drama daerah - ftp.unpad.ac.id filedaerah istimewa di indonesia. disusul kehadiran aceh se-bagai...

1
N EGARA Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi adalah bangsa yang sa- ngat majemuk, baik dari sisi etnik, agama, maupun adat istiadat. Semuanya memiliki ciri khas dan keistimewaan masing-masing. Keistimewaan itu bahkan diakui dalam un- dang-undang (UU). UU Nomor 3 Tahun 1950 adalah UU pertama yang me- nempatkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa di Indonesia. Disusul kehadiran Aceh se- bagai daerah istimewa yang kedua melalui UU Nomor 44 Tahun 1999. Status istimewa Aceh itu berubah pada 2001 seiring dengan hadirnya UU Otonomi Khusus Aceh. Selanjutnya, hak-hak istime- wa juga diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat melalui otonomi khusus sesuai UU Nomor 21 Tahun 2001. Satu lagi daerah yang men- dapat hak istimewa adalah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Sebagai ibu kota negara, provinsi ini mendapat pengakuan atas kekhususan- nya melalui UU UU Nomor 34 Tahun 1999 yang direvisi de- ngan UU 29 Tahun 2007. Dengan demikian, ada empat tingkatan hubungan antara pe- merintahan pusat dan daerah dalam sistem pemerintahan di Indonesia, yakni daerah is- timewa, khusus, otonom, dan otonomi khusus. Lantas apa perbedaan mas- ing-masing daerah itu? Seba- gai daerah berstatus istimewa, kehadiran kesultanan di Yog- yakarta melengkapi keragaman corak pemerintahan di Indo- nesia. Di Aceh, implementasi for- mal penegakan syariat Islam menjadikan ciri khas tersendiri. Selain itu, pengaturan dalam qanun sebagaimana diamanat- kan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret ke- wajiban konstitusional dalam pemerintahan di Bumi Serambi Mekah itu. Sementara itu, DKI Jakarta memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penye- lenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga in- ternasional. Status otonom sesuai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerin- tahan Daerah, artinya daerah itu diberikan wewenang meng- atur dan mengurus urusan pe- merintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. Sementara dengan status otonomi khusus, ada kewenangan mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri. Bisa diartikan, keempat ting- katan hubungan pemerintahan tersebut pada dasarnya sejajar, dengan keistimewaan masing- masing. Meski menyandang status kekhususan, tak semua daerah khusus menerima suntikan dana yang bersifat khusus dari pemerintah pusat. Hanya dua daerah khusus, yaitu NAD dan Papua yang menerima dana otonomi khusus dari APBN. Dengan status itu, Aceh dan Papua memperoleh dana oto- nomi khusus yang besarnya 2% dari dana alokasi umum (DAU) nasional. Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Ke- menterian Dalam Negeri (Ke- mendagri) menyatakan, daerah yang menerima dana otonomi khusus dipersilakan membag- inya dengan seluruh kabupaten di wilayahnya. “Untuk Papua, 40% untuk provinsi, 60% sisanya dibagi ke seluruh kabupaten/kota. Kalau Aceh kebalikannya, 60% provinsi, sisanya dibagi ke ka- bupaten/kota,” bebernya di Jakarta pekan lalu. Kebijakan berbeda diberikan pemerintah untuk DKI Jakarta. Alih-alih memberi suntikan dana otonomi khusus, Jakarta bahkan tidak mendapat DAU seperti daerah pada umum- nya. “Justru karena kapasitas skal DKI baik, dia tidak terima DAU. Sekitar Rp27 triliun pen- dapatan asli daerahnya berasal dari pajak kendaraan bermotor, biaya pembalikan nama ken- daraan bermotor (BPKB), dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor,” terang Reydonnyz- ar Moenek, mantan Direktur Administrasi Pendapatan dan Investasi Daerah Kemendagri. Sementara itu, DIY selama ini mendapat perlakuan yang sama dengan provinsi lainnya dalam hal anggaran. Namun dalam rancangan undang-un- dang (RUU) Keistimewaan DIY, pemerintah mencoba mengu- sulkan dana khusus. “Dana dalam rangka pelak- sanaan keistimewaan Provinsi DIY, ditetapkan bersama antara pemerintah dan DPR, berdasar usulan pemerintah provinsi DIY,” papar Donny, panggilan akrabnya. Karena usulan ini masih dalam penggodokan di DPR, imbuhnya, masih terbuka kemungkinan opsi ini akan berubah. Namun, bila usulan ini disepakati, ia berharap DPR bisa memberi usulan atas format dan bentuk pemberian dana tersebut. “Tetap harus melalui persetu- juan DPR. Kalau memang dis- etujui, silakan cari formatnya, dan sesuaikan dengan kemam- puan keuangan negara,” kata Donny. Otonomi asimetris Dalam konteks otonomi dan desentralisasi, Staf Khusus Pre- siden bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai menjelaskan, kekhususan dapat dimaknai sebagai otonomi dan desentral- isasi yang bersifat asimetris. “Kebijakan khusus dalam pembiayaan daerah merupa- kan salah satu poin penting dalam otonomi asimetris ini,” ucapnya. Jadi, jika DAU nasional me- ningkat, otomatis dana oto- nomi khusus Aceh dan Papua akan meningkat. Pada 2011 ini dana otonomi khusus Papua sekitar Rp4,5 triliun. Demikian pula, untuk Aceh sekitar Rp4,5 triliun. Selain dana itu, provinsi Papua dan Papua Barat juga mendapatkan dana tambahan infrastruktur setiap tahun. Tidak semua daerah bisa memperoleh hak khusus dalam hal pembiayaan. Menurutnya, ada perspektif percepatan pem- bangunan di balik pemberian dana otonomi khusus. Setelah hak diberikan, daerah yang ber- sangkutan dituntut untuk bisa memberikan performa yang optimal dalam mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. “Pemerintah sangat selektif dan berhati-hati memberikan aspek kekhususan dan keis- timewaan kepada suatu daer- ah. Harapannya, dengan status kekhususan ini, maka secara politik diakui dalam konteks bernegara, secara sosiologis dihargai atas kebinekaan itu, dan secara ekonomi didorong untuk berkembang lebih baik. Itu harapan dan cita-citanya.” Lihat sejarah Pengamat sejarah dari Lem- baga Ilmu Pengetahuan In- donesia (LIPI) Asvi Warman Adam ikut menyumbang suara soal ini. “Tidak semua daerah bisa menuntut untuk diistime- wakan. Apa mereka punya seja- rah tertentu sehingga meminta kekhususan?” tanyanya. Sejarawan Universitas Indo- nesia, Magdalia Alan, menge- mukakan faktor sejarah harus dijadikan acuan utama me- nyangkut pemberian kekhusu- san sebuah daerah, seperti Jakarta dan Yogyakarta, yang pernah dan masih menjadi ibu kota Republik ini. Peran Kesultanan Yogyakarta sangat penting bagi kedaulatan bangsa. Sultan Hamengku Buwono IX termasuk yang pertama kali menyatakan du- kungannya terhadap peme- rintah Republik Indonesia (RI) melalui maklumat tertanggal 5 September 1945. Maklumat itu berisi pernyataan bergabungnya Kes- ultanan dan Paku Alaman Yog- yakarta ke dalam wilayah RI. Keberpihakan Sultan, menurut Magdalia, penting bagi peme- rintah RI dalam menghadapi ancaman tentara Belanda pada saat itu. Atas alasan itulah pemerin- tah RI kemudian menetapkan Yogyakarta sebagai daerah is- timewa, dan Sultan Yogyakarta bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada men- teri dalam negeri. Sultan pun berperan dalam perjuangan Indonesia selanjutnya dalam mempertahankan kedaulatan. Demikian pula dengan Aceh dan Papua. Aceh, lanjutnya, punya peranan besar dalam memberikan bantuan kepada RI, khususnya dalam meng- umpulkan uang dan perhiasan untuk membeli pesawat per- tama yang dimiliki Republik pada waktu itu. “Hal itu tidak terjadi pada daerah lain,” un- 22 | SENIN, 13 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Fokus DRAMA DAERAH BUKAN perkara mudah untuk mengubah sebuah pemerin- tahan yang berpuluh-puluh tahun tidak terusik perubahan. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik In- donesia (NKRI) yang memiliki keistimewaan dan sudah diakui segenap komponen bangsa. Salah satu yang menjadi keistimewaan dari DIY adalah masalah pemimpin wilayah. Yang menjadi gubernur adalah Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan wakilnya Sri Pa- kualam IX. Dalam Rancangan Undang- undang (RUU) Keistimewaan DIY yang disiapkan pemerin- tah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut soal pe- merintahan monarki di DIY. Ini memunculkan efek bola salju yang tak terduga. Kata ‘penetapan’ atau ‘pe- milihan’ kepala daerah DIY menjadi perdebatan tak ada habisnya. Melihat situasi yang makin tak kondusif, Presiden buru-buru menyebutkan kalau pemerintah ingin menempat- kan Sultan HB X dalam posisi yang lebih terhormat. Dalam pandangan Guru Be- sar Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Nga- disah, daerah yang memiliki kekhususan bisa saja memiliki pengaturan berbeda dalam hal penentuan pengisi jabatan ke- pala daerah. Namun, hal itu tidak boleh bertentangan dengan prinsip- prinsip dasar yang berlaku secara nasional. “Kalau pemilihan kepala daerah sebenarnya sistemnya sama. Tapi kalau berkaitan dengan daerah khusus itu bisa saja ada pengaturan yang ber- beda tanpa menyalahi prinsip- prinsip yang berlaku secara na- sional,” kata Ngadisah, Kamis (9/12) malam. Menyangkut kepala DIY a- pakah ditetapkan atau dipilih, menurut Ngadisah, tidak akan mengurangi keistimewaan DIY. “Sultan menjadi guber- nur kan baru sejak Sri Sultan Hamengku Buwono X. Kalau dulu sultan tidak otomatis menjadi gubernur,” tuturnya. Aturan main Menurut Ngadisah, jabatan gubernur dan sultan itu adalah dua hal yang berbeda. “Guber- nur itu bawahan presiden dan seorang kepala daerah. Dalam hal ini, berlaku aturan main se- bagai kepala daerah. Sementara sultan, dia punya keistimewaan dan tempat yang khusus se- bagai pemimpin masyarakat dan pemelihara budaya yang berlaku di kesultanannya,” terangnya. Untuk meredakan perde- batan ini, Ngadisah menilai ha- rus dicari titik temu yang bisa diterima kedua kubu. “Kalau misalnya ditetapkan, itu na- manya tidak demokratis. Tapi kalau misalnya ada pemilihan kemudian ada pengesahan, menurut saya itu adalah jalan tengah yang tepat,” paparnya. Terkait hal ini, Kementerian Dalam negeri telah mengi- rimkan draf RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) ke DPR. Saat ini RUU itu sudah ada di tangan Sekretariat Negara. Di dalam RUU itu, diusul- kan pemilihan kepala daerah, dari langsung menjadi lewat DPRD. Sementara wakil gubernur dipilih gubernur yang terpilih, tidak lagi satu paket dengan gubernur.. Lepas dari persoalan dipilih datau ditetapkan, Gubernur Lemhanas Muladi mengingat- kan, adanya fenomena lun- turnya kewibawaan gubernur karena proses rekrutmen yang buruk. “Rekrutmen kepemimpinan yang dilakukan parpol se- ring menghasilkan pemimpin daerah yang kurang kredibel,” ujarnya. (Ide/*/R-2) Dipilih atau Ditetapkan, Tetap Istimewa Sejarah bukan hanya untuk masa lalu, tetapi juga masa depan. Maria Sindy Jeanindya DUKUNG PENETAPAN: Sejumlah prajurit Kraton Yogyakarta melakukan aksi di DPRD Propinsi DIY, Rabu (8/12). Aksi itu untuk mendukung penetapan Sri Sultan HB X menjadi Gubernur dalam RUU Keistimewaan DIY. Kekhususan ini, secara politik diakui dalam konteks bernegara, secara sosiologis dihargai atas kebinekaan itu, dan secara ekonomi didorong untuk berkembang lebih baik.” Velix Wanggai Staf Khusus Presiden bidang Otonomi Daerah GRAFIS/EBET SYARIAT ISLAM: Suasana Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), bebe berstatus otonomi khusus, sejak 2001 itu. ANTARA/WAHYU PUTRO A triliun triliun triliun FOK INTERNA BACA B Tem Julian A si Peniu

Upload: hoangphuc

Post on 27-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DRAMA DAERAH - ftp.unpad.ac.id filedaerah istimewa di Indonesia. Disusul kehadiran Aceh se-bagai daerah istimewa yang kedua melalui UU Nomor 44 Tahun 1999. Status istimewa Aceh itu

NEGARA Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi adalah bangsa yang sa-

ngat majemuk, baik dari sisi etnik, agama, maupun adat istiadat. Semuanya memiliki ciri khas dan keistimewaan masing-masing. Keistimewaan itu bahkan diakui dalam un-dang-undang (UU).

UU Nomor 3 Tahun 1950 adalah UU pertama yang me-nempatkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa di Indonesia. Disusul kehadiran Aceh se-bagai daerah istimewa yang kedua melalui UU Nomor 44 Tahun 1999. Status istimewa Aceh itu berubah pada 2001 seiring dengan hadirnya UU Otonomi Khusus Aceh.

Selanjutnya, hak-hak istime-wa juga diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat melalui otonomi khusus sesuai UU Nomor 21 Tahun 2001.

Satu lagi daerah yang men-dapat hak istimewa adalah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Sebagai ibu kota negara, provinsi ini mendapat pengakuan atas kekhususan-nya melalui UU UU Nomor 34 Tahun 1999 yang direvisi de-ngan UU 29 Tahun 2007.

Dengan demikian, ada empat tingkatan hubungan antara pe-merintahan pusat dan daerah dalam sistem pemerintahan di Indonesia, yakni daerah is-timewa, khusus, otonom, dan otonomi khusus.

Lantas apa perbedaan mas-ing-masing daerah itu? Seba-gai daerah berstatus istimewa, kehadiran kesultanan di Yog-yakarta melengkapi keragaman corak pemerintahan di Indo-nesia.

Di Aceh, implementasi for-mal penegakan syariat Islam menjadikan ciri khas tersendiri. Selain itu, pengaturan dalam qanun sebagaimana diamanat-kan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret ke-wajiban konstitusional dalam pemerintahan di Bumi Serambi Mekah itu.

Sementara itu, DKI Jakarta memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penye-lenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta

pusat/perwakilan lembaga in-ternasional.

Status otonom sesuai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerin-tahan Daerah, artinya daerah itu diberikan wewenang meng-atur dan mengurus urusan pe-merintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. Sementara dengan status otonomi khusus, ada kewenangan mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri.

Bisa diartikan, keempat ting-katan hubungan pemerintahan tersebut pada dasarnya sejajar, dengan keistimewaan masing-masing.

Meski menyandang status kekhususan, tak semua daerah khusus menerima suntikan dana yang bersifat khusus dari pemerintah pusat. Hanya dua daerah khusus, yaitu NAD dan Papua yang menerima dana otonomi khusus dari APBN. Dengan status itu, Aceh dan Papua memperoleh dana oto-nomi khusus yang besarnya 2% dari dana alokasi umum (DAU) nasional.

Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Ke-menterian Dalam Negeri (Ke-mendagri) menyatakan, daerah yang menerima dana otonomi khusus dipersilakan membag-inya dengan seluruh kabupaten di wilayahnya.

“Untuk Papua, 40% untuk provinsi, 60% sisanya dibagi ke seluruh kabupaten/kota. Kalau Aceh kebalikannya, 60% provinsi, sisanya dibagi ke ka-bupaten/kota,” bebernya di Jakarta pekan lalu.

Kebijakan berbeda diberikan pemerintah untuk DKI Jakarta. Alih-alih memberi suntikan dana otonomi khusus, Jakarta bahkan tidak mendapat DAU seperti daerah pada umum-nya.

“Justru karena kapasitas fi skal DKI baik, dia tidak terima DAU. Sekitar Rp27 triliun pen-dapatan asli daerahnya berasal dari pajak kendaraan bermotor, biaya pembalikan nama ken-daraan bermotor (BPKB), dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor,” terang Reydonnyz-ar Moenek, mantan Direktur Administrasi Pendapatan dan Investasi Daerah Kemendagri.

Sementara itu, DIY selama ini mendapat perlakuan yang sama dengan provinsi lainnya dalam hal anggaran. Namun dalam rancangan undang-un-dang (RUU) Keistimewaan DIY, pemerintah mencoba mengu-sulkan dana khusus.

“Dana dalam rangka pelak-sanaan keistimewaan Provinsi DIY, ditetapkan bersama antara pemerintah dan DPR, berdasar usulan pemerintah provinsi

DIY,” papar Donny, panggilan akrabnya.

Karena usulan ini masih dalam penggodokan di DPR, imbuhnya, masih terbuka kemungkinan opsi ini akan berubah. Namun, bila usulan ini disepakati, ia berharap DPR bisa memberi usulan atas format dan bentuk pemberian dana tersebut.

“Tetap harus melalui persetu-juan DPR. Kalau memang dis-etujui, silakan cari formatnya, dan sesuaikan dengan kemam-puan keuangan negara,” kata Donny.

Otonomi asimetrisDalam konteks otonomi dan

desentralisasi, Staf Khusus Pre-siden bidang Otonomi Daerah Velix Wanggai menjelaskan, kekhususan dapat dimaknai sebagai otonomi dan desentral-isasi yang bersifat asimetris.

“Kebijakan khusus dalam pembiayaan daerah merupa-kan salah satu poin penting dalam otonomi asimetris ini,” ucapnya.

Jadi, jika DAU nasional me-ningkat, otomatis dana oto-nomi khusus Aceh dan Papua akan meningkat. Pada 2011 ini dana otonomi khusus Papua sekitar Rp4,5 triliun. Demikian pula, untuk Aceh sekitar Rp4,5 triliun.

Selain dana itu, provinsi Papua dan Papua Barat juga mendapatkan dana tambahan infrastruktur setiap tahun.

Tidak semua daerah bisa memperoleh hak khusus dalam hal pembiayaan. Menurutnya, ada perspektif percepatan pem-bangunan di balik pemberian dana otonomi khusus. Setelah hak diberikan, daerah yang ber-sangkutan dituntut untuk bisa memberikan performa yang

optimal dalam mengangkat kesejahteraan masyarakatnya.

“Pemerintah sangat selektif dan berhati-hati memberikan aspek kekhususan dan keis-timewaan kepada suatu daer-ah. Harapannya, dengan status kekhususan ini, maka secara politik diakui dalam konteks bernegara, secara sosiologis dihargai atas kebinekaan itu, dan secara ekonomi didorong untuk berkembang lebih baik. Itu harapan dan cita-citanya.”

Lihat sejarahPengamat sejarah dari Lem-

baga Ilmu Pengetahuan In-donesia (LIPI) Asvi Warman Adam ikut menyumbang suara soal ini. “Tidak semua daerah bisa menuntut untuk diistime-wakan. Apa mereka punya seja-rah tertentu sehingga meminta kekhususan?” tanyanya.

Sejarawan Universitas Indo-nesia, Magdalia Alfi an, menge-mukakan faktor sejarah harus dijadikan acuan utama me-nyangkut pemberian kekhusu-san sebuah daerah, seperti Jakarta dan Yogyakarta, yang

pernah dan masih menjadi ibu kota Republik ini.

Peran Kesultanan Yogyakarta sangat penting bagi kedaulatan bangsa. Sultan Hamengku Buwono IX termasuk yang pertama kali menyatakan du-kungannya terhadap peme-

rintah Republik Indonesia (RI) melalui maklumat tertanggal 5 September 1945.

M a k l u m a t i t u b e r i s i pernyataan bergabungnya Kes-ultanan dan Paku Alaman Yog-yakarta ke dalam wilayah RI. Keberpihakan Sultan, menurut Magdalia, penting bagi peme-rintah RI dalam menghadapi ancaman tentara Belanda pada saat itu.

Atas alasan itulah pemerin-tah RI kemudian menetapkan Yogyakarta sebagai daerah is-timewa, dan Sultan Yogyakarta bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada men-teri dalam negeri. Sultan pun berperan dalam perjuangan Indonesia selanjutnya dalam mempertahankan kedaulatan.

Demikian pula dengan Aceh dan Papua. Aceh, lanjutnya, punya peranan besar dalam memberikan bantuan kepada RI, khususnya dalam meng-umpulkan uang dan perhiasan untuk membeli pesawat per-tama yang dimiliki Republik pada waktu itu. “Hal itu tidak terjadi pada daerah lain,” un-

22 | SENIN, 13 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Fokus

DRAMA DAERAH

BUKAN perkara mudah untuk mengubah sebuah pemerin-tahan yang berpuluh-puluh tahun tidak terusik perubahan. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik In-donesia (NKRI) yang memiliki keistimewaan dan sudah diakui segenap komponen bangsa.

Salah satu yang menjadi keistimewaan dari DIY adalah masalah pemimpin wilayah. Yang menjadi gubernur adalah Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan wakilnya Sri Pa-kualam IX.

Dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Keistimewaan DIY yang disiapkan pemerin-tah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut soal pe-merintahan monarki di DIY. Ini memunculkan efek bola salju yang tak terduga.

Kata ‘penetapan’ atau ‘pe-milihan’ kepala daerah DIY menjadi perdebatan tak ada habisnya. Melihat situasi yang makin tak kondusif, Presiden buru-buru menyebutkan kalau pemerintah ingin menempat-kan Sultan HB X dalam posisi

yang lebih terhormat.Dalam pandangan Guru Be-

sar Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Nga-disah, daerah yang memiliki kekhususan bisa saja memiliki

pengaturan berbeda dalam hal penentuan pengisi jabatan ke-pala daerah.

Namun, hal itu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang berlaku

secara nasional.“Kalau pemilihan kepala

daerah sebenarnya sistemnya sama. Tapi kalau berkaitan dengan daerah khusus itu bisa saja ada pengaturan yang ber-

beda tanpa menyalahi prinsip-prinsip yang berlaku secara na-sional,” kata Ngadisah, Kamis (9/12) malam.

Menyangkut kepala DIY a-pakah ditetapkan atau dipilih, menurut Ngadisah, tidak akan mengurangi keistimewaan DIY.

“Sultan menjadi guber-nur kan baru sejak Sri Sultan Hamengku Buwono X. Kalau dulu sultan tidak otomatis menjadi gubernur,” tuturnya.

Aturan mainMenurut Ngadisah, jabatan

gubernur dan sultan itu adalah dua hal yang berbeda. “Guber-nur itu bawahan presiden dan seorang kepala daerah. Dalam hal ini, berlaku aturan main se-bagai kepala daerah. Sementara sultan, dia punya keistimewaan dan tempat yang khusus se-bagai pemimpin masyarakat dan pemelihara budaya yang berlaku di kesultanannya,” terangnya.

Untuk meredakan perde-batan ini, Ngadisah menilai ha-rus dicari titik temu yang bisa diterima kedua kubu. “Kalau

misalnya ditetapkan, itu na-manya tidak demokratis. Tapi kalau misalnya ada pemilihan kemudian ada pengesahan, menurut saya itu adalah jalan tengah yang tepat,” paparnya.

Terkait hal ini, Kementerian Dalam negeri telah mengi-rimkan draf RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) ke DPR.

Saat ini RUU itu sudah ada di tangan Sekretariat Negara. Di dalam RUU itu, diusul-kan pemilihan kepala daerah, dari langsung menjadi lewat DPRD.

Sementara wakil gubernur dipilih gubernur yang terpilih, tidak lagi satu paket dengan gubernur..

Lepas dari persoalan dipilih datau ditetapkan, Gubernur Lemhanas Muladi mengingat-kan, adanya fenomena lun-turnya kewibawaan gubernur karena proses rekrutmen yang buruk.

“Rekrutmen kepemimpinan yang dilakukan parpol se-ring menghasilkan pemimpin daerah yang kurang kredibel,” ujarnya. (Ide/*/R-2)

Dipilih atau Ditetapkan, Tetap Istimewa

Sejarah bukan hanya untuk masa lalu, tetapi juga masa depan.

Maria Sindy Jeanindya

DUKUNG PENETAPAN: Sejumlah prajurit Kraton Yogyakarta melakukan aksi di DPRD Propinsi DIY, Rabu (8/12). Aksi itu untuk mendukung penetapan Sri Sultan HB X menjadi Gubernur dalam RUU Keistimewaan DIY.

Kekhususan ini, secara politik diakui dalam konteks bernegara, secara sosiologis dihargai atas kebinekaan itu, dan secara ekonomi didorong untuk berkembang lebih baik.”

Velix WanggaiStaf Khusus Presiden bidang Otonomi Daerah

GRAFIS/EBET

SYARIAT ISLAM: Suasana Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), bebeberstatus otonomi khusus, sejak 2001 itu.

ANTARA/WAHYU PUTRO A

triliun

triliun triliun

FOKINTERNA

BACA BTem

Julian A si Peniu