efek antiinflamasi dan analgesik jus buah pepaya · 2018-03-24 · pengertian nyeri ..... 15 2....
TRANSCRIPT
i
EFEK ANTIINFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH PEPAYA
(Carica papaya L.) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Jeffry Ben Martin
NIM : 068114158
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
Skripsi
EFEK ANTI-INFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH PEPAYA
(Carica papaya L.) pada MENCIT BETINA GALUR SWISS
Yang diajukan oleh :
Nama : Jeffry Ben Martin
NIM : 068114158
telah disetujui oleh:
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Pengesahan Skripsi Berjudul
EFEK ANTIINFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH PEPAYA (Carica papaya L.) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia
memberikan kekekalan dalam hati mereka.
Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang
dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
(Pengkhotbah 3:11)
Ku persembahkan karya ini untuk: Tuhan Yesus sumber kekuatanku Papa dan Mamaku, kedua adikku, dan seluruh keluarga tercinta
Teman-temanku Almamaterku
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
vi
PRAKATA
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh
karena berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Efek Analgesik dan Anti-Inflamasi Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.) pada
Mencit Betina Galur Swiss” ini dengan baik.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi (S. Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak,
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, penulis hendak
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt, selaku pembimbing utama skripsi ini atas segala
kesabaran untuk selalu mendukung, memotivasi, membimbing, dan memberi
masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini
2. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan
masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
3. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan
kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
4. Rita Suhadi, M.Si. Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma.
5. Agatha Budi Susiana, M.Si., Apt., selalu pembimbing akademik penulis atas
segala pendampingan, dukungan dan bimbingan selama ini.
vii
6. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku pimpinan laboratorium Farmasi yang telah
memberikan ijin penggunaan semua fasilitas laboratorium guna penelitian skripsi
ini.
7. Mas Parjiman, Mas Heru, Mas Kayat, Mas Yuwono, dan semua staf laboratorium
Farmasi yang telah bersedia membantu dan menemani selama penelitian
berlangsung, atas segala bantuan dan dinamika selama di laboratorium.
8. Mama dan Papa, atas dukungan, kasih sayang, dan doa yang terbaiki sehingga
penulis tetap bersemangat dalam penyusunan skripsi ini.
9. Kedua adikku, Boboy dan Pemi.
10. Rekan-rekan penelitian, Dewi, Tanti, Ricky, Felix, dan Gun atas bantuan,
kerjasama, perjuangan, dan suka duka yang dialami selama penelitian.
11. Ngapak Team, Anton, Aan, Jimmy, Yoki, Pungki, Jati, dan Felix atas
kebersamaan, semangat, dan keceriaannya.
12. Teman-temanku, Yacob dan Yosef, serta anak-anak Kos Flaurent Yustine, Gracia,
Dian, dan Vanni atas dukungan moral dan semangatnya.
13. Teman-teman kosku, Kos Ijo; Radit; Desta; Jojo, terima kasih untuk pinjaman
komputernya dalam penulisan skripsi ini; dan Ray, terima kasih untuk settingan
komputernya.
14. Teman-teman FKK B angkatan 2006 atas kebersamaan selama ini.
15. Komputerku yang setia menemani hari-hari ku, bahkan hingga saat yang
terakhirnya memberikan andil dalam penyusunan skripsi ini.
viii
16. Pihak-Pihak lain yang turut membantu penulis namun tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna termasuk
penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran, dan masukan
dari berbagai pihak demi kemajuan di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, baik mahasiswa, lingkungan akademis, masyarakat, serta memberikan
sumbangan kecil bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang
kefarmasian. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 10 Mei 2010
Penulis
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
x
INTISARI
Banyak penyakit memiliki manifestasi klinis berupa inflamasi. Salah satu gejala
inflamasi adalah nyeri. Jika inflamasi dihambat, maka akan menurunkan rasa nyeri juga. Oleh karena itu, penelitian untuk penemuan obat baru dengan efek antiinflamasi dan analgesik sangat berharga. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah jus buah pepaya memiliki efek antiinflamasi dan analgesik serta seberapa besar daya antiinflamasi dan analgesik yang mungkin dimiliki jus buah pepaya (Carica papaya L.). Metode yang digunakan adalah metode Langford yang dimodifikasi untuk uji efek antiinflamasi dan untuk metode rangsang kimia untuk uji analgesik.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Variabel utama adalah dosis jus buah pepaya (Carica papaya L.), sedangkan variabel tergantungnya adalah efek analgesik dan antiinflamasi jus buah pepaya (Carica papaya L.). Variabel tergantung diukur dengan melihat % proteksi geliat dan % daya anti-inflamasi seperti yang terdapat pada cara kerja. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk mencari persentase daya analgesik dan antiinflamasinya. Distribusi data dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan uji ANOVA satu arah dan uji Scheffe dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus pepaya memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Efek antiinflamasi yang dinyatakan oleh daya antiinflamasi jus buah pepaya pada dosis 7,5 g/kgBB; 15,0 g/kgBB; dan 30,0 g/kgBB berturut-turut adalah 20,72%; 37,44%; dan 62,06%, sedangkan daya analgesiknya berturut-turut adalah 19,77%; 40,70%; dan 55,04%.
Kata kunci: analgesik, antiinflamasi, jus buah pepaya, Carica papaya L.
xi
ABSTRACT
Many diseases have an inflammation as clinical manifestations. One of the
symptoms of inflammation is pain. If inflammation is inhibited, it will reduce pain as well. Thus the research for new drug discovery with anti-inflammatory and analgesic effects is very valuable. The purpose of this study is to determine if papaya juice has anti-inflammatory and analgesic effects and how much anti-inflammatory and analgesic potency of papaya juice (Carica papaya L.). This research used modificated Langford method to test the anti-inflammatory effects and to chemical stimulation method for testing analgesics.
This research was a pure experimental study of completely randomized one-way pattern design. The main variable is the dose of papaya juice (Carica papaya L.), whereas dependent variable is the analgesic and anti-inflammatory papaya juice effects (Carica papaya L.). The dependent variable is measured by looking at % twisting protection and % anti-inflammatory power as found in the procedure. The obtained data then used to find the percentage of analgesic and antiinflammatory power. Distribution data were analyzed with Kolmogorov-Smirnov test, followed by one-way ANOVA and Scheffe test with 95% confidence level.
The results showed that papaya juice has anti-inflammatory and analgesic effects. Anti-inflammatory effects are expressed by anti-inflammatory power of papaya juice at a dose of 7.5 g/kgBW; 15.0 g/kgBW; and 30.0 g/kgBW respectively 20.72%; 37.44%; dan 62.06%, while the analgesic power respectively 19.77%; 40.70%; dan 55.04%.
Key words: analgesics, anti-inflammatory, papaya juice, Carica papaya L.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................. iv
PRAKATA .................................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................................... ix
INTISARI ...................................................................................................................... x
ABSTRACT ................................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xix
BAB I ............................................................................................................................ 1
PENGANTAR .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
1. Perumusan masalah ..................................................................................... 3
2. Keaslian penelitian ...................................................................................... 3
3. Manfaat penelitian ...................................................................................... 4
B. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 5
BAB II ........................................................................................................................... 6
xiii
PENELAAHAN PUSTAKA ........................................................................................ 6
A. Pepaya ............................................................................................................. 6
1. Sistematika .................................................................................................. 6
2. Morfologi tanaman ..................................................................................... 6
3. Kandungan kimia ........................................................................................ 7
4. Kegunaan .................................................................................................... 7
B. Karotenoid ....................................................................................................... 7
C. Vitamin E ........................................................................................................ 8
D. Inflamasi ......................................................................................................... 9
1. Definisi inflamasi ........................................................................................ 9
2. Gejala dan penyebab ................................................................................. 10
3. Mekanisme ................................................................................................ 11
E. Nyeri ............................................................................................................. 15
1. Pengertian nyeri ........................................................................................ 15
2. Terjadinya nyeri ........................................................................................ 16
3. Jenis nyeri ................................................................................................. 18
4. Mekanisme nyeri ....................................................................................... 19
F. Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) ................................................... 21
G. Diklofenak ..................................................................................................... 23
H. Analgesik ...................................................................................................... 24
I. Parasetamol ................................................................................................... 26
J. Metode Pengujian Efek Antiinflamasi .......................................................... 27
xiv
K. Metode Pengujian Efek Analgesik ................................................................ 29
L. Landasan Teori .............................................................................................. 30
M. Hipotesis ....................................................................................................... 31
BAB III ....................................................................................................................... 32
METODE PENELITIAN ............................................................................................ 32
A. Jenis Rancangan Penelitian ........................................................................... 32
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ............................................... 32
C. Bahan Penelitian ........................................................................................... 34
D. Alat Penelitian ............................................................................................... 36
E. Tata Cara Penelitian ...................................................................................... 36
F. Tata Cara Analisis Hasil ............................................................................... 45
BAB IV ....................................................................................................................... 46
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................... 46
A. Identifikasi Makroskopis .............................................................................. 46
B. Uji Pendahuluan ............................................................................................ 46
C. Uji Antiinflamasi Jus Buah Pepaya .............................................................. 59
D. Uji Analgesik Jus Buah Pepaya .................................................................... 66
E. Perbandingan profil parasetamol dengan jus buah pepaya ........................... 73
F. Rangkuman Pembahasan Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah
Pepaya ........................................................................................................... 74
BAB V ......................................................................................................................... 77
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 77
xv
A. Kesimpulan ................................................................................................... 77
B. Saran ............................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 78
LAMPIRAN ................................................................................................................ 82
BIOGRAFI PENULIS .............................................................................................. 115
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I. Rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki ....... 47
Tabel II. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema ........................................................ 48
Tabel III. Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak .............................. 49
Tabel IV. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema ...................................................... 50
Tabel V. Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian diklofenak ........... 51
Tabel VI. Hasil uji Scheffe bobot udema .................................................................... 52
Tabel VII. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat ........................... 54
Tabel VIII. Hasil Uji Scheffe data geliat mencit ......................................................... 55
Tabel IX. Rata-rata jumlah geliat ................................................................................ 56
Tabel X. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian
asam asetat. ................................................................................................. 57
Tabel XI. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol ........................... 58
Tabel XII. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol ............ 59
Tabel XIII. Rata-rata bobot udema pada kelompok perlakuan ................................... 60
Tabel XIV. Rata-rata persen daya antiinflamasi pada kelompok perlakuan ............... 62
Tabel XV. Uji Scheffe persen (%) daya antiinflamasi kelompok perlakuan ............... 63
Tabel XVI. Rata-rata persen (%) daya antiinflamasi dan rata-rata persen (%) potensi
relatif kelompok jus buah pepaya pada 3 peringkat dosis dibandingkan
diklofenak ................................................................................................... 64
Tabel XVII. Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan ................................. 67
Tabel XVIII. Persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan ........................ 68
xvii
Tabel XIX. Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri .......................... 69
Tabel XX. Perubahan persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan ........... 70
Tabel XXI. Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Pepaya pada Berbagai
Peringkat Dosis ........................................................................................... 74
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan skema
aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi ......................................... 13
Gambar 2. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri .................................. 17
Gambar 3. Struktur diklofenak .................................................................................... 23
Gambar 4. Struktur parasetamol ................................................................................. 26
Gambar 5. Diagram batang rata-rata bobot udema pada ............................................. 48
Gambar 6. Diagram batang rata-rata bobot udema pada ............................................. 50
Gambar 7. Grafik rata-rata bobot udema .................................................................... 52
Gambar 8. Diagram batang rata-rata jumlah geliat ..................................................... 54
Gambar 9. Grafik rata-rata jumlah geliat .................................................................... 56
Gambar 10. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol
................................................................................................................... 58
Gambar 11. Diagram batang rata-rata bobot udema kaki mencit kelompok perlakuan
................................................................................................................... 61
Gambar 12. Diagram batang persen daya antiinflamasi kelompok perlakuan ............ 62
Gambar 13. Mekanisme pembentukan prostaglandin ................................................. 65
Gambar 14. Diagram batang rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok perlakuan . 67
Gambar 15. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok perlakuan ........ 68
Gambar 16. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyeri
kelompok uji ............................................................................................. 71
Gambar 17. Profil kelompok perlakuan jus buah pepaya dan parasetamol ................ 73
xix
Gambar 18. Histogram Daya Antiinflamasi dan Daya Analgesik Jus Buah Pepaya
dibandingkan dengan kontrol positif pada Berbagai Peringkat Dosis ...... 75
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto buah pepaya .................................................................................... 82
Lampiran 2. Foto jus pepaya ....................................................................................... 82
Lampiran 3. Foto geliat mencit yang memenuhi definisi operasional ........................ 83
Lampiran 4. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah diinjeksi
karagenin 1% pada rentang waktu tertentu dan hasil analisis statistiknya
............................................................................................................... 84
Lampiran 5. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan waktu pemberian
diklofenak dan hasil analisis statistiknya ............................................... 86
Lampiran 6. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan dosis diklofenak
dan hasil analisis statistiknya ................................................................. 89
Lampiran 7. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat dan selang waktu
pemberian asam asetat berserta hasil analisis statistiknya ..................... 91
Lampiran 8. Data jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol ........................... 96
Lampiran 9. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis
statistiknya ............................................................................................. 99
Lampiran 10. Data persen proteksi geliat pada uji efek analgesik ............................ 102
Lampiran 11. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif pada uji
efek analgesik ...................................................................................... 105
Lampiran 12. Data bobot udema kaki mencit hasil uji efek antiinflamasi ................ 108
Lampiran 13. Tabel % daya antiinflamasi dan potensi relatif .................................. 111
Lampiran 14. Contoh cara perhitungan % daya antiinflamasi dan potensi relatif .... 112
xxi
Lampiran 15. Perhitungan penetapan peringkat dosis jus buah pepaya pada kelompok
perlakuan .............................................................................................. 113
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan suatu mekanisme protektif yang memberi tanda bahwa di
dalam tubuh terdapat jaringan yang mengalami gangguan atau kerusakan dan perlu
segera ditangani (Tjay dan Rahardja, 2002). Gangguan atau kerusakan pada jaringan
yang dapat menimbulkan nyeri sebagai salah satu gejalanya adalah peradangan atau
inflamasi. Peradangan merupakan suatu keadaan yang membantu netralisasi,
penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan pada
proses penyembuhan jaringan yang rusak (Price dan Wilson, 1992). Walaupun
inflamasi dan nyeri merupakan pertanda penting, namun keduanya bukanlah suatu hal
yang menyenangkan bagi penderitanya.
Secara umum, pengatasan peradangan dan nyeri dilakukan dengan
penghambatan peruraian asam arakidonat menjadi prostaglandin, suatu mediator pada
inflamasi dan nyeri, yang diperantarai oleh enzim siklooksigenase (COX) (Rang,
Dale, Ritter, dan Moore, 2007). Pada daerah peradangan juga dihasilkan oksidan
reaktif seperti radikal bebas, yang memiliki kontribusi pada kerusakan jaringan
seperti pada penyakit rheumatoid arthritis (Halliwell, Hoult, and Blake, 1988).
Biosintesis prostaglandin sendiri berlangsung dengan bantuan radikal bebas
(Fessenden dan Fessenden, 1992). Jika radikal bebas tesebut tidak ditangkap, maka
prostaglandin akan terus terbentuk. Beberapa obat (seperti parasetamol) dan senyawa
2
antioksidan dalam tanaman (seperti flavonoid dan karotenoid) memiliki kemampuan
untuk menangkap radikal bebas tersebut (Halliwell dkk., 1988).
Buah pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu buah tropis yang
banyak, murah, dan mudah didapatkan di seluruh pelosok nusantara. Pepaya banyak
mengandung zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh seperti vitamin C, vitamin A,
vitamin E, serta berbagai mineral seperti Na, Mg, Zn, K, dan Fe (Surahman dan
Darmajana, 2004). Dalam penelitian Pekiner (2003), vitamin E terbukti memiliki
aktivitas sebagai antioksidan. Selain itu, pepaya juga memiliki kandungan senyawa
karotenoid seperti beta karoten dan lycopene (Chandrika, Jansz, Wikramasinghe, and
Warnasuriya, 2003). Beta karoten dilaporkan dapat menghambat oksidasi asam
arakidonat (Lieber and Leo, 1999). Jika oksidasi asam arakidonat dihambat,
kemungkinan prostaglandin tidak terbentuk. Dengan tidak dibentuknya prostaglandin,
maka proses inflamasi dapat teratasi. Di samping itu, rasa nyeri juga berkurang
karena reseptor nyeri tidak tersensitisasi oleh prostaglandin (Mutschler, 1999).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai efek antiinflamasi dan analgesik pada jus buah pepaya. Untuk menguji efek
antiinflamasi digunakan metode induksi udema kaki belakang karena metode ini telah
digunakan oleh banyak peneliti. Sedangkan untuk menguji efek analgesik digunakan
metode rangsang kimia.
3
1. Perumusan masalah
Permasalahan yang akan diteliti adalah:
a. Apakah jus buah pepaya (Carica papaya L.) memiliki efek analgesik dan
antiinflamasi?
b. Seberapa besar daya analgesik-antiinflamasi dari jus buah pepaya (Carica papaya
L.) pada tiap dosis yang digunakan?
2. Keaslian penelitian
Sepanjang penelusuran penulis, penelitian tentang efek analgesik dan
antiinflamasi dari jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada mencit betina belum
pernah dilakukan. Adapun penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tentang buah
Pepaya adalah sebagai berikut:
a. Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Pepaya (Carica papaya L.) Dengan
Metode DPPH dan Penetapan Kadar Fenolik serta Flavonoid Totalnya
(Pratimasari, 2009). Hasil penelitian menunjukkan sari buah pepaya, ekstrak etil
asetat ampas buah pepaya dan vitamin E dalam µg/ml berturut-turut 1159,12;
349,05; dan 30,33. Kadar fenolik total sari buah pepaya dan ekstrak etil asetat
ampas buah pepaya dalam mg/g sampel adalah 47,05 dan 50,09. Kadar flavonoid
total sari buah pepaya dan ekstrak etil asetat ampas buah pepaya dalam mg/g
sampel adalah 1,9 dan 8,73.
b. Bioconversion of Pro-Vitamin A Carotenoids and Antioxidant Activity of Carica
papaya Fruits (Chandrika, Jansz, Wikramasinghe, and Warnasuriya, 2003). Hasil
4
penelitian adalah beta karoten dan lycopene yang terkandung pada daging buah
papaya yang berwarna merah (red-fleshed variety) menunjukkan aktivitas
antioksidan yang cukup tinggi.
c. Pengaruh Pemberian Jus Buah Pepaya (Carica papaya) terhadap Kerusakan
Histologis Lambung Mencit yang Diinduksi Indometasin (Agustina, 2008), dan
disimpulkan bahwa jus buah pepaya mempunyai pengaruh memperbaiki
kerusakan histologis lambung mencit yang diinduksi indometasin dan
peningkatan dosis pepaya 0,1 ml menjadi 0,2 ml tidak diikuti peningkatkan efek
perbaikan gambaran histologis lambung mencit.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Melengkapi informasi yang sudah ada tentang khasiat tanaman obat terutama
buah pepaya (Carica papaya L.) yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu
kefarmasian.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai dosis efektif dari jus buah papaya sebagai analgesik dan antiinflamasi.
5
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :
1. Tujuan umum
Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang khasiat tanaman obat terutama
buah papaya (Carica papaya L.).
2. Tujuan khusus
a. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah jus buah pepaya
(Carica papaya L.) mempunyai efek analgesik dan antiinflamasi pada
mencit putih betina
b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar daya analgesik
dan antiinflamasi yang dimiliki jus buah papaya (Carica papaya L.) tiap
dosis yang digunakan.
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Pepaya
1. Sistematika
Dalam sistematika tumbuhan, tanaman pepaya (Carica papaya L.)
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Class : dicotyledonae (biji keeping dua)
Ordo : Caricales
Familia : Caricaceae
Genus : Carica
Species : Carica papaya L. (Warisno, 2003).
2. Morfologi tanaman
Batang pepaya dapat tumbuh hingga 10 m tingginya, lurus dan berbentuk
silinder dengan daun berparut yang mencolok, serta dapat menebal 30 – 40 cm pada
keadaan basa, menipis hingga 5 – 7,5 cm pada puncaknya. Daun – daun tumbuh dari
bagian teratas batang seperti terpilin, pada petiole terdekat yang horizontal sepanjang
25 – 100 cm. Daun terbagi menjadi 5 – 9 lobus utama, dengan variasi lebar 25 – 75
7
cm, dan memiliki tulang daun yang mencolok berwarna kekuningan. Buah pepaya
memiliki eksokarp (kulit) yang halus dan tebal, mesokarp yang berdaging, dan dapat
bentuk globose, ovoid, obovoid, dan pyriform, panjangnya 7 – 35 cm, dan dengan
bobot 0,25 – 10 kg (Ronse Decraene and Smets, 1999).
3. Kandungan kimia
Buah pepaya mengandung vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Selain itu, juga
terkandung mineral- mineral seperti Na, Mg, Zn, K, dan Fe (Surahman dan
Darmajana, 2004). Pepaya juga memiliki kandungan senyawa karotenoid seperti beta
karoten dan lycopene (Chandrika, Jansz, Wikramasinghe, and Warnasuriya, 2003).
4. Kegunaan
Buah pepaya berguna memacu enzim pencernaan, serta daunnya berguna
sebagai penambah nafsu makan, peluruh haid. Buah pepaya juga berguna untuk obat
panas yang memiliki khasiat menurunkan panas. Buah pepaya matang dikonsumsi
dalam keadaan segar atau sebagai pencuci mulut (Muhlisah, 2001).
B. Karotenoid
Karotenoid merupakan golongan pigmen yang larut lipid dan tersebar luas,
terdapat dalam semua jenis tumbuhan. Pada tumbuhan, karotenoid mempunyai dua
fungsi, yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam
bunga dan buah. Dalam bunga, karotenoid biasanya berwarna kuning, sedangkan
dalam buah dapat juga berwarna jingga/merah (Harborne, 1987).
8
Karotenoid yang penting untuk tubuh adalah beta karoten, karena merupakan
sumber vitamin A (setelah mengalami hidrasi dan molekulnya terpecah menjadi dua)
(Harborne, 1987). Beta karoten yang terdapat pada wortel, papaya, sayur mayor yang
berwarna kemerahan dan minyak kelapa sawit berpotensi sebagai senyawa
antioksidan. Beta karoten mempunyai dua peran, yaitu sebagai prekursor vitamin A
dan antioksidan. Dilihat dari strukturnya, beta karoten mampu menangkal radikal
bebas karena adanya ikatan rangkap konjugasi yang panjang. Beta karoten dilaporkan
dapat menghambat oksidasi asam arakidonat (Lieber and Leo, 1999).
C. Vitamin E
Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang terdiri dari campuran
dan substansi tokoferol (a, b, g, dan d) dan tokotrienol (a, b, g, dan d). Vitamin E
merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein
(LDL). Menurut Hariyatmi (2004), vitamin E yang larut dalam lemak ini merupakan
antioksidan yang melindungi polyunsaturated fatty acid’s (PUFAs) dan komponen sel
serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas.
Reaksi awal dari peroksidasi unsaturated fatty acid disebabkan serangan dari
beberapa spesies radikal (seperti radikal hidroksil), yang memiliki reaktivitas yang cukup
untuk menarik atom H dari karbon metilen rantai samping unsaturated fatty acid,
membentuk radikal lipid (L•) (1). Dengan keberadaan O2
HO• + H → H2O + L• (1)
, radikal lipid yang dihasilkan
kemudian dapat bereaksi membentuk radikal peroksil lipid (LOO•) (2).
9
L• + O2 → LOO• (2)
Radikal peroksil yang terbentuk sangat reaktif dan sangat mudah mengalami
reaksi berantai. Radikal peroksil tersebut memerlukan tambahan atom H agar menjadi
stabil. Atom H ini dapat diperoleh dari molekul asam lemak (LH) yang berada di
dekatnya, yang kemudian akan terbentuk radikal lipid yang baru (L•) dan reaksi
berantai selanjutnya akan terjadi (3).
LOO• + LH → LO2H + L• (3)
Vitamin E dan senyawa antioksidan fenolik lainnya akan menghambat reaksi 3
dan reaksi berantai yang terjadi terputus. Atom H dari gugus OH fenolik pada vitamin
E (α-Tokoferol) dapat berikatan dengan radikal peroksil lipid, sebelum radikal
tersebut menyerang asam lemak lainnya. Tokoferol sendiri akan menjadi senyawa
radikal bebas yang relatif stabil (α − T•) yang tidak mengalami reaksi radikal
berantai.
LOO• + α − T → LO2H + α − T• (4)
Reaksi di atas menunjukkan aktivitas vitamin E (α-T) terhadap radikal peroksil
lipid (LOO•) (Pekimer, 2003).
D. Inflamasi
1. Definisi inflamasi
Inflamasi atau peradangan merupakan reaksi vaskular yang hasilnya merupakan
pengiriman cairan, zat-zat terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-
jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis (Price and Wilson, 1992).
10
Dikatakan juga bahwa inflamasi adalah usaha protektif dari suatu organisme untuk
menghilangkan stimuli yang merugikan sekaligus mengawali proses penyembuhan
suatu jaringan (Denko, 1992).
2. Gejala dan penyebab
Penyebab inflamasi banyak sekali dan beraneka ragam, dapat ditimbulkan oleh
rangsangan fisik, kimiawi, biologis (infeksi akibat mikroorganisme atau parasit), dan
kombinasi ketiga agen tersebut. Gejala pokok terjadinya inflamasi akut dikenal
meliputi rubor, calor, dolor, tumor, dan functio laesa (Mutschler, 1986).
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami inflamasi. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriola
yang mensuplai daerah tersebut melebar sehingga lebih banyak darah yang mengalir
ke dalam mikrosirkulasi lokal. Keadaan inilah yang bertanggung jawab atas warna
merah lokal yang tampak pada peradangan akut (Kee dan Hayes, 1996).
Calor atau rasa panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi radang
akut. Sebenarnya, panas hanyalah suatu sifat reaksi peradangan pada permukaan
badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37°C, yaitu suhu di dalam tubuh.
Hal ini dapat terjadi karena darah yang disalurkan tubuh ke permukaan yang
mengalami radang lebih banyak daripada darah yang disalurkan ke daerah yang
normal (tidak mengalami radang) (Price and Wilson, 1992).
Dolor atau rasa sakit dalam reaksi peradangan dapat ditimbulkan melalui
berbagai cara. Perubahan pH lokal menjadi lebih rendah atau konsentrasi lokal ion-
11
ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Selain itu, pengeluaran zat kimia
tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf.
Pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan tekanan lokal,
yang tanpa dapat diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit (Price and Wilson,
1992).
Gejala yang paling terlihat dari peradangan akut mungkin adalah tumor atau
pembengkakan lokal. Pembengkakan timbul akibat pengiriman cairan dan sel-sel dari
sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interestial. Campuran cairan dan sel yang
tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.
Functio laesa yaitu berkurangnya fungsi dari organ yang mengalami
peradangan (Sander, 2003). Hilangnya fungsi disebabkan karena penumpukan cairan
pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada
daerah yang terkena (Kee and Hayes,1996). Gerakan yang terjadi pada daerah radang,
baik yang dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan
oleh rasa sakit; pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya
gerak jaringan (Underwood, 1996).
3. Mekanisme
Mekanisme inflamasi sangat dipengaruhi oleh senyawa dan mediator yang
dihasilkan oleh asam arakidonat. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu
rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, enzim fosfolipase kemudian diaktifkan
untuk mengubah fosfolipid yang terdapat di membran sel tersebut menjadi asam
12
arakidonat (Tjay dan Rahardja, 2002). Asam arakidonat tersebut dapat
dimetabolisme dalam dua jalur enzim yang berbeda, yaitu jalur enzim
siklooksigenase dan lipooksigenase (Price and Wilson,1992).
Beberapa sel dan mediator terlibat dalam respon alamiah (merupakan berbagai
sistem pertahanan tubuh) dan interaksinya sangat kompleks. Lebih detailnya,
berhubungan dengan kejadian-kejadian vaskuler dan peran sel serta mediator-
mediator dalam tubuh. Kejadian-kejadian vaskuler adalah dilatasi awal dari arteriola-
arteriola kecil yang berakibat pada peningkatan aliran darah, diikuti dengan
penurunan kemudian berhentinya aliran darah dan peningkatan permeabilitas dari
venula post kapiler, dengan eksudasi cairan. Vasodilatasi yang terjadi disebabkan
oleh beberapa mediator (histamin, prostaglandin (PG) E2 dan I2
Radikal bebas oksigen akan terlepas secara ekstraseluler dari leukosit setelah
adanya pemaparan mikrobia, kemotaksin, dan kompleks imun, atau mengikuti
, dan sebagainya)
yang dilepaskan karena adanya interaksi antara mikroorganisme dan jaringan.
Beberapa dari mediator tersebut (seperti histamin, platelet-activating factor (PAF),
dan sitokin dilepaskan oleh interaksi TRL-PAMP) juga bertanggung jawab atas fase
awal dari peningkatan permeabilitas vaskuler. Sistem kinin merupakan salah satu dari
rangkaian enzim, yang mengakibatkan produksi beberapa mediator inflamasi, pada
umumnya bradikinin. Sel yang terlibat dalam peradangan, beberapa (sel-sel
endothelial vaskular, sel mast, dan makrofag jaringan) secara normal berada dalam
jaringan, sementara dari darah platelet dan leukosit meningkatkan akses ke area
inflamasi (Rang dkk., 2007).
13
tantangan fagositik. Produksi radikal bebas oksigen bergantung pada aktivasi sistem
oksidase NADPH. Anion superoksida, hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal
hidroksil merupakan spesies utama yang diproduksi oleh sel, dan anion superoksida
dapat berinteraksi dengan NO untuk membentuk spesies nitrogen aktif (Kumar dkk.,
2010).
Gambar 1. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan
skema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi (Rang dkk, 2007)
Eicosanoid merupakan senyawa yang dihasilkan dari fosfolipid melalui jalur de
novo. Senyawa ini terlibat dalam pengaturan banyak proses fisiologis dan termasuk di
14
antaranya yang paling penting mediator-mediator dalam reaksi inflamasi. Sumber
utama dari eicosanoid adalah asam arakidonat, yang terbentuk dari proses esterifikasi
fosfolipid. Eicosanoid utama antara lain prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien,
meskipun derivat lain dari asam arakidonat seperti lipoksan juga dihasilkan. Langkah
awal dan batas laju sintesis eicosanoid bergantung pada pembebasan asam
arakidonat, baik dalam satu tahap (dengan bantuan fosfolipase A2) maupun dua tahap
(dengan bantuan IP, inositol, fosfat, DAG, dan diasilgliserol). Jalur fosfolipase A2
a. Melalui siklooksigenase (COX) yang terdiri dari dua bentuk, COX-1 dan COX-2.
Enzim-enzim ini mengawali biosintesis prostaglandin dan tromboksan.
memiliki pengaruh besar dalam pembentukan asam arakidonat intraseluler.
Kerusakan sel umumnya memicu proses pembebasan asam arakidonat. Asam
arakidonat dimetabolisme melalui beberapa jalur, yaitu:
b. Melalui bermacam-macam lipoksigenase yang mengawali sintesis leukotrien,
lipoksin, dan komponen lainnya (Rang dkk, 2007).
Seperti yang telah diketahui bahwa sel fagositik yang telah teraktivasi
melepaskan berbagai macam komponen, termasuk eicosanoid dan enzim proteolitik.
Neutrofil yang teraktivasi juga menghasilkan radikal superoksida (O2• ). Superoksida
dapat menghasilkan hidrogen peroksida dengan serangkaian reaksi:
2O2• + 2H+ → H2O2 + O2 (1)
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa O2• dan H2O2 juga dihasilkan pada
aktivasi sel fagosit lainnya, termasuk monosit, makrofag, dan eosinofil. H2O2 dengan
15
mudah dapat menembus membran sel, sedangkan O2• tidak bisa. Dengan keberadaan
ion transisi logam yang sesuai (biasanya besi), H2O2
Fe2+ + H2O2 → kompleks intermediet → Fe3+ + OH• + OH− (2)
dapat berinteraksi dengan
mereduksi ion besi untuk membentuk spesies oksidasi yang lebih tinggi, yang paling
penting adalah radikal hidroksil.
Reaksi 2 dapat berlangsung secara ekstraseluler jika medium di sekitar fagosit
yag teraktivasi tersebut mengandung ion besi. Derivat fagosit O2• dimungkinkan
berperan dalam mengatur ion besi ke dalam bentuk tereduksi:
Fe3+ + O2• → kompleks intermediet → Fe2+ + O2 (3)
Pada tempat terjadinya inflamasi terdapat ion besi karena O2• dapat mereduksi
ion besi dari ferritin dan H2O2
E. Nyeri
menyebabkan ion besi lepas dari hemoglobin. Oleh
sebab itu, pendarahan di daerah inflamasi dapat meningkatkan produksi radikal bebas
dan memperparah kerusakan jaringan (Halliwell dkk., 1988).
1. Pengertian nyeri
Nyeri merupakan suatu perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak serta
berkaitan dengan kerusakan jaringan (Tjay dan Rahardja, 2002). Menurut Guyton
(1986), hal tersebut merupakan suatu mekanisme protektif dari tubuh. Nyeri dapat
menimpa siapa saja, baik bayi, anak, dewasa maupun kelompok lanjut usia. Nyeri
dapat sangat bervariasi pada tiap individu, tergantung pada usia, jenis kelamin,
16
penyakit yang mendasari, hingga penyebab timbulnya nyeri seperti trauma dan proses
peradangan (Dwiprahasto, 2002). Walaupun nyeri merupakan petunjuk yang berharga
bagi tubuh, namun pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan,
menyiksa, dan berusaha untuk bebas darinya (Mutschler, 1986).
2. Terjadinya nyeri
Nyeri akan muncul ketika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik
melampaiui ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Ketika terjadi rangsang nyeri dan
melampaui nilai ambang nyeri, maka akan terjadi kerusakan jaringan dan pelepasan
mediator-mediator nyeri (Mutschler, 1986). Mediator nyeri ini terdapat di seluruh
jaringan dan organ tubuh, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Mediator-mediator
nyeri yang juga disebut autocoida ini antara lain histamin, prostaglandin, serotonin,
bradikinin, dan leukotrien. Mediator nyeri ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi
peradangan, kejang-kejang, dan demam (Tjay dan Rahardja, 2002).
Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya
merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial
kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya poriosteum, dinding arteri,
permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kelapa. Rasa nyeri dapat
dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan (Guyton, 1986).
17
Rangsangan yang merusak
Kerusakan jaringan
Pembebasan : Pembentukan kinin
H+ (pH<6) (misalnya bradikinin, prostaglandin)
K+
Asetilkolin Sensibilitas reseptor
Serotonin
(<20 mmol/L)
Histamin Nyeri lama
Nyeri pertama
Gambar 2. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri setelah kerusakan jaringan
(Mutschler, 1995)
Penghantaran nyeri dimulai dari adanya potensial aksi (impuls nosiseptif) yang
terbentuk pada reseptor nyeri, diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar dorsal
sumsum tulang belakang. Pada tempat kontak awal ini bertemu tidak hanya serabut
aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi di sini juga terjadi refleks somatik dan
vegetatif awal (misalnya menarik tangan pada waktu tersentuh benda panas, terbentuk
eritema lokal) melalui interneuron. Di samping itu, pada tempat ini juga terjadi
pengaruh terhadap serabut aferen melalui sistem penghambatan nyeri menurun.
18
3. Jenis nyeri
Berdasarkan waktu dan lama kejadian, rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Rasa nyeri cepat juga
digambarkan sebagai rasa nyeri akut. Bila diberikan stimulus nyeri, maka rasa nyeri
cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik. Jenis rasa nyeri ini akan terasa bila
sebuah jarum ditusukkan ke dalam kulit, bila kulit tersayat pisau, atau bila kulit
terbakar. Selain itu, nyeri ini juga terasa bila subjek mendapat syok elektrik. Rasa
nyeri ini tidak akan terasa di sebagian besar jaringan dalam dari tubuh.
Rasa nyeri lambat juga sering disebut sebagai rasa nyeri kronik. Rasa nyeri
lambat timbul setelah 1 detik atau lebih, kemudian secara perlahan bertambah selama
beberapa detik atau bahkan beberapa menit. Jenis rasa nyeri ini biasanya dikaitkan
dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri ini dapat berlangsung lama, menyakitkan, dan
menjadi penderitaan yang tak tertahankan. Rasa nyeri seperti ini dapat terasa di kulit
dan di hampir semua jaringan dalam atau organ (Guyton, 1986).
Menurut tempat terjadinya, nyeri dibagi atas nyeri somatik dan nyeri viseral.
Nyeri dikatakan sebagai somatik apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot,
persendian, tulang, atau dari jaringan ikat. Nyeri somatik kemudian dibagi lagi
menjadi nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila rangsang bertempat dalam kulit,
maka rasa nyeri yang terjadi disebut nyeri permukaan. Sebaliknya, nyeri yang berasal
dari otot, persendian, tulang, dan jaringan ikat disebut nyeri dalam (Guyton, 1986).
Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira setelah kulit tertusuk dengan jarum,
mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik, dan hilang dengan
19
cepat setelah berakhirnya rangsang. Nyeri ini menyebabkan suatu reaksi menghindar
secara refleks seperti refleks menarik kaki sesaat setelah menginjak duri. Nyeri dalam
sering kali diikuti oleh reaksi afektif seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan
penurunan tekanan darah. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar
dilokalisasi, dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya. Contoh nyeri dalam yang
umum terjadi dan dirasakan adalah sakit kepala (Guyton, 1986).
4. Mekanisme nyeri
Menurut Dipiro dkk (2008) proses penghantaran nyeri dibedakan dalam empat
tahap, yaitu:
a. Stimulasi
Sensasi nyeri diawali dengan pembebasan reseptor nyeri akibat adanya
rangsangan baik berupa mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan-
rangsangan tersebut (noxius stimuli) akan menyebabkan lepasnya mediator-
mediator seperti bradikinin, K+
b. Transmisi
, prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin dan
substansi P. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi potensial yang ditransmisikan
sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang.
Transmisi rangsang nyeri terjadi di serabut aferen Aδ dan C. Serabut saraf
aferen tersebut akan merangsang serabut nyeri di berbagai lamina spinal cord’s
dorsal horn melepaskan berbagai neurotransmiter termasuk glutamat, substansi
P, dan kalsitonin (Dipiro dkk, 2008).
20
c. Persepsi nyeri
Merupakan titik utama transmisi impuls nyeri. Otak akan mengartikan
sinyal nyeri dengan batas tertentu, sedangkan fungsi kognitif dan tingkah laku
akan memodifikasi nyeri sehingga tidak lebih parah. Relaksasi, pengalihan,
meditasi dan berkhayal dapat mengurangi rasa nyeri. Sebaliknya, perubahan
biokimia saraf yang terjadi pada keadaan seperti depresi dan stres dapat
memperparah rasa nyeri (Dipiro dkk, 2008).
d. Modulasi
Modulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Telah diketahui
bahwa sistem opiat endogen terdiri atas neurotransmiter-neurotransmiter (seperti
enkhepalin, dinorfin, dan β-endorfin dan reseptor-reseptor ( seperti μ, δ, dan κ)
yang ditemukan dalam sistem saraf pusat. Opioid endogen berikatan dengan
reseptor opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri (Dipiro dkk, 2008).
Faktor pertumbuhan neuron atau neuron growth factor (NGF) merupakan
mediator mirip sitokinin yang dihasilkan oleh jaringan di perifer terutama pada
jaringan yang mengalami peradangan dan beraksi secara spesifik pada serabut saraf
aferen serta meningkatkan kemosensitifitas dan kandungan senyawa peptida.
Senyawa peptida dilepaskan di pusat dan di perifer sebagai mediator yang berperan
penting dalam terjadinya nyeri (Rang dkk, 2007).
Menurut Mutschler (1991) untuk mempengaruhi nyeri dengan obat, terdapat
kemungkinan-kemungkinan berikut :
21
1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis
prostaglandin dengan analgesik yang bekerja perifer,
2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai
anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,
3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestetika
induksi,
4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat
dengan analgesik yang bekerja pada pusat atau obat narkosis, dan
5. mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (transkuilansia,
neuroleptika, dan antidepresan).
F. Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS)
Berdasarkan mekanisme kerjanya secara umum, obat antiinflamasi dibagi
dalam dua golongan, yaitu golongan steroid dan golongan nonsteroid. Obat
antiinflamasi golongan steroid memiliki daya antiinflamasi kuat, dengan mekanisme
utama menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya. Sedangkan obat
antiinflamasi golongan non steroid (OAINS) bekerja melalui mekanisme lain, seperti
inhibisi enzim siklooksigenase yang berperan dalam biosintesis prostaglandin
(Anonim, 1991).
Obat antiinflamasi golongan non steroid (OAINS) berperan sebagai
antiinflamasi dengan satu atau beberapa mekanisme, diantaranya dengan inhibisi
metabolisme asam arakidonat, inhibisi enzim siklooksigenase (COX) atau inhibisi
22
sintesis prostaglandin, inhibisi lipooksigenase, inhibisi sitokin, pelepasan hormon
steroid, stabilisasi membran lisosom, dan pelepasan fosforilasi oksidatif (Kohli, Ali,
and Raheman, 2005).
Hampir semua OAINS adalah menghambat sintesis prostaglandin dengan
inhibisi COX-1 dan COX-2. Berdasarkan pada selektifitasnya terhadap COX, OAINS
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan, yaitu:
1. Inhibitor COX nonselektif, meliputi aspirin, indometasin, diklofenak, piroksikam,
ibuprofen, naproxen, dan asam mefenamat;
2. Inhibitor selektif COX-2, meliputi nimesulid, meloksikam, nabumeton, dan
aseklofenak. Golongan OAINS ini bekerja secara selektif preferential COX-2,
dimana penghambatan pada COX-2 nya tidak sekuat golongan rofecoxib sehingga
tidak mengganggu fungsi fisiologis COX-2 yang berguna pada kardiovaskular.
Golongan OAINS ini disebut aman untuk kardiovaskular (Ignatius, Zarraga, and
Ernest, 2007).
3. Inhibitor sangat selektif COX-2, meliputi celecoxib, rofecoxib, valdecoxib,
parecoxib, etoricoxib dan lumiracoxib (Derle, Gujar, and Sagar, 2006). OAINS
sangat selektif COX-2 memiliki efek samping pada kardiovaskular, yaitu dapat
meningkatkan resiko terjadinya AMI (Acute Myocardial Infarction) karena
mempunyai penghambatan yang sangat kuat terhadap COX-2. COX-2
mempunyai fungsi fisiologis dalam mensintesis prostasiklin yang berfungsi
sebagai vasodilator pada pembuluh darah jantung (Ignatius dkk., 2007).
23
G. Diklofenak
Diklofenak adalah golongan obat nonsteroid dengan aktivitas analgesik,
antiinflamasi, dan antipiretik. Struktur kimia diklofenak ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur diklofenak (Hanson, 2000)
Obat ini adalah penghambat cyclooxygenase yang relatif nonselektif dan kuat,
juga mengurangi bioavailabilitas arachidonic acid. Obat ini cepat diserap sesudah
pemberian secara oral, tetapi bioavailabilitas sistemiknya hanya antara 30-70%
karena metabolisme lintas pertama (Katzung, 2002). Kontraindikasi obat ini untuk
penderita yang hipersensitivitas terhadap diklofenak atau penderita asma, urtikaria
atau alergi pada pemberian aspirin atau NSAID lainnya, serta penderita tukak
lambung (Wilmana, 1995). Dosis oral diklofenak adalah 75-100 mg/hari dalam 2-3
dosis, sebaiknya setelah makan. Dosis maksimal tiap hari untuk setiap cara pemberian
adalah 150 mg (Anonim, 2000).
C
O
H O
N H
C l
C l
24
H. Analgesik
Analgesik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau
menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja,
mekanisme kerja, dan efek sampingnya, analgesik dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu :
1. Analgesik yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgesik)
2. Analgesik yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer
dengan sifat antipiretik dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi
(Mutschler,1986).
Analgesik dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:
a. Analgesik Opioid (narkotik)
Analgesik narkotik adalah golongan obat yang bekerja pada reseptor opioid
di Sistem Saraf Pusat (SSP), yang menyebabkan persepsi nyeri dan respon
emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002). Tetapi
semua analgesik opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan
suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan
suatu analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi (Anonim,
1995).
Berdasarkan cara kerjanya, golongan ini dibagi dalam antara lain :
1. Agonis opiat, dibagi menjadi candu (seperti morfin, kodein, heroin) dan zat-
zat hasil sintesis seperti metadon dan derivatnya, juga petidin dan
derivatnya.
25
2. Antagonis opiat seperti nalokson dan nalorfin; dan
3. Kombinasi (mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktivasi
kerjanya dengan sempurna) (Tjay dan Rahardja, 2002).
b. Analgesik non narkotik
Obat-obatan golongan ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa
nyeri tanpa mempengaruhi Sistem Saraf Pusat (SSP) atau menurunkan kesadaran
serta tidak menimbulkan ketagihan (adiksi). Kebanyakan juga memiliki daya
antipiretis dan atau antiradang (Tjay dan Rahardja, 2002). Beberapa obat
golongan ini terbukti mempengaruhi metabolisme atau kerja sejumlah mediator
biokimia dan sel pada proses peradangan. Mekanisme kerjanya yakni
menghambat atau menghalangi biosintesis prostaglandin dan metabolisme yang
bersangkutan yang merupakan penyebab nyeri, demam dan radang. Analgesik
non narkotik mempunyai mekanisme perifer maupun sentral dalam meredakan
nyeri (Hite, 1995).
Analgesik golongan ini diabsorbsi dengan baik dan cepat. Kebanyakan
analgesik golongan ini berdaya antipiretik dan atau antiradang. Oleh karena itu
obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat anti nyeri saja tetapi juga pada
gangguan demam dan peradangan. Obat ini banyak digunakan pada nyeri ringan
sampai sedang, seperti sakit kepala, sakit gigi, otot, perut, haid, dll (Tjay dan
Rahardja, 2002).
26
Menurut Tjay dan Rahardja (2002), rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa
cara yakni :
1. merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer dengan analgesik
perifer
2. merintangi penyaluran rangsangan di saraf–saraf sensoris, misalnya dengan
anastetika lokal.
3. blokade pusat di SSP dengan analgesik sentral (narkotika) atau dengan anastetika
umum.
I. Parasetamol
HO N C
H O
CH3
Gambar 4. Struktur parasetamol
(Katzung, 2002)
Parasetamol diindikasikan sebagai penghilang nyeri ringan sampai sedang.
Kemanjurannya mirip dengan asetosal, tetapi tidak memiliki aktivitas antiinflamasi
yang berarti, parasetamol kurang mengiritasi lambung, oleh karena itu sekarang
secara umum lebih disukai daripada asetosal. Overdosis pada parasetamol khususnya
berbahaya karena dapat mengakibatkan kerusakan hati yang kadang-kadang tidak
tampak dalam 4-6 hari pertama (Anonim, 2000).
Sebagai analgesik sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan
menimbulkan nefropati analgesik (Wilmana, 1995). Gambaran umum dari nefropati
27
analgesik meliputi gagal ginjal kronis, hipertensi, anemia. Kebanyakan penderita
mengalami nefropati karena memakai kombinasi fenasetin, aspirin, asetaminofen
dalam waktu lama dan jumlah yang berlebihan (Robbins dan Kumar, 1995).
J. Metode Pengujian Efek Antiinflamasi
Secara umum, model inflamasi dibedakan menjadi dua, sesuai dengan jenis
inflamasi, yaitu model inflamasi akut dan model inflamasi kronik. Inflamasi akut
dapat dibuat dengan berbagai cara, yaitu dengan induksi udema kaki tikus,
pembentukan eritema (respon kemerahan) dan pembentukan eksudasi inflamasi,
sedangkan inflamasi kronis dibuat dengan pembentukan granuloma dan induksi
artritis (Gryglewski, 1977).
Metode yang sering digunakan dalam penelitian uji inflamasi adalah metode
induksi udema telapak kaki belakang. Pada metode ini induksi udem dilakukan pada
kaki hewan percobaan, yaitu tikus jantan atau betina, dengan cara penyuntikan
suspensi karagenin secara sublantar pada telapak kaki kiri bagian belakang. Ukuran
udema kaki diukur dengan alat plestimometer segera setelah injeksi (Khanna dan
Sharma, 2001). Aktivitas ant-inflamasi obat ditunjukkan oleh kemampuannya
mengurangi udema yang diinduksi pada kaki tikus (Vogel, 2002).
Keuntungan metode ini antara lain cepat (waktu yang dibutuhkan tidak terlalu
lama) dan pengukuran volume udema dapat dilakukan dengan lebih akurat dan
objektif, mudah dilakukan karena caranya mudah diamati atau visible. Kekurangan
28
teknik penyuntikan pada telapak kaki tikus atau jika penyuntikan karagenin secara
subplantar tersebut tidak menjamin pembentukan volume udema yang seragam pada
hewan percobaan, akan dapat mempengaruhi nilai simpangan pada masing-masing
kelompok tikus yang cukup besar (Gryglewski, 1977).
Metode uji yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode Langford dkk
termodifikasi. Dasar metode ini adalah dengan membuat udema pada telapak kaki
belakang mencit menggunakan karagenin 1%, kemudian kaki dipotong pada sendi
torsocrural dan ditimbang. Prosentase daya antiinflamasi dapat dihitung dari
perubahan bobot kaki hewan uji.
Adapun rumus aslinya adalah sebagai berikut :
𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃 𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐃𝐃𝐀𝐀𝐃𝐃𝐀𝐀𝐀𝐀 (𝐝𝐝𝐃𝐃𝐀𝐀𝐃𝐃𝐀𝐀 %) = 𝐔𝐔−𝐃𝐃𝐃𝐃
𝐱𝐱 𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏%
Keterangan : U = harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki
normal (kaki kanan) D = harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat
kaki normal (kaki kanan)
Karena persentase daya antiinflamasi dihitung dari pengurangan bobot udema
maka rumus di atas diubah menjadi sebagai berikut:
𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃 𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐃𝐃𝐀𝐀𝐃𝐃𝐀𝐀𝐀𝐀 (𝐝𝐝𝐃𝐃𝐀𝐀𝐃𝐃𝐀𝐀 %) =𝐔𝐔 − 𝐃𝐃𝐔𝐔
𝐱𝐱 𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏%
Keterangan: U = rata-rata bobot kaki kelompok karagenin dikurangi rata-rata bobot kaki
kelompok normal (tanpa perlakuan) D = rata-rata bobot kaki kelompok perlakuan dikurangi rata-rata bobot kaki
kelompok normal (tanpa perlakuan)
29
Letak perbedaannya adalah bahwa pada metode Langford, persen (%) daya
antiinflamasi kelompok perlakuan merupakan hasil selisih rata-rata berat kaki
kelompok karagenin dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dibandingkan
dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan, sedangkan pada cara perhitungan
yang digunakan adalah persen (%) daya antiinflamasi kelompok perlakuan
merupakan hasil perbandingan selisih rata-rata berat kaki kelompok karagenin dengan
rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dibandingkan dengan rata-rata berat kaki
kelompok karagenin. Kedua cara perhitungan ini sama-sama dapat memberikan hasil
negatif (-) bila harga U < D.
K. Metode Pengujian Efek Analgesik
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rangsang kimia.
Metode ini menggunakan zat kimia yang diinjeksikan pada hewan uji secara
intraperitoneal, sehingga akan menimbulkan nyeri. Beberapa zat kimia yang biasanya
digunakan antara lain asam asetat dan fenil kuinon. Metode ini sederhana,
reproducible (dapat diulang-ulang hasilnya), dan cukup peka untuk menguji senyawa
analgesik dengan daya analgesik lemah, namun mempunyai kekurangan yaitu
masalah kespesifikasinya. Oleh karena itu metode ini sering digunakan untuk
penapisan (screening). Daya analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen
penghambatan terhadap geliat menggunakan persamaan menurut Handerson-Forsaith.
30
% proteksi rangsang nyeri = (100 – [(P/K) x 100])%
P = jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi perlakuan. K= jumlah kumulatif geliat mencit kelompok kontrol.
Hewan uji yang digunakan pada metode ini dapat bermacam-macam, antara
lain: anjing, marmot, tikus, merpati, dan mencit. Untuk mencit, yang sering
digunakan adalah mencit betina, dikarenakan kepekaan terhadap rangsang lebih besar
daripada yang jantan. Respon mencit yang biasa diamati adalah lompatan dan
konstraksi perut dengan disertai tarikan kaki belakang (rentangan) yang disebut geliat
(Putra, 2003 cit Soerjandari, 1991).
L. Landasan Teori
Sebelum terjadinya inflamasi, neutrofil dan makrofag akan bermigrasi ke
daerah yang mengalami kerusakan pada jaringan. Pada daerah peradangan juga
dihasilkan oksidan reaktif seperti radikal bebas, yang memiliki kontribusi pada
kerusakan jaringan seperti pada penyakit rheumatoid arthritis (Halliwell dkk., 1988).
Biosintesis prostaglandin sendiri berlangsung dengan bantuan radikal bebas
(Fessenden dan Fessenden, 1992). Jika radikal bebas tesebut tidak ditangkap, maka
prostaglandin akan terus terbentuk. Selain menyebabkan terjadinya inflamasi,
prostaglandin juga dapat mensensitisasi reseptor nyeri (nociceptor) sehingga akan
timbul rasa nyeri.
Pendekatan dari penelitian ini adalah adanya kandungan senyawa antioksidan
dalam buah pepaya, yaitu karotenoid (beta karoten) dan vitamin E memiliki
31
kemampuan dalam menangkap oksidan reaktif seperti radikal bebas (free radical
scavengers). Beta karoten dilaporkan dapat menghambat oksidasi asam arakidonat
(Lieber and Leo, 1999). Dengan demikian pembentukan prostaglandin terhambat
sehingga peradangan dapat diatasi dan rasa nyeri sebagai manifestasi klinis dari
inflamasi juga akan berkurang. Hal inilah yang mendasari dugaan sementara bahwa
jus buah pepaya dapat berkhasiat sebagai antiinflamasi dan analgesik.
Untuk menguji efek antiinflamasi digunakan metode rangsang udema karena
metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan telah terbukti cocok untuk
skrining untuk evaluasi mendalam (Vogel, 2002). Sedangkan untuk menguji efek
analgesik digunakan metode geliat, karena metode ini sensitif, sederhana,
reprodusibel untuk skrining analgesik lemah (Turner, 1965).
M. Hipotesis
Jus buah pepaya (Carica papaya L.) memiliki efek analgesik dan antiinflamasi
yang ditunjukkan terhadap mencit putih betina galur Swiss.
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Rancangan Penelitian
Penelitian efek analgesik dan antiinflamasi jus buah pepaya (Carica papaya
L.) pada mencit putih betina ini merupakan penelitian dengan rancangan
eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
a. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis dari jus buah pepaya (Carica
papaya L.)
b. Variabel tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah besarnya udema pada kaki
hewan uji dan jumlah geliat yang dihasilkan setelah perlakuan dengan jus
buah pepaya.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali
Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah berat badan, dan
umur dari hewan uji. Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina
galur Swiss dengan berat badannya 20 – 30 g dan umurnya 2 – 3 bulan, asal
33
buah pepaya dari supermarket Superindo (Pepaya Bangkok), jalur pemberian
jus dilakukan secara peroral, jalur pemberian rangsang nyeri secaran
intraperitoneal, jalur pemberian rangsang inflamasi secara subplantar.
b. Variabel pengacau tak terkendali
Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah keadaan
patologis dari hewan uji yang digunakan, kemampuan tubuh hewan uji untuk
mengabsorbsi jus buah pepaya, serta kemampuan hewan untuk beradaptasi
dengan peradangan maupun rasa nyeri.
3. Definisi Operasional
1. Jus buah pepaya adalah jus dengan konsentrasi 90% yang diperoleh dengan
cara memblender 90 g buah pepaya segar yang dipotong dengan ketebalan ± 1
cm kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan aquades
hingga tanda batas.
2. Geliat didefinisikan sebagai sebuah perenggangan, tarikan ke satu sisi,
penarikan satu kaki belakang ke arah belakang, peregangan abdomen, dan
penarikan kepala dan kaki secara ekstrim ke arah belakang (opistotonus),
sehingga dengan begitu bagian perut mencit menyentuh alas (Turner, 1965).
3. Injeksi subplantar adalah injeksi pada telapak kaki hewan uji, arah jarum
harus menuju ke jari-jari hewan uji.
4. Sendi torsocrural adalah sendi pada hewan uji yang terdapat pada
pergelangan kaki bagian bawah.
34
5. Uji antiinflamasi adalah uji dengan menggunakan mencit galur Swiss sebagai
hewan uji yang diradangkan telapak kaki kirinya, dan diukur bobot kedua kaki
belakangnya dengan menggunakan neraca analitik (Mettler Toledo),
kemudian dibandingkan dengan perlakuan per oral jus buah pepaya.
6. Uji analgesik adalah uji dengan menggunakan mencit galur Swiss sebagai
hewan uji yang diberi rangsang kimia secara intraperitoneal kemudian diamati
jumlah geliat mencit dan dibandingkan dengan perlakuan peroral jus buah
pepaya.
C. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Uji efek antiinflamasi
a. Buah Pepaya (Carica papaya L.) yang diperoleh dari supermarket Superindo
(Pepaya Bangkok).
b. Mencit putih betina galur Swiss 30 ekor dipesan dari Lembaga Pusat
Penelitian dan Teknologi (LPPT) Universitas Gadjah Mada dengan berat
badan 20-30 gram dan umur 2-3 bulan.
c. Kalium diklofenak sebagai kontrol positif, yang diperoleh dari Laboratorium
Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
d. Karagenin (Sigma Chemical Co.) 1%, sebagai zat penginduksi udem, yang
diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
35
e. Aquadest sebagai kontrol negatif, diperoleh dari Laboratorium Biokimia
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
f. NaCl fisiologis 0,9% (Otsuka) sebagai pelarut karagenin diperoleh dari
Apotek Kimia Farma.
2. Uji efek analgesik
a. Buah Pepaya (Carica papaya L.) yang diperoleh dari supermarket Superindo
(Pepaya Bangkok).
b. Mencit putih betina galur Swiss 25 ekor dipesan dari Lembaga Pusat
Penelitian dan Teknologi (LPPT) UGM dengan berat badan 20-30 gram dan
umur 2-3 bulan.
c. Parasetamol (Berlico), sebagai kontrol positif analgesik, diperoleh dari
Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
d. Asam asetat 1%, sebagai zat penginduksi nyeri, diperoleh dari Laboratorium
Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
e. Carboxymethylcellulose-Na (Dai-Ichi Seiyaku Co., Ltd), sebagai pensuspensi
parasetamol diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
f. Aquades sebagai kontrol negatif, diperoleh dari Laboratorium Biokimia
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
36
D. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Neraca analitik (Mettler Toledo AB 204, Germany)
2. Spuit injeksi oral 1 ml (Terumo)
3. Spuit injeksi 1 ml (Terumo)
4. Stopwatch
5. Alat-alat gelas: gelas beker, pipet tetes, pengaduk, labu takar, labu ukur,
pipet ukur (Pyrek Iwaki Glass).
6. Kotak kaca tempat pengamatan
7. Blender Philips
E. Tata Cara Penelitian
1. Penelitian efek antiinflamasi
a. Pengumpulan bahan penelitian
Bahan uji yang berupa buah pepaya yang diperoleh dari supermarket
Superindo (Pepaya Bangkok).
b. Pembuatan larutan karagenin 1%
Larutan karagenin 1% dibuat dengan cara menimbang dengan seksama
0,1 g serbuk karegenin kemudian dilarutkan dalam sedikit aquadest. Setelah
itu, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambah aquadest hingga
tanda batas 100 ml, kemudian digojog.
37
c. Seleksi hewan uji
Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang
berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 g. Semua hewan uji sebelum
diberi perlakuan, diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu dengan
kondisi yang sama, yaitu dipelihara dengan kondisi dan perlakuan yang sama
meliputi kandang, pakan, serta minum. Sebelum hari pengujian, hewan uji
dipuasakan terlebih dahulu selama 18-24 jam dengan cara tidak diberi makan,
tetapi tetap diberikan minum. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi variasi
akibat adanya asupan makanan.
d. Penetapan kriteria peradangan
Respon yang diamati pada uji efek antiinflamasi ini berupa besar
peradangan. Kriteria peradangan perlu ditetapkan untuk mendapatkan
keterulangan hasil. Peradangan pada kaki hewan uji diukur menggunakan
neraca analitik (Mettler Toledo); dengan cara menimbang kaki belakang
hewan uji yang telah disuntikkan karagenin 1% secara subplantar.
e. Penetapan rentang waktu pengukuran udem setelah injeksi karagenin
1% secara subplantar
Pada penetapan ini digunakan 9 ekor mencit betina, yang terbagi dalam
3 kelompok. Masing-masing mencit diinjeksi dengan karagenin 1% dengan
dosis 25 mg/kgBB pada kaki belakang sebelah kiri secara subplantar,
sedangkan kaki belakang sebelah kanan hanya ditusuk menggunakan jarum
injeksi sebagai pembanding. Kemudian mencit dikorbankan pada jam ke 1, 2,
38
3, dan 4 setelah injeksi karagenin 1%. Berdasarkan hasil yang diperoleh akan
dipilih rentang waktu yang menghasilkan udem maksimal.
f. Penetapan dosis efektif diklofenak
Dosis diklofenak dipilih berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya (Djunarko, Donatus, dan Noni, 2003). Menurut penelitian, dosis
diklofenak untuk tikus dengan berat badan 250 gram adalah 40 mg/kgBB.
Dosis diklofenak untuk tikus dengan berat badan 200 gram adalah (200
gram x 40 mg/kgBB) : 250 gram = 32 mg/kgBB. Dari tikus dengan berat
badan 200 gram kemudian dikonversikan ke mencit dengan berat badan 20
gram, perhitungannya sebagai berikut :
0,14 x 32 mg/kgBB = 4,48 mg/kgBB
Sehingga dosis diklofenak untuk mencit dengan berat badan 20 gram
adalah 4,48 mg/kgBB. Kemudian dua dosis lainnya diperoleh dengan
menaikkan dosis sebesar satu seperempatnya dan menurunkan dosis sebesar
tiga perempatnya. Dosis diklofenak yang digunakan sebagai dosis orientasi
adalah 3,36; 4,48, dan 5,6 mg/kg BB. Dari hasil orientasi diketahui bahwa
dosis yang paling efektif untuk mengurangi peradangan adalah pada dosis
4,48 mg/kg BB.
g. Penetapan waktu pemberian dosis efektif diklofenak
Dalam penetapan ini dilakukan digunakan 12 ekor yang terbagi dalam 4
kelompok. Kelompok I, II, III, dan IV secara berturut-turut diberikan injeksi
p.o. diklofenak selama 15, 30, 45, dan 60 menit sebelum injeksi karagenin 1%
39
secara subplantar. 3 jam setelah injeksi karagenin, dilakukan pengukuran
udem. Waktu efektif pemberian diklofenak merupakan rentang waktu antara
sesaat setelah pemberian diklofenak sampai saat injeksi karagenin, yang
mampu menurunkan udem secara berarti.
h. Penentuan dosis jus buah pepaya
Dalam penelitian ini, jus buah pepaya dibuat dalam tiga peringkat dosis
yaitu, 7,5; 15,0; dan 30,0 g/kg BB. Hal ini didasarkan pada hasil orientasi
konsentrasi terpekat jus yang masih dapat dihisap dan dikeluarkan dengan
lancar oleh spuit injeksi peroral. Orientasi awal dimulai dengan konsentrasi
100%, kemudian secara bertahap diturunkan hingga didapatkan konsentrasi
optimal, yaitu 90% (0,9 g/mL). Selanjutnya dilakukan perhitungan dosis jus
buah pepaya yang diuraikan sebagai berikut:
D × BB = C × V
Keterangan: D = dosis (mg/kg) BB = berat badan mencit (g) C = konsentrasi (g/ml) V = volume
D =C × V
BB
D = 0,9 g/mL ×1mL 30g
D = 30,0 g/kg BB → Dosis III
Peringkat dosis dalam penelitian:
Dosis III : 30,0 g/kg BB
40
Dosis II : 12
× 30,0 g/kg = 15,0 g/kg BB
Dosis I : 12
× 15,0 g/kg = 7,5 g/kg BB
i. Uji efek dan daya antiinflamasi
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 30 ekor mencit
yang dibagi menjadi 6 kelompok secara acak, sebagai berikut:
Kelompok I : kontrol negatif (karagenin 1%)
Kelompok II : kontrol negatif (aquadest)
Kelompok III : kontrol positif (diklofenak secara peroral dengan dosis
4,48 mg/kg BB)
Kelompok IV : perlakuan jus pepaya dengan dosis 7,5 g/kg BB
Kelompok V : perlakuan jus pepaya dengan dosis 15,0 g/kg BB
Kelompok VI : perlakuan jus pepaya dengan dosis 30,0 g/kg BB
Setelah hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan secara peroral,
15 menit kemudian diinjeksi dengan larutan karagenin 1% secara subplantar
pada kaki kiri sementara kaki kanan disuntik dengan spuit tanpa larutan
karagenin. 3 jam kemudian hewan uji dikorbankan, kedua kaki belakang
dipotong pada sendi torsocrural kemudian ditimbang bobot masing-masing
kaki (kanan dan kiri).
41
j. Perhitungan % daya antiinflamasi
Metode Langford dkk (1972) yang telah dimodifikasi digunakan untuk
mengetahui efek anti inflamasi, yang dihitung dalam persen (%) efek anti
inflamasi dengan rumus sebagai berikut :
% Daya Antiinflamasi =U − D
U× 100%
Keterangan : U = nilai rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata
berat kaki normal (kaki kanan) D = nilai rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-
rata berat kaki normal (kaki kanan)
2. Penelitian efek analgesik
a. Pengumpulan bahan penelitian
Bahan uji yang berupa buah pepaya yang diperoleh dari supermarket
Superindo (Pepaya Bangkok).
b. Pembuatan asam asetat 1%
Larutan asam asetat dibuat dengan cara pengenceran dari larutan asam
asetat glasial 100% v/v dengan volume pengambilan dihitung dengan
menggunakan rumus:
volume1 x konsentrasi1 = volume2 x konsentrasi2
Sebanyak 0,25 ml asam asetat glasial 100% diencerkan dengan aquadest
hingga volume 25 ml menggunakan labu ukur 25 ml.
42
c. Pembuatan larutan CMC Na 1%
Larutan CMC Na 1% dibuat dengan dara menimbang dengan seksama 1
g serbuk CMC Na kemudian ditaburkan di atas permukaan air panas sedikit
demi sedikit sehingga seluruhnya menutupi bagian atas permukaan air secara
merata, lalu biarkan mengembang semalam. Pada hari berikutnya, larutan
yang terbentuk diaduk kemudian dimasukkan ke dlam labu ukur 100 mL dan
tambahkan aquadest hingga tanda batas 100 ml kemudian gojog.
d. Pembuatan suspensi parasetamol dalam CMC Na 1%
Parasetamol yang akan digunakan sebagai kontrol positif dibuat dengan
menimbang secara seksama sejumlah parasetamol dan disuspensikan dalam
larutan CMC Na 1 % sesuai dengan volume yang akan dibuat.
e. Seleksi hewan uji
Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang
berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 g. Semua hewan uji sebelum
diberi perlakuan, diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu dengan
kondisi yang sama, yaitu dipelihara dengan kondisi dan perlakuan yang sama
meliputi kandang, pakan dan minum. Sebelum hari pengujian, hewan uji
dipuasakan terlebih dahulu selama 18-24 jam dengan cara tidak diberi makan,
tetapi tetap diberikan minum. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi variasi
akibat adanya asupan makanan.
43
f. Penetapan dosis parasetamol
Dosis parasetamol yang biasa digunakan sebesar 500 mg/50kgBB. Dosis
tersebut dikonversikan ke mencit 20 g, dengan perhitungan sebagai berikut:
Dosis untuk manusia 70 kg
Dosis = 70 kg50 kg
× 0,5 g = 0,7 g/70 kg BB manusia
Konversi dosis ke mencit 20 g
Dosis = 0,7𝑔𝑔 × 0,0026 = 1,82 × 10−3 𝑔𝑔/20𝑔𝑔 BB mencit
Maka dosis parasetamol yang digunakan adalah:
100020
× (1,82 × 10−3 𝑔𝑔/20𝑔𝑔) =0,091 g/kg BB = 91,00 mg/kg BB.
Kemudian dibuat 3 peringkat dosis untuk diorientasi manakah yang paling
efektif dalam menghambat rasa nyeri, yaitu 68,25; 91,00; dan 113,75 mg/kg
BB. Dari hasil orientasi diketahui bahwa dosis 91,00 mg/kb BB secara
signifikan dapat menghambat rasa nyeri dibandingkan dua dosis lainnya
sehingga dosis 91,00 mg/kg BB yang kemudian dipakai dalam penelitian.
g. Penetapan rentang waktu pemberian rangsang geliat
Penetapan waktu pemberian rangsang nyeri diperlukan untuk
mengetahui rentang waktu yang paling efektif antara waktu pemberian obat
atau senyawa uji dengan waktu penyuntikan asam asetat secara intraperitoneal
pada hewan uji. Rentang waktu yang diujikan adalah 5, 10, 15, dan 30 menit.
Sebanyak 12 ekor hewan uji, yang telah dipuasakan 18 – 24 jam dibagi ke
dalam 4 kelompok. Hewan uji yang sebelumnya telah diberikan parasetamol
44
dosis 91,00 mg/kg secara peroral, kemudian setelah selang waktu tiap
kelompok (5, 10, 15, dan 30 menit) diinjeksi dengan asam asetat yang
diperoleh dari orientasi sebelumnya, yaitu 25 mg/kg BB.
h. Uji efek analgesik
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 25 ekor mencit
yang dibagi menjadi 5 kelompok secara acak, sebagai berikut:
Kelompok I : kontrol negatif (aquadest)
Kelompok II : kontrol positif (suspensi parasetamol secara peroral
dengan dosis 91 mg/kg BB)
Kelompok III : perlakuan jus pepaya dengan dosis 7,5 g/kg BB
Kelompok IV : perlakuan jus pepaya dengan dosis 15,0 g/kg BB
Kelompok V : perlakuan jus pepaya dengan dosis 30,0 g/kg BB
Setelah hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan secara per oral,
15 menit kemudian diinjeksi dengan larutan asam asetat 1% secara
intraperitoneal. Segera setelah itu, diamati geliat yang muncul tiap 5 menit
selama total waktu pengamatan 60 menit.
i. Perhitungan % daya analgesik
Besarnya penghambatan jumlah geliat dihitung dengan persamaan
Handerson dan Forsaith yaitu :
45
% Daya analgesik = 100% − ��PK� × 100%�
Keterangan : P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang
ditetapkan K = jumlah kumulatif geliat hewan uji kontrol
Perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif dihitung
menggunakan rumus :
% Perubahan proteksi rangsang nyeri =Kp − P
Kpx 100%
Keterangan : P = % proteksi rangsang nyeri pada tiap kelompok perlakuan Kp = rata-rata proteksi rangsang nyeri pada kontrol positif
F. Tata Cara Analisis Hasil
Data % daya antiinflamasi dan % daya analgesik selanjutnya akan diuji secara
statistik untuk mengetahui apakah besar daya antiinflamasi dan antiinflamasi jus buah
pepaya (Carica papaya L.) tersebut berbeda bermakna atau tidak jika dibandingkan
dengan kontrol negatif dan kontrol positif. Data-data yang diperoleh tersebut
dianalisis secara statistik dengan metode Kolmogorov-Smirnov untuk melihat
distribusi data. Jika data terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan ANOVA
dengan taraf kepercayaan 95%. Kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk
melihat perbedaan antarkelompok bermakna (p < 0,05) atau tidak bermakna (p >
0,05). Apabila hasil ANOVA secara statistika berbeda tidak bermakna maka uji
lanjutan tidak perlu dilakukan.
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Makroskopis
Buah pepaya berwarna hijau ketika masih muda dan hijau kekuningan ketika
masak. Bentuk buah bulat hingga memanjang, dengan daging buah berwarna kuning
hingga kemerahan. Bila telah masak, daging buahnya berasa manis. Buahnya
memiliki panjang antara 15 – 45 cm dan mempunyai diameter antara 10 – 30 cm.
Buah pepaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah pepaya Bangkok.
Perbedaannya dengan buah pepaya yang biasa adalah buah pepaya Bangkok memiliki
ukuran yang lebih besar.
B. Uji Pendahuluan
Sebelum dilakukan uji antiinflamasi dan analgesik dari jus buah pepaya, maka
dilakukan serangkaian uji pendahuluan terlebih dahulu. Uji pendahuluan dilakukan
untuk menetapkan hal-hal yang akan dilakukan pada pengujian yang sebenarnya. Uji
pendahuluan yang dilakukan dibagi menjadi dua, yaitu uji pendahuluan untuk uji
antiinflamasi dan uji pendahuluan untuk analgesik. Uji pendahuluan untuk
antiinflamasi meliputi penetapan waktu pemotongan kaki hewan uji setelah injeksi
karagenin 1% secara subplantar, penetapan dosis efektif diklofenak, dan penetapan
waktu pemberian diklofenak dosis efektif. Sedangkan uji pendahuluan pada uji
analgesik meliputi penetapan geliat mencit, orientasi dosis asam asetat, orientasi dosis
47
parasetamol, dan orientasi rentang waktu pemberian asam asetat. Selain itu, dilakukan
pula penetapan dosis jus buah papaya yang akan diujikan dalam penelitian ini.
1. Uji Pendahuluan Antiinflamasi
a.
Orientasi terhadap waktu pemotongan kaki hewan uji setelah injeksi karagenin
1% secara subplantar bertujuan untuk mengetahui waktu dimana karagenin
memberikan efek yang maksimal sehingga diperoleh udema yang maksimal. Rentang
waktu pemotongan kaki yang diujikan adalah 1, 2, 3, dan 4 jam setelah injeksi
karagenin subplantar. Data bobot udema kaki mencit yang diperoleh dari hasil
orientasi dianalisis secara statistik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk
mengetahui normalitas dari distribusi data. Kemudian dilanjutkan dengan analisis
variansi satu arah, taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan di antara
setiap kelompok. Untuk melihat perbedaan antarkelompok, maka dilanjutkan dengan
uji Scheffe sehingga bisa diketahui kelompok mana yang berbeda dan apakah
perbedaan itu bermakna secara statistik atau tidak.
Orientasi penetapan waktu pemotongan kaki hewan uji setelah injeksi karagenin
1% secara subplantar
Tabel I. Rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki
Kelompok Perlakuan (jam)
Rata-rata bobot udema dalam miligram (X + SE)
1 jam 124,53 ± 0,64 2 jam 113,70 ± 6,19 3 jam 154,20 ± 1,73 4 jam 113,63 ± 4,06
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
48
Gambar 5. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki
Dari analisis variansi satu arah, diketahui nilai probabilitasnya 0,000. Hal ini
menunjukkan bahwa bobot udema dalam tiap kelompok memiliki perbedaan yang
bermakna (p ≤ 0,05). Selanjutnya untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan
antarkelompok, dilanjutkan uji Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat pada tabel
II.
Tabel II. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada penetapan rentang waktu pemotongan kaki
Waktu 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 1 jam - TB B TB 2 jam TB - B TB 3 jam B B - B 4 jam TB TB B -
Keterangan : TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) B = Berbeda bermakna (p ≤ 0,05)
49
Berdasarkan hasil uji Scheffe di atas, dapat disimpulkan bahwa waktu yang
efektif untuk pemotongan kaki hewan uji adalah 3 jam setelah injeksi karagenin.
Rentang waktu pemotongan kaki 3 jam setelah mencit diinjeksikan karagenin 1%
secara subplantar berbeda secara signifikan terhadap rentang waktu pemotongan kaki
1, 2, dan 4 jam setelah mencit diinjeksi karagenin 1% secara subplantar. Di samping
itu, pada rentang waktu pemotongan kaki 3 jam menimbulkan udema yang paling
tinggi, yang artinya karagenin menginduksi secara maksimal pada jam tersebut
sehingga dipilih rentang waktu pemotongan kaki 3 jam.
b.
Tujuan orientasi dosis diklofenak adalah menetapkan dosis diklofenak yang
paling efektif sebagai antiinflamasi dalam mengurangi bobot udema pada kaki
mencit. Dosis diklofenak untuk mencit dengan BB 20 g yang digunakan dalam
orientasi ini adalah 4,48 mg/kgBB (Djunarko dan Donatus, 2003). Untuk dua dosis
lainnya diambil 25% dosis di atasnya (sebagai dosis tertinggi) dan 25% dosis di
bawahnya (sebagai dosis terendah) sehingga diperoleh dosis 3,36 dan 5,6 mg/kgBB.
Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak dapat dilihat dalam tabel III.
Orientasi dosis efektif diklofenak
Tabel III. Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak Kelompok Dosis
(mg/kgBB) Rata-rata bobot udema dalam
miligram (X + SE) 3,36 77,93 ± 2,40 4,48 60,27 ± 1,38 5,6 70,50 ± 0,93
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
50
Gambar 6. Diagram batang rata-rata bobot udema pada
orientasi dosis diklofenak
Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,001. Hal ini
menunjukkan bahwa bobot udema dalam ketiga kelompok tersebut memiliki
perbedaan bermakna (p ≤ 0,05) . Selanjutnya untuk mengetahui kebermaknaan
perbedaan antarkelompok, dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisisnya dapat
dilihat pada tabel IV.
Tabel IV. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak
Kelompok Dosis (mg/kgBB)
3,36 4,48 5,6
3,36 - B TB 4,48 B - B 5,6 TB B -
Keterangan : TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) B = Berbeda bermakna (p < 0,05)
51
Berdasarkan hasil uji Scheffe di atas, diketahui bahwa dosis diklofenak 4,48
mg/kgBB berbeda bermakna terhadap dosis diklofenak 3,36 mg/kgBB dan 5,6
mg/kgBB. Di samping itu, dosis diklofenak 4,48 mg/kgBB menimbulkan udema yang
paling rendah, yang berarti diklofenak berefek secara maksimal. Oleh karena itu,
dosis diklofenak yang dipilih adalah dosis 4,48 mg/kgBB.
c.
Tujuan dari penetapan waktu pemberian diklofenak adalah menetapkan waktu
pemberian diklofenak yang paling efektif dalam mengurangi bobot udema pada kaki
mencit. Dengan kata lain, diklofenak telah diabsorbsi dan menimbulkan efek
antiinflamasi. Dosis diklofenak yang diberikan adalah 4,48 mg/kgBB, didasarkan
pada penetapan dosis yang telah dilakukan sebelumnya. Waktu pemberian diklofenak
yang diujikan didasarkan pada penelitian Widiyastuti (2008), yaitu 15, 30, 45, dan 60
menit sebelum injeksi suspensi karagenin 1% subplantar. Rata-rata bobot udema pada
orientasi waktu pemberian diklofenak dapat dilihat pada tabel V.
Penetapan waktu pemberian diklofenak
Tabel V. Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian diklofenak Kelompok Perlakuan
(menit) Rata-rata bobot udema dalam
miligram (X + SE) 15 menit 55,50 ± 3,49 30 menit 74,70 ± 1,10 45 menit 69,23 ± 1,29 60 menit 67,3 ± 1,77
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
52
Gambar 7. Grafik rata-rata bobot udema
pada orientasi rentang waktu pemberian diklofenak
Keterangan : waktu pemberian diklofenak adalah sebelum pemberian karagenin
Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,001 (< 0,05),
hal ini menunjukkan bahwa keempat kelompok terdapat perbedaan. Selanjutnya
untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan antarkelompok, dilanjutkan dengan uji
Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat pada tabel VI.
Tabel VI. Hasil uji Scheffe bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian diklofenak
Waktu (menit) 15 menit 30 menit 45 menit 60 menit 15 menit - B B B 30 menit B - TB TB 45 menit B TB - TB 60 menit B TB TB - Keterangan : TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) B = Berbeda bermakna (p < 0,05)
Berdasarkan hasil uji Scheffe di atas, rentang waktu pemberian diklofenak 15
menit berbeda secara signifikan terhadap rentang waktu pemberian diklofenak 30, 45,
55.5
74.769.23 67.3
01020304050607080
0 10 20 30 40 50 60 70
Bobo
t Ude
ma
(mg)
Waktu (menit)
Orientasi Waktu Pemberian Dosis Diklofenak
53
dan 60 menit sebelum mencit diinjeksi karagenin 1% secara subplantar. Sedangkan
waktu pemberian diklofenak selain 15 menit (30, 45, dan 60 menit) berbeda tidak
signifikan. Di samping itu, rentang waktu pemberian diklofenak 15 menit
menimbulkan udema yang paling rendah. Hal tersebut berarti diklofenak telah dapat
menimbulkan efek secara maksimal pada waktu tersebut sehingga dipilih waktu
pemberian diklofenak 15 menit.
2. Uji pendahuluan analgesik
a.
Uji analgesik yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode induksi
rangsang kimia. Dalam metode ini, senyawa penginduksi nyeri diinjeksikan – dalam
penelitian ini adalah asam asetat – secara intraperitoneal pada mencit putih betina
dengan selang waktu tertentu.
Penetapan dosis asam asetat
Orientasi terhadap dosis asam asetat bertujuan untuk mendapatkan dosis asam
asetat yang memberikan jumlah geliat yang tidak terlalu banyak ataupun sedikit
sehingga pengamatan menjadi lebih mudah. Asam asetat adalah suatu iritan yang
merusak jaringan secara lokal, yang menyebabkan nyeri pada rongga perut. Hal itu
disebabkan oleh kenaikan ion H+ akibat turunnya pH di bawah 6 yang menyebabkan
membran sel luka. Luka pada membran sel ini akan mengaktifkan enzim fosfolipase
pada fosfolipid membran sel sehingga menghasilkan asam arakidonat yang akhirnya
akan membentuk prostaglandin. Terbentuknya prostaglandin ini akan meningkatkan
sensitivitas reseptor nyeri sehingga mencit akan memberikan respon dengan cara
menggeliat untuk menyesuaikan keadaan yang dirasakannya.
54
Pemilihan dosis asam asetat bertujuan untuk mendapatkan dosis asam asetat
yang memberikan respon geliat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak ataupun
sedikit, agar mempermudah pengamatan. Konsentrasi yang digunakan didasarkan
pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu 1% (Putra, 2003). Dosis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah, 25; 50; 75; dan 100 mg/kgBB. Hasil orientasi
berupa geliat pada empat peringkat dosis dapat dilihat pada tabel VII.
Tabel VII. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat Kelompok Perlakuan
(mg/kgBB) Rata-rata jumlah geliat
(X ± SE) 25 25,00 ± 1,15 50 34,67 ± 1,20 75 49,67 ± 1,76 100 75,00 ± 2,08
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
Gambar 8. Diagram batang rata-rata jumlah geliat
pada orientasi dosis asam asetat.
55
Dari analisis variansi satu arah, diketahui nilai probabilitasnya 0,000. Hal ini
menunjukkan bahwa antara keempat kelompok memiliki perbedaan bermakna (p ≤
0,05). Kemudian untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan antarkelompok
dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat pada tabel VIII.
Tabel VIII. Hasil Uji Scheffe data geliat mencit pada uji pendahuluan penetapan dosis asam asetat
Kelompok Dosis (mg/kgBB)
25 50 75 100
25 - B B B 50 B - B B 75 B B - B 100 B B B -
Keterangan : B = Berbeda bermakna (p < 0,05)
Dari hasil di atas, diketahui bahwa pemberian asam asetat pada dosis 100
mg/kgBB berbeda bermakna dengan dosis 25; 50; dan 75 mg/kgBB. Demikian juga
antara dosis satu dengan lainnya, berbeda bermakna satu sama lain. Dosis 100
mg/kgBB menunjukkan jumlah geliat yang cukup banyak jika dibandingkan dengan
dosis 25; 50; dan dosis 75 mg/kgBB. Oleh karena itu, digunakan dosis 100 mg/kgBB
agar mempermudah pengamatan.
b.
Yang dimaksud selang waktu pemberian asam asetat adalah jeda antara
pemberian zat uji secara peroral dengan saat pemberian injeksi asam asetat secara
intraperitoneal. Pada selang waktu tersebut, diharapkan zat uji telah diabsorbsi
sehingga dapat memberikan efek analgesiknya. Adapun selang waktu yang diujikan
adalah 5, 10, dan 15 menit dengan zat uji yang digunakan adalah parasetamol dosis
Orientasi selang waktu pemberian asam asetat
56
91 mg/kgBB. Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu dapat dilihat pada
tabel IX.
Tabel IX. Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu pemberian asam asetat.
Kelompok Jumlah Geliat (X + SE) 5 menit 35 ± 1,15 10 menit 29 ± 1,2 15 menit 15 ± 0,3
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
Dari tabel IX, pada selang waktu 15 menit dihasilkan jumlah geliat yang lebih
sedikit dibandingkan dengan selang waktu 5 dan 10 menit. Untuk melihat perbedaan
antar kelompok maka dilakukan analisis variansi satu arah dan uji Scheffe. Hasil
analisis dapat dilihat pada tabel X.
Gambar 9. Grafik rata-rata jumlah geliat
pada orientasi selang waktu pemberian asam asetat.
35
29
15
05
10152025303540
0 5 10 15 20
Rata
-rat
a ju
mla
h ge
liat
Waktu (menit)
Orientasi Selang Waktu Pemberian Asam Asetat
57
Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,000 (p ≤ 0,05).
Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok terdapat perbedaan. Selanjutnya untuk
mengetahui kebermaknaan perbedaan antarkelompok dilanjutkan dengan uji Scheffe
taraf kepercayaan 95%.
Tabel X. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat.
Kelompok (menit)
5 10 15
5 - B B 10 B - B 15 B B -
Keterangan : B = Berbeda bermakna (p < 0,05)
Dari hasil uji Scheffe dapat diketahui bahwa kelompok menit ke-5 berbeda
bermakna dengan kelompok menit ke-10 dan menit ke-15. Begitu pula dengan menit
lainnya memiliki perbedaan yang bermakna satu dengan yang lainnya. Namun
apabila dilihat dari grafik, kelompok menit ke-15 menunjukkan jumlah geliat paling
sedikit dibandingkan dengan menit-menit lainnya. Karena memiliki jumlah geliat
paling sedikit, maka selang waktu pemberian asam asetat yang digunakan adalah 15
menit. Pada selang waktu tersebut, parasetamol sudah menimbulkan efek.
c.
Dalam penelitian ini, kontrol positif yang digunakan adalah parasetamol.
Parasetamol sendiri telah terbukti memiliki daya analgesik sehingga digunakan
sebagai pembanding terhadap senyawa uji. Tujuan dari orientasi ini adalah untuk
menentukan dosis parasetamol yang dapat menurunkan jumlah geliat lebih besar,
Penetapan dosis parasetamol
58
yang berarti paling efektif. Dosis yang digunakan adalah 68,25; 91,00; dan 113,75
mg/kgBB. Besarnya penghambatan terhadap nyeri dapat dilihat pada tabel XI.
Tabel XI. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol Kelompok dosis Jumlah Geliat (X + SE) 68,25 mg/kgBB 15 ± 0,9 91,00 mg/kgBB 8 ± 1,2 113,75 mg/kgBB 9 ± 1,2
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
Berdasarkan tabel XI, parasetamol dosis 68,25 mg/kgBB menghasilkan jumlah
geliat yang lebih banyak dibandingkan dengan parasetamol dosis 91,00 mg/kgBB dan
dosis 113,75 mg/kgBB.
Gambar 10. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis
parasetamol
59
Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,007. Hal ini
menunjukkan bahwa antara ketiga dosis asam asetat tersebut memiliki perbedaan
yang bermakna (p ≤ 0,05). Untuk melihat perbedaan antarkelompok maka dilakukan
analisis variansi satu arah dan uji Scheffe. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel XII.
Tabel XII. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol Kelompok dosis
(mg/kgBB) 68,25 91,00 113,75
68,25 - B B 91,00 B - TB 113,75 B TB -
Keterangan : TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) B = Berbeda bermakna (p < 0,05)
Berdasarkan hasil uji Scheffe di atas, diketahui bahwa parasetamol dosis 68,25
mg/kgBB berbeda bermakna dengan parasetamol dosis 91,00 dan 113,75 mg/kgBB.
Sedangkan parasetamol dosis 91,00 mg/kgBB berbeda tidak bermakna dengan dosis
113,75 mg/kgBB. Dari ketiga dosis yang dujikan tersebut, dipilihlah dosis 91,00
mg/kgBB karena memiliki jumlah geliat paling sedikit, yang artinya parasetamol
sudah dapat menimbulkan efek maksimal.
C. Uji Antiinflamasi Jus Buah Pepaya
Pengujian daya antiinflamasi jus buah pepaya dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang diperoleh pada uji pendahuluan. Dari hasil orientasi yang telah
dilakukan, diperoleh rentang waktu pemotongan kaki mencit setelah injeksi suspensi
karagenin 1% adalah 3 jam. Kontrol positifnya adalah kalium diklofenak dosis 4,48
60
mg/kgBB, yang diberikan 15 menit sebelum pemberian suspensi karagenin 1%.
Dengan menggunakan hasil orientasi, diperoleh rata-rata bobot udema kaki mencit
pada kelompok perlakuan dengan jus buah pepaya beserta kelompok kontrol negatif
dan kontrol positif. Daya antiinflamasi ditunjukkan dengan penurunan bobot udema
kaki mencit setelah pemberian suspensi karagenin 1%. Data rata-rata bobot udema
kaki mencit pada kelompok perlakuan dengan jus buah pepaya beserta kelompok
kontrol negatif dan kontrol positif dapat dilihat pada tabel XIII.
Tabel XIII. Rata-rata bobot udema pada kelompok perlakuan Kelompok Uji Jumlah
subjek uji Rata-rata bobot udema
dalam miligram (X + SE) Karagenin 1% 5 99,88 ± 2,59
Aquadest 0,5 ml/20 g BB 5 99,48 ± 3,03 Diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB 5 30,84 ± 3,49
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 5 79,20 ± 3,30 Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 5 62,22 ± 1,64 Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 5 37,92 ± 1,67
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
Hasil pengujian pada kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pada kelompok
kontrol karagenin 1% menghasilkan rata-rata bobot udema paling besar di antara
kelompok perlakuan lainnya, yaitu sebesar 99,88 mg. Kelompok kontrol negatif
(aquades) juga menghasilkan rata-rata bobot udema yang hampir sama dengan
kelompok kontrol karagenin 1%, yaitu sebesar 99,48 mg. Hal ini menunjukkan bahwa
karagenin 1% dan aquades tidak memiliki daya antiinflamasi.
61
Gambar 11. Diagram batang rata-rata bobot udema kaki mencit kelompok
perlakuan
Keterangan : Cara membaca kode : JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
Pada kelompok kontrol positif (diklofenak), rata-rata bobot udema yang
dihasilkan sangat kecil dibandingkan kelompok lain, yaitu sebesar 30,84 mg. Hal ini
menunjukkan bahwa diklofenak telah terbukti memiliki daya antiinflamasi sebagai
obat antiinflamasi non steroid (OAINS). Data persen penghambatan terhadap
inflamasi dapat dilihat pada tabel XIV.
62
Tabel XIV. Rata-rata persen daya antiinflamasi pada kelompok perlakuan Kelompok Uji Jumlah
subjek uji % Daya antiinflamasi
(X + SE) Karagenin 1% 5 0,00 ± 2,59
Aquadest dosis 0,5 ml/20 g BB 5 0,17 ± 3,71 Diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB 5 69,17 ± 3,65
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 5 20,72 ± 4,90 Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 5 37,44 ± 1,39 Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 5 62,06 ± 2,47
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
Persen daya antiinflamasi masing-masing kelompok uji kemudian dianalisis
menggunakan analisis variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95%.
Gambar 12. Diagram batang persen daya antiinflamasi kelompok perlakuan
JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
63
Data tabel XIV menunjukkan bahwa persen daya antiinflamasi mengalami
peningkatan seiring dengan kenaikan dosis jus buah pepaya, dari dosis 7,5 g/kgBB
hingga dosis 30,0 g/kgBB. Kemudian analisis dilanjutkan dengan melakukan uji
Scheffe untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan bermakna atau tidak.
Data dan analisis uji Scheffe dapat dilihat pada tabel XV.
Tabel XV. Uji Scheffe persen (%) daya antiinflamasi kelompok perlakuan Kelompok Karagenin Aquadest Diklofenak JBP
7,5 JBP 15,0
JBP 30,0
Karagenin - TB B B B B Aquadest TB - B B B B
Diklofenak B B - B B TB JBP 7,5 B B B - B B JBP 15,0 B B B B - B JBP 30,0 B B TB B B B
Keterangan : TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) B = Berbeda bermakna (p < 0,05) JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
Berdasarkan hasil uji Scheffe diketahui bahwa dosis 30,0 g/kgBB memiliki
persen daya antiinflamasi yang berbeda tidak bermakna dengan kontrol positif
diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB. Kontrol positif menghasilkan persen penghambatan
nyeri sebesar 69,17%, sedangkan pada jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB sebesar 62,06%.
Dengan demikian, dosis yang paling optimal untuk jus buah pepaya dalam penelitian
ini adalah dosis 30,0 g/kgBB.
Dalam penelitian ini, kelompok perlakuan jus buah pepaya pada berbagai
peringkat dosis memiliki daya inflamasi, meskipun pada dosis 7,5 g/kgBB dan 15,0
g/kgBB memiliki daya yang lebih kecil dari daya antiinflamasi diklofenak. Karena
64
memiliki daya antiinflamasi, maka kelompok-kelompok tersebut dapat dibandingkan
potensi relatif daya antiinflamasinya dengan diklofenak sebagai kontrol positif. Rata-
rata persen (%) potensi relatif kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel XVI.
Tabel XVI. Rata-rata persen (%) daya antiinflamasi dan rata-rata persen (%) potensi relatif kelompok jus buah pepaya pada 3 peringkat dosis dibandingkan
diklofenak Kelompok Uji % daya
antiinflamasi % potensi relatif daya
antiinflamasi Diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB 69,17 100
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 20,72 29,96 Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 37,44 54,13 Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 62,06 89,72
Potensi relatif daya antiinflamasi kelompok perlakuan jus pepaya dosis 7,5
g/kgBB; 15,0 g/kgBB dan 30,0 g/kgBB < 100%, artinya ketiga kelompok dosis
tersebut pada penelitian ini memiliki potensi yang lebih kecil daripada diklofenak
dalam menghambat peradangan pada telapak kaki mencit. Kelompok perlakuan jus
pepaya dosis 30,0 g/kgBB memang memiliki besar potensi relatif < 100%, yaitu
89,72%. Akan tetapi, hasil uji Scheffe pada penelitian ini menunjukkan bahwa potensi
relatif dari jus pepaya tersebut berbeda tidak bermakna dengan diklofenak. Dengan
kata lain, jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB pada penelitian ini memiliki potensi yang
hampir sama dengan diklofenak dalam menghambat peradangan pada telapak kaki
mencit.
Peradangan disebabkan oleh peruraian asam arakidonat menjadi prostaglandin,
suatu mediator pada inflamasi dan nyeri, yang diperantarai oleh enzim
siklooksigenase (COX) (Rang dkk., 2007). Pada daerah peradangan juga dihasilkan
65
oksidan reaktif seperti radikal bebas, yang memiliki kontribusi pada kerusakan
jaringan seperti pada penyakit rheumatoid arthritis (Halliwell dkk., 1988).
CO2H
HO
OO H
OHHH
O
PGE2
CO2H
OHH
CO2HH
OO H
OH
[O]
CO2H
alilik rangkap
CO2H
CO2H
HO
asam arakidonat
H
OH
Gambar 13. Mekanisme pembentukan prostaglandin
(Fessenden dan Fessenden, 1992)
Berdasarkan mekanisme di atas, diketahui bahwa prostaglandin terbentuk dari
proses oksidasi dari asam arakidonat dengan melibatkan radikal bebas (radikal
hidroksil dan superoksida) dalam prosesnya. Kemungkinan mekanisme JBP sebagai
antiinflamasi terkait dengan adanya kandungan karotenoid (beta karoten) dan vitamin
E. Beta karoten dilaporkan dapat menghambat oksidasi asam arakidonat (Lieber and
Leo, 1999 cit Halevy and Sklan, 1987). Dengan dihambatnya oksidasi asam
arakidonat, maka pembentukan prostaglandin akan menurun. Keberadaan vitamin E
juga dapat membantu menghambat pembentukan prostaglandin. Vitamin E yang telah
66
diketahui efeknya sebagai antioksidan, dapat menangkap radikal-radikal bebas yang
berperan dalam pembentukan prostaglandin. Antioksidan dapat berperan sebagai
antiinflamasi dengan beberapa cara, yaitu: (1) menghambat produksi oksidan (O2• )
oleh neutrofil, monosit, dan makrofag. Penghambatan produksi oksidan (O2• ) akan
mengurangi pembentukan H2O2 yang mengakibatkan produksi HOCl dan juga •OH
ikut terhambat. (2) menghambat langsung oksidan reaktif seperti radikal hidroksil
(•
D. Uji Analgesik Jus Buah Pepaya
OH) dan asam hipoklorid (HOCl) (Halliwell dkk., 1988). Dengan dihambatnya
oksidasi dari asam arakidonat dan pengangkapan radikal bebas yang berperan, maka
proses pembentukan prostaglandin akan terhambat. Akibat terhambatnya
prostaglandin, inflamasi pada jaringan menjadi berkurang.
Pengujian daya analgesik jus buah pepaya juga dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang diperoleh pada uji pendahuluan. Dari uji pendahuluan yang telah
dilakukan, diperoleh zat penginduksi nyeri yang digunakan adalah asam asetat 1%
dengan dosis 100 mg/kgBB. Kontrol positif yang digunakan adalah parasetamol dosis
91 mg/kgBB, yang diberikan 5 menit sebelum pemberian asam asetat. Dengan
menggunakan hasil orientasi, diperoleh rata-rata kumulatif jumlah geliat pada
kelompok perlakuan dengan jus buah pepaya beserta kelompok kontrol negatif dan
kontrol positif. Hasilnya dapat dilihat pada tabel XVII.
67
Tabel XVII. Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan Kelompok Uji Jumlah
subjek uji Rata-rata jumlah geliat
(X + SE) Aquadest 0,5 ml/ 20 g BB 5 51,6 ± 2,71
Parasetamol 91,0 mg/kg BB 5 17,0 ± 2,17 Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 5 41,4 ± 1,29 Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 5 30,6 ± 1,36 Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 5 23,2 ± 1,89
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
Gambar 14. Diagram batang rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok
perlakuan JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam
g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
Setelah diperoleh jumlah kumulatif geliat dari kelompok perlakuan, maka data
tersebut diolah secara statistik untuk mendapatkan persen penghambatan nyeri pada
68
kelompok perlakuan yang dibandingkan dengan kontrol negatif dan perubahan persen
daya analgesik pada kelompok perlakuan terhadap kontrol positif. Hasilnya dapat
dilihat pada tabel XVIII.
Tabel XVIII. Persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan Kelompok Uji Jumlah subjek
uji Rata-rata % penghambatan nyeri
(X ± SE) Aquadest 0,5 ml/ 20 g BB 5 0,00 ± 5,25
Parasetamol 91,0 mg/kg BB 5 67,05 ± 4,20 Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 5 19,77 ± 2,50
Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 5 40,70 ± 2,64 Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 5 55,04 ± 3,64
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
Gambar 15. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok perlakuan
JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
69
Persen proteksi nyeri pada masing-masing kelompok uji kemudian dianalisis
menggunakan analisis variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95%. Dari analisis
variansi satu arah yang dilakukan, diperoleh nilai probabilitasnya 0,000 yang berarti
lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok uji terdapat
perbedaan. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antarkelompok tersebut
bermakna atau tidak, pengujian dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisis uji
Scheffe dapat dilihat pada tabel XIX.
Tabel XIX. Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri pada kelompok perlakuan
Kelompok Aquadest Parasetamol JBP 7,5 JBP 15,0 JBP 30,0 Aquadest - B B TB B
Parasetamol B - B TB TB JBP 7,5 B B - TB B JBP 15,0 B TB TB - B JBP 30,0 B TB B B -
Keterangan : TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) B = Berbeda bermakna (p < 0,05) JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam
g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
Berdasarkan tabel XVIII, persen penghambatan nyeri terlihat meningkat seiring
dengan kenaikan dosis jus buah pepaya, mulai dosis 7,5 g/kgBB sampai pada dosis
30,0 g/kgBB. Persen penghambatan nyeri yang paling besar dimiliki oleh kontrol
positif, sebesar 67,05 ± 4,20%. Sedangkan yang paling mendekati pada kelompok uji
adalah pada jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB, sebesar 55,04 ± 3,64%.
Hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa antara kelompok jus buah pepaya dosis
15,0 g/kgBB dan 30,0 g/kgBB dengan kelompok kontrol positif berbeda tidak
70
bermakna. Hal ini artinya kelompok jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB dan 30,0 g/kgBB
memiliki kemampuan menghambat nyeri yang hampir sama dengan parasetamol.
Dosis 30,0 g/kgBB dapat dikatakan memiliki efek analgesik sebab nilai persen
penghambatan nyerinya lebih dari 50% (Anonim, 1991). Dari keseluruhan dosis
perlakuan, dosis 30,0 g/kgBB adalah yang memenuhi syarat sebagai suatu analgesik
lemah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dosis optimum perlakuan dengan
jus buah pepaya pada penelitian ini adalah dosis 30,0 g/kgBB.
Perubahan persen penghambatan rangsang nyeri terhadap kontrol positif dapat
dilihat pada tabel XX.
Tabel XX. Perubahan persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan Kelompok Uji Jumlah
subjek uji Perubahan %
penghambatan nyeri (X ± SE)
Aquadest dosis 0,5 ml/20 g BB 5 100,00 ± 7,84 Parasetamol 91,0 mg/kg BB 5 0,00 ± 6,26 Jus pepaya dosis 7,5 g/kg BB 5 70,52 ± 3,72 Jus pepaya dosis 15,0 g/kg BB 5 39,31 ± 3,94 Jus pepaya dosis 30,0 g/kg BB 5 17,92 ± 5,44
Keterangan : X = Mean (Rata-rata) SE = Standard Error (SD/√n)
Berdasarkan tabel XX, kontrol negatif dengan perubahan persen penghambatan
sebesar 100,00 ± 7,84% memiliki perbedaan 100 % dengan kontrol positif. Hal ini
disebabkan tidak terjadi penghambatan rangsang nyeri dalam kontrol negatif. Dengan
kata lain, kontrol negatif tersebut dikatakan tidak memiliki efek analgesik.
Pada kelompok perlakuan jus pepaya dalam berbagai peringkat dosis, nilai
terendah dimiliki oleh kelompok dosis 30,0 g/kgBB, yaitu sebesar 17,92 ± 5,44%.
71
Hal ini menunjukkan dosis tersebut paling mendekati kontrol positif dalam
menurunkan jumlah geliat mencit. Dapat dikatakan bahwa kemampuan
penghambatan nyeri dosis tersebut mendekati kontrol positif. Sedangkan untuk dua
dosis lainnya, memiliki kemampuan untuk menghambat nyeri tetapi tidak terlalu
kuat.
Gambar 16. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyeri
kelompok uji
JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
Berdasarkan data-data dari tabel XX dan gambar 16, maka dosis yang dipilih
oleh peneliti adalah dosis 30,0 mg/kgBB. Hal ini disebabkan pada dosis tersebut
72
persen penghambatan nyerinya paling besar dibandingkan dengan dosis lainnya. Di
samping itu, penurunan jumlah geliat yang terjadi juga lebih dari 50 % dibandingkan
kontrol negatif.
Mediator inflamasi seperti prostaglandin juga memiliki pengaruh terhadap
timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin memang tidak menyebabkan nyeri secara
langsung, tetapi prostaglandin meningkatkan aktivitas agen-agen penyebab rasa nyeri
lainnya seperti bradikinin. Hal yang menarik adalah bradikinin itu sendiri juga
menyebabkan pelepasan prostaglandin. Oleh karena itu, akan dihasilkan efek ‘self-
sensitising’ yang sangat kuat pada serabut saraf nociceptive afferent (Rang dkk.,
2007).
Kemungkinan dari jus buah pepaya dalam penghambatan rasa nyeri terkait
dengan aktivitasnya dalam menghambat pembentukan prostaglandin. Adanya
kandungan karotenoid (beta karoten) dalam jus buah pepaya, akan menghambat
proses oksidasi asam arakidonat menjadi prostaglandin. Selain itu, keberadaan
vitamin E juga mampu menangkap radikal hidroksil yang turut berperan dalam proses
biosintesis prostaglandin. Dengan terhambatnya oksidasi asam arakidonat, maka
biosintesis prostaglandin terhambat. Dampaknya adalah proses inflamasi yang
terhambat, sensitisasi terhadap reseptor nyeri juga berkurang sehingga rasa nyeri yang
dirasakan juga berkurang.
73
E. Perbandingan profil parasetamol dengan jus buah pepaya
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa parasetamol dan jus buah pepaya
mempunyai efek analgesik (penghambatan terhadap rangsang nyeri) yang
ditunjukkan dengan adanya persen penghambatan nyeri, yang dihasilkan oleh
keduanya. Profil dari parasetamol sebagai kontrol positif dan jus buah pepaya dapat
dilihat pada gambar 17.
Gambar 17. Profil kelompok perlakuan jus buah pepaya dan parasetamol
Berdasarkan grafik di atas, terlihat ada persamaan antara profil kelompok
perlakuan jus buah pepaya dengan parasetamol. Pada kelompok perlakuan jus pepaya
dan parasetamol, jumlah geliat terbanyak sama-sama berada pada menit ke-10 setelah
pemberian asam asetat, kemudian terus menurun hingga menit ke-60. Penurunan
0123456789
101112
0 10 20 30 40 50 60 70
Rata
-rat
a G
elia
t
Waktu (menit)
Grafik Profil Kelompok Perlakuan Uji analgesik
JBP 7.5 JBP 15.0 JBP 30.0 Parasetamol 91 mg/kgBB
74
jumlah geliat yang cukup drastis terjadi pada menit ke-40, baik kelompok perlakuan
jus buah pepaya maupun parasetamol.
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa karotenoid dan vitamin E
yang terkandung dalam jus buah pepaya memiliki mekanisme penghambatan yang
berbeda dengan parasetamol meskipun menghambat pada jalur atau tempat yang
sama. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh sifat fisika kimia yang berbeda dari
senyawa karotenoid, vitamin E, dan parasetamol ataupun afinitas reseptor yang
berbeda sehingga profil jus buah pepaya dengan parasetamol menjadi berbeda.
F. Rangkuman Pembahasan Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Pepaya
Dari hasil penelitian telah diketahui jus buah pepaya mempunyai efek
antiinflamasi (penurunan udema pada kaki) dan analgesik (penghambatan terhadap
rangsang nyeri), yang ditunjukkan dengan adanya persen daya antiinflamasi dan
persen penghambatan nyeri. Persentase daya antiinflamasi dan pengambatan nyeri
pada tiap dosis jus buah pepaya dapat dilihat pada tabel XXI.
Tabel XXI. Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Pepaya pada Berbagai Peringkat Dosis
Kelompok Uji % daya antiinflamasi % penghambatan nyeri Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 20,72 ± 4,90 19,77 ± 2,50 Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 37,44 ± 1,39 40,70 ± 2,64 Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 62,06 ± 2,65 55,04 ± 3,64
Berdasarkan tabel XXI di atas, diketahui bahwa jus buah pepaya pada dosis
30,0 g/kgBB memiliki daya antiinflamasi dan analgesik sekaligus. Dengan kata lain,
75
jus buah pepaya pada dosis tersebut dapat digunakan untuk pengobatan inflamasi
sekaligus meredakan rasa nyeri yang mungkin timbul pada inflamasi.
Gambar 18. Histogram Daya Antiinflamasi dan Daya Analgesik Jus Buah
Pepaya dibandingkan dengan kontrol positif pada Berbagai Peringkat Dosis Keterangan : Kontrol positif = Kalium diklofenak = Parasetamol JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya
dalam g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
Dari tabel XXI dan gambar 17 dapat disimpulkan bahwa seiring dengan
meningkatnya dosis jus buah pepaya, terjadi kenaikan daya antiinflamasi dan
analgesik dari jus buah papaya tersebut dibandingkan dengan masing-masing kontrol
76
yang digunakan. Hal ini menunjukkan peringkat dosis memiliki pengaruh terhadap
daya antiinflamasi dan analgesik. Semakin besar dosis jus buah pepaya diberikan,
kemungkinan daya antiinflamasi dan analgesik yang diberikan semakin besar.
Dalam penelitian ini, konsentrasi jus buah pepaya yang digunakan sebesar 90%.
Tidak menutup kemungkinan bahwa konsentrasi jus tersebut dapat dinaikkan menjadi
100% untuk melihat apakah daya antiinflamasi dan analgesik yang dihasilkan juga
mengalami peningkatan atau tidak. Selain itu, untuk pengujian efek antiinflamasi dan
analgesik dapat dilakukan dengan menggunakan kontrol positif yang sama. Dengan
kontrol positif yang sama, diharapkan penelitian ini akan menjadi lebih bermakna
karena dapat membandingkan antara daya antiinflamasi dengan daya analgesik yang
dihasilkan. Sedang dalam penelitian ini sendiri, daya antiinflamasi dan analgesik
masing-masing dibandingkan dengan kontrol positif yang digunakan pada uji yang
dilakukan. Daya antiinflamasi dan analgesik yang dihasilkan tidak dapat
dibandingkan sebab kontrol positif yang digunakan berbeda.
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Jus buah pepaya pada dosis 30,0 g/kg BB memiliki efek antiinflamasi dan
analgesik.
2. Daya antiinflamasi jus buah pepaya pada dosis 7,5 g/kgBB; 15,0 g/kgBB; dan
30,0 g/kgBB yang dinyatakan oleh daya antiinflamasi berturut-turut adalah
20,72%; 37,44%; dan 62,06%. Daya analgesik jus buah pepaya pada dosis 7,5
g/kgBB; 15,0 g/kgBB; dan 30,0 g/kgBB berturut-turut adalah 19,77%;
40,70%; dan 55,04%.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, perlu dilakukan penelitian tentang :
1. Penelitian mengenai efek antiinflamasi dan analgesik dari jus buah pepaya dengan
menggunakan kontrol positif yang sama.
2. Penelitian mengenai toksisitas dari jus buah pepaya dalam berbagai peringkat
dosis.
3. Penelitian mengenai pengaruh lama masa dan frekuensi pemberian jus buah
pepaya terhadap daya antiinflamasi.
78
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, T., 2008, Pengaruh Pemberian Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.)
Terhadap Kerusakan Histologis Lambung Mencit Yang Dinduksi Indometasin, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Anonim, 1991, Penapisan Farmakologi Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik,
49, 259, Yayasan Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alami Phytomedika, Jakarta.
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, hal 273-274, 357,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengawasan Obat dn Makanan, Jakarta
Anonim, 2008, The Biology of Carica papaya L.(papaya, papaw, paw-paw), 15-17,
27, Departement of Health and Ageing Australia, Australia Chandrika, U.G., Jansz, E.R., Wikramasinghe, S.M.D.N., and Warnasuriya, N.D.,
2003, Bioconversion of Pro-Vitamin A Carotenoids and Antioxidant Activity of Carica papaya Fruits, J.Natn.Sci.Foundation Sri Lanka, 31(3&4), 437-444
Denko, C.W., 1992, A Role of Neuropeptide in Inflammation, In : Whicher, J. T. and
Evan S. W, Biochemistry of Inflammation, 177-181, Kluwer Pub, London Derle, D.V., Gujar, K.N., and Sagar, B.S.H., 2006, Adverse Effect Associated with
the Use of Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs : An overview, Indian J. Pharmacol, 68(4), 409-414
DiPiro, J. T., Tabert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells,B.G., and Posey, M.,
2008, Pharmacotherapy: A Patophysiologic Approach, 7th ed., 989-1002, McGraw-Hill, USA.
Djunarko, I., Donatus, I.A., dan Noni, 2003, Pengaruh Perasan Buah Mengkudu
(Morinda citrifolia L.) terhadap Daya Antiradang Diklofenak pada Mencit Jantan, Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas, 1, 10-17.
Dwiprahasto, I., 2002, Epidemiologi dan Masalah Penggunaan Analgesik-
Antiinflamasi Non Steroid, dalam Dwiprahasto, I., Kristin, E., At Thobari, J., Penggunaan Analgesik dan Antiinflamasi secara Rasional, Edisi I, 1-26, Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
79
Gryglewski, R.J., 1977, Some Experimental Models for the Study of Inflammation and Anti-Inflammatory Drugs, in I. L. Bonta, J. Thomson, and K. Brune, Inflammation: Mechanism and Their Impact on Therapy, p 19-21, Birkhaueser Verlag Basel, Rotterdam.
Guyton, W.F., 1986, Text-book of Medical Physiology, diterjemahkan oleh Tengadi,
K.A., Edisi 7, Bagian II, 307-312, EGC, Jakarta Fessenden, R.J., dan Fessenden, J.S., 1992, Kimia Organik Jilid 2, Edisi Ketiga, 415 -
417, Penerbit Erlangga, Jakarta Haila, K., 1999, Effects of Carotenoids and Carotenoid-Tocopherol Interaction on
Lipid Oxidation In Vitro. 1) Scavenging of Free Radicals. 2) Formation and Decomposition of Hydroperoxides, Dissertation, EKT-series 1165. University of Helsinki.
Halliwell, B., Hoult, J.R., and Blake, D.R., 1988, Oxidant, Inflammation, and Anti-
inflammatory Drugs, FASEB J., 2(13): 2867-2873 Hanson, G.R., 2000, Analgesic, Antipyretic, and Anti Inflammatory Drugs, in
Gennaro (Ed.), Remmington : The Science and Practice of Pharmacy, 20th Edition, p 1456, Lippincott Williams and Wilkins, USA.
Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan, 234-245, ITB,Bandung, Hariyatmi, 2004., Kemampuan Vitamin E Sebagai Antioksidan terhadap Radikal Bebas
Pada Lanjut Usia. Jurnal MIPA UMS Vol 14. No. 1 (52-60). Henson, P.M., and Murphy, S.C., 1989, Mediator of Inflammatory Process, 404,
Elseiver, Amsterdam Hite, G.J., 1995, Principal of Medicinal Chemisty, diterjemahkan oleh Rasyid R.,
Firma, K., Haryanto, Suwarno, T., dan Murasad, A., Edisi II, Gadjah Mada Unuversity Press, Yogyakarta
Ignatius, G.E., Zarraga, M.D., and Ernest R. S., 2007, Coxibs and Heart Disease,
Journal of The American College of Cardiology, 49, 1-14. Kee, J.L. and Hayes, E.R., 1996, Pharmacology: A Nursing Process Approach,
diterjemahkan oleh Peter Anugrah, 1st Edition, 310-321, Penerbit EGC, Jakarta.
80
Khanna, N. and Sarma, S.B., 2001, Antiinflammatory and Analgesic Effect of Herbal Preparation: Septilin, Indian J. Med. Sci, 55(4), 195-202.
Kohli, K., Ali, J., and Raheman, Z., 2005, Curcumin: A natural Antiinfammatory
Agent, Indian J.Pharmacol, 37(3), 141-147. Kumar, V., Cotran, R.S., and Robbins, S.L., 1997, Basic Pathology, 6th Edition, 25-
45, W.B. Saunde Company, Philadelphia. Kumar, V., Abbas, A.K., and Fausto, N., 2005, Robbins and Cotran Pathologic Basis
of Diseases, 7th Edition, 70, Elsevier Saunders, Philadelphia. Langford, F.D., Holmes, P.A., and Emele, J.F., 1972, Objective Methods to
Evaluation of Analgesic/Anti Inflammatory Activity, J. Pharm. Sci., 61(1), 75-77.
Lieber, C.S. and Leo, M.A., 1999, Alcohol, Vitamin A, and β Carotene: Adverse
Interactions, Including Hepatotoxicity and Carcinogenicity, Am. J. Clin. Nut, 69(6), 1071-1085
Muhlisah,F., 2001, Tanaman Obat Keluarga, 1 – 3, Penerbit Swadaya, Jakarta Mutschler, E., 1986, Arzneimmitelwirkungen, diterjemahkan oleh Widianto dan
Ranti, Dinamika Obat, Edisi V, 177 – 197, ITB, Bandung Mutschler, E., 1995, Drug Action, 5th edition, 151, CRC Press, Stuttgart Niswati, M.C., 2008, Perbandingan Pengaruh Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.)
dan Simetidin Terhadap Kerusakan Histologi Lambung Mencit Yang Dinduksi Indometasin, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pekiner, B.G., 2003, Vitamin E As An Antioxidant, J. Fac. Pharm, Ankara, 32(4)
243-267, 2003 Price, S.A., and Wilson, L.N., 1992, Patophysiology, dierjemahkan oleh Peter
Anugerah, Edisi 4, Buku I, hal 36-57, EGC, Jakarta. Pratimasari, D., 2009, Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Carica papaya L.
Dengan Metode DPPH dan Penetapan Kadar Fenolik serta Flavonoid Totalnya, Skripsi, Univerversitas Muhammadiyah Surakarta, Solo
81
Putra, D.AG., 2003, Efek Analgesik Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) pada Mencit Putih Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2003, Pharmacology, 5th ed .,
231-237, 244-250, 562-567, Churchill Livingstone, London. Robbins, S.L., dan Kumar, V.N., 1995, Pathophysiology, diterjemahkan oleh Peter
Anugerah, Patofisiologi, Edisi 4, Buku I, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Ronse Decraene, L.P., and Smets, E.F., 1999, The Floral Development an Anatomy of Carica papaya (Caricaceae), 582 – 598, Canadian Journal of Botany 77
Sander, A., 2003, Atlas Patologi Anatomi, Jilid 1, 12-13, UMM Press, Malang Surahman, D.N., dan Darmajana, D.A., 2004, Kajian Analisa Kandungan Vitamin
dan Mineral pada Buah-buahan Tropis dan Sayur-Sayuran Di Toyama Perfecture Jepang,
Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting, Edisi V, 202 – 302, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta Vogel, H.G., 2002, Drug Discovery & Evaluation : Pharmacological Assays, 2nd
Edition, p 669-691, 725, 751-761, Springer, New York.
Warisno, 2003, Budi Daya Pepaya, 7, Kanisius, Jakarta. Wibowo, S. dan Gofir, A., 2001, Farmakoterapi dalam Neurologi, Edisi I, 113-115,
Penerbit Salemba Medika, Jakarta. Widiyastuti, S., 2008, Aktivitas Antiinflamasi Senyawa 2,5-Bis-(4’-Metoksi-
Benzilidin)-Siklopentanon pada Mencit Betina Galur Swiss dengan Metode Langford Termodifikasi, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Wilmana, P.F., 1995, Analgesik Anti-inflamasi Nonsteroid dan Obat Pirai, dalam
Ganiswara, S.G.(Editor), Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, hal 207-223, Bagian Farmakologi- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
82
LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto buah pepaya
Lampiran 2. Foto jus pepaya
83
Lampiran 3. Foto geliat mencit yang memenuhi definisi operasional
84
Lampiran 4. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah diinjeksi karagenin 1% pada rentang waktu tertentu dan hasil analisis
statistiknya Mencit Bobot udema kaki mencit (gram) pada rentang waktu (jam) setelah
diinjeksi karagenin 1% subplantar
Waktu
pemotongan 1
jam
Waktu
pemotongan 2
jam
Waktu
pemotongan 3
jam
Waktu
pemotongan 4
jam
1. Kaki Kiri 330,0 313,5 360,0 289,9
Kaki Kanan 206,0 193,8 204,7 168,7
Udema (mg) 124,0 119,7 155,3 121,2
2. Kaki Kiri 325,2 307,0 381,2 276,1
Kaki Kanan 199,4 186,8 224,7 168,8
Udema (mg) 125,8 120,2 156,5 107,3
3. Kaki Kiri 324,0 290,6 335,7 292,6
Kaki Kanan 200,2 189,2 184,9 180,2
Udema (mg) 123,8 101,4 150,8 112,4
Mean udema
(mg) + SE
124,53 + 0,64 113,70 + 6,19 154,20 + 1,73 113,63 + 4,06
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
udem 12 126.5333 18.20446 101.40 156.50
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
udem
N 12 Normal Parametersa,,b Mean 126.5333
Std. Deviation 18.20446 Most Extreme Differences Absolute .266
Positive .266 Negative -.159
Kolmogorov-Smirnov Z .922 Asymp. Sig. (2-tailed) .363 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
85
Oneway Descriptives
Udem
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
1 jam 3 124.5333 1.10151 .63596 121.7970 127.2696 123.80 125.80
2 jam 3 113.7667 10.71276 6.18502 87.1547 140.3787 101.40 120.20
3 jam 3 154.2000 3.00500 1.73494 146.7352 161.6648 150.80 156.50
4 jam 3 113.6333 7.03160 4.05969 96.1659 131.1008 107.30 121.20
Total 12 126.5333 18.20446 5.25518 114.9668 138.0999 101.40 156.50
ANOVA Udem
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 3296.527 3 1098.842 25.196 .000 Within Groups 348.900 8 43.612 Total 3645.427 11
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons Udem Scheffe
(I) waktu_pemotongan
(J) waktu_pemotongan
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1 jam 2 jam 10.76667 5.39212 .331 -8.0661 29.5994
3 jam -29.66667* 5.39212 .004 -48.4994 -10.8339
4 jam 10.90000 5.39212 .322 -7.9328 29.7328 2 jam 1 jam -10.76667 5.39212 .331 -29.5994 8.0661
3 jam -40.43333* 5.39212 .001 -59.2661 -21.6006 4 jam .13333 5.39212 1.000 -18.6994 18.9661
3 jam 1 jam 29.66667* 5.39212 .004 10.8339 48.4994 2 jam 40.43333* 5.39212 .001 21.6006 59.2661 4 jam 40.56667* 5.39212 .001 21.7339 59.3994
4 jam 1 jam -10.90000 5.39212 .322 -29.7328 7.9328 2 jam -.13333 5.39212 1.000 -18.9661 18.6994 3 jam -40.56667* 5.39212 .001 -59.3994 -21.7339
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
86
Homogeneous Subsets Udem
Scheffea
waktu_pemotongan N
Subset for alpha = 0.05
1 2
4 jam 3 113.6333 2 jam 3 113.7667 1 jam 3 124.5333 3 jam 3 154.2000 Sig. .322 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Lampiran 5. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan waktu
pemberian diklofenak dan hasil analisis statistiknya Mencit
Bobot udema kaki mencit (gram) pada rentang waktu (menit) setelah
diberikan diklofenak 4,48 mg/kgBB
Waktu
pemberian 15
menit
Waktu
pemberian 30
menit
Waktu
pemberian 45
menit
Waktu
pemberian 60
menit
1. Kaki Kiri 251,7 242,7 246,4 253,8
Kaki Kanan 200,6 165,8 175,2 188,7
Udema (mg) 51,1 76,9 71,2 65,1
2. Kaki Kiri 259,2 218,5 235,7 250,9
Kaki Kanan 196,8 145,0 168,9 184,9
Udema (mg) 62,4 73,5 66,8 66,0
3. Kaki Kiri 253,8 249,7 254,9 228,9
Kaki Kanan 200,8 176,0 185,2 158,1
Udema (mg) 53,0 73,7 69,7 70,8
Mean udema (mg)
+ SE
55,50 + 3,49 74,70 + 1,10 69,23 + 1,29 67,30 + 1,77
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
udem 12 66.6833 7.96547 51.10 76.90
87
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
udem
N 12 Normal Parametersa,,b Mean 66.6833
Std. Deviation 7.96547 Most Extreme Differences Absolute .171
Positive .124 Negative -.171
Kolmogorov-Smirnov Z .593 Asymp. Sig. (2-tailed) .873 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Oneway
Descriptives
Udem
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
15 menit 3 55.5000 6.05062 3.49333 40.4694 70.5306 51.10 62.40
30 menit 3 74.7000 1.90788 1.10151 69.9606 79.4394 73.50 76.90
45 menit 3 69.2333 2.23681 1.29142 63.6768 74.7899 66.80 71.20
60 menit 3 67.3000 3.06431 1.76918 59.6878 74.9122 65.10 70.80
Total 12 66.6833 7.96547 2.29943 61.6223 71.7444 51.10 76.90
ANOVA
Udem
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 588.650 3 196.217 14.363 .001 Within Groups 109.287 8 13.661 Total 697.937 11
88
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Udem Scheffe
(I) waktu_pemberian_diklofenak
(J) waktu_pemberian_diklofenak
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
15 menit 30 menit -19.20000* 3.01782 .002 -29.7402 -8.6598
45 menit -13.73333* 3.01782 .013 -24.2735 -3.1932
60 menit -11.80000* 3.01782 .029 -22.3402 -1.2598 30 menit 15 menit 19.20000* 3.01782 .002 8.6598 29.7402
45 menit 5.46667 3.01782 .406 -5.0735 16.0068 60 menit 7.40000 3.01782 .192 -3.1402 17.9402
45 menit 15 menit 13.73333* 3.01782 .013 3.1932 24.2735
30 menit -5.46667 3.01782 .406 -16.0068 5.0735 60 menit 1.93333 3.01782 .935 -8.6068 12.4735
60 menit 15 menit 11.80000* 3.01782 .029 1.2598 22.3402
30 menit -7.40000 3.01782 .192 -17.9402 3.1402 45 menit -1.93333 3.01782 .935 -12.4735 8.6068
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Udem Scheffea
waktu_pemberian_diklofenak N
Subset for alpha = 0.05
1 2
15 menit 3 55.5000 60 menit 3 67.3000 45 menit 3 69.2333 30 menit 3 74.7000 Sig. 1.000 .192 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
89
Lampiran 6. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan dosis diklofenak dan hasil analisis statistiknya
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
udem 9 69.5667 8.08981 58.00 82.60
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
udem N 9 Normal Parametersa,,b Mean 69.5667
Std. Deviation 8.08981 Most Extreme Differences Absolute .149
Positive .132 Negative -.149
Kolmogorov-Smirnov Z .446 Asymp. Sig. (2-tailed) .989 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Mencit Bobot udema kaki mencit (gram) pada pemberian diklofenak 3
peringkat dosis
Dosis 3,36 mg/kgBB Dosis 4,48 mg/kgBB Dosis 5,6 mg/kgBB
1. Kaki Kiri 268,4 258,1 265,7
Kaki Kanan 191,8 198,1 193,4
Udema (mg) 76,6 60,0 72,3
2. Kaki Kiri 277,2 252,7 252,4
Kaki Kanan 194,6 194,7 183,2
Udema (mg) 82,6 58,0 69,2
3. Kaki Kiri 258,6 261,5 268,3
Kaki Kanan 184,0 198,7 198,3
Udema (mg) 74,6 62,8 70,0
Mean udema (mg) +
SE
77,93 + 2,40 60,27 + 1,38 70.50 + 0.93
90
Oneway
Descriptives
Udem
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum
Lower Bound Upper Bound
3.36 mg/kg BB 3 77.9333 4.16333 2.40370 67.5910 88.2756 74.60 82.60
4.48 mg/kg BB 3 60.2667 2.41109 1.39204 54.2772 66.2561 58.00 62.80
5.6 mg/kg BB 3 70.5000 1.60935 .92916 66.5022 74.4978 69.20 72.30
Total 9 69.5667 8.08981 2.69660 63.3483 75.7850 58.00 82.60
ANOVA
Udem
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 472.087 2 236.043 27.514 .001 Within Groups 51.473 6 8.579 Total 523.560 8
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Udem Scheffe
(I) dosis_diklofenak
(J) dosis_diklofenak
Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
3.36 mg/kg BB 4.48 mg/kg BB 17.66667* 2.39150 .001 9.9965 25.3368
5.6 mg/kg BB 7.43333 2.39150 .056 -.2368 15.1035 4.48 mg/kg BB 3.36 mg/kg BB -17.66667* 2.39150 .001 -25.3368 -9.9965
5.6 mg/kg BB -10.23333* 2.39150 .015 -17.9035 -2.5632 5.6 mg/kg BB 3.36 mg/kg BB -7.43333 2.39150 .056 -15.1035 .2368
4.48 mg/kg BB 10.23333* 2.39150 .015 2.5632 17.9035 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
91
Homogeneous Subsets Udem
Scheffea
dosis_diklofenak N
Subset for alpha = 0.05
1 2
4.48 mg/kg BB 3 60.2667 5.6 mg/kg BB 3 70.5000 3.36 mg/kg BB 3 77.9333 Sig. 1.000 .056 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Lampiran 7. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat dan selang
waktu pemberian asam asetat berserta hasil analisis statistiknya
Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat dan hasil analisis statistiknya Menit Dosis 25
mg/kgBB
Dosis 50
mg/kgBB
Dosis 75
mg/kgBB
Dosis 100
mg/kgBB
I II III I II III I II III I II III
5 0 0 2 0 0 0 0 1 0 2 1 1
10 0 2 7 1 9 3 9 14 9 7 14 17
15 6 5 4 7 8 8 11 13 12 18 12 15
20 10 9 7 8 4 6 11 11 11 9 8 4
25 2 6 2 9 5 4 8 7 6 11 5 5
30 1 1 1 1 7 7 4 3 4 2 5 8
35 2 1 2 1 1 2 2 2 2 8 7 8
40 1 2 0 2 1 1 1 2 0 4 4 4
45 0 0 2 2 1 0 1 0 2 4 3 5
50 1 1 0 2 1 2 1 0 1 5 5 4
55 0 0 0 0 0 0 1 0 1 5 4 4
60 0 0 0 0 0 1 0 0 0 4 2 1
∑ 23 27 25 33 37 34 49 53 47 78 71 76
92
NPar Tests Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Geliat 12 46.0833 19.84695 23.00 78.00
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Geliat
N 12 Normal Parametersa,,b Mean 46.0833
Std. Deviation 19.84695 Most Extreme Differences Absolute .176
Positive .176 Negative -.145
Kolmogorov-Smirnov Z .611 Asymp. Sig. (2-tailed) .849 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Oneway
Descriptives
Geliat
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Min Max
Lower Bound Upper Bound
Dosis 25mg/kgBB 3 25.0000 2.00000 1.15470 20.0317 29.9683 23.00 27.00
Dosis 50mg/kgBB 3 34.6667 2.08167 1.20185 29.4955 39.8378 33.00 37.00
Dosis 75mg/kgBB 3 49.6667 3.05505 1.76383 42.0775 57.2558 47.00 53.00
Dosis 100mg/kgBB 3 75.0000 3.60555 2.08167 66.0433 83.9567 71.00 78.00
Total 12 46.0833 19.84695 5.72932 33.4732 58.6935 23.00 78.00
ANOVA
Geliat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4271.583 3 1423.861 185.721 .000 Within Groups 61.333 8 7.667 Total 4332.917 11
93
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Geliat Scheffe
(I) Penetapan_dosis_AsamAsetat
(J) Penetapan_dosis_AsamAsetat
Mean Difference (I-
J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Dosis 25mg/kgBB Dosis 50mg/kgBB -9.66667* 2.26078 .018 -17.5627 -1.7706
Dosis 75mg/kgBB -24.66667* 2.26078 .000 -32.5627 -16.7706
Dosis 100mg/kgBB -50.00000* 2.26078 .000 -57.8961 -42.1039 Dosis 50mg/kgBB Dosis 25mg/kgBB 9.66667* 2.26078 .018 1.7706 17.5627
Dosis 75mg/kgBB -15.00000* 2.26078 .001 -22.8961 -7.1039 Dosis 100mg/kgBB -40.33333* 2.26078 .000 -48.2294 -32.4373
Dosis 75mg/kgBB Dosis 25mg/kgBB 24.66667* 2.26078 .000 16.7706 32.5627
Dosis 50mg/kgBB 15.00000* 2.26078 .001 7.1039 22.8961 Dosis 100mg/kgBB -25.33333* 2.26078 .000 -33.2294 -17.4373
Dosis 100mg/kgBB Dosis 25mg/kgBB 50.00000* 2.26078 .000 42.1039 57.8961
Dosis 50mg/kgBB 40.33333* 2.26078 .000 32.4373 48.2294 Dosis 75mg/kgBB 25.33333* 2.26078 .000 17.4373 33.2294
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Geliat Scheffea
Penetapan_dosis_AsamAsetat N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Dosis 25mg/kgBB 3 25.0000 Dosis 50mg/kgBB 3 34.6667 Dosis 75mg/kgBB 3 49.6667 Dosis 100mg/kgBB 3 75.0000 Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
94
Data jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian dan hasil analisis statistiknya
Menit Waktu pemberian 5
menit
Waktu pemberian 10
menit
Waktu pemberian 15
menit
I II III I II III I II III
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 4 4 8 0 0 1 0 0 2
15 5 7 3 0 2 0 2 2 4
20 8 5 1 2 7 2 2 3 4
25 6 3 8 5 4 5 1 3 3
30 2 3 4 5 3 4 4 1 1
35 2 2 4 3 3 1 0 1 0
40 2 3 2 4 3 5 2 0 1
45 3 1 2 3 3 3 3 3 0
50 3 3 1 2 3 1 2 1 0
55 1 2 2 4 3 2 1 0 0
60 1 0 0 0 3 3 0 0 0
∑ 37 33 35 28 31 27 17 14 15
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
geliat 9 26.3333 8.84590 14.00 37.00
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
geliat
N 9 Normal Parametersa,,b Mean 26.3333
Std. Deviation 8.84590 Most Extreme Differences Absolute .197
Positive .188 Negative -.197
Kolmogorov-Smirnov Z .590 Asymp. Sig. (2-tailed) .877 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
95
Oneway Descriptives
Geliat
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Min Max
Lower Bound Upper Bound
5 menit 3 35.0000 2.00000 1.15470 30.0317 39.9683 33.00 37.00
10 menit 3 28.6667 2.08167 1.20185 23.4955 33.8378 27.00 31.00
15 menit 3 15.3333 1.52753 .88192 11.5388 19.1279 14.00 17.00
Total 9 26.3333 8.84590 2.94863 19.5338 33.1329 14.00 37.00
ANOVA
Geliat
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 604.667 2 302.333 85.031 .000 Within Groups 21.333 6 3.556 Total 626.000 8
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons Geliat Scheffe
(I) waktu (J) waktu Mean Difference (I-
J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
5 menit 10 menit 6.33333* 1.53960 .018 1.3954 11.2712
15 menit 19.66667* 1.53960 .000 14.7288 24.6046 10 menit 5 menit -6.33333* 1.53960 .018 -11.2712 -1.3954
15 menit 13.33333* 1.53960 .000 8.3954 18.2712 15 menit 5 menit -19.66667* 1.53960 .000 -24.6046 -14.7288
10 menit -13.33333* 1.53960 .000 -18.2712 -8.3954 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Geliat Scheffea
waktu N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
15 menit 3 15.3333 10 menit 3 28.6667 5 menit 3 35.0000 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
96
Geliat Scheffea
waktu N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
15 menit 3 15.3333 10 menit 3 28.6667 5 menit 3 35.0000 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Lampiran 8. Data jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol dan hasil analisis statistiknya
Menit Dosis 68,26
mg/kgBB
Dosis 91
mg/kgBB
Dosis 113,75
mg/kgBB
I II III I II III I II III
5 0 0 1 0 0 0 0 0 0
10 5 5 8 0 1 1 3 0 0
15 4 3 3 3 1 2 2 3 2
20 0 0 2 3 2 1 2 2 2
25 1 2 3 0 1 1 0 0 1
30 3 3 0 0 1 0 0 0 1
35 0 0 0 2 0 1 1 1 0
40 1 0 0 0 0 0 0 1 0
45 0 2 0 1 0 1 2 1 0
50 0 0 0 2 2 2 0 2 0
55 0 0 0 0 0 0 1 0 0
60 0 0 0 0 0 0 0 0 0
∑ 14 15 17 10 8 6 11 10 7
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Geliat2 9 10.8889 3.75648 6.00 17.00
97
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Geliat2
N 9 Normal Parametersa,,b Mean 10.8889
Std. Deviation 3.75648 Most Extreme Differences Absolute .155
Positive .155 Negative -.130
Kolmogorov-Smirnov Z .465 Asymp. Sig. (2-tailed) .982 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Oneway
Descriptives
Geliat2
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Min Max
Lower Bound Upper Bound
Dosis 68,26mg/kgBB 3 15.3333 1.52753 .88192 11.5388 19.1279 14.00 17.00
Dosis 91mg/kgBb 3 8.0000 2.00000 1.15470 3.0317 12.9683 6.00 10.00
Dosis 113,75 mg/kgBB 3 9.3333 2.08167 1.20185 4.1622 14.5045 7.00 11.00
Total 9 10.8889 3.75648 1.25216 8.0014 13.7764 6.00 17.00
ANOVA
Geliat2
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 91.556 2 45.778 12.875 .007 Within Groups 21.333 6 3.556 Total 112.889 8
98
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
Geliat2 Scheffe
(I) Dosis_parasetamol (J) Dosis_parasetamol
Mean Difference (I-
J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Dosis 68,26mg/kgBB Dosis 91mg/kgBb 7.33333* 1.53960 .009 2.3954 12.2712
Dosis 113,75 mg/kgBB 6.00000* 1.53960 .023 1.0621 10.9379 Dosis 91mg/kgBb Dosis 68,26mg/kgBB -7.33333* 1.53960 .009 -12.2712 -2.3954
Dosis 113,75 mg/kgBB -1.33333 1.53960 .702 -6.2712 3.6046 Dosis 113,75 mg/kgBB Dosis 68,26mg/kgBB -6.00000* 1.53960 .023 -10.9379 -1.0621
Dosis 91mg/kgBb 1.33333 1.53960 .702 -3.6046 6.2712 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Geliat2 Scheffea
Dosis_parasetamol N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Dosis 91mg/kgBb 3 8.0000 Dosis 113,75 mg/kgBB 3 9.3333 Dosis 68,26mg/kgBB 3 15.3333 Sig. .702 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
99
Lampiran 9. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis statistiknya
Menit
JBP dosis 7.5 g/kg BB JBP dosis 15.0 g/kg
BB JBP dosis 30.0
g/kgBB kontrol negatif kontrol positif
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
5 1 2 1 0 1 1 3 0 0 0 1 0 3 0 1 1 5 0 0 0 0 1 0 2 1
10 8 8 8 5 7 7 4 4 1 7 5 5 6 4 6 8 7 5 7 6 0 6 0 5 6
15 1 9 1 5 6 6 1 5 6 5 3 5 2 3 3 6 6 6 5 6 0 6 1 1 4
20 10 5 5 9 9 4 3 6 4 3 3 3 5 3 4 5 3 7 6 7 1 3 0 1 1
25 2 4 2 4 8 4 2 5 5 5 1 2 2 2 3 8 4 7 5 7 2 2 1 2 1
30 2 5 2 7 0 0 5 6 3 0 2 2 1 2 3 6 4 6 5 5 1 2 1 1 1
35 3 2 3 3 5 5 2 1 5 1 1 1 2 1 2 4 3 3 8 5 2 0 1 0 1
40 3 1 3 5 3 3 0 1 2 0 2 2 1 2 2 8 3 3 5 4 3 1 1 1 0
45 3 1 3 3 0 0 2 1 5 0 1 1 0 1 3 6 3 4 5 0 1 1 1 1 1
50 4 1 4 2 0 0 1 2 0 2 1 1 1 1 2 0 4 7 2 0 2 1 2 3 1
55 5 1 5 1 2 2 6 1 1 3 1 0 1 0 1 4 5 6 2 1 2 0 1 1 1
60 1 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 0 1 2 2 1 0 1 0 1 Total 43 39 38 45 42 33 29 32 33 26 21 22 24 19 30 59 49 55 52 43 15 23 10 18 19
100
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
jumlah_geliat 25 32.7600 13.31127 10.00 59.00
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
jumlah_geliat
N 25 Normal Parametersa,,b Mean 32.7600
Std. Deviation 13.31127 Most Extreme Differences Absolute .105
Positive .105 Negative -.076
Kolmogorov-Smirnov Z .524 Asymp. Sig. (2-tailed) .947 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Oneway
Descriptives
jumlah_geliat
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
kontrol positif (parasetamol)
5 17.0000 4.84768 2.16795 10.9808 23.0192 10.00 23.00
kontrol negatif (aquades) 5 51.6000 6.06630 2.71293 44.0677 59.1323 43.00 59.00 JBP dosis I 5 41.4000 2.88097 1.28841 37.8228 44.9772 38.00 45.00 JBP Dosis II 5 30.6000 3.04959 1.36382 26.8134 34.3866 26.00 33.00 JBP Dosis III 5 23.2000 4.20714 1.88149 17.9761 28.4239 19.00 30.00 Total 25 32.7600 13.31127 2.66225 27.2654 38.2546 10.00 59.00
ANOVA
jumlah_geliat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3870.160 4 967.540 50.604 .000 Within Groups 382.400 20 19.120 Total 4252.560 24
101
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
jumlah_geliat Scheffe
(I) uji_analgesik (J) uji_analgesik Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
kontrol positif (parasetamol)
kontrol negatif (aquades)
-34.60000* 2.76550 .000 -43.9637 -25.2363
JBP dosis I -24.40000* 2.76550 .000 -33.7637 -15.0363
JBP Dosis II -13.60000* 2.76550 .002 -22.9637 -4.2363
JBP Dosis III -6.20000 2.76550 .320 -15.5637 3.1637 kontrol negatif (aquades)
kontrol positif (parasetamol)
34.60000* 2.76550 .000 25.2363 43.9637
JBP dosis I 10.20000* 2.76550 .028 .8363 19.5637 JBP Dosis II 21.00000* 2.76550 .000 11.6363 30.3637 JBP Dosis III 28.40000* 2.76550 .000 19.0363 37.7637
JBP dosis I kontrol positif (parasetamol)
24.40000* 2.76550 .000 15.0363 33.7637
kontrol negatif (aquades)
-10.20000* 2.76550 .028 -19.5637 -.8363
JBP Dosis II 10.80000* 2.76550 .018 1.4363 20.1637 JBP Dosis III 18.20000* 2.76550 .000 8.8363 27.5637
JBP Dosis II kontrol positif (parasetamol)
13.60000* 2.76550 .002 4.2363 22.9637
kontrol negatif (aquades)
-21.00000* 2.76550 .000 -30.3637 -11.6363
JBP dosis I -10.80000* 2.76550 .018 -20.1637 -1.4363 JBP Dosis III 7.40000 2.76550 .170 -1.9637 16.7637
JBP Dosis III kontrol positif (parasetamol)
6.20000 2.76550 .320 -3.1637 15.5637
kontrol negatif (aquades)
-28.40000* 2.76550 .000 -37.7637 -19.0363
JBP dosis I -18.20000* 2.76550 .000 -27.5637 -8.8363 JBP Dosis II -7.40000 2.76550 .170 -16.7637 1.9637
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
102
Homogeneous Subsets jumlah_geliat
Scheffea
uji_analgesik N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
kontrol positif (parasetamol) 5 17.0000 JBP Dosis III 5 23.2000 23.2000 JBP Dosis II 5 30.6000 JBP dosis I 5 41.4000 kontrol negatif (aquades) 5 51.6000 Sig. .320 .170 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
Lampiran 10. Data persen proteksi geliat pada uji efek analgesik
berserta hasil analisis statistiknya
Perlakuan Replikasi
1 Replikasi
2 Replikasi
3 Replikasi
4 Replikasi
5 Rata-rata JBP 7.5 g 16.66667 24.4186 26.35659 12.7907 18.60465 19.76744186 JBP 15.0 g 36.04651 43.79845 37.9845 36.04651 49.6124 40.69767442 JBP 30.0 g 59.30233 57.36434 53.48837 63.17829 41.86047 55.03875969 Aquades -14.3411 5.03876 -6.58915 -0.77519 16.66667 0 Kontrol positif 70.93023 55.42636 80.62016 65.11628 63.17829 67.05426357
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
persen_proteksi_geliat 25 36.5116 25.79704 -14.34 80.62
103
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
persen_proteksi_geliat
N 25 Normal Parametersa,,b Mean 36.5116
Std. Deviation 25.79704 Most Extreme Differences Absolute .105
Positive .076 Negative -.105
Kolmogorov-Smirnov Z .524 Asymp. Sig. (2-tailed) .947 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Oneway
Descriptives
persen_proteksi_geliat
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Aquades 5 .0000 11.75640 5.25762 -14.5975 14.5975 -14.34 16.67 Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
5 67.0543 9.39473 4.20145 55.3892 78.7194 55.43 80.62
JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 19.7674 5.58328 2.49692 12.8349 26.7000 12.79 26.36
JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 40.6977 5.91006 2.64306 33.3594 48.0360 36.05 49.61
JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 55.0388 8.15337 3.64630 44.9150 65.1625 41.86 63.18 Total 25 36.5116 25.79704 5.15941 25.8631 47.1601 -14.34 80.62
ANOVA
persen_proteksi_geliat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 14535.485 4 3633.871 50.604 .000 Within Groups 1436.212 20 71.811 Total 15971.696 24
104
Post Hoc Tests Multiple Comparisons
persen_proteksi_geliat Scheffe
(I) kelompok_uji (J) kelompok_uji Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Aquades Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
-67.05426* 5.35950 .000 -85.2010 -48.9075
JBP dosis 7.5 g/kgBB -19.76744* 5.35950 .028 -37.9142 -1.6207
JBP dosis 15.0 g/kgBB -40.69767* 5.35950 .000 -58.8444 -22.5509
JBP dosis 30.0 g/kgBB -55.03876* 5.35950 .000 -73.1855 -36.8920 Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
Aquades 67.05426* 5.35950 .000 48.9075 85.2010
JBP dosis 7.5 g/kgBB 47.28682* 5.35950 .000 29.1401 65.4336 JBP dosis 15.0 g/kgBB 26.35659* 5.35950 .002 8.2099 44.5033 JBP dosis 30.0 g/kgBB 12.01550 5.35950 .320 -6.1312 30.1622
JBP dosis 7.5 g/kgBB Aquades 19.76744* 5.35950 .028 1.6207 37.9142
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
-47.28682* 5.35950 .000 -65.4336 -29.1401
JBP dosis 15.0 g/kgBB -20.93023* 5.35950 .018 -39.0770 -2.7835 JBP dosis 30.0 g/kgBB -35.27132* 5.35950 .000 -53.4181 -17.1246
JBP dosis 15.0 g/kgBB Aquades 40.69767* 5.35950 .000 22.5509 58.8444
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
-26.35659* 5.35950 .002 -44.5033 -8.2099
JBP dosis 7.5 g/kgBB 20.93023* 5.35950 .018 2.7835 39.0770 JBP dosis 30.0 g/kgBB -14.34109 5.35950 .170 -32.4878 3.8056
JBP dosis 30.0 g/kgBB Aquades 55.03876* 5.35950 .000 36.8920 73.1855
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
-12.01550 5.35950 .320 -30.1622 6.1312
JBP dosis 7.5 g/kgBB 35.27132* 5.35950 .000 17.1246 53.4181 JBP dosis 15.0 g/kgBB 14.34109 5.35950 .170 -3.8056 32.4878
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
persen_proteksi_geliat Scheffea
kelompok_uji N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Aquades 5 .0000 JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 19.7674 JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 40.6977 JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 55.0388 55.0388 Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB 5 67.0543 Sig. 1.000 1.000 .170 .320 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
105
persen_proteksi_geliat Scheffea
kelompok_uji N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Aquades 5 .0000 JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 19.7674 JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 40.6977 JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 55.0388 55.0388 Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB 5 67.0543 Sig. 1.000 1.000 .170 .320 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
Lampiran 11. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif
pada uji efek analgesik
Perlakuan Replikasi
1 Replikasi
2 Replikasi
3 Replikasi
4 Replikasi
5 Rata-rata JBP 7.5 g 28.4801 26.8978 50.6323 34.8093 22.1467 32.59324 JBP 15.0 g 50.6323 39.5562 31.6448 36.3916 34.8093 38.60684 JBP 30.0 g 6.3222 14.2408 11.0809 3.1624 20.5731 11.07588 Aquades 113.9243 102.8482 90.1897 112.3419 80.6959 100 Kontrol positif -3.16997 9.49468 -11.0759 1.5761 3.16235 -0.002548
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
perubahan_persen_proteksi_geliat 25 45.549133 38.4718885 -20.2312 121.3873
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
perubahan_persen_proteksi_geliat
N 25 Normal Parametersa,,b Mean 45.549133
Std. Deviation 38.4718885 Most Extreme Differences Absolute .105
Positive .105 Negative -.076
Kolmogorov-Smirnov Z .524 Asymp. Sig. (2-tailed) .947 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
106
Oneway
Descriptives
perubahan_persen_proteksi_geliat
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower
Bound Upper Bound
Aquades 5 100.000000 17.5326600 7.8408439 78.230327 121.769673 75.1445 121.3873
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
5 .000000 14.0106354 6.2657466 -17.396502 17.396502 -20.2312 17.3410
JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 70.520231 8.3265088 3.7237280 60.181505 80.858957 60.6936 80.9249
JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 39.306358 8.8138443 3.9416710 28.362525 50.250192 26.0116 46.2428
JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 17.919075 12.1593549 5.4378288 2.821242 33.016908 5.7803 37.5723
Total 25 45.549133 38.4718885 7.6943777 29.668718 61.429548 -20.2312 121.3873
ANOVA
perubahan_persen_proteksi_geliat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 32327.843 4 8081.961 50.604 .000 Within Groups 3194.226 20 159.711 Total 35522.069 24
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
perubahan_persen_proteksi_geliat Scheffe
(I) kelompok_uji (J) kelompok_uji Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Aquades Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
100.0000000* 7.9927797 .000 72.937239 127.062761
JBP dosis 7.5 g/kgBB 29.4797688* 7.9927797 .028 2.417008 56.542529
JBP dosis 15.0 g/kgBB 60.6936416* 7.9927797 .000 33.630881 87.756402
JBP dosis 30.0 g/kgBB 82.0809249* 7.9927797 .000 55.018164 109.143686 Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
Aquades -1.0000000E2 7.9927797 .000 -127.062761 -72.937239
JBP dosis 7.5 g/kgBB -70.5202312* 7.9927797 .000 -97.582992 -43.457471 JBP dosis 15.0 g/kgBB -39.3063584* 7.9927797 .002 -66.369119 -12.243598 JBP dosis 30.0 g/kgBB -17.9190751 7.9927797 .320 -44.981836 9.143686
JBP dosis 7.5 g/kgBB Aquades -29.4797688* 7.9927797 .028 -56.542529 -2.417008
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
70.5202312* 7.9927797 .000 43.457471 97.582992
JBP dosis 15.0 g/kgBB 31.2138728* 7.9927797 .018 4.151112 58.276634 JBP dosis 30.0 g/kgBB 52.6011561* 7.9927797 .000 25.538395 79.663917
107
JBP dosis 15.0 g/kgBB Aquades -60.6936416* 7.9927797 .000 -87.756402 -33.630881
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
39.3063584* 7.9927797 .002 12.243598 66.369119
JBP dosis 7.5 g/kgBB -31.2138728* 7.9927797 .018 -58.276634 -4.151112 JBP dosis 30.0 g/kgBB 21.3872832 7.9927797 .170 -5.675477 48.450044
JBP dosis 30.0 g/kgBB Aquades -82.0809249* 7.9927797 .000 -109.143686 -55.018164
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB
17.9190751 7.9927797 .320 -9.143686 44.981836
JBP dosis 7.5 g/kgBB -52.6011561* 7.9927797 .000 -79.663917 -25.538395 JBP dosis 15.0 g/kgBB -21.3872832 7.9927797 .170 -48.450044 5.675477
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
perubahan_persen_proteksi_geliat Scheffea
kelompok_uji N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB 5 .000000 JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 17.919075 17.919075 JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 39.306358 JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 70.520231 Aquades 5 100.000000 Sig. .320 .170 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
108
Lampiran 12. Data bobot udema kaki mencit hasil uji efek antiinflamasi dan hasil analisis statistiknya
Perlakuan replikasi kaki kiri
(mg) kaki kanan
(mg) Udema (mg)
JBP 7,5
1 224.6 153.5 71.1
2 228.3 149.5 78.8
3 243.4 155.2 88.2
4 241.5 168.5 73
5 261.6 176.7 84.9
Mean udema (mg) + SE 79.20 ± 3.30
JBP 15,0
5 224.5 158.2 66.3
2 214.9 156.4 58.5
4 241.5 176.4 65.1
4 238.6 175.6 63
5 214.5 154.9 59.6
Mean udema (mg) + SE 62.50 ± 1.51
JBN 30,0
1 213.6 179.5 34.1
2 204.6 165.6 39
3 225.6 184.4 41.2
4 223.1 189.3 33.8
5 218.8 177.3 41.5
Mean udema (mg) + SE 47.92 ± 2.68
Kontrol positif
1 212 173.8 38.2
2 218.3 179.5 38.8
3 193.5 163.5 30
4 213.5 186.7 26.8
5 219.2 198.8 20.4
Mean udema (mg) + SE 30.84 ± 3.49
Kontrol negatif
1 260.3 161.8 98.5
2 280.2 189.5 90.7
3 269.8 166.5 103.3
4 258.6 162.2 96.4
5 264.9 156.4 108.5
Mean udema (mg) + SE 99.48 ± 3.02
Kontrol karagenin
1 279 171.3 107.7
2 259.8 166.5 93.3
109
3 264.7 168.9 95.8
4 265.9 162.5 103.4
5 261.6 162.4 99.2
Mean udema (mg) + SE 99.88 ± 2.59 NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
bobot_udem 30 68.3033 28.23640 20.40 108.50
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
bobot_udem
N 30 Normal Parametersa,,b Mean 68.3033
Std. Deviation 28.23640 Most Extreme Differences Absolute .162
Positive .162 Negative -.126
Kolmogorov-Smirnov Z .888 Asymp. Sig. (2-tailed) .410 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Oneway
Descriptives bobot_udem
N Mean Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
kontrol positif (diklofenak)
5 30.8400 7.80308 3.48964 21.1512 40.5288 20.40 38.80
kontrol negatif (aquades)
5 99.4800 6.77289 3.02893 91.0703 107.8897 90.70 108.50
kontrol karagenin 5 99.8800 5.78680 2.58793 92.6947 107.0653 93.30 107.70 JBP dosis I 5 79.2000 7.37733 3.29924 70.0398 88.3602 71.10 88.20
JBP dosis II 5 62.5000 3.38600 1.51427 58.2957 66.7043 58.50 66.30 JBP dosis III 5 37.9200 3.75193 1.67792 33.2614 42.5786 33.80 41.50 Total 30 68.3033 28.23640 5.15524 57.7597 78.8470 20.40 108.50
110
ANOVA bobot_udem
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 22240.674 5 4448.135 121.195 .000 Within Groups 880.856 24 36.702 Total 23121.530 29 Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
bobot_udem Scheffe
(I) uji_antiinflamasi (J) uji_antiinflamasi Mean
Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
kontrol positif (diklofenak)
kontrol negatif (aquades) -68.64000* 3.83157 .000 -82.5097 -54.7703
kontrol karagenin -69.04000* 3.83157 .000 -82.9097 -55.1703
JBP dosis I -48.36000* 3.83157 .000 -62.2297 -34.4903
JBP dosis II -31.66000* 3.83157 .000 -45.5297 -17.7903
JBP dosis III -7.08000 3.83157 .641 -20.9497 6.7897 kontrol negatif (aquades) kontrol positif
(diklofenak) 68.64000* 3.83157 .000 54.7703 82.5097
kontrol karagenin -.40000 3.83157 1.000 -14.2697 13.4697 JBP dosis I 20.28000* 3.83157 .001 6.4103 34.1497 JBP dosis II 36.98000* 3.83157 .000 23.1103 50.8497 JBP dosis III 61.56000* 3.83157 .000 47.6903 75.4297
kontrol karagenin kontrol positif (diklofenak)
69.04000* 3.83157 .000 55.1703 82.9097
kontrol negatif (aquades) .40000 3.83157 1.000 -13.4697 14.2697 JBP dosis I 20.68000* 3.83157 .001 6.8103 34.5497 JBP dosis II 37.38000* 3.83157 .000 23.5103 51.2497 JBP dosis III 61.96000* 3.83157 .000 48.0903 75.8297
JBP dosis I kontrol positif (diklofenak)
48.36000* 3.83157 .000 34.4903 62.2297
kontrol negatif (aquades) -20.28000* 3.83157 .001 -34.1497 -6.4103 kontrol karagenin -20.68000* 3.83157 .001 -34.5497 -6.8103 JBP dosis II 16.70000* 3.83157 .011 2.8303 30.5697 JBP dosis III 41.28000* 3.83157 .000 27.4103 55.1497
JBP dosis II kontrol positif (diklofenak)
31.66000* 3.83157 .000 17.7903 45.5297
kontrol negatif (aquades) -36.98000* 3.83157 .000 -50.8497 -23.1103 kontrol karagenin -37.38000* 3.83157 .000 -51.2497 -23.5103 JBP dosis I -16.70000* 3.83157 .011 -30.5697 -2.8303 JBP dosis III 24.58000* 3.83157 .000 10.7103 38.4497
JBP dosis III kontrol positif (diklofenak)
7.08000 3.83157 .641 -6.7897 20.9497
111
kontrol negatif (aquades) -61.56000* 3.83157 .000 -75.4297 -47.6903 kontrol karagenin -61.96000* 3.83157 .000 -75.8297 -48.0903 JBP dosis I -41.28000* 3.83157 .000 -55.1497 -27.4103 JBP dosis II -24.58000* 3.83157 .000 -38.4497 -10.7103
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
bobot_udem Scheffea
uji_antiinflamasi N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
kontrol positif (diklofenak) 5 30.8400 JBP dosis III 5 37.9200 JBP dosis II 5 62.5000 JBP dosis I 5 79.2000 kontrol negatif (aquades) 5 99.4800 kontrol karagenin 5 99.8800 Sig. .641 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
Lampiran 13. Tabel % daya antiinflamasi dan potensi relatif
Kelompok Uji % daya antiinflamasi
% potensi relatif daya antiinflamasi
Karagenin 1% - - Diklofenak* 69,17 100
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 20,72 29,96 Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 37,44 54,13 Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 62,06 89,72 Keterangan :
* = dosis 4,48 mg/kgBB
112
Lampiran 14. Contoh cara perhitungan % daya antiinflamasi dan potensi relatif
%
Contoh 1.
Rumus : daya antiinflamasi =
− %100x
UDU
Keterangan :
U = harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat
kaki normal (kaki kanan)
D = harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata
berat kaki normal (kaki kanan)
Contoh perhitungan % daya antiinflamasi pada perlakuan jus buah pepaya 30,0
g/kgBB
% daya antiinflamasi = %1000999,0
0379,00999,0 x− = 62,06%
%100xDAdDAp
Contoh 2.
Rumus : % potensi relatif daya antiinflamasi =
Keterangan : DAp = % daya antiinflamasi kelompok perlakuan
DAd = % daya antiinflamasi larutan diklofenak
Contoh perhitungan % potensi relatif daya antiinflamasi pada perlakuan jus buah
pepaya 30,0 g/kgBB
% potensi relatif daya antiinflamasi = %10017,6906,62 x = 89,72 %
113
Lampiran 15. Perhitungan penetapan peringkat dosis jus buah pepaya pada kelompok perlakuan
Dasar penetapan peringkat
• Bobot tertinggi mencit = 30 g
• Konsentrasi Jus buah pepaya yang dapat disedot dan dikeluarkan lewat spuit
peroral = 90 % atau 0,90 g/ml
• Pemberian cairan secara per oral maksimal 1 ml
Dengan dasar tersebut maka ditetapkan dosis tertinggi jus buah pepaya
V x C = BB x D
Volume Pemberian x Konsentrasi = Berat badan x Dosis
1 ml x 0,90 g/ml = 30g BB x Dosis
Dosis = 0,90 g/ 30 g = 0,030 g/gBB = 30,0 g/kgBB (dosis tertinggi)
Untuk dua peringkat dosis di bawahnya, dosis tertinggi ini dibagi 2 kemudian dibagi
2 lagi sehingga diperoleh 3 peringkat dosis : 30,0 g/kgBB; 15,0 g/kgBB; 7,5 g/kgBB.
Perhitungan konversi dosis dari mencit ke manusia
Faktor konversi dari mencit 20-30 gram ke manusia 70 kg = 387,9
Rata-rata berat badan manusia Indonesia = 50 kg
Dosis untuk mencit = 30,00 g/kgBB (untuk mencit 20-30 gram)
= 0,03 g/g BB mencit
= 0,9 g / 30 g BB mencit
114
Dosis untuk manusia = 387,9 x 0,9 g
= 349,11 g / 70 kgBB manusia
= 249,36 g / 50 kgBB manusia
Untuk mendapatkan dosis 249,36 g / 50 kgBB manusia membutuhkan buah pepaya
Bangkok kurang lebih 1/5 buah.
115
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi dengan judul “Efek Antiinflamasi dan
Analgesik Jus Buah Papaya pada Mencit Betina Galur
Swiss” memiliki nama lengkap Jeffry Ben Martin,
merupakan putra pertama dari tiga bersaudara dalam
keluarga Ir. Aswin Manyamai dan Ir. Dewi Erowati.
Penulis dilahirkan di Banjarmasin pada 11 September
1987. Pendidikan formal yang telah ditempuh, yaitu
mengawali masa pendidikannya di TK Tunas Rimba II Palangkaraya (1991-1993),
kemudian melanjutkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar di SDN Langkai 12
(sekarang bernama SDN 4 Menteng) Palangkaraya (1993-1999). Pendidikan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama ditempuh oleh penulis di SLTP Santo Paulus Palangkaraya
(1999-2002), kemudian melanjutkan pendidikan tingkat menengah atas di SMA
Negeri 5 Palangkaraya (2002-2005). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan
sarjana di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2006. Semasa
menempuh kuliah, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan baik dalam fakultas
maupun di luar fakultas. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia Dasar,
Mikrobiologi, Farmakologi Dasar, Toksikologi Dasar, Patologi Klinik (2009), dan
Biofarmasetika (2010). Penulis juga terlibat dalam kepanitian Titrasi 2007 dan 2008
sebagai anggota seksi perlengkapan.