draft pedoman rbm_final 13 juni 2011
DESCRIPTION
Draf pedoman RBM final untuk Taman NasionalTRANSCRIPT
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Maksud, Tujuan, dan Sasaran 4
C. Manfaat 5
BAB II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 10
A. Ruang Lingkup Pengelolaan Taman Nasional 13
B. Dimensi Hasil Taman Nasional 13
C. Dimensi Manajemen Taman Nasional 15
BAB III. FILOSOFI, YURIDIS DAN TEKNIS 18
A. Filosofi 18
B. Aspek Yuridis 25
C. Aspek Teknis 26
BAB IV. VISI, MISI, STRATEGI DAN TAHAPAN 29
A. Visi dan Misi 29
B. Strategi 30
C. Tahapan 31
BAB V. PERENCANAAN 33
A. Hirarki Perencanaan 34
B. Mekanisme Penyusunan Rencana 35
BAB VI. PELAKSANAAN 38
A. Pembentukan Tim Kerja RBM 38
B. Penguatan Kelembagaan 39
i
C. Penataan Resort 40
a. Prakondisi Penataan Resort 40
b. Pembuatan Peta Indikatif Penataan Kawasan dan Cek
Lapangan 41
c. Pembuatan Revisi Peta Pembagian Wilayah Kerja
Resort. 42
D. Pembangunan SIM 47
BAB IX. MONITORING DAN EVALUASI 52
BAB X. PENUTUP 53
ii
DAFTAR LAMPIRAN
Formulir 1 : Tata Batas
Formulir 2 : Infrastruktur dalam Kawasan dan daerah Penyangga
Formulir 3 : Gangguan Kawasan
Formulir 4 : Perjumpaan Satwa
Formulir 5 : Daya dukung Habitat
Formulir 6 : Survai Vegetasi
Formulir 7 : Wisata dan Jasa Lingkungan
Formulir 8 : Tipologi Daerah Penyangga
iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan tahun 2010, Kementerian Kehutanan telah
menunjuk/ menetapkan 521 unit kawasan konservasi dengan
luas 27.206.729 Ha yang terdiri dari cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan
raya, dan taman buru. Taman nasional (TN) merupakan kategori
kawasan konservasi yang mempunyai persentase luas paling
besar (58%), dengan variasi luasan antara 5.000-6.000 Ha (TN
Kelimutu, TN Gunung Merapi) sampai dengan lebih dari 1 juta
Ha (TN Lorentz, TN Betung Kerihun, TN Kayan Mentarang, TN
Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, SM Mamberamo Foya),
dengan kondisi biofisik (geologi, ekologi, biodiversitas), sosial
budaya, (landtenurship, pola penggunaan lahan, ragam etnik),
sejarah pembentukan kawasan, dan aspek ekonomi dan
dinamika politik yang sangat beragam antara satu kawasan
dengan kawasan yang lainnya.
Persoalan yang dihadapi pengelola taman nasional
disebabkan minimal dua faktor dominan, yaitu faktor external
dan faktor internal. Faktor-faktor external dapat diuraikan
sebagai berikut :
Seiring dengan perkembangan pembangunan, terbukanya
akses di sekitar kawasan konservasi, perubahan tata guna lahan
di daerah penyangga kawasan konservasi (beberapa sangat
menonjol seperti komoditi sawit dan karet di sebagian besar
Sumatera, Kalimantan, dan coklat di Sulawesi), kebutuhan kayu
bakar dan kayu konstruksi yang mendorong illegal logging di
kawasan konservasi, penambangan emas tanpa ijin, konflik
lahan-HGU di kawasan konservasi, pertambahan penduduk pada
sentra-sentra industri dan kota-kota baru di sekitar kawasan
konservasi, perburuan liar terorganisir, pembakaran lahan di
1
daerah penyangga, merupakan berbagai faktor penyebab
semakin meningkatnya tekanan dan kerusakan pada kawasan
konservasi, termasuk di dalam kawasan taman nasional.
Akibat dari berbagai persoalan tersebut adalah menurunnya
kualitas biodiversitas, kerusakan habitat dan fragmentasi habitat
satwa liar, yang kemudian mendorong meningkatnya konflik
satwa liar-manusia. Di beberapa taman nasional, persoalan
perambahan telah terjadi dalam waktu yang lama sehingga
upaya-upaya penyelesaianya memerlukan mobilisasi
sumberdaya yang besar dan dukungan kebijakan dari berbagai
unsur khususnya pemerintah daerah.
Selain itu, pemanfaatan kawasan konservasi seperti jasa
lingkungan (air, carbon), hasil hutan bukan kayu, dan ekowisata
belum berkembang optimal dan menyeluruh (walaupun di
beberapa taman nasional telah berhasil dikembangkan dan
mulai menunjukkan hasilnya), sehingga kontribusi nyata
pengelolaan kawasan konservasi terhadap kesejahteraan
masyarakat sekitar dan pertumbuhan ekonomi daerah masih
sangat minim. Akibatnya, peren serta masyarakat dan
dukungan pemerintah daerah terhadap pengelolaan kawasan
konservasi pada umumnya masih (sangat) rendah.
Sedangkan faktor internal, yaitu faktor-faktor yang menjadi
pembatas dalam organisasi pengelola kawasan konservasi,
adalah belum efektifnya pengelolaan kawasan konservasi,
termasuk taman nasional di tingkat lapangan, di tingkat site atau
tapak. Penyebabnya dapat beragam, antara lain belum jelasnya
arahan kebijakan pengelolaan, sistem penganggaran yang tidak
berpihak pada pengelolaan di tingkat tapak atau kurang berpihak
pada persoalan-persoalan strategis mendesak, keterbatasan
sarana/prasarana, dan dukungan sistem informasi geografis dan
atau database untuk mendukung pendataan yang bersifat
spasial dan time series. Demikian pula dengan data sosial
2
ekonomi dan kondisi interaksi masyarakat-kawasan, memerlukan
dukungan peningkatan kapasitas dan perubahan paradigma atau
orientasi petugas lapangan (resort) dalam penguasaan teknik
pengumpulan data dan analisis data/informasi tentang kondisi
dan dinamika sosio-kultural dan ekonomi masyarakat dalam
hubungannya dengan kawasan konservasi.
Sebagai unit pemangkuan kawasan konservasi terkecil,
resort merupakan ujung tombak pengelolaan kawasan
konservasi, termasuk di taman nasional. Petugas resort adalah
petugas yang sehari-hari berinteraksi secara langsung dengan
kawasan konservasi, dengan masyarakat yang tinggal di
sekitarnya, dan dengan persoalan-persoalan aktual di dalam dan
sekitar kawasan.
Di luar beberapa kawasan taman nasional yang telah
menerapkan secara konsisten sistem pengelolaan berbasis
resort, kinerja resort-resort sampai saat ini masih belum seperti
yang diharapkan. Aktifitas petugas resort sebagian besar masih
didominasi oleh aspek pengamanan, sementara aspek lain dari
pengelolaan taman nasional, seperti pengelolaan biodiversitas,
pengelolaan habitat dan manajemen populasi satwa dilindungi,
jasa lingkungan dan wisata, dan aspek pengembangan
masyarakat daerah penyangga, belum dapat dilakukan secara
proporsional untuk mendukung peningkatan pengelolaan
kawasan. Bahkan banyak taman nasional yang sampai saat ini
belum memiliki kantor resort. Dalam kondisi seperti ini, maka
taman nasionalseperti kawasan yang tidak ada pengelolanya,
yang biasa disebut sebagai “no manland”. Kawasan yang seolah-
olah tidak ada pemilikinya(pemiliknya tidak pernah atau jarang
ada di lapangan). Kondisi ini merupakan awal masuknya
berbagai pihak untuk menguasai kawasan, dan berbagai
kegiatan ilegal akan terus berlangsung di kawasan dengan
situasi ini.
3
Kondisi-kondisi resort yang sangat minim tersebut
menyebabkan upaya pengamanan kawasan lebih bersifat
reaktif, petugas resort kurang memahami kondisi riil
biodiversitas yang ada di wilayah kerjanya, petugas resort
kurang peka terhadap dinamika sosial di sekitarnya, tingkat
pemahaman masyarakat sekitar terhadap konservasi rendah,
dan akhirnya stakeholders kurang memberikan dukungan
terhadap pengelolaan kawasan konservasi atau bahkan tidak
mengetahui bahwa mereka telah masuk ke dalam kawasan
konservasi. Hal ini bukan saja menjadi masalah di tingkat resort,
namun lebih disebabkan faktor leadership di tingkat seksi
maupun balai yang masih banyak menghadapi kendala dan
kelemahan-kelemahan yang mendasar khususnya dalam
pengelolaan taman nasional.
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan taman nasional
yang efektif, perlu dibangun sistem pengelolaan kawasan
konservasi berbasis Resort (Resort Based Management /RBM).
Dengan manajemen berbasis resort diharapkan pada tingkat
lapangan, kondisi kawasan konservasi akan lebih diketahui,
kawasan akan lebih terjaga dan terkelola. Analisis terhadap data
dan keadaan lapangan dilakukan ditingkat Seksi Wilayah dan
dikompilasi di tingkat UPT, maka akan tersedia data dan
informasi yang lebih lengkap dan mungkin dapat berupa time
series, sebagai dasar perencanaan lebih lanjut yang lebih
akurat. Pada tingkat pusat, dengan tersedianya data dan
informasi tentang kondisi dan perkembangan pengelolaan di
setiap taman nasional, akan menjadi dasar untuk merumuskan
kebijakan konservasi yang lebih adapatif, proporsional, dan
aspiratif, sesuai dengan kondisi setempat serta dapat
mendukung pencapaian tujuan pengelolaan di setiap kawasan
tersebut.
4
B. Maksud, Tujuan, dan Sasaran
Maksud pedoman pengelolaan taman nasional berbasis
resort adalah untuk memberikan acuan kepada pengelola taman
nasional dalam melaksanakan pengelolaan taman nasional
berbasis resort.
Tujuan penyusunan pedoman pengelolaan taman nasional
berbasis resort adalah :
1) Memberikan acuan penyusunan perencanaan pengelolaan
taman nasional berbasis resort.
2) Memberikan acuan pengorganisasian pengelolaan taman
nasional berbasis resort.
3) Memberikan acuan pelaksanaan pengelolan taman nasional
berbasis resort.
4) Memberikan acuan monitoring dan evaluasi taman nasional
berbaisis resort.
Sasaran pedoman pengelolaan taman nasional berbasis
resort adalah 50 Balai Besar/Balai Taman Nasional, Direktorat
teknis lingkup Ditjen PHKA. Berdasarkan Renstra Ditjen PHKA
2010-2014 (SK Dirjen PHKA Nomor SK.181/IV-Set/2010 tanggal
18 Nopember 2010), pengelolaan taman nasional berbasis resort
akan diterapkan pada 50 taman nasional. Pedoman ini dapat
pula diadopsi dalam pengelolaan kawasan konservasi lainnya,
dengan berbagai penyesuaian.
C. Manfaat
Berdasarkan hasil pelaksanaan pada beberapa taman
nasional, yakni di TN Gunung Halimun Salak, TN Alas Purwo, dan
TN Gunung Gede Pangrango, penerapan pengelolaan taman
nasional berbasis resort memberi manfaat sebagai berikut :
Bagi pengelola :
5
1) Kawasan taman nasional akan lebih terjagaPotensi dan
permasalahan kawasan akan lebih diketahui;
2) Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar akan
semakin dikenali;
3) Tersedianya data dan informasi tentang kondisi kawasan
taman nasional yang lebih lengkap, lebih valid/ akurat, terkini
, dan dalam bentuk time series dan spasial.
Bagi Pemerintah Daerah :
1) Berbagai persoalan dan potensi kawasan dapat lebih
dimengerti dan difahami karena komunikasi antara pengelola
dengan pemerintah daerah lebih intensif. Hal ini akan
mendorong penyelesaian persoalan lebih dini sehingga
dapat dicegah meningkatnya skala, kompleksitas, dan
berlarut-larutnya persoalan di lapangan.
2) Keberadaan taman nasional akan lebih dikenal, difahami, dan
didukung oleh pemerintah daerah,khususnya terkait dengan
manfaat jangka panjang kawasan bagi masyarakat, manfaat
tidak langsung kawasan bagi masyarakat luas, dan
sebagainya.
Bagi masyarakat :
1) Berbagai persoalan konkrit, seperti konflik batas kawasan,
ketergantungan masyarakat pada kawasan (air konsumsi, air
untuk pengairan, hasil hutan bukan kayu, pengambilan
bahan pangan, bahan bangunan, lahan perburuan
tradisional, upacara adat, kayu bakar, dsb), dapat dicarikan
jalan keluarnya secara lebih tepat, lebih terbuka, dan lebih
cepat karena adanya petugas yang secara reguler berada di
lapangan.
2) Potensi partisipasi masyarakat untuk membantu dalam
berbagai bentuk kegiatan di daerah penyangga, di batas
6
taman nasional, maupun di dalam kawasan dapat lebih cepat
dikembangkan, sehingga dapat dibangun kelembagaan lokal
yang tepat dlaam pengembangan desa mitra taman
nasional. Masyarakat harus dijadikan sebagai subyek
pengelolaan taman nasional dan diposisikan sebagai bagian
dari solusi pengelolaan taman nasional, sehingga masyarakat
dapat merasakan secara konkrit manfaat keberadaan taman
nasional yang dikelola secara bersama, dengan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi di satu sisi dan
kaidah kemanfaatan sosial, ekonomi, budaya di sisi yang
lainnya. Taman nasional selamat, masyarakat lebih
bermartabat dan lebih sejahtera.
Pada tingkat pusat,
Akan mempermudah dalam merumuskan kebijakan yang
sesuai dengan kondisi setempat. Hal ini dapat etrjadi, karena
UPT telah dapat melakukan berbagai tingkatan analisis
berdasarkan kondisi dan fakta-fakta di lapangan, baik secara
kualitatif maupun berdasarkan analisis kuantitatif yang
komprehensif, dengan mempertimbangkan 3 pilar
pembangunan yang berkelanjutan, yaitu sosial/budaya,
ekonomi, dan ekologi/lingkungan.
Dengan situasi tersebut, di tingkat pusat, Ditjen PHKA dapat
lebih mengembangkan proses pembelajaran/fasilitasi
(shared-learning) antara UPT yang berhasil mengembangkan
berbagai inisiatif berdasarkan pengelolaan berbasis resort
dengan UPT lain yang dapat segera belajar dari pengalaman-
pengalaman yang telah terjadi. Dengan demikian, upaya
membangun organisasi pembelajar (learning organization)
dapat dilakukan secara bertahap dan menyeluruh.
7
Kebijakan atau pedoman-pedoman yang disusun dari pusat
akan didasarkan pada pengalaman lapangan di UPT,
sehingga pedoman tersebut menjadi applicable (lebih mudah
diaplikasikan) atau doable (lebih mudah untuk dilakukan),
karena memang berdasarkan pengalaman dari lapangan,
tentunya dengan berbagai tingkatan adaptasi sesuai dengan
konteks persoalan dan kondisi setempat.
D. Batasan dan Pengertian
Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan :
Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri
khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi.
Penataan Wilayah Pengelolaan adalah pembagian kawasan
taman nasional ke dalam satuan Seksi Pengelolaan Taman
Nasional (SPTN) yang dibagi ke dalam Wilayah Kerja Resort,
dengan mempertimbangkan aspek biofisik (biodiversitas,
ekologi, geologi, landsistem), sosial, budaya, dan ekonomi,
batas wilayah administrasi, tipologi daerah penyangga, batas
alam, dan sebagainya.
Pengelolaan taman nasional berbasis resort (resort based
management/RBM) adalah sistem pengelolaan taman nasional
8
yang menjadikan resort sebagai unit pengelolaan terkecil dan
ujung tombak pengelolaan di tingkat lapangan.
Resort adalah unit pengelolaan terkecil taman nasional yang
mempunyai kelembagaan dan wilayah kerja tertentu.
Tipologi resort adalah pengelompokan resort berdasarkan
tingkat kesamaannya ditinjau dari karakteristik kawasan,
potensi, permasalahan, kondisi sosial ekonomi dan budaya
masyarakat. Tipologi resort akan menentukan pola dan prioritas
program/kegiatan yang akan dilakukan termasuk dukungan staf
baik dalam jumlah dan kompetensinya serta dukungan
pendanaan serta sarpras yang diperlukan.
Kantor resort adalah bangunan yang digunakan oleh petugas
resort untuk menjalankan tugasnya yang dilengkapi dengan
sarana-prasarana pendukung.
Sistem Informasi adalah sekumpulan komponen dari informasi
yang saling terintegrasi untuk mencapai tujuan yang spesifik;
input, model, output, teknologi, basis data (data base), kontrol
atau komponen pengendali.
Polisi Kehutanan (POLHUT) adalah Pegawai Negeri Sipil yang
diberi tugas, tanggung jawab, wewenang untuk melakukan
perlindungan dan pengamanan hutan dan peredaran hasil hutan.
Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) adalah Pegawai Negeri
sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak
secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan
pengendalian ekosistem hutan. Tugasnya adalah membantu
menyiapkan prakondisi pengelolaan hutan, pengujian hasil
hutan, rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial, perlindungan
hutan dan konservasi alam, dan pengembangan profesi.
Penyuluh Kehutanan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi
tugas, tangggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh
pejabat yang berwenang untuk melakukan penyuluhan
kehutanan.
9
E. Keterbatasan Pedoman
Mengingat beragamnya kondisi taman nasional baik ditinjau
dari aspek luasan, aksesibilitas, kelembagaan (Sumberdaya
manusia, sarana-prasarana, anggaran), bio-fisik dan sosekbud
masyarakat, dan kondisi pembangunan wilayah, maka pedoman
ini tidak akan dapat dilaksanakan secara seragam di seluruh UPT
taman nasional. Pada bagian tertentu dari pedoman ini
(misalnya dalam hal penentuan jenis data yang akan diambil,
tingkat kedalaman analisisnya, terkait dengan tipologi suatu
taman nasional dan daerah penyangganya). Fakta dan kondisi
TN Bukit Dua Belas yang sangat kental dengan data dan
informasi tentang masyarakat adat dnegan hak-hak ekslusifnya
terhadap kawasan, sistem tenurial, kearifan tradisional, pola
penggunaan ruang,akan mengarah pada pola pengumpulan dan
analisis data dan informasi yang sangat berbeda dnegan TN
Gunung Gede Pangrango, misalnya, yang tidak ada kondisi-
kondisi seperti itu di dalam kawasan taman nasionalnya. Maka,
UPT taman nasional diberikan ruang untuk melakukan
improvisasi dan adaptasi dalam mengembangkan pengelolaan
berbasis resort, sesuai dengan kondisi dan tujuan pengelolaan
masing-masing taman nasional.
10
BAB II. KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN
NASIONAL
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman
Nasional (TN) merupakan kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi.
Sampai akhir tahun 2010, Kementerian Kehutanan telah
menunjuk/ menetapkan 50 unit taman nasional dengan luas 16,4
juta hektar atau 58% dari luas total kawasan konservasi di
Indonesia. Sebagian besar kawasan taman nasional tersebut
menghadapi berbagai permasalahan, seperti perambahan hutan,
pemukiman liar, pembalakan, perburuan dan kebakaran.
Sementara itu, kondisi taman nasional sangat beragam dari
sejarah pembentukan, tujuan pengelolaan, luasan,
aksessibilitas, biofisik dan sosekbud masyarakat, kelembagaan
pengelola, tingkat capaian pengelolaan, kondisi dan dinamika
pembangunan wilayah, dan satus global (Ramsar Site, World
Heritage Site, Biosphere Reserve, dan lain-lain).
Masyarakat yang tinggal di sekitar atau di dalam taman
nasional pada umumnya masih mempunyai tingkat sosial
ekonomi rendah dan sangat tergantung pada sumberdaya alam
yang ada di dalam taman nasional. Demikian pula, kontribusi
pengelolaan taman nasional terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah dan pendapatan asli daerah juga masih dinilai oleh
berbagai pihak, sebagai masih belum signifikan. Walaupun
demikian, kajian valuasi ekonomi pada beberapa taman nasional,
11
seperti di TN Batang Gadis, TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat,
TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun Salak, dan TN
Bunaken, misalnya, telah menunjukkan nilai ekonomi yang
sangat tinggi dan signifikan. Manfaat taman nasional yang
melewati batas-batas kawasannya, antara lain dalam bentuk
suplai air bersih, air untuk pertanian, penyeimbang iklim mikro,
stabilitas fluktuasi debit air sungai, penjaga kesuburan tanah di
wilayah hilir, pencegah tanah longsor, penjaga kesuburan tanah,
pengahsil listrik (mini/mikro hidro atau PLTA), merupakan bukti
yang tidak terbantahkan. Beberapa taman nasional dengan
tingkat kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegera
yang tinggi (TN Bunaken, TN Bantimurung Bulusaraung, TN
Komodo, TN Gunung Leuser, TN Gunung Gede Pangrango) telah
mendorong berkembangnya ekonomi setempat, beragamnya
peluang usaha dan berusaha, dan lain sebagainya. Di sisi lain,
telah terjadi perubahan nilai-nilai sosial pada masyarakat,
pemerintahan yang desentralistik dan otonom, serta semakin
tingginya perhatian dunia internasional terhadap isu-isu
kerusakan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.
Hal itu menuntut menuntut pergeseran cara pandang
(paradigma) terhadap pengelolaaan taman nasional yang
berorientasi pada penyeimbangan antara manfaat ekologi,
sosial, dan ekonomi. Pengelolaan taman nasional dapat memberi
manfaat nyata bagi masyarakat sekitar, berkontribusi pada
pertumbuhan ekonomi daerah, dan menjadi salah satu sumber
PAD, namun tetap berfungsi sebagai benteng penyelamatan
sumberdaya alam hayati yang masih tersisa. Hasil
pembangunan dari berbagai sektor selama 35 tahun terakhir
telah berdampak pada perubahan penggunaan lahan,
terbukanya akses, tumbuhnya kota-kota baru, pusat-pusat
industri, pertambangan, perkebunan, dan sebagainya.
Berkembangnya perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan
12
Kalimantan, diikuti di Sulawesi (terutama coklat) dan Papua,
telah mendorong perubahan tutupan lahan yang didominasi oleh
monokultur kelapa sawit. Berbagai persoalan perambahan di
taman nasional dipicu oleh meningkatnya permintaan akan
minyak kelapa sawit (crude palm oil), yang selanjutnya
mendorong perambahan besar-besaran di kawasan hutan, baik
di eks HPH di hutan produksi, hutan lindung yang tidak dikelola,
maupun di kawasan taman nasional. Tingkat kecepatan
perambahan kelapa sawit di Besitang TN Gunung Leuser,
Sumatera Utara pada periode tahun 2000-2007 mencapai 5 Ha
per hari. Demikian pula di eks HPH Nanjak Makmur, yang saat ini
dijadikan areal perluasan TN Tesso Nilo (Riau), mencapai 5,4 Ha
per hari.
Mempertimbangkan kondisi-kondisi eksternal tersebut di
atas dan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan taman
nasional, pemerintah cq. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam (PHKA), menetapkan beberapa kebijakan
pengelolaan taman nasional, yaitu :
1. Mempercepat penyusunan rencana pengelolaan dan
mempercepat penetapan zonasi kawasan.
2. Mempercepat tata batas dlaam rangka pemantapan status
hukum kawasan,
3. Membentuk Kelompok Kerja Penanganan Perambahan di
pusat dan di UPT untuk meningkatkan
efektifitaspenyelesaian permasalahan kawasan, khususnya
pembalakan liar dan perambahan hutan.
4. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan melalui
penerapan sistem pengelolaaan berbasis resort di seluruh
taman nasional.
Kebijakan itu disusun dalam Rencana Strategis Kementerian
Kehutanan Tahun 2010 – 2014. Penerapan sistem pengelolaan
13
tersebut diharapkan akan memberi perubahan mendasar
terhadap pengelolaan taman nasional di Indonesia sehingga
dapat berfungsi optimal untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi, dengan mempertimbangkan berbagai
keragaman di tingkat tapak, kondisi dan dinamika sosial
ekonomi di tingkat pemerintah kabupaten dan provinsi.
A. Ruang Lingkup Pengelolaan Taman Nasional
Standar pengelolaan taman nasional diturunkan mengikuti
kerangka kerja logis yang berhirarki, dimulai dari yang paling
abstrak hingga yang paling operasional. Hirarki tersebut dimulai
dari elemen tujuan taman nasional, kemudian diikuti oleh elemen
prinsip, kriteria dan indikator. Hirarki ini membantu konsistensi
berfikir dalam mengembangkan standar yang koheren
(sistematis-terpadu).
Dalam pengembangan prinsip, kriteria dan indikator,
keseluruhan hirarki informasi merupakan dimensi hasil,
kemudian dipadukan dengan dimensi manajemen yang
menggambarkan strategi pencapaian hasil sesuai dengan
persyaratan pengelolaan taman nasional. Dalam hal ini, prinsip
sebagai bagian eksplisit dari tujuan pengelolaan taman nasional,
dipandang sebagai dimensi hasil yang harus dicapai dalam
tingkat unit manajemen melalui penilaian serangkaian kriteria
yang ditetapkan. Indikator kemudian dikembangkan di dalam
matrik silang antara kriteria dan strategi manajemen tertentu
yang dianggap penting dalam pencapaian pengelolaan taman
nasional.
Pendekatan ini digunakan untuk mempertahankan
konsistensi, sistematis, dan keterpaduan antara indikator-
14
indikator yang benar-benar relevan dalam penilaian pengelolaan
taman nasional.
B. Dimensi Hasil Taman Nasional
Tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman hayati dan eksositem, serta pemanfaatan
lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Tujuan ditunjukknya suatu kawasan sebagai taman nasional,
pada umunya disebutkan di dalam keputusan menteri
kehutanan. Misalnya, TN Bali Barat ditunjuk untuk tujuan
pelestarian curik Bali; TN Ujung Kulon untuk pelestarian badak
Jawa; TN Bukit Dua Belas untuk perlindungan ruang hidup Orang
Rimba. Namun demikian, tidak seluruh SK Penunjukan suatu
Taman Nasional, disebutkan secara eksplisit tujuannya. Dalam
hal ketidakjelasan tujuan penunjukannya, maka menjadi
kewajiban pengelola untuk melakukan analisis atau kajian dalam
rangka menetapkan key features, atau beberapa species kunci,
atau tipe-tipe ekosistem penting atau kombinasi antara spesies
dan tipe ekosistem yang ditetapkan dan dicantumkan dalam
dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional. Penetapan
tujuan tersebut sangat penting karena akan ditindaklanjuti
sebagai pedoman pengelolaan dan evaluasi tingkat efektivitas,
keberhasilan/kegagalan taman nasional tersebut.
Tujuan tersebut dapat terwujud jika terjadi hal-hal sebagai
berikut:
1) Kemantapan kawasan, yaitu prinsip mengenai pentingnya
keberadaan kawasan taman nasional yang diakui oleh para
pihak, mengingat kondisi sosio-politik masyarakat yang
bersifat dinamis. Kriteria kawasan yang mantap antara lain :
tersedianya dokumen legalitas kawasan (BATB, SK Penetapan
15
Kawasan, beserta peta lampirannya), adanya pal batas di
lapangan (jenis pal, pemasangan yang benar dan dalam
kondisi baik), dan batas diakui oleh masyarakat , dan tidak
adanya aktifitas ilegal di dalam kawasan taman nasional.
2) Kelestarian fungsi ekologi, yaitu prinsip yang menjelaskan
ukuran keberhasilan dari sisi ekologi dan lingkungan,
sehingga menjamin pengelolaan taman nasional secara
berkelanjutan, terdiri dari beberapa kriteria, antara lain
kelestarian ekosistem, yang mencakup terjaminnya proses
ekologi di dalam kawasan taman nasional dan dalam
interaksinya dengan daerah penyangga.
3) Kelestarian fungsi ekonomi sumberdaya alam, yaitu
terjaminnya fungsi taman nasional untuk memberikan
manfaat ekonomi yang berkelanjutan, dengan kriteria antara
lain :
a)Tersedianya akses manfaat ekonomi bagi masyarakat dan
dalam pembangunan wilayah.
b)Tersedianya akses pemanfaatan sumber plasma nutfah
untuk budidaya di daerah penyangga.
c) Tersedia insentif bagi pelaku konservasi.
4. Kelestarian fungsi sosial budaya, yaitu terjaminnya
keberlangsungan manfaat sosial dan budaya sesuai dengan
aspirasi, kebutuhan, dan pranata sosial, dengan kriteria
antara lain :
a) Hubungan harmonis budaya lokal dan sumberdaya alam.
b) Terjaminnya ruang kelola masyarakat.
c) Kontribusi terhadap perkembangan pendidikan dan
pengetahuan baru sumberdaya alam.
16
C. Dimensi Manajemen Taman Nasional
Untuk mencapai hasil, diperlukan strategi pencapaian hasil
yang tertuang dalam dimensi manajemen taman nasional, yang
dikelompokan menjadi:
a. Manajemen Kawasan, adalah strategi pengelolaan taman
nasional yang meliputi pemantapan kawasan, penataan
kawasan dan pengamanan kawasan. Manajemen kawasan
merupakan prasyarat keharusan dalam pengelolaan
taman nasional lestari. Dimensi manajemen ini meliputi:
1) Pengukuhan kawasan
2) Penataan kawasan
3) Pengaman dan penjagaan kawasan
b. Manajemen Sumberdaya Alam, adalah strategi
pengelolaan taman nasional yang merupakan inti
kegiatan dalam pengelolaan taman nasional lestari.
Dimensi manajemen tersebut meliputi:
1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
2) Pengawetan keanekaragaman hayati.
3) Pemanfataan lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
4) Pembinaan dan pemberdayaan masyarakat di daerah
penyangga
c. Manajemen Kelembagaan, merupakan prasyarat
kecukupan agar pengelolaan taman nasional dapat
berlangsung dan berkembang sesuai dengan target yang
telah ditetapkan. Dalam dimensi manajemen
kelembagaan minimal terdapat 3 hal pokok, yaitu:
1) Kepemimpinan (leadership)
2) Penataan organisasi (struktur, tata hubungan kerja,
kelola siklus keproyekan, kelola keuangan)
17
3) Sumberdaya manusia (budaya kerja, kompetensi,
reward and punishment)
Secara umum, pengelolaan taman nasional digambarkan
dalam flowchart sebagai berikut :
18
Kerangka Kerja Pengelolaan Taman Nasional
Flowchart ini menggambarkan kerangka kerja pengelolaan taman nasional, termasuk di dalamnya, adalah
pengelolaan taman nasional berbasis resort (RBM).
19
BAB III. FILOSOFI, YURIDIS DAN TEKNIS
A. Filosofi
Kebijakan dialokasikannya kawasan konservasi seluas 27,23
juta Ha, di mana 58% adalah taman nasional, merupakan salah
satu wujud kewajiban dan perhatian negara terhadap hak asasi
warga negara untuk mendapatkan jaminan lingkungan hidup
yang layak dan sehat, menunjang kehidupan masyarakat,
sebagai sumber plasma nutfah, dan menjamin berlangsungnya
keseimbangan ekosistem bagi semua mahluk hidup yang ada di
dalamnya.
Dengan mempertimbangan luas kawasan yang dikelola,
yang dapat digolongkan sebagai sumber daya milik bersama
atau “common pool resources”., yang merupakan sumberdaya
alam milik publik, walaupun berdasarkan UU No.5 tahun 1990,
pemerintah memegang mandat pengelolaannya, namun telah
disadari bahwa pemerintah tidak akan mampu mengemban
tugas tersebut, tanpa dukungan dari semua pihak, termasuk
masyarakat, pemerintah daerah, pihak swasta, lembaga
swadaya masyarakat, dan bahkan masyarakat internasional.
Pengelolaan sumberdaya alam oleh privat (private), atau oleh
negara (state) terbukti tidak menjadi jaminan kelestarian dan
kemanfaatannya. Oleh karena itu, perlu dicari opsi-opsi
pengelolaan yang dapat melibatkan para pihak secara
proporsional, kontekstual, dan diupayakan dengan pendekatan
komprehensif yang mensyaratkan pengelolaan yang lintas batas
(beyond boundary).
Pengelolaan kawasan taman nasional tidak dapat dilakukan
hanya dengan menjaga (pasif) di batas kawasan tersebut.
Kawasan taman nasional dipengaruhi dan mempengaruhi pola-
pola penggunaan lahan dan kebijakan penggunaan lahan di
20
sekitarnya. Oleh karena kompleksitas sumberdaya taman
nasional, maka pengelolaannya harus dilakukan oleh para
pengelola yang memiliki ragam keilmuan.
Tidak cukup hanya sarjana kehutanan saja yang mengelola
suatu taman nasional. Bahkan bidang-bidang keilmuan dasar,
seperti klimatologi, ilmu tanah, geologi, taxonomi, biologi
(termasuk biologi kelautan), sosiologi, antropologi budaya,
sangat diperlukan dalam membantu pengelolaan suatu taman
nasional, di samping ilmu-ilmu terapan lainnya, seperti
kegempaan, kegunungapian, ekonomi sumberdaya, pengelolaan
daerah aliran sungai, geo-information sistem.
Pengelolaan berbasis resort atau resort-based management
(RBM) sebenarnya telah lama diterapkan oleh petugas taman
nasional di masa lalu. Inti sari dari pengelolaan ini adalah
bagaimana staf taman nasional dapat bekerja secara (lebih) rutin
di lapangan. Kehadiran di tingkat lapangan ini sangat penting,
minimal atas dasar dua alasan.
Pertama, bahwa kawasan taman nasional itu ada yang
menjaga. Hal ini penting untuk memberikan pernyataan bahwa
kawasan taman nasional yang luas itu (dimana batas dan tanda-
tandanya seringkali tidak jelas/tidak ada, dengan berbagai
alasannya), ada yang “memiliki”, karena ada yang “menjaga”,
atas nama undang-undang, yang dapat menunjukkan bukti-bukti
atau alas haknya. Dengan demikian, pihak lain yang akan
melakukan tindakan atau mengklaim dengan berbagai alasannya
akan berhadapan dengan pihak pengelola/penjaga taman
nasional tersebut. Masyarakat atau pihak manapun akan berfikir
ulang untuk berspekulasi bahwa kawasan taman nasional itu
adalah lahan tidur, tidak ada yang memiliki maka bisa menjadi
milik siapa saja (no manland).
Kedua, sebagai akibat dari penjagaan yang rutin di tingkat
lapangan itu, maka petugas akan lebih mengenal taman nasional
21
yang dikelolanya. Baik isinya, persoalannya dalam hubungannya
dengan tugas konservasi maupun hubungan antara masyarakat
di sekitar atau yang tinggal di dalam taman nasional atau pihak
lainnya, dengan upaya konservasi yang dilakukannya.
Pemahaman ke dalam dan keluar ini akan membantu petugas
lapangan untuk dapat mengambil sikap dan atau tindakan yang
diperlukan untuk mencegah dan atau melakukan upaya-upaya
persuasif, agar berbagai persoalan dapat diselesaikan dengan
berbagai pendekatan yang tepat, termasuk bagaimana
mengelola konflik-konflik horizontal terkait dengan penggunaan
kawasan atau hasil hutan oleh masyarakat. Demikian pula
potensi-potensi dari dalam kawasan taman nasional yang dapat
dikembangkan di luar kawasan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat, dapat dipotret, sehingga dapat mulai
dibangun “sistem bertetangga” yang baik, saling menghormati
dan saling menguntungkan.
Hal-hal tersebut di atas hanya bisa dilakukan apabila pola
pengelolaan taman nasional dikembalikan ke lapangan, ke
tingkat tapak, atau resort. Mandat pengelolaan di tingkat tapak
atau resort (sebagai unit pengelolaan kawasan terkecil), telah
diamanatkan dalam Permenhut No.03 tahun 2007 tentang
Organisasi dan tata Kerja Balai Taman Nasional; Renstra Ditjen
PHKA (2010-2014) .
Dengan berbagai latar belakang filosofi seperti tersebut di
atas, maka pengelolaan berbasis resort atau RBM adalah suatu
“kendaraan” atau “mean” bagi pengelola taman nasional, untuk
mencapai tujuan (end) pengelolaan taman nasional.
Kendaraan berupa RBM tersebut sangat penting, disamping
untuk mencapai tujuan akhir pengelolaan taman nasional, RBM
diharapkan akan memberikan dampak pada perubahan
paradigma (cara pandang), sikap mental staf (attitude), dan
pengetahuan dan keahliannya (knowledge and skill), untuk
22
membantu organisasi pengelola taman nasional menjadi
organisasi yang lebih bernuansa pro-aktif bukan reaktif, menjadi
organisasi yang selalu belajar dari lapangan (learning
organization), sehingga akhirnya dapat menjadi organisasi yang
dapat bersikap antisipatif, berperilaku mencegah daripada
menyelesaikan keterlanjuran persoalan yang biasanya telah
menjadi besar dan sangat kompleks untuk diselesaikan.
RBM menjadi bagian penting dari proses memperbaiki
“perilaku” organisasi publik seperti organisasi Balai Taman
Nasional, menuju organisasi lebih terbuka (inklusif), lebih efektif
(tepat sasaran), lebih efisien (tepat dalam menetapkan prioritas
dan fokus intervensi/kegiatan per satuan biaya dan waktu), dan
dapat membangun jejaring kerja, sebagai bagian dari
dikembangkannya proses-proses penyadaran bersama
(collective awareness) para pihak yang memiliki kepentingan dan
atau dipengaruhi oleh keberadaan kawasan taman nasional.
Kesadaran kolektif akan mendorong aksi kolektif lintas sektor,
lintas kelembagaan, dan lintas keilmuan, di tataran horizontal
dan vertikal.
RBM menjadi titik awal dari perubahan besar organisasi
pengelola taman nasional saat ini dan ke depan dalam kerangka
filosofi dan konteks perubahan paradigmatik seperti diuraikan di
atas. Namun demikian, RBM juga akan meningkatkan kualitas
berbagai aspek teknis dalam manajemen suatu taman nasional,
khususnya dalam proses “siklus manajemen”.
RBM akan menghasilkan data dan informasi yang lebih
berkualitas, lebih valid, karena menggunakan metode atau
teknik pengumpulan data yang tepat. Aliran data dan informasi
dari bawah ini diharapkan akan memperbaiki sistem siklus
manajemen, mulai dari identifikasi akar masalahmenetapkan
tujuanmenyiapkan perencanaanpelaksanaan
23
monitoringevaluasioutputoutcomesreview terhadap akar
masalah, dan seteruskan menjadi siklus yang terus menerus
memperbaiki dirinya, sebagaimana digambarkan dalam diagram
siklus manajemen berikut ini:
24
Siklus Manajemen dalam konteks Pengelolaan RBM
RBM mendorong dibangunnya sistem kerja yang lebih
terbuka-inklusif, kombinasi antara pendekatan bottom up dan
top down planning.
Yang dimaksud dengan pendekatan top-down adalah
kebijakan yang ditetapkan oleh pusat (Ditjen PHKA dengan
Direktorat terkait) tentang program yang harus dilaksanakan
oleh UPT. Misalnya dalam Renstra Ditjen PHKA 2010-2014 yang
menyatakan bahwa selama 5 (lima) tahun 50 UPT taman
nasional harus melaksanakan konsep RBM.
Yang dimaksud dengan pendekatan bottom up adalah
direncanakannya penerapan konsep RBM dengan mengalokasi
anggaran pelaksanaan konsep RBM. Di tingkat UPT akan
dilakukan proses perumusan tahapan kegiatan yang disiapkan
dari bawah (resort) dan dikoordinasikan oleh seksi wilayahnya
Pengelolaan TN Berbasis Resort
Menyusun
Rencana
Identifikasi
Akar Masalah
Laksanakan
Monitoring
Evaluasi
Output
MenetapkanT
ujuanOutcome
25
masing-masing sebagaimana dimuat dalam pedoman
pelaksanaan RBM.
Dalam proses top-down dan bottom up, terdapat mekanisme
timbal balik yang saling mendukung agar terjadi keterpaduan
dan konsisten sebagai salah satu prasyarat keberhasilan
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan indikator output dan
outcome, sebagaimana tercantum dalam penetapan kinerja UPT.
Penetapan Kinerja UPT tersebut ditandatangani oleh Kepala UPT
dan Dirjen PHKA, berdasarkan Surat Sekditjen PHKA Nomor
S.1226/SET-1/2011 tanggal 20 Mei 2011 (untuk Balai TN) dan
Surat No. S.1343/SET-1/2011 tanggal 1 Juni 2011 (untuk Balai
KSDA). Untuk memastikan terjaminnya keterpaduan dan
konsistensi, pusat akan mendukung kepastian anggaran,
asistensi teknis, dan pendampingan kepada UPT yang tengah
melaksanakan kegiatan.
1. RBM dalam Siklus Manajemen
Setiap resort bukan suatu unit yang mandiri, tetapi
merupakan bagian dari unit pengelolaan taman nasional. Dalam
konteks perencanaan, resort menjadi bagian dari perencanaan
kawasan secara menyeluruh yang dikoordinasikan di tingkat
Seksi Wilayah Pengelolaan, dan dipadukan pada tingkat Balai
sebagai satu kesatuan perencanaan. Pada tahapan pelaksanaan
kegiatan, Balai akan mengkoordinasikan kegiatan berdasarkan
usulan dan kebutuhan di setiap resort. Kendali pelaksanaan
kegiatan menjadi tanggung jawab Seksi Wilayah. Sedangkan
monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan berbasis resort
dilaksanakan oleh Tim Monev di tingkat Balai yang ditetapkan
oleh Kepala UPT. Pada situasi tertentu, konsep pelaksanaan RBM
termasuk sistem monitoring dan evaluasinya dapat dilaksanakan
bersama para pihak.
26
Hasil monitoring dan evaluasi harus dipastikan menjadi
masukan di berbagai tahapan “siklus manajemen” untuk proses
pembelajaran dan sekaligus dapat meningkatkan kinerja dan
atau tujuan pengelolaan taman nasional.
2. Mitos RBM:
Berbagai interpretasi atau pemahaman yang beragam
tentang pengelolaan taman nasional berbasis resort atau RBM
adalah hal yang wajar, mengingat belum adanya pedoman yang
dapat diacu untuk memberikan batasan tentang RBM tersebut.
Beberapa hal yang seringkali disalahfahami sebagai RBM antara
lain adalah sebagai berikut :
(1) Pengelolaan berbasis resort cukup dibuktikan hanya sebatas
membangun kantor resort. Banyak ditemukan di lapangan,
kantor resort yang sudah dibangun, tidak dihuni oleh Kepala
atau staf resort, dengan berbagai alasannya.
(2) Pengelolaan berbasis resort hanya sebatas menjaga (pasif)
dan melindungi kawasan (ekslusif). Pola ini adalah pola lama
yang memang cukup efektif pada masa lalu, namun saat ini
cara ini sudah tidak mampu lagi menyelesaikan berbagai
persoalan kawasan.
(3) Pengelolaan berbasis resort hanya sebatas wacana yang
terjebak pada formalitas kebijakan pusat maupun Kepala
Balai. Kepala Balai Taman Nasional membentuk dan
menerbitkan surat keputusan tentang pengelolaan berbasis
resort, termasuk menetapkan kepala resort dan staf resort,
namun belum ditindaklanjuti dengan penempatan staf di
lapangan.
(4) Pengelolaan berbasis resort hanya sekedar mengumpulkan
data, dan tidak ada tindaklanjut dari perencanaan maupun
27
pelaksanaan dari kegiatan yang diusulkan berdasarkan data
dan informasi yang telah berhasil dikumpulkan oleh resort.
(5) Pengelolaan berbasis resort sulit diterapkan, dengan alasan
keterbatasan dana, sarana dan prasarana, serta luas dan
sulitnya medan yang akan dikelola dengan pola RBM. Sikap
ini akan berlanjut dengan sebatas penerbitan keputusan
Kepala Balai tentang Pengelolaan Berbasis Resort, namun
tidak ada realisasi di tingkat lapangan.
B. Aspek Yuridis
Aspek yuridis yang menjadi landasan dalam merumuskan
sistem pengelolaan taman nasional berbasis resort adalah :
1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah dirubah oleh Undang-undang Nomor 19
tahun 2004.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
7) Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1998 tentang
Perlindungan Hutan.
8) Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan sebagaimana yang
telah dirubah oleh PP No. 03/2008 tentang Perubahan PP
No.6 Tahun 2007.
28
9) Permenhut Nomor 41 Tahun 2010 tentang Pedoman
Penyusunan RPTN
10) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P 56/Menhut-II/2006
tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
11) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 03 Tahun 2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman
Nasional.
12) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenhut.
13) Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor
49/Kpts/Dj-VI/1997 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan
Daerah Penyangga.
14) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No.54/KEP/M/PAN/7/2003 tentang jabatan Fungsional
Pengendali Ekosistem Hutan dan Angka Kreditnya.
15) Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.86/Menhut-II/2004
tentang Petunjuk Teknis jabatan Fungsional PEH dan Angka
Kreditnya
16) Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomo 10
Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan
Fungsional PEH dan Angka Kreditnya.
17) Permenhut P.40 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kehutanan.
18) Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor
SK.181/Kpts/IV/2010 tentang Rencana Strategis Ditjen PHKA
Tahun 2010-2014.
C. Aspek Teknis
Justifikasi teknis perlunya penerapan sistem pengelolaan
berbasis resort pada taman nasional adalah :
29
1) Kawasan taman nasional belum dijaga dengan efektif. Hal
ini disebabkan karena kawasan yang luas, rendahnya
tingkat kehadiran petugas resort dan belum aktifnya
petugas resort dalam melaknakan tugas pemangkuan
kawasan. Sistem penjagaan kawasan sangat ditentukan oleh
kebijakan di tingkat Balai. Apabila hanya terbatas pada
patroli rutin, tanpa ada upaya membangun sistem
penjagaan (secara lebih rutin) dan pengelolaan kawasan di
tingkat resort, maka banyak persoalan kawasan tidak
diketahui dengan pasti akar penyebabnya, sehingga
terkesan ada unsur pembiaran yang berakibat persoalan
menjadi semakin besar dan kompleks.
2) Potensi kawasan taman nasional terutama yang
dimanfaatkan oleh masyarakat belum banyak diketahui
secara komprehensif, baik pola, besaran, nilai ekonomi,
sosial/budaya, maupun dampaknya. Hal ini disebabkan
belum adanya kegiatan di tingkat resort yang diprioritaskan
untuk melakukan pendataan terkait dengan pemanfaatan
potensi kawasan.
3) Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar
taman nasional belum banyak dikenali. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya penugasan bagi staf resort untuk
melakukan identifikasi atau pendataan tentang kondisi
sosial budaya dan ekonomi masyarakat yang tinggal di
dalam maupun di sekitar kawasan taman nasional. Padahal,
data dan informasi tentang tipologi masyarakat ini sangat
penting dalam kaitannya dengan pola interaksi dan
bagaimana menempatkan atau memposisikan masyarakat
dalam mendukung pengelolaan taman nasional.
4) Belum tersedianya data dan informasi tentang kondisi
kawasan taman nasional yang lengkap, valid/akurat, ,
terbarui, dan berkala, sebagai data dasar. Hal ini
30
disebabkan karena petugas resort belum diberikan tugas
untuk melakukan pendataan/pencatatan, dan analisis secara
baik dan sistematis ketika sedang bertugas di lapangan;
5) Eksistensi taman nasional belum banyak dikenal dan
difahami oleh para pihak khususnya masyarakat dan
pemerintah daerah. Hal ini disebabkan karena belum
intensifnya aktifitas komunikasi, penyuluhan, dan sosialisasi
yang dilakukan baik oleh petugas resort, seksi wilayah,
maupun di tingkat balai.
6) Kawasan taman nasional dinilai oleh banyak pihak belum
banyak memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat
sekitar maupun pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara
itu, fakta membuktikan bahwa nilai manfaat ekonomi
taman nasional telah dirasakan oleh masyarakat di
sekitarnya, namun nilai tersebut tidak dihitung sebagai
manfaat nyata.Nilai air pertanian, air konsumsi, penjaga
kesuburan tanah, pencegah erosi, dan lain sebagainya.
7) Pengelolaan taman nasional belum mendapatkan dukungan
secara memadai dari masyarakat dan pemerintah daerah
setempat. Hal ini lebih disebabkan kurang intensifnya
komunikasi dan sosialisasi tentang manfaat nyata
(langsung) maupun manfaat tidak langsung taman nasional
bagi para pihak. Kurangnya data dan informasi dan analisis
tentang nilai ekonomi, ekologi, dan sosial budaya taman
nasional merupakan salah satu faktor penyebabnya.
31
BAB IV. VISI, MISI, STRATEGI DAN TAHAPAN
A. Visi dan Misi
Visi pengelolaan taman nasional berbasis resort adalah “
terwujudnya pengelolaan taman nasional yang lebih efektif dan
efisien sehingga dapat memberi manfaat optimal secara ekologi,
sosial, dan ekonomi ”
Sejalan dengan rumusan visi tersebut , maka pengelolaan
taman nasional berbasis resort memiliki misi sebagai berikut :
1) Memantapkan kelembagaan resort melalui pemantapan
organisasi resort, seksi wilayah, peningkatan SDM,
penyediaan sarana-prasarana, dan dana operasional yang
memadai.
2) Meningkatkan kinerja resort melalui penyempurnaan tata-
hubungan kerja dan prosedur kerja resort, antar resort,
resort-seksi wilayah-balai, sesuai tugas pokok dan
fungsinya.
3) Mengembangkan kajian dalam rangka menetapkan tipologi
resort sebagai dasar menetapkan opsi pengelolaan atau
menetapkan usulan prioritas kegiatan resort.
4) Mengarahkan hasil kerja resort sebagai bagian dari proses
perencanaan dari bawah (bottom-up planning), dan
menempatkan resort sebagai ujung tombak pelaksanaan
kegiatan di bawah koordinasi seksi wilayah.
5) Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap
pengelolaan taman nasional melalui peningkatan
pemahaman terhadap konservasi sumberdaya alam,
32
6) Meningkatkan dukungan para pihak terhadap pengelolaan
taman nasional, melalui berbagai bentuk kerjasama di
tingkat lokal.
B. Strategi
Sebagai unit pengelolaan terkecil dari taman nasional, resort
pada dasarnya terdiri dari tiga unsur manajemen yaitu:
masukan/input (SDM, sarpras, anggaran), proses (norma standar
prosedur kerja/ NSPK), dan keluaran/output (data dan informasi
dikelola dianalisis, kawasan dikelola dengan lebih efektif).
Berdasarkan hal tersebut maka untuk mewujudkan pengelolaan
taman nasional berbasis resort dilakukan strategi sebagai
berikut :
Pertama, menguatkan kelembagaan resort. Strategi ini
dilakukan melalui pemantapan keorganisasian resort, seksi
wilayah, peningkatan SDM, peningkatan sarana-prasarana, dan
dukungan anggaran yang memadai..
Kedua, menetapkan norma standar prosedur kerja/ NSPK
resort dan seksi wilayah. NSPK ini menjadi acuan bagi seluruh
petugas resort dan seksi wilayah dan seluruh jajaran UPT dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Ketiga, memanfaatkan hasil kerja petugas resort dalam
penyusunan rencana tahunan UPT. Strategi ini dilakukan melalui
pemanfaatan data dan informasi yang dikumpulkan oleh petugas
resort sebagai bahan untuk menentukan tipologi resort, dan
selanjutnya tipologi setiap resort akan menentukan usulan
kegiatan tahunannya. Kompilasi usulan kegiatan disetiap resort
yang dianalisis oleh seksi wilayah akan dijadikan dasar
penyusunan usulan kegiatan pada tingkat UPT yang akan
diusulkan ke pusat.
33
Keempat, memposisikan resort sebagai ujung tombak
pelaksanaan kegiatan. Hasil usulan kegiatan di setiap resort
yang didasarkan pada tipologi resort, dilaksanakan oleh resort
yang bersangkutan di bawah koordinasi seksi wilayah, sehingga
dapat dilakukan kerjasama dan belajar bersama antar resort
khususnya yang memiliki tipologi yang relatif sama.
C. Tahapan
Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan,
penerapan sistem pengelolaan taman nasional berbasis resort
dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut :
1. PERENCANAAN a. Hirarki Perencanaanb. Mekanisme Penyusunan Rencanac. Sistematika Dokumen Perencanaan TN Berbasis Resort
2. PRAKONDISI KELEMBAGAANa. Pembentukan Tim Penyusun RBMb. Penguatan Kelembagaanc. Pembangunan Sisitem Informasi Manajemen
3. PEMANTAPAN KAWASANa. Pengukuhan Kawasanb. Penataan Kawasan
Zonasi Wilayah Kerja
c. Pengamanan dan Penjagaan
4. PELAKSANAAN a. Perlindunganb. Pengawetanc. Pemanfaatand. Koordinasi Pembinaan Daerah Penyanggae. Manajemen Data dan Informasi
34
5. MONITORING DAN EVALUASI
Tahapan pembangunan pengelolaan taman nasional
berbasis resort dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2. Tahapan Pelaksanaan Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Resort
Tahapan pelaksanaan sistem pengelolaan taman nasional berbasis resort
TAHAP PERENCANAAN
Penyusunan Rencana Pengelolaan Berbasis Resort
Penyusunan Rencana Pengelolaan Berbasis Resort
PEMBENTUKAN TIM KERJAPEMBENTUKAN TIM KERJA
TAHAP PELAKSANAAN
Penguatan Kelembagaan
Penguatan Kelembagaan
Penataan ResortPenataan Resort Pembangunan Sistem Informasi
Manajemen
Pembangunan Sistem Informasi
Manajemen
MONITORING DAN EVALUASIMONITORING DAN EVALUASI
Perlindungan Ekosistem
Perlindungan Ekosistem
Pengawetan Jenis
Pengawetan Jenis
Pemanfaatan Secara LestariPemanfaatan Secara Lestari
Pembinaan Daerah Penyangga
Pembinaan Daerah Penyangga
35
BAB V. PERENCANAAN
Perencanaan adalah suatu proses kegiatan penentuan
tindakkan atau langkah-langkah yang dilakukan secara
terkoordinasi, terpadu, dan terarah untuk mencapai tujuan dalam
waktu tertentu dengan mempertimbangkan faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan
ancaman).
Rencana pengelolaan taman nasional berbasis resort
merupakan dokumen yang akan menjadi acuan bagi pengelola
taman nasional dalam pelaksanaan pengelolaan berbasis resort
untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam
pengelolaan taman nasional sebagaimana dicantumkan dalam
Rencana Pengelolaan Taman Nasional.
Rencana pengelolaan taman nasional berbasis resort
disusun oleh tim kerja RBM dan dilaporkan kepada Dirjen PHKA.
Rencana pengelolaan taman nasional berbasis resort disusun
dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan
kebijakan terkait (pedoman, juklak, dan juknis).
2. Mengacu pada Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman
Nasional.
3. Mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman).
4. Disusun secara partisipatif, akomodatif dan inovatif dengan
berorientasi pada pencapaian tujuan pengelolaan taman
nasional.
5. Perencanaan pengelolaan berbasis resort harus merupakan
proses dialogis, sehingga terbangun suatu mekanisme
36
umpan balik terhadap keseluruhan proses pengelolaan
taman nasional.
A. Hirarki Perencanaan
Perencanaan dalam pengelolaan taman nasional berbasis
resort mengacu pada Pasal 31, Permenhut No.
03/Menhut-II/2007). Perencanaan pengelolaan taman nasional
berbasis resort mengoptimalkan setiap unit kerja dalam tubuh
organisasi pengelolaan taman nasional dengan cara memberikan
peran yang jelas dalam mendukung pengelolaan taman nasional
berbasis resort. Hirarkhi perencanaan, kedudukan dan muatan
masing-masing rencana kerja berdasarkan hirarki perencanaan
dan struktur kelembagaan taman nasional adalah sebagai
berikut:
Table 1. Kedudukan dan Muatan Dokumen Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional
Dokumen Kedudukan Muatan
Rencana Pengelo-laan Taman Nasional (RPTN) 20 Tahun
Penjabaran tujuan pengelo-laan taman nasional yang berpedoman pada dasar pe-nunjukan atau penetapannya
- Visi dan penjabarannya- Misi - Arah pengelolaan taman nasional
Rencana Kerja 5 Tahun (RENSTRA) atau RKL/5 Tahun
Berpedoman kepada RPTN Visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan indikatif pengelolaan taman nasional sesuai dengan tugas dan fungsi balai taman nasional.
Rencana Kerja 5 Tahun Berbasis Re-sort
Berpedoman Kepada RPTN dan Rencana Strategis
Visi, misi, tujuan, strategi, tahapan, program dan kegiatan
Rencana Kerja 1 Tahun (RKT)
Berpedoman pada Rencana Strategis dan Rencana RBM
Kebijakan, program dan kegiatan pengelolaan kawasan taman nasional, baik yang dilakukan oleh pengelola (BTN, Bidang Wilayah, Seksi Wilayah, Resort) maupun yang ditempuh dengan mendorong pastisipasi masyarakat.
Rencana Kerja Balai Taman Nasional 1 Tahun
Berpedoman pada Renja Taman Nasional
Program dan kegiatan pengelolaan taman nasional yang lingkup urusannya lintas bidang wilayah atau seksi wilayah.
37
Renja Kerja Bidang Wilayah 1 Tahun
Berpedoman pada Renja Taman Nasional
Program dan kegiatan pengelolaan taman nasional yang lingkup urusannya lintas seksi wilayah.
Renja Kerja Seksi Wilayah 1 Tahun
Berpedoman pada Renja Taman Nasional
Program dan kegiatan pengelolaan taman nasional yang lingkup urusannya lintas resort
Rencana Kerja Re-sort 1 Tahun
Berpedoman pada Renja Taman Nasional
Program dan kegiatan teknis pengelolaan taman nasional di tingkat tapak
Konstruksi perencanaan taman nasional berbasis resort
menitikberatkan pada inisiatif resort sebagai ujung tombak
pengelolaan di tingkat tapak. Kepala Seksi Wilayah
menyelenggarakan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan
sinergi perencanaan pembangunan antar resort di wilayahnya
masing-masing. Sementara Kepala Bidang Wilayah
menyelenggarakan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan
sinergi perencanaan pembangunan antar seksi wilayah di
wilayahnya masing-masing. Kemudian Kepala Taman Nasional
menyelenggarakan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan
sinergi perencanaan pembangunan antar bidang wilayah.
B. Mekanisme Penyusunan Rencana
Penyusunan rencana pengelaan resort dilaksanakan secara
terpadu dari atas dan dari bawah (top down and bottom up
planning). Proses top-down (atas bawah) merupakan langkah-
langkah penyampaian batasan umum oleh balai taman nasional
kepada resort tentang penyusunan rencana kerja. Batasan
umum ini mencakup prioritas program dan kegiatan yang
berorientasi pada pengembangan potensi yang dimiliki kawasan
dan penanganan permasalahan yang dihadapi taman nasional.
Dalam batasan ini, resort diberi keleluasaan untuk merancang
program dan kegiatan untuk pencapaian sasaran pengelolaan
taman nasional yang telah disepakati. Rancangan ini secara
berjenjang dikoordinasikan, diintegrasikan, disingkronisasikan
dan disinergikan oleh seksi wilayah dan bidang wilayah untuk
38
selanjutnya disampaikan kembali ke balai taman nasional untuk
selanjutnya diserasikan secara terpadu dan sinergis. Inilah inti
dari proses botton-up (bawah-atas).
A. SISTEMATIKA DOKUMEN PENGELOLAAN TN BERBASIS RESORT
Dokumen rencana pengelolaan taman nasional berbasis
resort, disusun dengan kerangka sebagai berikut :
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
KEADAAN UMUM TAMAN NASIONAL
Letak, Luas, Sejarah Pembentukan Kawasan
BioFisik Kawasan
Daerah Aliran Sungai
Sosekbud Masyarakat
Tipologi Daerah Penyangga
Perkembangan Pembangunan Wilayah
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
Visi dan Misi
Tujuan dan Sasaran
Strategi
Program Prioritas
RENCANA PENGELOLAAN BERBASIS RESORT
Perencanaan
i. Manajemen Kawasan :
1. Pengukuhan Kawasan
39
2. Penataan Ruang: Zonasi, Wilayah Kerja dan Tipologi Resort
3. Pengamanan dan Penjagaanii. Manajemen Sumberdaya Alam Hayati :
1. Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan2. Pengawetan Keanekaragaman Hayati3. Pemanfaatan Lestari4. Koordinasi Pemberdayaan Daerah Penyangga
iii. Manajemen Kelembagaan:
1. Kepemimpinan (leadership)
2. Penataan organisasi (struktur, tata hubungan kerja,
kelola siklus keproyekan, kelola keuangan)
3. Sumberdaya manusia (budaya kerja, kompetensi,
pembinaan, reward and punishment)
iv. Pelaksanaanv. Monitoring dan Evaluasi
PENUTUP
LAMPIRAN :
1. Peta Batas Administrasi Taman Nasional
2. Peta Wilayah Kerja Seksi
3. Peta Wilayah Kerja Resort
4. Peta Zonasi
5. Peta Tipologi Daerah Penyangga
6. Peta Tematik :
a. Peta Geologi, Jenis Tanah, Kelerengan
b. Peta DAS/Sub DAS
c. Peta Aksesibilitas
d. Peta Sebaran Potensi Jasling dan Wisata Alam
e. Peta Sebaran Tipe Ekosistem
f. Peta Indikasi Kerusakan/Gangguan Kawasan
g. Peta Indikatif Sebaran Desa/Kampung
h. Peta Indikasi Sebaran Satwa
40
BAB VI. PELAKSANAAN
A. Pembentukan Tim Kerja RBM
Pelaksanaan sistem pengelolaan taman nasional berbasis
resort diawali dengan dibentuknya tim kerja RBM yang
ditetapkan berdasarkan surat keputusan kepala UPT (Kepala
Balai Besar/ Balai Taman Nasional). Tim kerja RBM bertugas
menyusun dokumen rencana pengelolaan taman nasional
berbasis resort, mengawal pelaksanaannya mulai dari tahap
perencanaan, prakondisi, pelaksanaan, sampai tahap monitoring
dan evaluasi. Anggota tim kerja harus mempunyai kompetensi
berdasarkan kualifikasi kemampuan yang dibutuhkan sekaligus
memiliki integritas yang baik berdasarkan rekam jejaknya. Kerja
awal dilakukan desk study dan analisis terhadap dokumen-
dokumen perencanaan (rencana pengelolaan, zonasi, BATB, peta
tata batas, peta citra, peta google, berbagai laporan survai,
laporan kejadian (LK), dan hasil-hasil riset dan monitoring yang
relevan). Apabila diperlukan, ditindaklanjuti dengan groundcheck
ke lapangan, mengambil sampel atau melakukan wawancara
semi terbuka dengan key stakeholders, antara lain dengan tokoh
formal, informal di tingkat desa atau dusun, mantan staf yang
memiliki pengetahuan tentang sejarah penataan batas kawasan
di wilayah kerjanya, persoalan-persoalan kawasan di masa lalu;
diskusi juga perlu dilakukan dengan kelompok masyarakat atau
lembaga swadaya masyarakat yang aktif membantu dan
memiliki pengalaman lapangan.
Tim Kerja yang ditugasi menyiapkan sistem pengelolaan
berbasis resort harus didukung pendanaannya melalui DIPA,
sehingga dapat bekerja secara efektif dan efisien, tanpa
terkendala masalah pendanaan. Tim Kerja ditugasi dengan
41
target waktu 1 (satu) tahun anggaran, dan diharapkan sudah
mampu menghasilkan draft-1 Pengelolaan Taman Nasional
Berbasis Resort.
B. Penguatan Kelembagaan
1. Kepemimpinan (leadership)
Kepemimpinan dalam perencanaan dan pelaksanaan
konsep RBM sangat menentukan. Pemimpin menentukan
arah (visi), cara mencapainya (misi dan strategi), dan
menetapkan secara bersama-sama tahapan pelaksanaan
RBM. Pemimpin juga memberikan contoh, mendorong
motivasi kerja dan budaya kerja baru, dan mengawal
proses pembelajaran. Pemimpin akan memberdayakan
potensi-potensi staf pelaksana RBM, sehingga dapat
dibangun pola kerja baru dan sekaligus dapat dibangun
cikal bakal pemimpin baru masa depan.
2. Penataan organisasi (struktur, tata hubungan kerja, kelola
”siklus manajemen”, dan kelola keuangan)
Dalam membangun RBM perlu dilakukan kajian dan
analisis tentang struktur organisasi, tata hubungan kerja
Balai-Seksi-Resort; analisis terhadap pola ”siklus
manajemen” yang dilakukan saat ini dan implikasinya
dalam tata kelola keuangan dan pelaporan. RBM akan
memerlukan perubahan-perubahan yang mendasar dari
berbagai mekanisme ”manajemen organisasi” tersebut di
atas.
3. Sumberdaya manusia (budaya kerja, kompetensi, reward
and punishment)
Pengelolaan sumberdaya manusia, termasuk analisa
kebutuhan kompetensi, rencana aksi peningkatan
kapasitas dan alokasi sumberdaya manusia; membangun
42
nilai-nilai organisasi dan budaya kerja, dan membangun
sistem penghargaan, insentif/disinsentif, dan pola
pembinaan.
C. Penataan Resort
Penataan kawasan merupakan langkah pertama yang harus
dilaksanakan dalam pengelolaan taman nasional agar kawasan
tersebut dapat dikelola secara sistematis dan efektif sesuai
tujuan yang ditetapkan. Dalam rangka pengelolaan taman
nasional berbasis resort, dua tahap penataan kawasan yang
harus dilakukan adalah :
Penataan kawasan taman nasional dilaksanakan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. Prakondisi Penataan Resort
Pada tahapan ini, sebagian besar adalah melakukan analisis
informasi sekunder (desk-study) tentang dokumen-dokumen
internal kawasan, seperti dokumen perencanaan yang telah ada
(Rencana Pengelolaan, Rencana Lima Tahunan atau Renstra,
Zonasi, kondisi dan status tata batas kawasan; kelengkapan
peta-peta kawasan-peta-peta dasar, antara lain peta geologi,
peta geomorfologi, peta jenis tanah, peta iklim, peta topografi;
Dokumen-dokumen eksternal (dari Pemprov/Pemkab), antara lain
tentang peta dan (draft) Perda tata ruang provinsi/kabupaten,
Renstra Pemprov/Pemkab, dokumen rencana pembangunan
infrastruktur, dan lain sebagainya; Hasil-hasil kajian tentang
potensi kawasan, survei spesies, kajian pembangunan daerah,
43
kajian pola penggunaan ruang, kesesuaian lahan; kajian tentang
pengembangan daerah, pemekaran desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi; potensi pertambangan, perkebunan,
pertanian, perikanan, industri, untuk mengetahui dan mengkaji
potensi konflik kepentingan di kemudian hari, terkait dengan
pengembangan daerah penyangga kawasan konservasi. Salah
satu hasil kajian terpenting pada tahap pertama adalah plotting
batas kawasan ke dalam peta citra satelit , untuk mengetahui :
1) batas indikatif kawasan dan kondisi kawasan di dalam batas
tersebut, adanya pola-pola pembukaan yang mengarah
berbagai bentuk gangguan, yang mengarah ke deforestasi
kawasan;
2) batas antara kawasan dengan batas-batas administrasi desa,
kecamatan, kabupaten dan provinsi;
3) pola pembukaan kawasan yang mungkin mengarah ke
deforestasi, dikaitkan dengan jaringan jalan, sungai, dan pola
dan trend penggunaan lahan, dan
4) titik-titik di mana diprediksi sudah atau dapat dikembangkan
potensi-potensi kawasan, baik wisata alam maupun jasa
lingkungan.
b. Pembuatan Peta Indikatif Penataan Kawasan dan Cek
Lapangan
Tim Kerja membuat Peta Dasar Penataan Kawasan (PDPK)
dengan skala antara 1:100.000 s/d 1:25.000. PDPK telah
menggambarkan secara indikatif pembagian kawasan ke dalam
wilayah-wilayah pengelolaan, baik seksi wilayah maupun resort,
dan secara indikatif sudah mulai menunjukkan arahan zonasi.
PDPK dihasilkan dari proses tumpang susun (overlay) antara lain
peta-peta :
a) peta citra terakhir di kawasan dan daerah penyangga.
44
b) peta indikatif “open area” yang diduga sebagai
perambahan.
c) peta (indikatif arahan) zonasi.
d) peta kajian vegetasi/sebaran flora dan atau fauna.
e) peta batas kawasan-peta penunjukan/penetapan.
f) peta topografi.
g) peta jaringan jalan dan sungai.
h) peta tata guna lahan di daerah penyangga.
i) peta-peta lain yang relevan.
PDPK yang dihasilkan pada tahapan pertama dan dijadikan
dasar untuk melakukan groundchecking dan wawancara dengan
key stakeholders, dengan fokus bahasan pada pembagian
kawasan ke dalam wilayah-wilayah pengelolaan, yaitu Seksi
Wilayah dan Resort, yaitu menentukan batas-batas alam (sungai,
anak sungai, punggung bukit, gunung, alur, jalan) yang dapat
dipakai sebagai penanda batas dan luas wilayah pengelolaan di
tingkat Seksi Wilayah maupun Resort yang merupakan unit
manajemen terkecil dari taman nasional. Penggunaan batas
alam tersebut akan lebih efektif dan memudahkan bagi
pengelola untuk mengenali di lapangan.
Pokok bahasan diarahkan pula pada “persoalan”, konflik,
dan “potensi” yang ada di Seksi Wilayah dan Resort, dalam
kaitannya dengan batas desa/dusun, pola interaksi desa/dusun
dengan kawasan, dan sebagainya.
PDPK dapat dijadikan salah satu acuan awal untuk
menghubungkan pola-pola interaksi desa-kawasan yang
diterjemahkan menjadi peta sketsa dalam konstelasi sejarah
(time series analysis), yang disusun secara partisipatif bersama
aparat desa/dusun, tokoh pemuda, LSM melalui Diskusi
Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion-FGD). Metode
45
Participatory Rural Apprisal (PRA) dapat digunakan dalam proses
dialog multipihak ini.
Hasil dari PRA ini dimasukkan ke dalam sistem database di
tingkat Seksi Wilayah atau UPT Taman Nasional. Peta sketsa ini
sangat penting untuk mengetahui gambaran spasial pola
interaksi desa-kawasan atau kegiatan ekonomi desa yang
bersumber dari kawasan taman nasional.
c. Pembuatan Revisi Peta Pembagian Wilayah Kerja Resort.
Hasil dari groundcheck dan FGD dijadikan dasar untuk
melakukan revisi batas kawasan di tingkat Seksi Wilayah dan
Resort. Hasil ikutan terpenting dari FGD antara lain agar Profil
atau Tipologi Seksi dan Profil atau Tipologi Resort dapat mulai
digambarkan lebih jelas. Profil ini menggambarkan kondisi
tutupan lahan di Seksi/Resort, yang dapat mengindikasikan
seberapa luas areal-areal terbuka dan pola sebarannya; pola-
pola interaksi dan ketergantungan desa-desa atau dusun-dusun
dengan kawasan dikaitkan dengan areal-areal terbuka; persoalan
batas-batas kawasan dengan desa/dusun.
Pada tahap ini, mungkin saja sudah muncul berbagai
informasi tambahan seperti kelembagaan-kelembagaan lokal
yang berpotensi menjadi mitra, aspirasi lokal menyangkut
persoalan-persoalan atau konflik-konflik yang dihadapi oleh
desa/dusun, terkait dengan kawasan dan potensi di dalamnya.
Termasuk informasi tentang opsi-opsi penempatan Kantor Seksi
Wilayah atau Kantor Resort yang layak dan tepat; rencana
pembangunan sistem komunikasi antar Resort dan Resort ke
Kantor Seksi Wilayah.
D. Pemantapan Kelembagaan Resort
1. Tugas Pokok Resort
46
Sesuai Pasal 31 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Taman Nasional, untuk meningkatkan efektifitas
pengelolaan taman nasional maka dapat ditetapkan resort yang
merupakan jabatan non struktural dengan keputusan kepala Unit
Pelaksana Teknis (UPT) taman nasional.
Sebagai unit manajemen terkecil pengelolaan taman
nasional, resort mempunyai visi mengemban tiga pilar
konservasi yaitu perlindungan ekosistem, pengawetan jenis flora
dan fauna, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam
hayati.
Adapun tugas pokok resort sebagai berikut :
Tugas internal :
1. Memelihara pal batas kawasan, termasuk membuat
laporan tertulis apabila terjadi persoalan di lapangan
seperti pal yang rusak, hilang atau dipindahkan oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggungjawab.
2. Melakukan penjagaan, patroli dan operasi pengamanan
kawasan. Hasil dari kegiatan ini dijadikan bahan dasar
untuk menyiapkan peta kerawanan kawasan dikaitkan
dengan aksesibilitas, peta pemain, jaringan pemain, yang
mungkin berkaitan dengan kondisi di tingkat desa atau
kecamatan.
3. Melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana kehutanan,
dengan memprioritaskan targetnya pada aktor intelektual
serta membuat laporan tertulis kepada seksi wilayah.
Apabila diperlukan, Resort harus didukung oleh
Koordinator Polhut dan PPNS untuk menindaklanjuti.
47
4. Melakukan pendataan/inventarisasi potensi
keanekaragaman hayati. Resort harus didukung oleh PEH
dan mitra taman nasional.
5. Melakukan monitoring populasi dan habitat tumbuhan dan
satwa liar dilindungi. Resort akan didukung dan didampingi
oleh PEH dan mitra taman nasional.
6. Melakukan upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran
hutan, dnegan mendorong dikembangkannya kelompok-
kelompok masyarakat yang membantu, seperti Masyarakat
Peduli Api (MPA) sebagaimana yang telah dikembangkan di
beberapa UPT.
7. Monitoring dan pendataan potensi atau pemanfaatan jasa
lingkungan dan wisata alam, yang menyangkut lokasi,
potensi yang dapat atau sudah dikembangkan, dampak
positif dan negatif dari kegiatan pemanfaatan jasa
lingkungan atau wisata alam, pelaku yang
bertanggungjawab apabila belum mendapatkan ijin namun
telah dilakukan kegiatan di lapangan.
Tugas eksternal :
1. Membangun komunikasi dengan tokoh formal dan informal
desa-desa di sekitar kawasan, sebagai awal untuk
kerjasama jangka panjang terkait dengan persoalan
kawasan, pengamanan dan pengelolaan taman nasional,
mengetahui tingkat dan pola ketergantungan masyarakat-
taman nasional, dan persoalan lainnya yang berpotensi
mengganggu keutuhan kawasan.
2. Melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang batas
kawasan, tujuan pengelolaan taman nasional atau
pentingnya upaya konservasi kepada masyarakat sekitar.
Termasuk di dalamnya, membangun mekanisme yang
disepakati dalam menyelesaikan berbagai kesalahfahaman
48
atau konflik yang terjadi terkait dengan kawasan, status
hukum kawasan, hak-hak ulayat dan akses masyarakat ke
dalam kawasan, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya,
Resort harus dibantu oleh Penyuluh Kehutanan.
3. Melakukan koordinasi dengan para pihak di tingkat desa
dan kecamatan. Hal ini penting terkait dengan berbagai
program pembangunan di tingkat desa atau kecamatan
yang dapat berdampak langsung maupun tidak langsung
bagi kelestarian kawasan taman nasional. Misalnya,
berpartisipasi dalam Rakorbang Kecamatan, program
pembangunan jalan desa, jalan antar desa yang melewati
kawasan akan berdampak pada kawasan. Apabila
diperlukan, Resort harus dibantu Kepala Seksi Wilayah
untuk berkomunikasi di tingkat Kecamatan.
4. Melakukan uji coba kerjasama dengan kelompok-kelompok
masyarakat pada skala kecil dan melakukan pembelajaran
untuk mengetahui kemanfaatan kerjasama bagi upaya
pelestarian kawasan dan bagi masyarakat.
2. Struktur Organisasi Resort
Sesuai struktur organisasi Balai Besar / Balai Taman
Nasional, resort merupakan unit manajemen terkecil yang
bersifat non struktural di bawah Seksi Pengelolaan Taman
Nasional (SPTN). Agar resort dapat mengemban fungsi
pemangkuan terhadap bagian kawasan taman nasional yang
menjadi wilayah kerjanya, maka pada setiap resort harus
terdapat tenaga fungsional Polisi Kehutanan (Polhut), Pengendali
Ekosistem Hutan (PEH), dan penyuluh kehutanan. Selain itu
untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi umum pada
setiap resort harus terdapat tenaga non struktural. Kedudukan
49
resort dalam struktur organisasi Balai Besar Taman Nasional dan
Balai Taman Nasional dapat dilihat pada Gambar 3. dan Gambar
4. Sedangkan struktur organisasi resort dapat dilihat pada
Gambar 5.
Tabel 3. Jenis Pengeluaran Resort
No. Jenis Anggaran
1. Honor kepala resort selaku koordinator
2.Pengadaan logistik (makanan, minuman, dan
BBM )3. Pengadaan alat –alat rumah tangga
Balai Besar Taman Nasional
Balai Besar Taman Nasional
Bidang Teknis Konservasi Taman Nasional
Bidang Teknis Konservasi Taman Nasional
Bidang Pengelolaan Taman Nasional
Bidang Pengelolaan Taman Nasional
Bagian Tata UsahaBagian Tata Usaha
Seksi PengelolaanTaman Nasional
Seksi PengelolaanTaman Nasional
ResortResort
Kelompok Jabatan Fungsional
Kelompok Jabatan Fungsional
50
4. Pengadaan ATK dan penggandaan
5. Pengadaan bahan dan alat survey lapangan
6. Upah kerja pelaksanaan tugas minimal resort
D. Pembangunan SIM
Sistem Informasi adalah sekumpulan komponen informasi
yang saling terintegrasi untuk mencapai tujuan spesifik, berupa:
input, model, output, teknologi, basis data, kontrol dan
komponen pengendalinya. Sistem informasi (SI) memiliki
peranan strategis baik sebagai baseline maupun alat kendali
pengelolaan kawasan. Sistem informasi manajemen (SIM)
berfungsi untuk mendukung decision support system (DSS) pada
level UPT dan Pusat. Melalui berbagai metode analisis, dinamika
kawasan dan kecenderungan akan mudah diperkirakan. Hal ini
akan sangat membantu untuk pengambilan keputusan secara
cepat, tepat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara teknis
dan anggaran.
Secara umum, kebutuhan akan sistem informasi
pengelolaan kawasan taman nasional di Indonesia masih belum
optimal di tingkat UPT dan Pusat. Sampai saat ini, PHKA masih
kesulitan untuk menyajikan dinamika kawasan konservasi karena
belum tersedianya sistem koleksi data dari Resort ke Balai. UPT
yang telah membangun sistem informasi tidak dapat
meneruskan data-datanya karena tidak ada sistem yang
mengatur aliran data ke pusat. Hampir semua prosesnya
dilakukan secara manual.
Pengembangan sistem informasi yang menghubungkan UPT
dan jejaringnya di pusat (PHKA) merupakan tool strategis dalam
mendukung pembangunan RBM. Skenario pembangunan SIM
dilakukan sebagai berikut:
51
Gambar. Skenario Pembangunan SIM
Dalam konteks RBM dan SIM, resort merupakan satuan unit
informasi terkecil berbasis pada informasi perlindungan,
pengawetan, pemanfaatan kawasan dan daerah penyangga. SIM
dibangun dengan tujuan:
1. Revitalisasi resort sebagai unit informasi pemangkuan kawasan dengan pola koleksi data yang terstruktur, membantu penyusunan rencana kerja dan pertanggungjawaban anggaran operasionalnya.
2. Menyediakan data dan informasi terolah secara statistikal maupun spasial yang memudahkan UPT menganalisis dinamika kondisi kawasan dan daerah penyangga serta monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan.
3. Mendukung aliran data ke Pusat PHKA sebagai bahan decicion support system (DSS).
52
PROSES ALIRAN DATA
RESORTSistem
Aplikasi(SEKSI)
SERVERBALAI
(Spasial/nonspasial)
InputData
Koleksi Data
SERVERPHKA
(Spasial/nonspasial)
User d i Balai
Pengolah/Penyajidata dan statistik
FungsionalPEH/Penyuluh
Fungsional Polhut
U rusan Kepegawaian
Urusan Konservasi
User d i D irektorat T eknis
Pemanfaatan JasaLingkungan KawasanKonservasi dan Hutan
Lindung
KonservasiKeanekaragaman Hayati
Sekretaria t D irektoratJendera l
Kawasan Konservasi danBina Hutan L indung
Pengendalian KebakaranHutan
Penyid ikan danPengamanan Hutan
K A W A S A NR E S O R T
T a llyshee t
Catatan:Tally sheet (formulir isian) yang harus diisi oleh petugas Resort adalah sebagai berikut :
Formulir 1 : Tata Batas
Formulir 2 : Infrastruktur dalam Kawasan dan daerah Penyangga
Formulir 3 : Gangguan Kawasan
Formulir 4 : Perjumpaan Satwa
Formulir 5 : Daya dukung Habitat
Formulir 6 : Survai Vegetasi
Formulir 7 : Wisata dan Jasa Lingkungan
Formulir 8 : Tipologi Daerah Penyangga
Protokol Data
53
Dalam RBM, setiap unit kerja memiliki tugas yang spesifik. Tugas
utama resort adalah melakukan pengamatan, pencatatan,dan
pelaporan dengan menggunakan Formulir isian (Tally Sheet), dan
melaporkannya untuk setiap periode tertentu kepada Seksi
Wilayah. Sedangkan input data tally sheet dilakukan oleh Seksi
Wilayah dengan menggunakan ”Sistem Informasi RBM” .
Hasilnya berupa data elektronik non spasial, dilaporkan ke Balai,
untuk diolah menjadi informasi spasial dan statistik. Informasi ini
menjadi dasar bagi Balai untuk melakukan perencanaan dan
atau solusi terhadap berbagai persoalan atau potensi pada setiap
resort atau beberapa resort dengan tipologi yang hampir sama.
No ORGANISASI TUGAS1 Resort/ unit setingkat resort 1. pengamatan
2. pencatatan3. pelaporan
2 Seksi Pengelolaan Taman Nasional (Seksi)
1. sortasi, kompilasi, dan entri data dalam SIM
2. analisis data 3. pengiriman data ke server Balai4. rekomendasi teknis ke
Balai/Bidang dan Kebijakan Internal lingkup Seksi
3 Bidang Pengelolaan Taman Nasional (Bidang)
1. analisis data 2. pelaporan ke Balai3. supervisi dan pendampingan4. rekomendasi teknis ke Balai dan
Kebijakan Internal lingkup Bidang4 Balai 1. analisis data
2. pengiriman data ke server PHKA3. menyediakan perlengkapan yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan SIM
4. usulan penganggaran SIM5. pencermatan tipologi resort6. bahan untuk perencanaan dan
menetapkan skala prioritas bagi setiap resort
7. bahan usulan prioritas investasi di tingkat Balai
8. supervisi dan pendampingan di tingkat Seksi
9. publikasi untuk kepentingan
54
No ORGANISASI TUGASinternal dan atau eksternal
5 Direktorat Teknis PHKA 1. menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan
2. pemeliharaan sistem3. penganggaran4. entri data dalam SIM5. analisis data6. supervisi dan pendampingan7. rekomendasi teknis untuk
penyusunan prioritas kebijakan internal
6 Administrator 1. pemeliharaan sistem2. pengelolaan database3. pengembangan database4. analisa data5. penyajian informasi6. pelayanan/fasilitasi kepada
pengelola SIM di UPT/PHKA
55
BAB IX. MONITORING DAN EVALUASI
Monitoring bertujuan untuk memperoleh data dan informasi
tentang pelaksanaan pengelolaan taman nasional berbasis resort
yang sedang dilaksanakan. Monitoring dilakukan oleh Balai
dalam jangka waktu tertentu (misalnya setiap 3 bulan), dengan
maksud agar seri kegiatan yang dilakukan dapat mencapai
output yang telah ditetapkan.
Evaluasi bertujuan untuk menilai tingkat keberhasilan
pelaksanaan penerapan sistem pengelolaan berbasis resort pada
akhir tahun. Evaluasi dilakukan oleh Balai bersama dengan
Direktorat KK dan BHL. Hasil evaluasi akan bermanfaat
memberikan umpan balik kepada Balai dalam memperbaiki
kinerja RBM di wilayahnya.
56
BAB X. PENUTUP
Pedoman ini merupakan acuan dalam penerapan sistem
pengelolaan taman nasional berbasis resort. Hal-hal yang secara
teknis belum cukup diatur dalam pedoman ini agar diatur lebih
lanjut oleh UPT taman nasional yang disesuaikan dengan kondisi
setempat.
57