ekonomi pembangunan islam
TRANSCRIPT
PEMBANGUNAN EKONOMI DALAM ISLAM
Disusun oleh :
1. Atidy Mahrusy (107093000338)
2. Ahmad. Lutfi (107093002892)
3. Khadijah (108093000134)
4. Ringga Perdana (107093003063)
5. Yulian Yudha Putra (107093003041)
SI 5 C
PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang kaaffah, yang mengatur segala perilaku kehidupan
manusia. Bukan hanya menyangkut urusan peribadatan saja, urusan sosial dan
ekonomi juga diatur dalam Islam. Oleh karenanya setiap orang muslim, Islam
merupakan sistem hidup (way of life) yang harus diimplementasikan secara
menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupannya tanpa kecuali.
Sudah cukup lama umat manusia mencari sistem untuk meningkatkan
kesejahteraan khususnya di bidang ekonomi. Selama ini memang sudah ada
beberapa sistem, diantaranya dua aliran besar sistem perekonomian yang dikenal
di dunia, yaitu sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem ekonomi sosialisme.
Tetapi sistem-sistem itu tidak ada yang berhasil penuh dalam menawarkan solusi
optimal. Konsekuensinya orang-orang mulai berpikir mencari alternatif. Dan
alternatif yang oleh banyak kalangan diyakini lebih menjanjikan adalah sistem
ekonomi Islam. Karena sistem ini berpijak pada asas keadilan dan kemanusiaan.
Oleh karenanya, sistem ini bersifat universal, tanpa melihat batas-batas etnis, ras,
geografis, bahkan agama. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dalam
beberapa tahun terkahir ini, baik pada tataran teoritis-konseptual (sebagai wacana
akademik) maupun pada tataran praktis (khususnya di lembaga keuangan bank
dan lembaga keuangan non-bank), sangat pesat. Perkembangan ini tentu saja
sangat menggembirakan, karena ini merupakan cerminan dari semakin
meningkatnya kesadaran umat Islam dalam menjalankan syariat Islam. Hal ini
konsekuensi dari pemahaman bahwa ekonomi Islam bukan hanya sekedar
konsepsi. Ia merupakan hasil suatu proses transformasi nilai-nilai Islam yang
membentuk kerangka serta perangkat kelembagaan dan pranata ekonomi yang
hidup dan berproses dalam kehidupan masyarakat. Adanya konsep pemikiran dan
organisasi-organisasi yang dibentuk atas nama sistem ini sudah tentu bisa dinilai
sebagai model dan awal pertumbuhannya. Tapi ia masih membutuhkan model-
model banyak lagi, agar membentuk kesatuan yang lebih terpadu serta memiliki
daya kemampuan untuk menghasilkan atau darinya dapat ditarik kesimpulan-
kesimpulan yang dapat diuji dalam penelitian dan praktek.
Kendati perkembangan ekonomi Islam saat ini sangat prospek namun dalam
pelaksanaannya masih menemukan berbagai kendala sekaligus tantangan, baik
pada tataran teoritis maupun pada tataran praktis, baik yang bersifat internal
maupun yang bersifat eksternal. Pada tataran teoritis misalnya belum terumusnya
secara utuh berbagai konsep ekonomi dalam ekonomi Islam. Sedangkan pada
tataran praktis belum tersedianya sejumlah institusi dan kelembagaan yang lebih
luas dalam pelaksanaan Ekonomi Islam. Adapun dari aspek internal adalah sikap
umat Islam sendiri yang belum maksimal dalam menerapkan ekonomi Islam.
Sedangkan dari aspek eksternal adalah praktik-praktik kehidupan ekonomi yang
sudah terbiasa dengan konsep-konsep ekonomi konvensional.
Kini, ekonomi Islam - dalam berbagai model dan bentuknya - memasuki tahap
dimana suatu pendekatan yang lebih kritis dan integratif terhadap keseluruhan
teori dan praktiknya sangat penting dilakukan. Sudah waktunya untuk mencari
perbaikan yang lebih besar dan mutakhir. Berbagai pihak yang terlibat dengan
disiplin ini, dihadapkan pada tugas-tugas yang menantang, yaitu meninjau ulang
seluruh situasi, paling tidak pada tiga persoalan berikut. Pertama; membawa
bersama usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam suatu pandangan sistem
ekonomi Islam yang menyeluruh, tidak terkonsentrasi pada elemen khusus dari
persoalan ekonomi Islam saja. Kedua; meninjau ulang secara kritis berbagai
model implementasi ekonomi Islam. Yang bertujuan untuk menguji teori-teori
dan mengevaluasi lembaga-lembaga yang tumbuh terhadap kemungkinan
kendala-kendala dan hambatan yang muncul. Ketiga; perlu meletakkan
keseluruhan teori dan praktek perekonomian Islam dalam perspektif ekonomi dan
moral Islam serta tata sosial. Unsur apapun dari sistem Islam, betapun pentingnya,
tidak dapat melahirkan hasil yang diinginkan jika operasi dalam kesendirian. Hal
ini harus mengarah pada perubahan-perubahan komplementer untuk melengkapi
proses. Misalnya penghapusan riba, itu hanyalah salah satu aspek dari program
ekonomi Islam. Ia harus diikuti dengan, dan diperkuat melalui perubahan-
perubahan struktural dan motivasional lainnya.
Sehingga dari upaya-upaya diatas diharapkan sampai pada pengembangan suatu
sistem ekonomi Islam yang komprehensif. Dalam konteks inilah, penulis dalam
tulisan ini mencoba memaparkan ekonomi Islam: Prospek dan Tantangannya
khususnya pengalaman di Indonesia, antara lain; berhubungan dengan lembaga
keuangan Syariah dan Pengembangan Kurikulum Ekonomi Islam di Perguruan
Tinggi Agama Islam.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Memperkenalkan ekonomi pembangunan dalam perspektif islam
2. Mencoba membantu penyelesaian masalah dalam peningkatkan pertumbuhan
ekonomi (economic growth)
3. Mencoba menciptakan harga yang stabil
4. Membandingkan ekonomi pembangunan liberalis dan sosialis dengan
ekonomi pembangunan islam
1.3 Perumusan Masalah
Dalam makalah ini kami membahas:
1. Fase Ekonomi Pembangunan
2. Fenomena ekonomi pembangunan
3. Prinsip Ekonomi
4. Pengertian Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
5. Potensi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Ekonomi Islam
6. Pertumbuhan Sebagai Suatu Keniscayaan
7. Prinsip Pembangunan Ekonomi Menurut Islam
8. Falsafah Pembangunan
9. Islam Tidak Menyukai Kemiskinan
10. Matlamat Dasar Pembangunan
1.4 Studi Pustaka
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan denga penulisan
makalah ini dan searching dengan media internet.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Ekonomi Pembangunan, kajian mengenai pertumbuhan ekonomi
(economic growth) dan pembangunan ekonomi (economic development) menempati
posisi yang cukup penting dikalangan para ekonom. Kajian ini setidaknya dimulai
ketika ekonomi mengamati fenomena-fenomena penting yang dialami dunia dalam
dua abad belakangan ini. Perkembangan perekonomian dunia selama dua abad ini
telah menimbulkan dua efek yang sangat penting, yaitu : pertama, kemakmuran atau
taraf hidup yang semakin meningkat yang dicapai oleh masyarakat dunia, kedua,
terciptanya kesempatan kerja baru kepada penduduk yang semakin bertambah
jumlahnya.
2.1 Fase Ekonomi Pembangunan
Ekonomi pembangunan pada dasarnya telah melewati tiga fase yang berbeda,
yaitu :
1. Fase pertama, adalah Ekonomi Pembangunan Klasik yang dikembangkan oleh
para ekonom klasik yang mencoba menjelaskan ekonomi jangka panjang dalam
kerangka kerja kapitalisme dengan slogannya yang terkenal laisssez faire. Fase
ini bertahan lebih kurang satu abad sejak publikasi The Wealth of Nation, karya
Adam Smith tahun 1776.
2. Fase kedua, dimulai setelah perang dunia kedua dan ketika sejumlah negara
dunia ketiga memperoleh kemerdekaannya. Oleh karena banyak negara-negara
yang baru merdeka, maka analisis masalah yang berkenaan dengan negara-negara
tersebut mulai menarik perhatian. Pada fase ini fokus perhatian berpindah dari
ekonomi liberalisme klasik kepada neo klasik. Strategi yang dipegang adalah
ketergantungan yang lebih kecil kepada pasar dan peranan yang lebih besar dari
pemerintah dalam perekonomian. Kapitalisme laissez faire telah kehilangan peran
ketika itu, akibat peristiwa Great Depression (1929-1932) . Ekonom yang sangat
berperan dalam fase ini adalah John Maynard Keynes dengan bukunya The
General Theory of Employment, Interest and Money yang diterbitkan tahun 1936.
Pada fase inilah ekonomi Keynesys dan sosialis memperoleh momentum di dunia
Barat.
3. Sedangkan fase ketiga memiliki fokus yang berbeda dengan fase kedua. Dalam
fase ketiga ini perhatian Ekonomi Pembangunan cendrung anti kekuasaan
(negara) dan kembali pro kepada kebebasan pasar. Fase ini terjadi mulai tahun
1970-an, yaitu ketika pelaksanaan startegi Keynes dan sosialis mulai melemah.
Pada fase ini ekonomi neo klasik muali ”come back” dan menjadi paradigma yang
dominan. Mereka berkeyakinan bahwa liberalisasi pasar dengan pengurangan
peran pemerintah dalam bidang ekonomi adalah sangat penting untuk
menyelesaikan masalah negara berkembang. Fase ini juga dianggap sebagai era
kebangkitan liberalisme dan ekonomi neoklasik .
Ketiga fase tersebut, menunjukkan inkonsistensi dan ketidakpastian dalam
program pembangunan di negara-negara berkembang, khususnya di negara-negara
muslim. Inkonsisten tersebut melahirkan analisis dan resep kebijakan yang
bertentangan dan ini sangat membahayakan pembangunan ekonomi negara-negara
berkembang. Dengan kata lain, negara-negara berkembang yang hendak
melaksanakan pembangunan dengan model barat mengalami kebingungan karena
pertentangan-pertentangan konsep antara neo klasik ala Keynes dengan liberalisme
klasik (ekonomi pasar yang mereduksi peran negara dalam ekonomi) yang diajarkan
Adam Smith. Kebingungan negara-negara berkembang itu juga dipengaruhi oleh
konsep-konsep pembangunan dari negara-negara yang menerapkan sistem sosialis.
Karena itu, maka tugas yang dihadapi negara berkembang sangat rumit.
Mereka tidak hanya harus mengembangkan ekonomi dengan cara yang tepat dengan
tingkat efisien dan keadilan yang tinggi dalam penggunaan sumber daya, tetapi juga
harus mengubah ketidakseimbangan pembangunan yang ditimbulkan oleh resep yang
salah itu.
2.2 Fenomena ekonomi pembangunan
Karena ekonomi klasik, neoklasik, dan sosialis, semuanya lahir dari pandangan
dunia enlightenment, pendekatan mereka untuk mewujudkan kesejahteraan manusia
dan analisis mereka tentang problem-problem manusia adalah sekuler. Dalam
pembangunan, mereka lebih mementingkan konsumsi dan pemilikan materi sebagai
sumber kebahagiaan manusia. Mereka tidak mengindahkan peranan nilai moral
dalam reformasi indidivu dan sosial, dan terlalu berlebihan menekankan peranan
pasar atau negara. Mereka tidak memiliki komitmen kepada persaudaraan
(brotherhood) dan keadilan sosio-ekonomi dan tidak pula memiliki mekanisme filter
nilai-nilai moral yang disetujui masyarakat.
Walau demikian, harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah
berlangsung beberapa waktu lalu dan sampai saat ini berlangsung, juga banyak
memberikan konstribusi dalam menciptakan keajaiban-keajaiban ekonomi. Kekuatan
pertumbuhan ekonomi untuk mentransformasi masyarakat dari kemiskinan menuju
kemakmuran tidak dapat dipungkiri. Pada tahun 1970-1980, rata-rata pendapatan
perkapita tumbuh menjadi rata-rata 7% pertahun. Standart hidup ratusan juta orang
telah meningkat. Tingkat pendidikan masyarakat lebih tinggi. Tingkat kematian bayi,
anak-anak dan ibu melahirkan menurun pesat. Jurang perbedaan gender dalam
kemampuan dasar manusia semakin menyempit. Berikut ini data yang dikeluarkan
oleh Bank Dunia tentang peningkatan perdagangan dan pertumbuhan GDP negara-
negara dunia sampai 2003 seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Data World Bank di atas tidak harus menggembirakan kita. Justru kita harus
memberikan perhatian terhadap kenyataan-kenyataan tragis yang ditemukan. Di Asia
Timur pada tahun 1990, hampir 170 juta anak laki-laki dan perempuan putus sekolah
pada tingkat sekolah menengah. Di Asia Tenggara dan Pasifik lebih sepertiga anak-
anak berusia di bawah lima tahun mengalami kekurangan nutrisi. Hampir satu juta
anak-anak di Asia Timur mati sebelum berumur lima tahun. Memang bisa saja
dikemukakan argumen bahwa seiring dengan perjalanan waktu dan semakin
meningkatnya pertumbuhan, kekurangan-kekurangan itu akan bisa dihilangkan. Akan
tetapi hal demikian nampaknya lamunan belaka, sebab kalau memang demikian,
maka negara-negara industri pasti akan terbebas dari masalah-masalah seperti itu.
Pada kenyataannya dewasa ini lebih dari 100 juta orang di negara-negara industri
hidup di bawah garis kemiskinan dan lebih dari lima juta orang menjadi tunawisma.
Analisis yang sama dikemukakan oleh Chapra. Menurutnya, peristiwa depresi
hebat telah memperlihatkan secara jelas kelemahan logika Hukum Say dan konsep
laissez faire. Ini dibuktikan oleh ekonomi pasar yang hampir tidak mampu secara
konsisten menggapai tingkat full employment dan kemakmuran. Ironisnya, di balik
kemajuan ilmu ekonomi yang begitu pesat, penuh inovasi, dilengkapi dengan
metodologi yang semakin tajam, model-model matematika dan ekonometri yang
semakin luas untuk melakukan evaluasi dan prediksi, ternyata ilmu ekonomi tetap
memiliki keterbatasan untuk mengambarkan, menganalisa maupun memproyeksikan
kecenderungan tingkah laku ekonomi dalam perspektif waktu jangka pendek.
Dengan kata lain, ilmu ekonomi, bekerja dengan asumsi-asumsi ceteris paribus.
Dalam konteks ini, Keynes pernah mengatakan, “Kita terkungkung dan kehabisan
energi dalam perangkap teori dan implementasi ilmu ekonomi kapitalis yang ternyata
tetap saja mandul untuk melakukan terobosan mendasar guna mencapai kesejahteraan
dan kualitas hidup umat manusia di muka bumi ini” .
Kesimpulannya, konsep dan kebijakan ekonomi yang berdasarkan kapitalisme
dan sosialisme, terbukti telah gagal mewujudkan perekonomian yang berkeadilan .
Akibat berpegang pada kedua faham tersebut terjadilah ketidakseimbangan
makroekonomi dan instabilitas nasional.
Dengan melihat realita di atas, jelas ada ”something wrong” dalam konsep-
konsep yang selama ini diterapkan di berbagai negara, karena kelihatan masih jauh
dari yang diharapkan. Konsep-konsep tersebut terlihat tidak memiliki konstribusi
yang cukup signifikan, bahkan bagi negara-negara pencetus konsep tersebut. Ini
terbukti dari ketidakmampuan direalisasikannya sasaran-sasaran yang diinginkan
seperti pemenuhan kebutuhan dasar, kesempatan kerja penuh (full employment) dan
distribusi pendapatan dan kekayaan merata.
Konsep-konsep tersebut juga dianggap gagal, karena menyuburkan budaya
eksploitasi manusia atas manusia lainnya, kerusakan lingkungan serta melupakan
tujuan-tujuan moral dan etis manusia. Singkatnya, konsep yang ditawarkan Barat,
bukanlah pilihan tepat apalagi dijadikan prototype bagi negara-negara yang sedang
berkembang. Namun demikian kita tak boleh menafikan bahwa pengalaman dari
ekonomi pembangunan yang telah berkembang itu banyak yang bermanfaat dan
penting bagi kita dalam membangun, meskipun relevansinya sangat terbatas.
Sistem kapitalis maupun sosialis jelas tidak sesuai dengan sistem nilai Islam.
Keduanya bersifat eksploitatif dan tidak adil serta memperlakukan manusia bukan
sebagai manusia. Kedua sistem itu juga tidak mampu menjawab tantangan ekonomi,
politik, sosial dan moral di zaman sekarang. Hal ini bukan saja dikarenakan ada
perbedaan ideologis, sikap moral dan kerangka sosial politik, tetapi juga karena
alasan-alasan yang lebih bersifat ekonomis duniawi, perbedaan sumberdaya, situasi
ekonomi internasional yang berubah, tingkat ekonomi masing-masing, dan biaya
sosial ekonomi pembangunan.
Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat, banyak dipengaruhi
oleh kakrakteristik unik dan spesifik, juga dipengaruhi oleh nilai dan infra struktur
sosial politik ekonomi Barat. Teori demikian jelas tidak dapat diterapkan persis di
negara-negara Islam. Terlebih lagi, sebagian teori pembangunan Barat lahir dari teori
Kapitalis. Karena kelemahan mendasar inilah, maka teori tersebut tidak mampu
menyelesaikan persoalan pembangunan di berbagai negara berkembang.
Ilmu Ekonomi Pembangunan sekarang ini menghadapi masa krisis dan re-
evaluasi. Ia menghadapi serangan dari berbegai penjuru. Banyak ekonom dan
perencana pembangunan yang skeptis tentang pendekatan utuh ilmu ekonomi
pembangunan kontemporer. Menurut Kursyid Ahmad, sebagian mereka berpendapat
bahwa teori yang didapat dari pengalaman pembangunan Barat kemudian diterapkan
di negara-negara berkembang, jelas tidak sesuai dan merusak masa depan
pembangunan itu sendiri.
Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu ekonomi
Pembangunan Barat sama sekali tidak relevan dan tidak memenuhi syarat untuk
diterapkan di negara-negara Islam. Karena itu prinsip-prinsip teori ini harus ditinjau
kembali. Pendekatann yang jauh lebih kritis, harus dilakukan untuk mengobati
penyakit-penyakit yang sudah ditularkan kepada negara-negara Islam.
Pada akhirnya, kita memerlukan suatu konsep pembangunan ekonomi yang
tidak hanya mampu merealisasikan sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam suatu
pembangunan ekonomi secara tepat, teruji dan bisa diterapkan oleh semua negara-
negara di belahan bumi ini, tetapi juga yang terpenting adalah kemampuan konsep
tersebut meminimalisasir atau bahkan menghilangkan segala negative effect
pembangunan yang dilakukan. Konsep tersebut juga harus mampu memperhatikan
sisi kemanusiaan tanpa mulupakan aspek moral.
Kesadaran akan pentingnya nilai moral dalam ekonomi pembangunan telah
banyak dikumandangkan oleh para ilmuwan ekonomi. Fritjop Capra dalam bukunya,
”The Turningt Point, Science, Society, and The Rising Culture”, menyatakan, ilmu
ekonomi merupakan ilmu yang paling bergantung pada nilai dan paling normatif di
antara ilmu-imu lainnya. Model dan teorinya akan selalu didasarkan atas nilai
tertentu dan pada pandangan tentang hakekat manusia tertentu, pada seperangkat
asumsi yang oleh E.F Schummacher disebut ”meta ekonomi” karena hampir tidak
pernah dimasukkan secara eksplisit di dalam ekonomi kontemporer . Demikian pula
Ervin Laszlo dalam bukunya ”3rd Millenium, The Challenge and the Vision”
mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu ekonomi, terutama resionalitias
ekonomi yang telah mengabaikan sama sekali nilai-nilai dan moralitas . Menurut
mereka kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan ilmu
ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat
manusia. yang terjadi justru sebaliknya, yaitu ketimpangan yang semakin tajam
antara negara-negara berkembang (yang miskin) dengan negara-negara dan
masyarakat kaya. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki
keadaan tidak ada jalan lain kecuali dengan merobah paradigma dan visi, yaitu
melalukan satu titik balik peradaban.
2.3 Prinsip Ekonomi
Kebutuhan akan suatu konsep baru pembangunan ekonomi dunia saat ini terasa
lebih mendesak dilakukan, terutama dalam era globalisasi. Mark Skousen dalam
bukunya ”Economic on Trial : Lies, Myths and Reality” banyak mengkritik
mainstream ekonomi yang selama ini dianut oleh negara-negara dunia. Dia juga
selanjutnya memberikan beberapa resep bagaimana seharusnya kita memulai abad
baru ini dengan menerapkan 7 (tujuh) prinsip ekonomi yang harus menjadi acuan
dalam bergerak. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Produksi harus diprioritaskan dari konsumsi.
2. Pengeluaran defisit dan hutang nasional yang terlalu besar merupakan hal yang
membahayakan bagi masyarakat.
3. Kebijakan yang memacu konsumsi ketimbang tabungan dan menggalakkan
hutang merupakan hal yang bisa merusak pertumbuhan ekonomi dan standart
hidup masyarakat.
4. Perencanaan terpusat (Central Planning) dan totalitarianisme terbukti tidak bisa
berfungsi.
5. Diperlukan suatu sistem finansial baru untuk menciptakan kerangka kerja
finansial yang tanggung dalam meminimalisir inflasi dan ketidakpastian.
6. Harus ada kebijakan jangka panjang berkaitan dengan kesejahteraan dengan
memberikan kebebasan terjadinya pergerakan modal (capital movement) uang
dan orang dari satu tempat ke tempat lain.
7. Dalam upaya meningakatkan produktifitas dan standar hidup masyarakat, suatu
negara juga harus tetap memperhatikan lingkungan dengan mengurangi sebanyak
mungkin polusi dan eksternalitas negatif lainnya yang mungkin terjadi.
Lebih lanjut Mark Skousen, yang terkenal dengan kritik-kritiknya terhadap
konsep ekonomi, baik secara mikro maupu makro, menyatakan bahwa ekonomi baru
(new economy) pasti akan terwujud. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa negara
manapun di dunia ini, baik miskin atau kaya, tidak boleh melupakan prinsip-prinsip
di atas.
Negara yang mengabaikannya dipastikan akan terus mengalami kegagalan dan
menghadapi berbagai masalah, seperti inflasi, deflasi secara tiba-tiba, budget yang
tidak seimbang, krisis ekonomi birokrasi yang menakutkan, stagnasi ekonomi,
pencemaran lingkungan, perang, dan sebagainya. Sebaliknya, negara yang
memperhatikan prinsip-prinsip itu akan mengalami penguatan di berbagai sektor
seperti kuatnya nilai mata uang, suku bunga yang rendah, pasar modal yang kuat dan
sebagainya.
Prinsip yang dikemukakan Mark Skousen memang sangat bagus, walaupun ia
masih belum memahami beberapa akar penyebab masalah lain yang terkait dengan
permasalahan ekonomi selama dua abad ini. Misalnya kenapa suatu negara terjerat
terus dengan hutang, peningkatan ekonomi tanpa kedamaian manusia, inflasi yang
tetap terus terjadi, dsb.
2.4 Pengertian Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dalam ekonomi modern adalah perkembangan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam
masyarakat meningkat yang selanjutnya diiringi dengan peningkatan kemakmuran
masyarakat . Dalam kegiatan ekonomi yang sebenarnya, pertumbuhan ekonomi
berarti perkembangan ekonomi fiskal yang terjadi di suatu negara seperti
pertambahan jumlah dan produksi barang industri, infra struktur, pertambahan
jumlah sekolah, pertambahan produksi kegiatan-kegiatan ekonomi yang sudah ada
dan beberapa perkembangan lainnya. Dalam analisis makro ekonomi, tingkat
pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu negara diukur dengan perkembangan
pendapatan nasional riil yang dicapai oleh suatu negara yaitu Produk Nasional Bruto
(PNB) atau Produk Domestik Bruto.
Sedangkan istilah pembangunan ekonomi (economic development) biasanya
dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian
ahli ekonomi mengartikan istilah ini sebagai berikut, ”economic development is
growth plus change” (Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang
diikuti oleh perubahan-perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi).
Dengan kata lain, dalam mengartikan istilah pembangunan ekonomi, ekonom
bukan saja tertarik kepada masalah perkembangan pendapatan nasional riil, tetapi
juga kepada modernisasi kegiatan ekonomi, misalnya kepada usaha perombakan
sektor pertanian yang tradisional, mempercepat pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan pendapatan.
Dalam kajian ekonomi, kedua istilah di atas terkadang digunakan dalam konteks
yang hampir sama. Banyak orang mencampuradukkan penggunaan kedua istilah
tersebut. Pencampuadukan istilah ini walaupun tidak dapat dibenarkan, pada dasarnya
tidak terlalu mempengaruhi kajian ekonomi, karena inti pembahasan pada akhirnya
akan berhubungan erat dengan perkembangan perekonomian suatu negara.
Dalam berbagai literatur tentang ekonomi Islam, kedua istilah ini juga
ditemukan. Ekonomi Islam pada dasarnya memandang bahwa pertumbuhan ekonomi
adalah bagian dari pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi didefenisikan
dengan a suistained growth of a right kind of output which can contribute to human
welfare. (Pertumbuhan terus-menerus dari faktor produksi secara benar yang mampu
memberikan konstribusi bagi kesejahteraan manusia).
Berdasarkan pengertian ini, maka pertumbuhan ekonomi menurut Islam
merupakan hal yang sarat nilai. Suatu peningkatan yang dialami oleh faktor produksi
tidak dianggap sebagai pertumbuhan ekonomi jika produksi tersebut misalnya
memasukkan barang-barang yang terbukti memberikan efek buruk dan
membahayakan manusia.
Sedangkan istilah pembangunan ekonomi yang dimaksudkan dalam Islam
adalah the process of allaviating poverty and provision of ease, comfort and decency
in life (Proses untuk mengurangi kemiskinan serta menciptakan ketentraman,
kenyamanan dan tata susila dalam kehidupan)
Dalam pengertian ini, maka pembangunan ekonomi menurut Islam bersifat
multi dimensi yang mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya bukan
semata-mata kesejahteraan material di dunia, tetapi juga kesejahteraan akhirat.
Keduanya menurut Islam menyatu secara integral.
2.5 Potensi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Ekonomi Islam
Dalam pertumbuhan ekonomi ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi
pertumbuhan itu sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Sumber daya yang dapat dikelola (invistible resources)
2. Sumber daya manusia (human resources)
3. Wirausaha (entrepreneurship)
4. Teknologi (technology)
Islam juga melihat bahwa faktor-faktor di atas juga sangat penting dalam
pertumbuhan ekonomi.
1. SDM yang dapat dikelola (investable resources)
Pertumbuhan ekonomi sangat membutuhkan sumberdaya yang dapat digunakan
dalam memproduksi asset-asset fisik untuk menghasilkan pendapatan. Aspek fisik
tersebut antara lain tanaman indutrsi, mesin, dsb. Pada sisi lain, peran modal juga
sangat signifikan untuk diperhatikan. Dengan demikian, proses pertumbuhan
ekonomi mencakup mobilisasi sumberdaya, merubah sumberdaya tersebut dalam
bentuk asset produktif, serta dapat digunakan secara optimal dan efisien. Sedangkan
sumber modal terbagi dua yaitu sumber domestik/internal serta sumber eksternal.
Negara-negara muslim harus mengembangkan kerjasama ekonomi dan sedapat
mungkin menahan diri untuk tidak tergantung kepada sumber eksternal. Hal ini
bertujuan untuk meminimalisir beban hutang yang berbasis bunga dan
menyelamatkan generasi akan datang dari ketergantungan dengan Barat. Oleh karena
itu perlu upaya untuk meningkatkan sumberdaya domestik seperti tabungan dan
simpanan sukarela, pajak ataupun usaha lain berupa pemindahan sumberdaya dari
orang kaya kepada orang miskin.
2. SDM (human resuources)
Faktor penentu lainnya yang sangat penting adalah sumberdaya manusia.
Manusialah yang paling aktif berperan dalam pertumbuhan ekonomi. Peran mereka
mencakup beberapa bidang, antara lain dalam hal eksploitasi sumberdaya yang ada,
pengakumulasian modal, serta pembangunan institusi sosial ekonomi dan politik
masyarakat.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, maka perlu adanya
efisiensi dalam tenaga kerja. Efisiensi tersebut membutuhkan kualitas professional
dan kualitas moral. Kedua kualitas ini harus dipenuhi dan tidak dapat berdiri sendiri.
Kombinasi keduanya mutlak dipadukan dalam batas-batas yang rasional
Prinsip Islam terlihat berbeda dengan mainstream ekonomi konvensional
yang hanya menekankan pada aspek kualitas profesional dan mengabaikan kualitas
moral. Moral selama ini dianggap merupakan rangkaian yang hilang dalam kajian
ekonomi. Maka Islam mencoba mengembalikan nilai moral tersebut. Oleh karena itu,
menurut Islam untuk dapat menjadi pelaku ekonomi yang baik, orang tersebut
dituntun oleh syarat-syarat berikut :
a). Suatu kontrak kerja merupakan janji dan kepercayaan yang tidak boleh dilanggar
walaupun sedikit. Hal ini memberikan suatu jaminan moral seandainya ada penolakan
kewajiban dalam kontrak atau pelayanan yang telah ditentukan.
b) Seseorang harus bekerja maksimal ketika ia telah menerima gaji secara penuh. Ia
dicela apabila tidak memberi kerja yang baik.
c). Dalam Islam kerja merupakan ibadah sehingga memberikan implikasi pada
seseorang untuk bekerja secara wajar dan profesional.
3. Wirausaha (entrepreneurship)
Wirausaha merupakan kunci dalam proses pertumbuhan ekonomi dan sangat
determinan. Wirausaha dianggap memiliki fungsi dinamis yang sangat dibutuhkan
dalam suatu pertumbuhan ekonomi. Nabi Muhammad Saw, dalam beberapa hadits
menekankan pentingnya wirausaha. Dalam hadits riwayat Ahmad beliau bersabda,
”Hendaklah kamu berdagang (berbisnis), karena di dalamnya terdapat 90 % pintu
rezeki”. Dalam hadits yang lain beliau bersabda, ”Sesungguhnya sebaik-baik
pekerjaan adalah perdagangan (bisnis)”.
Menurut M.Umer Chapra, dalam buku Islam and Economic Development,
bahwa salah satu cara yang paling konstruktif dalam mempercepat pertumbuhan yang
berkeadilan adalah dengan membuat masyarakat dan individu untuk mampu
semaksimal mungkin mengunakan daya kreasi dan artistiknya secara profesional,
produktif dan efisien
Dengan demikian, semangat entrepreneurship (kewirausahaaan) dan
kewiraswastsaan harus ditumbuhkan dan dibangun dalam jiwa masyarakat.
Dr.Muhammad Yunus telah menekankan pentingnya pembangunan jiwa wirausaha
dalam pembangunan eknonomi di negara-negara muslim yang tergolong miskin.
Dalam hal ini ia mengatakan, : ”Upah buruh bukanlah satu jalan mulus bagi
pengurangan kemiskinan, justru wirausahalah yang mempunyai potensi lebih besar
dalam meningkatkan basis-basis asset individual daripada yang dimiliki oleh upah
kerja .
Menumbuhkembangkan jiwa kewisahausahawaan akan mendorong
pengembangan usaha kecil secara signifikan. Usaha kecil, khususnya di sektor
produksi akan menyerap tenaga kerja yang luas dan jauh lebih besar. Beberapa studi
yang dilakukan di sejumlah negara oleh Michigan State University dan para sarjana,
telah menunjukkan secara jelas konstribusi yang besar dan industri kecil dan usaha
mikro dalam memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan. Mereka mampu
menciptakan lapangan kerja bahkan secara tidak langsung mereka berarti
mengembangkan pendapatan dan permintaan akan barang dan jasa, peralatan, bahan
baku, dan ekspor. Mereka adalah industri padat karya yang kurang memerlukan
bantuan dana luar (asing), bahkan kadang tidak begitu tergantung kepada kredit
pemerintah dibanding insdustri berskala besar.
Karena itu, tidak mengherankan apabila saat ini muncul kesadaran yang meluas
bahwa strategi industrialisasi modern yang berskala besar pada dekade terdahulu
secara umum telah gagal memecahkan masalah-masalah keterbelakangan global dan
kemiskinan . Litte, Scietovsky dan Scott telah menyimpulkan bahwa industri-industri
modern yang berskala besar biasanya kurang dapat menghasilkan keuntungan
daripada industri-industri kecil, di samping itu industri besar lebih mahal dalam hal
modal dan lebih sedikit menciptakan lapangan pekerjaan. Karena itulah Usaha Mikro
(Industri kecil) secara luas dipandang sebagai suatu cara yang efektif untuk
meningkatkan konstribusi sektor swasta, baik untuk tujuan-tujuan pertumbuhan
maupun pemerataan bagi negara-negara berkembang. Banyak para sarjana meragukan
konstribusi industri-industri besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
secara signifikan dibanding industri kecil dan usaha mikro.
Karena itulah Hasan Al-Banna memberikan dan mengembangkan industri
rumah tangga yang utama dalam pembahasan tentang reformasi ekonominya sesuai
dengan ajaran Islam. Hal itu beliau tekankan karena akan membantu penyediaan
lapangan kerja produktif bagi semua anggota masyarakat miskin, dengan demikian
akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Dari paparan di atas dapat ditegaskan bahwa peran wirausaha dalam
menggerakkan pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang tak terbantahkan.
Kelangkaan wirausaha bahkan bisa menyebabkan kurangnya pertumbuhan ekonomi
walaupun faktor-faktor lain banyak tersedia. Dalam hal ini pula Islam sangat
mendorong pengembangan semangat wirausaha untuk menggalakkan pertumbuhan
ekonomi.
4. Teknologi
Para ekonom menyatakan bahwa kemajuan teknologi merupakan sumber
terpenting pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dianggap tidak mengikuti
proses sejarah secara gradual, tidak terjadi terus-menerus dalam suatu keadaan yang
tidak bisa ditentukan. Dinamika dan diskontiniuitas tersebut berkaiatan erat dan
ditentukan oleh inovasi-inovasi dalam bidang teknologi.
Kemajuan teknologi mencakup dua bentuk, yaitu inovasi produk dan inovasi
proses. Inovasi produk berkaitan dengan produk-produk baru yang sebelumnya tidak
ada atau pengembangan produk-produk sebelumnya. Sedangkan inovasi proses
merupakan penggunaan teknik-teknik baru yang lebih murah dalam memproduksi
produk-produk yang telah ada.
Islam tidak menantang konsep tentang perubahan teknologi seperti
digambarkan di atas, bahkan dalam kenyataannya Islam mendukung kemajuan
teknologi. Perintah Al-Qur’an untuk melakukan pencarian dan penelitian cukup
banyak dalam Al-Qur’an. Dalam terma ekonomi bisa disebut dengan penelitian dan
pengembangan (research and development) yang menghasilkan perubahan teknologi.
Dalam Al-quran juga ada perintah untuk melalukan eksplorasi segala apa yang
terdapat di bumi untuk kesejahteraan manusia. Eksplorasi ini jelas membutuhkan
penelitian untuk menjadikan sumberdaya alam tersebut berguna dan bermanfaat bagi
manusia.
Dr.Muhammad Qal’ah Jey dalam buku Mabahits fi Al-Iqtishad al-Islamy
mengatakan bahwa salah satu tujuan ekonomi Islam adalah mewujudkan
pertumbuhan ekonomi. Tetapi dalam point ini terdapat sebuah pertanyaan besar
yaitu, apakah yang menjadi prioritas dalam pertumbuhan ekonomi itu pemerataan
(growth with equity) atau pertumbuhan itu sendiri (growth). Jawaban pertanyaan
tersebut adalah bahwa Islam membutuhkan kedua aspek tersebut. Baik pertumbuhan
(growth) maupun pemerataan (equity), dibutuhkan secara simultan.
Islam tidak akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi, karena memang
pertumbuhan (growth) sangat dibutuhkan .Pada sisi lain, Islam juga tetap memandang
pentingnya pemerataan, karena pertumbuhan ekonomi tidak menggambarkan
kesejahteraan secara menyeluruh, terlebih apabila pendapatan dan faktor produksi
banyak terpusat bagi sekelompok kecil masyarakat.
Karena itu, teknik dan pendekatan baru yang harus dilakukan dalam
pembangunan menurut perspektif ekonomi Islam, adalah bahwa kita harus
meninggalkan penggunaan model-model pertumbuhan agregatif yang lebih
menekankan maksimalisasi tingkat pertumbuhan sebagai satu-satunya indeks
perencanaan pembangunan. Karena itu, pertumbuhan ekonomi dan perkapita yang
tinggi, bukan menjadi tujuan utama. Sebab apalah artinya perkapita tinggi, tapi
berbeda sama sekali dengan kondisi riil, kemiskinan menggurita dan kesenjangan
tetap menganga. Sebagai contoh, kita bisa melihat PDB Indonesia pada tahun 2000.
menurut perhitungan Badan Statistik, selama tahun 2000 itu, PDB tumbuh 4,8%.
Pendapatan perkapita Indonesia, telah meningkat 14,49 % dari tahun sebelumnya.
Berdasarkan perhitungan BPS tersebut, PDB penduduk Indonesia tahun lalu,
mencapai US$.700 perkapita. Bila dirupiahkan angka tersebut sekitar Rp. 6,3 Juta
dalam perkapita pertahun. Dengan peningkatan perkapita menjadi Rp. 6,3 juta,
peringkat Indonesia di Asia Tenggara mengalami perbaikan dibanding dengan saat
krisis ekonomi memuncak.
Pendapatan rata-rata penduduk Indonseia setidaknya masih lebih tinggi dari
Vietnam (US$. 370), Kamboja (US$. 280) dan Laos (US$. 263). Namun peringkat
Indonesia masih dibawah Myanmar (US$. 765), Philipina (US$. 1046), Thailand
(US$. 1909) dan sangat jauh dibawah Malaysia (US$. 3248), Brunai (US$. 20.400)
dan Singapura (US$. 22.710).
Dari data pertemuan ekonomi Indonesia yang tampak membaik itu, kita tidak
boleh langsung bergembira dan menyatakan bahwa pemulihan ekonomi rakyat
Indonesia mulai berhasil. Harus dicatat, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia
setinggi langit, misalnya mencapai 20%, dan perkapita mencapai US$. 3.200, seperti
Malaysia. Hal ini belum tentu menggembirakan kita, bila ditinjau dari perspektif
ekonomi Islam, karena mungkin saja pertumbuhan yang tinggi berada di tangan
segelintir konglomerat tertentu.
Menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi melalui indikator PDB
Domestik Bruto dan perkapita semata, tidaklah tepat. Dalam paradigma ekonomi
Islam pertumbuhan haruslah sejalan dengan keadilan dan pemerataan pendapatan.
Perhitungan perkapita merupakan perhitungan agregat yang belum tentu
mencerminkan kondisi riil. Angka rata-rata itu diperoleh berdasarkan pembagian atas
Produk Domestik Bruto oleh jumlah penduduk. Sehingga jumlah penduduk sebagai
faktor pembagi makin besar, sudah tentu hasil angka perkapita yang diperoleh
semakin kecil, demikian pula sebaliknya. Wilayah Jabotabek misalnya, angka
pendapatan perkapitanya pasti akan sangat besar, sebab pertumbuhan ekonomi lebih
terkonsentrasi di wilayah itu. Tetapi bila seluruh penduduk yang mayoritas tinggal di
desa disertakan sebagai faktor pembagi tadi, maka perkapita secara nasional menjadi
berkurang. Jadi kesimpulannya, PDB dan perkapita tidak dapat menggambarkan
kondisi riil. Karena itu, PDB yang tinggi belum cukup menggambarkan perbaikan
ekonomi rakyat secara adil. Hal ini karena masih banyak penduduk Indonesia tidak
memiliki penghasilan tetap, dan malah dibawah garis kemiskinan, misalnya penduduk
Indonesia di kawasan timur dan kawasan-kawasan lainnya sebagai contoh di kawasan
pegunungan Cartenz, daerah operasi PT. Freeport Indonesia, kawasan yang tampak
makmur, hanyalah Tembaga Pura. Di luar wilayah itu, banyak penduduk yang belum
mendapat kesempatan memperoleh penghasilan tetap. Namun dalam perhitungan
PDB perkapita, mereka yang fuqara’ dan masakin ini dimasukkan kedalam faktor
pembagi, sehingga seolah-olah mereka memperoleh penghasilan tetap mencapai Rp.
6,3 juta pertahun (sekitar Rp. 525.000) perbulan. Mereka seolah-oleh pula menikmati
kue pembangunan. Padahal sejatinya, mereka hidup dibawah garis kemiskinan.
Kondisi ini sekaligus menjadikan gambaran yang jelas, betapa kesenjangan
antara yang kaya dan miskin di negeri ini telah sedemikian hebatnya. Realita
disparitas ekonomi ini tidak saja terjadi di Indonsia dan negara – negara berkembang
lainnya, tetapi juga negara – negara maju yang menjadi pendekar kapitalisme, seperti
Amerika Serikat.
Hyman Minsky dalam buku Stabilizing Unstable Economy ( 1986 )
mengatakan, masyarakat kapitalisme itu tidak adil. Suatu fakta menunjukkan bahwa
meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi di AS, tetapi kesenjangan masih saja lebar,
dan yang miskin semakin miskin. Di negara ini pada tahun 1990- an, masih
mentoleransi 10 % masyarakatnya hidup dalam kemiskinan. Bagaimana mungkin
negara maju membiarkan 10 % rakyatnya menderita dalam kemiskinan dan masih
terjerembab dalam pengangguran
Realita kesenjangan pendapatan, juga terjadi di Indonesia pada masa orde baru.
Jadi meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong tinggi dan mendapat pujian
dari luar negeri dan lembaga keuangan internasional, namun kemiskinan masih
menggurita dan kesenjangan masih menganga. Belajar dari kegagalan pembangunan
Indonesia yang pincang itu, maka bangsa Indonesia (khususnya Pemerintah), harus
melakukan reorientasi pembangunan dari sistem sentralistrik menjadi tersebar. Hal itu
perlu ditempuh untuk mencegah terulangnya kegagalan pembangunan nasional
selama ini.
Maka. Penerapan sistem ekonomi daerah, sebenarnya dimaksudkan untuk
menjembatani kondisi ekonomi nasional yang cukup timpang itu. Dengan otonomi
daerah, diharapkan tercipta makin banyak pusat pertumbuhan, setidaknya ditingkat
propinsi. Selama ini dengan pemerintah terpusat, pertumbuhan yang tercipta pun
cendrung terpusat. Tidak heran jika pemerintah pusat bertindak seperti vacum
cleaner, menyedot semua aset yang berada di daerah, termasuk daerah miskin
sekalipun.
Berdasarkan kondisi ketimpangan internasional dan labilnya pasar, maka negara
Islam, organisasi dan lembaga Islam lainnya turut serta secara aktif mencapai tujuan
khusus ekonomi pembangunan yaitu growth with equity.
2.6 Pertumbuhan Sebagai Suatu Keniscayaan
Jadi, Meskipun Islam menekankan keadilan sosio – ekonomi dalam
pertumbuhan, hal ini tidak berarti bahwa Islam tidak mementingkan pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi merupakan tuntutan obyektif dan harus dilakukan dengan
cepat dan dalam proporsi yang besar. Tanpa pertumbuhan ekonomi, keadilan
memang dapat dirasakan, tetapi masih sulit untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kebahagian, karena proporsi kue ekonomi yang dibagikan masih kurang cukup.
Dalam rangka pencapaian keadilan sosio – ekonomi yang dapat
membahagiakan itulah realisasi pertumbuhan ekonomi memang sangat diperlukan.
Tetapi tetap tak bisa terlepas dari sistem distribusi kue ekonomi yang berdimensi
keadilan, baik untuk jangka sekarang maupun mendatang.
Untuk mewujudkan pemerataan, menurut M. Umer Chapra, setidaknya ada lima
unsur utama yang harus dilakukan. Pertama, mengadakan pelatihan dan menyediakan
lowongan kerja bagi pencari kerja, sehingga terwujud full employment. Kedua,
memberikan sistem upah yang pantas bagi karyawan. Ketiga, mempersiapkan
asuransi wajib untuk mengurangi penganguran, kecelakaan kerja, tunjangan hari tua
dan keuntungan – keuntungan lainnya. Keempat, memberikan bantuan kepada
mereka yang cacat mental dan fisik, agar mereka hidup layak. Kelima,
mengumpulkan dan mendayagunakan zakat, infaq, dan sedaqah, melalui undang –
undang sebagaimana undang – undang pajak.
Dengan upaya upaya itu, maka kekayakan tidak terpusat pada orang – orang
tertentu. Al–Qur’an dengan tegas mengatakan, “kekayaan hendaknya tidak terus –
menerus beredar di kalangan orang – orang kaya saja”1.
Selanjutnya menurut Umer Chapra ada lima tindakan kebijakan pembangunan
ekonomi (economic development) yang disertai dengan keadilan dan stabilitas, yaitu :
1. Memberikan kenyamanan kepada faktor manusia
2. Mereduksi konsentrasi kekayaan
3. Melakukan restrukturisasi ekonomi
4. Melakukan restrukturisasi keuangan, dan
5. Rencana kebijakan strategis
Manusia merupakan elemen pokok dari setiap program pembangunan. Mereka
adalah tujuan sekaligus sebagai sasaran pembangunan. Apabila mereka tidak
dipersiapkan secara tepat untuk dapat memberikan konstribusi positif terhadap
pembangunan, tidak mungkin akan berhasil mengaktualisasikan tujuan-tujuan pokok
Islam dalam pembangunan. Karena itu, tugas yang paling menantang di depan setiap
negara muslim adalah memotivasi faktor manusia untuk melakukan aktivitas
konstruktif bagi pembangunan yang berkeadilan. Setiap individu harus memberikan
apa yang terbaik dengan bekerja keras dan efisisen yang disertai integritas, kejujuran,
disiplin dan siap berkorban untuk mengatasi hambatan hambatan dalam perjalanan
pembangunan.
1 QS. 59 : 7
Selain itu, praktek KKN dalam semua lini harus diberantas secara sungguh –
sungguh. Sebab KKN memiliki andil besar terhadap kesenjangan dan lestarinya
kemiskinan rakyat. Penerimaan pajak harus diawasi secara ketat, agar tidak terjadi
kebocoran, demikian pula BUMN yang menjadi sarang korupsi, harus dibersihkan
dari praktek bisa dientaskan tak pernah menjadi kenyataan, karana banyak dana
negara yang bocor ditangan pejabat dan para koruptor. Tekad Presiden SBY
memberantas KKN hendaknya tidak sebatas retorika belaka, tetapi benar-benar
diwujudkan secara nyata. Salah satu dampak buruk yang membudaya itu ialah,
kekayaan terkonsentrasi pada orang tertentu, akibatnya kemiskinan rakyat tetap
berlangsung.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu pilar pertumbuhan
adalah memprioritaskan produksi. Dalam point ini ada sebuah pertanyaan yaitu,
proyek-proyek apa sajakah yang diprioritaskan dan layak dipilih dalam memproduksi
suatu produk. Untuk menentukan prioritas produksi, maka dalam ekonomi Islam
prioritas tersebut sangat tergantung kepada tingkat perkembangan ekonomi yang telah
dicapai. Ini sangat berkaitan dengan tingkatan kebutuhan manusia. Tingkatan tersebut
dapat dikatogorikan :
1. Kebutuhan untuk bertahan hidup (survival necesstities) yang berkaitan dengan
barang-barang yang apabila tidak dimiliki oleh manusia akan menyebabkan dia
meninggal. Contohnya makanan untuk orang yang kelaparan.
2. Kebutuhan dasar (basic needs) yang berkaitan dengan barang-barang atau jasa
yang apabila tidak dimiliki manusia menyebabkan kesulitan bagi mereka,
walaupun tidak sampai menimbulkan kematian,contohnya ialah kebutuhan
terhadap pakaian sederhana dan akomodasi.
3. Kebutuhan pendukung (comforts) yang berakitan dengan barang-barang atau jasa
yang menyebabkan kemudahan dan kenyamanan hidup, walaupun tanpa barang-
barang tersebut hidup juga tidak akan mengalami kesulitan .Contohnya pakaian
bagus, AC, dll.
4. Barang-barang mewah (luxuries), yaitu barang-barang yang tidak hanya
memberikan kenyamanan, tetapi juga memberikan prestise apabila
mengkonsumsinya. Contohnya mobil mahal/mewah.
5. Barang-barang yang merusak (harmful items), yaitu barang-barang yang
membahayakan dan merusak manusia seperti alkohol dan lain-lain.
Tingkat kebutuhan masing-masing kategori di atas berbeda antara satu orang
dengan lainnya. Kebutuhan bertahan hidup (survival necessity) menempati tingkat
tertinggi, bahkan pada kondisi darurat, barang-barang yang sebelumnya dilarang bisa
menjadi halal.
Kebutuhan dasar (basic needs) merupakan satu hal yang mesti dijamin dalam
konsep ekonomi Islam. Kebutuhan ini bahkan bisa dijadikan kriteria untuk mengukur
garis kemiskinan seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang mengalami
kekurangan barang-barang ini bisa dianggap hidup di bawah garis kemiskinan.
Prioritas produksi utama dalam ekonomi Islam adalah memproduksi kebutuhan dasar
bagi masyarakat. Jika kebutuhan dasar telah mampu dipenuhi secara baik dan
maksimal, maka prioritas pertumbuhan selanjutnya diarahkan untuk memproduksi
barang-barang pendukung, karena akan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Produksi barang-barang ini juga akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Sedangkan barang-barang mewah walaupun tidak dilarang, namun tidak dianjurkan.
Dengan demikian, barang-barang ini tidak menjadi prioritas dalam konsep
pertumbuhan ekonomi Islam. Adapun barang-barang yang merusak jelas tidak
dibenarkan, karena tidak dibutuhkan dan bahkan merusak.
Pada akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi dalam Islam
merupakan hal yang alamiyah sebagai hasil dari proses pemanfaatan sumberdaya
secara efisisien dan penuh. Hal ini disebabkan karena tuntutan untuk mencapai
kemakmuran material dalam kerangka nilai-nilai Islam menghendaki:
1. Tidak boleh dicapai lewat produksi barang dan jasa yang tidak sesuai dengan
standart moral Islami.
2. Tidak boleh memperlebar kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin dengan
mendorong konsumsi yang mencolok
3. Tidak boleh menimbulkan bahaya kepada generasi sekarang dan akan datang
dengan merusak lingkungan fisik dan moral mereka.
2.7 Prinsip Pembangunan Ekonomi Menurut Islam
Pada uraian terdahulu telah dipaparkan bahwa ekonomi pembangunan modern
telah mengalami fase-fase perkembangan yang cukup signifikan. Walaupun fase-fase
tersebut dilalui dengan cukup lama, namun tidak memberikan dampak positif bagi
pembangunan ekonomi dunia yang sejahtera dan adil.
Menurut teori Marxis melihat pembangunan hanyalah pembangunan ekonomi
yang merupakan sebagian dari pada konsep kebendaan. Perancang ekonomi yang
menyimpang dari pandangan ini dianggap sebagai borjuis 2. Begitu juga dengan
konsep pembangunan kapitalis, tidak memberi tempat untuk peranan agama.
Pertimbangan akhlak di luar pertimbangan ekonomi, sedangkan pembangunan
ekonomi dalam islam ialah pembangunan yang meliputi semua aspek pembangunan
kebendaan (ekonomi) dan pembangunan insan secara keseluruhan.
2 Nyang, 1976: 11
Ketika Islam menawarkan konsep pembangunannya yang berdasarkan Al-
Qur’an dan Sunnah, maka alasan pertama munculnya konsep ekonomi pembangunan
ini adalah didasari adanya kebutuhan akan suatu konsep alternatif yang layak
diterapkan bagi pembangunan negara-negara muslim. Hal ini diperkuat dengan
kenyataan bahwa konsep pembangunan ekonomi model Barat yang selama ini
diterapkan hampir dua abad di hampir seluruh negara-negara dunia ternyata tidak
cocok dengan jiwa dan prinsip-prinsip yang dianut oleh negara-negara muslim. Itu
terlihat pada realita pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Maka tidak
aneh, jika banyak kritik yang menyatakan bahwa konsep pembangunan Barat yang
lahir dari teori kapitalis malah bisa merusak masa depan pembangunan negara-negara
muslim tersebut.
Islam sangat memperhatikan masalah pembangunan ekonomi, namun tetap
menempatkannya pada persoalan pembangunan yang lebih besar, yaitu
pembangunan umat manusia. Islam mengangap bahwa pembangunan ekonomi
merupakan latihan fisik dan usaha kerohanian manusia3. Fungsi utama Islam adalah
membimbing manusia pada jalur yang benar dan arah yang tepat. Semua aspek yang
berkaitan dengan pembangunan ekonomi harus menyatu dengan pembangunan
ummat manusia secara keseluruhan.
Dr. Abdullah Abdul Husein At-Tariqy mengungkapkan, ”Banyak ahli ekonomi
Islam dan para fuqaha yang memberikan perhatian terhadap persoalan pertumbuhan
ekonomi. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi bukan hanya aktivitas produksi
material saja. Lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi merupakan aktivitas menyeluruh
dalam bidang produksi yang terkait erat dengan keadilan distribusi. Pertumbuhan
ekonomi bukan hanya diukur dari aspek ekonomi, melainkan aktivitas manusia yang
ditujukan untuk pertumbuhan dan kemajuan sisi material dan spiritual manusia
sekaligus.
3 Nyang, 1976: 12
Pembangunan islam lebih menitikberatkan penukaran dan perubahan sumber
kemanusiaan4. Pembangunan islam juga berarti evolusi manusia, tetapi dalam skop
yang berbeda dari evolusi Barat. Evolusi dalam islam berarti memandu dan
mengubah masyarakat yang jahil kepada masyarakat islam5
2.8 Falsafah Pembangunan
Dari kajian para ulama dapat dirumuskan dasar-dasar filosofis pembangunan
ekonomi ini, yaitu : 1. Tauhid rububiyah, yaitu menyatakan dasar-dasar hukum Allah
untuk selanjutnya mengatur model pembangunan yang berdasarkan Islam. 2.
Keadilan, yaitu pembanguan yang tidak pincang (senjang), tetapi pembangunan
ekonomi yang merata (growth with equity) 3. Khilafah, yang menyatakan bahwa
manusia adalah wakil Allah Allah di muka bumi untuk memakmurkan bumi dan
bertangung jawab kepada Allah tentang pengelolaan sumberdaya yang diamanahkan
kepadanya. dan 4. Tazkiyah.yaitu mensucikan manusia dalam hubugannya dengan
Allah., sesamanya dan alam lingkungan, masyarakat dan negara.
Berdasarkan dasar-dasar filosofis di atas dapat diperjelas bahwa prinsip
pembangunan ekonomi menurut Islam adalah :
1. Pembangunan ekonomi dalam Islam bersifat komprehensif dan mengandung
unsur spiritual, moral, dan material. Pembangunan merupakan aktivitas yang
berorientasi pada tujuan dan nilai. Aspek material, moral, ekonomi, sosial
spiritual dan fiskal tidak dapat dipisahkan. Kebahagian yang ingin dicapai tidak
hanya kebahagian dan kesejahteraan material di dunia, tetapi juga di akhirat.
2. Fokus utama pembangunan adalah manusia dengan lingkungan kulturalnya. Ini
berbeda dengan konsep pembangunan ekonomi modern yang menegaskan bahwa
wilayah operasi pembangunan adalah lingkungan fisik saja. Dengan demikian
4 Khan, 1969: 8
5 Ibid 4
Islam memperluas wilayah jangkauan obyek pembangunan dari lingkungan fisik
kepada manausia.
3. Pembangunan ekonomi adalah aktivitas multidimensional sehingga semua usaha
harus diserahkan pada keseimbangan berbagai faktor dan tidak menimbulkan
ketimpangan.
4. Penekanan utama dalam pembangunan menurut Islam, terletak pada :
a. Pemanfaatan sumberdaya yang telah diberikan Allah kepada ummat manusia
dan lingkungannya semaksimal mungkin.
b. Pemanfaatan sumberdaya tersebut melalui pembagian, peningkatannya secara
merata berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran. Islam menganjurkan
sikap syukur dan adil dan mengutuk sikap kufur dan zalim.
Memang harus diakui bahwa pertumbuhan perkapita sangat tergantung kepada
sumberdaya alam. Namun sumberdaya alam saja bukan syarat yang cukup untuk
pembangunan ekonomi. Masih dibutuhkan satu syarat lain yang utama yaitu perilaku
manusia. Perilaku ini memainkan peran yanag sangat penting dalam pembangunan
ekonomi. Untuk itu harus ada upaya menempa perilaku manusia tersebut ke arah
yang mendukung pembangunan. Dalam hal ini negara-negara muslim pada dasarnya
lebih berpotensi dan tidak mengalami kesulitan seperti dialami oleh negara-negara
sekuler dalam upaya menempa perilaku manusia tersebut. Untuk itu peran ulama juga
sangat dibutuhkan.
2.9 Islam Tidak Menyukai Kemiskinan
Kita dibenarkan untuk memilih hidup miskin sekiranya kemiskinan itu tidak
memudharatkan agama dan keduniaan kita. Orang islam digalakkan supaya
bersedekah dan berinfak pada jalan Allah SWT yang hanya boleh dilakukan oleh
orang yang berharta. Oleh karena itu, golongan kaya yang bermanfaat bagi agama
adalah lebih baik dibandingkan dengan golongan miskin. Terdapat beberapa sebab
kemiskinan tidak digemari:
Kemiskinan Membahayakan Iman
Kemiskinan boleh jadi mengakibatkan seseorang menjadi kufur. Kekufuran
terjadi apabila ia meragukan keadilan Allah SWT atau karena tertarik
dengan kekayaan yang ditawarkan agama lain. Seseorang mungkin dapat
menjual agamanya dengan harta. Nabi Muhammad SAW bersabda:
”Kemiskinan itu hampir-hampir membawa kepada kekufuran.” (Abu Nu’aim
dari Anas).
Kemiskinan Membahayakan Akhlak dan Budi Pekerti
Kemiskinan boleh jadi mendorong seseorang kepada akhlak yang buruk.
Seseorang itu mungkin akan cenderung berdusta, mencuri, menipu, dan
berkhianat karena dorongan kemiskinan. Sabda Rasulullah SAW:
”Sesungguhnya jika seseorang itu berhutang ia akan cenderung berdusta bila
berbicara dan ingkar bila berjanji.” (Bukhari)
Kemiskinan Membahayakan Pemikiran
Sesesorang yang miskin dan memikirkan kemiskinannya serta risau untuk
memenuhi keperluannya tidak akan dapat berfikir dengan baik. Kerisauan
fikirannya mengganggu upayanya berfikir serta mengganggu kestabilan
berfikirnya. Gangguan emosi ini dapat mendorong seseorang menjadi cepat
marah, hilang kendali, dan sempit pandangannya. Imam Abu Hanifah
berkata, ”janganlah meminta pendapat dari seseorang yang sedang kehabisan
gandum di rumahnya”.
Kemiskinan Membahayakan Institusi Keluarga
Kemiskinan menjadi penghalang terhadap keinginan untuk berumah tangga.
Pasangan akan memikirkan masalah pembiayaan, perkawinan, dan
seterusnya nafkah keluarga. Kemiskinan juga dapat menyebabkan
perceraian. Keadaan ini akan melahirkan generasi yang tidak baik.
Kemiskinan Membahayakan Kestabilan Masyarakat
Kemiskinan juga mengancam keamanan, kesejahteraan, dan kestabilan
masyarakat. Desakan kemiskinan dapat mendorong seseorang untuk
melakukan pencurian, pergaduhan, dan penipuan. Keadaan dapat bertambah
tegang ketika terdapat perbedaan sosial antara golongan miskin dan kaya.
2.10 Matlamat Dasar Pembangunan
Kursyid Ahmad merumuskan tujuan kebijakan pembangunan dan target yang
lebih spesifik untuk tujuan pembangunan yaitu, :
1. Pembangunan sumberdaya insani merupakan tujuan pertama dari kebijakan
pembangunan. Dengan demikian, harus diupayakan membangkitkan sikap dan
apresiasi yang benar, pengembangan watak dan kepribadian, pendidikan dan
latihan yang menghasilkan keterampilan, pengembangann ilmu, dan riset serta
peningkatan partisipasi6.
2. Perluasan produksi yang bermanfaat. Tujuan utama adalah meningkatkan jumlah
produksi nasional di satu sisi dan tercapainya pola produksi yang tepat. Produksi
yang dimaksud bukan hanya sesuatu yang dapat dibeli orang kaya saja, namun
juga bermanfaat bagi kepentingan ummat manusia secara keseluruhan. Produksi
barang barang yang dilarang oleh Islam tidak akan diperkenankan, sedangkan
yang bermanfaat untuk ummat akan ditingkatkan. Dalam kebijakan demikian,
pola investasi dan produksi disesuaikan dengan prioritas Islam dan kebutuhan 6 Khurshid Ahmad, 1981: 180-181
ummat. Dalam hal ini ada tiga hal yang diprioritaskan : Pertama, Produksi dan
tersedianya bahan makanan dan kebutuhan pokok dalam jumlah yang melimpah,
termasuk bahan-bahan konstruksi untuk perumahan, jalan dan kebutuhan dasar
lainnya dengan harga yang cukup murah. Kedua, Perlunya pertahanan dunia
Islam di negara-negara Islam, maka dibutuhkan peralatan persenjataan yang
memadai. Ketiga, Swasembada di bidang produksi kebutuhan primer7.
3. Perbaikan kualitas hidup terlihat dari baiknya ekonomi, sosial, dan akhlak semua
lapisan masyarakat8. Hal ini termasuk perbaikan corak penggunaan dari yang
haram, mubazir, dan mewah menjadi lebih memadai9, keselamatan dan
penawaran yang cukup melalui pengangkutan yang baik10, penyediaan
kemudahan dan bantuan kepada rakyat11, perlindungan pengguna melalui institusi
al-hisba12 infrastruktur fisik dan sosial13, dan kestabilan harga14. Perbaikan ini
memberikan prioritas pada tiga hal, Pertama, terciptanya lapangan kerja dengan
segala penataan struktural, teknologi, investasi, dan pendidikan. Kedua, sistem
keamanan nasional yang luas dan efektif yang menjamin kebutuhan dasar
masyarakat. Dalam hal ini zakat harus dijadikan sebagi instrumen utama. Ketiga,
Pembagian kekayaan dan pendapatan dan merata. Harus ada kebijakan
pendapatan yang mampu mengontrol tingkat pendapatan yang terendah (UMR),
mengurangi konsentrasi ketimpangan dalam masyarakat. Salah satu indikator
7 Khurshid Ahmad, 1981: 181
8 Ibid 7
9 Hasan uz-Zaman, 1979: 14
10 Hasan uz-Zaman, 1979: 17-18
11 Hasan uz-Zaman, 1979: 19-20
12 Hasan uz-Zaman, 1979: 21
13 Al-Batriq, 1977: 39
14 Ibid 13
tampilan pembangunan adalah berkurangnya tingkat perbedaan pendapatan
masyarakat. Karena itu sistem perpajakan harus diatur sebaik-baiknya.
4. Pembangunan yang berimbang, yakni harmonisasi antar daerah yang berbeda
dalam satu negara dan antar sektor ekonomi. Desentralisasi ekonomi dan
pembangunan semesta yang tepat, bukan saja merupakan tuntutan keadilan tetapi
juga diperlukan untuk kemajuan yang maksimum. Salah satu tujuan
pembangunan adalah melalui desentralisasi, maka pemerintah daerah perlu
diberikan keleluasaan untuk mengembangkan daerahnya sendiri dengan
meningkatkan peran serta masyarakat. Dengan terus melakukan check and
balances serta bimbingan dan pengawasan yang kuat, akan membentuk daerah itu
menjadi agen pembangunan yang serba guna. Tujuan perencanaan pembangunan
yang komprehensif akan sulit dicapai bilamana kita tidak mampu
mengembangkan desentralisasi kekuasaan dan pengawasan yang lebih efisien
serta mengurangi birokratisasi masyarakat. Dalam konteks ini, maka perusahaan-
perusahaan swasta kecil dan menengah harus digalakkan dan dikembangkan. Para
penguasa daerah harus menciptakan iklim lingkungan yang tepat dan kondusif
yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan
tersebut. Perusahaan juga harus didorong agar dapat meningkatkan investasi yang
lebih besar lagi. Mereka juga diarahkan agar menjadi organisasi bisnis yang maju.
Mereka itulah yang menjadi instrumen pembangunan ekonomi yang sarat nilai
serta membagi rata tingkat pendapatan kepada seluruh masayarakat.
5. Teknologi baru, yaitu berkembangnya teknologi tepat guna yang sesuai dengan
kondisi, kebutuhan, aspirasi negara-negara, khususnya negara-negara muslim15.
Proses pembangunan yang mandiri hanya dapat terwujud jika negara tersebut
sudah bebas dari ”bantuan” asing serta mampu menguasai teknologi yang
berkembang dalam lingkungan sosial dan alam yang bebeda, teknologi itu
15 Khursid Ahmad, 1981: 182
selanjutnya akan diadaptasikan dengan kreatifitas sendiri. Karena itu, perlu ada
riset yang intensif dan luas.
6. Pertahanan. Al-Qur’an mengarahkan umat untuk senantiasa bersiap menghadapi
musuh16. Tindakan ini memerlukan satu dasar pertahanan yang bukan saja
tertumpu kepada tenaga ketentaraan, masalah yang mengikuti bidang yang lebih
menyeluruh, termasuk pembinaan kilang senjata, sistem hubungan yang bagus,
dan pengeluaran peralatan perang lainnya seperti kapal perang17.
7. Berkurangnya ketergantungan pada dunia luar dan dengan semakin menyatunya
kerjasama yang solid sesama negara-negara Muslim. Adalah tugas ummat sebagai
khalifah, bahwa ketergantungan pada dunia non-Islam dalam semua segi harus
diubah menjadi kemandirian ekonomi. Harga diri negara-negara muslim harus
dibangun kembali dan pembangunan kekuatan serta kekuasaan harus diwujudkan
secara bertahap. Ketahanan dan kemerdekaan dunia Islam serta kedamaian dan
kesentosaaan ummat manusia merupakan tujuan utama yang harus mewarnai
dalam perencanaan pembangunan. Karena itu perlu ada perubahan mendasar
dalam isi dan pola perencanaan pembangunan kita.
Penutup
Kajian tentang pertumbuhan (growth) dan pembangunan (development) ekonomi
dapat ditemukan dalam konsep ekonomi Islam. Konsep ini pada dasarnya telah
dirangkum baik secara eksplisit maupun implisit dalam Al-Qur’an, sunnah, maupun
pemikiran-pemikiran ulama Islam terdahulu, namun kemunculan kembali konsep ini,
khususnya beberapa dasawarsa belakangan ini terutama berkaitan kondisi negara-
16 Al-Qur’an 8: 60
17 Hasan uz-Zaman, 1979: 21-22
negara muslim yang terkebelakang yang membutuhkan formula khusus dalam
stratregi dan perencanaan pembangunannya.
Kekhasan pertumbuhan dan pembangunan dalam ekonomi Islam ditekankan pada
perhatian yang sangat serius pada pengembangan sumberdaya manusia sekaligus
pemberdayaan alam untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ini tidak
hanya diwujudkan dalam keberhasilan pemenuhan kebutuhan material saja, namun
juga kebutuhan dan persiapan menyongsong kehidupan akhirat.
BAB III
KESIMPULAN
Ekonomi Islam pada dasarnya memandang bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
bagian dari pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi didefenisikan dengan a
suistained growth of a right kind of output which can contribute to human welfare.
(Pertumbuhan terus-menerus dari faktor produksi secara benar yang mampu
memberikan konstribusi bagi kesejahteraan manusia).
Sedangkan istilah pembangunan ekonomi yang dimaksudkan dalam Islam
adalah the process of allaviating poverty and provision of ease, comfort and decency
in life (Proses untuk mengurangi kemiskinan serta menciptakan ketentraman,
kenyamanan dan tata susila dalam kehidupan)
Perkembangan perekonomian dunia selama dua abad ini telah menimbulkan dua
efek yang sangat penting, yaitu : pertama, kemakmuran atau taraf hidup yang
semakin meningkat yang dicapai oleh masyarakat dunia, kedua, terciptanya
kesempatan kerja baru kepada penduduk yang semakin bertambah jumlahnya.
Ekonomi pembangunan pada dasarnya telah melewati tiga fase yang berbeda,
yaitu : Fase pertama, adalah Ekonomi Pembangunan Klasik , Fase kedua, dimulai
setelah perang dunia kedua dan ketika sejumlah negara dunia ketiga memperoleh
kemerdekaannya , Sedangkan fase ketiga perhatian Ekonomi Pembangunan cendrung
anti kekuasaan (negara) dan kembali pro kepada kebebasan pasar ,
Ketiga fase tersebut, menunjukkan inkonsistensi dan ketidakpastian dalam
program pembangunan di negara-negara berkembang, khususnya di negara-negara
muslim. Karena ekonomi klasik, neoklasik, dan sosialis, semuanya lahir dari
pandangan dunia enlightenment, pendekatan mereka untuk mewujudkan
kesejahteraan manusia dan analisis mereka tentang problem-problem manusia adalah
sekuler.Harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah berlangsung beberapa
waktu lalu dan sampai saat ini berlangsung, juga banyak memberikan konstribusi
dalam menciptakan keajaiban-keajaiban ekonomi.
Dalam pertumbuhan ekonomi ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi
pertumbuhan itu sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Sumber daya yang dapat dikelola (invistible resources)
2. Sumber daya manusia (human resources)
3. Wirausaha (entrepreneurship)
4. Teknologi (technology)
Kesimpulannya, konsep dan kebijakan ekonomi yang berdasarkan kapitalisme
dan sosialisme, terbukti telah gagal mewujudkan perekonomian yang berkeadilan .
Akibat berpegang pada kedua faham tersebut terjadilah ketidakseimbangan
makroekonomi dan instabilitas nasional. Sistem kapitalis maupun sosialis jelas tidak
sesuai dengan sistem nilai Islam. Keduanya bersifat eksploitatif dan tidak adil serta
memperlakukan manusia bukan sebagai manusia. Kedua sistem itu juga tidak mampu
menjawab tantangan ekonomi, politik, sosial dan moral di zaman sekarang.
Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu ekonomi
Pembangunan Barat sama sekali tidak relevan dan tidak memenuhi syarat untuk
diterapkan di negara-negara Islam. Karena itu prinsip-prinsip teori ini harus ditinjau
kembali. Pendekatann yang jauh lebih kritis, harus dilakukan untuk mengobati
penyakit-penyakit yang sudah ditularkan kepada negara-negara Islam. Kekhasan
pertumbuhan dan pembangunan dalam ekonomi Islam ditekankan pada perhatian
yang sangat serius pada pengembangan sumberdaya manusia sekaligus
pemberdayaan alam untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ini tidak
hanya diwujudkan dalam keberhasilan pemenuhan kebutuhan material saja, namun
juga kebutuhan dan persiapan menyongsong kehidupan akhirat.
Konsep pertumbuhan ekonomi maupun ekonomi pembangunan akan tepat
digunakan bila keduanya bermuara pada upaya peningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara adil dan merata.
Pencapaian kesejahteraan ekonomi masyarakat tersebut sangat tergantung pada
cara melakukan distribusi pendapatan nasional.
tanggung jawab distribusi pendapatan sebagai bagian dari upaya pemerataan
kesejahteraan masyarakat tidak sematamata menjadi tanggung jawab pemerintah,
melainkan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat terutama bagi mereka
yang memiliki rejeki yang lebih.
Sistem ekonomi Islam yang mengedepankan kemaslahatan umat memandang
bahwa di samping merupakan tugas pemerintah, pemerataan ekonomi juga
menjadi tanggung jawab setiap masyarakat yang mampu, di antaranya melalui
zakat.
Zakat merupakan alat bantu sosial mandiri yang menjadi kewajiban moral bagi
orang kaya kepada orang miskin, sehingga kemelaratan dan kemiskinan dapat
terhapuskan.
Zakat merupakan penopang dan tambahan meringankan beban pemerintah dalam
menciptakan pemerataan dan pengurangan kemiskinan. (Eko Suprayitno, 2005:
34). Sehingga zakat tidak menghalangi pemerintah untuk mengadopsi ukuran-
ukuran fiskal dan skema redistribusi pendapatan lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Abdul Husein At-Tariqy, Al-Iqtishad Al-Islami, Ushuluhu wa Mubaun wa
Ahdaf, Dar An-Nafais, Kuwait, 1999
Abul Hasan M.Sadeq dan Aidit Ghazali, Readings in Islamic Economic Thought,
Malaysia, Loqman Malaysia, 1992.
Abul Hasan Muhammad Sadeq, Economic Growth in An Islamic Economy, tulisan
dalam Development and Finance in Islam, Malaysia, International Islamic University
Press, 1987
Ace Pce Pertadireja, Pengantar Ekonomika, Yogyakarta, BPFE, 1984
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam. Terj. Doktrin Ekonomi Islam, Dana
Bhakti Waqaf, Yogyakarta, 1995,
——————–, Muhammad As A Trader, London, The Muslim Schools Trust, 1982
trej. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta, Yayasan Swarna Bumi, 1997,
Anwar Ibrahim, The Asia Renaisance, terj Ihsan Ali fauzi, Renaisans Asia, Bandung,
Mizan, 1998
Carl Lidholm dan Donald Mead, Small Scale Enterprise : A Profile, diproduksi
kembali dari Small Scale Industries in Developing Countries : Empirical Epidence
and Policy Implication, Michigan State University Development Paper, dalam
Economic Impact,2, 1998
E.E.Hegen, On The Theory of Social Change, 1992, hlm 36. lihat juga H.W.Arndt,
Development Economic Before 1945, 1972
Ervin Laszlo, Millenium Ketiga, Tantangan dan Visi (terj.3Rd Millenium The
Challenge and Vision, Jakarta, Dinastindo, Adiperkasa Internasional, 1999)
Fritjop Capra, Titik balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Budaya,
ter. The Turning Point, Science, Society, and The Rising Culture), Yogyakarta,
Yayasan Betang Budaya, 1999
George Soule, Idea of the Great Economist, terj, Pemikiran Para Pakar Ekonomi
Terkemuka, Jakarta, Kanisius, 1994
Grahan Gudgin, Industrial Location Process and Employment Growth ( London :
Gower, 19978, dan lihat pula David Birch, The Job Generation, Process (Cambridge,
Mass : MIT Program on Neigbourhood and Regional Change, 1979.
Hasan Al-Banna, Majmu’at at-Rasail, Alexandaria, Darud Dakwah, 1989
Ian Litte, Tibor Scietovsky dan Maurice Scott, Industri and Trade in Some
Developing Countries (London , Oxford University Press, 1970, hlm.91
Kursyid Ahmad, Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam, dalam Etika
Ekonomi Politik, Risalah Gusti, Jakarta, 197
M.Abdul Mannan, Islamic Economiys, Theory and Practice, terj. M.Nastangin, Teori
dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bakti Waqaf, 1997
M.Umer Chapra, Islam and Economic Development, USA, The Internasional Institute
of Islamic Though (IIIT), 1992
——————–, Islam and The Economic Challenge, Terj. Dana Bhakti Wakaf
Yogyakarta, 1998
——————–, Islam and The Economic Challenge, The International Institute of
Islamic Thaought, (IIIT), USA, 1992. Edisi Indonesia, Islam dan Tantangan
Ekonomi, Risalah Gusti, Jakarta, 1999
——————–, Toward a Just Monetary System, terj.Ikhwan Abidin Basri, Sistem
Moneter Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 2002)
Mariluz Cortes, Albert Berry dan Asfaq Ishaq, Succses in Small and Medium Scale
Entreprise (diterbitkan untuk bank dunia oleh Oxford university Press, 1987
Mark Skousen, Economics on Trials : Lies, Myths, and Realities, (USA Bussiness
One Irwin, 1991)
Masudul Alam Choudhuri, Contributions to Islamic Economic Theory, New York :
St.Martin’s, Press, 1986
Michael P.Todaro, Economic Development in The Third World, New York, London,
Longman 1989
Muhammad M.Akram Khan, Economic Message of Quran, (Kuwait, Islamic Book
Published, 1996)
Muhammad Qal’ah Jey , Mabahits fi Al-Iqtishad al-Islamy, Dar An-Nafais, Kuwait
Muhammad Yunus, The Poor as the Engine of Development, dalam Economic
Impact, 2 (1988).
Munawar Iqbal, Financing Economic Development, dalam bukuAbul Hasan
Muhammad Sadeq
Richard Posner, The Essential Holmes, (Chicago : Chicago University Press, 1992
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Jakarta, PT.Raja Grafindo
Persada, 199, edisi II.
Sumitro Djojohadikusumo, Indonesia dalam Perkembangan Dunia : Kini dan Masa
Datang, (LP3ES, cet,v)
Sumitro Djoyohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta, Obor
Indonesia, 1991
Taqyuddin An-Nabhani, An-Nizaham al-Iqtishad Al-Islami, Darul ummah Beirut,
1990