efektifitas buah belimbing wuluh (averrhoa bilimbil...
TRANSCRIPT
EFEKTIFITAS BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbiL) SEBAGAI
LARVASIDA NYAMUK Aedessp.
KARYA TULIS ILMIAH
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan
Diploma III Politeknik Kemenkes Kendari
Jurusan Analis Kesehatan
OLEH
AFRINDAYANTI
P00341014001
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2017
ii
iii
iv
v
MOTTO
“Yakinlah kau bisa dan kau sudah separuh jalan menuju ke sana”
Seringkali langkah pertama menjadi penghambat dalam melakukan sesuatu.
Padahal setelah langkah pertama kita ambil, ternyata semuanya tak serumit
yang kita bayangkan
Keyakinan pun tak kalah penting dengan langkah pertama.
Sebelum menggapaitujuanmu, yakinlah bahwa kamu bisa.
Semuanya akan terasa lebih mudah dan kamu lebih cepat meraih targetmu.
Kupersembahkan Karya Tulis Ini
Untuk Kedua Orang Tuanku, Agama
Bangsa Dan Almamaterku Tercinta
vi
RIWAYAT HIDUP PENELITI
A. IDENTITAS DIRI
Nama : Afrindayanti
NIM : P00341014001
Tempat, Tanggal Lahir : Unaaha, 23 September 1995
Suku / Bangsa : Tolaki / Indonesia
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
B. PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar Negeri Galu, Tamat Tahun 2007
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Sampara, Tamat Tahun 2010
3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sampara, Tamat Tahun 2013
4. Sejak tahun 2014 Melanjutkan pendidikan di Politeknik Kesehatan Kemenkes
Kendari Jurusan Analis Kesehatan
vii
ABSTRAK
Afrindayanti (P00341014001) “Efektifitas Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa
BilimbiL) Sebagai Larvasida Nyamuk Aedessp”. Dibimbing oleh Bapak Petrus,
sebagai pembimbing Idan Ibu Reni Yunus sebagai pembimbing II ( xiv + halaman
+ daftar Tabel + daftar gambar + daftar lampiran).
Latar Belakang: Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbiL.) merupakan salah satu
tanaman yang dimanfaatkan sehari-hari sebagai bumbu masakan. Buah belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbiL.) merupakan tanaman yang berpotensi sebagai larvasida,
kandungan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbiL.) yang dapat berfungsi sebagai
larvasida yaitu alkaloid, saponin, dan flavonoid.
Tujuan:Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas buah belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) sebagai larvasida nyamuk Aedes sp.
Metode: Penelitian ini bersifatExperimental laboratories dengan rancangan post test
only control group, subjek dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol. Sampel penelitian ini adalah larva Aedessp yang di ovitrap
sebanyak 350 larva.
Hasil:Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas buah belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbiL.) kematian larva Aedes sp dalam waktu 24 jam dinyatakan tidak
efektif pada konsentrasi 2%, 3%, dan 4% sedangkan yang dinyatakan efektif yaitu
pada konsentrasi 5%, 6%, 7% dan 8%. Hasil perhitungan analisis probit didapatkan
hasil bahwa nilai LC50 adalah 4,080% dan LC90 adalah 7,014%.
Kesimpulan: Belimbing wuluh efektif sebagai larvasida alami nyamuk Aedes sp.
Saran: Bagi masyarakat dapat menggunakan buah belimbing wuluh sebagai alternatif
lain untuk pemberantasan nyamuk Aedes sp
Kata Kunci : Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L), Larvasida,
Larva Aedessp
Daftar Pustaka : 56 buah (1981-2017)
viii
KATA PENGANTAR
Assalamuaalaikum Wr.Wb
Alhamdulillahirobbil Alamin, Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah dan kemudahan yang selalu diberikan kepada hamba-Nya, sehingga
karya tulis ilmiah dengan judul “Efektifitas Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa
BilimbiL) Sebagai Larvasida Nyamuk AedesSp.”. Penelitian ini disusun dalam
rangka melengkapi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan program
Diploma III (DIII) pada Politeknik Kesehatan Kemenkes Kendari Jurusan Analis
Kesehatan.
Rasa hormat, terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
kedua orang tua saya, Bapak Muslimin dan Ibu Minawatiserta saudara/i saya
(Syaran, Kiki, Sherina, Sawal, Alya) atas semua bantuan moril maupun materil,
motivasi, dukungan dan cinta kasih yang tulus serta doanya demi kesuksesan studi
yang penulis jalani selama menuntut ilmu sampai selesainya karya tulis ini.
Proses penulisan karya tulis ilmiah ini telah melewati perjalanan panjang dan
penulis banyak mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis juga menghaturkan rasa terima kasih kepada Petrus,
SKM.,M.Kes selaku pembimbing I dan Reni Yunus, S.Si.,M.Scselaku pembimbing II
yang telah memberikan bimbingan, kesabaran dalam membimbing dan atas segala
pengorbanan waktu dan pikiran selama menyusun karya tulis ini. Ucapan terima kasih
penulis juga tujukan kepada:
1. Bapak Petrus, SKM., M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Kendari
2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara yang
telah memberikan izin penelitian kepada penulis dalam penelitian ini.
3. Ibu Ruth Mongan, B.Sc.,S.Pd.,M.Pd selaku Ketua Jurusan Analis Kesehatan.
4. Kepada Bapak dan Ibu Dewan Penguji. Hj. St. Rachmi
Misbah,S.Kep.,M.Kes, Fonnie E. Hasan, DCN.,M.Kes, Muhamaimin
ix
Saranani, S. Kep, Ns, M. Kesdan yang telah memberikan arahan perbaikan
demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Poltekkes Kemenkes Kendari Jurusan Analis
Kesehatan serta Seluruh Staf dan Karyawan atas segala fasilitas dan
pelayanan akademik yang diberikan selama penulis menuntut ilmu.
6. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih kepada Ulfa, Nina, Anna, Umi,
Ipah, Indah, Titin, Rosma, Yaqub, Ichsan, Asirudin, Rini, Nikma, dan
Ahmad yang selama ini telah memberikan bantuan baik secara langsung
maupun tidak langsung demi kesuksesan penulis.
7. Kepada sahabat-sahabatku tersayang terimakasih atas motivasi dan semangat
kalian selama ini.
8. Terima kasih juga kepada Seluruh Teman-Teman Seperjuanganku
Mahasiswa Jurusan Analis Kesehatan yang dari awal kita bersama hingga
saat ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terkhusus kepada kedua
orang tua tercinta dari Umiyati, terimakasih atas dukungan serta fasilitas
yang kalian berikan.
Penulis sangat menyadari sepenuhnya dengan segala kekurangan dan
keterbatasan yang ada, sehingga bentuk dan isi Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh
dari kesempurnaan dan masih terdapat kekeliruan dan kekurangan. Oleh karena itu,
dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan Karya Tulis ini.
Akhir kata, semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat membawa manfaat untuk
menambah khasanah ilmu khususnya bagi ilmu pengetahuan dan penelitian
selanjutnya. Karya ini merupakan tugas akhir yang wajib dilewati dari masa studi
yang telah penulis tempuh, semoga menjadi awal yang baik bagi penulis Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Kendari, Juli 2017
Penulis
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 PanjangtelurAedes aegypti ............................................................... 9
Gambar 2 Larva InstarIAedes aegypti ................................................................ 9
Gambar 3 Larva InstarIIAedes aegypti ................................................................. 10
Gambar 4 Larva InstarIIIAedes aegypti ................................................................ 10
Gambar 5 Larva InstarIVAedes aegypti ................................................................ 11
Gambar 6 Pupa Aedes aegypti ............................................................................... 12
Gambar 7 Siklus HidupAedes aegypti .................................................................. 13
Gambar 8 Buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) ..................................... 26
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Tabel Distribusi Jumlah Mortalitas Larva Aedes Sp Pada
Berbagai Konsentrasi Sari Buah Belimbing Wuluh (Ave 41
rrhoa bilimbi L) Setelah 24 Jam Perlakuan ....................
Tabel 5.2Hasil Analisis Probit Sari Buah Belimbing Wuluh (Aver
rhoa bilimbi L)Sebagai Larvasida Aedes sp .................. 42
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Penelitian Dari Poltekkes Kemenkes
Kendari
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian Dari Jurusan Analis kesehatan
Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Penelitian Dari Badan Riset
Lampiran 4 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
Lampiran 5 Data Penelitian Efektifitas Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa
BilimbiL) Sebagai Larvasida Nyamuk Aedessp.
Lampiran 6 Hasil Analisis Probit
Lampiran 7 Surat Keterangan Bebas Labolatorium
Lampiran 8 Surat Keterangan Bebas Pustaka
Lampiran 9 Dokumentasi Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aedes sp merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue
penyebab penyakit demam berdarah. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi
hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Aedes aegypti merupakan pembawa
utama (primary vector) dan bersama Aedesalbopictus menciptakan siklus
persebaran dengue di desa - desa dan perkotaan (Anggraeni, 2011).
Nyamuk ini berpotensi untuk menularkan penyakit demam berdarah dengue
(DBD). DBD adalah suatu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia. Jumlah kasus
DBD di Indonesia dalam tiga tahun terakhir cenderung menurun. Jumlah kasus
Demam Berdarah di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 158.000 kasus. Kasus
tersebut turun pada tahun 2010 menjadi 156.000 kasus. Kasus tersebut kembali
turun pada tahun 2011 menjadi 49.000 (Kemenkes RI, 2011).
Tahun 2015 merupakan tahun dengan angka penderita DBD tertinggi dalam
beberapa tahun terakhir, jumlah penderita DBD di Sulawesi Tenggara yang
dilaporkan sebanyak 1.597 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 22 orang
(Incidence Rate/Angka Kesakitan = 64,7 per 100.000 penduduk dan Case Fatality
Rate (CFR)/Angka Kematian = 1,4%), angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya. Sebaran kasus DBD menurut kabupaten/kota di mana dari 17
kabupaten hanya 2 kabupaten yang bebas DBD, ini berarti 88% kabupaten/kota di
Sulawesi Tenggara terkena wabah DBD (Profile Dinkes Sultra, 2015)
Kota Kendari adalah jumlah kasus demam berdarah tertinggi, 602 kasus
dan 2 kematian (CFR: 0,99%). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kendari,
kejadian demam berdarah telah menyebar hampir di seluruh kota Kendari dengan
jumlah pasien pada tahun 2009 adalah 285 orang dan 4 orang meninggal (CFR:
1,6%) pada tahun 2010, kejadian demam berdarah di Kendari meningkat menjadi
278 orang dan 2 meninggal (CFR: 0,7). Sedangkan pada 2011 jumlah penderita
2
demam berdarah kembali mencapai 298 orang dan 5 meninggal. (CFR: 1,7%)
Demam berdarah terjadi di hampir semua kabupaten di kota Kendari Berdasarkan
survei pendahuluan di wilayah kerja dinas kesehatan pada tahun 2012, data dari 4
desa di wilayah kerja dinas kesehatan pelabuhan, desa Kandai paling banyak
kerapatannya, daerah mengidentifikasi larva nyamuk dengan skor Home Index (HI)
sebesar 60,18% (Profile Dinkes Sultra, 2015).
Aedes sp harus ditanggulangi, ada beberapa kebijakan pemerintah dalam
pengendalian vektor yaitu dengan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M
(menguras, menutup, dan membuang), namun usaha pemutusan mata rantai
perkembangbiakan nyamuk dengan cara ini belum efektif (Kusriastutik, 2005).
Kebijakan lain dari pemerintah dalam pengendalian vector penyebab DBD juga
dengan melakukan pengasapan (fogging) secara missal didaerah yang terjangkit
penyakit dan membagikan larvasida sintetis secara gratis (Adimidjaja T K, dkk.
2005).
Menurut Yunus, Reni (2016) Penggunaan bahan kimia insektisida fogging
tidak memiliki manfaat yang signifikan, karena penggunaan fogging hanya
menyebabkan nyamuk dewasa mati, sedangkan larva nyamuk tidak mati.
Menurut Damar, Tri (2004), nyamuk Aedes sp cenderung toleran terhadap
senyawa organofosfat (bahan kimia pengendali nyamuk dan jentik), keadaan ini
biasanya timbul sebagai akibat penggunaan insektisida sejenis secara terusmenerus
dalam waktu yang lama. Penggunaan abate yang dilakukan masyarakat saat ini
tidak memenuhi standar (1 bungkus dalam 10 ml air) sehingga menyebabkan
terjadinya resistensi terhadap penggunaan abate. Melihat besarnya bahaya yang
ditimbulkan maka dicari alternative untuk mengganti larvasida abate dengan
memanfaatkan zat - zat kimia yang ramah lingkungan, yaitu menggunakan
pestisida nabati.
Menurut Kardinan, agus (2002), pestisida nabati merupakan suatu pestisida
yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Pestisida ini terurai di alam
(biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi
3
manusia dan ternak peliharaan. Pestisida nabati juga bersifat pukul dan lari (hit and
run) yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah
terbunuh maka residunya akan cepat hilang dialam, serta relatif mudah dibuat
dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Beberapa contoh tumbuhan
yang dapat menghasilkan pestisida nabati antara lain: bengkuang (Pachyrrhyzus
erosus) bagian tanaman yang digunakan biji: jeringau (Acorus colamus) bagian
tumbuhan yang digunakan rimpang; sirsak (Annona muricata) bagian tumbuhan
yang digunakan daun dan biji; suren (Toona sureni) bagian tumbuhan yang
digunakan umumnya daun, namun kulit dan batangnya berbau tajam sehingga
dapat mengusir hama tanaman. Beberapa tumbuhan pestisida nabati masing -
masing mempunyai kemampuan yang berbeda - beda mengendalikan serangga.
Bahkan didalam satu tanaman mempunyai tingkat toksisitas yang berbeda antara
daun, biji, bunga, batang dan akar.
Tumbuhan pestisida nabati yang juga memiliki bahan aktif sebagai
larvasida alamiah, salah satunya yaitu buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbiL.)
yang dimana telah dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Adapun kandungan
kimia dari belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) yaitu alkaloid, saponin, dan
flavonoid (Litbangkes, 2004).
Senyawa alkaloid bisa mendegradasidinding sel sehingga merusak sel
saluranpencernaan. Senyawa saponinterdapat padatanaman yang kemudian
dikonsumsiserangga, mempunyai mekanisme kerja yangdapat menurunkan
aktivitas enzimpencernaan dan penyerapan makanan, sehingga saponin bersifat
sebagai racun perut. Flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang
dapat bersifat menghambat saluran pencernaan serangga dan juga bersifat toksis
(Arivia Shella, dkk 2010).
Buah belimbing wuluh dipilih karena tanaman ini sudah sangat dikenal
masyarakat, dan mudah diperoleh. Buah belimbing wuluh memiliki banyak
manfaat bagi kehidupan manusia, tidak hanya sebagai bumbu masakan saja, namun
juga sebagai larvasida terhadap Aedes sp. Hal ini sebagaimana hasil penelitian
4
sebelumnya yang dilakukan oleh Oktavia, Aylien dkk (Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Riau) pada konsentrasi 0.8%, 1.3%, dan 2% tidak
dapat dikatakan efektif karena jumlah larva yang mati kurang dari 30%, sedangkan
pada konsentrasi 3% dapat membunuh larva secara efektif karena jumlah larva
yang mati adalah 92.5% dari 40 larva Aedes sp. Hasil yang didapatkan pada LC50
ekstrak buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L. ) adalah 2.14%.
LC (Lethal Concentration) ekstrak buah belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbiL.) dapat dikatakan memiliki toksisitas akut dan termasuk dalam kriteria
sangat beracun. Hal ini sesuai dengan pendapat Bernad (2011), bahwa toksisitas
akut yang dikatakan sangat beracun berada pada kisaran<1%, beracun 1-10%,
cukup beracun 10-50%, sedikit beracun 50-100% dan tidak beracun pada kisaran
>100%. Pada penelitian sebelumnya, peneliti menggunakan ekstrak buah
belimbing wuluh dimana dalam pemisahannya menggunakan larutan ethanol.
Adapun yang membedakan penelitian kali ini dengan penelitian
sebelumnya yaitu terletak pada jumlah konsentrasi belimbing wuluh yang
digunakan, jumlah konsentrasi belimbing wuluh pada penelitian sebelumnya yaitu
0.8%, 1.3%, 2%, dan 3% dan jumlah sampel larva sebelumnya sebanyak 40 ekor
larva. Sedangkan pada penelitian ini peneliti menggunakan konsentrasi 2%, 3%,
4%, 5%, 6%, 7% dan 8% dengan jumlah larva sebanyak 25 ekor larva. Penelitian
sebelumnya juga menggunakan LC50 sedangkan penelitian ini menggunakan LC50
dan LC90 pada penelitian sebelumnya juga menggunakan ekstrak buah belimbing
wuluh dimana dalam pemisahannya menggunakan larutan ethanol sedangkan
penelitian ini menggunakan sari buah belimbing wuluh yang murni tanpa tambahan
ethanol.
Dari uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang
Efektivitas Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbiL.) sebagai Larvasida
Nyamuk Aedes sp, yang dalam hal ini buah belimbing wuluh diolah dalam bentuk
sari. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas buah belimbing wuluh
5
dalam membunuh larva Aedes sp dan menganalisis jumlah larva yang mati dari
berbagai konsentrasi buah belimbing wuluh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian yaitu “Apakahbuah belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbiL.) mempunyai efek larvasida terhadap larva Aedes sp dengan
menggunakan sari buah belimbing wuluh ?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
sebagai larvasida nyamuk Aedes sp.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsentrasi (2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7% dan 8%) yang
efektif dari buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)sebagai larvasida
Aedes sp dengan menggunakan sari buah belimbing wuluh
b. Untuk mengetahui LC50 dan LC90 sebagai larvasida buah belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.)terhadap Aedes sp melalui analisis Probit.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Untuk memberikan sumbangsih ilmiahuntuk almamater berdasarkan
hasil penelitian tentang efektifitas buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbiL.)
sebagai larvasida nyamuk Aedesspdan Sumber pustaka sekaligus menambah
koleksi perpustakaan Jurusan Analis Kesehatan untuk menjadi bahan bacaan.
6
2. Manfaat Praktisi
a. Untuk Peneliti
Dapat mengetahui informasi ilmiah tentang efektifitas buah
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbiL.) sebagai larvasida nyamuk Aedessp.
b. Untuk Peneliti Lanjut
Penelitian ini dapat menambah dan memperluas keilmuan
khususnya dalam bidang Parasitologi tentang efektifitas buah belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbiL.) sebagai larvasida nyamuk Aedessp.
`
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Menegenai Nyamuk Aedes sp
Nyamuk Aedes sp merupakan vektor penyebar virus Dengue penyebab
penyakit Demam Berdarah Dangue (DBD) yaitu Aedes aegypti dan Aedes
albopictus, namun dalam penuluran virus dangue nyamuk Aedes aegypti lebih
berperan dari pada nyamuk Aedes albopictus karena habitat Aedes aegypti lebih
dekat dengan lingkungan hidup manusia daripada habitat nyamuk Aedes albopictus
yang berada di kebun-kebun dan rawa-rawa (Umi, 2011).
Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau
tiger mosquito karena nyamuk ini mempunyai ciri khas yang berupa adanya garis-
garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar warna hitam yang terdapat
pada kaki dan tubuhnya (Wati,2010).
Nyamuk Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa
virus demam kuning (yellow fever),chikungunya dan demam zika. Penyebaran
nyamuk Aedes aegypti tersebar luas khususnya tersebar pada daerah tropis dan
subtropis (Anggraeni, 2011).
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama dalam penyebaran penyakit
DBD, Populasi nyamuk Aedes aegypti meningkat antara bulan September hingga
November dengan puncaknya antara bulan Maret hingga Mei. Peningkatan populasi
nyamuk akan menyebabkan meningkatnya jumlah penderita penyakit DBD,
nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang hidup di pemukiman penduduk,
stadium dewasa mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat penampungan air
yang jernih (Eka, 2013).
Nyamuk Aedes aegypti bersifat diurnal yaitu melakukan aktivitas secara
aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan virus dengue dilakukan oleh nyamuk
betina karena hanya nyamuk betina yang menghisap darah sebagai asupan protein
untuk memproduksi telur. Nyamuk Aedes aegypti jantan menghisap sari bunga
sebagai asupan energi (Nauli, 2011).
8
Nyamuk Aedes albopictus mempunyai habitat di kebun-kebun atau di
kawasan pinggir hutan sehingga sering disebut dengan nyamuk kebun. Nyamuk
Aedes albopictus dapat berkembang biak pada lubang pohon yang berair dan
meletakkan telurnya di atas permukaan air di lubang pohon tersebut (Nauli, 2011).
1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Richard dan Davis (1977) yang dikutip oleh Seogijanto,
Soegeng (2006), kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes sp
Jenis : Aedes aegypti
(Soegijanto, Soegeng. 2006)
2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
a. Stadium Telur
MenurutHerms(2006),telur nyamukAedes aegyptiberbentukellips
atauovalmemanjang,berwarna hitam,berukuran0,5-0,8mm,dan tidak
memiliki alat pelampung. NyamukAedes aegypti meletakkan telur-
telurnyasatuper satupada permukaanair,biasanya pada tepiair di tempat-
tempat penampungan air bersih dansedikit di atas
permukaanair.NyamukAedes aegyptibetinadapat menghasilkan
hingga100telurapabilatelahmenghisapdarahmanusia. Telur pada tempat
kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur-telur ini kemudian
akan menetas menjadi jentik setelah sekitar1-2 hari terendam air(Herms, W.
2006).
9
TelurAedes aegyptidiperkirakanmemilikiberat0,0010-0,015mg dan
(Astutidkk ,2004). TelurAedes aegyptitidak memiliki
pelampung.Padapermukaanluardindingseltersebarsuatustruktur selyang
disebutouter chorionic cell.(Suman, D. S., dkk, 2011).
Gambar1. PanjangtelurAedes aegypti. (Sumber:Suman, D. S., dkk, 2011).
b. StadiumLarva (Jentik)
MenurutHerms, W. (2006),larva nyamukAedes
aegyptimempunyaiciri khasmemiliki siphonyang
pendek,besardanberwarnahitam.Larva ini tubuhnyalangsing,bergerak sangat
lincah, bersifat fototaksis negatif danpada
waktuistirahatmembentuksuduthampir tegaklurus
denganpermukaanair.Larva menujuke permukaanairdalamwaktu kira-kira
setiap ½-1menit, guna mendapatkanoksigen untuk
bernapas.LarvanyamukAedes aegyptidapatberkembang selama6-8 hari
(Herms, W. 2006).
BerdasarkandatadariDepkesRI(2005),adaempattingkat(instar) jentik
sesuai denganpertumbuhan larvatersebut,yaitu:
1) Larva instarI; berukuran palingkecilyaitu1-2mm atausatu sampaidua
harisetelahtelurmenetas,duri-duri(spinae)pada dada belum jelas dan
corong pernapasan padasiphon belum menghitam (Hoedojo, R. 1993).
10
Gambar 2. Larva InstarIAedes aegypti(Sumber:Gama, Z.P., dkk 2010)
2) LarvainstarII; berukuran 2,5-3,5 mm berumurduasampai tigahari
setelahtelurmenetas, duri-duridada belum jelas, corong pernapasan
sudah mulaimenghitam (Hoedojo, R. 1993).
Gambar 3.Larva InstarIIAedes aegypti(Sumber:Gama,Z.P., dkk 2010)
3) LarvainstarIII;berukuran4-5mmberumurtigasampaiempathari
setelahtelur menetas,duri-duridada mulaijelasdancorong pernapasan
berwarna coklat kehitaman (Hoedojo, R. 1993).
Gambar 4.Larva InstarIIIAedes aegypti(Sumber:Gama,Z.P., dkk 2010)
11
Menurut Wulandari et al (2006) larva pada tahap instar III
dipakai sebagai bahan penelitian karena tahap ini dianggap cukup
mewakili kondisi larva. Ukuran larva instar III tidak terlalu kecil
sehingga mudah untuk diamati dan larva ini merupakan bentuk yang
aktif mencari makan. Menurut acuan WHO tahun 2005 besar sampel
dalam penelitian larvasida adalah 20-30 ekor larva Aedes aegypti instar
III untuk masing-masing perlakuan dengan pengulangan sebanyak 4 kali
untuk setiap perlakuan.
4) LarvainstarIV;berukuranpalingbesaryaitu5-6mmberumur
empatsampaienamharisetelahtelur menetasdenganwarna kepala gelap
(Hoedojo, R. 1993).
Gambar 5.Larva InstarIVAedes aegypti(Sumber: Gama,Z.P., dkk 2010)
c. Stadium Pupa
Pupaberbentukkoma,gerakanlambat,sering adadipermukaanair.
Padapupaterdapatkantong udarayangterletakdiantarabakalsayap
nyamukdewasadanterdapatsepasang sayappengayuhyangsaling
menutupisehingga memungkinkanpupa untukmenyelamcepatdan
mengadakanserangkaianjungkiran sebagai reaksiterhadap rangsang.
Bentuknyamukdewasatimbul setelahsobeknyaselongsong pupa
olehgelembung udarakarenagerakanaktifpupa.Pupabernafaspada
permukaanairmelaluisepasang struktursepertiterompetyang kecil padatoraks
(Aradilla, A. S. 2009).
12
Gambar 6.Pupa Aedes aegypti(Sumber:Zettel CM,2010)
d. Nyamuk dewasa
NyamukAedes aegypti dewasa berukuranlebihkecildaripada ukuran
nyamukrumah(Culex quinquefasciatus)(Djakaria,2006).Nyamuk Aedes
aegyptidikenal dengansebutanblack white mosquitoatau tiger mosquito
karena tubuhnyamemilikiciriyangkhas,yaitudengan adanyagaris-garis dan
bercak-bercak putih keperakan di atas dasar
warnahitam.Sedangkanyangmenjadicirikhasutamanyaadalahada dua
garislengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateraldandua
buahgarislengkung sejajar digarismediandari punggungnyayang
berwarnadasar hitam(lyreshaped marking) (Soegijanto, Soegeng. 2006).
3. Siklus hidup Aedes aegypti
NyamukAedes aegyptimengalamimetamorfosa sempurna,yaitudari
bentuk telur, jentik, kepompongdan nyamuk dewasa. Stadium telur, jentik,
dankepompong hidupdidalamair(aquatik), sedangkannyamukhidup secara
teresterial(diudara bebas).Pada umumnya telur akanmenetas menjadilarva
dalam waktukira-kira 2harisetelahtelurterendamair.
Nyamukbetinameletakkantelurdidinding wadahdiataspermukaanair
dalamkeadaanmenempelpadadinding perindukannya.Nyamukbetina
setiapkalibertelur dapatmengeluarkantelurnyasebanyak100butir.Fase
aquatikberlangsungselama8-12hariyaitustadiumjentikberlangsung 6-8
hari,danstadiumkepompong (pupa) berlangsung 2-4hari.Pertumbuhan
13
mulaidaritelursampaimenjadinyamukdewasaberlangsungselama10-14 hari.
Umur nyamuk dapat mencapai 2-3 bulan(Ridad dkk., 1999).
Gambar 7. Siklus HidupAedes aegypti(Sumber: Hopp &Foley, 2001)
4. Habitat
Telur, larva dan pupa nyamuk Aedes aegypti tumbuh dan berkembang
di dalam air. Genangan yang disukai sebagai tempat perindukan nyamuk ini
berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasanya kontainer
atau tempat penampungan air bukan genangan air di tanah. Tempat perindukan
yang paling potensial adalah Tempat Penampungan Air (TPA) yang digunakan
sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember dan sejenisnya.
Tempat perindukan tambahan adalah disebut non-TPA, seperti tempat
minuman hewan, barang bekas, vas bunga dan lain-lainnya, sedangkan TPA
alamiah seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa,
kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu dan lain-lainnya. Nyamuk
Aedes aegypti lebih tertarik untuk meletakkan telurnya pada TPA yang
berwarna gelap, paling menyukai warna hitam, terbuka lebar, dan terutama
yang terletak di tempat-tempat terlindung sinar matahari langsung (Hendra,
2007).
14
5. Perilaku Nyamuk Aedes aegypti
Pembasmian nyamuk Aedes aegypti bisa diberantas dengan efektif
apabila pola perilaku tentang nyamuk tersebut sudah diketahui. Pola perilaku
nyamuk Aedes aegypti meliputi perilaku mencari darah, perilaku istirahat, dan
perilaku berkembangbiak (Hiswani, 2004).
a. Perilaku mencari darah
Nyamuk betina untuk dapat melakukan kopulasi harus menghisap
darah. Nyamuk betina memerlukan protein untuk pembentukan telur
(Hiswani, 2004). Dalam kaitannya dengan kebiasaan makan Aedes aegypti
termasuk nyamuk day biter atau aktif mengisap darah waktu siang hari,
terutama nyamuk-nyamuk yang masih muda (umur 1-8 hari). Makin tua
umurnya, cenderung adanya perubahan kebiasaan ke night biter atau aktif
mengisap darah waktu malam hari (Wijana, D. P dan K . Ngurah. 2008).
b. Perilaku istirahat
Perilaku istirahat untuk nyamuk memiliki dua arti yaitu istirahat
yang sebenarnya selama waktu menunggu proses perkembangan telur dan
istirahat sementara yaitu pada waktu nyamuk sedang mencari darah. Pada
umumnya nyamuk memillih tempat yang teduh, lembab, dan aman untuk
beristirahat. Nyamuk Aedes aegypti lebih suka hinggap di tempat-tempat
yang dekat tanah (Hiswani, 2004).
c. Perilaku berkembangbiak
Menurut Sukawati (2009), Suharmiati dan Lestari (2007), nyamuk
Aedes aegypti bertelur dan berkembangbiak di tempat-tempat yang ada air
(genangan) jernih seperti di bak mandi, genangan air dalam pot, air dalam
botol, drum, baskom, ember, vas bunga, batang atau daun tanaman, dan
bekas piring.
Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva. Sekali bertelur
nyamuk dapat mengeluarkan telur sebanyak 50–150 butir telur (Hiswani,
2004). Menurut Suharmiati dan Lestari (2007) dan Sukawati (2009), lama
15
daur hidup nyamuk Aedes aegypti mulai telur sampai dewasa rata-rata 8–14
hari tergantung pada suhu air (30 - 40ºC).
Pada nyamuk betina, bagian mulutnya membentuk probosis panjang
untuk menembus kulit mamalia untuk menghisap darah. Kebanyakan
nyamuk betina perlu menghisap darah untuk mendapatkan protein yang
diperlukan. Nyamuk jantan berbeda dengan nyamuk betina, dengan bagian
mulut yang tidak sesuai untuk menghisap darah (Sukawati, 2009).
Menurut Borror dkk.(1996), nyamuk Aedes aegypti dewasa tidak
pergi jauh dari tempat saat stadium larva karena daya terbangnya hanya
dalam radius 100–200 m saja dan rata-rata lama hidup Aedes aegypti betina
hanya 10 hari dan akan bertelur tiga hari kemudian setelah menghisap darah
(Borror dkk., 1996).
Nyamuk melalui empat tahap yang jelas dalam daur hidupnya: telur,
larva, pupa, dan dewasa (Borror, D. J., dkk 1996). Larva nyamuk dikenal
sebagai jentik dan didapati di sembarang wadah yang berisi air. Jentik
bernafas melalui saluran udara yang terdapat pada ujung ekor. Pupa
biasanya seaktif larva, tetapi bernafas melalui tanduk thorakis yang terdapat
pada gelung thorakis (Sukawati, 2009).
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Larva Aedes sp.
Berbagai faktor yang berhubungan dengan perkembangan larva Aedes
sp, diantaranya sebagai berikut (Amalia, 2016 : 19-20 ) :
a. Suhu Udara
Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang
mempengaruhi perkembangan larva Aedes sp, Gandham (2013)
menjelaskan bahwa rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk
adalah 25-270C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila
suhu <100C atau >400C. Hasil penelitian Arifin dkk (2013) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan suhu dalam rumah dengan keberadaan larva
dengan p=0,040. Penelitian Oktaviani (2009) menunjukkan hasil bahwa
16
suhu udara berpengaruh terhadap perkembangan larva Aedes spdengan
presentase sebesar 59,2%.
b. Kelembaban Udara
Menurut Yudhastuti dkk (2005), kelembaban udara yang optimal
untuk proses embriosasi dan ketahan embrio nyamuk berkisar antara 81,5-
89,5%. Kelembaban udara <60% dapat menghambat kehidupan larva Aedes
sp. Hasil penelitian Yudhastuti dkk (2005) menunjukkan bahwa pada
kelembaban udara <81,5% atau >89,5% tidak ditemukan adanya larva
Aedes spdengan presentase 78,6%. Hasil penelian Ridha dkk (2013)
menunjukkan bahwa kelembaban udara dapat mempengaruhi
perkembangan larva Aedes sp. Begitu pula hasil penelitian Oktaviani
(2012) yang menunjukkan bahwa kelembaban udara berpengaruh terhadap
densitas nyamuk Aedes sppada stadium larva dengan presentase sebesar
58,5%.
c. Pencahayaan
Larva Aedes splebih menyukai tempat yang tidak terkena cahaya
secara langsung. Kuswati (2004) menguji pengaruh pencahayaan dan
bentuk kontainer terhadap jumlah larva Aedes spdalam kontainer, dan
penelitian tersebut didapatkan perbedaan yang bermakna di antara empat
perlakuan, yaitu pada tempayan kondisi gelap, jambangan/ vas kondisi
gelap, tempayan kondisi terang, dan jambangan kondisi terang. Jumlah
larva dengan nilai rata-rata tertinggi ditemukan pada jambangan dengan
kondisi gelap.
d. pH Air
pH air dimana larva Aedes spdapat tumbuh dan berkembang yaitu
antara 5,8-8,6. Di luar kondisi tersebut, pertumbuhan dan perkembangan
larva Aedes spdapat terhambat sehingga larva akan mati. Hal tersebut
didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridha dkk (2013)
17
menunjukkan bahwa air dengan pH <6 atau >7,8 tidak ditemukan adanya
larva Aedes sp.
e. Suhu Air
Suhu air dapat mempengaruhi kematian larva Aedes sppada kisaran
<250C atau >320C. Berdasarkan hasil penelitian Ridha dkk (2013)
menunjukkan bahwa pada suhu air <270C atau >300C tidak ditemukan
keberadaan larva Aedes spdengan presentasi sebanyak 75,1%. Pada
penelitian Arifin dkk (2013) menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan
antara suhu air dengan keberadaan larva dengan p=0,036.
B. Tinjauan Tentang Pengendalian Vektor DBD
Pengendalian vektor bertujuan :
1. Mengurangi atau menekan populasi vektor serendah – rendahnya seningga tidak
berarti lagi sebagai penular penyakit.
2. Menghindari terjadinya kontak antara vektor dengan manusia. Pengendalian
vektor dapat di golongkan dalam pengendalian alami (natural contol) dan
pengendali buatan (artificall = applied control).
Termasuk pengendalian alami adalah factor ekologis yang bukan
merupakan tindakan manusia. Factor - factor tersebut diantaranya adalah
topografi, ketinggian (altitude) iklim dan musuh alami pengendalian alamiah.
a) Pengendalian secara alamiah
Berbagai contoh yang berhubungan dengan factor ekologi yang
sangat penting artinya bagi perkembangan serangga adalah :
1) Adanya gunung, lautan, danau dan sungai yang luas yang merupakan
rintangan bagi penyebaran serangga
2) Ketidak mampuan mempertahankan hidup beberapa spesies serangga di
daerah yang terletak di ketinggian tertentu dari permukaan laut
3) Perubahan musim yang dapat menimbulkan gangguan pada bebebrapa
spesies serangga
18
4) Iklim yang panas, udara kering dan tanh tandus yang tidak
memungkinkan perkembangbiakan sebagai besar serangga. Iklim yang
panas atau yang dingin yang untuk beberapa spesies tertentu tidak sesuai
bagi kelestarian hidupnya.
5) Angin besar dan curah hujan yang tinggi dapat mengurangi jumlah
populasi serangga di suatu daerah
6) Adanya burung, katak, cicak, dan binatang lain yang merupakan
pemangsa serangga
b) Pengendalian secara buatan
Cara penegndalian ini adalah cara pengendalian yang dilakukan atas
usaha manusia dan dapat di bagi menjadi :
1) Pengendalian lingkungan
Pegendalian dilakukan dengan cara mengelola lingkungan
(environmental manajement), yaitu memmodifikasi atau memanipulasi
lingkungan, sehingga terbentuk lingkungan yang tidak cocok (kurang
baik) yang dapat mencegah atau membatasi perkembangan vector.
a) Modifikasi lingkungan
Cara ini paling aman terhadap lingkungan, yaitu tidak
merusak keseimbangan alam dan tidak mencemari lingkungan,
tetapi harus dilakukan terus menerus. Sebagai contoh misalnya
1. Pengaturan system irigasi,
2. Penimbunan tempat yang dapat menampung air dsan tempat-
tempat pembuangan sampah
3. Pengaliran air yang menggenangi menjadi kering
4. Perubahan rawa menjadi sawah
5. Perubahan hutan menjadi tempat pemukiman
b) Manipulasi lingkungan (environtmental manipulation)
Cara ini berkaitan dengan pembersihan atau pemeliharaan
sarana fisik yang telah ada supaya tidak terbentuk tempat-tempat
19
perindukan atau tempat istrahat serangga. Sebagai contoh misalnya
:
1. Membersihkan tanaman air yang mengapung di danau seperti
ganggang dan lumut yang dapat meyulitkan perkembangan An.
Sundaicus
2. Mengatur kadar garam di ” lagoon ” yang dapat menekan
populasi An. Subpictus dan An. Sundaicus
3. Melestarikan kehidupan tanaman bakau yang membatasi
tempat perindukan An. Sundaicus
4. Membuang atau mencabut tumbuh-tumbuhan air yang tumbuh
di kolam atau di rawa yang dapat menekan populasi Mansonia
Spp.
5. Melancarkan air dalam got yang tersumbat agar tidak menjadi
perindukan culex.
2) Pengendalian kimiawi
Untuk pengendalian ini digunakan bahan kimia yang berkhasiat
membunuh serangga (insektisida) atau hanya untuk menghalau
serangga saja (repellent). Kelebihan cara pengendalian ini ialah dapat
dilakukan dengan segera, meliputi daerah yang luas, sehingga dapat
menekan populasi serangga dalam waktu yang singkat. Kekurangan
cara penelitian ini ialah hanya bersifat sementara, dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan, kemungkinan timbulnya resistensi serangga
terhadap insektisida dan mengakibatkan matinya beberapa pemangsa.
Saat ini masyarakat melakukan pemberantasan secara kimiawi
yaitu dengan cara pemberian larvasida kimiawi seperti temefos (abate).
Abate yang ditaburkan pada tempat penampungan air akan menempel
pada dinding-dinding penampungan air dan dapat bertahan selama 2-3
bulan. Abate tidak dianjurkan untuk digunakan pada tempat
penampungan air minum. Karena apabila terlalu banyak terkonsumsi
20
abate maka akan menimbulkan sesak nafas, atau pedih pada mata.
Selain daripada itu, pemberantasan melalui zat kimia bisa
mengakibatkan resistensi terhadap keturunan akibat seleksi genetika
(Kardinan, 2007).
a) Pengertian Insektisida
Insektisida berasal dari kata insect, yang berarti serangga
dan cide artinya membunuh. Secara harfiah insektisida diartikan
sebagai bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan serangga. Pengertian insektisida secara luas, yaitu
semua bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk
mencegah, membunuh, menolak atau mengurangi serangga (Sigit
dan Hadi, 2006)
Insektisida yang baik (ideal) mempunyai sifat sebagai
berikut :
1. Mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat berserta tidak
berbahaya bagi binatang vertebrata termasuk manusia dan ternak
2. Murah harganya dan mudah di dapat jumlah yang besar
3. Mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar
4. Mudah di pergunakan dan dapat di campur dengan berbagai
macam bahan pelarut
5. Tidak berwarna dan tidak berbau yang tidak menyenangkan.
b) Cara masuk insektisida dalam tubuh serangga
Insektisida di gunakan untuk mengendalikan serangga
dengan cara mengganggu atau merusak sistem dalam tubuh
serangga. Serangga dapat terpajan oleh insektisida dengan cara
kontak langsung, termakan atau melalui pernafasan (spiracle). Cara
masuk insektisida dalam tubuh serangga adalah sebagai berikut
(Sigit dan Hadi, 2006) :
21
1. Insektisida yang masuk atau bekerja lewat sistem pernapasan
dalam bentuk partikel mikro yang melayang diudara. Serangga
akan mati bila menghirup partikel mikro insektisida dalam
jumlah yang cukup masuk kesistem pernafasan yang
selanjutnya ditransportasikan kepusat kerja racun itu. Racun
insektisida pernafasan mematikan karena mengganggu kerja
organ pernafasan. Kebanyakan jenis insektisida pernafasan
berupa asap, uap dari insektisida bentuk cair.
2. Insektisida racun kontak, insektisida yang diaplikasikan
langsung menembus intergumen serangga (kutikula), trachea
atau kelenjar sensorik dan organ lain yang berhubungan dengan
kutikula. Minyak atau komponen lain dalam formulasi
insektisida membasahi lemak atau lapisan lilin pada kutikula
sehingga mengakibatkan bahan aktif mampu menembus tubuh
serangga. Bahan aktif insektisida dapat larut pada lapisan
lemak kutikula dan masuk ke dalam tubuh serangga meskipun
insektisida tidak diaplikasikan langsung seperti pada formulasi
serbuk (dust), WP (wettable powder), dan SC (suspention
concertrate). Sebagian besar insektisida yang digunakan dalam
pengendalian hama pemukiman (PHP) adalah insektisida racun
kontak, termasuk formulasi emulsifiable atau emulsible
concetrate (EC).
3. Sebagai racun perut, insektisida masuk ke dalam tubuh
serangga melalui sitem pencernaan serangga, sehingga bahan
aktif insektisida ikut termakan oleh serangga tersebut. Contoh
racun perut berupa umpan beracun untuk rayap, semut dan
lipas. Sebagai racun pernafasan, insektisida masuk ke dalam
tubuh serangga melalui sistem pernafasan (spiracle).
Insektisida aktif karena keberadaannya dalam bentuk gas di
22
udara yang tertutup pada saat diaplikasikan dengan ultralow
volume (UVL) atau thermal fogging.
c) Cara kerja insektisida dalam tubuh serangga
Cara kerja insektisida (mode of action) adalah cara
insektisida terhadap serangga berdasarkan aktifitas insektisida di
dalam tubuh serangga. Cara kerja insektisida sangat penting
diketahui, guna untuk mengetahui titik tangkap (target site) spesifik
pada suatu organisme yang akan dituju. Titik tangkap pada
serangga biasanya berupa enzim atau protein. Beberapa jenis
insektisida mempengaruhi lebih dari satu titik tangkap pada
serangga (Sigit dan Hadi, 2006).
Menurut Valess dan Koehler (1998); Sigit dan Hadi (2006),
cara kerja insektisida digunakan dalam PHP dibagi dalam 5 (lima)
kelompok, yaitu;
1. Mempengaruhi sistem saraf,
2. Menghambat prosudksi energi,
3. Mempengaruhi sistem endokrin,
4. Mempengaruhi produksi kutikula, dan
5. Menghambat keseimbangan air.
Insektisida sintetik sebagian besar mempengaruhi sistem
saraf, antara lain Piretroid, Organoklorin, Organofosfat dan
Karbamat. Oraganofosfat dan Karbamat adalah racun sinaptik.
Sinaps adalah suatu persimpangan antara dua saraf atau titik
penghubung saraf. Secara spesifik Organofosfat dan Karbamat
terikat pada suatu enzim pada sinaps yang dikenal dengan
asetilkhonesterase. Organofosfat dan Karbamat terikat pada enzim
asetilkhonesterase dan menghambat fungsi asetilkhonesterase,
sehingga persimpangan saraf pada peristiwa keracunan tidak
mampu menghentikan ransangan pada saraf. Akibatnya terjadi
23
rangsangan saraf yang berkelanjutan. Pada akhirnya serangga yang
keracunan menjadi tremor (gemetaran) dan gerakannya tidak
terkontrol (Sigit dan Hadi, 2006).
d) Aplikasi insektisida
Pengendalian vektor menggunakan insektisidan merupakan
salah satu upaya pengendalian yang dilakukan untuk menekan
tingginya populasi vektor. Pengendalian kimiawi sangat efektif
diterapkan apabila populasi nyamuk sangat tinggi atau untuk
menangani kasus penyakit yang sangat mengkhawatirkan
penyebarannya seperti DBD, malaria, dan filariasis. Penyemprotan
ruangan (space spray) merupakan salah satu cara mendistribusikan
insektisida agar dapat kontak dengan hama sasaran secara
maksimal. Penyemprotan ruangan sangat efektif untuk
mengendalikan serangga terbang seperti nyamuk, lalat, dan
beberapa hama gudang lainnya (Sigit dan Hadi, 2006).
Sigit dan Hadi (2006) mengemukakan bahwa,
penyemprotan ruangan adalah metoda aplikasi insektisida dengan
cara memecah insektisida cair menjadi droplet-droplet yang sangat
kecil (10-50 mikron), disemprotkan keudara dan diharapkan droplet
berada diudara dalam waktu yang cukup lama, sehingga kontak
antara insektisida dengan serangga menjadi maksimal. Droplet-
droplet kecil tersebut dihasilkan dengan melibatkan energi antara
lain energi panas (thermal), seperti pada thermal fogger, energi
mekanik seperti cold fogger/ultra low volume (ULV), dan energi
gas yang dimanfaatkan seperti pada aerosol dalam tabung.
Pengendalian kimiawi secara masal pada suatu area
pemukiman, biasanya dilakukan dengan menggunakan alat semprot
bertekanan udara, seperti pada pengasapan (fogging). Fogging
biasanya dilakukan bila di suatu daerah ditemukan kasus penyakit
24
yang mematikan, misalnya demam berdarah. Hal ini dilakukan
untuk membunuh nyamuk dewasa yang diduga terinfeksi penyebab
penyakit dan memutuskan mata rantai penularan penyakit agar
penyebaran penyakit tersebut tidak menyebar luas. Fogging yang
efektif dilakukan pada saat pagi dan sore hari, waktu angin tidak
begitu kencang, dan aktifitas nyamuk menggigit sedang memuncak
di dalam dan di luar rumah (Sigit dan Hadi, 2006).
C. Tinjauan Umum Mengenai Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)
1. Pengertian Belimbing Wuluh
Tanaman belimbing wuluh berupa pohon kecil dengan batang yang
tidak begitu besar dan mempunyai garis tengah 30 cm (Lathifah, 2008).
Tanaman ini mudah sekali tumbuh dan berkembangbiak melalui cangkok atau
persemaian biji. Jika ditanam lewat biji, pada usia 3-4 tahun sudah mulai
berbuah. Jumlah setahunnya bisa mencapai 1.500 buah (Mario, Parikesit
2011).
2. Sistemika tumbuhan
Sistematika tumbuhan belimbing wuluh (Heyne, K. 1987) sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Geraniales
Suku : Oxalidaceae
Marga : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi L.
25
3. Habitat
Belimbing wuluh disebut juga belimbing asam adalah sejenis pohon
yang diperkirakan berasal dari kepulauan Maluku. Tanaman ini tumbuh
dengan subur di Indonesia, Filipina, Sri Lanka, Myanmar dan Malaysia.
Dapat ditemui di tempat yang banyak terkena sinar matahari langsung tetapi
cukup lembap. Merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh
dipekarangan rumah atau tumbuh secara liar di ladang dan hutan. Hidup pada
ketinggian 5 - 500 m diatas permukaan laut (Yuniarti, T. 2008).
Belimbing wuluh disebut juga sebagai belimbing sayur yang
merupakan tumbuhan yang hidup pada ketinggian 5 hingga 500 meter diatas
permukaan laut. Ditanam sebagai pohon buah, kadang tumbuh liar. Pohon
belimbing bisa tumbuh dengan ketinggian mencapai 5-10 meter. Batang
utamanya pendek dan cabangnya rendah. Batangnya bergelombang (tidak
rata). Daunnya majumuk, berselang-seling, panjang 30-60 cm
danberkelompok di ujung cabang. Pada setiap daun terdapat 11 sampai 37
anak daun yang berselang-seling atau setengan berpasangan. Anak daun
berbentuk oval. (Nugrahawati D, dkk 2009)
Buahnya memiliki rasa asam sering digunakan sebagai bumbu
masakan dan campuran ramuan jamu. Bunganya kecil, muncul langsung dari
batang dengan tangkai bunga berambut. Buah belimbing wuluh(Averrhoa
bilimbi L)berbentuk elips hingga seperti torpedo, dengan panjang 4-10 cm.
Warna buah ketika muda hijau, dengan sisa kelopak bunga menempel
diujungnya. Jika masak buahnya berwarna kuning atau kuning pucat. Daging
buahnya berair dan sangat asam. Kulit buah berkilap dan tipis. Bijinya kecil
(6 mm), berbentuk pipih,dan berwarna coklat, serta tertutup lender.
(Nugrahawati D, dkk 2009)
26
4. Morfologi
Tanaman berbentuk pohon dengan tinggi 5-10 m. Batang
tegak,bercabang, permukaan kasar, banyak tonjolan, warna hijau kotor.
Bungamajemuk, bentuk malai, tumbuh ditonjolan batang atau cabang,
panjangkelopak 6 mm, warna merah. Daun berbentuk lanset dan berwarna
ungu.Biji berbentuk lanset atau segitiga, warna hijau saat muda dan
berubahkuning kehijauan setelah tua. Akar tunggang, warna coklat kehitaman.
(Agromedia, Redaksi. 2008)
.
Gambar 8. Buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Tanaman ini memiliki pohon yang kecil, berbunga sepanjangtahun,
bunga serta buahnya menempel pada batang. Daunnya majemuk,anak
daunnya berjumlah antara 10 sampai dengan 20 pasang. Bungabelimbing
wuluh hampir sama dengan bunga mentimun, berbentuk silinderdengan
panjang 5 sampai dengan 7.5 cm. Bunga belimbing wuluh munculpada
batangnya. Daging buah belimbing wuluh mempunyai biji danpanjangnya
sekitar 8 cm. (Bogor: IPB. 2008)
5. Kandungan buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Senyawa sekunder yang dihasilkan oleh tanaman belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) adalah alkaloid, saponin, dan flavonoid. Saponin
merupakan golongan senyawa triterpennoid yang dapat digunakan sebagai
insektisida. (Nopianti, S., dkk 2008)
Senyawa alkaloid bisa mendegradasidinding sel sehingga merusak sel
saluranpencernaan. Senyawa saponin terdapat pada tanaman yang kemudian
27
dikonsumsi serangga, mempunyai mekanisme kerja yang dapat menurunkan
aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan, sehingga saponin
bersifat sebagai racun perut. Flavonoid merupakan senyawa pertahanan
tumbuhan yang dapat bersifat menghambat saluran pencernaan serangga dan
juga bersifat toksis. (Arivia Shella, dkk. 2010)
a) Flavonoid
Senyawa Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang
tersebesar ditemukan dialam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna
merah, unguh, biru, dan kuning yang ditemukan dalam tumbuhan.
Flavonoid yag merupakan golongan fenol dapat menyebapkan
pengumpalan protein, Denaturasi protein tersebut menyebapka
premeabilatas dinding sel dalam saluran pencernaan menurun Hal ini
akan mengakibatkan transpor nutrisi terganggu sehingga perumbuhan
terhambat dan akhirnya larva nyamuk akan mati Selain itu, menurut
Dinata flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa yang bersifat
racun. Flavonoid mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam,
dapat larut dalam air dan pelarut organik serta mudah terurai pada
temperatur tinggi. Flavonoid digunakan sebagai bahan aktif dalam
pembuatan insektisida nabati. Flavonoid masuk ke dalam mulut
serangga/lubang alami di tubuh serangga dan menimbulkan kelayuan pada
saraf (Wati, 2010).
b) Saponin
Saponin adalah suatu glikosida yang banyak ditemukan pada
tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi
pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan
tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui,
mungkin sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan
waste product dari metabolisme tumbuh tumbuhan. Kemungkinan lain
adalah sebagai pelindung terhadap serangan serangga (Wati, 2010).
28
Saponin sebagai bahan yang mirip deterjen mempunyai
kemampuan untuk merusak membran tubuh larva ,Bahan deterjen dapat
meningkatkan penetrasi senyawa toksik karena dapat melarutkan bahan-
bahan lipofilik dengan air. Deterjen tidak hanya mengganggu lapisan
lipoid dari epikutikula tetapi juga mengganggu lapisan protein
endokutikula sehingga senyawa toksik dapat masuk dengan mudah ke
dalam tubuh larva. Saponin dapat menyebabkan destruksi saluran
pencernaan larva dengan cara menurunkan tegangan permukaan sehingga
selaput mukosa saluran pencernaan menjadi korosif. Hal tersebut akan
menyebabkan menurunnya aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan
makanan (Wati, 2010).
c) Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan
pada berbagai jenis tumbuhan, baik di bagian daun, biji, ranting dan kulit
kayu (Pandiangan, 2009). Hampir semua alkaloid yang ditemukan di
alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun
tetapi adapula yang sangat berguna dalam pengobatan, misalnya kuinin,
morfin dan striknin (Pandiangan dan Kandou, 2006).
Bidang kesehatan alkaloid mempunyai efek berupa pemicu sistem
saraf, menaikkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat
penenang dan obat penyakit jantung (Robinson, 1995 dalam Simbala,
2008). Pada tumbuhan, alkaloid berfungsi sebagai pelindung dari
serangga hama, penguat tumbuh-tumbuhan serta sebagai pengatur kerja
hormon. Telah diketahui sekitar 5.500 senyawa alkaloid yang tersebar
diberbagai suku (Harbone, 1987)
6. Manfaat buah belimbing wuluh
Di kalangan masyarakat belimbing wuluh ternyata sangat popular,
bahkan melebihi belimbing manis. Perasan air buah belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L) sangat baik untuk asupan kekurangan vitamin C. Banyak
29
hasil penelitian yang menyebutkan potensi suatu tanaman dalam mengobati
penyakit tertentu ataupun sebagai antibakteri. Akan tetapi, penggunaan bahan
antimikroba kimia, di lingkungan masyarakat dalam produk pangan lebih
popular. Ini karena hasilnya sebagai pengawet lebih efektif dan biayanya
relative murah. Ada yang memanfaatkan buah belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L) untuk dibuat manisan dan sirup, sebagai obat untuk sariawan, sakit
perut, gondongan, rematik, batuk rejan, gusi berdarah, sakit gigi berlubang,
memperbaiki fungsi pencernaan, untuk membersihkan noda pada kain,
menghilangkan bau amis, sebagai bahan kosmetik serta mengkilapkan barang-
barang yang terbuat dari kuningan. (Ganiswarna SG, 1995)
30
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran
Pengumpulan dan penangkapan nyamuk merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk mendapatkan data entomologi tentang nyamuk pada suatu wilayah
tertentu. Salah satu upaya untuk memutus siklus perkembangan nyamuk itu bisa
dengan menggunakan ovitrap, atau perangkap telur dan larva nyamuk, khususnya
untuk Aedes sp.
Ovitrap digunakan juga untuk mendeteksi adanya Aedes sp dimana
kepadatan populasinya rendah dan survei jentik kebanyakan tidak produktif.
Ovitrap dapat digunakan untuk mengevalusi keberhasilan pengendalian vektor
dan memperkirakan kepadatan populasi nyamuk. (Mardihusodoet al. 2007).
Telur Aedes sp diletakkan satu demi satu di atas permukaan air. Nyamuk
betina dapat bertelur hingga 100 butir per hari. Sekali meletakkan telurnya di
beberapa sarang. Perkembangan embrio selesai selama 48 jam di lingkungan
hangat dan lembab. Pada kondisi kekeringan yang lama telur dapat bertahan hingga
lebih dari satu tahun. Kelangsungan telur untuk menjalani masa pengeringan akan
membantu proses pertahanan spesies ini. Telur Aedes sp. berwarna hitam dan
diletakan di dinding wadah air dan biasanya diatas permukaan air. Apabila wadah
air mengering , telur dapat bertahan selama beberapa minggu bahkan beberapa
bulan. Ketika wadah air terisi oleh air lagi hingga menutupi bagian telur kemudian
menetas menjadi larva.
Metode yang efektif untuk mengendalikan vektor nyamuk adalah
membunuh jentik yang biasa hidup di bak air atau tempat-tempat yang sering
digunakan untuk menampung air dengan memanfaatkan zat-zat kimia yang ramah
lingkungan, yaitu menggunakan pestisida nabati (alami) dan ramah lingkungan,
yaitu buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) yang dimana telah dimanfaatkan
sebagai obat tradisional.
31
Kandungan senyawa kimia yang ada di dalam buah belimbing wuluh yaitu
alkaloid,saponin, dan flavonoid. Saponin merupakan golongan senyawa
triterpennoid yang dapat digunakan sebagai insektisida. Senyawa alkaloid dalam
buah segar berasa pahit di lidah, alkaloid bisa mendegradasi dinding sel, sehingga
merusak sel saluran pencernaan. Senyawa saponin terdapat pada tanaman yang
kemudian dikonsumsi serangga, mempunyai mekanisme kerja yang dapat
menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan, sehingga
saponin bersifat sebagai racun perut. Senyawa flavonoid merupakan senyawa fenol
sebagai antimikroba, antivirus, antijamur, dan bekerja terhadap serangga.
Buah belimbing wuluh dibuat menjadi sari dan dibuat dengan berbagai
kosentrasi (2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7% dan 8%) selama 24 jam apabila nyamuk mati
maka perlakuan dinyatakan efektif, dan apabila nyamuk hidup maka dinyatakan
tidak efektif.
32
B. Kerangka Pikir
Gambar kerangka pikir sebagai berikut :
Pengumpulan Telur
Nyamuk
Pemasangan
Ovitrap
Telur Aedes spinstar III
Bahan uji (buah belimbing wuluh)
Larutan buah belimbing wuluh mengandung senyawa dalam buah belimbing
wuluh
yaitu alkaloid, saponin, dan flavonoid
Senyawa alkaloid
bisa
mendegradasi
dinding sel,
sehingga
merusak sel
saluran
pencernaan.
Senyawa saponin
mempunyai
mekanisme kerja yang
dapat menurunkan
aktivitas enzim
pencernaan dan
penyerapan makanan,
sehingga saponin
bersifat sebagai racun
perut. Dibuat larutan buah belimbing wuluh dengan berbagai konsentrasi (2%, 3%, 4%,
5%, 6%, 7% dan 8%)
Efektif
Efek larvasida
Flavonoid merupakan
senyawa
pertahanan
tumbuhan yang
dapat bersifat
menghambat
saluran
pencernaan
serangga dan juga
bersifat toksis
Tidak
efekt
if
33
C. Kerangka Konsep
Secara konseptual, variable-variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdiri
dari variable independen dan variable dependen seperti gambar berikut :
Keterangan :
: Variable Bebas
: : Variable Terikat
D. Variable penelitian
1. Variabel independen
Variable independen (variabel bebas) adalah variable yang
mempengaruhi variabel terikat, dimana variabel bebas yang diteliti adalah
konsentrasi larvasida belimbing wuluh yaitu konsentrasi yang digunakan yaitu
2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7% dan 8%.
2. Variabel dependen
Variabel dependen (variabel terikat) adalah variabel yang dipengaruhi
oleh variabel bebas atau independen. Variabel dependen dalam penelitian ini
yaitu kematian larva nyamuk Aedes sp.
E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Sari belimbing wuluh yang dijadikan sampel penelitian ini yaitu buah
belimbing wuluh yang diblender, kemudian disaring untuk mendapatkan sari
dengan berbagai konsentrasi (2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7% dan 8%). Konsentrasi
yang didapatkan diperoleh dari rumus pengenceran yaitu : V1. M1= V2. M2
Kematian
Larva
Nyamuk
Aedes sp
Konsentrasi (2%, 3%,
4%, 5%, 6%, 7%
dan 8%)
LarvasidaBelimbing
Wuluh
34
2. Larva Aedes sp yang menjadi sampel pada penelitian ini adalah larva Aedes sp
instar III karena larva pada stadium ini masih aktif mengkonsumsi makanan
pada air. Larva instar III berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari
setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan
berwarna coklat kehitaman (Sikka, 2009). Larva ini dapat ditemukan pada air
bersih seperti : Bak mandi atau wadah bekas yang berisi air.
3. Larva Aedes sp yang dibutuhkan dalam masing-masing konsetrasi yaitu 25
larva (2% = 25, 3%= 25, 4%=25, 5%= 25, 6%= 25, 7%= 25 dan 8%= 25) dan
dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali pada tiap konsentrasi. Jadi, total
jumlah larva yang dibutuhkan yaitu 350 larva.
4. Kematian larva nyamuk adalah apabila larva dari Aedes sp instar III disentuh
tidak bergerak dengan kriteria objektif sebagai berikut :
Hidup : Apabila larva disentuh dan masih mengalami pergerakan
Mati : Apabila larva disentuh tidak bergerak lagi
5. Konsentrasi sari belimbing wuluh yang dilarutkan dalam air dinyatakan
dalam ml. Kriteria objektif : Sari buah belimbing wuluh dengan berbagai
konsentrasi (2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7% dan 8%).
a) Dikatakan efektif jika kematian larva ≥50%.
b) Dikatakan tidak efektif jika kematian larva ≤ 50% dan ≤90%
6. Penelitian ini menggunakan analisis probit untuk menemukan daya bunuh dari
sari buah belimbing wuluh terhadap larva Aedes sp yang dinyatakan dengan
Lethal Concentration (LC) yaitu LC50 dan LC90.
7. Lethal Concentration 50 (LC50) adalah konsentrasi Bti yang diperlukan untuk
menyebakan kematian sebesar 50% larva Aedes sp.
7. Lethal Concentration 90 (LC90) adalah konsentrasi Bti yang diperlukan untuk
menyebakan kematian sebesar 90% larva Aedes sp.
F. Hipotesis Penelitian
1. Hi : Belimbing wuluh efektif dalam mematikan larva Aedes sp.
2. Ho : Belimbing wuluh tidak efektif dalam mematikan larva Aedes sp.
35
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan di gunakan dalam penelitian ini adalah
Experimental laboratories dengan rancangan post test only control group. Subjek
dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Kelompok pertama disebut sebagai kelompok perlakuan, yaitu kelompok yang
diberi buah belimbing wuluh dalam bentuk sari. Kelompok yang kedua disebut
sebagai kelompok kontrol, yaitu kelompok yang tidak diberi buah belimbing wuluh
dalam bentuk sari. Subjek penelitian adalah larva Aedes sp.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 09 Juli – 24 Juli 2017
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan didaerah endemis Kelurahan Kambu yang
terdiri dari 2 tahap pertama adalah pemasangan ovitrap seperti didibawah
tempat tidur, kamar mandi atau wc dan dapur, kemudian pada tahap ke dua
penelitian adalah hasil pemasangan ovitrap yang didapatkan selanjutnya
dilakukan pegujian sari buah belimbing wuluh pada larva Aedes sp yang
dilaksanakan di Laboratorium Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Kendari.
C. Bahan Uji
Larva yang diovitrap sebanyak 350 diperoleh dari pemasangan ovitrap pada
80 rumah yang ada dikelurahan kambu, selanjutnya dari 350 larva hasil rearing 25
di ujikan pada konsentrasi 2%, 25 larva di ujikan pada konsentrasi 3%, 25 larva di
ujikan pada konsentrasi 4%, 25 larva di ujikan pada konsentrasi 5%, 25 larva di
ujikan pada konsentrasi 6%, 25 larva di ujikan pada konsentrasi 7%,25 larva di
ujikan pada konsentrasi 8%, masing-masing pengujian ini dilakukan dalam wadah
plastik dan dilakukan pengulangan pada tiap konsentrasi sebanyak 2 kali.
36
D. Prosedur Penelitian
1. Pengadaan Larva Nyamuk Aedes sp
Larva nyamuk Aedes sp yang digunakan dalam penelitian ini adalah
larva nyamuk Aedes aegypti instar III yang diperoleh dari pemasangan ovitrap
di Kelurahan Kambu. Jumlah larva nyamuk Aedes aegypti instar III yang
dibutuhkan dalam penelitian ini sebanyak 350 ekor larva.
2. Pemasangan ovitrap (Mardihosodo, 2003)
a) Kegiatan pengumpulan telur nyamuk Aedes sp menggunakan penangkap
telur (ovitrap).
b) Setiap rumah yang ditentukan, di pasang ovitrap masing-masing 3 buah
dalam satu rumah (dibawah tempat tidur, kamar mandi atau wc dan dapur)
c) Pemasangan ovitrap disetiap rumah dilakukan pada tempat yang
diperkirakan berpotensi menjadi bertelurnya nyamuk Aedes sp, seperti
dibawah tempat tidur, kamar mandi atau wc, dan dapur.
d) Ovitrap di luar rumah dipasang ditempat-tempat yang tidak terkena sinar
matahari langsung dan air hujan.
e) Lama pemasangan ovitrap adalah seminggu dan dilakukan hanya satu kali
selama penelitian di masing - masing lokasi penelitian.
f) Ovitrap selanjutnya dibawa ke Labolatorium Analis Kesehatan Poltekkes
Kemenkes Kendari
3. Kolonisasi Larva Aedes sp(Mardihosodo, 2003)
a) Kertas saring yang berisi telur nyamuk Aedes spdi masukkan dalam
nampan plastik yang berisi air
b) Diberi label berdasarkan lokasi pengambilan telur, kemudian dibiarkan
selama 6 - 8 hari sampai menetas menjadi larva. Pemeliharaan larva agar
bertahan hidup sampai menjadi pupa memerlukan pakan hati ayam sebagai
makanan larva nyamuk tersebut.
37
4. Uji kerentanan ( WHO, 2003 )
Penelitian ini dilakukan degan metode uji kerentanan (Susceptibility
Test). Setelah didapatkan larva instar III selanjutnya di pisahkan dan dilakukan
pengujian dengan pemberian sari buah belimbing wuluh dengan konsentrasi
2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7% dan 8% selama 24 jam kemudian dilakukan
pengulangan 2 kali pada tiap - tiap konsentrasi.
5. Bahan dan alat pembuatan sari buah belimbing wuluh
a) Bahan
1) Buah belimbing wuluh 100 gr
2) Air keran
3) Aquades 100 ml
b) Alat
1) Pisau
2) Blender
3) Kertas saring
4) Timbangan
5) Saringan plastik
6) Gelas plastik ukuran 240 ml
7) Gelas ukur
8) Pipet ukur 10 ml
9) Pipet tetes 5 ml
6. Pengadaan sari buah belimbing wuluh
a) 100 gr buah belimbing wuluh dicuci bersih dengan air mengalir untuk
menghilangkan kotoran yang menempel
b) Buah belimbing wuluh tersebut kemudian diiris untuk mempermudah
dalam memperolah hasil perasan
c) Irisan buah belimbing wuluh dilarutkan dengan 100 ml aquades dan
dilumatkan dengan blender
38
d) Hasil blenderan diperas dan disaring dengan saringan plastik yang dilapisi
kertas saring.
7. Tahap uji penelitian
a) Ditentukan konsentrasi sari buah belimbing wuluh yang akan digunakan.
Konsentrasi sari buah belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian
ini adalah 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, dan 8%.
b) Sari buah belimbing wuluh diambil dengan pipet ukur kemudian
dimasukkan ke dalam gelas ukur. Volume air perasan buah belimbing
wuluh yang diambil dihitung dengan rumus pengenceran sebagai berikut :
V1.M1 = V2.M2
Keterangan :
V1 : volume sari mula-mula
M1 : konsentrasi sari mula-mula
V2 : volumer sari sesudah diencerkan
M2 : konsentrasi sari sesudah diencerkan
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari
hasil perhitungan jumlah larva yang mati dalam 24 jam pada masing-masing
konsentrrasi. Setelah semua data yang didapatkan dari jumlah larva Aedes
spyang mati, selanjutnya dilakukan pengolahan data dalam bentuk tabel dan
analisis data menggunakan metode komputerisasi.
2. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara statisitik
menggunakan :
a) Uji Probit
Penentuan letal konsentrasi yang menyebabkan mortalitas pada larva Aedes
sp dilakukan dengan menggunakan analisis Probit. Analisis probit
39
merupakan metode statistik yang digunakan untuk memahami hubungan
dosis-respon dan digunakan untuk melihat estimasi besar dosis yang dapat
mengakibatkan mortalitas larva Aedes sp sebesar 50% (LC50) dan 90%
(LC90).
40
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Kemenkes Kendari, penelitian ini dimulai dari tanggal 09 Juli sampai
dengan 24 Juli 2017. Sampel larva pada penelitian ini digunakan sebanyak 350
larva instar III yang diperoleh dari Kelurahan Kambu yang merupakan daerah
endemis 5 tahun terakhir.
Pengambilan larva Aedes sp yaitu dengan memasang ovitrap yang berisi
kertas saring pada tempat yang diperkirakan berpotensi menjadi bertelurnya
nyamuk Aedes sp, seperti dibawah tempat tidur, kamar mandi atau wc dan dapur.
Kertas saring yang sudah berisi telur Aedes sp akan dimasukkan kedalam nampan
plastik 4-5 hari sampai menetas menjadi larva instar III.
1. Karakteristik Sampel Uji
Buah belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini adalah
diambil dengan kondisi yang masih muda ditandai dengan kulit yang berwarna
hijau muda dan dipilih secara acak. Sari buah belimbing wuluh ini didapatkan
dengan cara yaitu buah belimbing wuluh di cuci dengan air mengalir agar
kotorannya hilang kemudian di keringkan selanjutnya buah belimbing wuluh di
blender dan disaring menggunakan kertas saring untuk mendapatkan sarinya.
2. Efektifitas Buah Belimbing Wuluh Pada Kematian Larva Aedes sp
Jangka waktu penelitian Uji Efektivitas Buah Belimbing Wuluh
(Averrhoa BilimbiL) terhadap larva Aedes sp (larvainstar III) yang dilakukan
selama 24 jam untuk melihat efek larvasida.
41
5.1 Tabel Distribusi Jumlah Mortalitas Larva Aedes Sp Pada Berbagai
Konsentrasi Sari Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L)
Setelah 24 Jam Perlakuan
Replikasi
Konsentrasi Sari Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa
BilimbiL)
Kontrol 2% 3% 4% 5% 6% 7% 8%
I 0 1 4 10 15 17 23 25
II 0 2 5 11 17 19 22 25
Jumlah
kematian
0
3
9
21
32
36
45
50
Rata-rata 0 1.5 4.5 10.5 16 18 22.5 25
Persentase
(%)
0 6% 18% 42% 64% 72% 90% 100%
(Sumber data primer Diolah Juli 2017)
Pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol negatif
pada kedua replikasi tidak ditemukan adanya kematian larva. Pada nilai
rata-rata mortalitas larva menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada
konsentrasi 8% dengan larva yang mati yaitu sebanyak 50 ekor (100%)
sedangkan nilai terendah terdapat pada konsentrasi 2% dengan larva yang
mati sebanyak 3 ekor (6%).
3. Analisis Probit
Untuk mengetahui konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan
50% (LC50) dan 90% (LC90) populasi larva selama 24 jam, maka dilakukan
uji analisis probit pada program komputerisasi. Dari hasil perhitungan
analisis probit didapatkan hasil yang ditunjukkan pada tabel berikut:
42
Tabel 5.2 Hasil Analisis Probit Sari Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L) Sebagai Larvasida Aedes sp
Daya
larvasida
(LC)
Waktu 24 Jam
(%)
Rentang Batas
Bawah Atas
LC50 4,080 3,656 4,489
LC90 7,014 7,6192 8,446
(Sumber data primer Diolah Juli 2017)
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa nilai LC50
adalah 4,080% yang artinya konsentrasi yang diperlukan untuk
menyebabkan kematian sebesar 50% larva Aedes sp adalah 4,080% dan
LC90 adalah 7,014% yang artinya konsentrasi yang diperlukan untuk
menyebakan kematian sebesar 90% larva Aedes spadalah 7,014%.
B. Pembahasan
Pada penelitian ini dilakukan uji sari buah belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L) sebagai efek larvasida terhadap larva Aedes spdengan berbagai
konsentrasi uji. Sari buah belimbing wuluh ini didapatkan dengan cara buah
belimbing wuluh dicuci, ditimbang sebanyak 100 gram kemudian ditambahkan
aquadest sebanyak 100 mL lalu diblender sampai halus, belimbing wuluh yang
sudah diblender selanjutnya disaring menggunakan kertas saring untuk
mendapatkan sarinya. Bahan aktif alkaloid, saponin, dan flavonoid yang
terkandung dalam buah belimbing wuluh memiliki potensi sebagai larvasida pada
larva Aedes sp. Pada penelitian ini digunakan larva Aedes spinstar III karena pada
stadium ini larva masih aktif mengkonsumsi makanan pada air (Rosmayanti,
2014).
Pada penelitian ini larva Aedes sp diujikan terhadap sari buah belimbing
wuluh yang dibuat dengan konsentrasi 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7% dan 8% diberikan
pada larva nyamuk Aedes sp yang masing-masing berjumlah 25 larva dalam setiap
43
wadah dengan 2 kali pengulangan. Dilakukan pengamatan 24 jam untuk melihat
pengaruh sari buah belimbing wuluh terhadap mortalitas (kematian) larva. Hasil
pengamatan pada tabel 5.2 menunjukkan jumlah angka kematian larva dengan
pemberian sari buah belimbing wuluh setelah 24 jam, sebanyak dua kali
pengulangan dapat dijelaskan, konsentrasi 2% rata-rata angka kematian larva
sebanyak 1.5, konsentrasi 3% angka kematian larva sebanyak 4.5, konsentrasi 4%
angka kematian larva sebanyak 10.5, konsentrasi 5% angka kematian larva
sebanyak 16, konsentrasi 6% angka kematian larva sebanyak 18, konsentrasi 7%
angka kematian larva sebanyak 22.5, dan konsentrasi 8% angka kematian larva
sebanyak 25. Kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah air keran 100 mL
yang berisi 25 larva.
Setelah diamati selama 24 jam hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda
dengan pengulangan pertama. Pada konsentrasi 2% jumlah larva yang mati pada
uji yang pertama yaitu 1 larva sedangkan pada pengulangan kedua sebanyak 2
larva. Pada konsentrasi 3% jumlah larva yang mati pada uji yang pertama yaitu 4
larva sedangkan pada pengulangan kedua sebanyak 5 larva. Pada konsentrasi 4%
jumlah larva yang mati pada uji yang pertama yaitu 10 larva sedangkan pada
pengulangan kedua sebanyak 11 larva. Pada konsentrasi 5% jumlah larva yang
mati pada uji yang pertama yaitu 15 larva sedangkan pada pengulangan kedua
sebanyak 17 larva. Pada konsentrasi 6% jumlah larva yang mati pada uji yang
pertama yaitu 17 larva sedangkan pada pengulangan kedua sebanyak 19 larva.
Pada konsentrasi 7% jumlah larva yang mati pada uji yang pertama yaitu 23 larva
sedangkan pada pengulangan kedua sebanyak 22 larva. Pada konsentrasi 8%
jumlah larva yang mati pada uji yang pertama yaitu 25 larva sedangkan pada
pengulangan kedua sebanyak 25 larva. Hal ini sesuai dengan pendapat Nopianti
(2008) yang menyatakan bahwa semakin tinggi dosis larvasida yang diberikan
maka semakin tinggi pula rata-rata kematian larva nyamuk Aedes aegypti.
Adanya kemungkinan – kemungkinan yang dapat mempengaruhi beda
jumlah larva yang mati dari setiap konsentrasi dapat berupa adanya perbedaan daya
44
sensitifitas masing-masing larva terhadap konsentrasi sari buah belimbing wuluh,
dimana semakin tinggi konsentrasinya maka semakin tinggi tingkat kekentalan sari
buah belimbing wuluh, sehingga menyebabkan larva sulit untuk mengambil udara
dari permukaan air akibatnya tidak cukup oksigen bagi larva untuk pertumbuhan
sehingga larva tersebut mati. Adanya variabel-variabel pengganggu seperti kondisi
masing-masing larva sebelum dimasukkan kedalam konsentrasi larutan sari, yang
mungkin saja mengalami trauma ketika di ambil dengan pipet sehingga dapt
memudahkan kematian larva. Kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban
juga dapat mempengaruhi tingkat sensitifitas larva. Selain itu, faktor dari tanaman
juga dapat berpengaruh seperti kualitas dan zat aktif yang terkandung dalam
tanaman juga akan berpengaruh. Pengualangan ini juga bertujuan untuk melihat
konsentrasi yang diperlukan untuk mematikan larva Aedes sp menggunakan
analisis probit yaitu dengan metode statistik.
Pada setiap konsentrasi menunjukkan peningkatan persentase mortalitas
setiap 24 jam, hal ini menunjukkan semakin lama waktu dedah maka persentase
mortalitas larva juga meningkat. Terjadinya hal tersebut karena kondisi tubuh larva
yang semakin lemah oleh adanya sari buah belimbing wuluh yang banyak masuk
ke tubuh larva.Riyanti (2005) yang mengatakan bahwa interaksi zat beracun suatu
sistem biologi ditentukan oleh konsentrasi dan lamanya waktu dedah.
Zat toksik yang berperan dalam mematikan larva adalah alkaloid, saponin,
dan flavonoid. Alkaloid yang masuk ke dalam tubuh larva melalui absorbsi dan
mendegradasi membran sel kulit, selain itu alkaloid juga dapat mengganggu sistem
kerja saraf larva.
Berdasarkan hasilpenelitian Nopianti (2008) menyebutkan bahwa alkaloid
juga dapat digunakan sebagai insektisida. Alkaloid dalam daun atau buah segar
berasa pahit di lidah, alkaloid berupa garam sehingga bisa mendegradasi membran
sel masuk ke dalam dan merusak sel.Dinata (2008) juga menyebutkan bahwa
senyawa alkaloid menghambat kerja enzim asetilkolinesterase yang berfungsi
dalam meneruskan rangsangan ke sistem saraf, sehingga transmisi rangsangan
45
tidak terjadi. Pada saponin masuknya zat toksik ini kedalam tubuh larva adalah
melalui saluran pencernaan. Pada saluran pencernaan zat toksik ini menurunkan
aktivitas enzim pencernaan dan mengganggu proses penyerapan makanan sehingga
saponin berfungsi sebagai racun perut
Menurut Nopianti (2008), saponin terdapat pada tanaman yang kemudian
dikonsumsi serangga, mempunyai mekanisme kerja dapat menurunkan aktivitas
enzim pencernaan dan penyerapan makanan, sehingga saponin bersifat sebagai
racun perut.
Senyawa flavonoid yang terdapat pada ekstrak buah belimbing
wuluhmempengaruhi kerja sistem pernapasan larva. Hal ini sesuai dengan
pendapat Dinata (2009), yang mengatakan bahwa flavonoid masuk ke dalam tubuh
larva melalui siphon yang berada di permukaan air dan menimbulkan kelayuan
pada saraf, serta kerusakan pada siphon akibatnya larva tidak bisa bernapas dan
akhirnya mati.
Penelitian ini menggunakan larva nyamuk Aedes sp, larvainstar III,
mempunyai organ tubuh yang sudah lengkap terbentuk dan struktur dinding
tubuhnya belum mengalami pengerasan sehingga sesuai untuk perlakuan dengan
senyawa alkaloid, saponin dan flavonoid.
Untuk melihat nilai lethal konsentrasi atau LC dari hasil perhitungan
analisis probit didapatkan hasil bahwa nilai LC50 adalah 4,080% dan LC90 adalah
7,014%. Hasil perhitunganselengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.
Meningkatnya toksisitas sari buah Averrhoa bilimbi karena kangdungan zat
yang dimilikinya apabila tereabsorbsi oleh larva nyamuk sebagai hewan uji
melebihi batas toleransi akan mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan pada
tubuh larva. Hal ini sesuai dengan pendapat Krisdayanta (2002), yang mengatakan
bahwa daya bunuh yang dimiliki insektisida nabati berasal dari zat toksik yang
dikandungnya. Zat toksik tersebut dapat bersifat sebagai racun melalui absorbsi
saluran cerna atau melalui kulit pada hewan yang bertubuh lunak.
46
Berdasarkan tabel LCdiatas ternyata dapat dikatakan sari buah Averrhoa
bilimbimemiliki toksisitas akut dan termasuk dalam kriteria sangat beracun. Hal ini
sesuai denganpendapat Bernad (2011), bahwa toksisitas akut yang dikatakan
sangat beracun berada padakisaran <1%, beracun 1-10%, cukup beracun 10-50%,
sedikit beracun 50-100% dan tidakberacun pada kisaran >100%.
Dari hasil pengamatan terdapat perbedaan antara larva kontrol dengan larva
yang diberi perlakuan sari buah belimbing wuluh. Zat toksik ini mampu
menyebabkan respon toksik pada larva sehingga terjadi perubahan pada gerakan
tubuh dan cara bernapas. Perubahan ini terjadi karena adanya senyawa yang
dikandung sari buah Averrhoa bilimbi yaitu alkaloid, saponin dan flavonoid. Hal
ini sesuai dengan pendapat Nopianti, (2008) bahwa buah belimbing wuluh dapat
membunuh larva serangga.
47
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 09 Juli - 24
Juli tentang efektifitas buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbiL) sebagai
larvasida nyamuk Aedes dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Belimbing wuluh efektif sebagai larvasida alami nyamuk Aedes sp.
2. Hasil pengujian efektifitas buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbiL)
konsetrasi (2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7% dan 8%) pada kematian larva Aedes sp
dalam waktu 24 jam dinyatakan efektif pada konsentrasi 5%, 6%, 7% dan
8%sedangkan yang dinyatakan tidak efektif yaitu pada konsentrasi 2%, 3%,
dan 4%
3. Untuk melihat nilai lethal konsentrasi atau LC dari hasil perhitungan analisis
probit didapatkan hasil bahwa nilai LC50 adalah 4,080% yang artinya
konsentrasi yang diperlukan untuk menyebabkan kematian sebesar 50% larva
Aedes sp adalah 4,080% dan LC90 adalah 7,014% yang artinya konsentrasi
yang diperlukan untuk menyebakan kematian sebesar 90% larva Aedes
spadalah 7,014%.
B. Saran
1. Peneliti ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah dan masukan ilmiah
pengetahuan.
2. Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan informasi bagi peneliti
selanjutkan.
3. Penelitian ini dapat diharapkan informasi dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan DBD.
4. Bagi masyarakat dapat menggunakan buah belimbing wuluh sebagai alternatif
lain untuk pemberantasan nyamuk Aedes sp
DAFTAR PUSTAKA
Adimidjaja T K, Wahono T D, Kristina, Isminah, Wulandari L. 2005. Demam
Berdarah Dengue. Kajian Masalah Kesehatan. Litbang Depkes. Juni.
Aedes aegyptiAnd Aedes albopictus In Relation to Dengue Outbreak In An Urban Area
InMalaysia. Dengue Bulletin. 29 : 106-111
Aedes aegypti di beberapa daerah endemis di Jawa Tengah. Dalam Seminar sehari
strategi pengendalian vektor dan reservoir penyakit pada kedaruratan bencana
alam di era desentralisasi, Salatiga 20 September 2006.
Agromedia, Redaksi. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat 431 Jenis Tanaman
Penggempur Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Aradilla, A.S. 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba
(Azhadirachta indica) terhadapLarva Aedes aegypti. Fakultas
KedokteranUniversitas Diponegoro Semarang.
Arivia Shella, Betta Kurniawan, Reni Zuraida. 2010. Efek Larvasida Ekstrak Daun
Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Larva Aedes aegypti. Medical journal of
Lampung University 2 (1) : 137-146.
Beaty BJ & Marquardt WC. 1996. The biology of Disease Vectors. Colorado: the
University Press of Colorado.
Boewono DT, Barodji, Suwasono H, Ristiyanto, Widiarti, Widyastuti U, dkk. Studi
Komprehensif Penanggulangan dan Analisis Spatial Transmisi Demam
Berdarah Dengue di Wilayah Kota Salatiga. Prosiding Seminar Sehari :
Strategi Pengendalian Vektor dan Reservoir pada Kedaruratan Bencana Alam
di Era Desentralisasi. Salatiga: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Vektor dan Reservoir Penyakit. 2006. Hal 98 – 115.
Borror, D.J., C.A, Triplehorn, N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Edisi ke - 6. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Damar, Tri. 2004.Pengendalian Nyamuk Dengan Bioinsektisida. Jakarta : Republika.
Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. 2009. World
Health Organization. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.df
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1992. Petunjuk Teknis Pemerantasan
Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Dirjen P2M
dan P2L
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Profil Kesehatan tahun 2005.
Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pencegahan dan Penanggulangan
Penyakit Demam Berdarah Dengue. Jakarta
Dinas Kesehatan Kota Kendari. 2015. Profil Kesehatan kota kendari tahun 2015
Durta, N.R., de Paula, M.B., de Oliveira, M.D., de Oliveira, L.L., and de Paula, S.O.
2009. The Laboratorial diagnosis of Dengue: applicatoions and implications.
J Global. Infect. Dis. 1:38-44
Gama, Z. P., Yanuwiadi, B., Kurniati T.H. 2010. Strategi Pemberantasan Nyamuk
Aman Lingkungan: Potensi Bacillus thuringiensis Isolat Madura Sebagai
Musuh Alami Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari.
1: 2087-3522.
Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD, Purwantyastuti dan Nafriadi. Farmakologi
dan Terapi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 1995,
pp.572-627
Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan Padmawinata, K. Soediro, I. ITB.
Bandung.
Herms, W. 2006. Medical Entomology. USA : The Macmillan Company.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 3. Jakarta: Badan Litbang
Kehutanan.
Hiswani, 2004. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia. Digistized by
USU digital libraryhttp://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani11.pdf
diakses 2 Juni 2017
Hoedojo, R. 1993. Parasitologi Kedokteran. Edisi Ke-2. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
Hopp and Foley. 2001. The Aedes aegypti Life Cycle. Assessing the Impact of
Treatment of Septic Tanks with Expanded Polystyrene Beads on Aedes
aegypti
Joshi, V., Mourya D. T., Sharma R. C. 2002. Persistence of Dengue-3 Virus Through
Transovarial Transmission Passage In Successive Generations of Aedes
AEGYPTI Mosquitoes. Am. J. Trop. Med. Hyg., 67: 158-161
Jousset FX. 1981. Geographic Aedes aegypti Strains and Dengue-2 virus:
Susceptiblity. Ability To Transmit To Vertebrates And Transovarial
Transmission. Ann Virol (Inst Paseur).132E: 357-70
Kao,C.L.,King,C.C.,Chao, D.Y., Wu, H.L., and Chang, G.J.J. 2005. Laboratory
diagnosis of dengue virus infection : current and future perspectives in
clinical diagnosis and public health. J. Microbiol. Immunol. Infect. 38: 5-16.
Kardinan, Agus. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Modul Pengendalian Demam
Berdarah Dengue. Jakarta: Ditjen PP dan PL.
Khin MM, Than KA. 1983. Transovarial trasmision of Dengue -2 Virus by Aedes
aegypti in nature. Am. J.Trop Med Hyg; 32: 590 – 4.
Kusriastuti R. 2005. Kebijaksanaan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue Di
Indonesia. Jakarta: Depkes R.I
Leake, C.J. 1984. Transovarial Transmission of Arbovirus by Mosquitoes. In MA.
Mayo and K.A Harrap (eds) Vector in Virus Biology, 197 (33): 15974.
Lee HL, & Rohani A. 2005. Transovarial Transmission Of Dengue Virus In Larval
and Adult Mosquito .Stanford.
Mardiana, K. 2008. Pemanfaatan Gel Lidah Buaya Sebagai Edible Coating Buah
Belimbing Manis (Averrhoa carambola L) (Skripsi). IPB. Bogor. 78 Hlm.
Mardihusodo, S. J., Satoto T. B. T., Mulyaningsih B., Umniyati S. R., & Ernaningsih.
2007. Bukti Adanya Virus Penularan Dengue secara Transovarial pada
Nyamuk Aedes aegypti di Kota Yogyakarta. Simposium Nasional Aspek
Biologi Molekuler, Patogenesis, Manajemen dan Pencegahan KLB, Pusat
Studi Bioteknologi UGM. Yogyakarta.
Mario, Parikesit. 2011. Khasiat dan manfaat belimbing wuluh. Surabaya: Stomata.
McBride M.S. and Panganiban A.1996. The human immunodeficiency virus type 1
encapsidation site is a multipartite RNA element composed of fuctional
hairpin structures. J. Virol.70:2963-2973
McBride M.S., Schwatz M.D., and Panganiban A. 1997. Efficient encapsidation of
human immunodeficiency virus type 1 vectors and further characterization of
cis elements required for encapsidation. Proc. Natl. Acad. Sci. J. Virol. 71:
4544-4554
Nugrahawati D, Ten Nur Rahayu P, Hana Wahyu S. Pemanfaatan buah belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi L) sebagai cairan akumulator secara alami dan
ramah lingkungan. Penerbit Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta;
2009.
Nopianti, S., Dwi Astuti, dan Sri Darnoto. 2008. Efektivitas Buah Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbiL.) untuk Membunuh Larva Nyamuk Anopheles aconitus
Instar III. Jurnal Kesehatan, 1(2): 103-114
Oktavia, Aylien dkk. 2013. Efektivvitas Ekstrak Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L) Terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti. Program Studi
Pendidikan Biologi. Universitas Riau
Pandiangan, D. dan Kandou, F.E. 2006. Inventarisasi dan Penapisan Alkaloid
Tumbuhan Obat Tradisional Suku Sanger di Sangihe Sulawesi Utara.
Makalah Seminar Nasional Tumbuhan Obat yang dilaksanakan oleh farmasi
UNPAD Bandung tanggal 24-27 September 2006 di Gedung. Graha Sanusi
Padjajaran. Bandung.
Rosmayanti, K. 2014. Uji Efektivitas Esktark Biji Sirsak (Annona nuricata L) Sebagai
Larvasida Pada Larva Aedes Aegypti Instar III/IV. Universitas Islam Negeri.
Jakarta
Sigit SH. and Hadi UK, Hama Permukiman Indonesia (Pengenalan dan Pengendalian).
Bogor:Fakultas Kedokteran Hewan InstitutPertanian Bogor. 2006.
Soedarto. 1992. Entomologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue Edisi II. Surabaya : Airlangga
University.
Suharmiati dan Lestari. 2007. Tanaman Obat Dan ramuan tradisional Untuk Mengatasi
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Agromedia pustaka.
Suman, D.S., Shrivastava , A.R., Pant, S.C., Parashar, B.D., 2011. Differentiation of
Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) with Egg Surface
Morphology and Morphometrics Using Scanning Electron
Microscopy.Arthropod Struct Dev. 40(5):479-483.
Watt DM, Harisson BA, Pantuwatana S, Klein TA, Burke DS, 1985. Failure to Detect
Natural infection by Dengue viruses of Aedes aegypti and Aedes albopictus
(Diptera: Culicidae). J Med Entomol 1985; 22: 261-265.
WHO. 1992. Vector Resistance To Pesticides, Fifteenth Report Of The WHO Expert
Committee On Vector Biology And Control, WHO, Geneva.
WHO.1992. Insect and Rodent Control Through Environmental Management.Geneva:
World Health Organization.
Widiarti, Boewono DT, Widyastuti U, Mujiono dan Lasmiati, 2006. Deteksi virus
Dengue pada induk dan progeny vektor demam berdarah
Wijana, D. P dan K . Ngurah. 2008. Beberapa Karakteristik Aedes aegypti Sebagai
Vektor Demam Berdarah Dengue. Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Bali.
Yuniarti, T. 2008. Ensikopledia Tanaman Obat Traditional. Yogyakarta: Medpress.
Yunus, Reni & Anita Rosanty. 2016. Relationship Between Knowledge, Action Of
Family In Dcb (Drain, Close, And Bury) Program, And The Existence Of
Eggs OfAedes Aegypti Mosquito On Ovitrap In Kandai Kendari, Indonesia.
Public Health of Indonesia 2 (4) : 185 – 190
Zettel CM, 2010. Pupa of the Yellow Fever Mosquito, Aedes aegypti (Linnaeus).
Tersedia
darihttp://entmdept.ufl.edu/creatures/aquatic/aedesaegypti07.htm(Diakses
tanggal 2 Juni 2017).
Zulfaidah Penata Gama, Bagyo Yanuwiadi, Tri Handayani Kurniati, 2010. Strategi
Pemberantasan Nyamuk Aman Lingkungan: Potensi Bacillus
thuringiensisIsolat Madura Sebagai Musuh Alami Nyamuk Aedes aegypti.
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Brawijaya, Malang
2
3
2
2
2
3
LAMPIRAN 9
DOKUMENTASI HASIL PENELITIAN
Tahap Pembersihan Belimbing Tahap Kolonisasi Larva Aedes sp
Wuluh
Tahap Persiapan Larva Instar III
Tahap Penimbangan Tahap Pemblenderan Buah Belimbing
2
Tahap Penyaringan Tahap Pemberian Sari buah
Belimbing
Hasil Pemberian Buah Belimbing Wuluh Pada Tiap Konsentrasi Yang Disimpan
Selama 1x24 Jam