WANPRESTASI DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG PEMERINTAH
ARNI WINARSIH
FakultasHukum,UniversitasNarotamaSurabaya
Pembimbing : SOEMALI, S.H., M.Hum.
e-mail : [email protected]
Abstrak
Prinsip-prinsip kontrak secara universal yang dalam KUH Perdata tetap berlaku dalam
pelaksanaan kontrak pengadaan barang pemerintah, seperti prinsip kebebasan berkontrak, prinsip
konsensualisme, prinsip kekuatan mengikat, dan prinsip keseimbansagan. Prinsip transparansi dalam
kontrak pengadaan barang pemerintah merupakan prinsip dasar yang digunakan dalam rangka
pelaksanaan penawaran dan penerimaan (akseptasi) yang dilakukan melalui pelelangan secara terbuka.
Prinsip transparansi bukan merupakan salah salah prinsip yang digunakan dalam kontrak pengadaan
barang pemerintah, karena dalam pengadaan barang pemerintah masih terdapat prinsip-prinsip: efisien,
efektif, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel
Dalam kontrak pengadaan barang pemerintah terdapat ketentuan atau norma yang mengatur
tentang wanprestasi bagi penyedia barang pemerintah maupun pejabat pembuat komitmen (PPK).
Wanprestasi dalam kontrak pengadaan barang pemerintah terjadi karena keterlambatan penyelesaian
pekerjaan dank arena cacat mutu. Penyedia barang pemerintah dikatakan wanprestasi atau cidera janji
dalam menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang ditentukan atau gagal atau lalai memenuhi kewajiban
kontraktualnya serta ditemukan dan diberitahukan cacat mutu kepada penyedia barang pemerintah, tetapi
tidak memperbaiki dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam pemberitahuan. Jika penyedia barang
pemerintah tidak melaksanakan prestasi setelah diberi tambahan waktu menyelesaikan ternyata tidak
dilaksanakan, dan jika penyedia barang pemerintah tidak memperbaiki cacat mutu dalam jangka waktu
yang ditentukan, maka PPK dapat memutus kontrak secara sepihak dan penyedia barang pemerintah
dinenakan sanksi atau PPK secara langsung atau melalui pihak ketiga yang ditunjuk melakukan
perbaikan tersebut. Serta PPK dapat mengenakan denda keterlambatan untuk setiap keterlambatan
perbaikan cacat mutu. Besarnya denda yang dikenakan kepada penyedia barang pemerintah atas
keterlambatan penyelesaian pekerjaan adalah 1/1000 (satu perseribu) dari sisa harga bagian kontrak yang
belum dikerjakan, apabila pekerjaan yang sudah selesai dapat berfungsi secara mandiri/tidak dipengaruhi
bagian yang belum selesai atau 1/1000 (satu perseribu) dari harga kontrak, apabila bagian pekerjaan
yang sudah dilaksanakan belum berfungsi, dan pilihan denda ditetapkan dalam SSKK ( syarat-syarat
khusus kontrak).
Kata kunci : Wanprestasi, Pengadaan Barang, Pemerintah
Latar Belakang dan Rumusan
masalah
Perubahan merupakan tumpuan setiap manusia
bahkan setiap negara guna meningkatkan
kesejahteraan. Tanpa perubahan kesejahteraan
tidak mungkin akan terwujud. Perubahan dapat
dilakukan dengan cara melaksanakan
pembangunan. Pembangunan digunakan untuk
mewujudkan kesejahteraan. Kesejahteraan
dapat diwujudkan dengan terlaksananya
pembangunan yang menghendaki pertumbuhan
ekonomi yang diikuti dengan perubahan
(growth plus change). Dalam arti bahwa
pembangunan dilaksanakan bertujuan untuk
merubah kehidupan yang lebih baik. Dengan
demikian, pembangunan merupakan sarana
perubahan untuk menuju kehidupan yang lebih
baik setiap manusia dan negara yang ada di
dunia ini.
Pembangunan negara dilaksanakan oleh
pemerintah. Pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan dibiayai oleh
anggaran belanja negara. Anggaran
pendapatan dan belanja negara ditetapkan
dengan undang-undang. Anggaran pendapatan
dan belanja negara ditetapkan berdasarkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya
bahwa rakyat sebagai bangsa akan hidup dan
dari mana didapatnya belanja buat hidup harus
ditetapkan oleh rakyat itu sendiri dengan
perantara Dewan Perwakilan Rakyat. Kebijakan
tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan
bahwa “anggaran pendapatan dan belanja
negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka
dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Dalam pelaksanaan pembangunan salah
satunya diperlukan pengadaan barang/ jasa
pemerintah. Pengadaan barang/jasa pemerintah
dibiayai dengan anggaran pendapatan dan
belanja negara/anggaran pendapatan dan belanja
daerah. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa
pemerintah harus dilaksanakan dengan efektif
dan efisien dengan prinsip persaiongan sehat,
transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil
bagi semua pihak. Prinsip-prinsip tersebut harus
dilaksanakan dalam pengadaan barang/jasa,
sehingga hasilnya dapat dipertanggung
jawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun
manfaatnya.
Pengadaan barang/jasa instansi
pemerintah dilakukan dengan cara pelelangan
dan penunjukkan. Pelelangan tersebut dilakukan
dengan cara menyeleksi secara umum, secara
terbatas, seleksi langsung dan penunjukkan
langsung. Penetapan pemenang dilakukan
dengan cara klarifikasi dan negosiasi. Bagi
pihak yang menang dalam pelelangan atau
penunjukkan akan dibuat dokumen kontrak.
Dokumen kontrak telah disiapkan oleh
pemerintah atau oleh panitia/ pejabat pengadaan
barang/jasa. Kontrak tersebut merupakan
perikatan antara pengguna barang/jasa dengan
penyedia barang/jasa dalam pengadaan
barang/jasa. Kontrak merupakan bagian dari
dokumen pemilihan penyedia barang/jasa yang
memuat ketentuan-ketentuan yang lebih spesifik
yang sifatnya mengikat bagi para pihak.
Kontrak pengadaan barang/jasa instansi
pemerintah merupakan perikatan. Dalam
ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH
Perdata) dinyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu”.1 Perikatan merupakan “hubungan
hukum dalam lapangan hukum kekayaan, di
mana di satu pihak ada hak dan di lain pihak
ada kewajiban”.2 Perikatan tersebut
sebagaimana dalam Pasal 1233 KUH Perdata
dikatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena undang-
1R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BurgerlijkWetboek), Balai
Pustaka, Jakarta, 2012, h. 323. 2J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada
Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 12
undang”.3Berdasarkan ketentuan tersebut,
bahwa perikatan bersumber pada persetujuan
atau perjanjian dan bersumber pada undang-
undang.
Perjanjian merupakan hubungan hukum
para pihak yang bersifat obligatoir. Artinya
bahwa “dengan ditutupnya perjanjian itu pada
asanya hanya melahirkan perikatan-perikatan
saja, dalam arti bahwa hak atas objek perjanjian
belum beralih, untuk peralihan tersebut masih
diperlukan adanya levering/penyerahan”.4
Hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang
“menyangkut hukum harta kekayaan antara dua
orang (persoon) atau lebih yang memberi hak
pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain
tentang suatu prestasi”.5 Jadi, dalam hubungan
hukum tersebut melahirkan hak dan kewajiban,
satu pihak memperoleh hak dan pihak lain
memikul kewajiban menyerahkan atau
menunaikan prestasi.
Prestasi adalah objek dari
perjanjian.Tanpa prestasi, maka hubungan
hukum yang dilakukan tidak mempunyai arti
apa-apa. Prestasi dalam pengadaan barang
adalah barang, yaitu benda dalam berbagai
bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku,
barang setengah jadi, barang jadi/peralatan,
yang spesifikasinya ditetapkan oleh pengguna
barang. Pengguna barang adalah kepaka
kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/pemimpin
bagian proyek/pengguna anggaran/pejabat yang
disamakan sebagai pemilik pekerjaan yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan
barang/jasa dalam lingkungan unit kerja/proyek
tertentu.
Pelaksanaan kontrak pengadaan barang
instansi pemerintah setelah penandatangan
kontrak. Para pihak melaksanakan hak dan
kewajibannya masing-masing sesuai yang diatur
dalam kontrak pengadaan barang. Hak dan
kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan waktu yang ditetapkan, termasuk
barang yang diserahkan harus sesuai dengan
spesifikasi yang ditentukan termasuk
pembayaran prestasi pekerjaan harus
dilaksanakan sesuai ketentuan yang diatur
dalam kontrak.
Dalam praktek pelaksanaan kontrak
pengadaan barang terdapat pemutusan atau
3R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op, Cit., h.
323. 4J, Satrio, Op. Cit. ,h.38. 5 M. YahyaHarahap, Segi-segi Hukum
Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, h. 6.
penghentian kontrak, Penghentian kontrak
tersebut dapat dilakukan bilamana terjadi hal-
hal di luar kekuasaan para pihak untuk
melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam
kontrak karena keadaan kahar (suatu keadaan
yang memaksa/force mayor). Pemutusan
kontrak dapat juga dilakukan bilamana para
pihak cidera janji dan/atau tidak memenuhi
kewajiban dan tanggung jawabnya sesuai yang
ditentukan dalam kontrak. Penghentian dan/atau
pemutusan kontrak tersebutakan menimbulkan
akibat hukum para pihak, karena terdapat salah
satu pihak terdapat yang dirugikan.
Berdasarkan uraian latar belakang
permasalahan yang diuraikan tersebut di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa prinsip-prinsip dalam
pelaksanaan kontrak pengadaan barang instansi
pemerintah ?
2. Apa akibat hukum bagi para pihak
yang wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak
pengadaan barang instansi pemerintah ?
TIPE PENELITIAN
Tipologi penelitian hukum berupa skripsi
ini adalah yuridis normatif atau pene-litian
hukum normatif, karena “penelitian ini
berkaitan dengan prinsip-prinsip atau asas-asas
hukum yang berasal dari hukum
positip”.6Berhubung penelitian ini meru- kan
penelitian yang berasal dari hukum positip,
maka pendekatan yang digunakan dengan
menggunakan peraturan perundang-undangan
(statute approach). Guna mendukung penelitian
ini, maka juga digunakan pendekatan
konseptual (conceptual approach), yang
beruapa pendapat para ahli hukum yang
terdapat dalam hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan dari para ahli hukum dan
seterusnya.
6SorjonoSoekanto, Pengantar Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia (UI-Pres), Jakarta, 1984, h. 50-51.
PEMBAHASAN
PRINSIP-PRINSIP DALAM
PELAKSANAAN KONTRAK
PENGADAAN BARANG PEMERINTAH
Prinsip-prinsip Kontrak
Secara harfiah kata prinsip adalah “asas
(kebenaran yang menjadi pokok dasar pikiran
bertindak dan sebagainya), dasar”.7Asas adalah
dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat) dasar cita-cita (perkumpulan
atau organisasi); dan hukum dasar”.8
Prinsip atau asas dalam istilah asingnya
adalah “beginsel”, berasal dari kata “begin”
yang artinya “permulaan atau awal atau pula
dasar. Jadi, asas itu mengawali atau menjadi
permulaan atau menjadi dasar sesuatu dan yang
dimaksud dengan sesuatu di sini adalah kaidah
atau norma atau pula peraturan”.9
The Liang Gie menyatakan bahwa “asas
adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam
istilah umum tanpa menyarankan cara-cara
khusus mengenai pelaksanaannya, yang
diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk
menjadi petunjuk yang tepat bagi
perbuatan”.10Dengan demikian, jelas bahwa
asas merupakan pedoman atau petunjuk yang
digunakan dalam melakukan perbuatan.
Asas merupakan dasar dan sarana
pertimbangan dalam hidup, karena adanya suatu
tuntutan etis bagi pembentukan suatu hidup
bersama. Berhubung di mana ada masyarakat di
situ ada hukum, maka perlu dicari pedoman
dalam memikirkan hukum dan membentuk
hukum supaya dengan cita-cita hidup dan
kebutuhan hidup. Dalam benak kita bilamana
berbicara tentang hukum, yang pertama-tama
terpikirkan adalah ketentuan perundang-
undangan, aturan-aturan yang ditetapkan oleh
penguasa yang berwenang. Artinya bahwa
dalam membicarakan hukum di sini hanya
dibatasi pada hukum positif, hukum yang
berlaku pada dan tempat tertentu, artinya hanya
berbicara mengenai aturan. Aturan sebagai
pedoman bagi sikap tindak manusia dan sarana
menilai perbuatan manusia.
7Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Op. Cit., h. 788. 8Ibid., h. 60. 9Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia
Terpadu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h. 47. 10 The Liang Gie, Teori-teori Keadilan,
Super, Jakarta, 1977, h. 9.
Nieuwennhuis, mengatakan bahwa
pengertian asas-prinsip (beginsel) dapat didekati
dengan dua cara, yaitu, “pertama, adalah dalam
makna global (globalebetekenis), yakni, asas
dimengerti sebagai sifat yang penting
(belangrijkeeigenschap). Kedua, asas juga dapat
dimengerti dalam konteks yang sangat khusus,
yakni, sebagai dasar pembenaran
(terrechvaardiging) dari aturan-aturan maupun
putusan-putusan”.11
Asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut
berkaitan dengan kontrak. Dalam bahasa
Belanda, adalah “contract”, atau “verbintenis”
yang berarti perjanjian. Perjanjian atau
persetujuan adalah suatu perbuatan di mana
seorang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap seseorang lain atau lebih. Perjanjian
adalah “suatu tindakan hukum dua pihak, jika
norma sekunder yang mewajibkan dan memberi
wewenang kepada para pihak yang melakukan
perjanjian dilahirkan oleh kerja sama
(kolaborasi) dan sekurang-kurangnya dua orang
individu”.12Perjanjian merupakan “transaksi
hukum yang khas dari hukum perdata, yang
berlaku prinsip otonomi, yakni, prinsip di mana
tidak seorang pun dapat diwajibkan terhadap,
atau bahkan tanpa, persetujuannya sendiri”.13
M. Yahya Harahap memberi pengertian
perjanjian atau verbintenis mengandung
pengertian “suatu hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara lain hubungan
hukum kekayaan/harta benda antara dua orang
atau lebih yang memberi kekuatan hak pada
satu dan pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
menunaikan prestasi”.14Dari pengertian
perjanjian tersebut, di dalamnya terdapat unsur
yang memberi wujud pengertian perjanjian
antara lain : “hubungan hukum
(rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum
kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih,
yang memberi hak pada satu pihak dan
kewajiban pada pihak lain tentang suatu
prestasi”.15
11 J.H. Nieuwieenhuis, DrieBeginselen van
Contractenrecht, diss, RUL, 1979, Deventer, 1979,
h. 5. 12 Hans Kelsen, Teori Hukum tentang
Hukum dan Negara, terjemahan RaisulMuttaqin,
Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006, h. 204. 13Ibid., h. 204. 14 M. YahyaHarahap, Op. Cit., h. 6. 15Ibid.,
Wirjono Prodjodikoro memberi
pengertian perjanjian sebagai “suatu hubungan
hukum mengenai harta kekayan antara dua
pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal
atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang
pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji
itu”.16Perjanjian merupakan hubungan hukum
mengenai harta kekayaan, dan sebagian besar
dari perjanjian ini bersumber pada kata sepakat
atau persetujuan antara kedua belah pihak.
R. Subekti memberikan pengertian
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal”.17Dari peristiwa ini,
menurut R. Subekti, “timbulah suatu hubungan
antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan”.18 Suatu perikatan adalah “suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu
hendak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu”.19
Pengertian perjanjian secara yuridis
terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata
menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”. Mariam Darus Badrul zaman
mengatakan bahwa “ para sarjana hukum
perdata pada umumnya berpendapat bahwa
definisi perjanjian yang terdapat di dalam
ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula
terlalu luas”.20Alasan tidak lengkap karena yang
dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian
sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas
karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai
janji kawin, yaitu, perbuatan di dalam lapangan
hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian
juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai
oleh ketentuan-ketentuan tersendiri, sehingga
Buku III KUH Perdata secara langsung tidak
berlaku terhadapnya.
16WirjonoProdjodikoro, Hukum Perdata
tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur,
Bandung, 1991, h. 1. 17 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa,
Jakarta, 2001, h. 1. 18Ibid., 19Ibid., 20 Mariam DarusBadrulzaman, K.U.H.
Perdata, Buku III, Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996, h. 89.
Menurut Purwahid Patrik, rumusan
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan
Pasal 1313 KUH Perdata, kurang lengkap dan
bahkan dikatakan terlalui luas banyak
mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun
kelemahan-kelemahan tersebut dapat diperinci “
1) hanya menyangkut perjanjian sepihak saja; 2)
kata perbuatan mencakup juga tanpa
consensus/kesepakatan. Dalam Pasal 1313
KUH Perdata terdapat rumusan “satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan
merupakan kata kerja yang sifatnya hanya
datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua
belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian
itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak,
sehingga nampak kekurangannya di mana
setidak-tidaknya Perlu adanya rumusan saling
mengikatkan diri. Demikian juga, dalam
pengertian perbuatan termasuk juga tindakan
meliputi mengurus kepentingan orang lain, dan
perbuatan melawan hukum. Dari kedua hal
tersebut, merupakan perbuatan yang tidak
mengandung adanya konsensus atau tanpa
adanya kehendak untuk menimbulkan perbuatan
hukum”.21
Berdasarkan pengertian perjanjian yang
terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata,
ternyata masih terdapat kelemahannya, maka
kemudian Rutten merumuskan perjanjian adalah
“perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan
formalitas-formalita dari peraturan hukum yang
ada tergantung dari persesuaian pernyataan
kehendak dua atau lebih orang-orang yang
ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi
kepentingan dan atas beban masing-masing
pihak secara timbal balik”.22J. Van Dune
memberikan definisi perjanjian sebagai suatu
hubungan hukum penawaran dari satu pihak dan
perbuatan hukum penerimaan dari pihak lain”.23
Hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum.
Akibat hukum dari suatu perjanjian atau
peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Adapun yang dimaksud perikatan
menurut R. Subekti adalah “suatu hubungan
hukum (mengenai kekayaan harta beda) antara
dua orang yang memberi hak pada yang satu
untuk menuntut barang sesuatu di yang lainnya,
21PurwahidPatrik, Dasar-dasar Hukum
Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 46. 22Ibid., h. 46. 23Ibid.,
sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu”.24 Perjanjian
menimbulkan perikatan secara jelas terdapat
dalam perumusan Pasal 1313 KUH Perdata
bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam
pasal tersebut adalah perjanjian yang
menimbulkan perikatan atau perjanjian
obligatoir. Kesimpulan tersebut didasarkan
bahwa pasal tersebut ditaruh pada awal titel
kedua Buku III KUH Perdata yang mengatur
tentang perikatan yang lahir dari perjanjian dan
perumusan tersebut dimaksudkan sebagai
perumusan tentang perjanjian sebagai yang
dimaksud dalam pasal-pasal selanjutnya,
sehingga dengan demikian ketentuan dalam titel
kedua hanyalah berlaku untuk perjanjian
obligatoir saja.
Perjanjian menerbitkan suatu perikatan
bagi orang membuatnya. Hubungan antara
perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian
adalah sumber perikatan, di samping sumber-
sumber lain. Perjanjian juga dinamakan
persetujuan, karena dua pihak setuju untuk
melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa
“antara perjanjian dengan persetujuan itu adalah
sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit,
karena ditujukan kepada perjanjian atau
persetujuan yang tertulis”,25 dan sekarang
mengalami perkembangan dengan
menggunakan media elektronika.
Perjanjian merupakan sumber
perikatan yang terpenting, di samping undang-
undang. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata
dinyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang”. Perikatan yang lahir dari
perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang
atau lebih pihak yang membuat perjanjian,
sedangkan perjanjian yang lahir dari undang-
undang diadakan oleh undang-undang di luar
kemauan para pihak yang bersangkutan.
Apabila dua orang mengadakan suatu
perjanjian, maka mereka bermaksud supaya
antara mereka berlaku suatu perikatan (ikatan)
hukum. Perjanjian adalah suatu hal yang konkrit
atau suatu peristiwa, sedang perikatan adalah
suatu pengertian abstrak.
24R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Intermasa, Bandung, 1984, h. 122. 25 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa,
Bandung, 2004, h. 1.
Perjanjian sumber perikatan,
pengaturannya dalam Buku III KUH Perdata,
yang menganut sistem terbuka. Dalam aturan
perjanjian, memberikan kebebasan yang seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum,
dan kesusilaan sesuai yang diatur dalam Pasal
1337 KUH Perdata bahwa “suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik
atau ketertiban umum”.
Sistem terbuka yang terdapat dalam
perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUH
Perdata mengandung suatu asas kebebasan
membuat perjanjian, termasuk juga kontrak,
mengandung suatu prinsip kebebasan,
sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata menyatakan “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Prinsip atau alasan kebebasan
berkontrak, terletak pada kata “semua”.
Menurut R. Subekti, menyatakan bahwa “pasal
tersebut “seolah-olah berisikan suatu pernyataan
kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan
membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa
saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu
akan mengikat mereka yang membuatnya
seperti suatu undang-undang”.26 Dalam
perkataan lain, dalam perjanjian, kita
diperbolehkan membuat undang-undang bagi
kita sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, maka jelas bahwa prinsip
yang terdapat dalam kontrak adalah prinsip
kebebasan, artinya para pihak bebas membuat
kontrak yang berupa dan berisi apa saja atau
tentang apa saja, dan kontrak tersebut mengikat
bagi para pihak yang membuatnya seperti suatu
undang-undang. Prinsip lain dalam kontrak
sebagaimana dapat disimpulkan dalam Pasal
1338 ayat (1) adanya prinsip kekuatan mengikat
atau prinsip kepastian hukum, yang dinyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah,
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Artinya bahwa setiap
kontrak yang dibuat adalah mengikat kedua
belah pihak.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
menyatakan perjanjian yang dibuat secara sah
26 Ibid., h. 4.
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Syarat secara sah tersebut
menentukan bagaimana perjanjian itu lahir, atau
kontrak itu lahir. Untuk mengetahui hal
tersebut, Pasal 1320 KUH Perdata memberikan
patokan umum tantang bagaimana kontrak atau
perjanjian itu lahir. Pasal tersebut memberikan
patokan atau menentukan perbuatan-perbuatan
apa yang harus dilakukan agar kontrak yang
dibuat itu sah. Dalam ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata dinyatakan bahwa “untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3.
suatu hal tertentu dan 4. suatu sebab yang
halal”.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak
disebutkan suatu formalitas untuk sahnya
perjanjian. Namun, hanya kesepakatan apabila
telah tercapai, maka perjanjian atau kontrak itu
sah, dan mengikat bagi para pihak. Artinya
bahwa apabila para pihak sudah tercapai
kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari
suatu perjanjian atau kontrak, maka perjanjian
atau kontrak tersebut sudahlah sah. Kesepakatan
tersebut merupakan prinsip yang terdapat dalam
perjanjian atau kontrak, yang dinamakan prinsip
atau asas konsensualisme. Arti prinsip
konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian
atau kontrak yang timbul karenanya itu sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.
Perjanjian atau kontrak sudah sah apabila sudah
sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan
tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.
Prinsip-prinsip dasar yang melandasi
perjanjian atau kontrak menurut Herlien
Boediono ialah “asas konsensualisme, asas
kekuatan mengikat perjanjian (verbin
dendekrachtdetovereenkomst) dan asas
kebebasan berkontrak
(contractsvrijheid)”.27Prinsip konsensualisme
berkaitan dengan terbentuknya suatu perjanjian.
Prinsip kekuatan mengikat merujuk pada akibat
dari perjanjian. Prinsip kebebasan berkontrak
terutama menyangkut isi atau cakupan dari
perjanjian.
Mariam Darus Badrul zaman,
menyebutkan prinsip atau asas hukum kontrak
meliputi “asas konsensualisme, asas
kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas
27Herline Boediono, Asas Keseimbangan
bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006, h. 95.
persamaan hak, asas keseimbangan, asas moral,
asas kepatutan, asas kebiasaan dan asas
kepastian hukum”.28Prinsip konsensualisme,
prinsip kepercayaan, prinsip persamaan hak,
prinsip keseimbangan, terletak pada syarat
sahnya kontrak adalah kesepakatan atau sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya sebagaimana
dalam Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata. Di
dalam suatu kontrak, para pihak
mengungkapkan kehendak mereka dalam
bentuk janji. Kenyataan bahwa orang menutup
kontrak karena dilandasi suatu tujuan atau
maksud tertentu. Keterjalinan dan kepercayaan
para pihak dibentuk oleh para pihak.
Keterikatan dan kekuatan mengikat setelah
disepakati kontrak yang bersangkutan. Melalui
suatu kontrak, maksud dan tujuan para pihak
dapat tercapai.
Prinsip kepastian hukum bahwa kontrak
mengikat bagi para pihak sebagaimana
tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, karena perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku bagi para pihak yang membuatnya,
sehingga mengikat para pihak, yang
mencerminkan prinsip kekuatan mengikat. Oleh
karena itu, sebagaimana dalam Pasal 1338 ayat
(2) bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Kontrak yang dibuat secara sah, mengandung
prinsip moral, karena harus dengan itikat baik
sebagaimana tercermin dalam Pasal 1338 ayat
(3) bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik. Selain itu, kontrak
mengandung prinsip kepatutan, prinsip
kebiasaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
1339 juncto Pasal 1347 KUH Perdata. Dalam
Pasal 1339 KUH Perdata dinyatakan “suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang”. Sedangkan
Pasal 1347 KUH Perdata menyatakan “hal-hal
yang menurut kebiasaan selamanya
diperjanjikan, dianggap secara diam-diam
dimasukan dalam perjanjian, meskipun tidak
dengan tegas dinyatakan”. Di samping itu,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1337
KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu sebab
28Mariam Darusbadrulzaman, Aneka
Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, h. 42-44.
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-
undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum. Artinya
bahwa kontrak yang dibuat tidak boleh
melanggar undang-undang, ketertiban umum,
kesusilaan dan kepatutan serta kebiasaan.
Dalam perkembangan sekarang kontrak
atau perjanjian dapat dilaksanakan dengan
menggunakan media elektronika. Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronika dalam
Pasal 1 angka 17 berbunyi : “kontrak
elektronika adalah perjanjian para pihak yang
dibuat melalui sistem elektronika”. Angka 2
memberikan pengertian “transaksi elektronika
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan computer, jaringan computer,
dan/atau media elektronik lainnya”. Informasi
elektronika dan/atau dokumen elektronika
dan/atau hasil cetaknya menurut Pasal 5 ayat (1)
merupakan alat bukti yang sah.
Prinsip-prinsip Kontrak Pengadaan Barang
Pemerintah Pemerintah merupakan salah satu unsur
adanya suatu negara, termasuk negara Kesatuan
Republik Indonesia. Menurut M. Nasroen,
negara itu mempunyai 3 (tiga) buah syarat,
yaitu, rakyat tertentu, daerah tertentu, dan
pemerintah tertentu”.29 Negara itu adalah alat
dari sekumpulan manusia, yang merupakan
rakyat negara itu untuk mencapai tujuan, yaitu,
yang disebut tujuan negara. Tujuan negara
merupakan tujuan rakyat bernegara, sebab
negara itu sebagai negara tidak mungkin
mempunyai tujuan, sebab negara itu sebagai
negara tidak mempunyai kemauan. Oleh karena
itu, usaha untuk mencapai tujuan bernegara itu
diserahkan kepada pemerintah negara itu,
berdasarkan kemauan bersama rakyat negara
itu. Kemauan bersama rakyat sesuatu negara
yang menghidupkan dan yang menjalankan
negara itu seterusnya.
Bentuk negara Indonesia adalah
republik, sebagaimana ditegaskan dalam Alinea
Ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan “… maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
29 M. Nasroen, Ilmu Perbandingan
Pemerintahan, Aksara Baru, Jakarta, 1986, h. 33.
Republik Indonesia …”. Di sisi lain, dalam
Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa “Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik”. Menurut Jellinek, apabila
“kehendak negara itu ditentukan oleh orang
banyak yang merupakan suatu majelis, maka
bentuk negaranya adalah republik”,30 Artinya
bahwa negara republik, kepala negaranya
dipilih melalui suatu pemilihan umum untuk
masa jabatan yang ditentukan dan kepala
negaranya adalah seorang presiden.
Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-
Undang Dasar, dan dalam melakukan
kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang
wakil presiden sesuai yang ditentukan Pasal 4
Undang-Undang Dasar 1945. Presiden dan
wakil presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat dan memegang jabatan selama lima
tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan Ini merupakan model negara
Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam
Pasal 6A dan Pasal 7 Undang-Undang Dasar
1945.
Dalam melaksanakan pembangunan
yang dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia,
salah satunya di bidang pengadaan barang/jasa.
Pengadaan barang/jasa pemerintah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dalam Pasal 1 angka 1 peraturan ini dinyatakan
bahwa :
“pengadaan barang/jasa pemerintah
yang selanjutnya disebut dengan pengadaan
barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh
barang/jasa oleh kementerian/ lembaga/satuan
kerja perangkat daerah/institusi lainnya yang
prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan
sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk
memperoleh barang/jasa”.
Barang adalah setiap benda baik
berwujud maupun tidak berwujud, bergerak
maupun tidak bergerak, yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh pengguna barang
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 4.
Sedangkan jasa berkaitan dengan jasa
konsultasi dan jasa lainnya. Jasa Konsultansi
30Moch.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, h. 167.
adalah jasa layanan profesional yang
membutuhkan keahlian tertentu diberbagai
bidang keilmuan yang mengutamakan adanya
olah pikir (brainware). Jasa Lainnya adalah jasa
yang membutuhkan kemampuan tertentu yang
mengutamakan keterampilan (skillware) dalam
suatu sistem tata kelola yang telah dikenal luas
di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau
penyediaan jasa selain jasa konsultasi,
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan
pengadaan barang sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 16 dan angka 17.
Pengguna barang/jasa adalah pejabat pemegang
kewenangan penggunaan barang dan/atau jasa
milik negara/daerah di masing-masing K/L/D/I.
Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau
orang perseorangan yang menyediakan
barang/pekerjaan konstruksi/ jasa
konsultansi/jasa lainnya. Pejabat pembuat
komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah
pejabat yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Pejabat
pengadaan adalah personil yang memiliki
sertifikat keahlian pengadaan barang/Jasa yang
melaksanakan pengadaan barang/jasa. penyedia
barang/Jasa adalah badan usaha atau orang
perseorangan yang menyediakan
barang/pekerjaan konstruksi/ jasa
konsultansi/jasa lainnya.
Kontrak pengadaan barang/jasa yang
selanjutnya disebut kontrak adalah perjanjian
tertulis antara PPK dengan penyedia
barang/Jasa atau pelaksana swakelola. Kontrak
ini terejadi karena adanya penawaran yang
dilakukan pengguna barang. Penawaran
pengadaan barang dilakukan secara terbuka dan
transparan dengan menggunakan cara
pelelangan secara terbuka. Prinsip-Prinsip
pengadaan barang/jasa sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2010 menerapkan prinsip-prinsip
sebagai berikut: a. efisien, b. efektif, c.
transparan dan d. terbuka.
Dalam pengadaan barang pemerintah
dilakukan sesuai dengan tahapan, seperti tahap
persiapan dalam pengadaan dengan melakukan
perencanaan pengadaan, pembentukan penitia
pengadaan, penetapan sistem pengadaan,
penyusunan jadwal pelaksanaan, penyusunan
harga perhitungan sendiri (HPS) dan
penyusunan dokumen pengadaan. Penetapan
sistem pengadaan barang dilakukan atau
dilaksanakan dengan mempertimbangkan jenis,
sifat dan nilai barang serta kondisi lokasi,
kepentingan, dan jumlah penyedia barang yang
ada. Dalam menetapkan sistem pengadaan
barang, pengguna barang bersama dengan
panitia/pejabat pengadaan terlebih dahulu
menetapkan metode pemilihan penyedia barang,
metode penyampaian dokumen penawaran,
metode evaluasi penawaran dan jenis kontrak
yang dipergunakan dalam pengadaan barang
yang bersangkutan.
Penawaran pada prinsipnya merupakan
pernyataan kehendak, dan karenanya harus
dinyatakan/diutarakan, dapat dilakukan secara
lisan, tulis dan melalui media elektronika.
Penawaran merupakan suatu usul yang
ditujukan kepada pihak lain untuk menutup
perjanjian, di mana usul tersebut telah
ditetapkan sedemikian rupa sehingga
penerimaan pihak lain segera akan melahirkan
perjanjian. Penawaran merupakan pernyataan
kehendak yang mengandung maksud untuk
mendapatkan penerimaan. Pernyataan kehendak
yang dibuat oleh kedua belah pihak bisa
melahirkan perjanjian. Oleh sebab itu,suatu
perjanjian dikatakan lahir karena tawaran dan
permintaan.31Pertemuan kehendak karena
penawaran dan permintaan tersebut merupakan
kesepakatan yang melahirkan adanya
perjanjian.Artinya apabila penawaran dan
penerimaan terjadi kehendak adanya
kesepakatan, maka perjanjian itu lahir. Prinsip
konsensualisme lahir dalam kontrak pengadaan
barang pemerintah, di samping prinsip
transparansi dan kepercayaan yang terdapat
dalam proses penawaran dan penerimaan dalam
pengadaan barang pemerintah.
Kontrak merupakan hasil dari
penawaran dan penerimaan, yang dilakukan
dengan kehendak bebas yang mencerminkan
prinsip kebebasan berkontrak. Dengan
menerima tawaran, sebuah norma menjadi
abash secara hukum dan mengatur prilaku
timbal balik dari pihak-pihak yang mengadakan
kontrak pengadaan barang pemerintah. Apabila
kontrak tersebut ditandatangani, atau telah
disepakati oleh para pihak, maka kontrak
tersebut sah dan berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak, mencerminkan prinsip
kekuatan mengikat dan kepastian hukum. Di
sisi lain, kewajiban dan hak para pihak wajib
31Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum
dan Negara, terjemahan RaisulMuttaqin, Nusamedia
dan Nusanba, Bandung, 2006, h. 202.
dilaksanakan sesuai dengan prinsip
keseimbangan para pihak sesuai dengan sepakat
yang dikehendakinya. Dengan demikian, yang
namanya kesepakatan sebenarnya terdiri dari
penawaran dn penerimaan (akseptasi).
Kontrak pengadaan barang/jasa yang
selanjutnya disebut kontrak adalah perjanjian
tertulis antara PPK dengan penyedia
barang/Jasa atau pelaksana swakelola. PPK
merupakan pejabat pembuat komitmen yang
mewakili pengguna barang pemerintah,
sedangkan penyedia barang merupakan badan
usaha, baik badan hukum atau bukan, atau
perorangan yang menyediakan barang
pemerintah.
Penyedia barang dalam pelaksanaan
pengadaan barang wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut: a. memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan untuk
menjalankan kegiatan/usaha; b. memiliki
keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan
manajerial untuk menyediakan Barang/Jasa; c.
memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan
sebagai Penyedia Barang/Jasa dalam kurun
waktu 4 (empat) tahun terakhir baik
dilingkungan pemerintah maupun swasta,
termasuk pengalaman subkontrak; d. ketentuan
sebagaimana dimaksud pada huruf c.
dikecualikan bagi Penyedia Barang/Jasa yang
baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun; e.
memiliki sumber daya manusia, modal,
peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan
dalam Pengadaan Barang/Jasa; f. dalam hal
Penyedia Barang/Jasa akan melakukan
kemitraan, Penyedia Barang/Jasa harus
mempunyai perjanjian kerja sama
operasi/kemitraan yang memuat persentase
kemitraan dan perusahaan yang mewakili
kemitraan tersebut; g. memiliki kemampuan
pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk Usaha
Mikro, Usaha Kecil dan koperasi kecil serta
kemampuan pada sub bidang pekerjaan yang
sesuai untuk usaha non kecil; h. memiliki
Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha non kecil,
kecuali untuk Pengadaan Barang dan Jasa
Konsultansi; i. khusus untuk Pengadaan
Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Lainnya, harus
memperhitungkan Sisa Kemampuan
Paket(SKP); j. tidak dalam pengawasan
pengadilan, tidak pailit, kegiatanusahanya tidak
sedang dihentikan dan/atau direksi yang
bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak
sedang dalam menjalani sanksi pidana, yang
dibuktikan dengan surat pernyataan yang
ditandatangani penyedia barang; k. sebagai
wajib pajak sudah memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi
kewajiban perpajakantahun terakhir (SPT
Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh
Pasal 21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi),PPh
Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha
KenaPajak) paling kurang 3 (tiga) bulan
terakhir dalam tahun berjalan . l. secara hukum
mempunyai kapasitas untuk mengikatkan diri
pada kontrak; m. tidak masuk dalam Daftar
Hitam; n. memiliki alamat tetap dan jelas serta
dapat dijangkau dengan jasa pengiriman; dan o.
menandatangani pakta integritas. Persyaratan,
dikecualikan bagi penyedia barang orang
perorangan. Pegawai K/L/D/I dilarang menjadi
penyedia barang, kecuali yang bersangkutan
mengambil cuti diluar tanggungan K/L/D/I.
Penyedia barang yang keikut sertaannya
menimbulkan pertentangan kepentingan
dilarang menjadi penyedia barang.
Pengadaan barang pemerintah
dilakukan dengan cara tawar menawar melalui
pelelangan. Sebelum dilakukan pelelangan
pengadaan barang dilakukan persiapan terlebih
dahulu, yaitu persiapan pengadaan barang
pemerintah. Persiapan dimulai dengan
mengadakan perencanaan pengadaan barang.
Dalam Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010, Pengguna Anggaran (disingkat
PA) menyusun rencana umum pengadaan
barang sesuai dengan kebutuhan pada K/L/D/I
masing-masing, Rencana umum pengadaan
barang sebagaimana dimaksud meliputi: a.
kegiatan dan anggaran pengadaan barang yang
akan dibiayai oleh K/L/D/I sendiri; dan/atau b.
kegiatan dan anggaran pengadaan barang yang
akan dibiayai berdasarkan kerja sama antar
K/L/D/I secara pembiayaan bersama (co-
financing), sepanjang diperlukan. Rencana
umum pengadaan barang meliputi kegiatan
sebagai berikut: a. mengindentifikasi
kebutuhan barang yang diperlukan K/L/D/I; b.
menyusun dan menetapkan rencana
penganggaran untuk pengadaan barang dan
c.menetapkan kebijakan umum tentang: 1)
pemaketan pekerjaan; 2) cara pengadaan
barang; dan 3) pengorganisasian pengadaan
barang/; d. menyusun Kerangka Acuan Kerja
(KAK). KAK sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf d paling sedikit memuat: a. uraian
kegiatan yang akan dilaksanakan; b. waktu
pelaksanaan yang diperlukan; c. spesifikasi
teknis barang yang akan diadakan; dan d.
besarnya total perkiraan biaya pekerjaan.
Pengguna anggaran (PA) memiliki
tugas dan kewenangan sebagai berikut: a.
menetapkan Rencana Umum Pengadaan; b.
mengumumkan secara luas rencana umum
pengadaan paling kurang diwebsite K/L/D/I; c.
menetapkan PPK; d. mene-tapkan pejabat
pengadaan; e. menetapkan panitia/pejabat
penerima hasil pekerjaan;f. menetapkan: 1)
pemenang pada pelelangan atau penyedia
padapenunjukan langsung untuk paket
pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa
lainnya dengan nilai diatas
Rp100.000.000.000,00 (seratus milar rupiah)
untuk paket pengadaan jasa konsultansi dengan
nilai diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah). g. mengawasi pelaksanaan
anggaran; h. menyampaikan laporan keuangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; i. menyelesaikan perselisihan antara
PPK dengan ULP/Pejabat pengadaan, dalam hal
terjadi perbedaan pendapat; dan j. mengawasi
penyimpanan dan pemeliharaan seluruh
dokumen pengadaan barang/jasa. Selain tugas
pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam hal diperlukan, PA dapat:
a. menetapkan tim teknis; dan/atau b.
menetapkan tim juri/tim ahli untuk pelaksanaan
Pengadaan melalui sayembara/ kontes.
Sesuai Pasal 22 Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010, PA menyusun Rencana
Umum Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan
kebutuhan pada K/L/D/I masing-masing.
Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan dan anggaran Pengadaan
Barang/Jasa yang akan dibiayai oleh K/L/D/I
sendiri; dan/atau b. kegiatan dan anggaran
Pengadaan Barang yang akan dibiayai
berdasarkan kerja sama antar K/L/D/I secara
pembiayaan bersama (co-financing), sepanjang
diperlukan. Rencana umum pengadaan
barang/jasa meliputi kegiatan-kegiatan sebagai
berikut: a. mengindentifikasi kebutuhan barang
yang diperlukan K/L/D/I; b. menyusun dan
menetapkan rencana penganggaran untuk
pengadaan barang/jasa; dan c. menetapkan
kebijakan umum tentang:1) pemaketan
pekerjaan; 2) cara pengadaan barang; dan 3)
memuat: a. uraian kegiatan yang akan
dilaksanakan; b. waktu pelaksanaan yang
diperlukan; c. spesifikasi teknis barang yang
akan diadakan; dan d. besarnya total perkiraan
biaya pekerjaan.
Penyusunan rencana umum pengadaan
barang/jasa pada K/L/D/I untuk Tahun
Anggaran berikutnya atau Tahun Anggaran
yang akan datang, harus diselesaikan pada
Tahun Anggaran yang berjalan. K/L/D/I
menyediakan biaya untuk pelaksanaan
pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang dibiayai
dari APBN/APBD, yang meliputi: a.
honorarium personil organisasi Pengadaan
Barang/Jasatermasuk tim teknis, tim pendukung
dan staf proyek; b. biaya pengumuman
Pengadaan Barang/Jasa termasuk
biaya pengumuman ulang; c. biaya
penggandaan Dokumen Pengadaan
Barang/Jasa;
dan d. biaya lainnya yang diperlukan untuk
mendukung pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa. K/L/D/I menyediakan biaya untuk
pelaksanaan pemilihanPenyedia Barang/Jasa
yang pengadaannya akan dilakukan pada Tahun
Anggaran berikutnya. (SBU) terkait honorarium
bagi personil organisasi pengadaan, sebagai
masukan/pertimbangan dalam penetapan SBU
oleh Menteri Keuangan/Kepala Daerah.
PA melakukan pemaketan barang
dalam rencana umum pengadaan barang
kegiatan dan anggaran K/L/D/I. Pemaketan
dilakukan dengan menetapkan sebanyak-
banyaknya paket usaha untuk usaha mikro dan
usaha kecil serta koperasikecil tanpa
mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan
sehat,kesatuan sistem dan kualitas kemampuan
teknis. Dalam melakukan pemaketan barang,
PA dilarang : a. menyatukan atau memusatkan
beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa
lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan
tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di
beberapa lokasi/daerah masing-masing; b.
menyatukan beberapa paket pengadaan yang
menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa
dipisahkan dan/atau besaran nilainya
seharusnya dilakukan oleh Usaha Mikro dan
Usaha Kecil serta koperasi kecil; c. memecah
Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa
paketdengan maksud menghindari pelelangan;
dan/atau d. menentukan kriteria, persyaratan
atau prosedur pengadaan yang diskriminatif
dan/atau dengan pertimbangan yang tidak
obyektif.
PA mengumumkan Rencana Umum
Pengadaan Barang/Jasa di masing-masing
K/L/D/I secara terbuka kepada masyarakat luas
setelah rencana kerja dan anggaran K/L/D/I
disetujui oleh DPR/DPRD. Pengumuman,
paling kurang berisi: a. nama dan alamat
Pengguna Anggaran; b. paket pekerjaan yang
akan dilaksanakan; c. lokasi pekerjaan; dan d.
perkiraan besaran biaya. Pengumuman
dilakukan dalam website K/L/D/I masing-
masing dan papan pengumumanresmi untuk
masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional
melalui LPSE. K/L/D/I dapat mengumumkan
rencana pelaksanaan pengadaan barang yang
kontraknya akan dilaksanakan pada tahun
anggaran berikutnya/yang akan datang.
Persiapan pemilihan penyedia barang
terdiri atas kegiatan: a. perencanaan pemilihan
penyedia; b. pemilihan sistem pengadaan; c.
penetapan metode penilaian kualifikasi; d.
penyusunan jadwal pemilihan penyedia barang;
e. penyusunan dokumen pengadaan barang; dan
f. penetapan HPS. Perencanaan pemilihan
penyedia barang terdiri atas kegiatan: a.
pengkajian ulang paket pekerjaan; dan b.
pengkajian ulang jadwal kegiatan pengadaan.
Perencanaan pemilihan penyedia barang, dapat
dilakukan oleh: a. PPK; dan/atau b.
ULP/Pejabat Pengadaan. Perencanaan
pemilihan penyedia barang dilakukan dengan: a.
menyesuaikan dengan kondisi nyata di
lokasi/lapangan pada saat akan melaksanakan
pemilihan penyedia barang; b.
mempertimbangkan kepentingan masyarakat; c.
mempertimbangkan jenis, sifat dan nilai barang
serta jumlah penyedia barang yang ada; dan d.
memperhatikan ketentuan tentang pemaketan.
Apabila terjadi perubahan paket pekerjaan
maka: a. PPK mengusulkan perubahan paket
pekerjaan kepada PA/KPA untuk ditetapkan;
atau b. ULP/Pejabat Pengadaan mengusulkan
perubahan paket pekerjaan melalui PPK untuk
ditetapkan oleh PA/KPA.
Pemilihan sistem pengadaan barang
dengan melalui penetapan metode pemilihan
penyedia barang. ULP/Pejabat pengadaan
menyusun dan menetapkan metode pemilihan
penyedia barang. Pemilihan penyedia barang
dilakukan dengan: a. pelelangan yang terdiri
atas pelelangan umum dan pelelangan
sederhana; b. penunjukan langsung; c.
pengadaan langsung; atau d. kontes/sayembara.
Pemilihan penyedia barang pada prinsipnya
dilakukan melalui metode pelelangan umum
dengan pasca kualifikasi. Pemilihan penyedia
barang melalui metode pelelangan umum
diumumkan paling kurang di website K/L/D/I,
dan papan pengumuman resmi untuk
Masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional
melalui LPSE, sehingga masyarakat luas dan
dunia usaha yang berminat dan memenuhi
kualifikasi dapat mengikutinya. Dalam
pelelangan umum tidak ada negosiasi teknis dan
harga.
Dalam Pasal 37 Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 datur tentang pengadaan
pekerjaan yang tidak kompleks dan bernilai
paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dapat dilakukan dengan: a. pelelangan
sederhana untuk pengadaan barang/jasa lainnya;
atau b. pemilihan langsung untuk pengadaan
pekerjaan konstruksi. pelelangan sederhana atau
pemilihan langsung dilakukan melalui proses
pascakualifikasi. Pelelangan sderhana atau
pemilihan langsung diumumkan sekurang-
kurangnya diwebsite K/L/D/I, dan papan
pengumuman resmi untuk masyarakat serta
Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE,
sehingga masyarakat luas dan dunia usaha yang
berminat dan memenuhi kualifikasi dapat
mengikutinya. Dalam pelelangan sederhana atau
pemilihan langsung tidak ada negosiasi teknis
dan harga.
Dalam Pasal 47 Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 diatur tentang metode
penyampaian dokumen. ULP/Pejabat
Pengadaan menyusun dan menetapkan metode
pemasukan dokumen penawaran. Metode
pemasukan dokumen penawaran terdiri atas: a.
metode satu sampul; b. metode dua sampul;
atau c. metode dua tahap. Metode satu sampul
digunakan untuk pengadaan barang/jasayang
sederhana dan memiliki karakteristik sebagai
berikut: a. pengadaan barang yang standar
harganya telahditetapkan pemerintah; b.
pengadaan jasa konsultansi dengan KAK yang
sederhana;atau c. pengadaan barang/pekerjaan
konstruksi/Jasa lainnya yang spesifikasi teknis
atau volumenya dapat dinyatakan secara jelas
dalam dokumen pengadaaan. Metode satu
sampul digunakan dalam penunjukan
langsung/pengadaan
langsung/kontes/sayembara. Metode dua
sampul digunakan untuk: a. pengadaan
Barang/Jasa Lainnya yang menggunakan
evaluasi sistem nilai atau sistem biaya selama
umur ekonomis. b. pengadaan jasa konsultansi
yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1)
dibutuhkan penilaian yang terpisah antara
persyaratan teknis dengan harga penawaran,
agar penilaian harga tidak mempengaruhi
penilaian teknis; atau 2) pekerjaan bersifat
kompleks sehingga diperlukan evaluasi teknis
yang lebih mendalam. Metode dua tahap
digunakan untuk pengadaan barang/ pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya yang memiliki
karakteristik : a. pekerjaan bersifat kompleks;
b. memenuhi kriteria kinerja tertentu dari
keseluruhan sistem, termasuk pertimbangan
pengoperasian dan pemeliharan peralatannya;
dan/atau c. mempunyai beberapa desain
penerapan teknologi yang berbeda.
Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor
54 Tahun 2010 mengatur tentang penetapan
metode evaluasi pengadaan barang pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya. Metode evaluasi
penawaran dalam pemilihan Penyedia
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
terdiri atas: a. sistem gugur; b. sistem nilai; dan
c. sistem penilaian biaya selama umur
ekonomis. Metode evaluasi penawaran untuk
Pengadaan Barang/PekerjaanKonstruksi/Jasa
Lainnya pada prinsipnya menggunakan
penilaian sistem gugur. Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
yang bersifat kompleks, dapat menggunakan
metode evaluasi sistem nilai atau metode
evaluasi penilaian biaya selama umur ekonomis.
Sistem nilai dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut: a. besaran bobot biaya antara
70% (tujuh puluh perseratus) sampai dengan
90% (sembilan puluh perseratus) dari total
bobot keseluruhan; b. unsur yang dinilai harus
bersifat kuantitatif atau yang dapat
dikuantifikasikan; dan c. tata cara dan kriteria
penilaian harus dicantumkan dengan jelas dan
rinci dalam Dokumen Pengadaan. Dalam
melakukan evaluasi ULP/Pejabat Pengadaan
dilarang mengubah, menambah dan/atau
mengurangi kriteria serta tata cara evaluasi
setelah batas akhir pemasukan Dokumen
Penawaran.
Penetapan jenis kontrak pengadaan
barang pemerintah diatur dalam Pasal 50
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan jenis
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa. Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa meliputi : a. Kontrak
berdasarkan cara pembayaran; b. Kontrak
berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran; c.
Kontrak berdasarkan sumber pendanaan; dan d.
Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan. Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan cara
pembayaran terdiri atas: a. Kontrak Lump Sum;
b. Kontrak Harga Satuan; c. Kontrak gabungan
Lump Sum dan Harga Satuan; d. Kontrak
Persentase; dan e. Kontrak Terima Jadi
(Turnkey). Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
berdasarkan pembebanan Tahun Anggaran
terdiri atas: a. Kontrak Tahun Tunggal; dan b.
Kontrak Tahun Jamak. Kontrak Pengadaan
Barang/Jasa berdasarkan sumber pendanaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
terdiri atas: a. Kontrak Pengadaan Tunggal; b.
Kontrak Pengadaan Bersama; dan c. Kontrak
Payung (Framework Contract). Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan jenis
pekerjaan terdiri atas: a. Kontrak Pengadaan
Pekerjaan Tunggal; dan b. Kontrak Pengadaan
Pekerjaan Terintegrasi.
Kontrak Lump Sum merupakan
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas
penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas
waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam
Kontrak, dengan ketentuan sebagai berikut: a.
jumlah harga pasti dan tetap serta tidak
dimungkinkan penyesuaian harga; b. semua
risiko sepenuhnya ditanggung oleh Penyedia
Barang/Jasa; c. pembayaran didasarkan pada
tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai
dengan isi Kontrak; d. sifat pekerjaan
berorientasi kepada keluaran (output based); e.
total harga penawaran bersifat mengikat; dan f.
tidak diperbolehkan adanya pekerjaan
tambah/kurang.
Kontrak Harga Satuan merupakan
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas
penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas
waktu yang telah ditetapkan dengan ketentuan
sebagai berikut: a. harga satuan pasti dan tetap
untuk setiap satuan atauunsur pekerjaan dengan
spesifikasi teknis tertentu; b. volume atau
kuantitas pekerjaannya masih bersifatperkiraan
pada saat Kontrak ditandatangani; c.
pembayarannya didasarkan pada hasil
pengukuran bersama atas volume pekerjaan
yang benar-benar telah dilaksanakan oleh
Penyedia Barang/Jasa; dan d. dimungkinkan
adanya pekerjaan tambah/kurang berdasarkan
hasil pengukuran bersama atas pekerjaan yang
diperlukan.
Kontrak gabungan Lump Sum dan
Harga Satuan adalah Kontrak yang merupakan
gabungan Lump Sum dan Harga Satuan dalam1
(satu) pekerjaan yang diperjanjikan. Kontrak
Persentase merupakan Kontrak Pengadaan Jasa
Konsultansi/Jasa Lainnya, dengan ketentuan
sebagai berikut: a. Penyedia Jasa
Konsultansi/Jasa Lainnya menerima imbalan
berdasarkan persentase dari nilai pekerjaan
tertentu; dan b. pembayarannya didasarkan
pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan
sesuai dengan isiKontrak.
Kontrak Terima Jadi (Turnkey)
merupakan Kontrak Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya atas
penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas
waktu tertentu dengan ketentuan sebagai
berikut: a. jumlah harga pasti dan tetap sampai
seluruh pekerjaan selesai dilaksanakan; dan b.
pembayaran dilakukan berdasarkan hasil
penilaian bersama yang menunjukkan bahwa
pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan
kriteria kinerja yang telah ditetapkan.
Kontrak Tahun Tunggal merupakan Kontrak
yang pelaksanaan pekerjaannya mengikat dana
anggaran selama masa 1 (satu)Tahun Anggaran.
Kontrak Tahun Jamak merupakan Kontrak yang
pelaksanaan pekerjaannya untuk masa lebih dari
1 (satu) Tahun Anggaran atas beban anggaran,
yang dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan : a. Menteri Keuangan untuk
kegiatan yang nilainya diatas
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. Menteri/Pimpinan Lembaga yang
bersangkutan untuk kegiatan yang nilai
kontraknya sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
bagi kegiatan: penanaman benih/bibit,
penghijauan, pelayanan perintis laut/udara,
makanan dan obat di rumah sakit, makanan
untuk nara pidana di Lembaga Pemasyarakatan,
pengadaan pita cukai, layanan pembuangan
sampah danpengadaan jasa cleaning service.
Kontrak Tahun Jamak pada pemerintah daerah
disetujui oleh Kepala Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kontrak Pengadaan Tunggal merupakan
Kontrak yang dibuat oleh 1 (satu) PPK dengan
1 (satu) Penyedia Barang/Jasa tertentu untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu
tertentu. Kontrak Pengadaan Bersama
merupakan Kontrak antara beberapa PPK
dengan 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa untuk
menyelesaikan pekerjaan dalam waktu tertentu,
sesuai dengan kebutuhan masing-masing PPK
yang menandatangani kontrak.
Kontrak Payung (Framework Contract)
merupakan Kontrak Harga Satuan antara
Pemerintah dengan Penyedia Barang/Jasa yang
dapat dimanfaatkan oleh K/L/D/I, dengan
ketentuan sebagai berikut: a. diadakan untuk
menjamin harga Barang/Jasa yang lebih efisien,
ketersediaan Barang/Jasa terjamin dan sifatnya
dibutuhkan secara berulang dengan volume atau
kuantitas pekerjaan yang belum dapat
ditentukan pada saat Kontrak ditandatangani;
dan b. pembayarannya dilakukan oleh setiap
PPK/Satuan Kerja yang didasarkan pada hasil
penilaian/pengukuran bersama terhadap
volume/kuantitas pekerjaan yang telah
dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa secara
nyata. Pembebanan anggaran untuk Kontrak
Pengadaan Bersama, diatur dalam kesepakatan
pendanaan bersama.
Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal
merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
yang hanya terdiri dari 1 (satu) pekerjaan
perencanaan, pelaksanaan atau pengawasan.
Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi
merupakan Kontrak Pengadaan Pekerjaan
Konstruksi yang bersifat kompleks dengan
menggabungkan kegiatan perencanaan,
pelaksanaan dan/atau pengawasan.
Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor
54 Tahun 2010 mengatur tentang kualifikasi.
Kualifikasi merupakan proses penilaian
kompetensi dan kemampuan usaha serta
pemenuhan persyaratan tertentulainnya dari
Penyedia Barang/Jasa. Kualifikasi dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu
prakualifikasi atau pasca-kualifikasi.
Prakualifikasi merupakan proses penilaian
kualifikasi yangdilakukan sebelum pemasukan
penawaran. Prakualifikasi dilaksanakan untuk
Pengadaan sebagai berikut: a. pemilihan
Penyedia Jasa Konsultansi; b. pemilihan
Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya yang bersifat kompleks melalui
Pelelangan Umum; atau c. pemilihan Penyedia
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
yang menggunakan Metode Penunjukan
Langsung, kecuali untuk penanganan darurat.
Proses penilaian kualifikasi untuk Penunjukan
Langsung dalampenanganan darurat dilakukan
bersamaan dengan pemasukan Dokumen
Penawaran.
Proses prakualifikasi menghasilkan: a.
daftar calon Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya; atau b. daftar pendek
calon Penyedia Jasa Konsultansi. Dalam proses
prakualifikasi, ULP/Pejabat Pengadaan segera
membuka dan mengevaluasi Dokumen
Kualifikasi paling lama 2(dua) hari kerja setelah
diterima. Pascakualifikasi merupakan proses
penilaian kualifikasi yang dilakukan setelah
pemasukan penawaran.
Pascakualifikasi dilaksanakan untuk
Pengadaan sebagai berikut: a. Pelelangan
Umum, kecuali Pelelangan Umum untuk
Pekerjaan Kompleks; b. Pelelangan
Sederhana/Pemilihan Langsung; dan c.
Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi
Perorangan. ULP/Pejabat Pengadaan dilarang
menambah persyaratan kualifikasi yang
bertujuan diskriminatif serta diluar yang telah
ditetapkan dalam ketentuan Peraturan Presiden
ini. ULP/Pejabat Pengadaan wajib
menyederhanakan proses kualifikasi dengan
ketentuan: a. meminta Penyedia Barang/Jasa
mengisi formulirkualifikasi; dan tidak
meminta seluruh dokumen yang disyaratkan
kecuali pada tahap pembuktian kualifikasi.
Penilaian kualifikasi dilakukan dengan metode:
a. Sistem Gugur, untuk Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya; b.
Sistem nilai untuk Pengadaan Jasa Konsultansi.
Pasal 57 mengatur mengenai tahapan
pemilihan penyedia barang. Pemilihan Penyedia
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya
dengan metode Pelelangan Umum meliputi
tahapan sebagai berikut: a. Pelelangan Umum
untuk pemilihan Penyedia Barang/Jasa Lainnya
dengan prakualifikasi, metode dua sampul yang
meliputi kegiatan: 1) pengumuman
prakualifikasi; 2) pendaftaran dan pengambilan
Dokumen Kualifikasi; 3) pemasukan dan
evaluasi Dokumen Kualifikasi; 4) pem-buktian
kualifikasi dan pembuatan Berita Acara
Pembuktian Kualifikasi; 5) penetapan hasil
kualifikasi; 6) pengumuman hasil kualifikasi; 7)
sanggahan kualifikasi; 8) undangan; 9)
pengambilan Dokumen Pemilihan; 10)
pemberian penjelasan; 11) pemasukan
Dokumen Penawaran; 12) pembukaan
Dokumen Penawaran sampul; 13) evaluasi
Dokumen Penawaran sampul; 14)
pemberitahuan/pengumuman peserta yang lulus
evaluasi sampul ; 15) pembukaan Dokumen
Penawaran sampul; 16) evaluasi Dokumen
Penawaran sampul; 17) pembuatan Berita Acara
Hasil Pelelangan; 18) penetapan pemenang; 19)
pengumuman pemenang; 20) sanggahan; 21)
sanggahan banding (apabila diperlukan); dan
22) penunjukan Penyedia Barang/Jasa.
Pelelangan Umum untuk pemilihan
Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya dengan prakualifikasi atau Pelelangan
Terbatas untuk pemilihan Penyedia Pekerjaan
Konstruksi, metode dua tahap yang meliputi
kegiatan: 1)pengumuman prakualifikasi;
2)pendaftaran dan pengambilan Dokumen
Kualifikasi; 3) pemasukan dan evaluasi
Dokumen Kualifikasi; 4)pembuktian
kualifikasi; 5)penetapan hasil kualifikasi;
6)pengumuman hasil kualifikasi; 7)sanggahan
kualifikasi; 8)undangan; 9)pengambilan
Dokumen Pemilihan; 10)pemberian penjelasan;
11)pemasukan Dokumen Penawaran tahap I ;
12)pembukaan Dokumen Penawaran tahap I
;13)evaluasi Dokumen Penawaran tahap I ;
14)penetapan peserta yang lulus evaluasi tahap I
; 15)pemberitahuan/pengumuman peserta yang
lulusevaluasi tahap I ; 16) pemasukan Dokumen
Penawaran tahap II ; 17)pembukaan Dokumen
Penawaran tahap II ; 18)evaluasi Dokumen
Penawaran tahap II; 19) pembuatan Berita
Acara Hasil Pelelangan; 20) penetapan
pemenang; 21)pengumuman pemenang; 22)
sanggahan; 23) sanggahan banding (apabila
diperlukan); dan 24) penunjukan Penyedia
Barang/Jasa.
Pelelangan Umum untuk pemilihan
Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya dengan pasca kualifikasi yang meliputi
kegiatan: 1) pengumuman; 2) pendaftaran dan
pengambilan Dokumen Pengadaan; 3)
pemberian penjelasan; 4)pemasukan Dokumen
Penawaran; 5) pembukaan Dokumen
Penawaran;6) evaluasi penawaran; 7) evaluasi
kualifikasi; 8) pembuktian kualifikasi; 9)
pembuatan Berita Acara Hasil Pelelangan; 10)
penetapan pemenang; 11) pengumuman
pemenang; 12) sanggahan; 13) sanggahan
banding (apabila diper-lukan); dan 14)
penunjukan Penyedia Barang/Jasa.
Pemilihan Penyedia Barang/Jasa
Lainnya dengan metode Pelelangan Sederhana
atau Pemilihan Langsung untuk Pekerjaan
Konstruksi, meliputi tahapan sebagai berikut: a.
pengumuman; b. pendaftaran dan pengambilan
Dokumen Pengadaan; c. pemberian penjelasan;
d. pemasukan Dokumen Penawaran; e.
pembukaan Dokumen Penawaran; f. evaluasi
penawaran; g. evaluasi kualifikasi; h.
pembuktian kualifikasi; i. pembuatan Berita
Acara Hasil Pelelangan; j. penetapan pemenang;
k. pengumuman pemenang; l. sanggahan; m.
sanggahan banding (apabila diperlukan); dan n.
penunjukan Penyedia Barang/Jasa.
Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya untuk penanganan
darurat dengan metode PenunjukanLangsung,
meliputi tahapan sebagai berikut: a. PPK dapat
menerbitkan Surat Perintah Mulai Kerja
(SPMK) kepada: 1) Penyedia terdekat yang
sedang melaksanakan pekerjaan sejenis; atau 2)
Penyedia lain yang dinilai mampu dan
memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut, bila tidak ada Penyedia..
Proses dan administrasi Penunjukan
Langsung dilakukan secara simultan, sebagai
berikut : 1) opname pekerjaan di lapangan; 2)
penetapan jenis, spesifikasi teknis dan volume
pekerjaan, serta waktu penyelesaian pekerjaan;
3) penyusunan Dokumen Pengadaan; 4)
penyusunan dan penetapan HPS; ) penyampaian
Dokumen Pengadaan kepada Penyedia
Barang/Pekerjaan Konstruksi/JasaLainnya; 6)
penyampaian Dokumen Penawaran; 7)
pembukaan Dokumen Penawaran; 8) klarifikasi
dan negosiasi teknis serta harga; 9) penyusunan
Berita Acara Hasil Penunjukan Langsung; 10)
penetapan Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya; 11) pengumuman
Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya; dan 12) Penunjukan Penyedia
Barang/Jasa.
Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya untuk bukan
penanganan darurat dengan Metode Penunjukan
Langsung meliputi tahapan sebagai berikut: a.
undangan kepada peserta terpilih dilampiri
Dokumen Pengadaan; b. pemasukan Dokumen
Kualifikasi; c. evaluasi kualifikasi; d.
pemberian penjelasan;e. pemasukan Dokumen
Penawaran; f. evaluasi penawaran serta
klarifikasi dan negosiasi teknis dan harga; g.
penetapan pemenang; h. pengumuman
pemenang; dan i. penunjukan Penyedia
Barang/Jasa.
Pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya dengan metode
Pengadaan Langsung meliputi paling kurang
tahapan sebagai berikut: a. survei harga pasar
dengan cara membandingkan minimal dari 2
(dua) Penyedia Barang/Pekerjaan
Konstruksi/JasaLainnya yang berbeda; b.
membandingkan harga penawaran dengan HPS;
dan c. klarifikasi teknis dan negosiasi
harga/biaya.
Pemilihan Penyedia Barang/Jasa
Lainnya dengan metode Kontes/Sayembara
meliputi paling kurang tahapan sebagaiberikut:
a. pengumuman; b. pendaftaran dan
pengambilan Dokumen Kontes/ Sayembara; c.
pemberian penjelasan; d. pemasukan proposal;
e. pembukaan proposal; f. pemeriksaan
administrasi dan penilaian proposal teknis;g.
pembuatan Berita Acara Hasil
Kontes/Sayembara; h. penetapan pemenang; i.
pengumuman pemenang; dan j. penunjukan
pemenang.
ULP/Pejabat Pengadaan menyusun dan
menetapkan jadwal pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa.Penyusunan jadwal pelaksanaan
Pengadaan harus memberikan alokasi waktu
yang cukup untuk semua tahapan proses
Pengadaan, termasuk waktu untuk: a.
pengumuman Pelelangan/Seleksi; b.
pendaftaran dan pengambilan Dokumen
Kualifikasi atau Dokumen Pengadaan; c.
pemberian penjelasan; d. pemasukan Dokumen
Penawaran; e. evaluasi penawaran; f. penetapan
pemenang; dan g. sanggahan dan sanggahan
banding.
Pelelangan Umum dengan
prakualifikasi, Pelelangan Terbatas atau Seleksi
Umum dilakukan dengan ketetapan waktu
sebagai berikut: a. penayangan pengumuman
prakualifikasi paling kurang 7(tujuh) hari kerja;
b. pendaftaran dan pengambilan Dokumen
Kualifikasi dimulai sejak tanggal pengumuman
sampai dengan 1(satu) hari kerja sebelum batas
akhir pemasukan Dokumen Kualifikasi; c.
batas akhir pemasukan Dokumen Kualifikasi
paling kurang 3 (tiga) hari kerja setelah
berakhirnya penayangan pengumuman
kualifikasi; d. masa sanggah terhadap hasil
kualifikasi dilakukan selama5 (lima) hari kerja
setelah pengumuman hasil kualifikasi dan tidak
ada sanggahan banding; e. undangan
lelang/seleksi kepada peserta yang lulus
kualifikasi disampaikan 1 (satu) hari kerja
setelah selesainya masalah sanggah; f.
pengambilan Dokumen Pemilihan dilakukan
sejak dikeluarkannya undangan lelang/seleksi
sampai dengan 1(satu) hari kerja sebelum batas
akhir pemasukan Dokumen Penawaran; g.
pemberian penjelasan dilaksanakan paling cepat
4(empat) hari kerja sejak tanggal undangan
lelang/seleksi; h. pemasukan Dokumen
Penawaran dimulai 1 (satu) hari kerja setelah
pemberian penjelasan sampai dengan
palingkurang 7 (tujuh) hari kerja setelah
ditandatanganinyaBerita Acara Pemberian
Penjelasan; i. masa sanggah terhadap hasil
lelang/seleksi selama 5(lima) hari kerja setelah
pengumuman hasil lelang/seleksi dan masa
sanggah banding selama 5 (lima) hari kerja
setelah menerima jawaban sanggahan; j. Surat
Penunjukan Penyedia barang/ jasa (SPPBJ)
diterbitkan paling lambat 6 (enam) hari kerja
setelah pengumuman penetapan pemenang
lelang/seleksi apabila tidak ada sanggahan, atau
setelah sanggahan dijawab dalam hal tidak ada
sanggahan banding;
PPK menyempurnakan rancangan
Kontrak Pengadaan Barang/ Jasa untuk
ditandatangani. Penandatanganan Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa dilakukan setelah
DIPA/DPA disahkan. Para pihak
menandatangani Kontrak setelah Penyedia
Barang/ Jasa menyerahkan Jaminan
Pelaksanaan paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak diterbitkannya SPPBJ.
Penandatanganan Kontrak Pengadaan barang/
jasa yang kompleks dan/atau bernilai diatas
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
dilakukan setelah memperoleh pendapat ahli
hukum kontrak.
Pihak yang berwenang menandatangani
Kontrak PengadaanBarang/Jasa atas nama
Penyedia Barang/Jasa adalah Direksi yang
disebutkan namanya dalam Akta
Pendirian/Anggaran Dasar Penyedia
Barang/Jasa, yang telah didaftarkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pihak
lain yang bukan Direksi atau yang namanya
tidak disebutkan dalam Akta
Pendirian/Anggaran Dasar dapat
menandatangani Kontrak Pengadaan
Barang/Jasa, sepanjang mendapat
kuasa/pendelegasian wewenang yang sah dari
Direksi atau pihak yang sah berdasarkan Akta
Pendirian/Anggaran Dasar untuk
menandatangani Kontrak Pengadaan
Barang/Jasa.
AKIBAT WANPRESTASI BAGI
PENYEDIA BARANG DALAM
PELAKSANAAN KONTRAK
PENGADAAN BARANG PEMERINTAH
Sebab-sebab Wanprestasi Dalam Pengadaan
Barang Pemerintah
Sesuai ketentuan Pasal 1234 KUH
Perdata dinyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat
sesatu”. Kontrak pengadaan barang pemerintah
merupakan perjanjian.Suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu,
timbulah suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian
itu menerbitkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Perikatan merupakan
suatu perhubungan hukum antara dua orang
atau lebih, berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu hak dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Dengan demikian, hubungan antara perikatan
dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah
sumber perikatan, sebagai dinyatakan oleh Pasal
1233 KUH Perdata bahwa “tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang”.
Perikatan juga dinamakan persetujuan.
Perikatan adalah persetujuan, karena dua kata
tersebut mempunyai arti yang sama. Perkataan
kontrak menurut R. Subekti, “lebih sempit
karena ditujukan kepada perjanjian atau
persetujuan yang tertulis”.32Kontrak yang dibuat
secara sah, mempunyai kekuatan hukum yang
sah, mempunyai nilai dan mempunyai kekuatan
yang mengikat bagi para pihak yang
membuatnya. Ini merupakan prinsip
konsensualisme yang terdapat dalam kontrak,
dan merupakan landasan hukum yang terdapat
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa
setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya. Prinsip yang terdapat dalam pasal
tersebut berlaku secara universal, dan juga
berlaku bagi kontrak pengadaan barang
pemerintah.
Sebagaimana yang dijabarkan dalam
Pasal 1234 KUH Perdata bahwa suatu perikatan
atau perjanjian atau kontrak harus dilaksanakan
dan ditepati pelaksanaannya. Artinya bahwa
kontrak pengadaan barang pemerintah harus
dilaksanakan atau dipenuhi isi kontrak. Inilah
tujuan daripada kontrak pengadaan barang
pemerintah sesuai dengan kehendak yang telah
disetujui oleh para pihak. Pelaksanaan isi
daripada kontrak pengadaan barang pemerintah
bisa dilakukan sendiri oleh para pihak,
dilakukan dengan bantuan orang lain, dan bisa
juga pemenuhan prestasi kontrak pengadaan
barang dilakukan oleh pihak ketiga untuk
kepentingan dan atas nama debitur (penyedia
barang pemerintah). Artinya pihak penyedia
barang pemerintah melaksanakan kewajibannya
memenuhi isi kontrak, yang ukurannya
didasarkan pada prinsip kepatutan atau etikat
baik. Artinya, penyedia barang pemerintah telah
32R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit., h. 1.
melaksanakan kewajibannya menurut yang
sepatutnya, serasi dan selayaknya menurut
semestinya sesuai dengan ketentuan yang telah
disetujui bersama.
Pelaksanaan kontrak pengadaan barang
pemerintah dilaksanakan dengan selayaknya
atau sepatutnya, harus dilihat pada saat
pelaksanaan kontrak. Sejak saat pelaksanaan
kontrak pengadaan barang pemerintah,
tanggung jawab dapat ditagih pada penyedia
barang pemerintah, terutama tentang segala
kekurangan yang merugikan atau kurang
tepatnya waktu pelaksanaan kontrak pengadaan
barang pemerintah, sehingga penyedia barang
pemerintah dapat dianggap telah berbuat tidak
sepatutnya, seperti dirumuskan dalam Pasal
1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
perjanjian tidak hanya mengikat sesuai dengan
apa yang disebut secara tegas, tapi juga segala
apa yang diharuskan, menurut sifat, kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang. Demikian juga
ditegaskan dalam Pasal 1235 KUH Perdata
bahwa perjanjian untuk memberikan sesuatu
meliputi kewajiban menyerahkan, menjaga
keselamatan barang sampai pada saat
penyerahan. Sebab apabila pihak penyedia
barang pemerintah tidak melakukan
pelaksanaan prestasi sebagaimana ditentukan
dalam kontrak pengadaan barang pemerintah,
atau telah lalai, sehingga terlambat dari jadwal
yang ditentukan atau dalam melaksanakan
prestasi tidak menurut sepatutnya atau
selayaknya, maka penyedia barang pemerintah,
dapat dikatakan melakukan wanprestasi.
Wanprestasi berari tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dalam Pasal 1234 KUH
Perdata bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu. M. Yahya
Harahap memberikan pengertian wanprestasi
adalah “pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat
pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya”.33 Berdasarkan pengertian tersebut,
maka penyedia barang pemerintah disebut dan
berada dalam keadaan wanprestasi, apabila
yang bersangkutan dalam melakukan
pelaksanaan kontrak pengadaan barang
pemerintah telah lalai, sehingga terlambat dari
jadwal waktu yang ditentukan atau dalam
melaksanakan prestasi yang ditentukan dalam
kontrak pengadaan barang pemerintah tidak
menurut sepatutnya atau selayaknya. Artinya
33M. YahyaHarahap, Op. Cit., h. 60.
bahwa penyedia barang pemerintah, dikatakan
wanprestasi, dalam hal tidak memenuhi prestasi
sama sekali, terlambat dalam memenuhi
prestasi, dan prestasi yang terdapat dalam
kontrak pengadaan barang pemerintah tidak
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Penyedia barang pemerintah dinyatakan
wanprestasi, apabila dinyatakan lalai
berdasarkan teguran bahwa yang bersangkutan
dalam keadaan lalai, seperti diatur dalam Pasal
1238 KUH Perdata bahwa si berutang adalah
lalai, apabila ia dengan surat perintah atau
dengan sebuah akta sejenis itu dinyatakan lalai
atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini
menetapkan bahwa si berutang akan harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan. Dengan merujuk pada pasal
tersebut, mengenai bentuk pernyataan lalai
dapat berbentuk surat perintah atau akta lain
yang sejenis, berdasarkan kekuatan kontrak
pengadaan barang pemerintah itu sendiri.
Teguran harus dilakukan barulah menyusul
peringatan atau “aanmaning”, atau bisa juga
disebut sommasi. Sommasi berarti peringatan
agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai
dengan tegoran/pernyataan kelalaian yang telah
disampaikan kreditur kepadanya.
Dalam Pasal 118 Peraturan Pemerintah
Nomor 54 tahun 2010 menentukan bahwa
perbuatan atau tindakan penyedia barang yang
dapat dikenakan sanksi adalah:tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak
secara bertanggung jawab. Di sisi lain, apabila
APIP setelah melakukan pemeriksaan terhadap
pemenuhan penggunaan produksi dalam negeri
dalam pengadaan barang untukkeperluan
instansinya masing-masing menyatakan adanya
ketidaksesuaian dalam penggunaanbarang
produksi dalam negeri, maka penyedia
barangdikenakan sanksi sesuai dengan
Peraturan Presiden ini. Sebelum pengenaan
sanksi, APIP segera melakukan langkah serta
tindakan yang bersifat kuratif/perbaikan, dalam
hal terjadi ketidaksesuaian dalampenggunaan
produksi dalam negeri, termasuk audit teknis
(technical audit) berdasarkan dokumen
pengadaan dan kontrakpengadaan barang yang
bersangkutan. Dalam hal hasil
pemeriksaanmenyatakan adanya ketidaksesuai-
an dalam penggunaanBarang produksi dalam
negeri, penyedia barangdikenakan sanksi sesuai
dengan Peraturan Presiden ini. PPK yang
menyimpang dari ketentuan ini dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimanna diatur
dalam Pasal 99 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2010.
Contoh dalam praktek mengenai wanprestasi
seperti yang terdapat pada Surat Perjanjian
Nomor 027/3824/114.3/2015, tanggal 12 Mei
2015, Jenis Pekerjaan : Pengadaan Pupuk NPK
Untuk Percontohan Intensifikasi Tembakau
Jawa Wilayah Timur Kegiatan Standardisasi
Kualitas Bahan Baku, Kewajiban penyedia
barang adalah menyelesaikan pekerjaan
sebagaimana yang telah disepakati dengan
waktu yang telah ditentukan. Kewajiban
penyedia barang menyelesaikan distribusi
dan/atau melakukan penggantian apabila jumlah
hasil uji laboratorium tidak sesuai dengan
spesifikisai yang diminta.Apabilapenyedia
barang tidak mampu menyelesaikan pekerjaan
dengan penambahan waktu yang telah diberikan
oleh pihak PPK, maka penyedia barang
menerima pemutrusan kontrak dan sanksi denda
serta masuk daftar hitam. Keterlambatan
merupakan sebab-sebab atau alasan adanya
wanprestasi, juga seperti dinyatakan dalam
angka 5 huruf a angka 6), 7), dan 8) dinyatakan
bahwa apabila pelaksanaan pekerjaan dimaksud
(pengiriman/penyerahan pupuk NPK ke titik
bagi/kelompok tani, pemeriksaan
barang/pekerjaan, pengambilan sample pupuk
dan pengujian ke laboratorium yang ditunjuk
oleh PPK sesuai Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 43/Permentan/SR.140/8/2011, melebihi
enam puluh hari kalender, maka penyedia akan
dikenakan sanksi denda keterlambatan sebesar
1/1000 (satu per mil) dari nilai kontrak
dikaitkan dengan jumlah hari kalender
keterlambatan.Denda tersebut dibayarkan oleh
penyedia apabila terjadi keterlambatan atau
wanprestasi. Penyedia berkewajiban
menyelesaikan pekerjaan selambat-lambatnya
pada tanggal penyelesaian yang ditetapkan
dalam kontrak, gagal mengirimkan barang
sesuai jadwal, gagal memperbaiki cacat mutu,
dan penyedia lalai/cidera janji dalam
melaksanakan kewajibannya dan tidak
memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu
yang ditetapkan.
Tanggung Gugat Bagi Penyedia Barang
Pemerintah Akibat Wanprestasi Prinsip tanggung gugat sebenarnya
berkaitan dengan prinsip tanggung jawab, yang
dalam bahasa Belanda adalah
“verantwoordelijk”, yang berarti “kewajiban
me-mikul pertanggungjawaban dan memikul
kerugian yang diderita (bila dituntut) baik
dalam hukum maupun dalam administrasi”.34
Tanggung gugat tersebut selalu dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata
bahwa setiap perbuatan melawan hukum, yang
oleh karena itu menimbulkan kerugian pada
orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menyebabkan kerugian tersebut
mengganti kerugian. Pasal tersebut terkenal
dengan sebutan pasal perbuatan melawan
hukum atau pasal mengenai tanggung jawab
berdasarkan kesalahan.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam
suatu gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH
Perdata adalah pertama, adanya perbuatan
melawan hukum dari pihak tergugat; kedua,
perbuatan tersebut dapat dipersalahkan
kepadanya; ketiga, adanya kerugian yang
diderita penggugat sebagai akibat dari kesalahan
tersebut. Pengertian kesalahan di sini adalah
baik karena kesengajaan maupun karena
kelalaian. Ukuran yang digunakan terhadap
perbuatan pelaku adalah perbuatan manusia
normal yang dapat membedakan kapan dia
harus melakukan sesuatu dan kapan dia tidak
boleh melakukan sesuatu.
Pengertian perbuatan melawan hukum
mengalami perkembangan dengan adanya
putusan HogeRaad, 31 Januari 1919, dalam
perkara Lindenbaum-Cohen. Pengertian
perbuatan melawan hukum, termasuk setiap
perbuatan (ataupun tidak berbuat) yang ataukah
melanggar hak subyektif orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku; ataupun bertentangan dengan tata susila
ataupun bertentangan dengan kepatutan,
ketelitian dan sikap hati-hati, yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan
sesame warga masyarakat dan terhadap harta
benda orang lain. Pengertian ini lebih luas
dibanding yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH
Perdata, bahwa perbuatan melanggar hukum
hanya melanggar undang-undang saja.
Tanggung jawab terhadap pelaku perbuatan
melawan atau melanggar hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata bahwa
“setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Kelalaian dalam pelaksanaan perjanjian
atau kontrak biasa dinamakan
34N..E. Algra, et, al., Op. Cit., h. 608.
wanprestasi.Wanprestasi terjadi dalam
pengadaan barang pemerintah, apabila para
pihak tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Dalam pengadaan barang pemerintah,
kebanyakan yang lalai, alpa, atau ingkar janji
adalah penyedia barang pemerintah.
Wanprestasi tersebut dapat berupa tidak
melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya; melaksanakan apa yang
diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan; melakukan apa yang diperjanjikan
tetapi terlambat; dan melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Penyedia barang pemerintah yang
wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak
pengadaan barang pemerintah akan
menimbulkan akibat hukum. Penyedia barang
pemerintah dinyatakan lalai atau wanprestasi
secara umum diatur dalam Pasal 1238 KUH
Perdata yang berbunyi “si berutang adalah lalai,
bila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatannya sendiri, jika ini
menetapkan bahwa si berutang akan harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”. Apabila penyedia barang
pemerintah, sudah diperingatkan atau sudah
dengan tegas ditagih janjinya, maka jika ia tetap
tidak melakukan prestasinya, dan penyedia
barang pemerintah tetap berada dalam keadaan
lalai atau alpa, terhadap penyedia barang
pemerintah dapat dikenakan sanksi berupa ganti
rugi, pembatalan perjanjian, bunga, dan
peralihan resiko. Penggantian biaya, rugi dan
bunga karena tidak dipenuhinya perikatan,
sesuai ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata,
barulah diwajibkan, apabila penyedia barang
pemerintah, setelah dinyatakan lalai memenuhi
kontrak pengadaan barang pemerintah, tetap
melalaikannya atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampauinya.
Pasal 118 ayat (1) Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 dinyatakan bahwa
perbuatan atau tindakan penyedia barang yang
dapat dikenakan sanksi adalah tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak
secara bertanggung jawab; dan/atau
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 99 ayat (3), ditemukan
adanya ketidak sesuaian dalam penggunaan
barang produksi dalam negeri. Pasal 99 ayat (3)
menyatakan bahwa dalam hal hasil pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
menyatakan adanya ketidaksesuaian dalam
penggunaanbarang produksi dalam negeri,
penyedia barang dikenakan sanksi sesuai
dengan Peraturan Presiden ini. Pasal 99 ayat (1)
menyatakan bahwa “APIP melakukan
pemeriksaan terhadap pemenuhan
penggunaanproduksi dalam negeri dalam
Pengadaan Barang/Jasa untuk keperluan
instansinya masing-masing. Perbuatan penyedia
barang pemerintah tersebut merupakan
perbuatan wanprestasi.
Perbuatan penyedia barang pemerintah
sebagaimana terurai tersebut di atas, dapat
dikenakan sanksi berupa: a. sanksi
administratif; b. sanksi pencantuman dalam
Daftar Hitam; c. gugatan secara perdata;
dan/atau d. pelaporan secara pidana kepada
pihak berwenang. Pemberian sanksi dilakukan
oleh PPK/ULP/Pejabat Pengadaan sesuai
dengan ketentuan dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas
informasi yang disampaikan Penyedia
Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan
sebagai calon pemenang dan dimasukkan
dalamDaftar Hitam.Pasal 124 (1) K/L/D/I
dapat membuat Daftar Hitam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf b,yang
memuat identitas Penyedia Barang/Jasa yang
dikenakan sanksi oleh K/L/D/I. (2) Daftar
Hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memuatdaftar Penyedia Barang/Jasa yang
dilarang mengikuti Pengadaan Barang/Jasa pada
K/L/D/I yang bersangkutan.(3) K/L/D/I
menyerahkan Daftar Hitam kepada LKPP untuk
dimasukkan dalam Daftar Hitam Nasional. (4)
Daftar Hitam Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), dimutakhirkan setiap saat dan
dimuat dalam Portal Pengadaan Nasional.
Apabila terjadi pelanggaran dan/atau
kecurangan dalam proses pengadaan
barang/jasa, maka ULP dikenakan sanksi
administrasi; a. dituntut ganti rugi; dan/atau
b.dilaporkan secara pidana.
Penyedia barang pemerintah dibebaskan
dari tanggung jawab dan/atau ganti rugi, apabila
dalam keadaan overmacht atau kahar.
Overmacht atau kahar merupakan keadaan yang
memaksa. Overmacht merupakan landasan
hukum yang memaafkan penyedia barang
pemerintah. Peristiwa overmacht mencegah
penyedia barang pemerintah menanggung
akibat dan resiko kontrak pengadaan barang
pemerintah. Itulah sebabnya ovarmacht
merupakan penyimpangan dari asas umum
kontrak pengadaan barang pemerintah.
Penyedia barang pemerintah dibebaskan atau
dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga,
apabila dapat membuktikan bahwa hal tidak
atau tidak pada waktu yang tepat
dilaksanakannya kontrak pengadaan barang
pemerintah disebabkan suatu hal yang tak
terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan
padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk
tidaklah ada pada pihaknya, seperti yang
ditentukan dalam Pasal 1244 KUH Perdata.
Overmacht atau keadaan kahar diatur
dalam Pasal 91 Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010. Keadaan Kahar adalah suatu
keadaan yang terjadi diluar kehendak para pihak
dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya,
sehingga kewajiban yang ditentukan dalam
kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi. Yang
dapat digolongkan sebagai keadaan kahar dalam
kontrak pengadaan barang meliputi: a. bencana
alam; b. bencana non alam; c. bencana sosial; d.
pemogokan; e. kebakaran; dan/atau f. gangguan
industri lainnya sebagaimana dinyatakan
melalui keputusan bersama Menteri Keuangan
danmenteri teknis terkait. Dalam hal terjadi
keadaan kahar, penyedia barang
memberitahukan tentang terjadinya keadaan
kahar kepada PPKsecara tertulis dalam waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari kalender
sejak terjadinya keadaan kahar, dengan
menyertakan salinan pernyataan keadaan kahar
yang dikeluarkan oleh pihak/instansi yang
berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tidak termasuk keadaan
kahar adalah hal-hal merugikan yang
disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian para
pihak. Keterlambatan pelaksanaan pekerjaan
yang diakibatkan oleh terjadinya keadaan kahar
tidak dikenakan sanksi. Setelah terjadinya
keadaan kahar, para pihak dapat melakukan
kesepakatan, yang dituangkan dalam perubahan
kontrak pengadaan barang pemerintah
PENUTUP
Kesimpulan
1. Prinsip-prinsip kontrak secara universal
yang terdapat dalam norma KUH
Perdata tetap berlaku dalam
pelaksanaan kontrak pengadaan barang
pemerintah, seperti prinsip kebebasan
berkontrak, prinsip konsensualisme,
prinsip kekuatan mengikat, dan prinsip
keseimbansagan. Prinsip transparansi
dalam kontrak pengadaan barang
pemerintah merupakan prinsip dasar
yang digunakan dalam rangka
pelaksanaan penawaran dan penerimaan
(akseptasi) yang dilakukan melalui
pelelangan secara terbuka, baik melalui
media cetak dan/atau melalui media
elektronika. Prinsip transparansi bukan
merupakan salah salah prinsip yang
digunakan dalam kontrak pengadaan
barang pemerintah, karena dalam
pengadaan barang pemerintahmasih
terdapat prinsip-prinsip efisien;. efektif;
terbuka; . bersaing; adil/tidak
diskriminatif; dan akuntabel.Dalam
kontrak pengadaan barang pemerintah,
para pihak bertindak berdasarkan
prinsip saling percaya yang disesuaikan
dengan hak-hak yang terdapat dalam
kontrak. Para pihak sepakat
melaksanakan kontrak dengan jujur
tanpa menonjolkan kepentingan
masing-masing pihak dan berkewajiban
untuk bertindak berdasarkan prinsip
itikad baik dalam melaksanakan
terpenuhinya tujuan dan isi kontrak
pengadaan barang pemerintah.
2. Dalam kontrak pengadaan barang
pemerintah terdapat ketentuan atau
norma yang mengatur tentang
wanprestasi bagi penyedia barang
pemerintah maupun pejabat pembuat
komitmen (PPK).Wanprestasi dalam
kontrak pengadaan barang pemerintai
terjadi karena keterlambatan
penyelesaian pekerjaan dank arena
cacat mutu. Penyedia barang
pemerintah dikatakan wanprestasi atau
cedera janji dalam menyelesaikan
pekerjaan dalam waktu yang ditentukan
atau gagal atau lalai memenuhi
kewajiban kontraktualnya serta
ditemukan dan diberitahukan cacat
mutu kepada penyedia barang
pemerintah, tetapi tidak memperbaiki
dalam jangka waktu yang ditetapkan
dalam pemberitahuan. Jika penyedia
barang pemerintah tidak melaksanakan
prestasi setelah diberi tambahan waktu
menyelesaikan ternyata tidak
dilaksanakan, dan jika penyedia barang
pemerintah tidak memperbaiki cacat
mutu dalam jangka waktu yang
ditentukan, maka PPK dapat memutus
kontrak secara sepihak dan penyedia
barang pemerintah dinenakan sanksi
atau PPK secara langsung atau melalui
pihak ketiga yang ditunjuk melakukan
perbaikan tersebut.serta PPK dapat
mengenakan denda keterlambatan untuk
setiap keterlambatan perbaikan cacat
mutu. Besarnya denda yang dikenakan
kepada penyedia barang pemerintah
atas keterlambatan penyelesaian
pekerjaan adalah 1/1000 (satu
perseribu) dari sisa harga bagian
kontrak yang belum dikerjakan, apabila
pekerjaan yang sudah selesai dapat
berfungsi secara mandiri/tidak
dipengaruhi bagian yang belum selesai;
atau 1/1000 (satu perseribu) dari harga
kontrak, apabila bagian pekerjaan yang
sudah dilaksanakan belum berfungsi,
dan pilihan denda ditetapkan dalam
SSK
Saran
1. Pemerintah hampir setiap tahun
melaksanakan pembangunan dengan
salah satunya melalui pengadaan
barang pemerntah, yang dilakukan
secara rutin melakukan tindakan
melakukan kontraktualisasi, yang
dilakukan oleh pejabat pembuat
komitmen. Banyak pejabat pembuat
komitmen sebagai penanggung jawab
kontrak, ternyata bukan seorang yang
paham hukum, walaupun seorang
sarjana hukum.Oleh karena itu, agar
pelaksanaan kontrak seuai dan
terjamin adanya kepastian hukum,
diperlukan legislasi yang khusus
mengatur dan menangani kontrak
pengadaan barang dan/atau jasa
pemerintah, yang bertumpu pada
hukum kontrak.
2. Aturan dan materi muatan, baik
prosedur, materi dan/atau isi atau
klausula dalam kontrak pengadaan
barang pemerintah, dipandang perlu
dipertegas dan diperjelas, karena
masih menggunakan lampiran standar
dokumen pengadaan secara
elektronik, yang dicetak atau
diperbanyak dengan melalui foto kopi.
Hal tersebut bukan merupakan
pembelajaran yang baik dalam
pelaksanaan kontrak pengadaan
barang pemerintah, bahkan dalam
memahami hukum-hukum
perjanjian/kontrak. Oleh karena itu,
dokumen kontrak pengadaan barang
pemerintah perlu pembaharuan,
termasuk petugas atau aparat yang
dilibatkan dalam kontrak tersebut,
minimal seorang sarjana hukum yang
betul-betul dan paham dalam hukum
perjanjian/kontrak
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia
Terpadu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.
Hans Kelsen, Teori Hukum tentang Hukum dan
Negara, terjemahan Raisul Muttaqin,
Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006.
Herline Boediono, Asas Keseimbangan bagi
Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006.
J.H. Nieuwieenhuis, Drie Beginselen van
Contractenrecht, diss, RUL, 1979,
Deventer, 1979.
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada
Umumnya, Alumni, Bandung, 1993.
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum
Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
M. Nasroen, Ilmu Perbandingan Pemerintahan,
Aksara Baru, Jakarta, 1986.
Mariam Darus badrulzaman, Aneka Hukum
Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
------------------, K.U.H. Perdata, Buku III,
Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Alumni, Bandung, 1996.
Moch. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 1985.
N. E. Algra et., al., Kamus istilah Hukum,
Fockema Andreae, Belanda Indonesia,
Bina Cipta, Jakarta, 1983.
Herline Boediono, Asas Keseimbangan bagi
Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006.
Ole R. Holsti, Contens Analysis for the Social
Sciences and Humanities, Reading Mass,
Addision Wesley. 1969.
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum
Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 1994.
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Intermasa, Bandung, 1984.
------------, Hukum Perjanjian, Intermasa,
Jakarta, 2001.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Balai Pustaka, Jakarta, 2012.
Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, Universitas Indonesia (UI-Pres),
Jakarta, 1984.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali, Cetakan
Ketiga, Jakarta,1992.
The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Super,
Jakarta, 1977.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang
Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur,
Bandung, 1991.
Yan Pramadiya PUSPA, Kamus Hukum, Edisi
Lengkap, Aneka Ilmu, Semarang, 1977
2. Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang telah beberapa kali diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010; Peraturan Presden
Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/jasa Pemerintah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
155, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5334);
Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014
tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 368, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5642);
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015
tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor .5 Tahun 2015 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 56.