BAB. II
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Konsep Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan,
hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun
Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan
(skills). Karakter menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan
nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang
yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang
berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah
moral disebut dengan berkarakter mulia.
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan
disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
(pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan
sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai
suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan
harus berkarakter.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala
sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta
didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup
keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait
lainnya.
Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang
baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria
manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang
baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai
sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai
luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka
membina kepribadian generasi muda.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian
massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota
besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat
meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah
resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan
peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui
peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya
upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal.
Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka
tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan
pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-
pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat,
seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai,
dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan
penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai
sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010),
secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri
individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif,
afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural
(dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang
hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah
Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa
dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik
dapat digambarkan sebagai berikut.
Olah Pikir
cerdas
Olah Hati
Jujur, Bertanggung Jawab
Olah Raga
Bersih, sehat, menarik
Olah rasa dan karsa
Peduli dan kreatif
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan
moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang
berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan
pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi
nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku
sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)
mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni:
pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku.
Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi
tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
2.1.2. Pembelajaran Kewirausahaan
Inovasi dalam pembelajaran yang akhir-akhir ini dikembangkan oleh
para ahli pendidikan adalah pembelajaran yang lebih memacu peserta didik
untuk belajar secara kontekstual. Namun, pada kenyataannya berbagai
produk benda dan fenomena alam yang ada di sekitar kehidupan manusia
belum dieksploitasi sebagai sumber belajar secara optimal. Oleh karena itu,
pembelajaran materi sebaiknya dikembangkan dari objek atau fenomena
nyata yang ada di sekitar kehidupan peserta didik (Hardy, 2003). Dengan
demikian, peserta didik akan merasa bahwa ilmu yang dipelajari itu ada di
sekitar kehidupannya dan nyata, tidak abstrak berada jauh di angkasa.
Menurut Supartono (2005) konsep pembelajaran kewirausahaan
adalah suatu pendekatan pembelajaran kontekstual suatu materi tertentu
yang dikaitkan dengan obyek nyata sehingga selain mendidik,
memungkinkan siswa dapat mempelajari proses pengolahan suatu bahan
menjadi produk yang bermanfaat, dan menumbuhkan jiwanya untuk berfikir
pada suatu nilai ekonomi.
Dengan pendekatan pembelajaran ini, menjadikan pelajaran materi itu
lebih menarik, menyenangkan dan lebih bermakna. Salah satu teori belajar
konstruktivisme yang terkenal adalah teori perkembangan kognitif anak
yang meliputi empat tingkatan, yaitu: tingkat sensori motoris, tingkat
praoperasional, tingkat operasi konkret dan tingkat operasi formal. Siswa
mulai jenjang pendidikan sekolah lanjutan berada pada tingkat operasi
formal dan memiliki sifat-sifat antara lain: pola berfikirnya sudah sistematis,
mampu memecahkan masalah dengan berpikir secara hipotetis, deduktif,
rasional, abstrak dan reflektif mengevaluasi informasi. Setiap siswa
senantiasa mempertahankan pengetahuan atau gagasan sebagai suatu
kebenaran. Hal ini terjadi karena pengetahuan yang dimiliki siswa terkait
dengan gagasan atau pengetahuan awal yang telah terbangun dalam wujud
struktur kognitif. Pengetahuan peserta didik dibangun dalam pikirannya
melalui proses asimilasi dan akomodasi (Dahar, 1996). Dalam pendekatan
pembelajaran materi ajar dengan kewirausahaan, peserta didik diberi
kesempatan untuk mempelajari konsep-konsep dan proses-prosesnya yang
melandasi terjadinya suatu produk atau fenomena-fenomena alam, sehingga
mereka mendapatkan kesimpulan yang bermakna. Kesimpulan bermakna ini
dapat berupa produk-produk baru yang bermanfaat, teknologi-teknologi
yang terkait dan rekomendasi-rekomendasi tertentu.
Untuk merancang pembelajaran dengan pendekatan kewirausahaan
diperlukan guru yang dapat mendesain dan melaksanakannya dengan
prinsip-prinsip pembelajaran yang tentunya berbeda dengan pembelajaran
materi lainnya. Guru harus mengetahui secara pasti materi-materi yang
tepat dan sesuai dengan pendekatan yang dipilihnya, pembuatan desain
pembelajarannya harus sesuai antara obyek atau fenomena yang dipelajari
dengan kegiatan siswa. Dengan landasan pemikiran tersebut, pendekatan
kewirausahaan menuntut potensi peserta didik untuk belajar secara
maksimal sehingga mampu menampilkan kompetensi tertentu. Proses
belajar siswa tidak lagi berorientasi kepada banyaknya materi pelajaran
akuntansinya (subject-matter oriented), tetapi lebih berorientasi kepada
kecakapan yang dapat ditampilkan oleh peserta didik (life-skill oriented).
Dengan pendekatan pembelajaran yang demikian sejumlah kompetensi
dapat dicapai, proses belajar-mengajarnya menjadi lebih menarik, peserta
didik terfokus perhatiannya dan termotivasi untuk mengetahui lebih jauh
serta hasil belajarnya menjadi lebih bermakna (D’amore et al., 2003).
2.1.3 Pembelajaran di Laboratorium Teenzania
Laboratorium Teenzania adalah suatu nama dari pengkondisian suatu ruang
belajar yang digunakan dalam penelitian ini. Dimana ruang belajar peserta
didik dirubah menjadi suatu bentuk labratorium yang lengkap dengan pernik-
pernik dan fasilitas yang berhubungan erat dengan materi yang dipelajari
khususnya pada pelajaran ekonomi pada materi pokok transaksi akuntansi
perusahan jasa. Ruang belajar berkonsep stad bentuk menyerupai peruhaan
jasa yang memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk
bereksplorasi terhadap pengetahuannya. Selain itu peserta didik juga
berkesempatan untuk memainkan peran sebagai kasir, pemilik dan konsumen
pada perusahaan jasa serta elaborasi didalam kelompok dalam
menyelesaikan tugas.
Nama Teenzania mengadopsi dari KidZania, yang telah sukses dengan
konsep edutainmentnya di Jakarta. Dalam situs websitenya di
http://www.kidzania.co.id menyatakan KidZania adalah sebuah pusat
rekreasi berkonsep edutainment yang unik bagi anak-anak usia 2-16 tahun
serta orang tuanya. KidZania juga disebut sebagai sebuah kota kecil yang
memiliki kegiatan dan fasilitas seperti halnya kota sungguhan dengan konsep
edutainment. Fasilitas-fasilitas yang ada di tempat ini, seperti rumah sakit,
pos pemadam kebakaran, bank, counter pajak, stasiun radio, supermarket,
restoran, teater, salon kecantikan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bangunan-bangunan yang ada di KidZania dibangun khusus dalam ukuran
anak-anak, lengkap dengan jalan raya, ritel, juga berbagai kendaraan yang
berjalan di sekeliling kota.
Ari Kartika, Ministry of Marketing Communication KidZania menyatakan
dalam http://www.kidzania.co.id bahwa di tempat ini (Kidzania), ada lebih
dari 100 jenis profesi, setiap anak akan disibukkan oleh beragam aktivitas
profesi dan pekerjaan yang biasa di dunia nyata hanya ada dilakukan oleh
orang-orang dewasa. Mereka akan memainkan peran orang dewasa sambil
memelajari berbagai profesi. Misalnya, menjadi seorang dokter, pilot,
pekerja konstruksi, detektif swasta, arkeolog, pembalap F1, dan yang baru-
baru ini diresmikan adalah sebagai ilmuwan persembahan dari PT Yakult
Indonesia Persada (Yakult).
KidZania Indonesia sudah mulai beroperasi dan menjadi alternatif permainan
yang sangat erat dengan nilai-nilai edukatif. Di Negara Asia, hanya Jepang
dan Indonesia yang baru membukanya. Gagasan bermain peran ala KidZania
sendiri berasal dari Meksiko, sebuah negara yang terletak di kawasan
Amerika Latin. Permainan peran atau role play di KidZania tidak hanya seru
dan menghibur, di tempat ini anak-anak dapat memelajari hal-hal baru,
menerapkan pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah. Anak-anak juga
belajar menghargai kegiatan dan pekerjaan yang mereka jalankan di masing-
masing paviliun yang terdapat di KidZania.
Terinspirasi dari keberhasilan KidZania inilah, maka dalam penelitian ini
digunakan istilah TeenZania. Teen yang diambil dari kata Teenager, yang
merujuk pada sasaran dalam penelitian ini yaitu peserta didik Sekolah
Menengah Negeri 1 Dekai. Konsep pembelajaran juga mengadopsi konsep
edutainment yang tetap mengutamakan edukasi selama proses belajar. Dan
tak kalah penting, edutainment yang diangkat hanyalah pada tema materi
yang bersangkutan untuk lebih mengoptimalkan hasil belajar peserta didik.
Laboratorium TeenZania dirancang sedemikian rupa, sehingga peserta didik
akan merasa berada pada situasi perusahaan jasa dengan aktivitas mencatat
transaksi akuntansi perusahan jasa. Ruang belajar yang terpenuhi dengan
bukti transakasi seperti nota, kwintansi, memo, buku kas dan jurnal serta
menciptakan aktivitas kelompok sesuai dengan pilihan peruhaan jasa masing-
masing seperti salon, tylor, bengkel, dan jasa angkutan, sebagai aplikasi
konsep transaksi perusahaan jasa. Disini peserta didik juga diberikan
kesempatan untuk melakuan transaksi sesuai dengan kegiatan perusahaan
jasa yang dipilih. Sehingga peserta didik akan mampu mengembangkan
kreatifitas serta berpikir aktif selama pembelajaran.
2.1.4. Pembelajaran Cooperative Learning
1. Pengertian Cooperative Learning
Cooperative learning merupakan strategi pembelajaran yang
menitikberatkan pada pengelompokan siswa dengan tingkat kemampuan
akademik yang berbeda kedalam kelompok-kelompok kecil (Saptono,
2003:32). Kepada siswa diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar
dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan
kepada teman sekelompoknya, menghargai pendapat teman, berdiskusi
dengan teratur, siswa yang pandai membantu yang lebih lemah, dan
sebagainya.
Agar terlaksana dengan baik strategi ini dilengkapi dengan LKS yang
berisi tugas atau pertanyaan yang harus dikerjakan siswa. Selama bekerja
dalam kelompok, setiap anggota kelompok berkesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya dan memberikan respon terhadap pendapat
temannya. Setelah menyelesaikan tugas kelompok, masing-masing
menyajikan hasil pekerjaannya didepan kelas untuk didiskusikan dengan
seluruh siswa.
1. Unsur-unsur dan Ciri-ciri Cooperative Learning
Menurut Lundgren (Sukarmin, 2002:2), Unsur-unsur dasar yang perlu
ditanamkan pada diri siswa agar cooperative learning lebih efektif adalah
sebagai berikut :
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau
berenang bersama”
b. Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam
kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam
mempelajari materi yang dihadapi.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan
yang sama.
d. Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama
besarnya diantara anggota kelompok.
e. Para siswa akan diberikan suatu evaluasi atau penghargaan yang akan
ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerja sama selama belajar.
g. Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Sementara itu, menurut Nur (2001:3) pembelajaran yang
menggunakan model cooperative learning pada umumnya memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif umtuk menuntaskan
materi belajarnya.
b. Kelompok dibentukdari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang
dan rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, bangsa, suku, dan
jenis kelamin yang berbeda-beda.
d. Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu.
2.1.5. Kooperatif Tipe Student Teams Achiement Division (STAD)
Pembelajran kooperatif tipe STAD ini merupakan salah satu tipe dari
model pembelajaran koopertinf dengan menggunakan kelompok-kelompok
kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-5 orang siswa secara
heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian
materi, kegiatan kelompok, den penghargaan kelompok.
Slavin (dalam Trianto,2007:52) menyatakan bahwa pada STAD siswa
ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan 4-5 orang yang merupakan
campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin dan suku. Dalam
pembelajaran STAD guru menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa
bekerja dalam tim mereka memastikan bahwa seluruh anggota tim telah
menguasai pelajaran tersebut. Kemudian, seluruh siswa diberikan tes tentang
materi tersebut, pada saat tes mereka tidak diperbolehkan saling membantu.
Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD membutuhkan persiapan
yang matang sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan, sehingga
tercapai tujuan yang diharapkan. Trianto mengemukakan beberapa langkah-
langkah dalam mempersiapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai
berikut:
a. Persiapkan perangkat pembelajaran (meliputi RPP, buku siswa, LKS,
beserta lembar jawaban)
b. Membentuk kelompok kooperatif
Penentuan anggota kelompok sebaiknya kemampuan siswa yang
herterogen dan kemampuan antar satu kelompok dengan kelompok
lainnya relatif homogen.
c. Menentukan skor awal
Skor awal yang dapat diipergunakan dalam pembelajaran kooperatif
adalah nilai ulangan sebelumnya. Hasil tes masing-masing individu dapat
dijadikan skor awal.
d. Pengaturan tempat
e. Kerja kelompok
Agar tercapai tujuan pembelajaran perlu ada latihan kerjasama kelompok
sehingga dapat mengenal masing-masing individu dalam kelompok.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri dari lima tahapan utama
sebagai berikut; a) Presentasi kelas. Materi pelajaran dipresentasikan
oleh guru dengan menggunakan metode pembelajaran. Siswa mengikuti
presentasi guru dengan seksama sebagai persiapan untuk mengikuti tes
berikutnya. b) Kerja kelompok. Kelompok terdiri dari 4-5 orang. Dalam
kegiatan kelompok ini, para siswa bersama-sama mendiskusikan
masalah yang dihadapi, membandingkan jawaban, atau memperbaiki
miskonsepsi. Kelompok diharapkan bekerja sama dengan sebaik-baiknya
dan saling membantu dalam memahami materi pelajaran, c) Tes. Setelah
kegiatan presentasi guru dan kegiatan kelompok, siswa diberikan tes
secara individual. Dalam menjawab tes, siswa tidak diperkenankan
saling membantu, d) Peningkatan skor individu. Setiap anggota
kelompok diharapkan mencapai skor tes yang tinggi karena skor ini akan
memberikan kontribusi terhadap peningkatan skor rata-rata kelompok, e)
Penghargaan kolompok. Kelompok yang mencapai rata-rata skor
tertinggi, diberikan pengghargaan.
f. Penghargaan Kelompok
Guru memberikan penghargaan pada kelompokberdasarkan perolehan
nilai peningkatan hasil belajar dari nilai dasar (awal) ke nilai kuis/tes
setelah siswa bekerja dalam kelompok.
Cara-cara penentuan nilai penghargaan kepada kelompok dijelaskan
sebagai berikut.
Langkah-langkah memberi penghargaan kelompok:
a. menentukan nilai dasar (awal) masing-masing siswa. Nilai dasar
(awal) dapat berupa nilai tes/kuis awal atau menggunakan nilai
ulangan sebelumnya;
b. menentukan nilai tes/kuis yang telah dilaksanakan setelah siswa
bekerja dalam kelompok, misal nilai kuis I, nilai kuis II, atau rata-rata
nilai kuis I dan kuis II kepada setiap siswa, yang kita sebut dengan
nilai kuis terkini;
c. menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan
berdasarkan selisih nilai kuis terkini dan nilai dasar (awal)
masingmasing siswa dengan menggunakan kriteria berikut ini.
Kriteria Nilai peningkatan Kriteria Nilai peningkatan
Nilai kuis/tes terkini turun lebih dari 10 poin di bawah nilai awal 5
Nilai kuis/tes terkini turun 1 sampai dengan 10 poin di bawah nilai awal 10
Nilai kuis/tes terkini sama dengan nilai awal sampai dengan 10 di atas nilai awal 20
Nilai kuis/tes terkini lebih dari 10 di atas nilai awal 30
Penghargaan kelompok diberikan berdasarkan rata-rata nilai peningkatan
yang diperoleh masing-masing kelompok dengan memberikan predikat
cukup, baik, sangat baik, dan sempurna.
Kriteria untuk status kelompok (Muslimin dkk, 2000):
a. Cukup, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok kurang dari 15 (rata-
rata nilai peningkatan kelompok < 15)
b. Baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 15 dan 20 (15 <
rata-rata nilai peningkatan kelompok < 20)
c. Sangat baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 20 dan
25 (20 < rata-rata nilai peningkatan kelompok < 25)
d. Sempurna, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok lebih atau sama
dengan 25 (rata-rata nilai peningkatan kelompok > 25).
2.1. 6. Metode STAD berbasis Pendidikan Karakter berorientasi
kewirausahaan di Laboratorium Teenzania
STAD merupakan salah satu tipe dari metode pembelajaran
kooperatif yang merupakan suatu model pembelajaran yang
mengutamakan adanya kelompok-kelompok serta di dalamnya
menekankan kerjasama. Tujuan model pembelajaran ini adalah hasil
belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai
keragaman dari temannya serta mengembangkan keterampilan sosial.
Melalui pembelajaran model STAD pada pokok bahasan akuntansi
perusahan jasa setiap individu didalam kelompok berkerja sama
mengerjakan latihan sehingga menumbuhkan perilaku yang baik, jujur,
kreatif, dan trampil secara individu maupun kelompok dengan bimbingan
guru sebagai manajer kelas, motivator, fasilitator dan mediator. Metode ini
siswa akan menerima penghargaan atas keberhasilan kelompok dengan
cara menghitung skor individu menjadikan skor kelompok kemudian
siswa akan menerima hadiah atau pengakuan. STAD menawarkan
keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok maka setiap individu
dalam kelompok bekerja sama, aktif dan kreatif dalam membuat transaksi
perusahan jasa.
Dalam pembelajaran akuntansi perusahan jasa tiap kelompok
melakukan transaksi pembelian, investasi, penjualan dan lain sebagainya
yang selayaknya aktivitas perusahan jasa dalam bentuk miniatur di kelas
yang disebut dengan nama Teenzania. Metode pembelajaran seperti ini,
siswa tidak hanya belajar teori, konsep atau prinsip transaksi secara
abstrak, namun siswa aplikasikan konsep pencatatan transaksi tersebut
dengan berperan sebagai kasir, pemilik modal, atau pengguna jasa di
laboratorium teenzania. Ruang belajar dirancang sedemikian rupa,
sehingga peserta didik merasa berada di perusahaan jasa dengan aktivitas
melakukan dan mencatat bukti transaksi pembelian, penjualan jasa, dan
sebagainya sesuai pilihan perusahaan jasa seperti salon, tylor, bengkel
sehingga menumbuhkan jiwa yang percaya diri, berani mengambil resiko,
berorientasi tugas dan hasil (laba).
2.1.7 Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvesional adalah pembelajaran yang berpusat pada
guru (teacher centered). Keseluruhan aktivitas pembelajaran cenderung
dimonopoli oleh guru dalam bentuk penyampaian informasi satu arah. Cara
mengajar dengan cerama ini dapat dikatakan pula sebagai teknik kuliah
yaitu suatu cara mengajar yang digunakan untuk menyampaikan keterangan
atau informasi, atau uraian tentang satu pokok persoalan secara lisan. Guru
akan menggunakan teknik cerama ini agar siswa memperoleh informasi
tentang suatu pokok pemasalahan tertentu.
Dalam pembelajaran konvesional biasanya guru tidak mencari
informasi tentang pengetahuan awal siswa. Guru tidak mendiagnosis
keadaan siswa. Latar belakang siswa yang berbeda memungkinkan siswa
telah memahami materi yang diberikan guru sebelum proses pembelajaran.
Guru menempatkan diri sebagai orang yang paling menguasai materi dan
siswa adalah “botol kosong” yang harus diisi. Sehingga selama
pembelajaran berlangsung siswa tidak tertarik lagi pada materi yang
diinformasikan guru. Terlebih dalam pembelajarannya, guru tidak mengajak
mengaktifkan fungsi otaknya untuk berpikir. Dalam proses pembelajaran,
guru hanya bertugas menyampaikan informasi. Hal demikian sering kali
menyebabkan kejenuhan dan hilangnya motivasi dan konsentrasi siswa
untuk belajar.
Mengajar seharusnya, bukan hanya menyampaikan informasi materi
pelajaran. Mengajar seharusnya melatih kemampuan siswa untuk berpikir,
menggunakan keseluruhan kognitifnya secara terarah. Materi pelajaran
jangan digunakan sebagai tujuan pengajaran, melainkan alat untuk melatih
struktur kognitif siswa. Mengajar harus membuat siswa untuk melatih
kemamapuan berpikir agar terbantuknya kecerdasan siswa yang memiliki
kemampuan untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Dalam pembelajaran konvesional yang bersifat teacher centered, guru
merupakan satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Guru tidak menjalankan
fungsinya sebagai pengelola pembelajaran dengan optimal. Penyampaian
pengetahuan dari guru tidak berupa menanamkan pengetahuan seperti yang
dikemukakan oleh Smith (dalam Sanjaya, 2010:96) bahwa mengajar adalah
menanamkan pengetahuan atau keterampilan (teaching is importing
knowledge or skill). Dalam kegiatan belajar konvensional, peran guru
sangat penting. Peran guru sebagai perencana dilaksanakan ketika guru
mulai menyiapkan materi pelajaran, media yang dapat digunakan, dan cara
penyampaian. Sebagai penyampai informasi, umumnya guru menggunakan
metode cerama, dan sebagai evaluator, guru menentukan alat evaluasi
dengan kriteria yang mengukur penguasaan siswa terhadap materi yang
telah diinformasikan, umumnya alat evaluasi yang digunakan adalah tes
tertulis (paper and pencil test).
Dengan proses pengajaran demikian, siswa diposisikan sebagai objek
belajar. Siswa dianggap sebagai individu yang pasif yang sama sekali belum
mengetahui materi yang akan diberikan oleh guru. Dengan demikian,
kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat
dan bakatnya sangat terbatas, karena segalanya sudah diatur oleh guru.
Pembelajaran konvensional umumnya dibatasi oleh ruang kelas.
Pembelajaran biasanya hanya berlangsung di dalam ruang kelas dengan
jadwal tertentu. Situasi telah diatur sedemikian rupa untuk membatasi ruang
gerak siswa, agar tetap di tempat duduknya sementara informasi
disampaikan. Bahan ajar yang didapatkan siswa menjadi terputus-putus,
tidak nampak kesinambungan antara satu materi dengan materi lainnya.
Siswa kadang tidak paham dengan tujuan yang mempelajari suatu mata
pelajaran, karena tidak mengetahui manfaat implementatif bagi dirinya dan
kehidupannya.
Menilik uraian di atas, maka perlu memahami peradigma dalam
mengajar. Mengajar tidak dapat dianggap hanya sebagai penyampaian ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dibutuhkan siswa dapat ditemukan
dimana saja melalui media yang beragam. Fungsi guru menjadi semakin
kompleks, karena selain harus dapat menunjukkan informasi yang mereka
butuhkan, cara mendapatkannya, dan manfaatnya bagi mereka; guru juga
harus mampu menimalisir dampak negatif dari berbagai sumber belajar
yang digunakan oleh siswa. Guru harus dapat membuat siswa mampu
memanfaatkan kemajuan peradaban, dan bukan menghafal informasi
tentang pengetahuan kemajuan beradapan.
Pemilihan strategi dan media pembelajaran turut mendukung
berlangsungnya proses pembelajaran. Umumnya dalam pembelajaran yang
disebut dengan pembelajaran konvensional menggunakan metode ceramah
dan tanya jawab, untuk semua bahan ajar. Sebenarnya tidak ada yang salah
dengan metode ceramah dengan tanya jawab. Tetapi menjadi salah ketika
gabungan kedua metode itu digunakan untuk semua bahan ajar. Pemilihan
metode harus mengikutui prinsip-prinsip pemilihan dan penggunaan
metode dengan tepat. Permasalahannya, apakah guru benar menguasai lebih
banyak metode selain cerama dan tanya jawab?
Penggunaan metode cerama dalam pembelajaran dimungkinkan
dengan pertimbangan jumlah siswa dalam kelas dengan jenis materi yang
akan disampaikan. Dengan jumlah yang cukup banyak, metode cerama
klasikal akan efektif, karena akamn mampu mengontrol situasi kelas dengan
mudah. Jika materi yang disampaikan berupa pengetahuan yang cukup
untuk dihafalkan, metode cerama memberi kelebihan dalam
penggunaannya. Dalam metode ceramah demikian, siswa terlibat aktif
secara mental, tetapi dibatasi ruang gerak fisiknya (Roestiyah,2008:138).
Metode ceramah klasikal yang biasa digunakan guru dalam
pembelajaran konvensional sehari-hari, tiadak melibatkan siswa secara
keseluruhan, yaitu fisik, mental, emosional, dan sosial. Kekurangan dari
metode cerama inilah yang menjadikan pembelajaran konvensional tidak
memberikan hasil belajara yang optimal.
2.1.8. Spektrum Pendidikan di Sekolah
Spektrum Pendidikan di sekolah adalah suatu program yang
menggambarkan kegiatan pendidikan bermuatan akademik, karakter
vocational skill, dan terintegrasi keduanya yang didasarkan pada kebutuhan
sasaran peserta didik. Pelaksanaan spektrum pendidikan merupakan
tanggung jawab sekolah bersama dengan masyarakat, yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat, yang ditujukan untuk
memberikan layanan pendidikan yang bermutu dan bermakna bagi diri dan
lingkungannya.
Pengembangan spektrum pendidikan diarahkan kepada pelaksanaan
program pada usaha mencapai dua aspek yaitu program yang berbasis
pengetahuan (knowledge base) dan ekonomi (economy base). Kedua aspek
ini harus menjadi muatan pokok dalam program pendidikan di sekolah agar
lulusan pendidikan sekolah lanjutan tidak menambah jumlah pengangguran.
Pendekatan spektrum di sekolah diperlukan untuk menjamin kekhasan
penyelenggaraan pendidikan formal dan non formal yang memiliki
karakteristik khusus. Pendidikan Integrasi Kewirausahaan (PIK) disini
merupakan integrasi yang menyajikan berbagai menu sekaligus, dan ini
merupakan model paling ideal dalam implementasi pendidikan sekolah
berbasis karakter berorientasi kewirausahaan. Hal ini dapat diselenggarakan
bagi mereka yang membutuhkan kompetensi akademik dan juga
memerlukan kompetensi pembentukan karakter untuk memperoleh
keterampilan dan kepribadian untuk kehidupan sehari-hari dan atau
memperoleh pekerjaan serta bekerja/berusaha mandiri.
2.1.9. Pengembangan Kurikulum Terintegrasi
Dengan kebijakan pemerintah sistem pendidikan dengan KTSP,
diharapkan kurikulum menjadi lebih dekat dengan tuntutan kehidupan
peserta didik, lebih luwes, dan memberi toleransi terhadap adanya
keragaman kebutuhan.
1. Prinsip Pengembangan Kurikulum
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan
peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik
memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap. kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Untuk mendukung
pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik
disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
peserta didik serta tuntutan lingkungan.
b. Beragam dan Terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jalur, jenjang serta jenis
pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta
status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen
muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara
terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna
dan tepat antar substansi.
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena
itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti
dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni
d. Berpusat pada kehidupan
Menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan,
termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia
kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan
berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik dan keterampilan
vokasional merupakan keharusan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan demensi kompetensi,
bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan
secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
g. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan
formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan
tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan
manusia seutuhnya.
h. Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan
kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
i. Partisipatif
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku
kepentingan (stakeholders) agar tercipta rasa memiliki dan
bertanggungjawab dalam melaksanakannya.
i. Tematik
Kurikulum dikembangkan dengan mengorganisasikan pengalaman-
pengalaman secara menyeluruh dalam tema-tema kontekstual yang
mendorong terjadinya pengalaman belajar baru yang meluas dan tidak
tersekat-sekat oleh pokok-pokok bahasan sehingga dapat mengaktifkan
aktifitas mental peserta didik sekaligus aktifitas sosial yang menumbuhkan
kerjasama.
2. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum
Pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan menggunakan
prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, karakteristik,
perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi
yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus
mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh
kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan
menyenangkan.
b. Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu :
belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
belajar untuk memahami dan menghayati, belajar untuk mampu
melaksanakan dan berbuat secara efektif, belajar untuk hidup bersama
dan berguna bagi orang lain dan, belajar untuk membangun dan
menemukan jati diri melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan.
c. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat
pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan
sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik
dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta
didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan dan moral.
d. Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan
pendidik yang demokratis, saling menerima dan menghargai, akrab,
terbuka, dan hangat, dengan prinsip ing ngarsa sung tulada, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani.
e. Kurikulum dilaksanakan dalam pendekatan multistrategi dan multimedia,
sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan
lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam
takambang jadi guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di
masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta
dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan).
f. Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kekayaan, keunggulan
dan kearifan lokal untuk, keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh
bahan kajian secara optimal.
g. Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata
pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam
keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan
memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan.
h. Kurikulum dilaksanakan secara fleksibel dalam ruang, waktu dan strategi
pembelajaran, serta menghargai pengalaman belajar peserta didik yang
diperoleh dalam kehidupan.
i. Kurikulum dilaksanakan secara konstruktif yang memberikan pengakuan
bahwa peserta didik mempunyai pandangan sendiri terhadap ”dunia” dan
alam sekitarnya untuk membangun makna berdasarkan pengalaman
individu dalam menghadapi dan menyelesaikan situasi yang tidak tentu.
j. Kurikulum dilaksanakan secara induktif dengan membangun
pengetahuan melalui kejadian dengan fenomena empirik yang
menekankan pada kemampuan belajar yang berbasis pengalaman
langsung.
2.1.10 Hasil Belajar
Ciri terakhir dari proses pembelajaran adalah adanya penilaian.
Penilaian disini tidak hanya menekan penilaian yang dilakukan oleh guru
tetapi melibatkan siswa. Penilaian yang dimaksud adalah penilaian proses
dan hasil. Siswa dapat menilai sendiri mengenai pekerjaannya maupun
temuannya. Hal akan membangkitkan motivasi dan aktivitas siswa lebih
baik lagi, karena pekerjaan mereka dibicarakan terbuka di depan kelas atau
didepan teman-temannya. Self assesment ini akan mengevaluasi tujuan, dan
mereka mempelajari sesuatu dengan pencapaian diakhiri pembelajaran.
Belajar bukan sekedar menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi
belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri
seseorang. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki
ketrampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Menurut Hamalik (2009:36),
belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman
dan (learning is deviden as the modification or strengthening of behavior
through experiencing). Menurut pengertian ini, belajar adalah merupakan
suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Secara
sederhana mengungkapkan bahwa belajar bukan hanya mengingat, akan
tetapi lebih luas daripada itu, yakni mengalami. Sehingga hasil belajar
tampak sebagai terjadinya perubahan tingka laku pada diri siswa, yang dapat
diamati, dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan sikap dan
keterampilan (Hamalik,2008:154).
Keberhasilan dalam belajar dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang
diperoleh dalam kegiatan pembelajaran. Bukti bahwa seseorang telah
melakukan kegiatan belajar ialah adanya perubahan tingka laku pada orang
tersebut, yang sebelumnya tidak ada, atau tingka lakunya tersebut masih
lemah atau kurang. Menurut Mulyasa (2008:97) mengemukakan bahwa
hasil belajar merupakan prestasi belajar peserta didik secara keseluruhan
yang menjadi indicator, kompetensi, dan perubahan tingkah laku yang
bersangkutan.
Hasil pembelajaran adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai
indikator tentang nilai dari penggunaan strategi pembelajaran dibawah
kondisi yang berbeda. Menurut Slameto (1995:2) menyatakan bahwa hasil
belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dengan lingkungannya.
Dalam sistem pendidikan nasional, rumusan tujuan pendidikan
nasional mengguanakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom
yang membaginya dalam tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan
ranah psikomotor. Dengan demikian hasil belajar dapat berupa perubahan
dalam kemampuan kognitif, afektif maupun psikomotorik, tergantung pada
tujuan pembelajarannya.
2.1.10.1 Taksonomi hasil belajar Kognitif
Hasil belajar kognitif adalah perubahan perilaku yang terjadi dalam
kawasan kognisi. Oleh karena belajar melibatkan otak, maka perubahan
perilaku akibatnya juga terjadi di dalam otak. Hasil belajar kognitif
diklasifikasikan dalam enam tingkatan yaitu pengetahuan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Keenam jenjang itu bersifat
hierarkikal dimulai dari jenjang yang paling bawah yaitu pengetahuan
sampai jenjang yang paling tinggi yaitu evaluasi.
Dalam penelitian ini, hasil belajar kognitif menjadi sasaran peneliti
untuk mengambil kesimpulan dari hipotesis penelitian ini. Hasil belajar
kognitif yang diamati adalah pada prestasi belajar siswa. Dimana prestasi
belajar ini akan berhubungan dengan kognisi peserta didik melalui metode
tes. Dengan metode tes maka akan diketahui hasil belajar kognitif yang
ditunjukkan pada prestasi belajar siswa.
2.1.10.2 Taksonomi hasil belajar afektif
Hasil belajar afektif diklasifikasikan dalam 5 tingkatan yaitu
penerimaan, pemberian, respon, penghargaan, pengorganisasian,
karakterisasi. Penerimaan (receiving) adalah kesediaan menerima
rangsangan yang datang kepadanya. Partisipasi (responding) adalah
kesediaan memberikan respons dengan berpartisipasi. Penilaian atau
penentuan sikap (valuing) adalah kesediaan menentukan pilihan sebuah nilai
dari rangsangan tersebut. Organisasi adalah kesediaan mengorganisasikan
nilai-nilai yang dipilihnya untuk menjadi pedoman yang mantap dalam
perilaku.
Internalisasi nilai atau karakterisasi adalah menjadikan nilai-nilai
yang diorganisasikan untuk tidak hanya menjadi pedoman perilaku tetapi
juga menjadi bagian dari pribadi dalam perilaku sehari-hari (Purwanto,
2009: 52). Dalam penelitian ini hasil belajar afektif yang diteliti adalah
panerimaan (receiving) dan partisipasi (responding) yang digeneralisasikan
dalam keaktifan peserta didik. Jadi pada hasil belajar afektif yang menjadi
objek penelitian ini adalah keaktifan.
2.1.10.3 Taksonomi hasil belajar psikomotorik
Hasil belajar psikomotor adalah hasil belajar yang berkaitan dengan
ketrampilan (skill) yang bersifat manual atau motorik. yaitu persepsi,
kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks,
penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas. Hasil belajar psikomotorik dalam
penelitian ini akan menjadi objek penelitian ini adalah ketrampilan proses.
untuk hasil belajar.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, hasil belajar adalah
merupakan perwujudan perubahan tingkah laku dalam domain kognitif,
afektif, dan psikomotor yang diperoleh siswa melalui proses pembelajaran.
Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang
dicapai oleh siswa setelah melakukan proses pembelajaran sesuai dengan
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan disetiap domain.
2.1.11. Keaktifan Siswa
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, keaktifan adalah kegiatan,
kesibukan (Tim Pustaka Phoenix , 2009 : 25), sedangakan belajar adalah
perubahan tingka laku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman
(Hamlik,2008:154). Jadi keaktifan belajar adalah kegitan individu yang
membawah perubahan tingka laku yang relatif mantap berkat latihan dan
pengalaman.
Keaktifan belajar adalah suatu kegiatan yang menimbulkan perubahan
pada diri individu baik tingka laku maupun kepribadian yang bersisfat
kecakapan , sikap, kebiasaan, kepandaian yang bersifat konstan, dan
berbekas. Keaktifan belajar akan terjadi pada diri siswa apabila terdapat
interaksi antara situasi sistimulus dengan isi memori, sehingga perilaku
siswa berubah dari waktu sebelum dan sesudah adanya situasi stimulus
tersebut. Selama proses belajar mengajar siswa dituntut untuk aktivitasnya
untuk mendengarkan, memperhatikan dan menerima pelajaran yang
diberikan guru, disampign itu sangat dimungkinkan para siswa balikan
berupa pertanyaan, gagasan pikiran, perasaan, dan keinginannya. Guru
hendaknya mampu membina rasa keberanian, keingintahuan siswa, untuk
itu siswa hendaknya merasa aman, nyaman dan kondusif dalam belajar.
Peran guru dalam pembelajaran siswa aktif adalah sebagai fasilitator dan
membimbing siswa yang memberi berbagai kemudahan siswa dalam belajar
serta mampu mendorong siswa untuk belajar.
Menurut Marno dan M. Idris (2009:151) siswa akan belajar secara
aktif kalau rancangan pembelajaran yang disusun guru mengharuskan
siswa, baik secara sukarela maupun terpaksa, menuntut siswa untuk
melakukan kegiatan pembelajaran. Tipe siswa belajar aktif secara umum
menurut Marno dan M. Idris adalah
1. Visual, diamana dalam belajar, siswa tipe ini lebih mudah belajar
dengan cara malihat atau mengamati.
2. Auditori, dimana siswa lebih mudah belajar dengan mendengarkan
3. Kinestik, dimana dalam pembelajaran siswa lebih mudah belajar
dengan melakukan.
Keaktifan belajar adalah aktifitas yang yang bersifat fisik maupun
mental (Sardiman.2001:99) Selama kegiatan belajar kedua aktifitas tersebut
harusb terkait, sehingga akan menghasilkan aktifitas belajar yang optimal.
Macam-macam keaktifan yang dilakukan siswa di sekolah antara lain:
1. Visual Activities, seperti: membaca, memperhatikan gambar,
memperhatikan demonterasi orang lain.
2. Oral Activites, seperti : mengatakan, merumuuskan, bertanya,
memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan interview,
diskusi interupsi.
3. Listening Avtivities, seperti : mendengarkan: uraian, percakapan,
diskusi, pidato.
4. Writing Activities, seperti: menulis: cerrita, karangan, la[poran, tes,
angket, menyalin.
5. Drawing Aktivities, seperti: membuat: grafik, peta, diagram
6. Motor Acvtivities, seperti: melakukan percobaan, membuat
konstruksi model dan meresapi.
7. Mental Aktivities, seperti : menanggapi, mengingat, memecahkan
soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan.
8. Emotoinal Activities, seperti : menaru minat, merasa bosa, berani,
gembira, gugup, senang.
Hampir sama dengan diatas Soemanto (2003:107), mempertegaskan
macam-macam keaktifan belajar yang dapat dilakukan oleh siswa dalam
beberapa situasi sebagai berikut:
1. Mendengarkan
2. Memandang
3. Meraba, mencium, dan mencicipi
4. Menulis atau mencatat
5. Membaca
6. Membuat ringkasan
7. Mengamati tabel, diagram dan bagan
8. Menyusun kertas kerja
9. Mengingat
10. Berpikir
11. Latihan atau praktek
Keaktifan siswa dalam peristiwa pembelajaran mengambil
beranekaragam bentuk kegiatan, dari kegiatan fisik yang mudah diamati
sampai kegiatan psikis yang sulit diamati.
1. Kegiatan fisik yang mudah diamati diantaranya dalam bentuk:
- Membaca
- Mendengarkan
- Menulis
- Meragakan,
- Mengukur
2. Kegiatan psikis seperti:
- Mengingat kembali isi pelajaran pertemuan sebelumnya,
- Menggunakan khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam
memecahkan masalah yang dihadapi,
- menyimpulkan hasil eksperimen,
- membandingkan sustu konsep dengan konsep yang lain,
- dan kegiatas psikis lainnya. (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 114)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa dalam
pembelajaran adalah keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam
kegiatan pebelajaran, selanjutnya dalam merealisasikanny a membutuhkan
keterlibatan langsung berbagai bentuk keaktifan fisik.
2.1.12 Ketrampilan Proses
Ketrampilan proses merupakan ketrampilan yang diperoleh dari
latihan kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan-
kemampuan mendasar yang telah dikembangkan dan telah terlatih lama
kelamaan akan menjadi suatu ketrampilan. Menurut Richard Dunne & Ted
Wragg (1996:42) ketrampilan kemampuan melakukan sesuatu, secara fisik
maupun mental, yang secara relatif mudah dipraktikan secara terpisah.
Ketrampilan dalam belajar akuntansi adalah kemampuan mengerjakan
siklus akuntansi hingga menghasilkan laporan keuangan dengan benar.
Ketrampilan akuntansi ini merupakan salah satu obyek langsung dalam
belajar akuntansi bersama konsep-konsep dan teori dalam akuntansi itu
sendiri. Obyek tak langsungnya dapat berupa sikap positif terhadap
akuntansi, kemampuan pemecahan masalah, ketelitian, kemandirian dan
sebagainya.
Suatu prinsip menentukan pendekatan pembelajaran ialah belajar melalui
proses mengalami secara langsung untuk memperoleh hasil belajar yang
bermakna. Menurut Hamalik (2008: 149), Pendekatan pembelajaran yang
diarahkan untuk mengembangkan sejumlah kemampuan fisik dan mental
sebagai dasar untuk mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi pada
diri peserta didik adalah pendekatan ketrampilan proses . Ketrampilan
proses merupakan cara yang khas dalam menghadapi pengalaman yang
berkenaan semua segi kehidupan yang relevan. Ketrampilan proses ada
dua jenis, yaitu ketrampilan-ketrampilan dasar (basic skills) dan
ketrampilan terintegrasi (integrated skills). Ketrampilan dasar meliputi
mengobservasi, mengklarifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan
dan mengkomunikasikan.Sedangkan ketrampilan terintegrasi mencakup
mengidentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data,
menggambar keterhubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengolah
data, menganalisi, merancang penelitian dan melaksanakan uji coba
perangkat. Menurut Syah (2003: 121), Ketrampilan proses merupakan
kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku proses aktif yang kompleks
dan tersusun rapi secara minus dan sesuai dengan keadaan strategi
pembelajaran yang disusun untuk mencapai hasil tertentu. Selanjutnya
dijelaskan bahwa ketrampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik saja
melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersifat produk .
Menurut Sukestiyarno (2008: 5), Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan ketrampilan berproses akuntansi adalah suatu tuntutan
kualitas proses aktif peserta didik dalam melakukan suatu kegiatan secara
motorik yang merupakan pengejawantahan fungsi mental yang dilakukan
oleh peserta didik dan dirancang secara sistematis strategi
pembelajarannya oleh pengajar untuk memperoleh suatu produk
ketrampilan tertentu secara optimal.
2.1.13 Prestasi belajar
Prestasi belajar siswa pada penelitian ini merupakan hasil belajar
kognitif yang diperoleh melalui metode tes. Tes yang diberikan kepada
siswa berguna untuk mengetahui tingkat belajar kognitif siswa baik dari segi
hafalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, maupun evaluasi. Prestasi
belajar yang merupakan hasil belajar kognitif ditunjukkan dengan nilai hasil
tes siswa yang berupa angka.
Menurut Winkel (2007: 42), Prestasi belajar merupakan bukti
keberhasilan yang telah dicapai peserta didik di mana setiap kegiatan
belajar dapat menimbulkan suatu perubahan yang khas. Dalam hal ini
prestasi belajar meliputi keaktifan, ketrampilan proses, juga prestasi
belajar . Prestasi belajar merupakan sesuatu yang harus dapat diukur
(measurable). Mengukur prestasi belajar berarti mengukur atau melakukan
penilaian mengenai seberapa besar pencapaian kompetensi dasar yang
diperoleh peserta didik. Menurut Arikunto (2002: 4), menjelaskan bahwa
pencapaian tujuan pembelajaran yang berupa prestasi belajar merupakan
hasil dari kegiatan belajar mengajar semata. Dengan kata lain, kualitas
kegiatan belajar mengajar adalah satu-satunya faktor penentu bagi
hasilnya. Pada umumnya tes prestasi menilai apa yang diperoleh setelah
peserta didik itu diberi suatu pelajaran. Di dalam penyusunan tes prestasi
belajar usaha-usaha digunakan untuk menentukan pengetahuan dan
ketrampilan yang sudah diajarkan di berbagai tingkat pendidikan dan
butir-butir tes diperuntukkan bagi penilaian materi. Prestasi belajar dapat
diukur setelah peserta didik melaksanakan proses pembelajaran dengan
suatu tes prestasi. Pengukuran ini selanjutnya diberi nama variabel prestasi
belajar. Seperti dijelaskan di atas bahwa secara teori apabila keaktifan dan
ketrampilan berproses seseorang menunjukkan adanya perkembangan,
maka akan dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap prestasi
belajarnya.
Prestasi belajar digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini guna
menarik kesimpulan serta menjawab hipotesis dari penelitian ini. Dalam
Nana Sudjana (2009:39) hasil belajar siswa di sekolah 70% dipengaruhi
oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan
siswa merupakan faktor yang berasal dari dalam siswa sendiri. Kemampuan
kognitif yang ditunjukkan dengan prestasi belajar mencerminkan
keefektifan pembelajaran yang dilakukan, meskipun hanya pada bagian
hasil belajar kognitif.
2.2. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian ini dilaksanakan berdasar kajian dari beberapa penelitian
terdahulu, antara lain: Penelitian tentang pembelajaran Matematika dan IPA
berbasis aplikasi teknologi dan berorientasi pada analisis kebutuhan bagi
siswa TK hingga SMA. Penelitian ini bertujuan membawa peserta didik
termotivasi belajar membuat relasi antara materi M-IPA yang abstrak ke
dunia nyata yakni ke dalam penerapan kehidupan sehari-hari (aplikasi
teknologi), dan pembelajarannya dilaksanakan berdasar analisis kebutuhan
(analisis SWOT) . Dimaksudkan membelajarkan materi apapun disesuaikan
dengan analisis kondisi kekuatan dan kelemahan yang ada disekolah serta
memperhatikan ancaman dan peluang yang dimiliki sekolah (Sukestiyarno,
2008:2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa termotivasi dengan
sungguh karena mereka belajar selalu dikaitkan dengan kehidupan sehari-
hari, disamping itu mereka belajar dengan memanfaatkan media yang ada di
sekitarnya, akibatnya hasil belajarnyapun terjadi peningkatan yang baik. Hal
ini menjiwai penelitian ini apabila mengajarkan dengan benar dengan
merelasikan setiap materi dengan pembentukan karakter kejujuran,
tanggungjawab, kreatif dan akhlak mulia akan mencapai tujuan yang
diinginkan.
Selanjutnya penelitian tentang pembelajaran kimia dengan metode
chomoenterpreneurship mampu meningkatkan kreatifitas dan hasil belajar
siswa. Pada penelitian tersebut juga dapat mengantarkan siswa memiliki
jiwa kewirausahaan yang tinggi, mereka merasa lebih siap memasuki dunia
kerja setelah menyelesaikan studi di SMA (Supartono, 2007), 3). Penelitian
ini mendasari penelitian ini tentang upaya pembentukan karakter yang
diintegrasikan dengan jiwa kewirausahaan. Dimana dalam membelajarkan
materi selalu direlasikan dengan dunia usaha yang terkait dengan untung
dan rugi. Selanjutnya penelitian tentang kepemimpinan, keteladanan, budi
pekerti dapat ditumbuhkan dari pemaknaan keteladanan tokoh pewayangan
(Lestari, 2006).
Selanjutnya penelitian tentang Cooperative Student Assessment
Method: an Evaluation Study, menyajikan metode Cooperative Student
Assessment (CSA) (Grasso dan T. Roselli, 2006). Telah terbukti bahwa
model pembelajaran Cooperative self-assessment meningkatkan
kemampuan siswa dalam mengerjakan tugas, meningkatkan ketelitian/
kecermatan dalam mengerjakan tugas dan membantu mengawasi siswa
dalam mengerjakan tugas, dan merencanakan kegiatan selanjutnya. Hasil
penelitian tersebut digunakan sebagai acuan bagaimana melakukan
pembentukan karakter yang berjiwa wirausaha dimulai dari bentuk
keteladanan yang jelas dengan praktek pelaksanaan yang dapat dilakukan
oleh siswa sendiri di laboratorium yang dinamakan Laboratorium
Teenzania, akan membantu percepatan pencapaian tujuan yang diinginkan.
2.3. Materi Penelitian
Materi pada penelitian ini adalah tahap pencatatan pada siklus akuntansi
perusahaan jasa pada pokok-pokok bahasan sebagai berikut:
1. Bukti Transaksi
1. Kuitansi dan Sus Kuitansi
2. Cek dan Sus Cek
3. Faktur
4. Nota Kontan (Nota Tunai)
5. Nota Debit dan Nota Kredit
Contoh Bukti transaksi yang dibuat oleh perusahaan sendiri, sebagai
berikut:
1.Bukti Kas Masuk
2. Faktur penjualan/Bukti Penjualan/Laporan Pengeluaran Brang
3. Bukti Memorial/Bukti Umum
Contoh Penulisan bukti transaksi
Tanggal 20 Januari 2012 dibeli peralatan bengkel secara tunai sebesar
Rp300.000,00 (BKK 03)
Penyelesaian:
Dibukukan oleh: .........................................Tanggal: ...................................
KOTRE service motorJl. Hubla No.4 Dekai
No.BM : 008Tanggal : 20 April 2012
Transaksi : Dikirim kembali (retur) kepada Toko Braza 2 set peralatan bengkel sesuai dengan Nota Kredit (terlampir) sebesar Rp 10.000,00
Bukti Memorial
Mengetahui,
.......................
Yang membuat,
.......................
Dibukukan oleh: .........................................Tanggal: ...................................
KOTRE service motorJl. Hubla No.4 Dekai
No.BKM : 004Tanggal : 20 April 2012
Dibayar kepada : Toko Braza Jl.Ngalik, No. 20 DekaiUang sebanyak : Rp 20.000,00Terbilang : Dua puluh ribu rupiahKeterangan : Pembayaran peralatan bengkel, sesuai faktur No. 123 ( terlampir)
Bukti Kas Keluar
Mengetahui,
.......................
Kasir,
.......................
Penyetor,
......................
b. Jurnal Umum
1. Fungsi Jurnal
2. Bentuk Jurnal
Tanggal No. SB Akun dan Keterangan Ref Debet Kredit
3. Cara megerjakan Jurnal
Contoh : Dalam bukti transaksi kas keluar No. 004 sebagai berikut:
Tanggal 20 April 2012 membayar peralatan bengkel sebesar
Rp300.000,00
Penyelesaian:
Tanggal No. SB Akun dan Keterangan Ref Debet (Rp) Kredit (Rp)
201220 4 004 Peralatan bengkel 409 300.000,00 -
Kas 101 - 300.000,00
c. Buku Besar (Posting ke buku besar)
1) Pengertian buku besar
2) Bentuk Buku Besar
Tanggal Keterangan Ref Debit KreditSaldo
Debit Kredit
1. Langkah-langkah posting
Contoh : Posting dari Jurnal umum
Tanggal No. SB Akun dan Keterangan Ref Debet (Rp) Kredit (Rp)
201220 4 004 Peralatan bengkel 409 300.000,00 -
Kas 101 - 300.000,00
Penyelesaian:
Tanggal Keterangan Re
fDebit(Rp)
Kredit(Rp)
SaldoDebit(Rp) Kredit(Rp)
201220 4 J1 - 300.000,00 - 300.000,00
Tangga Keterangan Ref Debit Kredit Saldo
Nama akun: Kas No. Akun: 101
Nama akun: Peralatan Bengkel No. Akun: 409
Hal: 1
l (Rp) (Rp) Debit(Rp) Kredit(Rp)2012
20 4 J1 300.000,00 - 300.000,00 -
d. Neraca Saldo
2.3. Kerangka Pikir
Untuk mewujudkan spektrum pendidikan yang mengintegrasikan
pendidikan karakter termasuk karakter jiwa kewirausahaan. Studi
difokuskan pada kegiatan pembuatan silabus dan rencana pembelajaran
terhadap konsep pendidikan karakter. Agar pendidikan karakter dapat
menjadi basis kehidupan peserta didik SMA pada tingkat pertama
diupayakan pada karakter nilai religius dan nilai pengenalan diri. Disini
pendidikan karakter jiwa kewirausahaan diberikan pada konsep dasar
bagaimana mengubah mainset (pola pikir) peserta didik dari pemikiran
tradisional murni akademik ke pemikiran akademik yang berelasi dengan
usaha-usaha bisnis kecil yang ada disekitar kehidupannya.
Apabila karakter nilai kejujuran, kreatif, tanggungjawab dan akhlak
mulia terintegrasi dengan jiwa kewirausahaan sudah dimasukkan dalam
silabus dan selanjutnya disusunlah perangkat pembelajaran berupa modul
akan menjadikan kelengkapan pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang
dibuat tersebut akan direvisi berulang setelah mendapatkan masukkan dari
teman sejawat maupun dari tim ahli kurikulum. Disinilah perangkat valid
akan tercapai.
Implementasi pembelajaran perangkat yang valid tersebut akan
dilaksanakan di laboratorium Teenzania dengan metode STAD. Kegiatan
dimulai dengan pemberian tugas terstruktur, dimaksudkan siswa dapat
tumbuh melaksanakan kegiatan mandiri. Pada kegiatan apersepsi yang
menagih hasil studi mandiri melalui tanya jawab akan dapat membantu
siswa saling berkomunikasi antar siswa dan juga berkomunikasi dengan
guru. Kegiatan dilanjutkan dengan berpraktek di laboratorium Tinzania akan
membantu siswa benar-benar mengalami sendiri kejadian yang harus
dilakukan siswa. Laboratorium Tinzania dibuat sebagai miniatur sesuai
dengan tujuannya. Misalnya akan melakukan transaksi jual beli untuk
melatih kewirausahaan dengan karakter kejujuran, tanggung jawab dapat
dilatihkan di laboratorium tersebut. Nantinya akan disusun modul-modul
kegiatan yang dilakukan di laboratorium Tinzania. Apabila memungkinkan
laboratorium Tinzania dapat berupa tempat kegiatan riil dilapangan
misalnya di pasar, atau di perusahaan jasa yang ada dilingkungan sekolah
dan lain sebagainya. Pada kegiatan tersebut akan terjadi interaksi yang baik
antar siswa atau antara siswa dan guru.
Pada prinsipkan pendidikan karakter pada umumnya dan karakter
kewirausahaan khususnya sudah ada dalam setiap mata pelajaran. Pada
tahap pertama mendesain modul-modulnya baik secara parsial mata
pelajaran maupun secara terintegratif. Pada tahap kedua melakukan uji coba
perangkat dan pada tahap ke tiga melakukan diseminasi.
Pada proses pembelajaran, efektivitas metode pembelajaran ini dapat
dilihat dari ketuntasan belajar siswa pada aspek keaktifan, ketrampilan
proses dan prestasi belajar. Keaktifan siswa dalam pembelajaran di kelas
dan ketrampilan proses siswa secara mandiri akan sangat berpengaruh
terhadap prestasi belajar siswa. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
prestasi belajar hendaknya meningkatkan aktivitas belajar (keaktifan
belajar) siswa pada pembelajaran dan meningkatkan ketrampilan dengan
memberikan tugas terstruktur untuk mengerjakan secara mandiri.
Meningkatnya prestasi belajar pada kelas eksperimen yang signifikan
memberikan perbedaan prestasi belajar dengan kelas kontrol.
Penerapan metode STAD berbasis pendidikan karakter di laboratorium
TeenZania dalam penelitian ini memuat langkah-langkah sebagai berikut.
a) Pemberian Tugas Terstruktur Sebelum Pembelajaran
Sebelum memulai pertemuan tatap muka dalam pembelajaran,
siswa diberikan tugas terstruktur yang memuat langkah ketiga dalam
STAD yaitu mencatat transakasi. Selain itu peserta didik diberikan tugas
untuk mempelajari materi pada pertemuan selanjutnya. Tujuannya adalah
untuk menumbuhkan keaktifan belajar siswa dan ketrampilan proses
sebelum pembelajaran serta menanamkan karakter kewirausahaan.
Dengan situasi seperti itu, siswa secara tak langsung telah melakukan
kegiatan eksplorasi dan menumbuhkan keaktifan serta menemukan
ketrampilan pada dirinya sendiri.
Pemberikan tuugas terstruktur tersebut akan menumbuhkan
keaktifan belajar siswa untuk membaca dan mencari sumber belajar baik
secara sadar maupun terpaksa dan ketrampilan mengerjakan tugas
tersebut dengan benar. Peserta didik juga dapat memanfaatkan
laboratorium Teenzania sebagai rujukan mencatat transaksi. Dengan tugas
terstruktur sebelum pembelajaran akan mengidentifikasi keaktifan belajar
dan ketrampilan siswa yang siap mengikuti pembelajaran atau belum. Jika
hal ini dibiasakan dalam setiap pembelajaran, maka siswa akan merasakan
dampak positif bagi proses pembelajaran selanjutnya.
b) Apersepsi
Pada awal pembelajaran, dilakukan tanya jawab dan review tugas
terstruktur. Dalam kegiatan ini akan terjadi saling tanya siswa satu sama
lain. Dalam situasi inilah terjadi proses elaboraasi antar siswa. Akan
timbul suatu proses yang melibatkan siswa harus berinteraksi dengan
yang lain. Dari kegiatan tersebut dapat terlihat siswa yang telah aktif dan
juga yang belum aktif, yang terampil maupun yang belum terampil.
Bagi siswa yang telah aktif dan terampil , mereka akan menguatkan siswa
yang kurang aktif dan kurang terampil. Dan yang kurang aktif dan kurang
terampil, mereka akan berusaha bertanya untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari guru maupun dari pencatatan transaksi yang dilakukan
oleh siswa yang lain. Sehingga akan tercipta penguatan keaktifan,
ketrampilan dan elaborasi yang baik dalam proses pembelajaran.
c) Memainkan metode STAD berbasis pendidikan karakter kewirausahaan di
laboratorium TeenZania.
Setelah kegiatan apersepsi, pada kegiatan inti pembelajaran guru
memberikan materi yang sebisa mungkin menumbuhkan keaktifan siswa
untuk mengkonstruk pengetahuan mereka. Melalui kelompok yang
dibentuk antara antara 4-5 siswa saling bekerjasama, saling toleransi,
teliti, dan cermat yang merupakan aspek pendidikan karekter, siswa
mencoba menggali pengetahuan mereka. Dan adanya fasilitas
laboratorium TeenZania, siswa akan memainkan peran sebagai seorang
teler untuk mencatat transaksi sehingga menumbuhkan jiwa yang percaya
diri, berani mengambil resiko, berorientasi tugas dan hasil (laba) sebagai
karakter wirausaha.
Setelah siswa mampu mengkonstruk pengetahuan, siswa secara
kelompok mepelajari informasi dan mengerjakan latihan yang tersedia
dalam LJK atau CD Interaktif. Anggota kelompok yang mengetahui
jawabannya memberikan penjelasan kepada anggota kelompok. Setelah
itu, siswa menjawab pertanyaan/kuis dengan tidak saling membantu.
Selanjutnya, pembahasan kuis atau memberikan umpan balik kepada
siswa dengan memberi penguatan dalam bentuk lesan kapada siswa yang
telah menjawab kuis/pertanyaan, memberi konfirmasi pada hasil
pekerjaan yang sudah dikerjakan oleh siswa serta memberikan motivasi
kepada peserta didik yang kurang aktif dan kurang terampil dalam
materi mencatat transaksi. Dengan kegiatan ini akan terjadi proses
konfirmasi dan penyempurnaan keaktifan peserta didik.
c) Refleksi
Pada kegiatan refleksi, peserta didik akan menarik kesimpulan
selama proses pembelajaran. Disini dapat memunculkan kegiatan
eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Selain itu sangat menunjukkan
keaktifan siswa dalam setiap merespons stimulus yang diberikan oleh
guru dengan memanfaatkan laboratorium TeenZania. Dalam kegiatan
refleksi juga memunculkan rasa percaya diri siswa sebagai salah satu
indikator dalam pendidikan karakter.
d) Pemberian Tugas Rumah
Tugas rumah merupakan hal yang hampir wajib dalam
pembelajaran akuntansi. Tugas rumah yang diberikan berupa membuat
transaksi yang relevan dengan pembelajaran yang telah berlangsung.
Selain itu mempelajari materi yang akan dipelajari sekaligus membuat
permasalahan dari materi yang akan dipelajari. Tugas rumah juga dapat
berupa aplikasi materi terhadap kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat
memperkuat manfaat penggunaan laboratorium Teenzania selama proses
pembelajaran. Karena peserta didik telah mampu berperan sebagai
petugas teiler pada perusahaan jasa untuk mencatat setiap transaksi
sebagai aplikasi materi yang mereka pelajari.
2.4 Hipotesis Penelitian
Sehubungan dengan hal yang telah diuraikan peneliti dan berdasarkan
kerangka berpikir maka rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pembelajaran ekonomi dengan metode STAD berbasis pendidikan
karakter di laboratorium TEENZANIA dalam materi akuntansi
perusahaan jasa pada siswa kelas XI SMA Negeri Dekai dapat mencapai
ketuntasan belajar.
2. Keaktifan siswa dan ketrampilan siswa pada pembelajaran dengan metode
STAD berbasis pendidikan karakter di laboratorium TEENZANIA
berpengaruh positif terhadap pencapaian prestasi belajar.
3. Apakah prestasi belajar siswa di kelas yang berlakukan pembelajaran
ekonomi dengan metode STAD berbasis pendidikan karakter di
laboratorium TEENZANIA dalam materi akuntansi perusahaan jasa (kelas
eksperimen) akan lebih baik daripada prestasi belajar siswa di kelas yang
berlakukan pembelajaran dengan metode konfesional (kelas control)