PRESENTASI KASUS
“KEJANG PARSIAL GENERALISE SEKUNDER DD STROKE DD SOP“
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen
Ilmu Bagian Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, SpS, Msc
Disusun Oleh :
Priscillia Fatma Tiara Gunardi H2A013059
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BAGIAN SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
PERIODE 14 AGUSTUS – 9 SEPTEMBER 2017
1
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kenangkan, Bergas, Semarang
No CM : 124xxx – 20xx
Tanggal masuk RS : 20 Agustus 2017 jam 18.45, pasien rawat inap di Bangsal
Dahlia.
B. Data Dasar
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis ( anak pasien ) pada tanggal 24 Agustus
2017 pukul 15.30 WIB di bangsal Dahlia.
Keluhan Utama:
Kejang
Keluhan Tambahan :
Mual (+), muntah (+) 1 kali, kelemahan anggota gerak kiri (+).
Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluhan kejang pertama kali terjadi secara tiba-tiba pukul 15.30 WIB (1,5 jam
SMRS). Saat kejang pasien tidak sadarkan diri, kaki dan tangan pasien kaku serta
mata mendelik ke atas. Kejang terjadi sekitar ± 2 menit dan setelah kejang pasien
sadar kembali. Awalnya mata pasien berkedip – kedip cepat lalu tangan dan kaki kiri
kaku dengan pergelangan tangan menekuk, sedangkan tangan kanan seperti mencari
pegangan lalu seluruh tubuh pasien klonjotan.
Sewaktu kejang, pihak keluarga memanggil dokter umum. Oleh dokter
diperiksa keadaan pasien dan di cek tekanan darah juga gula darah sewaktu pasien.
Hasil tekanan darah normal ( pihak keluarga lupa hasilnya ) dan gula darah sewaktu
pasien tinggi 384 mg/dl. Oleh dokter disarankan untuk dibawa ke IGD RSUD
2
Ambarawa. Selama perjalanan pasien kejang berulang >3x. Sesampainya di Bawen
hingga sesampainya di RSUD Ambarawa kejang sudah berhenti.
Saat kejang pasien tidak sadar, setelah kejang selesai pasien kembali sadar.
Pasien sempat mengeluh pusing, mual dan muntah satu kali sebelum kejang. Muntah
berisi cairan dan sisa makanan. Pasien tidak ada riwayat demam sebelum kejang,
tidak ada riwayat infeksi, tidak memiliki keluhan gangguan penglihatan, tidak ada
gejala halusinasi, atau gejala gangguan psikiatri lainnya.
Setelah kejang pasien mengeluhkan kelemahan pada anggota gerak sebelah
kiri. Kelemahan yang diawali dengan kesemutan atau baal pada anggota gerak
disangkal. Kelemahan tidak disertai bicara pelo, mulut perot ataupun pandangan
ganda. Kesemutan atau baal pada anggota gerak kanan disangkal.
Menurut keluarga pasien, pasien terlihat sering melamun dengan pandangan
kosong, sering lupa dan pasien sekarang lebih banyak berdiam diri dan sedih
semenjak di PHK setahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu:
1. Riwayat mengalami keluhan serupa sebelumnya: disangkal
2. Riwayat trauma sebelumnya : diakui
Bulan Maret 2017 lalu pasien terjatuh saat ingin menggendong cucunya.
3. Riwayat nyeri punggung sebelumnya : disangkal
4. Riwayat kejang demam saat kecil : disangkal
5. Riwayat kejang epilepsy : disangkal
6. Riwayat nyeri kepala kronis : disangkal
7. Riwayat vertigo : disangkal
8. Riwayat penyakit paru : disangkal
9. Riwayat penyakit jantung : diakui
10. Riwayat hipertensi : diakui
11. Riwayat dispepsia : disangkal
12. Riwayat DM : diakui
13. Riwayat stroke : disangkal
14. Riwayat sakit hepatitis : disangkal
15. Riwayat kelemahan anggota gerak sebelumnya : disangkal
16. Riwayat sering mengangkat beban berat : disangkal
17. Riwayat penurunan berat badan : disangkal
3
18. Riwayat operasi : tahun 1999, operasi benjolan di
bagian sebelah kanan bawah kepala.
19. Riwayat rawat inap : diakui dua kali ( bulan Maret
2017 di ICU RSUD Ambarawa dan tahun 1999)
Bulan Maret 2017, pasien dirawat di ICU RSUD Ambarawa karna dada pasien
merasa berdebar-debar. SMRS pasien merasakan tiba-tiba dadanya merasa
berdebar-debar lalu keluarga memanggil dokter untuk diperiksa. Ketika dilakukan
pemeriksaan, gula darah sewaktu pasien tinggi sehingga disarankan untuk dibawa
ke RSUD Ambarawa. Pasien di rawat inap selama tiga hari.
20. Riwayat alergi : disangkal
21. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan : disangkal
22. Riwayat Keganasan : disangkal
23. Riwayat batuk lama : disangkal
24. Riwayat Sinusitis : disangkal
25. Riwayat Gigi berlubang : disangkal
4
Riwayat Penyakit Keluarga :
1. Riwayat keluhan serupa pada keluarga : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
4. Riwayat jantung : disangkal
5. Riwayat kejang : disangkal
6. Riwayat stroke : disangkal
Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi :
Pasien saat ini sehari-hari hanya di rumah, berdiam diri, duduk dan berbaring. Pasien
merupakan seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan terakhir SD. Setahun yang lalu
pasien terkena PHK dari perusahaanya. Saat masih bekerja pasien aktif dalam berkegiatan
dan kehidupan sosialnya. Namun, setelah terkena PHK pasien lebih banyak berdiam diri,
murung dan tidak banyak bergerak. Kebiasaan makan pasien sehari-hari kurang teratur.
Pasien jarang berolahraga. Pasien tidak merokok, mengkonsumsi alkohol maupun obat-
obatan terlarang.
Anamnesis Sistem :
Sistem serebrospinal : pusing (+),kelemahan anggota gerak kiri (+), pingsan (-)
riwayat vertigo (-)
Sistem kardiovaskular : riwayat hipertensi (+), riwayat penyakit jantung (+)
Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-)
Sistem gastroinstestinal : mual (+), muntah (+), BAB (+) normal tidak ada keluhan
Sistem musculoskeletal : kelemahan anggota gerak kiri (+) pada sisi sebelah kiri
Sistem neurologi : kelemahan anggota gerak kiri(+), kesemutan (-), baal (-)
bicara pelo (-), perot (-), penglihatan ganda (-), telinga
berdenging (-)
Sistem integument : ruam (-)
Sistem urogenital : BAK (+) normal, tidak ada keluhan
C. Resume Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis. Pasien datang ke IGD
RSUD Ambarawa dengan keluhan kejang lebih dari tiga kali pada ±1,5 jam SMRS.
Kejang terjadi selama ±2 menit, kaki dan tangan pasien kaku serta mata mendelik keatas.
5
Awalnya mata pasien berkedip – kedip cepat lalu tangan dan kaki kiri kaku dengan
pergelangan tangan menekuk, sedangkan tangan kanan seperti mencari pegangan lalu
seluruh tubuh pasien klonjotan. Saat kejang pasien tidak sadar, setelah kejang selesai
pasien kembali sadar. Pasien sempat mengeluh pusing, mual dan muntah satu kali sebelum
kejang. Muntah berisi cairan dan sisa makanan. Setelah kejang pasien mengeluhkan
kelemahan pada anggota gerak kiri. Kelemahan tidak disertai bicara pelo, mulut perot
ataupun pandangan ganda. Selain itu, pasien juga sering terlihat melamun dengan
pandangan kosong, terkadang tidak nyambung saat diajak berkomunikasi, sering lupa dan
sering berdiam diri semenjak di PHK satu tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat
kejang sebelumnya.
D. DISKUSI I
Dari anamnesa didapatkan seorang perempuan usia 58 tahun dengan keluhan kejang.
Epilepsi secara klinis adalah suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi yang berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan, bangkitan epilepsy
sendiri adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang
abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron yang (terutama) terletak pada korteks serebri.
Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul intermiten dan 'self-limited'.
Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan gejala
yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi, faktor presipitan usia
saat awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan prognosa).1
Kejang didefinisikan sebagai kejadian paroksismal yang diakibatkan oleh aktivitas
sel-sel neuron Sistem Saraf Pusat (SSP) yang abnormal berupa lepasan muatan listrik yang
berlebihan dan hipersinkronisasi.2Aktivitas neuron yang abnormal dapat bersifat parsial
atau fokal, berasal dari daerah spresifik korteks serebri, ataupun umum, melibatkan kedua
hemisfer otak. Perbedaan tersebut dapat memberikan menifestasi klinis yang berbeda,
tergantung bagian otak yang terkena.2
Etiologi Kejang
Kejang dapat berasal dari beberapa faktor diantaranya3:
Gangguan sirkulasi
Infeksi SSP, seperti meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis
Kondisi-kondisi yang menimbulkan kejang kejang demam
6
Gangguan metabolic, seperti hipoglikemia, hiperglikemia, gagal hati, uremia,
hipoksemia
Epilepsi
Space Occupying Pressure (SOP), seperti neoplasma otak, abses otak
Trauma kepala
Perdarahan intrakranial
Gangguan elektrolit, seperti hipokalsemia, hipomagnesemia, hiponatremia,
hyperkalemia
Intoksikasi alcohol dan obat-obatan
Penyebab kejang secara lebih spesifik dapat diklasifikasikan berdasarkan usia saat
onset kejang pertama kali timbul.2
Gambar 1. Etiologi kejang berdasarkan usia saat onset pertama kejang
7
Patofisiologi Kejang3,4
Dalam sistem saraf pusat terdapat neurotransmiter yang bersifat eksitasi dan inhibisi.
Neurotransmiter eksitasi utama di otak adalah glutamat, sedangkan neurotransmiter inhibisi
utama adalah gamma aminobutyric acid (GABA). Dalam keadaan normal terjadi
keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sehingga potensial membran dipertahankan sebesar
70 mV. Pada keadaan dimana eksitasi meningkat, inhibisi menurun, atau terjadi keduanya,
terjadi depolarisasi (potensial membran menjadi lebih positif). Jika potensial membran
mencapai ambang tertentu, terjadilah lepas muatan listrik.
Dalam sistem eksitasi, glutamat berikatan dengan beberapa reseptor di postsinaps
yaitu reseptor NMDA (NmethylDaspartate) dan non NMDA. Stimulasi berlebihan reseptor
NMDA menyebabkan masuknya Ca2+ dalam jumlah besar. Masuknya Ca2+ dalam jumlah
besar akan membuka kanal kation (kanal K+ dan Cl-) yang akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi massif dan terlepasnya muatan listrik yang abnormal.
Selain terganggunya sistem neurotransmitter di otak, kejang juga dapat diakibatkan
oleh terganggunya pompa Na+/K+-ATPase. Potensial membrane setiap neuron dijaga tetap
normal dengan adanya pompa Na+/K+ yang bekerja dengan menggunakan ATP.
Berkurangnya ATP, seperti pada kondisi hipoksemia atau hipoglikemia, dapat mengganggu
kerja pompa Na+/K+-ATPase dan hal tersebut dapat menyembabkan timbulnya depolarisasi
sel.
Klasifikasi Epilepsi: (menurut ILAE tahun 1989)1
I. Berhubungan dengan lokasi
A. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1. Benign childhood epilepsy with centro-temporal spikes
2. Childhood epilepsy with occipital paroxysmal
3. Primary reading epilepsy
B. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik)
1. Chronic progressive epilepsia partialis continua of childhood (Kojewnikow's
syndrome)
2. Syndromes characterized by seizures with specific modes of precipitation
3. Epilepsi lobus Temporal/ Frontal/ Parietal/ Ocipital
C. Kriptogenik
II. Umum
A. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
8
1. Benign neonatal familial convulsions
2. Benign neonatal convulsions
3. Benign myoclonic epilepsy in infancy
4. Childhood absence epilepsy (pyknolepsy)
5. Juvenile absence epilepsy
6. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
7. Epilepsies with grand mal (GTCS) seizures on awakening
8. Others generalized idiopathic epilepsies not defined above
9. Epilepsies with seizures precipitated by specific modes of activation
B. Kriptogenik / Simptomatik
1. West syndrome (infantile spasms, blitz Nick-Salaamm Krampfe)
2. Lennox-Gastaut syndrome
3. Epilepsy with myoclonic-astatic seizures
4. Epilepsy with myoclonic absence
C. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik)
1. Dengan etiologi yang Nonspesifik
a. Early myoclonic encephalopathy
b. Early infantile epileptic encephalopathy with suppression burst
c. Other symptomatic generalized epilepsies not defined above
2. Sindroma spesifik
a. Bangkitan epilepsy yang disebabkan oleh penyakit lain
III. Tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum
1. Campuran bangkitan umum dan fokal
a. Isolated seizures atau isolated status epilepticus
b. Seizures occurring only when there is an acute metabolic or toxic event, due to
factors such as alcohol, drugs, eclampsia, nonketotic hyperglycemia
Klasifikasi Bangkitan Epilepsi: (menurut ILAE tahun 1981)1
I. Bangkitan Parsial (fokal)
A. Parsial sederhana
1. Disertai gejala motorik
2. Disertai gejala somato-sensorik
3. Disertai gejala-psikis
4. Disertai gejata autonomik
9
B. Parsial kompleks
1. Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau tanpa
automatism
2. Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa automatism
C. Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
II. Bangkitan Umum
A. Bangkitan Lena (absence) & atypical absence
B. Bangkitan Mioklonik
C. Bangkitan Klonik
D. Bangkitan Tonik
E. Bangkitan Tonik-klonik
F. Bangkitan Atonik
III. Bangkitan yang tidak terklasifikasikan
Laboratorium/ Pemeriksaan Penunjang:1
1. EEG
2. Laboratorium: (atas indikasi)
A. Untuk penapisan dini metabolik
Perlu selalu diperiksa:
1. Kadar glukosa darah
2. Pemeriksaan elektrolit termasuk kalsium dan magnesium
Atas indikasi
1. Penapisan dini racun/toksik
2. Pemeriksaan serologis
3. Kadar vitamin dan nutrient lainnya
Perlu diperiksa pada sindroma tertentu
1. Asam Amino
2. Asam Organik
3. NH3
4. Enzim Lysosomal
5. Serum laktat
10
6. Serum piruvat
B. Pada kecurigaan infeksi SSP akut Lumbat Pungsi
Radiologi
1. Computed Tomography (CT) Scan kepala dengan kontras
2. Magnetic Resonance Imaging kepala (MRI)
3. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) : merupakan pilihan utama untuk
epilepsi
4. Functional Magnetic Resonance Imaging
5. Positron Emission Tomography (PET)
Diagnosis Banding1
1. Bangkitan Psychogenik
2. Gerak lnvolunter (Tics, headnodding, paroxysmalchoreoathethosisl dystonia, benign sleep
myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dll.)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention
deficit)
4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma psikotik
akut)
6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)
7. Keadaan episbdik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells, cardiac
arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dll)
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan
sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya. Penggunaan
terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan
oleh harga dan efek samping OAE yang timbul
Antikonvulsan Utama
1. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari
2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari
3. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari
4. Valproate : 30-80 mg/kgBB/hari
11
Keputusan pemberian pengobatan setelah bangkitan pertama dibagi dalam 3 kategori:
1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera)
Bila terdapat lesi struktural, seperti :
a. Tumor otak
b. AVM
c. Infeksi : seperti abses, ensefalitis herpes
Tanpa lesi struktural :
a. Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
b. EEG dengan gambaran epileptik yang jelas
c. Riwayat bangkitan simpomatik
d. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP e. Status epilepstikus pada awitan
kejang
2. Possibly treat (kemungkinan harus dilakukan pengobatan)
Pada bangkitan yang tidak dicetuskan (diprovokasi) atau tanpa disertai faktor resiko
diatas
3. Probably not treat (walaupun pengobatan jangka pendek mungkin diperlukan)
a. Kecanduan alkohol
b. Ketergantungan obat obatan
c. Bangkitan dengan penyakit akut (demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemia)
d. Bangkitan segera setelah benturan di kepala
e. Sindroma epilepsi spesifik yang ringan, seperti kejang demam, BECT
f. Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur
Pemilihan OAE berdasarkan Tipe Bangkitan Epilepsi
Tipe Bangkitan OAE Lini Pertama OAE Lini KeduaBangkitan parsial (sederhana atau kompleks)
Fenitoin, karbamasepin (terutama untuk CPS), asam valproat
Acetazolamide, clobazam, clonazepam, ethosuximide, felbamate, gabapentin, lamotrigine, levetiracetam, oxcarbazepine, tiagabin, topiramate, vigabatrin, phenobarbital, pirimidone
Bangkitan lena Asam valproat, ethosuximide (tidak tersedia di Indonesia)
Acetazolamide, clobazam, clonazepam, lamotrigine, phenobarbital, pirimidone
Bangkitan mioklonik Asam valproat Clobazam, clonazepam, ethosuximide, lamotrigine, phenobarbital, pirimidone, piracetam
12
Penghentian OAE: dilakukan secara bertahap setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang,
tergantung dari bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi yang diderita pasien (Dam,1997).
Penghentian OAE dilakukan secara perlahan dalam beberapa bulan.
Dalam kasus ini, pasien mengalami kejang parsial dengan generalisasi sekunder.
Salah satu penyebab kejang pada pasien dapat disebabkan oleh adanya proses desak ruang
(space occupying process/SOP). SOP merupakan proses yang meluas atau menempati ruang
dalam otak, yang termasuk diantaranya tumor, hematoma dan abses.
Cranium merupakan suatu tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi oleh
karena itu proses desak ruang tersebut akan meningkatkan tekanan intracranial. Posisi tumor
dalam otak dapat memberi pengaruh yang dramatis pada tanda-tanda dan gejala. Contohnya
suatu tumor dapat menekan dan menyumbat aliran keluar dari cairan serebrospinal atau
langsung menekan vena-vena besar menyebabkan peningkatan tekanan intracranial dengan
cepat. Tanda dan gejala akibat proses desak ruang juga tergantung pada terjadinya gangguan
dalam otak serta derajat kerusakan jaringan saraf yang ditimbulkan oleh proses desak ruang.
Gangguan neurologis pada tumor intracranial biasanya disebabkan oleh dua faktor
yaitu gangguan fokal yang akan menimbulkan gejala fokal dan gangguan umum yang akan
menimbulkan gejala umum. Gejala umum timbul akibat meningkatnya tekanan intracranial.
Nyeri kepala merupakan gejala umum yang paling sering muncul (30-40%) pada pasien
dengan tumor intracranial. Mual dan muntah pada kasus tumor intracranial juga dapat timbul
sebagai akibat dari meningkatnya tekanan intracranial. Gejala fokal timbul akibat adanya
tumor itu sendiri. Tumor pada lokasi yang berbeda akan menimbulkan karakteristik gejala
yang berbeda-beda. Kejang sebagai gejala fokal paling sering terjadi (pada sepertiga pasien)
dengan tumor intracranial.
Setelah kejang, pasien mengalami kelemahan anggota gerak kiri. Keluhan kelemahan
pada anggota gerak ini disebut dengan parese. Parese (kelemahan) merupakan berkurangnya
kekuatan otot sehingga gerak volunter sukar tapi masih bisa dilakukan walaupun dengan
gerakan yang terbatas. Keluhan pada pasien terjadi pada anggota gerak sisi kiri sehingga
disebut dengan hemiparese sinistra. Hemiparese yang terjadi pada kasus ini dapat disebabkan
oleh adanya
1) Penyakit cerebrovascular yaitu stroke,
2) Bagian dari gejala fokal akibat tumor intracranial, ataupun
3) Kelemahan anggota gerak yang bersifat reversible dan transient setelah serangan
kejang (post-ictal paraese) yang disebut Todd’s Paralysis. Todd’s Paralysis
pertama kali dijelaskan oleh Robert Bentley Todd pada tahun 1854. Todd’s
13
Paralysis (Todd’s Parese/Post-ictal parese/Hemiplegia epileptique) didefinisikan
sebagai kondisi abnormalitas motorik yang terjadi setelah bangkitan kejang dan
dapat bervariasi dari kelemahan (parese) sampai kelumpuhan (paralysis).5
Beberapa literature lain menyebutkan bahwa abnormalitas tidak hanya terjadi
pada fungsi motoric saja namun dapat pula menyebabkan gangguan fungsi
sensorik, otonom, kognitif atau bahkan sampai menyebabkan penurunan
kesadaran.5 Angka kejadian Todd’s Paralysis sangat kecil, yaitu terjadi pada
sekitar 6% dari pasien yang mengalami kejang tonik klonik.5 Durasi Todd’s
Paralysis berkisar antara 30 menit sampai 36 jam dan durasi tersebut tidak
dipengaruhi oleh durasi atau derajat keparahan kejang. Literature lain
menyebutkan bahwa onset parese atau paralysis dapat memanjang terutapa pada
pasien yang memiliki lesi structural, seperti tumor otak atau stroke.
Etiopatogenensis Todd’s Paralysis masih belum jelas, namun ada hipotesis yang
menyebutkan bahwa kelelahan neuronal sebagai akibat dari kondisi hipoksia atau
kurangnya ATP dan/atau adanya proses metabolism yang tidak efisien pada
daerah otak dengan focus kejang ataupun penyakit vascular yang mendasari.5
E. DIAGNOSIS SEMENTARA
a. Klinis : kejang parsial generalise sekunder akut, hemiparese sinistra, mual,
muntah.
b. Topis : intracerebral
c. Etiologi : vascular: Stroke
SOP intracranial
F. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 24 Agustus 2017 pukul 16.00 WIB
1. Status Generalis
a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Compos Mentis/ GCS = E4M6V5= 15
c. TD : 110/70 mmHg
d. Nadi : 88 x/menit, reguler
e. Pernapasan : 21 x/menit, reguler
f. Suhu : 36,4oC
g. BB : 50 kg
14
h. TB : 155 cm
i. BMI : 20,8 kg/m2
j. Kepala : normosefali, tidak ada kelainan
k. Mata : OS : pupil bulat, ø 3mm, refleks cahaya langsung (+),
Reflek kornea (+), Ptosis (-), Eksoftalmus (-)
OD : pupil bulat, ø 3mm, refleks cahaya langsung (+),
Reflek kornea (+), Ptosis (-), Eksoftalmus (-)
l. THT : rhinorea (-), otorhea (-)
m. Mulut : Mukosa tidak tampak hiperemis
n. Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar, trachea
ditengah, jejas atau benjolan di leher (-)
o. Thoraks : Cor :
1)Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
2)Palpasi : kuat angkat, ictus cordis teraba 2 cm medial di
ICS 5 linea midclavikula sinistra,
3) Perkusi :
Kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Kiri jantung : ICS V, 2cm medial linea midclavicula
sinistra
4) Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Depan DextraI: Simetris, retraksi dinding dada (-)Pal :vocal fremitus kanan = kiriPer: sonorAus: suara dasar vesikuler, suara tambahan : wheezing (-), ronki (-)
SinistraI: Simetris, retraksi dinding dada (-)Pal :vocal fremitus kanan = kiriPer: SonorAus: suara dasar vesikuler, suara tambahan : wheezing (-),ronki(-)
Belakang I: Simetris, retraksi dinding dada (-)Pal :Stem fremitus kanan = kiriPer: SonorAus: suara dasar vesikuler, suara tambahan : wheezing (-), ronchi(-)
I: Simetris, retraksi dinding dada (-)Pal :Stem fremitus kanan = kiriPer: SonorAus: suara dasar vesikuler, suara tambahan : wheezing (-), ronchi(-)
o. Abdomen : datar, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak teraba, nyeri
tekan epigastrik (-)
p. Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
q. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, edema (-/-)
15
2. Status Psikiatrik
a. Cara berpikir : Sulir dinilai
b. Perasaan hati : Sedih
c. Tingkah laku : Wajar, pasien sadar
d. Ingatan : Sulit dinilai
e. Kecerdasan : Sulit dinilai
3. Status Neurologis
a. Sikap : Simetris dan lurus
b. Gerakan abnormal : Tidak ada gerakan abnormal
c. Cara berjalan : Tidak dilakukan
MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) : Tidak dilakukan
Item Tes Nilai Maksimal
Nilai
1.ORIENTASISekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa? 5
-
2. Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/kamar) 5 -
3.REGISTRASISebutkan 3 buah nama benda (jeruk, uang, mawar), tiap benda 1 detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan.ATENSI DAN KALKULASI
3-
4. Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “WAHYU” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai)
5 -
MENGINGAT KEMBALI (RECALL) -5. Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3 -
BAHASA -6. Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, arloji) 2 -7. Pasien diminta mengulang rangkaian kata :” tanpa kalau dan atau tetapi ” 3 -8. Pasien diminta melakukan perintah: “Ambil kertas ini dengan tangan kanan,
lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”.1 -
9. Pasien diminta membaca dan melakukan perintah “Angkatlah tangan kiri anda”
1 -
10. Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan) 1 -11. Pasien diminta meniru gambar di bawah ini 1 -
Skor Total 30 -Pedoman Skor kognitif global (secara umum): Nilai 24 -30: normalNilai 17-23 : probable gangguan kognitif Nilai 0-16:definite gangguan kognitif
16
d. Kognitif : Sulit dinilai
e. Rangsang Meningeal : Kaku kuduk : (-), Kernig sign : (-), Brudzinsky I : (-),
Brudzinsky II : (-), Brudzinsky III : (-), Brudzinsky IV : (-)
f. Pemeriksaan Saraf Kranial :
Saraf Kranialis Kanan KiriN.I OlfactoriusHidung TersumbatPolipPenghidu
(-)(-)
Baik
(-)(-)
BaikN. II OptikusDaya PenglihatanLapang PenglihatanNistagmusMelihat Warna
normalnormal
(-)Tidak dilakukan
normalnormal
(-)Tidak dilakukan
N. III OkulomotoriusPtosisGerakan mata ke medialGerakan mata ke atasGerakan mata ke bawahNistagmusEksoftalmusEnoftalmusPupil - Besar
- BentukRefleks terhadap sinar langsung/tidak langsungMelihat ganda
(-)BaikBaikBaik(-)(-)(-)
3mmBulat, isokor, sentral
(+)(-)
(-)BaikBaikBaik(-)(-)(-)
3mmBulat, isokor, sentral
(+)(-)
N.IV TrokhlearisPergerakan mata (ke bawah-lateral)Srabismus konvergenMenggigitMembuka mulut
Baik(-)
NormalNormal
Baik(-)
NormalNormal
N.V TrigeminusSensibilitas mukaReflek korneaTrismus
Normal(+)(-)
Normal(+)(-)
N.VI AbducenGerakan mata ke lateralStrabismus konvergen
Normal(-)
Normal(-)
N.VII FasialisSulcus nasolabialisKedipan mataSudut MulutMengerutkan dahiMenutup mataMeringisMengembungkan pipiDaya Kecap 2/3 anterior
BaikBaikBaik(+)(+)(+)(+)
Tidak dilakukan
BaikBaikBaik(+)(+)(+)(+)
Tidak dilakukanN.VIII VestibulokoklearisKetajaman pendengaranWeberRinne
Tidak dilakukanTidak dilakukanTidak dilakukan
Tidak dilakukanTidak dilakukanTidak dilakukan
N.IX Glossofaringeus dan N.X VagusDaya kecap 1/3 belakangRefleks MuntahArcus pharynx
Tidak dilakukanTidak dilakukan
Simetris
Tidak dilakukanTidak dilakukan
Simetris
17
Uvula di tengahTersedakSengau
(+)(-)(-)
(+)(-)(-)
N.XI AccecoriusMengangkat bahuMemalingkan kepala
BaikBaik
BaikBaik
N.XII HypoglossusSikap lidahArtikulasiMenjulurkan lidahTremor lidahFasikulasiTrofi otot lidah
Deviasi (-)Baik
Lateralisasi (-)(-)(-)
Eutrofi
Deviasi (-)Baik
Lateralisasi (-)(-)(-)
Eutrofi
f. Badan dan anggota gerak
1) Motorik
Respirasi : simetris dalam keadaan statis dan
dinamis
Bentuk columna verterbralis : Tidak dinilai
Pergerakan columna vertebralis : Tidak dinilai
2) Sensorik kanan kiri
Eksteroseptif
Taktil + +
Nyeri + +
Suhu + +
Propioseptif
Gerak + +
Getar + +
Diskriminatif
Gramestesia + +
Barognosia + +
Topognosia + +
18
Pemeriksaan Motorik
G
N N
K
5/5/
5
4+/4+/
4+
T
n
N N
Tr
Eu Eu
N N
5/5/
5 3/3/3 N N Eu Eu
RF
+ +
RP
_ _
+ + _ _
4) Koordinasi, gait, dan keseimbangan
a) Cara berjalan : Tidak dilakukan
b) Tes Romberg : Tidak dilakukan
c) Tes Romberg dipertajam : Tidak dilakukan
g. Sistem Otonom
1) Miksi : Dalam Batas Normal
2) Defekasi : Dalam Batas Normal
19
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 22 Agustus 2017Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
PDW 13,2 10-18 %Kimia KlinikGlukosa Puasa 202 74-105 mg/dLSGOT 15 0-35 U/LSGPT 7 0-35 IU/LUreum 53,2 10-50 mg/dLKreatinin 1,92 0,45-0,75 mg/dlHDLHDL DIRECT 28 37-82 mg/dLLDL – CHOLESTEROL
150,8 <150 mg/dL
ASAM URAT 8,61 2-7 mg/dLCHOLESTROL 208 <200 Dianjurkan
200-239 Risiko Sedang>=240 Risiko Tinggi
mg/dL
TRIGLISERIDA 146 70-140 mg/dLSEROLOGIHbsAg Non Reaktif Non Reaktif -
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan SatuanHEMATOLOGIDarah lengkapHemoglobin 9,3 11,7-15,5 g/dlLekosit 13,0 3,6-11,0 RibuEritrosit 3,28 3,8-5,2 JutaHematokrit 27,6 35-47 %Trombosit 553 150-400 RibuMCV 84,1 82-98 fLMCH 28,4 27-32 PgMCHC 33,7 32-37 g/dlRDW 14,7 10-16 %MPV 7,6 7-11 mikro m3Limfosit 0,6 1,0-4,5 10^3/mikroMonosit 0,1 0,2-1,0 10^3/mikroEosinofil 0,1 0,04-0,8 10^3/mikroBasofil 0,0 0-0,2 10^3/mikroNeutrofil 12,3 1,8-7,5 10^3/mikroLimfosit % 4,5 25-40 %Monosit % 0,4 2-8 %Eosinofil % 0,4 2-4 %Basofil % 0,1 0-1 %Neutrofil % 94,6 50-70 %PCT 0,423 0,2-0,5 %
Tanggal 23 Agustus 2017Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Glukosa Sewaktu 263 74-106 mg/dL
Tanggal 24 Agustus 2017Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Glukosa Sewaktu 164 74-106 mg/dL
20
Hasil Pemeriksaan Radiologi
CT Scan kepala dengan kontras
Tanggal 23 Agustus 2017
21
Pemeriksaan MSCT SCAN Kepala dengan kontras
22
Pada lobus frontal kanan, tampak massa hipodens dengan dinding tebal, HU di
central 15 s/d 19 HU pada post kontras i.v tampak gambaran rim enhancement tebal,
irreguler, batas tegas, terukur ±AP 37,2 x LL 26,9 x CC 33,5 mm. Tampak edema
perifocal.
Sulkus kortikalis dan fissure Sylvii kanan tampak lebih sempit dibanding kiri
Tampak lesi hipodens kecil-kecil di white matter lobus frontal kiri dan thalamus
kanan
Ventrikel lateralis kanan kiri, iii dan IV relative lebar. Tampak cavum septum
pellucidum
Tampak midline shifting ke kiri
Sisterna perimesencephali tak menyempit
Pons dan serebellum baik
Kesan : Massa rim enchance tebal irregule di lobus frontal kanan terukur ±AP 37,2 x
LL 26,9 x CC 33.5 mm dengan edema perifocal
DD/High grade astrocytoma
Abscess
Infark lakuner di white matter lobus frontal kiri dan thalamus kanan
Tak tampak perdarahan maupun gambaran peningkatan tekanan intracranial
Atrophy cerebri
H. DISKUSI II
TUMOR OTAK
Tumor susunan saraf pusat ditemukan sebanyak lebih kurang 10% dari semua
proses neoplasma di seluruh tubuh, dengan frekuensi 80% berlokasi di ruang
intrakranial dan 20% di ruang kanalis spinalis. Pada umunya penderita tumor
intracranial, laki-laki lebih banyak ditemukan daripada wanita, terkecuali
meningioma. Jenis dan lokasi tumor intracranial berbeda pada anak-anak dan dewasa.
Jenis tersering pada dewasa adalah astrocytoma, sedangkan pada anak-anak adalah
medulloblastoma. Lokasi tersering pada dewasa adalah supratentorial, sedang pada
anak-anak adalah infratentorial. Proses neoplasma di susunan saraf mencakup dua
tipe, yaitu:
a. Tumor primer, yaitu tumor yang berasal dari jaringan otak sendiri yang cenderung
berkembang ditempat-tempat tertentu. Seperti ependimoma yang berlokasi di dekat
23
dinding ventrikel atau kanalis sentralis medulla spinalis, glioblastoma multiforme
kebanyakan ditemukan dilobus parietal, oligodendroma di lobus frontalis dan
spongioblastoma di korpus kalosum atau pons.
b. Tumor sekunder, yaitu tumor yang berasal dari metastasis karsinoma yang berasal
dari bagian tubuh lain. Yang paling sering ditemukan adalah metastasis karsinoma
bronkus dan prostat pada pria serta karsinoma mammae pada wanita.
Diagnosis tumor intrakranial ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi. Dengan
pemeriksaan klinis sulit menegakkan diagnosis tumor intrakranial dan membedakan
benigna atau maligna, karena gejala klinis yang ditemukan bukan saja berasal dari
massa tumor yang mendesak jaringan sekitarny, tetapi juga karena adanya gejala-
gejala yang menyesatkan serta komplikasi lainnya ynga membuat gejala klinis yang
rumit, sehingga dengan pemeriksaan klinis hanya mampu sampai taraf diagnosis
dugaan.
Etiologi
Etiologi yang spesifik terjadinya tumor otak, sama seperti tumor lainnya
diseluruh tubuh, sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Faktor etiologi yang
diduga memegang peranan terjadinya tumor otak pada manusia adalah bahan
karsinogen, virus, imunologi, keturunan, sisa-sisa embrionik, radiasi dan trauma
kepala.
Klasifikasi
Tumor intracranial dapat dibagi berdasarkan patologi dan letak dari tumor
tersebut, tatapi secara klinis pembagian menurut letak tumor lebih penting karena
akan memberikan gejala fokal sesuai dengan letak tumor disamping gejala umum
yang biasanya tidak spesifik. Berdasarkan letak tumor, tumor intracranial terbagi atas:
1. Tumor supratentorial
a. Tumor lobus serebri: tumor frontal, tumor parietal, tumor temporal,
tumor oksipital
b. Tumor hemisfer dalam (Deep hemispheric tumors): tumor ventrikel
lateral, tumor sentrum ovale, tumor basal ganglia
c. Tumor garis tengah hemisfer (Midline hemispheric tumors): tumor
korpus kalosum, tumor sella tursika, tumor ventrikel III, tumor pineal.
24
2. Tumor infratentorial
a. Tumor garis tengah: tumor ventrikel IV, tumor vermis
b. Tumor lobus serebellum
c. Tumor batang otak
d. Tumor ekstraparenkim: tumor cerebellopontin angle, tumor ganglion
gaserri, tumor basis cranii, tumor klivus
Patofisiologi
Tumor intrakranial jinak memiliki efek yang membahayakan karena berkembang
didalam rongga tengkorak yang berdinding kaku. Tumor intrakranial ganas berarti
pertumbuhan yang cepat, diferensiasi yang buruk, selularitas yang bertambah, mitosis,
nekrosis, dan proliferasi vaskular. Namun, metastasis kedaerah ekstrakranial jarang terjadi.
Gangguan neurologik pada tumor intrakranial biasanya disebabkan oleh dua faktor
yaitu gangguan fokal akibat tumor dan gangguan akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau
invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai
darah akibat tekanan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan
suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan
kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak.
Peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh bertambahnya massa dalam
tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahah sirkulasi cairan serebrospinal.
Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak
ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Tumor ganas menimbulkan
edema dalam jaringan otak sekitarnya. Mekanisme belum begitu dipahami, tetapi diduga
disebabkan oleh selisih osmotik yang menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema
akibat kerusakan sawar darah otak, semua menimbulkan peningkatan volume intrakranial dan
tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruang
subarachnoid menimbulkan hidrosefalus.
Peningkatan tekanan intrakranial akan membahayakan jiwa bila terjadi cepat.
Mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari atau berbulan-bulan untuk menjadi
efektif sehingga tidak berguna bila tekanan intrakranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi
ini bekerja menurunkan volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal, kandungan
cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak diobati
mengakibatkan terjadinya herniasi unkus atau serebelum. Herniasi unkus timbul bila girus
25
medialis lobus temporalis tergeser ke inferior melalui incisura tentorial oleh massa dalam
hemisfer otak. Herniasi menekan mesencephalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak. Kompresi medulla oblongata dan henti napas terjadi dengan cepat.
Perubahan fisiologi lain yang terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial yang cepat
adalah bradikardi progesif, hipertensi sistemik, dan gagal napas.
Gejala Klinis
Gejala klinis tumor intrakranial dibagi atas 3 kategori, yaitu gejala umum, gejala lokal
dan gejala lokal yang tidak sesuai dengan lokasi tumor.
a. Gejala Umum
Gejala umum timbul akibat peningkatan tekanan intrakranial atau proses difus dari
tumor tersebut. Tumor ganas menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor jinak.
Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan
ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis dan pada mulanya hanya
memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal
dan oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dahulu baru kemudian memberikan gejala
umum. Terdapat 4 gejala klinis umum yang berkaitan dengan tumor otak, yaitu perubahan
status mental, nyeri kepala, muntah, dan kejang.
Perubahan status mental
Gejala dini dapat samar. Ketidakmampuan pelaksanaan tugas sehari-hari, lekas
marah, emosi yang labil, inersia mental, gangguan konsentrasi, bahkan psikosis.3
Fungsi kognitif merupakan keluhan yang sering disampaikan oleh pasien kanker
dengan berbagai bentuk, mulai dari disfungsi memori ringan dan kesulitan
berkonsentrasi hinggga disorientasi, halusinasi, atau letargi.
Nyeri kepala
Nyeri kepala merupakan gejala dini tumor intrakranial pada kira-kira 20% penderita.
Sifat nyeri kepalanya berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala seolah-olah mau
meledak.3 Awalnya nyeri dapat ringan, tumpul dan episodik, kemudian bertambah
berat, tumpul atau tajam dan juga intermiten. Nyeri juga dapat disebabkan efek
samping dari obat kemoterapi. Nyeri ini lebih hebat pada pagi hari dan dapat
diperberat oleh batuk, mengejan, memiringkan kepala atau aktifitas fisik.7 Lokasi
nyeri yang unilateral dapat sesuai dengan lokasi tumornya sendri. Tumor di fossa
kranii posterior biasanya menyebabkan nyeri kepala retroaurikuler ipsilateral. Tumor
di supratentorial menyebabkan nyeri kepala pada sisi tumor, di frontal orbita,
temporal atau parietal.
26
Muntah
Muntah ini juga sering timbul pada pagi hari dan tidak berhubungan dengan makanan.
Dimana muntah ini khas yaitu proyektil dan tidak didahului oleh mual. Keadaan ini
lebih sering dijumpai pada tumor di fossa posterior.
Kejang
Kejang fokal merupakan manifestasi lain yang biasa ditemukan pada 14-15%
penderita tumor otak.7 20-50% pasien tumor otak menunjukan gejala kejang. Kejang
yang timbul pertama kali pada usia dewasa mengindikasikan adanya tumor di otak.
Kejang berkaitan tumor otak ini awalnya berupa kejang fokal (menandakan adanya
kerusakan fokal serebri) seperti pada meningioma, kemudian dapat menjadi kejang
umum yang terutama merupakan manifestasi dari glioblastoma multiforme.3 Kejang
biasanya paroxysmal, akibat defek neurologis pada korteks serebri. Kejang parsial
akibat penekanan area fokal pada otak dan menifestasi pada lokal ekstrimitas tersebut,
sedangkan kejang umum terjadi jika tumor luas pada kedua hemisfer serebri.
b. Gejala lokal (localizing signs)
1. Tumor Kortikal
Lobus frontalis
Lobus frontal memiliki berbagai fungsi penting, termasuk fungsi motorik, bahasa,
atensi, fungsi eksekutif, judgment, perencanaan (planning) dan pemecahan masalah
(problem solving). Gejala lokal yang sering timbul akibat tumor di lobus frontalis
adalah sakit kepala yang merupakan gejala dini dan muntah timbul pada tahap lanjut.
Tumor di lobus frontalis daerah prefrontal bisa memberikan gejala gangguan mental
sebelum munculnya gejala lainnya, berupa perubahan perasaan, kepribadian dan
tingkah laku serta penderita merasakan perasaan selalu senang (euforia); jadi
menyerupai gejala psikiatris. Makin besar tumomya, gejala gangguan mental ini
semakin nyata dan kompleks. Afasia motorik (gangguan bicara bahasa berupa
hilangnya kemampuan mengutarakan maksud) bisa terjadi bila tumor mengenai
daerah area Broca yang terletak di belahan kiri belakang. Reflck memegang (grasp
reflex) juga khas untuk tumor di lobus frontalis ini. Pada stadium yang lebih lanjut
bisa terjadi gangguan pembauan (anosmia), gangguan visual, gangguan keseimbangan
dalam berjalan, gangguan bola mata karena kelumpuhan sarafnya serta edema papil.
Tumor di daerah presentral bisa menimbulkan gejala kejang fokal pada sisi
kontralateral. Kelumpuhan motorik timbul bila terjadi destruksi atau penekanan oleh
tumor terhadap jalur kortikospinal.
27
Lobus temporalis
Tumor lobus temporalis bila berada di daerah unkus akan menimbulkan gejala
halusinasi pembauan dan pengecapan (uncinate fits) disertai gerakan gerakan bibir
dan lidah (mengecapngecap). Bila lesinya destruktif akan menimbulkan gangguan
pembauan dan pengecapan walau tidak sampai total. Tumor di lobus temporal bagian
media bisa menimbulkan gejala "seperti pernah mengalami kejadian semacam ini
sebelumnya" (deja vu). Bisa juga terjadi gangguan kesadaran sesaat (misalnya selagi
penderita berjalan kaki) tapi tidak sampai terjatuh. Gangguan emosi berupa rasa
takut/panik bisa juga muncul. Berkurangnya pendengaran bisa terjadi pada tumor
yang mengenai korteks di bagian belakang lobus temporal. Tumor di hemisfer
dominan bagian belakang (area Wcrnicke) menimbulkan gejala afasia sensoris, yaitu
kehilangan kemampuan memahami maksud pembicaraan orang lain. Tumor yang
berkembang lebih lanjut akan melibatkan jalur kortikospinal sehingga menyebabkan
kelumpuhan anggota badan sisi kontralateral. Bisa juga terjadi herniasi dan menekan
batang otak sehingga menyebabkan gangguan pada beberapa saraf kranial, misalnya
terjadi dilatasi pupil sesisi yang menetap atau menghilangkan reflek kornea.
Lobus parietalis
Tumor di lobus parietalis pada umumnya akan memberikan gejala gangguan sensoris.
Lesi iritatif bisa menimbulkan gejala parestesi (rasa tebal, kesemutan atau seperti
terkena aliran listrik) di satu lokasi, yang kemudian bisa menyebar ke lokasi lainnya.
Lesi destruktif akan menyebabkan hilangnya berbagai bentuk sensasi, tapi jarang
anestesi total. Gangguan diskriminasi terhadap rangsang taktil, astereognosis (tak bisa
mengenali bentuk benda yang ditaruh di tangan) merupakan bentuk-bentuk gejala
yang sering timbul. Tumor yang tumbuh ke arah lebih dalam bisa menimbulkan gejala
hiperestesi, seperti merasakan rangsang yang berlebih padahal rangsang yang
sebenarnya terjadi hanya ringan. Atau bisa juga mengenai jalur optik (radiatio optica)
sehingga timbul gangguan penglihatan sebagian. Tumor pada girus angularis kiri bisa
menimbulkan gejala yang disebut aleksia (kehilangan kemampuan memahami
katakata tertulis). Sedang pada yang kanan menyebabkan gejala berupa gangguan
dalam menyadari adanya sisi sebelah dari tubuh. Setengah kasus pasien dengan
tumor parietal mengalami kejang, yang umumnya berupa tipe motorik atau sensorik
sederhana.
28
Lobus oksipital
Tumor di lobus oksipitalis memberikan gejala awal terutama nyeri kepala Tumor
lobus oksipital memberikan gejala gangguan visual. Defek lapangan pandang yang
paling sering adalah hemianopsia homonim kongruen yang melibatkan makula.
Kejang oksipital fokal umumnya ditandai oleh adanya episode penglihatan kilatan
cahaya, warna-warni, atau bentuk-bentuk pola geometris secara kontralateral. Adanya
gangguan visuospatial terhadap benda bergerak menuju hemiperimeter yang
berlawanan menunjukan adanya kerterlibatan pada pusat penatapan oksipital
(occipital gaze center). Kadang kadang dapat pula terjadi metamorphosia (distorsi
pada bentuk gambaran visual). Lesi di hemisfer dominan bisa menimbulkan gejala
tidak mengenal benda yang dilihat (visual object agnosia) dan kadang-kadang tidak
mengenal warna (agnosia warna), juga tidak mengenal wajah orang lain
(prosopagnosia).
Gambar 2. Defisit neurologfis sesuai dengan lokasi tumor
29
c. Gejala lokal yang tidak sesuai dengan lokasi tumor (False localizing signs)
Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai dengan
fungsi tempat yang didudukinya. Keadaan ini sering sebagai akibat dari peningkatan tekanan
intrakranial. Saat tekanan meningkat pada beberapa kompartemen di otak, tumor mulai
memencarkan jaringan, namun pemencaran ini juga terjadi di tempat yang jauh dari tumor,
keadaan inilah yang memberikan gambaran false localizing signs, yaitu:
Kelumpuhan nervus kranialis, yang sering terkena adalah nervus 6, sebab nervus ini
merupakan nervus yang paling panjang di intrakranial. Hal ini juga terjadi akibat
penekanan ligamentum petrosal akibat peningkatan TIK.
Invasi tumor difus pada lobus frontal atau korpus kalosum menyebabkan ataksia pada
pola jalan (frontal ataxia) yang sukar dibedakan dengan gejala ataxia serebelar. Dismetria
pada anggota gerak yang mengalami kelemahan dan disartria kortikal dapat pula salah
didiagnosis sebagai penyakit serebelar. Nistagmus jarang ditemukan pada tumor frontal
atau kalosal, dan tidak adanya nistagmus pada lesi supratentorial dapat merupakan titik
yang penting untuk membedakannya.
Kompresi pada pedunkulus serebri oleh tepi bebas tentorium serebeli yang sifatnya
kontralateral terhadap hemisfer serebri yang mengalami herniasi (sindroma Kernohan’s
notch) dapat menyebabkan hemiparesis terlokalisir palsu yang bersifat ipsilateral lesi.
Kompresi atau invasi dan status hiperkoagulabilitas yang berhubungan dengan sifat
keganasan atau terapinya dapat menyebabkan infark atau perdarahan yang jauh dari
lokasi tumor. Sebagai contohnya, infark korteks oksipital yang dapat terjadi akibat
kompresi arteri serebral posterior selama herniasi transtentorial.
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita tumor
intrakranial yaitu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti. Dari
anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita, misalnya ada
tidaknya nyeri kepala, muntah, dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik
mungkin ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan defisit lapangan pandang.
Pemeriksaan Penunjang
Setelah diagnosis klinik ditentukan, harus dilakukan pemeriksaan yang spesifik untuk
memperkuat diagnosis dan mengetahui letak tumor. Bagi seorang ahli bedah saraf dalam
menegakkan diagnosis tumor intrakranial adalah dengan mengetahui informasi jenis tumor,
karakteristik, lokasi, batas, hubungannya dengan system ventrikel, dan hubungannya dengan
struktur vital otak, misalnya sirkulus willisi dan hipotalamus. Selain itu juga diperlukan
30
pemeriksaan radiologi canggih yang invasif maupun non invasif. Pemeriksaan non invasif
mencakup CT scan dan MRI, bila perlu diberikan kontras agar dapat mengetahui batas-batas
tumor. CT scan dan MRI memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur
investigasi awal ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda
penyakit otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari sindrom atau gejala-
gejala tumor. Kadang sulit membedakan tumor dari abses ataupun proses lainnya.
Pemeriksaan invasif seperti angiografi serebral dapat memberikan gambaran sistem
peredaran darah tumor dan hubungannya dengan sistem pembuluh darah sirkulus willisi.
Selain itu, dapat mengetahui hubungan massa tumor dengan vena otak dan sinus duramater.
Foto polos dada dan pemeriksaan lainnya juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
tumor berasal dari suatu metastasis yang akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun
multiple pada otak.
Study Imaging
Gambar 3. CT Scan Low-grade Astrocytoma dan karakteristiknya
Gambar 4. MRI Low-grade Astrocytoma pada lobus temporalis kanan
31
Gambar 5. CT Scan Glioblastoma (Malignant Astrocytoma) dan karakteristiknya
Gambar 6. MRI potongan koronal Glioblastoma (Malignant Astrocytoma)
menunjukkan massa heterogen pada lobus temporal dextra yang menekan ventrikel III
dan lateral.
Gambar 7. Meningioma dan karakteristiknya
32
Gambar 8. MRI potongan koronal Meningioma
Gambar 9. Ependymoma dan karakteristiknya
Gambar 10. Oligodendroglioma dan karakteristiknya
33
Gambar 11. Oligodendroglioma (A) CT Scan tanpa kontras (B) MRI pada lobus
temporalis kiri
Gambar 12. Metastasis tumor otak dan karakteristiknya
Terapi
Penatalaksanaan pasien dengan tumor intrakranial meliputi:
a. Simptomatik
Antikonvulsi
Mengontrol epilepsi merupakan bagian penting dari tatalaksana pasien dengan tumor
otak.
Steroid
34
Jika pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan gambaran radiologi
memperlihatkan adanya edema serebri, maka dexametason dapat digunakan dengan
keuntungan yang signifikan. Rasa tidak menyenangkan pada pasien akan dikurangi
dan kadang-kadang juga berbahaya, gejala dan tanda status intrakranial ini akan lebih
aman bila intervensi bedah saraf akan diambil. Steroid secara langsung dapat
mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial, namun tidak berefek langsung
terhadap tumor. Dosis deksametason 12 mg intravena diikuti 4 mg. q.i.d. sering
mengurangi perburukan klinis yang progresif dalam beberapa jam. Setelah beberapa
hari pengobatan, dosis dikurangi bertahap untuk menekan risiko efek samping yang
tidak diharapkan.
b. Etiologik (pembedahan)
Complete removal
Meningioma dan tumor-tumor kelenjar tidak mempan dengan terapi medis, neuroma
akustik dan beberapa metastase padat di berbagai regio otak dapat diangkat total.
Terkadang, operasi berlangsung lama dan sulit jika tumor jinak tersebut relatif sulit
dijangkau.
Partial removal
Glioma di lobus frontal, oksipital dan temporal dapat diangkat dengan operasi radical
debulking. Terkadang tumor jinak tidak dapat diangkat secara keseluruhan karena
posisi tumor atau psikis pasien.
c. Radioterapi
Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi total sebesar 5000-
6000 rad tiap fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan dari radioterapi hiperfraksi ini
didasarkan pada alasan bahwa sel-sel normal lebih mampu memperbaiki kerusakan subletal
dibandingkan sel-sel tumor dengan dosis tersebut. Radioterapi akan lebih efisien jika
dikombinasikan dengan kemoterapi intensif.
Efek radioterapi tergantung dosis total dan durasi pengobatan. Harus terdapat
keseimbangan terhadap risiko pada struktur normal sekitar. Umumnya, makin cepat sel
membelah, makin besar sensitivitasnya. Radioterapi terutama bernilai pada pengelolaan
tumor ganas, seperti astrositoma maligna, metastasis, medulloblastoma, dan germinoma.
Namun juga berperan penting pada beberapa tumor jinak, seperti adenoma pituitary dan
kraniofaringioma. Karena beberapa tumor menyebar melalui jalur cairan serebrospinal
seperti medulloblastoma, iradiasi seluruh aksis neural dapat menekan risiko terjadinya
rekurensi dalam selang waktu singkat.
35
d. Kemoterapi
Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi tetap
diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada tumor-tumor tertentu
seperti meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke batang otak, terapi
tambahan berupa kemoterapi dan regimen radioterapi dapat membantu sebagai terapi paliatif.
Obat kemoterapeutik ideal adalah membunuh sel tumor secara selektif, namun respon
sel tumor berkaitan langsung dengan dosis. Tidak dapat dihindarkan bahwa dosis tinggi
menyebabkan toksisitas pada sum-sum tulang. Dalam praktek, dosis yang tidak adekuat dapat
menimbulkan depresi sum-sum tulang seperti leukopenia.
e. Imunoterapi
Imunoterapi dengan menggunakan teknik produksi antibodi monoklonal memberi
harapan yang lebih baik dalam mengatasi tumor ganas, walau pengangkutan dan lokasinya
masih merupakan masalah. Antibodi monoklonal berperan sebagai karier, yang membawa
obat sitotoksik, toksin atau radionuklida langsung ke daerah tumor. Antibodi monoklonal
dapat mengidentifikasi antigen yang terdapat pada sel tumor.
Terapi Low-grade Astrocytoma
Pengobatan low-grade astrocytoma rumit dan kontroversial. Pengobatan yang dianjurkan
adalah operasi dan radioterapi, tetapi masalah utamanya adalah waktu. Secara optimal,
pengobatan low-grade astrocytoma akan: (1) memperbaiki gejala saat ini, dan (2)
memperlambat atau mencegah transformasi ke arah high-grade neoplasma.
Terapi operatif
Tidak studi yang menilai efektivitas terapi operatif pada pasien dengan low-grade
astrocytoma. Studi retrospektif memberikan hasil yang imbang. Beberapa jelas
menunjukkan bahwa eksisi total dapat meningkatkan kelangsungan hidup, sedangkan
penelitian lain gagal untuk menunjukkan hubungan ini.
Radioterapi
Radioterapi fokal dikatakan merupakan terapi andalan untuk mengobati astrocytoma.
Namun, pada praktiknya pasien low-grade astrocytoma dengan kejang yang dapat
terkontrol dengan antikonvulsan, apabila tidak terdapat deficit neurologis dan disertai
dengan pengawasan tumor dengan pemeriksaan imaging serial, pelaksanaan
radioterapi dapat ditunda. Alasan utama penundaan pelaksanaan radioterapi adalah
adanya potensi pada pasien yang menerima radioterapi untuk mengalami
neurotoksisitas yang signifikan sebagai efek samping dari pemberian radioterapi.
36
Selain itu, adanya pendapat yang menyatakan bahwa pemberian radioterapi dapat
menyebabkan disfungsi kognitif pada pasiennya, namun hal ini masih kontroversial.
Untuk saat ini, bukti tentang pentingnya dari intervensi langsung sangat
kurang sehingga banyak klinisi yang menerapkan watch and wait pada pasiennya
sebagai terapi.
Watch and wait
Yang dimaksud dengan watch and wait adalah pendekatan yang dilakukan dengan
memonitor secara ketat kondisi pasien tanpa memberikan terapi apapun sampai
terdapat perburukan gejala, atau adanya perubahan hasil pemeriksaan imaging. Wacth
and wait diindikasikan untuk (1) tumor otak jenis low-grade glioma (astrocytoma
grade 1 atau grade 2, oligodendroglioma) dan meningioma grade 1. Langkah watch
and wait dipilih karena pada tumor jenis tersebut biasanya tumbuh secara lambat,
jarang menyebar dan tidak menimbulkan atau hanya menimbulkan sedikit gejala
selama beberapa tahun; (2) pada kasus tumor otak dengan lokasi yang sulit untuk
dilakukan operasi. Pada kasus tersebut, upaya operasi akan memberikan risiko yang
lebih besar dan lebih berbahaya daripada tidak melakukan apapun.
Dengan berkembangnya fasilitas imaging saat ini, memudahkan dilakukannya watch
and wait. Watch and wait terutama dilakukan dengan menggunakan MRI karena
memiliki akurasi tinggi terhadap ukuran dan gambaran tumor serta dapat dilakukan
berulang-ulang tanpa harus terpajan radiasi yang berulang. Watch and wait dilakukan
dengan melakukan check-up/scan regular setiap 3,6 atau 12 bulan. Terapi intervensi
hanya akan dilakukan atau dipertimbangkan jika (1) terdapat peningkatan berarti dari
ukuran tumor, (2) adanya perburukan gejala yang mempengaruhi kehidupan sehari-
hari, (3) tumor berubah menjadi jenis high-grade.
Prognosis
Tumor intrakranial tergantung pada jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di negara-
negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan
dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun berkisar 50-60 % dan angka
ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30-40 %. Terapi tumor intrakranial di Indonesia secara
umum prognosisnya masih buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada
beberapa rumah sakit di Jakarta.
Tumor otak umumnya memberikan prognosis yang jelek. Tabel berikut
memperlihatkan kesimpulan akhir untuk pasien dengan beberapa keganasan pada otak
37
yang sering dijumpai.
I. RESUME
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, GCS 15
(E4M6V5), Tekanan darah : 110/70mmHg, Nadi : 88x/menit, RR: 21 x/menit, Suhu:
36,4 oC. Berdasarkan pemeriksaan status neurologis didapatkan adanya hemiparese
sinistra. Hasil pemeriksaan laboratorium antara lain anemia normositik, suspek infeksi
bakteri, diabetes mellitus, dislipidemia, uremia, suspek ginjal. Pada pemeriksaan CT
Scan kepala dengan kontras didapatkan gambaran Massa rim enchance tebal irregule
di lous frontal kanan terukur ±AP 37,2 x LL 26,9 x CC 33.5 mm dengan edema
perifocal dengan diagnosis banding High grade astrocytoma, abscess. Infark lakuner
di white matter lobus frontal kiri dan thalamus kanan. Tak tampak perdarahan
maupun gambaran peningkatan tekanan intracranial Atrophy cerebri
J. DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis : kejang parsial generalise sekunder akut, hemiparese
sinistra, mual, muntah.
Diagnosis Topis : Intracranial
Diagnosis Etiologi : SOP : intrakranial
Hasil CT Scan : astrocytoma dd abses cerebri
K. DISKUSI III
Pada kasus ini pasien perempuan usia 58 tahun di diagnosa awal dengan
38
Kejang Parsial Sekunder Generalize dd SOP dd Stroke berdasarkan hasil anamnesis
yang telah dilakukan secara allo- dan autoanamnesis. Selanjutnya dilakukan
pemeriksaan fisik mulai dari vital sign sampai dengan Head to Toe. Pada
pemeriksaan kekuatan motorik, sensorik dan reflek fisiologis serta pemeriksaan
psikiatrik didapatkan hasil hemiparese sinistra. Menurut literatur, CT Scan kepala
merupakan salah satu alat diagnostic tumor intracranial yang aman dan tidak invasive.
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain MRI,
arteriografi dan EEG.
Planning
MRI
Pemeriksaan patologi anatomi
Terapi :
Non Medika Mentosa :
IVFD Asering 20 Tpm
Fisioterapi rutin
Mobilisasi bertahap
Medikamentosa :
Inj. Citicolin 2x500
Inj. Ranitidin 2x1
Inj. Dexametason 4x1
Inj. Meticobalamin 1x1
Inj. Ondansetron 3x1
Feniton 2x1
39
Edukasi :
a) Minum obat dan kontrol ke dokter secara teratur.
b) Menjalani fisioterapi secara rutin sesuai jadwal.
c) Edukasi keluarga.
Monitoring :
a) Keadaan umum
b) GCS
c) Tanda vital
d) Defisit neurologis
e) Pemeriksaan penunjang
Prognosis
Death : Dubia
Disease : Dubia
Dissability : Dubia
Discomfort : Dubia
Dissatisfaction : Dubia
Distutition : Dubia
PENATALAKSAAN
Terapi Konservatif dan Simptomatik
Tujuan terapi konservatif dan simptomatik adalah mengurangi gejala yang terjadi saat ini
sebagai akibat dari adanya massa tumor dan meningkatnya tekanan intracranial.
1. Dexamethasone
Kortikosteroid dapat meringankan gejala tumor otak secara cepat dengan
mekanisme mengurangi edema peritumor dan menurunkan tekanan intracranial (TIK).
Obat standar yang digunakan adalah dexamethasone, merupakan steroid jenis
glukokortikoid sintetis yang memiliki efek anti inflamasi yang sangat kuat. Obat ini
20 – 30 kali lebih kuat daripada hidrokortison dan 5-7 kali lebih kuat daripada
prednisone. Dexamethasone bekerja dengan menekan migrasi neutrophil, mengurangi
produksi prostaglandin dan menyebabkan dilatasi kapiler sehingga akan mengurangi
respon tubuh terhadap peradangan (inflamasi).
2. Phenitoin
40
Phenitoin dapat menjadi obat pilihan untuk hampir semua jenis kejang. Fenitoin
berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan saraf pusat. Sifat
antikonvulsan fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus
ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada
saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem
konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindah anion melintasi
membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa
Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih
secara sempurna. Gejala aura sensorik dan gejala prodromal lainnya tidak dapat
dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin
3. Citicolin
Citicolin merupakan prekusor phospholipid yang bekerja menghambat
deposisi beta amyloid di otak, membentuk acetylcoline sehingga mneingkatkan
neurotransmitter norepinefrin, dopamine, dan serotonin serta menghambat aktivitas
fosfolipase dan sfingomielinase dan memberikan efek neuriproteksi. Bioavailabilitas
hamper 90% (per oral) dihidrolisis di dalam usus dan siap diserap dalam bentuk
choline dan cyctidine dan kembali dibentuk menjadi citicolin. Citicolin akan
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk sel otak.
4. Ranitidin
Antagonis respetor H2 yang bekerja menghambat sekresi asam lambung. Pada
pemberian im/iv kadar dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50%
perangsangan sekresi asam lambung adalah 36094 mg/ml. kadar tersebut bertahan
selama 6-8 jam. Ranitidine diabsorbsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi
puncak plasma dicapai 2-3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. absorpsi tidak
dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida. Waktu paruh 2,5 – 3jam pada
pemberian oral dan disekresi melalui urin.
5. Meticobalamin
Berfungsi untuk memfasilitasi proses metilasi t-RNA yang merupakan proses
pening dalam sintesis protein dan perubahan homosistein menjadi metionin. Sehingga
dapat meningkatkan penyembuhan pada kelemahan otot dan menunjukkan efek
perbaikan kerusakan jaringan saraf. Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal sel
saraf.
6. Ondansetron
41
Obat yang digunakan untuk mencegah serta mengobati mual dan muntah. Obat
golongan antiemetik.
Prognosis
Pasien dengan low-grade astrocytoma bertahan hidup rata-rata 5 tahun. Kisaran
survival rate sangat luas, dengan beberapa pasien mengalah dalam waktu satu tahun dan lain-
lain yang masih hidup satu dekade atau lebih. Sebagian besar meninggal karena tumor yang
telah ditransformasikan ke kelas yang lebih tinggi.
Pencegahan
Faktor genetic tidak dapat dicegah dan dihindari, tetapi perubahan gaya hidup dapat
membantu mencegah berkembangnya penyakit ini. Pencegahan dapat dilakukan dengan
memodifikasi faktor risiko meliputi mengatur pola makan, konsumsi makanan yang sehat,
olahraga teratur.
42
FOLLOW UPTanggal S O A P Keterangan
Senin, 21 Agustus
2017
I
Kelemahan pada anggota gerak sebelah
kiri (+)
TD : 110/70 mmHgN : 82x/menit
RR : 20x/menitS : 36oC
Kesadaran : CM
M :5/5/5 4/4/15/5/5 1/1/1
S :N NN N
Kejang Parsial Sekunder
Generalize dd SOP dd Stroke
I
Hemiparesis sinistra
Inj. Citicolin 2x500
Ranitidin 2x1Dexametason
4x1Meticobalamin
1x1Ondansetron
3x1
PO: Feniton 2x1
Saran : Kalau perlu NGT
Selasa, 22 Agustus
2017
II
Kelemahan pada anggota gerak sebelah
kiri (+)Mual (+)
Muntah (-)Pusing (+)Kejang (-)
TD : 120/70 mmHgN : 80x/menit
RR : 20x/menitS : 36oC
Kesadaran : CM
M :5/5/5 4/4/15/5/5 1/1/1
S :N NN N
Kejang Parsial Sekunder
Generalize dd SOP dd Stroke
II
Hemiparesis sinistra
Inj. Citicolin 2x500
Ranitidin 2x1Dexametason
4x1Meticobalamin
1x1Ondansetron
3x1
PO: Feniton 2x1
Terapi LanjutCT Scan dengan
kontras
Rabu, 23 Agustus
2017
III
Kelemahan pada anggota gerak sebelah
kiri (+)Mual (+)
Muntah (-)Pusing (+)Kejang (-)
TD : 110/70 mmHgN : 85x/menit
RR : 20x/menitS : 37oC
Kesadaran : CM
M :5/5/5 4/4/45/5/5 2/2/2
S :N NN N
Kejang Parsial Sekunder
generalize dd SOP dd Stroke
III
Hemiparesis sinistra
Inj. Citicolin 2x500
Ranitidin 2x1Dexametason
4x1Meticobalamin
1x1Ondansetron
3x1
PO: Feniton 2x1
Tunggu hasil CT Scan
Kamis, 24 Agustus
2017
IV
Kelemahan pada anggota gerak sebelah
kiri sudah berkurang (+)
Mual (-)Muntah (-)Pusing (-)Kejang (-)
TD : 110/70 mmHgN : 60x/menit
RR : 20x/menitS : 36,2oC
Kesadaran : CM
M :5/5/5 4+/4+/4+5/5/5 3/3/3
S :N NN N
Kejang Parsial Sekunder
generalize dd SOP dd Stroke
IV
Hemiparesis sinistra
Inj. Citicolin 2x500
Ranitidin 2x1Dexametason
4x1Meticobalamin
1x1Ondansetron
3x1
PO: Feniton 2x1
Hasil CT Scan sudah keluar :
Astrocytoma dd Abses cerebri
Saraf lepas Raber
PO :Brainact 2x500Dexametasone
3x2 tabRanitidin 2x1Ikapten 2x100
43
LAMPIRAN
44
45
46
DAFTAR PUSTAKA
1. SPM Neurologi2. Hauser, S.L. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine 17th edition. 2010. San Fransisco: McGraw- Hill.3. Basuki, A., Dian, S. Neurology in daily practice. 2010. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Saraf Universitas Padjajaran.4. Silbernagl, S. Lang, F. Color Atlas of Pathophysiology. 2000. Thieme.5. Degirmenci, Y. Kececi, H. Prolonged Todd Paralysis: A Rare Case of Post-ictal Motor Phenomenon. Journal of Neurology and Neuroscience. Vol.7, no.3. 2016.
47