dvt & ckd
DESCRIPTION
DVT & CKDTRANSCRIPT
TUGAS UJIAN INTERNA
Deep Vein Thrombosis (DVT) dan
Chronic Kidney Disease (CKD)
Oleh:
Khonita Adian Utami
G0007202
Residen Pembimbing,
dr. Eva Niamuzisilawati
Penguji,
dr. Dhani Redhono, Sp.PD-FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2012
I. DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT)
A. Definisi
Thrombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT)
adalah terbentuknya thrombus pada vena profunda terutama pada tungkai
bawah. Thrombus yang terbentuk adalah thrombus merah karena terdiri
dari fibrin dan sel darah merah, komponen thrombosit hanya sedikit.
Thrombus merah lebih mudah lepas sehingga menimbulkan emboli
terutama emboli paru (Bakta, 2006).
B. Faktor Risiko
1. Usia > 40 tahun
2. Imobilitas lama
3. Obesitas
4. Kelainan neurologi. Tungkai yang mengalami paresis cenderung
mengalami trombosis.
5. Penyakit jantung. Payah jantung akibat infark miokard 25% disertai
trombosis vena dalam.
6. Kehamilan dan masa post partum
7. Kontrasepsi oral
8. Keganasan. Penderita dengan keganasan mempunyai kemungkinan
20% terkena trombosis.
9. Pembedahan. Pembedahan ortopedi, terutama sendi femur atau lutut
(disertai 35-50% DVT), operasi abdomen (15%), operasi urologi (7-
35%), operasi ginekologi (7-27%)
10. Thrombophilia herediter.
(Bakta, 2006).
C. Patogenesis
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam
keadaan cair, tetapi akan membentuk bekuan jika teraktivasi atau
terpapapr dengan suatu permukaan. Virchow mengungkapkan suatu
triad yang merupakan dasar terbentuknya trombus, yang dikenal
sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri dari:
1. Gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis
2. Gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan
yang menyebabkan aktivasi faktor pembekuan
3. Gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang
menyebabkan prokoagulan.
Trombosis terjadi jika keseimbangan faktor trombogenik dan
mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi:
Gangguan sel endotel
Terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel
Aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel
atau faktor Von Willebrand
Aktivasi koagulasi
Terganggunya fibrinolisis
Stasis
Mekanisme protektif terdiri dari:
Faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh
Netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel
Hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor
Pemecahan faktor pembekuan oleh protease
Pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trombosit yang
beragregasi oleh aliran darah
Lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis.
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri,
karena aliran yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin
yang tipis, sedangkan trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis
dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan
sedikit trombosit (Sukrisman, 2006).
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan utama pasien dengan DVT adalah kaki bengkak dan nyeri.
Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal penting karena dapat
diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya
riwayat trombosis dalam keluarga (Sukrisman, 2006)
2. Pemeriksaan Fisik
Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai unilateral, eritema,
hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superficial, dan tanda
Homan (nyeri tekan pada betis sewaktu dorsofleksi kaki) yang positif
(Sukrisman, 2006).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yaitu venografi, USG vena atau
Doppler, laboratorium D-dimer. Pemeriksaan ultrasonografi
merupakan pemeriksaan pertama. Kelemahan ultrasonografi adalah
apabila trombus terdapat di distal karena dapat menghasilkan
negative palsu. Keadaan ini dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
venografi. Apabila trombus terdapat di proksimal maka pemeriksaan
ultrasonografi mempunyai nilai sensitifitas dan spesifitas yang
tinggi.
Pendekatan diagnostik trombosis vena dalam dapat dilakukan
beberapa tahap. Setelah ditetapkan sebagai tersangka trombosis vena
dalam maka dilakukan ultrasonografi. Bila hasilnya trombosis vena
dalam, maka pasien diobati. Apabila hasilnya bukan trombosis vena
dalam, maka ada 3 pilihan:
a. Pertimbangkan klinis. Bila klinis mendukung maka 1 minggu
kemudian dapat dilakukan ultrasonografi ulang. Bila masih
negatif, maka trombosis vena dalam dapat disingkirkan.
b. Ulangi lagi pemeriksaan ultrasonografi. Bila hasilnya tetap
negatif, maka trombosis vena dalam dapat disingkirkan dan bila
didapatkan trombosis maka diobati.
c. Periksa D-dimer. Bila hasilnya negatif maka trombosis dapat
disingkirkan. Bila positif maka diobati. D- dimer normal ada
dalam tubuh : < 500 ng/ml. peningkatan D-dimer merupakan
indikator adanya thrombosis yang aktif (Yusuf, 2008).
E. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan DVT pada fase akut antara lain
menghentikan bertambahnya trombus, membatasi bengkak yang
progresif pada tungkai, melisiskan atau membuang bekuan darah
(trombektomi) dan mencegah disfungsi vena atau sindrom pasca
trombosis di kemudian hari dan mencegah emboli.
1. Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang
sudah lama digunakan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal.
Mekanisme kaerja utama heparin adalah:
a. Meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor
pembekuan
b. Melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah.
Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IU/kgBB intravena,
dilanjutkan dengan infus 18 IU/kgBB/jam dengan pemantauan nilai
Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) sekitar 6 jam setelah
bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali nilai kontrol dan
kemudian dipantau sedikitnya setiap hari (Sukrisman, 2006).
Atau dapat diberikan dengan dosis inisial 5000 U bolus IV,
kemudian dilanjutkan dengan drip 1000 U/jam, dosis ini harus selalu
dievaluasi dan disesuaikan untuk mendapat nilai aPTT 1,5-2,5
kontrol (45-70 detik), aPTT ini diperiksa setiap 4-6 jam (Acang,
2006).
Alternatif lain pemberian UH adalah, diberikan 5000 unit
secara subkutan setiap 4-6 jam, dengan catatan besarnya dosis yang
diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan aPTT, nilai
aPTT tetap dipertahankan 1,5-2,5 kali kontrol. Cara ini diberikan
pada pencegahan terjadinya trombosis vena dalam pada penyakit
paru berat dan payah jantung yang lanjut (Acang, 2006).
Tabel 1. Penyesuaian Dosis Heparin terhadap nilai aPTT
Nilai aPTT Dosis Heparin
aPTT < 35” (<1,2 x kontrol) Tingkatkan infus 4U/kgBB/jam
aPTT 35-45” (1,2 – 1,5 x kontrol) Tingkatkan infus 2U/kgBB/jam
aPTT 46-70” (1,5 - 2,5 x kontrol) Tidak ada perubahan
aPTT 71-90” (2,5 – 3 x kontrol) Kurangi kecepatan infus
aPTT >90” (>3 x kontrol) Stop infus, ditunda pemberian
selama 4 jam
(Acang, 2006).
Lama pemberian heparin adalah selama 5 hari, kemudian dilanjutkan
dengan antikoagulan oral (Acang, 2006).
Sebelum memulai terapi heparin, APTT, Protrombine Time (PT),
dan jumlah trombosit harus diperiksa.
Low molecular weight heparin (LMWH) dapat diberikan satu
atau dua kali sehari secara subkutan. LMWH mempunyai
keuntungan yaitu risiko perdarahan mayor yang lebih kecil. LMWH
karena memiliki waktu paruh yang panjang dapat diberikan satu kali
sehari untuk profilaksis dan satu sampai dua kali sehari untuk terapi.
Pada pemakaian LMWH tidak perlu monitoring APTT, dapat
diberikan fixed dose sesuai dengan berat badan (Sukrisman, 2006).
Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan
dengan antikoagulan oral yang bekerja dengan menghambat faktor
pembekuan yang memerlukan vitamin K. Antikoagulan yang sering
dipakai adalah warfarin. Obat ini diberikan bersama-sama saat awal
terapi heparin dengan pemantauan International Normalized Ratio
(INR) (Sukrisman, 2006).
Pemberian warfarin dimulai 24 jam setelah pemberian heparin,
dengan dosis 5-10 mg peroral, kemudian dosis disesuaikan dengan
nilai INR. Setelah tercapai target INR 2,0 – 3,0 selama 2 hari
berturut-turut (biasanya memerlukan waktu 4-5 hari), heparin dapat
dihentikan, pemberian warfarin diteruskan sesuai protokol yang
dipakai (Acang, 2006).
Tabel 2. Penyesuaian dosis warfarin dengan nilai INR
INR Penyesuaian Dosis
1,1 – 1,4 Naikkan dosis 10-20%. Kontrol 1 minggu.
1,5 – 1,9 Naikkan dosis 5-10%. Kontrol 2 minggu.
2,0 – 3,0 Dosis tetap. Kontrol 1 minggu.
3,0 – 4,0 Turunkan dosis 5-10%. Kontrol 2 minggu.
4,0 – 5,0 Turunkan dosis 10-20%. Kontrol 1 minggu.
>5,0 Stop pemberian. Dipantau s/d INR turun menjadi 3
(Acang, 2006)
Pasien yang mengalami DVT harus mendapat antikoagulan
selama 6 minggu hingga 3 bulan jika mempunyai faktor risiko yang
reversible, atau sedikitnya 6 bulan jika faktor risikonya tidak
diketahui (idiopatik). Sedangkan pada pasien yang mengalami lebih
dari dua kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada
kanker yang aktif maka antikoagulan diberikan seumur hidup.
Heparin memiliki efek samping berupa perdarahan, Heparin-
induced thrombocytopenia (HIT), dan osteoporosis (Sukrisman,
2006).
2. Terapi Trombolitik
Terapi ini bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat
dengan cara mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini
umumnya hanya efektif pada fase awal dan penggunaannya harus
dipertimbangkan dengan baik karena memiliki risiko perdarahan tiga
kali lipat dibandingkan dengan terapi antikoagulan saja. Pada
umumnya terapi ini hanya dilakukan pada DVT dengan oklusi total
terutama pada iliofemoral (Sukrisman, 2006).
3. Obat anti platelet
Trombosit merupakan faktor terpenting dalam pembentukan
trombus. Obat-obat antiplatelet bertujuan untuk menghambat
agregasi trombosit. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan sebelum
trombus terjadi atau diberikan pada saat trombosis untuk mencegah
pembentukan trombus baru (Bakta, 2006).
Indikasi pemberian obat-obatan antiagregasi trombosit adalah
untuk pencegahan terjadinya serangan iskemia akut, seperti iskemia
stroke, Transient Ischaemik Attack (TIA), angina pectoris, dan
penyakit vaskular perifer (Acang, 2006).
F. Pencegahan
1. Penggunaan kaos elastic yang dapat memberikan penekanan
(compression elastic stocking)
2. Mobilisasi awal untuk meningkatkan aliran darah vena pada kondisi
statis (Guntur, dkk., 2010).
G. Kaitan DVT dengan kejadian keganasan (kanker)
Sel-sel ganas dapat berinteraksi dengan sistem hemostasis yang
mengarah ke protrombotik melalui berbagai mekanisme antara lain
aktifitas prokoagulan karena sel-sel ganas dapat menghasilkan tissue
factor (TF), cancer procoagulant (CP); aktifitas fibrinolitik karena sel-sel
ganas mengekspresikan urokinase-plasminogen activator receptor (u-
PAR), urokinase-plasminogen activator (u-PA), tissue-plasminogen
activator (t-PA), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), plasminogen
activator inhibitor-2 (PAI-2); pelepasan sitokin karena sel-sel ganas
melepaskan interleukin-b (IL-b), tumor necrosis factor-a (TNF-
a),vascular endothelial growth factor (VEGF); dan interaksi sel-sel ganas
dengan sel-sel endotelium, monosit-makrofag, serta trombosit.
Terjadinya trombosis pada keganasan mencakup proses kompleks
yang terutama disebabkan oleh aktivitas prokuagulan sel kanker
(procoagulant activity /PCA) yang merupakan interaksi antara: aktivitas
prokoagulan dengan diproduksinya TF dan CP, tumor associated mucin
oleh sel tumor, sitokin yang dikeluarkan oleh sel kanker (INF-a, TNF-
bdan VEGF), dampaknya pada proses fibrinolisis, perubahan pembuluh
darah/disfungsi endotel, interaksi antara sel pasien atau pejamu
(teraktifasinya: monosit, makrofag, trombosit dan sel endotel) dengan sel
tumor. Monosit dan makrofag menyebabkan kerusakan endotel dan
sloughing sel endotel pembuluh darah sehingga menjadi bersifat
trombogenik. Khususnya interaksi dengan makrofag akan mengaktifkan
trombosit, FXIII dan FX, yang akan meningkatkan pembentukan
trombin dan selanjutnya menimbulkan trombus. Sel kanker yang utuh
mampu melepaskan vesikel plasma membran kedalam sirkulasi dan
meningkatkan pembentukan bekuan darah. Aktivasi koagulasi pada
pasien kanker dibuktikan oleh peningkatan pembentukan thrombin yang
diperlihatkan dengan petanda hematologi yang dapat diukur seperti
dengan D-dimer. Kadar Ddimer sebagai suatu petanda aktivasi
hemostatik yang persisten dan suatu prediktor dari trombosis yang
berulang (Wantera dan Bakta, 2008).
H. Perbedaan DVT dan PAD
Penyakit arteri perifer atau Peripheral Arterial Disease (PAD)
adalah keadaan di mana sirkulasi arteri menyempit mengurangi aliran
darah ke kaki. Ketika seseorang mengalami penyakit arteri perifer,
ekstremitas - biasanya kaki - tidak menerima aliran darah yang cukup.
Hal ini menyebabkan gejala, terutama nyeri kaki ketika berjalan
(klaudikasio intermiten). Klaudikasio intermiten ditandai dengan adanya kelemahan, rasa tidak nyaman, nyeri, kram, dan rasa ketat atau baal pada ekstremitas yang terkena Penyakit
arteri perifer juga mungkin menjadi tanda akumulasi lebih luas dari
deposit lemak di arteri (aterosklerosis). Kondisi ini dapat mengurangi
aliran darah ke jantung dan otak, serta kaki (mayoclinic, 2010).
PAD memiliki beberapa perbedaan dengan DVT, antara lain:
Tabel 3. Perbedaan antara DVT dan PAD
Deep Vein Thrombosis (DVT) Peripheral Arterial Disease (PAD)
Teraba hangat pada area yang
terinfeksi (kaki).
Teraba dingin di kaki bawah atau
kaki, terutama bila dibandingkan
dengan kaki yang lain
Bengkak pada tungkai unilateral Tidak bengkak, terjadi atrofi otot kaki,
terdapat luka pada kaki yang tidak
kunjung sembuh (gangren)
Nyeri pada kaki Nyeri tidak terlalu dirasakan, namun
Kaki terasa mati rasa (kesemutan) atau
terasa lemah
Perubahan warna kulit yaitu
eritema, pucat, atau sianosis
Kulit pada daerah kaki berwarna pucat
I. Arteri pada kaki
Setelah melewati daerah pelvis, arteri iliaka selanjutnya menjadi arteri femoralis, yang bergerak turun di sebelah anterior paha (Gambar 1). Arteri femoralis mengalirkan darah ke kulit dan otot paha dalam. Pada bagian bawah paha, arteri femoralis menyilang di posterior dan menjadi arteri poplitea. Di bawah lutut, arteri poplitea terbagi menjadi arteri tibialis anterior dan tibialis posterior. Arteri tibialis bergerak turun di sebelah depan dari kaki bagian bawah menuju bagian dorsal/punggung telapak kaki dan menjadi arteri dorsalis pedis. Arteri tibialis posterior bergerak turun menyusuri betis dari kaki bagian bawah dan bercabang menjadi arteri plantaris di dalam telapak kaki bagian bawah (Jones, 2008).
Gambar 1. Arteri-arteri pada kaki
J. Penilaian Fisik Sistem Vaskuler Perifer pada kaki
1. Inspeksi
Nilai hal-hal berikut:
a. Warna (catat ada/tidaknya sianosis, eritema, atau pucat)
b. Pertumbuhan rambut (catat area yang mengalami penurunan
pertumbuhan rambut yang disebabkan oleh berkurangnya
sirkulasi).
c. Atrofi otot
d. Edema (catat/tidaknya adanya pembengkakan atau kulit yang
mengkilat dan kencang)
e. Adanya varises
f. Ulserasi (catat ada/tidaknya luka terbuka)
g. Kuku (catat ada/tidaknya kuku yang menebal dan keras (Jones,
2008)
2. Palpasi
a. Periksa suhu kulit dengan menggunakan punggung tangan
sepanjang kaki turun hingga telapak kaki, bandingkan titik-titik
pada tiap kaki secara simetris.
b. Gunakan jari-jari, palpasi denyut pada kedua kaki di arteri
femoralis, poplitea, dorsalis pedis, dan arteri tibialis posterior.
c. Nilai laju denyut, irama, kekuatan, dan simetrisitas pada setiap
kaki.
Pada PAD dapat menyebabkan denyut yang berkurang atau lemah yang terjadi bilateral, sedangkan pada DVT dapat menyebabkan denyut yang lemah atau tidak adanya denyut pada kaki yang terkena jika dibandingkan dengan kaki yang sehat (Jones, 2008).
3. Palpasi Edema Perifera. Tekan dengan menggunakan dua jari tangan, tekan ke bawah,
gunakan dua jari, di atas tibia (tulang kering) atau di puncak kaki
selama paling tidak 5 detik lalu lepaskan. (Gambar 2).
b. Kulit seharusnya balik kembali dan tidak meninggalkan indentasi
(lekukan). Bila terdapat edema pitting, klasifikasikan dalam
tingkatan skala 1 sampai 4.
4+ Pitting yang sangat dalam, indentasi menetap dalam jangka
waktu lama, terdapat pembengkakan yang bermakna.
3+ Pitting yang dalam, indentasi menetap dalam jangka waktu yang
pendek, pembengkakan yang terlihat.
2+ Pitting sedang, indentasi menghilang dengan cepat, tidak
tampak pembengkakan.
1+ Pitting ringan, sedikit indentasi, tidak tampak pembengkakan.
Namun Skala edema ini adalah pemeriksaan subjektif.
Edema pitting dapat terjadi akibat beberapa sebab berbeda (misal
PAD, DVT, gagal jantung kongestif, gagal ginjal). Bila terdapat
edema pitting, evaluasi tanda dan gejala yang lain untuk menentukan
penyebab (Jones 2008).
Gambar 3. Palpasi Edema Perifer4. Teknik Diagnostik Vaskular Non invasif
Tes ini meliputi ankle-brachial index (ABI). ABI memberikan data objektif yang berguna sebaga standar untuk skrining dan diagnosis PAD pada ekstremitas bawah, seperti halnya pemantauan efikasi intervensi terapi. ABI dilakukan dengan mengukur tekanan darah sistolik dari kedua arteri brakhialis dan kedua arteri dorsalis pedis, dan arteri tibialis posterior setelah pasien beristirahat dalam posisi terlentang selama 10 menit. Pemeriksaan optimal didapatkan dengan menggunakan manset tekanan darah dengan ukuran yang sesuai dengan ukuran betis bawah pasien (tepat di atas pergelangan kaki), dan tekanan sisteolik direkam menggunakan alat Doppler genggam dengan frekuensi 5 hingga 10 mHz. Nilai ABI terhitung dicatat hingga 2 desimal. Refleksi gelombang denyut pada individu sehat menyebabkan tekanan pada pergelangan kaki 10 hingga 15 mmHg lebih tinggi daripadai tekanan sistolik arteri brakhialis, dan untuk itu indeks brakhialis lengan-pergelangan kaki rasio tekanan darah sistolik adalah lebih besar dari 1.00. Interpretasi perekaman ABI meliputi:
Kriteria Nilai
Normal 1.00 sampai 1.29
Ambang batas (ragu-ragu 0.91 sampai 0.99
Penyakit arteri perifer ringan‐sedang
0.41 sampai 0.90
Penyakit arteri perifer berat 0.00 sampai 0.40
(Jones, 2008)
II. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
A. Definisi
Penyakit gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease merupakan
suatu penyakit ginjal kronik dan progresif disertai denganbatau kelainan
patologis atau struktur ginjal, ditandai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dan berlangsung selama lebih dari tiga bulan (Pranawa,
2007).
Trias CKD antara lain hipertensi, anemia, dan oedem.
B. Klasifikasi
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium
ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih
tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.
Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.
Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih
normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang
ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi
ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal,
dan stadium 5 adalah gagal ginjal.
Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Stadium Deskripsi LFG (ml/men/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau meninggi
≥ 90
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan sedang LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
Perhitungan LFG dengan rumus Cockroft-Goult untuk orang dewasa,
yaitu:
Klirens Kreatinin (ml/men./1,73m 2 )
(140-umur) x berat badanx (0,85 jika wanita)
72 x kreatinin serum
(Pranawa, 2007)
C. Etiologi
1. Infeksi : Pielonefritis
2. Peradangan : Glomerulonefritis
3. Gangguan metabolisme : DM, hipertensi, hiperparatiroid,gout
4. Nefropati toxic : analgetik, obat TB, nefropati timah
5. Nefropati obstruktif : Batu, BPH
6. Penyakit vascular hipersensitif : SLE, Poliartritis nodusa
7. Kongenital : Renal tubular asidosis, penyakit
ginjal polikistik
(Guntur, 2006)
D. Patofisiologi
Patofisiologi CKD melibatkan mekanisme awal yang spesifik,
yang terkait dengan penyebab yang mendasari, selanjutnya proses berjalan
secara kronis progresif yang dalam jangka panjang akan menyebabkan
penurunan massa ginjal. Sejalan dengan menurunnya massa ginjal, sebagai
mekanisme kompensasi maka nefron yang masih baik akan mengalami
hiperfiltrasi oleh karena peningkatan tekanan dan aliran kapiler
glomerulus, dan selanjutnya terjadi hipertrofi. Hipertrofi structural dan
fungsional dari sisa nefron yang masih baik tersebut terjadi akibat
pengaruh molekul-molekul vasoaktif, sitokin, serta Growth Factor, hingga
pada akhirnya akan terjadi proses sklerosis. Aktivitas aksis Renin-
Angiotensin intrarenal juga ikut berperan dalam terjadinya hiperfiltrasi-
hipertrofi dan sklerosis (Pranawa, 2007).
E. Diagnosis
1. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, SLE, dan sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,
mual,muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang, sampai koma
c. Gejala komplikasi: hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit.
2. Gambaran laboratoris
a. sesuai penyakit yang mendasarinya
b. penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, henaturi, leukosuria, cast,
isostenuria.
3. Gambaran radiologis
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. USG ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi
4. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, di mana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan (Suwitra, 2006).
F. Penatalaksanaan
1. Pengobatan penyakit dasar
Termasuk di sini adalah pengendalian tekanan darah, regulasi gula
darah pada pasien DM, koreksi jika ada obstruksi saluran kencing, serta
pengobatan infeksi saluran kemih (ISK)
2. Pengendalian Keseimbangan Air dan Garam
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine. Yaitu produksi
urine 24 jam ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi
elektrolit, umumnya dibatasi 40-120 mEq (920-2760 mg). Diet normal
mengandung rata-rata 150mEq.
3. Diet Rendah Protein dan Tinggi Kalori
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan
protein sehari pada penderita CKD adalah 20-40 gram. Kebutuhan
kalori minimal 35 kkal/kgBB/hari. Diet rendah protein dan tinggi kalori
akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN dan akan
memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat
progresivitas penurunan faal ginjal.
4. Pengelolaan Hipertensi
Target tekanan darah 125/75 mmHg diperlukan untuk menghambat laju
progresivitas penurunan faal ginjal. ACE-inhibitor dan ARB diharapkan
akan menghambat progresivitas CKD.
5. Pengendalian Gangguan Keseimbangan Elektrolit dan Asam-Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah
hiperkalemia dan asidosis. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain
diet rendah kalium dengan menghindari buah (pisang,jeruk,tomat) serta
sayuran berlebih, penggunaan furosemid untuk meningkatkan ekresi
kalium.
6. Pencegahan dan pengobatan Osteodistrofi Renal
Termasuk dalam tindakan ini adalah pengendalian hiperphosphatemia
dengan cara diet rendah phosphor di mana makanan yang harus
dihindari karena mengandung tinggi phosphor antara lain susu, keju,
yoghurt, es krim, ikan, dan kacang-kacangan.
7. Pengobatan gejala uremi spesifik
Termasuk disini adalah pengobatan simptomatis dari pruritus, keluhan
gastrointestinal, dan penanganan anemia.
8. Deteksi dan Pengobatan Infeksi
9. Penyesuaian Pemberian Obat
10. Deteksi dan Pengobatan Komplikasi
11. Persiapan Dialisis dan Transplantasi.
Terapi transplantasi ginjal dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Pranawa, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Acang N. 2006. Pemakaian dan Pemantauan Obat-obatan Anti Trombosis. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi keempat, Jakarta: Penerbit FK UI.
Bakta IM. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Peneribit Buku Kedokteran EGC
Guntur H. 2006. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Surakarta: Sebelas Maret University Press
Guntur H, Arifin, Diding HP. 2010. Protap Penatalaksanaan Kegawatan HCU-Interna. Surakarta: Sebelas Maret University Press
Jones RM. 2008. Peripheral Vascular System. Diterjemahkan oleh Leonita N dan Lyrawati D. 2009. Sistem Vaskuler Perifer. http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/sistem-pembuluh-daraf-perifer-nita.pdf (Diakses pada tanggal 27 Mei 2012)
Mayoclinic. 2010. Peripheral artery disease (PAD). http://www.mayoclinic.com/health/peripheral-arterial-disease/DS00537 (Diakses pada tanggal 27 Mei 2012)
Pranawa. 2007. Penyakit Ginjal Kronis. Dalam: Tjokoprawiro, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Press.
Sukrisman L. 2006. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi keempat, Jakarta: Penerbit FK UI.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi keempat. Jakarta: Penerbit FK UI.
Wantera IP, dan Bakta, IM. 2008. Hubungan antara Stadium Keganasan Non-Hematologi dengan D-Dimer sebagai Indikator Kejadian Trombosis. Denpasar: Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar, Bali.
Yusuf I. 2008. Laporan Kasus Trombosis Vena Dalam (DVT) Dengan Faktor
Risiko Defisiensi AT III, Protein C, Dan Protein S. Dalam: Medicinus Vol. 21, No.2, Edisi April - Juni 2008