BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekolah sebagai lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses
pendidikan dan proses belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk
memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan
sekolah. Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dari inovator di sekolah. Oleh
sebab itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan
sekolah. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan untuk memberdayakan seluruh
sumber daya manusia yang ada untuk mencapai tujuan sekolah. Khusus berkaitan
dengan guru kepala sekolah harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerja
guru, melalui pemberdayaan sumber daya manusia (guru).
1Lebih lanjut dinyatakan bahwa agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah
berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai
dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan
profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan pengetahuan
profesional, serta kompetensi administrasi dan pengawasan. Kepala sekolah perlu
memiliki kemampuan dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang
kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik dan
siswa dapat belajar dengan tenang. Di samping itu kepala sekolah dituntut untuk dapat
bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Kepala sekolah mampu
mengelola dan memberdayakan guru-guru agar terus meningkatkan kemampuan
kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu,
maka dipastikan guru-guru yang juga merupakan mitra kerja kepala sekolah dalam
berbagai bidang kegiatan pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif
terhadap pekerjaannya dan meningkatkan kinerjanya.
Kepemimpinan kepala sekolah sebaiknya menghindari terciptanya pola
hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu
mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga harus menghindarkan diri dari one man
show, sebaliknya harus menekankan pada kerja sama kesejawatan; menghindari
terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, dan sebaliknya perlu menciptakan
keadaan yang membuat semua guru percaya diri.
Kepemimpinan kepala sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan
sarana dan prasarana dan kurang memperhatikan guru dalam melakukan tindakan,
dapat menyebabkan guru sering melalaikan tugas sebagai pengajar dan pembentuk
nilai moral. Hal tersebut dapat menumbuhkan sikap yang negatif dari seorang guru
terhadap pekerjaannya di sekolah, sehingga pada akhirnya berimplikasi terhadap
keberhasilan prestasi siswa di sekolah. Kepala sekolah juga dituntut untuk
mengamalkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating and
controlling, sebab ini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja guru .
Fungsi-fungsi manajemen ini akan berjalan secara sinergis dengan peran kepala
sekolah sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan
motivator.
Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan hasil
kerja yang optimal. Menurut Siagiaan (2003: 297) kepuasan kerja dapat memacu
prestasi kerja (kinerja) yang lebih baik. Oleh karena itu ketika seseorang merasakan
kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan
segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya.
Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja pegawai akan meningkat secara
optimal. Oleh karena itu seyogyanya kepala sekolah berusaha untuk memahami para
guru dan mengupayakan agar guru memperoleh kepuasan dalam menjalankan
tugasnya. Persepsi guru tehadap kepemimpinan kepala sekolah berdampak pada
tingkat kepuasan kerja guru di sekolah.
Kepuasan kerja guru juga dipengaruhi oleh iklim organisasi. Hal ini
didasarkan pada asumsi bahwa para guru bekerja selain untuk mengharapkan imbalan
baik material maupun non material mereka juga menginginkan iklim yang sesuai
dengan harapan mereka seperti terdapat keterbukaan dalam organisasi, terdapat
perhatian, dukungan, dan penghargaan. Penciptaan iklim yang berorientasi pada
prestasi dan mementingkan pekerja dapat memperlancar pencapaian hasil yang
diinginkan.
Pada kenyataannya kerja yang menjernihkan, suasana lingkungan kerja yang
tidak kondusif seperti teman yang tidak saling mendukung, kebijakan pimpinan yang
kurang mendukung serta siswa yang tingkah lakunya menjengkelkan. Di lain pihak ada
dari mereka yang menurun semangatnya dalam mengajar, merasa bosan, jenuh dengan
pekerjaan. Menunjukkan iklim organisasi yang kurang berpihak pada kinerja guru.
Kinerja sekolah ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah
tersebut. Di negara-negara maju, riset tentang iklim kerja di sekolah (school working
environment atau school climate) telah berkembang dengan mapan dan memberikan
sumbangan yang cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang efektif.
Ditegaskan bahwa jika guru merasakan suasana kerja yang kondusif di sekolahnya,
maka dapat diharapkan siswanya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan.
Iklim yang menyenangkan bagi para pegawai/guru adalah apabila mereka melakukan
sesuatu yang bermanfaat dan menimbulkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung
jawab dan kesempatan untuk berhasil, didengarkan dan diperlukan sebagai orang yang
bernilai (Davis dan Newstrom, 2001: 24). Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah
mempengaruhi sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tersebut, khususnya pada
pencapaian prestasi akademik siswa.
Iklim yang kondusif dapat mendorong dan mempertahankan motivasi para
pegawai. Dengan demikian iklim organisasi harus diciptakan sedemikian rupa sehingga
pegawai merasa nyaman dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi
yang kondusif akan mendorong pegawai untuk lebih berprestasi secara optimal sesuai
dengan minat dan kemampuannya
Di lain pihak kepuasan kerja dipengaruhi juga oleh hal lain yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan kepuasan kerja adalah memberikan insentif,
memberikan motivasi, meningkatkan kemampuan, gaya kepemimpinan yang baik.
Sementara kepuasan kerja guru dapat ditingkatkan apabila insentif diberikan tepat
waktunya, dan pihak manajemen sekolah bisa mengetahui apa yang diharapkan dan
kapan bisa harapan-harapan diakui terhadap hasil kerjanya. Pemberian insentif
tehadap guru adalah sebagai pendorong yang dapat memotivasi guru untuk lebih
bekerja keras secara efektif. Insentif terkait erat dengan kinerja guru. Terdapat timbal
balik dua arah antara pemberian insentif dengan kinerja. Insentif diberikan karena
adanya kinerja yang baik dan diberikan untuk lebih meningkatkan kinerja lagi dimasa
mendatang.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil judul penelitian ini
"Kontribusi Persepsi Guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Organisasi,
dan Pemberian Insentif terhadap Kepuasan Kerja Guru di SD Negeri di Kecamatan
Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat diidentifikasi masalah yang akan
diteliti yaitu:
1. Kualitas pendidikan belum sesuai yang diharapkan.
2. Kepala sekolah dalam melaksanakan tugas kepemimpinan belum sepenuhnya
efektif.
3. Iklim organisasi sekolah belum kondusif.
4. Pemberian insentif guru masih kurang.
5. Rendahnya tingkat kepuasan kerja guru.
6. Alat peraga pembelajaran belum mencukupi.
7. Partisipasi orang tua dan masyarakat terhadap pengembangan sekolah belum
optimal.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, agar penelitian ini lebih mengarah dan
terfokus, maka penulis batasi pada persoalan Kontribusi Persepsi guru tentang
kepemimpinan kepala sekolah, Iklim organisasi dan pemberian insentif terhadap
kepuasan kerja guru di SD Negeri di Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten
Kendal.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Adakah kontribusi Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah, iklim
organisasi sekolah dan pemebrian insentif secara bersama-sama terhadap
kepuasan kerja guru di SD Negeri di Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten
Kendal?
2. Adakah kontribusi Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap
kepuasan kerja guru di SD Negeri di Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten
Kendal?
3. Adakah kontribusi iklim organisasi sekolah terhadap kepuasan kerja guru di SD
Negeri di Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal?
4. Adakah kontribusi pemberian insentif terhadap kepuasan kerja guru di SD Negeri
di Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal?
E. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan
penelitian adalah ingin mengetahui:
1. Kontribusi Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap
kepuasan kerja guru di SD Negeri di Kecamatan Kaliwungu Selatan
Kabupaten Kendal.
2. Kontribusi iklim organisasi sekolah terhadap kepuasan kerja guru di SD
Negeri di Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal.
3. Kontribusi pemberian insentif terhadap kepuasan kerja guru di SD Negeri di
Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Dalam kajian penelitian dapat bermanfaat di bidang keilmuan yaitu ilmu perilaku
organisasi dan manajemen. Kajian ini merupakan sumbangan pada materi
Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah, iklim organisasi,
pemberian insentif dan kepuasan kerja tentang ada tidaknya korelasi dan
kontribusi di antara keempat variabel tersebut.
b. Kajian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai wacana akademik bagi dunia
pendidikan dalam kerangka meningkatkan mutu dan profesionalitas guru.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Sekolah
Dasar diutamakan bagi pimpinan (kepala sekolah) sebagai bahan evaluasi
kinerjanya.
b. Masukan bagi guru-guru sebagai bahan untuk mengevaluasi kinerjanya baik
sebagai individu maupun sebagai kelompok sehingga secara bersama-sama
dapat merencanakan langkah yang konkrit untuk meningkatkan kinerja di masa-
masa selanjutnya.
c. Adanya hasil penelitian dimana Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala
Sekolah, iklim organisasi dan pemberian insentif berpengaruh terhadap
kepuasan kerja, dapat dilakukan dengan memperbaiki kualitas Persepsi guru
tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah, iklim organisasi dan meningkatkan
insentif guru.
d. Hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat sebagai pelanggan dan
pengguna sekolah, sebagai masukan agar lebih berperan aktif dalam
pengembangan program sekolah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Kepuasan Kerja Guru
Kepuasan kerja menurut Davis dan Newstrom (2001: 105) adalah cara seorang
pekerja merasakan pekerjaannya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Milton
dalam Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002:162) bahwa kepuasan kerja adalah
sesuatu yang menyenangkan atau pernyataan emosional yang positif, dihasilkan dari
penilaian pengalaman kerja seseorang. Artinya apabila seseorang merasa puas
terhadap pekerjaannya, maka ia akan memiliki sikap positif dan menyenangi
pekerjaannya. Kepuasan kerja juga dikemukakan oleh Mathis dan Jackson (2001: 98)
yaitu keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang.
Ketidakpuasan kerja akan muncul saat harapan-harapan ini tidak dipenuhi.
Some theorists view job satisfaction as being the positive emotional reactions and attitudes an individual has towards their job. Others have viewed it as a bi-dimensional construct consisting of ‘‘intrinsic’’ and ‘‘extrinsic’’ satisfaction dimensions,or alternatively of ‘‘satisfaction/lack of satisfaction’’ and ‘‘dissatisfaction/lack of dissatisfaction’’ dimensions.More recently, debate has arisen as to whether job satisfaction is a global concept or is composed of facets of
9satisfaction with various aspects of an individual’s job. recent studyhas suggested that the most important determinants of job satisfaction are whether an employee finds their job interesting, has good relationships with their managers and colleagues, has a high income, is allowed to work independently, and has clearly defined career advancement opportunities. Measures of job satisfaction tend to fall into two broad types: single item global measures and composite measures of satisfaction with various job components. (www.bmjjournal.com “The relationship between job satisfaction and health”.April 2005)
Kepuasan kerja guru ditunjukkan oleh sikapnya dalam bekerja/mengajar. Jika
guru puas akan keadaan yang mempengaruhi dia maka dia akan bekerja dengan
baik/mengajar dengan baik. Tetapi jika guru kurang puas maka dia akan mengajar
sesuai kehendaknya. Kepuasan kerja merupakan salah satu sikap kerja guru yang perlu
diciptakan di sekolah, agar guru dapat bekerja dengan moral yang tinggi, disiplin,
semangat, berdedikasi dan menghayati profesinya. Gum yang merasa puas terhadap
lembaganya akan berdampak pada kelancaran kegiatan belajar mengajar di sekolah
dan peningkatan kualitas pelayanan kepada para siswa. Dengan kata lain dengan
mencapai tingkat kepuasan kerja tertentu maka diharapkan kinerja sebagai seorang
guru baik.
Penelitian tentang kepuasan kerja yang sangat besar sumbangannya adalah
penelitian Herzberg. Teori ini dikenal dengan "model dua faktor" yaitu faktor
motivasional dan faktor higiene/pemeliharaan (Burhanuddin, Ali, Maisyaroh,
2002:166). Jika faktor higiene dipenuhi tidak dapat memotivasi pekerja namun dapat
meminimalkan ketidakpuasan. Jika faktor higiene tidak terpenuhi, sesesorang tidak
akan merasa puas. Faktor higiene meliputi company policy andadministration
(kebijakan organisasi); supervision (supervisi), salary (gaji/kesejahteraan),
interpersonal relations (hubungan antar pribadi) dan working condition (kondisi kerja),
possibility of growth (peluang untuk tumbuh), personal life (efek kerja terhadap
kehidupan pribadi) dan status. Faktor-faktor motivasional dapat menciptakan kepuasan
kerja dengan memenuhi kebutuhan-kebuUihan pekerja, meliputi achievement
(prestasi), recognition (pengakuan), work itself (kerja itu sendiri) responsibility
(tanggung jawab), dan advancement (kenaikan pangkat). Berkenaan dengan kepuasan
kerja guru yaitu keterlibatan guru dalam pembuatan keputusan di sekolah, pengakuan
yang dirasakan guru, harapan guru , hubungan antar personel yang terjadi di dalam
lingkungan kerja, dan otoritas yang diterima guru (De Roche dalam Burhanudin,
Imron dan Maisyaroh, 2002:165). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kepuasan kerja guru adalah pernyataan sikap guru yang positif maupun negatif,
didasarkan oleh cara pandang (persepsi) guru yang bersangkutan terhadap
pekerjaannya sebagai pengajar dan pelaksana pendidikan di sekolah, adapun indikator
kepuasan kerja dalam penelitian ini adalah: pengakuan/penghargaan, kenaikan
pangkat/promosi, supervisi, gaji/kesejahteraan, kerja itu sendiri, dan hubungan
personal/rekan sekerja.
2. Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat komplek
karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu
sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sekolah bersifat unik karena
sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat
terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yang kompleks
dan unik tersebut, sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang
tinggi.
Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya memiliki peran kuat
dalam mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan dan menyerasikan semua
sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah
merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk mewujudkan visi,
misi, tujuan dan sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil apabila
mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik,
serta mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.
Kepemimpinan biasanya didefinisikan oleh para ahli menurut pandangan
pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi
pakar yang bersangkutan. Yukl (2005: 8) mendefinisikan kepemimpinan sebagai
proses yang mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang
perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk
memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Definisi
tersebut mencakup upaya yang tidak hanya untuk mempengaruhi dan memfasilitasi
pekerjaan kelompok atau organisasi yang sekarang tetapi definisi ini dapat juga
digunakan untuk memastikan bahwa semuanya dipersiapkan untuk memenuhi
tantangan masa depan.
Mulyasa (2003: 107) mengemukakan kepemimpinan adalah kegiatan untuk
mempengaruhi orang-orang yang diarahkan dalam pencapaian tujuan organisasi. Tye
(Boloz and Forter, 1980) mengungkapkan bahwa “leadership is compused of four
dimensions: (1) goal attainment of the school; (2) human processes with in school;
(3) the socio-political context within which the school operates; (4) self-
understanding”. Kepemimpinan disusun oleh empat dimensi yaitu: (1) pencapaian
tujuan sekolah; (2) proses humanisasi di sekolah; (3) kontek social politik dalam
penyelneggaraan sekolah; (4) pemahaman diri. Kepemimpinan adalah kesanggupan
atau teknik untuk membuat sekelompok orang bawahan dalam organisasi formal atau
para pengikut atau simpatisan dalam organisasai informal mengikuti atau mentaati
segala apa yang dikehendaki, membuat bawahan antusias dan mengikuti pemimpin
serta rela berkorban untuknya (Purwanto, 2007: 26)
Berdasarkan uraian tentang definisi kepemimpinan di atas, terlihat bahwa unsur
kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki seseorang dan pada gilirannya
akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak dipengaruhi. Peranan penting dalam
kepemimpinan adalah upaya seseorang yang memainkan peran sebagai pemimpin
guna mempengaruhi orang lain dalam organisasi/lembaga tertentu untuk mencapai
tujuan.
Kepemimpinan kepala sekolah dalam konteks penelitian ini adalah kemampuan
kepala sekolah dalam mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan
para guru untuk bekerja, berperan serta guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Peran pemimpin di sekolah (kepala sekolah) sangat penting karena merupakan motor
penggerak bagi sumber daya sekolah terutama guru dan karyawan. Wood (Daniel,
2008) menjelaskan kepala sekolah memiliki lima peran kunci kepemimpinan yaitu:
(1) culture builder; (2) instructional leader; (3) facilitator of mentors; (4) recruiter
new teacher; (5) advocate for new teacher. Peran pertama pembangun budaya; kedua
pemimpin pengajaran; ketiga fasilitator; keempat perekrut guru baru; kelima
menyokong guru-guru baru. Besarnya peran kepemimpinan kepala sekolah dalam
proses mencapai tujuan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya
kegiatan sekolah sebagian ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh
kepala sekolah. Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002: 135) menyebutkan fungsi
kepemimpinan kepala sekolah yaitu: (a) membantu guru memahami, memilih, dan
merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai; (b) menggerakkan guru-guru,
karyawan, siswa, dan anggota masyarakat untuk menyukseskan program-program
pendidikan di sekolah; (c) menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yang
harmonis, sehat, dinamis, dan nyaman, sehingga segenap anggota dapat bekerja
dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yang tinggi. Fungsi
pemimpin selalu terkait dengan: (1) tugas-tugas yang diberikan dan dilaksanakan
bawahan; (2) baik tidaknya jalinan hubungan kepala sekolah dengan bawahan.
Apabila kedua hal tersebut dapat ditangani dengan baik, maka keberhasilan tujuan
sekolah dapat diharapkan.
Studi kepemimpinan yang terdiri dari berbagai macam pendekatan pada
hakikatnya merupakan usaha untuk menjawab atau memberikan pemecahan persoalan
tentang kemungkinan seseorang menjadi pemimpin yang baik dan mampu
memajukan organisasi yang dipimpinnya, seperti dijelaskan dalam jurnal:
“…The research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief, it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate training. But no element of an instructional coaching program is more important than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty, and its students. Engaging in the processes outlined previously—determining goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and sustaining the program with time and support—will help ensure that a coaching program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the principal understand the needs of students and teachers and the best strategies to meet these needs…”
(www.centerforcsri.org The center for comprehensive school reform and improvement, “Principal as Instructional Leader”. September 2007)
Menurut Mulyasa (2003: 108), untuk memahami kepemimpinan, dapat dikaji
dari tiga pendekatan utama yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku dan
pendekatan situasional. Berikut uraian ketiga macam pendekatan tersebut:
a. Pendekatan sifat (the trait approach)
Pendekatan ini dimulai dengan mengadakan perumusan teori kepemimpinan
melalui identifikasi sifat-sifat seorang pemimpin yang berhasil dalam melaksanakan
kepemimpinannnya. Menurut pendekatan sifat, seseorang menjadi pemimpin karena
sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan karena dibuat atau dilatih. Seperti
dikatakan oleh Thierauf dalam Purwanto (2007: 31): "The hereditary approach
states that leaders are bom and note made- that leaders do not acquire the ability to
lead, but inherit it" yang artinya pemimpin adalah dilahirkan bukan dibuat bahwa
pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan untuk memimpin, tetapi
mewarisinya.
Tead dalam Mulyasa (2003:109) menjelaskan, seorang pemimpin memiliki
sifat-sifat bawaan yang membedakannya dari yang bukan pemimpin. Adapun
beberapa syarat yang harus dimiliki pemimpin yaitu: (1) kekuatan fisik dan susunan
syaraf; (2) penghayatan terhadap arah dan tujuan; (3) antusiasme; (4)
keramahtamahan; (5) integritas; (6) keahlian teknis; (7) kemampuan mengambil
keputusan; (8) intelegensi; (9) keterampilan memimpin; (10) kepercayaan.
Pendekatan sifat tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan di sekitar
kepemimpinan. Ketidakmampuan pendekatan ini dalam menjawab pertanyaan
seputar kepemimpinan tersebut menyebabkan banyak kritikan. Salah satunya adalah
dari hasil penelitian Hersey dan Blanchard (Soekarto, 2006: 39), ternyata tidak
berhasil ditemukan satu atau sejumlah sifat yang dapat dipergunakan sebagai ukuran
untuk membedakan pemimpin dan bukan pemimpin.
b. Pendekatan perilaku (the behavior approach)
Pendekatan ini memfokuskan dan mengidentifikasi perilaku yang khas dari
pemimpin dalam kegiatannya mempengaruhi orang lain. Berkaitan dengan
pendekatan perilaku, Universitas negeri Ohio (Ohio State University)
mengemukakan adanya dua macam perilaku kepemimpinan yaitu initiating structure
(pemrakarsa struktur tugas) dan consideration (perhatian kepada bawahan).
Keefektifan seorang pemimpin terlihat dari dua jenis perilaku dalam
menyelenggarakan tugas-tugas kepemimpinannya. Pertama ialah sampai sejauh mana
seorang pimpinan memberikan penekanan pada peranannya selaku pemrakarsa
struktur tugas yang akan dilaksanakan oleh para bawahannya. Kedua, sampai sejauh
mana dan dalam bentuk apa seorang pimpinan memberikan perhatian kepada
bawahan. Dalam studi ini yang dimaksud dengan pemrakarsa struktur ialah sampai
sejauh mana seorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya
dan peranan bawahannya dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Menurut Purwanto (2007: 36) perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur
tugas dan konsiderasi memiliki ciri-ciri yaitu: (1) mengutamakan tujuan tercapainya
organisasi; (2) mementingkan produksi yang tinggi; (3). mengutamakan penyelesaian
tugas menurut jadwal yang telah ditetapkan; (4) lebih banyak melakukan
pengarahan; (5) melaksanakan tugas dengan melalui prosedur kerja yang ketat; (6)
melakukan pengawasan yang ketat; (7) penilaian terhadap bawahan semata-mata
berdasarkan hasil kerja.
Perilaku kepemimpinan konsiderasi (perhatian kepada bawahan) yaitu: (1)
memperhatikan kebutuhan bawahan; (2) berusaha menciptakan suasana saling
percaya; (3) berusaha menciptakan suasana saling menghargai; (4) simpati
terhadap perasaan bawahan; (5) memiliki sikap bersahabat; (6) menumbuhkan
peran serta bawahan dalam pembuatan keputusan dan kegiatan lain; (7)
mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, dan pengontrolan diri. Antara kedua
perilaku kepemimpinan tersebut tidak saling bergantung. Artinya pelaksanaan dari
perilaku kepemimpinan yang satu tidak mempengaruhi perilaku yang lain. Antara
perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi dapat
dilaksanakan secara bersama-sama. Dengan demikian seorang pemimpin dapat
menganut kepemimpinan struktur tugas sekaligus kepemimpinan konsiderasi.
“…The model of authentic leadership introduced triumvirate that includes self-identity, leader-identity, and spiritual identity systems. The self-identity system encompasses the intrapersonal self defined by internal dispositions, abilities, and dynamics. The leader identity system reflects the interpersonal self as defined by the leader’s relationships with others. It serves as the bridge between the individual and the collective self or social identity and is associated with group membership and group process (Tajfel & Turner, 1986). Both the self- and the leader identity systems are embedded in the spiritual identity system. The model assumes that authentic leaders are motivated to sustain multiple identities in harmony and congruent with one another. Brewer (2003) posited that balance or the optimal self can be achieved by adjusting individual self-construals to be more consistent with the group prototype by developing a stable leader identity system or by shifting social identification to a group that is more congruent with the self-identity system. Finally, the spiritual identity system functions as a superordinate configuration of behaviors based on transcendent behaviors and values…”
(www.ldi-intl.com ”Authentic Leadership: A Self, Leader, and Spiritual Identity Perspective”. International Journal of Leadership Studies, Vol. 3 Iss. 1, 2007, pp. 68-97)
Prinsip kepemimpinan menurut hasil Universitas Michigan pada prinsipnya
sama dengan hasil penelitian Universitas Ohio, yaitu adanya kecenderungan perilaku
pemimpin yang berorientasi pada bawahan dan orientasi produksi (Sondang, 2003:
124). Beberapa perwujudan perilaku pimpinan dengan orientasi bawahan adalah:
penekanan pada hubungan atasan bawahan, perhatian pribadi pimpinan pada
pemuasan kebutuhan para bawahannya, menerima perbedaan-perbedaan kepribadian,
kemampuan dan perilaku yang terdapat dalam diri bawahan tersebut. Sedangkan
perilaku pimpinan dengan orientasi produksi adalah: cenderung menekankan segi-
segi teknis dari pekerjaan yang harus dilakukan oleh para bawahan dan kurang pada
segi manusianya, pertimbangan utama diletakkan pada terselenggaranya tugas, baik
oleh orang per orang dalam satuan kerja tertentu maupun oleh kelompok-kelompok
kerja yang terdapat dalam organisasi, menempatkan pencapaian tujuan dan
penyelesaian tugas di atas pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut unsur
manusia dalam organisasi.
c. Pendekatan situasional (situasional approach)
Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku, keduanya
menyoroti perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini
kepemimpinan lebih merupakan fungsi situasi daripada sebagai kualitas pribadi dan
merupakan suatu kualitas yang timbul karena interaksi orang-orang dalam situasi
tertentu (Mulyasa, 2003: 112). Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi
didasarkan atas asumsi bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi atau
lembaga tidak hanya bergantung pada atau dipengaruhi oleh perilaku dan ciri-ciri
pemimpin saja namun masih hams disesuaikan dengan tuntutan situasi
kepemimpinan dan situasi organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan
faktor waktu dan ruang (Sondang, 2003: 128).
Pendekatan kepemimpinan situasional dikembangkan oleh Hersey dan
Blanchard berdasarkan teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Tiap organisasi
memiliki ciri-ciri khusus dan unik sehingga masalah yang dihadapi berbeda,
situasinya berbeda, dan harus dihadapi dengan perilaku kepemimpinan yang berbeda
sesuai situasi organisasi tersebut.
Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan tiga dimensi,
yang didasarkan pada hubungan antara tiga faktor, yaitu perilaku tugas (task
behavior), perilaku hubungan (relationship behavior) dan kematangan (maturity).
Perilaku tugas merupakan pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah
meliputi penjelasan tertentu, apa yang harus dikerjakan, bilamana dan bagaimana
mengerjakannya, serta mengawasi mereka secara ketat. Perilaku hubungan
merupakan ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui komunikasi dua arah
yang meliputi mendengar dan melibatkan anak buah dalam pemecahan masalah.
Adapun kematangan adalah kemampuan dan kemauan anak buah dalam
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya.
Menurut teori ini kepemimpinan akan efektif jika disesuaikan dengan tingkat
kematangan anak buah. Makin matang anak buah, pemimpin harus mengurangi
perilaku tugas dan menambah perilaku hubungan. Apabila anak buah bergerak
mencapai rata-rata tingkat kematangan, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas
dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada saat anak buah mencapai tingkat
kematangan penuh dan sudah dapat mandiri, pemimpin sudah dapat mendelegasikan
wewenang kepada anak buah.
Gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan dalam keempat tingkat
kematangan anak buah dan kombinasi yang tepat antara perilaku tugas dan perilaku
hubungan adalah yaitu: gaya mendikte (telling), gaya menjual (selling), gaya
melibatkan diri (participating), gaya mendelegasikan (delegating)
Mantja (2005: 54) secara lebih ringkas menyatakan bahwa melalui perilaku
kepemimpinan kepala sekolah yang mengacu pada perilaku yang berorientasi pada
tugas dan perilaku yang berorientasi pada bawahan, akan membentuk sikap yang
berkaitan dengan bagaimana para guru berperilaku dalam melaksanakan pekerjaannya
sehari-hari. Tindakan dan gaya kepemimpinan kepala sekolah mempengaruhi motivasi
memimpin guru dalam menyelenggarakan peran kepemimpinan secara efektif. “ A
principal’s style and actions have great influence over teacher leaders’ motivation for
performing teacher leadership roles effectively (Birky, Shelton and Headly, 2006).
Penelitian Keller (Birky, Shelton and Headly, 2006) menunjukkan bahwa gaya
kepamimpinan kepala sekolah berdampak pada kesuksesan siswa dan sekolah. Kepala
sekolah yang lebih berfungsi sebagai manajer dari pada pemimpin pengajaran memiliki
sekolah-sekolah yang kurang sukses dari pada yang bekerja secara dekat dengan guru-
guru dalam menjalankan tugasnya. Adapun beberapa bentuk tindakan yang dapat
dilakukan oleh kepala sekolah seperti yang dinyatakan oleh Syafarudin (2002:67)
memberikan otonomi dalam pembelajaran, pengembangan kemampuan serta
meningkatkan penghargaan terhadap pekerjaan guru.
Kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana
kepemimpinan pada umumnya mengacu pada dua dimensi yaitu berorientasi pada
tugas (task oriented), agar tugas-tugas yang diberikan pada bawahan bisa dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi pada tugas, kepala sekolah juga harus
menjaga hubungan kemanusiaan dengan bawahannya (berorientasi pada bawahan),
agar mereka tetap merasa senang dalam melaksanakan tugasnya. Namun derajat
perilaku tersebut bervariasi, sehingga ada kepala sekolah yang memiliki perilaku
berorientasi tugas dan perilaku berorientasi pada bawahan yang keduanya tinggi, tetapi
ada pula yang keduanya rendah dan ada pula yang rendah pada satu perilaku dan tinggi
pada perilaku lainnya. Karena itu berbagai perilaku kepemimpinan kepala sekolah akan
dipersepsi oleh guru sebagai bawahannya dan selanjutnya akan membentuk sikap atau
perasaan yang berkaitan dengan bagaimana mereka berperilaku dalam bekerja sehari-
hari.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kepemimpinan kepala sekolah
adalah kemampuan kepala sekolah dalam mendorong, membimbing, mengarahkan,
dan menggerakkan para guru untuk bekerja, berperan serta guna mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dimensi kepemimpinan kepala sekolah yang akan dikaji mengacu
pada pendekatan perilaku kepemimpinan yang mengacu pada:
1. Orientasi pada tugas, dengan indikator: menciptakan struktur tugas dan
menekankan pada produktivitas.
2. Orientasi pada bawahan dengan indikator memperhatikan kebutuhan bawahan,
toleransi dan kebebasan, dan menyatukan bawahan.
3. Iklim Organisasi
Organisasi adalah suatu wadah bagi para pegawai berinteraksi clan bekerja
satu sama lain dalam mencapai tujuan organisasi. Kochler dalam Muhammad (2005:
23) organisasi adalah sistem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasi usaha
suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya Duncan dalam
Wahjosumidjo (2005: 59) mengemukakan pengertian organisasi sebagai suatu
kebersamaan dan interaksi serta saling ketergantungan individu-individu yang bekerja
ke arah tujuan yang bersifat umum dan hubungan kerjasamanya telah diatur sesuai
dengan struktur yang telah ditentukan.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dapat diperoleh keterangan
sebagai berikut. Pertama, organisasi dipandang sebagai kelompok orang yang bekerja
sama dengan tujuan yang sama Kedua, organisasi dibentuk untuk menyelesaikan jenis
fungsi dan aktivitas khusus untuk efisiensi tujuan. Ketiga, organisasi tersusun atas
bagian-bagian dan hubungan-hubungan.
Sub sistem yang paling penting dalam suatu organisasi adalah subsistem
manusia karena menurut Muhammad (2005: 39) manusia sebagai anggota organisasi
adalah merupakan inti organisasi. Faktor manusia dalam organisasi harus mendapat
perhatian dan tidak dapat diabaikan. Hal ini disebabkan berhasil atau tidaknya
organisasi itu mencapai tujuan dan mempertahankan eksistensinya lebih banyak
ditentukan oleh faktor manusianya. Oleh sebab itu dalam melaksanakan aktivitasnya,
manusia yang bekerja pada organisasi tersebut perlu disubstitusi dengan berbagai
stimulus dan fasilitas yang dapat meningkatkan motivasi dan gairah kerjanya.
Iklim yang kondusif dapat mendorong dan mempertahankan motivasi para
pegawai. Dengan demikian iklim organisasi harus diciptakan sedemikian rupa
sehingga pegawai merasa nyaman dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim
organisasi yang kondusif akan mendorong pegawai untuk lebih berprestasi secara
optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Owens dalam Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002: 91), mengatakan bahwa
iklim organisasi menunjukan pada: to perceptions of persons in the organization that
reflect those norms, assumptions, and beliefs. Hal yang sama diungkapkan oleh Hoy
dan Miskel (1991: 221) bahwa iklim organisasi adalah : "perceptions of the general
work environtment of the school'. Sedangkan Gilmer dalam (Hoy dan Miskel, 1991:
221) menyatakan: "those characteristics that distinguish the organization from other
organizations and that influence the behaviour of people in the organization".
Rousseau (1990) mengungkapkan iklim organisasi adalah: “the descriptive beliefs and
perceptions indviduals hold of the organization”. Iklim organisasi adalah gambaran
kepercayaan-kepercayaan dan persepsi-persepsi yang dipegang individu tentang
organisasi. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut menunjukkan bahwa iklim
organisasi selalu berhubungan dengan (1) persepsi para anggota organisasi yang
bersangkutan. Dalam hal ini adalah sikap dan perasaan yang ditampilkan oleh pegawai
terhadap sifat-sifat atau karakteristik yang ada dalam organisasi; (2) hasil interaksi
seluruh komponen dalam organisasi, dan oleh karena itu mempengaruhi perilaku
individu-individu dalam organisasi.
Organizational climate is a set of values, often taken for granted, that help people in an organization understand which actions are considered acceptable and which are considered unacceptable. Often there values are communicated through stories and other symbolic means (Moorhead and Griffin, 1989). Organization climate is developed by the organization. It reflects the struggle, both internal and external, the type of people who compose the organization, the work process, the means of communication and the exercise of authority within the individual organization. (www.calcutta.edu.org. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, “…Goal Setting Tendencies, Work Motivation and Organizational Climate as Perceived by the Employees…” January 2006, Vol. 32, No.1, 61-65)
Litwin dan Stringer (dalam Muhammad, 2005: 83) memberikan dimensi iklim
oganisasi sebagai berikut: (1) rasa tanggung jawab; (2) standar atau harapan tentang
kualitas pekerjaan; (3) ganjaran atau reward; (4) rasa persaudaraan; dan (5) semangat
tim. Di sisi lain Davis dan Newstrom (1996:24) menyebutkan beberapa unsur khas
yang membentuk iklim yang menyenangkan adalah: (1) Kualitas kepemimpinan; (2)
Kadar kepercayaan; (3) Komunikasi, ke atas dan ke bawah; (4) Perasaan melakukan
pekerjaan yang bermanfaat; (5) Tanggung jawab; (6) Imbalan yang adil; (7) Tekanan
pekerjaan yang nalar; (8) Kesempatan; (9) Pengendalian; struktur, dan birokrasi yang
nalar; (10) Keterlibatan pegawai, keikutsertaan.
Unsur-unsur iklim organisasi yang dikemukakakan oleh Litwin dan Stringer,
Davis dan Nestrom, dan Campbell merupakan unsur-unsur iklim organisasi yang
positif, yang menyenangkan. Iklim yang menyenangkan bagi para pegawai (Davis dan
Newstrom, 2005: 24) adalah apabila mereka melakukan sesuatu yangbermanfaat dan
menimbulkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan untuk
berhasil, didengarkan dan diperlukan sebagai orang yang bernilai. Adanya iklim yang
positif, yang menyenangkan dapat membawa pengaruh positif pada kinerja seseorang.
Iklim yang berorientasi pada manusia akan menghasilkan kinerja dan kepuasan kerja
yang lebih tinggi. Para pegawai merasa bahwa organisasi benar-benar memperhatikan
kebutuhan dan masalah mereka, bila mana iklim bermanfaat bagi kebutuhan individu
(misalnya, memperhatikan kepentingan pekerja dan berorientasi prestasi), maka dapat
mengharapkan tingkah laku ke arah tujuan yang tinggi. Sebaliknya, bilamana iklim
yang timbul bertentangan dengan tujuan, kebutuhan dan motivasi pribadi, prestasi
maupun kepuasan dapat berkurang.
Iklim organisasi dalam penelitian ini adalah karakteristik sekolah sebagai
suatu organisasi yang dipersepsi para guru dan sekaligus mempengaruhi perilakunya.
Adapun indikator iklim organisasi mengacu pada:
a. Struktur organisasi,
b. Pemberian tanggung jawab,
c. Kebijakan dan praktek manajemen yang mendukung,
d. Keterlibatan/keikutsertaan guru dalam organisasi, dan
e. Komitmen daiam mengemban tugas.
4. Pemberian Insentif
a. Pengertian dan Jenis Insentif
Insentif merupakan suatu usaha dari sekolah untuk memberikan tambahan
diluar upah biasa untuk mendorong guru agar bekerja lebih giat lagi dan
bersemangat guna meningkatkan kinerja kerja mereka. Adapun pengertian insentif
adalah merupakan suatu bentuk motivasi yang dinyatakan dalam bentuk uang
(Husnan, 2003:161).
Insentif adalah penghargaan atau ganjaran yang diberikan untuk
memotivasi para pekerja agar produktivitas kerjanya tinggi, sifatnya tidak tepat
atau sewaktu-waktu. Oleh karena itu insentif sebagai bagian dari keuntungan,
terutama sekali di berikan pada pekerja yang bekerja secara baik atau berprestasi,
misalnya dalam bentuk pemberian bonus dan dapat pula diberikan dalam bentuk
barang (Nawawi, 2003: 317).
Insentif adalah balas jasa yang dibayarikan kepada tenaga kerja tertentu
yang prestasinya di atas prestasi standar (Hasibuan, 2002:133). Sedangkan
pengertian insentif menurut buku Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan manajemen
yang disusun oleh Lumbatoruan (2002: 270) adalah sistem imbalan yang
direncanakan untuk memberikan motivasi kepada tenaga kerja agar meningkatkan
prestasi dan efisiensi. Sehingga hasil karya mereka diatas standar yang telah
ditentukan.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
insentif merupakan suatu perangsang atau pendorong yang dapat menimbulkan
semangat atau gairah kinerja seseorang guna meningkatkan prestasi kerja.
Ranupanjodo dan Husnan (2003: 185) mengklasifikasikan jenis-jenis insentif
yang diberikan pada karyawan adalah sebagai berikut:
1) Uang, seseorang ingin bekerja karena ingin memperoleh uang, dengan uang
seseorang dapat memuaskan kebutuhannya, bagi kebanyakan karyawan uang
dapat merupakan daya rangsang yang sangat kuat.
2) Keamanan, merupakan sebuah kebutuhan manusia yang fundamental bagi
sebagian tenaga kerja kadang-kadang pekerjaan yang aman lebih penting dari
pada uang atau upah. Keamanan yang dimaksud dalam hal ini adalah
kecemasan tarhadap kemungkinan diberhentikan meskipun pada dasarnya
upah yang diberikan rendah tetapi karena pekerjaan itu menjamin kontiunitas
maka hal ini menjadi minat utama seseorang untuk bekerja.
3) Persahabatan, manusia bekerja memerlukan manusia lainnya, adanya
persahabatan akan akan menyatuakan mereka secara kelompok yang bekerja
sama dan saling memiliki.
4) pengakuan yang adil, merupakan salah satu kebutuhan sosial yang dapat
diperoleh dari hubungan antara atasan dan bawahan atau sesame mereka.
Perlakuan yang adil ini dimaksudkan tidak pandang bulu dalam pemberian
tugas, insentif dan penghargaanserta lainnya yang dapat mengganggu
kosentrasi guru dalam bekerja.
5) Otonomi, merupakan salah satu bentuk insentif dalam memenuhi egoistik guru
untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam batas-batas tertentu akan
meningkatkan kreatifitas dan spontanitas.
6) Prestasi, pemberian kesempatan pada guru untuk berprestasi merupakan salah
satu kebutuhan egoistik dalam hubungan dengan pemberian insentif. Kepala
sekolah harus menghargai hasil pekerjaan mereka dan memberikan
kesempatan untuk melakukan suatu tujuan organisasi sekolah. Seseorang yang
merasa bahwa pekerjaannya tidak penting sering tidak semangat dan sering
mengeluh didalam melaksanakan pekerjaannya.
Menurut Manulang (2006: 4), pada dasarnya bentuk insentif dapat digolongkan
menjadi dua bagian yaitu:
a. Insentif Finansial
1) Bonus, adalah uang yang diberikan sebagai balas jasa yang diberikan
secara ikatan dimasa datang dan diberikan kepada guru yang berhak
menerimanya.
2) Komisi, adalah jenis komisi yang diberikan kepada guru yang berprestasi.
b. Insentif non finasial
1) Pembelian pujian secara lisan maupun tertulis
2) Pemberian promosi jabatan
3) Ucapan terima kasih secra rormal maupun tidak formal
4) Pemberian perlengkapan khusus pada ruang kerja
5) Pemberian penghargaan
Tujuan pemberian kompensasi (balas jasa) menurut Handoko (2005: 150-
158) adalah:
1) Memperoleh personalia yang berkualitas. Kompensasi perlu ditetapkan cukup
tinggi agar menarik para pelamar, karena organisasi-organisasi bersaing dalam
pasar tenaga kerja, tingkat pengupahan harus sesuai dengan kondisi suplai dan
permintaan tenaga kerja. Terkadang tingkat gaji yang relative tinggi
diperlukan untuk menarik para pelamar yang cakap dan sudah bekerja di
berbagai organisasi lain.
2) Mempertahankan para pekerja yang ada sekarang. Bila tingkat kompensasi
tidak kompetitif, niscaya banyak tenaga guru yang baik akan keluar. Untuk
mencegah perputaran guru, pengupahan harus dijaga agar tetap kompetitif
dengan sekolah lain.
3) Menjamin keadilan. Administrasi pengupahan dan penggajian sekolah untuk
memenuhi prinsip keadilan. Keadilan dan konsisten internal dan eksternal
sangat penting diperhatikan dalam tingkat kompensasi.
4) Kepuasan kerja. Denga balas jasa guru akan dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan fisik, status, social dan egoistiknya, sehingga ia memperoleh
kepuasan kerja dari jabatannya itu.
5) Motivasi. Jika balas jasa yang di berikan cukup besar, kepala sekolah akan
mudah memotivasi bawahannya.
6) Disiplin. Dengan pemberian balas jasa yang cukup besar maka disiplin guru
semakin baik. Mereka akan menyadari serta mentaati peraturan-peraturan
yang berlaku.
Tujuan pemberian balas jasa ini hendaknya memberikan kepuasan kepada
semua pihak, guru dapat memnuhi kebutuhannya, kepala sekolah mendapatkan
hasil yang baik, peraturan pemerintah harus ditati, dan masyarakat mendapatkan
hasil yang baik, tamatan yang membanggakan.
Dari tujuan-tujuan tersebut kita lihat bahwa insetif sangat penting didalam
memotivasi guru agar mau mengajar dengan baik dan sungguh-sungguh. motivasi
tersebut untuk menggerakkan kearah pencapaian tujuan tertentu. Motivasi sebagai
energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri.seperi diungkapkan jurnal
berikut:
“…Their theory of job characteristics focuses on facilitating high internal work motivation, which bears considerable relation to autonomous motivation, although the theory does not distinguish introjected forms of internal motivation from identified, integrated, and intrinsic forms, so it does not have the means for examining negative consequences that are associated with the introjected type of internal motivation. The authors proposed that the means for increasing internal work motivation is to design jobs so they will (1) provide variety, involve completion of a whole, and have a positive impact on the lives of others; (2) afford considerable freedom and discretion to the employee (what action theorists refer to as decision latitude); and (3) provide meaningful performance feedback. The authors further explain that individual differences in the strength of growth needs moderate the degree to which these job characteristics have a positive impact on job performance…” (www.interscience.wiley.com Journal of Organizational Behavior.”Self-determination theory and work motivation” 26, 331–362.2005)
Untuk memahami pengertian motivasi dalam pemberian insentif maka
penulis akan mengemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli
manajemen sebagai berikut: Bahwa motivasi adalah suatu kekuatan penggerak
bagi pekerja.
B. Penelitian Terdahulu
Data kepustakaan menunjukkan bahwa sudah cukup banyak hasil penelitian
terdahulu yang temanya relevan dengan kepemimpinan kepala sekolah, iklim
organisasi, kepuasan kerja maupun motivasi kerja di sekolah antara lain: Penelitian
Rifatun (2007) tentang Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah dan pemberian
insentif terhadap kinerja guru SD Se Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga, menunjukkan
ada pengaruh antara kepemimpinan kepala sekolah dan motivasi kerja guru terhadap
kinerja guru SD.
Via Wuviani (2005) dalam tesisnya yang berjudul "Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kualifikasi, Motivasi Kerja Guru dan Kepemimpinan Kepala Sekolah
terhadap Kinerja Guru SMA Negeri di Kota Bandung'"'. Hasil penelitian menunjukkan
besarnya pengarah kualifikasi terhadap kinerja guru sebesar 37,30%, pengarah
motivasi kerja guru terhadap kinerjanya sebesar 45,20%, pengarah kepemimpinan
kepala sekolah terhadap kinerja guru sebesar 51,80%, dan pengarah kualifikasi,
motivasi kerja guru dan kepemimpinan kepala sekolah secara bersama-sama terhadap
kinerja guru sebesar 67%, sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Hai ini
mengindikasikan adanya faktor-faktor iain di iuar kualifikasi, motivasi kerja guru dan
kepemimpinan kepala sekolah yang mempengaruhi kinerja guru.
Penelitian yang dilakukan oleh Rejekiningsih (2001) tentang hubungan antara
perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja guru
SMU di Kabupaten Tegal, disampaikan bahwa terdapat hubungan yang positif
signifikan antara perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan Motivasi kerja secara
bersama-sama dengan kepuasan kerja guru SMU di Kabupaten Tegal.
Penelitian yang dilakukan oleh Murzaenni (2003) tentang peranan persepsi
guru mengenai kepemimpinan kepala sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja guru
SMU swasta di Kota Tegal, disimpulkan bahwa terdapat peranan positif signifikan
antara peranan persepsi guru mengenai kreteria kepemimpinan kepala sekolah dan
iklim kerja secara bersama- sama terhadap kinerja guru SMU swasta di Kota Tegal.
Dalam jurnal dijelaskan juga tentang Studi kepemimpinan yang terdiri dari
berbagai macam pendekatan pada hakikatnya merupakan usaha untuk menjawab atau
memberikan pemecahan persoalan tentang kemungkinan seseorang menjadi pemimpin
yang baik dan mampu memajukan organisasi yang dipimpinnya, seperti:
“…The research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief, it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate training. But no element of an instructional coaching program is more important than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty, and its students. Engaging in the processes outlined previously—determining goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and sustaining the program with time and support—will help ensure that a coaching program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the principal understand the needs of students and teachers and the best strategies to meet these needs…”
(www.centerforcsri.org The center for comprehensive school reform and improvement, “Principal as Instructional Leader”. September 2007)
Menindaklanjuti penelitian-penelitian tersebut, peneliti akan mengungkap
seberapa besar kontribusi Persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah, iklim
organisasi dan pemberianinsentif terhadap kepuasan kerja guru SD Negeri di
Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal.
C. Kerangka Pikir
1. Kontribusi Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Organisasi
dan pemberian insentif terhadap kepuasan kerja guru
Kepala sekolah dan guru merupakan komponen-komponen yang
berpengaruh dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Dalam organisasi
sekolah, hubungan kepala sekolah dan guru merupakan hubungan antara atasan
atau pemimpin dengan bawahan. Untuk itu guna tercapainya mutu pendidikan
yang optimal diperlukan kerja sama yang sinergis antara kepala sekolah dan guru.
Dalam organisasi sekolah, kepala sekolah dituntut menampilkan suatu
kepemimpinan yang berorientasi terhadap tugas dan juga berorientasi terhadap
bawahan. Iklim organisasi yang kondusif, para guru menampilkan sikap positif
terhadap pekerjaan, dan kepuasan kerja terpenuhi dengan baik pada akhirnya akan
menampilkan seorang guru yang mampu bekerja secara profesional (memiliki
kinerja yang baik). Oleh karena itu diduga ada hubungan atau korelasi positif
antara kepemimpinan kepala sekolah, iklim organisasi, pemberian insentif dan
kepuasan kerja.
2. Kontribusi persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap
Kepuasan Kerja Guru
Kepemimpinan kepala sekolah yang dimaksud adalah kemampuan kepala
sekolah dalam mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan para
guru untuk bekerja berperan serta guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kepala sekolah mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberdayakan
komponen-komponen yang ada di sekolah, dalam hal ini guru. Guru merupakan
salah satu komponen sekolah yang memegang peranan penting dalam menentukan
mutu pendidikan sekolah. Oleh karena itu guru dituntut bekerja secara profesional
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Kepala sekolah sebagai seorang yang diberi tugas untuk memimpin
sekolah, bertanggung jawab atas tercapainya tujuan, peran, dan mutu pendidikan di
sekolah. Dengan demikian agar tujuan sekolah dapat tercapai, maka kepala sekolah
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dituntut memiliki kapasitas yang
memadai sebagai seorang pemimpin. Peran kepemimpinan kepala sekolah dalam
meningkatkan kepuasan kerja guru sangatlah besar. Mengingat dengan
kepemimpinan yang baik, kepala sekolah diharapkan mampu mempengaruhi dan
menggerakkan para guru guna meningkatkan kepuasan kerja guru .
3. Kontribusi Iklim Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Guru
Iklim merupakan karakteristik sekolah sebagai suatu organisasi yang
dipersepsi para guru dan sekaligus mempengaruhi perilakunya. Adapun sifat atau
karakteristik yang terdapat pada suatu organisasi seperti kepemimpinan, kebijakan
dan praktek manajemen yang mendukung, struktur tugas, komitmen organisasi
yang terjadi di dalam organisasi tersebut. Iklim yang kondusif biasanya
dihubungkan dengan sikap kerja yang positif. Sebaliknya iklim yang otoriter dan
sentralisasi pengambilan keputusan, sementara tingkah laku pegawai ditentukan
oleh sebagian besar oleh peraturan dan posedur standar bukan saja akan menjurus
pada produktivitas yang rendah tetapi juga menghasilkan sedikit sekali kepuasan
dan sikap negatif terhadap organisasi (Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh, 2002:
102). Davis dan Newstrom (2001: 24) menyebutnya dengan iklim yang
menyenangkan, para pegawai yang merasa bahwa iklim organisasi menyenangkan
bila mereka dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat dan menimbulkan perasaan
berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan untuk berhasil. Oleh
karena itu iklim yang kondusif, yang menekankan pada pencapaian tujuan
organisasi dan memberi kesempatan kerja sama dan partisipasi pegawai dalam
pencapaian tujuan organisasi perlu diciptakan. Dengan terciptanya iklim yang
kondusif mempengaruhi kepuasan kerja guru.
4. Kontribusi pemberian insentif terhadap kepuasan kerja guru
Adanya pemberian insentif merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan motivasi kerja guru. Motivasi kerja merupakan dorongan yang
timbul dalam diri seseorang/guru karena memperoleh pemenuhan kebutuhan yang
diinginkan sehingga guru mau melakukan serangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pekerjaannya. Kepuasan kerja guru adalah pernyataan sikap guru yang
positif maupun negatif, didasarkan oleh cara pandang (persepsi) guru yang
bersangkutan terhadap pekerjaannya sebagai pengajar dan pelaksana pendidikan di
sekolah. Pada dasarnya kepuasan kerja guru tumbuh pada diri guru berdasarkan
pada sejauh mana guru menerima dan melaksanakan kerja sesuai dengan yang
diharapkan. Kepala sekolah hendaknya dapat membina kepuasan kerja guru.
Kepuasan kerja guru ditunjukkan oleh sikapnya dalam bekerja/mengajar. Jika guru
puas akan keadaan yang mempengaruhi dia maka dia akan bekerja dengan
baik/mengajar dengan baik. Bila guru merasakan kepuasan dalam pekerjaannya,
maka berpengaruh terhadap kinerja guru. Motivasi kerja mempengaruhi tingkat
kepuasan kerja seorang guru.
Desain korelasional persepsi guru tentang kepemimpinan Kepala sekolah
(XI), Iklim organisasi (X2), dan pemberian insentif (X3) terhadap Kepuasan kerja
guru (Y)
Gambar 2.1
Keterangan:
rl : Besaran kontribusi pesepsi guru tentang kepemimpinan Kepala sekolah
(XI) terhadap Kepuasan kerja guru (Y)
r2 : Besaran kontribusi Iklim organisasi (X2) terhadap Kepuasan kerja guru
(Y)
r3 : Besaran kontribusi Pemberian insentif (X3) terhadap Kepuasan kerja
guru (Y)
rl23 : Besaran kontribusi kepemimpinan Kepala sekolah (XI), Iklim organisasi
(X2), dan pemberian insentif (X3) terhadap Kepuasan kerja guru (Y).
D. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, identifikasi masalah dan tujuan
penelitian dapat dikemukakan anggapan sementara secara umum sebagai berikut.
"Ada kontribusi persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah, iklim organisasi
dan pemberian insentif terhadap kepuasan kerja di SD Negeri di Kecamatan
Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal". Adapun rumusan hipotesis secara khusus
sebagai berikut:
1. Ada kontribusi persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah, iklim
organisasi dan pemberian insentif terhadap kepuasan kerja guru di SD Negeri di
Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal.
2. Ada kontribusi persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah terhadap
kepuasan kerja guru di SD Negeri di Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten
Kendal.
3. Ada kontribusi iklim organisasi terhadap kepuasan kerja guru di SD Negeri di
Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal.
4. Ada kontribusi pemberian insentif terhadap kepuasan kerja guru di SD Negeri di
Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian korelasional non experimental. Penelitian ini
yang berusaha mencari hubungan antara variabel-variabel penelitian, yaitu hubungan
persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah (X1), dengan kepuasan kerja guru
(Y), iklim organisasi (X2) dengan kepuasan kerja guru (Y), pemberian insentif (X3)
dengan kepuasan kerja guru (Y) dan hubungan antara persepsi guru tentang
kepemimpinan kepala sekolah (X1), iklim organisasi (X2), pemberian insentif (X3)
secara bersama-sama dengan kepuasan kerja guru (Y) di SD Negeri di Kecamatan
Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal.
2. Desain Penelitian
39Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan dengan
desain ex post facto dalam penelitian korelasional (correlation design). Penelitian
dengan metode ex post facto merupakan pencarian empirik yang sistematik dimana
peneliti tidak dapat mengontrol langsung variabel bebas (X) karena peristiwanya telah
terjadi. Jadi dalam penelitian ini peneliti tidak dituntut memberikan perlakuan terhadap
variabel bebasnya, melainkan mengkaji fakta-fakta yang telah terjadi/pernah dilakukan
oleh subyek penelitian, kemudian mengukur efek variabel bebas tersebut terhadap
variabel terikat tertentu (Sudjana dan Ibrahim, 2001: 57).
Dalam penelitian ini yang dicari adalah besaran kontribusi variabel bebas
persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah (X1), iklim organisasi (X2),
pemberian insentif (X3) terhadap variabel terikat yaitu kepuasan kerja guru (Y).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Se kecamatan Kaliwungu selatan
kabupaten Kendal dan dilaksanakan selama 4 bulan mulai bulan Februari sampai juni
2009. Subjek penelitian ini adalah guru –guru yang berada di wilayah UPTD Dinas
Dikpora Kecamatan Kaliwungu Selatan kabupaten Kendal, peneliti memilih wilayah
tersebut sebagai tempat penelitian didasarkan pada pertimbangan kemudahan,
keterbatasan waktu dan tenaga dalam menyelesaikan tesis ini.disamping itu, peneliti
tertarik dengan dinamika dan tingkat kompetensi guru – guru dalam mencapai prestasi
akademik dan ni akademik untuk anak didiknya.
C. Populasi, Sampel dan sampling
1. Populasi
Menurut Sugiyono (2007: 55), populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas obyek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang tetapi juga benda-benda alam
yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek/subjek yang
dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik, sifat yang dimiliki objek/subjek
itu. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa populasi merupakan
subjek penelitian dimana individu yang akan dikenai perilaku atau dapat
dikatakan sebagai keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti. Populasi
penelitian ini adalah semua guru di SD Negeri di Kecamatan Kaliwungu Selatan
Kabupaten Kendal. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 180 guru.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2007: 56). Rumus
menentukan jumlah sample. Dari perhitungan dengan tabel
krecjie dengan tingkat signifikansi 5% dapat diperoleh sampel
penelitian sebanyak 120 responden.dari populasi sebanyak
180. Pengambilan sampel dalam penelitian ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa adanya keterbatasan untuk mempelajari
semua populasi.
3. Teknik Sampling
Menurut Sugiyono, teknik sampling merupakan teknik
pengambilan sampel, sedangkan sampel adalah sebagian dari
jumlah dan karanteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono,
2006: 128). Agar diperoleh sampel yang representatif, teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
proporsional random sampling (random sampling).
D. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
metode angket. Pertimbangan digunakannya metode tersebut,
karena keterbatasan waktu peneliti dan luasnya wilayah penelitian.
Menurut Arikunto (2001: 135) angket adalah kumpulan dari
pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang (dalam
hal ini disebut responden), dan cara menjawab juga dilakukan
dengan tertulis. Angket yang digunakan adalah angket tertutup,
yaitu angket yang menghendaki jawaban pendek, dan tertentu yang
telah disedakan oleh peneliti dengan cara memberikan tanda
centang (V) pada alternatif jawaban yang dipilih. Alternatif jawaban
yang akan diperoleh dalam hal ini adalah berkenaan dengan
persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah, iklim
organisasi, pemberian insentif dan kepuasan kerja.
E. Definisi Operasional Variabel
Variabel adalah gejala yang menjadi fokus peneliti untuk
diamati (Sugiyono, 2000: 2). Sedangkan Arikunto (2001: 97)
mengatakan "variabel adalah obyek penelitian atau yang menjadi
titik perhatian suatu penelitian". Variabel dalam penelitian ini terdiri
atas variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas terdiri atas
persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah (XI), iklim
organisasi (X2), pemberian insentif (X3), dan sebagai variabel terikat
(Y) dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja guru. Adapun definisi
operasional untuk masing-masing variabel yang diungkap dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah adalah
pandangan atau pendapat guru tentang kemampuan kepala
sekolah dalam mendorong, membimbing, mengarahkan, dan
menggerakkan para guru untuk bekerja, berperan serta guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Adapun dua dimensi
kepemimpinan kepala sekolah yang akan dikaji mengacu pada: (1)
orientasi pada tugas, dengan indikator: menciptakan struktur
tugas dan menekankan pada produktivitas; (2) orientasi pada
bawahan dengan indikator: memperhatikan kebutuhan, bawahan,
toleransi dan kebebasan, dan menyatukan bawahan.
2. Iklim organisasi, merupakan karakteristik sekolah sebagai suatu
organisasi yang dipersepsi para guru dan sekaligus mempengaruhi
perilakunya. Adapun indikator iklim organisasi adalah: struktur
organisasi, pemberian tanggung jawab, kebijakan dan praktek
manajemen yang mendukung, keterlibatan/ keikutsertaan guru
dalam organisasi, dan komitmen dalam mengemban tugas.
3. Pemberian insentif adalah pemberian penghargaan atau ganjaran
yang diberikan untuk memotivasi para pekerja agar produktivitas
kerjanya tinggi, sifatnya tidak tepat atau sewaktu-waktu. Indikator
pemberian insentif dalam penelitian ini meliputi gaji yang sesuai,
imbalan yang sepadan dengan kinerja, pemenuhan untuk
berpartisipasi, penempatan yang sesuai dengan keahlian,
pemenuhan fasilitas kerja yang aman, pemenuhan untuk
meningkatkan karier dan terciptanya persaingan yang sehat.
4. Kepuasan kerja guru
Kepuasan kerja guru adalah pernyataan sikap guru yang positif
maupun negatif, didasarkan oleh cara pandang (persepsi) guru
yang bersangkutan terhadap pekerjaannya sebagai pengajar dan
pelaksana pendidikan di sekolah, adapun indikator kepuasan kerja
dalam penelitian ini adalah: pengakuan/penghargaan, kenaikan
pangkat/promosi, supervisi, gaji/kesejahteraan, kerja itu sendiri,
hubungan personal/ rekan sekerja.
F. Instrumen Penelitian
1. Jenis Instrumen
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ada
empat buah, yaitu instrumen untuk variabel persepsi guru
tentang kepemimpinan kepala sekolah, variabel iklim organisasi
sekolah, pemberian insentif dan kepuasan kerja. Instrumen
tersebut berupa angket yang disusun sesuai dengan variabel-
variabel tersebut. Untuk memperoleh data, pembuatan instrumen
terlebih dahulu dilakukan inventarisasi indikator dari masing-
masing variabel. Aspek-aspek yang akan diungkap melalui
instrumen kuesioner ini merupakan aspek-aspek yang berkaitan
dengan persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah,
iklim organisasi, pemberian insentif dan kepuasan guru.
Alternatif jawaban butir soal dapat diukur dengan skala Likert
yang disesuaikan dan diberi alternatif jawaban dengan pembobotan
sebagai berikut:
a. Alternatif jawaban variabel persepsi guru tentang
kepemimpinan kepala sekolah dan pemberian insentif
pembobotannya adalah 1 = tidak pernah, 2 = pernah, 3 =
sering 4 = selalu.
b. Alternatif jawaban variabel iklim organisasi dan kepuasan
kerja pembobotannya adalah 1 = tidak setuju, 2 = kurang
setuju, 3= setuju, 4 = sangat setuju.
2. Uji coba instrumen
a) Validitas
Instrumen yang akan digunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian ini sebelumnya akan diuji coba.
Pelaksanaan uji coba akan dikenakan pada sumber data yang
bukan termasuk anggota pada sampel yang telah terpilih. Uji
coba dimaksudkan untuk mendapatkan instrumen yang valid
dan reliabel, dan dalam penelitian ini akan dilakukan uji coba
khususnya uji validitas dan reliabilitas. Hasil uji coba tersebut
diolah dengan menggunakan bantuan SPSS 15.
Uji validitas instrumen perlu dilakukan peneliti untuk
memperoleh instrumen yang valid. Hal ini sesuai dengan
makna validitas yang dikemukakan Arikunto (2001: 158)
bahwa validitas adalah "suatu ukuran yang menunjukkan
tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen". Di
dalam penelitian ini uji validitas menggunakan validitas
konstruk. Dalam hal ini setelah instrumen dikonstruksikan
tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berdasarkan
teori tertentu. Uji validitas dilakukan terhadap responden di
luar sampel penelitian yang mempunyai sifat dan ciri yang
sama dengan responden yang akan menjadi sampel
penelitian. Pelaksanaan uji coba dilakukan terhadap 30 guru
diluar popilasi dalam penelitian ini. Dalam rangka
mendapatkan data yang akurat dan kredibel, pada penelitian
ini dilaksanakan uji coba alat pengumpul data. Empat alat ukur
yang dipergunakan oleh peneliti masing-masing, yaitu alat
ukur kepuasan kerja guru, alat ukur persepsi guru tentang
kepemimpinan kepala sekolah, alat ukur iklim organisasi
sekolah dan pemberian insentif dan Hasil uji coba tersebut
akan diolah dengan menggunakan bantuan SPSS 15.
Validitas instrumen diuji dengan menggunakan korelasi
skor butir dengan skor total" Product Moment (Pearson) ".
Analisis dilakukan terhadap semua butir instrumen dari
masing-masing variabel yaitu variabel persepsi guru tentang
kepemimpinan kepala sekolah, iklim organisasi, pemberian
insentif dan kepuasan kerja. Kriteria pengujiannya dilakukan
dengan cara membandingkan r hitung dengan r tabel pada
taraf a = 0,05. Jika hasil perhitungan ternyata r hitung > r
tabel maka butir instrumen dianggap valid, sebaliknya jika r
hitung < r tabel maka dianggap tidak valid (invalid), maka
instrumen tidak dapat digunakan dalam penelitian.
b) Reliabilitas
Reliabilitas menunjuk suatu pengertian bahwa suatu
instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai
alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik
(Arikunto, 2001: 168). Instrumen yang baik tidak akan
mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban
tertentu. Instrumen yang reliabel apabila dipergunakan dalam
penelitian akan diperoleh data yang dapat dipercaya. Suatu
alat ukur dikatakan dapat dipercaya, apabila alat ukur tersebut
baik dan mantap, artinya alat ukur tersebut walaupun
beberapa kali dipergunakan untuk mengumpulkan data
hasilnya tetap sama.
Koefisien reliabilitas instrumen dimaksudkan untuk
melihat konsistensi jawaban butir-butir pernyataan yang
diberikan oleh responden Adapun alat analisisnya
menggunakan metode belah dua (split half) dengan
mengkoreiasikan total skor ganjil lawan total skor genap,
selanjutnya dihitung reliabilitasnya menggunakan rumus
"Alpha Cronhach ".
G. Teknik Analisis Data
1. Analisis Regresi Linear Sederhana
Untuk pengujian hipotesisi yang pertama dan kedua
menggunakan regresi linear sederhana. Regresi linier sederhana
didasarkan pada hubungan fungsional maupun kausal satu
variabel independen dengan satu variabel dependen. Persamaan
umum regresi linear sederhana adalah (Sugiyono, 2007: 255):
Y = a + bx
Dimana:
Y = Kepuasan kerja guru
X = Persepsi guru tentang Kepemimpianan Kepala Sekolah,
iklim organisasi dan pemberian insentif
a = Kostanta
b = Koefisien regresi
2. Analisis Regresi Linear Berganda
Untuk menjawab hipotesis penelitian digunakan teknik
multiple regesi dengan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2007:
275).
Y = a + bl X2 + b2X2 + b3X3
Dimana:
Y = Kepuasan kerja guru
X1 = persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah
X2 = iklim organisasi
X3 = pemberian insentif
a = Kostanta
b = Koefisien regresi
3. Uji ketepatan parameter praduga ( uji t )
Uji t digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh
satu variabel penjelas secara individual dalam menerangkan
variasi variabel terikat (Kuncoro, 2007: 81). Dalam penelitian ini
Uji t statistik digunakan untuk menguji apakah variabel persepsi
guru tentang kepemimpinan kepala sekolah (X1) iklim organisasi
(X2) dan pemberian insentif (X3) berpengaruh terhadap variabel
dependen Kepuasan kerja guru (Y). Pengujian ini dilakukan
dengan asumsi bahwa variabel-variabel lain adalah nol. Langkah-
langkahnya sebagai berikut.
a. Menentukan Hipotesis
1) Ho : =0 : Tidak ada kontribusi yang signifikan antara
variabel
independen (X) terhadap variabel dependen (Y).
2) Ha : =0: Ada kontribusi yang signifikan antara variabel
independen (X) terhadap variabel dependen (Y).
b. Menentukan batas derajat signifikan
Batas derajat signifikansi yang digunakan adalah 5%.
c. Menentukan kriteria pengujian
1) H0 diterima apabila -ttabel thit ttabel
2) H0 ditolak apabila thit > ttabel atau t < - ttabel
d. Perhitungan nilai t dengan rumus sebagai berikut.
Sbbt
b = koefisien regresiSb = standar error
4. Uji ketepatan model (uji F)
Uji F adalah untuk menguji ketepatan model regresi (Setiaji;
2006: 31). Menurut Kuncoro (2007: 82) Uji F Statistik digunakan
untuk mengetahui apakah variabel bebas yang dimasukkan
dalam model mempunyai kontribusi secara bersama-sama
terhadap vatiabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebas
yaitu persepsi guru tentang kepemimpinan kepala sekolah (X1)
iklim organisasi (X2) dan pemberian insentif (X3) secara simultan
berpengaruh terhadap variabel dependen kepuasan kerja guru
(Y).
Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut.
a. Menentukan Ho dan H1 (Hipotesis Nihil dan Hipotesis
alternatif).
b. Menentukan level of signifikan (misalnya a = 5 %).
c. Kriteria uji-F, dengan melihat hasil print out komputer,
jika hasil Fhitung lebih besar dari 4, maka model dalam
analisis sudah tepat (fit) (Setiaji, 2006: 22).
d. Apabila Fhitung > 4 maka Ho ditolak, berarti signifikan.
Sebaliknya, apabila Fhitung < 4 maka Ho diterima yang
berarti tidak signifikan.
Rumus Uji F yang digunakan seperti yang dikemukakan oleh
Setiaji (2006: 31) sebagai berikut.
knRllkR
Freg
/2
2
dimana k = konstanta.
Jika F hitung sudah lebih besar dari 4, maka model di atas
sudah tepat (fit) (Setiaji; 2006: 32).
5. Koefisien Determinasi (R2)
Menurut Kuncoro (2007: 84) koefisien determinasi pada
intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam
menerangkan variasi variabel terikat. Untuk menentukan
besarnya sumbangan prediktor terhadap kriterium atau peran
variabel bebas terhadap variable terikat. R2 adalah perbandingan
antara variasi dependen (terikat) yang dijelaskan oleh variasi
independen (bebas). Semua variabel di luar model diwadahi
dalam E, jika variabel dalam model hanya menjelaskan 0,2 maka
berarti sebesar 0,8 ditentukan oleh variabel diluar model.
Semakin besar ukuran sampel maka nilai R2 cenderung makin
kecil (Setiaji, 2006: 28).
Rumus R2 :
2
22
YY
YYR
6. Sumbangan Prediktor
Sumbangan prediktor digunakan untuk mengetahui
berapa sumbangan (peran) masing-masing variabel bebas. Ada
dua jenis sumbangan, yaitu sumbangan efektif dan sumbangan
relatif. Jumlah sumbangan efektif untuk semua variabel sama
dengan koefisien determinasi, sedangkan jumlah sumbangan
relatif untuk semua variabel bebasnya sama dengan 1 atau 100%
(Budiyono, 2004: 293). Sumbangan efektif disajikan dengan SE,
dan sumbangan relatif disajikan SR, terhadap terjadinya regresi
linear disajikan dalam bentuk formula sebagai berikut.
SE (X)% = βx1..n ∙ ryx1…n
SR (X)% =
2
%RXSE
Keterangan:
βx1..n = standar koefisien beta;
ryx1…n = koefisien korelasi antara kriterium dengan prediktor;
R2 = nilai R square.
7. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Variabel pengganggu e dari suatu regresi disyaratkan
berdistribusi normal. Hal ini untuk memenuhi asumsi zero
mean. Jika variabel e berdistribusi normal, maka variabel yang
diteliti Y juga berdistribusi normal. Untuk menguji normalitas
e, dapat digunakan formula Jarqu Berra (JB test) sebag ai
berikut (Gujarati, 2006:136).
243
6
22 ksnJB
Keterangan:S = skewness (kemencengan);K = kurtosis (keruncingan).
b. Uji Linieritas
Uji linieritas dimaksudkan untuk mengetahui apakah
masing-masing variabel yang dijadikan prediktor mempunyai
hubungan yang linier atau tidak terhadap variabel terikatnya.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis
varians/ANOVA. Pada analisis ini dihitung harga F berdasarkan
harga tabel. Jika harga F hitung lebih besar daripada harga
tabel, berarti linieritasnya signifikan, begitu sebaliknya jika
harga F hitung lebih kecil daripada harga F tabel maka
liniaritasnya tidak signifikan. Kriteria keputusan liniaritas juga
didasarkan atas signifikasi ( hitung), apabila hitung lebih
kecil dari taraf signifikasi yang ditentukan yaitu 5 %, berarti
linieritasnya signifikan. Untuk menghitung harga F dan
dapat dugunakan paket program SPSS 15 for windows.
c. Heteroskedastisitas
Heteroskedasitas adalah kondisi dimana sebaran atau
varian faktor gangguan (disturbance) tidak konstan sepanjang
observasi. Jika harga X makin besar maka sebaran Y makin
lebar atau makin sempit. Menurut Hanke dan Ritsch dalam
Mudrajad (2007: 96) Heterokedastisitas muncul apabila
kesalahan atau residu dari model yang diamati tidak memiliki
varian yang konstan dari satu observasi ke observasi lain.
Permasalahan heteroskedastisitas menyebabkan bias pada
variasi dari standar error, hal ini akan mengakibatkan uji t
yaitu b/seb, menjadi bias (tidak dapat dipercaya), sehingga
penaksiran regresi tidak dapat dipakai untuk mengambil
keputusan.
d. Multikolinieritas
Multikolinieritas adalah korelasi linier yang perfect
(100 %) atau eksak di antara variabel penjelas yang
dimasukkan ke dalam model (Setiaji, 2006: 39). Jika di antara
variabel penjelas ada yang memiliki korelasi tinggi maka hal
ini mengindikasikan adanya problem multikolinieritas. Dalam
uji multikolinieritas melalui print out komputer, terlihat
adanya hasil collinierity diagnosis dan coefficient correlation.
Apabila nilai koefisien korelasi variabel bebas mendekati
angka 1, menunjukkan adanya multikolinieritas. Demikian
juga nilai toleransi mendekati nol. Atau nilai inflasi variance
(VIF) cenderung besar/mendekati 10 (Setiaji, 2006: 75-76).
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.
Birky, Shelton and Headly. 2006. An Administrator ‘s Challenge: Encouraging teachers to be leaders. NASSP Bulletin, Vol. 90 p. 87. National Association of Secondary School Principals.
Boloz, Sigmund and Forter Carl. 1980. A Guide to Effective Leadership for The Reservation Administrator. Journal of Amirican Indian Education, Vol 19 p. 1. Diambil dari: http//jaie.asu.edu/v 19/V19S2res.html
Burhanuddin, Imron, Ali, Maisyaroh. 200. Manajemen Pendidikan. Wacana, Proses dan Aplikasinya di Sekolah. Malang : Universits
Negeri Malang.
Davis, Keith & Newstrom, John W. 2001. Perilaku dalam Organisasi. Penerjemah Agus Dhanna, Edisi kedua. Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Daniel, Yvette. 2008. Principal Leadrship in New Teacher Induction: Becominmg Agent of Change. International Journal of Education Policy & Leadership, Vol 3 p. 3
Hoy and Miskel. 1991. Educational Administration. Theory, Research and Practice.
Mantja, Willem. 2005. Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pendidikan. Kumpulan Karya Tulis Terpublikasi. Malang : Wineka Media.
Mathis, Robert L. Dan Jackson, John H. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat.
Muhammad, Ami. 2005. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Purwanto, M. Ngalim. 2007. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Rifatun. 2007. Pengaruh kepemimpinan kepala sekolah dan motivasi kerja guru terhadap kinerja guru SD Se Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Tesis: UMS
Rousseau. 1990. Assessing Organizational Climite and Culture. The Journal of School Leadership, p.2. Diambil dari: http://cnx.org/content/m13465/latest
Siagiaan, Sondang P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Siagiaan, Sondang P. 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana dan Ibrahim. 2004. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sugiyono. 2006. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfebeta.
Sutarto Wijono. 2007. Motivasi kerja. Salatiga: Widya Sari
Syafaruddin. 2005. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan. Konsep, Startegi dan Aplikasinya. Jakarta: Grasindo.
Wahjosumidjo. 2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Weiner, B (1990). History of motiational research. Journal of Educational Psychologyp.616. Diambil dari http: //pareonline.net/getvn.asp?v=5&n=11
Wuviani, Via. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru (Studi tentang Pengaruh Kualifikasi, Motivasi Kerja Guru dan Kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap Kinerja Guru SMAN di Kota Bandung. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Yukl, Gary. 2005. Kepemimpinan dalam Organisasi. Alih Bahasa Budi Suprianto. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia.