eksplorasi dan identifikasi fungi mikoriza arbuskula …
TRANSCRIPT
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
212
EKSPLORASI DAN IDENTIFIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
(FMA) Indigenous PADA TANAH BEKAS TAMBANG BATUBARA
Adi Parulian Lubis1, Hamzah2, Rike Puspitasari Tamin2
1Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Jambi 2Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Jambi
+6285311713971
email: [email protected]
ABSTRAK
Intervensi guna mencapai keberhasilan dalam mereklamasi lahan bekas tambang batubara
sangat diperlukan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan guna mengimplementasikan
hal tersebut adalah penggunaan teknologi isomik (isolat mikroba) seperti penggunaan
mikoriza.Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi jenis – jenis
FMA lokal (Indigenous) serta mempelajari pola sebaran FMA yang terdapat pada tanah
bekas tambang batubara. Penelitian dilaksanakanpada bulan Maret sampai Mei 2018.
Pengambilan contoh tanah dilakukanpada enam lokasi berbeda secara purposive
sampling pada kedalaman 0 cm-20 cmdi perusahaan tambang batubara PT Nan Riang di
Desa Ampelu Mudo, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari, sedangkan
isolasi dan identifikasi spora dilakukan diLaboratorium Fisika Tanah dan Mineralogi
Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
5genus FMA Indigenous (16 jenisGlomus, 5 jenis Acaulospora, 3 jenis Scutellospora, 1
jenis Gigaspora, dan 2 jenis Entrophospora) yang berpotensi dapat dikembangkan untuk
kegiatan reklamasi pada lahan bekas tambang batubara.
Kata Kunci: Lahan bekas tambang batubara; Eksplorasi; Identifikasi; Mikoriza;
indigenous; dan Reklamasi
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
213
PENDAHULUAN
Penambangan terhadap sumber daya alam merupakan salah satu aktivitas manusia
yang mampu merusak secara ekstrim lahan hutan. Kegiatan penambangan yang saat ini
marak terjadi meliputi eksploitasi terhadap minyak bumi, emas, tembaga, timah, dan
batubara. Secara umum kegiatan penambangan dapat memberikan keuntungan ekonomis
yang menjanjikan, tetapi di sisi lain juga memberikan dampak kerusakan terhadap
ekosistem tanah dan lingkungan (Ardhana, 2011; Budiana et al., 2017). Di Provinsi
Jambi, teknik penambangan terbuka (open pit mining) dengan metode gali-isi kembali
merupakan teknik penambangan yang paling banyak diterapkan. Banyak dampak yang
terjadi sebagai akibat dari kegiatan penambangan terbuka salah satunya yaitu degradasi
lahan. Karakteristik lahan yang mengalami degradasi pada daerah tambang meliputi
hilangnya lapisan top soil pada permukaan tanah, terjadi pemadatan tanah, kemampuan
menahan air rendah sehingga sangat beresiko kekeringan, sangat miskin unsur hara,
akumulasi toksik dan reaksi tanah (pH) masam (Margarettha, 2011; Purnamayani et al.,
2016). Adanya intervensi dalam kegiatan rehabilitasi kawasan hutan bekas penambangan
sangat dibutuhkan guna mempercepat proses suksesi (Prayudyanigsih, 2014). Upaya
yang dapat dilakukan guna memperbaiki lahan bekas tambang terdegradasi yaitu dengan
cara memadukan pembenahan tanah, pemilihan jenis dan penerapan teknik silvikultur
yang tepat (Maharani et al., 2010a). Salah satu teknik silvikultur yang dapat digunakan
untuk mengimplementasikan hal tersebut adalah penerapan teknologi isomik (isolat
mikroba) atau pemanfaatan mikroba tanah potensial seperti mikoriza (Margarettha, 2011;
Prayudyanigsih, 2014).
FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) indigenous memiliki potensi yang tinggi untuk
membentuk infeksi yang ekstensif karena mengenali tanaman inangnya, selain itu FMA
indigenous memiliki sifat toleransi yang lebih tinggi terhadap kondisi lingkungan dengan
cekaman yang sangat tinggi (Delvian, 2006). Kepadatan populasi dan komposisi jenis
FMA sangat beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan faktor lingkungan
seperti suhu, pH tanah, kelembaban tanah, kandungan fosfor dan inangnya. Dengan
demikian, setiap ekosistem mempunyai kemungkinan dapat mengandung FMA dengan
jenis yang sama atau bisa juga berbeda, keanekaragaman dan penyebaran FMA sangat
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
214
bervariasi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang bervariasi juga (Puspitasari et
al., 2012).
Semua FMA tidak mempunyai sifat morfologis dan fisiologis yang sama sehingga
sangat penting untuk mengetahui identitasnya (Budi, 2009dalam Hartoyo et al., 2011).
Informasi mengenai keanekaragaman FMA pada lahan bekas tambang batubara masih
sangat sedikit sekali, sehinggaperlu dilakukan ekplorasi dan identifikasi. Penelitianini
bertujuan untuk mendapatkan mikoriza indigenous serta mengetahui pola sebaran spora
FMA yang terdapat pada lahan bekas tambang batubara melalui identifikasi tingkat
genus.
BAHAN DAN METODE
2.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Areal Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara
PT Nan Riang di Desa Ampelu Mudo, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten
Batanghari serta Laboratorium Fisika Tanah dan Mineralogi Fakultas Pertanian
Universitas Jambi. Penelitian ini dilaksanakan dari Maret sampai Mei 2018.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
215
2.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan antara lain adalah sampel tanah dari beberapa 5sitelokasi
dengan perbedaan kondisi lahan yaitu hutan alam sekunder (HS),Disposal aktif (DA),
Disposal tidak aktif (DT),Tegakan jabon umur 1 tahun (JT1), dan Tegakan jabon umur 6
tahun (JT6), gula pasir, larutan melzer (chloral hyarase, potasium iodide) sebagai bahan
pewarna spora dan PVLG (polyvinyl alcohol lacticacid glycerol) sebagai bahan pengawet
spora.
Sedangkan alat yang digunakan yaitu saringan yang disusun bertingkat dengan
ukuran 250 µm; 45 µm; dan 38 µm, pipet spora, cawan petri, mikroskop binocular,
mikroskop stereo, botol semprot, kaca preparat, kaca penutup, kaca arloji, batang
pengaduk, gelas piala, tabung sentrifuse, rak tabung, sentrifuse, kantong plastik, bor
tanah, kertas label, spidol, kamera digital, tissue, pemungut spora tunggal, dan GPS.
2.3 Metode Penelitian
Penentuan titik pengambilan sampel tanah menggunakan teknik purposive
random sampling, sampel tanah diambil pada kedalaman 0 cm-20 cm dengan 6 kali
ulangan pada masing – masing site kemudian dikompositkan.Kemudian masing-masing
sampel tanah ditimbang sebanyak 50 g dengan 2 kali ulangan. Pengamatan spora awal,
teknik yang digunakan adalah tuang saring dari Pacione (1992) yang dilanjutkan dengan
sentrifugasi dari Brundrett et al.(1996) yang dimodifikasi. Sampel tanah 50 g dicampur
dengan air sebanyak 200-300 ml kedalam gelas piala kemudian diaduk hingga butiran-
butiran tanah hancur, kemudian tuangkan suspense tanah ke penyaring bertingkat dengan
ukuran mata saring 250 µm, 45 µm, dan 38 µm secara berurutan dari atas ke bawah.
Hasil saringan 45 µm, dan 38 µm dituang kedalam tabung sentrifuselalu
disentriufuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit, selanjutnya larutan bagian atas
dibuang dan endapan tanah yang terdapat dibagian bawah tabung sentrifuse diberi larutan
gula 60% 1/3 bagiannya kemudian diaduk secara perlahan dengan menggunakan batang
pengaduk sampai tanah dan larutan gula tercampur rata lalu kemudian kembali
disentrifuse dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit. Hasil sentrifuse selanjutnya
disaring pada saringan 38 µm sambil dibilas dengan air mengalir hingga tidak ada larutan
gula yang tersisa, hasil penyaringan dipindahkan kedalam cawan petri untuk diamati
jumlah dan morfologi spora.
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
216
2.3 Analisis Data
Variabel yang diamati adalah karakter morfologi spora (warna spora, lapisan
dinding spora, ornamen spora, serta rekasi spora terhadap larutan melzer), kemudian
analisis sifat kimia tanah meliputi kandungan C-organik (metode Walkley dan Black),P-
tersedia (metode Bray I), pH (metode pH meter).
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Lokasi Pengambilan Sampel
Adanya kegiatan penambangan dikawasan hutan yang mengakibatkan perubahan
bentang alam menjadi terbentuknya lubang yang cukup besar serta dalam (Waste
dump/Disposal) mengakibatkan terjadinya penurunan nilai pH yakni dari 3.96 (Hutan
sekunder) menjadi 3.20 (Disposal aktif). Pada sistem penambangan terbuka, seluruh
lapisan tanah diatas deposit biji tambang dikupas sehingga biji tambang dapat
terambil.Terkupasnya lapisan tanah memungkinkan lapisan batuan yangmengandung
sulphurbersentuhan denganoksigen melaluiudara atau air.Proses oksidasi
inimenghasilkan hidrogen dan sulfat yang mengakibatkan tanah dan air sangat
masamatau memiliki pH sangat rendah. (Maharani et al., 2010a). Kemudian pHtanah
Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia tanah 5 lokasi site kawasan operasi pertambangan
batubara PT Nan Riang
*Sumber: Pusat Penelitian Tanah (1983)
cenderung mengalami peningkatan setelah adanya proses back filling hingga
dilakukannya proses reklamasi dengan tanaman jabon 1 tahun setelah tanam dan 6 tahun
Lokasi pH Ket* C-organik
(%) Ket*
P-
Tersedia
(ppm)
Ket*
Hutan sekunder 3.96 Sangat
masam 1.44 Rendah 5.51 Rendah
Disposal aktif 3.20 Sangat
masam 0.71
Sangat
rendah 9.04 Sedang
Disposal tidak aktif 4.17 Sangat
masam 3.18 Tinggi 7.17 Sedang
Jabon 1 tahun tanam 4.53 Masam 1.24 Rendah 8.45 Sedang
Jabon 6 tahun tanam 4.84 Masam 2.63 Sedang 5.59 Rendah
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
217
setelah tanam, hal ini disebabkan oleh adanya pemberian kapur dolomit (CaMg(CO3)2)
pada permukaan tanah disposal yang belum dilakukan penanaman setelah penimbunan
serta pemerataan lubang tambang dilakukan. Sheoran et al. (2010) menyebutkan bahwa
penambahan kapur merupakan metode umum yang dapat digunakan guna menurunkan
mobilitas logam berat dalam tanah dan akumulasinya karena meningkatkan pH dari
tanah. Selain itu, berdasarkan sampel tanah yang telah dianalisis membuktikan bahwa
proses pertambangan dengan metode open pit mining ini juga menyebabkan terjadinya
perbedaan kandungan C-organik dan P-tersedia pada setiap site pengambilan sampel
tanah.
3.2 Karakter Morfologi Spora
Berdasarkan hasil identifikasi FMA yang telah dilakukan pada lima lokasi
kawasan operasi tambang batubara ditemukan 5 jenis genus FMA yaitu Glomus,
Acaulospora, Scutellospora, Entrophospora, dan Gigaspora.Hasil identifikasi genus
FMA Tabel 2 pada beberapa lokasi kawasan operasi pertambangan batubara PT Nan
Riang menunjukan bahwa genus Glomus terdapat pada setiap lokasi dari semua ulangan
yang dilakukan. Hal ini dikarenakan genus Glomus lebih tinggi penyebarannya jika
dibandingkan dengan genus yang lain.
Tabel 2. Genus FMA sampel tanah beberapa lokasi kawasan operasi pertambangan
batubara PT Nan Riang
Lokasi Ulangan Genus FMA
HS1 1 2 (Glomus, Acaulospora)
2 2 (Glomus, Acaulospora)
HS2I 1 3 (Glomus, Acaulospora, Gigaspora)
2 1 (Glomus)
HS2II 1 2 (Glomus, Scutellospora)
2 1 (Glomus)
DA 1 2 (Glomus, Scutellospora)
2 2 (Glomus, Acaulospora)
DT 1 2 (Glomus, Acaulospora)
2 3 (Glomus, Acaulospora, Scutellospora)
JT1 1 2 (Glomus, Acaulospora, Entrophospora)
2 3 (Glomus, Acaulospora, Scutellospora)
JT6
1 4 (Glomus, Acaulospora, Scutellospora,
Entrophospora)
2 2 (Glomus, Acaulospora)
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
218
Keterangan :HS = Hutan sekunder; DA = Disposal aktif; DT = Disposal tidak aktif; JT1 = Jabon
umur 1 tahun setelah tanam; JT6 = Jabon umur 6 tahun setelah tanam
Lebih lanjut Margarettha (2011) juga menyebutkan bahwa genus Glomus merupakan tipe
spora yang paling sering ditemukan per 50 gsampel tanah bekas tambang batubara baik
pada tanah timbunan (stock pile) maupun tanah kupasan. Hasil identifikasi dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil identifikasi spora genus FMA sampel tanah beberapa lokasi kawasan
operasi pertambangan batubara PT Nan Riang
NO Tipe Spora* Karakteristik
Morfologi Spora Lokasi
1
Glomus aggregatum
Berbentuk oval, berwarna coklat bening
hingga kuning cerah, permukaan halus,
tidak bereaksi dengan larutan melzer,
tidak memiliki perhiasan, terdapat
sporocarp.
HS2, JT6
2
Glomus aurantium
Berbentuk bulat, berwarna kuning cerah,
memiliki 4 lapis dinding spora,
Permukaan halus,Tidak bereaksi dengan
larutan melzer.
HS2
3
Glomus boreale
Berbentuk bulat hingga oval, memiliki
attachment, berwarna coklat kemerahan,
Permukaan spora halus, Tidak bereaksi
dengan larutan melzer.
HS1, HS2
4
Glomus clarum
Berbentuk bulat hingga oval, berwarna
kuning gelap, Permukaan halus, Tidak
bereaksi dengan larutan melzer,
memiliki attachment, memiliki 3 lapis
dinding spora.
DA, DT,
HS1,
HS2, JT1,
JT6
5
Glomus constrictum
Berbentuk bulat, berwarna coklat gelap,
memiliki dinding spora sebanyak 2 lapis,
memiliki attachment, tidak bereaksi
dengan larutan melzer
DT, HS1,
HS2, JT1
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
219
6
Glomus canadense
Berbentuk agak lonjong, berwarna
kuning gelap, memiliki 2 lapisan dinding
spora, permukaan halus, tidak bereaksi
dengan larutan melzer,
terdapatattachment.
HS2, JT1
7
Glomus mosseae
Berbentuk oval, spora berwarna kuning,
permukaan spora granular, tidak
bereaksi dengan larutan melzer,
memiliki 2 lapis dinding spora.
HS2, JT1
8
Glomus deserticola
Berbentuk oval, spora berwarna coklat
gelap kemerahan, permukaan halus,
tidak bereaksi dengan larutan melzer,
memiliki attachment, memiliki 2 lapis
dinding spora.
DT, HS1,
HS2, JT1,
JT6
9
Glomus intraradices
Berbentuk bulat globular hingga oval,
spora berwarna coklat kemerahan,
permukaan halus, tidak bereaksi dengan
larutan melzer, memiliki 2 lapis dinding
spora.
DA, DT,
HS1,
HS2, JT1
10
Glomus sp-1
Berbentuk bulat hingga oval ataupun,
berwarna hialin, permukaan halus, tidak
bereaksi dengan larutan melzer,
memiliki 2 lapis dinding spora
DA, DT,
HS1,
HS2, JT1,
JT6
11
Glomus sp-2
Berbentuk bulat, spora berwarna kuning
kecoklatan, permukaan berbintik-bintik
kecil, tidak bereaksi dengan larutan
melzer, memiliki 2 lapisan dinding spora
yang tipis
HS1, HS2
12
Glomus sp-3
Berbentuk oval, spora berwarna kuning
kecoklatan cerah, permukaan halus,
tidak bereaksi dengan larutan melzer,
memiliki 2 lapisan spora yang tipis
DA, DT,
HS2, JT1,
JT6
13
Glomus sp-4
Berbentuk bulat, berwarna hialin,
permukaan halus, tidak bereaksi dengan
larutan melzer, memiliki attachment
(tanda panah), dinding terluar berwarna
bening, bagian dalam berwarna kuning
cerah, memiliki 4 lapis dinding spora
DA, DT,
HS2, JT1
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
220
14
Glomus sp-5
Berbentuk globular, berwarna putih
bening, permukaan halus, tidak bereaksi
dengan larutan melzer, memiliki
attachment, bagian dalam berwarna
coklat kehitaman, memiliki 3 lapis
dinding spora.
DT, JT1
15
Rhizophagus
fasciculatus
Berbentuk agak bulat lonjong, berwarna
kuning kecoklatan, permukaan halus,
tidak bereaksi dengan larutan melzer,
memiliki attachment, memiliki 3 lapisan
dinding spora, lapisan terluar berwarna
coklat.
DA, HS2
16
Rhizophanus
diaphanus
Berbentuk oval, berwarna hialin,
permukaan halus, tidak bereaksi dengan
larutan melzer, memiliki 3 lapis dinding
spora, spora memiliki attachment.
DA, DT,
JT1
17
Acaulospora
colombiana
Berbentuk globular, berwarna kuning
kecoklatan, permukaan tidak rata, bagian
dalam spora bereaksi terhadap larutan
melzer berwarna coklat gelap, memiliki
3 lapis dinding spora, memiliki
attachment.
DA, JT1,
JT6
18
Acaulospora exavata
Berbentuk hingga ellipsoid, berwarna
kuning cerah, permukaan spora halus,
bagian dalam spora bereaksi terhadap
larutan melzer berwarna kuning,
memiliki 3 lapis dinding spora, memiliki
attachment
DT, JT1,
JT6
19
Acaulospora
lacunose
Berbentuk bulat, berwarna kuning
kecoklatan, permukaan halus, bagian
dalam spora bereaksi terhadap larutan
melzer berwarna coklat gelap, memiliki
3 lapis dinding spora, memiliki saccule.
HS1, HS2
20
Acaulospora
scrobiculata
Berbentuk bulat, berwarna hialin.
permukaan berbintik - bintik, lapisan
luar tidak bereaksi dengan larutan
melzer, lapisan dalam bereaksi dengan
larutan melzer, memiliki 3 lapis dinding
spora.
DA, JT1
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
221
21
Scutellospora
biomata
Berbentuk oval, berwarna kuning,
permukaan tidak rata, bereaksi secara
menyeluruh dengan larutan melzer.
Lapisan dinding spora tipis (± 2 lapis),
terdapat germination shield.
DA, DT,
HS2
22
Acaulospora sp-1
Berbentuk bulat, berwarna bening,
permukaan halus, bagian dalam spora
bereaksi terhadap larutan melzer
berwarna gelap, memiliki 3 lapis dinding
spora, memiliki attachment.
DT, JT1
23
Entrophospora sp-1
Berbentuk oval, berwarna hialin,
terdapat beberapa cicatrix, lapisan luar
spora berwarna bening, lapisan dalam
berwarna kuning cerah, permukaan
spora berbintik bintik kecil, tidak
bereaksi dengan larutan melzer, Lapisan
dinding spora 3 lapisan.
JT1, JT6
24
Scutellospora sp-1
Berbentuk bulat, berwarna hialing
dengan lapisan dalam kuning,
permukaan spora bergelombang,
bereaksi dengan larutan melzer,
Terdapat germination shield.
JT1
25
Entrophospora sp-2
Berbentuk oval, berwarna kuning gelap,
terdapat beberapa cicatrix,lapisan luar
spora berwarna bening, permukaan
berbintik bintik kecil, tidak bereaksi
dengan larutan melzer. Lapisan dinding
spora 3 lapisan.
JT1
26
Gigaspora nigra
Berbentuk oval, spora berwarna merah
cerah, permukaan spora berbintik-bintik,
bereaksi dengan melzer secara
menyeluruh. memiliki lapisan 2 lapisan
dinding spora.
HS2
27
Scutellospora sp-2
Berbentuk oval, berwarna hialin dengan
lapisan dalam kuning cerah, permukaan
bergelombang hingga berbintik-bintik,
bereaksi dengan larutan melzer.
Terdapat germination shield.
HS2
*Keterangan: Penduan Identifikasi Semane et al., 2018
3.3Kelimpahan Spora
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
222
Jumlah FMA tergolong banyak apabila dalam 50 gram tanah terdapat 5–100 spora
berukuran besar atau 50–500 spora berukuran kecil (Brundrett et al., 1996). Kepadatan
spora per 50 g tanah berbeda – beda tiap lokasi site pengambilan sampel. Hal itu
dikarenakan adanya perbedaan kondisi lingkungan sebagai dampak dari proses kegiatan
pertambangan, yakni perubahan kondisi lahan yang awalnya bervegetasi hutan kemudian
ditambang hingga proses reklamasi dilakukan. Adanya proses tersebut menyebabkan
perubahan kondisi lingkungan (pH, hara tanaman, ketinggian tempat, dan cahaya) yang
berdampak langsung terhadap kepadatan spora. Hal ini menunjukkan bahwa pH tanah,
kandungan hara tanah dan musim sangat berpengaruh terhadap proses kolonisasi dan
pembentukan spora (Margarettha, 2011; Setiadi (1990) dalam Husna et al., 2005).
Gambar 2. Kelimpahan spora FMA pada kawasan operasi tambang batubara PT Nan
Riang
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kepadatan spora pada hutan
sekunder setelah penambangan dan kemudian kepadatan spora kembali meningkat
setelah proses suksesi alami dan reklamasi dilakukan. Lokasi disposal aktif memiliki pH
yang paling rendah dibandingkan dengan lokasi lainnya yaitu 3,2. Hal ini menjadi salah
satu peyebab kurang maksimalnya perkembangan spora. Menurut Setiadi (1992)dalam
Nurhandayani et al.(2013) mengatakan bahwa perkembangan FMA yang optimal
berkisar pada pH 3,9-5,9.Brundrett et al.(1996) menyebutkan bahwa terjadinya asosiasi
mikoriza melibatkan tiga aspek yang saling berinteraksi antara jamur, tanaman inang, dan
77.5 74.5
60.5
18
78.586
41.5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Rata-rata ∑ spora/50g sampel tanah
Kepadatan spora FMA/50g tanah
HS1 HS2I HS2II DA DT JT1 JT6
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
223
faktor tanah. Pada site disposal aktif sangat sedikit sekali dijumpai tumbuhan yang
tumbuh, hal ini menjadi penyebab tambahan rendahnya nilai kepadatan spora pada site
disposal aktif karena tidak tersedianya salah satu faktor yang memungkinkan terjadi
asosiasi mikoriza yakni tanaman inang. Tingginya kandungan P-tersedia pada site
disposal aktif tidak begitu berdampak nyata terhadap tingginya kepadatan spora, karena
pH yang rendah mengakibatkan unsur P difiksasi oleh unsur lain. Hardjowigeno (2007)
mengatakan bahwa pada tanahmasam, unsur fosfor (P) tidak dapat diserap oleh tanaman
karena difiksasi olehunsur lainnya.
Pada site disposal tidak aktif dan jabon berumur 1 tahun setelah tanam terdapat
peningkatan kepadatan spora yang cukup signifikan, apabila dibandingkan dengan
kepadatan spora seluruh site pengambilan sampel tanah perbedaan tersebut diduga
disebabkan oleh kondisi kawasan disposal tidak aktif yang didominasi tumbuhan-
tumbuhan muda pioneer dan didukung dengan kondisi pH yang cukup ideal untuk
perkembangan spora mikoriza yaitu 4.17 yang bersifat sangat masam dan kandungan P-
tersedia bernilai 7.17 ppm yang masuk kedalam kelas sedang serta kandungan C-organik
dengan nilai 3.18% yang termasuk kedalam kelas tinggi. Terjadinya penurunan jumlah
kepadatan spora pada site jabon 1 tahun setelah tanam dibandingkan dengan site jabon
berumur 6 tahun setelah tanam salah satunya diduga disebabkan oleh rendahnya
kandungan C-organik pada site jabon berumur 1 tahun. Kandungan C-organik rendah
secara tidak langsung menunjukkan rendahnya produksi bahan organik pada tanah site
jabon 1 tahun, karena bahan organik tanah merupakan salah satu parameter yang
menentukan kesuburan tanah (Prabowo dan Subantoro, 2017). Dengan begitu, rendahnya
kesuburan tanah pada site jabon 1 tahun setelah tanam diduga menjadi penyebab
tingginya kepadatan spora yang memungkinkan spora menginfeksi perakaran guna
memperoleh serapan hara untuk mencukupi kebutuhan tanaman jabon.Jumlah populasi
spora cenderung menurun apabila kandungan hara cukup. Smith dan Read (1997) dalam
Yassir dan Mulyana (2006) menjelaskan hal yang sama pada konsentrasi hara yang
rendah mengakibatkan meningkatnya persen kolonisasi antara tanaman dan jamur, yang
mungkin akan meningkatkan kolonisasi pada akar dan produksi spora. Selain itu memang
jamur mikoriza bersifat opurtunis ekonomis, pada kondisi tingkat kesuburan baik, maka
jamur mikoriza tidak akan menjadi aktif. Kondisi ini tentu berkaitan dengan sifat
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
224
simbiosis mutualistik, dimana pada saat kesuburan tanah baik maka tidak ada kebutuhan
tanaman untuk meminta bentuan dengan jamur mikoriza.
Tabel 4. Persentasi kolonisasi akar oleh FMA pada tanaman jabon di lokasi kawasan
operasi pertambangan batubara PT Nan Riang.
Lokasi Rataan
Suhu (OC) Kelembapan (%)
Hutan Sekunder 31 62
Disposal Aktif 37 40
Disposal Tidak Aktif 34 53
Jabon 1 Tahun 33 56
Jabon 6 Tahun 31 61
Faktor lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya kepadatan spora pada site
jabon 6 tahun setelah tanam yaitu karena suhu yang rendah akan tetapi kelembapan relatif
tinggi yang memungkinkan menjadi penyebab terhambatnya perkembangan spora FMA.
Menurut Rainiyati (2007) dalam Hartoyo et al. (2011) mengatakan pada kondisi musim
kering FMA aktif melakukan sporulasi sedangkan pada kondisi musim hujan terjadi
kondisi sebaliknya, dengan kondisi kelembapan yang tinggi dan suhu yang rendah pada
site jabon berumur 6 tahun setelah tanam dengan rataan 61% dan 31OC sedangkan pada
site jabon berumur 1 tahun setelah tanam memiliki rataan suhu yang tinggi dan
kelembapan yang rendah yaitu 56% dan 33OC. Dengan kondisi tersebut mikoriza pada
site jabon 6 tahun setelah tanam akan meningkatkan proses infeksi terhadap tanaman dan
mengurangi sporulasi. Pendapat ini diperkuat oleh Goltapeh et al. (2008) dalam
Margarettha (2011), pembentukan spora baru berkurang ketika kelembaban tinggi, akan
tetapi kemampuan untuk berkolonisasi dengan tanaman inang meningkat. Sebaliknya
pada kondisi kering pembentukan spora baru atau sporulasi akan meningkat sehingga
persentase kolonisasi menurun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5, pada jabon berumur 6
tahun setelah tanam memiliki rata-rata persen infeksi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jabon berumur 1 tahun setelah tanam yaitu 60% - 70%.
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
225
Tabel 5. Persentasi kolonisasi akar oleh FMA pada tanaman jabon di lokasi kawasan
operasi pertambangan batubara PT Nan Riang
KESIMPULAN DAN SARAN
Terdapat 5 genus FMA Indigenous yang berhasil ditemukan pada lokasi tambang
batubara PT Nan Riang (16 jenis Glomus, 5 jenis Acaulospora, 3 jenis Scutellospora, 1
jenis Gigaspora, dan 2 jenis Entrophospora). Genus Glomus merupakan spora FMA yang
memiliki kelimpahan tertinggi pada setiap site lokasi pengambilan sampel tambang
batubara PT Nan Riang. Perubahan kondisi lingkungan sebagai dampak kegiatan
pertambangan batubara berpengaruh terhadap kelimpahan dan kekayaan jenis FMA.
Adanya penelitian lanjutan mengenai traping spora, kultur spora tunggal dan uji
efektifitas FMA penting untuk dilaksanakan. Dengan demikian dapat diketahui seberapa
besar efektifitas genus FMA yang ditemukan dalam mendukung kegitatan reklamasi pada
lahan bekas tambang batubara.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana IPG. 2011. Kajian Kerusakan Sumberdaya Hutan Akibat Kegiatan
Pertambangan. Jurnal Ecotrophic 6 (2) : 87 – 93.
Brundrett M, N Bougher, B Dell, T Grove dan N Malajczuk. 1996. Working with
Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32. Australian
Centre for International Agricultural Research, Canberra.
Budiana IGE, Jumani, MP Biantary. 2017. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi
Lahan Bekas Tambang Batubara di PT Kitadin Site Embalut Kabupaten Kutai
Kartanegara Kalimantan Timur. Jurnal Agrifor Volume 16 Nomor 2.
Delvian. Aspek molekular dan selular simbiosis cendawan mikoriza arbuskula.
Universitas Sumatra Utara, Juni 2006. ID P 132 299 348.
Hardjowigeno. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo.
Hartoyo B, M Ghulamahdi , LK Darusman, SA Aziz, dan I Mansur. 2011.
Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Rizhosfer Tanaman
Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). Jurnal Litri, 17(1): 32-40
Husna, FD Tuheteru, dan Mahfudz. 2005. Diversitas Mikoriza Pada Pohon Plus Jati di
Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 3(1): 275-284
Sampel Kolonisasi Persentasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kolonisasi (%)
JT1I √ √ √ - √ √ √ - - - 60%
JT1II - √ - - - √ √ √ - √ 50%
JT6I √ √ - √ √ √ - √ - - 60%
JT6II √ √ - √ √ - √ √ √ - 70%
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
ISBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
226
Maharani R, A Susilo, A Fernandes. 2010a. Pembenah Tanah Pada Lahan Bekas
Tambang Batubara, hal. 11-22. Dalam Susilo A, Suryanto, S Sugiarto, R
Maharani. 2010. Status Riset Reklamasi Bekas Tambang Batubara. Balai Besar
Penelitian Dipterokarpa, Samarinda.
Margarettha. 2011. Eksplorasi dan Identifikasi Mikoriza Indigen Asal Tanah Bekas
Tambang Batu bara. Jurnal Berita Biologi. 10(5): 641-647.
Nurhandayani R, R Linda, S Khotimah. 2013. Inventarisasi Jamur Mikoriza Vesikular
Arbuskular Dari Rhizosfer Tanah Gambut Tanaman Nanas (Ananas comosus
(L.) Merr). Jurnal Protobiont. Vol 2(3): 146-151
Purnamayani R, J Hendri, H Purnama. 2016. Karakteristik Kimia Tanah Lahan Reklamasi
Tambang Batubara di Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal 2016 Palembang. 206-213.
Puspitasari R, Nursanti, dan Albayudi. 2012. Identifikasi Jenis dan Perbanyakan
Endomikoriza Lokal Di Hutan Kampus Universitas Jambi. Jurnal Penelitian
Universitas Jambi Seri Sains. Volume 14 Nomor 1: 23-28.
Prabowo R & R Subantoro. 2017. Analisis Tanah Sebagai Indikator Tingkat Kesuburan
Lahan Budidaya Pertanian Di Kota Semarang. Jurnal Ilmiah Cendikia Eksakta.
Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Semane F, M Chliyeh, W Kachkouch, J Touati, K Selmaoui, AO Touhami, AF Maltouf,
CE Modafar, A Moukhli, R Benkirane, & ADouira. 2018. Follow-up Composite
Endomycorrhizal Inoculum in the Rhizosphere of Olive Plants, Analysis after
42 Months of Culture. Journal Annual Research & Review in Biology. Vol.
22(2): 1-18
Sheoran V, AS Sheoran, P Ponia. 2010. Soil Reclamation of Abandoned Mine Land By
Revegetation: A Review. International Journal of Soil, Sediment and Water.
Vol. 3(2), Art. 13
Yassir I & RM Omon. 2006. Hubungan Potensi Antara Cendawan Mikoriza Arbuskula
dan Sifat – Sifat Tanah Di Lahan Kritis. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol
3(2): 107-115