LAPORAN KASUS
CHEPALGIA PADA STROKE INFARK
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa
Pembimbing :
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, MH
Disusun Oleh :
Dodi Saputra
1910221054
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. GUNAWAN MANGUNKUSUMO
AMBARAWA
PERIODE 8 MARET 2021 – 27 MARET 2021
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Chepalgia Pada Stroke Infark
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Saraf Di RSUD dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa
Disusun Oleh:
Dodi Saputra 1910221054
Mengetahui,
Pembimbing : dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, MH
Tanggal : Maret 2021
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan
klinik bagian Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPN Veteran
Jakarta di RSUD dr. Gunawan Mangunkusumo Ambarawa dengan judul
“Chepalgia Pada Stroke Infark”. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, MH selaku pembimbing makalah ini
dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama kepaniteraan. Tidak
lupa ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Terima kasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pihak yang terkait terutama penulis dan kepada pembaca.
Ambarawa, Maret 2021
Penulis
iii
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. AR
Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal Lahir : 5 Agustus 1959
Usia : 61 Tahun 7 Bulan
Alamat : Losari Grabag
No. Rekam Medis : 199725-2021
Tanggal dirawat di RS : 12 Maret 20201
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status Menikah : Sudah Menikah
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamesis dengan pasien serta dilengkapi
dengan alloanamnesis dengan istri dan anak pasien pada tanggal 14 Maret 2021,
pukul 08.30 WIB, bertempat di bangsal Dahlia Kamar 214.2 RSUD dr. Gunawan
Mangunkusumo
Keluhan Utama
Pasien datang ke RSGM dengan keluhan nyeri kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
4 hari SMRS (8/3/2021) pasien mengeluhkan nyeri kepala yang
dirasakan sesaat setelah selesai membenarkan torrent di rumahnya. Nyeri
kepala ini dirasakan pada seluruh lapang kepala pasien yang disertai
dengan mual. Keluhan dirasakan secara tiba-tiba dan bersifat hilang timbul
dan membaik dengan istirahat. Skala nyeri yang dirasakan oleh pasien saat
itu sekitar 6/10. Keluhan ini belum pernah dirasakan sebelumnya. 2 hari
SMRS (10/3/2021) tiba-tiba tangan pasien tidak dapat menjepit makanan
dengan jarinya namun masih dapat mengangkat tangannya. 2 jam SMRS
pasien merasakan nyeri kepala hebat dengan skala nyeri 9/10. Lalu pasien
dibawa oleh keluarga pasien ke klinik terdekat. Ketika di klinik pasien
1
hanya diberi obat darah tinggi dan vitamin dan langsung dirujuk ke poli
saraf RSGM. Saat itu pasien masih dapat berjalan seperti biasa dan juga
masih dapat berbicara namun nyeri kepala masih tetap dirasakan.
Akhirnya pasien diputuskan untuk dirawat di RSGM. 16 jam pasca masuk
bangsal RSGM tiba-tiba pasien tidak dapat menggerakkan lengan dan
tungkai kanannya, pasien merasa berat untuk menggerakkannya, dan tidak
dapat digunakan untuk berjalan. Keluhan tersebut juga bersamaan dengan
munculnya keluhan bicara pelo dan bibir miring ke kanan. Saat bicara,
pasien merasa sulit mengeluarkan kata-kata dan terdengar tidak jelas saat
berbicara yaitu saat berbicara dengan kalimat yang panjang atau berbicara
dengan durasi yang lama. Pasien dapat minum dan makan makanan padat
dengan baik. Keluhan bibir miring ke kanan terlihat saat pasien sedang
diam. Pasien masih dapat merasakan sentuhan di seluruh anggota gerak
dan tidak dirasakan adanya kesemutan. Kondisi pasien pada saat ini masih
sadar penuh. Nafsu makan baik dan tidak memiliki gangguan BAB, BAK.
Informasi tentang riwayat penyakit ini didapatkan dari pasien langsung,
anak dan istri pasien. Pasien masih ingat dengan kejadian yang menimpa
pasien lengkap dengan waktunya namun pasien tidak dapat menjelaskan
dengan lancar karena kesulitan untuk berbicara sehingga pasien mencoba
menjelaskan dengan tangan kirinya serta beberapa bahasa isyarat yang
dikeluarkan oleh pasien sendiri. Keluhan ini tidak diawali dengan jatuh,
demam, trauma kepala, pingsan, kejang dan artritis.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Pasien
memiliki Riwayat diabetes mellitus dan hipertensi sejak lama, namun pasien
hanya rutin berobat dan meminum diabetes mellitusnya saja. Satu bulan
sekali pasien kontrol mengenai diabetes mellitusnya ke dokter dan pasien
rutin meminum obat glimepiride setiap pagi.
Riwayat autominun, alergi dan tumor disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa, Riwayat darah tinggi dan Riwayat DM disangkal
oleh pasien.
2
Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi
Pasien saat ini tidak bekerja hanya di rumah saja momong cucu. Dahulu
pasien merokok tetapi sudah berhenti sejak umur 40 tahun. Pasien tidak
pernah meminum minuman beralkohol. Pasien juga jarang berolahraga
Riwayat Pemberian Obat
Pasien saat ini meminum obat glimepiride 1x1 namun pasien lupa dosis
glimepiride yang pasien minum.
C. Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : Sakit kepala (+)
Sistem kardiovaskular : Riwayat Hipertensi (+), Riwayat Merokok (+)
Sistem neurologis : Kelemahan anggota gerak kanan (+),
afasia motorik (+)
Sistem gastrointestional: tidak ada keluhan
Sistem respirasi : tidak ada keluhan
Sistem integumen : tidak ada keluhan
Sistem urogenital : tidak ada keluhan
D. Resume Anamnesis
Tn. AR 61 tahun datang ke RSGM dengan keluhan nyeri kepala dan tangan
kanan sulit menggenggam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada saat
datang pasien masih dapat berjalan, berbicara jelas dan mengangkat tangannya
namun tidak dapat menggenggam. Keluhan ini belum pernah dirasakan
sebelumnya. 16 jam pasca pasien masuk bangsal dahlia (saat malam hari) pasien
tidak dapat berjalan, menggerakan tangan kanan dan berbicara pelo secara tiba-
tiba tetapi pasien masih dapat menggerakkan kaki kanannya dan mengerti dengan
perkataan yang dibicarakan oleh orang sekitar pasien. Keluhan ini tidak diawali
dengan jatuh, demam, tumor, pingsan dan autoimun. Pasien masih sadar penuh.
Keluhan BAB, BAK disangkal oleh pasien
E. Diskusi Pertama
Dari data anamnesis didapatkan suatu kumpulan gejala berupa kelemahan
anggota gerak kanan, yang sifatnya mendadak disertai bicara pelo, dan mulut
3
mencong ke arah kanan. Pada penderita tidak didapatkan defisit neurologis yang
terjadi secara progresif, berupa penurunan kesadaran berupa kelemahan motorik
yang terjadi akibat suatu proses destruksi maupun nyeri kepala kronik akibat dari
proses kompresi dengan segala akibatnya yang merupakan gambaran umum pada
tumor otak (Greenberg, 2001). Gejala-gejala abses serebri berupa nyeri kepala
yang cenderung memberat, demam, defisit neurologi fokal dan kejang juga tidak
terdapat pada penderita ini (Adam et al, 2001; De angelis, 2001).
Defisit neurologis akut yang terjadi secara spontan tanpa adanya faktor
pencetus yang jelas berupa trauma dan gejala infeksi sebelumnya mengarah ke
suatu lesi vaskuler karena onsetnya yang mendadak. Sehingga pada penderita
mengarah pada diagnosis stroke. Menurut WHO, stroke adalah suatu tanda klinis
yang berkembang secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke juga
didefinisikan oleh Davenport & Davis sebagai gangguan fungsi otak akut akibat
gangguan suplai darah di otak, atau perdarahan yang terjadi mendadak,
berlangsung dalam atau lebih dari 24 jam yang menyebabkan cacat atau kematian.
Afasia motorik merupakan gangguan fungsi bahasa dimana pasien tidak
dapat memberikan ekspresi bahasa dan repetisi yang buruk namun pasien masih
paham dengan obrolan orang lain yang sedang berbicara dengan pasien dan pasien
mengerti apa yang mau pasien bicarakan sehingga pasien ini diklasifikasikan
sebagai Afasia Broca. Keluhan ini didapatkan mendadak pada saat 16 jam pasca
pasien masuk ke RSGM dan menetap hingga hari perawatan ketiga. Namun
sebelum terjadi kelemahan dan kelumpuhan di anggota gerak kanan, pasien sudah
mengeluh sulit menggunakan jari-jari tangannya semenjak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Berdasarkan waktu, hal ini dapat dikategorikan sebagai Reversible
Ischemic Neurological Deficit atau RIND.
Defisit neurologis yang terjadi mengenai satu sisi anggota gerak tubuh
pasien mengarahkan kemungkinan terdapat lesi vaskular serebri yang terjadi pada
sisi kontralateralnya. Pada pasien ini terjadi defisit neurologis disebelah kanan
yang dapat dikatakan terdapat lesi vaskular di hemisfer sinistra mengingat adanya
penyilangan saraf motorik di batang otak. Defisit neurologis pada pasien ini
4
bersifat mendadak tanpa ada pencetusnya terlebih dahulu. Hal ini dapat
mengarahkan pada suatu keadaan stroke. Stroke memiliki faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin, herediter dan ras serta faktor risiko
yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus,
merokok, hyperlipidemia, alkohol, obesitas,kurang olahraga dan gaya hidup. pada
pasien ini terdapat faktor risiko yang dimiliki yaitu hipertensi, diabetes mellitus,
merokok, dan kurang olahraga. Gejala klinis pasien merujuk ke stroke iskemik
(Stroke non hemoragik) dikarenakan pasien tidak ada penurunan kesadaran dan
tidak ada muntah. namun untuk penegakkan diagnosis stroke harus dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
Pada anamnesis juga didapatkan bahwa pasien memiliki penyakit diabetes
mellitus dan hipertensi yang tidak terkontrol. Penyebab diabetes melitus menjadi
stroke iskemik salah satunya adalah adanya suatu proses aterosklerosis. Kira-kira
30% pasien dengan aterosklerosis otak terbukti adalah penderita diabetes.
Terjadinya hiperglikemia menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah besar
maupun pembuluh darah perifer disamping itu juga akan meningkatkan agegrat
platelet dimana kedua proses tersebut dapat menyebabkan aterosklerosis.
Hiperglikemia juga dapat meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan
menyebabkan naiknya tekanan darah atau hipertensi dan berakibat terjadinya
stroke iskemik. Proses makroangiopati dianggap sangat relevan dengan stroke dan
juga terdapat bukti adanya keterlibatan proses makroangiopati yang ditandai
terjadinya stroke lakunar pada penderita diabetes melitus(Gilroy, 2000).
Kondisi DM sendiri, akan menyebabkan kerusakan dinding arteri sehingga
membentuk bekuan darah yang disebut thrombus. Pada proses ini akan terjadi
penurunan aliran darah lebih lanjut. Pada beberapa kasus thrombus akan
membesar dan menutup lumen arteri, atau thrombus dapat terlepas dan
membentuk emboli yang akan mengikuti aliran darah dan menyumbat arteri di
daerah yang lain. Jaringan yang memperoleh vaskularisasi dari arteri yang
tersumbat oleh emboli tersebut akan mati karena kehilangan suplai oksigen secara
cepat, yang bila terjadi di jantung akan menyebabkan kerusakan pada jantung
sehingga menjadi penyakit jantung (Gofur, 2009).
5
1. Stroke
a. Definisi
Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran
darah otak. Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan
fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian
otak.1 Menurut WHO (World Health Organization) stroke didefinisikan
suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan
tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak.2
b. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu
stroke iskemik maupun stroke hemoragik.1 Stroke iskemik 2/3 berupa
stroke trombotik dan 1/3 berupa stroke embolik, sedangkan stroke
perdarahan terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarachnoid.
1) Stroke iskemik
Stroke iskemik adalah keadaan penderita dengan gangguan
neurologik fokal yang mendadak karena obstruksi atau
penyempitan pembuluh darah arteri otak. Aliran darah ke otak
terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding
pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu
pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau
sebesar 83% mengalami stroke jenis ini. Penyumbatan bisa terjadi
di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak.
Darah ke otak disuplai oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri
vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta
jantung. Penyumbatan ini dapat disebabkan oleh :
Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam
pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan
berkurangnya aliran darah.
Emboli atau sumbatan bekuan darah yang berasal dari
6
tempat lain yang paling sering terjadi pada penderita yang
baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan
katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama
fibrilasi atrium).
Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa
mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan
stroke.
a) Macam – macam stroke iskemik4
TIA (Transient Ischemic Attack)
Adalah episode singkat disfungsi neurologis yang
disebabkan gangguan setempat pada otak atau iskemi
retina yang terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam,
tanpa adanya infark, serta meningkatkan resiko
terjadinya stroke di masa depan.
RIND (Reversible Ischemic Neurological Deficit)
Stroke in Evolution
Perjalanan stroke berlangsung perlahan meskipun akut.
Kondisi stroke di mana defisit neurologisnya terus
bertambah berat
Completed Stroke
Gangguan neurologis maksimal sejak awal serangan
dengan sedikit perbaikan. Kondisi stroke di mana
defisit neurologisnya pada saat onset lebih berat, dan
kemudiannya dapat membaik/menetap.
2) Stroke hemoragik
Stroke hemoragik / perdarahan yaitu suatu gangguan fungsi
saraf yang disebabkan kerusakan pembuluh darah otak sehingga
menyebabkan pendarahan pada area tersebut.
Hemoragik intraserebral
Perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak.
Hemoragik subaraknoid
Perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid (ruang
7
sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang
menutupi otak).
Gambar 1. Perbedaan Stroke Iskemik dan Stroke Hemoragik
c. Faktor Risiko
Berikut adalah faktor risiko stroke yang dapat dirubah atau
dikendalikan5:
1) Tekanan darah tinggi
2) Diabetes mellitus
3) Kadar lemak (kolesterol) darah yang tinggi
4) Kegemukan (obesitas)
5) Kadar asam urat yang tinggi
6) Stress
7) Merokok
8) Alkohol
9) Pola hidup tidak sehat
Berikut adalah faktor risiko tidak bisa dirubah atau dikendalikan5:
1) Usia tua
2) Jenis kelamin
3) Ras
4) Pernah menderita stroke
5) Kecenderungan stroke pada keluarga (faktor keturunan / genetik)
6) Arteri vena malformasi atau aneurisma berupa kelainan pembuluh
8
darah otak di mana stroke terjadi pada usia lebih muda (misalnya
anak - anak dan atau remaja).
d. Patofisiologi
Patofisiologi stroke infark akut meliputi dua proses, antara lain:2
1) Vaskuler, hematologi atau jantung (atherothromboembolism) yang
menyebabkan pengurangan dan perubahan aliran darah ke otak.
2) Perubahan kimia seluler yang disebabkan oleh keadaan vaskuler
tersebut dan merupakan penyebab terjadinya nekrosis sel saraf dan
glia.
Proses iskemia yang terjadi di otak mengalami rangkaian kejadian
dimulai dari jaringan saraf dan seterusnya menyebabkan kematian
neuronal dan infark. Penyumbatan pembuluh darah yang memasuki
parenkim otak menyebabkan daerah tersebut mengalami hipoksia
sehingga terjadi daerah infark yang dikelilingi daerah penumbra. Aliran
darah otak ≤ 20 ml/100gr/menit merupakan saat kritis untuk terjadi
kerusakan sel otak, sedang daerah penumbra antara 10-20
ml/100gr/menit.
Penyumbatan yang berakibat terjadi iskemia akan diikuti produksi
interleukin proinflamasi (IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF-α) yang
mengaktifasi reseptor pada permukaan endotel mikrovaskuler dan
leukosit. Dengan bantuan molekul adhesi selektin leukosit, kemudian
menempel dan menggelinding sepanjang permukaan endotel, kemudian
migrasi ke dinding pembuluh darah dengan bantuan molekul adhesi
CD-18, maka leukosit akan terikat pada molekul ICAM-1 dan ICAM-2
dipermukaan endotel dan akhirnya menetap dipermukaan pembuluh
darah. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga dapat menyebabkan
penyumbatan arteriola kecil dan menyebabkan area iskemik yang
merangsang produksi sitokin proinflamatori demikian seterusnya.
Selain itu, sitokin dapat memacu terjadinya thrombosis dengan
mengikat antikoagulan yang terdapat dalam sirkulasi seperti protein - C,
protein - S dan antithrombin - III dan menghambat pelepasan tissue
9
plasminogen activator. Migrasi leukosit ke dalam parenkim sel saraf,
susunan saraf pusat akan memacu pelepasan sitokin oleh mikroglia,
astrosit dan infiltrasi leukosit, sehingga terjadi neuronal cytotoxic
injury.2,6
Saat terjadi iskemia ringan akan terjadi kompensasi berupa
penurunan penggunaan energi dan peningkatan ekstraksi oksigen,
sedangkan pada keadaan iskemia berat akan terjadi glikolisis anaerobik
dengan menghasilkan asam laktat, penurunan energi fosfat dan inhibisi
sintesa protein akibatnya terjadi penurunan adenosin trifosfat (ATP),
pelepasan neurotransmitter (glutamat, aspartat), gangguan metabolisme
dan akhirnya terjadi depolarisasi anoksik. Keadaan ini akan diikuti
influks ion kalsium dan natrium, serta efluks ion kalium, karena
kegagalan pompa pada membran sel. Ion kalsium dalam sel akan
mengaktivasi enzim fosfolipase yang memecah fosfolipid dan akan
membentuk radikal bebas. Selain itu, akan memacu mikroglia
memproduksi nitrit oksida secara besar - besaran dan pelepasan sitokin
pada daerah infark yang akan menyebabkan kerusakan atau kematian
sel. Beberapa jam setelah serangan, daerah infark akan dikelilingi
daerah penumbra yaitu sel yang mengalami kerusakan tapi masih dapat
hidup kembali. Reperfusi spontan terjadi pada kurang lebih 33%
penderita pada 48 jam sesudah serangan dan 42 % penderita pada satu
minggu pertama. Reperfusi ini akan dapat memperbaiki daerah
penumbra, tetapi jika terjadi keterlambatan akan menyebabkan
kematian sel.2,6
Sementara stroke hemoragik (perdarahan serebri) termasuk urutan
ketiga dari semua penyebab utama kasus GPDO (Gangguan Pembuluh
Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh dari semua kasus penyakit
ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptur arteri
serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan /atau subaraknoid,
sehingga jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan tertekan.
Darah ini mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan
vasospasme pada arteria di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat
10
menyebar ke seluruh hemisper otak dan sirkulus wilisi. Bekuan darah
yang semula lunak menyerupai selai merah akhirnya akan larut dan
mengecil. Dipandang dari sudut histologis otak yang terletak di sekitar
tempat bekuan dapat membengkak dan mengalami nekrosis.2,4
e. Gejala Klinis
Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak, sangat cepat
dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit (completed
stroke). Kemudian stroke menjadi bertambah buruk dalam beberapa
jam sampai 1 - 2 hari akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati
(stroke in evolution). Perkembangan penyakit biasanya (tetapi tidak
selalu) diselingi dengan periode stabil, dimana perluasan jaringan yang
mati berhenti sementara atau terjadi beberapa perbaikan.
Infark serebral hemisfer kiri (LH) lebih sering jika dibandingkan
dengan infark hemisfer kanan (kanan) dan berhubungan dengan
hemodinamik antara sirkulasi arteri karotis kanan dan kiri. Perbedaan
kompleks media intima dan kecepatan aliran di arteri karotis kiri,
mengakibatkan stres yang lebih tinggi dan kerusakan intimal di
dalamnya. Hal ini dapat menyebabkan perubahan aterosklerotik, yang
mengarah ke kejadian iskemik LH yang lebih berat.13
Gejala stroke yang muncul tergantung dari bagian otak yang
terkena.1,3
Gangguan pada pembuluh darah karotis.
1) Arteria serebri media
Gangguan rasa (hipestesia) didaerah muka / wajah kontralateral
atau disertai hipestesia di lengan dan tungkai sesisi
Kelemahan kontralateral lebih besar pada tungkai dari tingkat
ringan sampai kelumpuhan total.
Gangguan untuk berbicara baik beruba sulit mengeluarkan kata-
kata (afasia motorik) atau sulit mengerti pembicaraan orang lain
(afasia sensorik)
Gangguan penglihatan berupa kebutaan satu sisi, atau separuh
11
lapang pandang (hemianopsia homonim)
Mata selalu melirik kearah satu sisi (deviation conjugae)
Kesadaran menurun
Tidak mengenal orang-orang yang sebelumnya dikenal
(prosopagnosia)
Mulut perot
Pelo (disartria)
Merasa anggota badan sesisi tidak ada
2) Arteria serebri anterior (cabang menuju otak bagian depan)
Monoparese tungkai kontralateral, kadang-kadang lengan bagian
proksimal dapat terkena
Inkontinesia urine
Penurunan kesadaran.
Apraksia dan gangguan kognitif lainnya
3) Arteria serebri posterior
Gangguan penglihatan pada 1 atau 2 mata berupa sulit
memahami barang yang dilihat, namun dapat mengerti jika
meraba atau mendenger suaranya
Kehilangan kemampuan mengenal warna
Hemihipestesia, kadang-kadang adanya nyeri spontan atau
hilangnya nyeri dan rasa gerat pada separuh sisi tubuh
Gangguan pembuluh darah vertebrobasilaris
4) Arteri vertebrobasilaris
Gangguan gerak bola mata, sehingga terjadi diplopia jalan
menjadi sempoyongan
Kehilangan keseimbangan
Hemiparese kontralateral
Kelumpuhan nervus kranialis ipsilateral
Vertigo
Nistagmus
5) Gejala akibat gangguan fungsi luhur
Afasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Afasia
12
terbagi menjadi dua yaitu afasia motorik dan afasia sensorik.
Afasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara,
mengeluarkan isi pikiran melalui perkataan sendiri, sementara
kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik
(Afasia Broca). Afasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk
mengerti pembicaraan orang lain namun masih bisa
mengeluarkan perkataan dengan lancar walau sebagian
diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya
kerusakan otak.
Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca dibedakkan
menjadi Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu
Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi
dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan
membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi
ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia.
Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya
kerusakan otak.
Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan
mengenal angka setelah terjadinya kerusakan otak.
Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image)
adalah sejumlah tingkat kemampuan yang sangat kompleks,
seperti penamaan, melakukan gerakan yang sesuai dengan
perintah atau menirukan gerakan - gerakan tertentu. Kelainan
ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari
disuruh menyebutkan nama jari yang disentuh sementara
penderita tidak boleh melihat jarinya).
Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya
kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang
berhubungan dengan ruang.
f. Diagnosis
Untuk membedakan stroke tersebut termasuk jenis hemoragik
13
atau non hemoragik antara keduanya, dapat ditentukan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis, algoritma dan penilaian
dengan skor stroke, dan pemeriksaan penunjang.8,2
Anamnesis
Bila sudah ditetapkan sebagai penyebabnya adalah stroke, maka
langkah berikutnya adalah menetapkan stroke tersebut termasuk
jenis yang mana, stroke hemoragik atau stroke non hemoragik.
Untuk keperluan tersebut, pengambilan anamnesis harus
dilakukan seteliti mungkin. Berdasarkan hasil anamnesis, dapat
ditentukan perbedaan antara keduanya, seperti tertulis pada tabel
di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan stroke hemoragik dan stroke infark berdasarkan anamnesis
Gejala Stroke hemoragik Stroke non hemoragik
Onset/awitan Mendadak Mendadak
Saat onset Sedang aktif Istirahat
Peringatan / warning - +
Nyeri kepala +++ + -
Kejang + -
Muntah + -
Penurunan kesadaran +++ + -
Pemeriksaan klinis neurologis
Pada pemeriksaan ini dicari tanda-tanda (sign) yang muncul, bila
dibandingkan antara keduanya akan didapatkan hasil sebagai
berikut :
Tabel 2. Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Infark berdasarkan tanda-
tandanya.
Tanda (sign) Sroke hemorhagic Stroke Infark
Bradikardi ++ (dari awal) + - (hari ke-4)
Udem papil Sering + -
Kaku kuduk + -
14
Tanda kernig,Brudzinsky ++ -
Skoring dan Algoritma
Siriraj Stroke Score (SSS) 9
Tabel 3. Siriraj Stroke Score (SSS)
Hasil
Skore SSS > 1 : perdarahan supra tentorial
Skore SSS < -1 : infark serebri
Skore SSS -1 s/d 1 : meragukan
Algoritma Gajah Mada
15
( 2,5 x kesadaran ) + ( 2 x muntah ) + ( 2 x sakit kepala ) + ( 0,1 x tekanan diastolik )
- ( 3 x ateroma ) – 12
Keterangan : Kesadaran 0 : komposmentis
1 : somnolen2 : sopor/ koma
Nyeri kepala 0 : tidak ada1 : ada
Muntah 0 : tidak ada 1 : ada
Ateroma 0 : tidak ada1 : ada
Pemeriksaan Penunjang
Computerized tomography (CT scan)
Untuk membantu menentukan penyebab seorang terduga
stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang disebut CT
scan otak sering dilakukan. Suatu CT scan digunakan untuk
mencari perdarahan atau massa di dalam otak, situasi yang
sangat berbeda dengan stroke yang memerlukan
penanganan yang berbeda pula. CT Scan berguna
untuk menentukan:10
jenis patologi
lokasi lesi
ukuran lesi
menyingkirkan lesi non vaskuler
16
Tabel 4. Gambaran CT-Scan Stroke Infark dan Stroke Hemoragik
MRI scan (Magnetic Resonance Imaging)
Menggunakan gelombang magnetik untuk membuat
gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih
detail jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini
bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke. jika CT
scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu
lebih dari satu jam.
Tes jantung
Tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering
dilakukan pada pasien stroke untuk mencari sumber
emboli. Echocardiogram adalah tes dengan gelombang
suara yang dilakukan dengan menempatkan peralatan
microphone pada dada atau turun melalui esophagus
(transesophageal achocardiogram) untuk melihat bilik
jantung. Monitor Holter sama dengan electrocardiogram
(EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada dada
selama 24 jam atau lebih lama untuk mengidentifikasi irama
jantung yang abnormal.
Tes darah
17
Tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein
yang dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat
memberi petunjuk adanya arteri yang mengalami
peradangan. Protein darah tertentu yang dapat
meningkatkan peluang terjadinya stroke karena pengentalan
darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab stroke yang dapat diterapi atau
untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes
darah screening mencari infeksi potensial, anemia, fungsi
ginjal dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu
dipertimbangkan.
Pemeriksaan angiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah
lokasi pada sistem karotis atau vertebrobasiler, menentukan
ada tidaknya penyempitan, oklusi atau aneurisma pada
pembuluh darah.
Gambar 2. Gambaran Angiografi Pada Penderita Stroke
Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan
ekstra kranial, menentukan ada tidaknya stenosis arteri
karotis.
18
Gambar 3. Gambaran USG pada Penderita Stroke
Pemeriksaan Pungsi lumbal
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak adanya CT scan
atau MRI. Pada stroke PIS didapatkan gambaran LCS
seperti cucian daging atau berwarna kekuningan. Pada PSA
didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada stroke infark
tidak didapatkan perdarahan (jernih).
Pemeriksaan penunjang lain
Pemeriksaan untuk menentukan faktor resiko seperti darah
rutin, komponen kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat,
profil lipid, gula darah, fungsi hepar), elektrolit darah,
thoraks foto, EKG, echocardiografi.
g. Diagnosis Banding
1) Tumor otak
2) Abses otak
3) Sakit kepala migrain
4) Perdarahan otak baik secara spontan atau karena trauma
5) Meningitis atau encephalitis
6) Overdosis karena obat tertentu
7) Ketidakseimbangan kalsium atau glukosa dalam tubuh dapat juga
menyebabkan perubahan sistem saraf yang serupa dengan stroke.
19
h. Tatalaksana
1) Fase Akut (hari ke 0 - 14 sesudah onset penyakit)
Sasaran pengobatan ialah menyelamatkan neuron yang
menderita jangan sampai mati, dan agar proses patologik lainnya
yang menyertai tak mengganggu/mengancam fungsi otak.
Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah
ke otak tetap cukup, tidak justru berkurang. Sehingga perlu
dipelihara fungsi optimal dari respirasi, jantung, tekanan darah
dipertahankan pada tingkat optimal, kontrol kadar gula darah
(kadar gula darah yang tinggi tidak diturunkan dengan drastis), bila
gawat balance cairan, elektrolit, dan asam basa harus terus
dipantau.
Pengobatan yang cepat dan tepat diharapkan dapat menekan
mortalitas dan mengurangi kecacatan. Tujuan utama pengobatan
adalah untuk memperbaiki aliran darah ke otak secepat mungkin
dan melindungi neuron dengan memotong kaskade iskemik.
Pengelolaan pasien stroke akut pada dasarnya dapat di bagi dalam :
Pengelolaan berdasarkan penyebabnya
a) Stroke iskemik
Memperbaiki aliran darah ke otak (reperfusi)
Usaha menghilangkan sumbatan penyebab stroke
merupakan upaya yang paling ideal, obat trombolisis yang
sudah di setujui oleh FDA adalah rt-PA (recombinan tissue
plasminogen activator) dengan dosis 0,9 mg/kgBB
maksimal 90 mg (10% diberikan bolus & sisanya infus
kontinyu dalam 60 menit). Sayangnya bahwa pengobatan
dengan obat ini mempunyai persyaratan pemberian haruslah
kurang dari 3 jam, sehingga hanya pasien yang masuk
rumah sakit dengan onset awal dan dapat penyelesaian
pemeriksaan darah, CT Scan kepala dan inform consent
yang cepat saja yang dapat menerima obat ini. Cara lain
20
memperbaiki aliran darah antara lain dengan memperbaiki
hemorheologi seperti obat pentoxifillin yang yang
mengurangi viskositas darah dengan meningkatkan
deformabilitas sel darah merah dengan dosis 15
mg/kgBB/hari. Obat lain yang juga memperbaiki sirkulasi
adalah naftidrofuril dengan memperbaiki aliran darah
melalui unsur seluler darah dosis 600 mg/hari selama 10
hari iv dilanjutkan oral 300 mg/hari
Prevensi terjadinya trombosis (antikoagualsi)
Obat yang dapat diberikan adalah heparin dengan dosis
awal 1.000 u/jam cek APTT 6 jam kemudian sampai
dicapai 1,5 – 2,5 kali kontrol hari ke 3 diganti anti koagulan
oral, Heparin berat molekul rendah (LWMH) dosis 2 x 0,4
cc subkutan monitor trombosit hari ke 1 & 3 (jika jumlah <
100.000 tidak diberikan), Warfarin dengan dosis hari I = 8
mg, hari II = 6 mg, hari III penyesuaian dosis dengan
melihat INR pasien.
Proteksi neuronal/sitoproteksi
Obat-obatan tersebut antara lain :
CDP-Choline bekerja dengan memperbaiki membran sel
dengan cara menambah sintesa phospatidylcholine,
menghambat terbentuknya radikal bebas dan juga
menaikkan sintesis asetilkolin suatu neurotransmiter
untuk fungsi kognitif.
Piracetam, cara kerja secara pasti didak diketahui,
diperkirakan memperbaiki integritas sel, memperbaiki
fluiditas membran dan menormalkan fungsi membran.
Statin, diklinik digunakan untuk anti lipid, mempunyai
sifat neuroprotektif untuk iskemia otak dan stroke.
Mempunyai efek anti oksidan “downstream dan
upstream”. Efek downstream adalah stabilisasi
atherosklerosis sehingga mengurangi pelepasan plaque
21
tromboemboli dari arteri ke arteri. Efek “upstream”
adalah memperbaiki pengaturan eNOS (endothelial
Nitric Oxide Synthese, mempunyai sifat anti trombus,
vasodilatasi dan anti inflamasi), menghambat iNOS
(inducible Nitric Oxide Synthese, sifatnya berlawanan
dengan eNOS), anti inflamasi dan anti oksidan.
Cerebrolisin, suatu protein otak bebas lemak dengan
khasiat anti calpain, penghambat caspase dan sebagai
neurotropik dosis 30 – 50 cc selama 21 hari
menunjukkan perbaikan fungsi motorik yang bermakna.
b) Stroke Hemoragik
Perdarahan Intraserebral
Pemberian anti perdarahan : Epsilon aminocaproat 30 - 36
gr/hari, Asam Traneksamat 6 x 1 gr untuk mencegah
lisisnya bekuan darah yamg sudah terbentuk oleh tissue
plasminogen. Evaluasi status koagulasi seperti pemberian
protamin 1 mg pada pasien yang mendapatkan heparin 100
mg & 10 mg vitamin K intravena pada pasien yang
mendapat warfarin dengan prothrombine time memanjang.
Perdarahan Sub Arachnoid
Bed rest total selama 3 minggu dengan suasana yang
tenang, pada pasien yang sadar, penggunaan morphin
15 mg IM pada umumnya diperlukan untuk
menghilangkan nyeri kepala pada pasien sadar.
Vasospasme terjadi pada 30% pasien, dapat diberikan
Calcium Channel Blockers dengan dosis 60 – 90 mg
oral tiap 4 jam selama 21 hari atau 15 – 30 mg/kg/jam
selama 7 hari, kemudian dilanjutkan per oral 360 mg
/hari selama 14 hari,
Pengelolaan operatif
2) Fase Pasca Akut
Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititik beratkan
22
tindakan rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.
3) Terapi Preventif
Tujuannya, untuk mencegah terulangnya atau timbulnya
serangan baru stroke, dengan jalan antara lain mengobati dan
menghindari faktor-faktor resiko stroke. Untuk stroke infark
diberikan:
a) Obat - obat anti platelet agregasi
b) Obat - obat untuk perbaikan fungsi jantung dari ahlinya
c) Faktor resiko dikurangi seminimal mungkin
Menghindari rokok, obesitas, stres
Berolahraga teratur
4) Rehabilitasi
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di
atas 45 tahun, maka yang paling penting pada masa ini ialah upaya
membatasi sejauh mungkin kecacatan penderita, fisik dan mental,
dengan fisioterapi, “terapi wicara”, dan psikoterapi. Proses
rehabilitasi dapat meliputi beberapa atau semua hal di bawah ini:
a) Terapi bicara untuk belajar kembali berbicara dan menelan
b) Terapi okupasi untuk mendapatkan kembali ketangkasan
lengan dan tangan
c) Terapi fisik untuk memperbaiki kekuatan dan kemampuan
berjalan, dan
d) Edukasi keluarga untuk memberikan orientasi kepada mereka
dalam merawat orang yang mereka cintai di rumah dan
tantangan yang akan mereka hadapi.
2. Afasia
a. Definisi
Afasia merupakan gangguan fungsi Bahasa karena kerusakan pusat
bahasa di otak. Kerusakan tersebut dapat disebabkan langsung
maupun tidak langsung dari penyakit otak, ataupun dapat
23
diakibatkan oleh proses degeneratif. Stroke merupakan penyebab
utama terjadinya afasia.
b. Epidemiologi
Afasia merupakan deficit neurologis fokal yang dapat memengaruhi
hidup penderitanya akibat hendaya komunikasi. Insidens afasia
menurut National Stroke Association tahun 2008 terdapat 80.000
kasus baru pertahunnya di Amerika Serikat. National Institute of
Neurological Disorder and Stroke (NINDS) menyatakan penderita
afasia di Amerika Serikat mencapai 1 juta orang atau satu dari 250
warga negara Amerika Serikat mengalami afasia. Sebanyak 15%
diantaranya berusia <65 tahun dan 43% berusia > 85 tahun. Tidak
terdapat perbedaan bermakna antar jenis kelamin dengan afasia.
Walaupun demikian terdapat kecenderungan bahwa perempuan lebih
banyak mengalami afasia Wernicke dan global, sedangkan laki-laki
sering mengalami afasia Broca.
c. Patofisiologi
Permukaan otak terdiri atas korteks atau grey matter, yang
menjadi pusat sebagian besar aktivitas manusai termasuk pengaturan
tata bahasa yang merepresentasikan pula pengetahuan bahasa.
Korteks adalah organ tempat pengambilan keputusan, setelah
menerima pesan dari seluruh organ sensori dan melakuka segala
aktivitas volunteer.
Otak juga disusun oleh hemisfer serebri kiri dan kanan, serta
dihubungkan oleh korpus kolosum. Secara umum, hemisfer kiri
mengatur bagian tubuh sebelah kiri . Pusat bahasa tradisional adalah
pusat bahasa motoric Broca dan pusat bahasa motoric Broca dan
pusat bahasa reseptif Wernicke yang biasanya terletak di hemisfer
dominan (tersering adalah hemisfer kiri baik pada dominasi tanagan
kanan maupun kiri). Keduanya dihubungkan oleh jaras transkortikal
yang disebut fasikulus arkuata.
Komponen neuroanatomi yang berperan dalam proses produksi
bahasa dan pemahaman sangat rumit. Komponen ini meliputi
24
masukan (input) auditori dan pengkodean bahasa di lobus temporal
superior, analisis bahasa di lobus parietal, dan ekspresi di lobus
frontal. Masukan tersebut kemudian naik ke tractus kortikobulbar
menuju kapsula interna dan batang otak, dengan efek modulator dari
ganglia basal dan serebelum. Terakhir, masukan dimaknai sebagai
bahasa lengkap dengan kosakata, makna sintaksis, dan gramatikal di
interkoneksi antar pusat-pusat bahasa.
d. Gejala Dan Tanda Klinis
Pengklasifikasian sindrom afasia dapat diawali dan dikerjakan
secara bedside dengan menilai modalitas dari fungsi bahasa, yaitu :
Kelancaran bicara (fluency)
Pemahaman
Kemampuan pengulangan (repetisi)
Kemampuan menemukan kata yang sesuai (word
finding) dan atau penamaan (naming). Semua pasien
afasia yang juga disertai dengan adanya gangguan
kemampuan penamaan termasuk parafasia
e. Klasifikasi Afasia
Kemampuan berbahasa merupakan aktivitas yang kompleks.
Melibatkan banyak sirkuit, sehingga klasifikasi gangguan fungsi
berbahasa sangat bervariasi tergantung pada kliens dan lokasi
kerusakan yang terjadi.
Secara umum sindrom afasia terbagi menjadi :
1) Afasia Broca
Afasia broca berada di korteks insula media dan
mendapatkan suplai darah dari arteri media segmen M2 divisi
superior. Sumbatan atau oklusi di arteri tersebut dapat
menyebabkan terjadinya afasia Broca.
Afasia Broca bertetangga dengan area Exner yang
merupakan pusat menulis dan girus presentralis yang merupakan
pusat motoric primer, sehingga umunya gambaran klinis
25
penderita Afasia Broca adalah selain adanya afasia juga disertai
hemiparesis berupa kekuatan lengan lebih lemah dibandingkan
dengan tungkai, serta adanya gangguan menulis. Apraksia wajah
dan bicara juga sering dijumpai pada pasien dengan afasia Broca
Gangguan bahasa yang dijumpai adalah gangguan ekspresi
bahasa dan repetisi yang buruk (tingkat kata hingga kalimat).
Bicara pasien sangat lambat dan penuh usaha. Pasien juga
mengalami kesulitan menamai suatu obyek dan repetisi. Pasien
dapat mengerti percakapan sehari-hari dan instruksi verbal,
namun mulai kesulitan pada sintaksis yang kompleks. Dalam
berbicara pasien terlihat penuh usaha untuk mengucapkan setiap
kata, dengan diiringi jeda dan kata-kata yang dihasilkan tidak
jelas.
2) Afasia Wernicke
Afasia Wernicke adalah sindrom afasia klasik yang
berhubungan dengan gangguan pada pemahaman berbahasa
akibat lesi pada korteks temporoparietal posterior kiri, yang
akan memengaruhi elemen utama sistem fonologi dan semantic
yang berperan dalam pemahaman bahasa. Kelainan tersebut
disebabkan sumbatan akibat thrombosis maupun emboli pada
arteri serebri media segmen M2 divisi inferior pada sisi hemisfer
dominan (umumnya kiri) yang memperdarahi lobus superior
temporal.
Gangguan pemahaman bahasa pada afasia Wernicke
dimodulasi oleh derajat analisis fonologi. Pemahaman bebahasa
yang diucapkan, yang membutuhkan analisis fonologi derajat
tinggi, mengalami kerusakan yang parah pada afasia Wernicke.
Kemampuan pemahaman menulis kata, yang dimediasi oleh
fonologi dan proses visual, hanya mengalami sedikit kerusakan
dibandingkan pemahaman pengucapan kata.
3) Afasia Global
Afasia tipe ini terjadi karena adanya lesi yang meliputi area
26
Broca maupun Wernicke, bisa akibat infark luas daerah
parenkim otak yang diperdarahi oleh arteri serebri media.
Gangguan terjadi pada seluruh komponen fungsi berbahasa.
Terkadang afasia global juga dapat disertai dengan apraksia
verbal.
Fungsi terganggu dengan produksi kata terbatas pada satu-
dua kata yang tidak memiliki makna, bahkan pasien tidak dapat
berkata-kata sama sekali. Selain itu, gangguan juga nampak
pada kemampuan pemahamam baik verbal maupun literal, serta
kemampuan repetisi , membaca dan menulis.
4) Afasia Transkortikal (Ekstrasylvian)
Afasia transkortikal dibagi menjadi dua tipe, yaitu afasia
transkortikal motoric dan transkortikal sensorik. Afasia
transkortikal motoric memiliki gangguan klinis berupa kesulitan
mengekspresikan bahasa, namun pemahaman relative baik, dan
repetisi yang intak. Menurut Benson dan Ardilla afasia motoric
dibagi menjadi dua tipe :
a. Tipe I (afasia dinamik), merupakan bentuk evolusi dari
afasia broca. Afasia transkortikal motoric tipe I
diperkirakan berada pad Broadmann 45 hemisfer
dominan, lebih anterior dari area Broca.
b. Tipe II (afasia supplementary motor area/SMA), berada
di supplementary area hemisfer dominan.
Afasia transkortikal sensorik pada konsep Wernicke-
Lichtelm merupakan akibat putusnya hubungan antara area
bahasa reseptif/sensorik (Wernicke) dengan pusat konsep.
Afasia transkortikal sensorik dibagi menjadi dua tipe :
a. Tipe I, terkadang disebut afasia anamnestic. Afasia jenis
ini terletak di perbatasan antara lobus temporal, parietal,
dan oksipital, terutama di girus Broadman
b. Tipe II (afasia semantic). Afasia jenis ini terletak di
korteks bagian posterior , termasuk girus temporalis
27
posterior-superior dan girus temporalis media.
Afasia transkortikal campuran dapat terjadi pada
gangguan perfusi serebrovaskular akibat hipoksia, keracunan
karbonmonoksida, syok hipertensif, dan henti jantung.
Infark/iskmik akibat gangguan perfusi itu dapat melibatkan zona
batas otak, yaitu area yang berada di antara dua teritori
pembuluh darah besar; dalam hal ini di antara serebri anterior
dan serebri media.
5) Afasia Anomik
Pasien afasia tipe animik memiliki masalah dalam
mengingat nama sebuah benda. Gangguan penamaan ini
disebabkan oleh gangguan dalam kemampuan berbahasa. Afasia
anomik yang terjadi pada seseorang dapat diakibatkan oleh
adanya aneurisma pada pembuluh darah otak, sehingga
menghambat aliran darah menuju area berbahasa. Afasia anomik
biasanya disebabkan oleh adanya lesi pada lobus temporal kiri
inferior; didekat antara lobus temporal dan oksipital.
6) Afasia Konduksi
Afasia konduksi memiliki gejala ketidakmampuan dalam
mengulangi bahasa yang diucapkan. Afasia ini disebabkan
adanya diskoneksi antara area Broca dan Wernicke, disebabkan
oleh rusaknya fasikulus arkuata. Pasien afasia konduksi mampu
mengucapkan kata dengan lancar namun banyak terdapat
kesalahan paratrase. Pemahaman pada pasien afasia konduksi
masih bagus, namun karena adanya kerusakan pada jalur yang
menghubungkan area Wernicke dan Beoca Menyebabkan
gangguan kemampuan repetisi dan naming. Pasien afasia
konduksi tidak dapat membaca dengan suara keras, tetapi dapat
membaca dalam hati dengan pemahaman yang bagus.
Kemampuan menulis juga kemungkinan terganggu, kemampuan
mengeja buruk, disertai adanya penghilang dan penggantian
huruf. Banyak pasien afasia konduksi juga terganggu pergerakan
28
volunteernya.
Secara ringkas gejala klinis sindrom afasia klasik dapat dilihat pada
gambar 4.
Gambar 4. Perbandingan Gejala Klinis Gangguan Bahasa pada Sindroma Afasia
Klasik
f. Diagnosis
Menegakkan diagnosis pada kasus neurologi pada umunya
perlu dikaji dari empat aspek, yaitu aspek klinis, tropis, patologis dan
etiologis, Kajian dimulai sejak awal pemeriksaan klinis melalui
anamesis dan pemeriksaan fisik. Kajian diagnostic akan berkembang
dan semakin akurat ditunjang oleh pemeriksaan klinis fungsi luhur
lanjutan terutama modalitas bahasa, radiologis otak, dan penunjang
lainnya yang relevan. Sebelum melakukan diagnosis afasia, penting
diperhatikan diagnosis banding gangguan bicara atau gangguan
berkomunikasi pada pasien. Hal ini utnk memastikan afasia atau
gangguan klinis lain, yaitu disartria berat, demensia, psikosis,
gangguan pendengaran, afemia,
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pencitraan seperti
angiografi, CT dan atau MRI angiografi, USG doppler arteri karotis
29
dan verterbraa serta Doppler transcranial guna mengonfirmasi lokasi
gangguan pusat bahasa.
Diagnosis untuk menentukan jenis afasia dapat dilihat pada
gambar 5
g. Tatalaksana
Proses pemulihan afasia cenderung memakan waktu lama, dari
bulan hingga tahunan. Bahkan pada Sebagian pasien dengan
tingkat keparahan afasia berat, dapat menetap sepanjang sisa
hidupnya. Penatalaksanaan afasia dapat berupa medikamentosa
maupun non medikamentosa.
1. Medikamentosa
Hingga saati ini belum ada penatalaksanaan medikamentosa
yang dinilai efektif. Tata laksana medikamentosa afasia
akut akibat stroke terbatas pada kesegaran pengembalian
perfusi orak dalam satu jam pertama onset. Walaupun
demikian, terdapat studi terhadap pirasetam, donepezil, dan
bromokriptin dapat memberikan luaran yang cukup
30
menjanjikan. Donepezil dan agen kolenergik lain, seperti
galantamine, bifeleman, dan fisostigmin menunjukkan
menunjukkan beberapa efek terapi positif afasia
pascastroke.
2. Non Medikamentosa
Kemajuan teknologi mutakhir dan perkembangan studi
neurosains menghasilkan pemahaman lebih mendalam
tentang neurorestoratologi, yaitu ilmu yang mempelajari
proses reorganosaso otak dan relearning pemulihan
fungsional suati keterampilan pascacedera otak.
3. Cephalgia
a. Definisi
Cephalgia adalah gejala dari nyeri di regio dari kepala dan leher.17
b. Epidemiologi
1 dari 10 pasien di klinik dokter umum adalah cephalgia, lalu 1 dari
3 rujukan ke poli saraf karena nyeri kepaanya, dan 1 dari 5 pasien
datang ke IGD karena nyeri kepala.17 Cephalgia menempati 5% dari
penyakit yang dapat mengganggu produktivitas. Di singapura,
prevalensi cephalgia dilaporkan mencapai 82,7% dan 9,3%
diantaranya adalah migrain.18
c. Klasifikasi
Cephalgia secara garis besar dibagi menjadi primer dan sekunder.
Cephalgia sekunder jarang terjadi tetapi pengenalannya sangat
penting karena intervensi yang tepat waktu dapat menyelamatkan
nyawa. Aspek terpenting dari diagnosis sakit kepala adalah
anamnesisnya. Selain itu, investigasi yang tidak perlu harus dihindari
karena sekitar 8% populasi mungkin memiliki kelainan insidental
yang tidak berhubungan dengan sakit kepala.17 Cephalgia dibagi
menjadi:
1) Cephalgia Primer
a) Migraine
31
Migrain adalah bentuk sakit kepala kedua yang paling
umum, sering digambarkan sebagai nyeri berdenyut atau
berdenyut berulang, sedang sampai berat, dan seringkali
nyeri unilateral yang berlangsung selama 4–72 jam dengan
ada jeda antara serangan (episodik). Sakit kepala disertai
dengan mual, muntah dan / atau kepekaan terhadap cahaya,
suara atau bau. Pasien lebih suka berbaring diam di ruangan
yang gelap dan sunyi, dan menghindari aktivitas fisik.
Sekitar sepertiga dari pasien merasakan aura, digambarkan
sebagai gejala neurologis fokal progresif yang berlangsung
5-60 menit. Aura visual, dalam bentuk garis zig-zag atau
skotoma berkilau yang menyebar, sejauh ini merupakan
yang paling umum, meskipun gangguan sensorik unilateral
dan / atau disfasia dapat terjadi baik secara bersamaan atau
berurutan. Kadang-kadang, terutama pada orang yang lebih
tua, aura dapat terjadi tanpa sakit kepala (setara dengan
migrain) dan harus dibedakan dari TIA. Biasanya aura
migrain berkembang selama beberapa menit dan bergerak
dari satu area ke area lain.
Sekitar 1,3–2,4% 19 penderita migrain menderita
migrain kronis yang didefinisikan oleh IHS sebagai sakit
kepala selama 15 hari atau lebih dalam sebulan di mana 8
hari atau lebih memiliki gejala migrain. Migrain kronis
adalah bentuk migrain yang paling melumpuhkan dengan
dampak penting pada kualitas hidup yang berhubungan
dengan kesehatan, penyakit penyerta dan seringnya
penggunaan obat yang berlebihan. Tidak seperti migrain
episodik, pasien dengan migrain kronis lebih cenderung
menganggur, mengalami kesulitan hubungan dan masalah
keluarga, dan refrakter terhadap pengobatan pencegahan
konvensional.
b) Tension-Type Headache
32
TTH sering digambarkan sebagai sakit kepala tanpa gejala
dibandingkan dengan migrain yang memiliki gejala yang
khas. Kondisi ini sering didiagnosis tetapi sangat kurang
dipahami. Nyeri digambarkan sebagai nyeri atau tekanan,
dan perasaan seolah-olah kepala tergelincir atau ada ikatan
yang erat di sekelilingnya. TTH umumnya bersifat episodik
dan jarang berdampak pada aktivitas kehidupan sehari-hari.
Varian kronis jarang terjadi dan mungkin terkait dengan
penggunaan obat yang berlebihan.
c) Cluster Headache
Cluster Headache adalah subtipe spesifik dari
gangguan sakit kepala primer yang ditandai dengan sakit
kepala yang berdurasi pendek, unilateral dan disertai
gambaran otonom yaitu lakrimasi, rinore, injeksi
konjungtiva, dan ptosis.
Cluster Headache lebih sering terjadi pada pria
dewasa muda (3,5: 1) yang merokok (65%) dan rasa
sakitnya menyiksa. Serangan berlangsung antara 15 menit
dan 3 jam, terjadi sekali setiap dua hari hingga delapan per
hari. Pasien sangat gelisah dan gelisah serta sering
berkeringat banyak. Ciri yang mencolok adalah ritme
sirkadian dengan serangan yang terjadi pada waktu yang
sama setiap hari. Alkohol memicu serangan di hampir
semua kasus. Sakit kepala cluster bersifat episodik pada 80-
90% kasus, dengan serangan yang terjadi setiap hari selama
beberapa minggu hingga beberapa bulan, diikuti oleh jeda
beberapa bulan hingga beberapa tahun. Varietas kronis
memiliki serangan terus menerus selama satu tahun atau
lebih tanpa interval bebas gejala atau periode remisi yang
berlangsung kurang dari sebulan.
d) Medication Overuse Headache
33
Semua obat analgesik dapat menyebabkan MOH meskipun
analgesik kombinasi, terutama yang mengandung opioid,
barbiturat, dan kafein, memiliki risiko tinggi. Obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) kemungkinannya sangatt
kecil untuk terlibat dengan MOH. Kombinasi analgesik
mencapai 39-42% kasus meskipun 90% penderita
mengonsumsi lebih dari satu obat analgesik. MOH
berkembang lebih cepat dan dengan asupan dosis yang jauh
lebih rendah dengan triptan dibandingkan dengan analgesik
sederhana atau kombinasi. Dengan cara yang sama, gejala
withdrawal jauh lebih pendek dan lebih ringan dengan
triptan dibandingkan dengan analgesik lainnya.
2) Cephalgia Sekunder
- Space-occupying lesions, biasanya tumor intracranial
- Infeksi ssp, meningitis ataupun ensefalitis
- Subarachnoid haemorrhage
- Giant-cell arteritis
- Cerebral venous thrombosis
- Idiopathic intracranial hypertension
d. Diagnosis
Waktu yang cukup untuk menggali riwayat sakit kepala dari
anamnesis adalah kunci untuk diagnosis yang efektif. Diagnosis
yang benar tidak selalu terbukti pada awalnya, terutama bila pasien
mengalami lebih dari satu jenis sakit kepala. Riwayat yang digali
selama beberapa minggu dapat menentukan pola serangan, gejala,
dan penggunaan obat. Perubahan pola menandakan sesuatu keadaan
baru yang memberatkan, atau timbulnya gangguan sakit kepala baru.
Sakit kepala baru, pada pasien tua dan muda, membutuhkan
pemeriksaan yang cermat. Jika anamnesisnya memadai, pemeriksaan
fisik jarang menunjukkan tanda-tanda yang tidak diharapkan.
Pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan neurologis singkat
34
namun komprehensif, termasuk fundus optik, direkomendasikan.
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan nyeri otot, rentang
gerakan terbatas, atau krepitasi (yang menunjukkan perlunya
pengobatan fisik tetapi tidak selalu menjadi penyebab sakit kepala).
Pemeriksaan penunjang, termasuk neuroimaging, jarang
berkontribusi pada diagnosis sakit kepala jika riwayat dan
pemeriksaan menunjukkan tidak ada penyebab yang mendasari.19
e. Tatalaksana
Mayoritas pasien dengan sakit kepala primer dapat ditangani dengan
aman dalam pengaturan rawat jalan. Dalam mengelola sakit kepala
primer, cari faktor predisposisi, pemicu dan / atau pelestarian dalam
riwayat pasien. Hidrasi yang tidak adekuat, makan tidak teratur, tidur
tidak teratur, alkohol berlebihan, kafein berlebihan, dan / atau kurang
olahraga semuanya dapat berperan sebagai faktor predisposisi.
Faktor pencetus dan pelestarian termasuk stres, reaksi penyesuaian,
kecemasan dan episode depresi. Faktor spesifik seperti vasodilator),
dan makanan (misalnya anggur, keju, makanan asin) dapat memicu
dan memicu migrain. Hubungan sebelumnya dan keakraban dengan
pola kesehatan dan penyakit pasien, yang lahir dari hubungan
dokter-pasien jangka panjang, memungkinkan dokter perawatan
primer untuk segera mengenali masalah psikososial yang mendasari
yang mungkin muncul sebagai perubahan dalam pola ini. Buku
harian sakit kepala berguna untuk pasien dengan sakit kepala parah
kronis. Penghindaran pemicu, kepastian dan pendidikan pasien
penting untuk manajemen yang sukses. Semua faktor yang dapat
dimodifikasi harus ditangani, dan obat-obatan diresepkan sesuai
kebutuhan. Pasien yang gagal menanggapi pengobatan memerlukan
tinjauan untuk meninjau kembali diagnosis dan / atau untuk
mengatasi ketidakpatuhan atau penggunaan obat yang berlebihan. 19
35
7) Tension-Type Headache
Untuk TTH episodik, analgesik sederhana seperti parasetamol
dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) umumnya cukup.
Penggunaan opioid seperti kodein harus dipertimbangkan
dengan hati-hati mengingat kemungkinan efek samping seperti
ketergantungan dan obat sakit kepala yang berlebihan. Karena
sakit kepala adalah gejala somatoform yang umum,
pertimbangkan kemungkinan masalah kesehatan mental yang
mendasari pada pasien yang datang dengan sakit kepala,
terutama jika sakit kepala parah dan kronis. Jika diindikasikan,
pengobatan pencegahan dengan antidepresan trisiklik atau beta-
blocker dapat dipertimbangkan. Mulai pencegahan dengan dosis
rendah dan tingkatkan sampai kontrol yang memadai tercapai.
Pasien harus diberi tahu bahwa pengobatan pencegahan perlu
waktu untuk diterapkan, dan pengobatan tidak perlu seumur
hidup.
8) Migraine
Analgesik sederhana mungkin cukup sebagai pengobatan
lini pertama untuk migrain akut. Antiemetik dapat
dipertimbangkan jika disertai mual dan muntah yang terjadi
bersamaan. Perawatan lini kedua termasuk triptan (serotonin 5-
hydroxytryptamine tipe 1B / 1D reseptor agonis) dan turunan
ergotamine. Kombinasi triptans dan NSAID mungkin lebih
unggul daripada salah satu obat saja. Jika gejala berulang, cari
faktor pencetus yang mendasari dan / atau kondisi kejiwaan.
Terapi pencegahan diindikasikan jika serangan migrain:
- Berulang (> 3 hari / bulan) dan menyebabkan kecacatan
meskipun pengobatan obat akut sudah optimal;
- Berulang dengan aura berkepanjangan dan / atau migrain
hemiplegia;
- Sering dan memerlukan penggunaan obat pada tingkat
yang berisiko menyebabkan sakit kepala berlebihan;
36
- Berulang dan di mana pengobatan akut merupakan
kontraindikasi.
Pilihan pengobatan pencegahan termasuk beta-blocker,
antidepresan dan antiepilepsi. Penurunan 50% frekuensi
episodik sakit kepala selama 6-8 minggu dianggap sebagai
target pengobatan yang masuk akal. Tujuan jangka panjang dari
pengobatan pencegahan adalah untuk mengurangi
ketergantungan pada pengobatan farmakologis akut dan untuk
meminimalkan risiko pengaturan sakit kepala kronis. Keputusan
untuk memulai terapi pencegahan sangat bersifat individual dan
harus didasarkan pada durasi dan tingkat keparahan gejala yang
dialami oleh pasien. sabar, bukan hanya pada apakah gangguan
tersebut bersifat episodik atau kronis. Jika disetujui bersama
oleh dokter dan pasien, pengobatan pencegahan harus dimulai
dengan dosis rendah dan ditingkatkan setiap 2-3 minggu sampai
efek samping yang efektif atau yang membatasi dosis terjadi.
Penghentian bertahap dapat dipertimbangkan setelah 6-12 bulan
terapi pencegahan berhasil.
9) Medication Overuse Headache
Sakit kepala akibat penggunaan obat secara berlebihan
didefinisikan sebagai sakit kepala yang timbul dari penggunaan
obat secara berlebihan selama tiga bulan atau lebih untuk sakit
kepala yang sudah ada sebelumnya. Penggunaan NSAID dan
parasetamol ≥ 15 hari per bulan, dan penggunaan triptan dan /
atau opioid ≥ 10 hari per bulan dianggap berlebihan. Sebagian
besar pasien dengan sakit kepala akibat penggunaan obat yang
berlebihan memiliki migrain atau TTH yang mendasari yang
ditutupi oleh penggunaan obat yang berlebihan. Jika dicurigai,
hindari penggunaan obat pencegahan: mereka umumnya tidak
efektif dan membuat resep obat menjadi berlebihan. Sakit kepala
akibat penggunaan obat yang berlebihan memerlukan
37
depreskripsi dari obat yang digunakan secara berlebihan, yang
untuk beberapa pasien hanya dapat dicapai dengan perawatan
rawat inap. Bukti menunjukkan bahwa untuk sebagian besar
pasien dengan sakit kepala akibat penggunaan obat yang
berlebihan, respons terhadap pengobatan pencegahan meningkat
setelah penghentian pengobatan yang berlebihan. Perawatan
yang berhasil membutuhkan manajemen harapan yang hati-hati,
tindak lanjut yang dekat, dan bergantung pada hubungan
terapeutik dokter-pasien yang saling percaya.
F. Diagnosis Sementara
a. Diagnosis klinis
Kelemahan anggota gerak kanan akut, tidak bisa bicara, nyeri kepala
akut
b. Diagnosis Topik
Hemisfer cerebri sinistra
c. Diagnosis Etiologi
- Cerebrovaskular (Stroke hemoragik dd stroke infark )
- Dd Neoplasma intrakranial
G. Pemeriksaan Fisik (14/03/2021)
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4VxM6
c. Tanda-Tanda Vital :
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Frekuensi nadi : 86x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
Frekuensi nafas : 18 x/menit, regular
Suhu tubuh : 36,5°C
Saturasi : 98% tanpa O2
38
Status Generalis
a. Kepala
Bentuk kepala normocephal, rambut hitam keputihan,
terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
b. Leher
Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening pada leher.
Kaku kuduk (-), brudzinski I (-)
c. Wajah
Kedua alis mengangkat simetris namun mulut tidak simetris
saat senyum
d. Mata
Edema palpebra (-/-), alis mata hitam dan tersebar merata,
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor
Ø 3mm/3mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya
tidak langsung (+/+), refleks kornea (+/+)
e. Telinga
AD: Bentuk telinga normal, membran timpani sulit dinilai,
nyeri tekan dan tarik (-). AS: Bentuk telinga normal, membran
timpani sulit dinilai, nyeri tekan (-)
f. Hidung
Bentuk hidung normal. Tidak tampak deviasi. Tidak tampak
adanya sekret. Tidak tampak nafas cuping hidung.
g. Mulut
Mukosa gusi dan pipi tidak hiperemis, ulkus (-), perdarahan
gusi (-), sianosis (-), ujung bibir saat tersenyum tidak simetris
(-/+)
Thoraks
a. Pulmo :
1) Inspeksi : Normochest, gerak dada simetris, retraksi
suprasternal dan supraclavicula (-)
39
2) Palpasi : Taktil fremitus kanan dan kiri sama
3) Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
4) Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+) normal, ronkhi
(-/-),wheezing (-/-)
Kesan : Paru dalam batas normal
b. Cor :
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
3) Perkusi : Batas kanan bawah: ICS 5 mid axilaris
anterior sinistra
Batas kanan atas: ICS 3 mid clavicularis
sinistra
Batas kanan bawah: ICS 4 parasternal
dekstra
Batas kanan atas: ICS 2 parasternal dekstra
4) Auskultasi : Bunyi Jantung I tunggal, intensitas normal
Bunyi jantung II splitting saat inspirasi dan
tunggal saat Ekspirasi (split tak
konstan),intensitas normal murmur(-),
gallop (-).
Kesan : Jantung dalam batas normal
Abdomen
1) Inspeksi : Datar, supel.
2) Auskultasi : Bising usus (+), normal (setiap 3-4 detik)
3) Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen
4) Palpasi : Dinding perut supel, hepar dan lien tidak
teraba, nyeri tekan (-), turgor baik
Ekstremitas : Simetris, sianosis (-/-), akral hangat (+/+),
CRT< 2 detik
2. Status Psikiatri
40
a. Tingkah Laku : Normoaktif
b. Perasaan Hati : Normotimik, Eutim
c. Orientasi : Baik
d. Kecerdasan : Dalam batas normal
e. Daya Ingat : Dalam batas normal
3. Status Neuorolgis
a. Sikap tubuh : Lurus dan simetris
b. Gerakan Abnormal : Tidak ada
c. Cara berjalan : Tidak dapat dinilai
d. Ekstremitas : Lateralisasi dextra
4. Saraf Kranialis
5.
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I. OlfaktoriusDaya penghidu N N
N. II. OptikusDaya penglihatan N N
Pengenalan warna N N
Lapang pandang N N
N. III. Okulomotor
Ptosis + +
Gerakan mata ke medial + +
Gerakan mata ke atas + +
Gerakan mata ke bawah + +
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
N. IV. TroklearisStrabismus divergen - -
Gerakan mata ke lat-bwh - -
Strabismus konvergen - -
N. V. Trigeminus
41
Menggigit N N
Membuka mulut N N
Sensibilitas muka N N
Refleks kornea + +
Trismus - -
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral N N
Strabismus konvergen - -
N. VII. Fasialis
Kedipan mata + +
Lipatan nasolabial Datar Dbn
Sudut mulut Lebih rendah Dbn
Mengerutkan dahi Dbn Dbn
Menutup mata + +
Meringis Asimetris Normal
Menggembungkan pipi Normal Normal
Daya kecap lidah 2/3 ant Tdk dilakukan Tdk dilakukan
N. VIII.
Vestibulokoklearis
Mendengar suara bisik Dbn Dbn
Tes Rinne Tdk dilakukan Tdk dilakukan
Tes Schwabach Tdk dilakukan Tdk dilakukan
N.IX (GLOSSOFARINGEUS) Keterangan
Arkus Faring Simetris
Daya Kecap 1/3 Belakang Tdk dinilai
Reflek Muntah Dalam batas
normal
Sengau Tidak dapat dinilai
Tersedak Tidak
N. X (VAGUS) Keterangan
42
Arkus faring Dalam batas normal
Reflek muntah Dalam batas normal
Bersuara Pelo
Menelan Dalam batas normal
N. XI (AKSESORIUS) Keterangan
Memalingkan Kepala Dalam batas normal
Sikap Bahu Dalam batas normal
Mengangkat Bahu Dalam batas normal
Trofi Otot Bahu Tidak
6. Fungsi Motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
43
Terbatas
Bebas
Bebas
Terbatas
0/0/0/0
4/4/4/45
5/5/5/5
normal
normal
normal
5/5/5/5
normal
N. XII (HIPOGLOSUS) Keterangan
Sikap lidah Deviasi ke kanan
Artikulasi Disartria
Tremor lidah (-)
Menjulurkan lidah (+)
Trofi otot lidah (-)
Fasikulasi lidah (-)
7. Refleks Fisiologis
Refleks Biceps Normal Normal
Refleks Triceps Normal Normal
Refleks ulna dan radialis Normal Normal
Refleks Patella Normal Normal
Refleks Achilles Normal Normal
8. Refleks Patologis
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Mendel Bachterew - -
Rosollimo - -
Gonda - -
Hofman Trommer - -
9. Fungsi Sensorik
Kanan Kiri
Eksteroseptif Terasa Terasa
Rasa nyeri Terasa Terasa
Rasa raba Terasa Terasa
Rasa suhu Terasa Terasa
Propioseptif Terasa Terasa
Rasa gerak dan sikap Terasa Terasa
Rasa getar Terasa Terasa
Diskriminatif Terasa Terasa
44
Rasa gramestesia Terasa Terasa
Rasa barognosia Terasa Terasa
Rasa topognosia Terasa Terasa
10. Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : negatif
Lasegue
Kernig sign
: negatif
: negatif
Pemeriksaan Brudzinski: : negatif
Brudzinski I : negatif
Brudzinski II : negatif
11. Fungsi Luhur
a. Fungsi Luhur : normal
b. Fungsi Vegetatif : BAK lancar, BAB belum selama perawatan
12. Skor Siriraj
13. Algoritma Gajah Mada
a. Nyeri kepala (+)
b. Penurunan kesadaran (-)
c. Refleks Babinski (-)
Dalam kasus ini didapatkan hanya nyeri kepala yang positif
yang artinya mengarah ke pendarahan intraserebral sehingga perlu
pemeriksaan penunjang yaitu Head CT Scan.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Hematologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Darah perifer lengkap
45
( 2,5 x 0 ) + ( 2 x 0 ) + ( 2 x 1 ) + ( 0,1 x 90 ) - ( 3 x 1 ) – 12 = -4
Hasil dari Siriraj < -4 yang berarti infark serebri
Hb 14.0 13,2 – 17,3 gr/dl
Ht 39.5 (L) 40 - 52%
Eritrosit 4.61 4,4– 5,9 juta/µL
MCV 85.7 82 – 98 fL
MCH 30.4 27 – 32 pg
MCHC 35.4 32 – 37 gr/dL
Trombosit 121.000 (L) 150.000 – 400.000/µL
Leukosit 6.4 3800 –10.600/µL
Hitung Jenis
Basofil 0.2 0-1%
Eosinofil 0.7 (L) 2-4 %
Neutrofil 64.8 50-70 %
Limfosit 27.7 25-40 %
Monosit 6.9 2-8 %
RDW 13.6 10-16
Kimia Klinik
GDS 159.2 (H) 74-106
SGOT 18.4 0-50 U/L
SGPT 8.9 0-50 U/L
Ureum 117.2 (H) 10-50 mg/dL
Kreatinin 5.01 (H) 0,82-1,1 mg/Dl
HDL DIRECT 25.6 (L) 28-63
LDL-
CHOLESTEROL 137.5 <150
CHOLESTEROL 199 <200
TRIGISERIDA 179 (H) 70 – 140 mg/dL
ASAM URAT 9.46 (H) 2 – 7 mg/dL
2. CT – Scan
46
Gambar 4. Hasil CT Scan Kepala Axial tanpa kontras
Expertise :
- Tampak lesi hipodens tak tegas pada lobus parietal dan capsula eksterna
kiri
- Tak tampak lesi hiperdens densitas perdarahan pada intraextraaxial
- Tampak kalsifikasi fisiologis pada pleksus choroideus kanan kiri dan
pineal body
- Sulkus kortikalis dan fissure sylvii tampak normal
- Ventrikel lateral kanan-kiri, III dan IV tampak normal
- Cisterna perimesencephalic dan basalis tampak normal
- Tak tampak midline shifting
- Pons dan cerebellum baik
Kesan :
- Infark pada lobus parietal dan capsula eksterna kiri
- Tak tampak tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial saat ini
I. Diagnosis Akhir
a. Diagnosis klinis : Hemiparesis Dextra Akut, Parese N.VII
dan N. XII dextra UMN, Afasia motorik,
Chepalgia
b. Diagnosis topis : Hemisfer Cerebri Sinistra
c. Diagnosis etiologi : Stroke Infark
d. Diagnosis tambahan : - Diabetes Mellitus
- Hipertensi
- Gangguan fungsi ginjal
47
J. Diskusi II
Pada pemeriksaan fisik status generalisata ditemukan kesadaran E4VxM6
atau kesadaran penuh (compos mentis), dimana pasen memiliki orientasi yang
baik terhadap diri maupun lingkungan. Pasien dapat membuka mata secara
spontan dan terdapat kontak dengan mata periksa, mampu berkomunikasi dengan
orientasi baik dan mampu mengikuti perintah pemeriksa.
Saat dilakukan pemeriksaan tanda vital, tekanan darah pasien 160/90 mmHg
dimana menurut JNC7 termasuk hipertensi grade II, nadi 86x/menit dengan irama
regular isi cukup, laju nafas 20x/menit dalam batas normal, suhu 36.5 derajat
(Afebris), dan saturasi oksigern dalam keadaan baik walaupun tanpa bantuan nasal
kanul maupun nrm. Pada pemeriksaan fisik lokalis tidak ditemukan adanya
kelainan. Selanjutnya pemeriksaan status psikiatri tidak ditemukan adanya
kelainan seperti perilaku yang tidak normal atau hilangnya ingatan. Pada
pemeriksaan neurologis saraf kranialis ditemukan adanya parese nervus VII dextra
dimana terdapat deviasi sudut bibir yang saat tesenyum. Pada pemeriksaan fungsi
motorik didapatkan adanya gerak yang terbatas pada anggota gerak kanan bawah
dan kelumpuhan pada anggota gerak kanan atas. Hal ini di sebabkan adanya lesi
pada korteks motorik yang mengatur pergerakan otot.
Jika diaplikasikan pada perasat skor Siriraj yang mengandung penilaian
kesadaran, ada tidaknya muntah, atheroma dan nilai tekanan diastolik didapatkan
skor pada pasien ini adalah -4, yang interpretasinya adalah skor < -4 adalah infark
cerebri. Namun untuk diagnosis lebih pasti perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa Head CT Scan. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah
pemeriksaan darah rutin, kimia klinik dan profil lipid untuk mencari faktor resiko
lain yang kemungkinan terlibat pada perjalanan penyakit stroke pada pasien ini.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai yang signifikan adalah kadar
gula darah sewaktu, Trigliserida, Ureum, Creatinij meningkat serta HDL
menurun. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan penunjang CT-Scan kepala tanpa
kontras yang merupakan Golden Diagnosis dalam penegakkan diagnosis jenis
stroke. Hasil CT-Scan menunjukkan adanya infark pada lobus parietal dan capsula
eksterna kiri. Kelainan pada hemisfer sinistra inilah yang menyebabkan
48
hemiparesis dextra karena jalur saraf motorik yang berasal dari korteks ini
bersilangan di dekusasio piramidalis, sehingga mempersarafi ekstremitas
kontralateralnya.
Chepalgia pada stroke infark
Chepalgia adalah salah satu ciri utama penyakit serebrovaskular akut
terutama pada pasien dengan stroke hemoragik atau perdarahan subaraknoid.
Penelitian Paciaroni, menyatakan bahwa sakit kepala hadir lebih umum terdapat
pada pasien dengan infark dalam sirkulasi posterior daripada pada pasien yang
terlibat dalam sirkulasi anterior. Beberapa penulis telah melaporkan bahwa
pembuluh di sirkulasi posterior lebih kaya dipersarafi oleh aferen nosiseptif
daripada di sirkulasi anterior. Sakit kepala terkait stroke sering dikaitkan dengan
penyakit arteri besar, yang jarang terjadi pada pasien dengan infark lacunar.
Frekuensi sakit kepala lebih tinggi pada pasien dengan oklusi arteri karotis, tetapi
ini tidak signifikan dibandingkan dengan pasien tanpa sakit kepala.
Chepalgia selama stroke tampaknya diinduksi melalui aktivasi sistem
trigemino-vaskular. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sakit kepala
selama stroke dapat disebabkan oleh pelepasan zat vasoaktif (seperti selama
serangan migrain) dalam sistem trigemino-vaskular. Pelepasan neurotransmiter
asam amino dan aktivasi trombosit dapat memainkan peran dalam patogenesis
sakit kepala yang terjadi pada awal stroke iskemik. Empat puluh satu persen
pasien dengan infark sirkulasi posterior mengalami sakit kepala frontal, temporal,
atau parietal. Hal ini dapat dijelaskan oleh hubungan anatomi antara sirkulasi
posterior dan sistem trigeminal melalui arteri trigemino-serebelar. Beberapa
pembuluh darah intrakranial memiliki persarafan trigeminal kontralateral dan
neuron trigeminal tunggal memiliki bidang reseptif yang besar dan menyediakan
serat ke lebih dari satu pembuluh darah. Kesimpulannya, sakit kepala hadir pada
lebih dari satu dari tiga pasien dengan stroke iskemik; semua pasien dengan
riwayat positif sakit kepala mengalami sakit kepala selama onset stroke; nyeri
kepala jauh lebih umum di antara pasien dengan infark di sirkulasi posterior
daripada pada pasien di mana sirkulasi anterior terlibat; sakit kepala lebih sering
terjadi ketika penyebab stroke adalah penyakit arteri besar; jenis sakit kepala yang
49
lazim adalah nyeri dengan klinis karakteristik tension type headache.(Paciaroni,
2001)
K. Tatalaksana
Non Medikamentosa
Mulai menggerakan anggota badan
Edukasi keluarga mengenai penyakitnya:
Diagnosis pasien
Tatalaksana yang akan dilakukan
Prognosis dari penyakit yang diderita pasien
Rehabilitasi Medik (Fisioterapi)
Medikamentosa
IVFD Asering 20 tpm
Inj. Citicolin 2 x 500 mg
Inj. Piracetam 4x3 gr
Inj. Ranitidin 2x1 amp
Inj. Mecobalamin 1x1 amp
PO Clopidogrel 1x 75 mg
PO Flunarizin 2x5mg
PO Tramadol 2x1mg
PO Gingko biloba 1x1 mg
PO Lumbricus rubellus 2x1
PO Fenofibrate 1x300mg
PO Allopurinol 1x100mg
Planning : Konsul Interna (gangguan fungsi ginjal)
L. Prognosis
Death : Dubia ad bonam
Disease : Dubia ad bonam
Dissability : Dubia
50
Discomfort : Dubia
Dissatisfaction : Dubia ad bonam
Distutition : Dubia ad bonam
M. Diskusi III
Tata laksana pada pasien ini meliputi tatalaksana non medikamentosa dan
medikamentosa. Tata laksana non medikamentosa meliputi mulai menggerakan
anggota badan, edukasi dan rehabilitasi medik. Pemberian medikamentosa pada
pasien stroke terbagi atas fase akut dan fase pasca akut dilihat dari hari onset
penyakitnya. Pada pasien ini karena onsetnya hari - 0 maka diberikan terapi fase
akut.
a. IVFD Asering 20 tpm
Stabilisasi hemodinamik dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid
secara intravena
b. Inj. Citicolin 2 x 500 mg
Citicolin berperan untuk perbaikan membran sel saraf melalui
peningkatan sintesis phosphatidylcholine dan perbaikan neuron
kolinergik yang rusak melalui potensiasi dari produksi
asetilkolin. Citicoline juga menunjukkan kemampuan untuk
meningkatkan kemampuan kognitif, Citicoline diharapkan mampu
membantu rehabilitasi memori pada pasien dengan luka pada kepala
dengan cara membantu dalam pemulihan darah ke otak.
c. Inj Piracetam 4x3 gr
Piracetam berfungsi untuk meningkatkan deformabilitas eritrosit yang
merupakan elastisitas dan kemampuan sel darah merah melewati
mikrovaskuler tanpa mengalami perubahan bentuk dan fungsi. Dengan
meningkatnya deformabilitas eritrosit maka akan mempermudah aliran
darah melewati pembuluh darah otak yang kecil sehingga memperbaiki
keadaan iskemia.
d. Inj Ranitidine 2x1 amp
Ranitidine merupakan antagonis histamin dari reseptor H2 dimana
sebagai antagonis histamin, ranitidine dikenal lebih potensial daripada
51
cimetidine dalam fungsinya untuk menghambat sekresi asam lambung
pentagastrin-stimulated. Fungsi ini dikarenakan antagonis histamin dari
reseptor histamin H2 ini bekerja untuk menghambat sekresi asam
lambung. Pada pasien ini diberikan rantidine untuk menghambat sekresi
asam lambung, sehingga dapat mengurangi keluhan mual pada pasien. e. Inj Mecobalamin 1 x 1 amp
Mecobalamin adalah metabolit dari vitamin B12 yang berperan sebagai
koenzim dalam proses pembentukan methionin dari homosystein. Reaksi
ini berguna dalam pembentukan DNA, serta pemeliharaan fungsi saraf.
Mecobalamin berperan pada neuron susunan saraf melalui aksinya
terhadap reseptor NMDA dengan 32 perantaraan S-adenosilmethione
(SAM) dalam mencegah apoptosis akibat glutamate-induced
neurotoxicity. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan peranan
mecobalamin pada terapi stroke, cedera otak, penyakit Alzheimer,
Parkinson, termasuk juga dapat dipakai untuk melindungi otak dari
kerusakan pada kondisi hipoglikemia dan status epileptikus (Meliala &
Barus, 2008).
f. PO Clopidogrel 1 x 75mg
Clopidogrel adalah inhibitor fungsi platelet yang bersifat ireversibel
dengan hambatan pada reseptor adenosine diphosphat untuk mencegah
agregasi platelet. Clopidogrel memiliki profil kemanan yang sama dengan
aspirin pada penderita dengan resiko tinggi pada kejadian iskemin yang
berulang namun disebutkan angka kejadian perdarahan gastrointestinal dan
intracranial yang lebih rendah. Tolerabilitas copidogrel telah ditunjukkan
pada studi CAPRIE dan MATCH dimana copidogrel diberikan untuk
jangka waktu 1,5 hingga 3 tahun. The Copidogrel versus Aspirin in
Patients at Risk of Ischemic Events (CAPRIE) studi merupakan penelitian
terkontrol yang meelibatkan sekitar 20000 penderita yang diberikan
aspirin 325 mg atau copidogrel 75 mg per hari. Studi ini menunjukkan
penurunan resiko absolute 0,5% dan sebesar 8,7% penurunan resiko
relative untuk kelompok copidogrel pada primary end point.
g. PO Flunarizine 2x5 mg
52
Untuk menghambat masuknya kalsium kedalam sel (memblok kalsium
channel) dan menghambat aktivitas histamine (memblok reseptor H1).
Efetktif meredakan migraine, nyeri kepala m vertigo serta gangguan
vestibular. Obat ini tidak efektif apabil adigunakan saat sedang serangan
migraine.
h. PO Tramadol 2x1
berfungsi untuk meredakan nyeri dari sedang hingga berat.
i. PO Gingko biloba 1x1
berfungsi untuk vasodilator. Tobokan forte diindikasikan untuk gangguan
fungsi serebral seperti pusing, deficit memori, sakit kepala, tinnitus, dan
ketidakstabilan emosi.
j. PO Lumbricus rubellus 2x1
Obat yang digunakan untuk melancarkan sirkulasi darah.
k. PO Fenofibrat 1 x 300mg
Fenofibrat merupakan obat yang dapat menurunkan kadar trigliserda,
LDL, dan meningkatkan HDL dalam darah.
l. PO Allopurinol 1x 100mg
Allopurinol merupakan obat yang berfungsi untuk menurunkan kadar
asam urat dalam darah. Allopurinol bekerja dengan menghambat xantihine
oksidase.
N. Follow Up
13/3/21
HP 2
S : Lemah anggota gerak kanan bawah, lumpuh anggota gerak
kanan atas, mata membuka spontan, kontak mata dan
mengerti pembicaraan (+), tidak dapat berbicara (+), nyeri
kepala (+) sedikit, pusing(+) sedikit, mual (-), muntah (-),
BAB lancar , BAK lancar
O :
KU : Compos mentis. E4VxM6
TD : 130/83 mmHg
Nadi : 65 x/mnt
P :
- IVFD Asering 20 tpm
- Inj. Citicolin 2 x 500 mg
- Inj. Piracetam 1x12 gr
- Inj. Ranitidine 2x1 amp
- Inj. Mecobalamin 1x1
amp
- PO Clopidogrel 1x 75 mg
53
RR : 20 x/mnt
Suhu : 36,5 0C
SpO2 : 98%
Ekstremitas:
motorik Gerakan : tidak dapat digerakkan / bebas dan
terbatas / bebas
motorik kekuatan 0 / 4 dan 5 / 5
Refleks fisiologis +/+, Babinski -, Rangsang Meningeal -
Hasil lab darah rutin, profil lipid, gula darah, fungsi
ginjal, dan fungsi hati belum ada
CT Scan Head Axial :
- Infark pada lobus parietal dan capsula eksterna kiri
- Tak tampak tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial saat ini A :
Stroke Infark onset H-IV
- PO Unalium 2x5 mg
- PO Analtram 2x1
- PO Tobokan Forte 1x1
- PO Plasmin 2x1
14/3/21
HP 3
S : Lemah anggota gerak kanan bawah, lumpuh anggota gerak
kanan atas, mata membuka spontan, kontak mata dan
mengerti pembicaraan (+), tidak dapat berbicara (+), nyeri
kepala (+) sedikit, pusing(+) sedikit, mual (-), muntah (-),
BAB lancar , BAK lancar
O : KU : Compos mentis. E4VxM6
TD : 140/90 mmHg
Nadi : 84 x/mnt
RR : 20 x/mnt
Suhu : 36,2 0C
SpO2 : 98%
Ekstremitas:
Motoric Gerakan : tidak dapat digerakkan / bebas dan
terbatas / bebas
motorik kekuatan 0 / 4 dan 5 / 5
Refleks fisiologis +/+, Babinski -, Rangsang Meningeal -
Hasil lab darah rutin, profil lipid, gula darah, fungsi
ginjal, fungsi hati belum ada
Hasil Head CT Scan (20/02/2021):
P :
- IVFD Asering 20 tpm
- Inj. Citicolin 2 x 500 mg
- Inj. Piracetam 1x12 gr
- Inj. Ranitidine 2x1 amp
- Inj. Mecobalamin 1x1
amp
- PO Clopidogrel 1x 75 mg
- PO Unalium 2x5 mg
- PO Analtram 2x1
- PO Tobokan Forte 1x1
- PO Plasmin 2x1
54
Kesan :
- Infark pada lobus parietal dan capsula eksterna kiri
- Tak tampak tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial saat ini
A :
Stroke Infark onset H-V
15/3/21
HP 4
S : Lemah anggota gerak kanan, mata membuka spontan, kontak
mata dan mengerti pembicaraan (+), tidak dapat berbicara
(+), sakit kepala (-), pusing (+) berkurang, BAB (-) Sejak
masuk RS, BAK (+) N.
O :
KU : Compos mentis. E4VxM6
TD : 140/90 mmHg
Nadi : 80 x/mnt
RR : 20 x/mnt
Suhu : 36,5 0C
SpO2 : 98%
Ekstremitas:
Motoric Gerakan : tidak dapat digerakkan / bebas dan
terbatas / bebas
motorik kekuatan 0 / 4 dan 5 / 5
Refleks fisiologis +/+, Babinski -, Rangsang Meningeal -
Hasil lab darah rutin, profil lipid, gula darah, fungsi
ginjal, fungsi hati, dan elektrolit terlampir
CT-Scan:
- Infark pada lobus parietal dan capsula eksterna kiri
- Tak tampak tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial saat ini A :
Stroke Infark dd Stroke H-VI
P :
- IVFD Asering 20 tpm
- Inj. Citicolin 2 x 500 mg
- Inj. Piracetam 1x12 gr
- Inj. Ranitidine 2x1 amp
- Inj. Mecobalamin 1x1
amp
- PO Unalium 2x5 mg
- PO Analtram 2x1
- PO Tobokan Forte 1x1
- PO Plasmin 2x1
- PO Cilostatol 2x1 mg
- PO Sucralfat Syr 3x10ml
- PO Brainact (citicoline)
2x1
- PO Fenofibrat 1x300 mg
- PO Allopurinol 1x100mg
BLPL
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Konsensus
Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, Jakarta, 1999.
2. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Jakarta : EGC.
3. Ridharta, Priguna; Mardjono, Mahar. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta :
Dian Rakyat.
4. National Institute of Neurological Disorders and Stroke: Classification of
cerebrovascular disease III. Stroke 1990, 21: 637-76.
5. Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Guideline
Stroke 2000 Seri Pertama, Jakarta, Mei 2000.
6. Pusinelli W.: Pathophysiology of acute ischemic stroke. Lancet 1992, 339:
56
533-6.
7. Widjaja D. Highlight of Stroke Management. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan, Surabaya 2002.
8. Feigin V. Stroke Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan
stroke (terjemahan). cetakan kedua. PT Buana Ilmu Populer. Jakarta. 2006
9. Pertemuan Nasional III Nyeri, Nyeri Kepala & Vertigo PERDOSSI, Solo, 4-6 Juli 2008
10. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231- 236 & 485-90.
11. Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi-8. Erlangga Medical Series. Jakarta. 74-75
12. Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Halaman 359.
13. Hedna VS, Bodhit AN, Ansari S, Falchook AD, Stead L, Heilman KM, Waters MF. Hemispheric Differences in Ischemic Stroke: Is Left-Hemisphere Stroke More Common?. University of Florida. USA.
Halaman 97.
14. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ, editors. Basic & clinical pharmacology.
12th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2012.
15. Khaku AS, Tadi P. Cerebrovascular Disease. [Updated 2020 Nov 23]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan
16. Bulsara KG, Makaryus AN. Candesartan. [Updated 2020 Jul 10]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-
17. Ahmed F. (2012). Headache disorders: differentiating and managing the
common subtypes. British journal of pain, 6(3), 124–132.
https://doi.org/10.1177/2049463712459691
18. Lee, V., Ang, L. L., Soon, D., Ong, J., & Loh, V. (2018). The adult patient
with headache. Singapore medical journal, 59(8), 399–406.
https://doi.org/10.11622/smedj.2018094
19. Steiner, T. J., & Fontebasso, M. (2002). Headache. BMJ (Clinical research
ed.), 325(7369), 881–886.
20. Oliveira, F. A. A., & Sampaio Rocha-Filho, P. A. (2019). Headaches
57
Attributed to Ischemic Stroke and Transient Ischemic Attack. Headache: The
Journal of Head and Face Pain. doi:10.1111/head.13478
21. Paciaroni, M., Parnetti, L., Sarchielli, P., & Gallai, V. (2001). Headache
associated with acute ischemic stroke. The Journal of Headache and Pain,
2(1), 25–29.
22. Gilroy, J., 2000.Basic Neurology 3rd ed. New York : McGraw-Hill.
23. Gofur, Abdul., 2009. Manajemen STROKE. Yogyakarta: Pustaka cendekia
press
58