BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan tentang Intermodal Passenger Transport
Transportasi berkelanjutan bergantung pada efisiensi energi dan spasial,
efisiensi energi dapat ditemukan pada pengoptimalan penggunaan energi dalam
bidang transportasi atau penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui
secara efektif, contohnya melalui proses transit dan ridesharing, dalam efisiensi
spasial dapat dicapai melalui pemanfaatan lahan secara efektif, sehingga mendorong
terwujudnya mix used zoning sehingga aksesibilitas menjadi lebih efektif (Ciuffini,
1995). Sustainable Transport juga ditujukan untuk meningkatkan akses bagi semua
level mobilitas, tingkat keamanan, kelestarian lingkungan, kekuatan ekonomi dan
mampu mempersingkat waktu perjalanan (Remiz, 1998) kedua hal ini sejalan dengan
penerapan Intermodality yang memfasilitasi proses transit demi pengoptimalan
energi dan efisiensi dalam aspek spasial yang ditunjukan pada penambahan fungsi
bangunan di Stasiun Manggarai.
Gambar 3. Elemen sustainable urban transportSumber : BMZ
9
10
Sustainable urban Transport memiliki komponen utama dalam mencapai
efisiensi energi, yaitu:
1. Travel efficiency
Penerapan efisiensi energi terhadap penggunaan moda, seperti penggunaan
moda angkutan umum, moda tanpa menggunakan mesin, dan pengurangan
komsumsi energi pada setiap perjalanan.
2. System efficiency
Penerapan efisiensi pada pengaturan fungsi lahan, aktivitas sosial dan
aktivitas ekonomi dengan tujuan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
3. Vehicle efficiency
Penerapan efisiensi terhadap kendaraan, dengan pengurangan penggunaan
energi per kendaraan per kilometernya dengan menggunakan teknologi yang
mutakhir.
Dari ketiga komponen tersebut, penyelesaian yang dapat dilakukan dengan
pendekatan arsitektural adalah travel efficiency & system efficiency. Menurut gambar
diatas, Enabling intermodality merupakan salah satu titik temu dari system efficiency
dan travel efficiency.
Yang dimaksud dengan enabling intermodality adalah memfasilitasi sarana
dan prasarana transportasi agar dapat mendukung konsep intermodal passenger
transport. Intermodal Passanger Transport merupakan salah satu bentuk dari
Sustainable Transportation, Intermodal Passanger Transport adalah suatu kebijakan
dan perencanaan yang bertujuan memfasilitasi para penumpang untuk menggunakan
moda transportasi yang berbeda dalam satu rangkaian rencana perjalanan,
Intermodality dapat dilihat sebagai karakter dari sistem transportasi, yang
memungkinkan dua moda atau lebih saling berhubungan door-to-door.
Penelitian ini menggunakan beberapa tinjauan umum yang berfungsi sebagai
teori pendukung agar penelitian ini mencapai tujuan yang ingin dicapai. Salah satu
teori yang digunakan adalah tentang Intermodal Passanger Transport.
Kebutuhan penerapan konsep Intermodal Passenger Transport yang optimal
akan ditemukan apabila adanya kebutuhan perjalanan melalui dua atau lebih moda
transportasi, dimana jaringan moda trasportasi harus berkoordinasi dalam
menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lain. Sebuah fasilitas transit intermoda
yang menggabungkan berbagai moda transportasi secara strategis dapat memperbaiki
mobilitas manusia pada sebuah wilayah.
11
Prosedur Perancangan Stasiun Berbasis Intermodality
Konsep Intermodal Passanger Transport berkaitan erat dengan optimalisasi
sirkulasi, baik sirkulasi manusia, barang maupun kendaraan. Menurut Tinamei
(2002) setiap kegiatan bergerak melibatkan adanya interaksi abstrak yang
menyangkut berbagai elemen yang ikut berinteraksi, yaitu antar individu manusia,
manusia dengan konteks ruang yang dilewatinya, manusia dengan aktifitas
pergerakan kendaraan yang membawanya dan manusia dengan aktifitas yang
dijalaninya, sehingga yang menjadi pokok dalam perancangan stasiun adalah
bagaimana memenuhi kebutuhan penumpang yang akan melakukan proses
perpindahan moda pada stasiun tersebut, oleh karena itu menurut Transportation
Research Forum, intermodal passanger transport telah dikatakan optimal apabila
dilengkapi pembagian pengguna sistem mobility telah dibagi berdasarkan kelas nya
demi mengetahui kebutuhan tambahan apa yang dibutuhkan pengguna dari segi
arsitektural agar dapat mencapai waktu tempuh antar moda yang optimal.
Gambar 4. Kriteria Perancangan Yang Menjadi Prosedur Dalam Pengembangan Berbasis Intermodality
Sumber: TRF
Langkah-langkah yang menjadi prosedur dalam perancangan stasiun yang
berbasis Intermodality menurut Transportation Research Forum :
1. List Possible arrival modes of transportation :
Mendata setiap moda yang berhubungan terhadap stasiun.
2. Identify possible intermodal movement at the station :
Mengidentifikasikan kemungkinan pertukaran antar moda yang mungkin
terjadi di dalam stasiun tersebut.
3. Identify different user group
Mengidentifikasikan pengunjung berdasarkan pengelompokannya.
12
4. Identify issues associated with each transit user group
Mengidentifikasikan permasalahan yang berhubungan dengan tiap kelompok
pengunjung.
5. Provide features needed for transit access for each user group
Menyediakan fitur untuk mendukung akses transit bagi tiap kelompok
pengguna.
6. Identify intermodal connectivity issues that might be faced each group
Mengidentifikasikan permasalahan dalam hubungan antarmoda yang
mungkin akan dihadapi tiap kelompok pengguna.
7. Mengkonsultasikan pedoman yang ada untuk diterapkan ke fitur yang lebih
spesifik, menggunakan pengetahuan dalam bidang tersebut dan
mengimplementasikan dan belajar dari dampak yang terjadi pada penerapan
tersebut.
8. Menyediakan kriteria desain yang akan diterapkan dalam tiap fitur.
Keseluruhan aspek yang ada dirangkum sehingga mendapatkan kriteria
perancangan yang memadukan faktor kualitatif dan kuantitatif serta melakukan
pembagian pengguna sistem mobility berdasarkan kelas nya demi mengetahui
kebutuhan tambahan apa yang dibutuhkan pengguna dari segi arsitektural agar dapat
mencapai waktu tempuh antar moda yang optimal.
Taksonomi Struktur Intermoda
Pada upaya pengoptimalan sirkulasi, penyatuan titik transit seringkali
mengakibatkan konflik dari sirkulasi sehingga dibutuhkan taksonomi yang tepat
dalam memisahkan titik-titik transit tersebut. Berdasarkan proyek terdahulu yang
telah menerapkan konsep intermoda dengan baik, Blow(2005) menyimpulkan bahwa
perancangan fasilitas intermoda memiliki beberapa kemungkinan struktur intermoda
yaitu:
a. Vertical separation (struktur pemisahan vertikal), adalah bentuk taksonomi
dimana setiap moda transit ditempatkan pada level yang berbeda secara
vertikal dan dihubungkan dengan elemen penghubung seperti tangga,
eskalator, elevator.
b. Contiguous, setiap moda ditempatkan pada level yang sama dan umumnya
dihubungkan dengan promenade, dan moving walkaway
13
c. Link adjacent, moda-moda transit ditempatkan secara terpisah pada lokasi
yang berdekatan dan umumnya dihubungkan dengan promenade, moving
walkaway, ataupun moda transportai lain seperti shuttle bus.
d. Remote, moda-moda transit ditempatkan pada lokasi yang berjauhan bahkan
dalam skala regional. Titik-titik transit ini dihubungkan dengan sebuah moda
penghubung.
Oleh karena itu penyesuaian optimalisasi struktur sirkulasi berdasarkan
taksonomi pada stasiun manggarai harus disesuaikan berdasarkan kondisi dan posisi
tiap titik transit yang terdapat pada kawasan stasiun.
Namun pelaksanaan konsep Intermodal Passanger Transport oleh pengguna
moda transportasi umum dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang
mempengaruhi seseorang dalam melakukan konsep intermodal passanger transport,
menurut Tamin(2000) adalah tingkat pelayanan pada fasilitas transit tersebut.
Tingkat pelayanan dapat dikelompokan menjadi dua kategori yaitu faktor kuantitatif
(lama waktu tempuh dan jarak menuju tiap titik transit dan ketersediaan ruang) dan
faktor kualitatif (kenyamanan dan kemudahan (wayfinding), ketersediaan naungan,
keamanan, dan ketersediaan fasilitas penunjang).
2.1.1 Tinjauan Mengenai Faktor Kuantitatif
Faktor kuantitatif berkaitan dengan lama waktu tempuh menuju tiap titik
transit dan ketersediaan dan penataan ruang. Konsep perpindahan penumpang
antarmoda tidak lepas dari optimalisasi sirkulasi yang berdampak pada kemudahan
dalam aksesibilitas, faktor aksesibilitas yang dimaksud tidak hanya hubungan antar
ruang di dalam stasiun, tetapi juga meliputi hubungan dari dalam kawasan stasiun
menuju kawasan di sekitar stasiun. Aksesibilitas yang dimaksud adalah :
1. Layout yang menunjang proses perpindahan antar moda.
2. Jalur yang aman dan terhindar dari hambatan.
3. Menyediakan kebutuhan yang diperlukan jalur pejalan kaki.
4. Terintegerasi dengan bangunan sekitar, bangunan tersebut harus dapat
berhubungan langsung dengan aktifitas komersial yang ada di sekitar stasiun,
seperti mall.
14
A. Standar Waktu Tempuh dan Kebutuhan Ruang
Menurut peraturan antarmoda yang ditetapkan oleh Auckland Transportation,
pengaruh jarak antar perpindahan moda sangat berpengaruh kepada kualitas sistem
intermodal pada suatu bangunan yang menjadi interchange, waktu tempuh ideal yang
diperlukan untuk berpindah dari satu moda ke moda lainnya seharusnya tidak lebih
dari 3 menit, dan jarak maksimum antar moda adalah:
30 meter ketika berpindah dari Bus.
60 m ketika berpindah dari Mass Rapid Transit & High Rapid Transit menuju
bus.
90 m ketika berpindah dari Light Rapid Transit menuju Mass Rapid
Transit/Subway.
Pergerakan yang ditimbulkan oleh fasilitas transit akan mempunyai fokus
pada penggunaan jalur pejalan kaki. Fahdiana(2007) menyimpulkan hal ini terjadi
karena pada proses transit, pengguna jalur pejalan kaki tidak hanya dari pedestarian
saja, namun peralihan pengguna kendaraan pribadi menjadi moda transportasi umum
akan meningkatkan volume pejalan kaki dan penggunaan jalur pejalan kaki.
Penambahan pergerakan pejalan kaki akan mempengaruhi desain yang berpusat pada
sirkulasi manusia. Jalur pejalan kaki akan dirancang dengan lebih lebar untuk
menampung pergerakan pejalan kaki yang disebabkan oleh fungsi transit. Untuk itu,
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pejalan kaki adalah:
Gambar 5. Kebutuhan Ruang Pejalan KakiSumber: Still 2000. Crowd Dynamic
a. Kebutuhan ruang, kebutuhan ruang untuk masing-masing pejalan kaki secara
normal adalah 0,5 m x 0,6 m dan digunakan ruang bebas (buffer zone) sebesar
0,75 m.
b. Kecepatan pejalan kaki, untuk kecepatan normal adalah sebesar 1,2 m/s atau
72 m/menit. Angka ini dapat bervariasi berdasarkan usia, untuk kecepatan
bebas digunakan angka 1,5m/s atau 80m/menit.
15
c. Lebar efektif untuk menghindari adanya gangguan (konflik) dari pejalan kaki
dari arah berlawanan digunakan lebar minimum perorang 0,8m. Semakin
kecil lebar efektif yang digunakan, potensi konflik semakin besar.
d. Tingkat pelayanan (Level of Service), adalah perbandingan kecepatan pejalan
kaki rata-rata (S, satuan ft. Per menit) terhadap area pejalan kaki rata-rata (M,
satuan sq.ft). LOS juga merupakan perbandingan volume pejalan kaki (V)
terhadap lebar jalur pejalan kaki (W, satuan foot). Untuk area transit,
digunakan LOS C atau 10-15 pfm.
16
Tabel 2. Tingkat Pelayanan
Sumber : Fruin 1971
17
Standar alur perpindahan penumpang
Standar alur perpindahan penumpang pada stasiun yang menerapkan konsep
intermoda menurut Auckland Transportation adalah:
Gambar 6. Standar Alur Perpindahan Penumpang Pada InterchangeSumber: Auckland Transportation
2.1.2 Tinjauan mengenai faktor kualitatif
Faktor kualitatif pada umumnya berkaitan dengan kenyamanan (dalam hal
ini hanya terpusat pada kenyamanan visual), kemudahan dalam menentukan arah
(wayfinding), ketersediaan naungan, keamanan dan fasilitas yang diperlukan
pengguna stasiun tersebut dalam melakukan proses transit.
Menurut Auckland Transportation, ada beberapa poin yang termasuk dalam
faktor kualitatif yang menjadi kunci dalam perancangan Interchange yang akan
mendukung efisiensi dan ektifitas dalam pengoperasiannya sebagai Interchange
yaitu:
Visibility
Visibilitas yang baik mempunyai pengaruh dalam perancangan stasiun yang
brbasis Intermodal, bagaimana membuat proses perpindahan antar moda
aman, accessible, dan mudah digunakan.
KEDATANGAN
TRANSISI
PERPINDAHAN INTERNAL
WAITING
TRANSISI
KEBERANGKATAN
18
Tabel 3. Standar Penerangan Pada StasiunTipe area, KegiatanAtau aktivitas
E (lx)
Entrance Halls 100
Lounge 200
Konter Tiket 300
Peron 100
Concourse/meeting oint 200
Ruang Tunggu 200
Sirkulasi general indoor 100
Sirkulasi eksterior 50
Akses menuju moda 100
Parkir 50Sumber: British Standard
Komponen yang perlu diperhatikan dalam optimalisasi visibilitas adalah:
i. Visibilitas pada zona interchange :
Visual yang tidak terhalangi untuk memenuhi keamanan pasif yang akan
menjaga keamanan pengguna.
ii. Visibilitas pada moda yang akan tiba :
Menjaga pengguna agar tetap dapat melihat moda yang akan tiba dari posisi
yang nyaman, hal ini dapat membantu mereka menyiapkan diri mereka dan
dapat mempersingkat waktu perpindahan penumpang ke dalam moda
tersebut.
iii. Visibilitas pada wayfinding signage :
Signage harus dapat terlihat dengan jelas agar signage tersebut dapat berguna
dengan sepatutnya.
iv. Visibilitas pada area pengoperasian moda :
Moda tersebut harus mampu bermanuver dengan aman, visibilitas yang baik
ditujukan agar kendaraan tersebut dapat melihat gangguan dan para
penumpang yang menunggu di pemberhentian.
Wayfinding
Wayfinding didalam fasilitas interchange adalah cara yang paling efisien
dalam membantu pergerakan pengguna dari atau menuju stasiun, idealnya
sebuah interchange design harus mampu ‘self-explaining’ dengan begitu
meminimalisir jumlah signage yang dibutuhkan.
Prinsip dasar yang harus dilakukan dalam perancangan agar memiliki ‘self
explaining’ antara lain:
19
Berikan identitas/ciri khas/karakter visual pada setiap lokasi agar membantu
pengguna mengenali orientasi ruangnya
Gunakan landmark sebagai acuan untuk membantu pengguna dalam
menentukan orientasi nya
Menciptakan path yang well-structured
Tidak memberikan pilihan orientasi yang terlalu banyak kepada pengguna
Memanfaatkan view agar dapat membantu menentukan orientasi
Menyediakan signage pada decision points untuk membantu pengguna
dalam menentukan arah
Mempunyai jarak pandang yang baik untuk menunjukan apa yang ada di
depan
Setiap signage harus berwarna dan ditempatkan di atas level mata manusia
dan harus mampu terlihat pada 120 derajat dengan jarak 100m
Shelter
Shelter harus melindungi penumpang dari panas dan hujan pada pergerakan
mereka antara boarding area dan ruang tunggu dengan ketinggian minimum
4 meter pada peron.
Struktur kanopi juga harus didesain dengan kriteria sebagai berikut:
1. Penggunaan kolom harus diminimalisir agar tidak gangguan pada
penglihatan.
2. Harus disesuaikan dengan standar kebutuhan ruang sirkulasi.
3. Struktur kanopi harus non-climable.
Security
Faktor keamanan yang diperhatikan pada pembahasan ini adalah faktor
keamanan yang dilakukan dengan pendekatan arsitektural, keamanan yang
wajib dipenuhi dalam perancangan berbasis intermodal adalah:
1. Pada pintu masuk stasiun : setiap pintu masuk tidak boleh berdekatan
dengan jalur kendaraan dan harus memiliki pembatas untuk
melindungi pengguna yang masuk dari kemungkinan kecelakaan,
namun harus memungkinkan kendaraan emergensi jika harus parkir
pada kondisi darurat.
2. Pada jalur pejalan kaki : setiap jalur pedesterian harus terlindungi dari
jalur kendaraan.
20
3. Pada penempatan bangunan yang menempel pada stsiun, bangunan
tersebut tidak diperbolehkan memiliki bukaan ke dalam stasiun demi
mencegah penyusup yang akan masuk ke dalam stasiun.
Service information
Berbeda dengan wayfinding yang fokus terhadap arah, informasi pelayanan
harus mampu menjawab ‘apa,dimana,kapan dan berapa’. Informasi pelayanan
biasanya meliputi informasi tarif, peta kota dan daerah sekitar, jalur dan letak
stasiun tiap moda tersebut berhenti dan harus berhubungan dengan signage
dari wayfinding.
Facilities
Fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas yang menjadi nilai tambah bagi
proses transit, meliputi tempat duduk, telepon umum, pusat informasi, toilet,
retail, cafe, parkir, ruang tunggu supir, ruang kontrol, ruang keamanan, dan
penyimpanan bagasi. Setiap fasilitas didasari atas waktu menunggu
penumpang, berapa penumpang yang ada, dimana penumpang menunggu.
2.2 Tinjauan Tentang Stasiun Terpadu
Stasiun Terpadu merupakan salah satu jenis pemberhentian transportasi
publik dimana pengguna moda transportasi dapat melakukan perpindahan moda
transportasi baik dari transportasi umum maupun dari kendaraan pribadi, yang
didesain secara spesifik untuk pertemuan dua atau lebih moda transportasi namun
tetap berpusat pada fungsi utama bangunan tersebut sebagai stasiun kereta api.
Menurut RTRW pada kawasan Manggarai pada tahun 2030, Stasiun Terpadu
Manggrai merupakan salah satu bagian dari Transit Hub yang akan dibangun pada
Kawasan Terpadu Manggarai. Oleh karena itu Stasiun Terpadu harus dilengkapi
dapat terhubung secara langsung dengan terminal moda lain yang juga menjadi
bagian dari Transit Hub dengan memfasilitasi pergerakan penumpang terhadap
terminal lain.
Menurut Transport For London, hal utama yang menjadi dasar dari
perancangan stasiun terpadu adalah bagaimana membuat transportasi umum menjadi
lebih mearik bagi pengguna dan membuat stasiun tersebut dapat berkontribusi pada
pencapaian ekonomi, sosial dan lingkungan yang lebih baik pada kawasan tersebut.
Menurut Transit Cooperative Research Program (TCRP) Sebuah stasiun
terpadu harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
21
1. Menciptakan rasa nyaman, aman, dan akses yang baik bagi seluruh pengguna
stasiun.
2. Membuat proses transfer penumpang menjadi mudah, menarik dan seemless
3. Menggunakan akses pedesterian menjadi basis bagi perancangan alur
perpindahan seluruh pengguna stasiun terpadu.
4. Mengenali kebutuhan seluruh pengguna, termasuk pengguna lanjut usia dan
pengguna dengan disabilitas.
5. Mengoptimalkan akses menuju seluruh moda pada stasiun terpadu.
6. Mengembangkan desain pada penumpang maupun kendaraan agar dapat
menggiatkan dan mengembangkan angkutan umum.
7. Perancangan akses baik penumpang maupun kendaraan agar dapat diterima
oleh setiap pengguna.
Akan tetapi akses yang dijadikan prioritas pada stasiun beragam bergantung
pada lokasi stasiun tersebut, sejarah stasiun tersebut, penggunaan lahan disekitar
stasiun tersebut dan kepadatannya, namun pada umumnya, setiap stasiun terpadu
paling tidak harus mampu memfasilitasi beragam kebutuhan, antara lain:
1. Pedesterian dan pengguna sepeda.
2. Pengguna Bus.
3. Penumpang yang tidak menggunakan kendaraan umum, termasuk pelaku
proses drop-off maupun pick-up.
4. Pelaku park and ride yang parkir dalam tenggat waktu sebentar.
5. Pelaku park and ride yang parkir dalam tenggat waktu lama.
Namun demikian, sebuah stasiun terpadu tetap berpusat pada fungsi utama
stasiun terpadu tersebut, yaitu stasiun kereta api, oleh karena itu diperlukan tinjuan
lebih mendalam mengenai stasiun kereta api.
2.2.1 Tinjauan Tentang Stasiun Kereta Api
Stasiun kereta api pada umumnya terdiri atas tempat penjualan tiket, peron,
ruang tunggu, ruang kepala stasiun, ruang PPPKA (Petugas Pengatur Perjalanan
Kereta Api) beserta peralatannya seperti sinyal, wesel (alat pemindah jalur), telepon
dan lain-lain).
Menurut peraturan menteri perhubungan nomor 29 tahun 2011, bangunan
stasiun terdiri atas 3 bagian, yaitu:
22
1. Gedung kegiatan pokok
Gedung untuk kegiatan pokok terdiri atas:
Hall
Perkantoran kegiatan stasiun
Loket karcis
Ruang tunggu
Ruang informasi
Ruang fasilitas umum
Ruang fasilitas keselamatan
Ruang fasilitas keamanan
Ruang fasilitas penyandang cacat dan lansia
Ruang fasilitas kesehatan
Adapun persyaratan penempatan pada gedung kegiatan pokok antara lain:
i. Lokasi sesuai dengan pola operasi perjalanan kereta api.
ii. Menunjang operasional sistem perkeretaapian.
iii. Tata letak ruang sesuai dengan alur proses kedatangan dan keberangkatan
penumpang kereta api serta tidak mengganggu pengaturan perjalanan kereta
api.
iv. Tidak mengganggu Iingkungan.
v. Terjamin keselamatan dan keamanan operasi kereta api
2. Gedung kegiatan penunjang
Gedung kegiatan penunjang terdiri atas:
Pertokoan
Restoran
Perkantoran
Perparkiran
Perhotelan
Ruang lain yang menunjang langsung kegiatan stasiun kereta api
Adapun persyaratan penempatan pada gedung kegiatan penunjang antara lain:
i. Lokasi sesuai dengan pola operasi stasiun kereta api.
23
ii. Tata letak ruang tidak menggangu alur proses kedatangan dan keberangkatan
penumpang kereta api dan pengaturan perjalanan kereta api.
iii. Menunjang kegiatan stasiun kereta api dalam rangka pelayanan pengguna jasa
stasiun.
iv. Terjamin keselamatan dan keamanan operasi kereta api.
3. Gedung untuk kegiatan jasa pelayanan khusus di stasiun kereta api, yang
terdiri atas:
Ruang tunggu penumpang
Bongkar muat barang
Pergudangan
Parkir kendaraan
Penitipan barang
Ruang atm
Ruang lain yang menunjang baik secara langsung maupun tidak langsung
kegiatan stasiun kereta api.
Adapun persyaratan penempatan pada gedung kegiatan jasa pelayanan khusus
di stasiun kereta api antara lain:
i. Lokasi sesuai dengan pola operasi stasiun kereta api.
ii. Tata letak ruang tidak menggangu alur proses kedatangan dan
keberangkatan penumpang kereta api dan pengaturan perjalanan
kereta api.
iii. Menunjang kegiatan stasiun kereta api dalam rangka pelayanan
pengguna jasa stasiun.
iv. Terjamin keselamatan dan keamanan operasi kereta api.
2.3 Tinjauan Terhadap Tipe Moda
Mass Rapid Trasit
24
Sistem Mass Rapid Transit adalah sistem transportasi umum yang
umumnya ditemukan di daerah perkotaan, tidak seperti bus dan light rail,
MRT biasanya mempunyai jalur khusus tanpa terkontaminasi moda
tranportasi lain, sesuai jadwal yang ditetapkan dengan rute yang didesain
dengan perhentian-perhentian tertentu dan dirancang untuk memindahkan
penumpang dengan jumlah yang banyak dalam waktu yang bersamaan. ingin
dicapai.
Heavy rail transit
Sistem ini adalah sistem yang beroperasi di jalur-jalur eksklusif,
biasanya tanpa persimpangan, dengan bantuan stasiun besar.
Sistem kereta komuter
Kereta komuter adalah kereta penumpang yang mengangkut
penumpang di dalam wilayah perkotaan, dengan wilayah pinggiran dengan
rata-rata mempunyai jalur lebih panjang dengan sifat perjalanan ulang alik
dari satu stasiun ke stasiun lainnya dalamsatu kota/kawasan lain yang
berdekatan dan dalam satu kesatuan ekonomi dan social. Ciri-ciri kereta api
komuter adalah:
1. Memiliki zona waktu puncak kepadatan penumpang pada pagi hari (07.00-
09.00) dan sore hari (17.00-19.00)
2. Sebagian besar penumpang menuju kearah yang sama
3. Jarak perjalanan pendek
4. Jumlah penumpang hampir tetap pada hari kerja, tetapi menurun secara
drastis pada hari libur.
2.4 Tinjauan Terhadap Peraturan dan Standar yang Digunakan
Persyaratan Teknis Bangunan Stasiun
25
Tinggi lantai terendah, minimum 0,5 m di atas batas permukaan banjir
tertinggi yang pernah tercatat dan minimal 0,3 m di atas permukaan jalan dan
plaza stasiun.
Tinggi langit-langit dari permukaan lantai minimal 2,5 m.
Tinggi saluran AC minimal 0,5 m.
Tinggi balok dan slab minimal 0,7 m.
Jarak bebas di bawah pada bagian arus listrik searah untuk stasiun over track
adalah 6,1 m.
Gambar 7. Jarak Bebas Rel Kereta ApiSumber: PT. KAI
Batas I batas lintas kereta api listrik.
Batas II batas untuk viaduk baru kecuali terowongan.
Batas III batas untuk viaduk dan terowongan.
26
Batas IV untuk jembatan dengan kecepatan kereta samai 60 km/jam.
Gambar 8. Dimensi PlatfomSumber: PT. KAI
Gambar 9. Dimensi pada Kereta Api ListrikSumber: PT. KAI
27
2.4.1 Standar Perhitungan Luas Ruangan Stasiun (JICA)
Tabel 4. Perhitungan Luas Ruangan
28
Sumber: PT. KAI
Standar perhitungan luas ruangan diatas akan digunakan untuk menemukan
luasan ruang minimum pada analisa kebutuhan ruang minimum stasiun.
Persyaratan Teknis Skywalk
Menurut Minneapolis Skyway System, standar desain arsitektural dalam
pengadaan skywalk adalah sebagai berikut:
1. Lokasi
Skyway hanya diperbolehkan dibangun pada ketinggian yang sesuai dengan
ketinggian second level bangunan yang dihubungkannya
Kecuali pada saat crossing, skyway harus ditempatkan pada bagian dalam
tapak dan tidak boleh mengganggu fasilitas umum yang ada di bawahnya
Skyway harus memiliki posisi yang sejajar dengan jalan
Sebisa mungkin, crossing tidak boleh dilakukan pada ujung jalan (end of the
road)
2. Bentuk Arsitektural
Ketinggian minimum skyway adalah 16’6” = 5 meter
Lebar minimum skyway adalah 12 feet = 3,6 meter
Jembatan harus dibuat sejajar dengan jalan, dan tegak lurus terhadap
bangunan pada sisi vertikal
Jika ada perubahan level pada jembatan, perubahan tersebut harus dapat
dilihat dari luar jembatan
Jembatan harus memiliki sisi transparan agar tidak menghalangi view
kedalam maupun keluar jembatan, hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan
pengguna pada jembatan tersebut
29
3. Akses
Jembatan harus mempunyai akses yang mudah dan memiliki kenyamanan
yang baik pada tangga, eskalator dan akses tersebut mudah dilihat dari jalan
Jembatan tersebut harus dapat memfasilitasi pengguna yang memiliki
disabilities
Pintu yang menjadi batasan penghubung jembatan dengan bangunan harus
mudah digunakan dan tidak menghambat sirkulasi
4. Public Safety
Ketersediaan emergency light
Ketersediaan fire emergency system
5. Building Systems
Jembatan harus memiliki sirkulasi udara yang baik, baik menggunakan
ventilasi atau pendingin ruangan
Jika penerangan jalan eksisting dihilangkan karena pengadaan jembatan,
maka jembatan tersebut harus dapat memfasilitasi penerangan jalan
Internal light harus konsisten dan selalu tersedia pada jembatan, koridor,
dan elemen sirkulasi vertikal (elevator, eskalator, dan tangga)
30
2.5 Kerangka Berfikir
Gambar 10. Kerangka BerpikirSumber: Olahan Penulis