efektivitas pelaksanaan peraturan walikota banda … · pertanyaan penelitian ... posdaya 2018...
TRANSCRIPT
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERATURAN WALIKOTA
BANDA ACEH NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG
PENYELENGGARA REKLAME MENURUT
MASLAHAH MURSALAH
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
MUHAMMAD IKRAM
NIM. 140104109
Prodi Hukum Pidana Islam
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2019 M/1440 H
ABSTRAK
Nama : Muhammad Ikram
NIM : 1401014109
Fakultas / Prodi : Syariah dan Hukum / Hukum Pidana Islam
Judul : Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Walikota Banda
Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame Menurut Maslahah Mursalah.
Tanggal Sidang : Kamis, 20 Juni 2019
Tebal Skripsi : 60 Halaman
Pembimbing I : Dr. Kamaruzzaman, M.Sh.
Pembimbing II : Azmil Umur, MA.
Kata Kunci : Efektivitas, Reklame, Maslahah Mursalah
Pemerintah Kota Banda Aceh telah menerbitkan sebuah peraturan mengenai
penyelenggaraan reklame yaitu Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun
2012 Tentang Penyelenggara Reklame. Sejauh berjalannya waktu sejak peraturan ini
diterbitkan, peraturan ini belum berjalan sebagaimana yang diharapkan karena masih
ditemukan pelanggaran terhadap penyelenggaraan reklame. Pertanyaan penelitian
dalam skripsi ini adalah apa yang menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame, dan bagaimana Pelaksanaan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame menurut Maslahah mursalah. Metode
penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif analisis dengan jenis penelitian yuridis empiris (normatif sosiologis)
dengan melakukan observasi partisipan dan wawancara. Hasil penelitian ditemukan
bahwa Penyebab penyelenggara reklame melanggar adalah, kurang maksimalnya
pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggara reklame, kurangnya kesadaran
hukum, minimnya ketersediaan lokasi untuk pemasangan reklame, tempat yang
strategis untuk promosi, serta tidak tegasnya sanksi yang diberikan kepada
penyelenggara reklame yang melanggar. Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame jika dilihat dari sisi Maslahah
mursalah, maka pembentukan suatu hukum ataupun peraturan terhadap suatu
masalah haruslah melahirkan kemanfaatan dan faedah yang nyata bagi kehidupan
umat manusia. Dan pembentukan suatu aturan tidak boleh hanya menguntungkan
suatu pihak atau individu dalam masyarakat, sehingga menimbulkan mudharat bagi
masyarakat lainnya.
vi
KATA PENGANTAR
ح حمن الر يم بســــــــــــــــــم الله الر
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, dengan kudrah dan
iradah-Nyalah skripsi ini telah penulis dapat selesaikan. Shalawat dan salam
penulis sanjungkan ke pangkuan alam nabi besar Muhammad SAW, beserta
keluarga dan sahabatnya yang telah menuntun umat manusia kepada kedamaian,
memperjuangkan nasib manusia dari kebiadaban menuju kemuliaan, dan
membimbing kita semua menuju agama yang benar disisi Allah yakni agama
Islam.
Dalam rangka menyelesaikan studi pada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, penulis berkewajiban untuk melengkapi dan
memenuhi salah satu persyaratan akademis untuk menyelesaikan Studi pada
Program Sarjana (S-1) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh,
untuk itu penulis memilih judul “Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Walikota
Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame Menurut
Maslahah Mursalah.”.
Selama menyelesaikan skripsi ini, dari awal sampai akhir penulis banyak
mengalami kesukaran dan hambatan dan penulis juga menyadari bahwa penelitian
dan penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan
bimbingan serta dukungan serta dukungan dari berbagai pihak. Dengan sepenuh
hati penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak
terhingga kepada Bapak Dr. Kamaruzzaman, M.Sh. selaku pembimbing I dan
Bapak Azmil Umur, MA selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya
untuk membimbing dan sekaligus memberi arahan kepada saya sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih dan kasih sayang yang tak terhingga untuk kedua orang
tua penulis Ayahanda Adami Usman (Alm) dan Ibunda Nur Azizah semoga selalu
dalam lindungan Allah, yang telah membiayai penulis dalam penyusunan skripsi
ini dari awal sampai akhir hingga skripsi ini selesai. Semoga Allah SWT
membalas semua jasa-jasa mereka.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh Bapak Muhammad Siddiq, M.H, Ph.D ketua
Prodi Hukum Pidana Islam Bapak Syuhada, S.Ag., M.Ag dan juga kepada seluruh
Staf Prodi Hukum Pidana Islam. Kepada Bapak Saifuddin, S.Ag., M.Ag sebagai
penasehat akademik dan juga seluruh staf akademik Fakultas Syari’ah dan Hukum
vii
beserta jajaran dosen yang telah membimbing penulis selama masa pendidikan di
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry.
Ucapan terima kasih kepada seluruh kawan-kawan Hukum Pidana Islam
angkatan 2014 dan khususnya terima kasih kepada teman-teman Hukum Pidana
Islam Unit 03 yang telah bersama-sama dengan penulis menempuh proses selama
perkuliahan, Insya Allah angkatan 2014 sukses semuanya Aamiin ya
Rabbal’alamin. Dan ucapan terima kasih saya kepada teman-teman KPM
POSDAYA 2018 Gampong Lamsinyeu Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh
Besar.
Penulis berharap penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri
dan juga pihak-pihak yang ingin membacanya. Penulis menyadari bahwa skripsi
ini masih banyak kekurangan, untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima
kritikan atau saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak demi kesempurnaan
dan untuk pengetahuan penulis di masa mendatang.
Akhirnya kepada Allah SWT, penulis memohon doa semoga amal bantuan
yang telah diberikan oleh semua pihak mendapat pahala dari-Nya. Tiada kata yang
paling indah untuk mengungkapkan semua ini, hanya satu kata
Alhamdulillahirabbil’alamin.
Darussalam, 20 Juni 2019
Muhammad Ikram
vii
TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/198
1. Konsonan
No Arab Latin No Arab Latin
Tidak ا 1
dilambangkan
ṭ ط 16
ẓ ظ B 17 ب 2
‘ ع T 18 ت 3
G غ ṡ 19 ث 4
F ف J 20 ج 5
Q ق ḥ 21 ح 6
K ك Kh 22 خ 7
L ل D 23 د 8
M م Ż 24 ذ 9
N ن R 25 ر 10
W و Z 26 ز 11
H ه S 27 س 12
’ ء Sy 28 ش 13
Y ي ṣ 29 ص 14
ḍ ض 15
2. Konsonan
Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin
Fatḥah a
Kasrah i
Ḍammah u
viii
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat
dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Contoh:
haula :هول kaifa :كيف
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Contoh:
qāla : قال
ramā : رمى
qīla : قيل
yaqūlu : يقول
4. Ta Marbutah (ة)
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua.
a. Ta marbutah ( ة) hidup
Ta marbutah ( ة) yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan
ḍammah, transliterasinya adalah t.
b. Ta marbutah ( ة) mati
Ta marbutah ( ة) yang mati atau mendapat harkat sukun,
transliterasinya adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah ( ة) diikuti
Tanda Nama Huruf Latin
ي Fatḥah dan ya ai
و Fatḥah dan wau au
Tanda Nama Huruf Latin
/ي ١ Fatḥah dan alif
atau ya
ā
ي Kasrah dan ya ī
ي Ḍammah dan
wau
ū
ix
oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu
terpisah maka ta marbutah ( ة) itu ditransliterasikan dengan h.
Contoh:
rauḍhat al-aṭfāl/ rauḍhatul aṭfāl : روضة الطفال
رة نو ينة الم /al-Madīnah al-Munawwarah : المد
al-Madīnatul Munawwarah
Ṭhalḥah : طلحة
Catatan:
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi,
seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah
penerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.
2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir,
bukan Misr ; Beirut, bukan Bayrut ; dan sebagainya.
3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus Bahasa Indonesia tidak
ditransliterasi. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf.
xii
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL…………………………………………………………….. i
PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………………………….... ii
PENGESAHAN SIDANG………………………………………………………... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI……………………………... iv
ABSTRAK ................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
TRANSLITERASI .................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xi
DAFTAR ISI .............................................................................................................. xii
BAB SATU: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
1.4. Penjelasan Istilah ............................................................................ 8
1.5. Kajian Pustaka ................................................................................ 8
1.6. Metode Penelitian ........................................................................... 14
1.7. Sistematika Pembahasan ................................................................. 17
BAB DUA: TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI EFEKTIVITAS HUKUM DAN
MASLAHAH MURSALAH
2.1. Teori Efektivitas Hukum ................................................................. 18
2.1.1. Pengertian Efektivitas Hukum.............................................. 18
2.1.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum ....... 21
2.1.3. Indikator Ketaatan Terhadap Hukum ................................... 29
2.2. Teori Maslahah Mursalah ............................................................... 32
2.2.1. Pengertian Maslahah Mursalah ........................................... 31
2.2.2. Pembagian dan Macam-macam Maslahah ........................... 33
2.2.3.Kedudukan dan Kehujjahan Maslahah Mursalah Dalam
Hukum Islam ......................................................................... 36
BAB TIGA: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.2. Penyebab Tidak Efektivnya Pelaksanaan Peraturan Walikota Banda
Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame ....... 40
3.3. Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggara Reklame Menurut Maslahah Mursalah ............... 51
xiii
BAB EMPAT PENUTUP
4.1. Kesimpulan ..................................................................................... 58
4.2. Saran ............................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
1
BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kehadiran reklame menjadi ladang promosi, media promo luar ruangan ini
memiliki kelebihan dibandingkan dengan media promo lain karena informasi yang
diberikan dapat lebih detail, menampilkan visual sehingga mudah diingat.1Reklame
adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya untuk
tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk
menarik perhatian umum, terhadap barang, jasa, orang atau badan yang dapat dilihat,
dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.2
Reklame merupakan media publik yang sering digunakan untuk
memperkenalkan barang maupun jasa secara dua dimensi dan selalu mempunyai sifat
atau tujuan secara komersial. Reklame komersial luar ruangan merupakan jenis
reklame yang sering digunakan sebagai media komunikasi visual yang berfungsi
untuk menginformasikan dan menerangkan suatu produk atau jasa. Spanduk
merupakan salah satu contoh media iklan di luar ruangan yang banyak digunakan
untuk mengiklankan produk atau jasa karena murah, mudah digunakan, tahan
terhadap cuaca dan dapat digunakan maksimal.3
1Nella Yulida Sari. Dkk, “Pelaksanaan Pengawasan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Satu Pintu Terhadap Pemasangan Reklame Di Kota Banda Aceh”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Vol. 1(1)
Agustus 2017, pp. 67-78. 2 Qanun Kota Banda Aceh Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame Pasal 1 angka 6.
3Ahmad Fauzan Ramadhani, Perancangan Sarana Penertiban Spandu Liar Di Jalan Raya
Dengan Studi Dengan Studi Kasus Pada Dinas Satuan Polisi Pamong Praja kota Bandung, Fakultas
Industri Kreatif Universitas Telkom Bandung, 2015.
2
Pemasangan reklame memberikan kontribusi penambahan pemasukan ke kas
daerah, yang dipergunakan untuk pembangunan kota, namun reklame tidak hanya
mengutamakan aspek pemasukan saja, tetapi juga mementingkan aspek keindahan,
ketertiban dan keamanan.4 Pemerintah Kota Banda Aceh telah mengeluarkan
peraturan mengenai penyelenggaraan reklame yaitu Peraturan Walikota Banda Aceh
Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame, di dalam peraturan tersebut
telah disebutkan diantaranya syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengurus izin
penyelenggaraan reklame dan tempat-tempat yang dilarang untuk pemasangan
reklame.
Pada kenyataannya masih ditemukan adanya pemasangan reklame yang belum
mendapatkan izin pemasangan dari Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu
Satu Pintu Kota Banda Aceh dan masih banyak pula ditemukannya pememasangan
reklame pada tempat-tempat yang dilarang, seperti pemamasangan reklame jenis
spanduk dengan cara melintang di atas jalan, ataupun pemamasang reklame pada
rambu-rambu lalulintas, lampu jalan dan alat pengatur lalulintas. Dan berikut ini
merupakan contoh pemasangan reklame pada tempat-tempat yang dilarang
berdasarkan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggara Reklame :
4 Nella Yulida Sari. Dkk, “Pelasanaan Pengawasan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Satu Pintu Terhadap Pemasangan Reklame Di Kota Banda Aceh”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Vol. 1(1)
Agustus 2017, pp. 67-78.
3
(Sumber: Hasil Observasi Lapangan)
(Sumber: Hasil Observasi Lapangan)
Perbuatan-perbuatan tersebut telah melanggar Pasal 4 ayat (1) Tentang Izin
Reklame dan Pasal 10 Tentang Larangan Pemasangan Reklame Peraturan Walikota
4
Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Reklame, yang mana
disebutkan bahwa:
“Setiap penyelenggara reklame di Kota harus memiliki izin penyelenggaraan
reklame dari Pemerintah Kota”.
Setiap penyelengara dilarang :
1. Pemasangan reklame dikawasan kantor pemerintah, gedung sekolah,
rumah ibadah, gedung bersejarah dan rumah sakit;
2. Pemasangan pada rambu-rambu lalulintas, lampu jalan dan alat
pengatur lalulintas;
3. Merusak kelestarian lingkungan tempat pemasangan reklame;
4. Memasang reklame jenis spanduk dengan cara melintang diatas jalan;
5. Memasang reklame dengan cara menempel pada pagar taman dan
tanaman;
6. Memasang tiang penyangga umbul-umbul menempel dan dipaku pada
batang pohon atau ornamen lampu jalan; dan
7. Memasang atau menempatkan reklame yang menutupi reklame lainnya.5
Di dalam kedua pasal tersebut jelas dinyatakan bahwa setiap penyelenggara
reklame harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Pemerintah Kota apabila hendak
memasang reklame dan tidak memasang reklame pada tempat-tempat yang dilarang.
Dalam Pasal 1 angka (9) Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012
Tentang Penyelenggara Reklame dinyatakan bahwa Perizinan adalah pemberian
legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha atau kegiatan tertentu, baik dalam
bentuk izin maupun tanda daftar.
Adapun tata cara mengurus izin penyelenggaraan reklame berdasarkan pasal 5
dan 6 Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame adalah sebagai berikut:
5Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame.
5
1. Permohonan izin Penyelengaraan Reklame Billboard dan sejenisnya
diajukan secara tertulis kepada Walikota c.q KPPTSP Kota dengan
melampirkan persyaratan sebagai berikut:
a. Foto copy KTP pemohon;
b. Data perusahaan / kantor dan lembaga;
c. Gambar situasi titik lokasi reklame;
d. Desain reklame dan gambar teknis kontruksi;
e. Tanda setoran biaya jaminan penyelenggaraan reklame;
f. Foto copy Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT PBB), untuk pemasangan bukan di atas
tanah/bangunan milik Pemerintah Kota;
g. Surat pernyataan bersedia membongkar bangunan reklame apabila
lokasi pemasangan reklame tersebut dimanfaatkan untuk penataan
kawasan/kepentingan umum tanpa menuntut biaya ganti rugi.
h. Surat pernyataan bertanggung jawab atas segala kerugian yang
ditimbulkan akibat keberadaan reklame tersebut;
i. Surat pernyataan tidak memotong dan memangkas sebagian pohon di
sekitar lokasi reklame;
j. Perhitungan kontruksi/struktur terhadap bangunan reklame yang
berukuran 32 m2 atau lebih dan disahkan oleh konsultan/lembaga
resmi; dan
k. Surat persetujuan dari pihak yag menguasai persil/tanah dan atau
bagunan, apabila tempat pemasangan reklame tersebut
diselenggarakan diluar tanah pemerintah.
2. Permohonan izin penyelenggaraan reklame spanduk, umbul-umbul,
banner dan sejenisnya diajukan secara tertululis kepada KPPTSP Kota
dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:
a. Foto copy KTP pemohon; dan
b. Data perusahaan/kantor dan lembaga.
Melihat masih banyak masyarakat yang melanggar ketentuan yang ada di dalam
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame, maka dapat disimpulkan bahwasanya peraturan ini masih belum efektif,
karena sejauh berjalannya waktu sejak peraturan ini diterbitkan, peraturan ini belum
berjalan sebagaimana yang diharapkan, terbukti dengan masih banyak ditemukannya
pelanggaran dalam penyelenggaraan reklame.
6
Jika dilihat dari dalam ruang lingkup hukum Islam, yaitu berdasarkan konsep
maslahah mursalah, pembentukan suatu hukum ataupun peraturan terhadap suatu
masalah haruslah melahirkan kemanfaatan dan faedah yang nyata bagi kehidupan
umat manusia.6 Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan
oleh syar’i dalam wujud hukum yang termaktub secara lafaz (dalil), di dalam rangka
menciptakan kemaslahatan. Di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan dan
menyalahkan. Karenanya, maslahah itu disebut mutlak, lantaran tidak ada dalil yang
membenarkan dan menyalahkan.7
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame ini belum memberikan manfaat yang merata (optimal) bagi masyarakat kota
Banda Aceh, karena dengan masih adanya penyelenggara reklame yang melanggar,
akan menimbulkan ancaman terhadap kerusakan, hilangnya keindahan dan
mengganggu kenyamanan serta dapat membahayakan masyarakat yang berada di
wilayah kota Banda Aceh.
6Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa Masdar Helmi, cet- ke 2, (Bandung: Gema
Risalah Press, 1997), 145-146. 7Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra
Media, 1997), 142.
7
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan Peraturan
Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame ?
2. Bagaimana pelaksanaan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame menurut maslahah
mursalah?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penyebab tidak efektifnya pelaksanaan Peraturan
Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor
7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame menurut maslahah
mursalah.
1.4. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dan agar pembaca mudah
memahami istilah dalam penulisan karya ilmiah ini, maka perlu adanya penjelasan
istilah, antara lain:
1.4.1. Efektivitas
8
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksud dari kata efetivitas
adalah ketepatgunaan, hasil guna, dan menunjang kegunaan.8 Arti dari efek
adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh sebab, akibat serta dampak dari perbuatan
tersebut. Sedangkan efektif berarti tepat, majur, mujarab dan tepat yang berhasil.
Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti berhasil, atau
sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik.9
Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan
dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Jadi, dalam skripsi ini evektifitas yang
dimaksud adalah sasaran yang dituju oleh Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor
7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame.
1.4.2. Reklame
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, yang menurut bentuk susunan dan
atau corak ragamnya dengan maksud untuk mencari keuntungan (sales
promotion) dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau
memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian
umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat
dilihat, dibaca dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang
dilakukan oleh pemerintah.10
Dalam Pasal 1 angka 6 Qanun Kota Banda Aceh
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame, Reklame adalah benda, alat,
8Desi Anwar, Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern (Surabaya, Amelia, 2002), hlm, 108. 9Dahlan Al Burry, Kamus Ilmiah Populer (Yogjakarta: Arkola Surabaya, 1994), hlm, 128.
10Nella Yulida Sari. Dkk, “Pelasanaan Pengawasan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Satu Pintu Terhadap Pemasangan Reklame Di Kota Banda Aceh”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Vol. 1(1)
Agustus 2017, pp. 67-78.
9
perbuatan, atau media yang berbentuk dan corak ragamnya dirancang untuk
tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau
menarik perhatian umum, terhadap barang, jasa, orang atau badan, yang dapat
dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.11
1.4.3. Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah
dibakukan dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti
mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak
kerusakan.12
Menurut bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata salahu,
yasluhu, salahahan, artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.13
Kamus
Besar Bahasa Indonesia membedakan antara kata maslahat dengan
kemaslahatan. Kata maslahat, menurut kamus tersebut diartikan dengan
sesuatau yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna.
Sedangkan kata kemaslahatan mempunyai makna kegunaan, kebaikan,
manfaat dan kepentingan. Dari sini jelas bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia
melihat bahwa kata maslahat dimasukkan sebagai kata dasar, sedangkan kata
kemaslahatan di masukkan sebagai kata benda jadian yang berasal dari kata
maslahat yang mendapatkan awalan dan akhiran an.14
Dalam arti yang umum,
11
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame Pasal 1 angka 6. 12
Munawar Kholil, Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (Semarang: Bulan Bintang,
1995), hlm. 43. 13
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah
dan Penafsir Al-Qur’an, 1973), hlm. 219. 14
Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), cet. ke 2, hlm. 634.
10
maslahah adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti
menarik atau mengahasilkan, seperti menghasilkan keuntungan atau
kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak
kemudharatan atau kerusakan jadi setiap yang mengandung manfaat patut
disebut maslahah.
Dengan begitu maslahah itu mengandung dua sisi yaitu yang menarik atau
mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan
kemudharatan.15
Sedangkan kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat
dengan dalil agama (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang membolehkan atau yang
melarangnya.16
Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak
disyari’atkan oleh syar’i dalam wujud hukum yang termaktub secara lafaz
(dalil), di dalam rangka menciptakan kemaslahatan. Di samping tidak terdapat
dalil yang membenarkan dan menyalahkan. Karenanya, maslahah itu disebut
mutlak, lantaran tidak ada dalil yang membenarkan dan menyalahkan.17
1.5. Kajian Pustaka
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet Ke-4 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.323-324. 16
Munawar Kholil, Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah …,hlm.43. 17
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra
Media, 1997), 142.
11
Sepanjang yang penulis ketahui setelah melakukan telaah kepustakaan, belum
ada di Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Ar-Raniry yang mengkaji tentang
Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012
Tentang Penyelenggara Reklame Menurut Maslahah Mursalah.
Adapun skripsi yang terkait dengan skripsi penulis adalah, skripsi yang ditulis
oleh Rayyan Azmi, dengan judul Feasibilitas Penempatan Billboard Pada Wilayah
Perlintasan Kota Banda Aceh dalam perspektif Haq Al-Murur, yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Ar-Raniry Tahun 2018, penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Banda Aceh
tentang penempatan billboard diwilayah perlintasan.
Tindakan dan upaya yang ditempuh oleh pemerintah Kota dalam mengatasi
pelanggaran penempatan billboard tesebut dan tinjauan konsep Haq Al-Murur
terhadap feasibiltas penempatan billboard pada wilayah perlintasan Kota Banda
Aceh. Untuk menapai tujuan tersebut digunakan metode deskriptif dan menganilisis
secara kritis data yang diperoleh pengumpulan data dilakukan dengan studi
kepustakaan library research (penelitian pustaka) dan field research (Penelitian
lapangan) yaitu mengadakan penelitian pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP), Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(DPKAD), dan Perusahaan Advertising. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa pelaksanaan pengawasan Kantor Perizinan Terpadu Satu Pintu terhadap
12
pemasangan reklame tidak dilaksanakan dengan maksimal, hal ini terbukti dengan
masih banyaknya pelanggaran reklame di Kota Banda Aceh. 18
Adapun jurnal yang terkait dengan skripsi penulis adalah jurnal yang ditulis oleh
Nella Yulida sari Dkk, dengan judul Pelaksanaan Pengawasan Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu Terhadap Pemasangan Reklame di Kota Banda Aceh,
yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Tahun 2017,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan pengawasan yang
dilakukan oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu terhadap pemasangan
reklame di Kota Banda Aceh. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah, ternyata
banyak sekali hambatan dan rintangan yang harus di lalui oleh Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu dalam melakukan pengawasan terhadap masyarakat
yang memasang reklame liar, salah satunya adalah tidak adanya pegawai khusus
yang di bentuk oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu untuk
melakukan pengawasan langsung ke tempat pemasangan reklame, adapun upaya
yang dilakukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu terhadap
penyelenggara reklame yang melanggar adalah, memberikan pembinaan,
meningkatkan kegiatan pengawasan, dan melakukan pengadaan lokasi reklame.19
18
Rayyan Azmi, “ Feasibilitas Penempatan Bilboard Pada Wilayah Perlintasan Kota Banda
Aceh dalam perspektif Haq Al-Murur”, Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh,
2017. 19
Nella Yulida Sari. Dkk, “Pelasanaan Pengawasan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Satu Pintu Terhadap Pemasangan Reklame Di Kota Banda Aceh”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Vol. 1(1)
Agustus 2017, pp. 67-78.
13
1.6. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa yang
dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. Metode merupakan cara
utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian,
jumlah dan jenis yang dihadapi.20
1.6.1. Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris. Terdiri dari kata “yuridis” yang
berarti hukum dilihat sebagai norma atau das sollen, karena dalam membahas
permasalahan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum (baik hukum yang
tertulis maupun hukum yang tidak tertulis atau baik bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder). Dan juga berasal dari kata “empiris” yang berarti hukum
sebagai kenyataan sosial, kultural atau das sein, karena dalam penelitian ini
dugunakan data primer yang diperoleh dari lapangan.
Penelitian yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang dipergunakan untuk
memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data primer terlebih dahulu untuk
kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data sekunder di
lapangan.21
Pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini dengan maksud
menganalisa permasalahan yang dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan
hukum (data sekunder) dengan data primer.
20
Soejarno Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: CV. Rajawali, 1985). Hal. 15 21
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Rajawali Press, 1985), hlm. 52.
14
Penerapan metode yuridis empiris dalam penelitian ini yaitu dari hasil penemuan
dan pengumpulan data serta informasi melalui studi lapangan terhadap asumsi yang
diperoleh untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini melalui:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) dilakukan untuk memperoleh
data primier dan data sekunder dengan cara mempelajari buku-buku,
ketentuan peraturan perundang-undangan, kamus-kamus hukum, jurnal dan
internet.
b. Lapangan (Field Research) dilakukan untuk memperoleh data primer dengan
mewawancari Kabid Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan SDA
Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh, Kabid Pelayanan Pengaduan Pelaporan
dan Informasi Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota
Banda Aceh dan pihak-pihak lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
1.6.2. Sumber data
Sumber data yang akan dijadikan sumber rujukan atau landasan utama dalam
penelitian ini yaitu:
a. Sumber data primer, dalam hal ini sumber data yang berasal dari Norma dasar,
Peraturan Dasar, bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari: Peraturan Walikota
Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame, Qanun Daerah,
Kitab Fiqh, Al-Qur’an dan Hadis.
b. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
Kabid Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan SDA Satpol PP dan WH Kota
Banda Aceh, Kabid Pelayanan Pengaduan Pelaporan dan Informasi Dinas Penanaman
15
Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Acehdan pihak-pihak lainnya yang
terkait dengan penelitian ini.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data yang berhubungan dengan objek kajian, baik itu data
primer maupun data sekunder, penulis menggunakan metode observasi pertisipan dan
wawancara.
a. Observasi, yaitu secara lansung turun ke lapangan melakukan pengamatan
guna memperoleh data Sekunder. Observasi adalah mengamati secara lansung
terhadap gejala yang ingin diteliti.
b. Wawancara, yaitu pengumpulan data dalam bentuk tanya jawab yang
dilakukan secara lansung paeda responden dalam hal ini adalah Kabid
Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan SDA Satpol PP dan WH Kota
Banda Aceh, Kabid Pelayanan Pengaduan Pelaporan dan Informasi Dinas
Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh,
Penyelenggara Reklame yang melanggar, penyelenggara reklame yang tidak
melanggar, dan masyarakat Kota Banda Aceh.
c. Dokumentasi, yaitu sebuah cara yang dilakukan untuk menyediakan
dokumen-dokumen dengan menggunakan jalan yang akurat dari pencatatan
sumber-sumber informasi, khusus dari tulisan, buku, undang-undang, dan lain
sebagainya.
d. Studi pustaka, yaitu kegiatan untuk menghimpun informasi yang relevan
dengan topik atau masalah yang menjadi objek penelitian. Informasi tersebut
16
dapat diperoleh dari buku-buku, karya ilmiah, skipsi, tesis, disertasi,
ensiklopedia, internet, dan sumber-sumber lainnya.
1.7. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan hukum ini penulis menguraikan dalam bagian-bagian yang
akan dibahas menjadi beberapa bab yang dapat saling terkait secara sistematis,
terarah, dan mudah dimengerti sehingga saling mendukung dan menjadi satu kesatuan
yang bulat dan utuh, guna memberikan arahan dan gambaran penulisan hukum ini.
Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
Bab satu merupakan bab pendahuluan yang meliputi beberapa pembahasan yang
berkaitan dengan metode yang digunakan. Unsur-unsur metode tersebut adalah latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian
pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab dua, penulis menjelaskan mengenai tinjauan umum tentang teori efektivitas
hukum dan maslahah mursalah. Adapun sub bab nya antara lain: kesatu teori
efektifitas hukum yang pembahasannya mencakup pengertian efektivitas hukum,
faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum, dan indikator ketaatan terhadap
hukum, kedua teori maslahah mursalah yang pembahasannya mencakup pengertian
maslahah mursalah, macam-macam maslahah, kedudukan dan kehujjahan maslahah
mursalah.
Bab tiga, dalam bab ini penulis akan membahas tentang penyebab tidak
efektifnya pelaksanaan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012
17
Tentang Penyelenggara Reklame, serta Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame menurut maslahah mursalah.
Bab empat merupakan penutup dari penulisan ini yang terdiri dari kesimpulan
hasil penelitian dan penulisan karya ilmiah ini, disertai saran yang diharapkan dapat
bermanfaat bagi pembaca.
18
BAB DUA
TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI EFEKTIVITAS HUKUM
DAN MASLAHAH MURSALAH
2.1. Teori Efektivitas Hukum
2.1.1. Pengertian Efektivitas Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksud dari kata efektivitas
adalah ketepatgunaan, hasil guna, dan menunjang kegunaan.22
Arti dari efek adalah
pengaruh yang ditimbulkan oleh sebab, akibat serta dampak dari perbuatan tersebut.
Sedangkan efektif berarti tepat, majur, mujarab dan tepat yang berhasil. Kata efektif
berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti berhasil, atau sesuatu yang
dilakukan berhasil dengan baik.23
Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara
hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai.
Efektivitas bisa menjadi tolak ukur akan tercapainya tujuan awal yang telah
direncanakan secara matang, dan juga sejauh mana perkembangan perencanaan telah
dicapai. Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau
pencapaian tujuan. Kemudian efektivitas juga merupakan salah satu dimensi dari
produktivitas yang mengarah kepada pencapaian untuk kerja yang maksimal,
pencapaian yang dimaksud adalah pencapaian target yang berkaiatan dengan kualitas,
kuantitas dan waktu dimana makin besar persentase target yang dicapai, maka makin
besar efektivitasnya.
22
Desi Anwar, Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern (Surabaya, Amelia, 2002), hlm, 108. 23
Dahlan Al Burry, Kamus Ilmiah Populer (Yogjakarta: Arkola Surabaya, 1994), hlm, 128.
19
Menurut Richard M Steer dalam bukunya “Efektivitas Organisasi” mengatakan
mengenai ukuran efektivitas sebagai berikut:24
1. Pencapaian Tujuan
Pencapaian adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan harus dipandang
sebagai suatu proses oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir semakin
terjamin, diperlukan pertahapan maupun periodesasinya pencapaian tujuan
terdiri dari beberapa faktor, yaitu: kurun waktu dan sasaran yang merupakan
target konrit. Dalam hal ini Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun
2012 Tentang Penyelenggara Reklame belum mencapai tujuan awal mula dari
pembentukan peraturan tersebut, dan penyelenggara reklame yang merupakan
target utama dari pembentukan peraturan ini masih melakukan penyimpangan.
2. Integrasi
Integrasi adalah pengukuran terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi
untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan onscensus dan komunikasi
dengan berbagai macam organisasi lainnya, integrasi yang menyangkut proses
sosialisasi. Dalam hal ini sejauh mana Pemerintah Kota Banda Aceh mampu
mensosialisasikan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012
Tentang Penyelenggara Reklame kepada seluruh masyarakat Kota Banda
Aceh.
24
M Richard Steers, Efektifitas Organisasi (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 53.
20
3. Adaptasi
Adaptasi adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya untuk itu digunakan tolak ukur proses pengadaan dan
pengisian tenaga kerja. Adaptasi dalam hal ini bagaimana Pemerintah Kota
Banda Aceh mampu mensosialisasikan Peraturan Walikota Banda Aceh
Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame dengan baik kepada
seluruh masyarakat Kota Banda Aceh, sehingga masyarakat Kota Banda Aceh
mau menerima dan menaatinya.
Efektivitas itu bersifat abstrak, oleh karena itu hendaknya efektivitas itu tidak
dipandang sebagai keadaan akhir akan tetapi merupakan proses yang
berkesinambungan dan perlu dipahami bahwa komponen dalam suatu program saling
berhubungan antara satu sama lain, dan bagaimana caranya supaya berbagai
komponen ini bisa memperbesar kemungkinan untuk berhasilnya program.
Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam mencapai
tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi
sebagai a tool of soial control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang
dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara
stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.
Selain itu, hukum juga memiliki fungsi sebagai a tool of social enggineering
yang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum
dapat berperan dalam mengubah pola pikiran dalam masyarakat, dari pola pemikiran
21
yang tradisional ke dalam pola pemikiran masyrakat yang rasioanal atau modern.
Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku
efektif.
Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto, ditentukan oleh taraf
kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya, sehingga
dikenal asumsi bahwa, “taraf kepatuhan yang tinggi adalah indikator suatu
berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda
hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan
melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.25
2.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Penegakan Hukum
Ketika membahas ketidakefektifan suatu hukum, ada baiknya kita juga
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu penerapan hukum.
Adapun faktor-faktor tersebut nantinya mempunyai arti yang netral, sehingga dampak
positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Menurut soerjono Soekanto ada lima faktor yang mempengaruhi atau juga
menghambat efektifitas penegakan hukum, yaitu:26
1. Faktor Penerapan Hukum
Praktik penyelengaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini di sebaban oleh
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan
25
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Sanksi (Bandung: Remaja Karya, 1985), hlm. 7. 26
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm, 19.
22
kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan seara
normatif justru itu suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.
Hukum merupakan suatu kumpulan kaidah-kaidah yang bersifat
memaksa atau dengan perkataan lain sesuatu kumpulan peraturan hidup yang
bersifat memaksa. Peraturan-peraturan itu diadakan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan manusia dalam pergaulan hidupnya jadi peraturan
hukum menjamin suatu kepentingan tertentu bagi setiap orang yang
bersangkutan karena terikat kepada suatu peraturan hukum bersama.27
Pada hakikatnya hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum
perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum
ilmuan atau doktrin dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial
hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin
ada aturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku
manusia, yang isi nya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diatur dan
serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang
mendukung.
27
J. Van Kan Dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pt Pembangunan, 1983),
hlm, 178.
23
2. Faktor Penegak Hukum
Peran aparatur pemerintah terutama instansi yang manangani lansung
tentang masalah hukum perlu ditingkatkan pola kerjanya secara terus menerus
sehingga dapat tercapai hasil guna dengan tingkat yang maksimal. Peran
aparatur pemerintah dalam usaha pembangunan hukum menjadi tanggung
jawab instansi Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI, Departemen
Kehakiman RI, dan Kepolisian RI. Oleh karena Kejaksaan Agung merupakan
aparat penegak hukum, maka perlu meningkatkan pengabdian dan kesetiaan
pada cita-cita perjuangan bangsa dan Negara yang berdasaran Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945.28
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai
kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu
dalam struktur masyarakat, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau
rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isi nya
adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban
tadi merupakan peranan. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kedudukan
tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan. Suatu hak sebenarnya
merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban
adalah beban, atau tugas.
Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang
dialami diberbagai instansi, tapi khusus bagi aparat yang melaksanankan tugas
28
Ilham Gunawan, Penegak Hukum Dan Penegak Hukum, (Bandung: Angasa 1993), hlm. 2-3.
24
wewenangnya menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak
hukum) sebenarnya mendapat prioritas walaupun di sadari bahwa dalam hal
peningkatan mutu berkaitan erat dengan anggaran lainnya yang selama ini
bagi polri selalu kurang dan sangat minim.
Mentalitas atau kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J
E, Sahetapy yang mengatakan: “Dalam rangka penegakan hukum dan
implementasi penegak hukum bahwa penegak keadilan tanpa kebenaran
adalah suatu kebijakan Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu
kemunafikan dalam keranga penegakan hukum setiap lembaga penegakan
hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus
terasa dan terlibat, harus di aktualisasikan”.29
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Tanpa sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegak hukum
akan berlansung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal
itu tida dipenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai
tujuannya.30
Sarana dan fasilitas pendukung amat sangat penting untuk mengefetifkan
suatu aturan tertentu, yang mencakup perangkat lunak dan perangkat keras,
29
J.E Sahetapy, Hukum Pidana (Yogjakarta: Liberty, 1996), hlm. 94. 30
Sokerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 1993), hlm. 27.
25
salah satu perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh
polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga
dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya
adalah pengetahuan tentang kejahatan komputer, di dalam tindak pidana
khusus yang selama ini diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena
secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap.
Walaupun disadari pula bahwa tugas yang diemban oleh polisi begitu
banyak.31
Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi
sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti kertas tidak ada,
karbon kurang cukup dan mesin ketik atau komputer yang kurang baik,
bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan.
Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting
di dalam penegakan hukum.32
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut,
tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual.
4. Faktor Masyarakat
Menurut Philiph Roup yang dikutip oleh Ngadiyono mengatakan bahwa
masyarakat adalah setiap kelompok sosial yang memiliki ciri-ciri: kesamaan
tempat tinggal, kesamaan sistem nilai, dan kesamaan aktivitas dan juga pola
31
Ibid. 32
Ibid.
26
tingkahnya. Dari definisi Philiph Roup diatas dapat dilihat unsure pokok
dalam masyarakat itu adalah:
a. Sekelompok manusia yang bertempat tinggal di daerah tertentu.
b. Mempunyai tujuan yang sama.
c. Mempunyai nilai-nilai dan norma-norma yang dihormati bersama.
d. Mempunyai kesamaan perasaan (suka dan duka)
e. Mempunyai organisasi yang ditaatinya.33
Penegakan hukum dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit
banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf
kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum tinggi, sedang, atau kurang. Sikap
masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan
malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan
hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan
sebagainya. Hal ini salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.
Dan masih ada persoalan lain, yaitu adanya suatu asumsi yang menyatakan
bahwa semakin besar peran sarana sosial dan lainnya (agama, adat istiadat),
semakin kecil peran hukum.34
Masyarakat harus menyadari bahwa dalam proses penegakan hukum
bukan merupakan tanggung jawab aparatur penegak hukum semata. Tetapi
33
Ngadiyono, Kelembagaan dan Masyarakat, (PT. Bina Aksara, 1984), hlm. 15-16. 34
Soerjono Soekanto, Kejahatan dan Penegakan Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1996), hlm. 3.
27
merupakan tanggung jawab masyarakat dalam upaya mengahadapi,
menaggulangi, berbagai bentuk kejahatan yang merugikan dan meresahkan
masyarakat itu sendiri.35
5. Faktor Kebudayaan (Budaya Hukum)
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai,
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk, nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai
yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus serasi.36
Kebudayaan
Indonesia yang mendasar hukum adat yang berlaku, hal tersebut merupakan
hukum kebiasaan yang berlaku dikalangan rakyat banyak.
Akan tetapi disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-
undangan) yang timbul dari golongan tertentu dalam masyarkat yang
mempunyai kekuasaan dan wewenang yang resmi. Hukum perundang-
undangan tersebut harus mencerminan nilai-nilai yang menjadi dasar dari
hukum adat agar supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku
seara efektif.37
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal
pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur dari efektivitas
penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut, faktor
penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan
35
Ibid. 36
Sokerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum …, hlm. 45. 37
Sokerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum…, hlm. 49.
28
oleh baik undang-undangnya yang tersusun oleh penegak hukum dan penega
hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas.38
Hukum terdapat di dalam setiap masyarakat, betapapun sederhana dan
elitnya masyarakat tersebut. Oleh karena hukum tadi merupakan bagian
daripada kebudayaan masyarakat, maka hukum tidak dapat dipisahkan dari
jiwa dan arah berpikir dari masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut.
Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan penjelmaan daripada jiwa
dan cara berfikir masyarakat yang bersangkutan, yakni yang merupakan
struktur rohaniah masyarakat. Oleh sebab itu di dalam penelitian hukum,
unsur kebudayaan tidak dapat diabaikan begitu saja, sebab pada haikat hukum
bernaung dibawah kebudyaan dari suatu masyarakat.39
Jika yang akan dikaji adalah efektivitas perundang-undangan, maka
dapat dikatakan bahwa tentang efektifnya suatu perundang-undangan, itu
tergantung dari beberapa faktor, antara lain:40
a. Pengetahuan tentang subtansi (isi) perundang-undangan.
b. Cara-ara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
c. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di
dalam masyarakatnya.
38
Ibid. 39
Ibid. 40
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence)…, hal. 378.
29
d. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan yang tida
boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan
(sesaat), yang diistilahkan oleh Gunmar Myrdall sebagai sweep
legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2.1.3. Indikator Ketaatan Terhadap Hukum
Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka
pertama-tama kita harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian
besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan bahwa aturan
hukum yang bersangkutan adalah efektif. Namun demikian, sekalipun dikatakan
aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita masih dapat mempertanyakan lebih jauh
derajat efektivitasnya karena seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum
tergantung kepentingannya.
Adapun indikator yang mengukur ketaatan terhadap hukum adalah sebagai
berikut41
:
1. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-
orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu.
2. Kejelasan rumusan dari subtansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami
oleh target diberlakukannya aturan hukum.
3. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
41
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence)…, hlm. 376.
30
4. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya
aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab
hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan
ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan (mandatur).
5. Sanksi yang diancam oleh aturan itu harus dipadankan dengan sifat aturan
hukum yang dilanggar tersebut.
6. Berat ringannya sanksi yang diancam dalam aturan hukum harus
proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
7. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang
memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi,
memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya
memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan penghukuman).
8. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relative
akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan
nilai moral yang dianut orang-orang yang menjadi target diberlakukannya
aturan tersebut.
9. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum juga mensyaratkan
adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.
Berbeda dengan pendapat dari C.G. Howard & R. S. Mumnresyang yang
berpendapat bahwa seyoyagyanya yang dikaji, bukan ketaatan terhadap hukum pada
31
umumnya, melainkan ketaatan terhadap anturan hukum tertentu saja. Achmad Ali
sendiri berpendapat bahwa kajian tetap dapat dilakukan terhadap keduanya.42
2.2. Teori Maslahah Mursalah
2.2.1. Pengertian Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan
dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan kebaikan
atau yang membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.43
Menurut bahasa aslinya
kata maslahah berasal dari kata salahu, yasluhu, salahahan, صلاحا , يصلح, صلحو
artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.44
Kamus Besar Bahasa Indonesia
membedakan antara kata maslahat dengan kemaslahatan. Kata maslahat, menurut
kamus tersebut diartikan dengan sesuatau yang mendatangkan kebaikan, faedah dan
guna. Sedangkan kata kemaslahatan mempunyai makna kegunaan, kebaikan, manfaat
dan kepentingan.
Dari sini jelas bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia melihat bahwa kata
maslahat dimasukkan sebagai kata dasar, sedangkan kata kemaslahatan di masukkan
sebagai kata benda jadian yang berasal dari kata maslahat yang mendapatkan awalan
dan akhiran an.45
Dalam arti yang umum, maslahah adalah setiap segala sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau mengahasilakan, seperti
42
Ibid. 43
Munawar Kholil, Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (Semarang: Bulan Bintang,
1995), hlm. 43. 44
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah
dan Penafsir Al-Qur’an, 1973), hlm. 219. 45
Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), cet. ke 2, hlm. 634.
32
menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau
menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan jadi setiap yang
mengandung manfaat patut disebut maslahah.
Dengan begitu maslahah itu mengandung dua sisi yaitu yang menarik atau
mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau mehindarkan kemudharatan.46
Sedangkan kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama
(Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya.47
Maslahah
Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syar’i dalam wujud
hukum, didalam rangka menciptakan kemaslahatan.
Disamping tidak dapat dalil yang membenarkan dan menyalahkan. Maslahah
mursalah juga merupakan kemaslahatan yang tidak didukung oleh syara’ atau nash
yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (Al-Qur’an atau hadis)
Karenanya, maslahah itu disebut mutlak, lantaran tidak ada dalil yang membenarkan
dan menyalahkan.48
Adapun objek maslahah mursalah selain yang berlandaskan pada hukum syara’
secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan
manusia yang lain. Hal tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai
kemaslahatan. 49
Dalam hal ini misalnya adalah tidak efektivnya pelaksanaan
46
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet Ke-4 (Jakarta: Kencana, 2008), hlm, 323-324. 47
Munawar Kholil, Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah…,hlm.43. 48
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra
Media, 1997), 142. 49
Racmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Jawa Barat. CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 121.
33
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat Kota Banda Aceh.
2.2.2. Pembagian dan Macam-Macam Maslahah
Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat
dari beberapa segi, dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu,
mereka membaginya kedalam tiga macam, yaitu:
a. Maslahah Al-Dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan pokok
dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu:
1. Memelihara agama
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara akal
4. Memelihara keturunan dan
5. Memelihara harta
Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan Al-Maslahih Khamsah, memeluk
suatu agama merupakan fitrah dan naluri insan yang tidak bisa diingkari dan
sangat dibutuhkan umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut Allah
mensyariatkan agama yang wajib yang wajib dipelihara seseorang, baik yang
berkaitan dengan aqidah, ibadah, maupun muamalah.
Hak hidup juga merupakan hak asasi bagi setiap umat manusia. Dalam
kaitan ini untuk kemaslahatan, keselamatan jiwa dan kehidupan manusia Allah
mensyariatkan berbagai hukum yang terkait dengan itu, seperti syariat Qishas,
34
kesempatan mempergunakan hasil sumber alam untuk melanjutkan generasi
manusia, hukum perkawinan untuk melanjutkan generasi manusia, dan berbagai
hukum lainnya.
Akal merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang dalam menjalani
hidup dan kehidupannya. Oleh sebab itu, Allah menjadikan pemeliharaan akal
itu sebagai seuatu yang pokok. Untuk itu, antara lain Allah melarang meminum
minuman keras, karena minuman itu bisa merusak akal dan hidup manusia.
Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam rangka
memilhara kelansungan manusia di muka bumi ini. Untuk memelihara dan
melanjutkan keturunan tersebut Allah mensyariatkan nikah dengan segala hak
dan kewajibaan yang diakibatkannya. Dan terakhir, manusia tidak bisa hidup
tanpa harta. Oleh sebab itu, harta merupakan yang dharuri (pokok) dalam
kehidupan manusia.
b. Maslahah Al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.
c. Maslahah Al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap,
berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Mislanya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus,
dan berbagai jenis cara mehilangkan najis dari badan manusia.
Sementara itu, jika dilihat dari kandungan maslahah, maka ia dapat dibedakan
kepada:
35
1. Maslahah Al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
dengan kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti
untuk kepentingan semua orang tapi bisa saja untuk kepentingan mayoritas
umat.
2. Maslahah Al-Khashshah, yaitu kemaslahatan pribadi yang dimana
seseorang tidak hanya memikirkan kemaslahatan bagi orang lain namun
juga harus memikirkan kemaslahatan bagi dirinya sendiri.50
Sedangkan jika dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, Mustafa al-
Syalabi,51
membaginya kepada dua bagian, yaitu:
1. Maslahah Al-Tsubish, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak
berubah sampai akhir zaman.
2. Maslahah Al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subyek hukum.
Selanjutnya, jika dilihat dari segi keberadaan maslahah, Abdul-Karim Zaidan
membagikan maslahah kepada tiga macam, yaitu:
1. al-Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui
syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk
merealisasikannya.
50 Muksana Pasaribu, Maslahat dan Perkembangannya sebagai dasar penetapan hukum
islam, Jurnal Justitia, Vol. 1 No. 04 Desember 2014: 353-356. 51
Al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Mesir: Dar al-Nahddhah al-‘Arabiyyah, 1981), hal. 281-282.
36
2. al-Maslahah al-Mulgah, yaitu seseuatu yang dianggap maslahah oleh
akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan
dengan ketentuan syariat.
3. al-Maslahah al-Mursalah, yaitu segala sesuatu yang mendatangkan
manfaat dan faedah serta menghindari kemudharatan, maslahah macam
ini terdapat dalam maslahah-maslahah muamalah yang tidak ada
ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam Al-Qur’an
dan Sunnah untuk dapat dilakukan analogi.52
2.2.3. Kedudukan dan Kehujjahan Maslahah Mursalah dalam Hukum Islam
Kedudukan mursalah mursalah merupakan bagian dari syariat, yang tidak boleh
dikesampingkan, meskipun ia tidak disebut di dalam nash secara tekstual dan secara
substansial namun di hajatkan oleh manusia dalam membangun kehidupan mereka.53
Maslahah mursalah merupakan kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syar’i
dalam wujud hukum yang termaktub secara lafaz (dalil), di dalam rangka
menciptakan kemaslahatan. Di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan dan
menyalahkan. Karenanya, maslahah itu disebut mutlak, lantaran tidak ada dalil yang
membenarkan dan menyalahkan.54
Maslahah mursalah secara prinsipil para ulama Ulama Ushul Fiqh mereka dapat
menerimanya, meskipun dengan persyaratan-persyaratan yang berbeda-beda.
52
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Cet ke-1 (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 149-150. 53
Muksana Pasaribu, Maslahat dan Perkembangannya sebagai dasar penetapan hukum islam,
Jurnal Justitia, Vol. 1 No. 04 Desember 2014: 359. 54
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra
Media, 1997), 142.
37
Sehingga ada kelompok yang lansung dapat menerima, tetapi ada pula yang lebih
berhati-hati, sebab dikhawatirkan, menjadi maslahah sebagai metode penetapan
hukum, hanya sekedar memenuhi kehendak bahwa nafsu dan akal semata.
Ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah
sebagai dalil, disyaratkan maslahah tersebut berpegangan kepada hukum. Artinya,
ada ayat, hadis atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai
kemaslahatan itu merupakan illat dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang
menjadikan illat tersebut dipergunakan oleh nash sebagai illat suatu hukum.
Menghilangkan kemudharatan, bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan
syara’ yang wajib dilakukan. Menolak kemudharatan itu, termasuk kedalam konsep
maslahah mursalah, sebagai dalil dalam menetapkan hukumdengan syarat, sifat
kemaslahatan itu terdapat dalam nash atau ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama
dengan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’.
Sedangkan bagi para ulama-ulama Malikiyah dan Hanabilah, mereka menerima
maslahah al-mursalah sebagai hujjah, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka, maslahah mursalah
merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan yang rinci seperti yang
berlaku dalam qiyas.
Bahkan Imam Syatibi, mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahah
bersifat qath’i sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi, untuk bisa dijadikan maslahah al-mursalah sebagai hujjah, menurut
kalangan makkiyah dan Hambaliah adalah sebagai berikut:
38
a. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis
kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
b. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan ,
sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-
benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudharatan.
c. Kemaslahatan menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan
pribadi.
Dalam pembentukan suatu hukum ataupun aturan, tidak boleh hanya untuk
sekedar tidak terjadi kekosongon hukum saja, karena sesungguhnya hukum itu
diundangkan untuk kepentingan manusia dan hukum yang dibentuk tersebut juga
harus mengutamakan kemaslahatan umat manusia guna menetralisir hal-hal yang
lebih baik untuk ditetapkan sepanjang hidupnya. Karena jika dilihat dari ruang
lingkup hukum Islam yaitu berdasarkan konsep maslahah mursalah, pembentukan
suatu hukum ataupun peraturan terhadap suatau masalaha haruslah melahirkan
kemanfaatan dan faedah yang nyata bagi kehidupan umat manusia.
Dengan demikian jika melihat dari sisi maslahah mursalah dan
membandingkannya dengan pertimbangan yang ada di dalam Peraturan Walikota
Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame, dimana isi dari
pertimbangan peraturan tersebut adalah bahwasanya reklame menjadi sumber
pendapatan asli daerah, namun tetap menjaga estetika kota, persaingan usaha dan
mengutamakan keselamatan umum, maka pertimbangan ini dapat sejalan dengan
39
tujuan pokok maslahah mursalah, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta.
40
BAB TIGA
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Setiap pembentukan suatu peraturan ataupun qanun, tentunya pemerintah sudah
menetukan pihak-pihak yang berwenang untuk menjalankan peraturan tersebut, agar
peraturan tersebut dapat berjalan dengan baik. Di dalam bab ini penulis akan
menguraikan beberapa hal, diantaranya; pertama, Penyebab Tidak Efektivnya
Pelaksanaan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggara Reklame Kedua, penulis akan menguraikan Peraturan Walikota Banda
Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelanggara Reklame menurut maslahah
mursalah.
3.1. Penyebab Tidak Efektifnya Pelaksanaan Peraturan Walikota Banda Aceh
Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame
1. Kurang Maksimalnya Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan
Reklame
Berdasarkan pasal 112 ayat (1) Qanun Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Perangkat Daerah Kota Banda Aceh disebutkan bahwa Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah unsur pendukung tugas Walikota di bidang
pelayanan perizinan dan non perizinan. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam
pasal 116 Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Banda Aceh disebutkan bahwa,
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu mempunyai
kewenangan:
41
1. Menyiapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan pelayanan perizinan
dan non perizinan;
2. Melakukan penelitian dan pengembangan, pengendalian, dan
pengawasan di bidang pelayanan perizinan dan non perizinan;
3. Melakukan penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non perizinan;
4. Menyelenggarakan pelayanan informasi dan pengaduan;
5. Menerima restribusi perizinan dan non perizinan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
6. Menerbitkan dan menandatangani dokumen perizinan dan non perizinan
atas nama Walikota berdasarkan pendelegasian kewenangan; dan
7. Menyiapkan bahan pembinaan, evaluasi, pelaporan pelayanan perizinan
dan non perizinan.
Dalam pasal 1 angka (9) Peraturan Walikota Banda Aceh Nmor 7 Tahun 2012
Tentang Penyelenggara Reklame dinyatakan bahwa Perizinan adalah pemberian
legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha atau kegiatan tertentu, baik dalam
bentuk izin maupun tanda daftar. Dalam diktum Kedua Keputusan Walikota Banda
Aceh Nomor 313 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan Publik pada Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu jenis perizinan diantaranya
adalah izin reklame.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh
dalam menjalankan wewenangnya terhadap pengawasan pemasangan reklame,
namun hanya dilakukan secara preventif dan tidak lansung, hal tersebut terjadi
dikarenakan tidak adanya pegawai khusus yang ditugaskan untuk mengawasi
pemasangan reklame. Sebagaimana wawancara peneliti dengan Suria Bakti Kabid
Pelayanan Pengaduan Pelaporan dan Informasi Dinas Penanaman Modal Perizinan
Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh:
42
“Jumlah pegawai yang ada pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh sebenarnya cukup memadai yaitu
sebanyak 41 orang, namun hanya saja belum adanya pegawai ataupun tim
khusus yang dibentuk untuk melakukan pengawasan ke tempat-tempat
pemasangan reklame”.55
Pengawasan preventif yang dijalankan oleh Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh adalah pengawasan yang dilakukan
pada saat sebelum kegiatan itu dilaksanakan, yaitu dalam hal perizinan. Perizinan
dapat dijadikan kendali dalam menjalankan pengawasan, dan melalui perizinan pula
dapat dilakukan pengawasan secara administratif yaitu dengan mengetahui kapan
habis masa pemasangan dan dimana letak pemasangan reklame sehingga bisa
dijadikan sebagai alat untuk mengetahui perkembangan reklame.
Pengawasan preventif tersebut setidaknya memperkecil kemungkinan
penyelenggara reklame melakukan pememasangan reklame pada tempat yang
dilarang atau bahkan pemasangan reklame tanpa mengurus izin terlebih dahulu pada
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh.
Karena tidak adanya pegawai khusus yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan
lansung ke tempat pemasangan reklame.
Selama ini apabila terdapat reklame yang terpasang namun belum memiliki izin
pemasangan, maka Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota
Banda Aceh akan berkoordinasi dengan satpol PP Kota Banda Aceh untuk
memberikan surat teguran kepada pemilik usaha reklame dan apabila surat teguran
55
Suria Bakti, Kabid Pelayanan Pengaduan Pelaporan dan Informasi Dinas Penanaman Modal
Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh, Wawancara, 22 Januari 2019 Pukul 11.30 WIB.
43
pertama dan kedua dihiraukan maka pihak Satpol PP yang akan membongkar reklame
tersebut.
Sedangkan Satpol PP Kota Banda Aceh sebagai pihak yang mempunyai
kewenangan dalam penegakan Qanun ataupun Perda daerah Kota Banda Aceh telah
membentuk tim khusus untuk melakukan pengawasan terhadap pemasangan reklame,
yaitu tim penertiban perizinan dan non perizinan, tim ini akan mendampingi pihak
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh
apabila ditemukan adanya pemasangan reklame yang sudah habis masa
pemasangannya atau reklame yang terpasang namun belum memiliki izin
pemasangan dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota
Banda Aceh.56
Meskipun pihak Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kota Banda Aceh telah melakukan pengawasan secara preventif yaitu melalui
perizinan, dan Satpol PP Kota Banda Aceh membentuk tim khusus untuk melakukan
pengawasan lansung pada tempat pemasangan reklame yaitu tim penertiban perizinan
dan non perizinan, namun tetap saja pelaksanaan pengawasannya masih kurang
maksimal. Kurang maksimalnya pengawasan yang dilakukan dibuktikan dengan
masih banyaknya ditemukan pelanggaran reklame di Kota Banda Aceh.
56
Nurbaiti, Kabid Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan SDA Satpol PP dan WH
Kota Banda Aceh, Wawancara, 15 Februari 2019 Pukul 14.45 WIB.
44
2. Kurangnya Kesadaran Terhadap Hukum
Setiap orang memiliki tingkat kesadaran hukum yang berbeda-beda, hal tersebut
dapat dilihat dari beberapa petunjuk, yaitu sejauh mana pengetahuannya tentang
hukum, sejauh mana pemahamannya tentang hukum, dan juga bagaimana ia bersikap
terhadap hukum. Kurangnya kesadaran seseorang terhadap hukum bisa saja
diakibatkan karena kurangnya sosialisasi hukum oleh pihak Pemerintah Kota Banda
Aceh terhadap masyarakat yang ada di Wilayah Kota Banda Aceh serta minimnya
pendidikan atau bahkan kurangnya keperdulian untuk mengetahui dan mempelajari
hukum itu sendiri.57
Pengetahuan masyarakat Kota Banda Aceh terhadap Peraturan Walikota Banda
Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara relame masih sangat kurang,
tidak heran jika masih banyak masyarakat khususnya penyelenggara reklame yang
tidak mengurus izin terlebih dahulu untuk memasang reklame atau memasang
reklame pada tempat yang dilarang. Namun tidak menutup kemungkinan jika ada
penyelenggara reklame yang sudah mengetahui tentang Peraturan Walikota tersebut
namun masih tetap melanggar.58
Sebagaimana yang penulis kutip dari hasil
wawancara dengan salah seorang masyarakat Kota Banda Aceh:
“Sosialisasi hukum mengenai Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun
2012 Tentang Penyelenggara Reklame dapat dikatakan tidak pernah dilakukan.
Semenjak Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 tentang
57
Nurbaiti, Kabid Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan SDA Satpol PP dan WH
Kota Banda Aceh, Wawancara, 15 Februari 2019 pukul 14.45 WIB. 58
Suria Bakti, Kabid Pelayanan Pengaduan Pelaporan dan Informasi Dinas Penanaman
Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh, Wawancara, 22 Januari 2019 pukul 11.30
WIB.
45
Penyelenggara Reklame tersebut diterbitkan, belum pernah ada pihak-pihak dari
Pemerintah Kota Banda Aceh yang mensosialisasikan atau adanya
pemberitahuan dalam bentuk spanduk atau pemberitahuan dalam bentuk lainnya
tentang peraturan tersebut, sehingga yang mengetahui tentang adanya peraturan
tersebut hanyalah masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang hukum dan
elemen-elemen Pemerintah Kota Banda Aceh saja”.59
Rozi (bukan nama sebenarnya) yang merupakan salah satu penyelenggara
reklame yang tidak mengurus izin kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh dan bahkan memasang reklame pada tempat
yang dilarang, ia mangaku tidak mengetahui tentang adanya Peraturan Walikota
Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara reklame dan larangan-
larangan di dalamnya, perbuatan tersebut spontan ia lakukan karena ia melihat
banyak reklame yang terpasang pada pohon-pohon dipinggir jalan raya yang ada
disekitaran Kota Banda Aceh, hal itu juga yang membuat dirinya menyangka
perbuatan tersebut boleh-boleh saja dilakukan dan tidak melawan hukum.60
Meski kebanyakan penyelenggara reklame tidak mengetahui tentang adanya
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
reklame, namun tidak menutup kemungkinan ada penyelenggara reklame yang
melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Walikota Banda
Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara reklame bukan karena tidak
mengetahui tentang adanya aturan tersebut, melainkan karena tingkat persaingan
59
Novi (Bukan Nama Sebenarnya), Masyarakat Kota Banda Aceh, wawancara, 13 Maret 2019
pukul 10.15 WIB. 60
Rozi (Bukan Nama Sebenarnya), Penyelenggara Reklame yang melanggar, wawancara, 27
Februari 2019 pukul 10.44 WIB.
46
dalam perdagangan yang tinggi. Penyelenggara reklame berlomba-lomba untuk
memperkenalkan produk dan jasa mereka dengan memasang reklame pada tempat
yang strategis, namun tak jarang tempat strategis untuk pemasangan reklame
merupakan tempat yang dilarang di dalam Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Penyelenggara reklame.61
3. Kurangnya Ketersediaan Lokasi Reklame
Lokasi yang tersedia untuk pemasangan reklame di Kota Banda Aceh sudah
sangat kurang. Kurangnya ketersediaan lokasi reklame ini menjadi salah satu
penyebab penyelenggara reklame memasang reklame pada rambu-rambu lalulintas,
ornament lampu jalan, dan memasang reklame dalam bentuk spanduk secara
melintang di jalan raya. Meskipun di dalam Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Penyelenggera Reklame telah disebutkan tempat-tempat yang
dilarang untuk pemasangan reklame, namun karena kurangnya lokasi yang tersedia
maka tak jarang tempat-tempat yang dilarang untuk pemasangan reklame justru
menjadi tempat yang paling banyak ditemukannya pemasangan reklame.62
Minimnya jumlah ketersediaan lokasi untuk pemasangan reklame bisa dilihat
dari jumlah izin yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh pada setiap bulannya, jumlah izin tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut:
61
Azmi (Bukan Nama Sebenarnya), Penyelenggara Reklame yang tidak melanggar,
wawancara, 13 Maret 2019 pukul 16.14 WIB. 62
Nurbaiti, Kabid Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan SDA Satpol PP dan WH
Kota Banda Aceh, Wawancara, 15 Februari 2019 pukul 14.15 WIB.
47
Tabel 1
Jumlah Izin Reklame
(Sumber: Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh)
Jumlah izin yang dikeluarkan setiap bulannya berdasarkan tabel di atas yang
diantaranya sudah termasuk reklame dalam bentuk spanduk, baliho, banner, umbul-
umbul, billboard dan beberapa jenis reklame lainnya. Jumlah izin pemasangan
reklame yang tersebut di atas sangatlah berbanding jauh dengan jumlah reklame yang
tepasang diwilayah kota banda aceh pada setiap bulannya. Sebagaimana hasil
wawancara penulis dengan Dedi (bukan nama sebenarnya) salah satu penyelenggara
reklame yang melanggar:
“Pemerintah Kota Banda Aceh dalam hal ini pihak Dinas Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh tidak menyediakan lokasi
atau menunjuk titik-titik khusus untuk pemasangan reklame, sehingga
penyelenggara reklame memasang reklame pada tempat-tempat yang menurut
mereka efektif, seperti dengan memasang reklame pada pada rambu-rambu
lalulintas, dipaku pada batang pohon atau ornamen lampu jalan dan tempat-
tempat lainnya yang bisa menarik perhatian banyak orang. Oleh sebab itu
Tahun
NO Bulan 2017 2018
1 Januari 50 50
2 Februari 34 27
3 Maret 43 47
4 April 51 37
5 Mei 32 37
6 Juni 47 17
7 Juli 58 45
8 Agustus 57 27
9 September 63 85
10 Oktober 40 107
11 November 62 59
12 Desember 59 25
48
Pemerintah Kota Banda Aceh tidak bisa hanya menyalahkan para
penyelenggara reklame yang melanggar, karena salah satu sebab penyelenggara
reklame memasang reklame pada tempat-tempat yang dilarang adalah karena
kurangnya ketersediaan lokasi reklame”.63
Berdasarkan hasil analisis dari banyaknya reklame yang ada pada setiap
bulannya dan dilihat dari ketersediaan lokasi pemasangan reklame yang tersedia,
sangat memungkinkan terjadinya pelanggaran. Hal ini menunjukkan perlu adanya
penambahan lokasi reklame agar memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran.
4. Tempat yang Strategis Untuk Melakukan Promosi
Pemasang reklame pada rambu-rambu lalulintas, pada pohon-pohon dipinggir
jalan raya dan bahkan pada pagar taman adalah tempat yang paling digemari oleh
penyelenggara reklame, karena dengan cara tersebut akan lebih efektif untuk
mempromosikan barang dan jasa yang akan dijual, melihat tempat-tempat tersebut
merupakan tempat yang sangat strategis karena akan sering dilewati dan dilihat oleh
banyak orang.64
Meskipun demikian tempat-tempat yang dianggap efektif tersebut adalah tempat
yang dilarang di dalam Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012
Tentang penyelenggara reklame. Pemasangan reklame pada tempat-tempat yang
dilarang tersebut akan menimbulkan kesan yang tidak harmonis sehingga
63
Dedi (Bukan Nama Sebenarnya), Penyelenggara Reklame yang melanggar, wawancara, 27
Februari 2019 pukul 16.30 WIB. 64
Marzuki (Bukan Nama Sebenarnya), Penyelenggara Reklame yang Melanggar, wawancara,
13 Maret 2019 pukul 17.00 WIB.
49
mengganggu keindahan Kota karena memberikan efek saling berebut perhatian,
sehingga informasi yang disampaikan menjadi tidak efektif.
5. Lemahnya Sanksi
Sanksi adalah perlakuan tertentu yang sifatnya tidak mengenakan atau
menimbulkan penderitaan, yang diberikan kepada pihak pelaku perilaku
menyimpang. Hukuman semestinya diberikan sebanding dengan kualitas
penyimpangan yang dilakukan. Pemberian hukuman tidak bisa dilakukan oleh
sembarangan orang, biasanya pemberian hukuman dilakukan oleh pihak-pihak yang
berwenang.
pihak yang berwenang yang dimaksud sendiri sangat tergantung pada konteks
persoalannya, misalnya, jika dalam konteks kehidupan dalam masyarakat, maka
pihak yang berwenang adalah pemerintah yang ada ditempat sekitaran tempat tinngal
masyarakat tersebut, atau dalam konteks kehidupan sosial yang berwenang
memberikan sanksi adalah polisi ataupun pengadilan.
Demikian pula, dalam pemberian hukuman tidak boleh dilakukan sembarangan
atau sesuka hati. Pada prinsipnya pemberian hukuman harus diberikan setimpal
dengan tingkat kesalahannya, fungsi dari pemberian hukuman itu sendiri ada dua,
yaitu:
1. Membuat pelaku sadar dengan kesalahannya dan tidak mengulangi perbuatan
yang sama untuk kedua kalinya.
2. Menjadi contoh kepada masyarakat lainnya agar tidak melakukan dan
mengualangi perbuatan yang sama.
50
Dari kedua fungsi pemberian hukuman tersebut kita ketahui bahwasanya,
pemberian hukuman bukanlah sekedar suatu bentuk penyiksaan yang diberikan
kepada sipelaku, namun melainkan suatu bentuk pembejalajaran kepada sipelaku dan
juga masyarakat lainnya agar tidak mengulangi dan melakukan perbuatan yang sama.
Berdasarkan Peraturan Walikota Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame yang terdapat pada Bab XII Tentang Sanksi pasal 18 disebutkan
bahwasanya sanksi yang diberikan kepada penyelenggra reklame yang melanggar
adalah:
a. teguran tertulis;
b. pemberian tanda silang pada materi reklame atau penyegelan;
c. pencabutan izin;
d. penguasaan bangunan reklame dan;
e. pembongkaran.
Selama ini penegakan hukum yang diterapkan kepada penyelenggara reklame
yang melanggar masih berupa penegakan hukum persuasif. Dalam hal ini maksud
dari penegakan hukum persuasif sendiri yaitu apabila ditemukan adanya pelanggaran
dalam penyelenggaraan reklame seperti pemasangan reklame jenis balliho tanpa izin
dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh
maka pihak Satpol PP Kota Banda Aceh akan berkomunikasi dengan pihak
penyelenggara reklame agar balliho tersebut segera dibongkar atau jika tidak pihak
Satpol PP sendiri yang akan membongkar balliho tersebut namun penyelenggara
51
reklame harus membayar biaya pembongkaran karena balliho yang dibongkar
tersebut akan dikembalikan kepada penyelenggara reklame.65
Pemberian sanksi yang tidak tegas dan proporsional akan membuat sebuah
peraturan berjalan dengan tidak efektif, karena masyarakat akan menyepelekan dan
menganggap remeh peraturan tersebut. Sebagaimana yang penulis kutip dari hasil
wawancara dengan Adnan (bukan nama sebenarnya) salah satu penyelenggara
reklame yang tidak melanggar:
“Pemberian sanksi yang hanya berupa penguasaan bangunan reklame ataupun
pembongkaran reklame tidak akan membuat penyeleggara reklame yang
melanggar merasa jera untuk tidak lagi memasang reklame pada ditempat yang
dilarang atau bahkan memasang reklame tanpa izin dari Dinas Penanaman
Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh, dan dengan
lemahnya sanksi yang diberikan tersebut akan mebuat masyarakat Kota Banda
Aceh memandang sebelah mata Peraturan Walikota Aceh Nomor 7 Tahun 2012
Tentang Penyelenggara Reklame”.66
Efektifnya suatu aturan juga dapat dipengaruhi oleh tingkatan produk hukum
dan tegasnya sanksi yang diberikan, karena dengan adanya sanksi yang tegas dari
suatu aturan akan memberikan efek jera bagi sipelaku sehingga ia tidak mengulangi
lagi perbuatnnya, dan juga menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan
perbuatan yang sama. Respon “negative” terhadap penegakan hukum persuasif
berupa teguran hingga pembongkaran masih terjadi karena aturan tersebut baru
berupa Perwal, regulasi tersebut tentu saja belum bisa mengakomodir masyarakat
65 Nurbaiti, Kabid Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan SDA Satpol PP dan WH
Kota Banda Aceh, Wawancara, 15 Februari 2019 pukul 14.15 WIB. 66
Adnan (Bukan Nama Sebenarnya), Penyelenggara Reklame yang Tidak Melanggar,
wawancara, 13 Maret 2019 pukul 10.20 WIB.
52
untuk tidak melanggar, oleh karena itu seharusnya Pemerintah Kota Banda Aceh
harus meningkatkan peraturan tersebut kepada regulasi dalam bentuk Qanun, agar
dapat memberikan sanksi yang lebih proporsional, sehingga membuat masyarakat
khususnya para penyelenggara reklame berfikir dua kali untuk melanggar aturan
tersebut.
3.2. Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggara Reklame Menurut Maslahah Mursalah
Dalam menetapkan suatu hukum, yang harus terlebih dahulu dipertimbangkan
adalah adanya kemaslahatan dan manfaat yang luas dari suatu pembentukan hukum
tersebut, sehingga akan mudah diterima oleh masyarakat. Pemerintah Kota Banda
Aceh sebagai pihak yang mempunyai kewajiban dalam menjadikan Kota Banda Aceh
sebagai kota yang aman dan nyaman bagi warganya, tentunya dalam mengeluarkan
suatu peraturan haruslah melihat manfaat dan kemaslahatan yang diterima oleh
masyarakat Kota Banda Aceh akibat dari adanya aturan tersebut.
Suatu aturan yang diterbitkan haruslah mempunyai dampak positif bagi
masyarakat, jangan sampai diterbitkannya suatu aturan hanya untuk seadanya, atau
bahkan kebijakan yang dikeluarkan dapat memberikan mudharat bagi masyarakat
Kota Banda Aceh. Jika dilihat dari dalam ruang lingkup hukum Islam, yaitu
berdasarkan konsep maslahah Mursalah, pembentukan suatu hukum ataupun
53
peraturan terhadap suatu masalah haruslah melahirkan kemanfaatan dan faedah yang
nyata bagi kehidupan umat manusia.67
Imam al-Syatibi berpandangan bahwa tidak ada satupun hukum Allah yang tidak
mempunyai tujuan, karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama saja dengan
membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan (taklif ma la yuntaq). 68
Fathi al-
Duraini memperkuat pandangan al-Syatibi mengenai hal ini, ia mengatakan bahwa
hukum-hukum itu tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk
tujuan lain yakni kemaslahatan. Muhammad Abu Zahrah dalam hal ini juga
menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan.69
Maka berdasarkan pendapat al-Syatibi, Fathi al-Duraini dan Muhammad Abu
Zahrah di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam menetapkan suatu aturan hukum
haruslah mempunyai tujuan untuk apa aturan hukum itu dibentuk, dan tujuan utama
yang harus dicapai dari pembentukan suatu hukum ataupun peraturan terhadap suatu
masalah haruslah melahirkan kemanfaatan dan faedah yang nyata bagi kehidupan
umat manusia.
Pembentukan suatu hukum juga tidak boleh hanya menguntungkan suatu
kelompok atau individu di dalam masyarakat, sehingga dapat merugikan masyarakat
lainnya. Adapun kaidah fiqh yang berkenaan dengan harus didahulukannya
67
Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa Masdar Helmi, cet- ke 2, (Bandung: Gema
Risalah Press, 1997), 145-146. 68
Syahrizal Abbas, Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Jinayah Aceh (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Aceh, 2015), hlm. 9. 69
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 65.
54
kemaslahatan umum daripada kemaslahatan individu adalah kaidah tentang tarjih
yang berbunyi:
ةاص الخ ل ةع م د ق ةم ام حالع ل ص الم
Artinya: Maslahahat umum didahulukan atas kemaslahatan khusus
Maka berdasarkan kaidah tersebut dapat dipahami sesuatu yang dianggap
maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum bukan kepentingan pribadi. Para
penyelenggara reklame yang melanggar jelas hanya mementingkan kepentingan
dirinya sendiri dengan menghiraukan kemudharatan yang akan terjadi pada orang lain
akibat perbuatannya. Padahal Nabi Muhammad SAW selalu mengingatkan kepada
umatnya untuk selalu menjadi pribadi yang bermanfaat kepada orang lain, dan
sesama muslim harus saling menjaga, sebagaimana hadist nabi Muhammad yang
diriwayatkan oleh Ibn Majjah yang berbunyi :
ي ح امحمد بني دثن اق ,ح ز دالر عب نا ث د ا.ح أن ب ابرالج ان ج ن م رع ع م ن ةع رم عك ن ع في ع
ن اب ب اس :ع ل م هوس لي ل اللهع ل للهص و س ر ر :ق ال ر لا لا ض ار و ضر
Artinya: “Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq
bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas:
Rasulullah SAW bersabda, “tidak boleh membuat muzdarat (bahaya) pada
dirinya dan tidak boleh pula membuat muzdarat pada orang lain”. (HR.
Ibn Majjah)
Dengan demikian, kita sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan harus saling
memberi manfaat dan kemaslahatan antara satu dengan yang lainnya. Jika
kemaslahatan itu sendiri dilihat berdasarkan maslahah Al-Dharuryah yaitu
kemaslahatan pokok yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia yang
55
antara lain adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan dan memelihara harta, maka kemaslahatan ini sangat sejalan dengan
pertimbangan yang ada di dalam Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun
2012 Tentang Penyelenggara Reklame yaitu bahwasanya reklame menjadi sumber
pendapatan asli daerah, namun juga tetap menjaga estetika kota, persaingan usaha dan
mengutamakan keselamatan umum.
Menjaga sumber pendapatan asli daerah dan juga persaingan usaha merupakan
hal yang selaras dengan salah satu tujuan pokok maslahah, yaitu menjaga harta. Jika
pihak pemerintah Kota Banda Aceh mampu mengelola sumber pendapatan daerah
yang baik, maka hal tersebut dapat berdampak positif bagi masyarakat Kota Banda
Aceh, karena uang tersebut dapat digunakan untuk pembangunan kota yang
berdampak terhadap kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat Kota Banda Aceh.
Menjaga estetika kota sama hal nya dengan menjaga kebersihan dan keindahan
kota, dan hal tersebut termasuk salah satu kemaslahatan pokok yang harus di jaga,
yaitu memelihara akal dan juga agama. Bersih dan indahnya suatu kota akan
mempengaruhi akal pikiran manusia, karena dapat menjauhkan manusia dari stress
dan polusi yang mana hal tersebut bisa berdampak pada kesehatan manusia itu
sendiri. Agama Islam selalu menekankan untuk menjaga kebersihan dan keindahan,
sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-A’raf ayat 56 yang berbunyi:
ن المحسنين فا وطمعاول ت فسدوا ف الرض ب عد إصلحها وادعوه خو إن رحت الله قريب م(٦٥ )
56
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
terima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S Al-A’raf ayat 56)
Keselamatan umum merupakan hal yang harus di utamakan dibandingkan
dengan kemaslahatan lainnya, karena hal tersebut berhubungan dengan nyawa atau
hak untuk hidup banyak orang , seperti hal nya yang terdapat di dalam kemaslahatan
pokok umat manusia yaitu memelihara jiwa dan keturunan. Oleh karena itu, dengan
menjadikan keselamatan umum sebagai salah satu pertimbangan diterbitkannya
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame berarti Pemerintah Kota Banda Aceh sudah sangat mengutamaan
kkemaslahatan warganya.
Jika kita dilihat kandungan maslahah yaitu dari segi maslahah Al-‘Ammah, dan
jika dikaitkan dengan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggara Reklame maka isi kebijakan ataupun pelaksanaan peraturan tersebut
tidak boleh hanya menguntungkan suatu pihak atau satu golongan saja, namun
kebijakan tersebut haruslah bersifat umum dan mampu memberikan kemaslahatan
kepada seluruh elemen masyarakat yang berada di wilyah Kota Banda Aceh.
Sementara itu jika dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah yaitu
berdasarkan maslahah Al-Mutaghayyirah, kemaslahatan dapat berubah sesuai dengan
tempat, waktu, dan subyek hukum. Begitu pula dengan Peraturan Walikota Banda
Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame, apabila nantinya terjadi
pergantian kepala daerah yang baru maka tidak menutup kemunginkan jika isi
57
peraturan dan kebijakann tersebut dapat berganti sesuai dengan masa dan objek
hukum yang ingin dicapai, sehingga bisa memberikan kemaslahatan yang lebih
optimal kepada masyarakat.
Sedangkan jika dilihat dari segi keberadaan maslahah, yaitu berdasarkan al-
maslahah al-mursalah dan bila disandingkan dengan Peraturan Walikota Banda Aceh
Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame, maka pembentukan suatu
hukum ataupun peraturan terhadap suatu masalah haruslah melahirkan kemanfaatan
dan faedah yang nyata bagi kehidupan umat manusia.
Pada kenyataannya, sangatlah mengejutkan karena mengetahui bahwasanya
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame ini belumlah berjalan sebagaimana yang diharapkan berdasarkan
pertimbangan tujuan diterbitkannya peraturan tersebut. Tidak tercapainya tujuan
utama dari pembentukan peraturan tersebut adalah karena masih banyak ditemukan
terjadinya pelanggaran dalam penyelenggaraan reklame, yang pada akhirnya
menjadikan peraturan ini menjadi tidak efektif b sehingga belum mampu meberikan
kemaslahatan secara merata dan optimal kepada seluruh elemen masyarakat yang
berada di wilayah Kota Banda Aceh.
58
BAB EMPAT
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian bab-bab sebelumnya, penulis mengemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Penyebab tidak efektifnya pelaksanaan Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame adalah sebagai berikut:
a. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh
dalam melakukan pengawasan hanya berupa pengawasan preventif, yaitu
pengawasan melaui perizinan. Sedangkan Satpol PP Kota Banda Aceh
membentuk tim khusus untuk mengawasi para penyelenggara reklame yaitu tim
perizinan dan non perizinan. Namun meskipun Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Satpol PP Kota Banda Aceh sudah
melakukan pengawasan secara preventif melalui perizinan dan membentuk tim
khusus untuk mengawasi para penyelenggara reklame, pengawasan tersebut
dianggap belum maksimal karena masih banyak penyelenggara reklame yang
memasang reklame pada tempat-tempat yang dilarang.
b. Kurangnya kesadaran para penyelenggara reklame terhadap hukum diakibatkan
karena kurangnya sosialisasi hukum oleh pihak Pemerintah Kota Banda Aceh
serta minimnya pendidikan atau bahkan kurangnya keperdulian untuk
mengetahui dan mempelajari hukum itu sendiri.
59
c. Lokasi yang tersedia untuk pemasaangan reklame sudah sangat kurang,
sehingga tempat-tempat yang dilarang untuk pemasangan reklame seperti pada
pohon-pohon dipinggir jalan raya atau pada tiang-tiang lampu merah menjadi
tempat yang sering ditemukan pemasangan reklame.
d. Memasang reklame pada rambu-rambu lalulintas atau pada pohon dipinggir
jalan adalah merupakan tempat yang strategis untuk mempromosikan barang
atau jasa yang akan dijual oleh para penyelenggara reklame, namun tetap saja
tempat-tempat tersebut adalah tempat yang dilarang untuk pemasangan
reklame.
e. Tidak tegasnya sanksi yang diberikan terhadap para penyelenggara reklame
yang melanggar membuat para penyelenggara reklame tidak jera untuk
memasang reklame ditempat lainnya, dan juga tidak menjadi pembelajaran bagi
masyarakat yang lainnya untuk tidak melakukan perbuatan yang sama.
2. Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame jika dilihat dari sisi Maslahah mursalah, maka pembentukan suatu
hukum ataupun peraturan terhadap suatu masalah haruslah melahirkan
kemanfaatan dan faedah yang nyata bagi kehidupan umat manusia. Dan
pembentukan suatu aturan tidak boleh hanya menguntungkan suatu pihak atau
individu dalam masyarakat, sehingga menimbulkan mudharat bagi masyarakat
lainnya.
60
4.2. Saran
1. Pemerintah Kota Banda Aceh harus lebih maksimal dalam mensosialisakan
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara
Reklame agar masyarakat dan khususnya para penyelenggara reklame sadar
akan adanya peraturan tersebut dan larangan-larangan di dalamnya.
2. Pemerintah Kota Banda Aceh harus menyediakan tempat yang cukup untuk
lokasi pemasangan reklame, dan menetapkan lokasi khusus untuk
pemasangan reklame atau memanfaatkan fasilitas reklame elektronik seperti
vidiotron atau running teks sehingga dapat menutupi keterbatasan ruang dan
tempat.
3. Pemerintah Kota Banda Aceh perlu meningkatkan Peraturan Walikota Banda
Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggara Reklame menjadi Qanun,
agar sanksi yang diberikan lebih maksimal sehingga tidak ada lagi
penyelenggara reklame yang menyepelekan peraturan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa Masdar Helmi, cet- ke 2, (Bandung:
Gema Risalah Press, 1997), 145-146.
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawal Press, 1993),
hlm. 126.
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 375.
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi , juz 1(Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 187.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet Ke-4 (Jakarta: Kencana, 2008),
Hlm.323-324.
Al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Mesir: Dar al-Nahddhah al-‘Arabiyyah, 1981), hal. 281-
282.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 65.
Chairul Umam, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Pustaka Setia, 1998), hlm. 67.
Dahlan Al Burry, Kamus Ilmiah Populer (Yogjakarta: Arkola Surabaya, 1994), hlm,
128.
Desi Anwar, Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern (Surabaya, Amelia, 2002), hlm,
108.
Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1996), cet. ke 2, hlm. 634.
Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, Alfabeta: 2010). Hal. 3.
Ilham Gunawan, Penegak Hukum Dan Penegak Hukum, (Bandung: Angasa 1993),
hlm. 2-3.
J.E Sahetapy, Hukum Pidana (Yogjakarta: Liberty, 1996), hlm. 94.
J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pt Pembangunan,
1983), hlm, 178.
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, (Surabaya:
Citra Media, 1997), 142.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemah dan Penafsir Al-Qur’an, 1973), hlm. 219.
Muksin Jamil (ed), Kemaslahatan Dan Pembaharuan Hukum Islam (Semarang:
Walisongo Press, 2008), hlm. 24.
Munawar Kholil, Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (Semarang: Bulan
Bintang, 1995), hlm. 4
M Richard Steers, Efektifitas Organisasi (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 53.
Ngadiyono, Kelembagaan dan Masyarakat, (PT. Bina Aksara, 1984), hlm. 15-16.
Racmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Jawa Barat. CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 121.
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zilalial-Qur’an (Beirut: Dar al-Ihya al-Arabi, 1971), hlm.
136.
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Cet ke-1 (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 149-150.
Syahrizal Abbas, Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Jinayah Aceh (Banda Aceh:
Dinas Syariat Islam Aceh, 2015), hlm. 9.
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Sanksi (Bandung: Remaja Karya, 1985),
hlm. 7.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm, 19.
Soerjono Soekanto, Kejahatan Dan Penegakan Hukum Indonesia (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1996), hlm. 3.
Soejarno Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: CV. Rajawali, 1985). Hal.
15.
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hlm. 52.
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaran
Reklame Pasal 1 Angka (9).
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame Pasal 1
angka 6
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
hal.293.
B. Karya Ilmiah, Skripsi
Nella Yulida Sari. Dkk, “Pelaksanaan Pengawasan Kantor Pelayanan Perizinan
Terpadu Satu Pintu Terhadap Pemasangan Reklame Di Kota Banda Aceh”,
Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Vol. 1(1) Agustus 2017, pp. 67-78.
Rayyan Azmi, “Feasibilitas Penempatan Bilboard Pada Wilayah Perlintasan Kota
Banda Aceh dalam perspektif Haq Al-Murur”, Fakultas Syariah Dan Hukum
UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2017.
Ahmad Fauzan Ramadhani, Perancangan Sarana Penertiban Spandu Liar Di Jalan
Raya Dengan Studi Dengan Studi Kasus Pada Dinas Satuan Polisi Pamong
Praja kota Bandung, Fakultas Industri Kreatif Universitas Telkom Bandung,
2015.
FOTO KEGIATAN PENELITIAN DI KANTOR DPM-PTSP DAN KANTOR
SATPOL PP DAN WH KOTA BANDA ACEH
(Wawancara dengan Kabid Pelayananan, Pengaduan, Pelaporan, dan Informasi DPM-PTSP
Kota Banda Aceh)
(Wawancara dengan Kabid Penegakan Peraturan Perundang-undangan dan SDA Satpol PP Kota
Banda Aceh)
FOTO PEMASANGAN REKLAME YANG MELANGGAR
(Pemasangan Spanduk Secara Melintang Di Jalan Raya)
(Pemasangan Brosur Reklame pada tiang listrik)
(Pemasangan Reklame Pada Pohon)
(Pemasangan Reklame Pada Tiang lampu Merah)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Muhammad Ikram
2. Tempat/Tanggal Lahir : Sigli, 22 Maret 1997
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status : Belum Menikah
5. Agama : Islam
6. Kebangsaan : Indonesia
7. Alamat : Blang Asan
8. Pekerjaan : Mahasiswa
9. Nama Orang tua/wali
a. Ayah : Adami Usman (Alm)
b. Ibu : Nur Azizah
10. Alamat Orang Tua : Blang Asan
11. Jenjang Pendidikan
a. SDN Blang Asan : 2009
b. MTSN Sigli : 2011
c. MAN Sigli 1 : 2014
Muhammad Ikram
Banda Aceh, 20 Juni 2019.