Download - Word Tutorial Dokter Dian
TUMOR GANAS LARING
Keganasan laring bukanlah hal yang jarang ditemukan dan masih merupakan
masalah, karena penanggulangannya mencakup berbagai segi. Penatalaksanaan
keganasan di laring tanpa memperhatikan bidang rehabilitasi belumlah lengkap.
Sebagai gambaran perbandingan, diluar negeri karsinoma laring menempati
tempat pertama dalam urutan kegansan di bidang THT sedangkan di RS Cipto
Mangunkusomo Jakarta, karsinoma laring menduduki urutan ketiga setelah
karsinoma nasofaring dan tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Menurut data
statistic dari WHO (1961) yang meliputi 35 negara seperti dikutip leh Batsakis
(1979), rata-rata 1.2 orang per 100 000 penduduk meninggal oleh karsinoma laring
Di departemen THT FKUI/RSCM periode 1982-1987 proporsi karsinoma
laring 13,8% dari 1030 kasus keganasan THT. Jumlah kasus rata-rata 25 pertahun.
Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 11:1, terbanyak pada usia 56-59 tahun
dengan kebiasaan merokok didapatkan pada 73,94%. Periode 1988-1992 karsinoma
laring sebanyak 9,97% menduduki peringkat ketiga keganasan THT (712 kasus).
Karsinoma nasofaring sebesar 71,77%, diikuti oleh keganasan hidung dan paranasal
10,11%, telinga 2,11%, orofaring/tonsil 1,69%, esofagus/bronkus 1,54%, rongga
mulut 1,40% dan parotis 0,28%.
FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh para
ahli bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan
resiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemologik menggambarkan
beberapa hal yang diduga menyebabkan karsinoma laring yang kuat antara lain
rokok, alkohol, dan terpajan oleh sinar radioaktif.
HISTOPATOLOGI
Karsinoma sel skuamosa meliputi 95% sampai 98% dari semua tumor ganas
laring. Karsinoma sel skuamosa dibagi 3 tingkat diferensiasi :
1) Berdiferensiasi baik (grade I)
2) Berdiferensiasi sedang (grade 2)
3) Berdiferensiasi buruk (grade 3)
Kebanyakan tumor ganas pita suara cenderung berdiferensiasi baik. Lesi yang
mengenai hipofaring, sinus piriformis dan plika ariepiglotika kurang berdiferensiasi
baik.
KLASIFIKASI LETAK TUMOR
1) Tumor supraglotik terbatas pada daerah mulai mulai dari tepi atas epiglotis
sampai batas atas glotis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring
2) Tumor glotik mengenai pita suara asli. Batas inferior glotik adlah 10 mm
dibawah tepi bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot-otot
intrinsik pita suara. Batas superior aadalah ventrikel laring. Oleh karena itu
tumor glotik dapat mengenai 1 atau ke 2 pita suara, dapat meluas ke subglotik
sejauh 10 mm dan dapat mengenai komisura vikalis kartilago aritenoid.
3) Tumor subglotik tumbuh lebih dari 10 mm dibawah tepi bebas pita suara asli
sampai batas inferior krikoid.
4) Tumor ganas transglotik adalah tumor yang menyeberangi ventrikel mengenai
pita suara asli dan pita suara palsu , atau meluas ke subglotik lebih dari 10 mm
GEJALA KLINIS
Gejala klinis tumor laring, yaitu :
1. Serak
Serak merupakan gejala utama karsinoma laring, merupakan gejala dini
tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring.
Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh besar celah glotik, besar pita suara,
ketajaman tepi pita suara, kecepatan getaran, dan ketegangan pita suara. Pada
tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh
ketidakaturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, teserangnya otot-
otot vokalis, sendi dan ligamen krikoaritenoid, dan kadang-kadang menyerang
saraf. Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun getaran kedua
pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi kasar,
mengganggu, sumbang dan nadanya lebih rendah dari biasa. Kadang-kadang bisa
afoni karena nyeri, sumbatan jalan napas, atau paralisis komplit.
Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor.
Apabila tumor tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan
menetap. Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, di bagian bawah plika
ventrikularis atau di batas inferior pita suara, serak akan timbul kemudian. Pada
tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak
timbul sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan subjektif,
seperti perasaan tidak nyaman, rasa ada yang mengganjal di tenggorok. Tumor
hipofaring jarang menimbulkan serak, kecuali tumor eksentif. Fiksasi dan nyeri
menimbulkan suara bergumam (hot potato voice).
2. Dispnea dan stridor
Merupakan gejala yang disebabkan oleh sumbatan jalan napas dan dapat
timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan napas
oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau sekret, maupun oleh fiksasi pita
suara. Pada tumor supraglotik atau transglotik terdapat kedua gejala tersebut.
Sumbatan yang terjadi secara perlahan-lahan dapat dikompensasi oleh pasien.
Pada umumnya dispnea dan stridor adalah tanda prognosis yang kurang baik.
3. Nyeri tenggorok
Keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang
tajam.
4. Disfagia
Disfagia adalah ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring, dan
sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada tumor
ganas postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagi) menandakan adanya
tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring.
5. Batuk dan hemoptisis
Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik, biasanya timbul dengan
tertekannya hipofaring disertai sekret yang mengalir ke dalam laring. Hemoptisis
sering terjadi pada tumor glotik dan tumor supraglotik.
6. Gejala lain
Berupa nyeri alih di telinga ipsilateral, halitosis, batuk, hemoptisis dan
penurunan berat badan menandakan perluasan tumor ke luar laring atau metastasis
jauh. Pembesaran kelenjar getah bening dipertimbangkan sebagai metastasis
tumor ganas yang menunjukkan tumor pada stadium lanjut. Nyeri tekan laring
adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang
menyerang kartilago tiroid dan perikondrium.
Klasifikasi dan stadium tumor berdasarkan AJCC dan UICC 1988 :
1. TUMOR PRIMER (T)
SUPRAGLOTIS :
Tis : tumor in situ
T1 : tumor terdapat pada satu sisi suara atau pita suara palsu (gerakan
masih baik).
T2 : tumor telah meluas ke satu dan dua sisi daerah supraglotis dan
glotis masih bisa bergerak (tidak terfiksir).
T3 : tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke
daerah krikoid bagian belakang, dinding medial dari sinus piriformis,
dan kearah rongga pre-epiglotis.
T4 : tumor sudah meluas ke luar laring, menginfiltrasi orofaring
jaringan lunak pada leher atau sudah merusak tulang rawan tiroid.
GLOTIS :
Tis : tumor in situ.
T1 : tumor mengenai satu atau dua sisi pita suara, tetapi gerakan pita
suara masih baik atau tumor sudah terdapat pada komisura anterior
atau posterior.
T2 : tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita suara
masih dapat bergerak atau sudah terfiksasi.
T3 : tumor meliputi laring dan pita suara sudah terfiksir.
T4 : tumor sangat luas dengan kerusakan tulang rawan tiroid atau
sudah keluar dari laring.
SUBGLOTIS :
Tis : tumor in situ.
T1 : tumor terbatas pada subglotis.
T2 : tumor sudah meluas ke pita, pita suara masih dapat bergerak atau
sudah terfiksasi.
T3 : tumor sudah mengenai laring dan pita suara sudah terfiksasi.
T4 : tumor yang luas dengan destruksi tulang rawan atau perluasan
keluar laring atau dua-duanya.
2. PEMBESARAN KELENJAR GETAH BENING LEHER (N)
Nx : kelenjar tidak teraba.
N0 : secara klinis tidak teraba kelenjar.
N1 : klinis teraba kelenjar homolateral dengan diameter = 3 cm.
N2 : klinis teraba kelenjar tunggal,ipsilateral dengan diameter 3–6 cm.
N2a: klinis terdapat satu kelenjar ipsilateral dengan diameter > 3 cm
dan tidak >6 cm.
N2b : klinis terdapat kelenjar ipsilateral multipel dengan diameter >6
cm
N2c : metastasis bilateral atau kontralateral, diameter tidak > 6 cm.
N3 : metastase kelenjar limfe lebih dari 6 cm.
3. METASTASE JAUH (M)
Mx : tidak terdapat atau terdeteksi.
M0 : tidak ada metastase jauh.
M1 : terdapat metastase jauh.
4. STADIUM
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0, T1/T2/T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0/N1 M0
T1/T2/T3/T4 N2/N3
T1/T2/T3/T4 N1/N2/N3 M1
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan aamnesis dan pemeriksaan klinis.
Pemeriksaan laring dapat dilakukan degan cara tidak langsug menggunakan kaca
laring atau langsung dengan menggunakan laringoskop. Pemeriksaan ini untuk
menilai lokasi tumor, penyebaran tumor, kemudian dilakukan biopsy untuk
pmeriksaan patologik anatomic.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan selain pemeriksaan laboraorium
darah, juga pemeriksaan radiologic. Foto toraks diperlukan untuk menilai keaaan
paru, ada atau tidaknya proses spesifik dan metastasis di paru. CT Scan Laring dapat
memperlihatkan keadaan tumor dan laring lebih seksama, misalnya penjalaran tumor
pada tulang rawan tyroid dan daerah pre-epiglotis serta metastasis kelenjar getah
bening leher.
.
Meskipun banyak ditemukan di Negara dengan penduduk non
mongoloid, namun demikian daerah cina bagian selatan masih menduduki
tempat tertinggi, yaitu dengan 2500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-
dong (Kwantung) atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk.
Ras mongolois merupkan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ditemukan cukup banyak kasus di
yunani, Afrika bagian utra seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang eskimo di Alaska
dan tanah hijau yang diduga penyebabnya adalah karenaa mereka memakan makanan
yang di awetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet
nitrosamine. . Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus
setahun, Rs. Hasan Sadikin Bandung rata rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus,
Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan
Bukittinggi. Demikin pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang,
Surabaya dan lain-lain menunjukan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di
Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien
karsinoma nasofaring dari Ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa
lainnya
PENATALAKSANAAN
Setelah diagnosis tumor ditegakkan, maka ditentukan tindakan yang akan
diambil sebagai penanggulangannya. Ada 3 cara penanggulangan yang lazim
dilakukan, yakni pembedahan, radiasi, obat sitostatika atau pun kombinasi
daripadanya, tergantung pada stadium penyakit dan keadaan umum pasien.
Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan
radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim untuk dilakukan operasi, stadium 4 dilakukan
operasi dengan rekonstruksi, bila masih memungkinkan atau dikirim untuk
mendapatkan radiasi
Jenis pembedahan adalah laringektomi totalis ataupun parsial, tergantung
lokasi dan penjalaran tumor, serta dilakukan juga diseksi radikal bila terdapat
penjalaran ke kelenjar limfa leher. Di depatermen THT RSCM tersering dilakukan
laringektomia totalis, karena beberapapertimbangan, sedangkan laringektomi parsial
jarang dilakukan, karena teknik sulit untuk menentukan batas tumor.
Pemakaian sitostatika belum memuaskan, biasanya jadwal pemberian
sitostatika tidak sampai selesai karena keadaan umum memburuk, disamping harga
obat ini yang relative mahal, sehingga tidak terjangkau oleh pasien.
Para ahli berpendapat, bahwa tumor laring ini mempunyai pathogenesis yang
paling baik diantara tumor-tumor daerah traktus aero-digestivus, bila dikelola dengan
tepat, cepat dan radikal.
Rehabilitasi suara
Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring
menyebabkan cacat pada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring beserta
pita-suara yang ada didalamnya, maka pasien akan menjadi afonia dan bernafas
melakui stoma permae di leher.
Untuk itu diperlukan rehabilitasi terhadap pasien, baik yang bersifat umum,
yakni agar pasien dapat memasyarakat dapat mandiri kembali, maupun rehabilitasi
khusus yani rehabilitasi suara (voice rehabilitation), agar pasien dapat berbicara
(bersuara), sehingga berkomunikasi verbal. Rehabilitasi suara dapat dilakukan
dengan pertolongan alat bantu suara, y
akni semacam vibrator yang ditempelkan didaerah submandibula, ataupun dengan
suara yang dihasilkan dari esofagus (esophageal speech) melalui proses belajar.
Banyak faktor yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini, tetai dapat
disimpulkan menjadi 2 faktor utama, ialah faktor fisik dan faktor psiko-sosial.
Suatu hal yang sangat membantu adalah pembentukan wadah perkumpulan
guna menghimpun pasien-pasien tuna-laring guna menyokong aspek psikis dalam
lingkup yan luas dan pasien, baik sebelum maupun sesudah operasi.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% umor ganas kepala dan leher
merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan
sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil,
hipofaring dalam presentase rendah. Berdasarkan data laboratorium patologi
anatomik tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kependudukan lima
besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor
payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.
diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan,
karena nasofaring tersembunyi dibelakang tabir langit langit dan terletak dibawah
dasar tengkorak sserta berhubungan dengan banyak daerah penting didalam
tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring
tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan
terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai
gejala pertama.
Sangat mencolok perbedaan prognosis (angka kehidupan 5 tahun) dari
stadium awal dengan stadium lanjut, yakni 76,9% untuk stadium I, 56,9% untuk
stadium II, 38,4 % untuk stadium III dan hanya 16,4 % untuk stadium IV. Untuk
dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu diketahui
seluruh aspeknya, antara lain epidemologi, etiologi, diagnostic, pemeriksaan
serologgi, hispatologi, terapi dan pencegahan, serta perawatan paliatif pasien yang
pengobatannya tidak berhasil baik.
a. EPIDEMOLOGI
Meskipun banyak ditemukan di Negara dengan penduduk non
mongoloid, namun demikian daerah cina bagian selatan masih menduduki
tempat tertinggi, yaitu dengan 2500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-
dong (Kwantung) atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk.
Ras mongolois merupkan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring,
sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ditemukan
cukup banyak kasus di yunani, Afrika bagian utra seperti Aljazair dan Tunisia,
pada orang eskimo di Alaska dan tanah hijau yang diduga penyebabnya adalah
karenaa mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin
dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus
setahun, Rs. Hasan Sadikin Bandung rata rata 60 kasus, Ujung Pandang 25
kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di
Padang dan Bukittinggi. Demikin pula angka-angka yang didapatkan di Medan,
Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukan bahwa tumor ganas ini terdapat
merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT
RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari Ras Cina relative sedikit lebih banyak
dari suku bangsa lainnya..
b. Etiologi
Sudah hampir dapat dipastika bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didaptkan titer
ani-virus RB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat,
pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bhkan
pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun.
Banyak penyelidian mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi
virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat
mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial,
jenis kelamin, genetic, ekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan,
social ekonomi, infeksi kuman atau parasite.
Letak geografis sudah disebutkan diatas, demikian pula faktor rasial.
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebabnya belum dapat
diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetic,
kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain
Faktor lingkungan yang berpengaruh yang berpengaruh adalah iritasi oleh
bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau
bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat
hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas
karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak
jelas.
Kebiasaan penduduk eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging
dan ikan) terutama pad amusim dingin menyebabkan tingginya kejadian
karsinoma ini.
Tentang faktor genetik telah telah banyak di temukan kasus herediter atau
familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh
lain. Suatu contoh terkenal di cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari
dua generasi didapatkan 9 pasien karsinoma nasofaring dan 1 menderita tumor
ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring
menderita keganasan organ lain. Pengaruh genetic terhadap karsinoma
nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell-mediated
immunity dari virus EB dan tumor associated immunity dari virus EB dan tumor
associated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien adalah
golongan social ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan
lingkungan dan kebiasaan hidup. Pengaruh infeksi dalam dapat dilihat dengan
menurunnya kejadian malaria akan diikuti oleh menurunnya kejadian malaria
akan diikuti oleh menurunya pula limfoma burkitt, suatu keganasan yang
disebabkan oleh virus yang sama.
c. Gejala dan tanda
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau
gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan
hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan
nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah
tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa
(creeping tumor).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat
asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmüller). Gangguandapat
berupa tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien
dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya
adalah karsinoma nasofaring.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai
saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala
diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia
trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum
terdapat keluhan yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX,X, XI dan
XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif
jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila
sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula
disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian,
biasanya prognosis buruk.
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring telah
diteliti di Cina, yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring, seperti
pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat
pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan
menjadi karsinoma nasofaring.
d. Diagnosis
Diagnosis sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan didaerah
kepala dan leher , sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan
terlalu sulit ditemukan
Pemeriksaan seroloi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infksi virus E-
B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro
Setiyo dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta mendapatkan dari
41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) sensitivitas
IgA VCA adalah 97,5% dan spesiffitas 91,8% dengan titer berkisar antara 160
IgA anti EA sensitifitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Titer yang didapat bekisar antara 80-1280 dan terbanyak pada titter 160.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring.
Biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidungbatau dari mulut. Biopsy
melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam
biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan kelateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nellaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan di klem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikia juga
dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga paatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsy tumor
nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topical dengan xylocain 10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil memuaskan, maka dilakuan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
e. HISTOPATOLOGI
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma
(epidemoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi),
karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi. Semua yang
kita kenal selama ini dengan limfoepitelloma, sel transisional, sel spindle, sel
clear, anaplastic dan lain-lain dimasukkan dalam kelompok tidak berdiferensiasi.
Pada penelitian di Malaysia oleh prathap dkk sering didapat kombinasi
dari ketiga jenis karsinoma , seperti didapatkan karsinoma sel skuamosa dan
karsinoma tidak berkeratinisasi, karsinoma sel skuamosa dan karsinoma tidak
berdiferensiasi, karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak
berdiferensiasi, atau karsinoma sel skuamosa dan karsinoma tidak berkeratinisasi
serta karsinoma tidk berdiferensiasi..
f. Stadium
Stadium ini berdasarkan kriteria dari UICC (2002)
T = Tumor primer
T0 - Tidak tampak tumor.
T – Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.
T1- Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap
dan lain- lain).
T2 - Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga
tenggorokan. T2a : perluasan tumor ke orofarinng dan / atau rongga hidung
tanpa perluasan ke parafaring. T2b : disertai perluasan ke parafaring
T3 - tumor menginfasi struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak
atau mengenai saraf-saraf otak.
TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = Nodule
N - Pembesaran kelenjar getah bening regional .
NX - Pembesaran kelenjar reginol tidak dapat dinilai
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 - Terdapat pembesaran tetapi unilateral dan tumor dalam kelenjar limfe
berukuran 6 cm atau lebih kecil, diatas fossa supraklavikularis
N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6
cm atau lebih kecil, diatas fossa supraklavikularis.
N3 - Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm,
pembesaran secara bilateral, terletak didlam fossa supraklavikularis.
N3A – Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.
N3B – Tumor ditemukan didalam fossa supraklavikularis.
M = Metastasis
M - Metastasis jauh
M0 - Tidak ada metastesis jauh.
M1 – Terdapat Metastesis jauh .
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium 0 T1s No Mo
Stadium I T1 No Mo
Stadium IIa T2a No Mo
Stadium IIb T1 N1 Mo
T2a N1 Mo
T2b No, N1 Mo
Stadium III T1 N2 Mo
T2a,T2b N2 Mo
T3 N2 Mo
Stadium Iva T4 No, N1, N2 Mo
Semua T N3 Mo
Semua T Semua N M1
Tis : Carcinoma in situ
- Stadium 0 :
- Stadium I :
- Stadium IIA :
- Stadium IIB :
- Stadium III :
- Stadium IVA :
- Stadium IVB :
- Stadium IVC :
g. Penatalaksanaan
Stadium I : Radioterapi
Stadium II dan III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan
tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin,
faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua
pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi
masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan). Berbagai macam
kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi
dengan Cis-platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-
fluorouracil saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup
memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi
praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping
yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik.
Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil
yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul
kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah
hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi, serta tidak
ditemukan adanya metastasis jauh. Operasi sisa tumor induk (residu) atau
kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat
akibat operasi
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi. Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun
minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan
pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun
pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga
merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut
karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat
penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah
atau rasa mual
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan
lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat
pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak.
Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat
diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang buruk ,
perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan
terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.
h. Follow up
Tidak seperti keganasan kepala dan leher lainnya, KNF mempunyai resiko
terjadinya rekurensi, dan follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan
tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi
antara 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu difollow up setidaknya 10 tahun
setelah terapi.
i. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara
memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan
yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat,
meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes
serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring lebih dini.
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaringdan faring.
Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikrobake dalam
telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibody. Otitis media
akut (OMA) terjadi karena factor pertahanan tubuh initerganggu. Sumbatan tuba
eustachius merupakan factor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba
eustachius terganggu, pencegahan infasi kuman kedalam telinga tengah juga
terganggu, sehingga kuman masuk kedalam telinga tengah dan terjadi
peradangan.Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi
salurannapas atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas,
makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah
olehkarena tuba eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.
Otitis media akut (OMA) yang berlangsung selama lebih dari dua bulan dapat
berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor higienekurang
diperhatikan, terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat, dan adanyadaya tahan
tubuh yang kurang baik.
Etiologi
Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti
streptokokus hemolitikus, stafilokokus aureus, pneumokokus. Selain itu kadang
kadang ditemukan juga hemofilus influenza, Esherichia colli, Streptokokus
anhemolitikus, Proteus vulgaris dan Pseudoonas aerugenosa.
Haemofillus influenza sering dtemukan pada anak yang berusia dibawah 5
tahun
Stadium
1) Stadium Oklusi
Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah gambaran retraksi membrane timpani
akibatterjadinya tekanan negative didalam telingatengah, akibat absorbsi udara.
Kadang-kadang membrane timpani tampak normal (tidak ada kelainan) atau
berwarna kerut pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi.
Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh
virus atau alergi.
2) Stadium hiperemis
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar dimembrane
timpani atauseluruh membrane timpani tampak hiperemisserta edema. Secret
yang telah terbentuk mungkin masih bersifateksudat yang serosa sehingga sukar
terlihat
1) Stadium Supurasi
Edema yang terlihat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya selepitel
superfisial, sehingga terbentuknya eksudat yang purulent dikavum timpani,
menyebabkan membrane timpani menonjol (bulging)kearah liang telinga
luar.Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat,serta
rasa nyeri ditelinga bertambah hebat.Apabila tekanan nanah di cavum timpani
tidak berkurang, makaterjadi iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta
timbultromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dansubmukosa.
Nekrosis ini pada membrane timpani terlihat sebagaidaerah yang lebih lembek
dan berwarna kekuningan. Ditempat ini akan terjadi rupture. Bila tidak
dilakukan insisi membrane timpani (miringotomi) pada stadium ini, maka
kemungkinan besar membranetimpani akan rupture dan nanah keluar dari liang
telinga luar. Denganmelakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali,
sedangkanapabila terjadi rupture, maka lubang tempat rupture (perforasi) tidak
mungkin menutup kembali.
2) Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi
kuman yang tinggi, maka akan terjadi rupture membranetimpani dan nanah
keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telingaluar. Anak yang tadinya
gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badabturun dan anak dapat tertidur
nyenyak. Keadaan ini disebut denganotitis media akut stadium perforasi.
3) Stadium Resolusi
Bila membrane timpani tetap utuh, maka keadaan membranetimpani perlahan-
lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka secret akan
berkurang dan akhirnya kering. Bila dayatahan tubuh baik atau virulensi kuman
rendah, maka resolusi dapatterjadi walaupun tanda pengobatan. OMA berubah
menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan secret yang keluar terus menerus
atau hiang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis
media serosa bila secret menetap di cavum timpani tanpaterjadinya perforasi.
Terapi
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnyaa.
1) Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali
tuba eustachius, sehingga tekanan negative ditelinga tengah hilang. Untuk ini
diberikan obat tetes hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (anak<12
tahun) atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas
12 tahun dan pada orang dewasa. Selain itu sumber infeki harus diobati.
Antibiotika diberikan apabila penyebab penyakit adalah kuman, bukan oleh
virus atau alergi.
2) Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat teteshidung dan
analgetika. Antibiotika yang dianjurkan ialah darigolongan penisilin
intramuscular agar didapatkan konsentrasi yangadekuat di dalam darah, sehingga
tidak terjadi mastoiditis yangterselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala
sisa, dankekambuhan. Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7hari.
Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka akan diberikaneritromisin. Pada anak,
ampisilin diberikan dengan dosis 50-100mg/kg BB per hari, dibagi dalam 4
dosis, atau amoksisilin 40mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin
40 mg/kgBB/hari
3) Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika , idealnya harusdisertai
dengan miringotomi, bila membrane timpani masih utuh.Dengan miringotomi
gejala-gejala klinis lebih cepat hilang danrupture dapat dihindari.
4) Pada stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar dankadang terlihat
secret keluar secara berdenyut (pulsasi).Pengobatan yang diberikan adalah obat
cuci telinga H2O23%selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya
secretakan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.
5) Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur normalkembali,
secret tidak ada lagi dan perforasi membrane timpanimenutup. Bila tidak terjadi
resolusi biasanya akan tampak secretmengalir diliang telinga luar melalui
perforasi dimembran timpani.Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya
edema mukosatelinga tengah. Pada keadaan demikian dapat dilanjutkan sampai
3minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan secret masih tetap banyak,
kemungkinan telah terjadi mastoiditis. Bila OMA berlanjut dengan keluarnya
secret dari telinga tengah lebihdari 3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis
media supuratif sub akut.Bila perforasi menetap dan secret tetap keluar lebih
dari satu setengah bulan atau dua bulan, maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif kronik (OMSK). Pada pengobatan OMA terdapat beberapa factor
risikoyang dapat menyebabkan kegagalan terapi. Risiko tersebut
digolongkanmenjadi risiko tinggi kegagalan terapi dan risiko rendah.
Komplikasi
Sebelum ada antibiotika, OMA dapat menimbulkan , yaitu abses sub-periosteal
sampai komplikasi yang berat (meningitis dan abses otak). Sekarang setelah ada
antibiotika, semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebai komplikasi dari
OMSK.
ANATOMI
Gambar. Anatomi Telinga Manusia
Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari auricula atau daun telinga dan meatus
acusticus externus atau liang telinga sampai membrana timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit.Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang.
Panjangnya kira-kira 2 ½ - 3 cm.Pada sepertiga bagian luar kulit liang
telinga terdapat banyak kelenjar serumen(modifikasi kelenjar keringat =
kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh
kulit liang telinga.Pada duapertiga bagian dalamnya sedikit dijumpai
kelenjar serumen.
Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan
puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya
bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah
yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas
melampauibatas atas membrana timpani, dan bahwa ada bagian hipo
timpanum yang meluas melampaui batas bawah membrana timpani.
Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar,
lapisan fibrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus dilekatkan dan
lapisan mukosa bagian dalamlapisan fibrosa tidak terdapat diatas prosesus
lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membrana timpani yang
disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid).
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani
disebut sebagai umbo.Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of
light) kearah bawah, yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan
pukul 5 untuk membrane timpani kanan.Refleks cahaya ialah cahaya dari
luar yang dipantulkan oleh membran timpani.Pada membrane timpani
terdapat 2 macam serabut, yaitu sirkuler dan radier.Serabut inilah yang
menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut.
Gambar. Membran timpani sinistra
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu
kotak dengan enam isi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding
anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada
dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membran timpani
sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah.
Telinga tengah berbentuk kubus dengan:
Batas luar : membran timpani
Batas depan : tuba eustachius
Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas belakang : auditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
Batas atas : tegmen timpani (meningen/ otak)
Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah, kanalis semi
sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window), dan promontorium.
Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fossa kranii
media. Pada dinding bagian atas dinding posterior terdapat auditus ad
antrum tulang mastoid dan dibawahnya adalah saraf fasialis. Otot
stapedius timbul pada daerah saraf fasialis dan tendonnya menembus
melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes. Saraf korda timpani
timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan berjalan ke lateral depan
menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah
lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan
saraf lingualis dan menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke
ganglion submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari duapertiga
anterior lidah.
Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang berada di
sebelah superolateral menjadi sinus sigmoideus dan lebih ke tengah
menjadi sinus transversus. Keduanya adalah aliran vena utama rongga
tengkorak. Cabang aurikularis saraf vagus masuk ke telinga tengah dari
dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas
kanalis tersebut, muara tuba eustakius dan otot tensor timpani yang
menmpati daerah superior tuba kemudian membalik, melingkari prosesus
kokleariformis dan berinsersi pada leher maleus.
Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah
promontorium yang menutup lingkaran koklea yang pertama. Saraf
timpanikus berjalan melintas promontorium. Kanalis falopii bertulang
yang dilalui saraf fasialis terletak di atas fenestra ovalis mulai dari
prosesus kokleariformis di anterior hingga piramid stapedius di posterior.
Rongga mastoid berbentuk seperti piramid dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah
dinding lateral fossa kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak di bawah
dura mater pada daerah tersebut. pada dinding anterior mastoid terdapat
aditus ad antrum. Tonjolan kanalis semi sirkularis lateralis menonjol ke
dalam antrum. Di bawah ke dua patokan ini berjalan saraf fasialis dalam
kanalis tulangnya untuk keluar dari tulang temporal melalui foramen
stilomastoideus di ujung anterior krista yang dibentuk oleh insersio otot
digastrikus. Dinding lateral mastoid adalah tulang subkutan yang dengan
mudah dapat dipalpasi di posterior aurikula.
Tuba eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Bagian lateral tuba eustakius adalah bagian yang bertulang.
Sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot
tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang, sementara kanalis
karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan
melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot levator
palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus
faringeal dan saraf mandibularis. Tuba eustakius berfungsi untuk
menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana timpani.
Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari: koklea( rumah siput ) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis
semisirkularis). Dan Labyrinthus membranaseus (labirin membran)
terdiri dari utrikulus dan sakulus, 3 duktus semisirkularis dan duktus
koklearis.Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan
perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
Gambar. Labirin
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap.Pada irisan melintang koklea
tampak skala vestibule di sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan
skala media (duktus koklearis) diantaranya.Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan
garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini
penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibule disebut sebagai
membranevestibule ( Reissner’s membrane ) sedangkan dasar skala media
adalah membran basalis. Pada membrane ini terletak organ corti.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membrane tektoria, dan pada membrane basalis melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang
membentuk organ corti.
FISIOLOGI PENDENGARAN
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga
luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke
telinga dalam dan di proyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses
ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia
sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik
dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran.
FISIOLOGI KESEIMBANGAN