dqj kduxv glshukdwlndq dgdodk
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Pada zaman modern saat ini, semua masyarakat yang bertempat tinggal pada
suatu tempat baik itu desa maupun kota, membutuhkan akses untuk berbagai
kegiatan. Kebutuhan manusia akan meningkat bersama dengan jumlah populasi
yang terus tinggi. Kerusakan pada jalan merupakan permasalahan yang sangat
umum dijumpai. Penurunan kualitas pada jalan itu sendiri disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya yaitu terbebankan oleh kendaraan secara berulang-ulang.
Menurut Sukirman (1992 : 83), beberapa aspek utama dalam perencanaan
perkerasan yang harus diperhatikan adalah:
● Fungsi Jalan
● Umur Rencana (UR)
● Kinerja Perkerasan
● Lalu Lintas Harian
● Sifar Dasar Tanah
● Material
● Faktor Lingkungan
2.2 Perkerasan Jalan
Saodang (2005 : 1) menyebutkan perkerasan jalan adalah penampang
struktur yang mempunyai fungsi paling penting pada suatu badan jalan.
Perkerasan lentur adalah konstruksi perkerasan yang terdiri dari lapisan-lapisan
perkerasan yang dihampar di atas tanah dasar yang dipadatkan. Lapisan tersebut
dapat menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Kekuatan konstruksi
perkerasan ini ditentukan oleh kemampuan penyebaran tegangan tiap lapisan,
yang ditentukan oleh tebal lapisan tersebut dan kekuatan tanah dasar yang
diharapkan. Menurut Tenriajeng (1999 : 3), struktur perkerasan beraspal pada
umumnya terdiri atas: Lapisan Tanah Dasar (subgrade), Lapis Pondasi Bawah
6
(Subbase), Lapis Pondasi Atas (Base) dan Lapis Permukaan (Surface). Struktur
perkerasan aspal dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Struktur Lapisan Perkerasan Pada Jalan (DPU, 1987)
2.2.1 Lapisan Tanah Dasar
Departemen Pekerjaan Umum (1987 :4) menyebutkan kekuatan perkerasan
jalan sangat dipengaruhi oleh Daya Dukung Tanah (DDT). Daya Dukung Tanah
(DDT) tersebut mempunyai beberapa ketentuan, antara lain.
a. Mengalami perubahan bentuk tetap, atau sering disebut deformasi
permanen, karena disebabkan oleh beban lalu lintas
b. Tanah mempunyai sifat menyusut dan mengembang karena ada kondisi
perubahan kadar air.
c. Daya Dukung Tanah (DDT) mempunyai berbagai sifat dan kondisi
sangat berbeda pada daerah tertentu.
d. Mempunyai sifat lendutan dan lendutan balik saat terjadi pembebanan
lalu lintas pada daerah tertentu
7
e. Tanah Berbutir Kasar (granular soil) mempunyai sifat penurunan tanah
yang diakibatkan oleh pembebanan lalu lintas jika tidak dipadatkan
secara efektif.
2.2.2 Lapisan Pondasi Bawah
Departemen Pekerjaan Umum (1987 :5) menyebutkan lapis pondasi bawah
mempunyai beberapa manfaat, antara lain:
a. Bagian dari perkerasan jalan yang membagi rata beban roda kendaraan
sampai ke tanah dasar.
b. Menghindari lapisan tanah dasar agar tidak memasuki lapisan pondasi.
c. Mempunyai lapisan peresapan yang berfungsi sebagai meresap air di
dalam pondasi.
d. Lapisan pertama dapat efektif jika dilakukan penutupan pada tanah
dasar. Hal ini agar Daya Dukung Tanah (DDT) tetap bekerja secara
optimal untuk menerima beban roda kendaraan.
2.2.3 Lapisan Pondasi Atas
Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 5) menyebutkan lapis pondasi atas
mempunyai beberapa manfaat, antara lain:
a. Menahan beban merata pada roda kendaraan.
b. Sebagai struktur yang memperkuat lapisan permukaan.
Material untuk lapis pondasi harus efektif dalam menahan beban merata
roda kendaraan. Beberapa persyaratan teknis harus memenuhi, seperti material
pondasi dan survei lokasi. Material alam yang dapat digunakan sebagai lapisan
pondasi adalah batu pecah dan semen.
2.2.4 Lapisan Permukaan
Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 5) menyebutkan lapisan permukaan
mempunyai beberapa manfaat, antara lain:
8
a. Mempunyai lapisan padat anti air yang berfungsi sebagai melindungi
pada bagian badan jalan akibat cuaca ekstrem.
b. Menahan beban merata roda kendaraan.
c. Mempunyai lapisan aus (wearing course).
Material yang dipilih pada sebuah struktur lapisan permukaan adalah sama
dengan lapisan pondasi. Lapisan pondasi tersebut menggunakan bahan material
yang bersifat kedap terhadap air. Beban merata roda lalu lintas dapat
mengakibatkan tegangan tarik, sehingga perkerasan lapisan atas membutuhkan
aspal. Material yang dipilih untuk lapis permukaan harus efektif dalam berbagai
hal, seperti umur rencana, tahapan pekerjaan dan kegunaan agar mencapai tujuan
perencanaan.
2.3 Metode Analisa Komponen, Bina Marga (1987)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 3), penetapan tebal
perkerasan dengan metode tersebut hanya berlangsung pada konstruksi perkerasan
yang menggunakan bahan berbutir, seperti batu pecah, granular material, dll.
Metode Analisa Komponen atau metode Bina Marga ada ukuran yang akan
digunakan untuk mempersiapkan tebal pada tiap lapis perkerasan lentur.
2.3.1 Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Menurut Petunjuk Perencanaan Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode
Analisa Komponen (1987 : 7), lalu lintas paling banyak dapat ditampung oleh ruas
jalan raya yang merupakan bagian dari suatu jalur lalu lintas. Dalam hal ini disebut
dengan Jalur Rencana. Jalan raya tidak mempunyai batas jalur, sehingga didapat
Tabel 2.1
9
Tabel 2.1 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan (DPU, 1987)
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)
L < 5,50 m 5,50 m ≤ L < 8,25 m
8,25 m ≤ L < 11,25 m 11,25 m ≤ L < 15,00 m 15,00 m ≤ L < 18,75 m 18,75 m ≤ L < 22,00 m
1 lajur 2 lajur 3 lajur 4 lajur 5 lajur 6 lajur
Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 7) menyebutkan bahwa pada
koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat
pada jalur rencana ditentukan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Koefisiensi Distribusi Kendaraan (DPU, 1987)
Jumlah Lajur Kendaraan Ringan Kendaraan Berat
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah 1 lajur 2 lajur 3 lajur 4 lajur 5 lajur 6 lajur
1,00 0,60 0,40
- - -
1,00 0,50 0,40 0,30 0,25 0,20
1,00 0,70 0,50
- - -
1,000 0,500 0,475 0,450 0,425 0,400
2.3.2 Angka Ekuivalen (E) Beban Pada Sumbu Kendaraan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 8), harga Ekuivalen (E)
setiap golongan beban sumbu kendaraan disajikan pada Tabel 2.3
10
Tabel 2.3 Angka Ekuivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan (DPU, 1987)
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu tunggal Sumbu ganda 1000 2205 0,0002 - 2000 4409 0,0036 0,0003 3000 6614 0,0183 0,0016 4000 8818 0,0577 0,0050 5000 11023 0,1410 0,0121 6000 13228 0,2923 0,0251 7000 15432 0,5415 0,0466 8000 17637 0,9238 0,0794 8160 18000 1,0000 0,0860 9000 19841 1,4798 0,1273 10000 22046 2,2555 0,1940 11000 24251 3,3022 0,2840 12000 26455 4,6770 0,4022 13000 28660 6,4419 0,5540 14000 30864 8,6647 0,7452 15000 33069 11,4184 0,9820 16000 35276 14,7815 1,2712
2.3.3 Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Rumus Lintas Ekuivalen
Departemen Pekerjaan Umum (1987 :8) menyebutkan bahwa dalam 2 tahun
terakhir, peningkatan volume lalu lintas dapat digunakan persamaan 2.1 sebagai
berikut:
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987), volume lalu lintas harian
rumus dan rerata lintas Ekuivalen ditetapkan pada persamaan:
b = a (1+i)n
i = (𝑏/𝑎) − 1 𝑥 100% …………… Persamaan (2.1)
Dimana:
b = Jumlah lalu lintas tahun ke-n
a = Jumah lalu lintas tahun a
i = Tingkat pertumbuhan lalu lintas (% pertahun)
11
a) Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) adalah klasifikasi kendaraan yang sudah
diatur pada awal umur rencana, sehingga digunakan persamaan 2.2
(1 + i)n » i = 0,05 ……………………… Persamaan (2.2)
b) Lintas Ekuivalen Permulaan (LEP) dihitung dengan persamaan 2.3.
LEP = ∑ 𝐿𝐻𝑅 𝑥𝐶 𝑥𝐸 …………… Persamaan (2.3)
Catatan : j = jenis kendaraan
c) Lintas Ekuivalen Akhir (LEA) dihitung dengan persamaan 2.4.
LEA = ∑ 𝐿𝐻𝑅 (1 + 𝑖) 𝑥𝐶 𝑥𝐸 ……. Persamaan (2.4)
Catatan : i = perkembangan lalu lintas
j = jenis kendaraan
d) Lintas Ekuivalen Tengah (LET) dihitung dengan persamaan 2.5.
LET = 1 2 𝑥 (𝐿𝐸𝑃 + 𝐿𝐸𝐴) …………….. Persamaan (2.5)
e) Lintas Ekuivalen Rencana (LER) dihitung dengan persamaan 2.6.
LER = LET x FP ……………………….. Persamaan (2.6)
f) Faktor Penyesuaian (FP) dihitung dengan persamaan 2.7
FP = UR/10 …………………………….. Persamaan (2.7)
2.3.4 Menghitung Nilai CBR (California Bearing Ratio)
Sukirman (1999 : 116) menjelaskan bahwa jalan memiliki beberapa
struktur alami seperti keadaan medan yang berbeda, dan berbagai macam jenis
tanahnya. Daya ketahanan tanah dasar memiliki berbagai macam, seperti nilai jelek
dan nilai baik. Setiap bagian mempunyai satu nilai CBR yang menggantikan daya
dung tanah dasar (DDT) dan digunakan untuk merencanakan tebal lapisan
perkerasan dari beberapa bagian tersebut. Nilai segmen CBR dapat didapat dengan
menggunakan cara grafis.
12
● Perhitungan Secara Grafik
Nilai yang menggantikan dari sejumlah nilai CBR, ditentukan sebagai
berikut:
1. Tentukan nilai CBR terendah
2. Tentukan nilai dari setiap nilai CBR yang sama dan lebih besar dari
setiap CBR
3. Jumlah nilai terbanyak dinyatakan sebagai 100%. Jumlah lainnya
merupakan persentase dari 100%
4. Membuat grafik hubungan antara persentase jumlah dan nilai CBR
5. Nilai CBR yang digantikan ialah diperoleh dari angka persentase 90%
● Perhitungan Secara Teoritis Atau Analitis
Setelah mendapatkan data CBR, langkah selanjutnya yaitu menghitung nilai
CBR segmen. Didapat menggunakan persamaan sebagai berikut :
CBR segmen = CBR rerata -
.............. Persamaan (2.8)
Nilai pada R tergantung pada jumlah data yang didapat dari per segmen.
Untuk nilai R bergantung pada total data yang terdapat dalam satu segmen. Berikut
nilai R dalam perhitungan CBR segmen dapat dilihat pada Tabel 2.4.
13
Tabel 2.4 Nilai R dalam perhitungan CBR segmen (Sukirman, 1999)
Jumlah Titik Pengamatan
Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08 >10 3,18
2.3.5 Menghitung Daya Dukung Tanah (DDT) dan California Bearing Ratio
(CBR)
Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 9) menjelaskan, berdasarkan Grafik
Korelasi telah menetapkan Daya Dukung Tanah (DDT) sebagai salah satu langkah
dalam perhitungan. Dalam hal ini telah ditentukan menjadi 2 bagian, yaitu CBR
Survei Lapangan dan CBR Uji Laboratorium. CBR Lapangan dilakukan dengan
cara mengambil sampel tanah dasar, lalu meletakkan sampel tersebut ke dalam
tabung yang sering disebut undistrub, direndam dan menghitung nilai CBR. Dalam
hal ini beberapa langkah untuk menghitung nilai CBR:
a. Menetapkan nilai CBR paling rendah.
b. Menetapkan nilai yang sama dan lebih besar dari masing-masing
CBR.
c. Nilai terbanyak ditetapkan 100%
d. Membuat Grafik Korelasi antara nilai CBR dan persentase yang sudah
ditetapkan.
e. Kuantitas CBR yang mewakili merupakan angka yang diperoleh dari
persentase 90%
Dalam hal ini daya dukung tanah dasar hanya di uji kepada pengukuran nilai
CBR, dapat dilihat pada Gambar 2.2
14
Gambar 2.2 Koreasi DDT dan CBR (DPU, 1987)
Note: Setelah didapat nilai CBR, langkah selanjutnya yaitu menarik garis dari
kanan ke kiri, sehingga nilai DDT didapatkan.
2.3.6 Faktor Regional (FR)
Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 10) menjelaskan kondisi pekerjaan
perkerasan memiliki beberapa jenis faktor yang meliputi bentuk alinyemen,
permeabilitas tanah, struktur drainase, kendaraan yang berhenti, dan persentase
kendaraan dengan berat 13 ton. Faktor Regional (FR) merupakan faktor koreksi
yang berhubungan dengan kondisi khusus. Kondisi khusus yang dimaksud yaitu
keadaan iklim dan lapangan yang mempengaruhi pembebanan perkerasan dan daya
dukung tanah. Dalam hal ini untuk penetapan tebal perkerasan tersebut, Faktor
Regional (FR) hanya dipengaruhi oleh kelandaian tikungan (Alinyemen).
Dalam persyaratan penggunaan disesuaikan dengan “Peraturan Pelaksanaan
Pembangunan Jalan Raya”, maka dampak keadaan lapangan yang berhubungan
dengan perlengkapan drainase dan permeabilitas tanah yang dianggap sama. Faktor
15
Regional (FR) dipengaruhi oleh beberapa penyebab, seperti bentuk tikungan &
kelandaian, jumlah kendaraan berhenti, dan iklim. Faktor Regional (FR) dapat
dilihat pada Tabel 2.5:
Tabel 2.5 Faktor Regional (FR) (DPU, 1987)
Kelandaian I ( < 6 %)
Kelandaian II (6 – 10 %)
Kelandaian III ( > 10%)
% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %
Iklim I < 900 mm/th
0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
Iklim II > 900 mm/th
1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
Note:
● Faktor Regional (FR) +0,5 jika tikungan tajam (dengan jari-jari 30m),
pemberhentian atau persimpangan.
● Faktor Regional (FR) +1,0 jika kondisi daerah rawa-rawa
2.3.7 Indeks Permukaan (IP)
Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 10) menjelaskan Indeks Permukaan
(IP) menentukan nilai kehalusan beserta kekuatan pada permukaan yang berkaitan
dengan tingkat pelayanan yang melintasi. Pengertian nilai Indeks Permukaan (IP)
tersebut dinyatakan sebagai berikut:
IP =1,0 : untuk permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga dapat
mengganggu lalu lintas kendaraan.
IP = 1,5: untuk tingkat pelayanan terkecil yang masih mungkin (jalan tidak
terputus).
IP = 2,0 : untuk tingkat pelayanan kecil bagi jalan yang masih bagus
IP = 2,5 : untuk permukaan jalan yang masih cukup baik dan stabil
Dalam hal ini untuk penentuan Indeks Permukaan (IP) pada akhir umur
rencana, memerlukan beberapa evaluasi faktor pemilihan fungsional jalan dan total
16
Lintas Ekuivalen Rencana (LER). Nilai Indeks Permukaan pada akhir umur rencana
(IP) ditampilkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (DPU, 1987)
LER = Lintas Ekivalen Rencana *)
Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 - 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 - > 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Dalam penentuan Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (𝐼𝑃 ), perlu
diperhatikan untuk beberapa jenis lapis permukaan jalan (kehalusan / kerataan serta
kekuatan) pada awal umur rencana. Nilai Indeks Permukaan Pada Umur Rencana
(𝐼𝑃 ) ditampilkan pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo).
(DPU, 1987)
Jenis Permukaan IPo Roughness *) (mm/km)
LASTON ≥ 4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
BURDA 3,9 – 3,5 < 2000 BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATASBUM 2,9 – 2,5
BURAS 2,9 – 2,5 LATASIR 2,9 – 2,5
JALAN TANAH ≤ 2,4
JALAN KERIKIL ≤ 2,4
17
Note:
Pengukur Alat NAASRA (National Association Of Australian State Road
Authorities) merupakan pengukur alat kekasaran yang digunakan pada permukaan
aspal. Alat tersebut diletakkan di kendaraan Datsun 1500 dan Station Wagon
dengan kecepatan 32 km/ jam. Sumbu yang berada di belakang arah vertikal
diletakkan di alat tersebut dan melewati kabel yang dipasang di tengah sumbu
belakang Datsun 1500. Langkah selanjutnya adalah memindahkan counter
melewati flexible drive. Dalam satu kali putaran pada counter bernilai 15,20 mm
putaran vertikal bersama dengan sumbu belakang pada Datsun 1500.
Alat pengukur Roughness jenis lain dapat digunakan dengan menggabungkan hasil
yang didapat dengan Roughmeter NAASRA.
2.3.8 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 11) menjelaskan bahwa Koefisien
Kekuatan Relatif (a) telah menentukan hubungan nilai yang didapat Marshall Test
untuk lapisan permukaan dan pondasi bawah pada setiap fungsinya. CBR (sebagai
berbahan lapis pondasi bawah), dan kuat tekan (sebagai bahan yang sudah konstan
dengan kapur atau semen).. Nilai Koefisien Kekuatan Relatif (a) ditampilkan pada
Tabel 2.8
18
Tabel 2.8 Koefisien Kekuatan Relatif (a) (DPU, 1987)
Koefisien Kekuatan Relatif
Kekuatan Bahan Jenis Bahan
a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg/cm) CBR (%)
0,40 - - 744 - -
0,35 0,35
- -
- -
590 454
- -
- -
Laston
0,30 - - 340 - -
0,35 - - 744 - -
0,31 0,28
- -
- -
590 454
- -
- -
Lasbutag
0,26 - - 340 - -
0,30 - - 340 - - HRA
0,26 - - 340 - - Aspal macadam
0,25 - - - - - Lapen (mekanis)
0,20 - - - - - Lapen (manual)
- 0,28 - 590 - -
- 0,26 - 454 - - Laston Atas
- 0,24 - 340 - -
- 0,23 - - - - Lapen (mekanis)
- 0,19 - - - - Lapen (manual)
- -
0,15 0,13
- -
- -
22 18
- -
Stab. Tanah dengan semen
- -
0,15 0,13
- -
- -
22 18
- -
Stab. Tanah dengan kapur
- 0,12 - - - 60 Pondasi Macadam
- 0,14 - - - 100 Batu pecah (kelas A)
- 0,13 - - - 80 Batu pecah (kelas B)
- 0,12 - - - 60 Batu pecah (kelas C)
- - 0,13 - - 70 Sirtu/pitrun (kelas A)
- - 0,12 - - 50 Sirtu/pitrun (kelas B)
- - 0,11 - - 30 Sirtu/pitrun (kelas C)
- - 0,10 - - 20 Tanah/lempung kepasiran
Note:
● Hari ke-7, daya tekan stabilitas tanah dan semen dapat dikontrol
● Hari ke-21, kuat tekan stabilitas tanah dan kapur dapat dikontrol
19
2.3.9 Batas Minimum Pada Tebal Lapisan Perkerasan Jalan
Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 13) menjelaskan bahwa Batas
Minimum Tebal Lapisan Perkerasan Jalan dapat ditampilkan pada Tabel 2.9, Tabel
2.10 dan Gambar 2.3.
● Lapisan Permukaan
Tabel 2.9 Lapis Permukaan (DPU, 1987)
ITP Tebal Minimum (cm) Bahan
< 3,00 5 Lapis pelindung: (Buras/Burtu/Burda)
3,00 – 6,70 5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston 7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston
≥ 10,00 10 Laston
● Lapis Pondasi
Tabel 2.10 Lapis Pondasi (DPU, 1987)
ITP Tebal Minimum (cm) Bahan
< 3,00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
stabilitas tanah dengan kapur
3,00 – 7,49 20*) Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur
10 Laston Atas
7,50 – 9,99 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam
15 Laston Atas
10 – 12,14 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas
≥ 12,25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas
● Lapis Pondasi Bawah
Nilai 𝐼𝑇𝑃 dapat diperoleh menggunakan Grafik Nomogram 𝐼𝑇𝑃 pada
Gambar 2.3
20
Gambar 2.3 Grafik Nomogram Nilai 𝐼𝑇𝑃 (DPU, 1987)
2.3.10 Pelapisan Tambahan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 13), perhitungan overlay
dan perkerasan jalan lama dinyatakan dalam daftar Tabel 2.11 sebagai berikut :
21
Tabel 2.11 Nilai Keadaan Perkerasan Jalan (DPU, 1987)
1. Lapis Permukaan : Pada umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi pada jalur roda 90-100% Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada jalur roda namun masih tetap stabil..............................................................................................................70 – 90% Retak sedang, beberapa deformasi pada jalur roda, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan................................................................ 50 – 70% Retak banyak, demikian juga deformasi pada jalur roda, menunjukkan gejala ketidakstabilan ................................................. .................... 30 – 50% 2. Lapis Pondasi: Pondasi Aspal Beton atau Penetrasi Macadam pada umumnya tidak retak............................................................................................. 90 – 100% Terlihat retak halus, namun masih tetap stabil................................................................. 70 – 90% Retak sedang, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan ......................................... 50 – 70% Retak banyak, menunjukkan gejala ketidakstabilan ........................................................ 30 – 50% Stabilisasi Tanah dengan Semen atau Kapur : - Indek Plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 10 ..................................... 70 – 100% Pondasi Macadam atau Batu Pecah : - Indek Plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 6 ....................................... 80 – 100%
3. Lapis Pondasi Bawah :
Indek plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 6 ................................................................. 90 – 100% Indek plastisitas (Plasticity Index = PI) > 6 .................................................................. 70 – 90%
2.3.11 Analisa Komponen Perkerasan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 15), perhitungan
perencanaan konstruksi ini berlandaskan pada kekuatan relatif pada setiap lapisan
perkerasan jangka panjang. Dalam hal ini penetapan tebal perkerasan dinyatakan
sebagai ITP (Indkes Tebal Perkerasan), dengan persamaan 2.9 sebagai berikut :
ITP = a1 D1 + a2 D2 + a3 D3..............Persamaan (2.9)
Dimana:
D1, D2, D3 = Masing-masing tebal perkerasan (cm)
a1, a2, a3 = Koefisien gaya relatif bahan perkerasan
Note:
● Angka 1 menunjukkan lapisan permukaan
● Angka 2 menunjukkan lapisan pondasi atas
● Angka 3 menunjukkan lapisan pondasi bawah
22
2.4 Metode AASHTO (American Association of State Highway and
Transportation Officials )
Menurut AASHTO (1993 : 3), panduan untuk desain struktur perkerasan ini
menyediakan serangkaian prosedur komprehensif yang dapat diterapkan untuk
desain dan pemindahan kembali perkerasan, baik yang kaku (permukaan beton
semen portland) maupun fleksibel (permukaan beton aspal) dan agregat yang
ditelusuri untuk jalan volume rendah.
AASHTO telah dikembangkan untuk memberikan rekomendasi mengenai
penentuan struktur perkerasan. Rekomendasi ini mengenai penentuan ketebalan
total struktur perkerasan serta ketebalan komponen struktural individu. prosedur
untuk desain menyediakan penentuan struktur pengganti menggunakan berbagai
bahan dan prosedur pengerjaan biaya. Metode AASHTO 1993, merupakan metode
perencanaan yang didasarkan pada metode empiris.
2.4.1 Pertumbuhan Lalu Lintas
Sukirman (1999 : 108) menjelaskan tentang kondisi lalu lintas semakin
meningkat dari setiap tahun. Umur rencana harus sesuai target yang direncanakan,
maka dalam hal ini dibutuhkan untuk mendapatkan nilai volume lalu lintas. Volume
kendaraan pada jalan lokal akan naik sedikit demi sedikit, tetapi untuk volume
kendaraan di sekitar perumahan adalah tetap. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R)
menggunakan rumus :
𝑅 =( )
.............................................................. Persamaan (2.10)
Dimana,
i = pertumbuhan lalu lintas pertahun
UR = umur rencana
Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R) ditetapkan pada Tabel 2.1
23
Tabel 2.12 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (Sukirman, 1999)
Umur Rencana (Tahun)
Laju Pertumbuhan (i) pertahun (%) 0 2 4 6 8 10
5 10 15 20 25 30 35 40
5 10 15 20 25 30 35 40
5,2 10,9 17,3 24,3 32
40,6 50
60,4
5,4 12 20
29,8 41,6 56,1 73,7 95
5,6 13,2 23,
36,8 54,9 79,1 111,4 154,8
5,9 14,5 27,2 45,8 73,1
113,3 172,3 259,1
6,1 15,9 31,8 57,3 98,3 164,5 271
442,6
2.4.2 Angka Struktural (Structural Number)
Angka struktural merupakan nilai indeks bersumber dari faktor regional,
keadaan dasar bawah jalan, dan studi lalu lintas. Harga SN menjelaskan nilai
abstrak kekuatan perkerasan yang berupa dari keadaan lingkungan, jumlah beban
gandar tunggal Ekuivalen sebesar 18 kip, kinerja pelayanan akhir, dan kombinasi
kekuatan antara dukungan tanah (𝑀 ). Berdasarkan AASHTO (1993 : 111), Angka
Struktural (SN) menggunakan persamaan :
SN = a . D + a . D . m + a . D . m .................. persamaan (2.11)
Dimana :
SN = Nilai Struktural
D = tebal lapis permukaan (in)
D = tebal lapis pindasi (in)
D = tebal lapis pondasi bawah (in)
m = koefisien drainase untuk lapis pondasi
m = koefisien drainase untuk lapis pondasi bawah
a a a =berturut-turut lapisan untuk lapisan permukan, lapis pondasi
dan lapis pondasi bawah
Grafik Nomogram dapat menentukan nilai SN, sehingga dapat dilihat pada
Gambar 2.4
24
Gambar 2.4 Grafik Nomogram untuk menentukan nilai SN pada perkerasan
lentur (AASHTO, 1993)
2.4.3 Lalu lintas Lajur Rencana (W18)
Lalu Lintas Lajur Rencana adalah salah satu lajur pada ruas jalan yang
menampung volume kendaraan terbesar. Apabila suatu jalan tidak mempunyai
batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan lebar dari perkerasannya. Menurut
AASHTO (1993 : 7) dan Sukirman (1999 : 113), volume lalu lintas pada awal
tahun:
ESAL Design = LHRi x 365 x ESAL.....................Persamaan (2.13)
W18 = 𝐷 X 𝐷 X ESAL Design x R...........................................Persamaan (2.14)
Dimana :
LHRi : Volume lalu lintas masing-masing kendaraan (Kend/Hari)
𝑊 : Beban gandar standart kumulatif untuk 2 arah
𝐷 : Faktor distribusi jalur
𝐷 : Faktor distribusi arah
ESAL : Angka ekuivalen masing-masing golongan beban sumbu
365 : Jumlah hari dalam setahun
R : Faktor umum
R : ( )
25
Dalam hal ini, menurut AASHTO (1993 : 9), telah ditentukan Faktor
Distribusi Lajur (𝐷 ) seperti pada Tabel.2.13
Tabel 2.13 Faktor Distribusi Lajur (𝐷 ) (AASHTO, 1993)
Jumlah Lajur per arah % beban gandar standar
dalam lajur rencana
1 100 2 80-100 3 60-80 4 50-75
2.4.4 Reliabilitas (Reliability)
Menurut Sukirman (1999 : 152), Reliabilitas adalah tingkat probabilitas
perkerasan yang disusun akan tetap memadai sepanjang masa pelayanan. Harga R
dipakai untuk mengakumulasi probabilitas koreksi perhitungan kemampuan
perkerasan dan volume lalu lintas. Parameter R menjelaskan bahwa kemungkinan
struktur tersusun yang dimiliki oleh suatu perkerasan akan mempunyai nilai
kemampuan yang besar dibandingkan dengan kemampuan pelayanan akhir umur
perancangan. Apabila nilai R tersebut tinggi maka tingkat kemampuan itu adalah
efektif, tetapi tetap memerlukan perkerasan yang tebal. Ketetapan harga Reliabilitas
telah ditetapkan pada Tabel 2.14
Tabel 2.14 Harga Reliabilitas R (Sukirman, 1999)
Tipe Jalan Nilai R%
Perkotaan Pedesaan Jalan Beban Tambahan 90 - 99,9 85 – 99,9
Utama 85 – 99 80 – 95 Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95 Lokal 50 – 80 50 – 80
Lalu untuk hubungan antar R dan 𝑍 bisa dilihat pada Tabel 2.15
26
Tabel 2.15 Hubungan antara R dan 𝑍 (AASHTO, 1993)
R% 𝒁𝑹 R% 𝒁𝑹 50 0,0000 93 -1,476 60 -0,253 94 -1,555 70 -0,524 95 -1,645 75 -0,674 96 -1,751 80 -0,841 97 -1,881 85 -1,037 98 -2,054 90 -1,282 99 -2,327 91 -1,340 99,9 -3,090 91 -1,405 99,99 -3,750
2.4.5 Kemampuan Pelayanan (Serviceability)
Menurut Siegfried dan Rosyidi (2007 : 2), harga kemampuan pelayanan
awal untuk perkerasan lentur, 𝑝 = 4,2. Pada umumnya harga untuk pelayanan akhir
(𝑃 ) ialah :
𝑝 = 4,2 untuk perkerasan lentur dan 4,5 untuk perkerasan kaku
𝑝 = 2,0 merupakan nilai perkerasan yang harus dilakukan perbaikan
𝑝 = 1,5 merupakan nilai perkerasan yang sudah tidak bisa dilintasi
Kehilangan kemampuan pelayanan total digunakan persamaan:
ΔPSI = 𝑝 – 𝑝 ...............................................Persamaan (2.14)
ΔPSI = 𝑝 – 𝑝 ................................................Persamaan (2.15)
2.4.6 Koefisien Kekuatan Relatif Lapisan (a)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 11), koefisien kekuatan
relatif lapisan (a) menjelaskan bahwa masing-masing bahan dan fungsinya adalah
sebagai pondasi bawah, pondasi atas, dan lapis permukaan yang. Sudah ditentukan
dengan Marshall Test (menggunakan material aspal panas), kuat tekan
(menggunakan material semen dan kapur), atau CBR (menggunakan material
lapisan pondasi bawah).
Menurut AASHTO (1993 : 20), koefisien lapis pada pondasi granuler
(granuler base layer) dan (granuler subbase layer) menggunakan persamaan:
27
𝑎 = 0,249 ( 𝐿𝑜𝑔 𝑀 ) − 0,977...........................Persamaan (2.5)
Untuk lapis pondasi bawah (granuler subbase layer) menggunakan rumus:
𝑎 = 0,227 ( 𝐿𝑜𝑔 𝑀 ) − 0,839...........................Persamaan (2.6)
Nilai lapisan faktor struktural dapat digunakan pada Tabel 2.16
Tabel 2.16 Koefisien Lapisan (a) (DPU, 1987)
Tipe Material Koefisien Lapisan Permukaan Aspal (a1) Campuran aspal panas bergradasi padat Aspal pasir Campuran dipakai ulang diolah ditempat Campuran dipakai ulang oleh pabrik Lapis Pondasi (a2) Batu pecah Kerikil berpasir Pondasi pozolanik Pondasi dirawat kapur Pondasi dirawat semen Tanah semen Pondasi dirawat aspal, gradasi kasar Pondasi dirawat aspal, gradasi pasir Campuran dipakai ulang diolah ditempat Campuran dipakai ulang diolah dipabrik Campuran aspal panas gradasi padat Lapis Pondasi Bawah (a3) Kerikil berpasir Lempung berpasir Tanah dirawat kapur Lempung dirawat kapur Batu pecah
0,44 0,40 0,20
0,40 (0,40 – 0,44)
0,14 (0,08 – 0,14) 0,07
0,28 (0,25 – 0,30) 0,22 (0,15 – 0,22)
0,27 0,20 0,34 0,30 0,20
0,40 (0,40 – 0,44) 0,44
0,11 0,08 (0,05 – 0,10)
0,11 0,16 (0,14 – 0,18) 0,14 (0,08 – 0,14)
2.4.7 Modulus Resilient (𝑴𝑹)
Berdasarkan AASHTO (1993 : 14), Modulus Resilient merupakan
parameter kemampuan tanah dalam menghentikan proses deformasi karena beban
berulang. Pada umumnya, apabila tingkat tegangan bertambah pada sebuah tanah,
maka karakteristik tegangan dan regangannya akan menjadi tidak linear. Uji tes
CBR dilakukan berdasarkan langkah-langkah ASTM D-1883-92. Asphalt Institute
(MS-23) dan Shell Oil Co menyarankan hubungan CBR tanah dasar dan 𝑀 sebagai
berikut :
28
a. Modulus Resilient pada tanah dasar (𝑀 )
𝑀 = 1500 x CBR (psi) ..................................Persamaan (2.7)
b. Modulus Resilient pada pondasi atas (𝑀 )
Modulus Resilent pada pondasi atas dapat digunakan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Variasi koefisien pada lapis pondasi atas (AASHTO, 1993)
29
c. Modulus Resilient untuk pondasi bawah
Modulus Resilient pada pondasi bawah dapat digunakan pada Gambar 2.6
Gambar 2.6 Variasi koefisien pada lapis pondasi bawah (AASHTO, 1993)
30
2.4.8 Angka Ekuivalen Kendaraan
Menurut Sukirman (1999 : 108), Untuk menentukan susunan beban gandar
kendaraan ditetapkan menggunakan Gambar 2.7
Gambar 2.7 Konfigurasi Beban Gandar Kendaraan (Sukirman, 1999)
2.4.9 Deviasi Standar Keseluruhan (𝑆 )
Deviasi Standar Normal (overall standard deviation, 𝑆 ) ialah parameter
yang dipakai yang berfungsi menghitung berbagai dari input data. Dalam keadaan
lokal sesuai dengan rencana, deviasi standar keseluruhan harus ditentukan dan
dipilih. AASHTO (1993 : 62) merekomendasikan :
● Perkerasan jalan lentur : nilai (𝑆 ) adalah 0,40 sampai 0,50
● Perkerasan jalan kaku : nilai (𝑆 ) adalah 0,30 sampai 0,40
31
2.4.10 Koefisien Drainase
Menurut Sukirman (1999 : 157), sistem drainase pada jalan sangatlah
berpengaruh pada jalan yang digunakan. Tingkat pada pengeringan air yang
terdapat pada perencanaan konstruksi jalan bersama dengan berat lalu lintas disertai
kondisi permukaan pada jalan sangat berpengaruh kepada umur rencana jalan.
Menurut AASHTO (1993 : 25), koefisien drainase dapat ditentukan pada Tabel
2.17
Tabel 2.17 Klasifikasi Drainase (AASHTO, 1993)
Kualitas Drainase
Persen waktu perkerasan dalam keadaan lembab-jenuh
<1% 1 – 5% 5 – 25% >25%
Baik sekali 1,40 – 1,35 1,35-1,30 1,30-1,20 1,20
Baik 1,35-1,25 1,25-1,15 1,15-1,00 1,00
Cukup 1,25-1,15 1,15-1,05 1,00-0,80 0,80
Buruk 1,15-1,05 1,05-0,80 0,80-0,60 0,60
Buruk sekali 0,95-0,75 0,95-0,75 0,75-0,40 0,40
Harga tebal lapisan pondasi dan lapisan minimum kombinasi aspal menurut
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2002 : 10) telah ditentukan pada
Tabel 2.18 :
Tabel 2.18 Tebal minimum kombinasi lapis pondasi dan campuran
(DPPW, 2002)
Lalu Lintas (ESAL) Campuran Beraspal
(cm)
Lapen (cm)
Lasbutag (cm)
Agregat Lapis Pondasi
(cm) <50.000 2,5 5 5 10
50.001 – 150.000 5,0 - - 10
150.001 – 500.000 6,25 - - 10
500.001 – 2.000.000 7,5 - - 15 2.000.001 – 7.000.000 8,75 - - 15
> 7.000.000 10,0 - - 15
32
2.4.11 Menghitung Tebal Lapis Tambahan
Berdasarkan AASHTO (1993 : 104), untuk menentukan harga struktural
𝐷 , perlu menghitung tebal lapisan perkerasan lentur terlebih dahulu. Di mana
dinyatakan dalam rumus :
𝐷 = ............................................................ Persamaan (2.8)
Dimana :
𝐷 : Tebal lapis tambah yang diperlukan
𝑆𝑁 : Harga Struktural yang diperlukan untuk membawa beban lalu lintas
yang akan datang
𝑆𝑁 : Nilai efektif struktural pada perkerasan ekisisting
𝑎 : Koefisien tebal perkerasn relatif
2.5 Rencana Anggaran Biaya (RAB)
Menurut Rahman (2009 : 2), yang dimaksud dengan Rencana dan Anggaran
adalah merencanakan sesuatu konstruksi dalam bentuk dan faedah dalam
fungsinya, disertai dengan besar biaya yang dibutuhkan dan susunan pelaksanaan
dalam bidang administrasi atau pelaksana kerja dalam dunia Teknik.
Maksud dan tujuan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yaitu untuk
mengetahui harga per bagian pada suatu kegiatan yang berpatokan untuk
pengeluaran biaya dalam masa pelaksanaan. Dalam hal ini agar pekerjaan yang
dibangun dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
2.5.1 Harga Satuan Dasar (HSD)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2013 : 475), untuk menyusun
sebuah harga satuan pekerjaan (HSP), dibutuhkan HSD tenaga kerja, HSD bahan,
dan HSD alat. Dalam hal ini diberikan langkah-langkah perhitungan HSD bagian
HSP mengacu pada Peraturan Kementrian Pekerjaan Umum diantara lain :
33
● Menghitung HSD Tenaga Kerja
Perhitungan AHSP memerlukan acuan Harga Standar Daerah yang meliputi
tenaga kerja, material maupun alat berat. Harga Satuan Dasar (HSD) khusus untuk
tenaga kerja mempunyai beberapa tahapan, antara lain:
1. Menentukan keterampilan pada tenaga kerja, contoh pekerja (P1),
mandor (M), kepala ahli tukang (KaT) dan ahli tukang (Tx)
2. Mengumpulkan data upah yang sesuai dengan Perda (Peraturan
Daerah), seperti walikota atau gubernur setempat, data upah pada hasil
survei tersebut berada di lokasi berdekatan dan berlaku pada daerah
tempat lokasi pekerjaan yang akan dilakukan
3. Menghitung tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah dengan
menghitung biaya transportasi, menginap, dan konsumsi.
4. Menentukan jumlah pada hari efektif bekerja selama satu bulan (24-26
hari), dan jumlah jam efektif dalam waktu satu hari (7 jam)
5. Menghitung biaya upah pada masing-masing per jam per orang
6. Merata-rata semua biaya upah minimum harus sama dengan Upah
Minimum Regional (UMR) pada daerah tersebut.
● Menghitung HSD Alat
Analisa HSD alat membutuhkan data upah operator beberapa perincian alat
seperti kapasitas alat kerja (m³), harga alat umur pemakaian, dan jam kerja dalam 1
tahun. Dalam perhitungan HSD alat, faktor lain yang dibutuhkan adalah asuransi
alat, keadaan alat yang lebih detail seperti Excavator, harga perolehan alat, dan
Loader
● Menghitung HSD Bahan
Untuk perhitungan harga satuan pekerjaan, membutuhkan penetapan
petunjuk Standar Nasional Indonesia (SNI) dari HSD bahan. Perhitungan Harga
Satuan Dasar Bahan terdiri dari atas:
1) Harga Satuan Dasar Bahan Jadi
2) Harga Satuan Dasar Bahan Olahan
3) Harga Satuan Dasar Bahan Baku
34
Perhitungan harga yang diambil dari tambang (quarry) dibagi menjadi 2 jenis,
antara lain:
1) Bahan Olahan meliputi agregat kasar dan halus.
2) Bahan Baku meliputi batu kali, pasir sungai dan sebagainya.
● Biaya yang lain-lain
Perhitungan biaya lain-lain merupakan biaya yang tidak dapat dihubungkan
langsung dengan alat produksi. Perhitungan biaya lain-lain disimbolkan dalam
bentuk persen terhadap biaya langsung. Perhitungan biaya lain-lain tersebut
meliputi:
1) Administrasi kantor
2) Kendaraan kantor
3) Pajak
4) Asuransi