop. Boil.
Standard 49: 307-319.
Ellis AE. 1981. Stress and the modulation of defence mechanisms in fish. Di
dalam: Pickering AD, editor. Stress and fish. Academic Press, London,
hlm 147-169.
Ellis AE. 1988. General principles of fish vaccination. Di dalam: Ellis AE, editor.
Fish vaccination. Academic Press, London, hlm 1- 19.
Ellis AE. 1989. The immunology of teleost. Di dalam: Robert RJ, editor. Fish
Pathology. Bailiere Tindal, London, hlm 135-152.
Ellis AE. 2001. Innate host defense mechanisms of fish against viruses and
bacteria. Developmental and Comparative Immunology 25: 827-39.
Evans JJ et al. 2002. Characterization of beta-haemolytic Group B Streptococcus
agalactiae in cultured seabream, Sparus auratus (L.) and wild mullet, Liza
klunzingeri (Day), in Kuwait. Journal of Fish Diseases 25:505-513.
Evans JJ, Arias CR. 2009. Use of modified live vaccine in aquaculture. Journal of
The World Aquaculture Society 40(5): 573-585.
111
Evans JJ, Klesius PH, Shoemaker CA. 2004. Eficacy of Streptococcus agalactiae
(group B) vaccine in Tilapia (Oreochromus niloticus) by intraperitoneal
and bath immersion administration.Vaccine 22: 3769-3773.
Evans JJ, Klesius PH, Pasnik DJ, Shoemaker CA. 2007. Influence of natural
Trichodina sp. parasitism on experimental Streptococcus iniae or
Streptococcus agalactiae infection and survival of young channel catfish
Ictalurus punctatus (Rafinesque). Short Communication. Aquaculture
Research 38: 664-667.
Evans JJ, Pasnik DJ, Klesius PH. 2010. A commercial rapid optical immunoassay
detects Streptococcus agalactiae from aquatic cultures and clinical
specimens. Veterinary Microbiology 144: 422–428.
Gassent MDE, Fouz B, Amaro C. 2004. Efficacy of bivalent vaccine against eel
diseases caused by Vibrio vulnificus after its administration by four
different routes. Fish and Shellfish Immunology 16: 93 – 105.
Giordano LGP, Muller EE, Klesius P, Silva VGD. 2010. Efficacy of an
experimentally inactivated Streptococcus agalactiae vaccine in Nile tilapia
(Oreochromis niloticus) reared in Brazil. Aquaculture Research 41: 1539-
1544.
Gudding R, Lillehaug A, Evensen O. 1999. Recent development in fish
vaccinology. Veterinary Immunology and Immunopathology 72: 203-212.
Hardi EH. 2011. Kandidat vaksin potensial Streptococcus agalactiae untuk
pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis
niloticus) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Hardi EH, Sukenda, Harris E, Lusiastuti AM. 2010. Efikasi sel utuh dan produk
ekstraselular bakteri Streptococcus agalactiae tipe b-haemolitik dan non-
haemolitik sebagai vaksin untuk pencegahan Streptococcosis pada ikan
Tilapia (Oreochromis niloticus). Bogor: Simposium Nasional
Bioteknologi Akuakultur III.
Harikrishnan R, Balasundaram C, Heo MS. 2010. Lactobacillus sakei BK19
enriched diet enhances the immunity status and disease resistance to
Streptococcosis infection in kelp grouper, Epinephelus bruneus. Fish and
Shellfish Immunology 29: 1037-1043.
Hernandez E, Figueroa J, Iregui C. 2009. Streptococcosis on a red Tilapia,
Oreochromis sp., farm: a case study. Journal of Fish Diseases 32: 247–
252.
112
Hoel K, Salonius K, Lillehaug A. 1997. Vibrio antigens of polyvalent vaccine
enhance the humoral immune responsse to Aeromonas salmonicida
antigens in Atlantic salmon (Salmo salar L.). Fish and Shellfish
Immunology 7: 71 – 80.
Holland MCH, Lambris JD. 2002. The complement system in teleosts. Fish and
Shellfish Immunology 12: 399-420.
Ibrahem M, Mostafa M, Arab RMH, Rezk MA. 2008. Prevalence of Aeromonas
hydrophila infection in wild cultured Tilapia Nilotica (O. niloticus) in
Egypt. 8th
International Symposium on Tilapia in Aquaculture 2008. hlm
1257-1271.
Ismail NDA, Atta NS, Aziz AE. 2010. Oral Vaccination of Nile Tilapia
(Orechromis niloticus) Against Motile Aeromonas Septicaemia. Nature
and Science 2010. 6 hlm.
Iwama G, Nakanishi T. 1996. The Fish Immune System. Organism, Pathogen, and
Environment. Academic Press. USA. 380 hlm.
Jung SH, Kim JW, Jeon IG, Lee YH. 2001. Formaldehyde residues in formalin-
treated olive flounder Paralichthys olifaceus, black rockfish Sebastes
schlegeli, and seawater. Aquaculture 194: 253–262.
Klesius PH, Shoemaker CA, Evans JJ. 1999. Efficacy of an inactivated
Streptococcus iniae vaccine in Tilapia (Oreochromis niloticus). Eur.
Assoc. Fish Pathol. 19(1): 1-3.
Klesius PH, Evans JJ, Shoemaker CA. 2007. The makrofag chemotactic activity
of Streptococcus agalactiae and Streptococcus iniae extracellular products
(ECP). Fish and Shellfish Immunology 22: 443-450.
Klesius PH et al. 2006. Rapid detection and identification of Streptococcus iniae
using a monoclonal antibody-based indirect fluorescent antibody
technique. Aquaculture 258: 180– 186.
Kohler W. 2007. The present state of species within the genera Streptococcus and
Enterococcus. International Journal of Medical Microbiology 297: 133–
150.
Li A et al. 2006. Optimization by orthogonal array design and humoral immunity
of bivalent vaccine against Aeromonas hydrophila and Vibrio fluvialis
infection in crucian carp (Carassius auratus L.). Aquaculture Research 37:
813 – 820.
113
Lie O, Evenes O, Sorensen A, and Froysadal E. 1989. Study on lysozyme activity
in some fish species. Dis. Aquat. Org. 6: 1-5.
Lin HT, Lin HY, Yang HL. 2005. Histology and histochemical enzyme-staining
patterns of major immune organs in Epinephelus malabaricus. Journal of
Fish Biology 66: 729–740.
Lusiastuti AM, Taukhid, Kusrini E, Hadie W. 2009. Sequens analysis of S.
agalactiae : A pathogen causing Streptococcosis in Tilapia (Oreochromis
niloticus). Indonesia Aquaculture Journal 4(2): 87-92.
Lusiastuti AM, Purwaningsih U, Hadie W. 2010. Vaksin Streptococcus
agalactiae: I. Kajian Inaktifasi Sel Utuh (Whole cell) Melalui Formalin
(Formalinkilled) Untuk Pencegahan Penyakit Streptococcosis pada Ikan
Tilapia, Oreochromis niloticus. Lampung: Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur 2010.
Lusiastuti AM, Supriyadi H, Purwaningsih U, Wadjdy EF. 2008. Studi Patologi
Anatomi Penyakit Streptococcosis pada Ikan Tilapia dan Gurame.
Yogyakarta: Seminar Nasional Tahun V Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan Jurusan Perikanan dan Kelautan UGM. Yogyakarta, 11 Jun
2008.
Mian GF et al. 2009. Aspects of the natural history and virulence of S. agalactiae
infection in Nile Tilapia. Short communication. Veterinary Microbiology
136: 180–183.
Musa N et al. 2009. Streptococcosis in red hybrid Tilapia (Oreochromis niloticus)
commercial farms in Malaysia. Short Communication. Aquaculture
Research 40: 630-632.
Ni XD, Wang N, Liu YJ, Lu CP. 2010. Immunoproteomics of extracellular
proteins of the Aeromonas hydrophila Chinavaccine strain J-1 reveal a
highly immunoreactive outermembrane protein. FEMS Immunol. Med.
Microbiol. 58: 363–373.
Nikoskelainen S et al. 2007. Multiple whole bacterial antigens in polyvalent
vaccine may result in inhibition of specific responsses in rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss). Fish and Shellfish Immunology 22: 206-217.
Olivares-Fuster O, Klesius PH, Evans J, Arias CR. 2008. Molecular typing of
Streptococcus agalactiae isolates from fish. Journal of Fish Diseases 31:
277-283.
Osman KM, Mohamed LA, Rahman EHA, Soliman WS. 2009. Trials for
Vaccination of Tilapia Fish Against Aeromonas and Pseudomonas
114
Infections Using Monovalen, Bivalent and Polyvalent Vaccines. World
Journal of Fish and Marine Sciences 1 4: 297-304.
Pan HC. 1999. Ultrastructure of peripheral blood cells of Rana rugulosa. Chinesse
J. Anat. 18:71-74.
Pasnik DJ, Evans JJ, Klesius PH. 2006. Passive immunization of Nile Tilapia
(Oreochromis niloticus) provides significant protection against
Streptococcus agalactiae. Fish and Shellfish Immunology 21: 365-371.
Pasnik DJ et al. 2005. Antigenicity of Streptococcus agalactiae extracellular
products and vaccine efficacy. Journal of Fish Diseases 28: 205–212.
Pelanne LMH. 2002. Use of the Immune System to Investigate the Toxicity
Induced by Environmental Pollutants in Fish, Amphibian, and Mammalian
Species. Virginia Polytechnic Institute and State University.
Pilstrom L, Bengten E. 1996. Immunoglobulin in fish: genes, expression and
structure. Fish and Shellfish Immunology 6: 243-62.
Press CM, Evensen O. 1999. The morphology of the immune system in teleost
fishes. Fish and Shellfish Immunology 9: 309-18.
Pretto-Giordano LG, Muller EE, Klesius PH, da Silva VG. 2010. Efficacy of an
experimentally inactivated Streptococcus agalactiae vaccine in Nile
Tilapia (Oreochromis niloticus) reared in Brazil. Aquaculture Research
41: 1539-1544.
Rattanachaikunsopon P, Phumkhachorn P. 2009. Prophylactic effect of
Andrographis paniculata extracts against Streptococcus agalactiae
infection in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). Journal of Bioscience
and Bioengineering 107(5): 579–582.
Rodrigues AP, Hirsch D, Figueiredo HCP, Logato PVR, Moraes AM. 2006.
Production and characterization of alginate microparticles incorporating
Aeromonas hydrophila design for fish oral vaccination. Process
Biochemistry 41: 638 – 643.
Romalde JL, Toranzo AE. 2002. Molecular approaches for the study and
diagnosis of salmonid Streptococcosis. Di dalam: Cunningham CC, editor.
Molecular Diagnosis of Salmonid Diseases. Kluwer Academic Publishers,
Dordrecht, The Netherlands, hlm 211–233.
Sakai M, Soliman MK, Yoshida T, Kobayashi M. 1993. Identification of
pathogenic fish bacteria using APIZYM system. Cand. J. Fish Sci. 50:
1137-1141.
115
Samen U, Gottschalk B, Eikmanns BJ, Reinscheid DJ. 2004. Relevance of Peptide
Uptake Systems to the Physiology and Virulence of Streptococcus
agalactiae. J. Bacteriol. March. 186(5): 1398-1408.
Sato Y, Kimura M, Fukumi H. 1984. Development of a pertussis component
vaccine in Japan. Lanceti hlm 122-126.
Seder RA, Hill AVS. 2000. Vaccines against intracellular infection requiring
cellular immunity. Nature 406: 793-797.
Sherif MS, Feky AMI. 2009. Performance of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus)
Fingerlings. I. Effect of pH. International Journal of Agriculture and
Biology hlm 1560–8530.
Shieh HS. 1987. Protection of Atlantic salmon against motile aeromonad
septicaemia with Aeromonas hydrophila protease. Microbios Letters 36:
133 - 138.
Shoemaker CA, Klesius PH. 1997. Protective immunity against enteric septicemia
in channel catfish, Ictalurus punctatus (Rafinesque), following controlled
exposure to Edwardsiella ictaluri. Journal of Fish Disease 20: 101-108.
Shoemaker CA, LaFrentz BR, Klesius PH, Evans JJ. 2010. Protection against
heterologous Streptococcus iniae isolates using a modified bacterin
vaccine in Nile tilapia, Oreochromis niloticus (L.). Journal of Fish
Diseases 33: 537–544.
Shome R, Shome BR. 1999. Antibiotic resistance pattern of fish bacteria from
freshwater and marine source in Andamans. Indian J. Fish 46(1): 49-58.
Shotts EB, Rimler RB. 1973. Medium for isolation of Aeromonas hydrophila.
Applied Microbiology 26(2): 550-553.
Silva BC et al. 2009. Hematological and immunological responsses of Nile
Tilapia after polyvalent vaccine administration by different routes1. Pesq.
Vet. Bras. 29(11): 874-880.
Skinner LA. 2009. The Physiological and Immunological effects of vaccination
on fish health, welfare, and performance. The University of British
Columbia. 139 hlm.
Skinner LA, Schulte PM, Balfry SK, McKinley RS, LaPatra SE. 2010. The
association between metabolic rate, immune parameters, and growth
performance of rainbow trout, Oncorhynchus mykiss (Walbaum),
following the injection of DNA vaccine alone and concurrently with a
116
polyvalent, oil-adjuvanted vaccine. Fish & Shellfish Immunology 28: 387
– 393.
Smith H. 1977. Microbial surfaces in relation to pathogenicity. Bacteriol. Rev. 41:
475.
Stuart M. 1999. Immunology Spring 1999. Department of Mycrobiology/
Immunology. Kirkville College of Osteopathic Medicine.
http://www.kcom.cdu/faculty/chamberlain/msimn [2 Feb 2012].
Suanyuk N et al. 2008. Occurrence of rare genotypes of Streptococcus agalactiae
in cultured red Tilapia Oreochromis sp. and Nile Tilapia O. niloticus in
Thailand-Relationship to human isolates. Aquaculture 284: 35–40.
Sugiani D, Komarudin O, Wadjdi EF, Mikadarullah, Wibawa BM. 2010.
Efektifitas aplikasi rendaman ulang sediaan produk vaksin Hydrovac.
Cibinong: Seminar Nasional Ikan VI & Kongres Masyarakat Ikhtiologi
Indonesia III. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, 08-
09 Jun 2010.
Sugiani D, Lusiastuti AM. 2011. Kerentanan Ikan Tilapia (Oreochromis niloticus)
terhadap serangan ko-infeksi Streptococcosis dan MAS. Yogyakarta:
Seminar Nasional Tahun VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Jurusan Perikanan dan Kelautan UGM. Yogyakarta, 16 Jul 2011.
Sun Y, Hua Y, Liua C, Li S. 2010. Construction and analysis of an experimental
Streptococcus iniae DNA vaccine. Vaccine 28: 3905–3912.
Swain P, Behura A, Dash S, Nayak SK. 2007. Serum antibody responsse of Indian
major carp, Labeo rohita to three species of pathogenic bacteria;
Aeromonas hydrophila, Edwardsiella tarda and Pseudomonas fluorescens.
Veterinary Immunology and Immunopathology 117: 137–141.
Takashima F, Hibiya T. 1995. An atlas of fish histology: Normal and Pathological
Features. Kodansha Ltd. Tokyo. 195 hlm.
Taukhid, Purwaningsih U. 2011. Penapisan isolat bakteri Streptococcus spp.
sebagai kandidat antigen dalam pembuatan vaksin, serta efikasinya untuk
pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan Tilapia, Oreochromis
niloticus. Jurnal Riset Akuakultur 6(1): 103-117.
Thomas PC, Divya PR, Chandrika V, Paulton MP. 2009. Genetic Characterization
of Aeromonas hydrophila using Protein Profiling and RAPD PCR. Asian
Fisheries Science 22: 763-771.
117
Thune RL, Plumb JA. 1982. Effect of delivery method and antigen preparation on
the production of antibodies against Aeromonas hydrophila in channel
catfish. Progressive Fish-Culturist 44: 53 - 54.
Tommaso AD et al. 1994. Formaldehyde treatment of proteins can constrain
presentation to T cells by limiting antigen processing. Infection and
Immunity 62(5): 1830-1834.
Toranzo AE, Magarinos B, Romalde JL. 2005. A review of the main bacterial
fish diseases in mariculture systems. Aquaculture 246: 37– 61.
Toranzo AE, Romalde JL, Magarinos B, Barja JL. 2009. Present and future of
aquaculture vaccines against fish bacterial diseases. The use of veterinary
drugs and vaccines in Mediterranean aquaculture. Options
Mediterraneennes A 86: 155 – 176.
Toranzo AE, Santos TB, Nieto, Barja JL. 1986. Evaluation of different assay
systems of environmental Aeromonas strains. Appl. Environ.
Microbiology 51: 652-656.
Vivas J, Razquin B, Lopez-Fierro P, Villena AJ. 2005. Modulation of the
immune responsse to an Aeromonas hydrophila aroA live vaccine in
rainbow trout: effect of culture media on the humoral immune responsse
and complement consumption. Fish and Shellfish Immunology 18: 223-
233.
Wedemeyer GA, Barton BA, Mcleay DJ. 1990. Stress and acclimation. Di dalam:
Schreck CB, Moyle PB, editor. Methods for fish biology. Bethseda, USA.
American Fisheries Society. hlm 451-89.
Wedenmeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical methods for the assessment of the
effect on environmental stress on fish health. Technical Papers of the U.S.
Fish and Wildlife Service. US depert. of the Interior. Fish and Wildlife
Service 89:1-17.
Yano T. 1996. The non-specific immune system: humoral defense. Di dalam:
Iwama G, Nakanishi T, editor. The fish immune system: organism,
pathogen and environment. San Diego, USA. Academic Press. hlm 106-
59.
Zhang J, Zou W, Yan Q. 2008. Non-Specific immune responsse of Bullfrog Rana
catesbeiana to intraperitoneal injection of bacterium Aeromonas
hydrophila. Chinesse Journal of Oceanology and Limnology 26(3): 248-
255.
118
Zhang Z et al. 2012. Study on the immune enhancement of different
immunoadjuvants used in the pentavalent vaccine for turbots. Fish and
Shellfish Immunology 32: 391-395.
Zilberg D et al. 2010. Dried leaves of Rosmarinus officinalis as a treatment for
Streptococcosis in Tilapia. Journal of Fish Diseases 33: 361–369.
119
LAMPIRAN 1 Karakteristik Morfologi, Fisik dan Biokimia Bakteri
Tabel 1. Karakter bakteri Aeromonas hydrophila
Pengujian Hasil isolat
AHL0905-2 api
®20 NE
Pewarnaan Gram Gram -
Bentuk Batang pendek
Motilitas motil
Oksidatif-fermentatif Oksidatif 99 (Oksidatif)
Katalase +
Bile salt 40% +
Pertumbuhan NaCl 6,5% +
Haemolisis α
Cytochrome axidase +
R-S Medium Koloni kuning
Uji API 20 NE :
Potassium nitrate + 99
Indole/ L-tryptophane + 89
GLUcose + 99
L-Arginine + 78
UREase - 1
β-Glucosidase/ESCuline + 89
GELatin + 97
β-Galactosidase + 98
D-Glucose + 99
L-Arabinose + 80
D-Mannose - 78
D-Mannitol + 99
N-Acetyl-glucosamine + 99
D-Maltose + 99
Potassium gluconate + 95
CAPric acid - 84
ADIpic acid - 1
Malate + 99
Trisodium citrate - 37
Phenylacetic acid - 1
120
Tabel 2. Karakter bakteri Streptococcus agalactiae
Pengujian Hasil isolat
N14G api
®20 Strep
Pewarnaan Gram Gram +
Bentuk bulat/kokus
Motilitas Non motil
Oksidatif-fermentatif Fermentatif
Katalase -
Bile salt 40% +
Pertumbuhan NaCl 6,5% -
Haemolisis non
Uji API Strep 20 : -
Produksi acetoin (VP) + 100
Hidrolisis HIPuric acid + 99
ESCullin - 1
PYRolidonylarylamidase - 1
α - Galactosidase - 4
β - Glucuronidase - 79
β – Galactopyranosidase - 1
Alkaline phosphatse + 96
Leucine aminopeptidase + 99
Arginin dehydrolase + 99
Ribose + 98
Arabinose - 0
Mannitol - 1
Sorbitol - 1
Lactose - 50
Trehalose + 87
Inulin - 0
Raffinose - 1
Amidon/Strach - 35
Glycogen - 4
121
LAMPIRAN 2 Pengujian Kadar Formalin dengan Metode AOAC (1990)
Pengujian ini menggunakan beberapa tahapan proses penetapan seperti pembuatan
larutan baku formalin, penetapan formalin dan penghitungan kadar formalin.
a. Pembuatan larutan baku formalin 100 g/mL
1. Larutan formaldehyde 37% bj 1,08 kg/L dipipet 5 ml dan dilarutkan
dengan akuades dalam labu takar 100 ml (larutan a)
2. Larutan a dipipet 5 mL dan diencerkan kembali dengan akuades dalam
labu takar 100 mL (larutan b)
3. Larutan b sebanyak 25 mL diencerkan kembali dengan akuades dalam
labu takar 100 mL (larutan c). Larutan ini mengandung 100 g/mL
(ppm)
4. Pereaksi nash : dilarutkan 150 g amonium asetat, 3 mL asam asetat dan
2 mL asetilaseton dalam akuades, ditepatkan sampai volume 1 liter
b. Penetapan formalin
1. Contoh ditimbang dengan teliti 10 g, dimasukkan kedalam erlenmeyer
dan ditambah akuades, kemudian disuling
2. Hasil sulingan ditampung dalam labu takar 100 mL dan diencerkan
dengan akuades sampai garis penanda
3. Hasil sulingan dipipet 1 mL, dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan 1 mL akuades dan 2 ml pereaksi nash dan dipanaskan
pada penangas air suhu 37 oC untuk membentuk warna
4. OD ditentukan dengan spektrofotometer pada 415 nm. Dilakukan
pengerjaan pada no 3 dan pembacaan yang sama untuk larutan standar
4, 8, 12, 16, dan 20 ppm dan akuades sebagai blanko
122
LAMPIRAN 3 Tahapan Pewarnaan Silver Hasil SDS-PAGE
Larutan fiksasi 250 mL : metanol 125 mL+asam asetik 25
mL+formalin 0,125 mL+99,85 mL
H2O
Larutan pencuci 250 mL : etanol 87,5 mL+162,5 mL H2O
Enhancer/sensitisasi 250 mL : Na2S2O3 0,05 g+H2O 250 mL
Staining 50 mL (fresh) : AgNO3 0,1 g+formalin 38 L+
H2O 49-50 mL
Developer 50 mL (fresh) : Na2CO3 3 g+formalin 25 L+H2O
50 mL
Stopper 250 mL : metanol 125 mL+asam asetet 25
mL+H2O 100 mL
Silver staining (Metoda Vorum)
Larutan fiksasi, 2 jam agitasi perlahan-lahan
Etanol 35%, 20 menit (3x)
Enhancer/sensitisasi, 2 menit
ddH2O, 5 menit (3x)
larutan staining 20 menit. Dingin (dalam refrigerator)
ddH2O, 20 menit (2x)
developer sampai pita muncul
stop dengan larutan fiksasi
cuci dengan ddH2O (2x)
packing dan scanning
simpan dalam 1% asam asetet 4oC
125
LAMPIRAN 4 Bagan Alur Pembuatan Vaksin
Gambar Bagan alur proses pembuatan sediaan vaksin bakterin Aeromonas hydrophila
123
126
Gambar Bagan alur proses pembuatan sediaan vaksin bakterin Streptococcus agalactiae
12
4
125
LAMPIRAN 5 Berat Protein Vaksin
Tabel Berat protein sediaan vaksin A. hydrophila yang diinaktifasi dengan bufer
formalin 3%
Nama
Absorbansi 595 nm pada
Sampel
Absorbansi 595 nm pada
Blanko S - B a b ppm Protein
ulang 1 ulang 2 Rataan ulang 1 ulang 2 Rataan mg/mL
Sel utuh 0,478 0,511 0,495 0,347 0,356 0,352 0,143 0,0044 0,0266 26,45 0,53
ECP 0,792 0,812 0,802 0,347 0,356 0,3515 0,4505 0,0044 0,0266 96,34 1,93
Supernatan 0,807 0,823 0,815 0,347 0,356 0,3515 0,4635 0,0044 0,0266 99,30 1,99
Broth 0,834 0,856 0,845 0,347 0,356 0,3515 0,4935 0,0044 0,0266 106,11 2,12
Tabel Berat protein sediaan vaksin S. agalactiae yang diinaktifasi dengan bufer
formalin 3%
Nama
Absorbansi 595 nm pada
Sampel
Absorbansi 595 nm pada
Blanko S - B a b ppm Protein
ulang 1 ulang 2 Rataan ulang 1 ulang 2 Rataan mg/mL
Sel utuh 0,67 0,691 0,6805 0,347 0,356 0,3515 0,329 0,0044 0,0266 68,73 1,37
ECP 0,768 0,819 0,7935 0,347 0,356 0,3515 0,442 0,0044 0,0266 94,41 1,89
Supernatan 0,814 0,769 0,7915 0,347 0,356 0,3515 0,44 0,0044 0,0266 93,95 1,88
Broth 0,835 0,851 0,843 0,347 0,356 0,3515 0,4915 0,0044 0,0266 105,66 2,11
Gambar Kurva standar protein
y = 0.0044x + 0.0266
R² = 0.9877
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0 20 40 60 80 100 120
Ab
sorb
ansi
59
5 n
m
Konsentrasi μgram/mL
126
LAMPIRAN 6 Hasil SDS-PAGE Protein Vaksin
Tabel Karakter protein hasil SDS-PAGE bakteri A. hydrophila yang diinaktifasi
dengan 3% bufer formalin
Sampel Migrasi Band Rf a b Log BM BM BM
Kd
Sel utuh 5,2 0,65 0,125 -1,187 5,226 5,077625 119570,76 119,57
5,2 1,1 0,2115385 -1,187 5,226 4,9749038 94385,188 94,39
5,2 1,35 0,2596154 -1,187 5,226 4,9178365 82763,06 82,76
5,2 1,6 0,3076923 -1,187 5,226 4,8607692 72572,023 72,57
5,2 2 0,3846154 -1,187 5,226 4,7694615 58811,403 58,81
5,2 2,5 0,4807692 -1,187 5,226 4,6553269 45219,622 45,22
5,2 2,7 0,5192308 -1,187 5,226 4,6096731 40707,373 40,71
5,2 3,1 0,5961538 -1,187 5,226 4,5183654 32988,714 32,99
5,2 3,5 0,6730769 -1,187 5,226 4,4270577 26733,615 26,73
5,2 3,8 0,7307692 -1,187 5,226 4,3585769 22833,733 22,83
5,2 4,15 0,7980769 -1,187 5,226 4,2786827 18996,898 19,00
5,2 4,35 0,8365385 -1,187 5,226 4,2330288 17101,289 17,10
5,2 4,6 0,8846154 -1,187 5,226 4,1759615 14995,52 15,00
5,2 4,9 0,9423077 -1,187 5,226 4,1074808 12807,984 12,81
ECP 5,2 2,1 0,4038462 -1,187 5,226 4,7466346 55800,054 55,80
5,2 4,35 0,8365385 -1,187 5,226 4,2330288 17101,289 17,10
Crude Supernatan 5,2 1,1 0,2115385 -1,187 5,226 4,9749038 94385,188 94,39
5,2 2,1 0,4038462 -1,187 5,226 4,7466346 55800,054 55,80
5,2 4,35 0,8365385 -1,187 5,226 4,2330288 17101,289 17,10
Broth 5,2 0,4 0,0769231 -1,187 5,226 5,1346923 136361,67 136,36
5,2 0,65 0,125 -1,187 5,226 5,077625 119570,76 119,57
5,2 1,25 0,2403846 -1,187 5,226 4,9406635 87229,516 87,23
5,2 2,1 0,4038462 -1,187 5,226 4,7466346 55800,054 55,80
5,2 3,6 0,6923077 -1,187 5,226 4,4042308 25364,761 25,36
5,2 4,15 0,7980769 -1,187 5,226 4,2786827 18996,898 19,00
5,2 4,65 0,8942308 -1,187 5,226 4,1645481 14606,564 14,61
Gambar Persamaan linier
y = -1.1878x + 5.2269
R² = 0.9853
0
1
2
3
4
5
6
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Series1
Linear (Series1)
127
Tabel Karakter protein hasil SDS-PAGE bakteri S. agalactiae yang diinaktifasi
dengan 3% bufer formalin
Sampel Migrasi Band Rf a b Log
BM BM
BM
Kd
Sel utuh 5 1,15 0,23 -1,158 5,315 5,04866 111856,18 111,86
5 1,7 0,34 -1,158 5,315 4,92128 83421,885 83,42
5 1,8 0,36 -1,158 5,315 4,89812 79089,713 79,09
5 2,35 0,47 -1,158 5,315 4,77074 58984,785 58,98
5 2,5 0,5 -1,158 5,315 4,736 54450,265 54,45
5 2,9 0,58 -1,158 5,315 4,64336 43990,612 43,99
5 3,35 0,67 -1,158 5,315 4,53914 34605,091 34,61
5 4,1 0,82 -1,158 5,315 4,36544 23197,437 23,20
5 4,6 0,92 -1,158 5,315 4,24964 17768,06 17,77
5 4,8 0,96 -1,158 5,315 4,20332 15970,555 15,97
ECP 5 1,7 0,34 -1,158 5,315 4,92128 83421,885 83,42
5 4,2 0,84 -1,158 5,315 4,34228 21992,773 21,99
Crude Supernatan 5 1,7 0,34 -1,158 5,315 4,92128 83421,885 83,42
5 2,35 0,47 -1,158 5,315 4,77074 58984,785 58,98
5 4,2 0,84 -1,158 5,315 4,34228 21992,773 21,99
Broth 5 1,15 0,23 -1,158 5,315 5,04866 111856,18 111,86
5 1,8 0,36 -1,158 5,315 4,89812 79089,713 79,09
5 4,1 0,82 -1,158 5,315 4,36544 23197,437 23,20
5 4,5 0,9 -1,158 5,315 4,2728 18741,312 18,74
Gambar Persamaan linier
y = -1.1583x + 5.3154
R² = 0.9764
0
1
2
3
4
5
6
0 0.5 1 1.5
Series1
Linear (Series1)
128
LAMPIRAN 7 Gambaran Darah
( a.) ( b.) (c. )
Gambar Sel darah ikan Nila. (L) Limfosit, (M) Monosit, (N) Neutrofil, (E)
Eritrosit.
(a)
a b
Gambar Fagositosis antigen oleh sel fagosit fungsional (penelanan antigen)
L M N
E
129
LAMPIRAN 8 Persentase dan Indek Fagositosis
Tabel Persentase fagositosis (%)
Perlakuan vaksin Pengamatan hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Monovalen A. hydrophila 68 82 78 72 62 66 68 62
Monovalen S. agalactiae 62 76 80 70 64 58 64 62
Bivalen Sel utuh 58 76 72 64 64 56 60 58
Bivalen ECP 54 64 78 72 60 48 54 60
Bivalen Sel utuh+ECP 63 84 74 66 56 50 62 66
Bivalen crude Supernatan 52 68 74 66 46 52 58 54
Bivalen Broth 60 68 66 56 62 42 48 56
Kontrol 64 70 78 62 48 54 46 56
Tabel Indek fagositik (%)
Perlakuan vaksin Pengamatan hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Monovalen A. hydrophila 2,5 3,2 2,8 2,2 1,8 1,6 1,8 1,2
Monovalen S. agalactiae 2,3 2,6 3 2 1,9 1,4 1,8 1,2
Bivalen Sel utuh 2,1 2,6 2,3 1,9 1,9 1,4 1,8 1,4
Bivalen ECP 1,9 3,2 2,5 2,4 2,1 1,2 1,8 1,6
Bivalen Sel utuh+ECP 2,2 2,8 2,2 2,1 1,3 1,2 1,5 1,3
Bivalen crude Supernatan 2 2,7 2,2 2,1 1,1 1 1,3 1,4
Bivalen Broth 2,1 2,7 2,4 1,6 1,6 1,1 1,3 1,3
Kontrol 2,4 2,6 2,8 2 1,2 1,4 1,1 1,4
130
LAMPIRAN 9 Nilai NBT-Assay
Tabel Uji aktifitas Respiratory burst (NBT-Assay)
Perlakuan vaksin Pengamatan hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Monovalen A. hydrophila 0,283 0,497 0,725 0,584 0,612 0,431 0,354 0,308
Monovalen S. agalactiae 0,291 0,295 0,488 0,59 0,374 0,286 0,293 0,342
Bivalen Sel utuh 0,288 0,305 0,538 0,599 0,459 0,318 0,367 0,396
Bivalen ECP 0,302 0,271 0,353 0,395 0,276 0,303 0,291 0,298
Bivalen Sel utuh+ECP 0,261 0,312 0,447 0,621 0,594 0,439 0,366 0,483
Bivalen crude Supernatan 0,273 0,281 0,273 0,394 0,448 0,285 0,306 0,293
Bivalen Broth 0,311 0,322 0,397 0,536 0,421 0,318 0,29 0,301
Kontrol 0,315 0,263 0,269 0,396 0,321 0,398 0,285 0,344
131
LAMPIRAN 10 Aktifitas Lisosim
Tabel Aktifitas lisosim (mm)
Perlakuan vaksin Pengamatan hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Monovalen A. hydrophila 4 9 12 7 6 6 5 7
Monovalen S. agalactiae 3 5 4 4 7 5 7 6
Bivalen Sel utuh 5 10 8 7 9 4 5 6
Bivalen ECP 4 7 7 3 5 2 2 4
Bivalen Sel utuh+ECP 4 12 10 6 9 5 7 6
Bivalen crude Supernatan 3 4 7 3 6 5 7 7
Bivalen Broth 4 3 3 5 3 6 5 6
Kontrol 4 3 3 3 5 3 3 3
132
LAMPIRAN 11 Aktifitas Komplemen
Tabel Aktifitas komplemen minggu ke-1
Perlakuan vaksin pengenceran
1x 2x 4x 8x 16x 32x
Monovalen A. hydrophila 79,62963 55,5555556 24,0740741 9,25925926 0 0
Monovalen S. agalactiae 85,185185 66,6666667 14,8148148 0 0 0
Bivalen Sel utuh 92,592593 85,1851852 18,5185185 0 0 0
Bivalen ECP 103,7037 79,6296296 25,9259259 0 0 0
Bivalen Sel utuh+ECP 96,296296 87,037037 31,4814815 7,40740741 0 0
Bivalen crude Supernatan 101,85185 85,1851852 29,6296296 1,85185185 0 0
Bivalen Broth 101,85185 90,7407407 29,6296296 3,7037037 0 0
Kontrol 103,7037 98,1481481 31,4814815 11,1111111 1,85185185 0
Tabel Aktifitas komplemen minggu ke-2
Perlakuan vaksin pengenceran
1x 2x 4x 8x 16x 32x
Monovalen A. hydrophila 66,666667 55,5555556 5,55555556 0 0 0
Monovalen S. agalactiae 59,259259 29,6296296 0 0 0 0
Bivalen Sel utuh 77,777778 48,1481481 3,7037037 0 0 0
Bivalen ECP 101,85185 79,6296296 25,9259259 0 0 0
Bivalen Sel utuh+ECP 90,740741 72,2222222 5,55555556 0 0 0
Bivalen crude Supernatan 101,85185 85,1851852 20,3703704 0 0 0
Bivalen Broth 96,296296 83,3333333 29,6296296 0 0 0
Kontrol 103,7037 98,1481481 31,4814815 11,1111111 1,85185185 0
Tabel Aktifitas komplemen minggu ke-3
Perlakuan vaksin pengenceran
1x 2x 4x 8x 16x 32x
Monovalen A. hydrophila 74,074074 55,5555556 18,5185185 0 0 0
Monovalen S. agalactiae 61,111111 29,6296296 1,85185185 0 0 0
Bivalen Sel utuh 59,259259 48,1481481 3,7037037 0 0 0
Bivalen ECP 92,592593 68,5185185 22,2222222 0 0 0
Bivalen Sel utuh+ECP 85,185185 42,5925926 16,6666667 0 0 0
Bivalen crude Supernatan 98,148148 74,0740741 29,6296296 0 0 0
Bivalen Broth 92,592593 48,1481481 27,7777778 1,85185185 0 0
Kontrol 103,7037 98,1481481 31,4814815 11,1111111 1,85185185 0
133
LAMPIRAN 12 Titer Antibodi
Tabel Titer antibodi perlakuan vaksin terhadap A. hydrophila (log 2)
Perlakuan vaksin masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke-
0 1 2 3 4 5
Monovalen A. hydrophila 2 4 7 6 5 7
Monovalen S. agalactiae 2 3 3 4 5 6
Bivalen Sel utuh 2 4 5 4 4 5
Bivalen ECP 3 3 4 3 4 4
Bivalen Sel utuh+ECP 2 5 6 4 5 6
Bivalen crude Supernatan 2 4 4 5 3 4
Bivalen Broth 2 4 5 5 4 4
Kontrol 3 3 2 2 2 4
Tabel Titer antibodi perlakuan vaksin terhadap S. agalactiae (log 2)
Perlakuan vaksin masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke-
0 1 2 3 4 5
Monovalen A. hydrophila 1 2 1 1 1 2
Monovalen S. agalactiae 1 2 4 5 3 3
Bivalen Sel utuh 1 3 4 4 3 4
Bivalen ECP 1 2 4 3 3 3
Bivalen Sel utuh+ECP 2 3 5 3 3 4
Bivalen crude Supernatan 1 2 2 3 3 3
Bivalen Broth 1 2 3 2 2 3
Kontrol 1 1 1 2 1 2
Tabel Titer antibodi perlakuan vaksin terhadap A. hydrophila dan S. agalactiae
(log 2)
Perlakuan vaksin masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke-
0 1 2 3 4 5
Monovalen A. hydrophila 2 4 4 3 3 4
Monovalen S. agalactiae 1 3 3 4 4 4
Bivalen Sel utuh 2 4 2 3 3 4
Bivalen ECP 2 2 4 3 2 2
Bivalen Sel utuh+ECP 1 3 4 3 3 4
Bivalen crude Supernatan 1 3 4 2 3 4
Bivalen Broth 2 2 4 2 2 3
Kontrol 2 3 1 2 2 3
134
LAMPIRAN 13 Relative Percent Survival (RPS)
Tabel nilai PRS perlakuan vaksin monovalen dan bivalen
No Perlakuan
% kematian
ikan yang
divaksin
(a)
% kematian
ikan kontrol
(b)
a/b
(c)
(1-c) x 100 RPS
1. Monovalen A, hydrophila
diuji A, hydrophila 10 92,5 0,108108 89,18919 89,2
2. Monovalen A, hydrophila
diuji S, agalactiae 60 72,5 0,827586 17,24138 17,2
3. Monovalen A, hydrophila
diuji ko-infeksi 90 92,5 0,972973 2,702703 2,7
4. Monovalen S, agalactiae
diuji A, hydrophila 60 92,5 0,648649 35,13514 35,1
5. Monovalen S, agalactiae
diuji S, agalactiae 20 72,5 0,275862 72,41379 72,4
6. Monovalen S,agalactiae
diuji ko-infeksi 80 92,5 0,864865 13,51351 13,5
7. Bivalen Sel utuh diuji A,
hydrophila 0 92,5 0 100 100
8. Bivalen Sel utuh diuji S,
agalactiae 20 72,5 0,275862 72,41379 72,4
9. Bivalen Sel utuh diuji ko-
infkesi 40 92,5 0,432432 56,75676 56,7
10. Bivalen ECP diuji A,
hydrophila 50 92,5 0,540541 45,94595 45,9
11. Bivalen ECP diuji S,
agalactiae 50 72,5 0,689655 31,03448 31
12. Bivalen ECP diuji ko-
infeksi 70 92,5 0,756757 24,32432 24,3
13. Bivalen Sel utuh+ECP diuji
A, hydrophila 0 92,5 0 100 100
14. Bivalen Sel utuh+ECP diuji
S, agalactiae 10 72,5 0,137931 86,2069 86,2
1. Bivalen Sel utuh+ECP diuji
ko-infeksi 40 92,5 0,432432 56,75676 56,7
16. Bivalen crude Supernatan
diuji A, hydrophila 50 92,5 0,540541 45,94595 45,9
17. Bivalen crude Supernatan
diuji S, agalactiae 50 72,5 0,689655 31,03448 31
18. Bivalen crude Supernatan
diuji ko-infeksi 90 92,5 0,972973 2,702703 2,7
19. Bivalen Broth diuji A,
hydrophila 30 92,5 0,324324 67,56757 67,6
20. Bivalen Broth diuji S,
agalactiae 40 72,5 0,551724 44,82759 44,8
21. Bivalen Broth diuji ko-
infeksi 70 92,5 0,756757 24,32432 24,3
Tabel Rata-rata % kematian ikan kontrol
Uji tantang
% kematian ikan kontrol
TSB BHI Salin
0,845%
Tanpa
injeksi Rata-rata
A. hydrophila 90 90 90 100 92,5
S, agalactiae 60 70 80 80 72,5
Ko-infeksi 80 90 100 100 92,5
135
LAMPIRAN 14 Komposisi Kandungan Media
Tryptic Soy Broth (TSB) Difco : 30 g/L
- Pancreatic digest of casein : 17,0
- Enzymatic digest of soy bean meal : 13,0
- Dextrose : 2,5
- Sodium chloride : 5,0
- Di-photasium phosphate : 2,5
Brain Heart Infussion (BHI) Oxoid : 37 g/L
- Brain infussion solid : 12,5
- Beef heart infussion solid : 5,0
- Protease peptone : 10,0
- Glucose : 2,0
- Sodium chloride : 5,0
- Di-sodium phosphate : 2,5