efek unifikasi dalam_bidang_hukum_keluarga_perkawinan_1991
DESCRIPTION
Judul: Efek Unifikasi Dalam Bidang-bidang Hukum Keluarga (perkawinan) Pengarang: Hasan, Juhaendah ; Institusi: Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun Terbit: 1991 Kode Panggil: 347.62, Has, e Desc Fisik: v, 63 hlm. ; 21 cm Subyek: HUKUM PERKAWINAN - UNIFIKASI Lokasi: BPHN JakartaTRANSCRIPT
EFEK UNIFIKASI DALAM
BIDANG-BIDANG HUKUM KELUARGA
( PERKAWINAN )
0 I e h :
DJUHAENDAH HASAN, S.H.
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN
rAlll t~EGAR DAFTAR lSI TIDAK OIPcRDAGANLKAN
Halaman
KAT A PENGANT AR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
BAB I PENDAHULUAN .. . . .... ... ..... ..... . . . .
BAB II
A. Hukum Perdata Yang Ber1aku Dewasa lni Di-lndonesia . ............... . ......... . .
B. Usaha Unifikasi Hukum Dalam Hukum Ke-luarga ......................... . ... . .
HUKUM KELUARGA DEWASA INI SETELAH DIUNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 BESERTA PER-KEMBANGANNY A . .. .... .. . ............ .
A. Hukum Perkawinan Sete1ah Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ..... .
B. Hukum Ke1uarga Pada Umumnya Setelah Berlakunya Undang-Undang Perkawinan (UU No.
8
14
14
1 Tahun 1974). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29
BAB III ASPEK-ASPEK UNIFIKASI HUKUM KELUARGA YANG TERDAPAT DI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN/UNDANGUNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DALAM EFFEKTIVIT ASNY A . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
A. Aspek-Aspek Uniflkasi Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197 4 . . . . . . . . . . . . 41
B. Effektivitas Uniflkasi Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. . . . . . . . . . . . 43
BAB IV EFEK UNIFIKASI DALAM BIDANG-BIDANG HUKUM KELUARGA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
A. Efek Uniflkasi Terhadap Hukum Keluarga .Yang Berlaku. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
B. Suatu Pemikiran Perlunya Perubahan Sistem Hukum Keluarga Dari Plural Kearah Satu Sis-teill. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 55
PEN UT UP. .. .. . ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 60
DAF.TAR PUSTAKA. 62
ii
KATA PENGANTAR
Hukum Ke1uarga sebagai bagian dari Hukum Perdata yang ber-
1aku da1am masyarakat kita sampai saat ini masih bersifat p1uralistis
dan dapat merupakan sa1ah satu bidang hukum yang masih memer1u
kan pembaharuan untuk menjadi bagian dari hukum nasiona1 kita
yang berlandaskan Pancasi1a dan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang No. 1 tahun 1974, LN No. 1 tahun 1974, TLN
No. 3019 ten tang Perkawinan, merupakan sa1ah satu usaha da1am
menciptakan hukum nasiona1 tersebut. Namun demikian disadari sepenuhnya bahwa masih banyak masa1ah yang kita hadapi sebe1um
Hukum Ke1uarga kita itu benar-benar akan terunifikasi.
Penulisan karya ilmiah tentang Efek Unifikasi da1am bidang Hu
kum Ke1uarga (Perkawinan) te1ah mengangkat berbagai permasa1ahan itu ke permukaari disebabkan adanya perbedaan penggo1ongan dan agama yang mempengaruhi Hukum Ke1uarga (Perkawinan) itu.
· Karena itu karangan ini memberi bahan yang berharga bagi pemi
kiran 1ebih 1anjut menuju pengaturan Hukum Ke1uarga Nasiona1 yang
lebih mampu membina kehidupan ke1uarga yang sehat, bahagia dan
sejahtera.
Pada tempatnya apabila kami mengucapkan terima kasih kepada
Saudari Djuhaendah Hasan, S.H. yang te1ah menye1esaikan karya ilmiah ini dengan baik dan bermanfaat bagi ka1angan profesi hukum
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, Februari 1991
Kepa1a Badan Pembinaan Hukum Nasional
Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, S.H.
iii
KATA PENGANTAR
Kesempatan menulis karya ilmiah melalui proyek Badan Pembinaan Hukum Nasional, dengan perjanjian kerjasama nomor 03 - HP. 01.01-321 tahun anggaran 1986/1987, berjudu1 Efek Unifikasi Da-1am Bidang-Bidang Hukum Ke1uarga ( Perkawinan ).
Fokus dati judu1 penulisan ini ter1etak dan terarnh pacta kata efek. Kamu s Purwadarminta (Jakarta, 1982, ha1aman 266) memberi arti efek sebagai ( 1) akibat, hasil daya pengaruh dari sesuatu, (2) kesan pacta angan-angan. Ada pun untuk efektif diartikan sebagai ( 1) ada efeknya (pengaruhnya, akibatnya, kesannya); manjur, mujarab, mempan. Ada kata padanan baru yang dikembangkan bersama Pusat Bahasa Indonesia, untuk pengertian pengaruh atau akibat, yaitu kata dampak. Tetapi Purwadarrninta (ha1aman 225) memberi arti dampak itu sebagai me1anggar, menubruk, membentur. Rupanya konotasi kata dampak itu 1ebih pacta akibatnya a tau pengaruhnya yang kurang baik ~tau yang menghambat dan bersifat negatif. Da1am perkembangan lebih lanjut di bidang lingkungan hidup, istilah dampak ini telah diper1uas artinya dan dipandankan dengan istilah efek, sehingga kemudian dikena1 paduan istilah dampak negatif dan dampak positif
Da1am tulisan ini, kata efek dipadankan dengan kata dampak, di pergunakan secara tercampur dan diberikan konotasi pacta dampaknya yang positif, yaitu dampak positif dari Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang nomor 1 tahun 1974) terhadap usaha unifikasi hukum di bidang hukum ke1uarga.
Atas kesempatan beketjasama da1am pengerjaan karya ilmiah ini penulis sampaikan terimakasih. Semoga penulisan ini bermanfaat da1am usaha bersama me1aksanakan program pembinaan hukum nasional yang berdasarkan politik hukumnya diarahkan menuju unifikasi dengan memperhatikan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Bandung, Maret 1987
ttd
Djuhaendah Hasan, S.H.
v
BABI
PENDAHULUAN
A. Hukum Perdata Yang Berlaku Dewasa Ini Di Indonesia.
Sebagai akibat dari politik hukum Belanda pada masa yang Ialu , di negara kita dewasa ini terdapat aneka ragam hukum perdata terutama dalam bidang hukum keluarga dan hukum waris. Pada masa Hindia Belanda dahulu berlaku beberapa ketentuan hukum da1am berbagai bidang hukum bagi penduduk Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai go1ongan, yaitu golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan, golongan Bumiputra/Indonesia asli dan golongan Timur Asing. Dalam menghadapi golongan penduduk yang berbeda ini yang juga berbeda hukumnya, Be1anda mengadakan berbagai upaya dalam mengatasinya, an tara lain dengan unifJ.kasi hukum.
· Sete1ah berhasilnya unifikasi hukum dalam }Jidang Hukum Pidana pada tahun 1915 maka dualisme hukum dalam bidang hukum pidana itu . berakhir, sedangkan dalam bidang hukum perdata masih berlanjut. Ketentuan yang mengatur tentang penggo1ongan penduduk ini terdapat di da1am pasal 163 I.S. (lndische Staatsregeling) yang pada ayat.1 menyebutkan :
"Jikalau ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, dalam peraturan umum dan peraturan setempat, dalam aturan-aturan, peraturan polisi dan adminstrasi diadakan perbedaan antara golongan Eropa, golongan pribumi dan golongan Timur Asing, maka kesemuany~ itu dijalankan menurut aturan-aturan seperti tersebut di bawah". Jadi menurut ketentuan pasa1 163 I.S ayat 1 ini, kalau 4iadakan penggolongan maka penduduk Hindia Belanda ini terdiri tiga golongan, yaitu go1ongan Eropa, golongan Pribumi Bumiputera/Indonesia asli, dan golongan Timur Asing. Siapa-siapa saja yang termasuk golongan-golongan tersebut tercantum di dalam ayat-ayat berikutnya pada pasal tersebut. Dalam pada itu undang-undang mengadakan perbedaan an tara golongan Eropa .disatu pihak dan golongan pribumi dan golongan Timur Asing dilain pihak.
Dalam Pasal 131 I. S. pada ayat 2 a dicantumkan syarat-syarat yang harus diperhatikan dalarn membentuk ordonansi yang memuat hu-
-~- ·
kum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa. Pacta ayat 2 b mengenai ordonansi yang memuat hukum perdata yang berlaku bagi golongan pribumi dan golongan Timur Asing 1 ).
Karena ada perbedaan hukum perdata bagi golongan-golongan hukum ini maka di dalam hukum perdata terdapat dualisme, dan ini merupakan politik hukum pemerintah Belanda tentang Hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasall3li.S. ayat 2 a itu disebutkan bahwa, apabila pembentuk Ordonansi membuat ordonansi yang memuat hukum perdata harus mengikuti undang-undang yang berlaku di Nederland. Sesuai dengan ketentuim itu maka yang berlaku sebagai hukum perdata bagi golongan Eropa adalah pertama-tama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijke Wetboek (B.W), Kitab Undangundang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel (W.v.K), disamping ini terdapat pula Algemene Bepalingen van Wetgeving (A.B) dan pula beberapa ketentuan yang tertulis tidak dikodiftkasikan lainnya serta ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.
Bagi golongan lainnya yaitu golongan Indonesia asli dan golongan Timur Asing berdasarkan ketentuan pasal 131 ayat 2 b I.S. berlaku hukum perdata adatnya masing-masing. J adi disini jelas terlihat_ adanya pluralisme dalam hukum perdata, dimana bagi orang-orang Indonesia asli berlaku berbagai ragam hukum adat (menurut van Vollenhoven ada 19 lingkungan hukum adat, yang sebenarnya dalam kenyataannya lebih dari itu) yang satu sama lain berbeda karena bentuk masyarakatnya dan sistem kekeluargaan yang berbeda pula, seda_ngkan bagi golongan Timur Asing juga beraneka sesuai dengan hukum negara asalnya. Dengan demikian jelas politik hukum pemerintah Belanda dalam hukum perdata menciptakan hukum yang sifatnya clualistis yang berlaku bagi golongan-golongan hukum di Indonesia dan memisahkan hukum perdata bagi mereka sebagai penguasa. Di dalam prakteknya adanya beraneka hukum perdata yang berlaku bagi golongan-golong-
J). SoedimiiTI Kartohadiprodjo, "Pengrmtllr Tatll Hukum di Indonesia, hal. 53" P.r Pembangunan Djakarta./967.
2
an hukum ini menimbulkan masa1ah-masa1ah apabila terjadi kontak antara go1ongan-go1ongan ini. Karena itu untuk memperlancar kontak terutama yang menyangkut kepentingan Be1anda di Indonesia, Pemerintah Hindia Be1anda dulu mengadakan berbagai upaya hukum untuk mengurangi/mempersempit sifat dualistis itu. Upaya hukum itu dapat pula disebutkan sebagai cara untuk memperluas berlakunya hukum perdata Eropa kepada golongan lain. Ketentuan yang mengatur hal ini tercantum di da1am pasal 11 A. B; pasal 75 R.R ayat 3 ; pasal 131 I.S ayat 4; yaitu ketentuan yang membuka kesempatan bagi golongan pribumi I Indonesia asli dan Timur Asing untuk tunduk dengan sukarela kepada hukum perdata Eropa.
Ketentuan khusus mengenai pengaturan penundukkan diri secara sukarela ini adalah S. 1917 No. 17, yaitu tentang "penundukkan diri secara sukarela kepada hukum perdata Eropa (vrijwillige onderwerping aan het Europees privaatrecht). Ketentu<m ini telah dibuat dengan maksud tertentu terutama bagi keJ*Itingan para pedapng Eropa yang dalam setiap kontaknya termasuk dengan golongan bukan Eropa menghendaki diberlakukannya hukum perdata Eropa. Dengan adanya lem baga penundukkan diri secera sukarela kepada hukum perdata Eropa ini terdapat kepastian hukum bagi para pedagang Eropa itu apabila timbu1 konflik dengan golongan lain yang bukan Eropadan hakim tentu akan menerapkan hukum Eropa tersebut.
Lembaga ini membuka pintu untuk meluasnya lingkungan kuasa hukum perdata Eropa hingga dengan jalan ini tam bah majuJah orang kearah terwujudnya suatu "eenheidswetboek", di negeri ini 2).
Lembaga ini diharapkan dapat mengurangi jurang perbedaan hukum perdata antara golongan itu, yang dalam perkembangannya nanti diharapkan pula dapat menuju kearah uniflkasi hukum.
Ternyata dalam prakteknya lembaga ini tidak begitu berhasil, karena hanya sedikit sekali dipergunakan.
2) Prof Mr. Dr. S. Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum An tar go
longan, hal. 153, cet. ketiga P.T. Penerbit dan Balai Buku '1ch·
tiar", 1971.
3
------·
Ada beberapa kemungkinan apabila seseorang melakukan perbuatan penundukkan diri ini, yaitu : tunduk kepada seluruh hukum perdata Eropa ; tunduk kepada sebahagian hukum perdata Eropa; tunduk kepada perbuatan hukum tertentu; penundukkan secara diam-diam atau dianggap penundukkan.
Diantara jenis-jensi penundukkan ternyata dalam prakteknya penundukkan kepada seluruhnya (algeheel) dan kepada sebahagian (gedeeltelijk), paling sedikit sekali dipergunakan dan yang mungkin banyak dipakai adalah jenis ~etiga yaitu penundukkan kepada perbuatan hukum tertentu (voor een bepaalde rectshandeling) , juga jenis ke empat yaitu dianggap melakukan penundukkan (veronderstelde onderwerping).
Kedua jenis yang terakhir ini ternyata nanti dalam perkembangannya dapat meluas ruang lingkupnya sesuai dengan perkembangan hukum terutama dalam hukum kekayaan. Sebetulnya perluasan berlakunya hukum perdata Eropa ini sudah mulai dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dulu yang berupa pembebanan hukum dari atas atau penerapan hukum perdata Eropa kepada mereka terhadap siapa tidak berlaku hukum Eropa/Barat.
Bagi golongan Timur Asing sejak 8 Desember 1855 diumumkan S. 1855 No. 79, yang berupa pernyataan berlakunya hukum perdata Eropa untuk sebahagian. Peraturan ini dikeluarkan -bukan karena orang Timur Asing membutuhkan melainkan guna kepentingan Belanda sendiri terutama bagi para pedagang, karena itu yang diberlakukan justru yang berkaitan dengan itu, yaitu hukum kekayaan dan waris testamenter.
Pertain a kali hanya bagi mereka yang berada di Jawa dan Madura saja kemudian dengan S. 1924 No. 556 diberlakukan juga di luar Jawa. Jadi kita lihat sejak adanya ketentuan itu bagi golongan Timur Asing berlaku sebahagian hukum perdata Eropa atau hukum perdata Barat, yiatu mengenai hukum kekayaan dan waris testamenter dan sebahagian lagi berlaku hukum perdata adatnya yaitu tentang hukum pribadi, hukum keluarga dan waris ab-intestato. Politik hukum Belanda dalam hukum perdata ini terutama bagi kepentingan bangsa Eropa yang dalam kenyataanya kalau mereka mengadakan kontak dengan golongan lainnya mengalami kesulitan.
4
- I
Di dalam prakteknya kesulitan ini dapat teratasi dengan adanya golongan perantara dalam setiap m engadakan transaksi, dan go Iongan perantara ini adalah golongan Timur Asing. Ternyata dari semua golongan Timur Asing ini yang paling menempati kedudukan teratas dalam fungsinya sebagai perantara adalah orangorang Tionghoa , karena itu kepada golongan Tionghoa ini kemudian diberlakukan seluruh hukum perdata Eropa/ Barat , yang mulai berJaku 1 Mei 1919 yaitu dengan dike1uarkannya S.l917 No.129. Dengan ber1akunya S. 1917 No.129 ini maka golongan Timur Asing ini terpecah dua yaitu Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa . Dengan demikian bagi orang Tionghoa sejak itu ber1aku seluruh hukum perdata Eropa , hany~ bagi mereka dalam ketentuan itu juga berlaku ketentuan tentang adopsi , karena orang Tionghoa masih memerlukan ketentuan yang ada dalam hukum adatnya sesuai dengan kepercayaan mereka. Se1ain ketentuan ten tang adopsi juga hukum adat Tionghoa tentang badan hukum yang disebut kongsi masih diberlakukan .
Dewasa ini penggolongan penduduk berdasarkan pasal 163 I.S. ini sudah tidak ada dan juga ketentuan penggolongan hukum berdasarkan pasa1 131 I.S. ayat 2 ab tidak dipakai lagi, namun demikian hukum perdata yang berlaku dewasa ini adalah sebagai akibat dari ketentuan pasa1131 I.S . tersebut. Sekarang kita tidak lagi mengena1 penggol6ngan penduduk seperti pada masa penjajahan Be1anda dahulu, yang ada ia1ah perbedaan antara warga negara Indonesia dan warga negara asing saja. Warga negara Indonesia ini terdiri dari warga negara asli dan warga negara keturunan, yang da1am kaitannya dengan pasal 131 I.S. ayat 2 ab tadi warga negara keturunan ini terdiri dari : keturunan Eropa, keturunan Tionghoa, keturunan Timur Asing lainnya. Sehubungan dengan hukum perdata yang berlaku terhadap para warga negara ini maka pada mereka ini tetap berlaku hukum perdata dalam kaitannya dengan pasal 131 I.S. ayat 2 ab, yaitu bagi warga negara Indonesia asli tetap berlaku hukum adat mereka/setempat, sedangkan bagi warga negara Indonesia keturunan sesuai yang telah ditetapkan bagi mereka·; bagi keturunan Eropa berlaku hukum perdata Eropa ; bagi keturunan Tionghoa berlaku hukum perdata Eropa ditambah adopsi dan kongsi ; dan bagi keturunan Timur Asing lainnya berlaku hukum perdata Eropa sebahagian dan sebahagian lagi hukum adat mereka.
5
Seperti telah diuraikan terdahulu bahwa adalah satu upaya hukum yang dilakukan Belanda dalam mengatasi hukum perdata yang dualistis ini antara lain dengan lembaga penundukkan diri secara sukarela, dan jenis yang paling banyak dipakai adalah penundukkan kepada perbuatan hukum tertentu dan secara diam-diam. Kedua jenis p'enundukkan ini bergerak dalam bidang hukum kekayaan, seperti kita ketahui hukum kekayaan mempunyai sifat yang netral, karena itu jenis ini terutama penundukkan diri kepada perbuatan hukum tertentu mempunyai sifat yang fleksibel dan dapat dikembangkan dalam penggunaannya sesuai dengan kebutuhan, sepanjang bergerak dalam bidang hukum kekayaan. Kemungkinan penggunaan lembaga ini secara efektif terutama karena hukum kekayaan yang berlaku bagi warga-negara Indonesia asli masih dikuasai oleh hukum adatnya, sedangkan bagi warganegara keturunan sudah berlaku hukum perdata Eropa (S.l855 No.79 jo S. 1924 No. 556; S.1917 No.129 jo S. 1924 No. 557) ;
Kemajuan teknologi dewasa ini menyebabkan Indonesia makin maju dan moderen , sehingga ketentuan hukum adat dalain bidang hukum kekayaan sudah tidak memadai lagi. Sifat peijanjian da1am hukum adat yang selalu riee1, menyebabkan setiap transaksi se1alu kontan dan konkrit , hal ini sudah tidak mungkin dija1ankan 1agi da-1am dunia usaha yang besar dan moderen , segala sesuatu harus praktis dengan mengingat bahwa waktu itu sangat berharga. Karena itu untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan upaya hukum penundukkan diri secara sukarela terhadap perbuatan hukum tertentu kepada hukum perdata Eropa, selama belum ada hukum nasional yang mengatur hal ini. Karena kebutuhan akan hukum dalam bidang hukum kekayaan ini maka dewasa ini adalah wajar apabila hukum perdata · Eropa (B.W. dan W.v.K. ) dipakai dalam setiap hubungan hukum yang dilakukan oleh warganegara Indonesia Asli. Mahkamah Agung dalam hal ini menyebutkan bahwa dalam dunia perdagangan dapat diperlakukan B.W dan W.v.K. (putusan 3 Oktober 1973). Boleh dikatakan bahwa dewasa ini di kota-kota besar bahkan sudah masuk kekota kecil dalam setiap hubungan hukum lebih suka mempergunakan hukum kekayaan Barat , barangkali hanya di pedesaan masih berlaku ketentuan hukum kekayaan berdasarkan hukum ada t dengan sedikit pengaruh hukum Eropa/ Barat atau yang masih mumi.
6
,_
Secara Yuridis sebetulnya dalam bidang hukum kekayaan meskipun belum ada peraturan nasional yang mengatumya, masalah sudah dapat dipecahkan melalui S.l917 No.12 dan ketentuan dalam Yurisprudensi tadi, jadi sekarang ini Buku III B.W. dan W.v.K. sudah lazim dipakai dalam dunia usaha, sampai nanti kalau sudah terbentuk hukum perikatan dan hukum dagang nasional, yang akan menggantikan. Kita dapat menyebutkan bahwa dalam hukum kekayaan bagi warga negara asli dan warga negara keturunan meskipun di pedesaan masih ada sedikit)? , yang ada hanya perbedaan hukum dengan warganegara Asing dan untuk ini ada ketentuannya.
Dengan demikian perbedaan hukum dalam hukum perdata ini yang masih ada hanyalah di dalam bidang hukum pribadi, hukum keluarga dan hukum waris. Hal ini agak sulit untuk diatasi karena sifat dari hukum dalam bidang ini sangat sensitif, atau tidak netral seperti hukum kekayaan, disebabkan karena berkaitan erat dengan hal-hal yang sifatnya spirituil dan bersangkut paut dengan faktor yang bersifat kejiwaan yang dianut oleh masing-masing masyarakat yang jelas berbeda satu sama lain.
Keadaan hukum pribadi, hukum keluarga, dan hukum waris dewasa ini tetap seperti semula sebelum Indonesia merdeka, tetap dualistis dan terkotak-kotak dalam hukumnya masing-masing. Bagi warga negara keturunan Eropa dan Tionghoa berlaku hukum yang tercantum di dalam B.W. dengan tambahan bagi orang Tionghoa mengenai adopsi dan kongsi, bagi warga negara keturunan Timur Asing berlaku hukum waris testamenter dalam hukum Eropa dan hukum pribadi, keluarga dan waris ab-intestato dalam hukum adat masing-masing, sedangkan bagi warganegara Indonesia asli berlaku hukum pribadi , keluarga dan waris yang diatur di dalam hukum adatnya masingmasing. Keadaan ini sepenuhnya demikian sampai berlakunya U U.No. 1 tahun 1974, yang tidak hanya mengatur tentang perkawinan saja melainkan merupakan suatu usaha unifikasi dalam hukum keluarga. Dengan usaha ini dapat dikatakan telah ada hukum nasional yang mengatur tentang hukum keluarga, meskipun nanti ternyata pengaturannya hanya dalam garis besar saja dan perlu pemecahan lain
7
dalam pelaksanaannya. Yang sama sekali belum ada pengaturannya adalah dalam bidang hukum waris, dan ini akan memerlukan waktu berhubung hukum adat sendiri satu sama lain berbeda karena berbeda dalam struktur masyarakatnya, berbeda juga dalam sistem keluarga yang dianut masing-masing masyarakat itu, juga sistem kewarisannya.
B. Usaha Unifikasi Hukum Dalam Hukum Keluarga
Pad a bulan oktober 1975 diseluruh Indonesia mulai berlaku U .U. No. 1 tahun 1974 yaitu Undang-undang perkawinan. Undang-undang ini merupakan hasil usaha dalam menciptakan hukum nasional yang bertujuan untuk mencapai unifikasi hukum dalam bidang hukum keluarga.
Hazairin mengatakan bahwa undang-undang ini merupakan unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Unifikasi tersebut bertujuan hendak memperlengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan, karena dalam hal tersebut negara berhak mengatumya sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman 3).
Dengan adanya pasal 2 ayat I undang-undang perkawinan di mana keabsahan perkawinan ditentukan apabila dilaksanakan berdasarkan hukum. agama masing-masing pemeluknya, sebenamya hukum perkawinan di Indonesia belum merupakan unifikasi hukum, karena di Indonesia terdapat berbagai agama, yang berkat falsafah Pancasila dapat hidup rukun berdampingan. J adi mereka ·yang beragama Islam hanya sah perkawinannya apabila dilakukan berdasarkan ketentuan agama Islam, demikian pula dengan agama lainnya, dengan demikian tidak ada perkawinan diluar hukum agamanya masing-masing dan kepercayaan itu dan dapat diartikan bagi mereka ini tidak ada kemungkinan kawin dengan melanggar hukum agamanya. Yang dimaksud dengan hukum agama masing-masing disin1 bukan hanya hukum yang terdapat dalam kitab-kitab suci atau keyakinan
3) Prof Dr. Hazairin, SJf. 'Tinjauan mengenai U. U. Perkawinan nom or 1-1974, hal. 5, Penerbit, Jakarta, 1975.
8
yang terbentuk di gereja ataupun dalam kesatuan masyarakat tetapi juga semua ketentuan perundangan yang berlaku sebelum diundangkannya U.U. No. 1 tahun 1974 (pasal 66) dan yang akan ditetapkan kemudian. Dengan demikian tidak saja ketentuan agama yang berbeda tetapi juga ketentuan perundangan yang berlaku , yang sepanjang belum ada pengaturan yang baru dalam undang-undang perkawinan (pasal 66) masih tetap diberlakukan ketentuan sebelumnya. Jelas sebetulnya dalam hukum perkawinan yang berhasil di unifikasikan hanya dalam bidang administrastifnya saja , sedangkan dalam materi hukumnya masih tetap berlainan.
Seperti telah disebutkan terdahulu sebetulnya undang-undang perkawinan (U.U. No. 1 tahun 1974) merupakan suatu usaha unifikasi hukum dalam bidang hukum keluarga karena dalam undangundang ini tidak hanya diatur tentang perkawinan saja, melainkan juga tentang hukum keluarga meskipun pengaturannya secara garis besar saja. Yang diatur itu antara lain tentang kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, kesemuanya ini merupakan bagian dari hukum keluarga.
Ketentuan tentang hukum keluarga ini diatur secara garis besarnya saja ,'· sehingga apabila terdapat kekurangjelasan dalam bidang itu harus dicari pada hukum yang berlaku sebelumnya melalui pasal peralihan yaitu pasal 66. Meskipun pengaturan tentang hukum keluarga ini sangat sederhana dan hanya merupakan garis besar saja, namun tujuannya untuk terdapatnya unifikasi hukum dalam bidang ini agak berhasil meskipun tidak banyak.
Dengan undang-undang ini beberapa hal dalam hukum keluarga telah mendapat pengaturan antara lain misalnya : tentang status anak, terutama tentang status anak luar kawin dengan tegas disebutkan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (sesuai dengan dasar pemikiran hukum adat), disini kita lihat adanya usaha menyatukan status anak luar kawin , sebab B.W. menentukan lain. Di dalam B.W. seorang anak luar kawin baru mempunyai hubungan perdata baik dengan ibunya maupun bapaknya apabila ibunya dan /atau bapaknya mengakuinya, selama tidak ada pengakuan dari mereka tidak ada hu bungan itu. Secara teoritis seorang anak luar kawin
9
dapat tidak ber ibu maupun berbapak, apalagi hubungan dengan kerabat/ke1uarga, untuk ini diper1ukan pengesahan terlebih dahulu. Masalah ini dengan pasal 43 ayat 1 dari U.U. No. I tahun 1974 ini diselesaikan dengan menegaskan status anak tersebut yang mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, jadi si anak diberi kepastian hukum tentang statusnya. Hanya seperti telah diuraikan tadi U.U. ini hanya mengatur garis besarnya saja, pengaturan lebih lanjut ditujukan kepada peraturan pemerintah yang merupakan peraturan pelaksana yang sampai hari ini be1um ada.
Hal lain yang juga menyelesaikan masalah adalah masalah kedewasaan. Tentang kedewasaan ini kita lihat beberapa peraturan di Indonesia menentukan batasnya secara berlainan, misalnya U.U. Pemilu menentukan batas usia 17 tahun bagi mereka yang mempunyai hak pilih; setiap warga-negara yang telah berusia 17 tahun juga diwajibkan . mempunyai K.T.P.; undang-undang kesejahteraan anak menentukan batas usia dewasa 21 tahun; hukum adat sendiri tidak memakai ketentuan usia dalam kedewasaan; dan B.W. menentukan batas usia 21 tahun. Masalah ini dapat teratasi dengan memegang ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang NO. 1 tahun 1974, yaitu di dalam pasal47 ayat 1 dan pasal 50 ayat 1. Pasa1 4 7 ayat (1) menyebu tkan bahwa:
Anak yang be1um mencapai umur 18 (delapan be1as) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
Sedangkan pasa1 50 ayat ( 1) berbunyi :
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
Jelas kita Iihat disini batas usia dewasa ditentukan 18 tahun, suatu keadaan dimana seorang anak di dalam setiap perbuatan hukumnya tidak perlu 1agi dibantu oleh orang tuanya maupun oleh walinya (kecuali da1am me1akukan perkawinan bagi laki-laki 19 tahun) . 1 adi se-
10
cara umum dapat dikatakan usia dewasa adalah 18 tahun, dan ini berlaku menyeluruh bagi semua warganegara Indonesia. Dengan demikian masalah kedewasaan ini sudah diunifikasikan secara nasional. Adanya beberapa ketentuan dewasa ini yang menentukan batas usia dewasa dapat saja diberlakukan sebagai ketentuan khusus (dengan asas lex Speciale derogat lex generale .) Kalau kita kaji lebih lanjut tentang U.U.No.l tahun 1974 ini dalam usahanya menuju kekesatuan hukum bagi seluruh warganegara Indonesia, memberikan penyelesaian dualisme dalam hukum keluarga , tidak dalam satu dasar pemikiran tapi beberapa dasar pemikiran, yaitu dasar pemikiran agama, hukum adat, dan B. W. Kita lihat das~r pemikiran agama dalam kesahan perkawinan ( pasal 2 (1 ), dasar pemikiran hukum adat dalam status anak (pasal 43 (1), dasar pemikiran B.W. dalam perjanjian kawin (pasal 29 (1,2,3 ,4) , dalam hal perwalian (pasal 51,52 ,53,54) campuran. Hal yang sangat sulit diberi kesatuan pemikiran yaitu tentang harta perkawinan bila perkawinan putus karena perceraian ( pasal J7 ), disini temyata tidak ada kesatuan sebab dalam penyelesaian masalah diserahkan kembali kepada hukum masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan B.W. (penjelasan pasal 37). J adi agak tepatlah kalau dikatakan bahwa undang-undang perkawinan ini adalah satu usaha kearah kesatuan hukum , karena dalam kenyataannya tetap masih ada atau masih sukar dipersatukan . Hal ini terutama karena sifat dari hukum keluarga sendiri yang sangat sensitif/ tidak netral sehingga sulit/sukar memberikan pengaturan yang sifatnya memaksa. Kesukaran ini sebetulnya dalam menghadapai hukum yang berlaku bagi warganegara Indonesia asli yang mempunyai sistem kekeluargaan yang satu sama lain berbeda , berdasarkan keadaan dan bentuk masyarakat setempat. Hukum adat mengenal tiga jenis sistem kekeluargaan yaitu sistem kekeluargaan parental, kebapakan dan keibuan.
Dalam sistem kekeluargaan parental , kedudwkan anak baik laki-laki maupun perempuan sama kuat terhadap ibu bapaknya dan kelu arga / kerabat ibu dan bapaknya. Me reka mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap kedua orang tuanya dan kerabat kedua orang tu a mereka. Sistem kekeluargaan kebapakan , tidak demikian sebab dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan tidak sam a. anak lakj-' ,. ' ·nem punyai
1 1
hak dan kewajiban yang lebih besar daripada anak perempuan terhadap orang tuanya dan terhadap kerabat bapaknya. Disini keluarga bapak lebih dominant terhadap anak-anaknya terutama terhadap anak laki-laki.
Sedangkan dalam sistem kekeluargaan keibuan , juga ada perbedaan hak dan kewajiban antara anak laki-laki dengan anak perempuan, disini sebaliknya justru hak dan kewajiban anak perempuan ·lebih besar daripada hak dan kewajiban anak laki-laki. Keluarga ibu lebih kuat terhadap sianak te'rutama terhadap anak perempuan.
Dengan melihat sistem yang berbeda secara prinsipil ini memang akan sulit mempertemukannya dalam suatu uniflkasi hukum , dan walaupun harus diadakan ini akan memerlukan tempo yang lama dan, tidak dapat dipaksakan sebab ini bersangkut paut dengan sesuatu yang mempunyai sifat yang spirituil , yang berkaitan dengan kepercayaan.
Pemerintah dalam hal ini telah memberikan arahan yang jelas dalam politik hukumnya yang tercantum di dalam TAP MPRS No.II tahun 1960, yang menghendaki sistem parental ditetapkan bagi hukum keluarga dan waris.
Dengan ini bagi masyarakat yang menganut sistem parental jelas tidak ada masalah, juga bagi warga-negara keturunan Eropa dan Tionghoa, sebab B.W. pun menganut sistem parental. Yang akan mengalami kesulitan dalam menerima sistem ini adalah masyarakat yang dalam hukum kekeluargaannya menganut sistem kebapakan dan keibuan.
Bagi masyarakat yang menganut sistem tersebut keinginan pemerintah yang menghendaki sistem parental itu jelas bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan mereka dalam kesatuan hukumnya. lni berhubungan dengan kepercayaan akan garis yang telah ditempuh oleh para leluhumya dan bersangkut paut dengan masalah yang sangat sacraal, karena itu sangat sensitif, sangat peka. Namun demikian tidak mustahil apabila sikap ini suatu ketika akan berubah juga karena perubahan jaman, karena adanya kontak yang makin sering dengan sistem lain, terutama seringnya teJjadi kawin antar daerah yang memungkinkan terpautnya sistem-sistem tersebut.
12
Dengan bertambahnya hubungan dengan daerah lain dan makin meningkatnuya pendidikan serta kemajuan-kemajuan dalam bidang teknologi diharapkan dapat merubah sikap para anggota masyarakat yang menganut sistem segi satu ini untuk dapat secara lambat laun menerima gagasan pemerintah tersebut .
Mungkin masalah perbedaan sistem keluarga bagi masyarakat perantau dan mereka yang bertempat tinggal di kota-ko~a besar tidak akan terlalu besar, karena mereka sudah sering mengadakan kontak, tetapi yang akan mengalami kesulitan besar adalah mereka yang bertempat tinggal di desa . Dan jangan lupa jumlah mereka yang bert em pat tinggal di desa itu lebih besar daripada yang tinggal di kota.
Perubahan sistem hanya mungkin secara perlahan-lahan (evolusi), seirama dengan perubahan cara berpikir mereka. Mengingat bentuk hukum adat yang tidak tertulis dan sifatnya yang dinamis, yang selalu dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakatnya, kemungkinan . perubahan ini tidak mustahil. Perlu kesabaran dan ketelitian dalam menanganinya dan tanpa paksaan suatu paksaan akan menyebabkan hukum tersebut tidak akan sempuma dalam effektivitasnya.
13
BAB II
HUKUM KELUARGA DEWASA INI SETELAH DIUNDANGKANNYAUNDANGUNDANGNO.l TAHUN 1974BESERTA
PERKEMBANGANNY A
A. HukumPerkawinan Setelah..-Diundangkannya U.U. No.1 Tahun 1974
Sebelum berlakunya undang-undang perkawinan ini di Indonesia telah ada berbagai peraturan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku untuk berbagai golongan masyarakat di samping ketentuanketentuan yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum adat dan hukum perkawinan Islam bagi pemeluk agama Islam. Dengan demikian dahulu keadaan hukum perkawinan itu adalah sebagai beriku·t :
a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepiir dalam hukum adat;
b. Bagi orang-orang Indonesia asli 1ainnya berlaku hukum adat;
c. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlalai H.O.C.I. (S. 1933 No. 74).;
d. Bagi orang iimur Asing Tionghoa dan warga-negara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
e. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga-negara Indonesia keturunnya berlaku hukum adat mereka;
f. Bagi orang Eropa dan warganegara Indonesia keturunannya, ber-laku Kitab Undang-undang hukum Perdata.
Sedangkan peraturan-peraturan yang berlaku bagi perkawinan pada masa itu adalah :
1. Undang-undang No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan, nikah, talak, rujuk (L.N. 1954 No. 98).;
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
3. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen J awa, Minahasa dan Ambon (Huweelijks Ordonantie Christen - Indonesiers Java Minahasa dan Amboina/H.O.C.I.S. 1933 No. 74 );
14
~·--------~--------------------------------------------~
4. Peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken) S. 1998 No. 158.
Peraturan-peraturan ini berakhir berlakunya sejak diundangkannya Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 66 menyebutkan: Untuk perkawinan dan segala yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-undang ini, maka dengan berlakunya undangundang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.l933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh yang telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 1 tahun 1974 ini diseluruh Indonesia hanya ada satu ketentuan yang mengatur tentang perkawinan, yang· dalam pelaksanaannya karena be1um ada peraturan pelaksana yang menye1uruh masih dipakai ketentuan sebelumnya sepanjang yang be1um ada pengaturannya melalui pasa1 66. Meskipun pengaturan tentang perkawinan ini hanya ada satu bagi semua warganegara Indonesia, seperti te1ah dikatakan, tapi hukum perkawinannya sendiri be1um merupakan uniftk:asi hukum. Dalam hal ini Prof. Hazairin mengatakan, sebagai suatu unifi.kasi yang unik dengan menghonnati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yangbertujuan me1engkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya oleh agama atau kepercayaan karena dalam hal ini negara berhak mengaturnya. Juga dikatakan Undang-undang perkawinan belum sempurna, usaha penyempurnaan adalah tugas para ahli hukum, badan peradilan, badan legislatif di pusat dan administratif.4).
4). Prof. Dr. Hazairin "TiiUcuuln menfMGi ~ PlruwinGn No. 1 -1974 ",luJL 5, Pancrbit TintGmGI, JGlttvtG 1976.
15
Jadi dalam Undang-undang terdapat variasi hukum perkawinan berdasarkan hukum agama yang terlihat dalam kesahan perkawinan, tercantum di dalam pasal 2 ayat 1 yaitu : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan .
J adi dewasa ini dalam hukum perkawinan di Indonesia selain hukum nasional termasuk di dalamnya hukum agama (Islam, Kristen , Budha Hindu) dan kepercayaan, juga dipergunakan ketentuan perkawinan dalam kaitannya dengcm pasal 66 Undang-undang No. 1 tahun 1974, yaitu B.W. KUHPerdata , HOC!, GHR. Disyaratkannya agama sebagai kesahan suatu perkawinan sudah tentu menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya, yaitu apabila pasangan mempelai ini terdiri dari pasangan yang berbeda agamanya, karena undang-undang nasional tidak mengatur tentang kemungkinan ini. Ketiadaan pengaturan hukum antar agama ini masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, apakah memang maksud undang-undang ini tidak menghendaki teJjadinya perkawinan antar agama antara pasangan suami isteri itu , dengan kata lain undang-undang ini menghendaki teJjadinya kesatuan hukum dalam keluarga. Jauh-jauh sebelumnya pembuat undang-undang sudah harus dapat memperkirakan akan kemungkinan teijadinya hubungan antar agama ini, sebab tidak mungkin atau sukar sekali memaksakan keyakinan seseorang kepada orang lain. _ Apabila dibiarkan kepada pasangan ini untuk menyelesaikan sendiri masalah perbedaan agama ini satu hal yang dikhawatirkan teJjadi yang akan merupakan suatu exes, yaitu salah satu pihak akan purapura meleburkan diri ke agama pihak lainnya, hanya untuk dapat melangsungkan perkawinan saja, dan ini akan lebih rawan dibandingkan dengan kawin antar agama sendiri.
Adanya masalah antar agama inijelas menunjukkan ketiadaan kesatuan dalam hukum perkawinan, apalagi dalam pelaksanaannya masih diberlakukan hukum adat, dan B.W. (pasal 37) di samping hukum agama.
Kesahan berlandaskan hukum agamajuga menjadi masalah bagi mereka yang tidak beragama (atheist), apakah mereka ini masih dimungkinkan melangsungkan perkawinan berdasarkan Undang-undang perkawinan nasional ini ?
16
Pengertian perkawinan.
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 ).
Sahnya perkawinan.
Pasal 2 (1) : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu .
(2) : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan per-undangan yang berlaku.
Mem baca pasal I dan 2 ( 1) kita dapat mengetahui bahwa dew as a ini di Indonesia betlaku hukum perkawinan yang berdasarkan hukum agama. Agama dalam Undang-Undang ini memegang peranan penting dalam kesahan suatu perkawinan. Dalam penjelasan pasal itu disebutkan tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. J adi bagi seorang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agama Islam, demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Hukum Agama yang dimaksud bukan hanya hukum agama yang terdapat di dalam Kitab Suci dan keyakinan yang terbentuk dalam Gereja, Pura. Vihara atau dalam kesatuan masyarakat saja tetapi juga ketentuan-ketentuan perundang-undangan (yang masih berlaku) baik yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang ini maupun yang akan ditetapkan kemudian. (pasal 66 dan beberapa pasal yang menunjuk kepada peraturan yang akan dibentuk). Peraturan lama yang belum mendapat pengaturan dalam Undang-undang ini masih tetap di pakai (pasal 66 dan penjelasan umum).
Dengan ini ketentuan hukum adat yang menyangkut perkawinan dan yang bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan dalam bidang hukum agama tidak b~rlaku lagi.
Undang-undang ini membuat perubahan besar bagi mereka terhadap siapa berlaku K.U.H.Perdata yaitu dalam arti dan kesahan per-
17
kawinan mereka. Sebab K.U.H.Perdata menganggap perkawinan hanya masalah perdata saja dan tidak bersangkut paut dengan agama yang dipeluknya. (Pasal 26 B.W.) Scholten menyebut : Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara. J adi disini yang menentukan kesahan suatu perkawinan adalah negara.
Bagi mereka orang Indonesia asli yang beragama Islam tidak ada perubahan besar, karena sejak dahulu hukum Islam telah diresepsi kedalam hukum adat mereka, sejak dahulu perkawinan dan kesahan perkawian antara mereka dilandaskan kepada hukum Islam. Hanya kalau dulu hukum Islam merupakan resepsi hukum sekarang sudah merupakan hukum positif yang merupakan sumber hukum . .
Pasal 2 (2) menyebutkan tentang pencatatan perkawinan, bahwa setiap perkawianan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa pencatatan ini sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan, seperti kelahiran dan kematian, yang dinyatakan dalam surat k.eterangan yang resmi.
Dapat kita tarik kesimpulan bahwa pencatatan itu mempunyai tujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain sekitarnya. Dengan surat resmi ini dapatlah suatu perkawinan ini dibenarkan atau dicegah dengan suatu perbuatan lain.
Pencatatan perkawinan ini tidak menentukan sahnya perkawinan hanya menyatakan bahwa perkawinan itu ada dan terjadi, jadi hanya bersifat administratif, sebagai bukti bahwa telah terjadi perkawinan.
Asas Perkawinan.
Dalam Undang-undang ini pada asasnya dianut asas monogami, dimana seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (pasal 3 ( 1 ).
Disini disebutkan pacta asasnya sebab pada ayat 2 di sebutkan kernungkinan bagi seorang pria untuk beristeri lebih dari satu. Yaitu apabila dikehendaki, dan diperkenankan oleh agarnanya, tapi hal ini baru diperkenankan apabila syarat-syaratnya dipenuhi dan atas pu-
18
tusan pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Agama). Syarat-syarat ini tercantum di dalam pasal4 (2) dan pasal 5 (1 ), yaitu :
Pasa14 (2) :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di-sembuhkan.
c. lsteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 (1) : Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan sehubungan yang dimaksud da1am pasal 4 ini juga ada syarat-syarat :
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya.
Asas perkawinan monogami ini tidak sama dengan asas monogami dalam K.U.H.Perdata sebab masih dimungkinkan adanya penerobosan terhadap asas ini, apabila buku agamanya memperkenankan dan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Undang-undang.
Syarat-syarat Perkawinan.
Syarat perkawinan yang terdapat di dalam pasal 6 s/d 11. Syarat-syarat itu adalah :
1. Perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai. (lni sebenamya untuk menghindarkan terjadinya kawin paksa).
2. Perkawinan hanya diizinkan jika pria telah berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. (Untuk ini dapat ~imintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita). _ Pembatasan ini dimaksudkan agar suami isteri telah masak jiwa raganya agar tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia yang kekal dapat tercapai dan tidak berakhir pada perceraian. Perkawinan juga mempunyai hubungan dengan inasa1ah kependudukan, dan ternyata bahwa usia muda bagi seorang wanita rriengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.
19
- ·~·
3. .Seorang yang masih terikat dalam suatu perkawinan tidak dapat melakukan perkawinan lagi kecuali dalam hal pasal 3/4 tentang poligami.
4. Bagi seorang wanita yang putus perkawinan dan akan menikah lagi berlaku masa tunggu. Waktu tunggu itu adalah sebagai berikut :
a. Putus karena kematian, waktu yang ditunggu adalah 130 hari. b. Putus karena cerai waktu tunggu yang masih haid adalah 3 kali
suci sekurang-kutangnya 90 hari. c. Apabila putus perkawinan dalam keadaan hamil waktu tunggu
adalah sampai melahirkan. d. Tenggang waktu bagi yang putus perkawinan karena cerai di
hitung sejak putusan pengadilan jatuh, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian dihitung sejak kematian suami.
(hal ini penting untuk menentukan kehamilan yang terjadi selama perceraian), untuk menghindarkan confusio sanguinis/onzekerheid van de afstamming (kekacauan darah).
Izin Perkawinan.
Seorang yang akan melangsungkan perkawinan yang belum mencapai usia 21 tahun hams mendapat izin dari orang tua/walinya. (6:2). Apabila orang tua/wali telah tiada atau mereka berselisih pendapat atau tidak menyatakan pendapatnya maka izin disini diberikan oleh Pengadilan di daerah hukum yang akan melangsungkan perkawinan itu. Ini berarti seorang yang telah berusia 21 tahun ke atas tidak memerlukan lagi izin dari orang tua/wali. (bandingkan dengan KUHPerdata, 30 tahun) dengan berlakunya Undang-Undang No. I tahun 1974 ini, maka bagi semua warga negara Indonesia isteri kawin diperlukan sebelum usia 21 tahun.
Larangan Perkawinan (Pasal 8).
Perkawinan dilarang antara :orang yang :
a. Berhubungan · darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas;
20
b. Berhubungan darah dalam garis menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya. ;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ Bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan ;
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dati seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Seperti juga dalam KUHPerdata larangan perkawinan ini berdasarkan hubungan kekerabatan dan periparan Guga dalam hukum adat), yang harus dipandang dari sudut biologis dan tidak dari segi yuridis. J adi meskipun secara yuridis tidak ada hubungan kerabat/ipar, tapi secara biologis ada, maka antara mereka tidak diperkenankan untuk kawin.
Pencegahan Perkawinan. (Pasal13).
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi persyaratan, yaitu dalam hal : a. Calon mempelai tidak memenuhi persyaratan usia seperti tercan
tum dalam pasal 7 ( 1 ), tidak ada izin orang tua/wali bagi yang berusia 21 tahun.
b . .Ada larangan untuk melangsungkan perkawinan seperti tercantum dalam pasal 8.
c. Calon mempelai masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain (pasal9) kecuali dalam kaitan pasal3-4.
d. Suami/isteri yang telah bercerai dua kali, untuk kawin lagi ke-cuali kalau hukum agamanya menentukan lain. (pasal 1 0).
Pencegahan perkawinan ini diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan. Pencegahan ini juga dapat dicabut dengan putusan pengadilan, atau dengan menarik kern bali permohonan pencegahan itu , dan perkawinan tidak dapat dilangsungkan selama pencegahan itu belum dicabut.
21
Yang dapat melakukan pencegahan perkawinan : (Pasall4).
a. Keluarga dalam garis lurus ke atas dan kebawah,
b. Saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak yang berkepentingan.
Oalam hal ini juga berlaku apabila salah satu calon mempelai berada di bawah pengampuan, maka dapat dicegah oleh pihak eaton mempelai satunya (pasal 14 (2).
Apabila setelah ada pencegahan ini perkawinan tetap di langsungkan maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Pencegahan perkawinan ini (KUHPerdata menyebut dengan stuiten des huwelijk) atau stuiting ini adalah suatu usaha untuk menghindari adanya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Batalnya Perkawinan.
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi persyaratan (pasal 22).
Ketentuan ini dapat dilihat dalam hal :
a. tidak memenuhi persyaratan untuk kawin.
b. karena masih terikat dalam suatu perkawinan dengan yang lain.
c. perkawinan yang dilangsungkan di muka pejabat yang tidak ber-wenang.
d. wali nikah yang tidak sah.
e. tanpa dua orang saksi.
f. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (apabila ancaman berhenti masih hidup sebagai suami/isteri dalam jangka 6 bulan dan haknya tidak dipakai, hak ini gugur).
g. salah sangka mengenai diri suami/isteri (apabila pihak-pihak telah menyadari adanya salah sangka ini tetapi tetap hidup sebagai suami/isteri dan dalam jangka 6 bulan tidak mempergunakan haknya untuk membatalkan perkawinan itu maka haknya ini juga gugur.
22
Akibat hukum atas batalnya suatu perkawinan.
a. batalnya perkawinan dimulai sejak adanya keputusan Pengadilan.
b. keputusan ini tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan itu.
c. suami/isteri yang beritikad baik kecuali atas harta bersama kalau ada perkawinan lain yang lebih dahulu.
Yang dapat mengajukan pembatalan:
a. para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami/isteri.
b. suami atau isteri.
c. pejabat yang berwenang.
d. pejabat yang ditunjuk.
e. setiap orang yang berkepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan itu.
f. jaksa-(pasal 26: 1).
Perjanjian perkawinan.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 ini memuat ketentuan tentang perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dan isinya akan berlaku pula kepada pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini tersangkut (pasal 29). Dalam Undang-undang ini tidak d.ijelaskan perj anjian apa saja dan dalam bidang apa, hanya disitu disebu tkan bahwa perjanjian tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama, kesusilaan (29:2). Perjanjian tidak dapat dirubah selama perkawinan berlangsung, kecuali pihak-pihak bersetuju mengadakan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. Disini dapat dilihat bahwa Undang-undang ini tidak mengatur kelanju tan dari ketentuan perjanjian ini bahkan dalam penjelasannya hanya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian disini bukan /tidak termasuk talak ta'lik. Jadi dengan demikian untuk mengatur perjanjian dan bidang apa yang dapat diperjanjikan kita hams kembali kepada ketentuan perundangan atau peraturan/juga ketentuan hukum adat apabila ada, yang berlaku sebelum berlakunya Undang-
23
undang ini. Dasar hukum yang dipakai adalah pasal 66 Undangundang No.1 tahunl974.
Pada umumnya dalam hukum adat tidak dikenal adanya perjanjian dalam perk-awinan. Dalam Hukum Islam ada yang disebut talak ta'lik tapi seperti disebutkan dalam penjelasan dari undang-undang ini perjanjian itu tidak termasuk talak ta'lik. Untuk ini kita melihat kedalam ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata/B.W. Dalam KUHPerdata ada ketentuan tentang perjanjian dan diatur secara menyeluruh. Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata yaitu : perjanjian yang dibuat oleh dua orang suami isteri untuk mengatur akibat perkawinan dalam bidang harta kekayaan.
Meskipun perjanjian perkawinan ini menyangkut harta kekayaan tapi perjanjian ini lebih bercorak hukum kekeluargaan (familie rechtelijk) sehingga tidak semua ketentuan hukum perjanjian dari BK III KUHPerdata berlaku tehadapnya, misalnya tidak dapat melakukan pembatalan aksi karena kekhilafan. Perjanjian perkawinan ini pada umumnya dibuat dalam hal -terdapatnya jumlah harta kekayaan yang lebih besar pada satu pihak, yang maksudnya untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan persatuan harta kekayaan seperti tercantum dalam pasall09 KUH Perdata. Dalam perjanjian ini dapat pula pihak ketiga ikut serta, sebab pihak ketiga ini dapat memberikan hadiah perkawinan kepada mereka dengan ketentuan bahwa hadiah ini tidak akan masuk dalam percampuran harta kekayaan. Jadi apabila dewasa ini ada pasangan mempelai yang ingin membuat perjanjian kawin, dapat berpedoman kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata/B.W. tentang segala persyaratan dan caranya, sebelum ada ketentuan yang khusus mengatur pelaksanaannya. Tapi sebenarnya di dalam praktek hanya sedikit yang mengadakan perjanjian kawin, dan biasanya yang melakukannya adalah warga negara Indonesia keturunan, yang dengan melalui pasal 66 dapat memenuhi kebutuhan hukumnya.
Kalau kita membaca isi pasal 29 (1,2,3,4) dan kita baca selanjutnya penjelasan dari pasal terse but, terlihat jelas ketentuan ini didasari
24
ketentuan tentang petjanjian kawin yang terdapat di'dalam KUHPerdata/B.W. , dan memang biasanya yang menghendaki tetjadinya perkawinan dengan petjanjian dalam harta kekayaan ini adalah mereka yang terhadapnya berlaku ketentuan KUHPerdata/B.W. Hal ini dimungkinkan karen a dalam KUHPerdata/B. W. perkawinan adalah suatu hubungan hukum perdata, sedangkan di dalam hukum adat perkawinan adalah hubungan hukum yang bersangkut-paut dengan sifat yang sacraal, sesuatu yang suci, jauh dari pemikiran yang sifatnya kebendaan, perkawinan tidak pemah disangkut pautkan dengan harta kekayaan para pasangan mempelai itu.
Apabila dewasa ini dengan makin majunya masyarakat dan makin bertambah banyaknya hubungan dengan dunia luar, warga negara Indonesia asli menghendaki perkawinan mereka disertai petjanjian kawin, maka sebelum ada aturan yang mengatur tentang tata cara dan pelaksanaannya dapat kiranya memakai pedoman kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata/B.W. tentang petjanjian kawin.
Hak dan kewajiban suami isteri.
Undang-undang perkawinan nasional mendudukkan suami isteri dalam kewajiban memikul tanggung jawab dalam rumah. tangga secara sejajar, artinya baik suami maupun isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama didalam menegakkan rumah tangganya (pasal 30). Kedudukan yang sejajar an tara suami isteri ini terbaca jelas di dalam pasal berikutnya yaitu pasa131 (1 ,2,3). Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang (1) dan masingmasing pihak berhak melakukan perbuatan hukum (2). Disini hukum adat melandasi ketentuan ini, dimana hukum adat memberikan hak dan kewajiban yang luas terhadap para isteri. Di dalam hukum adat seorang isteri dapat melakukan perbuatan hukum atas harta miliknya pribadi dan juga terhadap harta perkawinan setelah mendapat persetujuan dari suaminya. Pasal 31 UndangUndang No.1 tahun 1974 ini telah menghapuskan pemikiran .dalam KUHPerdata/B.W tentang kedudukan hukum seorang isteri/wanita kawin (pasal 108 B. W.). Sejak berlakunya undang-undang perkawinan (Un.dang-Undang No. 1 tahun 1974) ini diseluruh Indonesia tidak
25
lagi ada perbedaan di dalam status antara suami dan isteri, semua isteri/wanita kawin dapat melakukan perbuatan hukum tanpa perwakilan maupun bantuan dari suami mereka, mereka dapat berdiri sendiri sebagai subyek hukum.
Pasal 32 dan 33 mengatur apa yang hams dilakukan suami isteri selama perkawinan berlangsung, tentang penentuan tempat kediaman dan kewajiban untuk saling menghormati dan saling memberi bantuan lahir bathin. Suami berkewajiban untuk melindungi dan memberikan segala keperluan hidup kepada isteri sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ( 1) ) dan isteri hams mengurus rumah tangga (2) dan apabila suami/ isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan di Pengadilan.
Harta Benda Dalam Perkawinan.
Tentang harta benda dalam perkawinan diatur di dalam pasal35, 36, 37. Pengertian ten tang harta benda perkawinan ini sesuai dengap pengertian harta perkawinan di dalam hukum adat yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama pasal 35 (1) ). Di dalam ayat 2 disebutkan bahwa harta bawaan masing-masing suami-isteri tetap dibawah pengusaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal36 menunjukkan hak suami isteri atas harta bersama dan atas harta bawaan, juga seperti dalam pemikiran hukum adat, yaitu tentang harta bersama suami/isteri dapat bertindak atas persetujuan bersama (disini isteri ikut pula menentukan) dan tentang harta bawaan tetap seperti juga dalam hukum adat dalam penguasaan masing-masing pihak.
Pasal 37 menyebutkan apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Di dalam penjelasan dari pasal tersebut dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan hukum masing-masing itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Dengan demikian apabila terjadi perceraian maka harta perkawinan/harta bersama itu akan dibagi berdasarkan hukum keluarga yang berlaku terhadap masing-masing atau hukum agama. Bagi warga-negara Indonesia asli dapat dipergunakan hukum agama atau hukum adat-
26
nya masing-masing, jadi pembagian di dasarkan kepada kehendak pihak-pihak akan dipergunakan hukum agama atau hukum adat. Apabila hukum adat yang dipakai dalam hal ini tentu tidak ada masa-
. lah apabila kedua pasangan berasal dari satu hukum keluarga yang sama, artinya apabila kedua pasangan berasal dari sistem keluarga yang sama, artinya apabila kedua pasangan berasal dari sistem keluarga yang berbeda memerlukan satu patokan lain, mungkin jalan musyawarah dapat dipakai sebagai jalan keluar. Hal ini perlu diperhatikan mengingat hukum adat di Indonesia beraneka ragam dengan sistern keluarga yang berbeda, sistem mana terdiri dari sistem parental, kebapakan dan keibuan.
Bagi warga negara keturunan Eropa dan Tionghoa, dalam hal ini dapat dipergunakan hukum agama apabila pihak-pihak menghendakinya, atau hukum keluarga yang berlaku terhadap mereka yaitu hukum perdata Eropa/Barat yang tercantum di dalam KUHPerdata/ B. W. Hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 3 7 yaitu hukum agama atau hukom-hukum lainnya disini yang dimaksudkan dengan hukumhukum lainnya adalah hukum keluarga yang berlaku terhadapnya. Begitu pula warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya terhadapnya apabila terjadi perceraian akan diatur harta perkawinannya berdasarkan hukum agama atau hukum keluarga yang berlaku terhadapnya yaitu hukum keluarga adatnya yang berasal dari negara asalnya.
Membaca pasal 37 ini jelas keadaan hukum perkawinan dalam bidang harta perkawinan ini dikembalikan lagi oleh undang-undang kepada hukum keluarga yang beraneka yang sebelum berlakunya Undang-undang No. l tahun 1974 telah berlaku dinegeri kita. · Keanekaan hukum yang mengatur harta perkawinan ini dapat dipakai sebagai salah satu bukti belum adanya kesatuan hukum/unifikasi hukum dalam hukum perkawinan. Dan keadaan ini akan berlangsung terns sampai berhasil dibentuknya hukum keluarga nasional yang akan datang.
Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya.
Pasal 38 Undang-undang No. l tahun 1974 menyebutkan perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, perceraian, keputusan Pengadilan.
27
l
Akibat hukum putusnya perkawinan karena kematian termasuk di dalam ruang lingkup hukum waris.
Pasal 39 menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan, setelah perdamaian yang diusahakan tidak berhasil (1), sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa untuk terjadinya perceraian harus ada cukup alasan dan ayat (3) menyebutkan bahwa tata cara perceraian diatur dalam peraturan tersendiri, peraturan tersebut yaitu PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Tata cara perceraian ini diatur di dalam pasal 14 sampai dengan pasal 36 P.P. No. 9 tahun 1975. Alasan yang diperkenankan untuk terjadinya perceraian disebutkan di dalam pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan .yang sah atau hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau pengaruayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selain dari alasan-alasan ini tidak diperkenankan menjadi alasan untuk terjadinya perceraian, dengan demikian Undang-undang perkawinan mengharapkan akan berkurangnya perceraian dengan mempersulit alasan, dan apabila alasan terpenuhi biasanya diusahakan mendamaikan pihak-pihak terlebih dahulu.
Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia.
28
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian.
Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam pasal 41 (a,b,c,). Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya untuk kepentingan si anak, apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak Pengadilan dapat memberi keputusan, (a); dan bapak bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan anak, dan kalau ia tidak mampu ibu dapat memikulnya. (b); juga terdapat bekas suami diwajibkan untuk memberi biaya hidup kepada bekas isteri (c).
Dalam pasal ini dapat dilihat kesamaan kedudukan suami isteri dalam perkawinan, kepada mereka diberikan tanggung jawab yang sama terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya meskipun mereka telah bercerai.
B. Hukum Keluarga Pada Umumnya Setelah Berlakunya UndangUndang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).
Hukum keluarga/kekerabatan, mengatur segala sesuatu yang menyangkut kedudukan hukum dan setiap hubungan hukum dalam lingkungan/ruang lingkup keluarga yang meliputi : status anak, hubungan periparan-/persemendaan, hubungan anak dengan orang tuanya (ter1iadap diri sianak dan terhadap harta kekayaannya), hubungan anak dengan kerabatnya, tentang perwalian, pengampuan dan pengangkatan anak.
Di dalam Undang-undang perkawinan yang telah mendapat pengaturan dalam garis besarnya adalah tentang status anak, hak .dan kewajiban ·antara anak dengan orang tua (yang merupakan bagian dari hubungan anak dengan orang tua), dan tentang perwalian sedangkan bidang lainnya tidak ada peraturannya.
Tiadanya pengaturan dalam bidang tadi dan di dalam pelaksanaan hukum keluarga yang telah ada pengaturannya tetapi tidak lengkap/ tidak jelas dapat dipakai ketentuan yang selama ini berlaku sejauh yang belum diatur di dalam undang-undang perkawinan ini (pasal 66) jadi kembali kepada pluralisme lagi. · Demikian pekanya hukum keluarga ini sehingga kalau terbentur kepada perbedaan sistem, undang-undang terpaksa mengembalikan
29
penyelesaiannya kepada hukum semula, sebab benturan-benturan ini akan menimbulkan sikap antipati dan keresahan. Bahwa dengan undang-undang perkawinan (Undang-undang No. 1 tahun 1974) te1ah diberikan arahan dalam pengaturan hukum ke1uarga (sesuai dengan politik hukum pemerintah dalam TAP MPRS No. II tllhun 1960) tidak berarti semua masalah hukum ke1uarga telah terselesaikan. N amun demikian dalam menerapkan hukum keluarga dewasa ini kita tidak bisa terlepas dari dasar hukum yang te1ah digariskan .bagi semua warga negara Indonesia yaitu memakai dasar Undangundang No. 1 tahun 1974, yang nanti dalam penerapannya memakai pasal 66 kembali kepada ketentuan sebelum berlakunya undangundang ini, sampai pada suatu saat nanti kalau dapat dihasilkan satu ketentuan nasional dalam hukum keluarga yang dapat diterima oleh semua lingkungan rriasyarakat yang berbeda sistem itu. Telah dikatakan bahwa ~eskipun sifat hukum keJuarga_ sangat sensitif tidak mustahil suatu ketika akan dapat berubah d~ dapat menyelaraskan diri dengan politik hukum pemerint'!h yel!_lg mel!_ghendaki sistem parental berlaku diseluruh Indonesia, karena masyarakat selalu bergerak dan hukumnya pun akan mengikuti gerakan ini seirama dengan perkembangan masyarakatnya. Mungkin bagi generasi berikut entah yarig keberapa perbedaan sistem ini tidak akan merupakan halangan lagi dan batas an tara sistem ini akan memudar tidak lagi merupakan garis yang tebal yang memisahkan sikap suatu sistem dengan sistem lain. Dapat dikatakan undang-undang perkawinan ini telah berusaha menciptakan satu unifikasi hukum keluarga meskipun tidak berhasil, dan ini dapat difahami karena kesulitan-kesulitan yang te1ah disebutkan tadi. Apabila kita se bu tkan sam a sekali tidak ada hasilnya juga tidak benar, sebab ada beberapa hal yang dapat diatur secara yuridis dan dapat diterima semua pihak. Seperti diuraikan dimuka dalam bab sebelumnya antara lain yang dihasilkan undang-undang perkawinan ini adalah : tentang batas usia dewasa, tentang status anak, tentang hak dan kewajiban orang-tua.
Tentang status anak.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 mengatur tentang status anak di dalam pasal42, 43, dan pasal44.
30
Undang-undang ini mengenal dua macam status anak yaitu anak sah dan anak luar kawin.
Siapa yang dimaksud dengan anak sah tercantum di dalam pasal 42, yang menyebutkan bahwa : Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawipan yang sah. Undang-undang tidak menyebutkan adanya suatu tenggang waktu untuk dapat menentukan kesahan seorang anak (sebagaimana kita ketahui di dalam Hukum Islam mau:pun di dalam KUHPerdata ada tenggang waktu kehamilan seorang ibu untuk dapat menyatakan kesahan anaknya, sedangkan hukum adat tidak mengenal tenggang waktu) hanya menyebut didalam atau' akibat perkawinan yang sah. Disini disebutkan sebagai akibat perkawinan yang sah, dapat disimpulkan pula bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinanpun da.Q~t men·adi anak ang sah~alal!__kedua orang tuanya kemudian menikah (tentang pengesahan ini tidak disebutkan di dalam undangundang tetapi melalui pasal 66 bagi mereka terhadap siapa berlaku B.W. dapat melihat ketentuan di dalam B.W./KUHPerdata). Juga dapat diartikan anak itu lahir akibat satu perkawinan yang sah antara sepasang suami isteri, meskipun ternyata sianak secara biologis bukan anak dari suami yang mengawini ibu sianak (ini dimungkinkan dalam hukttm adat, nikah tambelan). Di dalam hukum adat sendiri tentang kesahan anak ditentukan oleh satu perkawinan yang dilakukan sebelum anak itu lahir. Hukum adat tidak mengenal tenggang waktu untuk dapat menentukan kesahan seorang anak seperti yang terdapat di dalam hukum Islam maupun. KUHPerdata/B.W. , hukum adat hanya mensyaratkan anak itu harus lahir dimana orang tuanya dalam keadaan kawin.
Tentang kesahan ini jelas hanya dapat dibuktikan kesahan secara formil, pembuktian yang sebenarnya bahwa anak itu benar-benar · anak yang dihasilkan dari perkawinan ibu bapaknya adalah sangat sukar, sebab penilaian ini bersifat moril. Mengenaf kesahan anak yang berdasarkan keyakinan yang hakiki ini memang tidak dapat di jadikan sandaran, karena itu undang-undang biasanya hanya berpegang kepada keadaan yang terlihat dari luar saja. Dapatlah diartikan bahwa yang disebut dengan anak sah ini belum tentu sah dalam arti yang sempurna. Tentang anak sah yang sempurna ini H.F .A. Vollmar mengatakan :
31
Sah dalam arti yang sempuma hanyalah bahwa sianak menurut darahnya adalah keturunan dari kedua orang tua yang kawin itu 4).
Jadi memang sulit kalau harus dipegang kepada keyakinan secara pribadi itu. Sedangkan status anak luar kawin tercantum di dalam pasal 13 ayat (1) dan (2). Pasal 43 (1) menyebutkan: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. lsi pasal ini sesuai dengan dasar pemikiran hukum adat yang memberikan hak dan kewajiban si anak terhadap ibunya dan keluarga ibunya. Disini si anak diberi status keperdataan yang jelas meskipun hanya dengan ibu dan keluarga ibu (didalam KUHPerdata/B.W. anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak/ ibu yang mengakuinya saja, jadi dllnungkinkan seorang anak luar kawin tidak diakui oleh keduanya baik oleh ibunya maupun oleh bapaknya) dan ketentuan ini karena merupakan hukum nasional ber-1aku bagi semua warganegara Indonesia baik asli maupun keturunan. Undang-undang perkawinan dengan demikian memberikan status yang jelas dan pasti bagi seorang anak luar kawin.
Di dalam ayat 2 dari pasal tersebut dikatakan bahwa kedudukan anak tersebut akan diatur dengan peraturan pemerinta!I, tapi sampai sekarang ketentuan itu belum ada. Pasal 44 mengatur hak seorang suami untuk menyangkal kebapakan·nya atas seorang anak yang dilahirkan isterinya kalau temyata dan dapat dibuktikan bahwa isterinya telah berzina (pasal 44 (1) ).
Tentang status anak ini selama belum ada peraturan yang merupakan peraturan pelaksanaannya tetap dipakai ketentuan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang melalui pasal 66 kembali kepada ketentuan sebelumnya yang berlaku bagi masing-masing.
4) B.F.A. VollmllT," Pengrmtar rtudi Hukum Perdilta, (Inleiding tot de rtudie van het Nederlt111d.J Burgerlifk Recht), terjemtzhan I.S. Adiwimartll, hal. 122.
32
Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.
Hak dan kewajiban orang tua dan anak ini merupakan bagian dari hubungan orang tua dan anak. Dalam bagian ini diuraikan hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya dan juga tentang hak dan kewajiban anak terhadap orang tuanya.
Hubungan orang tua dengan anaknya meliputi hak/kekuasaan dan kewajiban orang tua terhadap diri si anak, hak/ kekuasaan dan kewajiban orang tua terhadap harta benda si anak, dan hak dan kewajiban anak terhadap orang tuanya. Yang mendapat pengaturan dalam undang-undang perkawinan ini tidak menyeluruh mengenai hale dan kewajiban orang tua dan anaknya, terutama mengenai hale dan kewajiban orang tua terhadap harta benda si anak hanya satu pasal yang menyinggungnya.
Disin~ pun terlihat sekali bahwa pengaturan dalam hukum keluarga ini terlalu sederhana, seakan-akan hanya disinggung saja, sehingga semuanya ini akan menim bulkan kekurangjelasan. Dalam pelaksanaannya nanti juga harus melalui pasal 66 dan kern bali melihat ketentuan sebelumnya yang terdapat dalam hukum masing-masing lagi, setarna 9elum ada ketentuan yang mengatumya.
Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak ini dalam Undangundang No. 1 tahun 1974 diatur di dalam pasal45, 46, 4 7, 48 dan 49. Tentang hak dan kewajiban orang tua terhadap diri si anak diatur da1am pasal 4 5 dan 4 7.
Pasill 45 berbunyi:
( 1 ). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terns meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus.
lsi pasal ini memuat kewajiban orang tua terhadap diri anaknya untuk memberikan pemeliharaan dan pendidikan yang baik, kewajiban mana melekat pada orang tua itu sampai si anak dapat berdiri sendiri
33
meskipun anak tersebut sudah kawin. Jelas isi pasal ini berlandaskan pemikiran dalam hukum adat yang membebankan kepada orang tua atas pemeliharaan dan pendidikan anaknya sampai ia men tas/mencar.
Di dalam ·pasal 47 disebutkan hak orang tua untuk memegang kekuasaannya sebagai orang tua terhadap anaknya yang berada di bawah umur atau. be1um kawin, selama ia tidak dicabut kekuasaannya (1), dan berhak mewakili si anak dalam setiap perbuatan hukum di dalam setiap perbuatan hukum di dalam maupun di luar Pengadilan.
Pasal .47 yang memberikan hak kepada orang tua untuk memegang kekuasaan anak ini merupakan juga pasal tentang batas usia dewasa Quga pasal 50), yaitu 18 tahun. Berdasarkan pasal ini seorang anak yang belum berusia 18 tahun dalam setiap perbuatan hukumnya selalu harus diwakili oleh orang tuanya, kecuali dalam melakukan perkawinan bagi anak laki-laki disyaratkan 19 tahun. Syarat usia kawin bagi anak laki-laki ini memang merupakan satu keganjilan dimana ia berdasarkan ketentuan secara yuridis te1ah cakap hukum tapi untuk melakukan perkawinan belum (ini mungkin di kaitkan dengan program pemerintah dalam keluarga berencana).
Secara umum dengan membaca isi pasal 47 (1,2) dan pasal 50 tentang perwalian telah ada pegangan untuk menentukan usia dewasa dan apabila secara khusus diperlukan ketentuan usia tertentu (seperti adanya beberapa peraturan yang berlaku sekarang misalnya dalam : Undang-Undang Tentang Kesejahteraan anak/Undang-Undang No. 4 tahun 1979, Undang-Undang Pemilu dan sebagainya) dapat dipergunakan dengan berdasarkan asas lex speciale derogat lex generale.
Hak dan kewajiban orang tua terhadap harta anaknya.
Mengenai hak dan kewajiban orang tua terhadap harta benda anaknya disinggung di dalam pasal 48, dimana orang tua tidak diperkenankan untuk memindahtangankan ataupun menggadaikan harta benda si anak kecuali apabila kepentingan si anak memerlukannya. Di dalam undang-undang ini tidak disebutkan apa yang merupakan hak dan sejauh mana hak orang tua terhadap harta benda si anak terse but. Apa yang tersebut di dalam pasal 48 dalam pelaksanaannya memerlukan ketentuan yang lebih lanjut dan jelas.
34
Ten tang hak dan kewajiban anak.
Pasal 46 menyebutkan bahwa : Anak w~ib menghormati dan mentaati kehendak orang tua mereka ( 1 ). Apabila telah dewasa ia wajib memelihara berdasarkan kemampuannya (2). Tentang pasal 46 ini temyata hanya memuat kewajiban si anak terhadap orang tuanya saja, sedangkan haknya terdapat di dalam pasal 45, diman~ si anak berhak mendapat pemeliharaan dan pendidikan yang baik dari orang tua mereka, sampai ia dapat berdiri sendiri atau kawin. Mengenai hak dan kewajiban anak ini pun memerlukan kejelasan yang lebih lanjut. Pasal 49 menyebutkan tentang pencabutan hak/kekuasaan orang tua terhadap anaknya. . Seorang dapat dicabut kekuasaannya terhadap anaknya apabila ia : a. sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, b. ia berkelakuan buruk sekali (pasal 49 ( 1 ). MeskipuJ! hak/kekuasaannya dicabut ia tetap berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan bagi anaknya itu (2).
Dengan demikian undang-undang perkawinan ini mengenal pencabutan kekuasaan orang tua dalam kaitannya dengan pemeliharaan yang tidak baik bagi anaknya. Ketentuan tentang pencabutan ini juga sangat sederhana sehingga memerlukan pengaturan lebih lanjut, dan sebelum ada pengaturan yang lebih lanjut ini dalam pelaksanaannya dewasa ini harus melihat kepada peraturan yang berlaku sebelum Undang-Undang No.1 tahun 1974 berlaku melalui pasal66. Sebelum berlakunya undang-undang perkawinan ini ketentuan pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anaknya dikenai dalam KUHPerdata/B.W. , sedangkan hukum adat tidak mengenalnya, jadi apabila mau melaksanakan pencabutan kekuasaan orang tua ini harus melihat kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata/B.W.
Ten tang perwalian. z/ .
Perwalian adalah pemeliharaan seorang anak yang belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya lagi, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh undang-undang 5).
5). Prof Subekti, SH. "Pokok-pokok dari Hukum Perdata, hal. 44 cetakan ke ll, penerbit PT.In termasa.
35
Di dalam undang-undang perkawinan ini tentang perwalian diatur di dalam pasal50, 51, 52,53 dan 54, selain itu adaperaturanlainjuga yang mengatur tentang perwalian ini yaitu di dalam Undang-undang Tentang Kesejahteraan anak (Undang-Undang No.4 tahun 1979). Seperti telah dikatakan undang-undang perkawinan ini merupakan suatu usaha uniftkasi dalam hukum keluarga yang bertujuan menghilangkan pluralisme dalam bidang hukum keluarga, tapi pengaturan yang diberikan oleh undang-undang ini sangat sederhana, hanya tercakup dalam lima pasal, dan ini merupakan garis besarnya saja.
Sebelum berlakunya undang-undang perkawinan ini di Indonesia berlaku ketentuan ten tang perwalian yang terdapat di dalam KUHPerdata, di dalam Hukum Adat, Hukum Islam, dan perwalian yang terdapat di dalam hukum keluarga Timur Asing. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 maka diseluruh Indonesia berlaku ketentuan tentang perwalian yang tercantum di dalamnya, hanya saja pengaturan ten tang perwalian ini sangat sederhana sehingga menimbulkan ketidak jelasan. Untuk ini diperlukan peraturan yang lebih lanjut, dan selama belum ada peraturan ini dapat mempergunakan pasal 66 dan kembali kepada peraturan sebelumnya yang berlaku bagi masing-masing sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku. Dengan sendirinya bagi warganegara Indonesia asli akan berlaku ketentuan yang terdapat di dalam pasal 50, 51, 52, 53, 54 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan apabila kurang jelas, atau tidak ada pengaturan lebih lanjut harus kembali kepada ketentuan yang berlaku berdasarkan hukum adatnya/setempat, sedangkan bagi warganegara keturunan Eropa dan Tionghoa kalau ada ketidak jelasan akan kembali kepada ketentuan yang terdapat didalam KUHPerdata/B.W. , dan bagi warganegara Keturunan Timur Asing lainnya akan kembali kepada ketentuan hukum negara asalnya. Dalam pelaksanaannya akan tetap menimbulkan keaneka ragaman meskipun secara garis besarnya telah ada pengaturannya. Melihat isi pasal tentang perwalian ini dapat diketahui bahwa dasar pemikiran yang diterapkan disini adalah campuran hukuin adat dan KUHPerdata /B.W. Suatu hal yang perlu pemikiran lebih lanjut adalah tentang pelaksanaan ketentuan perwalian ini bagi warganegara Indonesia asli, karena hukum adat dalam hal perwalian bagi setiap masyarakat ditentukan berdasarkan sistem kekeluargaan yang berbeda.
36
Di dalam hukum adat perwalian dikenal dalam pengurusan anak yatim piatu, seorang anak yang belum dewasa yang telah yatim piatu memerlukan perlindungan yang biasanya diberikan karena anggota keluarganya merasa berkewajiban untuk memelihara anak tersebut. Pemeliharaan anak tersebut merupakan kewajiban secara moril, yang apabila tidak dilakukan akan mendapat sorotan masyarakatnya. Tetapi bagaimanapun di dalam hukum adat pengurusan anak yatim piatu ini bukan keharusan, sebab apabila seseorang tidak melakukan kewajibannya, tidak ada sanksi yang tegas, ia hanya akan mendapat malu karena masyarakat sekelilingnya mengecamnya.
Sedangkan bagi mereka terhadap siapa berlaku B.W. tidak merupakan masalah, sebab B.W/KUHPerdata telah mengatur tentang perwalian secara terperinci.
Undang-undang perkawinan menentukan bahwa seorang anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan yang tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wall (pasal 50 {1). Perwalian ini mengenai pribadi dan harta si anak ( pasal 50 (2).
Sejak berlakunya undang-undang perkawinan ini maka di seluruh Indonesia berlaku ketentuan ini, jadi setiap anak yang belum berusia 18 tabun dan belum melangsungkan perkawinan ·yang tidak di bawah kekuasaan orang tua lagi harus di bawah penguasaan wall.
Dengan berlakunya ketentuan ini maka ketentuan batas usia untuk dapat diperwalikan adalah di bawah 18 tahun ( dengan sendirinya ketentuan KUHPerdata/B.W yang menentukan batas usia 21 tahun tidak berlaku lagi), ini adalah ketentuan secara umumnya, dan dalam hal yang khusus seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dapat dipergunakan berdasarkan asas lex speciale derogat lex generale (Undang Undang No. 4 tahun 1979 menentukan batas usia 21 tahun, karena ini berkaitan dengan perawatan anak oleh negara terutama anak terlantar).
Pasal 51 menyebutkan tentang penunjukkan wall dan, siapa yang dapat menjadi wali, dan kewajiban wali.
37
Penunjukkan wall dan caranya tercantum di dalam pasal 51 ( 1 ), di mana wall dapat ditunjuk o1eh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebe1um ia meninggal dengan surat wasiat atau secara lisan dihadapan saksi ( dua orang).
Tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan penunjuk.kan wall o1eh satu orang tua disini, apakah yang dimaksudkan sa1ah satu dari orang tua yang masih hidup a tau satu dari kedua orang tua yang kedua-duanya masih hidup. Hal ini perlu kejelasan sebab apabila yang dimaksud kan dengan satu itu adalah salah satu dari kedua orang tua yang masih hidup, berarti perwalian dalam undang-undang ini hanya diberikan kepada anak yatim piatu seperti dalam pengertian hukum adat (di dalam KUHPerdata/B.W. seorang anak dapat diperwalikan apabila salah seorang orang tuanya meninggal dunia, perkawinan orang tuanya putus, salah seorang atau kedua orang tuanya di bawah pengampunan, salah seorang atau orang tuanya di cabut kekuasaannya), sebab didalam hukum adat apabila salah satu orang tuanya masih hidup tidak terjadi perwalian, dalam hukum adat orang tua yang terlama hid up ini tidak menjadi wali anaknya, ia tetap dalam- kedudukannya sebagai memegang kekuasaan terhadap anaknya atau dapat pula dikatakan ia meneruskan kekuasaan sebagai orang tua.
Pasal 51 ayat 2, menyebutkan siapa-siapa yang dapat menjadi wall.
Disitu disebutkan bahwa sedapat-dapatnya wall diambil dari keluarga anak terse but atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. Kalau kita membaca pasal 51 (2) ini, jelas sekali bahwa penunjukkan wali disini berdasarkan hukum adat, karena hanya menunjuk kepada keluarga atau orang lain dan tidak kepada salah satu orang tua anak tersebut seperti dalam KUHPerdata/B. W. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perwalian dalam undangundang ini dalam pengertian perwalian menurut hukum adat yaitu memberikan perwallan kepada anak yang di bawah umur yang tidak mempunyai orang tua lagi.
Sedangkan pasal 51 (3), (4), (5), mengatur tentang kewajiban wali terhadap anak walinya an tara lain kewajibannya itu adalah :
38
Wajib mengurus pribadi serta harta si anak sebaik-baiknya dan wajib menghormati agama dan kepercayaan si anak (3 ).
Wajib membuat daftar harta benda si anak dan mencatat semua perubahan harta benda si anak (4).
Wali bertanggung-jawab tentang harta benda si anak serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahannya atau karena kelalaiannya.
Dalam pasal ini dimuat kewajiban-kewajiban wali tapi tidak disebutkan apa yang menjadi hak dari wali itu, terutama kalau wall diangkat bukan dari kalangan keluarga jadi wali seorang lain.
Tentang kewajiban wali untuk membuat daftar harta benda si anak timbul pertanyaan, kepada siapa ia harus mempertanggung-jawabkannya, apakah kepada si anak setelah ia dewasa atau kepada badan lain. Masalah ini juga menyangkut pasal berikutnya yaitu dalam pasal 52 jo pasal 48, dimana seorang wali tidak dapat memindah tangankan a tau menggadaikan harta benda si anak kecuali kepentingan si anak memerlukannya.
TimbulnY-a masalah kepada siapa wali ini harus bertanggung jawab atas harta kekayaan si anak ini dan sejauh mana hak wali untuk menentukan OOhwa kepentingan si anak memerlukan pemindah tanganan/menggadaikan harta si anak.
Untuk ini perlu adanya pengawas yang ditunjuk oleh undang-undang, di dalam KUHPerdata/B.W. dikenal badan pengawas untuk ini yaitu Balai Harta Peninggalan (BHP). BHP ini dulu berfungsi sebagai badan pengawas perwalian bagi merereka terhadap siapa berlaku KUHPerdata/B.W. Sedangkan dalam undang-undang perkawinan tidak ada penyebutan tentang badan pengawas ini, yang sebetulnya sangat perlu untuk melindungi si anak dari tindakan sewenang-wenang walinya. Karena itu seyogyanya perlu dipikirkan untuk membentuk badan pengawas perwalian ini bagi kepentingan anak wall. Atau dapat pula ditempuh jalan lain yaitu dengan menghidupkan kembali Balai Harta Peninggalan/BHP, yang di berlakukan terhadap semua ~arga-negara Indonesia (mengingat fungsi BHP sendiri sebagai badan publik yang harus melayani kepentingan semua warganegara Indonesia).
Pencabu tan kekuasaan perwalian.
Kekuasaan perwalian dapat dicabut (pasal 53 (1) jo pasal 49 ) yaitu
39
dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya dalam hal ia berkelakuan buruk. Kewajiban wali untuk mengganti kerugian kepada anak walinya dalam hal terjadi kerugian atas harta sianak yang berada di bawah kekuasaannya, atas tuntutan si anak atau keluarga si anak, dengan putusan pengadilan.
Setelah menyimak keseluruhan isi ketentuan tentang perwalian ini dapat disimpulkan bahwa pembuat undang-undang telah mencampuradukkan pemikira11 hukum ad at dan KUH Perdata/B. W dalam memberikan arahan dalam hukum perwalian ini, sehingga agak membuat pusing untuk menangkap keseluruhan isi dari ketentuan perwalian ini.
Dengan semakin pesatnya kem~uan yang dicapai Barigsa Indonesia dewasa ini dengan bertambah modemnya cara berpikir dimana setiap orang dituntut untuk ikut mencapai kemajuan dalam segala bidang terutama bidang pendidikan yang sangat memerlukan biaya yang besar, masalah perwalian terutama pengawasannya atas harta sianak perlu mendapat perhatian demi masa depan sianak, agar ia tidak dirugikan oleh walinya.
Undang-undang No.I tahun 1974 ini seperti telah berulang-ulang dikatakan hanya mengatur hukum keluarga dalam garis besamya saja dan inipun tidak semua bidang dicakup, tentang pengampuan dan pengangkatan anak sama sekali tidak disinggung.
Untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada pengaturannya ini dengan sendirinya tetap berlaku ketentuan yang selama ini berlaku dalam masyarakat masing-masing.
Setelah menelaah keseluruhan pasal dalam undang-undang perkawinan yang menyangkut hukum keluarga ini dapat disimpulkan bahwa dalam garis besamya undang-undang telah memberikan pengaturan (sepanjang yang telah diatur . oleh undang-undang ini), tetapi dalam pelaksanaannya tetap kita hams kern bali kepada hukum yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-undang No. 1 tahun 1974 untuk melengkapi ketentuan itu dan untuk pe1aksanaannya. Jadi sebenamya dalam kenyataanya hukum ke1uarga masih bersifat plural.
40
B A B III
ASPEK-ASPEK UNIFIKASI HUKUM KELUARGA YANG TERDAPAT DI DALAM UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN/UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Dl DALAM EFFEKTIVITASNY A
A. Aspek-Aspek Unifikasi Hukum Di Dalam · Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Usaha unifikasi hukum di dalam hukum keluarga dengan di undangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tidak berhasil sepenuhnya, materi hukum perkawinannya sendiri masih plural sedangkan yang berhasil diunifikasikan terutama bidang ·yang bersifat administratif. Dalam uraian sebelumnya hal tersebut telah dibicarakan, bahwa meskipun unifikasi yang menjadi tujuan dati undang-undang ini tidak tercapai sasarannya, namun dalam beberapa hal ada yang telah dapat diselesaikan oleh undang-undang ini dan pula yang mendapat arahan yang jelas dalam hukum keluarga.
Dalam hukum keluarga undang-undang perkawinan ini memberikan arahan atau dapat dikatakan menganut sistem parental sesuai dengan politik hukum pemerintah yang menghendaki sistem parental dijadikan sistem yang berlaku bagi seluruh Indonesia. Arahan sistem parental juga senantiasa dipergunakan di dalam yurisprudensi-yurisprudensi dalam menyelesaikan sengketa kekeluargaan dan waris antar siste.m, satu hal dapat diharapkan dengan demikian secara perlahan-lahan masyarakat akan menerima gagasan pemerintah untuk menuju kearah satu sistem yaitu sistem parental.
Beberapa aspek unifikasi hukum yang terdapat dalam undangundang perkawinan ini nanti dapat dikaji dalam effektivitasnya.
Aspek-aspek unifikasi hukum dalam undang-undang perkawinan antara lain :
1. Tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Dalam perkawinan harus ada persetujuan kedua calon mempelai. 3. Kesahan perkawinan berdasarkan hukum agama.
41
4. Harus ada pencatatan (administratif). 5. Syarat kawin sesuai dengan yang te1ah ditentukan (administratif). 6. · Pencegahan kawin sesuai dengan ketentuan undang-undang
(administratif). 7. Pembatalan kawin (administratif). 8. Syarat Poligami (administratif). 9. Putusnya perkawinan karena beserta syaratnya (administratif) .
10. Kedudukan suami dan isteri seimbang. 11. Kedudukan anak-anak sama terhadap ibu dan bapaknya. 12. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka. 13 . Anak wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus
apabila memerlukan bantuan. 14. Orang tua mewakili anak belum dewasa dalam setiap perbuatan
hukumnya di dalam m au pun di 1uar pengadilan. 15. Anak yang belum berusia 18 tahun a tau belum kawin berada di
bawah kekuasaan orang tua. 16 . Anak yang belum berusia 18 tahun dan bel urn kawin yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua lagi harus berada di bawah kekuasaan wali.
17 . Wali sedapat-dapatnya diambil dati keluarga si anak.
Seperti telah diuraikan ternyata unifikasi hukum perkawinan ini hanya secara administratif saja sedangkan materi hukumnya tetap plural. Dalam bidang hukum keluarga meskipun tidak banyak ada yang dapat diselesaikan. Dikaji lebih lanjut isi keseluruhan undangundang ini menambah jelas bagi kita bahwa sistem yang dianut oleh undang-undang ini adalah sistem parental.
Hal ini tersirat dari beberapa pasal misalnya : dalam pasal 31 ( 1) Hak dan kedudukan suami isteri seim bang dalam pergaulan hid up dalam masyarakt , ayat (2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
Pasal 36 (1) mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua pihak (artinya terhadap harta bersama ini suami dan isteri mempunyai hak sama).
Pasal 45 ( 1 ), kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (jelas disini yang dimaksud dengan
42
anak-anak itu adalah anak laki-laki dan perempuan dengan tidak membedakan yang satu dari yang lainnya).
Pasal 4 7 (2), orang tua mewakili anak yang belum dewasa mengenai segala perbuatan hukumnya di dalam maupun di luar Pengadilan. Ini dapat diartikan kedua orang tuanya dapat mewakili si anak, baik bapak maupun ibu si anak.
Juga pasal 51 (2), menyebutkan bahwa ·wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga si anak atau orang yang dewasa, sehat, adil,jujur dan berkelakuan baik. Ketentuan ini berlandaskan hukum adat parental, dimana perwalian selalu diserahkan kepada keluarga baik dari pihak ibu maupun pihak bapak, kepada siapa kepentingan sianak akan lebih baik (dalam pasal itu tidak disebut keluarga pihak mana) .
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum keluarga yang tercantum di dalam undang-undang perkawinan ini menganut sistem parental. Dalam sistem parental ada persamaan dalam hak dan -kewajiban antara anak laki-laki dan anak perempuan terhadap orang tuanya dan terhadap kerabat orang tuanya, dengan sendirinya timbul ikatan perdata antara mereka, juga terdapat hubungan timbal balik dalam pemeliharaan.
Namun seperti telah berkali-kali disebutkan dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang harus }Gem bali kepada sistem hukum lainnya misalnya dalam pengurusan harta perkawinan karena perceraian (pasal 3,7). Memang dapat dikatakan secara umum sistem yang dianut adalah parental tapi dengan sedikit penyimpangan kepada sistem lain apabila temyata diperlukan. Tetu saja keadaan ini boleh disebutkan sebagai masa transisi sebelum Indonesia berhasil membuat uniftkasi hukum dalam bidang hukum keluarga yang lebih baik yang lebih dapat diterima oleh semua pihak.
B. Effektivitas Unifikasi Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Setelah diundangkannya undang-undang perkawinan ini dan berlaku diseluruh wilayah Indonesia temyata dalam effektivitas tidak lancar seperti yang diharapkan, hal ini disebabkan karena kurang sempurnanya undang-undang ini juga dapat dikatakan tergesa-gesa
43
tanpa persiapan yang matang , jangan dilupakan masyarakat kitapun belum siap betul untuk dapat menerimanya.
Pelaksanaan pengaturan yang bersifat administratif saja sangat sulit dilaksanakan apalagi yang menyangkut materi . Mengenai tujuan perkawinan yang tersimpul dalam undang-undang itu tidak akan ada yang tidak menerimanya , semua setuju dengan itu , juga dalam hal bahwa setiap perkawinan yang dilakukan harus atas persetujuan kedua pihak yang akan melangsungkan perkawinan (pasal 6 (1 ).
Tentang kesahan perkawinan.
Pasal 2 ( 1) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilangsungkan berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Ayat (2), tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Kesahan perkawinan dalam undang-undang ini didasarkan kepada agama yang dianut masing-masing. Mengenai agama masing-masing ban yak menim bulk an masalah dalam penerapannya, apabila · kedua mempelai dalam satu agama tidak merupakan masalah tetapi apabila mempelai berlainan agama menimbulkan masalah antar agama yang dalam undang-undang tidak ada pengaturannya (telah diuraikan dalam bab sebelumnya bahwa ini membuktikan tidak adanya ke- . satuan hukum).
Untuk kesahannya sendiri hanya ada satu kemungkinan yaitu berdasarkan hukum agama, tetapi akibatnya karena di Indonesia masyarakatnya menganut agama yang berbeda dapat menimbulkan keaneka ragaman hukum lagi. Sehingga nanti akan timbul masalah antar agama dalam perkawinan, yang selama belum ada pengaturannya sebetulnya mengenai hal ini dapat diselesaikan melalui pasal 66 kernbali kepada ketentuan perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken/S.l898 No. 158).
Mengenai perkawinan antar agama Mahkamah Agung mengakui bahwa adanya perkawinan antar agama ini tidak dapat dihindari, dalam hal ini Mahkamah Agung memberi 2 (dua) kemungkinan sebagai beriku t :
a. Sesuai dengan jiwa dari UndangUndang No. 1 Tahun 1974
44
(Undang-undang Perkawinan yang baru yang menganut prinsip keseimbangan antara suami isteri, maka seharusnya kedua pihak bermusyawarah untuk menentukan hukum agama mana yang akan dipakai. J adi menurut Mahkamah Agung para pihak harus berunding lebih dahulu hendak memilih hukum yang mana. Jika mereka tidak mau mengalah maka hal ini akan berarti kedua-duanya tidak akan bisa melangsungkan perkawinan. ..
b. Apabila tidak tercapai musyawarah dapat dipergunakan ketentuan dalam Peraturan Perkawinan Carnpuran (berdasarkan pasal 6 GHR) dipergunakan hukum pihak suarni 6 ).
Pasal 2 ayat (2), menyebut tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Tentang tata cara pencatatan ini tercantum di dalam PP. No. 9 tahun 1975 pasal 3 s/d 9 dan pasal 11. Mengenai pencatatan ini kalau membaca pasal 2 (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 hanya menyebut dicatat saja, dan bukan keharusan untuk dicatat. Dengan demikian pencatatan hanya berfungsi sebagai dokurnen saja bahwa telah terjadi perkawinan tidak ada hubungan dengan kesahan perkawinan. Akibatnya dalam pelaksanaannya banyak terjadi perkawinan tanpa dicatat, sebab kawin berdasarkan agarna saja sudah sah, dan orang-orang terutarna didesa-desa apalagi yang terpencil akan malas untuk pergi ke KUA untuk mengurus perkawinannya.
Tentang syarat kawin.
"Syarat kawin yang dalarn pelaksanaan undang-undang perkawinan ini menjadi masalah adalah tentang syarat usia kawin, yaitu yang tercantum di dalam pasal 7 ( 1 ). Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita te1ah mencapai usia 16 tahun.
Syarat usia ini rnenjadi masalah terutama dipedesaan, karena di-
6) Prof Dr. Mr . . S. Gtzutamo, ''Mahkizmah Agung dan Ket~neka-ragaman Hukum Perdata
Mamlah Perkllwinan Campurrzn antllr A111mo ", Varia Perrzdium, Tahun II No. 1 7 Pebruari 1987-hal. 104.
45
desa sudah biasa perkawinan dilakukan dalam usia yang masih muda. Kawin usia muda sering terjadi karena masyarakat di desa menganggap dalam usia tersebut si anak sudah pantas untuk kawin. Hal ini karena dalam hukum adat kedewasaan tidak ditentukan oleh usia tetapi oleh segala hal yang terlihat nyata (sifat hukum adat selalu konkrit), seorang anak yang masih belia karena postur tubuh yang besar dan tegap dapat diklasiflkasikan sebagai dewasa, meskipun usianya baru 13 tahun. Selain itu di dalam masyarakat desa ada anggapan bahwa apabila anak telah dewasa belum kawin akan membawa malu bagi keluarganya, karena itu selalu diusahakan mengawinkan anaknya dalam usia yang mereka anggap cukup sebelum anak gadis terutama dikatakan perawan tua (padahal barangkali usia si gadis baru 15 tahun). Memang sampai sekarang agak sulit memberantas kawin usia muda ini meskipun undang-undang telah menentukan batas usia 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria, karena masyarakatnya sendiri harus merubah sikapnya. Penyuluhan hukum saja tidak cukup untuk merubah sikap masyarakat itu, sebab dengan demikian masyarakat akan berusaha memenuhi usia yang ditentukan undang-undang itu dengan berbagai cara, sebagai misal minta kcterangan pa1su dari desa (ini lebih berbahaya lagi), tentang usia si anak disesuaikan dengan ketentuan yang disyaratkan undang-undang. J adi penerangan dan penyu1uhan harus lebih mendalam kepada masyarakat tersebut harus dengan kesabaran dan penuh pengertian (harus dipakai pendekatan secara sosiologis).
· Tentang syarat lainnya dalam perkawinan seperti syarat untuk berpoligami tidak meriimbulkan masalah besar, juga tentang pencegahan perkawinan dan pembatalan perkawinan dapat dikatakan berjalan baik.
Tentang perjanjian kawin.
Perjanjian kawin tercantum di dalam pasal 29 ( 1, 2, 3, dan 4) Undang-undang ini, memungkinkan pasangan mempelai mengadakan perjanjian kawin. Telah diuraikan sebe1umnya bahwa janji kawin ini hanya dalam bidang hukum harta kekayaan saja. Meskipun jarang pasangan mempelai yang ingin membuat perjanjian kawin perlu pemikiran lebih lanjut apabila orang Indonesia asli yang menghendakinya, karena hukum adat tidak mengenal perjanjian demikian, lain ha1nya
46
kalau orang Tionghoa meskipun tidak ada pengaturan dalam undangundang ini dapat dilihat kepada KUHPerdata/B.W. melalui pasal 66. Selama belum ada pengaturan yang lebih lanju t mengenai jariji kawin pasal ini jelas tidak akan efektif bagi warga negara Indonesia asli, kecuali berpedoman kepada ketentuan perjanjian kawin yang telah diatur secara terinci dalam KUHPerdata/B.W. (kalau diperkenankan).
Effektivitas dalam hukum keluarga pada umumnya.
Hukum keluarga yang mendapat pengaturan dalam Undang Undang No. 1 tahun 1974 ini adalah tentang status anak, hak dan kewajiban orang tua dan perwalian.
Dati bidang-bidarig hukum keluarga ini yang dapat dikatakan telah merupakan unifikasi hukum dan tidak ada masa1ah lagi ada1ah tentang status anak.
Status anak sah dapat diterima oleh semua lingkungan masyarakat Indonesia, juga status anak luar kawin te1ah dapat diselesaikan da1am undang-undang ini sehingga bagi anak luar kawin ini ada kepastian hukum tentang statusnya.
Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, memperlihatkan hubungan timbal balik antara kewajiban dan hak orang tua terhadap anaknya (baik 1aki-1aki maupun perempuan) dan juga hak dan kewajiban anak terhadap orang tuanya.
Terhadap ketentuan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak ini da1am pe1aksanaannya dapat berja1an dengan baik, hanya mungkin nanti ada perbenturan da1am kaitannya dengan masyarakat yang menganut sistem keke1uargaan segi satu. Pada masyarakat dengan sistem keke1uargaan segi satu (patrilinia1 dan matrilinia1 ada sedikit perbedaan di da1am hak dan kew~jiban itu ) tidak sama da1am hak dan kewajiban ini dengan masyarakat parental.
Tentang perwalian.
Undang Undang No. 1 tahun 1974 mengatur perwalian dengan pengertian perwaliannya sendiri da1am arti menurut hukum adat tetapi da1am pengaturan materinya berdasarkan pemikiran yang terdapat ~i dalam KUHPerdata/B.W.
Perwalian dalam undang-undang ini je1as menganut sistem paren-
47
tal, yang nanti akan memerlukan penelaahan kern bali apabila undangundang tidak memberikan kejelasan dan menurut pasal 66 , harus kembali kepada hukum sebelumnya dalam hal ini bagi masyarakat Indonesia asli akan kembali kepada hukum adatnya masing-masing.
J adi dalam penerapannya meskipun dasamya sistem parental tapi kalau harus kern bali kepada hukum sebelumnya dalam pelaksanaannya tetap kembali plural.
Temyata sekali bahwa dalam effektivitasnya undang-undang ini belum seperti yang dihiuapkan oleh pembuat undang-undang, karena bagaimanapun masalah hukum keluarga ini merupakan masalah pelik yang perlu penanganan dengan penuh kesabaran apabila mau sempuma dan tidak dapat dengan tergesa-gesa.
48
B A B IV
EFEK UNIFIKASI DALAM BIDANG- BIDANG HUKUM KELUARGA
A Efek Unifikasi Terhadap Hukum Keluarga Yang Berlaku
Meskipun telah ada usaha unifikasi dalam bidang-bidang hukum keluarga dengan diundangkannya undang-undang perkawinan (Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ), namun dalam effektivitasnya tetap merupakan masalah yang hams mendapat penyelesaian karena sifat hukum keluarga sendiri yang plural.
Uniftkasi hukum dalam bidang hukum keluarga secara menyeluruh tidak akan merupakan masalah bagi warganegara keturunan terutama terhadap siapa berlaku KUHPerdata/B.W. karena sistem kekeluargaan yang dianut dalam undang-undang perkawinan dan yang dianut di dalam KUHPerdata/B.W. adala~ sama parental.
Mereka akan dengan mudah menerimanya meskipun dengan landasan pemikiran hukum adat yang berbeda dengan hukum yang berlaku bagi mereka, juga mereka warganegara keturunan lainnya akan dengan mudah menyesuaikan diri.
Ditentukannya kesahan perkawinan berdasarkan agama, yang jelas merupakan perubahan besar bagi mereka terhadap siapa berlaku KUHPerdata/B.W., dimana tadinya perkawinan merupakan hubungan keperdataan dan sekarang menjadi perkawinan agama, tidak menimbulkan keresahan bagi mereka, kebingungan hanya sebentar saja dan itu hanya masalah administrasi. Dalam materi hukum perkawinannya sendiri selama belum diatur/sejauh yang belum diatur dalam undangundang itu akan kern bali kepada hukum semula, jadi tidak ada masalah bagi mereka.
Hambatan dalam mencapai cita-cita uniftkasi hukum keluarga yang bersistem parental ini akan datang dari warganegara asli terhadap siapa berlaku aneka warna hukum adat/setempat. Di dalam masyarakat adat dikenal hukum keluarga yang berbeda karena sistem kekeluargaan yaitu: sistem parental, sistem patrilinial, sistem matrilinial, selain inipun terdapat berbagai variasi dari sistem-sistem itu.
49
Di dalam hukum adat hukum keluarga merupakan bidang hukum yang erat sekali dengan pandangan hidup, keyakinan dan kepercayaan serta agama dari masyarakat yang bersangkutan. Bidang hukum ini merupakan bidang yang peka, Prof. Mahadi menyebutnya bidang yang non netral/tidak netral, sangat sensitif. Karena itu suatu pembaharuan dalam bidang hukum ini akan hidup apabila dapat diterima berdasarkan kesadaran dan keyakinan masyarakat tersebut, dan tidak dapat dipaksakan.
Suatu pemaksaan hanya akan merupakan perbuatan yang sia-sia karena jelas tidak efektif. Suatu perubahan hanya mungkin apabila sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat itu yang karena beberapa faktor yang mempengaruhinya dapat merubah sikap J?ereka. Faktor tersebut dapat datang dari dalam dan luar dan masyarakat sendiri, faktor-faktor ini dapat mempengaruhi jalan berpikimya anggota masyarakat tersebut sehingga sedikit demi sedikit akan menimbulkan perubahan dalam masyarakatnya. Masyarakat se1alu bergerak dan gerakan masyarakat ini diikuti o1eh hukum yang berlaku di da1amnya, hukum adat bentuknya tidak tertulis dan sifatnya se1a1u dinamis, se1alu dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakatnya.
Karena itu hukum adat se1alu berubah meskipun perubahan ini secara perlahan-1ahan sesuai dengan apa yang dapat diterima masyarakat tersebut , dan selalu bergerak secara evolusi, sehingga perubahan itu tidak dirasakan benar seakan-akan suatu yang memang sudah sewajamya.
Politik hukum pemerintah di dalam TAP MPRS No. II tahun 1960 yang memberikan arahan kepada sistem hukum parental tertuang di dalam undang-undang perkawinan nasional tersebu t , ini sesuai dengan politik hukum pemerintah yang menghendaki sistem hukum yang terbuka, dan sistem yang terbuka itu ada1ah sistem parental.
Undang-undang perkawinan memberikan kedudukan yang seimbang kepada suami isteri (pasa1 31 ), dan hak serta kewajiban yang sama bagi suami isteri dalam pengurusan serta pemeliharaan anakanak mereka (pasal 45) dan kewajiban anak terhadap orang tua mereka, (pasal 46) memperlihatkan aspek-aspek yang terdapat di dalam
50
sistem parental. Sistem parental yang menjadi landasan pemikiran dalam hukum nasional dalam tujuannya mencapai uniflkasi hukum keluarga dengan sendirinya berbenturan dengan hukum keluarga yang menganqt sistem segi satu (patrilinial dan matrilinial ).
Hukum keluarga segi satu hanya menarik garis keturunan dari satu pihak saja yaitu pihak ibu saja atau pihak bapak saja, dengan sendirinya dalam hak dan kewajiban anggota keluarganya pun berbeda tergantung kepada penekanan berdasarkan garis keturunan itu. Sistem keluarga yang dianut di dalam masyarakat ini berkaitan pula dengan sistem kewarisan yang dianut masyarakat tersebut.
Masyarakat yang menganut sistem kebapakan hak dan kewajiban anak laki-laki lebih besar daripada hak dan kewajiban anak perempuan. Anak laki-laki mempunyai arti yang khusus dalam keluarga sebagai penerus keturunan, karena itu anak laki-laki menanggung beban yarig berat dalam keluarganya, tidak hanya kepada orang tuanya saja. Karena itu dalam sistem ini ~nak laki-laki adalah ahli waris orang tuanya dan keluarganya.
Begitu pula dalam masyarakat keibuan (matrilinial), anggota masyarakatnya menarik garis keturunan dari keibuan dari pihak ibu, anak perempuan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada anak laki-laki karena ialah penerus garis keturunan di dalam keluarganya , anak perempuan dengan ibu dan keluarga ibunya mempunyai hubungan sating mewaris. Dalam masyarakat keibuan ini juga timbul hak dan kewajiban antara anak-anak dengan orang tuanya dan keluarga orang tuanya, hanya disini kewajiban anak laki-laki sangat besar dalam memelihara dan mengurus segala kepentingan ibunya dan semua saudaranya yang perempuan, sedangkan dalam haknya tidak sebesar hak anak perempuan, hanya anak perempuan ahli waris dalam keluarga.
Telah disebutkan di muka bahwa sistem yang dianut didalam undang-undang perkawinan adalah sistem parental sesuai dengan politik hukum pemerintah untuk menuju ke arah sistem yang terbuka. Di dalam sistem parental anggota masyarakat menarik garis keturunan dari kedua belah pihak, baik pihak ibu maupun pihak bapak, dan keluarga ibu maupun keluarga bapak sama kuat kedudukannya terhadap si anak, si anak mempunyai hubungan saling
51
mewaris dengan kedua orang tuanya maupun dengan keluarga orang tuanya , anak-anak baik laki-laki maupun perempuan adalah ahli waris.
Selain dalam kedudukan anak dan hubungan anak dengan orang tuanya bidang yang juga telah diatur adalah mengenai perwalian. Pengaturan perwalian ini berlandaskan ketentuan hukum adat dan ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata/B.W. Dalam penyebutan yang dapatmenjadi wali dalam U.U. No. 1 tahun 1974 disebutkan keluarga saja, dalam sistem perental memang demikian, tetapi dalam masyarakat segi ·satu , struktur masyarakat dan sistem yang dianut dalam masyarakat itu menentukan siapa yang lebih berhak menjadi wali si anak.
Di dalam sistem parental pemeliharaan anak terserah kepada keluarga pihak ayah atau ibu yang akan me~adi wali si anak, yang diutamakan adalah kepada siapa si anak akan mendapat pemeliharaan yang baik, masa depan si anak yang diperhatikan. Sedangkan pacta masyarakat kebapakan, kewajiban untuk menjadi wali ini terletak pacta keluarga pihak bapak, keluarga bapak bertanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak tersebut. Demikian pula pacta masyarakat keibuan pihak ibulah yang lebih berwenang untuk itu.
Efek uniflkasi dalam bidang hukum keluarga.
Usaha uniftkasi hukum dalam undang-undang ini meskipun tidak mencapai sasaran sebagaimana yang diharapakan efeknya di dalam masyarakat tidak dapat dikatakan tidak ada. Telah disebutkan bahwa beberapa hal dapat diselesaikan dalam undang-undang perkawinan itu , misalnya tentang kedewasaan, tentang status anak luar kawin.
Tentang kedewasaan telah diuraikan di muka bahwa secara nasional telah dapat diunifJ.kasikan tentang batas usia dewasa secara umum, yaitu 18 (delapan belas) tahun.
Masyarakat adat menentukan kedewasaan seseorang tidak ditentukan dengan usia tetapi dengan apa yang secara lahiriah dapat diIihat (postur tubuh, kuat gawe, dan sebagainya) dengan adanya ketentuan usia dewasa ini ditambah dengan syarat yang harus dipenuhi untuk menikah (syarat usia untuk dapat kawin telah merupakan satu uniftkasi) didalam masyarakat telah mulai menghitung atau menentukan kedewasaan seseorang dengan memakai kriteria usia, meskipun
52
tidak sepert1 yang tercantum di dalam undang-undang (Laporan Penelitian Hukum Ke1uarga J awa Barat Universitas Padjadjaran), mereka menyebut satu perkiraan tentang dewasa antara 14-16 tahun/ 14-18 tahun.
Sistem parental yang melandasi unifikasi hukum itu juga mempunyai pengaruh yang tidak sedikit kepada sistem segi satu ini baik terhadap masyarakat patrilinial mat:pun terhadap sistem matrilinia1, di samping tentu juga ada hal lain yang memperkuat pengaruh itu antara lain, Hukum Islam, Yurispudensi disamping faktor lainnya seperti pendidikan, dan perantauan.
Adanya hak dan kewajiban yang sama pada ibu dan bapak untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, dapat mempererat hubungan antara ibu, ayah dan anak-anaknya baik anak itu laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya hubungan kekeluargaan dalam ke1uargake1uarga keci1 (somah), makin mengeratkan hubungan batin antara ayah ibu dan anak-anaknya, sehingga menimbu1kan tanggung jawab yang besar pada orang tua untuk masa depan anak-anaknya. Dengan diwajibkannya o1eh undang-undang kepada ibu dan bapak sebagai orang tua untuk mendidik dan meme1ihara anak-anak tersebut makin menguatkan hubungan bathin itu .
Dari hal ini satu hal dapat diharapkan yaitu orang tua mu1ai mensejajarkan anak-anaknya dengan tidak membedakan apakah ia anak 1aki-1aki atau anak perempuan. Orang tua disini sebagai individu yang merupakan bagian dari masyarakatnya, dapat diharapkan membangkitkan semangat para individu 1ainnya, kebangkitan individu dapat metnbangkitkan semangat dalam masyarakatnya.
lkatan bathin yang te1ah tum buh dalam ke1uarga kecil ini dikuatkan lagi dengan ada kewajiban pada ibu dan bapak untuk memberikan pemeliharaan dan pendidikan yang baik _terhadap anak-anak · mereka (pasal 45 Undang-undang No. 1 tahun 1974) dapat men- · dorong kepada satu pemikiran untuk mendudukkan anak-anak mereka untuk mendapat hak yang sama dikeluarganya (terutama palam hak kewarisan).
Satu kenyataan pada masyarakat perantau hubungan yang intim dalam keluarga (masyarakat keibuan dan kebapakan) menimbulkan rasa kasih s_ayang orang tua yang tidak berbeda baik kepada anak laki
53
lakimaupun anakperempuan, ditambah adanya kewajiban pada orang tua tersebut untuk memelihara dan mendidiknya menimbulkan rasa tanggung jawab pada orang tua bagi masa depan anak-anaknya. Aidbat dari sikap dewasa ini makin banyak orang tua yang memberikan hak yang sama kepada anak-anaknya itu terutama dalam materi yang akan merupakan bekal hidup mereka, sebagai dasar kehidupan berkeluarga, yang dewasa ini merupakan modal hidup. Jalan yang ditempuh oleh para orang tua dari keluarga yang menganu t sistem patrilinial maupun sistem matrilinial ini dengan menghibahkan harta kekayaannya kepada anaknya yang menurut sistem kewarisannya (berkaitan erat dengan sistem keluarga) bukan merupakan ahli waris dari orang tuanya.
Mengenai harta kekayaan ini Ter Haar mengatakan, bahwa kekayaan itu merupakan dasar kehidupan materiil dari mereka yang berasal dari keluarga itu 7
).
Dengan semakin pesatnya kemajuan yang dicapai Bangsa Indonesia dalam segala bidang setiap orang dituntut untuk ikut mencapai kemajuan itu, terutama dalam bidang pendidikan yang akan menjadi jalan kearah kemajuan itu yang tentu saja sangat memerlukan biaya yang tidak sedikit, harta kekayaan bukan saja merupakan dasar k~hidupan materiil tapi telah merupakan modal untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
Selain ini pasal 46 mewajibkan anak-anak untuk menghormati kedua orang tuanya dan keluarga orang tua semampunya. Disini tidak dibedakan keluarga pihak bapak maupun pihak ibu, keduaduanya mempunyai hak yang sama. Bagi keluarga dari sistem patrilinial dan matrilinial adanya kewajiban pada anak ini menam bah erat hubungan si anak yang telah terjalin baik dalam keluarga kecil terse but, si anak sudah tidak lagi membedakan keluarga bapak atau ibu, keduanya akan sam a dalam pandangan mereka.
Semua hal ini apabila berlangsung terns akan membuka jalan lurus kearah sistem parental, tapi tentu saja lajunya akan perlahan-
1) Mr. B. Ter Haor, "Beginselen en stelsel van het Adatrecht", hal. 208.
54
lahan, sesuai dengan gerakan perkembangan dan kesadaran hukum dari masyarakat yang bersangkutan.
Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974, maka diseluruh Indonesia berlaku ketentuan ini bagi semua warganegara tanpa kecuali, semua warganegara yang baik harus mentaatinya, meskipun dalam pe1aksanaannya akan terjadi benturan-benturan dalam masyarakatnya. Dalam per~embangannya benturan-benturan ini akan menjadi lemah bersamaan dengan bertambahnya kesadaran hukum para anggota masyarakat tersebut.
B. Suatu Pemikiran Perlunya Perubahan Sistem Hukum Keluarga Dari Plural Kearah Satu Sistem.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan hukum keluarga yang sangat variabel. Banyaknya hukum keluarga yang berlaku ini menimbulkan masalah-masalah apabila terjadi hubungan hukum antara mereka yang tunduk kepada hukum yang berbeda, yang memerlukan upaya hukum lain dalam penyelesaiannya.
Apabila mereka yang tunduk kepada hukum keluarga adat mengadakan hubungan hukum dengan mereka yang tunduk kepada hukum keluarga dalam KUHPerdata/B.W., timbul hubungan hukum antar tata hukum (hukum perselisihan), yang memerlukan pemecahannya, sedangkan apabila terjadi hubungan hukum kekeluargaan antara mereka yang berasal dari masyarakat yang menganut sistem patrilinial dengan mereka yang berasal dari masyarakat matrilinial atau parental akan menimbulkan masalah hubungan antar tempat, antar daerah/interlocaal. Dan yang sampai sekarang menjadi masalah adalah hukum keluarga dalam lingkungan rukum adat.
Usaha uniftkasi hukum keluarga dalam undang-undang perkawinan (Undang-Undang No. I tahun 1974) tidak begitu membawa perubahan kedalam hukum keluarga, meskipun dalam undang-undang tersebut sudah diarahkan kedalam satu sistem hukum keluarga. Hal tersebut diakibatkan karena kurang sempurnanya undang-undang tersebut ditambah pula karena sifat hukum keluarga sendiri yang sangat peka dan variabel.
55
Variabelitas dalam hukum keluarga ini dalam kenyataannya diseluruh wilayah Indonesia, selalu dipengaruhi berbagai faktor baik faktor intern maupun faktor extern, karena pengaruh faktor-faktor ini terdapat perkembangan dalam berbagai bidang.
Yang merupakan faktor intern adalah faktor yang tumbuh pada anggota masyarakat itu sendiri .sebagai individu. Meskipun individu merupakan bagian dalam masyarakat adatnya, bagian dalam lingkungan keluarganya tapi suasana kehidupan individu itu tidak sama kuat-
' nya pada beberapa daerah, ditambah pula oleh makin meluasnya pergaulan internasional, dapat membangkitkan individualisme pada para anggota masyarakat yang daerah hukumnya tidak begitu kuat sifat kebersamaannya, terutama mereka yang tinggal di kota atau dipesis.ir.
Proses pembangkitan individu ini paling cepat berlaku dipusatpusat penduduk Indonesia yang berhubungan rapat dengan lalu lintas modern. Sebaliknya tidak pula dapat disangkal, bahwa pun juga dimana proses pembangkitan individu sudah paling jauh berjalan, individu-individu masih juga mempunyai kesadaran segolongan, meskipun mereka telah bebas merdeka, sehingga mereka itu, juga di dalam kehidupan hukum mereka yang sudah mengalami individualisasi, masih juga kelihatan -melahirkan pikiran segolongan 8 ).
Dengan demikian meskipun telah ada proses kebangkitan pada para ~dividu itu tetapi mereka akan tetap hidup dalam alam pikiran lingkungan masyarakatnya.
Tapi alam pikiran ini ditunjang dengan faktor lainnya akan menuju juga kepada suatu perubahan. Faktor-faktor itu antara lain adalah: faktor pendidikan, agama, perantauan, dan hubungan yang meluas dengan dunia internasional, perundang-undangan dan Yurisprudensi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun ada berbagai faktor yang dapat memberi pengaruh dalam perkembangan hukum keluarga, tapi
8) Prof. Dr. Supomo, S.H., "Hubungan individu cum masyaralazt dlzllzm Hukum Adat", ha/.12 Penerblt Pradnya Paramitrl, Jalazrtrl,1978.
56
karena sifat hukum keluarga yang sangat peka itu menyebabkan peru bahan yang terjadi hanya sedikit demi sedikit sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri.
Arahan yang diberikan oleh pemerintah dalam politik hukumnya yang tercantum di dalam TAP MPRS No. II tahun 1960, adalah menghendaki pembinaan hukum nasional berlandaskan pada hukum adat yang sesuai dengan perkembangan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan tidak menghambat terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. ·Pengarahan hukum nasional kita kearah masyarakat Indonesia yang bersifat parental, salah satu penerapannya adalah dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974.
Meskipun hukum keluarga sangat variabel, yang dalam pelaksanaan sistem parentalnya akan berbenturan dengan masyarakat yang menganut sistem patrilinial dan matrilinial, tapi ada kemungkinan benturan ini dengan pengaruh berbagai faktor tadi akan melemah dan diharapkan satu ketika akan hilang.
Pengaruh faktor-faktor itu akan membawa masyarakat segi satu ini kepada terwujudnya hukum kekeluargaan nasional. Berubahnya alam pikiran masyarakat kebapakan dan keibuan karena faktor perantauan dan faktor pendidikan adalah wajar, mereka mu1ai berpikir
· 1ebih rasional karena pendidikan yang meningkat dan kareria mereka berada dirantau yang jauh dari lingkungan masyarakat adat yang tradisionil.
Faktor yang sangat berpengaruh besar adalah faktor agama, disini yang dimaksudkan adalah faktor agama Islam yang merupakan agama yang dipeluk oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Agama Islam memberi pengaruh besar dalam hukum keluarga dan waris, karena Islam menganut sistem parental dalam hukum keluarga dan warisnya. Akibat pengaruh agama Islam terhadap hukum keluarga ini kita lihat pada keluarga Minangkabau (sistem matrilinial) sudah mulai terwujud hubungan kekeluargaan yang erat antara bapak dengan anak kandungnya (dalam hukum adat Minangkabau_ hubungan anak dengan bapak boleh dikatakan lepas), hukum Islam sangat memberatkan garis bapak, sehingga dengan demikian lambat laun hubungan
· anak dengan bapak pada masyarakat keibuan itu melijadi bertambah . erat.
57
Pada masyarakat kebapakan yang menitik beratkan kepada garis bapak hukum Islam juga memberi pengaruh yang besar, karena Islam bersifat parental tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan (hukum waris Islam juga adalah parental), ini akan merupakan penerobosan terhadap hukum adat yang berlaku terutama apabila d~am hukum waris dipergunakan hukum agama.
Pada masyarakat Batak larangan kawin berdasarkan hukum adat dengan masuknya hukum Islam tidak berlaku lagi. Dalam hal ini Prof. Mahadi, menyebutkan bahwa: larangan kawin semarga dikalangan suku Batak Simalungun yang telah beragama Islam tidak berlaku lagi 9)
Dengan bertambah majunya alat komunikasi dewasa ini hubungan dengan dunia luar/internasional makin meluas, faktor-faktor yang telah ada tadi dan telah mendapat tempat di dalam masyarakat, ak'an memberi pengaruh lebih besar lagi kepada hukum keluarga yang dianut, faktor-faktor ini merupakan gejala sosial yang tumbuh di dalam masyarakat itu. Selain ini terdapat faktor yang bersifat yuridis yang dapat memberi pengaruh besar dalam perkembangan hukum keluarga dalam menuju kearah hukum yang bersistem parental yaitu perundang-undangan dan yurisprudensi. Dengan undang-undang dan yurisprudensi mau tidak mau masyarakat hams mematuhinya, meskipun dalam yurisprudensi hanya insidentil (per kasus), masyarakat akan melaksanakan ketentuan tersebut meskipun tidak begitu efektif.
Perundang-undangan yang dapat mempengaruhi hukum keluarga yang berlaku pada saat ini adalah undang-undang perkawinan (Undang-Undang No. 1 tahun 1974), undang-undang ini berlandaskan sistem hukum keluarga yang parental, dan sejak diundangkannya berlaku bagi setiap warganegara (meskipun hukum yang dianut mereka tidak berdasarkan sistem parental).
Pengaruh hukum keluarga yang tercantum di dalam undangundang inijelas karena mau tidak mau harus diikuti dan ditaati meski-
9) Prof. Mahadi, S.H., "Beberapa dtik perkembangan hukum adat di Sumatera dalam yurisprudensi" Hukum No. 1 tahun pertllma 1974, penerbit Yaya&an Penelitfan dan Pengembangan Hukum (Lawcenter),hal. 80.
58
pun dalam pelaksanaannya terjadi benturan-benturan dalam masyarakat yang berlainan sistem itu.
Sedangkan tentang yurisprudensi, meskipun kedudukan hukum yurisprudensi di Indonesia tidak bersifat memaksa dan hanya mengatur saja pengaruhnya dalam masyarakat tidak dapat diabaikan. Dalam setiap penanganan masalah hukum keluarga dan waris yang terjadi di dalam masyarakat keibuan maupun kebapakan hakim selalu mengarahkannya kepada sistem yang berlaku pada masyarakat parental, begitu pula Mahkamah Agung di dalam keputusan-keputusannya sudah mengarah kepada sistem parental seperti yang telah digariskan oleh Pemerintah. Kita lihat disini misi yang dibawa oleh badan peradilan adalah unifJ.kasi dalam hukum keluarga dan waris yang bersifat parental. Meskipun yang diselesaikan oleh badan peradilan ini hanya terbatas kepada mereka yang berperkara saja namun tidak dapat disangkal lagi pengaruhnya tidak sedikit dalam menunjang tujuan uniftkasi tersebut.
Dengan pengaruh dari berbagai faktor tersebut dapatlah kita harapkan bahwa dalam bidang hukum keluarga ini akan menjadi perubahan besar meskipun secara perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit dari sistem yang plural ke arah satu sistem yaitu sistem parental. Perubahan sistem plural menjadi satu sistem yang parental akan memudahkan terlaksananya semua program pemerintah dalam pembinaan hukum nasional yang seirama dengan kesadaran hukum masyarakatnya tidak hanya dalam bidang hukum keluarga, tetapi juga dalam bidang lain yang berkaitan erat dengan hukum keluarga yaitu hukum waris.
Dengan terhapusnya berbagai sistem itu dan hanya ada satu sistern yaitu sistem parental, jalan menuju kesatuan hukum waris dan individuil parental akan dapat dicapai.
59
PENUTUP
Sebagai penutup dapatlah kita katakan bahwa dengan UndangUndang No. 1 tahun 1974 tidak tercapai uniftkasi hukum dalam hukum perkawinan, uniftkasi hanya berhasil dalam bidang administrasi, materi hukumnya tetap beraneka ragam. Hukum perkawinan dewasa ini dapat dikatakan adalah hukum agama, tetapi yang dimaksud dengan hukum agama disini bukan hanya yang dijumpai dalam kitab-kitab suci atau dalam keyakinan yang terbentuk dalam gerejagereja atau dalam kes~tuan-kesatuan masyarakat, tetapi juga semua ketentuan perundangan, baik yang telah berlaku sebelum undangundang perkawinan ini berlaku maupun yang akan ditetapkan kemudian.
Undang-undang inipun dapat dikatakan sebagai ketentuan yang berusaha untuk menguniftkasikan hukum keluarga, karena tidak hanya mengatur hukum perkawinan tapi juga beberapa bidang hukum keluarga. Dengan demikian sudah ada usaha unifikasi dalam hukum keluarga meskipun hanya diatur secara garis besar saja. Pengaturan secara garis besar ini mengakibatkan dalam pelaksanaan undang-undang ini kita perlu mempergunakan pasal 66 dari undangundang perkawinan dan melihat lagi kepada hukum keluarga sebelumnya, dan dalam beberapa hal undang-undang ini akan mengembalikan kepada hukum semula apabila teljadi benturan denganinasalah yang peka. Hukum keluarga sangat peka, karena berkaitan dengan hal-hal spirituil, bersangkut paut dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat, sifatnya sangat sensitif atau non netral.
Meskipun usaha uniftkasi ini tidak tercapai namun tidak dapat dikatakan bahwa usaha ini tidak berhasil, ada beberapa hal yang mendapat penyelesaian dalam undang-undang perkawinan ini, misalnya masalah kedewasaan, masalah status anak luar kawin, memang tidak banyak yang dihasilkan itu tapi ada manfaatnya. Hukum keluarga yang plural ini menimbulkan berbagai masalah apabila teljadi kontak satu sama lain, dan ini memerlukan penyelesaian secara yuridis.
Variabilitas dalam hukum keluarga ini terutama karena sistem yang dianut dalam masyara.kat berbeda satu sama lain, terutama menyangkut masyarakat adat, dalam hukum adat di.kenal tiga sistem kekeluargaan, yaitu sistem parental, patrilinial dan matrilinial. Hu-
60
kum keluarga dalam undang-undang perkawinan menganut sistem parental, karena itu dalam hal-hal tertentu akan berbenturan dengan sistem yang lain (patrilinial dan matrilinial), karena itu perlu perubahan sikap dari masyarakat segi satu ini untuk dapat menerima sistem yang telah digariskan oleh undang-undang tersebut.
Efek uniftkasi hukum yang terdapat dalam undang-undang dapat mempengaruhi sikap masyarakat adat terutama dalam penentuan kedewasaan , kalau dulu tidak pemah memakai kriteria usia dalam menentukan kedewasaan, sekarang sudah mulai memakai kriteria tersebut meskipun hanya satu perkiraan saja.
Kedudukan yang seimbang antara suami isteri dan kedudukan yang sama antara anak-anak baik laki-laki maupun perempuan, memberikan perubahan sikap dari orang tua terhadap anaknya dalam kedudukan yang sama, bagitu pula sikap si anak akan tidak membedakan keluarganya, baik keluarga ibu maupun keluarga bapak sama dalam pandangan mereka. Dan ini akan membawa pengaruh besar untuk dapat mencapai cita<ita kearah uniftkasi hukum dengan berorientasi pada sistem parental.
61
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Bushar Muhammad, S.H. Pokok-pokok Hukum Adat Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.
2. Prof. Mr. Dr. S. Gautama, -Suatu Pengantar Hukum antar go1ongan, PT. Penerbit dan Balai Buku "lchtiar", 1971.
3. Prof. Dr. Hazairin, S.H., -Hukum Keke1uargaan Nasiona1, Pitamas- Jakarta, 1982.
4. Prof. Dr. Hazairin, S.H., - Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, Tintamas,- Jakarta, 1975.
5. hnan Sudiyat, -Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.
6. Prof. Mahadi, S.H., -Beberapa titik perkembangan hukum Adat di Sumatera dalam Yurisprudensi, "Hukum no, 1 tahun pertama 1974", penerbit Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center).
7. Prof. Dr. Supomo, S.H., -Bab-bab tentang Hukum Adat, penerbit Universitas, 1966.
8. Prof. Dr. Supomo, S.H., -Hukum Perdata Adat Jawa Barat terjemahan Ny. Nani Soewondo, S.H., penerbit Jambatan, 1977.
9. Prof. Dr. Supomo, S.H., -Hubungan individu dan masyarakat dalam Hukum Adat, penerbit Pradnya, Jakarta 1978.
10. Prof. Dr. Soetjono Soekanto, SH.MA., Soleman b. Taneko, S.H., Penerbit Rajawali- Jakarta 1983 .
11. R. Soerojo Wignyodipoero, S.H., -Kedudukan serta Perkembangan Hukum Ad at sete1ah kernerdekaan, Gunung Agung, Jakarta MCML XX-11.
12. Prof. Subekti, S.H., ....:..Pokok-pokok dari Hukum Perdata, Penerbit PT lntermasa, 1975.
13. Soediman Kartohadiprodjo, -Pengantar Tata Hukum di Indo- . nesia, Penerbit PT Pem bangunan Jakarta, 196 7.
14. Prof. Mr. ter Haar Bzn, Beginselen en stelsel van het Adat r~cht.
62
15. K. Wantjik Saleh, S.H., -Uraian Peraturan Pe1aksanaan Undangundang Pe._rkawinan, PT ln~hti~_Baru, Jakarta 197?.
16. Mr. Wiryono Prodjodikoro, -Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, 1967.
17. H.F.A. Vollmar, -Pengantar Studi Hukum Perdata, Penerbit CV. Radjawali- Jakarta, 1983.
18. Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, BPHN, Penerbit Binacipta.
19. Seminar Hukum Nasional keempat tahun 1979 Btiku I, BPHN., Penerbit Bina Cipta.
20. Majalah Hukum Varia Peradilan, tahun II No. 17, Pebruari 1987.
63
I '