ekologi, relung pakan, dan strategi adaptasi kelelawar ... · lebih terfokus pada pemanfaatan gua...
TRANSCRIPT
104
PEMBAHASAN UMUM
Pentingnya upaya konservasi bagi ekosistem Karst Gombong
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di gua-gua Karst Gombong hidup
lima belas jenis kelelawar, yang terdiri atas empat jenis Megachiroptera, dan
sebelas jenis Microchiroptera. Hal ini menunjukkan bahwa Karst Gombong
menyimpan kekayaan jenis kelelawar yang jauh lebih tinggi dibandingkan karst
lain yang berada di Indonesia maupun di luar Indonesia, yaitu di Karst Sumbawa
delapan jenis (Maryanto & Maharadatunkamsi 1991), di Karst Sangkulirang-
Mangkaliat Kalimantan Timur sembilan jenis (Saroni 2005), di Karst Istambul
Turki: delapan jenis (Furman & Ozgull 2002) dan di Karst Britain Inggis: sebelas
jenis (Parsons et al. 2002).
Lima belas jenis kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong
tersebut, delapan jenis di antaranya termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan
Red List IUCN versi 3.1 (IUCN 2001). Satu jenis termasuk dalam kategori
vulnerable, satu jenis termasuk dalam kategori near threatened dan enam jenis
termasuk dalam kategori lower risk /least concern. Status kelelawar berdasarkan
Red List IUCN versi 3.1 dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1
(IUCN 2001)
Jenis Kelelawar
Status Konservasi
(Red List IUCN versi 3.1)
Keterangan status
H. sorenseni Vulnerable Memiliki risiko tinggi untuk punah di alam karena penurunan jumlah populasi yang tinggi dan penyebaran yang sangat terbatas.
M. schreibersii Near threatened Diperkirakan akan terancam punah dalam waktu dekat
H. ater M. australis H. bicolor R. borneensis R. affinis R. amplexicaudatus
Lower risk / least concern
Tidak memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam critically endangered, endangered, vulnerable ataupun near threatened karena memiliki risiko rendah untuk punah.
105
Hasil analisis relung pakan membuktikan bahwa kelelawar
Microchiroptera yang bersarang di Karst Gombong merupakan predator 29 famili
serangga yang berpotensi sebagai hama pertanian sedangkan kelelawar
Megachiroptera yang ditemukan di Karst Gombong merupakan polinator 33
genus tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi. Menurut
John et al. (1990) suatu kawasan perlu dilindungi atas dasar beberapa kriteria
yaitu 1) Karakteristik atau keunikan ekosistem; 2) Spesies khusus yang diminati,
bernilai penting, kelangkaan atau terancam 3) Memiliki keanekaragaman spesies
tinggi 4) Landskap atau ciri geofisik yang bernilai eksotik; 5) Fungsi
perlindungan hidrologi; 6) Potensial untuk wisata alam; 7) Tempat peninggalan
budaya. Berdasarkan kriteria tersebut, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Karst Gombong perlu dilindungi karena memiliki keunikan ekosistem, dihuni oleh
spesies yang terancam, memiliki kanekaragaman spesies yang tinggi, memiliki
fungsi perlindungan hidrologi, dan potensial untuk wisata alam.
Selama ini pengelolaan gua yang dilakukan PEMDA Kabupaten Kebumen
lebih terfokus pada pemanfaatan gua sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD), yaitu dengan memanfaatkan gua karst sebagai objek wisata. Sejak tahun
1976, PEMDA Kabupaten Kebumen telah mengembangkan Gua Jatijajar sebagai
objek wisata minat umum. Selanjutnya pada tahun 1984 Gua Petruk juga
ditetapkan sebagai objek wisata. Namun, berbeda dari Gua Jatijajar, Gua Petruk
ditetapkan sebagai objek wisata minat khusus. Menurut Dinas Pariwisata
Kabupaten Kebumen (2004), objek wisata alam minat umum adalah kawasan
yang memiliki keindahan alam dan dikelola untuk menarik wisatawan sebanyak
mungkin. Objek wisata minat khusus adalah kawasan wisata yang dikelola bagi
wisatawan dengan persyaratan khusus, misalnya kegiatan penelusuran gua yang
memerlukan peralatan standar dan pemandu yang terampil. Sangat disayangkan,
pemanfaatan Gua Jatijajar dan Gua Petruk untuk tujuan wisata tersebut, selama ini
masih belum dilandasi oleh dasar ilmu pengetahuan yang kuat sehingga sangat
berisiko menimbulkan kerusakan ekosistem. Hal ini terlihat pada pengelolaannya
yang lebih berorientasi bisnis tanpa mempertimbangkan resiko kerusakan
ekosistem. Sebagai contoh, untuk menarik kedatangan wisatawan di Gua Jatijajar,
pada dinding dan atap gua dipasang lampu penerangan dan dibuat berbagai
106
deorama yang menggambarkan cerita pewayangan Rama dan Shinta (Gambar 25).
Selain itu, di luar gua juga dibangun berbagai fasilitas wisata seperti pasar
souvenir, taman bermain, panggung hiburan dan jalan. Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa di Gua Jatijajar bersarang (dihuni) lima jenis kalelewar, dan
dua jenis di antaranya (R.amplexicaudatus dan H.sorenseni) termasuk dalam
jenis-jenis yang perlu dilindungi berdasarkan Red List IUCN versi 3.1. Dalam
memilih sarangnya, jenis-jenis kelelawar tersebut memerlukan persyaratan fisik
mikroklimat yang spesifik, sesuai dengan fisiologis tubuhnya. Pembangunan
fasilitas wisata di Gua Jatijajar dapat menyebabkan perubahan mikroklimat gua
menjadi tidak sesuai lagi dengan kondisi yang dibutuhkan kelelawar. Kondisi ini
akan mengakibatkan kepunahan jenis-jenis kelelawar tersebut. Berapa lama hal ini
akan terjadi sangat bergantung pada besarnya tekanan pada gua ini. Oleh karena
itu PEMDA Kabupaten Kebumen harus mempertimbangkan pola pengelolaan
yang diterapkan selama ini.
Gambar 25 Patung deorama cerita pewayangan Rama dan Shinta di
lorong Gua Jatijajar (Foto: Wijayanti 2010)
Di Gua Petruk, meskipun ditetapkan sebagai objek wisata minat khusus,
jumlah wisatawan yang menelusuri gua tidak dibatasi. Apalagi pada
pelaksanaannya tidak ada tata tertib yang mengatur aktivitas penelusuran gua
tersebut. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Gua Petruk dihuni oleh
sembilan jenis kelelawar dengan kelimpahan yang sangat tinggi. Di antara
107
sembilan jenis tersebut, lima jenis di antaranya termasuk jenis yang perlu
dilindungi berdasarkan Red List IUCN versi 3.1. Kedatangan wisatawan dengan
perilaku dan jumlah yang tidak terkontrol sangat berisiko mengganggu
kenyamanan kelelawar, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kepunahan jenis
kelelawar tersebut. Sebetulnya risiko ini dapat di minimalisir apabila objek wisata
gua dikelola sesuai dengan persyaratan mikroklimat yang dibutuhkan kelelawar.
Persyaratan mikroklimat tersebut telah diketahui melalui hasil penelitian ini.
Untuk itu diperlukan kebijakan PEMDA yang mendukung ke arah pengelolaan
gua yang sesuai dengan persyaratan mikroklimat yang dibutuhkan sebagaimana
telah diketahui dari hasil penelitian ini.
Perhatian pemerintah terhadap ekosistem Karst Gombong
Menyadari sifat ekosistem karst yang unik dan rentan, sudah seharusnya
pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada
kelestariannya. Perhatian pemerintah pusat pada Karst Gombong mulai terlihat
sejak tahun 1987. Pada tahun tersebut, Dirjen PHKA (saat itu bernama Dirjen
PHPA) melakukan identifikasi fungsi gua di Provinsi Jawa Tengah, termasuk di
Karst Gombong, dan mengeluarkan pedoman pengelolaan gua berdasarkan hasil
identifikasi fungsi gua. Menurut pedoman pengelolaan tersebut, suatu gua bisa
ditetapkan sebagai gua konservasi, gua pendidikan, gua wisata, gua sumber air,
gua budaya, dan gua tambang berdasarkan kriteria pokok seperti tercantum pada
Tabel 21. Namun, identifikasi fungsi gua yang dilaksanakan pada tahun 1987
tersebut tidak pernah tuntas hingga saat ini sehingga rekomendasi pengelolaan
gua sesuai dengan pedoman yang ada tidak pernah terwujud. Dari 112 gua yang
ada di Karst Gombong hanya 3 gua yang teridentifikasi, yaitu Gua Jatijajar, Gua
Petruk, dan Gua Liyah, dan itupun baru sampai pada pemetaan lorong gua dan
identifikasi geohidrologi gua. Oleh karenanya, hingga saat ini, pedoman
pengelolaan gua tersebut hanya menjadi konsep saja bagi pengelola kawasan
Karst Gombong.
108
Tabel 21 Pedomaan pengelolaan gua berdasarkan identifikasi fungsi gua Jenis Gua
Jenis Gua
Potensi utama Menyimpan
Air Dekorasi
gua indah/speleotom
aktif
Habitat satwa
khas/unik
Habitat satwa
terancam punah
Geohidrologi langka
Terdapat fosil/peninggalan
budaya
Konservasi ± ± + + ± +
Sumber air + - - - - -
Wisata
umum
± + ± - ± ±
Wisata minat
khusus
± + + ± ± ±
Laboratorium
pengetahuan
± + + + + +
Gua budaya - - - - - +
Tambang dan
produksi
- - - - - -
Keterangan : + mutlak harus ada
± boleh ada boleh tidak ada
- tidak ada
Pada tahun 2004 perhatian Pemerintah RI pada kawasan Karst Gombong
mulai terlihat lagi. Hal ini ditandai dengan dicanangkannya wilayah geologi
Gunung Sewu dan Gombong Selatan sebagai kawasan konservasi ekokarst pada
tanggal 6 Desember 2004 (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kebumen 2004).
Sebagai implikasi dari pencanangan ini, Departemen Kehutanan melakukan
intensifikasi penghijauan di lahan Karst Gombong Selatan, dan Dinas Pariwisata
dan Budaya Kabupaten Kebumen menyusun naskah pengembangan ekowisata
karst di wilayah Kebumen. Sebagai puncaknya, tanggal 14 November 2006,
Presiden RI menetapkan kawasan karst Karang Sembung, bagian dari Karst
Gombong, sebagai kawasan cagar alam geologi karena kawasan ini memiliki
keunikan dan kelengkapan fenomena geologi yang jarang dijumpai di dunia
(Pusat Survei Geologi Departemen ESDM 2006). Namun demikian, perhatian
pemerintah pada Karst Gombong sejauh ini hanya terfokus pada ekosistem
exokarst (luar gua) dan stuktur geologi gua saja, sementara kelestarian ekosistem
endokarst (dalam gua) masih belum diperhatikan.
Penunjukkan Karst Gombong Selatan sebagai kawasaan konservasi
exokarst, memacu Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen untuk menggali
109
potensi ekosistem Karst Gombong. Pada tahun 2004, Dinas Pariwisata dan
Budaya Kabupaten melakukan survei gua di seluruh kawasan Karst Gombong
(DISPARHUB Kabupaten Kebumen 2004). Meskipun survei yang dilakukan
hanya sebatas identifikasi titik koordinat gua dan letak administratif gua, hasil
survei ini telah berhasil memberikan informasi penting mengenai jumlah dan
sebaran gua-gua karst di kawasan Karst Gombong. Melalui informasi ini,
sebetulnya dapat digali lebih dalam kondisi ekosistem gua-gua di kawasan Karst
Gombong. Dengan demikian, gua-gua yang telah teridentifikasi tersebut dapat
dikelola sesuai dengan potensi yang ada. Namun, sangat disayangkan, antusias
PEMDA Kebumen untuk menggali lebih jauh ekosistem gua-gua di Karst
Gombong sangat rendah. Akibatnya, hasil inventarisasi gua yang telah dilakukan
tujuh tahun lalu hanya berfungsi sebagai data base tanpa diikuti dengan
kebijakan pengelolaannya.
Usulan strategi konservasi ekosistem Karst Gombong
Upaya perlindungan di Karst Gombong dapat dicapai dengan strategi
konservasi. Menurut Alikodra (1988) yang dimaksud dengan konservasi adalah
upaya pengelolaan sumber daya alam yang menjamin: a) perlindungan pada
berlangsungnya proses-proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan; b)
pengawetan sumber daya alam dan keanekaragaman sumber plasma nutfah; dan
c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan lingkungannya. Konservasi
sumberdaya alam tersebut akan berhasil bila dilakukan atas dasar hasil penelitian
yang akurat. Hasil penelitian ini perlu dijadikan pedoman dalam upaya
konservasi ekosistem gua di kawasan Karst Gombong.
Pelestarian kawasan karst harus bersifat lintas sektoral dan melibatkan
berbagai unsur masyarakat yang terlibat dalam kawasan karst tersebut. Agar dapat
dijadikan pedoman bagi semua unsur yang terlibat dalam pemanfaatan kawasan
Karst Gombong, maka perlu ditetapkan status kawasan Karst Gombong sesuai
dengan hasil penelitian di lapangan dan berpedoman pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia.
Hingga saat ini peraturan normatif yang berkaitan langsung dengan
pengelolaan kawasaan karst di indonesia hanya Kepmen ESDM Nomor 1456
110
K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst. Menurut
Samodra (2006) meskipun masih bersifat sektoral, Keputusan Menteri ini
membuka kesempatan sektor lain untuk menyempurnakannya.
Berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 pasal 11,
kawasan karst dibagi menjadi : kawasan karst kelas I, kawasan karst kelas II, dan
kawasan karst kelas III. Kawasan kelas I merupakan kawasan yang memiliki
salah satu atau lebih kriteria berikut :
a. Berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah secara tetap (permanen)
dalam bentuk akuifer, sungai bawah tanah, telaga ataupun danau
bawah tanah yang keberadaannya mencukupi fungsi umum hidrologi.
b. Mempunyai gua-gua dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya
mepunyai jaringan baik tegak ataupun mendatar.
c. Gua-gua mempunyai speleotem aktif dan atau peninggalan sejarah
sehingga berpotensi dikembangkan sebagai objek wisata dan budaya.
d. Mempunyai kandungan flora dan fauna khas yang memenuhi arti
fungsi sosial, ekonomi, serta pengembangan ilmu pengetahuan.
Kawasan karst kelas II merupakan kawasan yang memiliki salah satu atau semua
kriteria berikut :
a. Berfungsi sebagai penimbun air bawah tanah, berupa daerah
tangkapan air hujan yang mempengaruhi naik turunnya muka air
bawah tanah di kawasan karst, sehingga masih memegang fungsi
umum hidrologi
b. Mempunyai jaringan lorong-lorong bawah tanah hasil bentukan
sungai dan gua yang sudah kering, mempunyai speleotem yang sudah
tidak aktif dan menjadi tempat tinggal tetap fauna yang semuanya
memberi nilai dan manfaat ekonomi.
Kawasan karst kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria
sebagaimana dimaksud dalam kriteria kelas I dan kriteria kelas II.
Sebelum penelitian ini dilakukan, status kawasan Karst Gombong belum
dapat ditetapkan karena belum cukup data yang mendukung penetapan status
kawasan tersebut. Namun, berdasarkan temuan pada penelitian ini, kawasan Karst
Gombong dapat diusulkan sebagai kawasan karst kelas I sesuai dengan Kepmen
111
ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 pasal 11. Hal ini karena kawasan Karst
Gombong terbukti merupakan penyimpan air bawah tanah, merupakan ekosistem
unik, habitat satwa khas dan satwa terancam punah, serta berpotensi wisata.
Setelah kawasan karst ditetapkan Kawasan Karst kelas I, gua-gua di
kawasan Karst Gombong harus dimanfaatkan sesuai dengan kondisi fisik dan
status komunitas biota yang terkandung di dalamnya. Matriks pada Tabel 22 dapat
menggambarkan kondisi fisik dan biota dua belas gua yang dikaji dalam
penelitian ini.
Tabel 22 Matriks kondisi fisik dan biota di gua-gua Karst Gombong Komponen Pertimbangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
12
1. berfungsi penyimpan air bawah tanah
+ + - + + - + + + - - -
2. Dekorasi gua indah /speleotom aktif
+ + - + + - + + + - - -
3. habitat fauna khas/unik
+ + + + + - + + + - - -
4. habitat fauna terancam punah
+ + + + + - + + + - - -
5. terdapat peninggalan budaya
- - - - - - - - - - - -
Keterangan: 1= Gua Macan 2= Gua Celeng 3 = Gua Dempo 4 = Gua Inten 5= Gua Jatijajar 6= Gua Kampil 7 = Gua Kemit 8 = Gua Liyah 9= Gua Petruk 10= Gua Sigong 11= Gua Tratag 12 = Gua Tiktikan
Berdasarkan matriks tersebut terlihat bahwa Gua Macan, Gua Celeng, Gua
Dempo, Gua Inten, Gua Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah, dan Gua Petruk
berfungsi menyimpan air bawah tanah, memiliki dekorasi indah/speleotom aktif,
habitat fauna khas/ unik, dan habitat fauna terancam punah. Oleh karenanya,
untuk mempertahankan fungsi ekologis gua dan komunitas biota yang
dilindungi, ke-delapan gua tersebut perlu ditetapkan sebagai gua konservasi.
Sebagai gua konservasi, ke-delapan gua tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
objek wisata dengan persyaratan khusus tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk
kegiatan pertambangan. Sebaliknya, Gua Kampil, Gua Sigong, Gua Tratag dan
Gua Tiktikan tidak berfungsi menyimpan air tanah, tidak memiliki speleotom
112
aktif, bukan habitat fauna khas/ unik, dan bukan habitat fauna terancam punah.
Oleh karenanya, keempat gua tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
pertambangan dengan syarat tidak merusak struktur gua. Apabila Gua Macan,
Gua Celeng, Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah, dan
Gua Petruk akan dimanfaatkan sebagai gua wisata alam (ekotourism), bentuk
wisata yang dapat dikembangakan adalah wisata minat khusus yang
pengelolaannya berdasarkan pada prasyarat ekofisiologi yang dibutuhkan
kelelawar sebagaimana telah diketahui dari hasil penelitian ini. Dengan cara
demikian diharapkan jenis-jenis kelelawar yang bersarang di dalamnya dapat
dipertahankan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa dalam memilih sarang,
terdapat lima faktor fisik yang berpengaruh nyata, yaitu intensitas suara,
kelembaban udara, suhu udara, intensitas cahaya, dan jarak dari pintu gua. Untuk
mempertahankan keberadaan kelelawar, ruang gua yang dihuni kelelawar
tersebut, harus dikelola sesuai dengan persyaratan mikroklimat yang dibutuhkan
kelelawar. Dari hasil penelitian ini dapat diusulkan pemanfaatan ruang gua sesuai
dengan kebutuhan kelelawar tersebut. Usulan pemanfaatan ruang gua yang
digunakan sebagai sarang kelelawar tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.
Ekosistem dalam gua tidak dapat dipisahkan degan ekosistem luar gua. Oleh
karena itu, upaya pelestarian kawasan karst perlu dilakukan secara holistik dan
terpadu antara ekosistem dalam gua dan ekosistem luar gua. Untuk maksud
tersebut perlu ditetapkan zonasi kawasan Karst Gombong. Zonasi kawasan karst
ini harus menjadi acuan dalam pemanfaatan dan pengeloaan kawasan Karst
Gombong oleh semua unsur yang terkait.
Tabel 24 Usulan pemanfaatan ruang gua berdasarkan jenis kelelawar yang bersarang dan prasyarat ekofisiologi yang dibutuhkan
Ruang sarang kelelawar
Prasyarat mikroklimat Usulan pengelolaan ruang gua
C.brachyotis C.horsfieldii E.spelaea R.amplexicaudatus
Intensitas suara ≥ 2 db Suhu ≥28.5oC Kelembaban ≤65% Intensitas cahaya ≥ 50 lux
- Boleh dikunjungi manusia. - Pada dinding dan atap gua boleh dilakukan pembangunan untuk menarik wisatawan, dengan syarat pembangunan tersebut
113
Menurut Cughley & Gunn 1995, zonasi dalam kawasan perlindungan
sangat diperlukan agar dalam kawasan tersebut dapat dilakukan kegiatan
pelestarian sekaligus pemanfaatan oleh manusia. Zonasi dalam kawasan Karst
Gombong diusulkan meliputi zona inti/zona perlindungan dan zona
penyangga/zona pemanfaatan tradisional. Zona inti merupakan zona yang
kawasan tersebut dilindungi dan kegiatan manusia dikendalikan secara ketat dan
tidak diperbolehkan adanya kegiatan penambangan. Zona penyangga merupakan
kawasan yang menyangga kelestarian zona inti. Penetapan zona penyangga di
kawasan Karst Gombong ini, selain untuk menjamin kecukupan pakan kelelawar
juga untuk mempertahankan mikroklimat di dalam gua. Karena menurut Samodra
(2006), keadaan di dalam gua sangat ditentukan oleh vegetasi, tanah, dan air di
luar gua. Masyarakat sekitar dapat memenfaatkan zona penyangga dengan
tidak merusak struktur gua. - Pada lorong gua boleh dipasang lampu penerangan.
H.sorenseni
Intensitas suara:0.5 s/d 20 db Suhu ≤ 28.5oC Kelembapan : 65 s/d 75% Intensitas cahaya : 5 s/d 50 lux
- Boleh dikunjungi manusia tetapi jumlah dan kegiatannya diawasi dengan ketat. - Dinding dan atap gua tidak boleh Dilakukan pembangunan - Pada lorong gua tidak boleh dipasang lampu penerangan.
C.plicata H.cf.ater Hipposideros sp
Intensitas suara 0.5 s/d 20 db Suhu≤28.5oC Kelembapan ≥75% Intensitas cahaya ≤5 lux
- Boleh dikunjungi manusia tetapi jumlah dan kegiatannya diawasi dengan ketat
- Tidak boleh ada pembangunan di dalam maupun di luar gua
- Tidak boleh dipasang lampu penerangan
M.schreibersii R.affinis
Intensitas suara ≤0.5 db Suhu ≥28.5oC Kelembapan :65 s/d 75% Intensitas cahaya : 5 s/d 50 lux
- Tidak boleh dikunjungi manusia - Tidak boleh dilakukan pembangunan pada dinding dan atap gua - Tidak boleh dipasang lampu penerangan
H.ater R.borneensis
Intensitas suara ≤0.5 db Suhu ≤28oC Kelembapan ≥75% Intensitas cahaya ≤5 lux
- Tidak boleh dikunjungi manusia - Tidak boleh ada pembangunan baik
di dalam maupun di luar gua - Tidak boleh dipasang lampu
penerangan
114
kegiatan ekonomi tradisional seperti penggembalaan hewan ternak atau
mengambil hasil hutan tanpa menebang.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa delapan gua di kawasan
Karst Gombong merupakan habitat sarang kelelawar terancam punah. Gua-gua
tersebut adalah Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jatijajar, Gua Petruk, Gua Kemit,
Gua Liyah, Gua Macan, dan Gua Celeng. Selain itu, ke-delapan gua tersebut juga
memiliki speleotem aktif dan berfungsi sebagai penyimpan air. Karena itu, ke-
delapan gua tersebut perlu diusulkan sebagai zona inti.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa makanan kelelawar
Microchiroptera yang bersarang di gua-gua Karst Gombong adalah 29 famili
serangga yang termasuk dalam 10 ordo. Serangga-serangga tersebut hidup di
persawahan, semak belukar, dan hutan karst yang berada di sekitar gua.
Kelelawar Megachiroptera yang ditemukan dalam penelitian ini terbukti
mengunjungi 33 genus tumbuhan yang termasuk dalam sembilan famili untuk
memakan polennya. Tumbuhan tersebut adalah tumbuhan yang hidup di hutan
karst dan perkebunan yang berada di sekitar gua. Oleh karena itu, untuk
mendukung kehidupan kelelawar, kawasan sekitar gua yang merupakan tempat
pencarian makan kelelawar perlu ditetapkan sebagai zona penyangga/ zona
pemanfaatan tradisonal.
Penelitian Law & Chidel (2004) membuktikan bahwa Kerivoula papuensis
(Microchiroptera) bersarang pada jarak maksimum 2.1 km dari tempat pencarian
makannya di hutan hujan di New South Wales. Feelers & Pierson (2002)
membuktikan kelelawar Corynorhinus townsendii (Microchiroptera) mencari
makan dengan jarak ± 10.2 km dari sarangnya di karst California. Zahn et al. 2005
membuktikan Myotis myiotis (Microchiroptera) mencari makan dengan jarak 2.5
sampai dengan 8.9 km dari sarangnya. Dalam penelitian ini, tidak diteliti jarak
pencarian makan kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong. Namun,
berdasarkan hasil penelitian terdahulu, hutan dan semak dengan jarak 5 km s/d 8
km di sekitar zona inti perlu diusulkan sebagai zona penyangga. Usulan zonasi
kawasan Karst Gombong dapat dilihat pada peta satelit Lansat yang tersaji pada
Gambar 26. Apabila semua pihak yang terkait dalam pemanfaatan kawasan Karst
115
Gombong berpegang pada zonasi yang diusulkan ini, diharapkan kelestarian
kelelawar sekaligus ekosistem karst secara keseluruhan dapat dipertahankan.
Gambar 26 Usulan zonasi kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen