edit kompre
DESCRIPTION
kesehatanTRANSCRIPT
LEMBAR PERSETUJUAN
USULAN KOMPREHENSIF
STUDI KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF (CHF) DENGAN INDIKATOR PEMBERIAN TERAPI
OKSIGEN DI RUANG ICU RSUD WONOSARI GUNUNG KIDUL
YOGYAKARTA
Diajukan Oleh:
Yuliana Suryati
KP. 07. 00403
Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal ..............
Pembimbing I Pembimbing II
M. Yudha, S.Kep., Ns, M.Kep Tri Winarni, S.Kep., Ns
Siap dilakukan ujian seminar proposal di depan dewan penguji
pada tanggal ....................
Mengetahui
Ketua Prodi Ners
Catur Budi Susilo, S.Pd, S.Kp, M.Kes
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
karena atas tuntunan dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas komprehensif yang berjudul ”Studi Kasus Asuhan Keperawatan pada
Pasien Gagal Jantung Kongestif (CHF) dengan Indikator Pemberian Terapi
Oksigen di Ruang ICU RSUD Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta”. Tugas ini
disusun sebagai tugas stase komprehensif.
Dalam penyelesaian tugas komprehensif ini, tidak luput dari berbagai
macam hambatan dan tantangan. Oleh karena itu sudah sepantasnya
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. dr. Supomo Sukardono, Sp.THT. KL(K), selaku Ketua STIKES Wira
Husada Yogyakarta.
2. Catur Budi Susilo, S.Pd, S.Kp, M.Kes, selaku Ketua Program Studi Ners
STIKES Wira Husada Yogyakarta.
3. M. Yudha, S.Kep., Ns, M.Kep, selaku dosen pembimbing I
4. Tri Winarni, S.Kep.,Ns, selaku dosen pembimbing II.
5. Bapa dan mama yang telah menjadi great inspiring dan motivator
terbesar disaat aku putus asa dan kehilangan harapan. Terima kasih
untuk doa dan kasih sayang yang sempurna dan tak pernah putus
untukku
6. Teman-teman seperjuangan profesi ners angkatan V
iii
7. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian tugas
komprehensif ini
Tugas komprehensif ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
agar pada penulisan tugas selanjutnya dapat lebih baik dari kali ini. Semoga
tugas komprehensif ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para
pembaca serta menjadi referensi atau acuan yang baik bagi para penulis
selanjutnya.
Yogyakarta, Juli 2013
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................... ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ...................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. vii
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 4
C. Tujuan Komprehensif .......................................................... 4
D. Manfaat Komprehensif ........................................................ 4
E. Ruang Lingkup ................................................................... 6
F. Keaslian Komprehensif........................................................ 6
G. Metode Komprehensif ......................................................... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 10
A. Landasan Teori ................................................................... 10
1. Konsep Medik................................................................. 10
a. Jantung .................................................................... 10
b. Gagal Jantung Kongestif .......................................... 18
c. Pemberian Terapi Oksigen pada gagal Jantung ...... 35
2. Konsep Asuhan Keperawatan........................................ 58
v
B. Kerangka Teori ................................................................... 88
C. Kerangka Konsep ............................................................... 89
Daftar Pustaka .................................................................................. 90
Lampiran ...................................................................................... 91
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Anatomi Jantung ................................................................. 13
Gambar 2. Sistem Sirkulasi Darah........................................................ 18
Gambar 3. Mekanisme Pemberian Terapi Oksigen
Untuk Pasien Akut di RS..................................................... 52
Gambar 4. Kerangka Teori.................................................................... 88
Gambar 5. Kerangka Konsep................................................................ 89
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. SOP Terapi Oksigen.......................................................... 92
Lampiran 2. Lampiran 2. Teori SOP Pemberian Oksigen
Menurut Potter dan Perry (2010) ...................................... 96
Lampiran 3. Angket Evaluasi Mutu Pelayanan ..................................... 100
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini Congestive Hearth Failure (CHF) atau yang biasa disebut
gagal jantung kongestif merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskuler
yang terus meningkat insiden dan prevalensinya. Resiko kematian akibat
gagal jantung berkisar antara 5-10% pertahun pada gagal jantung ringan
yang akan meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat
(Hersunarti, 2002).
Angka insidensi gagal jantung prevalensinya semakin meningkat.
Kurang lebih 4,6 juta pasien di Amerika Serikat mempunyai gagal
jantung, dan ada hampir 550.000 kasus baru setiap tahun (Braunwald,
2005). Sementara di negara berkembang ditemui kasus baru sebanyak
400.000-700.000 setiap tahun (Hersunarti, 2002). Prevalensi gagal
jantung meningkat secara dramatis seiring bertambahnya usia. Gagal
jantung muncul pada 1-2% individu dengan usia 50-59 tahun dan
meningkat sampai 10% pada individu dengan usia diatas 75%. Kurang
lebih 80% dari semua kasus gagal jantung muncul pada pasien dengan
usia diatas 65 tahun (Braunwald, 2005).
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008 disebutkan bahwa gagal
jantung menyebabkan 13.395 orang menjalani rawat inap, dan 16.431
orang menjalani rawat jalan di seluruh rumah sakit di Indonesia, serta
1
2
mempunyai presentase case fatality rate sebesar 13,42%, kedua tertinggi
setelah infark miokard akut (13,49%). Hal ini membuktikan bahwa gagal
jantung termasuk dalam penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat
dan menimbulkan penurunan kualitas hidup (Depkes, 2009).
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan
oksigen dan nutrisi. Gagal jantung merupakan suatu kondisi abnormal
yang melibatkan kerusakan pemompaan jantung (Lewis dkk, 2004).
Dikarakteristikkan dengan disfungsi ventrikel, penurunan toleransi
terhadap aktivitas, penurunan kualitas hidup dan penurunan usia harapan
hidup. Kegagalan jantung dalam memompakan darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh, sindroma klinis kompleks yang dimanifestasikan oleh
nafas pendek, kelemahan dan fungsi jantung abnormal.
Sesak napas terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan
mengganggu pertukaran gas sehingga dapat terjadi ortopnea. Beberapa
pasien dapat mengalami ortopnea pada malam hari yang dinamakan
paroksimal nokturnal dispnea. Terjadi karena cairan berakumulasi dalam
paru sehingga penderita akan mengalami sesak napas, terutama selama
olahraga/latihan dan ketika berbaring rata. Pasien dapat terbangun di
malam hari karena sesak napas sehingga menyebabkan penurunan
terhadap pemenuhan kebutuhan oksigen. Oksigen ini dapat meredakan
gawat napas yang dimiliki oleh pasien, mengurangi sesak napas dan
3
memperbaiki mobilitas. Oksigen penting untuk kelangsungan hidup sel
tubuh (Francis, 2011).
Kekurangan oksigen adalah hal yang berbahaya bagi keselamatan
pasien sehingga perlu diberikannya terapi oksigen. Pemberian oksigen
hendaknya bukan menjadi ritual klinik tetapi dasar rasional untuk
pemberian oksigen harus dikuasai dengan baik. Pengelolaan oksigenasi
pada pasien maka sangat diperlukan pemahaman yang baik tentang
oksigen seperti fungsi oksigen, suplai oksigen, faktor apa yang
berpengaruh pada oksigenasi jaringan, indikasi, dosis dan cara
pemberian oksigen dan kemungkinan bahaya yang dapat terjadi pada
pemberian oksigen (Patria dan Fairuz, 2010).
Studi kasus ini tidak bermaksud menetapkan alogaritma terapi
oksigen, hanya mengamati perlakuan tenaga kesehatan yaitu perawat
dalam memberikan terapi oksigen. Perlu adanya sistematika yang jelas
oleh perawat dalam memberikan terapi oksigen sehingga aspek legal
dalam terapi ini dapat dipertanggungjawabkan. Menurut salah satu survei
di rumah sakit, 21% peresapan oksigen tidak tepat dan 85% pasien tidak
diawasi dengan baik (Patria dan Fairuz, 2010).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan studi kasus asuhan keperawatan pada pasien gagal jantung
dengan indikator pemberian terapi oksigen di Ruang ICU RSUD
Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta.
4
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam studi kasus ini adalah bagaimanakah
penatalaksanaan pemberian terapi osksigen pada pasien gagal jantung di
Ruang ICU RSUD Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta?
C. Tujuan Komprehensif
1. Tujuan Umum
Mengetahui penatalaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
gagal jantung dengan indikator pemberian terapi oksigen di Ruang
ICU RSUD Wonosari.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien gagal jantung
b. Mengetahui kesesuaian SOP dengan pemberian terapi oksigen
yang dilakukan oleh perawat
c. Mengetahui kepuasan pasien terhadap tindakan keperawatan
yang dilakukan oleh petugas kesehatan dalam hal ini perawat.
D. Manfaat Komprehensif
1. Manfaat Teoritis
Manfaat studi kasus ini secara teoritis adalah dapat menambah
wawasan bagi perkembangan ilmu keperawatan khususnya di bidang
keperawatan medikal bedah terutama yang berkaitan dengan
pemberian terapi oksigen pada pasien gagal jantung.
5
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pasien
Agar pasien dapat mendapatkan pelayanan yang maksimal, klien
mendapatkan oksigen yang adekuat, pasien dapat bernapas
spontan dengan bantuan minimal.
b. Bagi institusi terkait
1) Sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan kesehatan,
pencegahan dan penatalaksanaan gagal jantung kongestif.
2) Dapat melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standar.
3) Dapat memahami konsep pemberian asuhan keperawatan
terapi oksigenasi pada pasein gagal jantung, dapat
melaksanakan asuhan keperawatan yang sesuai dengan
konteks perjalanan penyakit/kejadian sakit pasien.
4) Ketepatan dalam pemberian asuhan keperawatan serta dapat
dipertanggungjawabkan.
c. Bagi Mahasiswa
Dengan pelaksanaan studi kasus ini mahasiswa dapat memahami
manfaat dan mekanisme serta menambah kompetensi tentang
pelaksanaan asuhan keperawatan yang berkaitan dengan
pemberian terapi oksigen pada pasien gagal jantung.
6
E. Ruang Lingkup
1. Materi
Studi kasus ini termasuk dalam ruang lingkup keperawatan medikal
bedah khususnya mengenai gagal jantung kongestif dan terapi
oksigenasi.
2. Responden
Responden dari studi kasus ini yaitu perawat Ruang ICU RSUD
Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta.
3. Tempat
Studi kasus ini dilakukan di Ruang ICU RSUD Wonosari, Gunung
Kidul, Yogyakarta.
4. Waktu
Studi kasus ini dilaksanakan pada tanggal 12 Agustus-24 Agustus
2013.
F. Keaslian Studi Kasus
Studi kasus tentang ”asuhan keperawatan pada pasien gagal jantung
kongestif dengan indikator pemberian terapi oksigen di Ruang ICU RSUD
Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta” sepengetahuan penulis belum
pernah dijumpai seperti yang disusun penulis saat ini. Tetapi dari studi
pustaka penulis menemukan karya ilmiah serupa antara lain:
1. (Lupiyatama, 2012) meneliti tentang gambaran peresapan digoxin
pada pasien gagal jantung yang berobat jalan di RSUP dr. Kariadi
7
Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan
menggunakan metode total sampling. Variabel bebasnya adalah
pemberian terapi digoxin dan variabel terikatnya adalah pasien gagal
jantung yang berobat jalan. Hasil penelitian ini adalah terdapat 121
pasien yang menerima terapi digoxin, 74 pasien (61,2%) menerima
terapi digoxin sesuai dengan indikasi.
2. (Meikawati, 2012) meneliti tentang perbedaan tingkat kecemasan
pada pasien infark miokard sebelum dan sesudah pemberian teknik
relaksasi otot progresif di RSUD Tugurejo Semarang. Jenis penelitian
yang digunakan adalah pra eksperimen dengan rancangan one group
pre-post test design. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 16
responden dengan teknik quota sampling. Penelitian ini menggunakan
uji Wilcoxon menunjukkan nilai p 0,002. Hasil penelitian ini adalah:
ada perbedaan tingkat kecemasan pada pasien infark miokard
sebelum dan sesudah pemberian teknik relaksasi otot progresif.
3. (Ode Dewi, 2010) meneliti tentang studi kasus asuhan keperawatan
Ny.S dengan congestive heart failure di Ruang Bougenville 4 IRNA I
RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. Pengumpulan data dengan observasi,
wawancara, pemeriksaan fisik, studi dokumentasi. Metode yang
digunakan metode deskriptif dalam bentuk studi kasus, dimana
dilakukan pemaparan permasalahan serta pemecahan masalah
secara langsung dengan menggunakan pendekatan proses
8
keperawatan yaitu pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi,
pendokumentasian.
G. Metode Komprehensif
1. Metode Studi Kasus
Metode yang digunakan dalam studi kasus ini adalah metode
deskripsi suatu fakta dengan pendekatan observasional asuhan
keperawatan yang dilakukan oleh perawat di ruangan terhadap pasien
yang akan diambil sebagai subjek/objek observasi.
2. Definisi Operasional
a. Gagal jantung kongestif yang dimaksud adalah pasien yang
terdiagnosa gagal jantung kongestif dan dirawat inap di rumah
sakit.
b. Pemberian terapi oksigen yang dimaksud adalah bantuan dasar
hidup manusia terhadap kebutuhan oksigen dan diberikan kepada
pasien yang mengalami sesak napas akibat gagal jantung
kongestif yang dilakukan oleh perawat dengan menggunakan
sungkup, nasal kanul, RM, NRM, saturasi oksigen sesuai dengan
standar asuhan keperawatan. Parameter yang digunakan dalam
mengukur kefektifitasan pemberian terapi oksigen yaitu efektif dan
tidak efektif. Kefektifitasan pemberian terapi oksigen dapat dilihat
dari hasil pemeriksaan AGD dan saturasi oksigen.
9
3. Instrumen studi kasus
Instrumen yang digunakan dalam studi kasus ini adalah:
a. Pedoman asuhan keperawatan
Pedoman asuhan keperawatan yang dimaksud untuk menilai
pendokumentasian asuhan keperawatan pada pasien CHF,
kelengkapan dan kejelasan dalam pengisian dokumen.
b. Angket kepuasan pasien
Angket kepuasan pasien digunakan untuk mengetahui sejauh
mana efektifitas tindakan keperawatan dan hasil yang dirasakan
pasien termasuk pelayanan perawat. Parameter yang diukur
adalah puas, kurang puas, tidak puas.
c. SOP/PROTAP terapi oksigen
SOP/PROTAP berisikan prosedur tentang pemberian terapi
oksigen. Perawat melakukan tindakan sesuai dengan SOP.
Pearameter yang diukur adalah sesuai, kurang sesuai, tidak
sesuai. Skor dalam parameter yang digunakan adalah:
Sesuai = 100%
Kurang sesuai = 50-100%
Tidak sesuai = < 50%
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Konsep Medik
a. Jantung (kardiovaskuler)
1) Pengertian
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang
yang terletak di rongga dada, di bawah perlindungan tulang iga,
sedikit ke sebelah kiri sternum. Jantung terdapat di dalam
sebuah kantong longgar yang berisi cairan yang disebut
perikardium (Corwin, 2009)
2) Fungsi Jantung
Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke seluruh
tubuh dimana pada saat memompa jantung otot-otot jantung
(miokardium) yang bergerak. Selain itu otot jantung juga
mempunyai kemampuan untuk menimbulkan rangsangan listrik
(Corwin, 2009).
3) Anatomi jantung
Jantung terletak diatas diafragma, dalam cavum thoracis di
pertengahan rongga dada agak ke kiri, dalam suatu ruangan
yang disebut mediastinum (ruangan diantara paru kiri dan
kanan) serta dalam cavum pericardii (pembungkus terluar dari
10
11
jantung). Kira-kira dua pertiga jantung terletak disebelah kiri
midline tubuh (Corwin, 2009). Lapisan jantung menurut Price &
Wilson (1994), terdiri dari:
a) Pericardium: merupakan pembungkus jantung yang terluar
dan membungkus seluruh bagian jantung. Pericardium
terbagi atas 2 lapisan yaitu pericardium fibrosa dan
pericardium serosa. Selain itu pericardium serosa terbagi
atas pericardium visceral dan parietal.
b) Epicardium: lapisan terluar jantung
c) Myocardium: lapisan tengah jantung yang merupakan
laoisan otot.
d) Endocardium: lapisan terdalam dari jantung
Secara anatomis jantung merupakan organ yang
mempunyai rongga di dalamnya. Rongga di dalam jantung ini
terdiri dari 4 ruang, yaitu dua ruang atrium di sebelah atas, dan
dua ruang ventrikel di sebelah bawah. Ukuran jantung kira-kira
sebesar kepalan tangan individu pemiliknya. Ukuran jantung
pada orang dewasa adalah panjang kira-kira 12 cm, lebar
dibagian paling lebar kira-kira 6 cm, dan berat kira-kira 300
gram.
Secara fungsional jantung manusia terdiri atas dua
bagian yang terpisah, yaitu bagian kanan dan kiri. Jantung
bagian kanan dan kiri masing-masing terdiri atas dua rongga
12
pompa yang berdenyut, yaitu atrium dan ventrikel. Fungsi
atrium adalah pompa primer bagi ventrikel, yaitu membantu
memasukan darah ke dalam ventrikel artinya atrium hanya
untuk mengisi darah ke dalam ventrikel yang akan
memompakan darah tersebut keluar jantung melalui pembuluh
darah balik (vena). Namun, kekuatan pemompaan atrium relatif
lebih lemah dibandingkan dengan ventrikel; perbedaan
kekuatan ini sesuai dengan fungsi atrium untuk memompakan
darah sampai keventrikel saja. Darah yang masuk kedalam
ventrikel kiri ini kaya akan oksigen dan akan menyuplai oksigen
bagi seluruh jaringan tubuh. Darah balik dari sikulasi sistemik
yang kaya CO2 masuk ke dalam atrium kanan melalui vena
cava. Atrium kanan kemudian memompakan darah yang kaya
CO2 ini selanjutnya dipompakan ventrikel kanan ke trunkus
pulonalis dan selanjutnya ke sirkulasi paru-paru untuk
dibersihkan.
13
Gambar 1. Anatomi Jantung
4) Fisiologi Sistem Kardiovaskuler
Jantung atau sistem kardiovaskular terdiri atas tiga
komponen yang berperan yakni jantung itu sendiri sebagai alat
memompa darah, pembuluh darah sebagai tempat untuk
mengalirkan darah dan darah sebagai bagian yang mengatur
sistem berjalan sesuai dengan kondisi yang ada. Jantung
bekerja sebagai alat untuk mensirkulasi darah ke paru, guna
pertukaran gas (Aaronson dan Ward, 2010). Jantung memiliki
sifat dasar, yaitu:
a) Irritability (bathmotropic): peka rangrang
b) Conductivity (dromotropic): hantar rangsang
c) Contractility (inotropic): dapat berkontraksi
d) Rhythmicity ( chronotropic): bersifat ritmis
14
5) Sirkulasi Jantung
Menurut Aaronson dan Ward (2010), jantung memiliki fase
sirkulasi, yaitu peristiwa yang terjadi pada jantung berawal dari
permulaan sebuah denyutan sampai berakhirnya denyut
jantung berikutnya. Siklus jantung mencakup periode dari akhir
kontraksi (sistol) dan relaksasi (diastol) jantung sampai akhir
sistol dan diastol berikutnya. Saat tekanan meningkat, katup
aorta membuka dan darah masuk ke aorta, yang merupakan
yang pertama dan terbesar dari sirkulasi sistemik. Periode
kontraksi ventrikel ini disebut sistol. Tekanan maksimal selama
sistol disebut tekanan sistolik, dan tekanan ini berfungsi untuk
mengalirkan darah melalui aorta dan untuk melebarkan aorta
yang sangat elastik. Selanjutnya katup aorta menutup, dan
ventrikel kiri berelaksasi sehingga ventrikel kiri dapat terisi
kembali dengan darah dari atrium kiri melalui katup mitral.
Periode relaksasi disebut diastol. Selama diastol, aliran darah
dan tekanan aorta berkurang, namun tidak menurun hingga nol,
karena recoil elastik dari aorta berlanjut untuk menghasilkan
tekanan diastolik dalam darah yang secara bertahap menurun
hingga level minimum sekitar 80 mmHg. Kontraksi jantung
mengakibatkan perubahan tekanan dan volume darah dalam
jantung dan pembuluh utama yang mengatur pembukaan dan
15
penutupan katup jantung serta aliran darah yang melalui ruang-
ruang dan masuk ke arteri.
6) Jantung sebagai sirkulasi sistemik, sirkulasi pulmonal dan
transport gas (Aaronson dan Ward, 2010).
a) Sirkulasi sistemik
Sirkulasi sistemik adalah sirkulasi darah yang dimulai
pada saat darah dipompa keluar dari ventrikel kiri melalui
aorta ke seluruh tubuh, dan kembali ke atrium kanan
jantung melalui vena kava superior dan vena kava inferior.
Darah yang kaya akan O2 yang berasal dari ventikel kiri,
melalui aorta akan dihantarkan ke seluruh tubuh. Di jaringan
perifer, O2 akan digunakan dan bertukar dengan CO2,
kemudian darah dengan kadar O2 rendah kembali ke
jantung melalui kava. Mekanisme spesial pada jantung
dapat berkontraksi secara konstan, melalui penghantaran
aksi potensial melalui otot jantung, jantung dapat berdetak
secara konstan dan ritmis. Mekanismenya adalah: aliran
darah dari ventrikel kiri menuju katup aortik kemudian ke
aorta, dari aorta darah mengalir ke ateri dan arteriola
kemudian ke kapiler. Dari kapiler darah mengalir ke venula
dan vena lalu mengalir ke vena kava inferior dan superior
kemudian ke atrium kanan. Ciri-ciri sirkulasi sistemik adalah:
(1) Mengalirkan darah ke berbagi organ
16
(2) Memenuhi kebutuhan organ yang berbeda
(3) Memerlukan tekanan permulaan yang besar
(4) Banyak mengalami tahanan
(5) Kolom hidrostatik panjang
b) Sirkulasi pulmonalis
Sirkulasi pulmonalis adalah sirkulasi darah dari ventrikel
kanan jantung, masuk ke paru-paru, kemudian kembali ke
atrium kiri. Melalui peran ventrikel kanan, darah dengan
kadar O2 rendah disampaikan melalui arteri pulmonari ke
paru-paru, kemudian terjadi pertukaran gas, sehingga darah
yang keluar dari paru-paru kaya akan O2. Darah yang
kayaakanO2 ini akan dihantarkan kembali ke paru-paru
melalui vena pulmonari. Mekanismenya adalah: aliran darah
dari ventrikel kanan menuju katup pulmonalis kemudian ke
arteri pulmonalis. Dari arteri pulmonalis ke paru kemudian
mengalir ke vena pulmonalis menuju ke atrium kiri.
Arteri pulmonalis mengandung darah yang tidak
teroksigenasi, sedangkan vena pulmonalis mengandung
darah yang teroksigenasi. Arteri pulmonalis terbagi lagi
menjadi arteri yang lebih kecil, arteriol dan kapiler. Ciri-ciri
sirkulasi pulmonalis adalah:
(1) Hanya mengalirkan darah ke paru
(2) Hanya berfungsi untuk paru
17
(3) Mempunyai tekanan permulaan yang rendah
(4) Hanya sedikit mengalami tahanan
(5) Kolom hidrostatiknya pendek
c) Transportasi gas
Transportasi gas merupakan sistem transportasi antara
O2 kapiler ke jaringan tubuh, dan CO2 jaringan tubuh ke
kapiler. Pada transportasi, O2 akan berikatan dengan
hemoglobin (Hb) dan menjadi oksihemoglobin (97%), serta
CO2 juga berikatan dengan Hb, yang akan membentuk
karbominohemoglobin (30%), dan larut dalam plasma (3%),
kemudian menjadi HCO3 berada pada darah. Pada
transportasi gas terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi, diantaranya adalah curah jantung (cardiac
output) yang dapat dinilai melalui isi sekuncup dan frekuensi
denyut jantung. Isi sekuncup ditentukan oleh kemampuan
otot jantung untuk berkontraksi dan volume cairan. Faktor
lain yang mempengaruhi transportasi gas adalah kondisi
pembuluh darah, latihan/olahraga (exercise), hematokrit
(perbandingan antara sel darah dengan darah secara
keseluruhan) eritrosit, dan Hb.
18
Gambar 2. Sistem Sirkulasi Darah
b. Gagal Jantung Kongestif (CHF)
1) Pengertian
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung
sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah
untuk metabolisme jaringan (Faqih, 2006).
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Brunner &
Suddarth, 2001).
19
Gagal jantung merupakan suatu kondisi abnormal yang
melibatkan kerusakan pemompaan jantung. Dikarakteristikkan
dengan disfungsi ventrikel, penurunan toleransi terhadap
aktivitas, penurunan kualitas hidup dan penurunan usia
harapan hidup. Kegagalan jantung dalam memompakan darah
untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sindroma klinis kompleks
yang dimanifestasikan oleh nafas pendek, kelemahan dan
fungsi jantung abnormal (Woods, 2000).
Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal
jantung. Gagal sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan dari
sistem kardiovaskuler untuk melakukan perfusi jaringan dengan
memadai, mencakup segala kelainan dari sirkulasi yang
mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai, termasuk
perubahan dalam volume darah, tonus vaskuler dan jantung.
2) Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association
(NYHA) (Muttaqin, 2009) yaitu:
a) Kelas 1: minimal: bila pasien dapat melakukan aktivitas
berat tanpa keluhan dan tanpa pembatasan aktivitas fisik
b) Kelas 2: gagal jantung ringan: sedikit pembatasan aktivitas
fisik sehari hari tingkat ringan, pasien merasa nyaman ketika
beristirahat, aktivitas fisik yang biasa menimbulkan rasa
lelah, palpitasi, dispnea, atau angina.
20
c) Kelas 3: gagal jantung sedang: banyak pembatasan
aktivitas fisik, nyaman ketika beristirahat, keluhan dan gejala
sudah muncul kendati aktivitas lebih ringan daripada
aktivitas fisik biasa.
d) Kelas 4: gagal jantung berat: bila pasien sama sekali tidak
dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring.
Gejala angina dan insufisiensi jantung dapat terjadi pada
saat istirahat.
3) Penyebab (Etiologi)
Gagal jantung dapat disebabkan oleh (Mutaqqin, 2009):
a) Beban tekanan berlebihan dan pembebanan sistolik
(systolic overload)
Beban sistolik yang berlebihan di luar kemampuan
ventrikel (systolic overload) menyebabkan hambatan pada
pengosongan ventrikel sehingga menurunkan curah
ventrikel atau isi sekuncup.
b) Beban volume berlebihan-pembebanan diastolik (diastolic
overload)
Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas
ventrikel (diastolic overload) akan menyebabkan volume
dan tekanan pada akhir diastolik dalam ventrikel meninggi.
Curah jantung mula-mula akan meningkat sesuai dengan
besarnya regangan otot jantung, tetapi bila beban terus
21
bertambah sampai melampaui batas tertentu, maka curah
jantung justru akan menurun kembali.
c) Kelainan otot jantung. Gagal jantung sering terjadi pada
penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot mencakup arteriosklerosis koroner,
hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
d) Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium
karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi
hipoksia dan asidosis (akibat penumpuikan asam laktat).
Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi yang secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas
menurun.
e) Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)
meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
f) Peradangan dan penyakit miocardium degeneratif,
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini
secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun.
22
g) Penyakit jantung lain. Gagal jantung dapat terjadi sebagai
akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara
langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya
terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk
jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan
jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium,
perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan
mendadak afterload.
h) Faktor sistemik: terdapat sejumlah besar faktor yang
berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung.
Meningkatnya laju metabolisme (misalnya: demam,
tirotoksikosis), hipoksia dan anemia memerlukan
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik
atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.
Grade gagal jantung menurut New York Heart
Association berdasarkan tanda dan gejala yang terjadi
terbagi menjadi 4 kelainan fungsional:
(1) Kelas I: tanpa keluhan
Masih bisa melakukan aktivitas fisik sehari-hari tanpa
disertai kelelahan, sesak napas, ataupun palpitasi.
23
(2) Kelas II: ringan
Aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan,
sesak napas, ataupun palpitasi, tetapi jika aktivitas ini
dihentikan maka keluhan pun hilang.
(3) KelasIII: sedang
Aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan,
sesak napas, ataupun palpitasi, tetapi keluhan akan
berkurang jika aktivitas dihentikan.
(4) Kelas IV: berat
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari,
bahkan pada saat istirahat pun keluhan tetap ada dan
semakin berat jika melakukan aktivitas.
4) Patofisiologi
Menurut Aaronson dan Ward (2010), sekitar 70% kasus
disebabkan oleh gagal sistolik, dengan gangguan fungsi
ventrikel dan fraksi ejeksi <50%. Mekanisme yang mendasari
terjadinya gagal jantung kongestif meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah
jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada
gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah
kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang
dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume
sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap
24
konteraksi tergantung pada tiga faktor: yaitu preload,
kontraktilitas, afterload:
a) Preload: adalah jumlah darah yang mengisi jantung
berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh
panjangnya regangan serabut otot jantung.
b) Kontraktillitas: mengacu pada perubahan kekuatan
kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan
dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium.
c) Afterload: mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang
harus dihasilkan untuk memompa darah melawan
perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol.
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini
terganggu, maka curah jantung berkurang (Brunner and
Suddarth, 2002).
Kontraktilitas miokardium menurun dan kurva fungsi
ventrikel mengalami depresi. Pada gagal diastolik pengisian
ventrikel terganggu, umumnya karena dinding ventrikel kaku
akibat fibrosis atau hipertrofi. Kontraktilitas dapat normal atau
bahkan meningkat, dan fraksi ejeksi >50%. Gagal sistolik dan
diastolik seringkali terjadi bersamaan. Manifestasi klinis serupa
karena pada keduanya curah hanya dapat dicapai saat istirahat
dengan peningkatan tekanan akhir diastolik (EDP). Pada
25
latihan fisik, kurva fungsi tidak mampu mencapai curah yang
diperlukan, peningkatan kontraktilitas kecil karena tonus simpati
sudah tinggi. Pada gagal jantung berat dan dekompensata,
curah istirahat yang normal tidak dapat dicapai bahkan dengan
peningkatan substansial (Aaronson dan Ward, 2010).
Gagal jantung kiri merupakan penyakit iskemik yang sering
mengenai ventrikel kiri. Penurunan curah menyebabkan
peningkatan EDP ventrikel kiri (preload) dan tekanan vena
pulmonalis karena darah kembali dalam sirkulasi pulmonal
(kongesti pulmonal). Keadaan ini menyebabkan jantung
berdilatasi, dan peningkatan tekanan kapiler pulmonal memacu
terjadinya akumulasi cairan pada jaringan interstisial paru.
Peningkatan darah dan cairan dalam paru membuat paru
menjadi berat, sehingga menyebabkan dispnea. Dispnea hanya
terjadi bila pasien berbaring datar (ortopnea) karena cairan
terdistribusi ke paru. Dispnea episodik yang menyebabkan
pasien terbangun di malam hari disebut paroxysmal nocturnal
dyspnea. Bila keadaan ini berat, maka peningkatan tekanan
kapiler dapat mendorong cairan ke dalam alveoli (edema
pulmonal), suatu kondisi mengancam nyawa yang
menyebabkan dispnea hebat, yang mengurangi pertukaran gas
dan menyebabkan hipoksemia (Aaronson dan Ward, 2010).
26
5) Manifestasi Klinis
Ada beberapa tanda dan gejala gagal jantung (Brunner and
Suddarth, 2002), yaitu:
a) Sesak napas
Jika cairan berakumulasi dalam paru-paru, penderita akan
mengalami sesak napas, terutama selama olahraga/latihan
dan ketika berbaring rata. Pada beberapa kasus, pasien
bisa jadi terbangun di malam hari karena sesak napas.
Dispnea terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan
mengganggu pertukaran gas, dapat terjadi ortopnea.
Beberapa pasien dapat mengalami ortopnea pada malam
hari yang dinamakan paroksimal nokturnal dispnea (PND).
b) Ortopnea kesulitan bernafas saat berbaring, beberapa
pasien hanya mengalami ortopnea pada malam hari, hal ini
terjadi bila pasien, yang sebelumnya duduk lama dengan
posisi kaki dan tangan di bawah, kemudian berbaring di
tempat tidur. Setelah beberapa jam cairan yang tertimbun
diekstremitas yang sebelumnya berada di bawah mulai
diabsorbsi, dan ventrikel kiri yang sudah terganggu, tidak
mampu mengosongkan peningkatan volume dengan
adekuat. Akibatnya tekanan dalam sirkulasi paru meningkat
dan lebih lanjut, cairan berpindah ke alveoli.
27
c) Batuk yang berhubungan dengan ventrikel kiri bisa kering
dan tidak produktif, tetapi yang tersering adalah batuk
basah yaitu batuk yang menghasilkan sputum berbusa
dalam jumlah yang banyak, yang kadang disertai bercak
darah.
d) Mudah lelah dapat terjadi akibat curah jantung yang kurang,
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen
serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme, juga
terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk
bernapas.
e) Anorexia dan mual
Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam
rongga abdomen. Bila cairan terkumpul dalam hati dan usus
maka akan menyebabkan mual, nyeri perut, dan nafsu
makan yang berkurang
f) Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang, menghambat
jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunya
pembuangan sisa hasil katabolisme. Mudah lelah juga
terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk
bernapas dan insomnia yang terjadi karena distres
pernapasan dan batuk.
28
g) Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stres akibat
kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak
berfungsi dengan baik.
h) Distensi Vena Jugularis
Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, maka
akan terjadi dilatasi venterikel dan peningkatan volume
curah jantung pada akhir diastolik dan terjadi peningkatan
laju tekanan darah pada atrium kanan. Peningkatan ini
sebaliknya memantau aliran darah dari vena kava yang
diketahui dengan peningkatan vena jugularis, dengan kata
lain apabila terjadi dekompensasi venterikel kanan maka
kondisi pasien dapat ditandai adanya edema tungkai kaki
dan distensi vena jugularis pada leher.
i) Edema
Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam
jaringan interstisial lebih dari jumlah yang biasa atau di
dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan gangguan
sirkulasi pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan
jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di dalam
rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan
pericardium. Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal
dinamakan asites. Terjadinya edema pada jantung
29
disebabkan karena terjadinya dekompensasi jantung (pada
kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal
ini disebabkan oleh kegagalan venterikel jantung untuk
memompakan darah dengan baik sehingga darah terkumpul
di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan
cairan ke interstisial (Syarifuddin, 2001).
Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan
jantung kanan dalam mengosongkan darah dengan adekuat
sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang
secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini dimulai
pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara
bertahap bertambah keatas tungkai dan paha dan akhirnya
ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema
sakral jarang terjadi pada pasien yang berbaring lama,
karena daerah sakral menjadi daerah yang dependen. Bila
terjadinya edema maka dilihat kedalaman edema dengan
pitting edema. Pitting edema adalah edema yang akan tetap
cekung bahkan setelah penekanan ringan pada ujung jari,
baru jelas terlihat setelah terjadinya retensi cairan paling
tidak sebanyak 4,5kg dari berat badan normal selama
mengalami edema (Brunner and Suddarth, 2002).
30
6) Komplikasi
a) Kerusakan atau kegagalan ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal,
yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak
ditangani. Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat
membutuhkan dialisis untuk pengobatan.
b) Masalah katup jantung
Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga
dapat terjadi kerusakan pada katup jantung.
c) Kerusakan hati
Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan
yang menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati.
Cairan ini dapat menyebabkab jaringan parut yang
mengakibatkan hati tidak dapat berfungsi dengan baik.
d) Serangan jantung dan strok.
Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal
jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin
besar kemungkinan akan mengembangkan pembekuan
darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan
jantung atau strok.
7) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gagal jantung kongestif
menurut Doengoes (2000) adalah sebagai berikut:
31
a) Pemeriksaan darah diagnostik kardiopulmonal
(1) Enzim jantung: untuk mendiagnosa infark miokard akut.
(2) Enzim hepar: meningkat dalam gagal/kongesti hepar.
(3) Elektrolit: mungkin berubah karena perpindahan
cairan/penurunan fungsi ginjal, terapi diuretik.
(4) Analisa gas darah (AGD): gagal ventrikel kiri ditandai
dengan alkalosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
(5) Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin: peningkatan
BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan
baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.
(6) Kolesterol: peningkatan jumlah kolesterol terutama LDL
dapat menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah
jantung.
b) Elektrokardiografi (EKG)
Untuk melihat penyakit yang mendasari seperti infark
miokard dan aritmia. Hipertrofi ventrikel kiri, aritmia misalnya
takikardi, terdapat fibrilasi atrium dimana jarak R ke R’ tidak
seragam, penyimpangan aksis, iskemia, Hipertrofi atrial atau
ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia kerusakan pola
mungkin terlihat.
32
c) Scan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan
dinding.
d) Sonogram (ekokardiogram, ekokardiogram dopple)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan
dalam fungsi/struktur katup atau area penurunan
kontraktilitas ventrikular.
e) Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri
dan stenosis katup atau insufisiensi.
f) Rontgen dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik, atau perubahan
dalam pembuluh darah abnormal.
g) Oksimetri nadi
Saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal
jantung kongestif akut menjadi kronis.
h) Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid
sebagai pre pencetus gagal jantung.
33
8) Penatalaksanaan
a) Glikosida jantung
Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan
memperlambat frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan:
peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan
volume darah dan peningkatan diuresisdan mengurangi
edema
b) Terapi diuretik
Diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui
ginjal. Penggunaan harus hati-hati karena efek samping
hiponatremia dan hipokalemia.
c) Terapi vasodilator
Obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadansi
tekanan terhadap aliran darah oleh ventrikel. Obat ini
memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan
kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri
dapat diturunkan.
d) Tirah Baring
Tirah baring mengurangi kerja jantung, meningkatkan
tenaga cadangan jantung dan menurunkan tekanan darah
dengan menurunkan volume intravaskuler melalui induksi
diuresis berbaring.
34
e) Oksigen
Pemenuhan oksigen akan mengurangi demand miokard
dan membantu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
f) Diet
Pembatasan natrium untuk mencegah, mengontrol, atau
menghilangkan edema.
g) Penghambat ACE (ACE inhibitors): untuk menurunkan
tekanan darah dan mengurangi beban kerja jantung
h) Penyekat beta (beta blockers) mengurangi denyut jantung
dan menurunkan tekanan darah agar beban jantung
berkurang
i) Pemberian digoxin dapat memperkuat denyut dan daya
pompa jantung
j) Digitalis dapat memperlambat frekuensi ventrikel dan
meningkatkan kekuatan kontraksi, peningkatan efisiensi
jantung. Saat curah jantung meningkat, volume cairan lebih
besar dikirim ke ginjal untuk filtrasi dan ekskresi dan volume
intravaskular menurun.
k) Inotropik positif
Dobutamin adalah obat simpatomimetik dengan kerja beta 1
adrenergik. Efek beta 1 meningkatkan kekuatan kontraksi
miokardium (efek inotropik positif) dan meningkatkan denyut
jantung (efek kronotropik positif).
35
l) Sedatif
Pemberian sedatif untuk mengurangi kegelisahan bertujuan
mengistirahatkan dan memberi relaksasi
c. Pemberian Terapi Oksigen Pada Gagal Jantung
1) Pengertian Terapi Oksigen
Oksigen yaitu suatu zat atau gas yang tidak berwarna, serta
tidak ada rasa dan mudah terbakar yang digunakan dalam
metabolisme untuk mempertahankan kelangsungan hidup
seluruh sel dalam tubuh. Tujuan pemberian oksigenasi yaitu
untuk menurunkan kerja jantung, untuk mempertahankan
oksigen yang ada kuat pada jaringan, dan untuk menurunkan
kerja paru-paru (Patria dan fairuz, 2010).
Proses respirasi adalah proses pertukaran gas yang masuk
dan keluar melalui kerjasama antara sistem respirasi,
kardiovaskuler, dan kondisi hematologis (Patria dan fairuz,
2010).
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen pada konsentrasi
yang lebih tinggi dari udara bebas (ruang) untuk mencegah
terjadinya hipoksemia dan hipoksia yang akan mengakibatkan
terjadinya kematian sel (Patria dan fairuz, 2010).
Tujuan pemberian terapi oksigen adalah meningkatkan
kandungan oksigen dalam darah arteri dan dihantarkan ke
jaringanuntuk memfasilitasi metabolisme aerobik serta
36
memberikan oksigen yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
oksigen tingkat sel sehingga dapat mencegah kegagalan
multiorgan. Pemeliharaan saturasi O2 dalam batas normal
(95%-98%) penting untuk memaksimalkan oksigenasi jaringan
(Patria dan fairuz, 2010).
Terjadinya hipoksia dipengaruhi oleh beberapa sistem
organ yang saling terkait baik itu sistem respirasi,
kardiovaskuler dan hematologi. Gangguan dari salah satu atau
lebih dari sistem tersebut akan mengakibatkan manifestasi
klinis bila tidak ditangani dengan tepat (Patria dan fairuz, 2010).
Terapi oksigen yang diberikan akan meningkatkan PAO2
(tekanan parsial oksigen di alveolus), oleh karena itu hanya
efektif apabila unit-unit alveokapiler berfungsi dengan baik.
Apabila unit-unit ini tidak terventilasi dengan baik maka PAO2
akan menjadi rendah. Peningkatan pada FiO2 (fraksi oksigen
yang dihirup) yaitu dengan pemberian terapi oksigen,
akanmeningkatkan PAO2 yang secara tidak langsung akan
meningkatkan PaO2 dengan catatan proses difusi optimal
(Potter dan Perry, 2010).
37
2) Proses Fisiologi Oksigenasi
Menurut Potter dan Perry (2010), proses fisiologi
oksigenasi adalah:
Regulasi persyarafan: mempertahankan irama dan kedalaman
respirasi dan menyeimbangkan antara inspirasi dan ekspirasi.
Korteks Serebri: kontrol pendukung respirasi menyampaikan
impuls ke saraf motorik respirasi melalui jalan korda spinalis;
mengakomodasi pembicaraan, memakan dan berenang.
Medula oblongata: kontrol otomatis respirasi terjadi secara
terus menerus
Regulasi kimia: mempertahankan kesesuaian kecepatan dan
kedalaman respirasi berdasarkan perubahan dalam konsentrasi
karbondioksida (CO2), oksigen (O2), dan ion hidrogen (H+)
darah.
Kemoreseptor: terletak pada medulla, batang aorta dan batang
karotis. Perubahan dalam kandungan kimiawi dari O2, CO2,
dan H+ merangsang kemoreseptor, sebaliknya menstimulasi
regulator persarafan untuk mengatur kecepatan dan kedalaman
ventilasi untuk mempertahankan tingkat gas darah arteri yang
normal. Regulasi kimia terjadi selama latihan fisik dan pada
beberapa penyakit.
Sistem transportasi oksigen terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskuler. Penyampaian tergantung pada jumlah oksigen
38
yang masuk ke paru-paru (ventilasi), darah mengalir ke paru-
paru dan jaringan (perfusi), kecepatan difusi, serta kapasitas
kandungan oksigen. Tiga hal yang mempengaruhi kapasitas
darah untuk membawa oksigen adalah jumlah oksigen terlarut
dalam plasma, jumlah hemoglobin dan kecendrungan
hemoglobin untuk berikatan dengan oksigen. Hemoglobin yang
merupakan suatu pembawa oksigen dan karbondioksida,
mentransportasikan lebih banyak oksigen (sekitar 97%).
Molekul hemoglobin berikatan dengan oksigen membentuk
oksihemoglobin. Bentuk oksihemoglobin bersifat reversibel,
sehingga oksigen dan hemoglobin dapat memisahkan diri,
dimana oksigen bebas kemudian masuk ke jaringan (Potter dan
Perry, 2010).
Karbondioksida berdifusi ke dalam sel darah merah dan
secara cepat dihidrasi menjadi asam karbonat (H2CO3). Asam
karbonat kemudian memisahkan diri menjadi ion (H+) dan ion
bikarbonat (HCO3-). Hemoglobin menahan ion hidrogen, dan
HCO3- berdifusi ke dalam plasma. Beberapa karbondioksida
dalam sel darah merah bereaksi dengan kelompok asam
amino, membentuk kompleks karbamino. Reaksi ini terjadi
dengan cepat. Penurunan hemoglobin (deoksihemoglobin)
berikatan dengan karbondioksida, dan darah vena
39
mentransportasikan sebagian besar karbondioksida (Potter dan
Perri, 2010).
3) Mekanisme sesak napas pada pasien gagal jantung
Gagal jantung menurunkan curah jantung (suplai darah
menurun) sehingga terjadi hipoksia di jaringan. Sebagai
mekanisme kompensasinya, denyut jantung dipercepat. Akan
tetapi, terjadi elevasi ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri yang
menuju ke peningkatan tekanan kapiler pulmonal yang
menyebabkan edema paru. Edema paru menyebabkan
ketidaksesuaian perfusi ventilasi sehingga menurunkan
tekanan oksigen. Penurunan tekanan oksigen ini menstimulasi
kemoreseptor perifer yang kemudian mengirimkan impuls ke
pusat pernapasan di medula oblongata. Akhirnya terjadi
peningkatan usaha respirasi tapi tetap gagal karena adanya
obstruksi cairan di traktus respiratorius akibat edema paru
sehingga menyebabkan pasien sesak napas.
4) Indikasi Terapi Oksigen
Pada pasien dengan serangan penyakit yang akut, sebelum
pemberian terapi oksigen harus dipastikan dahulu kepatenan
jalan napas. AGD harus dilakukan sesegera mungkin untuk
menilai derajat hipoksemia, PCO2 dan status asam basa.
Terapi oksigen ditujukan untuk mengoreksi hipoksemia
arteri, namun ketika hipoksia terjadi tanpa adanya hipoksemia
40
arteri, terapi terhadap penyebab dasar hipoksia harus diatasi
dahulu (misal: gagal jantung, anemia).
Semua faktor yang mempengaruhi kurva disosiasi
hemoglobin, yaitu pH, temperature, PaCO2, dan difosfogliserat
(DPG: mempengaruhi pengangkutan oksigen oleh hemoglobin)
harus dievaluasi untuk mendapatkan hasil terapi oksigen yang
optimal. Dalam pemberian terapi oksigen, harus diwaspadai
akan terjadinya resiko toksisitas. Indikasi pemberian oksigen
yaitu:
a) Gagal nafas yaitu ketidakmampuan tubuh dalam
mempertahankan tekanan parsial normal O2 dan CO2 di
dalam darah, disebabkan oleh gangguan pertukaran O2 dan
CO2 sehingga sistem pernapasan tidak mampu memenuhi
metabolisme tubuh.
b) Gangguan jantung (gagal jantung) yaitu ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan
oksigen.
c) Kelumpuhan alat pernafasan yaitu suatu keadaan dimana
terjadi kelumpuhan pada alat pernapasan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen karena kehilangan kemampuan ventilasi
secara adekuat sehingga terjadi kegagalan pertukaran gas
O2 dan CO2.
41
d) Perubahan pola napas: hipoksia (kekurangan oksigen
dalam jaringan), dispnea (kesulitan bernapas, misalnyapada
pasien asma), sianosis (perubahan warna menjadi kebiru-
biruan pada permukaan kulit karena kekurangan oksigen),
apnea (tidak bernapas/berhenti bernapas), bradipnea
(pernapasan lebih lambat dari normal dengan frekuensi
kurang dari 16x/menit), takipnea (pernapasan lebih cepat
dari normal dengan frekuensi lebih dari 24x/menit).
e) Keadaan gawat, misalnya pada pasien koma tidak dapat
mempertahankan sendiri jalan napas yang adekuat
sehingga mengalami penurunan oksigenasi.
f) Trauma paru: paru-paru sebagai alat penapasan, jika terjadi
benturan atau cedera akan mengalami gangguan untuk
melakukan inspirasi dan ekspirasi.
g) Metabolisme yang meningkat: luka bakar
Pada luka bakar, konsumsi oksigen oleh jaringan akan
meningkat dua kali lipat sebagai akibat dari keadaan
hipermetabolisme.
h) Post operasi
Setelah operasi, tubuh akan kehilangan banyak darah dan
pengaruh dari obat bius akan mempengaruhi aliran darah
ke seluruh tubuh, sehingga sel tidak mendapat asupan
oksigen yang cukup.
42
i) Keracunan karbon monoksida
Keberadaan CO di dalam tubuh akan sangat berbahaya jika
dihirup karena akan menggantikan posisi O2 yang berikatan
dengan hemoglobin dalam darah.
5) Sistem Pemberian Oksigen
Menurut Patria dan Fairuz (2012) ada beberapa cara/sistem
pemberian oksigen, yaitu:
a) Kanula hidung (nasal)
Fungsi: dengan kanula hidung fraksi oksigen (FiO2) yang
dapat dicapai 30-40 %. Flow rate yang diberikan cukup 1-6
liter, sebab pemberian flow rate yang lebih dari 6 liter tidak
akan menambah FiO2 lebih dari 40 %, bahkan hanya
pemborosan okasigen, akan menyebabkan iritasi mukosa
hidung dan kurang nyaman bagi pasien. Dengan kanula
hidung pasien masih dapat berbicara, makan dan minum
Cara kerja:
(1) Selain oksigen yang diberikan melalui kanula hidung,
udara masih dapat masuk melalui kedua lubang hidung.
(2) Bila pasien bernapas melalui mulut, menyebabkan
udara masuk pada waktu inhalasi dan akan mempunyai
efek venturi pada bagian belakang faring sehingga
menyebabkan oksigen yang diberikan melalui kanula
hidung terhirup melalui hidung.
43
b) Sungkup sederhana
Fungsi: sungkup ini dirancang untuk menambah kadar
oksigen pada udara pernapasan pasien, umumnya untuk
meningkatkan kadar oksigen dengan konsentrasi sedang.
Fraksi oksigen yang dapat dicapai yaitu 40-60 %. Flow rate
yang diberikan 6- 10 L/menit.
Komponen:
(1) Bagian badan sungkup yang dilengkapi dengan lubang
hidung di kedua sisinya.
(2) Bagian lain dihubungkan dengan pipa ke sumber
oksigen
(3) Pipa elastik untuk mengikat sungkup pada wajah
pasien.
Mekanisme kerja:
(1) Udara luar masuk dan udara ekshalasi keluar melalui
lubang-lubang pada kedua sisi badan sungkup
(2) Oksigen masuk melalui sisi lubang yang lain
(3) Konsentrasi akhir dari oksigen yang dihirup tergantung
dari pola pernapasan pasien dan tingginya liter oksigen
yang diberikan serta besarnya kebocoran dari sisi
sungkup yang tidak melekat erat di wajah pasien.
44
c) Sungkup reservoir rebreathing
Fungsi:seperti halnya sungkup sederhana namun dengan
sungkup yang memakai reservoir rebreathing diharapkan
tekanan partial oksigen pada inspirasi dapat lebih tinggi.
Fraksi oksigen yang dapat dicapai yaitu 40-80 %. Flow rate
yang diberikan untuk mencapai FiO2 yang tinggi yaitu 12-15
L/menit.
Komponen: sungkup sederhana ditambah reservoir bag.
Mekanisme kerja: oksigen aliran tinggi yang diberikan akan
mengisi sungkup yang berlubang-lubang pada kedua sisi
dinding. Sungkup menerima okigen yang masuk pada saat
ekspirasi hawa ekshalasi mengisi sungkup campur dengan
oksigen yang ada, sedang hawa ekshalasi sebagian yang
lain. Selanjutnya pada inspirasi berikutnya terhisaplah udara
luar yang masuk bercampur dengan udara sisa ekshalasi
sebelumnya dan oksigen dari reservoir bag maupun dari
sumber oksigen (tabung).
d) Sungkup reservoir non rebreathing
Fungsi: tidak berbeda dengan sungkup yang lain, hanya
saja pada pemakaian sungkup dengan reservoir non
rebreathing ini dapat dicapai tekanan partial oksigen pada
inspirasi lebih tinggi yaitu 90 %. Digunakan aliran oksigen
10-12 L/menit.
45
Komponen:sungkup sederhana dengan lubang berkatup
searah pada kedua sisinya. Selama dihubungkan dengan
sumber oksigen juga terpasang reservoir bag.
Mekanisme kerja: seperti sungkup dengan reservoir bag,
namun disini tidak terhirup ulang hawa ekshalasi
sebelumnya.
e) Sungkup venturi
Fungsi: umumnya diberikan untuk memberikan kadar
oksigen tinggi dengan konsentrasi yang tetap. Biasanya
hanya diberikan pada penderita tertentu misalnya penderita
penyakit paru obstruktif menahun. Fraksi oksigen yang
dicapai sesuai dengan ukuran dan warna yaitu 24%, 28%,
31%, 35%, 40% dan 60%.
Komponen:
(1) Badan sungkup berlubang-lubang pada kedua sisi
sungkup
(2) Ujung atas sungkup dihubungkan dengan alat venturi.
Alat ini dibuat dalam berbagai ukuran warna, sebagai
tanda berapa konsentrasi oksigen yang dapat dicapai.
(3) Adapula alat venturi ini yang dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat diatur seberapa lubang yang
dikehendaki dibentuk sehingga dapat dicapai
konsentrasi oksigen yang sesuai.
46
Mekanisme kerja:
(1) Sambungkan device berwarna yang sesuai dengan
oksigen yang dibutuhkan. Sambungkan sungkup ke
regulator, atur aliran oksigen 10 L/menit, pasangkan
pada pasien dan ketatkan pada wajah.
(2) Oksigen flow yang diberikan tinggi
(3) Oksigen tersebut mengalir melalui bagian yang sempit
sehingga menyebabkan efek venturi yaitu tekanan
negatif ditempat tersebut sehingga hal ini menyebabkan
udara luar tersedot masuk melalui celah-celah alat
venturi dan bercampur dengan oksigen, sehingga
mencapai konsentrasi yang sesuai.
(4) Oleh karena flow dari oksigen yang diberikan cukup
tinggi maka hawa ekshalasi pasien segera akan
didorong keluar dari dalam sungkup melalui lubang,
pada kedua sisi sungkup, maka dari itu tidak ada udara
ekshalasi yang terhirup kembali dan ini tidak akan
meningkatkan ruang mati.
6) Prinsip umum pemberian oksigen (Potter dan Perry, 2010)
a) Sebelum pemberian oksigen harus terlebih dahulu
diberitahukan kepada penderita tentang prosedur, maksud
dan manfaat pemberian oksigen.
47
b) Selalu memeriksa tabung, tentang label, isi, flow meter dan
sebagainya. Ingat tidak tertutup kemungkinan pemberian
gas yang salah. Bila terjadi kesalahan (tertukar) biasanya
sulit ditangani.
c) Instruksi terapi tidak menyebabkan rasa tercekik atau
perasaan tidak nyaman pada pasien.
d) Oksigen harus selalu dicatat distatus penderita tentang
tekanik yang diberikan (kanul atau sungkup), berapa
L/menit, kapan mulai dan sampai kapan diberikan.
e) Setiap pasien gawat, kadar oksigen yang diberikan harus
lebih dari 40-50 %.
f) Nasal kanul atau nasal kateter sebaiknya tidak diberikan
pada pasien gawat karena kadar O2 terlalu rendah.
g) Aliran jangan terputus karena CO2 akan terkumpul cukup
tinggi dalam sungkup, apalagi kalau sistem menggunakan
kantong.
h) Jika diperlukan terapi oksigen lebih dari 30 menit sebaiknya
digunakan humidifier. Humidifier mutlak diberikan jika
oksigen diberikan langsung ke trachea (intubasi,
tracheostomy).
i) Pemberian oksigen dengan kanul nasal atau sungkup
hanya untuk penderita yang bernapas spontan sebab
pemberian oksigen berapapun tidak bermanfaat pada
48
pasien yang tidak bernapas atau tidak ada usaha napas,
pada pasien dengan hipoventilasi berat dimana volume
semenit (minute volume) terlalu rendah, kecuali jika
diberikan dengan alat bantu napas.
j) Jangan memberikan oksigen konsentrasi tinggi dalam waktu
yang lama di ruang perawatan, hati-hati dengan keracunan
oksigen.
k) Harus selalu memantau setiap perkembangan penderita
yang diberikan oksigen, misalnya apakah tidak tambah
sesak atau tambah gelisah, apakah kanula atau sungkup
tetap terpasang dengan baik.
l) Selalu memeriksa kecukupan oksigen dalam tangki oksigen,
apakah cukup untuk waktu yang direncanakan.
7) Teknik pemberian oksigen
Berdasarkan aliran oksigen yang diberikan, pembagian
oksigen dapat dibagi atas dua teknik (Patria dan Fairuz, 2010),
yaitu:
a) Sistem aliran rendah (low flow oxygen device)
(1) Untuk menambah konsentrasi udara ruangan
(2) Menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe
pernapasan
(3) Volume tidal pasien
49
(4) Ditujukan untuk pasien yang memerlukan O2 tetapi
masih mampu bernapas dengan pola pernapasan
normal, misalnya pasien dengan volume tidal 500 mL
dengan kecepatan pernapasan 16-20 kali permenit
Alat pemberi oksigen yang menggunakan sistem aliran
rendah ini adalah:
(1) Kateter nasal
(2) Kanul nasal
(3) Sungkup muka sederhana (simple mask)
(4) Sungkup muka dengan katong rebreathing
(rebreathing mask)
(5) Sungkup muka dengan kantong nonrebreathing
(non-rebreathing mask/NRM)
b) Sistem aliran tinggi (high flow oxygen device)
(1) FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe
pernapasan
(2) Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tepat dan teratur
Alat pemberi oksigen yang menggunakan sistem aliran
tinggi yaitu sungkup muka dengan venturi. Prinsip
pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan
melalui tabung akan menuju ke sungkup yang
kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2
sehingga tercipta tekanan positif, akibatnya udara luar
50
tidak dapat masuk dan aliran udara yang diberikan lebih
tepat. Aliran udara yang digunakan pada alat ini adalah
4-14 L/menit dengan konsentrasi oksigen (FiO2) 30-
55%.
Berdasarkan konsentrasi oksigen yang diberikan dapat
dibagi menjadi:
(1) Konsentrasi tinggi yaitu menggunakan FiO2 lebih dari
60% oksigen
(2) Konsentrasi rendah yaitu menggunakan FiO2 kurang
dari atau sama dengan 60%
8) Aplikasi Klinis Pemberian Oksigen (Patria dan Fairuz, 2012)
a) Kondisi pasien yang tidak membutuhkan suplemen oksigen
pada pasien dewasa kecuali pasien mengalami hipoksemia,
tetapi pasien harus dimonitor ketat.
Target saturasi (94-98%): jika hipoksemia (SpO2 <94%)
berikan aliran oksigen pada dosis inisial untuk mencapai
target saturasi 94-98%. Kondisi pasien dengan gangguan
ritme jantung, dosis inisial yang diberikan adalah 15
liter/menit dengan menggunakan NRM
b) Kondisi yang membutuhkan suplemen oksigen dosis rendah
dan terkontrol untuk pasien dewasa yang membutuhkan
terapi oksigen dosis rendah dan terkontrol
51
Targetsaturasi 88-92%: oksigen inisial diberikan hingga
diperoleh SpO2 yang reliabel, lalu aliran oksigen disesuaikan
untuk mencapai target saturasi dalam rentang 88-92%.
Dosis inisial adalah 4 L/menit (jika RR>30 kali/menit,
menggunakan sungkup venture, aliran oksigen diberikan
50% lebih tinggi daripada aliran oksigen yang dispesifikasi
untuk sungkup tersebut. Jika saturasi oksigen tetap di
bawah 88% tukar dengan sungkup muka sederhana dengan
dosis inisial 5-10 liter/menit
c) Kondisi penyakit serius yang membutuhkan suplemen
oksigen tingkat sedang (moderat) jika pasien mengalami
hipoksemia
Target saturasi 94-98%: berikan oksigen dengan dosis
inisial hingga diperoleh SpO2 yang stabil, setelah itu
diberikan aliran oksigen dengan target saturasi 94-98%.
Pada pasien dengan kondisi akut hipoksemia atau sianosis
sentral (kausa belum diidentifikasi), dosis inisial yang
diberikan adalah SpO2 <85% dengan 10-15 L/menit
menggunakan NRM. Sedangkan pada pasien gagal jantung
akut, dosisi inisial adalah SpO2 ≥85-93% dengan 2-6 L/menit
menggunakan kanula nasal
d) Kondisi yang membutuhkan suplemen oksigen tingkat tinggi
untuk pasien dewasa dengan penyakit kritis (critical illness)
52
Targetsaturasi 94-98%: berikan oksigen dengan dosis inisial
sehingga tanda vital normal, setelah itu kurangi dosis
oksigen dan target saturasi 94-08% tercapai. Kondisi pasien
dengan henti jantung atau resusitasi, dosis inisial yang
diberikan dosis maksimal sesuai dengan tanda vital normal
sungkup katup kantong (bag valve mask).
9) Mekanisme pemberian oksigen untuk pasien akut di RS
10)
11)
12)
13)
14)
Gambar 3. Mekanisme Pemberian Terapi Oksigen Untuk Pasien Akut di RS
Apakah pasien mempunyai resiko gagal napas hiperkapnik (gagal napas tipe 2) ?
YA (target saturasi 88-92% sambil dilakukan ABG)
TIDAK (target SpO2 94-98%)
Mulai dengan 28% atau 24% O2 dan lakukan AGD (kurangi FiO2 jika SpO2 >92%
SpO2 ≤94% pada oksigen kamar atau memerlukan oksigen untuk mencapai target diatas
pH <7,35* atau [H+] >45mmol/l* dan PCO2 >45 mmHg (respiratori asidosis/pasien bertambah lelah)
pH ≥7,35 atau [H+] ≤45mmol/l dan PCO2 >45 mmHg (hiperkapnia)
YA: mulakan terapi oksigen dan periksa AGD
Tidak
Konsulkan pasien dan konsiderasi ventilasi invasif
Terapi dengan dosis terendah ventury mask atau oksigen dengan aliran rendah yang tepat dan konstan supaya SpO2 berada antara 88-92%
PCO2 ≤45 mmHg (normal atau rendah)
PCO2 ≥45 mmHg atau terjadi perburukan pada respirasi
Monitor SpO2,
oksigen tidak dibutuhkan tetapi saturasi jatuh di bawah sasaran
Terapi dengan FiO2 paling rendah untuk memastikan SPO2 diantara 88-92% sambil menunggu hasil konsultasi
Ulangi AGD pada 30-60 menit: jika respiratori asidosis, konsulkan pasien. Konsiderasi menurunkan FiO2 jika PO2 ≥60 mmHg
Diterapi dengan sasaran SPO2 94-98%**. Ulangi AGD 30-60 menit pada pasien dengan resiko gagal napas tipe 2
Terapi dengan urgen, untuk mencapai SpO2, 94-98% sambil menunggu konsul. Pikirkan penyakit gagal napas yang belum terdiagnosis. Jika ada kemungkinan, sasaran SPO2 88-92%
Terapi untuk mencapai sasaran SPO2 94-98%
Konsulkan pasien dan konsiderasi ventilasi invasif
53
Pemberian Oksigen untuk Pasien dalam Kondisi Akut di RS
Catatan:
a) Jika peningkatan FiO2, harus diikuti dengan pengulangan
AGD dalam tempo 1 jam (atau lebih awal jika kesadaran
pasien menurun)
b) * jika pH <7,35* atau [H+] >45mmol/l* dan PCO2 yang
normal atau rendah, periksa dan terapi untuk asidosis
metabolik serta pastikan SpO2 94-98%
c) ** pasien yang sebelumnya membutuhkan ventilasi non-
invasif atau ventilasi tekanan positif intermiten harus
mempunyai sasaran SpO2 88-92%, walaupun PCO2 inisial
adalah normal.
15) Monitoring Pemberian Terapi Oksigen
Menurut Patria dan Fairuz (2012), monitoring merupakan hal
yang sangat penting dalam terapi oksigen, sehingga dapat
diberikan terapi oksigen yang efisien, efektif dan optimal
dengan efek samping yang sangat minimal.
a) Rekomendasi monitoring terapi oksigen
(1) Jika memungkinkan, AGD harus dilakukan sebelum
terapi oksigen diberikan.
(2) AGD atau oksimetri harus dilakukan dalam waktu 2
jam setelah pemberian terapi oksigen dan FiO2 diatur
54
sesuai kebutuhan, respon yang adekuat adalah
apabila PaO2 >7,8 kPa (60 mmHg) atau SaO2 >90%.
(3) Pasien hipoksemik yang beresiko aritmia atau gagal
napas harus dimonitor secara terus menerus dengan
pulse oksimetry.
(4) Pada pasien dengan resiko gagal napas tipe 2, AGD
harus dilakukan lebih sering untuk menilai PaO2dan
SaO2harus dimonitor secara terus menerus dengan
pulse oksimetry.
b) Monitoring terapi oksigen terbagi menjadi 2, yaitu:
(1) Monitoring secara klinis: observasi tingkat kesadaran,
frekuensi napas dan respirasi, tekanan darah dan
sirkulasi perifer (pengisian kapilari, normal 1-2 detik)
dan sianosis.
(2) Monitoring tambahan dengan analisa gas darah dan
pulse oximetry: sebelum diberikan terapi oksigen,
diusahakan untuk memeriksa PaO2 dan saturasi.
Pemeriksaan ini dilakukan hingga PaO2>59 mmHg
(7,8 kPa) atau SaO2>90%.
c) Analisa Gas Darah
Analisa gas darah merupakan pemeriksaan diagnostik
yang dilakukan pada sampel darah arteri. AGD mengukur
kapabilitas paru untuk menyediakan oksigen untuk
55
mencukupi kebutuhan tubuh dan mengeluarkan
karbondioksida. AGD membantu mengevaluasi status
metabolik dan respirasi pasien, selain untuk mengukur pH
darah dan integritas keseimbangan asam basa pada
tubuh. Nilai normal AGD adalah:
(1) PaO2 = 90-110 mmHg
(2) PaCO2 = 34-46 mmHg
(3) pH = 7,35-7,45
(4) SaO2 = > 90%
(5) Bikarbonat (HCO3) = 22-26 mEq/L
(6) Base excess = (-2,5) ̶ (+2,5)
16) Penilaian
Penilaian dari memadai dan berhasilnya terapi oksigen adalah
dengan evaluasi fisik dari fungsi kardiorespirasi dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan analisis gas
darah. Tanda ventilasi diukur dari tidal volume, jumlah
pernapasan dan bantuan otot-otot pernapasan. Tanda vital
kardiovaskuler termasuk denyut nadi, tekanan darah, kondisi
perfusi jaringan, tingkat kesadaran termasuk produksi urine.
17) Komplikasi pemberian terapi oksigen
Menurut Francis (2011), ada beberapa komplikasi yang
harus diperhatikan:
a) Retensi karbondioksida
56
b) Asidosis respiratorik
c) Penurunan dorongan hipoksisk untuk bernapas
d) Kekeringan mukosa dan disfungsi mukosilliar
e) Dehidrasi akibat sekresi respirasi dan retensi sputum
f) Atelektasis (kolaps paru), karena konsentrasi oksigen yang
tinggi dapat menurunkan produksi surfaktan (suatu
substansi yang menstabilkan membrane alveolar dan
menurunkan tegangan permukaan
g) Toksisitas oksigen khsusnya cenderung terjadi setelah
berespirasi selama lebih dari 4 jam pada campuran gas
yang mengandung oksigen konsentrasi tinggi. Hal ini
mungkin kemudian berkembang menjadi adult respiratory
distress syndrome yang memiliki hunbungan mortalitas
yang tinggi
h) Resiko kebakaran
18) Tanggung Jawab Keperawatan
Tanggung jawab perawat menurut Francis (2011):
a) Secara umum
(1) Mendukung, meyakinkan, dan mengedukasi pasien
dan keluarganya untuk mencapai kepatuhan terhadap
pemberian terapi oksigen
(2) Mempromosikan dan memastikan keamanan pasien
selama terapi oksigen, mengikuti kebijakan lokal,
57
panduan dan protokol nasional. Peraturan ini diperluas
mencakup semua daerah dimana terapi oksigen
dilakukan, atau dimana alat penyimpanan oksigen
seperti silinder oksigen portable disimpan.
(3) Pertimbangan mengenai pemberian terapi oksigen
harus sejalan dengan prinsip pemberian obat, dan
perawat harus familiar dengan semua hal tersebut.
b) Tanggung Jawab dalam Pemberian Oksigen
(1) Ketahui penggunaan terapeutik dari oksigen, dosis
normalnya, efek samping, hal-hal yang harus
diperhatikan, kontraindikasi dan bahayanya
(2) Yakinlah mengenai identitas pasien yang menerima
oksigen
(3) Pastikan bahwa resep tidak ambigu dan tertulis
dengan jelas hal ini mencakup presentase oksigen
yang diminta, laju aliran, durasi terapi oksigen,
kebutuhan humidifikasi dan jenis sistem penghantaran
oksigen
(4) Pertimbangkan metode, waktu dan dimulainya terapi
oksigen sehubungan dengan latarbelakang kondisi
pasien dan ko-morbiditas lainnya
(5) Hubungi pemberi resep terapi oksigen, atau orang lain
yang tepat jika ditemukan kontraindikasi terhadap
58
oksigen yang diresepkan: jika pasien mengalami
reaksi, jika pasien menolak terapi oksigen, atau
penilaian pasien menunjukkan bahwa terapi oksigen
tidak diperlukan lagi
(6) Buatlah pencatatan yang jelas, akurat dan segera saat
oksigen diberikan, ditahan atau ditolak oleh pasien.
Pastikan bahwa semua informasi tertulis
berhubungan, dapat dibaca dan ditandatangani. Jika
tugas ini didelegasikan maka merupakan
tanggungjawab perawat yang terdaftar untuk
memastikan bahwa hal ini dilakukan.
(7) Pantaulah tanda vital, observasilah pasien akan
adanya perubahan apapun dalam gawat napas atau
gejalanya
(8) Catatlah waktu, tanggal, metode pemberian, laju aliran
dan konsentrasi oksigen. Nilailah laju dan kedalaman
pernapasan pasien dan warna kulit dan status mental
serta pola respirasi saat dimulainya terapi oksigen.
2. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan yang dilakukan pada pasien gagal
jantung adalah sebagai berikut (Doengoes, 2000):
59
1) Aktivitas/istirahat
Gejala: keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari,
insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat
istirahat atau aktifitas.
Tanda: gelisah, perubahan status mental misalnya letargi,
tanda-tanda vital berubah pada aktivitas.
2) Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi, IM baru/akut, episode gagal jantung
kongestif sebelumnya, penyakit jantung, bedah jantung,
endokarditis, anemia, syok septik, bengkak pada kaki, telapak
kaki, abdomen.
Tanda:
a) Tekanan darah mungkin rendah (gagal pemompaan),
normal pada gagal jantung kongestif ringan atau kronis,
b) Tekanan nadi: mungkin sempit, menunjukan penurunan
volume sekuncup
c) Irama jantung: disritmia, misal fibrilasi atrium, kontraksi
ventrikel prematur/takikardia, blok jantung
d) Frekuensi jantung: takikardia (gagal jantung kiri)
e) Nadi apikal: PMI mungkin menyebar dan merubah posisi
secara inferior ke kiri
f) Bunyi jantung: S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat
terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah
60
g) Murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya
stenosis katup atau insufisiensi
h) Nadi: nadi perifer berkurang, perubahan dalam kekuatan
denyutan dapat terjadi, nadi sentral mungkin kuat, misalnya
nadi jugularis, karotis, abdominal terlihat
i) Warna: kebiruan, pucat, atau sianotik
j) Punggung kuku pucat atau sianotik dengan pengisian
kapiler lambat
k) Hepar: pembesaran/dapat teraba, refleks hepatojugularis
l) Bunyi napas: wheezing, krekels, ronkhi, edema mungkin
dependen, umum atau pitting khususnya pada ekstremitas.
3) Integritas Ego
Gejala: ansietas, khawatir dan takut, stres yang berhubungan
dengan penyakit, keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya
perawatan medis).
Tanda: berbagai manifestasi perilaku, misalnya: ansietas,
marah, ketakutan dan mudah tersinggung.
4) Eliminasi
Gejala: penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih
malam hari (nokturia), diare/konstipasi.
Tanda: abdomen keras, asites.
61
5) Makanan/cairan
Gejala: kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambahan
berat badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas
bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi
garam/makanan yang telah diproses, lemak, gula dan kafein,
penggunaan diuretik.
Tanda: penambahan berat badan cepat, distensi abdomen
(asites) serta edema (umum, dependen, tekanan dan pitting).
6) Hygiene
Gejala: keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas
perawatan diri.
Tanda: penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7) Neurosensori
Gejala: kelemahan, pening, episode pingsan.
Tanda: letargi, kusut pikir, disorientasi, perubahan perilaku,
mudah tersinggung.
8) Nyeri/Kenyamanan
Gejala: nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen
kanan atas, sakit pada otot.
Tanda: tidak tenang, gelisah, fokus menyempit (menarik diri),
perilaku melindungi diri.
62
9) Pernapasan
Gejala: dispneasaat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan
bantal, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat
penyakit paru kronis, penggunaan bantuan pernapasan,
misalnya oksigen atau medikasi.
Tanda: pernapasan: takipnea, napas dangkal, penggunaan otot
aksesori pernapasan, batuk: kering/nyaring/non produktif atau
mungkin batuk terus menerus dengan/tanpa pembentukan
sputum
Sputum: mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
Bunyi napas: mungkin tidak terdengar, dengan krakles basilar
dan mengi
Fungsi mental: mungkin menurun, kegelisahan, letargi, warna
kulit: pucat atau sianosis.
10)Keamanan
Gejala: perubahan dalam fungsi mental, kehilangan
kekuatan/tonus otot, kulit lecet.
Tanda: kehilangan keseimbangan.
11)Interaksi sosial
Gejala: penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang
biasa dilakukan.
Tanda: tidak mau bergaul, mengurung diri di rumah.
63
12)Pembelajaran/pengajaran
Gejala: menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung,
misalnya: penyekat saluran kalsium.
Tanda: bukti tentang ketidakberhasilan untuk meningkatkan.
b. Pemeriksaan Diagnostik
1) EKG: hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis,
iskemia, dan kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia,
misalnya takikardia, fibrilasi atrial. Dapat ditemukantanda-tanda
faktor pencetus akut (infark miocard, emboli paru)
2) Sonogram: dapat menunjukan dimensi pembesaran ventrikel,
perubahan dalam fungsi/struktur katup atau area penurunan
kontraktilitas ventrikuler.
3) Scan Jantung: tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan
gerakan dinding.
4) Rontgen dada: dapat menunjukan pembesaran jantung,
bayangan mencerminkan dilatasi/hipertrofi bilik, atau
perubahan dalam pembuluh darah mencerminkan peningkatan
tekanan pulmonal abnormal, misalnya: pulgus pada
pembesaran jantung kiri dapat menunjukkan aneurisma
ventrikel, lapang paru bercak-bercak karena edema paru,
distensi vena paru
5) Elektrolit: mungkin berubah karena perpindahan
cairan/penurunan fungsi ginjal, terapi diuretik.
64
6) Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan khusus yang dapat menegakkan
diagnosis gagal jantung. Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan
untuk mengetahui sejauh mana gagal jantung telah
mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti: hati, ginjal dan
lain-lain.
7) Ekokardiografi
Untuk deteksi gangguan fungsional serta anatomis yang
menjadi penyebab gagal jantung
c. Diagnosa Keperawatan
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan respon
fisiologis otot jantung, peningkatan frekuensi, dilatasi, hipertrofi
atau peningkatan isi sekuncup.
2) Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan menurunnya
curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan
thrombus atau emboli.
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengankongesti paru,
hipertensi pulmonal, penurunan perifer yang mengakibatkan
asidosis laktat dan penurunan curah jantung.
4) Kelebihan volume cairan berhubungan denganberkurangnya
curah jantung, retensi cairan dan natrium oleh ginjal,
hipoperfusi ke jaringan perifer dan hipertensi pulmonal.
65
5) Cemas berhubungan dengan penyakit kritis, takut kematian
atau kecacatan, perubahan peran dalam lingkungan sosial atau
ketidakmampuan yang permanen.
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan curah jantung yang
rendah, ketidakmampuan memenuhi metabolisme otot rangka,
kongesti pulmonal yang menimbulkan hipoksinia, dispnea dan
status nutrisi yang buruk selama sakit kritis.
7) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan
kognisi, tindakan yang dilakukan, obat obatan yang diberikan,
komplikasi yang mungkin muncul dan perubahan gaya hidup.
66
d. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Penurunan curah jantung
b/d respon fisiologis otot
jantung, peningkatan
frekuensi, dilatasi, hipertrofi
atau peningkatan isi
sekuncup
Cardiac Pump effectiveness
1. Circulation Status
2. Vital Sign Status
Kriteria Hasil:
1. Tanda vital dalam
rentang normal
(Tekanan darah, nadi,
respirasi)
2. Dapat mentoleransi
aktivitas, tidak ada
kelelahan
3. Tidak ada edema paru,
perifer, dan tidak ada
1. Cardiac Care
a. Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas, lokasi,
durasi)
b. Catat adanya disritmia jantung
c. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
cardiakoutput
d. Monitor status kardiovaskuler
e. Monitor status pernafasan yang menandakan gagal
jantung
f. Monitor abdomen sebagai indikator penurunan
perfusi
g. Monitor balance cairan
h. Monitor adanya perubahan tekanan darah
i. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan
67
asites
4. Tidak ada penurunan
kesadaran
antiaritmia
j. Atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari
kelelahan
k. Monitor toleransi aktivitas pasien
l. Monitor adanya dispnea, fatigue, takipnea dan
ortopnea
m. Anjurkan untuk menurunkan stress
2. Vital Sign Monitoring
a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
b. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
c. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
berdiri
d. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
e. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
f. Monitor kualitas dari nadi
68
g. Monitor adanya pulsus paradoksus
h. Monitor adanya pulsus alterans
i. Monitor jumlah dan irama jantung
j. Monitor bunyi jantung
k. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
l. Monitor suara paru
m. Monitor pola pernapasan abnormal
n. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
o. Monitor sianosis perifer
p. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
q. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2 Perfusi jaringan tidak efektif
b/d menurunnya curah
jantung, hipoksemia
1. Circulation status
2. Tissue Prefusion: cerebral
Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi
perifer):
1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka
69
jaringan, asidosis dan
kemungkinan thrombus
atau emboli
Definisi: penurunan
pemberian oksigen dalam
kegagalan memberi makan
jaringan pada tingkat
kapiler
Batasan karakteristik :
1. Renal
a. Perubahan tekanan
darah di luar batas
parameter
b. Hematuria
c. Oliguri/anuria
d. Elevasi/penurunan
Kriteria Hasil:
1. Mendemonstrasikan
status sirkulasi yang
ditandai dengan:
a. Tekanan sistol
dandiastol dalam
rentang yang
diharapkan
b. Tidak ada
ortostatikhipertensi
c. Tidak ada tanda
tanda peningkatan
tekanan intrakranial
(tidak lebih dari 15
mmHg)
2. Mendemonstrasikankema
terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese
3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika
ada lesi atau laserasi
4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6. Monitor kemampuan BAB
7. Kolaborasi pemberian analgetik
8. Monitor adanya tromboplebitis
9. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
70
BUN/rasio kreatinin
2. Gastro Intestinal
a. Secara usus
hipoaktif atau tidak
ada
b. Nausea
c. Distensi abdomen
d. Nyeri abdomen atau
tidak terasa lunak
(tenderness)
3. Peripheral
a. Edema
b. Tanda Homan
positif
c. Perubahan
karakteristik kulit
mpuan kognitif yang
ditandai dengan:
a. Berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai dengan
kemampuan
b. Menunjukkan
perhatian, konsentrasi
dan orientasi
c. Memproses informasi
d. Membuat keputusan
dengan benar
e. Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh: tingkat
kesadaran mambaik,
71
(rambut, kuku,
air/kelembaban)
d. Denyut nadi lemah
atau tidak ada
e. Diskolorisasi kulit
f. Perubahan suhu
kulit
g. Perubahan sensasi
h. Kebiru-biruan
i. Perubahan tekanan
darah di ekstremitas
j. Bruit
k. Terlambat sembuh
l. Pulsasi arterial
berkurang
m. Warna kulit pucat
tidak ada gerakan
gerakan involunter
72
pada elevasi, warna
tidak kembali pada
penurunan kaki
4. Cerebral
a. Abnormalitas bicara
b. Kelemahan
ekstremitas atau
paralis
c. Perubahan status
mental
d. Perubahan pada
respon motorik
e. Perubahan reaksi
pupil
f. Kesulitan untuk
menelan
73
g. Perubahan
kebiasaan
5. Kardiopulmonar
a. Perubahan
frekuensi respirasi
di luar batas
parameter
b. Penggunaan otot
pernafasan
tambahan
c. Balikkan kapiler > 3
detik (Capillary refill)
d. Abnormal gas darah
arteri
e. Perasaan
”Impending Doom”
74
(Takdir terancam)
f. Bronkospasme
g. Dyspnea
h. Aritmia
i. Hidung kemerahan
j. Retraksi dada
k. Nyeri dada
Faktor-faktoryang
berhubungan:
1. Hipovolemia
2. Hipervolemia
3. Aliran arteri terputus
4. Exchange problems
5. Aliran vena terputus
6. Hipoventilasi
7. Reduksi mekanik pada
75
vena dan atau aliran
darah arteri
8. Kerusakan transport
oksigen melalui alveolar
dan atau membran
kapiler
9. Tidak sebanding antara
ventilasi dengan aliran
darah
10. Keracunan enzim
11. Perubahan
afinitas/ikatan O2
dengan Hb
12. Penurunan konsentrasi
Hb dalam darah
3 Gangguan pertukaran gas 1. Respiratory status: gas 1. Airway Management
76
b/d kongesti paru,
hipertensi pulmonal,
penurunan perifer yang
mengakibatkan asidosis
laktat dan penurunan curah
jantung.
Definisi:kelebihan atau
kekurangan dalam
oksigenasi dan atau
pengeluaran
karbondioksida di dalam
membran kapiler alveoli
Batasan karakteristik:
1. Gangguan penglihatan
2. Penurunan CO2
exchange
2. Respiratory status:
ventilation
3. Vital sign status
Kriteria Hasil:
1. Mendemonstrasikan
peningkatan ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat
2. Memelihara kebersihan
paru paru dan bebas dari
tanda tanda distres
pernafasan
3. Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak
a. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw
thrust bila perlu
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan
nafas buatan
d. Pasang mayo bila perlu
e. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
f. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
g. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
h. Lakukan suction pada mayo
i. Berika bronkodilator bila perlu
j. Berikan pelembab udara
k. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
l. Monitor respirasi dan status O2
77
3. Takikardi
4. Hiperkapnia
5. Keletihan
6. Somnolen
7. Iritabilitas
8. Hipoksia
9. Kebingungan
10. Dispnea
11. Nasal faring
12. AGD Normal
13. Sianosis
14. Warna kulit abnormal
(pucat, kehitaman)
15. Hipoksemia
16. Hiperkarbia
17. Sakit kepala ketika
ada sianosis dan dispnea
(mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
4. Tanda tanda vital dalam
rentang normal
2. Respiratory Monitoring
a. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha
respirasi
b. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraklavikular dan interkostal
c. Monitor suara nafas, seperti dengkur
d. Monitor pola nafas: bradipena, takipenia, kusmaul,
hiperventilasi, cheyne stokes, biot
e. Catat lokasi trakea
f. Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan
paradoksis)
g. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan/tidak
adanya ventilasi dan suara tambahan
h. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan
78
bangun
18. Frekuensi dan
kedalaman nafas
abnormal
Faktor faktor yang
berhubungan:
1. Ketidakseimbangan
perfusi ventilasi
2. Perubahan membran
kapiler-alveolar
napas utama
i. Uskultasi suara paru setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
3. AcidBase Management
a. Monitro IV line
b. Pertahankanjalan nafas paten
c. Monitor AGD, tingkat elektrolit
d. Monitor status hemodinamik(CVP, MAP, PAP)
e. Monitor adanya tanda tanda gagal nafas
f. Monitor pola respirasi
g. Lakukan terapi oksige
h. Monitor status neurologi
i. Tingkatkan oral hygiene
4 Kelebihan volume cairan
b/d berkurangnya curah
jantung, retensi cairan dan
1. Electrolit and acid base
balance
2. Fluid balance
1. Fluid management
a. Timbang popok/pembalut jika diperlukan
b. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
79
natrium oleh ginjal,
hipoperfusi ke jaringan
perifer dan hipertensi
pulmonal
Definisi: Retensi cairan
isotomik meningkat
Batasan karakteristik:
1. Berat badan meningkat
pada waktu yang
singkat
2. Asupan berlebihan
dibanding output
3. Tekanan darah
berubah, tekanan arteri
pulmonalis berubah,
Kriteria Hasil:
1. Terbebas dari edema,
efusi, anaskara
2. Bunyi nafas bersih, tidak
ada dispnea/ortopnea
3. Terbebas dari distensi
vena jugularis, reflek
hepatojugular (+)
4. Memelihara tekanan vena
sentral, tekanan kapiler
paru, output jantung dan
vital sign dalam batas
normal
5. Terbebas dari kelelahan,
kecemasan atau
c. Pasang urin kateter jika diperlukan
d. Monitor hasil lAb yang sesuai dengan retensi cairan
(BUN, Hmt, osmolalitas urin)
e. Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP,
PAP, dan PCWP
f. Monitor vital sign
g. Monitor indikasi retensi/kelebihan cairan (cracles,
CVP, edema, distensi vena leher, asites)
h. Kaji lokasi dan luas edema
i. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake
kalori harian
j. Monitor status nutrisi
k. Berikan diuretik sesuai instruksi
l. Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatrermi
dilusi dengan serum Na < 130 mEq/l
m. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul
80
peningkatan CVP
4. Distensi vena jugularis
5. Perubahan pada pola
nafas, dispnea/sesak
nafas, orthopnea, suara
nafas abnormal (rales
atau crakles), efusi
pleura
6. Hb dan hematokrit
menurun, perubahan
elektrolit, khususnya
perubahan berat jenis
7. Suara jantung S3
8. Reflek hepatojugular
positif
9. Oliguria
kebingungan
6. Menjelaskanindikator
kelebihan cairan
memburuk
2. Fluid Monitoring
a. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan
eliminasi
b. Tentukan kemungkinan faktor resiko dari ketidak
seimbangan cairan (hipertermia, terapi diuretik,
kelainan renal, gagal jantung, diaporesis, disfungsi
hati, dll)
c. Monitor berat badan
d. Monitor serum dan elektrolit urine
e. Monitor serum dan osmilalitas urine
f. Monitor BP, HR, dan RR
g. Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan
irama jantung
h. Monitor parameter hemodinamik infasif
i. Catat secara akutar intake dan output
81
10. Perubahan status
mental, kegelisahan,
kecemasan
Faktor-faktor yang
berhubungan:
1. Mekanisme pengaturan
melemah
2. Asupan cairan
berlebihan
3. Asupan natrium
berlebihan
j. Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem perifer
dan penambahan berat badan
k. Monitor tanda dan gejala dari odema
5 Cemas b/d penyakit kritis,
takut kematian atau
kecacatan, perubahan
peran dalam lingkungan
1. Anxiety control
2. Coping
3. Impulse control
Anxiety Reduction (penurunan kecemasan):
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku
pasien
82
sosial atau
ketidakmampuan yang
permanen.
Definisi:Perasaan gelisah
yang tak jelas dari
ketidaknyamanan atau
ketakutan yang disertai
respon autonom (tidak
spesifik atau tidak diketahui
oleh individu), perasaan
keprihatinan disebabkan
dari antisipasi terhadap
bahaya. Sinyal ini
merupakan peringatan
adanya ancaman yang
Kriteria Hasil:
1. Klien mampu
mengidentifikasi dan
mengungkapkan gejala
cemas
2. Mengidentifikasi,
mengungkapkan dan
menunjukkan tehnik
untuk mengontol cemas
3. Vital sign dalam batas
normal
4. Postur tubuh, ekspresi
wajah, bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya kecemasan
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan
selama prosedur
4. Pahami perspektif pasien terhdap situasi stres
5. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi takut
6. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan
prognosis
7. Dorong keluarga untuk menemani anak
8. Lakukan back/neck rub
9. Dengarkan dengan penuh perhatian
10. Identifikasi tingkat kecemasan
11. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan
kecemasan
12. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
13. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
83
akan datang dan
memungkinkan individu
untuk mengambil langkah
untuk menyetujui terhadap
tindakan
Batasan Karakteristik:
1. Gelisah
2. Insomnia
3. Resah
4. Ketakutan
5. Sedih
6. Fokus pada diri
7. Kekhawatiran
8. Cemas
14. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan
6 Intoleransi aktivitas b/d
curah jantung yang rendah,
1. Energy conservation
2. Self Care : ADLs
1. Energy Management
a. Observasi adanya pembatasan klien dalam
84
ketidakmampuan
memenuhi metabolisme
otot rangka, kongesti
pulmonal yang
menimbulkan hipoksinia,
dispnea dan status nutrisi
yang buruk selama sakit
Intoleransi aktivitas b/d
fatigue
Definisi: Ketidakcukupan
energi secara fisiologis
maupun psikologis untuk
meneruskan atau
menyelesaikan aktifitas
yang diminta atau aktifitas
Kriteria Hasil:
1. Berpartisipasi dalam
aktivitas fisik tanpa
disertai peningkatan
tekanan darah, nadi dan
RR.
2. Mampu melakukan
aktivitas sehari hari
(ADLs) secara mandiri
melakukan aktivitas
b. Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan
terhadap keterbatasan
c. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
d. Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
e. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan
emosi secara berlebihan
f. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
g. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
2. Activity Therapy
a. Kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medik
dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
b. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
c. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yangsesuai
dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial
85
sehari hari.
Batasan karakteristik:
1. melaporkan secara
verbal adanya
kelelahan atau
kelemahan.
2. Respon abnormal dari
tekanan darah atau
nadi terhadap aktifitas
3. Perubahan EKG yang
menunjukkan aritmia
atau iskemia
4. Adanya dispnea atau
ketidaknyamanan saat
beraktivitas.
d. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan
sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
e. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
f. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
g. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu
luang
h. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam beraktivitas
i. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
beraktivitas
j. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri
dan penguatan
k. Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual
86
Faktor-faktor yang
berhubungan:
1. Tirah baring atau
immobilisasi
2. Kelemahan menyeluruh
3. Ketidakseimbangan antara
suplei oksigen dengan
kebutuhan
4. Gaya hidup yang
dipertahankan.
7 Kurang pengetahuan b/d
keterbatasan pengetahuan
penyakitnya, tindakan yang
dilakukan, obat obatan
yang diberikan, komplikasi
1. Knowlwdge : disease
process
2. Knowledge : health
behavior
Teaching: disease Process
1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
tentang proses penyakit yang spesifik
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
87
yang mungkin muncul dan
perubahan gaya hidup.
Definisi:Tidak adanya atau
kurangnya informasi
kognitif sehubungan
dengan topik spesifik.
Batasan karakteristik:
Memverbalisasikan adanya
masalah, ketidakakuratan
mengikuti instruksi, perilaku
tidak sesuai.
Faktor yang
berhubungan:
Keterbatasan kognitif,
interpretasi terhadap
Kriteria Hasil:
1. Pasien dan keluarga
menyatakan pemahaman
tentang penyakit, kondisi,
prognosis dan program
pengobatan
2. Pasien dan keluarga
mampu melaksanakan
prosedur yang dijelaskan
secara benar
3. Pasien dan keluarga
mampu menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya.
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada
penyakit, dengan cara yang tepat
4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang
tepat
6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi,
dengan cara yang tepat
7. Hindari harapan yang kosong
8. Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang
kemajuan pasien dengan cara yang tepat
9. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang
akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit
10. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
11. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau
mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat
88
informasi yang salah,
kurangnya keinginan untuk
mencari informasi, tidak
mengetahui sumber-
sumber informasi.
atau diindikasikan
12. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan,
dengan cara yang tepat
13. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal
14. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk
melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan,
dengan cara yang tepat
89
B. Kerangka Teori
Gambar 4. Kerangka Teori
13.kecemasan
10.gangguan pemenuhan istirahat dan tidur
12.resiko tinggi infeksi
11.resiko tinggi trauma
9.Gangguan pemenuhan aktivitas sehari-hari
Kelemahan fisik
6.resiko tinggi kelebihan volume cairan
3. resiko pola napas tidak efektif
Pengembangan paru tidak optimal
Edema paru
2.kerusakan pertukaran gas
Perembesan cairan ke alveoli
Tekanan hidrostatik meningkat, tekanan
14.resiko tinggi ketidakpatuhan pengobatan
15.koping individu tidak efektif
16.kurang pengetahuan
Kondisi dan prognosis penyakit
kematian
Syok kardiogenik
1. Resiko tinggi penurunan curah jantung
Infark
Iskemia
Peningkatan hipoksia jaringan miokardiumDiterapi
Penurunan suplai O2
ke miokardiumTerapi
5. Resiko tinggi penurunan tingkat kesadaran
Aliran tidak adekuat ke jantung dan otakUlangi AGD pada 30-60 menit:
Pengisian LV menurun (LVEDP menurun)
Pemendekan miokard
Hipertrofi ventrikelpH <7,35*
4. resiko tinggi gangguan perfusi jaringan
8.resiko terjadinya gagal ginjal akutMonitor SpO2, oksigen
Meningkatnya reabsorbsi Na+ dan H2O oleh tubulus
10. resiko tinggi
7. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhTerapi dengan dosis terendah ventury
2. nyeri dadaKonsulkan
Perubahan metabolisme miokardiumTidak
6. Resiko tinggi kelebihan volume cairan
Urin output menurun, volume plasma meningkat tekanan hidrostatik meningkat
Menurunkan sekresi Na+
dan H2O dalam urinPCO2
≥45 mmHg atau terjadi
Pengeluaran aldosteronYA:
Angiotensin I->ACE->IIpH ≥7,35 atau [H+]
Aktivasi sistem renin-Angiotensin-Aldosteron SpO2 ≤94% pada oksigen
Vasokonstriksi
ginjalTIDAK
Menurunkan GFR nefronApakah
Vasokonstriksi sistemisYA (target
Peningkatan aktivitas adrenergik
Kongesti pulmonal
Curah jantung menurun Mulai dengan 28%
Kematian mendadak
Aritmia ventrikular
Tercetusnya aktivasi (After potential), otomatisasi meningkat dan re-entry
Gagal jantung
90
C. Kerangka Konsep
Gambar 5: Kerangka Konsep
Status respirasi
AGD
Saturasi Oksigen
venturi
Rebreathing Mask
Non rebreathing
Mask
Kanul Nasal
Pemberian terapi
oksigen
Gagal Jantung
Kongestif
91
DAFTAR PUSTAKA
Braunwald. 2005. Heart Failure and Cor Pulmonale. Harrison’s Principle ofInternal Medicine. 16th Edition. New York: McGraw Hill
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Depkes Republik Indonesia
Dewi, Ode. 2010. Studi Kasus Asuhan Keperawatan Ny.S dengan Congestive Heart Failuredi Ruang Bougenville 4 IRNA I RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. Yoyakarta: STIKES Wira Husada
Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Hersunarti. 2002. Pedoman Diagnosis dan Pengobatan Gagal Jantung Kronik. Jakarta: Bagian Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Lupiyatama.2012. Gambaran Peresapan Digoxin pada Pasien GagalJantung yang Berobat Jalan di RSUP dr. Kariadi Semarang
Meikawati. 2012. Perbedaan Tingkat Kecemasan pada Pasien Infark MiokardSebelum dan Sesudah Pemberian Teknik Relaksasi Otot Progresif diRSUD Tugurejo Semarang. Semarang
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskulaer dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Patria dan Fairuz. 2012.Aplikasi KlinisTerapi Oksigen. Jakarta: EGC
Potter dan Perry. 2010. Fundamental Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Price & Wilson. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC
Ruhyanudin, Faqih. 2006. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Malang: UMM Press
92
LAMPIRAN
93
Lampiran 1. SOP Terapi Oksigen
SOP Terapi Oksigen
Pengertian:
Merupakan prosedur pemenuhan kebutuhan oksigen dengan menggunakan
alat bantu oksigen. Pemberian oksigen pada klien dapat melalui tiga cara,
yaitu: kateter nasal, kanula nasal dan masker oksigen.
Tujuan:
1. Memenuhi kebutuhan oksigen.
2. Mencegah terjadi hipoksia.
No Fase Aspek penilaian Nilai1 2 3 4
1 Preinteraksi 1. Membaca rekam medis pasien2. Alat dan bahan:3. Tabung oksigen atau outlet oksigen
sentral dengan flowmeter dan humidifier.
4. Kateter nasal, kanula nasal atau masker.
5. Cuci tangan2 Orientasi 1. Memberi salam, panggil nama
klien/keluarga, perkenalkan diri2. Jelaskan tindakan, tujuan, prosedur
dan lama tindakan pada pasien/keluarga
3 Kerja 1. Menggunakan kateter nasala. Jelaskan prosedur yang akan
dilakukan.
94
b. Observasi humidifier dengan melihat jumlah air yang sdah disiapkan sesuai level yang telah ditetapkan.
c. Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan, kemudian observasi humidifier pada tabung air dengan menunjukkan adanya gelembung air.
d. Atur posisi dengan semi fowler.e. Ukur kateter nasal dimulai dari
lubang telinga sampai ke hidung dan berikan tanda.
f. Buka saluran udara dari flommeter oksigen.
g. Berikan minyak pelumas (vaselin/jely).
h. Masukkan ke dalam hidung sampai datas yang ditentukan.
i. Lalukan pengecekan kateter apakah sudah masuk atau belum dengan menekan lidah pasien dengan menggunakan spatel (akan terlihat posisinya di bawah uvula).
j. Fiksasi pada daerah hidung.k. Periksa kateter nasal setiap 6-8
jaml. Kaji cuping hidung, septum,
mukosa hidung serta periksa kecepatan aliran oksigen, rute pemberian dan respon pasien.
m. Cuci tangan seterlah prosedur dilakukan.
2. Menggunakan kanula nasala. Jelaskan prosedur yang akan
dilakukan.b. Cuci tanganc. Observasi humidifier dengan
melihat jumlah air yang sudah disiapkan sesuai level yang telah ditetapkan.
d. Atur aliran oksigen sesuai
95
dengan kecepatan yang dibutuhkan, kemudian observasi humidifier pada tabung air dengan menunjukkan adanya gelembung air.
e. Pasang kanula nasal pada hidung dan atur pengikat untuk kenyamanan pasien.
f. Periksa kanula nasal setiap 6-8 jam.
g. Kaji cuping hidung, septum, mukosa hidung serta periksa kecepatan aliran oksigen, rute pemberian dan respon pasien.
h. Cuci tangan seterlah prosedur dilakukan.
3. Menggunakan masker oksigen NRM/RMa. Jelaskan prosedur yang akan
dilakukan.b. Cuci tanganc. Atur posisi semi fowler.d. Observasi humidifier dengan
melihat jumlah air yang sudah disiapkan sesuai level yang telah ditetapkan.
e. Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan, kemudian observasi humidifier pada tabung air dengan menunjukkan adanya gelembung air.
f. Tempatkan masker oksigen diatas mulut dan hidung pasien dan atur pengikat untuk kenyamanan pasien.
g. Periksa kanula nasal setiap 6-8 jam.
h. Kaji cuping hidung, septum, mukosa hidung serta periksa kecepatan aliran oksigen, rute
96
pemberian dan respon pasien.i. Cuci tangan setelah prosedur
dilakukan.Terminasi 1. Observasi dan evaluasi respon
pasien (subyektif dan obyektif2. Menyimpulkan hasil tindakan3. Memberikan reinforcement positif
pada klien/keluarga4. Melakukan kontrak untuk kegiatan
selanjutnya5. Cuci tangan6. Dokumentasikan tindakan yang
sudah dilakukan, waktu pemberian, aliran kecepatan oksigen, rute pemberian dan respon klien.
Jumlah
KET: 1 = tidakmelakukan
2 = melakukan tetapi salah
3 = melakukan dengan kesalahan minimal
4 = melakukan dengan benar
97
Lampiran 2. Teori SOP Pemberian Oksigen Menurut Potter dan Perry (2010)
TEORI SOP PEMBERIAN OKSIGEN (POTTER DAN PERRY, 2010)
No Fase Langkah-langkah Rasional1 Pre
interaksi1. Pertimbangan pendelegasian
Keterampilan penggunaan kanula nasal atau masker oksigen dapat didelegasikan. Perawat bertanggungjawab terhadap pengkajian klien dan memberikan terapi oksigen yang aman dan akurat, termasuk penyesuaian kecepatan aliran oksigen dan mengevaluasi respon klien. Perawat yang bertugas harus memperhatikan:a. Penempatan dan pergantian alat
dilakukan dengan benarb. Amati dan laporkan jika klien
mengalami peningkatan kecepatan pernapasan, penurunan tingkat kesadaran, atau peningkatan kebingungan dan rasa nyeri.
2. Peralatan:a. Selang oksigenb. Alat untuk melembabkan, jika
diindikasikanc. Air steril untuk humidifikasi, jika
diindikasikand. Sumber oksigene. Flowmeter oksigenf. Tanda ruangan yang sesuai
3. Dapatkan nilai SpO2 dan gas darah arteri klien terbaru
3 .memberikan data dasar yang objektif agar digunakan untuk membandingkan hasil terapi oksigen
2. Orientasi 1. Memberi salam, panggil nama klien/keluarga, perkenalkan diri
98
2. Jelaskan tindakan, tujuan, prosedur dan lama tindakan pada pasien/keluarga
3. Mencuci tangan
2. menurunkan rasa cemas keluarga/klien, pengetahuan keluarga
3. mengurangi transmisi mikroorganisme
3. Kerja 1. Inspeksi klien terhadap tanda dan gejala dihubungkan dengan hipoksia dan adanya sekret jalan napas
2. Bersihkan area sekitar hidung
3. Menyambungkan kanula nasal atau masker pada selang oksigen, dan menyambungkannya pada selang oksigen yang dilembabkan sesuai dengan kecepatan aliran yang dianjurkan
4. Tempatkan ujung kanula ke dalam hidung klien, dan sesuaikan tali kepala elastis atau potongan plastik sampai kanula terpasang dengan baik dan nyaman. Jika menggunakan masker oksigen sesuaikan kepala tali elastis sampai masker terpasang dengan nyaman di atas wajah dan mulut klien
5. .Pertahankan kelonggaran yang cukup pada selang oksigen, dan aman
1. Hipoksia yang dibiarkan tanpa ditangani akan menyebabkan disritmia dan kematian, adanya sekret jalan napas menurunkan efektifitas penyampaian oksigen
2. Membebaskan jalan napas
3. Mencegah pengeringan membran mukosa hidung dan mulut serta sekret jalan napas
4. Menunjukkan aliran oksigen ke dalam saluran pernapasan atas. Klien lebih cenderung menjaga kanula atau masker wajah pada tempatnya jika terpasang dengan nyaman
5. Membiarkan klien untuk
99
terhadap pakaian klien
6. Periksa kanula minimal 8 jam atau adanya perubahan status kardiopulmonal klien. Jaga kelembaban tabung yang diisi sepanjang waktu
7. Observasi hidung klien dan permukaan superior kedua telinga terhadap kerusakan kulit
8. Periksa kecepatan aliran oksigen
9. Inspeksi klien terhadap berkurangnya gejala yang berhubungan dengan hipoksia
menengokkan kepalanya tanpa melepas masker oksigen atau mengunci kanula dan mengurangi tekanan pada ujung hidung.
6. Pastikan kepatenan kanula dan aliran oksigen, mencegah inhalasi oksigen yang tidak terhumidifikasi.
7. Terapi oksigen menyebabkan pengeringan mukosa hidung, tekanan pada telinga karena selang kanula atau elastis menyebabkan iritasi kulit
8. Penyampaian kecepatan oksigen yang dianjurkan dan kepatenan kanula
9. Menunjukkan bahwa hipoksia telah dikoreksi atau dikurangi.
1. Observasi dan evaluasi respon pasien (subyektif dan obyektif)
2. Menyimpulkan hasil tindakan3. Memberikan reinforcement positif pada
klien/keluarga4. Melakukan kontrak untuk kegiatan
100
selanjutnya5. Cuci tangan6. Dokumentasikan tindakan yang sudah
dilakukan, waktu pemberian, aliran kecepatan oksigen, rute pemberian dan respon klien, dokumentasi edukasi klien dan keluarga
101
Lampiran 3. Angket Evaluasi Mutu Pelayanan Keperawatan di Ruang ICU
RSUDWonosari
No KriteriaJawaban
Ya % Tidak %
1Perawat berpenampilan rapi dan menarik dalam memberikan pelayanan
2 Apakah perawat selalu memperkenalkan diri
3 Perawat memanggil nama pasien dengan benar
4 Perawat bersikap ramah dalam memberikan pelayanan
5 Perawat terampil dalam melakukan tindakan
6 Perawat memberikan pelayanan tepat waktu
7 Perawat menjelaskan peraturan rumah sakit, hak dan kewajiban pasien
8 Perawat melatih saya untuk dapat merawat diri sendiri
9 Perawat menjawab setiap pertanyaan yang saya ajukan terkait kondisi kesehatan saya
10 Perawat segera datang bila dipanggil
11 Perawat memberikan kesempatan kepada saya untuk mengungkapkan perasaan atau keluhan saya
12 Perawat meminta izin kepada pasien sebelum melakukan tindakan
13 Perawat memperhatikan respon atau perasaan saya saat tindakan dilakukan
14 Perawat memperhatikan kebersihan saya selama
dirawat seperti mengganti sprei tempat tidur bila
basah dan kotor
15
16
Perawat menjelaskan tindakan yang akan
dilakukan dan manfaatnya
102
17 Perawat dalam memberikan pelayanan
menimbulkan rasa aman dan nyaman
18 Perawat memberikan dukungan moral atau
semangat untuk kesembuhan saya
19 Perawat menjalin komunikasi yang baik dengan
keluarga dan pasien
20 perawat melarang anda/pengunjung merokok di
ruangan
21 Pada saat anda/keluarga anda dipasang oksigen,
perawat selalu memeriksa air dalam tabung
oksigen (humidifire)
22 Perawat terampil dalam menjalankan tugasnya
(menyuntik,memasang infus, mengambil darah,
memasang oksigen, dll)
23 Perawat membantu saya/keluarga sayajika belum
mampu mandi (dalam keadaan istirahat total)
24 Perawat mengajarkan/membantu menggosok gigi,
membersihkan mulut atau mengganti pakaian atau
menyisir rambut jika saya/keluarga saya tidak
mampu
25 Apakah alat-alat tenun seperti seprei, selimut dan
lain-lain diganti setiap kotor
26 Perawat selalu mengawasi keadaan anda secara
teratur pada pagi, sore maupun malam hari
103
27 Selama dirawat perawat segera memberi bantuan
bila diperlukan
28 perawat bersikap sopan, ramah
29 saya/keluarga mengetahui perawat yang
bertanggung jawab setiap kali pergantian dinas
30 Perawat selalu memberikan penjelasan sebelum
melakukan tindakan perawatan/pengobatan
31 Perawat selalu bersedia medengarkan dan
memperhatikan setiap keluhan anda/kelurga anda
32 Perawat membantu menyiapkan/meminum obat
33 Selama dirawat saya/keluarga diberikan penjelasan
tentang perawatan/pengobatan, pemeriksaan
lanjutan setelah diperbolehkan pulang
JUMLAH
NILAI : YA x 100 % YA + TIDAK