109
VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN
8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove
Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan
terhadap faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas kebijakan
di Kabupaten Seram Bagian Barat yang didasarkan pada persepsi masing-masing
stakeholders. Kedua tahap analisis yang telah dilakukan sebelumnya memberikan
gambaran tentang existing condition pengelolaan ekosistem hutan mangrove di
wilayah studi pada saat ini. AHP bertujuan untuk mendapatkan pilihan langkah
operasional dari pandangan stakeholders terkait dengan pengelolaan ekosistem
tersebut. Adapun faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas
kebijakan didasarkan pada hasil analisis nilai keberlanjutan, yang menunjukkan
indikator-indikator sensitif dalam pengelolaan hutan mangrove di kabupaten Seram
Bagian Barat.
Dalam analisis AHP dilakukan penyederhanaan masalah yang kompleks dan
tidak terstruktur ke dalam suatu hirarkhi yang digambarkan dalam bentuk grafis yang
telah dikelompokkan dalam beberapa level fokus/tujuan, aktor, dimensi, faktor dan
kebijakan. Indikator-indikator sensitif berdasarkan analisis nilai indeks keberlanjutan
merupakan faktor pendukung dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Struktur
hirarkhi pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian
Barat Maluku dapat dilihat pada Gambar 22.
110
Gambar 22. Struktur Hirarkhi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan
Berdasarkan perhitungan nilai pada tiap level AHP, diperoleh hasil sebagai
berikut :
1. Peran Aktor/stakeholder
Terdapat 4 stakeholders ( pemerintah, masyarakat, LSM, peneliti) yang
berperan dalam pengambilan keputusan pengelolaan ekosistem hutan mangrove
berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Pentingnya peran
stakeholders dalam penentuan alternatif kebijakan menurut AHP disajikan pada Tabel
13.
Tabel 13. Peranan Stakeholders Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat
No Stakeholders Nilai 1 2 3 4
Pemerintah Masyarakat Peneliti LSM
0,542 0,299 0,065 0,094
Kebijakan Konservasi (0,664)
Wisata pantai (0,234)
Budidaya perikanan (0,103)
Pemerintah (0,542)
Masyarakat (0,299)
Peneliti (0,065)
LSM (0,094)
Inventarisasi data
(0,053)
Perubahan habitat (0,189)
Struktur relung komunitas (0,059)
Zonasi mangrove (0,077)
Fokus/Tujuan
Aktor
Dimensi
Faktor Keterlibatan stakeholder (0,046)
Akses masyarakat (0,210)
Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan
(1,00)
Ekologi (0,234)
Sosial (0,694)
Ekonomi (0,073)
Kerusakan SDH (0,366)
111
Berdasarkan Tabel 13, peranan pemerintah (0,542) dalam penentuan alternatif
kebijakan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan mangrove
berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Peran pemerintah sangat diharapkan
sebagai motivator dan fasilitator dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan.
Pemerintah kabupaten dan instansi terkait diharapkan dapat menyelaraskan
tujuan dan sasaran yang tepat dalam merumuskan keputusan perencanaan pengelolaan
ekosistem hutan mangrove. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi yang bersifat
komprehensif dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan.
6. Hirarkhi dimensi menurut stakeholder
Berdasarkan hasil analisis, masing-masing aktor memiliki perbedaan prioritas
dalam penentuan dimensi. Hirarkhi dimensi menurut aktor disajikan pada Tabel 14.
Berdasarkan Tabel 14, dimensi sosial merupakan prioritas utama dalam
penentuan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di
Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku.
Tabel 14. Hirarkhi Dimensi Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat
Dimensi Aktor 1 2 3 4
Ekologi 0,293 0,293 0,195 0,153 Sosial 0,641 0,641 0,717 0,777 Ekonomi 0,067 0,067 0,088 0,077
Keterangan : Aktor : 1 = pemerintah; 2= masyarakat; 3= peneliti; 4= LSM
Hasil sintesis dari aktor menunjukkan bahwa hirarkhi dimensi dalam
pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian
Barat Maluku adalah : dimensi sosial (0,694), dimensi ekologi (0,234) dan dimensi
ekonomi (0,073). Dimensi yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ekosistem
hutan mangrove berkelanjutan adalah dimensi sosial. Hal ini sesuai dengan hasil
analisis nilai keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove yang menunjukkan bahwa
status nilai dimensi sosial tidak berkelanjutan, sehingga perlu diperbaiki semua
indikator yang turut memberikan kontribusinya terhadap dimensi tersebut.
112
7. Hirarkhi faktor berdasarkan dimensi
Berdasarkan hasil analisis, masing-masing dimensi memiliki perbedaan
prioritas dalam penentuan faktor pendukung. Hirarkhi faktor pendukung menurut
stakeholders disajikan pada Tabel 15. Dari 7 faktor pendukung dalam penentuan
alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan, diketahui hirarkhi
faktor pendukung tersebut adalah : kerusakan sumberdaya hutan, akses masyarakat
lokal, perubahan keragaman habitat; zonasi pemanfaatan lahan mangrove; struktur
relung komunitas; hasil inventarisasi pemanfataan mangrove dan keterlibatan
stakeholder. Dari Tabel 15 diketahui, bahwa berdasarkan ketiga dimensi yang
dianalisis, faktor kerusakan sumberdaya hutan (0,366) merupakan faktor pendukung
utama yang harus diperhatikan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di
Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku.
Hasil sintesis dari dimensi menunjukkan bahwa prioritas faktor pendukung
dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat
Maluku adalah : kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat (0,366); akses
masyarakat lokal (0,210), perubahan keragaman habitat (0,189), zonasi pemanfaatan
lahan mangrove (0,077); struktur relung komunitas (0,059); hasil inventarisasi
pemanfataan mangrove (0,053); dan keterlibatan stakeholder (0,046). Faktor
kerusakan sumberdaya hutan sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan
ekosistem hutan mangrove.
Tingginya bobot yang diberikan oleh faktor kerusakan sumberdaya hutan
memberikan pengertian bahwa kerusakan sumberdaya hutan perlu mendapat prioritas
utama untuk diperhatikan, mengingat hasil analisis perubahan penutupan lahan yang
menunjukkan besarnya tingkat penyusutan yang terjadi selama kurun waktu dua
tahun sebanyak 7,4 % atau 174 ha di kabupaten tersebut. Dengan demikian dalam
upaya mempertahankan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan diperlukan upaya
konkrit dari pemerintah dalam meminimalisir tingkat kerusakan tersebut.
113
Tabel 15. Hirarkhi Faktor Pendukung Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat
Faktor Pendukung Dimensi 1 2 3
1 2 3 4 5 6 7
Zonasi pemanfaatan lahan mangrove Kerusakan sumberdaya hutan Keterlibatan stakeholder Akses masyarakat lokal Hasil inventarisasi pemanfaatan mangrove Perubahan keragaman habitat Struktur relung komunitas
0,074
0,373
0,062
0,254 0,040
0,123
0,073
0,094
0,333
0,041
0,195 0,048
0,232
0,057
0,064
0,391
0,036
0,180 0,070
0,213
0,047
Keterangan : Dimensi : 1 = sosial; 2= ekonomi; 3 = ekologi
8. Hirarkhi alternatif kebijakan berdasarkan faktor pendukung
Kebijakan sistem pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan sangat
ditentukan oleh berbagai faktor pendukung dalam pengelolaannya. Oleh karena itu
berdasarkan hasil AHP ditentukan tiga alternatif kebijakan sebagai berikut :
1. Alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan konservasi.
Penetapan rencana kawasan konservasi yang didasarkan pada potensi
ekosistem pesisir yang meliput i :
• Kawasan Hutan Mangrove pada Kecamatan Seram Barat pada Teluk Piru, Teluk
Kotania dan Teluk Pelita Jaya dengan cakupan luasan sebesar 1427,2 Ha. Dengan
cakupan luasan areal komunitas mangrove di perairan ini diperkirakan dapat
menunjang kehidupan berbagai biota laut yang hidup berasosiasi dengan
komunitas hutan bakau serta dapat memberikan kontribusi unsur hara yang sangat
signifikan bagi keberadaan perairan sekitar.
• Kawasan hutan mangrove pada Kecamatan Huamual Belakang dengan luasan
hutan mangrove 745,1 ha.
114
• Kawasan Hutan Mangrove pada Kecamatan Kairatu dengan luasan mencapai 17
Ha. Dengan cakupan luasan areal komunitas mangrove di perairan ini
diperkirakan dapat menunjang kehidupan berbagai organisme laut.
2. Alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan wisata pantai.
Berdasarkan kondisi biofisik dan kehadiran habitat utama dengan disertai
keanekaragaman sumberdaya hayati di dalamnya maka ekosistem hutan mangrove di
Kabupaten Seram Bagian Barat layak dikembangkan menjadi daerah wisata pantai.
Kondisi ekosistem hutan mangrove yang memiliki keindahan pesisir pantai, terumbu
karang dan keragaman biota yang cukup tinggi, sehingga memberikan nuansa
panorama pesisir dan bawah laut yang unik dan menarik.
3. Alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan budidaya perikanan.
Secara keseluruhan kawasan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat
khususnya Kecamatan Seram Barat dapat digunakan untuk kegiatan budidaya
perikanan. Pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan budidaya perikanan lebih
diprioritaskan pada Teluk Kotania yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil dan
teluk-teluk yang terlindung.
Penentuan hirarkhi alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem hutan
mangrove berkelanjutan ditentukan berdasarkan faktor pendukung. Hirarkhi alternatif
kebijakan berdasarkan faktor pendukung disajikan pada Tabel 16.
Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa alternatif kebijakan konservasi
dianggap paling memungkinkan untuk dilaksanakan. Hasil sintesis dari ketujuh
faktor pendukung di atas, menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang dapat
diaplikasikan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram
Bagian Barat Maluku yaitu : konservasi 0,664 (66,4%); budidaya perikanan 0,234
(23,4%) dan wisata pantai 0,103 (10,3%) (Gambar 23).
115
Tabel 16. Hirarkhi Alternatif Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat
No
Alternatif kebijakan
Faktor 1 2 3 4 5 6 7
1 2 3
Budidaya perikanan Konservasi Wisata pantai
0,327 0,260 0,413
0,171 0,750 0,078
0,199 0,733 0,068
0,297 0,645 0,058
0,236 0,682 0,082
0,297 0,645 0,058
0,123 0,707 0,170
Keterangan : 1= zonasi pemanfatan lahan mangrove ; 2= kerusakan sumberdaya hutan; 3= keterlibatan stakeholder; 4 = akses masyarakat lokal; 5 = hasil inventarisasi pemanfataan mangrove; 6 = perubahan keragaman habitat; 7= struktur relung komunitas
Hasil analisis AHP yang menunjukkan prioritas kebijakan dalam pengelolaan
hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku, dapat
dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Grafik Prioritas Kebijakan Pengelolaan Hutan mangrove
116
Kebijakan Konservasi
Hasil AHP menunjukkan bahwa kebijakan konservasi (66,4%) merupakan
prioritas pertama dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten
Seram Bagian Barat Maluku.
Arahan kebijakan konservasi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah
sebagai berikut :
1. Perlunya konservasi hutan mangrove sesuai dengan potensi dan keanekaragaman
sumberdaya hutan yang cukup tinggi.
2. Konservasi hutan mangrove diarahkan pada program rehabilitasi mangrove pada
lahan yang mengalami kerusakan fisik.
Konservasi merupakan kebijakan utama yang diarahkan untuk pengelolaan
ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat dengan bobot 66,4%.
Hal ini mengindikasikan bahwa ekosistem hutan mangrove ditetapkan sebagai
kawasan konservasi. Pentingnya dilakukan upaya konservasi ekosistem hutan
mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat mengingat potensi sumberdaya
perikanan bernilai ekonomi tinggi yang dijumpai pada ekosistem mangrove pada
setiap wilayah di Kabupaten Seram Bagian Barat. Selain itu mangrove juga
mempunyai fungsi fisik yaitu sebagai pelindung pantai dari kemungkinan erosi,
abrasi dan tsunami.
Guna kepentingan konservasi ekosistem mangrove di daerah ini dapat
dihijaukan sesuai dengan jenis yang pernah ada atau jenis yang sesuai dengan kondisi
substrat saat ini pada daerah yang tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Kehadiran
hutan mangrove adalah penting untuk mencegah abrasi pantai dan melindungi
sejumlah biota yang biasa hidup dan berasosiasi dengan tumbuhan mangrove.
Mangrove yang tumbuh di perairan pantai harus mendapat perhatian untuk
direhabilitasi kembali karena kondisinya saat ini sudah cenderung berkurang,
terutama pada lokasi-lokasi yang pernah ditumbuhi mangrove. Sampai saat ini
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di beberapa lokasi penelitian khususnya di
Kecamatan Seram Barat telah dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai motivator
117
yang bermitra dengan LSM dan masyarakat, sampai dengan tahun 2007 luas lahan
mangrove yang sudah direboisasi seluas 23 Ha.
Kebijakan Budidaya Perikanan
Kebijakan budidaya perikanan (23,4 %) mendapat prioritas kedua dalam
pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat
Maluku. Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove untuk budidaya perikanan
adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan kapasitas SDM pesisir dalam pengelolaan hutan mangrove sebagai
budidaya perikanan.
2. Pembentukan kelompok budidaya perikanan dalam masyarakat.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pesisir diperlukan untuk
menghasilkan nelayan budidaya yang trampil dalam mencapai produktivitas hasil
budidaya perikanan. Disamping itu perlunya pembentukan kelompok budidaya
perikanan, juga melakukan pembinaan dan pengawasan secara kontinyu. Melalui
pembentukan kelompok diharapkan ada kesamaan persepsi dalam pengelolaan hutan
mangrove.
Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove untuk budidaya perikanan
diharapkan dapat mengubah pola hidup masyarakat sekitar yang sering melakukan
kegiatan penebangan mangrove, selain itu dapat memberikan nilai tambah bagi
masyarakat pesisir dalam meningkatkan pendapatannya sebagai nelayan.
Pengembangan kawasan tambak untuk kegiatan budidaya perikanan dapat dilakukan
di Kabupaten Seram Bagian Barat, khususnya di kecamatan Seram Barat.
Menurut Anwar (2009), guna mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan
pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina
yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir.
Kebijakan Wisata Pantai
Kebijakan pengelolaan hutan mangrove yang menempati urutan ketiga adalah
wisata pantai (10,3%). Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove untuk wisata
pantai adalah sebagai berikut :
118
1. Pengembangan wisata pantai sesuai dengan potensi hutan mangrove dan wilayah
pesisir.
2. Pertumbuhan UKM yang mendukung kegiatan wisata pantai dan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek
wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan
laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh
pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Kebijakan pengelolaan hutan
mangrove sebagai wisata pantai akan dapat melestarikan lingkungan hidup dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, disamping memberikan kontribusi bagi
PAD di kabupaten tersebut.
Pengembangan ekosistem untuk wisata pantai diharapkan dapat mengubah
pola hidup masyakat yang sering melakukan kegiatan penebangan mangrove, selain
itu dapat menciptakan peluang usaha bagi masyarakat. Kebijakan ini mempunyai
implikasi ekonomi yang cukup besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
di sekitar lokasi wisata secara khusus dan masyarakat umum lainnya. Selain itu,
seluruh kegiatan sosial-budaya dan sosial-ekonomi pada kawasan ekowisata tersebut
akan memberikan retribusi yang cukup memadai bagi Pemda Kabupaten Seram
Bagian Barat melalui berbagai dinas/unit-unit teknis terkait, sesuai tiap kegiatan yang
berlangsung pada kawasan wisata dan sekitarnya.
Adanya peluang pengembangan kawasan wisata pantai akan diikuti oleh
sejumlah kegiatan sosial-ekonomi dan budaya yang cukup potensial bagi Kabupaten
Seram Bagian Barat. Seluruh kegiatan sosial-budaya dan sosial-ekonomi pada
kawasan ekowisata tersebut selain akan memberikan dampak cukup penting bagi
kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekitar kawasan dan masyarakat
lainnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
8.2. Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove
Hasil AHP menunjukkan bahwa kebijakan konservasi (66,4%) merupakan
prioritas utama dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di
Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Kebijakan konservasi merupakan suatu
119
upaya yang dapat ditempuh untuk mempertahankan dan melestarikan potensi
sumberdaya hutan mangrove, sehingga dapat menjamin pengelolaan hutan mangrove
secara berkelanjutan.
Kebijakan konservasi hutan mangrove mengacu pada Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa mangrove
merupakan bagian dari ekosistem hutan, oleh karena itu pemerintah bertanggung
jawab dalam pengelolaan yang berazaskan manfaat dan lestari; Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya;
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung,
khususnya pasal 26 yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap kawasan pantai
berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk
ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangnya berbagai biota laut. Kebijakan ini
juga mengacu pada Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem hutan
mangrove seperti RAMSAR Convention, CITES dan sebagainya.
Kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat masih cukup
baik ditinjau dari aspek fisik, ekologi maupun ekonomi. Fungsi fisik hutan mangrove
sebagai barrier dapat mengurangi gempuran gelombang laut, angin topan di musim
barat dan genangan air pada saat pasang dan hujan, hal ini dirasakan oleh masyarakat
yang berdomisili di sekitar hutan mangrove tersebut. Fungsi biologi hutan mangrove
sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground)
dan daerah mencari makan (feeding ground) sangat dirasakan oleh masyarakat,
khususnya nelayan tangkap, karena dengan keberadaan hutan mangrove hasil
tangkapan mereka sampai saat ini cukup baik, dan keanekaragaman species yang
tertangkap seperti: ikan baronang (Siganus spp), ikan selar (Selar spp.), ikan layang
(Decapterus spp), ikan kembung (Rastrelliger spp.), ikan tongkol (Auxis thazard),
udang putih (Paenid sp) dan kepiting bakau (Scylla serrata, S. tranguebarica dan S.
oceanica). Potensi sumberdaya perikanan bernilai ekonomi tinggi yang juga dijumpai
pada ekosistem mangrove pada setiap wilayah di Kabupaten Seram Bagian Barat
antara lain adalah; tiram (Crasosstrea spp), bia kodok (Polymesoda coaxans), kerang
dara (Anadara granossa) dan bia pola (Telescopium telescopium). Selain itu daerah
ini dipakai juga sebagai tempat asuhan bagi anakan dari beberapa jenis biota laut
120
seperti ikan samandar (Siganus spp.) dan udang (Penaeus). Anwar (2009), juga
menyatakan bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas
perikanan pada perairan bebas. Fungsi ekosistem mangrove dari aspek ekonomi,
mempunyai nilai kontribusi sebagai manfaat langsung yang dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Adapun strategi yang dapat dilakukan dalam pengelolaan ekosistem hutan
mangrove sebagai kawasan konservasi adalah sebagai berikut :
(1). Penyusunan kebijakan tentang pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan
konservasi;
(2). Melakukan penyuluhan dan pelatihan bagi masyarakat tentang pentingnya
konservasi hutan mangrove;
(3). Meningkatkan keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan ekosistem hutan
mangrove ;
(4). Mengembangkan kegiatan ekonomi kerakyatan untuk dapat mengurangi
ketergantungan dan tekanan terhadap hutan mangrove.
Implementasi kebijakan ini dengan memperhatikan faktor utama kerusakan
sumberdaya hutan, mengingat hasil analisis perubahan penutupan lahan yang
menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun telah terjadi penyusutan lahan mangrove
sebesar 174 Ha atau sekitar 7,4 %. Hal ini disebabkan adanya eksploitasi mangrove
oleh masyarakat lokal yang tidak terkendali, perluasan permukiman, perkebunan dan
pembukaan tambak. Perkembangan penduduk yang bergerak cepat diikuti dengan
kebutuhan hidup yang semakin meningkat, menyebabkan aktifitas manusia
memanfaatkan hutan mangrove untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga berdampak
pada kerusakan hutan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (2008)
yang menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pemanfaatan
yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah
pesisir sangat tinggi serta konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan
(perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata) tanpa
mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
Kerusakan sumberdaya hutan merupakan salah satu indikator sensitif yang
berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi sosial. Dengan diterapkannya kebijakan
konservasi, diperlukan adanya upaya-upaya perbaikan terhadap berbagai indikator
121
dalam dimensi sosial sehingga dapat memperbaiki status nilai indeks dimensi sosial
dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan. Menurut LPP Mangrove
(2001), berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, berbagai kegiatan
kehutanan yang berlaku selama ini dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat luas, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di
sekitar kawasan hutan mangrove. Akibatnya masyarakat menjadi kurang peduli
terhadap pengamanan hutan, artinya aspek lingkungan dan keamanan hutan menjadi
terganggu, dan aspek sosial juga sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu
pemerintah diharapkan dapat menindaklanjuti kebijakan yang ada dengan
memperhatikan aspek sosial dalam masyarakat.
Oleh karena itu pemerintah sebagai aktor utama sangat berperan penting
dalam pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Peran
pemerintah kabupaten khususnya dinas-dinas terkait sangat diharapkan dalam
merumuskan kebijakan teknis operasional sesuai dengan lingkup tugasnya dalam
pengelolaan hutan mangrove. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan
lingkungan termasuk pengelolaan hutan mangrove, maka pemerintah Kabupaten
Seram Bagian Barat hendaknya dapat merumuskan suatu peraturan daerah tentang
pengelolaan hutan mangrove, sebagai upaya menghindari terjadinya kerusakan
mangrove dalam jumlah yang lebih besar.
Sejalan dengan itu maka Harding (1998) menyatakan bahwa pemerintah
daerah mempunyai posisi yang unik untuk melakukan integrasi berbagai sektor
menuju ke pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah kabupaten dan dinas terkait
diharapkan dapat menyelaraskan tujuan dan sasaran yang tepat dalam merumuskan
keputusan perencanaan pengelolaan hutan mangrove. Koordinasi antar pemerintah
dalam merumuskan kebijakan operasional pengelolaan hutan mangrove hendaknya
dilakukan secara menyeluruh dengan memperhatikan pendekatan ekologi.