ekonomi perbatasan

5
Ekonomi Perbatasan Saat ini ada sebanyak 349 kabupaten dan 91 kota yang termasuk sebagai daerah tertinggal, dimana sebanyak 39 kabupaten/kota diantaranya berada di wilayah perbatasan. Dari 39 kabupaten/kota wilayah perbatasan tersebut, sebanyak 38 kabupaten/kota memiliki 60 pulau terluar. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menetapkan sebanyak 183 kabupaten/kota daerah tertinggal sebagai fokus lokasi, dimana sebanyak 27 kabupaten/kota diantaranya terletak di kawasan perbatasan, yaitu 15 kabupaten/kota di kawasan perbatasan darat dan 12 kabupaten/kota, Di kawasan perbatasan laut yang memiliki 56 pulau terluar. 183 kabupaten/kota tertinggal yang menjadi fokus lokasi KPDT tersebut tersebar di 7 wilayah, yaitu: sebanyak 46 kabupaten/kota (25%) berada di wilayah Sumatera; 9 kabupaten/kota (5%) di wilayah Jawa dan Bali; 16 kabupaten/kota (9%) di wilayah Kalimantan; 34 kabupaten/kota (19%) di wilayah Sulawesi; 28 kabupaten/kota (15%) di wilayah Nusa Tenggara; 15 kabupaten/kota (8%) di wilayah Maluku; dan 33 kabupaten/kota (19%) di wilayah Papua. Sebanyak 128 kabupaten/kota atau sekitar 70% dari 183 kabupaten/kota tertinggal yang menjadi fokus lokasi KPDT berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), sedangkan 55 kabupaten/kota (30%) berada di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Pada level lokal, permasalahan yang dihadapi oleh daerah perbatasan adalah berupa keterisolasian, keterbelakangan, kemiskinan, mahalnya harga barang dan jasa, keterbatasan prasarana dan sarana pelayanan publik (infrastruktur), rendahnya kualitas SDM pada umumnya, dan penyebaran penduduk yang tidak merata. Sementara pada level nasional, permasalahan daerah perbatasan adalah berupa: Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada pembangunan daerah perbatasan serta masih kurangnya personil, anggaran, prasarana dan sarana, serta kesejahteraan; Terjadinya perdagangan lintas batas

Upload: umi-umi

Post on 05-Aug-2015

46 views

Category:

Business


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ekonomi perbatasan

Ekonomi Perbatasan

Saat ini ada sebanyak 349 kabupaten dan 91 kota yang termasuk sebagai daerah tertinggal, dimana sebanyak 39 kabupaten/kota diantaranya berada di wilayah perbatasan. Dari 39 kabupaten/kota wilayah perbatasan tersebut, sebanyak 38 kabupaten/kota memiliki 60 pulau terluar. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menetapkan sebanyak 183 kabupaten/kota daerah tertinggal sebagai fokus lokasi, dimana sebanyak 27 kabupaten/kota diantaranya terletak di kawasan perbatasan, yaitu 15 kabupaten/kota di kawasan perbatasan darat dan 12 kabupaten/kota,

Di kawasan perbatasan laut yang memiliki 56 pulau terluar. 183 kabupaten/kota tertinggal yang menjadi fokus lokasi KPDT tersebut tersebar di 7 wilayah, yaitu: sebanyak 46 kabupaten/kota (25%) berada di wilayah Sumatera; 9 kabupaten/kota (5%) di wilayah Jawa dan Bali; 16 kabupaten/kota (9%) di wilayah Kalimantan; 34 kabupaten/kota (19%) di wilayah Sulawesi; 28 kabupaten/kota (15%) di wilayah Nusa Tenggara; 15 kabupaten/kota (8%) di wilayah Maluku; dan 33 kabupaten/kota (19%) di wilayah Papua. Sebanyak 128 kabupaten/kota atau sekitar 70% dari 183 kabupaten/kota tertinggal yang menjadi fokus lokasi KPDT berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), sedangkan 55 kabupaten/kota (30%) berada di Kawasan Barat Indonesia (KBI).

Pada level lokal, permasalahan yang dihadapi oleh daerah perbatasan adalah berupa keterisolasian, keterbelakangan, kemiskinan, mahalnya harga barang dan jasa, keterbatasan prasarana dan sarana pelayanan publik (infrastruktur), rendahnya kualitas SDM pada umumnya, dan penyebaran penduduk yang tidak merata. Sementara pada level nasional, permasalahan daerah perbatasan adalah berupa:

Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada pembangunan daerah perbatasan serta masih kurangnya personil, anggaran, prasarana dan sarana, serta kesejahteraan; Terjadinya perdagangan lintas batas illegal; Kurangnya akses dan media komunikasi serta informasi dalam negeri; Terjadinya proses pemudaran (degradasi) wawasan kebangsaan; Illegal logging dan illegal fishing oleh negara tetangga; serta belum optimalnya koordinasi lintas sektoral dan lintas wilayah dalam penanganan wilayah perbatasan. Pada level internasional, permasalahan daerah perbatasan adalah berupa kesenjangan prasarana dan sarana yang terjadi pada daerah perbatasan khususnya (RI-Malaysia).

Masyarakat perbatasan lebih memilih pergi ke negara tetangga dikarenakan hampir seluruh wilayah kecamatan di perbatasan tidak memiliki akses jalan menuju ibukota kabupaten. Yang tidak kalah penting, adalah rendahnya daya saing penduduk setempat dibandingkan dengan negara tetangga. Strategi pembangunan kawasan perbatasan dilakukan dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi pada sentra-sentra kawasan perbatasan yang potensial melalui basis ekonomi kerakyatan dengan tersedianya infrastruktur yang memadai;

Page 2: Ekonomi perbatasan

Menciptakan stabilitas politik yang kondusif dan konstruktif guna mendukung pelaksanaan pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan; Meletakkan pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan utama dengan meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat di kawasan perbatasan secara nyata; dan Meningkatkan kinerja manajemen pembangunan melalui kualitas aparatur pemerintah, sehingga mampu menjadi fasilisator pelaksanaan pembangunan kawasan perbatasan. Dalam rangka mempercepat pembangunan kawasan perbatasan, maka perlu ditetapkan Otorita Kawasan Perbatasan dan pintu masuk (gate) ke negara tetangga, yang secara khusus diatur sesuai dengan semangat kerja sama dan potensi wilayah yang ada.

Kebijakan pembangunan daerah perbatasan dimaksudkan untuk mendorong kebijakan afirmatif tentang pembiayaan dan pengembangan fiskal daerah tertinggal, mendorong Tata Kelola sumber daya alam daerah tertinggal berbasis komoditas unggulan, mendorong dan meningkatkan kualitas SDM melalui program penguatan pendidikan dan kesehatan masyarakat, merumuskan arah dan kebijakan pembangunan pusat dan daerah, serta proaktif melakukan koordinasi dengan seluruh stakeholder pembangunan daerah tertinggal. Berikut Beberapa Pemberitaan Tentang Ekonomi Perbatasan :

Menghadirkan Semangat Asean di Perbatasan

Proposal Indonesia tentang Masyarakat ASEAN diterima pada Bali Concord tahun 2003. Empat tahun kemudian, ASEAN Charter dan cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN ditandatangani. ASEAN Charter mulai berlaku Desember 2008, sedangkan Masyarakat ASEAN ditargetkan berwujud paling lambat tahun 2015. Masyarakat ASEAN memiliki tiga pilar, yakni komunitas politik-keamanan, komunitas sosial-budaya, dan komunitas ekonomi.

Jangan bayangkan ASEAN seperti Uni Eropa. ASEAN tak menggunakan istilah integrasi, melainkan masyarakat atau komunitas. Sejak awal ASEAN menggunakan istilah kerja sama ekonomi ketimbang integrasi ekonomi. Perangkat kerja samanya pun tak mengarah pada penyatuan ekonomi, semisal mata uang tunggal ASEAN. Walaupun demikian, ASEAN tergolong maju dalam kerja sama ekonomi. Praktis tak ada lagi hambatan perdagangan dalam bentuk tarif bea masuk. Hambatan nontarif pun terus dikikis lewat standardisasi dan harmonisasi peraturan.

ASEAN praktis sudah merupakan satu pasar yang terintegrasi. Perdagangan intra-ASEAN tumbuh pesat, mencapai 500 miliar dollar AS tahun 2010. Peningkatan nilai perdagangan intra-ASEAN ternyata tidak menimbulkan trade diversion sebagaimana terlihat dari nilai perdagangan ASEAN dengan mitra dagang utama (Jepang, Uni Eropa, China, Amerika Serikat, Korea Selatan, Australia, India) yang juga terus naik hingga lebih dari 1 triliun dollar AS. Betapa besar daya tarik ASEAN terlihat dari kenyataan hampir seluruh kawasan di dunia telah menjalin kerja sama formal dengan ASEAN.

Page 3: Ekonomi perbatasan

Dengan perdagangan bebas intra-ASEAN, perusahaan di luar ASEAN kian tertarik menanamkan modalnya di ASEAN karena tak lagi harus membangun pabrik di setiap negara ASEAN. Mereka bisa mewujudkan keekonomian skala sehingga produk yang dihasilkan lebih berdaya saing, baik di pasar maupun di luar ASEAN. ASEAN menjadi basis produksi yang kian menarik. Negara anggota ASEAN yang paling banyak menikmati manfaat adalah yang memiliki iklim investasi dan iklim berusaha yang paling menarik.

Jika diurai satu demi satu, dengan mudah bisa ditunjukkan bahwa kita masih tercecer. Keunggulan sumber daya alam dan tenaga kerja terkikis oleh buruknya infrastruktur, perpajakan yang tidak kompetitif, kebijakan industrial yang tambal sulam, serta ketiadaan jaring-jaring pengaman pasar dan pengaman sosial yang memadai. Ditambah sektor keuangan kita yang masih dangkal.

Bagaimana mungkin kita bisa berpacu dengan negara ASEAN lain kalau sektor keuangan yang merupakan jantung perekonomian teramat sangat lemah sehingga tak sanggup memompakan darah ke sekujur organ tubuh perekonomian. Lebih parah lagi, ASEAN plus 3 sudah punya mekanisme kerja sama di sektor keuangan untuk mengantisipasi krisis finansial, tetapi kita sendiri tak punya jaring pengaman sektor keuangan jika terjadi krisis seperti yang menimpa Bank Century. Bagaimana mungkin kita bisa tegak berunding di ASEAN plus 3 kalau diri sendiri saja masih oleng.

Kalau begini terus, kita bakal jadi santapan negara ASEAN lain dan perusahaan transnasional. Kita bakal sekadar jadi pasar bagi mereka. Paling banter mereka datang ke sini untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Sekadar tebang, petik, dan keruk, lalu diekspor. Lalu bahan baku itu diolah di negara-negara ASEAN lain, produk jadinya dikirim kembali ke sini dengan nilai tambah yang sudah berlipat ganda. Barangkali kita lupa satu hal yang paling mendasar. Kita kian getol mengintegrasikan perekonomian domestik dengan perekonomian global dan regional, tetapi kita abai mengintegrasikan terlebih dahulu—atau secara bersamaan sekalipun—perekonomian domestik.

Belum banyak berbuat untuk mengintegrasikan perekonomian domestik, derap kerja sama ASEAN kian kencang. Kini muncul gagasan matang tentang ASEAN Connectivity, suatu upaya untuk mengintegrasikan aspek geografis dan interaksi manusia. Jika terwujud, jarak ekonomi intra-ASEAN kian dekat, lebih dekat ketimbang jarak geografis. Sekarang saja, jarak ekonomi Padang-Jakarta jauh lebih panjang ketimbang jarak Jakarta Singapura. Ongkos angkut kontainer dari Padang ke Jakarta sebesar 600 dollar AS, jauh lebih mahal dari ongkos Jakarta-Singapura yang hanya 185 dollar AS. Ongkos angkut barang intrapulau dan antarpulau di sini juga serupa mahalnya sehingga keberagaman potensi yang ada tak bisa disinergikan untuk meningkatkan daya saing nasional.

Page 4: Ekonomi perbatasan

Posisi Indonesia dalam ASEAN Connectivity tampaknya juga tak jelas. Sepatutnya kita mengajukan proyek bersama untuk memperkokoh integrasi perekonomian domestik dengan penguatan transportasi laut. Ternyata, yang kuat dalam ASEAN Connectivity adalah konsep integrasi darat. Lebih ganjil lagi, pemerintah lebih gandrung memperkokoh konsep integrasi darat dengan megaproyek jembatan Selat Sunda. Jembatan Selat Sunda tak akan menolong ”jeruk medan” bersaing dengan jeruk dari China karena jeruk medan diangkut truk berkapasitas hanya 10 ton, sedangkan jeruk dari China diangkut kapal dengan fasilitas pengatur suhu berkapasitas 30.000 ton.

Masyarakat ASEAN bakal segera terwujud. Namun, kalau kita tak kunjung mengubah visi dan orientasi pembangunan, mungkin kita hanya akan termangu di serambi ASEAN saja. Musuh kita ternyata ada di dalam diri kita sendiri, terutama kelompok-kelompok kepentingan pemburu rente.