VIRULENSI DAN KEANEKARAGAMAN GENETIKA
FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PENYEBAB BUSUK
PANGKAL PADA BAWANG PUTIH
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi Agronomi
Oleh :
M. RIFQI CHOIRUDDIN
H 0106019
JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
VIRULENSI DAN KEANEKARAGAMAN GENETIKA
FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PENYEBAB BUSUK
PANGKAL PADA BAWANG PUTIH
Yang dipersiapkan dan disusun oleh
M. Rifqi Choiruddin
H 0106019
telah dipertahankan di depan Dewan penguji
pada tanggal : …………………………….
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Tin Penguji
Ketua
Ir. H. Zainal D. Fatawi, MS.
NIP.19490906.197903.1.001
Anggota I
Dr. Ir. Hadiwiyono, M.Si
NIP. 19520915.197903.1.003
Anggota II
Drs. Sugijono, MP.
NIP.19470916.198003.2.001
Surakarta, ……………….
Mengetahui
Universitas Sebelas Maret
Fakultas Pertanian
Dekan
Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS.
NIP. 19551217.198203.1.003
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan kenikmatan yang tiada terhitung sehingga penulis dapat
menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Virulensi dan
Keanekaragaman Genetika Fusarium oxysporum f. sp. cepae Penyebab Busuk
Pangkal pada Bawang Putih”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian
persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S1 Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan moral maupun material dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan yang berbahagia ini penulis
menghaturkan rasa terima kasih kepada :
1. DIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun anggaran 2009, yang telah
memberikan dana dalam penelitian hingga penelitian ini terlaksana,
2. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS., selaku Dekan Fakultas Pertanian UNS,
3. Ir. H. Wartoyo, SP., MS., selaku Ketua Jurusan Agronomi UNS,
4. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus MS., selaku pembimbing akademik,
5. Ir. H. Zainal D. Fatawi MS., selaku pembimbing utama yang telah
memberikan saran, sumbangan pemikiran serta motivasi kepada penulis dari
sejak awal jalannya penelitian sampai dengan akhir penulisan skripsi ini,
6. Dr. Ir. Hadiwiyono MSi., selaku pembimbing pendamping yang telah
memberikan saran, sumbangan pemikiran serta motivasi kepada penulis dari
sejak awal jalannya penelitian sampai dengan akhir penulisan skripsi ini,
7. Drs. Sugijono MP., selaku pembahas yang telah memberikan saran dan
masukan kepada penulis,
8. Dr. Ir. Endang Yuniastuti, MSi., selaku pengampu seminar hasil yang
memberikan masukan kepada penulis,
9. Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan banyak hal yang tidak dapat
penulis ungkapkan,
iv
10. Anindya K yang telah membantu membantu memberikan semangat,
dukungan, bantuan dalam penulisan skripsi,
11. Bapak/Ibu dosen serta karyawan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta,
12. Rekan-rekan mahasiswa Agronomi angkatan 2006 yang telah memberikan
bantuan baik berupa moral maupun spiritual,
13. Rekan-rekan yang telah rela membantu menyukseskan penelitian ini, dan
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, maka saran dan kritik sangat penulis harapkan dari pembaca agar
laporan ini menjadi lebih baik. Demikian, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
menambah ilmu dan wacana bagi penulis serta pembaca.
Surakarta, Juli 2010
Penulis
v
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ viii
RINGKASAN ........................................................................................... ix
SUMMARY ................................................................................................ xi
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ..................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4
A. Bawang Putih (Allium sativum L.) .............................................. 4
B. Busuk Pangkal Bawang Putih ..................................................... 5
C. Fusarium oxysporum f. sp. cepae ................................................ 6
D. PCR-Random Amplified Polimorphic DNA ................................ 8
E. Hipotesis ........................................................................................ 9
III. METODE PENELITIAN ................................................................. 10
A. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................... 10
B. Bahan dan Alat ............................................................................. 10
C. Cara Kerja Penelitian .................................................................. 10
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 16
A. Hasil Survei dan Koleksi Fusarium ............................................ 16
B. Hasil Uji Virulensi ........................................................................ 16
C. Uji Keanekaragaman Genetika F. oxysporum f. sp. cepae ....... 21
vi
halaman
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 24
A. Kesimpulan ................................................................................... 24
B. Saran .............................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 25
LAMPIRAN .............................................................................................. 28
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul halaman
1. Diagram rata-rata intensitas penyakit pada benih bawang
putih di atas koloni 8 isolat F. oxysporum f. sp. cepae pada
medium PDA dalam cawan petri ………………………….
17
2. Diagram rata-rata persentase intensitas penyakit pada
benih bawang putih varietas RRT yang ditumbuhkan pada
tanah terinfestasi F. oxysporum f. sp. cepae ………………
18
3. Diagram rata-rata persentase intensitas penyakit pada
benih bawang putih varietas Lokal Tawangmangu yang
ditumbuhkan pada tanah terinfestasi F. oxysporum f. sp.
cepae ………………………………………………………
20
4. Pola fragmen DNA F. oxysporum f. sp. cepae melalui
PCR-RAPD ………...………………………......................
21
5. Dendrogram-UPGMA berdasarkan pola fragmen DNA
hasil PCR-RAPD pada 8 isolat F. oxysporum f. sp. cepae..
22
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul halaman
1.
2.
Tabel isolat F. oxysporum f. sp. cepae hasil survei dan
koleksi digunakan untuk uji virulensi dan karakteristik
DNA ………………………………………………………..
Tabel data kerusakan pada inokulasi benih bawang putih di
atas koloni F. oxysporum f. sp. cepae pada medium PDA.…
28
29
3. Hasil uji F dan DMRT data hasil inokulasi benih bawang
putih di atas koloni F. oxysporum f. sp. cepae pada medium
PDA ………………………………………………………...
30
4. Tabel data kerusakan inokulasi benih pada tanah terinfestasi
F. oxysporum sp. f. cepae …………………………………..
31
5. Hasil uji F dan DMRT data hasil inokulasi benih pada tanah
terinfestasi F. oxysporum f. sp. cepae dengan bawang putih
varietas RRT dan Lokal Tawangmangu ……………………
32
6. Foto koloni F. oxysporum f. sp. cepae …………………….. 34
7. Foto inokulasi benih bawang putih di atas koloni F.
oxysporum f. sp. cepae pada medium PDA dan pada tanah
terinfestasi F. oxysporum f. sp. cepae ………………………
35
8. Gejala serangan F. oxysporum f. sp. cepae pada bawang
putih ………………………………………………………...
36
ix
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan nama yang tidak asing bagi
masyarakat. Sayuran umbi ini menjadi salah satu bumbu dapur utama. Bawang
putih yang bermarga Allium ini diduga merupakan keturunan bawang liar Allium
longicurpis Regel, yang tumbuh di daerah Asia Tengah yang beriklim subtropik
(Wibowo, 2003). Permintaan masyarakat pada bawang putih yang tinggi
menyebabkan banyak petani menanam sayuran ini, namun produksi bawang putih
dalam negeri belum dapat menutupi permintaan tersebut, sehingga impor bawang
putih masih menjadi pilihan. Menurut data Dinas Pertanian Yogyakarta (2006),
impor bawang putih Indonesia berjumlah 295 ribu ton dengan nilai tidak kurang
dari US$ 103 juta atau sebesar Rp 927 milyar. Peningkatan kesadaran dalam
negeri untuk mengurangi ketergantungan impor bawang putih membuat
pengembangan bawang putih di Indonesia digalakkan. Peningkatan produksi ini
dapat juga untuk menyangga harga bawang putih di pasaran.
Secara umum bawang putih hanya cocok ditanam di dataran tinggi,
meskipun sekarang ditemukan beberapa varietas toleran dataran rendah.
Tawangmangu merupakan salah satu daerah sentra produksi bawang putih.
Pengembangan bawang putih di suatu daerah secara intensif dan terus-menerus
memberikan dampak positif peningkatan pendapatan petani, namun juga
memberikan dampak negatif dengan adanya peningkatan serangan penyakit
bawang putih yang cukup signifikan. Dalam budidaya bawang putih, penyakit
menjadi kendala yang penting. Busuk pangkal yang disebabkan F. oxysporum f.
sp. cepae merupakan salah satu faktor penyebab kehilangan hasil bawang putih
sejak 1973, selama di lahan maupun selama penyimpanan (Widodo et al., 2008).
Akhir-akhir ini, penyakit ini juga telah menjadi penyakit endemi di daerah
sentra produksi bawang putih di Tawangmangu. Lebih dari 92 % lahan
penanaman bawang putih di daerah tersebut telah terjangkit F. oxysporum sp. f.
cepae (Hadiwiyono et al., 2009). Pelaksanaan usaha tani yang dilakukan saat ini,
yang hanya berdasar pengalaman dapat menimbulkan perubahan karakter genetika
x
patogen yang dapat menimbulkan ledakan serangan patogen. Oleh karena itu,
perlu penelitian tentang berbagai aspek ekologi dan epidemiologi penyakit
termasuk karakter genetika hubungannya dengan virulensi patogen.
Berdasarkan pengujian dan pengamatan fenotipe menunjukkan bahwa
terjadinya ledakan serangan F. oxysporum sp. f. cepae di beberapa daerah
disebabkan oleh adanya perubahan karakter virulensi genetika patogen.
Penanaman bawang putih yang terus menerus dan ditanam secara campuran
dengan bawang merah dan bawang putih serta penggunaan agrokimia yang
intensif diduga menjadi penyebab terjadinya ledakan penyakit busuk pangkal di
Tawangmangu (Fatawi et al., 2003). Selain itu, akibat dari penanaman bawang
putih secara terus menerus juga dapat menyebabkan perubahan fenotipe dari F.
oxysporum sp. f. cepae. Karakterisasi fenotipe memiliki kelemahan, yaitu fenotipe
sangat dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga karakter yang muncul sering
bersifat semu. Hal ini menyebabkan informasi yang diperoleh sering bias. Untuk
dapat mengetahui lebih mengenai perubahan fenotipe akibat perubahan genotipe,
perlu dilakukan karakterisasi genetika patogen Fusarium tersebut, misalnya
dengan sidik jari DNA.
Sekarang karakterisasi patogen secara molekuler melalui sidik jari DNA,
lebih dapat diandalkan karena langsung pada sumber informasi karakter genetika,
yaitu DNA. Salah satu metode sidik jari DNA yang telah terbukti sangat
diskriminatif dan berketerulangan tinggi (high reproducibility), namun cepat dan
murah adalah analisis random amplified polymorphism DNA (RAPD) (Ruiz et al.,
2000). Metode PCR-RAPD ini digunakan untuk karakterisasi genetika F.
oysporum f. sp. cepae agar dapat diketahui perubahan genetika.
B. Perumusan Masalah
Akhir-akhir ini penyakit busuk pangkal yang disebabkan oleh F. oxysporum
f. sp. cepae telah menjadi penyakit endemi di pertanaman bawang putih di
Tawangmangu, Karanganyar dengan intensitas penyakit lebih dari 60 % (Fatawi
et al., 2003; Fatawi & Hadiwiyono, 2004). Di lapangan menunjukkan bahwa
intensitas penyakit sangat bervariasi, dari kurang 1 % (non-endemi) sampai di atas
xi
70 % (endemi). Ini terjadi baik pada bawang putih (Fatawi et al., 2003; Fatawi &
Hadiwiyono, 2004) maupun bawang merah (Wiyatiningsih, 2007; Lopez et al.,
2009). Perbedaan intensitas penyakit ini diduga muncul karena perbedaan
virulensi dan populasi patogen yang menyerang.
Permasalahannya adalah bagaimana virulensi dan hubungannya dengan
keanekaragaman genetika F. oxysporum f. sp. cepae penyebab busuk pangkal
bawang putih.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang virulensi dan
keanekaragaman genetika Fusarium oxysporum f. sp. cepae dari daerah endemi
dan non-endemi pada tanaman bawang putih berdasarkan analisis RAPD.
xii
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bawang Putih (Allium sativum L.)
Bawang putih termasuk salah satu keluarga Liliceae yang popular di dunia.
Di Indonesia bawang putih disebut dengan banyak nama, yaitu lasuna moputi (di
Menado), sedang pia moputi (di Gorontalo), lasuna kebo (di Makasar), bawang (di
Jawa), dan bawang bodas (di Priangan) (Wibowo, 2003).
Taksonomi tanaman bawang putih dalam buku Taksonomi Umum karangan
Tjitrosoepomo (1993) adalah:
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Liliales
Familia : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium sativum L.
Bawang putih untuk dapat tumbuh dengan baik dan hasil yang optimum,
diperlukan kondisi ekologi tertentu. Iklim, tanah, dan air merupakan tiga faktor
utama yang perlu mendapat perhatian agar hasil optimum bawang putih tercapai.
Ketinggian tempat yang mempunyai hubungan erat dengan suhu udara merupakan
faktor penting dalam budidaya bawang putih (Wibowo, 2003). Jenis bawang putih
dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 700 meter sampai lebih 1.100
meter di atas permukaan laut, sedangkan jenis bawang putih untuk dataran rendah,
cocok ditanam pada ketinggian 200-250 meter di atas permukaan laut (Santoso,
1988).
Kondisi lingkungan hidup meliputi keadaan tanah yaitu keadaan fisika dan
kimia tanah, keadaan topografi tanah yaitu kemiringan, ketinggian tempat, dan
faktor iklim yang meliputi curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, dan angin.
Intensitas cahaya matahari berpengaruh terhadap produktivitas tanaman bawang
putih dalam menghasilkan umbi dan pertumbuhan tanaman (Cahyono, 1992).
Bawang putih tumbuh baik di daerah dataran tinggi lebih dari 600 m di atas
permukaan laut, karena selama pertumbuhan memerlukan udara yang sejuk dan
xiii
kering. Di daerah dataran rendah tanaman ini sulit membentuk umbi. Bawang
putih termasuk tanaman sayuran yang tidak tahan air hujan, sehingga biasanya
ditanam pada awal musim kemarau (Warsito & Soedijanto, 1981). Bawang putih
ideal ditanam pada musim kemarau di daerah tropis, yaitu pada bulan Mei sampai
Juli. Penanaman bawang purih pada musim hujan tidak dianjurkan karena cuaca
terlalu basah, kelembaban dan suhu udara tidak baik untuk pertumbuhan bawang
putih dan hasil yang diperoleh (Nazaruddin, 1994).
B. Busuk Pangkal Bawang Putih
Busuk pangkal bawang-bawangan yang disebabkan oleh F. oxysporum f. sp.
cepae telah menjadi penyakit yang merugikan dan mengancam pertanaman
bawang putih di Tawangmangu Karanganyar Jawa Tengah sehingga menjadi
kendala baru sejak musim tanam 2000. Berdasarkan hasil identifikasi penyakit,
busuk pangkal Fusarium di Tawangmangu disebabkan oleh Fusarium oxysporum
Schlecht. f. sp. cepae (Hanz.) Snyd. et. Hans (Fatawi et al., 2003; Fatawi &
Hadiwiyono, 2004). Menurut Havey (1995) inang utama F. oxysporum f. sp.
cepae adalah bawang bombay, namun dapat sangat merugikan juga pada bawang
putih, bawang merah, dan bawang daun.
Pada bawang putih, patogen busuk pangkal menyebabkan gejala daun mati
dari ujung dengan cepat atau layu. Apabila tanaman dicabut terjadi pembusukan
pada perakaran dan atau umbi terutama mulai dari pangkal umbi sehingga sesui
dengan gejalanya disebut penyakit busuk pangkal. Pada umbi yang busuk sering
dijumpai tanda penyakit berupa miselium jamur yang berwarna putih. Di
Tawangmangu, pada musim tanam 2000 serangan patogen paling tinggi 10 %,
namun dari tahun ke tahun meningkat dan pada musim tanam 2002 insidens
penyakit dapat mencapai 60 %. Penyakit paling sering muncul pada tanaman
yang menjelang siap panen, namun pada musim tanam 2003 penyakit telah dapat
dijumpai pada tanaman umur 15 hari setelah tanam. Penyakit ini tentu sangat
merugikan karena tanaman yang terserang patogen umumnya umbi sebagai hasil
tanaman menjadi busuk, sehingga besarnya kerugian sama dengan insidens
xiv
penyakit, karena umbi bawang tanaman yang terserang tidak lagi laku dijual
(Fatawi et al., 2003).
Penyakit busuk pangkal ini berkembang pesat pada suhu tanah 21-33 0C,
dengan suhu optimum 28 0C, serta kelembaban tanah tinggi. Serangan hebat
terjadi pada tanah yang mengandung banyak kalium, atau tanah yang mengandung
bahan organik (BO) yang tinggi tetapi drainase buruk. Suhu yang meningkat
selain membantu pertumbuhan Fusaiurm oxysporum, dapat mengakibatkan
pelunakan pada akar tanaman yang menyebabkan akar tanaman menjadi mudah
luka dan dengan pelunakan dan luka pada perakaran tersebut sangat memudahkan
patogen dalam proses penetrasi pada tanaman inang (Agrios, 2005).
Pola perkembangan penyakit busuk pangkal pada bawang putih, bawang
merah, dan bawang daun hampir sama, hanya pada bawang daun awal munculnya
gejala penyakit berbeda. Bawang putih yang ditanam secara monokultur lebih
rentan terhadap penyakit busuk pangkal bawang putih dibandingkan jenis
bawang-bawangan lainnya, baik yang ditanam secara monokultur maupun
tumpangsari (Aini, 2004).
C. Fusarium oxysporum f. sp. cepae
Ada ribuan spesies jamur, dengan bentuk berbeda yang tak terhitung
jumlahnya. Kebanyakan terdiri atas benang-benang halus (hifa) yang tumbuh di
atas atau di dalam jaringan inang. Pembiakan sebagian jamur terjadi dengan spora,
dengan bentuk dan ukuran yang spesifik sehingga dapat digunakan sebagai sarana
identifikasi (Williams et al., 1993).
F. oxysporum f. sp. cepae menyerang bawang putih yang luka pada waktu
penyiangan, panen, pengangkutan, atau pada waktu pemotongan daun. Gejala
pada umbi terserang patogen adalah umbi membusuk dan berwarna kuning coklat,
umbi bawang putih menjadi “gembus”. Penyakit Fusarium dapat menyebabkan
layu pada daun bawang putih, gejalanya dimulai dari pucuk daun (Santoso, 1988).
Fusarium merupakan jamur tanah atau yang lazim sebagai soil in habitant. Tanah
yang sudah terinfestasi sukar dibebaskan dari jamur ini. Jamur ini bersifat tular
xv
tanah. Apabila tidak ada tanaman inang di lapangan jamur ini dapat bertahan lebih
10 tahun dalam tanah (Semangun, 2001).
Jamur penyebab layu Fusarium ini menurut Alexopoulus & Mims (1996)
cit. Semangun (2001) termasuk dalam forma-ordo Moniliales, dengan
klasifikasinya sebagai berikut:
Kingdom : Mycetaceae
Divisi : Amastigomycota
Subdivisi : Deuteromycotyna
Kelas : Deutomycetes
Subkelas : Hyphomycetidae
Familia : Moniales
Genus : Fusarium
Morfologi dari Fusarium oxysporum yaitu memiliki struktur yang terdiri
dari mikronidium dan makronidium. Permukaan koloni patogen berwarna ungu,
bergerigi, permukaan kasar berserabut dan bergelombang. Di alam, jamur ini
membentuk konidium. Konidiofor bercabang-cabang dan makro konidium
berbentuk sabit, bertangkai kecil, sering kali berpasangan. Miselium terutama
terdapat di dalam sel khususnya di dalam pembuluh, juga membentuk miselium
yang terdapat di antara sel-sel, yaitu di dalam kulit dan di jaringan parenkim di
dekat terjadinya infeksi (Semangun, 2004). Koloni Fusarium biasanya berwarna
merah muda sampai biru violet dengan bagian tengah koloni berwarna lebih gelap
dibandingkan dengan bagian pinggir. Saat konidium terbentuk, tekstur koloni
menjadi seperti wol atau kapas (Fran & Cook, 1998).
Temperatur optimum untuk pertumbuhan F.oxysporum f. sp. cepae berkisar
antara 24 0C sampai 27
0C yang berpengaruh pada diameter koloni dan berat
kering setelah 146 dan 177 jam. Suhu tanah dapat menjadi faktor utama yang
memberikan respon untuk perkembangan busuk pangkal Fusarium bawang dalam
kondisi lahan di pegunungan, yang umumnya dingin dalam sebagian stadium
pertumbuhannya (Abawi & Lorbeer, 1972).
xvi
D. PCR- Random Amplified Polimorphic DNA
Keanekaragaman urutan nukleotida DNA dapat dianalisis dengan
melakukan amplifikasi terhadap DNA tersebut dengan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR) (Yuwono, 2006a). Empat komponen utama pada proses PCR
adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipat gandakan, (2)
oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa
nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3)
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan
(4) enzim DNA polimerase yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis
rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono,
2006b).
Random amplied polymorphic DNA (RAPD) adalah suatu metode untuk
mendeteksi dengan cepat polimorfisme genom berbasis PCR yang menggunakan
primer oligonukleotida tunggal yang pendek yang akan menempel secara acak
(random) dalam proses PCR, menghasilkan serangkaian produk yang
menggambarkan amplikon yang terdistribusi secara random sepanjang genom,
yang kemudian dapat divisualisasi dengan gel elektroforesis (Williams et al.,
2000).
Telah banyak terbukti bahwa teknik RAPD dapat diandalkan, canggih, dan
sangat cepat. RAPD diakui sebagai metode yang simpel, cepat, terandalkan, dan
keterulangannya tinggi Dibandingkan dengan amplified fragments length
polymorphism (AFLP), RAPD tidak memerlukan DNA dalam jumlah besar, tidak
banyak bekerja dengan pipet, dan tidak memerlukan tenaga yang besar. Oleh
karena itu, penerapannya sangat praktis bagi pengguna di lapangan, misalnya
untuk deteksi F. oxysporum f. sp. cepae pada sertifikasi benih bawang putih
(Hadrys et al., 2002). Belabid et al. (2004) melakukan analisis RAPD dan AFLP
untuk studi karakterisasi sejumlah isolat F. oxysporum f. sp. lentis kedua dapat
menurunkan dua subgroup populasi patogen.
Mitter et al. (2002) menggunakan RAPD untuk mengkarakterisasi galur
Fusarium moniformae yang memiliki kemampuan menghasilkan giberellin yang
berbeda. Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa RAPD dapat membedakan
xvii
dengan jelas pola DNA fragmen antara galur yang menghasilkan giberellin
rendah, moderat, dan tinggi. Saharan et al. (2001) mengkarakterisasi F.
graminearun penyebab penyakit head scab pada gandum dari beberapa tempat,
menggunakan RAPD. Hasil penelitian disimpulkan bahwa RAPD menghasilkan
amplikon yang sangat kuat dan berketerulangan tinggi dengan membentuk
fragmen berkisar 300 sampai 1200 bp. Sejumlah 15 isolat yang diteliti dapat
dikelompokkan menjadi empat kelompok galur berdasarkan RAPD-fragmen
DNA.
E. Hipotesis
Diduga terdapat perbedaan virulensi Fusarium oxysporum f. sp. cepae
antara isolat dari daerah endemi dan non-endemi yang akan memunculkan
perbedaan pada karakter genetikanya.
xviii
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai Desember 2009
yang bertempat di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Laboratorium Bioteknologi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman yang terinfeksi
jamur Fusarium oxysporum f. sp. cepae bawang putih, air destilata, asam laktat
25 %, furelox 5 %, sublimat 0,1 %, alkohol 90 %, CTAB 2 % Tris-HCl 50 mM,
Chloroform Isoamyl Alkhohol (CIAA), EDTA 100 mM pH 8, NaCl 1,4 M,
Mercapto Ethanol 1 %, pasir kuarsa, TBE (Tris-Boric-EDTA) 0,5X, Ethidium
bromide 0,1 %, Mega Mix Royal (MMR), Miliq water, medium Potato Dextrose
Broth (PDB) dan medium Potato Dextrose Agar (PDA).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, termos
pendingin, mikroskop, refrigerator, Laminar Air Flow (LAF), otoklaf, jarum
inokulasi, jarum ose, tabung Erlenmeyer 250 ml dan 100 ml, petridish steril,
lampu spirtus, pisau silet, pinset, beaker glass, kertas label, kertas saring, kapas,
tabung Eppendorf 1,5 ml, bak elektroforesis, oven, tabung PCR, dan mesin PCR
ThermoCycler (BioRad).
C. Cara Kerja Penelitian
Pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan sebagai berikut
1. Survei dan koleksi F. oxysporum f. sp. cepae
Survei dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pertanaman bawang
putih endemi dan non-endemi penyakit busuk pangkal. Kriteria daerah endemi
adalah pertanaman terserang patogen dengan intensitas lebih dari 30 %,
sedangkan non-endemi dengan intensitas penyakit kurang dari 1 %. Masing-
masing daerah tersebut dilakukan isolasi F. oxysporum f. sp. cepae. Survei
xix
dilakukan dengan mencari tanaman yang terserang atau memiliki gejala serangan
busuk pangkal dengan ciri tanaman mengering dan bila dicabut pada umbi
terdapat miselium putih dan busuk. Tanaman yang mengalami gejala serangan
dibawa untuk dilakukan isolasi dan koleksi patogen.
F. oxysporum f. sp. cepae diisolasi dari tanaman sakit yang menunjukkan
gejala infeksi dengan memotong jaringan yang nekrotik. Potongan jaringan
tersebut ditaruh pada medium PDA terasamkan dengan menambahkan asam laktat
25 % sebanyak 2 ml L-1 dan diinkubasikan selama 7 hari (Kim et al., 2001).
Sejumlah 32 isolat yang tumbuh dikumpulkan guna dilakukan identifikasi untuk
mendapatkan isolat dengan ciri khusus. Sebanyak 32 isolat tersebut
dikelompokkan berdasar daerah asal isolat dan dilakukan pemilihan isolat untuk
dapat digunakan dalam uji virulensi.
Identifikasi koloni F. oxysporum f. sp. cepae masing-masing isolat
dilakukan dengan mikroskop dan yang teridentifikasi sebagai F. oxysporum f. sp.
cepae dipindahkan ke PDA. Isolat murni dari F. oxysporum f. sp. cepae disimpan
dalam larutan parafin cair steril dan disimpan pada suhu ruang sebagai koleksi dan
dapat untuk uji virulensi dan analisis keanekaragaman genetika. Isolat yang
diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan kesamaan struktur koloni, warna,
dan pertumbuhan koloni.
2. Uji virulensi
Uji virulensi ini menggunakan bibit bawang putih. Pengujian dilakukan 2
metode sebagai berikut
a. Inokulasi benih bawang putih di atas koloni F. oxysporum f. sp. cepae
pada medium PDA.
Benih bawang putih yang akan diinokulasi dicuci dengan alkohol 70 % dan
dibilas dengan akuades steril, kemudian benih dikeringanginkan dan dilap tisu.
Benih bawang putih dilukai pada salah satu sisinya dengan jarum ose steril.
Setelah itu benih diletakkan di atas koloni F. oxysporum f. sp. cepae dengan sisi
yang dilukai kontak langsung dengan koloni patogen. Pengujian diatur menurut
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Pengamatan dilakukan pada
2 minggu setelah inokulasi dengan mengamati intensitas penyakit busuk pangkal
xx
pada umbi bawang putih dengan mengukur persentase bagian jaringan umbi yang
bergejala busuk dan terkoloni patogen.
b. Inokulasi benih bawang putih pada tanah terinfestasi F. oxysporum f.sp.
cepae
Benih bawang putih ditanam pada tanah terinfestasi F. oxysporum f. sp.
cepae. Benih yang digunakan 2 varietas yaitu bawang putih varietas RRT dan
varietas Lokal Tawangmangu. Tanah ditaruh dalam baki ukuran 10x20 cm dengan
kedalaman tanah 5 cm, kemudian disiram hingga tanah basah. Benih yang akan
digunakan dibersihkan dari lapisan luar umbi yang kering, dicuci dengan alkohol
70 % dan dibilas dengan akuades steril, kemudian ditanam pada tanah dalam baki.
Setengah bagian umbi dibenamkan dalam tanah terinfestasi patogen tersebut,
terutama bagian pangkal umbi untuk mempercepat pertumbuhan. Perawatan
dilakukan dengan penyiraman setiap pagi hari untuk menjaga kelembaban tanah.
Pengujian diatur dengan rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Pengamatan
dilakukan pada 2 minggu setelah inokulasi. Pengamatan dilakukan dengan
mengamati intensitas penyakit pada benih yang ditanam dengan cara membongkar
umbi yang ditanam kemudian diukur persentase jaringan umbi yang menunjukkan
gejala busuk. Penghitungan besarnya persentase kerusakan dengan melihat secara
langsung besar kerusakan yang terjadi dalam benih dan hasilnya dikonversi dalam
persen untuk mempermudah melihat virulensi. Besar kerusakan dilihat dari
banyaknya bagian bawang putih yang membusuk atau terkoloni F. oxysporum f.
sp. cepae untuk dinyatakan dalam persen antara 0 - 100 %.
c. Analisis data uji virulensi
Analisis hasil pengamatan uji virulensi dengan menggunakan analisis ragam
berdasarkan uji F taraf 5 % dan 1 %, apabila terdapat beda nyata dilanjutkan
dengan uji DMRT.
3. Uji keanekaragaman genetika F. oxysporum f.sp. cepae
a. Pembiakan F. oxysporum f. sp. cepae untuk ekstraksi DNA
Isolat patogen terpilih yang telah diuji virulensinya dibiakkan dalam
medium PDB. Ekstraksi DNA diawali dengan persiapan kultur F. oxysporum f.
sp. cepae berasal medium PDA yang telah dimiliki. Persiapan pembuatan medium
xxi
PDB dengan mensterilkan 50 mL medium PDB dalam tabung Erlenmeyer 100
mL selama 15 menit dengan suhu 121 0C. Kultur F. oxysporum f. sp. cepae yang
telah tersedia dimasukkan ke dalam medium PDB yang telah dingin dan
diinkubasi di dalam inkubator bergoyang (rotary shaker) selama 5 hari. Jamur
yang telah tumbuh dipisahkan dari medium PDB dengan cara sentrifugasi, untuk
kemudian dicuci dengan akuades steril hingga tidak terdapat medium yang
terbawa. Suspensi jamur yang telah bersih disaring dengan kertas saring untuk
memisahkan jamur dan cairan. Jamur siap untuk proses ekstraksi DNA dengan
CTAB.
b. Ekstraksi DNA F. oxysporum f. sp. cepae dengan CTAB
Proses selanjutnya adalah ekstraksi DNA F. oxysporum f. sp. cepae dengan
CTAB, diawali dengan penimbangan miselium jamur sebanyak 0,5 gram.
Miselium jamur digerus mortar dengan menambahkan CTAB 2 % 300 µL dan
sedikit pasir kuarsa agar cepat halus. Gerusan miselium yang telah halus dipindah
ke dalam tabung Ependorf untuk dipanaskan dalam waterbath 65 0C selama 30
menit dan kemudian digojog selama 10 menit. Tabung Ependorf disentrifuse
selama 5 menit dengan kecepatan 5000 putaran, supernatan (cairan bening bagian
atas) dipindahkan ke tabung Ependorf lain dan pelet ditinggal dalam tabung.
Endapan atau pelet dalam tabung Ependorf ditambah CIAA hingga sepenuh
tabung dan digojog hingga bercampur homogen, kemudian disentrifuse dengan
kecepatan 12000 putaran selama 10 menit, dan supernatan yang terdapat dalam
tabung dipindahkan ke tabung Ependorf lain sedangkan pelet ditinggal dalam
tabung Ependorf. Pelet kemudian ditambah ethanol/alkhohol absolut hingga
sepenuh tabung dan disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -20 0C selama
1-3 jam.
Alkhohol (supernatan) dibuang dan pelet dilaturkan lagi dengan alkohol 70 %
hingga penuh tabung. Tabung Ependorf disentrifuse dengan kecepatan 12000
putaran selama 10 menit. Alkhohol (supernatan) dibuang, dan pelet DNA
dikeringanginkan dalam LAF selama ± 2 jam. Pelet DNA dilarutkan dalam
suspensi miliq water dan disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -20 0C.
Hasil ekstraksi dilihat melalui elektroforesis pada gel 0,8 % dengan pewarna
xxii
ethidium bromide untuk memastikan terdapatnya DNA dalam pelet tersebut.
c. PCR-RAPD
Sistem DNA amplifiying fingerprinting (DAF) dilaksanakan menurut
Bentley & Bassam (1996) dengan sedikit modifikasi, meliputi reaksi amplifikasi
dengan PCR, kondisi siklus termal, dan elektroforesis yang akan dijalankan.
Adapun sekuen primer yang digunakan dalam analsisis RAPD, 5”-GATGAGCC-
3” (Bentley et al., 1998).
PCR kit yang digunakan yaitu Mega Mix Royal (MMR). Dalam 1 kali
proses PCR diperlukan MMR sebanyak 5 µL dan campuran lain, yaitu Primer 5
µL, template 2 µL dan Miliq water 8 µL. PCR-RAPD dilakukan dengan
menggunakan mesin Thermal cycler (BioRad). DNA hasil ekstraksi dapat
langsung dilakukan proses PCR dalam mesin PCR dengan program inisiasi
denaturasi dengan suhu 94 0C selama 5 menit 1 kali, denaturasi dengan suhu 94
0C selama 30 detik sebanyak 30 kali, annealing (pemisahan) dengan suhu 35
0C
selama 30 detik sebanyak 30 kali, extensions (pemanjangan) dengan suhu 72 0C
selama 30 detik sebanyak 30 kali, final extensions (pemanjangan akhir) dengan
suhu 72 0C selama 5 menit sebanyak 30 kali.
Proses program PCR diakhiri dengan penyeimbangan dengan suhu 20 0C
hingga proses berakhir sendiri. Setelah semua proses berakhir, DNA hasil PCR-
RAPD dapat langsung dilakukan elektroforesis maupun disimpan dalam suhu 4 0C
hingga dilakukan elektroforesis.
d. Elektroforesis untuk visualisasi hasil PCR-RAPD
Elektroforesis diawali dengan pembuatan gel elektroforesis. Pembuatan
diawali dengan menimbang 0,8 % agaros sebanyak 0,325 gram (untuk 40 mL
TBE cetakan gel dengan 17 sumuran gel) dan dipanaskan dalam oven maksimal 3
menit. Setelah tidak terlalu panas, agaros ditambah 40 µl ethidium bromide 0,1 %
dan digojog hingga homogen kemudian dituang ke cetakan yang telah dipasang
sisiran pencetak sumuran. Setelah lebih dari 20 menit atau mengeras, sisiran
diangkat. Gel bersama alas cetakan gel dipindahkan ke bak elektroforesis untuk
dapat digunakan dalam proses elektroforesis.
xxiii
Bak sebelum digunakan diisi dengan TBE 0,5X hingga gel terbenam dalam
larutan. Pada masing-masing sumuran gel diisi 5-20 µl DNA hasil PCR dan
sumuran reakhir diisi 10 µl marker (DNA marker). Mesin elektroforesis ditutup
dan power suply dinyalakan dengan daya 100 volt selama 35 menit. Setelah
proses selesai hasil elektroforesis dilihat pola fragment DNA-nya dan dilakukan
uji karakteristik pola kemiripan fragment DNA dengan program NTYSIS.
e. Analisis hasil PCR-RAPD
Analisis kesamaan pola fragmen DNA dianalsis dengan perangkat lunak
NTYSIS. Analisis data hasil elektroforesis gel dilakukan menggunakan perangkat
lunak FreeTree (Hampl et al., 2001) dengan metode unweight pair group with
mathematical average (UPGMA) untuk mengetahui kesamaan pola antarisolat
serta pengelompokan dan hubungan antar isolat dalam bentuk dendrogram. Pola
kesamaan antara 0,0-1 (0-100 %) berdasar angka yang muncul dalam program
NTYSIS dan metode UPGMA.
xxiv
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Survei dan Koleksi Fusarium
Hasil survei diperoleh pertanaman bawang putih endemi dari daerah
Gondosuli sedangkan daerah pertanaman bawang putih non-endemi diperoleh di
daerah Blumbang. Hasil isolasi F. oxysporum f. sp. cepae dari kedua daerah
tersebut diperoleh 32 isolat. Sejumlah isolat tersebut terkelompokan menjadi 8
kelompok berdasakan struktur pertumbuhan dan warna koloni dengan
ekstraseluler kemudian masing-masing kelompok diwakili 1 isolat untuk uji
virulensi dan keragaman genetika. Sejumlah 8 isolat tersebut terdiri dari 4 dari
daerah endemi dan 4 dari daerah non-endemi (Tabel 1.).
Tabel 1. Isolat F. oxysporum f. sp. cepae hasil survei dan koleksi digunakan untuk
uji virulensi dan karakteristik DNA
Kode isolat Asal Keterangan
FCp1 Gondosuli Endemi
FCp2 Gondosuli Endemi
FCp3 Gondosuli Endemi
FCp4 Gondosuli Endemi
FCp5 Blumbang Non-Endemi
FCp6 Blumbang Non-Endemi
FCp7 Blumbang Non-Endemi
FCp8 Blumbang Non-Endemi
B. Hasil Uji Virulensi
1. Hasil inokulasi benih bawang putih di atas koloni F. oxysporum f. sp. cepae
pada medium PDA
Hasil inokulasi benih bawang putih di atas koloni F. oxysporum f. sp. cepae
(Gambar 1.) menunjukkan bahwa intensitas penyakit serangan antar isolat pada
benih bawang putih kurang bervariasi. Semua isolat yang ada menyebabkan
intensitas penyakit atau bersifat virulen, sedangkan untuk kontrol tidak timbul
gejala kerusakan. Semua isolat menyebabkan intensitas penyakit rata-rata tinggi,
yaitu lebih dari 75 %.
xxv
Gambar 1. Diagram rata-rata intensitas penyakit pada benih bawang putih di atas
koloni 8 isolat F. oxysporum f. sp. cepae pada medium PDA dalam
cawan petri
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT 5 % berdasarkan data yang ditranformasi
ke Arc sin X
Beberapa isolat yaitu FCp4 (yang berasal dari daerah endemi), FCp7, dan
FCp8 (yang berasal dari daerah non-endemi) intensitas penyakit mencapai 100 %.
Meskipun isolat FCp7 dan FCp8 berasal dari daerah Blumbang yang bukan
daerah endemi, namun kerusakan yang timbul mencapai 100 %. Ini menunjukkan
bahwa keadaan non-endemi daerah asal isolat bukan disebabkan oleh patogen
yang tidak virulen. Hasil ini menunjukkan bahwa virulensi antar isolat dari daerah
endemi maupun non-endemi tidak berbeda nyata. Hasil ini tidak gayut dengan
hasil inokulasi benih bawang putih pada tanah terinfestasi patogen yang
menunjukkan lebih bervariasi. Intensitas penyakit yang tinggi oleh semua isolat
pada pengujian ini diduga disebabkan oleh pelukaan jaringan pada permukaan
benih yang diinokulasi.
Penanaman bawang putih terus menerus pada suatu lahan juga
mempengaruhi perkembangan virulensi patogen. Pengembangan kultivar tahan
menjadi salah satu kontrol yang efektif untuk mencegah penyakit, meskipun ini
dapat juga mengurangi penyebaran populasi patogen (Widodo et al., 2008) ini
xxvi
dapat menjadikan salah satu jalan terjadinya perubahan virulensi patogen akibat
perubahan perilaku dari patogen tersebut untuk penyesuaian dengan tanaman yang
ada.
2. Hasil inokulasi benih bawang putih pada tanah terinfestasi F. oxysporum f.
sp. cepae
a. Hasil inokulasi benih bawang putih pada tanah terinfestasi F. oxysporum f.
sp. cepae dengan bawang putih varietas RRT
Bawang putih varietas RRT merupakan bawang dataran rendah yang banyak
ditanam, namun dapat juga diusahakan di dataran tinggi (Santoso, 1988). Varietas
ini telah banyak digunakan pula untuk pengujian penelitian, karena salah satu
bawang putih yang memiliki ketahanan yang cukup baik, dan produksi yang
cukup tinggi. Hasil inokulasi benih bawang putih pada tanah terinfestasi patogen
menunjukkan bahwa intensitas penyakit oleh 8 isolat F. oxysporum f. sp. cepae
bervariasi tergantung jenis isolat dan varietas bawang putih. Isolat FCp5 yang
berasal dari Blumbang memberikan persentase kerusakan yang paling tinggi
dibandingkan isolat lainnya, yaitu mencapai 85 % (Gambar 2.).
Gambar 2. Diagram rata-rata persentase intensitas penyakit pada benih bawang
putih varietas RRT yang ditumbuhkan pada tanah terinfestasi F.
oxysporum f. sp. cepae
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT 5 % berdasarkan data yang ditranformasi
ke Arc sin X
xxvii
Berdasarkan intensitas penyakit pada varietas RRT, dapat disimpulkan
bahwa virulensi antar isolat F. oxysporum f. sp. cepae bervariasi. Namun
demikian, apabila dikaitkan dengan daerah asalnya, pengelompokkan tersebut
tidak berhubungan dengan status penyakit daerah asal. Isolat dari daerah endemi
tidak semuanya memberikan virulensi tinggi dan demikian juga sebaliknya, isolat
dari daerah non-endemi tidak semuanya menunjukkan virulensi yang rendah.
Isolat FCp1 yang berasal dari daerah endemi menunjukkan tidak virulen dengan
menimbulkan intensitas penyakit 0,00 %. Isolat FCp5 yang berasal dari daerah
non-endemi menunjukkan virulensi yang paling tinggi dengan menunjukkan
intensitas penyakit yang paling tinggi, 100 %.
Hasil berbeda ditampilkan inokulasi benih bawang putih pada tanah
terinfestasi F. oxysporum f. sp. cepae dengan bawang putih varietas Lokal
Tawangmangu yang hasilnya kurang bervariasi. Semua isolat patogen dapat
menimbulkan intensitas penyakit.
b. Hasil inokulasi benih bawang putih pada tanah terinfestasi F. oxysporum f.
sp. cepae dengan bawang putih varietas Lokal Tawangmangu
Bawang putih varietas Lokal Tawangmangu merupakan salah satu jenis
bawang yang banyak diusahakan di Tawangmangu, namun varietas ini hanya
merupakan unggul lokal, sehingga belum banyak diketahui orang dan
dibudidayakan di daerah lain. Pengujian varietas Lokal Tawangmangu juga
dilakukan sama dengan varietas RRT, ini dijadikan pembanding dan mengetahui
seberapa jauh virulensi yang ditimbulkan oleh berbagai isolat yang ada. Hasil
inokulasi benih bawang putih pada tanah terinfestasi F. oxysporum f. sp. cepae
dengan bawang putih varietas Lokal Tawangmangu menunjukkan hasil yang
kurang bervariasi. Intensitas penyakit tertinggi ditimbulkan oleh isolat FCp4
yaitu 73,33 % berasal dari daerah endemi, namun isolat yang berasal dari daerah
non-endemi yaitu isolat FCp5 dan FCp7 juga menimbulkan kerusakan yang
cukup tinggi, mencapai lebih dari 60% (Gambar 3.).
xxviii
Gambar 3. Diagram rata-rata persentase intensitas penyakit pada benih bawang
putih varietas Lokal Tawangmangu yang ditumbuhkan pada tanah
terinfestasi F. oxysporum f. sp. cepae
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT 5 % berdasarkan data yang ditranformasi
ke Arc sin X
Hasil ini berbeda dengan inokulasi menggunakan varietas RRT. Hal ini
diduga disebabkan oleh semua isolat yang telah lama berasosiasi dengan varietas
Lokal Tawangmangu tersebut sehingga jamur adaptif sebagai patogen pada
varietas tersebut. Serangan F. oxysporum f. sp. cepae yang lebih tinggi pada
varietas Lokal Tawangmangu dibandingkan dengan varietas RRT ini berbeda
dengan hasil pengamatan di lapangan yang menunjukkan sebaliknya, bahwa
varietas Lokal Tawangmangu lebih tahan (Hadiwiyono, 2004). Perbedaan hasil ini
diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda, yaitu pengujian
virulensi yang dilakukan di dataran rendah, 110 m di atas pemukaan laut (dpl),
sedangkan lapangan Tawangamangu di atas 600 m dpl. Perbedan lingkungan
terutama suhu akibat perbedaan ketinggian dapat mempengaruhi kemampuan
infeksi patogen dan ketahanan tanaman. Tanaman yang tumbuh di luar daerah
ekologinya dapat menyebabkan tanaman tercekam. Cekaman lingkungan pada
tanaman dapat mempredisposisi infeksi patogen oleh parasit lemah seperti F.
oxysporum f. sp. cepae (Agrios, 2005).
xxix
C. Uji Keanekaragaman Genetika F. oxysporum f. sp. cepae
Hasil visualisasi fragmen DNA melalui PCR-RAPD adalah seperti pada
Gambar 4. Panjang fragmen berkisar antara 80 hingga 200 pasangan basa (bp).
Berdasarkan dendrogram (Gambar 5.) menunjukkan bahwa nilai koefisien
kesamaan genetika antarisolat sampel antara 0,25-1,00 (25 %-100 %). Pada nilai
koefisien 25 % terbagi menjadi 2 kelompok galur yaitu kelompok 1 (FCp3, FCp5,
FCp6, FCp8) dan dan kelompok 2 (FCp1, FCp4, FCp2, dan FCp7), sehingga
secara keseluruhan kelompok isolat terbagi menjadi 3 galur isolat yaitu galur 1
(FCp1 dan FCp4), galur 2 (FCp2 dan FCp7), dan galur 3 (FCp3, FCp5, FCp6 dan
FCp8). Dari ketiga galur, hanya galur 1 (FCp1 dan FCp4) dan galur 2 (FCp2 dan
FCp7) yang memiliki kekerabatan terdekat yaitu 51 %, sedangkan kekerabatan
tertinggi 100 % terdapat pada masing-masing galur. Kekerabatan terjauh antara
galur 1, 2 dengan galur 3 yang hanya 25 %.
1 2 3 4 5 6 7 8 M
Endemi Non endemi
1 2 3 4 5 6 7 8 M
Endemi Non endemi
Gambar 4. Pola fragmen DNA F. oxysporum f. sp. cepae melalui PCR-RAPD
Keterangan : 1 : isolat FCp1, 2 : isolat FCp2, 3 : isolat FCp3, 4 : isolat FCp4, 5 :
isolat FCp5, 6 : isolat FCp6, 7 : isolat FCp7, 8 : isolat FCp8, dan M :
Marker
80 bp
200 bp
600 bp
800 bp
1100 bp
xxx
Gambar 5. Dendrogram-UPGMA berdasarkan pola fragmen DNA hasil PCR-
RAPD pada 8 isolat F. oxysporum f. sp. cepae
Analisis tingkat keanekaragaman genetika 8 isolat berdasar analisis RAPD
memiliki koefisien kesamaan genetika 25 % atau variasi genetika 75 %. Hal ini
membuktikan bahwa telah terjadi perubahan genetika pada F. oxysporum f. sp.
cepae dengan variasi genetika yang cukup tinggi akibat penanaman bawang putih
yang kontinyu. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian pada isolat F. oxysporum
f. sp. cubense dengan RAPD-PCR mempunyai keanekaragaman genetika yang
sangat tinggi dengan tingkat kesamaan 0,25-0,95 (25 %-95 %) dan dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok (Anonim, 2008).
Berdasar uji virulensi, tidak terdapat perbedaan nyata kerusakan yang
ditimbulkan dari berbagai isolat antara daerah endemi dan non-endemi. Hasil
tersebut juga terlihat pada pola DNA dari PCR-RAPD. Tidak terdapat perbedaan
pola fragmen DNA daerah endemi dan non-endemi, namun dari hasil tersebut
dapat dikelompokkan 3 galur DNA (Gambar 5). Pengelompokan antar galur tidak
mencakup perbedaan antara daerah endemi maupun non-endemi. Pada galur 1
semua isolat merupakan isolat dari daerah endemi, pada galur 2 terdapat isolat
daerah endemi (isolat FCp2) dan non-endemi (isolat FCp7), sedangkan galur 3
juga merupakan campuran isolat dari daerah endemi (isolat FCp3) dan daerah
non-endemi (isolat FCp5, FCp6, dan FCp8). Hal ini membuktikan bahwa ada
keanekaragaman genetika pada F. oxysporum f. sp. cepae isolat asal
Tawangmangu. Namun demikian keanekaragaman genetika patogen tersebut tidak
berhubungan dengan status penyakit daerah asal isolat.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor virulensi
Koefisien kesamaan
xxxi
patogen bukan merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan terjadinya
endemi penyakit atau rendahnya intensitas penyakit busuk pangkal di lahan-lahan
tertentu. Menurut Hadiwiyono & Widono (2008), Hadiwoyono et al. (2008; 2009)
intensitas busuk pangkal bawang putih di Tawangmangu ditentukan karakter
fisika, kimia, dan biologi tanah. Kandungan bahan organik dan N yang tinggi dan
rendahnya P dan K menyebabkan peningkatan intensitas busuk pangkal bawang
putih. Pada tanah non-endemi memiliki populasi mikrob (jamur, bakteri, dan
actinomycetes) yang lebih tinggi dibandingkan pada tanah endemi.
xxxii
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa berdasarkan analisis PCR-
RAPD F. oxysporum f. sp. cepae dapat dikelompokkan menjadi 3 galur, namun
pengelompokan tersebut tidak berhubungan dengan virulensi dan daerah asal
isolat endemi atau non-endemi.
B. Saran
Penanaman varietas bawang putih RRT dan Lokal Tawangmangu perlu
dipertimbangkan sebagai varietas yang rentan terhadap busuk pangkal yang
disebabkan oleh F. oxysporum f. sp. cepae
xxxiii
DAFTAR PUSTAKA
Abawi, G.S., & J.W. Lorbeer. 1972. Several aspects of the ecology and pathology
of Fusarium oxysporum f. sp. cepae. J. Phytopathol. 62:870-876.
Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. 4th
Ed. Academic Press. San Diego
California. 633p.
Aini, F.N. 2004. Studi pola perkembangan busuk pangkal bawang putih di
Tawangmangu. Skripsi S1 Fakultas Pertanian. Ringkasan.
Anonim. 2008. Variasi genetik isolat-isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense.
Badan Litbang Pertanian. www. hortikultura.litbang.deptan.go.id. Diakses:
10 Juni 2010 (Abstr.).
Bentley, S. & B.J. Bassam. 1996. A rabust DNA aplification fingerprinting
system applied to analysis of genetic variation within Fusarium
oxysporum f.sp. cubense. J. Phytopathol. 144: 207-213.
Bentley, S., K.G. Pegg, N.Y. Moore, R.D. Davis, & I.W. Buddenhagen. 1998.
Genetic variation among vegetative compatibility gruops of Fusarium
oxysporum f. sp. cubense analyzed by DNA finger printing. J.
Phythopathol. 88: 1283-1293.
Bidang Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Seksi Sayuran dan Aneka
Tanaman. 2008. Bawang putih dataran rendah. Dinas Pertanian Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Cahyono, B. 1996. Penanaman Bawang Putih Dataran Tinggi. CV.Aneka. Solo.
95 hal.
El-Fadly, G.B., M.K. El-Kazzaz, M.A.A. Hassan & G.A.N. El-Kot. 2008.
Identification of some Fusarium spp. using RAPD-PCR technique Egypt.
J. Phytopathol. 36(1-2) : 71-80
Fatawi, Z.D., H.S. Gutomo, & Hadiwiyono. 2003. Studi Lini Dasar Terjadinya
Epidemi Penyakit Busuk Pangkal Bawang Putih di Tawangmangu.
Laporan Hasil Penelitian Sumber Dana DUE-Like TA.2003. PS.
Agronomi. F. Pertanian. UNS. 45hal.
Fran, F., & N.B.,Cook. 1998. Fundamental of Diagnostic Mycology. WB Sanders
Company. Philadelphia. 283 hal.
xxxiv
Hadiwiyono. 2004. Serangan Fusarium pada pertanaman Bawang Putih di
Tawangmangu Jawa Tengah. Pp.203-210 in L. Susanto (ed) Prosiding
Simposium Nasional 1 tentang Fusarium. PFI Komisariat Purwokerto dan
Jur. Hama & Penyakit Tumbuhan. F. Pertanian Unsoed Purwokerto.
__________ & S. Widono. 2008. Hubungan faktor lingkungan tanah terhadap
intensitas busuk pangkal bawang putih di Tawangmangu. Agrin. 12(1):15-
22.
__________, S. Widono, Z. D. Fatawi, & N. Novianti. 2008. Analisis hubungan
keharaan N, P, dan K tanah terhadap intensitas penyakit busuk pangkal
(Fusarium oxysporum f. sp. cepae) pada bawang putih. Agrosains.
10(1):21-24.
__________, R.D. Wuspada, S. Widono, S.H. Poromarto, & Z.D. Fatawi. 2009.
“Kesupresifan Tanah” terhadap busuk pangkal (Fusarium oxysporum
f.sp.cepae) bawang putih di Tawangmangu, Karanganyar. Sains Tanah. 6
(1):1-6.
Hadrys, H., M. Balik, & B. Schierwater. 2002. Aplication of ramdom amplified
polymorphic DNA (RAPD) in molekuler ekologi. Mol. Ecol. 1: 55-63.
Hampl, V., A. Pavlicek & J. Flegr. 2001. Construction and bootstrap analysis of
DNA fingerprinting-based phylogenetic trees with the freeware program
FreeTree: application to trichomonad parasites. Int. J. Syst. Evol.
Microbiol . 51:731-735.
Havey, M.J. 1995. Fusarium Basal Plate Rot. Pp.10—11. In: H.F. Schwartz &
S.K. Mohan (eds) Compendium of Onion and Garlic Diseases. APS Press.
St. Paul Minnesota.
Hyun, J.W., & C.A. Clark. 1998. Analysis of Fusarium lateritium using RAPD
and rDNA RFLP techniques. J. Mycological. 102.
http://journals.cambridge.org. Accesed : 10 July 2010 (Abstr.).
Kim, J.T., I.H., Park, Y.H. Hahm, & S.H. Yu. 2001. Crown and root rot of
greenhouse tomato caused by Fusarium oxysporum f.sp. radicis-
lycopersici in Korea. Plant Pathol. J. 17(5):290-294.
Lopez, J. And C.S. Carmer. 2009. Screening NPGS Short-Day Anion Accession
for Resistance to Fusarium Basal Rot. Dep. Of. Agronomy and Hort.
http://aces.nmsu.edu/aes/onoinbreeding.doc. Accessed 10 July 2010.
Mitter, N., A. Srivastava, Renu, A. Shahid, A. Sharbhoy, & D. Agarwal. 2002.
Characterization of gibberellin producing galurs of Fusarium moniformae
based DNA polymorphysm. Micopathologia.153(4): 187-193.
xxxv
Nazaruddin. 1994. Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya. Jakarta. 142 hal.
Ruiz, R.A., D.C. Vacek, P.E. Parker, L.E. Wendel, U. Schaffner, R. Sobhihan, &
R.D. Richard. 2000. Using randomly amplified polymorphic DNA
polymerase chain reaction (RAPD-PCR) to match natural enemies to their
host plant. Pp: 289-293. in: Proceedings of the X International Symposium
on Biological Control of Weeds.
Saharan, M.S., A. Naef, J. Kumar, & N. Tiwari. 2007. Characterization of
variability among isolates of Fusarium graminearum associated with head
scab of wheat using DNA markers. Current Sci. 92(2): 230-235.
Santoso, H.S. 1988. Bawang Putih. Kanisius. Yogyakarta. 78 hal.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. UGM Press.
Yogyakarta. 754 hal.
____________. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
UGM Press. Yogyakarta. 29-30. 850 hal
Tjitrosoepomo, G. 1993. Taksonomi Umum. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 473 hal.
Warsito, D.P., & Soedijanto. 1981. Sayuran Umbi. CV. Bumi Restu. Jakarta.
85hal
Wibowo, S. 2003. Budidaya Bawang. Penebar Swadaya. Jakarta. 97 hal.
Widodo., N. Kondo, K. Kobayashi, & A. Ogoshi. 2008. Vegetative compatibility
groups within Fusarium oxysporum f. sp. cepae in Hokkaido-Japan. J.
Mikrobiol Indon. 2(1) ( Abstr.).
Williams, J.G.K, A.R. Kubelik, A.R. Livak, J.A. Rafalski, & S.V. Tingey. 2000.
DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic
markers. Nucleic Acid Res. 18:6531-6535.
Williams, C.N., J.O. Uzo, & W.T.H. Peregrine. 1993. Produksi Sayuran di
Daerah Tropika. Penerjemah Rinoprawiro, S. UGM Press. Yogyakarta.
278 hal.
Wiyatiningsih, S. 2007. Studi epidemi penyakit moler pada bawang merah.
Disertasi PS. Fitopatologi UGM. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
Yuwono, T. 2006a. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 113 hal.
_________. 2006b. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Andi Offset.
Yogyakarta. 79 hal.